The Correlation among Cysteine Level, Interleukin

advertisement
Dapat diakses pada: http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/907
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 29, No. 3, Februari 2017, pp. 249-254
Online Published First: 5 Januari 2016
Article History: Received 18 Desember 2015, Accepted 18 Maret 2016
Artikel Penelitian
Hubungan Kadar Sistein, Kadar Interleukin (IL) -1 dan Lama Hari Rawat pada Anak Gizi Buruk
The Correlation among Cysteine Level, Interleukin (IL) -1 Level, and Length of Stay in
Malnourished Children
Mochamad Chabibi1, Anik Puryatni1, Hidayat Sujuti2
1
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang
2
Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
ABSTRAK
Gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan utama di negara berkembang, dan melatar belakangi lebih dari 50%
kematian. Pada gizi buruk terjadi penurunan protein maupun asam amino, salah satunya sistein, asam amino yang
mengandung sulfur. Kekurangan sistein berkaitan dengan sistim kekebalan tubuh karena sistein merupakan unsur
pembentuk gluthatione yang merupakan antioksidan. Tujuan penelitian untuk membuktikan bahwa pada anak gizi buruk,
kadar sistein & IL-1β lebih rendah serta jumlah hari rawat lebih tinggi dibandingkan kontrol dan hubungan antara ketiga
parameter tersebut. Penelitian dilakukan dengan desain cross sectional, pada 19 anak gizi buruk dan 19 kontrol, dengan
mengukur kadar sistein, IL-1β dan hari rawat. Perbandingan kadar sistein, IL-1β dan hari rawat dianalisis menggunakan
independent samples t-test. Korelasi antara kadar sistein, IL-1β dan hari rawat dianalisis menggunakan korelasi Pearson.
Kadar sistein pada anak gizi buruk lebih rendah bermakna dibandingkan kontrol (3,493±1,015 vs 4,656±0,577ng/ml;
p=0,000). IL-1β pada anak gizi buruk lebih rendah bermakna dibandingkan kontrol (52,66±9,95 vs 65,46±7,99)ng/mL;
p=0,000). Lama hari rawat pada penderita gizi buruk lebih tinggi bermakna dibandingkan kontrol (21,89±10,31 vs
8,53±4,06)ng/L; p=0,000). Kadar sistein berkorelasi positif dengan kadar IL-1β (p=0,000; r=-0,961). Kadar sistein tidak
berkorelasi dengan hari rawat (r=0,112;p=0,648). Kadar IL-1β tidak berkorelasi dengan hari rawat (r=-0,020; p=0,934).
Pada anak dengan gizi buruk, kadar sistein dan IL-1β lebih rendah serta hari rawat lebih tinggi dibandingkan kontrol.
Terdapat korelasi antara kadar sistein dengan IL-1β, tidak ada korelasi antara sistein dan IL-1β dengan hari rawat pada anak
gizi buruk.
Kata Kunci: Gizi buruk, interleukin-1β, hari rawat, sistein
ABSTRACT
Malnutrition is still a major health problem in developing countries and shadowing more than 50% of deaths. Decreasing
proteins and amino acids, one of which is cysteine that contains sulfur, happen on malnutrition. Cysteine ​deficiency links to
immune system because cysteine ​is a glutathione forming element that belongs to antioxidants. This research aimed to
prove that the levels of cysteine ​and IL-1β are lower and hospitalization length of stay of children with malnutrition is
longer than those of controls, and to find the relationship among the three parameters. The study was conducted with a
cross-sectional design on 19 malnourished children and 19 controls, by measuring levels of cysteine, IL-1β, and length of
stay. The comparison of the levels of cysteine, IL-1β, and length of stay were analyzed using independent samples t-test.
The correlation among the levels of cysteine, IL-1β, and length of stay were analyzed using Pearson correlation. Cysteine
​levels in malnourished children were significantly lower compared to control (3,493±1,015 vs 4,656±0,577ng/ml;
p=0.000). IL-1β levels in malnourished children were significantly lower compared to control (52,66±9,95 vs 65,46±7,99)
ng/mL; p=0,000). Length of stay in malnourished children was significantly higher than controls (21,89±10,31 vs
8,53±4,06)ng/L; p=0/000). Cysteine ​levels positively correlated with IL-1β levels (p=0,000; r=-0,961). Cysteine ​levels did not
correlate with length of stay (r=0,112; p=0,648). IL-1β levels did not correlate with length of stay (r=-0,020; p=0,934). In
children with malnutrition, the levels of cysteine ​and IL-1β were lower and length of stay was longer than the control's.
