TINJAUAN PUSTAKA Inflamasi Alergi pada Asma Cut Yulia Indah Sari PPDS I Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Prevalensi asma beberapa dekade terakhir makin meningkat di seluruh dunia. Asma adalah penyakit inflamasi kronik dan melibatkan banyak sel dan elemen. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya remodeling pada jalan napas, hambatan aliran udara dan hipereaktivitas bronkus. Gejala tersebut bahkan sudah timbul pada asma ringan. Proses yang terjadi pada asma alergi terdiri dari tiga fase, yaitu induksi, reaksi asma fase dini, dan reaksi asma fase lanjut. Kata kunci: inflamasi, alergi, asma ABSTRACT The overall prevalence of asthma has been increasing worldwide for the past few decades and continues to increase globally. Asthma is a chronic inflammatory disease involving many types and cellular elements. The inflammation leads to remodeling of the airways, airflow obstruction, and the bronchial hyperreactivity symptoms of asthma and is present even in patients with intermittent disease. The development of allergic asthma exists of three phases, namely the induction phase, the early-phase asthmatic reaction (EAR) and the late-phase asthmatic reaction (LAR). Cut Yulia Indah Sari. Allergic Inflammation in Asthma. Key words: inflammation, allergy, asthma PENDAHULUAN Asma dan alergi merupakan kondisi umum dengan penyebab yang heterogen, kompleks dan masih belum diketahui secara jelas mekanismenya. Asma dan penyakit alergi sering terjadi bersamaan pada satu individu atau pada individu yang berbeda dalam satu keluarga. Prevalensi asma dan penyakit alergi beberapa dekade terakhir meningkat di seluruh dunia. Jumlah penderita asma di seluruh dunia berjumlah sekitar 300 juta orang dengan angka kematian sebesar 250.000 setiap tahun dan diperkirakan akan meningkat menjadi 400 juta orang pada tahun 2025. Penyakit alergi sendiri merupakan penyebab morbiditas yang luas, mengganggu sekolah dan produktivitas kerja, menurunkan kualitas hidup serta meningkatkan beban biaya medis dan non-medis.1,2 Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan peningkatan hiperensponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Gejala episodik tersebut Alamat korespondensi berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.3 Asma disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan dan genetik yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk dan fenotip yaitu asma alergi, resisten terhadap steroid, asma yang diinduksi oleh pajanan polusi udara, rokok, obesitas, asam asetilsalisilat dan latihan fisik.2 Inflamasi alergi memiliki karakteristik aktivasi dari sel mast mukosa yang tergantung Ig-E dan infiltrasi eosinofil serta peningkatan jumlah sel T helper 2 (Th2).4 Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai inflamasi alergi pada asma, sel-sel yang terlibat serta gambaran klinis yang diakibatkannya. ALERGI Terminologi alergi pertama kali diperkenalkan oleh Clemens von Pirquet pada tahun 1906 yang menemukan reaksi berupa gejala dan tanda yang tidak biasa pada orang-orang tertentu ketika terpajan pada suatu alergen. Namun istilah tersebut kini lebih identik dengan penyakit alergi yang juga dikenal sebagai kelainan atopi. Von Pirquet sendiri menggunakan istilah alergi tidak terbatas untuk respons biologis saja, tetapi juga pada proses imunitas (efek yang menguntungkan) dan penyakit alergi (efek yang merugikan). Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani atopos yang berarti tidak pada tempatnya; sering digunakan untuk menunjukkan kondisi alergi herediter, yaitu rinitis alergi (hay fever), asma, dan dermatitis atopi. Karakteristik atopi adalah ditemukannya IgE sebagai respons terhadap alergen lingkungan secara umum dan uji kulit yang positif.5,6 Penyakit asma, rinitis alergi dan dermatitis alergi yang juga dikenal dengan “trias alergi” memiliki hubungan klinis serta biasanya mempunyai riwayat sejak masa kecil. Beberapa studi longitudinal menunjukkan manifestasi atopi yang sudah dimulai sejak usia kanak-kanak misalnya dermatitis atopi dan alergi makanan yang terjadi saat bayi akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergi pada saat kanak-kanak. Sekitar 30% anak-anak dengan dermatitis atopi akan berkembang menjadi asma di kemudian hari dan hampir 66% akan menjadi rinits alergi. Sebagian besar (sekitar 80%) pasien asma memiliki riwayat rinitis alergi sedangkan sebanyak 19-38% pasien rinitis alergi biasanya disertai dengan asma.1,7 email: [email protected] CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013 585 TINJAUAN PUSTAKA Faktor yang mendukung timbulnya fenotip TH1 Faktor yang mendukung timbulnya fenotip TH2 Memiliki beberapa saudara kandung Pajanan dini day care, tb, campak dan infeksi hepatitis A. Lingkungan perkampungan Penggunaan antibiotik Gaya hidup kebarat-baratan Lingkungan perkotaan Diet Tersensitisasi terhadap tungau dan kecoa Perlindungan kekebalan Keseimbangan Sitokin Penyakit alergi, termasuk asma Gambar 1 Keseimbangan antara respons sitokin Th1 dan Th28 Peningkatan prevalensi asma alergi diduga berdasarkan teori hygiene hypothesis, yaitu makin berkurangnya pajanan infeksi dan endotoksin di awal kehidupan akibat makin baiknya higiene seseorang dan makin luasnya pemberian vaksinasi serta penggunaan antibiotika sejak dini akan merangsang sistem imun yang mengganggu keseimbangan antara Th1 dan Th2 sehingga terjadi dominasi sel Th2 dibanding sel Th1. Sel Th1 dan Th2 memiliki peran yang berlawanan, yaitu untuk melawan infeksi (Th1) dan pada proses inflamasi alergi (Th2). Faktor lain yang akan memperkuat respons terhadap Th1 adalah anak-anak yang berasal dari keluarga besar (memiliki beberapa saudara kandung) sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit Tuberkulosis (Tb), Campak dan Hepatitis A di antara keluarga, terpajan pada agen infeksius, endotoksin dan hewan di usia dini akan menurunkan risiko terjadinya asma (Gambar 1).7-9 FAKTOR GENETIK DAN LINGKUNGAN PADA ASMA DAN ALERGI Perkembangan penyakit alergi dan asma merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan seperti pajanan terhadap alergen, infeksi dan polusi udara. Meskipun setiap orang terpajan dengan alergen dan tersensitisasi terhadap zat tertentu di lingkungan sekitar namun manifestasi alergi dan asma hanya terjadi pada beberapa orang saja. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor genetik yang berperan.9 Gen yang pertama kali diidentifikasi 586 berpengaruh terhadap asma adalah a disintegrin and metalloprotease 33 (ADAM33) yang berperan dalam hiperesponsivitas bronkus dan proses remodeling jalan napas. Polimorfisme pada gen ADAM33 juga dihubungkan dengan proses terjadinya penurunan fungsi paru yang cepat pada populasi umum, penderita asma maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Lebih lanjut juga ditemukan bahwa asma yang dihubungkan dengan polimorfisme nukleutida tunggal pada ADAM33 dapat memprediksi penurunan fungsi paru pada anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh ADAM33 sudah ada sejak awal masa kehidupan.1,10 Studi epidemiologi juga menunjukkan terdapat hubungan antara pajanan lingkungan dan risiko untuk terjadinya asma dan alergi. Selain faktor risiko genetik dilaporkan juga faktor ras/etnik, jenis kelamin, perokok aktif maupun pasif, mengkonsumsi produk hewani, hewan peliharaan anjing maupun kucing, jumlah anggota keluarga, riwayat perawatan rumah sakit di usia kanakkanak, infeksi pernapasan akibat virus, pajanan mikroba, vaksinasi, pemakaian antibiotik dan antipiretik, cara kelahiran saat bayi, pemberian ASI, polusi udara, obesitas, alergen, dan pajanan di tempat kerja.1 PATOFISIOLOGI INFLAMASI ALERGI PADA ASMA Lebih dari 10.000 liter udara mengalir ke dalam paru setiap hari. Inhalasi gas tersebut mengikutsertakan bakteri, virus, alergen dan bahan iritan yang semuanya dapat menyebabkan cedera pada epitel paru. Epitel yang rusak tersebut pada kondisi normal mampu melakukan perbaikan secara cepat. Sel epitel terkadang dalam proses perbaikan tersebut membutuhkan interaksi dengan fibroblas, jaringan saraf dan matriks ekstraseluler dilamina propria sehingga terjadi reepitelisasi dan reinervasi secara cepat. Interaksi anatomi dan fungsi antara epitel dan sel mesenkim tersebut disebut dengan epithelial-mesenchymal tropic unit (EMTU). Ini menunjukkan bila terdapat defek primer pada asma akibat faktor eksogen spesifik di epitel maka akan secara terus menerus dilepaskan growth factors. Mediator-mediator ini akan bekerja secara terorganisir dengan sitokin Th2 sehingga menyebabkan gangguan fungsi EMTU yang akhirnya mengakibatkan aktivasi miofibroblas secara permanen. Sekali teraktivasi, miofibroblas akan memperkuat inflamasi yang terjadi dan dimulailah proses remodeling oleh epitel.11-13 Berikut ini adalah episode-episode yang khas terjadi pada asma bila terpajan oleh suatu alergen. 