Inflamasi Alergi pada Asma

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Inflamasi Alergi pada Asma
Cut Yulia Indah Sari
PPDS I Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Prevalensi asma beberapa dekade terakhir makin meningkat di seluruh dunia. Asma adalah penyakit inflamasi kronik dan melibatkan banyak
sel dan elemen. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya remodeling pada jalan napas, hambatan aliran udara dan hipereaktivitas bronkus.
Gejala tersebut bahkan sudah timbul pada asma ringan. Proses yang terjadi pada asma alergi terdiri dari tiga fase, yaitu induksi, reaksi asma fase
dini, dan reaksi asma fase lanjut.
Kata kunci: inflamasi, alergi, asma
ABSTRACT
The overall prevalence of asthma has been increasing worldwide for the past few decades and continues to increase globally. Asthma is
a chronic inflammatory disease involving many types and cellular elements. The inflammation leads to remodeling of the airways, airflow
obstruction, and the bronchial hyperreactivity symptoms of asthma and is present even in patients with intermittent disease. The development
of allergic asthma exists of three phases, namely the induction phase, the early-phase asthmatic reaction (EAR) and the late-phase asthmatic
reaction (LAR). Cut Yulia Indah Sari. Allergic Inflammation in Asthma.
Key words: inflammation, allergy, asthma
PENDAHULUAN
Asma dan alergi merupakan kondisi umum
dengan penyebab yang heterogen, kompleks
dan masih belum diketahui secara jelas
mekanismenya. Asma dan penyakit alergi
sering terjadi bersamaan pada satu individu
atau pada individu yang berbeda dalam
satu keluarga. Prevalensi asma dan penyakit
alergi beberapa dekade terakhir meningkat
di seluruh dunia. Jumlah penderita asma di
seluruh dunia berjumlah sekitar 300 juta orang
dengan angka kematian sebesar 250.000
setiap tahun dan diperkirakan akan meningkat
menjadi 400 juta orang pada tahun 2025.
Penyakit alergi sendiri merupakan penyebab
morbiditas yang luas, mengganggu sekolah
dan produktivitas kerja, menurunkan kualitas
hidup serta meningkatkan beban biaya medis
dan non-medis.1,2
Asma adalah gangguan inflamasi kronik
jalan napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik tersebut
menyebabkan peningkatan hiperensponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk terutama malam hari
dan atau dini hari. Gejala episodik tersebut
Alamat korespondensi
berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.3
Asma disebabkan oleh berbagai faktor
lingkungan dan genetik yang bermanifestasi
dalam berbagai bentuk dan fenotip yaitu
asma alergi, resisten terhadap steroid, asma
yang diinduksi oleh pajanan polusi udara,
rokok, obesitas, asam asetilsalisilat dan latihan
fisik.2 Inflamasi alergi memiliki karakteristik
aktivasi dari sel mast mukosa yang tergantung
Ig-E dan infiltrasi eosinofil serta peningkatan
jumlah sel T helper 2 (Th2).4 Tinjauan pustaka
ini akan membahas mengenai inflamasi
alergi pada asma, sel-sel yang terlibat serta
gambaran klinis yang diakibatkannya.
ALERGI
Terminologi alergi pertama kali diperkenalkan
oleh Clemens von Pirquet pada tahun 1906
yang menemukan reaksi berupa gejala dan
tanda yang tidak biasa pada orang-orang
tertentu ketika terpajan pada suatu alergen.
Namun istilah tersebut kini lebih identik
dengan penyakit alergi yang juga dikenal
sebagai kelainan atopi. Von Pirquet sendiri
menggunakan istilah alergi tidak terbatas
untuk respons biologis saja, tetapi juga pada
proses imunitas (efek yang menguntungkan)
dan penyakit alergi (efek yang merugikan).
Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani atopos
yang berarti tidak pada tempatnya; sering
digunakan untuk menunjukkan kondisi alergi
herediter, yaitu rinitis alergi (hay fever), asma,
dan dermatitis atopi. Karakteristik atopi adalah
ditemukannya IgE sebagai respons terhadap
alergen lingkungan secara umum dan uji kulit
yang positif.5,6
Penyakit asma, rinitis alergi dan dermatitis
alergi yang juga dikenal dengan “trias alergi”
memiliki hubungan klinis serta biasanya
mempunyai riwayat sejak masa kecil.