There is a correlation between the levels of cysteine ​with IL-1β, there is no correlation between cysteine ​and IL-1β with
length of stay in malnourished children.
Keywords: Cysteine, interleukin-1β, length of stay, malnutrition
Korespondensi: Mochamad Chabibi. Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang, Jl. JA Suprapto
No. 2, Jawa Timur Tel. (0341) 366242 Email: [email protected]
DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.jkb.2017.029.03.12
249
Hubungan Kadar Sistein, Kadar Interleukin....
PENDAHULUAN
Gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di negara berkembang, dan melatar belakangi
lebih dari 50% kematian balita. Sekitar 15% anak di Sub
Sahara Afrika terancam menderita gizi buruk, dan sekitar
2% anak yang tinggal di negara berkembang terancam
menderita gizi buruk (1).
Interleukin-1 (IL-1) adalah mediator utama dari imunitas
bawaan dan reaksi peradangan (2). Istilah IL-1 mengacu
pada dua sitokin, IL-1α dan IL-1β. Interleukin-1
memberikan reaksi proinflamasi yang kuat dan memiliki
peran utama dalam respon host terhadap rangsangan
eksogen dan endogen (3), selain itu memiliki fungsi yang
sangat penting bagi respon pertahanan host terhadap
infeksi dan cedera. Dari 11 anggota keluarga IL-1,
Interleukin-1β adalah yang terbaik ditandai dan paling
banyak dipelajari (4).
Kunci untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh
yang efektif adalah menghindari kekurangan nutrisi yang
memainkan peran penting dalam memicu sel kekebalan
baik interaksi, diferensiasi atau ekspresi fungsional. Gizi
buruk menurunkan pertahanan terhadap patogen dan
membuat individu lebih rentan terhadap infeksi (5). Kondisi
gizi buruk merusak pertahanan antioksidan dengan
mengurangi enzim antioksidan dan fungsi kekebalan
tubuh. Pemberian sistein telah dikenal meningkatkan
pertahanan antioksidan dan fungsi kekebalan tubuh
dengan meningkatkan konsentrasi glutathione (6).
Selama gizi buruk terdapat penurunan respon imun dengan
adanya penekanan pada jaringan limfoid dan imunitas
seluler (7). Seiring dengan penurunan respon imun, gizi
buruk juga memodifikasi respon inflamasi fase akut,
dengan perubahan dalam produksi dan aktivitas mediator
inflamasi, termasuk sitokin dan protein fase akut. Temuan
yang dipublikasikan tentang produksi sitokin secara in vitro
oleh sel mononuklear darah perifer dari anak-anak dengan
gizi buruk umumnya menunjukkan penurunan
kemampuan sel darah untuk memproduksi sitokin seperti
interleukin-1 (IL-1), yang menengahi atau memodulasi
respon fase akut (8). Limfosit T perifer pada anak-anak
dengan gizi buruk yang terinfeksi memiliki ekspresi rendah.
Sel-sel T tersebut mengalami bias terhadap respon sel T
helper tipe 2 (Th2), diwakili oleh penurunan produksi
Interferon γ (IFN-γ)/IL-2/IL-1 (sel T helper tipe 1 [Th1]) dan
peningkatan IL-4/IL-10 (Th2). Temuan ini menunjukkan
bahwa gizi buruk mengubah respon imun, sehingga
menghambat kekebalan protektif (9).
Gizi buruk juga dikenal sebagai masalah pada anak-anak
yang menjalani perawatan di rumah sakit (10). Gizi buruk
berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas,
serta berperan pada peningkatan lama rawat dan biaya di
rumah sakit (11). Mengingat hal tersebut, peneliti tertarik
untuk meneliti bagaimanakah kadar sistein dan
hubungannya dengan kadar IL-1β serta adakah
pengaruhnya terhadap hari rawat pada anak yang
menderita gizi buruk.
