Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… MAQASHID AL-SYARI’AH BASED IJTIHAD DALAM CONTEMPORARY ISLAMIC LAW Oleh: Ishaq Abstrak Persoalan seperti; status kerja seorang muslim di Pabrik minuman keras, wanita karir muslimah, konversi agama suamiistri, dan persoalan gerder adalah sebagian persoalan muslim yang jelas-jelas akan melahirkan dampak negatif jika hanya mengikuti makna-makna implikasi tekstual (dhilalatu al-nash). Melalui pendekatan Maqashid al-Syari’ah, para ahli hukum Islam berupaya untuk mengembangkan model ijtihad yang tidak hanya tunduk dan patuh terhadap tuntutan redaksional teks, tetapi juga mampu melahirkan norma fikih yang betul-betul membawa dampak positif bagi kehidupan muslim. Karenanya Patut diakui bahwa hadirnya kerja Ijtihadiyah berbasiskan Maqashid ini telah memberikan kontribusi penting- sekaligus harapan baru bagi terciptanya hukum Islam yang kontekstual, karena- sebagaimana dinyatakan Abd A’la- Maqashid Al-Syari’ah hakekatnya merupakan moral yang harus dilabuhkan dalam kehidupan. Dalam konteks ini, Maqashid Al-Syari’ah-base Ijtihad –melalui moralitas ini diyakini mampu menyatukan kembali hukum Islam yang telah tereduksi oleh sejumlah kepentingan. Kata Kunci : Maqashid Al-Syari’ah, Mashlahah, Maqashid al-Syari’ahbased Ijtihad, Tarjih Maqashidi Pendahuluan Salah satu issu penting yang banyak mewarnai wacana hukum Islam dikalangan intelektual Muslim kontemporer adalah menyangkut topik Maqashid al-Syari’ah-based Ijtihad . Agenda utama yang dipersoalkan adalah bagaimana cara mengkostruks model ijtihad yang tidak lagi hanya berorientasi pada sisi ketuhanan semata (God-oriented dan text-oriented), tetapi juga bagaimana hukum Islam bisa benar-benar hadir sebagai rahmatan lil’alamin yang mampu berkolaborasi dan memberikan dampak positif bagi realitas kehidupan muslim. Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 1 Ishaq Topik Maqashid al-Syari’ah-based Ijtihad kembali menghangat setelah banyak persoalan problematik dalam kehidupan muslim saat ini. Persoalan seperti; status kerja seorang muslim di Pabrik minuman keras, wanita karir muslimah, konversi agama suami-istri, dan persoalan gerder adalah sebagian persoalan muslim yang jelas-jelas akan melahirkan dampak negatif jika hanya mengikuti maknamakna implikasi tekstual (dhilalatu al-nash). Melalui pendekatan Maqashid al-Syari’ah, para ahli hukum Islam berupaya untuk mengembangkan model ijtihad yang tidak hanya tunduk dan patuh terhadap tuntutan redaksional teks, tetapi juga mampu melahirkan norma fikih yang betul-betul membawa dampak positif bagi kehidupan muslim. Pada masa klasik, persoalan-persoalan delematis seperti ini bukan berarti belum muncul sama sekali- sehingga tidak ada iniatif dari mereka untuk menjadikan Maqashid al-Syari’ah sebagai model ataupun kerangka kerja tersendiri. Persoalannya adalah terletak pada keraguan mereka tentang kemampuan rasio untuk melacak maksud al-syari’- sebagaimana juga pernah terjadi pada konsep taqdim al-Mashlahah al-Thufi.1 Walaupun proyek percontohannya telah digagas oleh Ibnu Umar, namun mereka tatap bersikukuh untuk meyakini bahwa implikasi-implikasi tekstual-lah yang dianggap sebagai informan Maksud Al-Syari’ paling meyakinkan.2 Keyakinan ini menjadi semakin mengakar karena adanya perasaan bersalah pada tuhan dan rasa inferior berlebihan yang disinyalir sebagai bentukan sejarah dan idiologi kepentingan. Bahkan mereka masih meragukan kebenaran konsep ushul al-khamsah, benarkah Maksud tuhan itu hanya lima, bukankah konsep ini bisa dikembangkan bahkan dikerucutkan menjadi satu, yaitu sebuah keadilan dan kemakmuran. Bukankah rumusan ini juga sebagai hasil kerja akal terhadap makna keseluruhan nah- sebagaimana juga terjadi pada rumusan teks kebahasaan ushul fiqhi klasik ? 2 Mereka lebih memahami kerja ijtihad Ibnu Umar sebagai kondisi dlarurah, bukan karena tidak adanya illat ataupun Mashlahah. Mashlahat hasil kerja induktif, menurut mereka hanyalah makna kulli yang terdapat dalam juziyatnya, sehingga memperhitungkan hakikat maslahah berdasar penunjukan dalil dianggap kerja paling tepat. Apa yang dikatakan baik oleh agama (melalui dalil Syâri’at) adalah baik tanpa harus ada konfirmasi akal. Lihat Ali Mahfuzh, hlm. 130. 