MAQASHID AL-SYARI`AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM Oleh:

advertisement
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
MAQASHID AL-SYARI’AH
DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
Oleh:
Sri Lum’atus Sa’adah
Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Jember
Email: [email protected]
Abstrak
Tak terpungkiri lagi, bahwa mashlahah merupakan kata kunci
dalam upaya merumuskan secara filosofis, kaitan teks wahyu
dengan realitas konteks kehidupan umat beragama sehari-hari.
Hukum Allah pasti mempunyai tendensi kemaslahatan. Secara
etimologis, mashlahah mempunyai makna identik dengan manfaat,
yaitu keuntungan, kenikmatan, kegembiraan atau segala upaya
yang dapat mendatangkan hal itu. Namun, pada tataran
substansinya, boleh dibilang sampai pada titik penyimpulan bahwa
mashlahah adalah suatu kondisi dari upaya mendatangkan sesuatu
berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal
yang berdimensi negatif (madlarat). Berkaitan dengan hukum
kewarisan islam,jika dikaitkan dengan konsep mashlahah, maka
mashlahah yang ingin dilindungi adalah perlindungan akan
eksistensi agama (hifdh al-din), keturunan (hifdh al-nasl) dan juga
perlindungan harta(hifdhla-mal) yang semuanya berada pada
peringkat sekunder (hajiyyat) atau tersier (tahsiniyyat).
Kata Kunci: Maqashid la-Syari’ah, Mashlahah, Kewarisan Islam
Pendahuluan
Al-mashlahah Sebagai Tujuan Hukum Islam
Secara etimologis, maqashid merupakan bentuk jama’ dari al
maqshudyang berarti tujuan, sehingga al maqashid al-syari’ahdapat
diartikan sebagai tujuan dari syari’at.1Ulama ushul fikih
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir :Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997),112
1
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
125
Sri Lum’atus Sa’adah
mendefinisikanmaqashid al-syari’ah dengan “makna dan tujuan
yang dikehendaki syara‘ dalam mensyariatkan hukum bagi
hambanya (manusia). Setiap hukum yang diciptakan syari‘ pasti
mengandung kemaslahatan bagi hamba Allah, baik kemaslahatan
yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.Oleh karena itu, setiap
mujtahid ketika akan mengistimbatkan hukum harus berpatokan
pada tujuan-tujuan syari‘dalam mensyari’atkan hukum, sehingga
hukum yang akan ditetapkannya sesuai kemaslahatan umat
manusia.2
Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa tujuan utama
dari pensyari’atan hukum yang telah ditetapkan Allah SWT
adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, yakni
dengan memenuhi semua kebutuhannya baik yang bersifat
primer (dlaruriyyat), kebutuhan sekunder(hajiyyat), maupun
kebutuhan tersier (tahsiniyyatt).3
Tak terpungkiri lagi, bahwa mashlahahmerupakan kata
kunci dalam upaya merumuskan secara filosofis, kaitan teks
wahyu dengan realitas konteks kehidupan umat beragama seharihari. Secara etimologis, mashlahah mempunyai makna identik
dengan manfaat, yaitu keuntungan, kenikmatan, kegembiraan
atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu.4 Namun,
pada tataran substansinya, boleh dibilang sampai pada titik
penyimpulan bahwa mashlahah adalah suatu kondisi dari upaya
mendatangkan sesuatu berdampak positif (manfaat) serta
menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif
(madlarat).
Sebagai kata kunci, kajian tentang mashlahahdapat
memberikan kepastian akademik bagi penyelesaian alotnya
perdebatan para juris Islam di seputar ta’lil alahkam: apakah
hukum-hukum Tuhan mempunyai hubungan kausalitas dengan
Abdul Aziz Dahlan et. al (ed), EnsiklopediHukumIslam 4 (Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2001),1008
3 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait:Dar al-Millah, 1978), 197
4 Said Ramadhan al Buthi, Dlawabith al mashlahah, (Beirut:Muassasah alRisalah, tt), 27.
2
126 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
kepentingan hamba?, apakah hukum-hukum yang tidak
disebutkan secara tersurat oleh teks wahyu, dapat dianalogikan
pada teks lain yang mempunyai ‘illat (reason) hukum sama?; dan
apakah seorang mujtahid boleh memberikan simpulan hukum
karena pertimbangan mashlahah tanpa pijakan teks?
Kaitan hukum Tuhan dengan konteks mashlahah ini,
kemudian memiliki momentum ketika berhadapan dengan
gagasan institusionalisasi hukum Islam dan formalisasi agama.
Kalangan formalis, selalu berupaya menaklukkan setiap
perubahan yang terjadi di bawah otoritas hukum Tuhan.
Sementara, kalangan substansialis menawarkan performa egaliter
dengan memaknai hukum Tuhan secara lebih luas menyangkut
perwajahan Islam secara kaffahdanrahmatan li al ‘alamin.Untuk
mengetahui lebih jelas lagi pendapat para ulama (juris Islam)
tentang mashlahah, dan boleh tidaknya mashlahahdigunakan
sebagai hujjah atau patokan dalam penetapan hukum, di bawah
ini diuraikan pemikiran al-Ghazali, al-Syatibi dan al Thufi5
tentangmashlahah.
Dalam bentangan sejarah hukum Islam, tepatnya sejak alSyafi’i(w. 204 H.) menulis kitab al-Risalah, ushul al-fiqh disepakati
sebagai seperangkat metodologis dalam legislasi hukum Islam.
