BAB IV KESIMPULAN Bab ini adalah bagian terakhir dalam penelitian ini yang secara singkat dan padat menjelaskan kembali jawaban-jawaban penelitian disertai bukti-bukti terkait. Penjelasan ini ditujukan untuk memberikan ringkasan singkat terkait pertanyaan penelitian yang sudah ditetapkan dalam rumusan masalah. Pada bagian ini, penulis juga menyajikan refleksi teoritis terhadap kerangka teori kampanye politik Dan Nimmo. Dalam rangka menguraikannya, penulis akan membagi kedalam dua bagian: Pertama, penerapan model kampanye politik digital dalam kontestasi presidensial 2014 telah menjadi penanda modernisasi sekaligus suplemen kampanye politik yang dapat mendorong kemunculan fenomena ekspektasi politik. Fenomena ekspektasi politik adalah kemungkinan yang bisa timbul dan menjadi kenyataan serta memiliki nilai lebih dalam setiap kontestasi politik. Hal itu dapat ditelisik dari alasan awal para komunitas digital dalam mengulirkan kampanye kreatif di media sosial yang pada awalnya ini tidak pernah terpikirkan akan direspon luar biasa oleh netizen. Salah satu faktor utama hadirnya fenomena ekspektasi politik adalah peran media sosial yang memiliki watak dan karakter partisipatoris. Partisipatoris dalam konteks ini adalah mengedepankan inisiatif, inovasi dan partisipasi aktif dari para pegiat komunitas politik digital dan netizen yang berbasiskan media sosial. Kedua, akan dipaparkan perihal “Refleksi Teoritis” dan kaitannya dengan penelitian ini. A. Kampanye Politik Digital sebagai Penanda Fenomena Ekspektasi Politik Berdasarkan pada penjelasan bab-bab sebelumnya, terlihat bahwa komunitas politik digital baik Demokreatif dan JASMEV 2014 memilih kampanye politik digital yang mengedepankan kampanye kreatif sebagai alternatif dalam mewujudkan model kampanye baru yang lebih menghibur. Analisis ini didahului dengan mengidentifikasi melalui empat hal fundamental dalam kerangka teori kampanye politik Dan Nimmo, yaitu: Pertama, penentuan komunikator atau Buzzer politik; Kedua, pesan kampanye, Ketiga; saluran media yang digunakan, Keempat; khalayak kampanye. Hal itu yang juga menjadi salah satu pijakan penting yang disampaikan oleh Dan Nimmo dalam teori kampanye politiknya. Berikut di bawah ini penjelasan ringkasnya. Diawali dengan komunitas politik digital Demokreatif. Pertama, dalam penentuan buzzer politik atau komunikator, komunitas Demokreatif menjadikan pendiri dan inisiator sebagai buzzer politik. Demokreatif tidak berinisiatif menarik komunikator atau buzzer politik lainnya dengan alasan agar lebih mudah berkomunikasi dan lebih fleksibel dalam perancangan model kampanye. Inisiator inilah yang kemudian berperan ganda, yakni sebagai perancang konsep kampanye dan sekaligus sebagai komunikator. Menariknya dengan watak partisipatoris media sosial kemudian telah mendorong hadirnya partisipasi dari para netizen dari berbagai profesi untuk bersama-sama menjadi buzzer politik guna menyebarluaskan kampanye kreatif. Kemudian yang kedua terkait pesan kampanye. Demokreatif, lebih memilih mengedepankan pesan kampanye yang bermaterikan ilustrasi, seperti “Kisah Blusukan”. Hal itu disebabkan, metode desain grafis yang bercorak ilustrasi sangat susah untuk di plagiat. Apalagi dalam kontestasi presidensial 2014, maraknya model kampanye hitam dan negatif, seringkali pesan kampanye sangat rawan dimanipulasi. Pemilihan ilustrasi juga ingin menunjukkan karakter “kreatif” para pendiri Demokreatif sebagai pegiat seni yang mengedepankan seni grafis yang tidak asal jadi dan tentunya enak dipandang mata. Selain itu komunitas ini juga membuat pesan kampanye yang bersifat partisipatoris. Sebut saja dengan menggunakan cover ilustrasi versi ommision dan suggestion. Pemilihan strategi