Beberapa studi longitudinal menunjukkan
manifestasi atopi yang sudah dimulai sejak
usia kanak-kanak misalnya dermatitis atopi
dan alergi makanan yang terjadi saat bayi
akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis
alergi pada saat kanak-kanak. Sekitar 30%
anak-anak dengan dermatitis atopi akan
berkembang menjadi asma di kemudian hari
dan hampir 66% akan menjadi rinits alergi.
Sebagian besar (sekitar 80%) pasien asma
memiliki riwayat rinitis alergi sedangkan
sebanyak 19-38% pasien rinitis alergi biasanya
disertai dengan asma.1,7
email: [email protected]
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
585
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor yang mendukung
timbulnya fenotip TH1
Faktor yang mendukung timbulnya
fenotip TH2
Memiliki beberapa saudara kandung
Pajanan dini day care, tb, campak dan infeksi
hepatitis A.
Lingkungan perkampungan
Penggunaan antibiotik
Gaya hidup kebarat-baratan
Lingkungan perkotaan
Diet
Tersensitisasi terhadap tungau dan kecoa
Perlindungan kekebalan
Keseimbangan
Sitokin
Penyakit alergi,
termasuk asma
Gambar 1 Keseimbangan antara respons sitokin Th1 dan Th28
Peningkatan prevalensi asma alergi diduga
berdasarkan teori hygiene hypothesis, yaitu
makin berkurangnya pajanan infeksi dan
endotoksin di awal kehidupan akibat makin
baiknya higiene seseorang dan makin luasnya
pemberian vaksinasi serta penggunaan
antibiotika sejak dini akan merangsang sistem
imun yang mengganggu keseimbangan
antara Th1 dan Th2 sehingga terjadi dominasi
sel Th2 dibanding sel Th1. Sel Th1 dan Th2
memiliki peran yang berlawanan, yaitu untuk
melawan infeksi (Th1) dan pada proses
inflamasi alergi (Th2). Faktor lain yang akan
memperkuat respons terhadap Th1 adalah
anak-anak yang berasal dari keluarga besar
(memiliki beberapa saudara kandung)
sehingga memudahkan terjadinya penularan
penyakit Tuberkulosis (Tb), Campak dan
Hepatitis A di antara keluarga, terpajan pada
agen infeksius, endotoksin dan hewan di usia
dini akan menurunkan risiko terjadinya asma
(Gambar 1).7-9
FAKTOR GENETIK DAN LINGKUNGAN
PADA ASMA DAN ALERGI
Perkembangan penyakit alergi dan asma
merupakan hasil interaksi antara faktor genetik
dan lingkungan seperti pajanan terhadap
alergen, infeksi dan polusi udara. Meskipun
setiap orang terpajan dengan alergen dan tersensitisasi terhadap zat tertentu di lingkungan
sekitar namun manifestasi alergi dan asma
hanya terjadi pada beberapa orang saja. Hal ini
menunjukkan bahwa ada faktor genetik yang
berperan.9 Gen yang pertama kali diidentifikasi
586
berpengaruh terhadap asma adalah a disintegrin
and metalloprotease 33 (ADAM33) yang
berperan dalam hiperesponsivitas bronkus dan
proses remodeling jalan napas. Polimorfisme
pada gen ADAM33 juga dihubungkan dengan
proses terjadinya penurunan fungsi paru yang
cepat pada populasi umum, penderita asma
maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Lebih lanjut juga ditemukan bahwa asma yang
dihubungkan dengan polimorfisme nukleutida
tunggal pada ADAM33 dapat memprediksi
penurunan fungsi paru pada anak-anak. Hal
ini menunjukkan bahwa pengaruh ADAM33
sudah ada sejak awal masa kehidupan.1,10
Studi epidemiologi juga menunjukkan
terdapat
hubungan
antara
pajanan
lingkungan dan risiko untuk terjadinya
asma dan alergi. Selain faktor risiko genetik
dilaporkan juga faktor ras/etnik, jenis kelamin,
perokok aktif maupun pasif, mengkonsumsi
produk hewani, hewan peliharaan anjing
maupun kucing, jumlah anggota keluarga,
riwayat perawatan rumah sakit di usia kanakkanak, infeksi pernapasan akibat virus, pajanan
mikroba, vaksinasi, pemakaian antibiotik dan
antipiretik, cara kelahiran saat bayi, pemberian
ASI, polusi udara, obesitas, alergen, dan
pajanan di tempat kerja.1
PATOFISIOLOGI INFLAMASI ALERGI
PADA ASMA
Lebih dari 10.000 liter udara mengalir ke
dalam paru setiap hari. Inhalasi gas tersebut
mengikutsertakan bakteri, virus, alergen
dan bahan iritan yang semuanya dapat
menyebabkan cedera pada epitel paru.