METODE
Desain Penelitian
Desain penelitian adalah cross sectional, dengan variabel
kadar sistein, kadar IL-1β dan lamanya hari rawat pada
anak dengan gizi buruk.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian 38 anak yang dibagi menjadi dua
250
kelompok yaitu kelompok anak dengan gizi buruk
sebanyak 19 orang dan kelompok kontrol sebanyak 19
orang dan menjalani rawat inap di bangsal anak Rumah
Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang serta memenuhi
kriteria inklusi. Penelitian dilakukan setelah disetujui oleh
Panitia Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang. Kriteria inklusi meliputi anak dengan
diagnosis gizi buruk, usia antara 1 bulan sampai 14 tahun
dan mendapat ijin dari orang tua penderita untuk ikut
serta dalam penelitian setelah diberikan penjelasan
(informed consent).
Prosedur Penelitian
Anak yang menderita gizi buruk yang memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 19 anak dan kelompok kontrol sebanyak
19 anak dilakukan pemeriksaan kadar sistein, IL-1β dan
hari rawat. Kadar sisteine diukur dalam plasma
berdasarkan metode Enzyme Immuno Assay (ELISA)
dengan menggunakan Creative Diagnostics Human
Cysteine Elisa kit Cat No DEIA5203 dengan satuan ng/ml.
Kadar IL-1β dalam plasma berdasarkan metode Enzyme
Immuno Assay (ELISA) dengan menggunakan Biolegend
Human IL-1β Elisa kit Cat No. 437008. Lama hari rawat
adalah jumlah hari penderita dirawat di rumah sakit, yang
didapat dari selisih tanggal keluar dengan tanggal masuk.
Data kadar sistein, IL-1β dan hari rawat dilakukan uji
korelasi Pearson untuk menguji hubungan antara kadar
sistein dengan kadar IL-1β, kadar sistein dengan lama hari
rawat dan kadar IL-1β dengan hari rawat. Data dianalisis
dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05).
Pengolahan data menggunakan Software Statistical
Product and Service Solution 17 (SPSS 17).
HASIL
Dari penelitian didapatkan rerata usia pada kelompok
kontrol adalah 27,95±41,68 bulan. Sebaliknya, pada
kelompok gizi buruk didapatkan dengan rerata usia
37,95±55,28. Hasil data demografi, laboratorium, kadar
sisteine dan IL-1β serta lama hari rawat disajikan dalam
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
Variabel
Rerata usia (bulan)
Jenis
Laki-laki
kelamin Perempuan
Laboratorium Albumin
Hemoglobin mg/dl)
Leukosit (g/dl)
Ureum (mg/dl)
Creatinin (mg/dl)
SGOT (U/L)
SGPT (U/L)
Demografi
Kontrol
27,95±41,68
12
7
4,38±0,40
12,43±1,77
13,48± 5,22
22,02±9,41
0,34±0,12
41,21±11,86
25,05±13,51
Gizi Buruk
37,95±55,28
8
11
3,30±0,60
11,28±1,70
13,83±8,40
28,47±16,27
0,40±0,20
43,42±13,60
25,02±13,59
Tabel 2. Hasil perbandingan rerata kadar sistein, IL-1β
dan lama hari rawat pada pasien gizi buruk dan kontrol
Variabel
Kadar sistein
Kadar IL-1B
Lama hari rawat
Kontrol
Mean
SD
4,656 0,577
65,46 7,99
10,31 4,06
Gizi Buruk
Mean
SD
3,493 1,015
52,66
9,95
21,89
8,53
p value
0,000
0,000
0,000
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 29, No. 3, Februari 2017
Hubungan Kadar Sistein, Kadar Interleukin....
Dari hasil uji korelasi didapatkan hubungan yang signifikan
antara kadar sisteine dan IL-1β pada kelompok penderita
gizi buruk dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,685
dengan p=0,001. Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara sistein dengan lama rawat pada kelompok
penderita gizi buruk, nilai koefisien korelasi sebesar 0,112
dengan p=0,648. Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara IL-1β dengan lama rawat pada kelompok penderita
gizi buruk, dengan koefisien korelasi sebesar -0,020
dengan p=0,934.
