BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Kelapa 1. Akar Akar serabut, jumlah 2.000 – 4.000 helai/phn, kebanyakan berada di permukaan tanah bisa mencapai 15 m sebagian masuk ke dlm tanah sampai 3,5 m. Terdapat akar adventif di pangkal batang dan bila masuk ke dlm tanah berfungsi sebagai akar biasa. Besar akar kira-kira 1 cm, warna dari putih, merah muda, kemudian merah tua. Akar serabut bercabang-cabang dan rambut akar berfungsi sebagai penyerap unsur hara (bagian yang aktif bergelembung-gelembung putih diujung akar). 2. Batang Mempunyai satu titik tumbuh diujung batang, tinggi bisa 30 m, diameter 2030 cm. Pertambahan panjang 1,5 m/thn untuk muda, 0,5 m untuk dewasa dan 10-15 cm untuk yang tua. Dalam 1 tahun rata-rata keluar 12 pelepah daun, setelah pangkal batang terbentuk , tidak akan membesar lagi. Ujung batang mengandung zat gula disebut umbut/merup titik tumbuh 3. Daun Mahkota terbentuk 4-6 helai saling membalut, tahap-tahap tetap berjumlah 46 helai ukuran lebih besar terlepas tetap masih belum membuka. Daun mempunyai 8 panjang 5-8 m, berat 10-15 kg. Tanaman dewasa memiliki 30-40 pelepah daun dan jumal daun yang terbentuk dan gugur seimbang 14 helai. Pada waktu muda tumbuh tegak semakin tua semakin condong akhirnya terkulai dan berguguran 4. Bunga Berbunga pada umur 3-8 thn, karangan bunga tumbuh dari ketiak daun. Proses penyerbukan sendiri (Genjah) dan silang untuk jenis kelapa lokal (Kelapa Dalam). Bunga berkarang disebut inflorescentia (Mayang/Manggar), bagian bunga kelapa adalah: Bunga kelapa (manggar) keluar dari ketiak daun dan tertutup seludang (Spatha) dengan panjang 80-90 cm. Manggar terdiri dari induk tangkai bunga dan bercabang sebanyak 30-40 helai, pada pangkal cabang tumbuh bunga betina(1-2 buah) kemudian disusul bunga jantan (150-200 buah). Bunga jantan terdiri dari 3 helai mahkota, 3 helai kelopak dan 6 helai benangsari. Bunga betina berukuran ± 3 cm, kelopak bunga ± 5 , mahkota bunga tebal membungkus hampir semua bagian bunga betina, putik tidak bertangkai, bekas benang sari 6 buah, dasar buah terdiri dari 3 ruang (carpel) dan 1 bakal biji, tapi yang normal hanya 1 5. Buah Mulai 3-4 minggu setelah mayang membuka bunga betina tumbuh, 1/2 - 2/3 buah muda gugur, sampai 2 bulan dan buah yang rontok berkurang (Aden, 2011). 2.2 Kelapa Genjah (Dwarf Coconut). Kelapa Genjah pohonnya relatif lebih rendah. Batang kecil lurus tanpa bol. Mulai berbunga 3-4 tahun. Jumlah buah per tandan banyak 10-30 bh/tandan. Fase 9 pembuahan 11-12 bulan. Kualitas kopra kurang bagus. Umur 25 thn produksi mulai menurun. Contoh : Kelapa Genjah Raja, Kelapa Genjah Kuning Nias. Salah satu jenis Kelapa genjah yang layak digunakan untuk proses kultur embrio yaitu Kelapa Genjah Salak (Aden, 2011). 1.3 Kelapa Genjah Salak (GSK) Kelapa Genjah Salak merupakan hasil eksplorasi plasma nutfah di Pematang Panjang, Kalimantan Selatan pada tahun 1980-an. Varietas ini tumbuh baik di dataran rendah sampai ketinggian 300 m dpl, dan daerah pengembangannya pada lahan kering iklim basah (curah hujan < 2500 m/tahun). Kelapa Genjah salak merupakan salah satu koleksi tipe genjah unggul, kultivar kelapa genjah ini mulai berproduksi umur dua tahun dari hasil buah sampai 140 butir/pohon/tahun (Novarianto, 1999). Bentuk buah bulat, ukuran buah kecil, dan warna buah hijau, kelapa GSK berukuran pendek apabila dibandingkan dengan kelapa genjah lain dan produksinya 80-120 butir/pohon/tahun (Novarianto, 2007). Kelapa GSK diperoleh dari seleksi pemurnian tanaman induk kelapa GSK dari Kalimantan Selatan. Jenis kelapa yang hampir punah itu ditemukan tumbuh liar, tinggi tanaman aslinya 7—10 m, tetapi lebih pendek dari pada kelapa Dalam, Kelapa Genjah ini disebut salak karena secara sepintas mirip tanaman salak, tidak terlalu tinggi dengan jejeran buah mirip dompolan buah salak. Oleh karena pertumbuhan lebih lambat, pada umur 4 tahun, batang kelapa GSK hanya mencapai satu meter. 