Epitel yang rusak tersebut pada kondisi
normal mampu melakukan perbaikan secara
cepat. Sel epitel terkadang dalam proses
perbaikan tersebut membutuhkan interaksi
dengan fibroblas, jaringan saraf dan matriks
ekstraseluler dilamina propria sehingga terjadi
reepitelisasi dan reinervasi secara cepat.
Interaksi anatomi dan fungsi antara epitel
dan sel mesenkim tersebut disebut dengan
epithelial-mesenchymal tropic unit (EMTU). Ini
menunjukkan bila terdapat defek primer pada
asma akibat faktor eksogen spesifik di epitel
maka akan secara terus menerus dilepaskan
growth factors. Mediator-mediator ini akan
bekerja secara terorganisir dengan sitokin
Th2 sehingga menyebabkan gangguan
fungsi EMTU yang akhirnya mengakibatkan
aktivasi miofibroblas secara permanen. Sekali
teraktivasi, miofibroblas akan memperkuat
inflamasi yang terjadi dan dimulailah proses
remodeling oleh epitel.11-13 Berikut ini adalah
episode-episode yang khas terjadi pada asma
bila terpajan oleh suatu alergen.
1. Fase induksi
Proses inflamasi bronkus dan hiperresponsif
jalan napas dimulai dari masuknya alergen
ke dalam jalan napas. Sebagian besar antigen
akan dibersihkan oleh pergerakan mukosiliar.
Alergen yang dapat melalui mekanisme
pertahanan tersebut akan menembus lapisan
epitel dasar dan akan ditangkap oleh antigenpresenting cell (APC) terutama sel dendritik
dan makrofag alveolar. Alergen tersebut akan
dibawa ke kelenjar limfe dan dipresentasikan
ke sel T dan B. Sel Th yang teraktivasi akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti
interleukin (IL)-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL10, IL-12, IL-13, IL-18, interferon (IFN)-γ, tumor
necrosis factor (TNF)-α, TNF-β dan granulocyte
macrophage colony stimulating factor (GMCSF). Sitokin yang paling berperan dalam
perkembangan asma adalah IL-4, IL-5, IL-9
dan IL-13, sedangkan IL-4 dan IL-13 berperan
penting pada produksi IgE. Interleukin -4
dan 13 bersama dengan IL-9 berperan dalam
menghasilkan sel mast, produksi mukus yang
berlebihan dan hiperesponsivitas jalan napas.
Sitokin utama yang menyebabkan akumulasi
eosinofil adalah IL-5.14,15
2. Reaksi asma fase dini
Sel mast berperan penting pada reaksi
asma fase dini yang menghubungkan IgE
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
INDUKSI
PARU
KELENJAR
GETAH BENING
DARAH
SEL MAST
REAKSI ASMA DINI
MEDIATOR SEL MAST
REAKSI ASMA LANJUT
PARU
REMODELING JALAN NAPAS
14
Gambar 2 Kaskade alergi
dan jalan napas hiperresponsif ditemukan
di jaringan penunjang bronkus dan ruang
perifer intraalveol dengan melepaskan zat
kimia dan jumlah sel mast akan meningkat
setelah pajanan alergen. Sel mast terlokalisir
di dalam sel otot polos bronkus dan
epitel bronkus penderita asma dan akan
menginfiltrasi kelenjar mukus jalan napas.