Salah satu tema yang banyak diperdebatkan di kalangan ulama
Penulis memilih tiga tokoh tersebut dengan pertimbangan: pertama, alGhazali (w. 505 H.), al-Syatibi (w. 790 H.), dan al-Thufi (w. 716 H.) berlatar
belakang madzhab fiqih yang berbeda, yakni al-Ghazali (w. 505 H.)
berlatang belakang Syafi’iyyah yang dalam ijtihadnya menekankan ada
konsep qiyas, sedangkan al-Syatibi (w. 790 H.) berlatar belakang Malikiyyah
yang menjadikan mashlahah mursalah sebagai dalil terdepan setelah alQur’an dan al-Hadits, sementara al-Thufi (w. 716 H.) adalah bermadzhab
Hanbali yang menekankan pada pemahaman leteral teks al-Qur`an dan alHadits serta mendahulukan atsar al-Shahabah dari pada qiyas dan dalil
hukum lainnya dalam penggalian hukum Islam. Karakter madzhab Hanbali
tetap terlihat dalam pandangan al-Thufi (w. 716 H.) tentang mashlahah dalam
ranah ibadah dan muqaddarat. Sedangkan dalam ranah mu’amalah, al-Thufi
(w. 716 H.) mencukupkan mashlahah sebagai dalil hukum andalannya; Selain
itu, elabora dari pemikiran tokoh tersebut dapat digunakan sebagai pisau
analisis untuk menganalisis pelaksanaan hukum kewarisan Islam.
5
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
127
Sri Lum’atus Sa’adah
ushul, adalah pembahasan tentang mashlahah, apakah termasuk
dalam perangkat istinbath al-hukm atau tidak. Kontroversi tersebut
terjadi karena mereka berbeda dalam melihat sejauh mana akal
(ra’yu) ditolerir ikut bermain dalam memahami pesan teks.
Al-Syafi’i (w. 204 H.) adalah ulama yang paling keras
menolak penggunaan nalar dalam berbagai bentuknya, baik
melalui istihsan atau mashlahah mursalah dalam penggalian hukum
Islam. Pendapat tersebut diikuti oleh ulama sesudahnya seperti alJuwaini (w. 478H.) dan al-Ghazali (w.505 H.). Namun demikian,
dua tokoh tersebut mengembangkan sedemikian rupa konsep
mashlahah. Al-Juwaini (w. 478 H.) disinyalir sebagai bapak
maqashid pertama. Dialah tokoh yang melahirkan konsep ta’lil
dalam tiga kategori: dlaruriyyat, hajat dan mahasin.
Konsep al-Juwaini (w. 478 H.) inilah yang memberikan
inspirasi al-Ghazali dalam mengemas mashlahah dengan wajah
baru yaitu maqashid al-syari’ah dalam bingkai al-ushul al-khamsah
(lima hal pokok), yakni pemeliharaan pada agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta, walaupun cara aplikasinya masih “nyantol”
dengan teori ijtihad andalan Syafi’iyan, yaitu qiyas.
Berbeda dengan al-Ghazali (w. 505 H.) yang bermadzhab
Syafi’iyyah, al-Syatibi (w. 790 H.) memformulasikan sedemikian
rupa konsep mashlahah yang dirintis al-Juwaini (w. 478 H.) dan alGhazali, dan menjadikannya sebagai sebuah metode istinbath
hukum Malikiyyah, yakni metode mashlahah mursalah, yang
sejatinya tingkat keterikatannnya dengan teks masih begitu
kental.6 Mirip dengan al-Ghazali (w. 505 H.), al-Syatibi (w. 790 H.)
menegaskan bahwa maqashid al-mukallaftidak boleh menabrak
rambu-rambu maqashid al-syari’, keduanya harus sesuai, dan
apabila terjadi pertentangn antara keduanya, maka yang harus
rela mengalah adalah maqashid al-mukallaf.7
Pasca al-Syatibi, dalam rentan waktu tidak kurang dari
enam abad, hadir tokoh maqashid baru, Muhammad al-Thahir Ibn
‘Asyur (w. 1393 H) dengan kitabnya yang terkenal, Maqashid al6Ibid.,65
7Ibid.
128 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
Syari‘ah al-Islamiyyah, dan dalam waktu yang hampir bersamaan
juga hadir tokoh lain, yakni ‘Alal al-Fasi (w. 1394 H.) dengan
kitabnya yang bernama Maqashid al-Syari‘ah wa Makanatuha.
Kemudian muncullah para pengkaji mashlahah seperti
Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, dengan kitabnya, Dlawabith
al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Musthafa Zaid, dengan
bukunyaal-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islami, Musthafa Syalabi,
dengan kitabnya, Ta’lil al-Ahkam, Husain Hamid Hassan, dengan
kitabnya, Nadhariyat al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islami. 8
Konsep mashlahah juga dikembangkan oleh al-Thufi (w.
716), seorang ulama yang bermadzhab Hanbali, sebuah madzhab
yang secara tegas dan keras menolak campur tangan nalar dalam
istinbathhukum. Bagi al-Thufi, mashlahah adalah dalil hukum
terdepan dan terkuat, khususnya dalam ranah mu’amalah. Dalil
apapun yang berlawanan dengan semangat mashlahah harus
ditolak, karena hukum bukan untuk kemaslahatan Tuhan, tetapi
semata-mata untuk menghantarkan manusia dalam menggapai
mashlahah, yaitu memperoleh kebaikan dan sekaligus terhindar
dari bahaya, baik di kehidupan di dunia maupun kehidupan di
akhirat kelak.
Ahmad al-Raisuni, Nadhariyat al-Maqashid, 68-69.
Ibid, hlm, 68-69
8
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
129
Sri Lum’atus Sa’adah
Al-Mashlahah Menurut Sudut Pandang Beberapa Pemikir
Mashlahah al-Ghazali9 (450 H - 505 H/1058 M-1111 M)
Menurut pandangan al-Ghazali, hukum Allah (syari’at)
yang ada dalam al-Qur’an dan al-Haditsmengandung suatu
tujuan (maqashid). Melalui maqashid, ide pokok Tuhan yang
tersembunyi di balik firman-firman tertulisnya dapat dijadikan
landasan untuk memahami apa sebenarnya yang diinginkan
Tuhan dari setiap aturan yang ditetapkan untuk makhluk-Nya.