1 2 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… Tidak ada cara lain kecuali menjadi tugas para Maqasidiyyun untuk memberikan keyakinan baru, sekaligus mengkonstruks tatakerja operasioanal Maqashid al-Syari’ah-based Ijtihad (Ijtihad Isthiqra’i) yang meyakinkan- setara dengan keyakinan terhadap model Ijtihad Isthimbaty (mainstreem). Penafian terhadap upaya pembentukan kerja Ijtihad Isthiqra’i ini berarti membiarkan kaum muslimin berada dalam posisi delematis antara ancaman menentang dalil nash dengan menerima dampak negatif dalam kehidupannya. Hadirnya Maqasidiyyun yang memposisikan Islam sebagai model for reality yang bersifat universal- telah menggeser wajah hukum islam menjadi agama kehidupan untuk kemashlahatan riil bagi umat manusia. Dalam kerangka inilah, Maqashid al-Syari’ah mesti dikembangkan- dari yang hanya difahami sebagai “konsep nilai“ menuju sebuah pendekatan dan landasan kerja Ijtihad yang aplikatif (Ijtihad- Based Maqashid al-Syari’ah). Kontruski ini mereka bangun sedemikian rupa- sehingga memberikan keyakinan akan validitas dan obyektivitas pelacakan Mashlahahnya. Konstruksi metodologis Maqashid al-Syari’ah- Based Ijtihad yang dilakukan oleh Maqasidiyyun- telah memberikan harapan baru bagi perkembangan metodologi hukum Islam, karena kemampuannya dalam melakukan perubahan paradigmatik-epistimologis. Sebuah pergeseran dari sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu- sebagai akibat dari anggapan subyektifitas dan relatifitasnyanya dalam penentuan kadar mashlahah menjadi sebuah kontruksi yang (dalam perspektif maqasidiyyun) dapat memberikan keyakinan yang pasti, bahkan lebih meyakinkan dari implikasi tekstual yang berstatus qath’iu al-dilalah. Hal demikian karena kerja Ijtihad- Based Maqashid ini- menurut Jasser Audah harus difahami dari perspektif Sistem. Perspektif ini akan mengantarkan mujtahid pada kesimpulan pertama, bahwa validitas hasil kerja Ijtihad- Based Maqashid sangat tergantung pada kemampuan menangkap “essensi“ seluruh sistem kerja ijtihad- baik klasik maupun kontemporer . Kedua, bahwa sesungguhnya keyakinan dan ke-Qahat’ian suatu dalil dalam perspektif Ijtihad- Based Maqashid adalah diukur dari sisi kemenyeluruhannya, bukan dalil parsialnya. Artinya, Sejauh mana sesungguhnya fakta-fakta eksteren yang bisa digunakan untuk meyakinkan kekuatan dalil tersebut. Itulah sebanya, kerja IjtihadBased Maqashid tidak pernah membuang metodologi hukum Islam (manhaj) yang pernah dimiliki umat Islam klasik, tetapi Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 3 Ishaq mengembangkannya dan mensinergiskanya dengan kemaslahatan riil umat Islam . Makalah ini, dengan segala kekurangannya akan menggambarkan proses pergeseran Maqashid Al-Syari’ah dari konsep nilai menuju sebuah pendekatan yang aplikatif tersebut sehingga memberikan keyakinan setara dengan keyakinan terhadap konsep Qath’iyu al-dilalah- berikut contoh kasus- bagaimana proses kerja Maqashid Al-Syari’ah- based Ijtihadiyah ini diaplikasikan. Maqashid Al-Syari’ah 1. Pengertian dan Sejarah perkembangan Maqashid Al-Syari’ah Secara etimologis istilah Maqashid Al-Syari’ah merupakan gabungan dari dua kata Arab yaitu Maqashid dan Al-Syari’ah- yang secara sederhana bermakna “maksud, makna atau tujuan“ diundangkannya syari’at (aturan Islam). Istilah ini kemudian menjadi istilah baku bagi sebuah konsep tentang bagaimana seharusnya hukum Islam dikembangkan dengan berbasiskan tujuan-tujuan syari’ah- sehingga hukum Islam benar-benar sesuai dengan Maqsud al-Syari’ tampa harus menafikan nilai Rahmatan Lil’alamin-nya. Sebagai sebuah konsep, makna Maqashid Al-Syari’ah ini berkembang dari makna yang hanya sebatas mengikuti arti kebahasaannya sampai pada pemaknaan yang merujuk pada sebuah konsep nilai, bahkan kemudian berkembang pada pemaknaan yang merujuk pada makna Maqashid Al-Syari’ah sebagai pendekatan dan basis Ijtihad (Maqashid Al-Syari’ah based Ijtihad). Dari beberapa variasi devinisi2 yang pernah dikemukakan oleh para ahli hukum Islam awal (klasik) menunjukkan bahwa persoalan Maqashid Al-Syari’ah sangat terkait erat dengan masalah hikmah, illat, tujuan dan kemaslahatan sebagai tujuan akhir yang harus terealisasikan dalam setiap proses penetapan maupun pelaksanaan hukum Islam.3 Pelacakan dan per-timbangan maksudmaksud Syâri’ dalam proses ijtihad ini- menurut Maqasidiyyun Ahmad Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas, Fiqh aqalliyat dan Evolusi Maqashis alSyari’ah dari Konsep Ke Pendekatan, (Yogyakarta:LKiS Printing Cemerlang , 2010) hal. 181 3 4 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… tidak bisa dianggap sebagai bentuk pengurangan terhadap kepatuhan kepada Tuhan-sebagaimana yang dituduhkan para penentang Maqashid, karena konsep ini diproyeksikan justru dalam rangka untuk melihat sesuai dan tidaknya perbuatan mukallaf pada maksud Tuhan (mashlahah) yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah (metodologis-rasional). Pertimbangan kemaslahatan inilah yang kemudian selalu dituntut dalam setiap proses ijtihad maupun produk ketentuanketentuan hukum Islam berbasiskan Maqashid Al-Syari’ah. Tujuannya adalah agar ketentuan hukum Islam tidak hanya sebatas jawaban akhir, tetapi sebagai upaya untuk me-realisasikan sebuah kemashlahatan.4 Dalam kerangka inilah- Al-Subqi menjadikan penguasaan Maqashid Al-Syari’ah secara sempurna sebagai salah satu persyaratan bagi seorang mujtahid.5 Karena Maqashid AlSyari’ah bukan hanya sebagai misi kerasulan Nabi, tetapi juga karena eksisitensinya menjadi visi pokok dari seluruh pesan alQur’an. Hanya saja, pemaknaan Maqashid Al-Syari’ah pada masa klasik terutama sebelum al-Ghazali - belum menampilkan Maqashid AlSyari’ah sebagai makna koseptual yang utuh -apalagi menjadi sebuah pengertian operasional yang kemudian bisa dijadikan sebagai basis dalam ber-ijtihad. 