251
Penelitian ini menemukan perbedaan kadar haemoglobin
darah antara sampel dengan kontrol, yaitu anak-anak
dengan gizi buruk cenderung menderita anemia. Hal ini
sesuai dengan berbagai penelitian sebelumnya. Penelitian
oleh Bhoit R, mendapatkan 73% anak-anak dengan gizi
buruk menderita anemia (20). Penelitian yang dilakukan
oleh Yang at al, mendapatkan hubungan yang erat antara
gizi buruk dan anemia di China. Faktor yang berkaitan lain
adalah gizi buruk adalah pemberian ASI lebih dari 6 bulan
dan beberapa faktor sosial-demografi (21).
Penelitian ini melibatkan 38 subjek yang terbagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok gizi buruk sebanyak 19 subjek
dan 19 pada kelompok kontrol. Kelompok gizi buruk
ditandai dengan adanya gejala klinis anak tampak kurus,
iga gambang, rambut merah, dan mudah dicabut,
dermatosis kulit, baggy pant maupun dari gambaran
pengukuran antropometri dimana BB/TB <-3 SD dan atau
% BBI <70%. Kelompok gizi buruk ini menjalani perawatan
di rumah sakit dengan penyakit penyerta pneumonia.
Kelompok kontrol adalah anak gizi baik yang menjalani
perawatan di rumah sakit. Baik kelompok subjek maupun
kontrol sama-sama dengan penyakit penyerta pneumonia.
Kadar SGOT dan SGPT pada penelitian ini tidak berbeda
antara subjek dan kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh
Chen et al, mendapatkan faktor-faktor yang
mempengaruhi SGPT adalah infeksi virus hepatitis,
penggunan alkohol, hepatitis, auto immune, obat-obatan
hepatotoksik dan Wilson's Deases (22). Penelitian yang
dilakukan oleh Hyder et al, mendapatkan bahwa SGOT dan
SGPT meningkat pada kondisi infeksi virus hepatitis, alkohol
dan sirosis hepatis (23), sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Chrowdury et al, mendapatkan peningkatan
SGOT dan SGPT pada penderita gizi buruk (24). Pada
penelitian ini tidak didapatkan perbedaan antara subjek
dengan kontrol karenakan sampel dibatasi pada pada
penderita dengan nilai SGOT dan SGPT yang normal.
Karakteristik data subjek menunjukkan rentang usia mulai
2 bulan sampai dengan usia 13 tahun. Dari 19 anak
dengan gizi buruk, sebanyak 14 (74%) anak berusia
dibawah 5 tahun. Hal ini sesuai dengan data epidemiologi
gizi buruk, yang menunjukkan angka kejadian gizi buruk,
terutama pada negara-negara di Asia adalah umur kurang
dari 5 tahun (12). Studi yang dilakukan oleh Mekonnen et
al. Menemukan penyebab malnutrisi pada anak di bawah
5 tahun dan terutama dibawah 2 tahun adalah karena
kehamilan pada ibu yang diikuti dengan pemberhentian
pemberian ASI (13).
Pada penelitian ini kadar ureum dan kreatinin serum tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan antara sampel
dengan kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Hary et al,
mendapatkan bahwa serum kreatinin menurun pada
penderita dengan gizi buruk (25). Dari penelitian ini tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan antara serum
ureum dan kreatinin dari subjekl maupun kontrol. Hal ini
dimungkinkan karena pada penelitian dilakukan
pembatasan fungsi ginjal yang normal sebagai kriteria
inklusi, karena gangguan ginjal bisa menjadi faktor
perancu hasil penelitian.
Berdasarkan jenis kelamin, anak perempuan lebih banyak
dibandingkan anak laki-laki (perempuan 11 anak, laki-laki
8 anak). Prevalensi anak yang menderita gizi buruk
berdasarkan jenis kelamin memang berbeda-beda.
Penelitian yang dilakukan oleh Kandala et al, di Kongo
menyatakan bahwa kejadian gizi buruk lebih besar pada
anak laki-laki (14). Demikian juga penelitian yang
dilakukan oleh Hirani di Pakistan (12). Disisi lain penelitian
yang dilakukan oleh Jamro et al. di Pakistan mendapatkan
hasil yang berbeda yaitu perempuan lebih banyak
menderita gizi buruk (15).