1. Fase induksi Proses inflamasi bronkus dan hiperresponsif jalan napas dimulai dari masuknya alergen ke dalam jalan napas. Sebagian besar antigen akan dibersihkan oleh pergerakan mukosiliar. Alergen yang dapat melalui mekanisme pertahanan tersebut akan menembus lapisan epitel dasar dan akan ditangkap oleh antigenpresenting cell (APC) terutama sel dendritik dan makrofag alveolar. Alergen tersebut akan dibawa ke kelenjar limfe dan dipresentasikan ke sel T dan B. Sel Th yang teraktivasi akan menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin (IL)-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL10, IL-12, IL-13, IL-18, interferon (IFN)-γ, tumor necrosis factor (TNF)-α, TNF-β dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GMCSF). Sitokin yang paling berperan dalam perkembangan asma adalah IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13, sedangkan IL-4 dan IL-13 berperan penting pada produksi IgE. Interleukin -4 dan 13 bersama dengan IL-9 berperan dalam menghasilkan sel mast, produksi mukus yang berlebihan dan hiperesponsivitas jalan napas. Sitokin utama yang menyebabkan akumulasi eosinofil adalah IL-5.14,15 2. Reaksi asma fase dini Sel mast berperan penting pada reaksi asma fase dini yang menghubungkan IgE CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013 TINJAUAN PUSTAKA INDUKSI PARU KELENJAR GETAH BENING DARAH SEL MAST REAKSI ASMA DINI MEDIATOR SEL MAST REAKSI ASMA LANJUT PARU REMODELING JALAN NAPAS 14 Gambar 2 Kaskade alergi dan jalan napas hiperresponsif ditemukan di jaringan penunjang bronkus dan ruang perifer intraalveol dengan melepaskan zat kimia dan jumlah sel mast akan meningkat setelah pajanan alergen. Sel mast terlokalisir di dalam sel otot polos bronkus dan epitel bronkus penderita asma dan akan menginfiltrasi kelenjar mukus jalan napas. Sel mast sendiri pada manusia dihasilkan dari sel induk pluripoten CD34+ dan bersirkulasi di dalam darah kemudian akan kembali ke jaringan. Saat terjadi serangan asma, jumlah sel mast yang berdegranulasi meningkat. Pajanan berulang terhadap alergen akan menyebabkan terjadinya ikatan silang antara antigen, IgE dan reseptor Fc pada sel mast. Ikatan tersebut menghasilkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan sitokin misalnya TNF-α. Hal ini merupakan penyebab timbulnya gejalagejala hipersensitivitas tipe cepat seperti rinitis ringan sampai syok anafilaktik.4,14-16 Gejala-gejala ini terjadi pada hitungan menit sejak pajanan awal alergen dan mencapai puncak dalam 10-15 menit yang dalam keadaan normal akan membaik dalam 1-3 jam pascapajanan. Proses inflamasi ini pada akhirnya menyebabkan kontraksi otot polos jalan napas, edema dan meningkatnya sekresi mukus sehingga terjadi sumbatan jalan napas serta timbul gejala asma akut seperti hidung tersumbat, bersin, bronkokonstriksi dan kulit kemerahan. Respons fase dini ini akan menginduksi menurunnya VEP1 sebanyak 25%.11,17 3. Reaksi asma fase lanjut Reaksi asma fase dini yang berlangsung sekitar 4-6 jam berikutnya akan diikuti reaksi asma CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013 fase lanjut yang lebih berat dan lama. Secara umum sel mast dan mediator-mediator yang dilepaskannya akan menginduksi terjadinya konstriksi jalan napas, meningkatnya permeabilitas vaskular, hiperresponsif jalan napas, sekresi mukus dan meningkatkan penarikan sel-sel inflamasi ke dalam jalan napas setelah beberapa jam pajanan alergen terutama eosinofil selain itu sel T, makrofag, basofil, neutrofil serta sel-sel