6 Ini artinya, bahwa konsep Maqashid Al-Syari’ah pada masa ini masih berada dalam kisaran ranah konsep nilai- belum terkonstruksi dalam sebuah bentuk kerja Ijtihadiyah hirarkis yang dapat di-oprasionalkan sebagai upaya untuk menghubungkan antara tuhan (sebagai pemilik maksud) Muhammad Said Romdhon (selanjutnya Romdhon), Dhawabit al-mashlahah fi al-Syâri’ah al-Islamiyah, al-Risalah, Beirut, tt, hlm. 66 5 Abir bin Muhammad al-Syufyani (selanjutnya al-Stufyani), Ma’lim Thariqah al –Salafi fiUshul al-Fiqh, Maktabah al-Manarah, Makkah, tt., hlm. 232. 6 Terdapat banyak devinisi yang telah dikemukakan para Maqashidiyyun, alGhazali mndivinisikannya dengan “menjaga kemashlahatan yang lima meliputi agama ,jiwa, akal, keturunan dan harta”. Al-Amidi mendivinisikan Maqashid AlSyari’ah adalah mendatangkan kemashlahatan atau menolak kemudharatan tau kombinasi antara keduanya. Sedangkan Izzuddin Abdussalam mendevinisikan dengan “mendatangkan kemashlahatan dan menolak kemafsdatan atau sebaliknya”. Sedangkan Nuruddin Mukhtar Khadimi mendevinisikannya dengan sebuah “makna,tujuan yang terkandung dalam tujuan syari’at dan dalildalilnya”. (Lihat Nuruddin Khadimi, ‘Ilmu al-Ushul, hal 414 4 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 5 Ishaq dengan af’al al-mukallifin. Baru kemudian- Maqashid Al-Syari’ah menjadi sebuah konsep yang tersusun secara hirarkis dan memungkinkan untuk dioprasionalkan setelah masa Imam Abu Ishaq al-Syathiby. Peran yang dilakukan ternyata tidak hanya menjabarkan definisi dan konsep nilai Maqashid Al-Syari’ah secara lebih sempurna, tetapi alSyathiby telah mampu menampilkan landasan pola pikir dalam berijtihad dengan berbasiskan Maqashid Al-Syari’ah.7 Bahkan, ia disebut-sebut sebagai orang yang telah berperan dalam menggeser posisi Maqashid Al-Syari’ah yang tidak jelas menjadi hal yang mendasar dalam hukum karena kemampuannya mengantarkan posisi Maqashid Al-Syari’ah dari sebatas peran hikmah hukum menjadi dasar dalam penetapan hukum. Dengan argumen rasionalnya ia juga dianggap mampu mengeser posisi Maqashid AlSyari’ah yang bersifat dzanni menjadi sesustu yang bersifat qath’i.8 Kejelasan konsep Maqashid Al-Syari’ah ini tergambar dari penjelasan-penjelasan al-Syathiby yang menganggap bahwa seluruh beban Syari’ah harus diorientasikan pada kepentingan penjagaan kemashlahatan manusia di dunia dan diakhirat. Baik untuk penjagaan hal yang masuk katagori primer (daruriat/ maqasid al-Ula), maupun yang masuk katagori hajiat (sekunder/ maqasid alstnawiyah) dan tahsiniat (tersier/ maqasid al-tawabi’ah). Dengan demikian, seluruh aktifitas manusia harus berada dalam kerangka Maksud Syâri’ tersebut. Pertimbangan mashlahah ini menjadi penting karena tanpa terpeliharanya ketiga hal tersebut kebahagiaan manusia baik di dunia maupun akhirat- tidak akan pernah terperoleh.9 Sayangnya, per-kembangan konsep Maqashid Al-Syari’ah setelah sempat terkonstruks ini menjadi terhenti (buntu) sekitar enam abad sampai datangnya Muhammad Thahir Ibnu Asyur yang menjadikan Maqashid Al-Syari’ah sebagai kajian disiplin keilmuan yang mandiri. Berkat kreativitas intelektual Ibnu Asyur inilah pemaknaan konsep Maqashid Al-Syari’ah menjadi lebih konkrit dan operasional. Dalam konteks ini, Maqashid Al-Syari’ah mulai diartikan sebagai kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh alSyari’ untuk mewujudkan kemashlahatan kehidupan manusia Imam Mawardi, Fiqh Minoritas hal.187 Ibid, Ahmad Mawardi, hal. 196 9 Romdhon, op.cit., hlm. 121; 7 8 6 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… maupun kemashlahatan umum . Pada prinsipnya, sepanjang perjalanan hukum Islam, para ahli Ushul sepakat untuk memposisikan Maqashid Al-Syari’ah ini sebagai tujuan akhir yang harus terealisasi dalam pelaksanaan syari’at, baik dalam konteks Maqashid Al-Syari’ah al-’ammah maupun Maqashid Al-Syari’ah al-khassh sebagaimana tercover dalam masing-masing qadliyah hukum Islam. Sebagai tujuan akhir diaplikasikannya syari’at, Maqashid Al-Syari’ah inipun-kemudian dijadikan sebagai indikator utama dari validitas atau tidaknya penetapan ketentuan hukum. Hanya saja, karena kurangnya pemahaman terhadap konsep Maqashid Al-Syari’ah- ulama klasik menurut al-Syathby cenderung