Sel mast sendiri pada manusia dihasilkan dari
sel induk pluripoten CD34+ dan bersirkulasi
di dalam darah kemudian akan kembali ke
jaringan. Saat terjadi serangan asma, jumlah
sel mast yang berdegranulasi meningkat.
Pajanan berulang terhadap alergen akan
menyebabkan terjadinya ikatan silang antara
antigen, IgE dan reseptor Fc pada sel mast.
Ikatan tersebut menghasilkan pelepasan
mediator seperti histamin, prostaglandin,
leukotrien dan sitokin misalnya TNF-α. Hal
ini merupakan penyebab timbulnya gejalagejala hipersensitivitas tipe cepat seperti
rinitis ringan sampai syok anafilaktik.4,14-16
Gejala-gejala ini terjadi pada hitungan menit
sejak pajanan awal alergen dan mencapai
puncak dalam 10-15 menit yang dalam
keadaan normal akan membaik dalam 1-3
jam pascapajanan. Proses inflamasi ini pada
akhirnya menyebabkan kontraksi otot polos
jalan napas, edema dan meningkatnya sekresi
mukus sehingga terjadi sumbatan jalan napas
serta timbul gejala asma akut seperti hidung
tersumbat, bersin, bronkokonstriksi dan
kulit kemerahan. Respons fase dini ini akan
menginduksi menurunnya VEP1 sebanyak
25%.11,17
3. Reaksi asma fase lanjut
Reaksi asma fase dini yang berlangsung sekitar
4-6 jam berikutnya akan diikuti reaksi asma
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
fase lanjut yang lebih berat dan lama. Secara
umum sel mast dan mediator-mediator yang
dilepaskannya akan menginduksi terjadinya
konstriksi jalan napas, meningkatnya
permeabilitas vaskular, hiperresponsif jalan
napas, sekresi mukus dan meningkatkan
penarikan sel-sel inflamasi ke dalam jalan
napas setelah beberapa jam pajanan alergen
terutama eosinofil selain itu sel T, makrofag,
basofil, neutrofil serta sel-sel struktural
seperti sel epitel, fibroblas, sel endotel dan
sel-sel otot polos. Sel-sel inflamasi ini dapat
menghasilkan mediator-mediator inflamasi
yang sangat banyak seperti kemokin, sitokin
dan leukotrien yang berpengaruh baik secara
langsung terhadap jalan napas maupun
tidak langsung melalui mekanisme neural,
peningkatan inflamasi jalan napas kronik
setelah pajanan alergen berulang. Hasilnya
adalah berupa inflamasi kronik jalan napas
yang terus-menerus mengalami cedera
hingga akhirnya menimbulkan perubahan
struktural jalan napas dan akan tampak
beberapa tahun berikutnya berupa penurunan
VEP1 sebanyak 75%. Perubahan struktur ini
secara keseluruhan disebut sebagai proses
remodeling jalan napas.14,16,17
REMODELING JALAN NAPAS
Pajanan alergen yang terus menerus atau
berulang menyebabkan inflamasi akan
menetap dan sel imun innate dan adaptif akan
banyak ditemukan di jaringan. Inflamasi yang
menetap ini dihubungkan dengan perubahan
pada struktur sel di jaringan dan pada banyak
kasus terlihat perubahan fungsi dari organ
yang sakit tersebut. Penelitian mengenai
reaksi fase dini maupun fase lanjut telah
banyak dilakukan dengan mudah pada subyek
manusia sedangkan penelitian inflamasi
alergi kronik yang berakibat terjadinya
proses remodeling jalan napas kebanyakan
dilakukan terhadap subjek hewan coba yang
mempunyai kelainan alergi yang kesemuanya
tidak ada yang menyerupai penyakit pada
manusia sehingga belum diketahui secara jelas
apa yang terjadi setelah terpajan alergen yang
terus menerus dan beragam juga perubahan
pada inflamasi jaringan setempat dari reaksi
fase dini dan reaksi fase lanjut ke inflamasi
alergi kronik.5,17 Inflamasi pada pasien asma
kronik dapat memengaruhi seluruh lapisan
dinding jalan napas dan yang tersering adalah
perubahan pada epitel termasuk peningkatan
jumlah sel goblet yang memproduksi mukus,
peningkatan sitokin dan kemokin sel epitelial,
inflamasi pada daerah submukosa termasuk
peningkatan terbentuknya endapan matrik
ekstrasel di lamina retikularis, perubahan
pada fibroblas, peningkatan pembentukan
miofibroblas serta peningkatan vaskularisasi
dan penebalan lapisan otot polos jalan napas
disertai peningkatan ukuran, jumlah dan
fungsi sel otot polos.16-17
Interaksi kompleks antara epitel jalan napas
yang mengalami inflamasi kronik dengan
EMTU diduga merupakan yang mengatur
terjadinya proses remodeling jalan napas.