Kadar sistein pada penelitian ini menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara anak dengan gizi buruk bila
dibandingkan anak dengan gizi baik. Hal tersebut sama
seperti penelitian yang dilakukan oleh Jahor et al, yang
menyatakan terjadi penurunan kadar sistein pada kondisi
gizi buruk (26). Sistein adalah salah satu asam amino yang
sangat dibutuhkan oleh tubuh. Pada kondisi neonatus,
sistein dianggap sebagai asam amino semi esensial yang
mengindikasikan bahwa pemberian sistein dari luar
dibutuhkan karena sintesis sistein yang masih rendah oleh
karena sistein plasma yang rendah dan rendahnya sintesis
protein (27).
DISKUSI
Berdasarkan kadar albumin, pada penelitian ini
ditemukan perbedaan kadar albumin serum antara subjek
dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Muller et al, yang menemukan bahwa pada
kondisi gizi buruk terjadi peningkatan derajat defisiensi
albumin (16). Penelitian yang dilakukan oleh Avram et al,
dan Quereshi et al, menyatakan bahwa serum albumin
dapat digunakan sebagai indikator nutrisi dari penderita
(17,18). Dalam review oleh Gupta dan Lis juga
menyebutkan bahwa diantara alat yang paling umum
digunakan untuk menilai status gizi adalah kadar albumin
serum. Albumin serum adalah metode yang sederhana
yang digunakan sebagai penilaian terhadap fungsi protein
dalam tubuh karena dalam kondisi gizi buruk dan
inflamasi terjadi penekanan dari sintesis protein. Kadar
albumin yang rendah pada kondisi gizi buruk terjadi oleh
karena ketidak seimbangan antara asupan dan
kebutuhan dari protein (19).
Hasil penelitian menunjukkan kadar IL-1β anak gizi buruk
lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan anak
gizi baik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bhaskaram dan Kumar yang mendapatkan
adanya penurunan dari produksi IL-1 (28). Penelitian yang
dilakukan oleh Fock et al, menyatakan bahwa gizi buruk
akan mengakibatkan gangguan pada sistim immune tubuh
yang akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas. Hal tersebut dibuktikan terhadap hewan coba
dengan gizi buruk yang mendapatkan rangsangan
endotoksin. Pada gizi buruk, kadar IL-1β didapatkan lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil
penelitian invitro memperlihatkan bahwa pada kondisi gizi
buruk tidak memiliki kapasitas yang sama dalam
memproduksi IL-1β (29).
Penelitian ini membuktikan bahwa lama hari perawatan
pada penderita gizi buruk berbeda signifikan bila
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 29, No. 3, Februari 2017
Hubungan Kadar Sistein, Kadar Interleukin....
dibandingkan dengan anak dengan gizi baik. Berbagai
penelitian sebelumnya memang sejalan dengan hal ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Hechte et al, di berbagai
pusat pelayanan kesehatan di Eropa terhadap 1567 anak
usia 1 bulan sampai dengan 18 tahun menemukanbahwa
perawatan anak gizi buruk di rumah sakit memiliki
hubungan yang signifikan dengan lamanya hari perawatan
dan komplikasi (30). Demikian juga dengan penelitian
yang dilakukan oleh Isabel et al, yang mengidentifikasi
bahwa gizi buruk merupakan faktor yang sangat
berhubungan dengan tingginya komplikasi, peningkatan
lama hari perawatan serta peningkatan biaya perawatan
(31). Perawatan di rumah sakit terhadap anak yang
menderita gizi buruk nampaknya mengarah pada
berbagai komplikasi klinik dan memiliki hasil akhir yang
lebih jelek dengan peningkatan lama rawat di rumah sakit
dan angka kematian dibandingkan dengan anak dengan
gizi baik (32).
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan signifikan
antara kadar sisteine dengan lama hari rawat pada
penderita gizi buruk. Pada kondisi gizi buruk kadar sistein
tidak memiliki hubungan dengan lama hari rawat.