menge-nyampingkan posisi strategis konsep ini dalam ranah ijtihad. Mereka justru memposisikan bahkan mengungkungnya dalam domain filsafat yang tidak bisa bersentuhan langsung dengan proses Isthimbat hukum Islam.10 Tampilnya formulasi dan kerangka kerja teoritis Maqashid AlSyari’ah merupakan wujud kesadaran akademis al-Syathiby untuk mengembalikan vitalitas hukum Islam yang senyatanya mampu berdialog dengan tuntutan realitas sosial- yang kemudian terhenti setelah mengalami berbagai distorsi dalam perjalanan sejarahnya. Begitu juga halnya dengan Ibnu Asyur yang tidak lagi menganggap Maqashid Al-Syari’ah hanya sebagai konsepsi nilai yang perannya sebatas pembungkus fikih dan Ushul fiqih, tetapi mengangkat posisinya dan mengioptimal-kannya menjadi sebuah pendekatan dan pertimbangan utama dalam setiap proses Ijtihadiyah. Dan akhirnya, Maqashid Al-Syari’ah ini dipandang sebagai hal yang substansial dan harus eksis dalam setiap proses ijtihadiyah-11 sebagaimana yang menjadi keharusan dalam pendekatan sistem dalam penetapan hukum Islam (system aproacch) yang digagas oleh Jasser Audah. Dalam konteks ini Jasser Audah mengembangkan Maqashid AlSyari’ah dari yang hanya berdasar klasifikasi “cakupan“ berkembang pada “klasifikasi kebutuhan“, sehingga muncul klasifikasi Mashlahah ’ammah (general Maqashid), Khassah (Spesific 10 11 Lihat Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas hal 186-195. Ibid, Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas hal 186-195 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 7 Ishaq Maqashid) dan Juziyah“(pastial Maqashid) 12 2. Tata Kerja Pendekatan Maqashid Al-Syari’ah dalam proses Ijtihadiyah (Maqashid- Based Ijtihad) a. Metode Pelacakan Maqashid Al-Syari’ah Para pendukung Maqashid Al-Syari’ah sepakat bahwa setiap ketentuan syari’at apapun dan bagaimanapun bentuknya pasti mengandung maksud dan tujuan, yang semuanya bermuara pada terciptanya kemashlahatan manusia serta menghilangkan kemafsadatan yang mungkin ditimbulkan. Berangkat dari pemikiran inilah, maka Jasser Audah memberikan sejumlah alasan mengapa Maqashid Al-Syari’ah menjadi keharusan untuk dijadikan sebagai metode dalam berijtihad. Pertama, memang ada bukti (dasar) yang membolehkan fahmu al-dilalah al-maqashid , seperti yang dibuktikan oleh Hadist Quraidzah. Kedua, fakta tentang berubahnya fatwa karena berubahnya Maqashid Al-Syari’ah (Taghayyuru al-Ahkam Hasba Maqashid Al-Syari’ah). Ketiga, adanya bukti kebolehan tarjih melalui Maqashid Al-Syari’ah, sebagaimana yang tunjukkan Hadist Nabi tentang perubahan Hukum ziarah kubur. Keempat, karena dilarangnya sarana hilah seperti kasus muhallil dan Muhallil lahu sebagai salah satu cara dalam Ushul fiqih.13 Persoalannya adalah bagaimana cara untuk membidik mashlahah yang umumnya bersifat nisbi (relatif) ini- menjadi lebih obyektif dan realistis- sehingga mengakomudir mahslahah kandangan teks dan mashlahah riil sekaligus. Para ahli Maqashid memberikan cara melalui empat media- yang menurut maqasidiyyun bisa menghilangkan kenisbian dan subyektifitas dalam pelacakannya, yaitu melalui penegasan al-Qur’an, penegasan al-Hadist serta melalui kerja istiqra’ (riset Induktif), dan melalui kerja logika dan penalaran (al-ma’qul).14 Ini artinya, bahwa disamping melalui penegasan al-Qur’an dan al-Hadist secara tegas (eksplisit), Maqashid Al-Syari’ah seringkali juga dibiarkan secara implisit, Jasser Audah, Fiqhu al-Maqashid:Inatat al-Ahkam al-Syari’ah, London: III T 2006 hal. 5. Lihat Juga Jasser Audah Maqashid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law. A Sitems Aproach . London: III T. 2007 hal. 13 Jasser Audah, Fiqhu al-Maqashid, Inatat al-Ahkan al-Syar’iyyah bi Maqashidina, hal. 45- 55 14 Ibid. Imam Mawardi, hal 12 8 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… bahkan tidak dinyatakan sama sekali. Disinilah, kewajiban seorang mujtahid untuk melakukan penelitian untuk menemukan illat atau tujuan hukum yang akan kelak dijadikan sebagai landasan penetapan hukum. Dalam konteks ini, ada dua cara penelitian yang bisa dilakukan seorang peneliti, yaitu pertama melakukan penelitian terhadap hukum-hukum yang telah diketahui Illatnya melalui metode Masalik Illat dalam kerangka penetapan illat yang pastisebagaimana yang terjadi dalam qiyas. Cara ini merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan dan menetapkan illat hukum. Sementara cara yang kedua adalah dengan melakukan penelitian (research) terhadap dalil-dalil yang kemungkinan memiliki illat yang sama. Penelitian dilakukan dalam kerangka penyelidikan untuk menetapkan illat yang benar-benar diikehendaki oleh al-Syari’. Jika ulama terdahulu mengaplikasikan media pelacakan Maqashid Al-Syari’ah dengan skala prioritas, maka ulama Maqasiddyun seperti