Ia memandang suatu kemaslahatan harus sejalan dengan
tujuan syari’, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia.
Dengan demikian,mashlahah yang dijadikan pertimbangan hukum
adalah tujuan atau mashlahah menurut pandangan Tuhan, bukan
semata mashlahah dalam persepsi manusia. Kemaslahatan tersebut
bukan berarti untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk
kemaslahatan dan kebaikan umat manusia dalam menjalani hidup
di dunia hingga akhirat kelak10.
Menurut al-Ghazali, tujuan Syara’yang digunakan untuk
menciptakan kemaslahatan manusia tersebut adalah mewujudkan
pemeliharaan terhadap lima prinsip dasar: agama (din), jiwa (nafs),
9Imam
al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Syafi’i lahir pada tahun 450 H / 1058 M
di sebuah kota kecil di Khurasan (Iran) bertepatan dengan setelah tiga tahun
kaum Saljuk berkuasa di Baghdad. Orang tua al-Ghazali adalah seorang
pemintal benang dari bulu dan dikenal sebagai orang yang saleh dan hidup
sederhana. al-Ghazali menimba ilmu pada Ahmad bin Muhammad alRazikani. Kemudian dia mengembara ke Nisabur untuk belajar di Madrasah
Nidhamiyah yang dipimpin oleh al-Haramayn al-Juwaini al-Syafi’i (478 H.).
Di madrasah ini al-Ghazali mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
seperti tasawuf, fiqh, tauhid, filsafat dan logika. Kecerdasan dan kedalaman
ilmu pengetahuan al-Ghazali, menghantarkannya untuk mendapatkan
kepercayaan sebagai tenaga pengajar di Madrasah Nidhamiyah pada tahun
484 H. Dan lima tahun kemudian al-Ghazali diangkat menjadi kepala
madrasah tersebut. Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir
tahun 505 Hijriyah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus, tempat
al-Ghazali dilahirkan, dan dikebumikan di tanah kelahirannya juga. Lihat,
Abdul Aziz Dahlan et al (ed), Ensikopedi Hukum Islam 4, (Jakarta:Ichtiar van
Hoeve), 1147
10Ibid, 287.
130 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
akal (‘aql), keturunan (nasab) dan harta (mal). Apabila seseorang
melakukan suatu perbuatan yang intinya memelihara kelima
aspek tersebut, maka perbuatannya tersebut dinamakan
mashlahah. Begitu pula upaya untuk menolak terhadap hal
menimbulkan kemadharatan juga disebut mashlahah. Sebaliknya
setiap sesuatu yang dapat menyebabkan terabaikannya terhadap
perlindungan kelima hal tersebut disebut mafsadat.11Lima prinsip
di atas oleh al-Ghazali dibedakan menjadi tiga peringkat, aldlarurat, al-hajat dan al-tahsinat12. Pengelompokan ini didasarkan
pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Maqashid aldlaruriyyat (tujuan-tujuan primer) didefinisikan sebagai tujuan
yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat
menghancurkan kehidupan secara total13.
Maqashid al-hajiyyat (tujuan-tujuan sekunder) didefinisikan
sebagai sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempermudah
mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk ke dalam
katagori dlaruriyyat14. Karena fungsinya yang mendukung dan
melengkapi tujuan primer tersebut, maka kehadiran tujuan
sekunder ini dibutuhkan (sebagai terjemahan harfiah dari
hajiyyat), bukan niscaya (sebagai terjemahan langsung dari
dlaruriyyat). Artinya, Jika hal-hal hajiyyat tidak ada, maka
kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi akan terjadi
berbagai kekurang-sempurnaan, bahkan kesulitan.15
Sementara maqashid al-tahsiniyyat (tujuan-tujuan tersier)
didefinisikan sebagai sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya
maupun dibutuhkan, tetapi bersifat akan memperindah (sebagai
terjemahan harfiah dari kata tahsiniyyat) proses perwujudan
kepentingan
dlaruriyyat
dan
hajiyyat.16
Sebaliknya,
ketidakhadirannya tidak akan menghancurkan maupun
11Ibid.,
287.
12Ibid.,289.
13Ibid.,
290
14Ibid.,291
15Ibid.,230
16Ibid.,
292.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
131
Sri Lum’atus Sa’adah
mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa keindahan dan
etika.
Al-Ghazali juga mengklasifikasikan mashlahah dari aspek
adanya legalitas atau tidaknya dari Syari’ (Allah dan Rasul) dalam
tiga katagori: mashlahahmu’aththirah, yaitu kemaslahatan yang
yang dijelaskan secara langsung dalam teks; mashlahah mulghah
(sia-sia) dan gharibah (asing), yaitu kemaslahatan yang
keberadaanya ditolak oleh teks; dan mashlahah mursalah, yaitu
kemaslahatan yang tidak dinyatakan dalam teks secara langsung
namun memilki kesesuaian spirit dengan mashlahah yang
dijelaskan dalam teks17. Satu hal yang perlu ditegaskan di sini,
menurut al-Ghazali, bahwa mashlahah hajiyyah (sekunder) dan
mashlahah tahsiniyyah (tersier) tidak dapat dijadikan landasan
hukum kecuali bila diperkuat oleh ashl (sesuatu yang hukumnya
dijelaskan oleh teks). Dengan demikian, cara kerja mashlahahala alGhazali adalah cara kerja qiyas, sebab bila tidak didukung oleh
syara’ , maka sama saja dengan istihsan.18
Sedangkan mashlahah dlaruriyyah (kepentingan primer,
mendesak) bagi al-Ghazali dapat dijadikan pijakan hukum,
apabila memenuhi syarat-syarat berikut: Pertama, tidak
bertentangan dengan nash qath’i. Bagi al-Ghazali, nash qath’i lebih
kuat dari mashlahah mursalah. Sementara pertentangan (ta’arudl)
yang terjadi antara mashlahah dengan nashdhanni, maka yang
diprioritaskan adalah mashlahah, tanpa menafikan teks sama
sekali. Dengan kata lain, yang berlaku dalam kasus ini adalah
mashlahahmen-takhshish keumuman teks; Kedua, mashlahah yang
bersifat universal (kulliyat), bukan mashlahah yang bersifat juziyyat;
Ketiga, diyakini atau diduga kuat akan benar-benar
mencerminkan kemaslahatan, bukan mashlahah utopis, praduga
atau sangkaan belaka19.