10 Lebih pendek 2—3 m dibandingkan kelapa genjah lainnya. Pangkal tangkai daun kelapa GSK cukup pendek, rata-rata 100 cm (Supriadi, 2008). Selain air kelapa GSK lebih manis dari varietas kelapa jenis lainnya, kadar minyaknya tinggi, yaitu 60%. Kadar minyak ini hampir sama dengan kelapa Dalam unggul yang selama ini dipakai sebagai sumber minyak kelapa. Sebagai pembanding, Kelapa Dalam Palu, Bali, Riau, dan Tenga, rata-rata memiliki kandungan minyak antara 62—70%. Bau tengik yang disebabkan oleh asam lemak bebas kadar di atas 1 % tidak akan ditemui pada kelapa GSK, karena asam lemak bebasnya hanya 0,03%. Bedasarkan kadar asam lemak bebas ini kelapa GSK potensial dijadikan sebagai sumber minyak nabati (Supriadi, 2008). 2.4 Kultur Embrio Kultur embrio adalah memisahkan embrio yang belum dewasa dan menumbuhkannya secara kultur jaringan untuk mendapatkan tanaman yang viable, selain itu juga kultur embrio merupakan salah satu teknik in vitro yang dilakukan dalam kondisi aseptik. Embrio dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman muda dalam kultur aseptik melalui beberapa tahap pemeliharaan. Teknik kultur embrio pada tanaman kelapa pertama kali dilakukan untuk menyelamatkan embrio kelapa yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi tidak dapat tumbuh secara alami karena abnormalitas endospermnya yaitu kelapa kopyor. Namun saat ini, telah dikembangkan dan dimanfaatkan dalam kegiatan eksplorasi, koleksi, konservasi serta 11 pertukaran plasma nutfah dan juga perbanyakan aksesi eksotik seperti kelapa kopyor (Mashud & Tulalo, 1999). 2.4.1 Tujuan Kultur Embrio a. Memperpendek Siklus Breeding Tanaman yang semula membutuhkan waktu yang lama untuk berkecambah, dengan kultur embrio akan menjadi lebih cepat berkecambah. b. Menguji kecepatan viabilitas biji Perkecambahan embrio dapat lebih nyata dan dapat lebih memberikan interprestasi yang jelas daripada menggunakan test pewarnaan. c. Memperbanyak tanaman langka Tanaman langka seperti kelapa kopyor, sangat sulit untuk dibudidayakan secara normal, sebab kelapa kopyor mempunyai embrio yang lunak sehingga di bawah kondisi normal tidak mungkin untuk berkecambah. Tetapi dengan teknik kultur embrio dapat diperoleh tanaman kelapa kopyor (Sompotan, 1996) d. Memperoleh hibrid yang langka Program pemuliaan dengan mengadakan persilangan seringkali mengalami kegagalan. Ketidakberhasilan suatu persilangan disebabkan oleh praliferasi yang terhalang, atau fertilisasi dapat terjadi secara normal tetapi embrio mati pada awal tingkat perkembangannya. Kematian ini mungkin disebabkan oleh sedikitnya endosperm tidak berkembang secara normal . Dalam hal demikian, embrio hibrid 12 yang berkembang secara normal akhirnya mengalami keguguran karena tidak cukup tersedia makanan, atau mungkin endosperm mengalami kelainan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penanaman embrio pada kultur medium. Kultur embrio terdiri atas dua tahap pertumbuhan, yaitu in vitro dan ex vitro. Tingkat keberhasilan tumbuh embrio dan planlet baik dalam kondisi in vitro maupun ex vitro sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain sanitasi peralatan, sterilisasi eksplan dan media, keterampilan kerja dan teknik aklimatisasi (Mashud & Novarianto, 2005). Selain itu faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur embrio adalah sebagai berikut: a. Genotif yaitu pada beberapa jenis tumbuhan, embrio mudah tumbuh tetapi pada beberapa jenis tumbuhan lain sukar untuk tumbuh. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kultivar dari jaringan yang sama. b. Tingkat perkembangan embrio pada waktu dipisahkan yaitu embrio yang sangat kecil lebih sulit dikulturkan daripada embrio yang telah lebih dulu berkembang. c. Kondisi perkembangan tanaman induk yang diambil dari rumah kaca biasanya pertumbuhannya lebih terkontrol, sehingga dapat menghasilkan endosperm yang perkembangannya baik. d. Komposisi media makanan yaitu untuk pertumbuhan embrio harus menngadung unsur makro, unsur mikro dan gula. Faktor penting lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah adanya ion ammonium dan potassium. e. Oksigen 13 f. Cahaya Kadang-kadang untuk perkembangan embrio membutuhkan tempat gelap kira-kira selama 7-14 hari, baru setelah itu dipindahkan ke tempat terang untuk pembentukan khloropil. g. Temperatur optimum yang dibutuhkan umumnya tergantung dari jenis tumbuhan yang digunakan. Secara normal temperatur paling tinggi adalah 220 - 280 C (Sompotan, 1996) Untuk tahap in vitro, salah satu masalah yang dihadapi adalah kontaminasi pada embrio dan planlet yang dikulturkan. Embrio maupun Planlet yang telah terkontaminasi, kecepatan pertumbuhannya menurun dan akhirnya mati. Embrio yang terkontaminasi menjadi lunak dan mudah hancur sedangkan planlet yang terkontaminasi, batang semunya menjadi lunak dan akhirnya menjadi busuk (Mashud & Novarianto, 2005). Keberhasilan kultur embrio pada umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah media tumbuh yang digunakan. Ketepatan dalam memilih media tumbuh yang digunakan untuk pertumbuhan embrio tersebut sangat penting. Untuk memperoleh pertumbuhan embrio yang baik diperlukan satu media yang mempunyai komposisi dan konsentrasi nutrisi, zat pengatur tumbuh, vitamin dan lain-lain yang tepat (Mashud & Tulalo, 2002) 14 2.5 Perkecambahan Benih Secara fisiologis perkecambahan benih adalah muncul dan berkembangnya struktur penting dari embrio yang menunjukan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan. Faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih yaitu persyaratan dari benih itu sendiri, kebanyakan benih kecuali dorman, dapat berkecambah walapun masih mudah, namun sejak umur beberapa hari pembentukan benih dapat berkecambah dan dapat berbedabeda tergantung spesies dan varietasnya (Fitria, 2006). 2.6 Pertumbuhan Awal Embrio Pertumbuhan awal embrio didukung oleh hasil perombakan cadangan makanan. Maltosa dan glukosa yang dilepaskan oleh amilolisis dikonversi menjadi sukrosa oleh sel-sel aleuron kemudian diangkut ke embrio yang sedang tumbuh, tetapi sebagian besar maltosa dan glukosa tersebut di absorb langsung melalui skutelum, tempat sukrose dibentuk. Pasokan gula monosakarida kepada embrio menyebabkan ukuran koleoriza dan radikula bertambah besar (Fitria, 2006). 2.7 Faktor - faktor yang mempengaruhi Indeks Vigor dan Daya Kecambah embrio. a) Kontaminasi Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan kultur jaringan maupun kultur embrio. Fenomena kontaminasi sangat beragam, dan keragaman tersebut dapat dilihat dari organisme penyebab kontaminasi yang umum 15 dijumpai dalam kultur embrio adalah jamur. Embrio yang terkontaminasi dengan jamur dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini: Gambar 1 : Embrio kelapa yang terkontaminasi dengan jamur Upaya mencegah terjadinya kontaminasi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: 1. Membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam kultur jaringan. 2. Proses sterilisasi alat dan media secara baik dan benar. 