Ibnu Asyur menempatkan metode istiqra’ sebagai metode yang paling utama. Dengan demikian kerja Ijtihad Maqashid ini- disamping menuntut penguasaan mujtahid terhadap rumusan dan kaidah Ushul fiqih klasik, kerja ini juga menuntut penguasaan terhadap ilmu-ilmu bantu bagaimana kemashlahatan bisa tercover secara nyata dan obyektif sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki. Sudah barang tentu tujuan akhir dari seluruh proses kerja Ijtihadiyah ini harus berujung pada kepentingan umum. b. Tata kerja dan kaidah-kaidah berfikir Maqashid- Based Ijtihad Sedangkan menyangkut tata kerja dan kaidah-kaidah berfikir yang harus dilakukan oleh seseorang dalam kerja ijtihadiyah berbasiskan Maqashid Al-Syari’ah, umumnya dirujuk pada kaidahkaidah kontruksi al-Syathiby- yang menurut penilaian Ibnu Asyursebagaimana dikutib oleh Imam Mawardi- dapat dikatagorikan kedalam tiga kelompok besar,15 yaitu pertama kaidah yang berkaitan dengan tema Mashlahah dan Mafsadah. Kedua, adalah kaidah-kaidah yang terkait dengan dasar penghilangan kesulitan. Sementara yang ketiga menyangkut kaidah yang berkaitan dengan 15 Ibid. Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, hal.256-257 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 9 Ishaq akibat perbuatan orang mukallaf dan tujuan pelaksanaanya Missi utama yang harus selalu dipegang oleh seorang mujtahid dalam kerja ijtihadiyahnya adalah keyakinan tentang maksud penetapan hukum Syariat untuk mencapai kemahslahatan. Missi ini menjadi kaidah paling menentukan dalam kesuksesan proses ijtihadiyah maqashid. Karena ketaatan ataupun kemaksiatan seorang hamba yang kemudian menentukan status hukumnya- diukur dengan tingkat kemashlahatan dan kemafsadatan yang ditimbulkannya.16 Berangkat dari prinsip ini, kerja Maqashid Al-Syari’ah- based Ijtihad mempunyai beberapa prinsip penting yang harus dipegang oleh seorang mujtahid. Diantaranya “prinsip memposisikan kekuatan dalil larangan dan perintah dalam posisi yang sama“, “prinsip hukum tergantung pada kandungan nilai mashlahah“, “prinsip hukum tidak boleh membawa kesulitan hidup, tapi harus disesuaikan dengan kemampuan manusia“.17 Sementara dalam tataran aplikatifnya, prinsip dasar yang harus dipegang adalah pertama, bahwa setiap syariat pasti mempunyai illat, mahlahah dan tujuan pokok. Kedua, bahwa penentuan maqashid dalam sustu ketentuan hukum haruslah melalui dalil. Ketiga, bahwa mashlahah dan mafsadah harus diukur secara hirarkis. Keempat, harus membedakan mana yang menjadi tujuan pokok dan mana yang menjadi media tujuan.18 c. Prinsip dan kaidah Ushul Fiqih dalam kerja Maqashid- Based Ijtihad Dalam perspektif tertentu, Maqasidiyyun dianggap berhasil mengarahkan keyakinan tentang validitas dan obyektifitas dalam setiap bidikan kadar mashlahah dalam kerja Maqashid- Based Ijtihad. Karena mereka pada dasarnya tetap memakai Kaidah-kaidah Ushul Fiqih klasik dalam proses kerja Maqashid- Based Ijtihad-nya. Baik menyangkut prinsip-prinsip Dilalatu al-Nash, pengunaaan Ijma’, aplikasi kerja metode Qiyas, prinsip Istihsan dan metode Isthimbat lainnya. Bahkan mereka menjadikan metode-metode ini menjadi lebih obyektif dalam pelacakan illat dan hikmahnya. Karena kerja Maqashid- Based Ijtihad-ini juga memastikan dilakukannya kerja Ibid. Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, hal.256-257 Ibid, Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas, hal. 216 18 Ibid, Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas, hal. 219 16 17 10 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… induktif dalam penentuan kadar mashlahah (bukan hanya anganangan dengan membaca mashlahah manusia didepan teks) dengan keharusan berpegang pada prinsip dan kaidah oprasional yang ditentukan. Dalam tataran aplikatifnya, piranti-piranti tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Imam Mahardi- selalu digunakan, walaupun praktiknya diposisikan sebagai opsi-opsi yang akan dipilih berdasarkan tingkat kesesuaian-nya dengan kemaslahatan dan tingkat kemudahan dalam penerapannya. Karena hukum yang dipilih adalah se-jauhmana keperpihakannya terhadap mashlahah.19 Kecenderungan Maqashid- Based Ijtihad untuk merujuk pada mahlahah riil inilah yang kemudian mengalihkan orientasi basis ijtihadiyah dari sisi implikasi tekstual dan kekuatan teks, menuju nilai filosofis Maqashid al-Syari’ah-nya. Sebagai akibat dari penekananya terhadap prinsip dan nilai-nilai atau prinsip universal al-Qur’an dan al-Hadist sebagai dasar utama penetapan hukum Islam, maka kerja ijtihadiyah ini-pun memastikan dilakukannnya reinterpretasi bagi seluruh ketentuan-ketentuan Nash (al-Qur’an dan al-Hadist) yang spesifik dan parsial yang ternyata tidak lagi sesuai dengan prinsip universal Maqashid al-Syari’ah dan kemashlahatan