17Ibid.,
310-311.
A. Halil Tahir, Pakaian Perempuan Menurut Muhammad Shahrur: Pendekatan
Maqas{id al Shari’ah, (Disertasi IAIN Sunan Ampel, 2012), 74-75.
19 Ibid 75.
18
132 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
Mashlahahal-Syatibi20 (w. 790 H /1388 H.)
Secara geneologis rancang bangun pemikiran maqashid
bukanlah temuan hal yang baru. Maqashid bukanlah hasil capaian
ulama kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik,
kendati term maqashid secara eksplisit belum ditemukan dalam
kitab-kitab “anggitan” para ulama klasik, hal itu sudah banyak
terangkum dalam pembahasan di term-tern lain misalnya tentang
qiyas.Namun, pembahasannya belum sistematis sebagaimana
yang telah disajikan oleh al-Syatibi. Dalam pembahasannya
tentang mashlahah al-Syatibi lebih sistematis, tertata sehingga
dapat diterima oleh semua kalangan.
Menurut al-Syatibi, Allah menurunkan syari’at (aturan
hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan
menghindari kemadaratan (jalb al- mashalih wa dar’ al- mafasid).
Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang
telah ditentukan Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu
sendiri baik di dunia dan akhirat sekaligus.21 Kemaslahatan
tersebut dapat terwujud, apabila lima unsur pokok berikut
terpenuhi, yakni:pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, dan
harta.22
20Nama
lengkap al-Shatibi adalah Abu Ishaq bin Musa al-Gharnathi, dan
dikenal dengan sebutan al-Syathibi. Nama al-Syatibi berasal dari nama
negeri keluarganya, Syatibah (Xativa atau Jativa).Al-Syatibi dilahirkan di
Granada. Menurut Hamka Haq, sampai saat ini, tanggal kelahiran al-Syatibi
masih mesterius. Pada umumnya orang banyak menyebut tahun wafatnya,
yakni 790 H./1388 M. Namun demikian, dapat diduga kuat, al-Syatibi lahir
dan menghabiskan hidupnya di Granada pada masa kekuasaan Yusuf Abu
al-Hajjaj (1333-1354 M.) dan Sultan Muhammad IV (1354-1391). Nama
Syatibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran ayahnya di Sativa (Syathibah),
sebuah daerah di sebelah timur Andalusia. Pada tahun 1247M, keluarga
Imam al-Syatibi mengungsi ke Granada setelah Sativa, tempat asalnya, jatuh
ke tangan raja Spanyol Uraqun setelah keduanya berperang kurang lebih 9
tahun sejak tahun 1239M. Periksa Abdul Aziz Dahlan et.al (ed),Ensiklopedi
Hukum Islam 5, 1699.
21Ibid.
22 Urutan kelima dlaruriyyat ini bersifat ijtihadi bukan naqly. Artinya. Ia
disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil
dengan cara istiqra’ (induktif). Dalam merangkai kelima dlaruriyyat ini (al-
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
133
Sri Lum’atus Sa’adah
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa serangkaian
aturan yang telah digariskan Allah dalam syari’ah adalah untuk
membawa manusia dalam kondisi baik dan menghindarkannya
dari segala yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak
saja di kehidupan dunia namun juga di akherat. Kata kunci yang
kemudian kerap disebut oleh para sarjana muslim adalah
mashlahah.
Untuk menjaga yang lima sebagaimana yang telah dirinci
al Ghazali tersebut diatas dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:
a. Dari segi adanya (min nahiyyat al-wujud), yaitu dengan cara
menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan
keberadaannya.
b. Dari segi tidak adanya (min nahiyyat al-‘adam), yaitu dengan
cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.23
Urutan kelima dlaruriyyat ini bersifat ijtihadi bukan naqli.
Artinya, ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap
kulliyat al khams) terkadang ada yang yang mendahulukan al nasl dari pada
al-aql, atau ada yang mengakhirkan al-din, dsb. Bagi al- Zarkasyi, urutannya
adalah; al nafs, al mal, al nasab,al din dan al aql.22Sedangkan menurut alAmidi urutannya dalah; al-din, al-nafs, al-nasl, al-aql dan al-mal. Dan
menutut al- Qarafi, urutannya: al-nufus, al-adyan, al- ‘uqul, al-amwal, dan ala’radh. Sementara al- Ghazali urutannya, al-din, al-nafs, al-‘aql al-nasl dan almal. Namun urutan yang dikemukakan al- Ghazali ini adalah urutan yang
paling banyak dipegang para ulama ushul fiqh berikutnya. Cara kerja
kelima dlaruriyyat tersebut harus sesuai dengan urutannya. Periksa,alZarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Kuwait:Wizarat al Auqaf wa al Syu’un al
Islamiyyah, 1993 juz VI), 612, al- Amidi, Al Ahkanm fi Ushul al Ahkam,
(Muassasah al Halaby,1991 Juz IV), 252,Al -Qarafi, Syarh Tanqih al Fushul,
(Maktabah al Kulliyah al Azhariyah, tt), 391, al- Ghazali, al-Mustashfa,
(Beirut: Dar al-Fikr,1997 Juz I), 258
23 Contoh penerapannya sebagai berikut: menjaga agama dari segi al-wujud,
misalnya shalat, zakat. Menjaga dari segi al-‘adam misalnya jihad dan
hukuman bagi pemurtad. Menjaga jiwa dari segi al- wujud, contohnya
makan dan minum, dari segi al -‘adam qishas dan diyat. Menjaga aqal dari
segial-wujud contohnya mencari ilmu, dari segi al-‘adam contonya had bagi
peminum khamar. Menjaga nasl dari segi al-wujud contohnya,nikah, dari
segi al-‘adam contohnyahadbagipezinadanmuqadzif. Menjaga harta dari segi
al- wujud contohnya jual beli dan mencari rezeki, dari segi al- ‘adam
misalnya dilarang riba, had potong tangan bagi pencuri.