3. Lakukan proses penanaman bahan tanaman dalam hal ini embrio kelapa pada keadaan anda nyaman dan waktu yang longgar cukup. b) Browning (Pencoklatan) Browning adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam yang sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Peristiwa Browning sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang sering terjadi. Browning juga dapat terjadi karena rangsangan kimia, prinsipnya, yaitu pada 16 lingkungan eksplan tersedia bahan-bahan kimia yang mendorong pembentukan senyawa phenol. Browning atau pencoklatan umumnya merupakan suatu tanda-tanda kemunduran fisiologi eksplan dan tidak jarang berakhir pada kematian embrio yang kita kulturkan. Embrio yang mengalami browning dengan jamur dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini: Gambar 2 : Embrio kelapa yang mengalami browning Proses terjadinya pencoklatan dapat diatasi dengan berbagai cara antara lain: 1. Membilas terus menerus dengan air atau dengan aquadest, melakukan subkultur berulang ulang, mengabsorsi dengan arang aktif. 2. Menggunakan EDTA telah terbukti dapat menghambat kerja enzim polyphenol oksidase. 3. Pengaturan pH rendah, ini dapat dilakukan karena enzim polyphenol oksidase optimalnya pada pH 6.5 dan menurun seirama dengan turunnya pH. (Santoso, 2001) . 2.8 Eksplan 17 Eksplan adalah bagian tanaman yang dipergunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan tanaman. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah pucuk muda, batang muda, daun muda, endosperm, ovari muda, anther, embrio, dan lain-lain (Raharja, 1994). Pemilihan eksplan sebagai bahan tanam untuk budidaya tanaman secara in vitro sangat penting. Eksplan diperoleh dari bagian tubuh atau jaringan tanaman yang masih mengalami diferensiasi artinya jaringan tanaman masih aktif membelah membentuk akar, batang, atau kalus. Terbentuknya bagian-bagian tanaman dipengaruhi oleh adanya zat pengatur tumbuh dalam media tanam karena zat pengatur tumbuh yang terdapat alami dalam eksplan belum cukup untuk membantu pembelahan dan diferensiasi sel (Raharja, 1994). Untuk tanaman kelapa, yang digunakan sebagai eksplan adalah embrio, plumula, imflorensia. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai eksplan adalah embrio kelapa yang berasal dari buah umur 9 bulan. 2.9 Giberelic Acid (GA3) Gibberelic acid adalah turunan dari asam gibberelat, merupakan hormon tumbuh alami yang merangsang pembungaan, pemanjangan batang dan berperan dalam perkecambahan embrio. Ada sekitar 100 jenis gibberellin, namun Gibberellic acid (GA3) yang paling umum digunakan. Giberelic acid banyak digunakan pada penelitian fisiologis tumbuhan, dan kebanyakan tanaman memberi respon terhadap 18 pemberian GA3, dengan pertambahan panjang batang, pembelahan sel dan pemanjangan bagian apikal tanaman (Setiawan, 2008). Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar embrio yang belum matang dapat berkecambah adalah dengan menggunakan media tumbuh in vitro yang disuplemen dengan zat pengatur tumbuh GA3. Hasil penelitian Mashud dan Tulalo (1999) menyatakan bahwa daya kecambah dan daya tumbuh tunas dari embrio Kelapa Dalam Mapanget belum matang yang dikulturkan dalam media Y3 yang diberi GA3 lebih tinggi dari pada media Y3 tanpa GA3. Pertumbuhan embrio selama perkecambahan bergantung pada persiapan bahan makanan yang berada di dalam endosperm. Untuk kelangsungan hidup embrio maka terjadilah penguraian secara enzimatik yaitu terjadi perubahan pati menjadi gula yang selanjutnya ditranslokasikan ke embrio sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya (Setiawan, 2008). 2.10 Media Eeuwens Formulasi ke tiga (Y3) Media Eeuwens formulasi ke tiga (Y3) telah lama diketahui sebagai media yang sesuai untuk pertumbuhan embrio kelapa. Bentuk media Y3 yang digunakan untuk kultur embrio kelapa adalah padat-cair. Pada kultur awal embrio di kulturkan pada media padat, apabila embrio telah berkecambah di pindah atau disubkulturkan lagi kedalam media padat setiap bulan hingga terbentuk planlet dengan akar utama dan beberapa akar lateral yang banyak dengan minimal dua daun terbuka penuh pada saat ini plantlet siap diaklimatisasi (Mashud & Novarianto, 2005).