kemanusiaan terkini.20 Ini artinya, jika logika kebahasaan sebuah teks berbenturan dengan realitas kemshlahatan, maka realitas kemashlahatan itulah yang diprioritaskan. Sama halnya juga terjadi pada kasus kontradiksi antara hadis qauli dengan realitas kemashlahatan yang diungkap secara nyata dalam hadis fi’li. Walaupun demikian, Maqasidiyyun menganggap model ijtihad berbasiskan Maqashid Al-Syari’ah sebagai kerja obyektif. Dalam kerangka menghindari munculnya unsur subyektifitas dalam penentuan mashlahahnya, pendekatan ini memastikan setiap Mujtahid untuk selalu selalu berada dalam kejujuran, ketekunan, ke-menyeluruhan (holistik), rasionalitas dan pengendalian dari,21 Ahmad Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas, Fiqh aqalliyat dan Evolusi Maqashis al-Syari’ah dari Konsep Ke Pendekatan, (Yogyakarta:LKiS Printing Cemerlang , 2010) hal. 241 20 Ibid. hal 21 Khaled Abu al-Fadl, Speaking in God’s name, Authorty And Women, (Oxford:onemord,2003) hal 54-56 19 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 11 Ishaq disamping mereka juga harus menggunakan Metodologi Hukum Islam (Ushul fiqih) yang tepat yang sesuai dengan obyek persoalan yang dibidiknya. Dalam konteks Maqashid- Based Ijtihad, tarjih 22merupakan sarana pokok yang digunakan seoarang mujtahid jika terjadi pertentangan diantara sejumlah kemashlahatan dan kemudharatan. Menurut al-Fasi-sebagaimana yang dikutip oleh Imam Mawardiada tiga prinsip yang harus diperhatikan yaitu, pertama keharusan untuk memilih melakukan kemudlaratan yang khusus sebagai upaya menolak kemudharatan yang lebih umum, artinya, bahwa kemashlahatan umum harus didahulukan dari pada kemashlahatan individual. Kedua, bahwa ketika kemashlahatan berhadapan dengan keamafsadatan dalam satu ketentuan hukum, maka tindakan menghindari kemafsadatan harus didahulukan dari mengmbil kemafsadatan. Ketiga adalah pelunya perbedaan ketentuan hukum dalam bebrerapa perbuatan atau tindakan yang memiliki kemashlahatan yang berbeda.23 Tegasnya, kerja ijtihad berbasiskan Maqashid al-Syari’ah (Maqashid- Based Ijtihad) lebih melihat pada pertimbangan dampak yang mungkin dimunculkan sebagai akibat dari penetapan hukum tersebut (al-Nadzru al al-ma’alat). Dan oleh karenanya, fatwa ataupun ketetapan hukum pada suatu maslah tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang abadi, akan tetapi bisa berubah dan berkembang sesuai dengan pertimabangan masa, kondisi, keperluan dan dampak yang dimunculkan. Bisa jadi persoalan yang sama akan berbeda hukumnya jika kondisi, kadar mashlahah dan tempatnya berbeda. Dengan demikian, pendekatan Maqashid al-Syari’ah sesungguhnya lebih menekankan pada faktor konteks dan pertimbangan mashlahah dalam setiap proses penentuan hukumnya. Penentuan status hukum suutu perbuatan sangat tergantung pada kadar lemashlahatan yang di-kandung. Jika kemaslahatannya besar, maka melaksanakan-nya menjadi sunnah, Tarjih Maqashidi adalah upaya yang dilakukan oleh mujtahid Maqashidi dengan cara melihat pada sisi pertentangan kekuatan mashlahah dan mafsadah yang dihasilkan oleh suatu keketapan hokum. Lihat Ahmad Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas, ,hal 230 23 Ibid, Ahmad Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas,hal 230 22 12 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… semakin kuat mashlahah yang di-kandungnya, semakin kuat pula tingkatan kesunnahan-nya sampai pada tingkatan wajib. Kemashlahatan dalam perbuatan yang berstatus wajib dipastikan akan lebih banyak mengandung kemaslahatan dibandingkan dengan yang sunnat. Begitu juga sebaliknya, jika kemafsadatan dalam suatu perbuatan mendominasi, maka melaksanakan-nya berada dalam tingkatan makruh, semakin besar kadar mafsadatnya, semakin kuat pula tingkat kemakruhannya sampai pada tingkatan haram. Dengan demikian, seluruh perbuatan yang diwajibkan bisa berubah menjadi tidak wajib atas pertimbangan akibat jelek yang akan di-timbulkannya (al-hukmu yaduru ma’a illatihi hukman wujudan wa’adaman). Walaupun demikian, bukan berarti eksistesi teks menjadi ditiadakan sama sekali, tetapi mereka meletakkan-nya dalam posisi yang tidak terputus dengan konteks kehidupan mausia sebagai wilayah dan subyek hukum. Relasi antara teks dengan konteks terletak pada tujuan, maksud, hikmah, dampak serta manfaat riil yang kandung oleh teks itu sendiri. Disinlah letak relasi antara ketentuan tuhan dengan tujuan sebagai satu kesatuan yang saling terkait dalam Maqashid al-Syari’ah- based ijtihad ini. Kerangka metodologis Maqashid al-Syari’ah- based ijtihad ini dianggap dapat memberikan kepastian yang meyakinkan dan dipertangung-jawabkan secara ilmiah. Karena proses ijtihadnya tetap berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist dengan tetap mengunakan