struktural seperti sel epitel, fibroblas, sel endotel dan sel-sel otot polos. Sel-sel inflamasi ini dapat menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang sangat banyak seperti kemokin, sitokin dan leukotrien yang berpengaruh baik secara langsung terhadap jalan napas maupun tidak langsung melalui mekanisme neural, peningkatan inflamasi jalan napas kronik setelah pajanan alergen berulang. Hasilnya adalah berupa inflamasi kronik jalan napas yang terus-menerus mengalami cedera hingga akhirnya menimbulkan perubahan struktural jalan napas dan akan tampak beberapa tahun berikutnya berupa penurunan VEP1 sebanyak 75%. Perubahan struktur ini secara keseluruhan disebut sebagai proses remodeling jalan napas.14,16,17 REMODELING JALAN NAPAS Pajanan alergen yang terus menerus atau berulang menyebabkan inflamasi akan menetap dan sel imun innate dan adaptif akan banyak ditemukan di jaringan. Inflamasi yang menetap ini dihubungkan dengan perubahan pada struktur sel di jaringan dan pada banyak kasus terlihat perubahan fungsi dari organ yang sakit tersebut. Penelitian mengenai reaksi fase dini maupun fase lanjut telah banyak dilakukan dengan mudah pada subyek manusia sedangkan penelitian inflamasi alergi kronik yang berakibat terjadinya proses remodeling jalan napas kebanyakan dilakukan terhadap subjek hewan coba yang mempunyai kelainan alergi yang kesemuanya tidak ada yang menyerupai penyakit pada manusia sehingga belum diketahui secara jelas apa yang terjadi setelah terpajan alergen yang terus menerus dan beragam juga perubahan pada inflamasi jaringan setempat dari reaksi fase dini dan reaksi fase lanjut ke inflamasi alergi kronik.5,17 Inflamasi pada pasien asma kronik dapat memengaruhi seluruh lapisan dinding jalan napas dan yang tersering adalah perubahan pada epitel termasuk peningkatan jumlah sel goblet yang memproduksi mukus, peningkatan sitokin dan kemokin sel epitelial, inflamasi pada daerah submukosa termasuk peningkatan terbentuknya endapan matrik ekstrasel di lamina retikularis, perubahan pada fibroblas, peningkatan pembentukan miofibroblas serta peningkatan vaskularisasi dan penebalan lapisan otot polos jalan napas disertai peningkatan ukuran, jumlah dan fungsi sel otot polos.16-17 Interaksi kompleks antara epitel jalan napas yang mengalami inflamasi kronik dengan EMTU diduga merupakan yang mengatur terjadinya proses remodeling jalan napas. Proses tersebut meliputi penebalan dinding jalan napas sebagai hasil dari terjadinya fibrosis subepitelial, hiperplasia dan hipertrofi miosit, hiperplasia miofibroblas, hipertrofi epitel serta hiperplasia sel goblet dan kelenjar mukus. Dinding jalan napas menjadi edematosa dan lapisan mukosa dan submukosa akan terinfiltrasi oleh eosinofil dan sel T. Membran basal juga menebal dan terdapat deskuamasi epitel. Miofibroblas diperkirakan berperan penting dalam proses remodeling jalan napas yang diyakini sudah terjadi meskipun pada asma ringan. Penelitian menunjukkan bahwa pengobatan antiinflamasi sejak dini dapat membatasi terjadinya remodeling jalan napas dengan berkurangnya deposit kolagen subepitel dan menurunkan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas.5,8,17 ONE AIRWAY ONE DISEASE Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari traktus respiratorius. Kesamaan gambaran antara mukosa hidung dan bronkus menunjukkan terdapat interaksi antara hidung dan paru dengan fungsi yang 587 TINJAUAN PUSTAKA ALERGEN CEDERA EPITEL GM-CSF Sel Dendritik menangkap alergen, matang dan berdiferensiasi menjadi APC P↑produksi eosinofil di Migrasi ke KGB sumsum tulang Migrasi ke paru TGF-β,ET1 Sel Mast teraktivasi melalui reseptor IgE afinitas tinggi REMODELING JALAN NAPAS Aktivitas lekosit di lamina propria bronkus IL-3, IL-5, GM-CSF IL-4, IL-5, IL-13, MBP, ECP,LT HT, LT,PG IL-4 IL-13 Kontraksi singkat otot polos, vasodilatasi, eksudasi plasma dan sekresi mukus IMUNITAS Th2 Sel Th2 dan sel B migrasi ke paru FASE DINI Kontraksi otot polos yang lama, vasodilatasi, eksudasi plasma dan sekresi mukus FASE LANJUT VEP1 MENIT JAM 11 Gambar 3 Proses yang terjadi pada asma fase dini dan lanjut DERAJAT KEPARAHAN