ommision dan suggestion ini ditujukan agar pemilih dapat berpartisipasi aktif hanya dengan menambahkan “gambar” tertentu sesuai kondisi dan selera masing-masing. Sebut saja, gambar foto wajah dirinya atau latar belakang daerah masing-masing. Faktanya teknik ini justru mendapat banyak atensi dan perhatian publik, terlihat dari banyaknya postingan serupa di time line media sosial. Selanjutnya yang ketiga, media kampanye yang digunakan. Demokreatif, lebih memilih media sosial baik Facebook dan Twitter sebagai saluran yang tepat untuk menyebarkan materi kampanye kreatif. Hal itu disebabkan, kedua jenis media sosial ini, sangat mudah beradaptasi dalam nalar pemilih muda dan netizen di Indonesia. Selain itu pertimbangan waktu kampanye yang sangat pendek, menyebabkan pilihan menggunakan media sosial tidak terelakkan lagi. Bahkan, melalui media sosial ini, Demokreatif menekankan para jejaring relawan politik digital maupun netizen lainnya untuk dapat menterjemahkan ilustrasi kampanye ke media offline, seperti spanduk dan berbagai bentuk model kampanye lainnya. Kemudian, keempat, khalayak kampanye. Demokreatif, menekankan pesan yang disampaikan dapat sampai kepada semua pemilih dari beragam golongan. Tidak hanya terbatas pada pemilih muda akan tetapi juga kepada seluruh netizen yang menggunakan media sosial semata. Itu mengapa, Demokreatif kemudian mendorong agar materi kampanye yang dikeluarkan dapat kembali diolah secara mandiri oleh pemilih. Diolah secara “mandiri” menurut Demokreatif adalah direvisi sesuai dengan selera masing- masing. Sebut saja dengan ditambahi dengan kata-kata yang menarik sesuai keinginan masing-masing. Akan tetapi, merevisi dalam konteks ini tentulah bukan untuk memanipulasi apalagi merusak makna dari pesan kampanye. Lalu bagaimana dengan JASMEV 2014, pertama, penentuan buzzer politik atau komunikator. Dalam penentuan komunikator JASMEV tidak hanya mengandalkan para pendiri yang bergerak pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan kontestasi presidensial 2014 semata. Akan tetapi, JASMEV 2014 juga berusaha memperluas cakupan buzzer politik dengan merekrut anggota dari seluruh penjuru Indonesia dan dunia. Artinya, buzzer atau komunikator menurut JASMEV 2014 merupakan anggota yang memiliki kreasi sendiri dalam menyampaikan pesan kampanye politik digital di media sosial. Para buzzer politik ini berasal aktivis, profesional, politisi, penulis, serta anak-anak “Warnet” yang direkrut maupun hadir secara insidental. Hadir secara insidental ini dimaksudkan sebagai bentuk partisipasi mereka yang terlahir atas kemauan dan insiatif sendiri untuk menjadi bagian dari komunitas relawan politik digital JASMEV2014. Kemudian yang kedua, pesan kampanye. JASMEV 2014 menggunakan berbagai materi kampanye kreatif, hasil sharing antar jejaring komunitas politik digital seperti musik, video, desain visual dan aplikasi game untuk disebar kepada netizen di media sosial. Sedangkan untuk JASMEV sendiri, menghandalkan “meme politik” yang berkarakter ilustrasi. Hal itu disebabkan “meme politik” lebih cepat diproduksi. Artinya, kelebihan meme politik adalah karena lebih cepat dan mudah diterima oleh pemilih. Dalam persebaran, tidak ada batasan atau arahan yang ketat dari para pendiri JASMEV 2014 maupun koordinator, selain harus mengikuti waktu yang sudah ditentukan dan tidak berbau kampanye hitam. Alhasil, meme politik ini kemudian dapat menjadi kultur politik baru dalam langgam politik digital untuk urusan otokritik. Selanjutnya yang ketiga, saluran media kampanye yang digunakan yakni media sosial, baik Facebook dan Twitter. Kedua media sosial ini merupakan handalan bagi komunitas politik digital dalam menyampaikan pesan kampanye. Pasalnya, kedua