metodologi Ushul Fikih- walaupun kemudian lebih berorientasi dan mengedepakan mashlahahah. Hanya yang menjadi persoalan bagi kalangan Maqasidiyyin adalah yang terkait dengan standart al-manafi’-al-madhar yang tidak bisa berlaku mutlak, karena manfaat hakiki hampir tidak pernah diketahui sama sekali, umumnya adalah idhafi, sehingga memungkinkan terjadinya nilai manfaat dan mudharat sekaligus, ada pelarangan dan izin sekaligus dalam satu benda. Disinilah peran metode tarjih Maqashidi menjadi menentukan dalam proses Maqashid al-Syari’ah- based ijtihad ini. 3. Contoh Kerja Ijtihad Istiqra’i berbasis Maqashid Al-Syari’ah dalam Masalah Kontemporer Dalam rangka memotret proses Kerja Ijtihad Istiqra’i berbasis Maqashid Al-Syari’ah ini, akan dipaparkan contoh kasus problematis Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 13 Ishaq dalam dunia Ijtihadiyah, yaitu masalah hukum seorang muslim menerima warisan dari kerabatnya yang beragama non Muslim. Kasus ini- anggap saja terjadi pada seorang laki-laki yang di tinggal mati oleh kedua orang tuanya yang masih tetap beragama non muslim. Persoalan ini menjadi delematis, karena disamping posisinya sebagai pewaris tunggal, harta warisan yang ditinggalkannya-pun bernilai triliunan. Sementara Dilalatu Al-Nash (Hadist) secara tegas (Qath’i perspektif Ushul klasik) melarang terjadinya saling mewarisi antara orang muslim-dengan non muslim, baik dari sisi wurudnya (karena berstatus Shahih) maupun dari sisi dilalahnya. Padahal- jika laki-laki tersebut diperbolehkan menerima harta warisan akan di hibahkan untuk kepentingan pendidikan masyarakat muslim. Secara kasat mata, kasus ini meniscayakan terjadi tarik-menarik antara mashlahah riil masyarakat muslim dengan tuntutan (baca: Mashlahah) nash. Keduanya sama-sama memungkinkan untuk menjadi representasi dari Maqsud Syari’. Walaupun ulama’ klasik (jumhur) memandang mashlahah dalam dilalatu al-nash lebih rajih, namun ulama madasidiyyunseperti yang direpresentasikan oleh Yusuf Qardhawi cenderung memilih pendapat yang mem-bolehkannya walapun pendapat ini tidak populer. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara kerja Ijtihadiyah Yusuf Qardhawi sehingga ia memilih pendapat yang bertentangan dengan dilalatu al-Nash ini. Tampaknya, Yusuf Qardhawi menurut Imam Mawardi- tetap menggunakan metode Ushul dalam proses ijtihadnya, karena ia juga merujuk pada Hadist lain seperti hadist yang diriwayatkan oleh Umar, Muadz dan Mua’wiyah yang membolehkan orang Islam menerima warisan dari orang non Muslis- tidak sebaliknya. Walaupun kerja Ijtihad Yusuf Qardhawi ini juga merujuk pada Hadist Nabi, bukan berarti Yusuf Qardhawi mempertentangkan antara hadist satu dengan lainnya. Karena dalam perspektif teori tarjih klasik, posisi dan derajat kedua Hadist jelas tidak seimbang. Yang dilakukan Yusuf Qardhawi adalah mengahadapkan Hadist yang berstatus Shahih tersebut dengan kandungan mashlahah diperbolehkanya menerima warisan dari non muslim. Walaupun derajatnya berstatus Maqashid al-Stanawiyah bagi keberlangsungan agama (Hifdzu al-din), namun Qardlawi menganggap kandungan Mahlahah nya sangat penting dan mendesak bagi kepentingan 14 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… agama dan umat islam secara umum. Sebaliknya jika tidak diperboleh-kan harta tersebut akan jatuh pada non muslim- yang bisa jadi akan difungsikan sebagai sarana merusak Maqashiq alSyari’ah yang lain.24 Dalam kerangka kepentingan mashlahah riil inilah, Qardlawi melanjutkan kerja Ijtihadiyahnya dengan me-lakukan penakwilan terhadap hadist yang melarang pe-warisan Muslim- Non Muslim dalam kerangka pe-nyesuaiannya dengan mashlahah riil yang dimaksud. Langkah ini diambil, karena Qardlawi yakin bahwa kepentingan Mashlahah riil inilah yang justru lebih men=dekati area Maqashid al-Syari’ah- walaupun diatas kertas kadar dilalahnya masih berada dibawah dilalah hadist yang melarang pewarisan. Hasil penakwilannya menunjukkan bahwa larangan waris mewarisi sebagaimana yang dituntut dalam hadist yang lebih shaheh adalah berlaku antara orang muslim dengan kafir Harbi (bukan non Muslim). Dari contoh ini, dapat kita fahami bahwa titik tekan kerja Ijtihadiyah Maqasid Qardlawi terletak pada penakwilan. Kerja ini mengesankan upaya untuk menghindar dari dalil teks yang kuatdemi tercapainya mashlahah yang nota-benenya juga kuat. Namun, dalam perspektif Maqashid-based Ijtihad, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi- dan keduanya masih dipandang absah dalam perspektif ijtihad maqashidi. Pertama, absah karena nash ini memang bisa diinterpretasikan dalam banyak tafsir- sebagaimana yang ditegaskan oleh Jasser Audah. Kedua, karena kandungan Mashlahah dalam hadist ini tidak terdapat dalam furuknya dalam obyek hukum (orang