134 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
nash yang diambil dengan cara istiqra’ (induktif). Dalam
merangkai kelima dlaruriyyatini (al kulliyat al-khams) terkadang ada
yang mendahulukan al- nasl dari pada al-aql, atau ada yang
mengakhirkan al-din, dsb. Bagi al Zarkasyi, urutannya adalah; alnafs, al- mal, al-nasab,al-din dan al-aql. Sedangkan menurut alAmidi24 urutannya adalah; al- din, al- nafs, al-nasl, al-aql dan al-mal.
Menurut al Qarafi25, urutannya: al-nufus, al- adyan, al-‘uqul, alamwal, dan al a’radh. Sementara menurut al Ghazali26 urutannya, al
din, al nafs, al-‘aql, al-nasl dan al-mal. Urutan yang dikemukakan al
Ghazali ini adalah urutan yang paling banyak dipegang para
ulama ushul fiqh berikutnya. Cara kerja kelima dlaruriyyat
tersebut harus sesuai dengan urutannya.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ulama Malikiyyah dan
Syafi’iyyah mengurut lima hal pokok (al-ushul al-khamsah) dengan
urutan sebagai berikut: agama, jiwa, akal, keturunan, kemudian
harta. Sementara ulama Hanafiyyah mengurutnya dengan urutan:
agama, jiwa, keturunan, akal, kemudian harta27.
Dalam usaha merealisaikan dan memelihara lima unsur
pokok tersebut, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat maqashid,
yaitu28:
a. al-maqashid al-dlaruriyyat (primer, pokok)
b. al-maqashid al-hajiyyat (sekunder, kebutuhan)
c. al-maqashid al-tahsiniyyat (tersier, keindahan).
Klasifikasi mashlahah seperti tersebut di atas dapat
memudahkan pengkaji hukum Islam dalam menganalisis kasus
hukum yang di dalamnya terdapat pertentangan antara beberapa
mashlahah. Ketika yang bertentangan adalah mashlahah yang samasama dalam peringkat dlaruriyyat , maka penyelesaiannya adalah
dengan mendahulukan urutan yang paling tinggi dalam lima
Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam IV, (Muassasah al Halaby,1991 ), 252.
Al-Qarafi,Syarh Tanqih al- Fushul, (Maktabah al Kulliyah al Azhariyah,
tt),391
26 Al-Ghazali, al-Mustashfa I,(Beirut: Dar al- Fikr,1997 ), 258
27 Periksa, Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Vol. 2, (Bairut: Dar alFikr, 1986), 752-753.
28 Al-Syathibi, al-Muwafaqat, Vol. 2…, 6
24
25
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
135
Sri Lum’atus Sa’adah
unsur pokok (al-ushul al-khamsah), dimana peringkat tertinggi
adalah agama, kemudian secara berurutan diikuti dengan jiwa,
akal, keturunan, dan harta.
Mashlahah al-Thufi (675 H/1276 M-. 716 H/ 1316 M.)
Nama lengkap al-Thufiadalah Najm al-Din Abu al-Rabi’
Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa’id al-ThufialSarsari al-Baghdadi al-Hanbali, yang kemudian dikenal dengan alThufi29. Al-Thufi nisbat pada Tawfa, nama desa yang terletak di
daerah Sarsar Irak, dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan.
Disamping tokoh tersebut terkenal dengan namaal-Thufi, juga
popular dengan nama Ibn Abi ‘Abbas.Al-Thufi lahir pada tahun
673 H (1274 M) dan meninggal pada tahun 716 H (1316 M) di
Palestina.30
Al-Thufi mempunyai karya tulis yang banyak sekali. Dari
sekian banyaknya karya al-Thufi, yang paling menonjol dan
menjadi kontroversi adalah tentang konsep mashlahah, yang
terdapat dalamKitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arba’in, sebuah kitab syarh
(penjelasan makna kata dan dan kalimat berikut kandungan)
terhadap kitab Al-Hadits al-Arba’in al-Nawawiyyah.
Dalam kitab tersebut, tepatnya pada penjelasan hadis ke
32, yakni hadisla dlarara wala d}irara (tidak boleh ada bahaya pada
diri sendiri dan tidak boleh pula ada bahaya pada orang lain),alThufi menulis gagasannya tentang mashlahah sebagai dalil mustaqil
(berdiri sendiri) dalam penggalian hukum Islam. Mashlahah
merupakan hujjah yang terkuat yang secara mandiri dapat
digunakan sebagai landasan hukum. Menurutnya, ajaran yang
diturunkan Allah SWT melalui wahyu-Nya dan sunnah
Rasulullah SAW pada intinya adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, dalam segala aspek
persoalan kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan
29Ibn
al-‘Imad, Syadzarat al-Dhahab fi Akhbai Man Dhahab, Vol. 5, (Bairut: alMaktabah al-Tijari, t.th.), 39.