Penelitian dari McPherson dan Hardy menyatakan bahwa
kondisi gizi buruk memiliki stress oksidatif yang tinggi yang
merupakan faktor penyebab utama yang berperan pada
patofisiologi dan klinis berbagai macam penyakit. stres
oksidatif mengakibatkan kerusakan sel dan vaskuler yang
akan menyebabkan iskemik perfusi. Kondisi ini akan
mengakibatkan kerusakan multi organ. Hal tersebut akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Peran sistein
sebagai antioksidan disini akan melindungi sel dari stres
oksidan (33). Penelitian lain yang dilakukan oleh Breuille
et al, menyatakan bahwa pemberian sistein oral 11g/kgBB
pada tikus yang menderita sepsis akan mempertahankan
kadar hormon glutation, meningkatkan sintesis protein
otot serta mempercepat pemulihan kondisi (34).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar IL-1β tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan lama hari
rawat pada penderita gizi buruk. Pada gizi buruk kadar IL1β didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan
ke l o m p o k ko n t r o l . H a s i l p e n e l i t i a n i n v i t r o
memperlihatkan bahwa pada kondisi gizi buruk tidak
memiliki kapasitas yang sama dalam memproduksi IL-1β
dibandingkan dengan gizi baik (29). Penelitian yang
dilakukan oleh Bhaskaram et al, menyatakan bahwa
terjadi penurunan dari IL-1 pada kondisi gizi buruk. Kondisi
penurunan tersebut dimungkinkan karena adanya defek
pada respon sel mediate immunity (28). Kondisi tersebut
252
akan mengakibatkan gangguan penyembuhan luka,
peningkatan angka kematian, peningkatan lama rawat di
rumah sakit serta peningkatan biaya perawatan (35).
Kedua hal tersebut mungkin dapat terjadi karena lamanya
hari rawat dapat dipengaruhi oleh barbagai macam faktor.
Penelitian oleh Campbell et al, menyatakan beberapa
faktor yang mempengaruhi lama dirawat adalah
keparahan penyakit, skor kognitif, gizi buruk, skor
komorbiditas, diagnosis penyakit, polifarmasi, usia dan
jenis kelamin (36). Penelitian lain oleh Freitas et al,
menyatakan bahwa usia penderita dan tipe rumah sakit
yang merawat berpengaruh terhadap lama perawatan di
rumah sakit (37).Faktor lain yang mempengaruhi lama hari
rawat adalah multiple diagnosis, adanya dokter yang
bertugas, usia, serta adanya komplikasi (38). Penyebab
yang memungkinkan adanya hubungan yang tidak
signifikan antara kadar sistein dan IL-1β dengan lama
dirawat pada penelitian ini adalah oleh karena faktor usia,
keparahan penyakit, adanya multi diagnosis, multi farmasi,
komplikasi dan cakupan asuransi kesehatan.
Temuan penelitian ini mendapatkan hubungan signifikan
antara kadar sistein dan kadar IL-1β pada penderita gizi
buruk. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lim pada proses penyembuhan luka dalam
kondisi gizi buruk. Disebutkan bahwa kondisi gizi buruk
akan mengakibatkan penundaan penyembuhan luka.
Kondisi ini akan membaik setelah penambahan sistein
karena terjadi perbaikan melalui peningkatan respon
immune dan pertahanan terhadap antioksidan.
Peningkatan respon immune ini antara lain perbaikan
respon netrofil dan normalisasi pada ekspresi gen dari IkB,
IL-1β dan TNF-α (6).
Keterbatasan pada penelitian ini adalah sampel yang
terbatas pada daerah Malang saja, sehingga tidak dapat
langsung digeneralisasi pada wilayah lain, maupun
Indonesia. Desain cross sectional tidak dapat menentukan
hubungan sebab akibat antara variabel yang diteliti.
Berbagai faktor penyulit pada subjek penelitian yang tidak
bisa dikendalikan juga mungkin mempengaruhi hari rawat.
Penelitian ini membuktikan bahwa anak dengan gizi buruk
memiliki kadar sisteine dan kadar IL-1β yang lebih rendah
dan hari rawat anak gizi buruk lebih panjang dibandingkan
dengan anak gizi baik. Terdapat korelasi antara kadar sistein
dengan IL-1β pada anak gizi buruk namun tidak ditemukan
korelasi antara kadar sisteine dan kadar IL-1β dengan lama
hari rawat pada anak gizi buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Growth Factor Reviews. 2011; 22(4): 189–195.
1.
Shoveller AK, Stoll B, Ball RO, and Burrin DG.
Nutritional and Functional Importance of Intestinal
Sulfur Amino Acid Metabolis. Journal Nutrition.
2005; 135(7): 1609–1612.
5.