media sosial ini dapat dengan cepat menyebarluaskan pesan kampanye politik digital. Terakhir, untuk khalayak JASMEV 2014 memiliki dua kategori. Pertama, yakni, menargetkan para pemilih muda yang kebanyakan merupakan generasi Y dan sangat akrab dengan media sosial. Kedua, JASMEV 2014 lebih mengedepankan prinsip “perbandingan”. Artinya, jika ada persebaran kampanye hitam sebesar angka tertentu, JASMEV 2014 berupaya menandingi dengan target hitungan melebihi dua atau tiga kali lipat. Hal yang sama, ketika ada buzzer politik pihak lawan yang meraih trending topic dengan angka tertentu, maka secara otomatis anggota JASMEV 2014 harus bergotong royong untuk menandingi angka yang didapat buzzer lawan politik tersebut. Artinya JASMEV 2014 tidak memiliki target yang terlalu tinggi seperti pesan kampanye harus dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pasalnya, tidak semua masyarakat Indonesia melek akan teknologi informasi. Akan tetapi yang diutamakan adalah bagaimana pesan kampanye politik digital yang dikeluarkan oleh JASMEV 2014 dapat melebihi dari pihak lawan dengan perbandingan angka persebaran. Pada akhirnya kehadirnya model kampanye politik digital dalam kontestasi presidensial 2014 dapat mengonfirmasi bahwa fenomena ekspektasi politik dalam langgam politik digital. Sebab diluar dugaan model kampanye politik digital dapat menarik atensi dan perhatian para netizen yang turut memperkuat fenomena ekspektasi politik. Fenomena ekspektasi politik adalah kemungkinan yang bisa timbul dan menjadi kenyataan serta memiliki nilai keutungan dalam setiap kontestasi politik dengan dukungan media sosial yang berwatak partisipatoris. Hal itu dapat ditelisik dari alasan awal para komunitas digital dalam mengulirkan kampanye kreatif. Yang mana pada awalnya para komunitas relawan politik digital ini tidak pernah terpikirkan bahwa pemilihan kampanye kreatif dapat direspon luar biasa oleh publik dan netizen. B. Refleksi Teoritis Dalam penelitian ini, penulis melakukan refleksi teoritis dari kerangka teori Dan Nimmo perihal kampanye politik. Berdasarkan data lapangan penelitian ini mengonfirmasi pengunaan teori kampanye politik Dan Nimmo, yang dimulai dari pembentukan komunikator atau buzzer politik, pesan kampanye, media dan khalayak kampanye. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pemilihan model kampanye politik digital ternyata mendorong hadirnya fenomena ekspektasi politik yang bersifat partisipatoris. Sebab, dengan penggunaan media sosial oleh komunitas politik menyebabkan proses kampanye politik digital menjadi lebih partisipatif. Hal itu dapat dibuktikan dari inisiatif komunitas politik digital dalam melahirkan berbagai kampanye politik yang menekankan pada kampanye kreatif seperti ilustrasi “Kisah Blusukan”. Selain itu, dalam penciptaan dan penyebarannya lebih cepat karena dibangun melalui prinsip gotong royong dan kesukarelawan. Meski demikian jika ditelisik konsepsi teori Dan Nimmo yang dibangun masih bersifat pada satu arah dengan hanya mengandalkan komunikator yang telah ditentukan. Padahal hal ini berbeda dengan konteks komunitas politik digital, yang bergerak secara sukarela dan partisipatif hingga kemudian banyak melahirkan buzzer politik baru atau komunikator sesuai dengan kreativitas masing-masing. Pada akhirnya, setelah penulis melakukan eksplorasi lebih mendalam, yang kemudian mendapati pemahaman bahwa konsepsi teori Dan Nimmo terkait kampanye politik, telah mampu mengonfirmasi model kampanye politik digital dalam kontestasi presidensial 2014. Meski demikian konsepsi teori ini masih mengalami sedikit kelemahan terutama belum mampu menjelaskan kehadiran media sosial yang memiliki watak partisipatoris atau dua arah.