30 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, Terj. Anas Mahyuddin,
(Bandung: Pustaka, 1983), 37-38
136 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
pertimbangan adalah kemaslahatan. Apabila pekerjaan itu sesuai
dengan kemaslahatan, maka harus dikerjakan oleh manusia,31
sebagaimana yang dijelaskan dalam tulisan ini.
Pada dasarnya, sebelum al-Thufi, tidak ada seorang
ulamapun yang menerima mashlahah sebagai dalil hukum
independen (mustaqil), baik para imam madzhab besar, yakni Abu
Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H/767 M), Malik bin Anas
(w. 179 H/795 M), Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w.204 H/819
M), dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M), maupun para
ulama pengikut empat madzhab tersebut.
Pandangan al-Thufi tentang mashlahah sebagaimana
penulis dikemukakan adalah berasal dari pembahasan (syarh})
hadis nomor 32 dari kitabhadisal-Arba’in al-Nawawiyyah.hadis
dimaksud berbunyi:
‫ال ضرر وال ضرار‬
“Tidak boleh merugikan orang lain dan tidak boleh membalas
kerugian dengan kerugian yang lain”.32
Tanpa memperdulikan kuat atau lemahnya rangkaian
periwayatan (sanad) atau otentik tidaknya penisbatan pada Nabi,
al-Thufi memandangnya sebagai representasi yang valid dari
tujuanal-Qur’an untuk melindungi kebaikan dan kemaslahatan
manusia.
Al-Thufi membangun pemikirannya tentang mashlahah
tersebut berdasarkan atas empat prinsip33:
a. Akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui
kebaikan dan keburukan. Hanya saja kemandirian akal untuk
31M.
al Husain al Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran Hukum
Najm al din Al T}ufi, terj. Abdul Basir (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2004),49
32Al-Thufi, Kitab al-Ta’yin, 234. Al-Hadits tersebut terdapat dalam alMuwaththa` nomor 1234, Sunan Ibn Majah nomor 2331 dan 2332. Periksa,
Malik bin Anas, al-Muwaththa`, Vol. 5, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th.),
37. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Vol. 7, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th.), 143.
33 Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam”,
dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof.Dr.H. Munawir Sjadzali
(Jakarta:IPHI dan Paramadina, 1995), 254-257.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
137
Sri Lum’atus Sa’adah
mengetahui baik dan buruk terbatas dalam ranah mu’amalah
dan adat istiadat;
b. Sebagai kelanjutan pendapatnya yang pertama di atas, ia
berpendapat bahwa mashlahah merupakan dalil syar’i mandiri
yang kehujjahannya tidak tergantung pada konfirmasi nash,
tetapi tergantung pada akal semata. Bagi al-Thufi, untuk
menyatakan sesuatu itu mashlahah adalah atas dasar adatistiadat dan eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash;
c. Sebagaimana disebutkan sebelumnya,mashlahah} menjadi dalil
syar’i hanya dalam bidang mu’amalat (hubungan sosial) dan
adat-istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadat dan muqaddarat
(sesuatu yang ukurannya telah ditentukan dalam nash,
mashlahah} tidak dapat dijadikan dalil. Dalam kedua hal ini,
nash danijma’-lah yang harus diikuti.
d. Bagi al-Thufi, secara mutlakmashlahah merupakan dalil syara’
yang paling kuat. Baginya, mashlahah bukan hanya hujjah
semata ketika tidak terdapat nash dan ijma’, melainkan ia harus
didahulukan atas nash dan ijma’ ketika terjadi pertentangan
antara keduanya dengan cara takhshish dan bayan.
Mengutamakan dan mendahulukan mashlahah atas nash berlaku
dalam seluruh karakteristiknya; baik qath’i dalam sanad dan
matan-nya ataupun dhanni.
Berdasarkan keempat asas ini, al-Thufi menyusun tiga
argument dalam mendahulukan mashlahah atas nash dan ijma’
sebagaimana berikut:34
a. Kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum diperselisihkan di
kalangan ulama’. Sementara mashlahah telah disepakati,
termasuk oleh mereka yang menentang ijma’. Ini berarti bahwa
mendahulukan sesuatu yang disepakati (mashlahah) atas hal
yang diperselisihkan (ijma’) adalah lebih utama35.
b. Nash mengandung banyak pertentangan, dan hal inilah salah
satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Sedangkan
memelihara mashlahah merupakan sesuatu yang disepakati;
34Ibid.
35Ibid.
138 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
c. Terdapat nash dalam Sunnah yang ditentang oleh mashlahah,
seperti sikap sahabat Umar yang melarang menyampaikan alHadits Nabi tentang “garansi” masuk surga bagi orang yang
mengucapkan kalimah tauhid. Larangan itu didasarkan pada
kemaslahatan umat Islam, yaitu kekhawatiran sahabat Umar
terhadap sikap bermalas-malas untuk beramal dengan dasar
al-Hadits tersebut.36
Sementara dalam ranah mu’amalah,
menurut al-Thufi, yang dijadikan pedoman istidlal adalah
mashlahah. Mashlahahdan dalil-dalil hukum yang lain seperti
nash, ijma’ dan qiyas, dalam melihat hukum sesuatu ada dua
kemungkinan: sama atau berbeda. Dalam mengaplikasikan
dua kemungkinan ini al-Thufi menawarkan langkah-langkah
istidlal sebagaimana berikut37:
Jika mashlahah dan dalil-dalil hukum yang lain sama dalam
menetapkan hukum, maka tidak ada masalah dan baik sekali,
seperti sepakatnya nash, ijma’ dan mashlahah dalam menetapkan
lima hukum yang bersifat mendesak (dlaruri), yakni: qisas
terhadap pembunuh, membunuh orang murtad, memotong
tangan pencuri, had penuduh zina (qadzif), dan had terhadap
peminum khamar.38
Apabila mashlahah dan dalil hukum lainnya berbeda, maka
diupayakan untuk mengkompromikan antara keduanya (al-jam’u
bainahuma), misalnya dengan membawa sebagian dalil pada
sebagian hukum, tidak pada yang lain, selagi tidak menabrak
mashlahah dan tidak mempermainkan dalil. Tetapi apabila
melakukan kompromi tidak memungkinkan, maka yang harus
didahulukan dari dalil lain adalah mashlahah, sebagaimana pesan
Nabi dalam haditsnya: la dlarara wa la dlirara. Makna al-Hadits ini,
menurut al-Thufi, khusus dimaksudkan untuk menghilangkan
mafsadat (kerusakan) dan memelihara mashlahah yang menjadi
tujuan utama syara’. Sedangkan dalil-dalil lainnya tidak ubahnya
sebagaimana sarana (wasail). Oleh karena itu, tujuan harus
36Ibid.