Gleeson M, Nieman DC, and Pedersen BK. Exercise,
Nutrition and Immune Function. Journal of Sports
Sciences. 2004; 22(1): 115–125.
6.
2.
Garlanda C, Dinarello CA, and Mantovani A. The
Interleukin-1 Family: Back to the Future. Immunity.
2013; 39(6): 1003-1018.
Lim Y. The Role of Nutrition during the Early
Inflammatory Stage of Cutaneous Wound Healing.
[Dissertation]. The Ohio State University, Ohio. 2003.
7.
3.
Gabay C, Lamacchia C, and Palmer G. IL-1 Pathways
in Inflammation and Human Diseases.
Nature Reviews. Rheumatology. 2010; 6(4): 232–241
4.
Lopez-Costejon G and Brough D. Understanding the
Mechanism of IL-1β Secretion. Faculty of Life
Sciences, University of Manchester. Cytokine &
Velasquez C, Navarro C, Bacteriol, Munoz C, and
Gonzalez A. Inflammatory Response in Colombian
Children with Severe Protein-Energymalnutrition
before and After Nutritional Intervention. 2010;
41(2).
8.
Abo-Shousha SA, Hussein MZ, Rashwan IA, and
Salama M. Production of Pro-Inflammatory
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 29, No. 3, Februari 2017
Hubungan Kadar Sistein, Kadar Interleukin....
Cytokines: Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor, Interleukin-8 and Interleukin-6
by Peripheral Blood Mononuclear Cells of Protein
Energy Malnourished Children. Egypt Journal of
Immunology. 2005; 12(1): 125-131.
9.
Kidd P. Th1/Th2 Balance: The Hypothesis, Its
Limitations, and Implications for Health and Disease.
Alternative Medicine Review. 2003; 8(3): 223-246.
10.
Stratton RJ, Hackston A, Longmore D, et al.
Malnutrition in Hospital Outpatients and Inpatients:
Prevalence, Concurrent Validity and Ease of Use of
the 'Malnutrition Screening Universal Tool' ('MUST')
for Adults. British Journal of Nutrition. 2004; 92(5):
799-808.
11.
Lobo Tamer G, Ruiz Lopez MD, and Perea de la Cruz AJ.
Hospital Mal-Nutrition: Relation between the
Hospital Length of Stay and the Rate of Early
Readmissions. Medical Clinica. 2009; 132(10): 377384.
12. Hirani SA. Malnutrition in Young Pakistani Children.
Journal Ayub Medical College. 2012; 24(2): 150-153.
13. Mekonnen L, Abdussemed A, Abie M, and
Amuamuta A. Severity of Malnutrition and
Treatment Responses in Under Five Children in Bahir
Dar Felegehiwot Referral Hospital, Northwest
Ethiopia. Journal of Food and Nutrition Science.
2014; 2(3): 93-98.
14. Kandala NB, Madungu TP, Emina JBO, Nzita KPD, and
Cappuccio FP. Malnutrition among Children under
the Age of Five in the Democratic Republic of Congo
(DRC): Does Geographic Location Matter? BMC
Public Health. 2011; 11: 261.
15. Jamro B, Junejo AA, Lal S, Bouk GR, and Jamro S. Risk
Factors for Severe Acute Malnutrition in Children
under the Age of Five Year in Sukkur. Pakistan Journal
of Medical Research. 2012; 51(4): 111-113
16.
Muller H. Indicator Malnutrition in Leucemia
Children. British Medical Journal. 1983; 258: 63196326.
17. Avram MA, Chattopadhyay J, Fein PA, and Mittman
M. Monitoring Albumin Level as an Indicator of
Nutrition in Uremia Therapy. Presented at Progress
in Nephrology Cracow. Poland, September 7, 2006.
18. Qureshi AR, Alvestrand A, Danielsson A, et al.
Factors Predicting Malnutrition in Hemodialysis
Patients: A Cross-Sectional Study. Kidney
International. 1998; 53(3): 773-782.
19. Gupta D and Lis CG. Pretreatment Serum Albumin as
a Predictor of Cancer Survival: A Systematic Review
of the Epidemiological Literature. Nutrition Journal.
2010; 9: 69-84.