PENYAKIT SAL NAPAS ATAS RHINITIS SHINOSINUSITIS DERAJAT KEPARAHAN PENYAKIT SAL NAPAS BAWAH ASMA DERAJAT KEPARAHAN Gambar 4 Hubungan antara rinitis dan keparahan asma18 saling melengkapi. Konsep one airway one disease didasarkan bahwa sebagian besar penderita asma memiliki rinitis alergi yang dapat meningkatkan risiko serangan dan kekambuhan pada asma sehingga makin memperbesar frekuensi kunjungan ke unit gawat darurat dan perawatan di rumah sakit. Umumnya, makin berat rinitis yang diderita, makin berat pula asmanya (Gambar 3) karena sebagian besar serangan akut asma di sini disebabkan oleh infeksi virus pada rinitisnya. Namun, tidak sebaliknya, tidak semua penderita rinitis memiliki asma.1,18 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terjadi pada individu yang sama. Prevalensi asma tanpa rinitis biasanya kurang dari 2% sementara asma dengan rinitis bervariasi antara 10%40%. Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa rinitis meningkatkan risiko terjadinya asma sebanyak tiga kali diantara pasien atopi maupun nonatopi. Pasien rinitis dengan keluhan di hidung yang berat dan memiliki riwayat sinusitis akan memiliki risiko tambahan yang lebih besar untuk terjadinya asma. Namun hal tersebut sampai saat ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa rinitis alergi yang muncul sebagai manifestasi klinis awal dari penyakit alergi benar-benar akan berkembang menjadi asma di kemudian hari.18 SIMPULAN 1. Asma dan alergi menyebabkan peningkatan morbiditas, biaya kesehatan, dan mengganggu produktivitas kerja. 2. Terdapat hubungan antara faktor genetik dan pajanan lingkungan untuk terjadinya asma dan alergi. 3. Proses inflamasi alergi pada asma terdiri dari fase induksi, reaksi asma fase dini, dan reaksi asma fase lanjut. 4. Proses remodeling jalan napas terjadi akibat inflamasi yang terjadi kronik dan berulang serta sudah mulai terjadi pada asma ringan. DAFTAR PUSTAKA 1. Carol O, Yao TC. The genetics of asthma and allergic disease: a 21st century perspective. Immunological reviews 2011;242:10-30. 2. Kim HY, DeKruyff RH, Umetsu DT. The many paths to asthma: phenotype shaped by innate and adaptive immunity. Nature Immunology.2010;11(7):577-82. 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika; 2004.p.1-11. 4. Murphy DM, O’Byrne PM. Recent advances in the pathophysiology of asthma. Chest.2010;137(6):1417-26 5. Galli SJ, Tsai M, Piliponsky AM. The development of allergic inflammation. Nature. 2008;454:445-54. 6. Mackay IR, Rosen FS. Allergy and allergic disease. N Engl J Med. 2001;344(1):30-6. 7. Guill MF. Asthma update: Epidemiology and pathophysiology. Pediatric in Review. 2004; 25(9):299-304. 8. Busse WW, Lemanske RF. Asthma. N Engl J Med. 2001; 344(5):350-60. 9. Umetsu DT, DeKruyff RH. The regulation of allergy and asthma. Immunological reviews. 2006;212:238-55. 10. Davies DE. The role of the epithelium in airway remodeling in asthma. Proc Am Thorac Soc. 2009;6:678-82. 11. Ferreira MA. Inflammation in allergic asthma: Initiating events, immunological response and risk factors. Respirology. 2004;9:16-24. 12. Holgate ST. Epithelium dysfunction in asthma. J Allergy Clin Immunol. 2007;120:1233-44. 13. Holgate ST, Davies DC, Puddicombe S, Richter A, Lackie P, Lordan P ,et al. Mechanisms of airway epithelial damage: Epithelial-mesenchymal interaction in pathogenesis of asthma. Eur Respir J. 2003; 22(44):24-9. 14. Verstraelen S, Bloemen K, Witters H, Schoeters G, Heuvel RV. Cell types involved in allergic asthma and their use in in vitro models to assess respiratory sensitization. Toxicology in Vitro. 2008;1419-31. 15. Bloemen K, Verstraelen S, Heuvel RV, Witters H, Neilssen I, Schoeters G. The allergic cascade: review of the most important molecules in the asthmatic lung. Immunology Letters. 2007;113:6-18. 16. Barnes PJ. Pathophysiology of allergic inflammation. Immunological reviews. 2011;242:31-50. 17. Canonica GW. Treating asthma as an inflammatory disease. Chest. 2006;130:218-88. 18. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Allergy. 2008;63(86):8-160. 588 CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013