yang dimaksud). Dengan melakukan salah satu dari kedua cara ini, sesungguhnya Qardlawi telah terlepas dari Tuduhan meninggalkan Nash. Walapun kemudian Qardlawi masih tetap melalukannya secara bersamaan. Ahmad Imam Mawardi, Fiqhi Minoritas, Fiqh aqalliyat dan Evolusi Maqashis al-Syari’ah dari Konsep Ke Pendekatan, (Yogyakarta:LKiS Printing Cemerlang , 2010) hal. 169 24 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 15 Ishaq Kesimpulan Patut diakui bahwa hadirnya kerja Ijtihadiyah berbasiskan Maqashid ini telah memberikan kontribusi penting- sekaligus harapan baru bagi terciptanya hukum Islam yang kontekstual, karena- sebagaimana dinyatakan Abd A’la- Maqashid Al-Syari’ah hakekatnya merupakan moral yang harus dilabuhkan dalam kehidupan. Dalam konteks ini, Maqashid Al-Syari’ah-base Ijtihad – melalui moralitas ini diyakini mampu menyatukan kembali hukum Islam yang telah tereduksi oleh sejumlah kepentingan. Sudah barang tentu Maqashid Al-Syari’ah-base Ijtihad sebagai sebuah kontruksi metodologis tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan. Namun- yang perlu digaris bawahi- bahwa metodologi apapun namanya- pasti menuntut hal yang sama yaitu kerja obyektif, netral dan sekaligus realistis. Perbedaan pola dan tata kerja- lebih disebabkan oleh perbedaan landasan paradigmatik dan asumsi dasarnya. Masing-masing menganggap bahwa pilihannya adalah yang lebih benar dalam arti menggap sebagai mashlahah A’mmah (beskala besar). Disinilah pentingnya keilmuan khusus tentang penentuan kadar kandungan mashlahah sebagai sarana vital dalam mengaplikasikan metode tarjih antara mashlahah. Artinya, menjadi seorang mujtahid Maqashid Al-Syari’ah-based Ijtihad sesungguhnya lebih berat dari Mujtahid Isthimbati. Karena menuntut penguasaan pada Ushul Fiqih klasik, juga mengaharuskan pengasaan pada keilmuan lain tentang analisi dampak melalui penelitian yang dilakukan secara induktif, profesional dan kemampuan rekayasa mashlahah jauh kedepan. Patut diakui pula bahwa metode ini mengasunmsikan bahwa seluruh kandungan hukum islam harus rasional- dalam arti bisa dilacak kadar kemashlahatannya. Namun demikian, kita masih perlu mengembangkan metode ini menjadi lebih sempurna lagi. Karena secara umum, perosalan yang diselesaikan oleh metode ini adalah masalah yang tidak ada nahnya atau ada nasnya tetapi bertentangan dengan penujukan nash. Pada tataran inilah muncul pertanyaan seperti bagaimana kemudian fungsi ilmu klasifikasi Hadist, takhrij dan metode verivikasi lain jika ujung-ujungnya adalah cukup mendahulukan Mashlahah riil ?. Betapaun juga, sebagaimana diakatakan al-Amidi bahwa terciptanya keyakinan seorang mujtahid dalam proses kerja Ijtihad 16 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 Maqashid Al-Syari’ah Based Ijtihad… disat menentukan hukum merupakan satu keharusan. Walapun keraguan bisa jadi muncul sebelum kerja ijtidiyahnya, namun disaat penentuan ketetepan hukum- hadirnya sebuah keyakinan menjadi satu keniscayaan. Prinsip ini adalah prinsip umum yang juga terjadi dalam pelaksanaan ibadah yang sebelumnya ragu akan pendapat yang akan diamalkan, namun ia tetap harus yakin disaat pengamalannya. Dalam konteks inilah, adanya klasifikasi tentang tratifikasi keyakinan dalam hal kandungan mashlahah menjadi pening- sebagaimana yang terjadi dalam klasifikasi tingkatan dalil dalam teori ushul fiqhi klasik. Daftar Pustaka Abir bin Muhammad al-Syufyani. tt, Ma’alim Thariqah al-Salafi fiUshul al-Fiqh, Makkah : Maktabah al-Manarah Abir bin Muhammad al-Syufyani. tt., Ma’lim Thariqah al –Salafi fiUshul al-Fiqh, Maktabah al-Manarah, Makkah, Abu Zahrah, Muhammad.1953, Usul Al-Fiqh, tp : Dar al-Fikri Ahmad Imam Mawardi. 2010, Fiqhi Minoritas, Fiqh aqalliyat dan Evolusi Maqashis al-Syari’ah dari Konsep Ke Pendekatan, (Yogyakarta:LKiS Printing Cemerlang , Ali Mahfudz, ‘1937, al-Ibda’ fi Masdar al-Ibtida’, tp : Dar al-i’tisham Al-Syatibi, Abu Ishaq. 1997, al-Muwafaqat, Beirut, Lubnan; dar alKutub al’ilmiyah Al-Syatibi, Abu Ishaq, 1995, I’tisham, Beirut, Lubnan; dar al-Kutub al’ilmiyah Al-Syawkani, 1997, Irsyad al-Fuhul, Dar al-Fikr Jalaluddin Al-Qasimi, Muhammad, 1399, Ishlah al-Masajid min albid’i wa al-awa’id, Beirut : tp. Jasser Audah, Fiqhu al-Maqashid:Inatat al-Ahkam al-Syari’ah, London: III T 2006 Jasser Audah, Maqashid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law. A Sitems Aproach . London: III T. 2007 hal. Khaled Abu al-Fadl, Speaking in God’s name, Authorty And Women, (Oxford:onemord,2003) Muhammad Said Romdhon. tt , Dhawabit al-mashlahah fi al-Syâri’ah al-Islamiyah, al-Risalah, Beirut Nuruddin Mukhtar al-Khadimi. 2005, ‘Ilmu al-Ushul, Maktabah alubaikan Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015 17 Ishaq 18 Interest, Vol.13, No. 1 Oktober 2015