20. Bhoite R and Iyer M. Magnitude of Malnutrition and
Iron Deficiency Anemia among Rural School
Children: An Appraisal. Asian Journal Experimental
Biology. 2011; 2(2): 354-362
21. Yang W, Li X, Li Y, et al. Anemia, Malnutrition and
Their Correlations with Socio-Demographic
Characteristics and Feeding Practices among Infants
Aged 0-18 Months in Rural Areas of Shaanxi Province
in Northwestern China: A Cross-Sectional Study.
253
BMC Public Health. 2012; 12: 1127.
22. Chen HL, Wang YT, Lai SW, et al. Analysis of the
Factors Associated with Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase Levels in Young Adults. Journal
Medical Science. 2002; 22(1): 27-34.
23. Hyder MA, Hasan M, and Mohieldein AH.
Comparative Levels of ALT, AST, ALP and GGT in Liver
Associated Diseases. European Journal of
Experimental Biology. 2013; 3(2): 280-284.
24.
Chowdhury SI, Rahman Z, Haque M, Nahar N, and
Taher A. Serum Aspartate Aminotransferase (AST) and
Alanine Aminotransferase (ALT) Levels in Different
Grades of Protein Energy Malnutrition. Journal
Bangladesh Society Physiologist. 2007; 2: 17-19
25.
Hary P, Bagga A, Mahajan P, and Lakshmy R. Effect of
Malnutrition on Serum Creatinine and Cystatin C
Levels. Pediatric Nephrology. 2007; 22(10): 17571761.
26. Jahoor F, Badaloo A, and Forrester T. Sulfur Amino
Acid Metabolism in Children with Severe Childhood
Undernutrition: Cysteine Kinetics. The American
Journal of Clinical Nutrition. 2006; 84(6): 1393-1399.
27. William L. Amino Acid. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition. 2005; 41: 12-18.
28. Bhaskaram P and Sivakumar B. Interleukin-1 in
Malnutrition. Archives of Disease in Childhood.
1986; 61(2): 182-185.
29. Fock RA, Vinolo MA, Blatt SL, and Borelli P.
Impairment of the Hematological Response and
Interleukin-1â Production in Protein-Energy
Malnourished Mice after Endotoxemia with
Lipopolysaccharide. Brazilian Journal of Medicalal
and Biological Research. 2012; 45(2): 1163-1171.
30. Hecht C, Weber M, Grote V, et al. Disease Associated
Malnutrition Correlates with Length of Hospital Stay
in Children. Clinical Nutrition. 2015; 34(1): 53-59.
31. Correia D and Waitzberg L. The Impact of
Malnutrition on Morbidity, Mortality, Length of
Hospital Stay and Costs Evaluated Through a
Multivariate Model Analysis. Clinical Nutrition. 2003;
22(3): 235-239.
32. Shenkin A. Serum Prealbumin: Is It a Marker of
Nutritional Status or of Risk of Malnutrition? Clinical
Chemistry. 2006; 52(12): 2177-2179.
33. McPherson RA and Hardy G. Clinical and Nutritional
Benefits of Cysteine-enriched Protein Supllemen.
Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic
Care. 2011; 14(6): 562-568.
34. Breuillé D, Béchereau F, Buffière C, Denis P, Pouyet C,
and Obled C. Beneficial Effect of Amino Acid
Supplementation, Especially Cysteine on Body
Nitrogen Economy in Septic Rats. Clinical Nutrition.
2006; 25(4): 634-642.
35. Barker LA, Gout BS, and Crowe TC. Hospital
Malnutrition: Prevalence, Identification and Impact
on Patients and the Health care System. International
Journal of Environmental Research and Public
Health. 2011; 8(2): 514-527.
36. Campbell SE, Seymour DG, Primrose WR and
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 29, No. 3, Februari 2017
Hubungan Kadar Sistein, Kadar Interleukin....
ACMEPLUS Project. A Systematic Literature Review
of Factors Affecting Outcome in Older Medical
Patients Admitted to Hospital. Age and Ageing.
2004; 33(2): 110-115.
37. Freitas A, Silva-Costa T, Lopes FJO, et al. Factor
254
Influencing Hospital High Length of Stay Outliers.
BMC Health Service Research. 2012; 12(1): 1-10.
38. Yu SH, Oh DK, and Kim YH. The Determinants of Stay
in University Hospital. Yonsei Medical Journal. 1983;
24(1): 38-45.
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 29, No. 3, Februari 2017
Download