Proses tersebut meliputi penebalan dinding
jalan napas sebagai hasil dari terjadinya fibrosis
subepitelial, hiperplasia dan hipertrofi miosit,
hiperplasia miofibroblas, hipertrofi epitel serta
hiperplasia sel goblet dan kelenjar mukus.
Dinding jalan napas menjadi edematosa
dan lapisan mukosa dan submukosa akan
terinfiltrasi oleh eosinofil dan sel T. Membran
basal juga menebal dan terdapat deskuamasi
epitel. Miofibroblas diperkirakan berperan
penting dalam proses remodeling jalan
napas yang diyakini sudah terjadi meskipun
pada asma ringan. Penelitian menunjukkan
bahwa pengobatan antiinflamasi sejak dini
dapat membatasi terjadinya remodeling jalan
napas dengan berkurangnya deposit kolagen
subepitel dan menurunkan diferensiasi
fibroblas menjadi miofibroblas.5,8,17
ONE AIRWAY ONE DISEASE
Hidung dan sinus paranasal merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
traktus respiratorius. Kesamaan gambaran
antara mukosa hidung dan bronkus
menunjukkan terdapat interaksi antara
hidung dan paru dengan fungsi yang
587
TINJAUAN PUSTAKA
ALERGEN
CEDERA
EPITEL
GM-CSF
Sel Dendritik menangkap alergen,
matang dan berdiferensiasi
menjadi APC
P↑produksi eosinofil di
Migrasi ke KGB sumsum tulang
Migrasi ke paru
TGF-β,ET1
Sel Mast teraktivasi
melalui reseptor IgE
afinitas tinggi
REMODELING
JALAN NAPAS
Aktivitas lekosit di lamina
propria bronkus
IL-3, IL-5,
GM-CSF
IL-4, IL-5, IL-13,
MBP, ECP,LT
HT, LT,PG
IL-4
IL-13
Kontraksi singkat otot
polos, vasodilatasi, eksudasi
plasma dan sekresi mukus
IMUNITAS Th2
Sel Th2 dan
sel B migrasi
ke paru
FASE DINI
Kontraksi otot polos yang lama,
vasodilatasi, eksudasi plasma
dan sekresi mukus
FASE LANJUT
VEP1
MENIT
JAM
11
Gambar 3 Proses yang terjadi pada asma fase dini dan lanjut
DERAJAT
KEPARAHAN
PENYAKIT
SAL NAPAS
ATAS
RHINITIS SHINOSINUSITIS
DERAJAT
KEPARAHAN
PENYAKIT SAL
NAPAS BAWAH
ASMA
DERAJAT KEPARAHAN
Gambar 4 Hubungan antara rinitis dan keparahan asma18
saling melengkapi. Konsep one airway one
disease didasarkan bahwa sebagian besar
penderita asma memiliki rinitis alergi yang
dapat meningkatkan risiko serangan dan
kekambuhan pada asma sehingga makin
memperbesar frekuensi kunjungan ke unit
gawat darurat dan perawatan di rumah sakit.
Umumnya, makin berat rinitis yang diderita,
makin berat pula asmanya (Gambar 3) karena
sebagian besar serangan akut asma di sini
disebabkan oleh infeksi virus pada rinitisnya.
