BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Hidup 1. Pengertian Menurut WHOQOL Group (1997) kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang ditetapkan, dan perhatian seseorang. Kualitas hidup merupakan konsep luas yang dipengaruhi dalam cara kompleks yaitu dengan kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi dan hubungan mereka dengan fitur yang menonjol dari lingkungan hidup mereka. Kualitas hidup merupakan tindakan yang telah banyak digunakan dan cenderung berkembang menuju hasil yang lebih berpusat pada kesabaran, tidak hanya berdasarkan pada kelangsungan hidup (Heath J, dkk, 2011). Menurut Hawthorne et al., (Shuo Hu, 2008) kualitas hidup didefinisikan sebagai konstrak multidimensional termasuk kesehatan fisik, kepercayaan diri, kebahagiaan psikologis, peran fungsi, dan pengertian subjektif atas hidup termasuk kepuasan, hubungan sosial, dan hubungan dengan kegiatan sosial. Ikalius dkk (Khotimah, 2013) mendefinisikan kualitas hidup adalah kemampuan individu untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat serta merasa puas dengan peran tersebut. Rahmi (Terok, dkk, 2012) mendefinisikan kualitas 13 14 hidup dalam kesehatan sebagai nilai yang diberikan selama hidup dan dapat berubah karena adanya penurunan nilai fungsional, persepsi, sosial yang dipengaruhi oleh cedera, penyakit dan pengobatan. Meeberg (Galloway, 2006) mendefinisikan kualitas hidup sebagai sebuah rasa puas individu dengan hidupnya, kapasitas mental individu dalam mengevaluasi memuaskan atau tidak kehidupannya, sebuah kondisi fisik, mental, sosial dan emosional kesehatan yang dapat diterima individu sebagaimana ditentukan oleh individu tersebut, dan penilaian obyektif oleh orang lain terhadap kondisi individu tersebut mampu dan tidak mengancam jiwa. Grant dkk (Bowling, 1999) mendefinisikan kualitas hidup sebagai pernyataan pribadi individu dalam menilai positif atau negatif dari sifat yang menjadi karasteristik kehidupan seseorang. Diener dkk (Theofilou, 2013) juga mengungkapkan bahwa konsep kualitas hidup secara luas mencakup bagaimana seorang individu mengukur kebaikan dari beberapa aspek hidup mereka. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional seseorang didalam setiap kejadian yang ada di kehidupan individu, disposisi, rasa kepuasan atas terpenuhinya hidup yang diinginkan, dan kepuasan dengan pekerjaan dan hubungan pribadi. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup adalah pandangan dan persepsi individu atas posisi mereka dalam kehidupan di dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka tinggal, dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar dan 15 kekhawatiran, dan dalam melihat kemampuan mereka untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat serta merasa puas dengan peran tersebut. 2. Aspek-aspek Kualitas Hidup Aspek-aspek kualitas hidup menurut WHOQOL Group (1996) yaitu: a. Kesehatan Fisik Kesehatan fisik mencakup aktifitas sehari-hari, ketergantungan obat dan bantuan kesehatan, energi dan lelah, gerakan, sakit, dan kegelisahan, tidur dan istrahat, dan kapasitas kerja. b. Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis mencakup pandangan diri tentang tubuh dan rupa, perasaan negatif, harga diri, spritualitas, agama, kepercayaan diri, fikiran, belajar, memori, dan konsentrasi. c. Hubungan Sosial Hubungan sosial mencakup hubungan personal, dukungan sosial, dan aktifitas seksual. d. Kesejahteraan di Lingkungan Kebahagiaan lingkungan mencakup sumber keuangan, kebebasan, keamanan fisik, kesehatan dan kepedulian sosial, lingkungan rumah, kesempatan untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru, partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi dan memiliki waktu luang, 16 lingkungan fisik yang meliputi polusi, kebisingan, kemacetan, dan suasana lingkungan, dan transportasi. Aspek-aspek Kualitas Hidup menurut Felce dan Perry (1997) yaitu: a. Kesejahteraan Fisik Kesejahteraan fisik mencakup kesehatan, kebugaran, keamanan fisik, mobilitas, dan keamanan. b. Kesejahteraan Material Kesejahteraan material mencakup pendapatan, kualitas lingkungan hidup, privasi, kepemilikan, makanan, alat transportasi, lingkungan tempat tinggal, keamanan, dan transportasi. c. Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial mencakup hubungan dengan keluarga atau kehidupan rumah tangga, hubungan dengan kerabat keluarga besar, dan hubungan dengan teman atau rekan. Dimensi keterlibatan dalam masyarakat yang meliputi aktifitas individu dalam masyarakat, besarnya penerimaan atau dukungan masyarakat. d. Kesejahteraan Emosional Kesejahteraan emosional mencakup afek atau mood, kepuasan atau pemenuhan kebutuhan, kesehatan mental atau stres, harga diri, status atau kehormatan, seksualiti, dan kepercayaan atau iman. 17 e. Produktivitas Produktivitas yang mencakup kompetensi, independensi, pilihan dan kontrol, produktivitas atau kontribusi, dan yang berkaitan dengan pekerjaan, kehidupan rumah tangga, dan pendidikan. Berdasarkan teori kualitas hidup menurut WHOQOL Group (1996) dapat disimpulkan bahwa aspek kualitas hidup yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan kesejahteraan di lingkungan. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kualitas Hidup Menurut Moons dkk (Nofitri, 2009) faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup yaitu: a. Jenis Kelamin Pendapat Moons dkk (2004) dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Bain dkk (2003), mereka menemukan bahwa adanya perbedaan kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan. Kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup perempuan. b. Usia Pendapat Moons dkk dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Warner dkk (2004) pada responden berusia tua yang menemukan adanya kontribusi dari faktor usia terhadap kualitas hidup karena individu pada masa tua sudah melewati masa untuk melakukan 18 perubahan hidupnya sehingga mereka cenderung mengevaluasi hidupnya dengan lebih positif dibandingkan saat masa mudanya. c. Pendidikan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahl dkk (2004) mengungkapkan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu. d. Pekerjaan Moons dkk (2004) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja, dan penduduk yang tidak mampu bekerja. e. Status Pernikahan Moons dkk (2004) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang menikah, janda, tidak menikah, bercerai, dan kohabitasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh De Castro dkk (2012) dijelaskan bahwa efikasi diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup karena keyakinan seseorang atas kemampuannya dalam merawat diri memiliki pengaruh dalam upaya meningkatkan kesehatan. Selain itu juga keyakinan efikasi diri dalam diri individu dapat memberikan motivasi agar individu dapat merasakan kesejahteraan, kepuasan diri, dan mendapatkan hasil dari usahanya. 19 Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup menurut Moons dkk (Nofitri, 2009) dan De Castro (2012) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan efikasi diri. B. Efikasi Diri 1. Pengertian Menurut Bandura (1999) efikasi diri adalah dasar dari perilaku manusia, yang merupakan keyakinan individu bahwa mereka dapat mencapai tujuan sesuai dengan usaha mereka dan sedikit dorongan untuk bertindak dan bertahan dalam menghadapi kesulitan. Bandura (2006) juga menyebutkan efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, yang mempengaruhi individu untuk mencapai suatu tujuan dan memenuhi tanggung jawabnya. Menurut Zulkosky (2009) efikasi diri adalah suatu keyakinan yang ada pada diri seseorang terhadap kemampuannya untuk menunujukannya dalam berbagai kegiatan agar mencapai hasil yang pasti. Alwisol (2006) juga menyatakan bahwa efikasi diri sebagai persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. 