37
Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Reaktualisasi, 277.
227
38Ibid.,
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
139
Sri Lum’atus Sa’adah
diutamakan dari pada sarana.39 Bila langkah kompromi tidak
memungkinkan, maka yang diprioritaskan adalah mashlahah yang
paling urgen, atau dengan cara diundi apabila dari sekian
mashlahah sama-sama pentingnya40.
Suatu kasus hukum yang di dalamnya hanya ada unsur
mafsadat, maka mafsadat tersebut dihindari, dan membuang
seluruh mafsadat kalau memang terdapat beberapa mafsadat dan
memungkinkan untuk menghindari semuanya. Bila langkah
tersebut tidak mungkin dilakukan, maka cukup mengerjakan
yang mungkin saja. Ketika tingkat mafsadat-nya tidak sama, maka
yang dihindari adalah mafsadat yang lebih berat (irtikab akhaf aldlararayn). Tapi bila kadar mafsadah-nya sama, makaharus memilih
salah satu atau dengan cara diundi untuk menghindari tuhmah
(prasangka buruk)41.
Maqashid al-syari‘ah Dalam Hukum Kewarisan Islam
Sebagaimana telah dijelaskan pada bahasan maqashid alsyari‘ah, bahwa pada dasarnya ajaran Islam,tentu juga tentang
pembagian
warisdimaksudkan
untuk
mendatangkan
kemaslahatan dan sekaligus menolak kemafsadatan bagi
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kemaslahatan dalam maqashid al-syari‘ah mencakup lima hal
pokok (al-ushul al-khamsah), yakni: perlindungan terhadap agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Masing-masing dari lima hal
pokok tersebut mempunyai peringkat dlaruriyyat (primer, pokok),
hajiyyat (sekunder, kebutuhan), dan tahsiniyyat (tersier,
keindahan).42
39Ibid.
40Ibid.
41Ibid.,
279.
Pembagian mashlahah dengan tiga katagori: dlaruriyyat, hajiyyat dan
tahsiniyyat dalam lima hal pokok tersebut adalah perspektif al-Ghazali dan
al-Syatibi. Sedangkan bagi al-Thufi, mashlahah bersifat mutlak, tanpa batas.
Kekuatannya berkisar pada katagori: rajih/qawiy dan arjah/aqwa, dan
mencakup masalahah dunyawiyyah dan mashlahah ukhrawiyyah
42
140 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
Sejauh penelusuran penulis dalam beberapa literatur,
belum didapati pembahasan maqashid al-syari‘ah pembagian
warisyang sistematika pembahasannya mengikuti sistematika
maqashid al-syari‘ah al-Ghazali dan al-Syatibi, khususnya dalam
mengklasifikasikan mashlahah pada tiga ranah dlaruriyyat, hajiyyat,
dan tahsiniyyat. Namun demikian, penjelasan tentang maqashid alsyari‘ah tentang pembagian waris tersebut masih dapat
dicarikanrujukan dalam ranah perlindungan lima hal pokok (alushul al-khamsah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta., melalui
hikmah dari pembagian waris Islam.
Hikmah pembagian waris berdasarkan hukum Islam
adalah:
a. Islam mendudukkan anak bersamaan dengan orang tua
pewaris serentak sebagai ahli waris. Dalam sistem kewarisan
di luar Islam, orang tua dimungkinkan mendapat hak warisan
kalau pewaris meninggal dengan tidak meninggalkan
keturunan. Suami istri mendapat hak saling mewarisi. Hal ini
bertentangan dengan tradisi Arab jahiliyah yang menjadikan
istri sebagai harta warisan.
b. Memelihara keutuhan keluarga. Pembagian warisan berkaitan
langsung dengan harta benda, apabila tidak diberikan
berdasarkan ketentuan-ketentuan (rincian bagian) sangat
mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris. Hal ini
dikarenakan secara fitrah manusia itu sangat senang terhadap
harta.
c. Sebagai sarana untuk mencegah kesengsaraan atau
kemiskinan ahli waris. Hal ini terlihat bahwa dalam sistem
kewarisan Islam memberi bagian sebanyak mungkin kepada
ahli waris dan kerabat.Harta warisan bukan saja terhadap
anak-anak pewaris, tetapi orang tua, suami-istri, saudarasaudara, cucu bahkan kakek dan nenek.
d. Sebagai sarana pencegahan dari kemungkinan penimbunan
harta kekayaaan pada seseorang. Dengan dirincinya aturan
tentang pembagian waris, diharapkan tiap ahli waris
mendapatkan hak yang semestinya secara proporsional.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
141
Sri Lum’atus Sa’adah
e. Mewujudkan kemaslahatan anggota keluarga dalam hidup
bermasyarakat. Hal ini dikarenakan pembagian waris dalam
Islam tidak hanya ditunjukkan kepada seseorang tertentu dari
keluarga tanpa memberi kepada anggota keluarga lain dan
tidak pula diserahkan kepada Negara.43
Berdasarkan hikmah pembagian waris tersebut, dapat
ditarik ke ranah maqashid al-syari‘ah sebagai berikut:
a. Untuk menjalankan syari’at Islam. Dengan melaksanakan
ketentuan Allah tentang pembagian waris merupakan simbol
ketundukan seorang hamba terhadap Tuhannya. Hal ini
sebagaimana telah disebutkan dalam QS al-Nisa ayat 13,
artinya:
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah. Orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang
mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar”.
b. Untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga. Dengan
membagi harta peninggalan dengan sistem kewarisan Islam,
diharapkan tidak lagi ada perpecahan antara keluarga
dikarenakan memperebutkan bagian-bagiannya. Hal ini secara
rinci telah disebutkan dalam al-Qur’an khususnya surat al-Nisa
ayat 11 dan 12.
c. Memberi jaminan terhadap ahli waris, dapat hidup
berkecukupan, setelah ditinggalkan oleh si pewaris.
d. Untuk memelihara harta, khususnya berkaitan dengan
pendistribusian harta. Dengan sistem waris Islam, diharapkan
tidak ada penimbunan harta bagi sesorang. Harta dapat
didistribusikan secara adil kepada seluruh ahli waris.
Mencermati fungsi atau hikmah pembagian waris tersebut
di atas, maka maqashid al-syari‘ahpembagian waris, lebih
didominasi perlindungan terhadap keturunan (hifdh al-nasl) dari
43Muhammad
Syah Ismail, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara,
1992), 235.
142 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
pada perlindungan terhadap harta (hifdh al-mal), itupun tidak ada
yang menempati pada peringkat dlaruriyyat (primer), melainkan
semuan berada pada peringkat hajiyyat (sekunder) atau tahsiniyyat
(tersier). Hal ini seperti yang digambarkan dalam tabel fungsi
pembagian waris kaitannya dengan maqashid al-syari‘ah berikut ini:
Tabel 3.4
Pembagian Waris Islam
Dan Kaitannya Dengan maqashid al-syari‘ah
No.
1
2
3
Fungsi/hikmah
pembagian waris
Aspek Mas}lah}ah
yang Dilindungi
Peringkat
Mas}lah}ah
Simbol ketundukan Hifdh al-din
(perlindungan
kepada Allah
terhadap agama)
Hajiyyat/
dalam pelaksanaan
Tahsiniyyat
hukum waris
Sebagai sarana
Perlindungan terhadap
menjaga keutuhan keturunan (hifdh al
keluarga
nasl)
______
Sebagai sarana
Perlindungan terhadap
pendistribusian
harta (hifdh al mal)
harta secara adil
Uraian tentang hikmah pembagian waris di atas,
dapat kita pahami bahwa mashlahah yang ingin dilindungi adalah
perlindungan akan eksistensi agama (hifdh al-din),keturunan (hifdh
al-nasl) dan juga perlindungan harta(hifdh al mal) yang semuanya
berada pada peringkat sekunder (hajiyyat) atau tersier(tahsiniyyat).
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
143
Sri Lum’atus Sa’adah
Kesimpulan
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan beberapa
hal:
1. Tujuan utama dari pensyari’atan hukum yang telah ditetapkan
Allah SWT adalah untuk merealisasikan kemaslahatan
manusia, yakni dengan memenuhi semua kebutuhannya baik
yang bersifat primer (dlaruriyyat), kebutuhan sekunder
(hajiyyat), maupun kebutuhan tersier (tahsiniyyatt).
2. Tujuan utama, fungsi,dan hikmah pembagian waris, lebih
didominasi perlindungan terhadap keturunan (hifdh al-nasl)
dari pada perlindungan terhadap harta (hifdh al-mal), itupun
tidak ada yang menempati pada peringkat dlaruriyyat (primer),
melainkan semuanyaberada pada peringkat hajiyyat (sekunder)
atau tahsiniyyat (tersier).
144 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam
Daftar Pustaka
Al-Amidi, Al- Ahkam fi Ushul al Ahkam, (Muassasah al
Halaby,1991).
Al-Amiri, M. al Husain, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam:
Pemikiran Hukum Najm al-Din al- Thufi, terj. Abdul Basir
(Jakarta, Gaya Media Pratama, 2004).
Al-Buthi,
Said
Ramadhan,
Dlawabith
alMashlahah,(Beirut:Muassasah al Risalah, tt).
Al-Ghazali, al- Mustashfa I,i(Beirut: Dar al- Fikr,1997).
Al-Qarafi, Syarh Tanqih al Fushul, (Maktabah al Kulliyah al
Azhariyah, tt).
Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Kuwait:Wizarat al Auqaf wa al
Syu’un al Islamiyyah, 1993).
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Vol. 2, (Bairut: Dar alFikr, 1986).
Anas, Malik bin, al-Muwaththa`, Vol. 5, (Bairut: Dar al-Kitab al‘Arabi, t.th).
Dahlan, Abdul Aziz et. al ed , EnsiklopediHukumIslam 4 (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).
Hosen, Ibrahim, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum
Islam”, dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 tahun
Prof.Dr.H.
Munawir
Sjadzali
(Jakarta:IPHI
dan
Paramadina, 1995).
Ibn al-‘Imad, Syadzrat al-Dzahab fi Akhbai Man Dzahab, Vol. 5,
(Bairut: al-Maktabah al-Tijari, t.th).
Ismail,Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bina
Aksara, 1992).
Khalaf ,Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait:Dar Al Millah,
1978).
Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, Terj. Anas
Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983).
Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, Vol. 7, (Bairut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, t.th).
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
145
Sri Lum’atus Sa’adah
Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawwir:Kamus ArabIndonesia,(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).
Tahir, A. Halil, Pakaian Perempuan Menurut Muhammad Shahrur:
Pendekatan Maqas{id al Shari’ah, (Disertasi IAIN Sunan
Ampel, 2012).
146 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Download