Namun, tidak sebaliknya, tidak semua
penderita rinitis memiliki asma.1,18
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa
asma dan rinitis sering terjadi pada individu
yang sama. Prevalensi asma tanpa rinitis
biasanya kurang dari 2% sementara asma
dengan rinitis bervariasi antara 10%40%. Sebuah penelitian yang dilakukan
di Amerika Serikat menemukan bahwa
rinitis meningkatkan risiko terjadinya asma
sebanyak tiga kali diantara pasien atopi
maupun nonatopi. Pasien rinitis dengan
keluhan di hidung yang berat dan memiliki
riwayat sinusitis akan memiliki risiko
tambahan yang lebih besar untuk terjadinya
asma. Namun hal tersebut sampai saat ini
masih membutuhkan penelitian lebih lanjut
untuk membuktikan bahwa rinitis alergi
yang muncul sebagai manifestasi klinis
awal dari penyakit alergi benar-benar akan
berkembang menjadi asma di kemudian
hari.18
SIMPULAN
1. Asma dan alergi menyebabkan peningkatan morbiditas, biaya kesehatan, dan
mengganggu produktivitas kerja.
2. Terdapat hubungan antara faktor genetik
dan pajanan lingkungan untuk terjadinya
asma dan alergi.
3. Proses inflamasi alergi pada asma terdiri
dari fase induksi, reaksi asma fase dini, dan
reaksi asma fase lanjut.
4. Proses remodeling jalan napas terjadi akibat
inflamasi yang terjadi kronik dan berulang serta
sudah mulai terjadi pada asma ringan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Carol O, Yao TC. The genetics of asthma and allergic disease: a 21st century perspective. Immunological reviews 2011;242:10-30.
2.
Kim HY, DeKruyff RH, Umetsu DT. The many paths to asthma: phenotype shaped by innate and adaptive immunity. Nature Immunology.2010;11(7):577-82.
3.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika; 2004.p.1-11.
4.
Murphy DM, O’Byrne PM. Recent advances in the pathophysiology of asthma. Chest.2010;137(6):1417-26
5.
Galli SJ, Tsai M, Piliponsky AM. The development of allergic inflammation. Nature. 2008;454:445-54.
6.
Mackay IR, Rosen FS. Allergy and allergic disease. N Engl J Med. 2001;344(1):30-6.
7.
Guill MF. Asthma update: Epidemiology and pathophysiology. Pediatric in Review. 2004; 25(9):299-304.
8.
Busse WW, Lemanske RF. Asthma. N Engl J Med. 2001; 344(5):350-60.
9.
Umetsu DT, DeKruyff RH. The regulation of allergy and asthma. Immunological reviews. 2006;212:238-55.
10. Davies DE. The role of the epithelium in airway remodeling in asthma. Proc Am Thorac Soc. 2009;6:678-82.
11. Ferreira MA. Inflammation in allergic asthma: Initiating events, immunological response and risk factors. Respirology. 2004;9:16-24.
12. Holgate ST. Epithelium dysfunction in asthma. J Allergy Clin Immunol. 2007;120:1233-44.
13. Holgate ST, Davies DC, Puddicombe S, Richter A, Lackie P, Lordan P ,et al. Mechanisms of airway epithelial damage: Epithelial-mesenchymal interaction in pathogenesis of asthma. Eur
Respir J. 2003; 22(44):24-9.
14. Verstraelen S, Bloemen K, Witters H, Schoeters G, Heuvel RV. Cell types involved in allergic asthma and their use in in vitro models to assess respiratory sensitization. Toxicology in Vitro.
2008;1419-31.
15. Bloemen K, Verstraelen S, Heuvel RV, Witters H, Neilssen I, Schoeters G. The allergic cascade: review of the most important molecules in the asthmatic lung. Immunology Letters. 2007;113:6-18.
16. Barnes PJ. Pathophysiology of allergic inflammation. Immunological reviews. 2011;242:31-50.
17. Canonica GW. Treating asthma as an inflammatory disease. Chest. 2006;130:218-88.
18. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Allergy. 2008;63(86):8-160.
588
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
Download