20 Baron dan Byrne (2004) menambahkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan, kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan untuk mencapai suatu tujuan, dan keyakinan dalam mengatasi sebuah hambatan. Efikasi diri juga didefinisikan oleh Wade dan Tavris (2007) sebagai keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu meraih hasil yang diinginkan, seperti penguasaan suatu keterampilan baru atau mencapai suatu tujuan. Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah sebuah keyakinan individu pada kemampuannya untuk menyelesaikan tugas dengan baik untuk mencapai suatu tujuan dan mengatasi sebuah hambatan. 2. Aspek-aspek Efikasi Diri Bandura (1997) menyebutkan tiga aspek efikasi diri, diantaranya adalah: a. Level (tingkatan) Level merupakan tingkat kesulitan dari suatu tugas atau tuntutan yang diterima individu. Efikasi diri yang dirasakan oleh seorang individu berbeda dengan individu lainnya. Keyakinan maupun apa yang dirasakan individu berbeda dalam menilai bahwa tuntutan tugas yang diberikan merupakan tuntutan tugas yang sederhana, tuntutan tugas yang cukup sulit, atau tuntutan yang paling berat diantara tuntutan lain. Kisaran kemampuan yang dirasakan pada individu yang diberikan tuntutan diukur berdasarkan tingkat tuntutan tugas yang mewakili 21 berbagai tingkat tantangan dan hambatan yang menghambat keberhasilan individu. Jika individu mampu menyelesaikan tugas atau tuntutan yang sulit, maka efikasi dirinyapun tinggi. b. Strength (kekuatan) Strength merupakan menyelesaikan tugas tingkat atau kepercayaan tuntutan yang individu diterima dalam individu. Kepercayaan individu dalam menyelesaikan tugas atau tuntutan diukur dari seberapa besar individu memiliki kepercayaan pada kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya dalam menyelesaikan tugas. c. Generality (Generalitas) Generality merupakan keyakinan individu dalam menilai kemampuan dirinya hanya mampu mengerjakan dalam bidang kegiatan dan fungsi tertentu saja. Generality dilihat dari berbagai macam aktifitas, modal kemampuan yang ditunjukkan (perilaku, kognitif, dan afekktif), dan dalam berbagai situasi. Berdasarkan teori efikasi diri menurut Bandura (1997) dapat disimpulkan bahwa aspek efikasi diri yaitu level (tingkatan), strength (kekuatan), dan generality (generalitas). C. Penyakit Gagal Ginjal Kronis Menurut World Health Organization (WHO) penyakit kronis didefinisikan sebagai penyakit durasi panjang (lebih dari tiga bulan) dan perkembangan umumnya lambat (Corrigan, 2011). Penyakit kronis sekarang diperkirakan 22 menjadi sebuah tekanan, khususnya saat menempatkan bagaimana parahnya penyakit dan banyaknya pengobatan mengganggu kehidupan sehari-hari seperti tidur, makan, bekerja, dan menikmati aktifitas rekreasi. Untuk pasien dengan rasa sakit yang lebih banyak, merasakan kesulitan seperti kesulitan saat mandi, memakai baju, menggunakan toilet, bergerak, dan makan tanpa bantuan. Penderita penyakit kronis lebih mungkin sekali akan menderita depresi, kecemasan, dan distress (Taylor, 2006). Penyakit kronis pada anak-anak sering meningkatkan ketergantungan pada pengasuh dan mengurangi partisipasi dalam interaksi dengan sebaya dan kegiatan sekolah, sehingga mempengaruhi pencapaian perkembangan (Heath J, dkk, 2011). Didalam penelitian ini penyakit kronis yang akan dibahas adalah penyakit gagal ginjal kronis. The National Kidney Foundation (2002) mendefinisikan gagal ginjal kronik sebagai adanya kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat fungsi ginjal untuk jangka waktu tiga bulan atau lebih. Gagal ginjal kronik ini dapat dibagi lagi menjadi 5 tahap, tergantung pada tingkat keparahan kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Tahap 5 Chronic Kidney Disease (CKD) disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal (end stage renal disease/ end stage renal failure). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi ginjal. Ginjal bekerja kurang dari 15% dari normal (Corrigan 2011). Saat menderita penyakit gagal ginjal kronis, pasien mengalami pengalaman sakit fisik mendadak, pengobatan yang luas atau berbeda, dalam situasi ketidakpastian, dan ketegangan pribadi yang intens yang dapat memiliki dampak yang mendalam dan abadi. Tanggapan individu terhadap penyakit kronis 23 bervariasi. Beberapa individu memiliki tanggapan positif, tetapi tidak sedikit yang memberikan tanggapan negatif. Tanpa tindakan untuk mengatasi penyebab dan tanggapan terhadap penyakit, diperkirakan bahwa kematian akibat penyakit kronis akan meningkat sebesar 17% antara tahun 2005 dan 2015. Salah satu penyakit kronis yang meningkat saat ini adalah gagal ginjal kronis (Corrigan, 2011). D. Hubungan Antara Kualitas Hidup dengan Efikasi Diri Kualitas hidup pada penderita penderita penyakit kronis diperkirakan menjadi sebuah tekanan, khususnya saat menempatkan bagaimana parahnya penyakit dan banyaknya pengobatan mengganggu kehidupan sehari-hari seperti tidur, makan, bekerja, dan menikmati aktifitas rekreasi. Untuk pasien dengan rasa sakit yang lebih banyak, merasakan kesulitan seperti kesulitan saat mandi, memakai baju, menggunakan toilet, bergerak, dan makan tanpa bantuan (Taylor, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kaltsouda dkk (2011) penyakit gagal ginjal kronis adalah kondisi yang mengancam jiwa, bersifat tetap untuk jangka waktu lama dan membutuhkan terapi farmakologi seumur hidup dan pembatasan dalam hal makanan. Stadium akhir penyakit ginjal atau yang biasa disebut End-Stage Renal Disease (ESRD) memaksakan kendala tambahan karena kebutuhan vital bagi sesi reguler dialisis ginjal. Kualitas hidup dilihat dari seberapa baik pasien menyesuaikan dengan penyakit kronis. Temuan ini mungkin memiliki implikasi klinis yang penting ketika mempertimbangkan nilai prognostik kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup di beberapa penyakit kronis, termasuk stadium akhir penyakit 24 ginjal. Penurunan kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup telah berulang kali dikaitkan dengan peningkatan angka orang yang sakit, rawat inap, peningkatan angka kematian, dan kepatuhan cara hidup pasien stadium akhir penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis (Kaltsouda A., dkk, 2011). Hemodialisis merupakan salah satu bagian dari terapi penggantian ginjal bagi pasien gagal ginjal kronis. Bagi pasien gagal ginjal kronis hemodialisis dapat mencegah kematian, namun hemodialisis tidak bersifat menyembuhkan. Berbagai dampak dan komplikasi dapat terjadi selama pasien gagal ginjal kronis menjalani terapi hemodialisis (Sulistyaningsih, 2010). Berdasarkan penelitian Krueger (Sulistyaningsih, 2010) dampak-dampak psikologis yang muncul akibat ketidaknyamanan terapi hemodialisis adalah kesedihan yang muncul akibat kelemahan dan kelelahan yang menyebabkan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan, melaksanakan peran dan tanggung jawab. Gangguan-gangguan yang muncul dikarenakan penyakit gagal ginjal kronis akan sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang ditetapkan, dan perhatian seseorang. Menurut De Castro dkk (2012) kualitas hidup dipengaruhi oleh adalah efikasi diri. Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang akan kemampuan, kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan untuk mencapai suatu tujuan, dan keyakinan dalam mengatasi sebuah hambatan (Baron dan Byrne, 2004). Maka dari itu, persepsi seseorang mengenai tujuan hidupnya dipengaruhi oleh bagaimana keyakinan seseorang akan 25 kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, untuk mencapai suatu tujuan, atau mengatasi sebuah hambatan. Kualitas hidup telah dikaitkan dengan konsep yang berbeda dari jenisnya karena kualitas hidup memiliki dimensi psikologis, dan salah satunya adalah efikasi diri. Menurut Bandura (De Castro dkk, 2012) efikasi diri terdiri dari keyakinan dan atau persepsi yang individu miliki tentang potensi mereka sendiri untuk mengembangkan semua jenis kegiatan yang direncanakan agar menghasilkan hasil yang diinginkan. Keyakinan pada kemampuan diri yang dipersiapkan memberikan dasar motivasi bagi manusia, kesejahteraan, pemenuhan diri dan harapan pada hasilnya. Bukti ditemukan didalam penelitian De Castro dkk (2012) bahwa efikasi diri merupakan hal yang penting dalam menghasilkan kesehatan yang lebih baik. Efikasi diri dan kualitas hidup ketika dilakukan penelitian antara kedua variabel tersebut merupakan konsep yang telah dikaitkan dengan hasil yang baik dalam kesehatan (De Castro dkk, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sulistyaningsih (2012) training efikasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan terhadap intake cairan yang dilakukan melalui pemberian informasi atau edukasi. Pemberian edukasi ini termasuk dalam sumber efikasi persuasi sosial. Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas. Dengan demikian diharapkan pasien akan terbentuk keyakinannya bahwa ia mampu melakukan berbagai pembatasan termasuk salah satunya adalah pembatasan terhadap cairan. Dengan keyakinan maka seseorang 26 akan optimis untuk mencapai tujuan walaupun menghadapi berbagai hambatan dan rintangan. Keyakinan seseorang akan kemampuan dalam mengatasi masalah memegang peranan yang penting dalam mengatur status emosi (Bandura, 1997). Ketika pasien gagal ginjal kronis mengikuti prosedur terapi kesehatan sesuai yang dianjurkan dokter, maka kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis dari aspek kesehatan fisik akan membaik. Maka dari itu efikasi diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis. Teori efikasi diri diterapkan secara luas dalam memprediksi kesehatan terkait perilaku oleh Bandura (1997) yang didefinisikan sebagai keyakinan individu pada kemampuannya untuk melakukan perilaku tertentu atau tugas. Meningkatkan persepsi efikasi diri memiliki efek positif dalam mempromosikan kesehatan, motivasi, gaya berpikir, dan kesehatan emosional dalam mengatasi penyakit fisik kronis. Self care efikasi diri didefinisikan sebagai kepercayaan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan kegiatan selfcare atau perawatan diri yang relevan (Rayyani, dkk 2014). Penelitian Sulistyaningsih (2012) didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rayyani dkk (2014) ditemukan fakta bahwa pasien gagal ginjal kronis yang menerima hemodialisis di Iran tenggara tidak memiliki selfcare efikasi diri yang memadai dan mereka memiliki kualitas hidup yang buruk. Rayyani dkk (2014) juga mengungkapkan bahwa pasien yang memiliki selfcare efikasi diri yang lebih tinggi mengalami kualitas hidup yang lebih baik. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk memberikan perhatian lebih pada selfcare efikasi diri untuk mengurangi kebutuhan untuk perawatan kesehatan, memfasilitasi pasien agar 27 mematuhi pengobatan yang harus dijalani, meningkatkan status kesehatan fungsional, dan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis. Temuan dari studi ini menunjukkan bahwa dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup pasien, para profesional perawatan kesehatan harus mengidentifikasi terlebih dahulu pasien hemodialisis yang kurang memiliki selfcare efikasi diri yang dibutuhkan untuk perawatan diri, dan kemudian fokus pada pendidikan khusus intervensi untuk membangun kepercayaan selfcare efikasi diri selama sesi hemodialisis. Berdasarkan uraian di atas, serta adanya dukungan pernyataan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa melakukan perawatan diri atau selfcare efikasi diri selama sesi hemodialisis bagi pasien gagal ginjal kronis perlu ditingkatkan agar meningkat pula kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis. E. Hipotesa Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis. Semakin tinggi efikasi diri maka semakin tinggi pula kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronis. Semakin rendah efikasi diri maka semakin rendah juga kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis.