BAB II Kajian Pustaka 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Menurut Arifin (2007), Jensen dan Meckeling (1976) adalah orang pertama yang memasukkan unsur manusia dalam model yang terpadu tentang perilaku perusahaan. Model tersebut menggambarkan perusahaan sebagai kumpulan kontrak antar pihak-pihak yang berinteraksi didalam perusahaan. Menurut Arifin (2005) teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antar anggotaanggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen merupakan pelaku utama. Prinsipal adalah pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sementara agen merupakan pihak yang diberikan mandat untuk bertindak atas nama prinsipal (Arifin 2005). Hal tersebut akan mensyaratkan agen untuk bertanggung jawab atas setiap tindakannya kepada prinsipal. Aplikasi teori agensi dapat terwujud dalam kontrak yang mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memeperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mekanisme bagi-hasil, baik yang berupa keuntungan, return, maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen (Arifin 2005). Menurut Scot (1997) inti dari teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam kondisi terjadi konflik kepentingan. 11 12 2.1.2 Corporate governance Corporate governance perusahaan yang buruk dipandang sebagai mengancam operasi dan keberadaan organisasi. Bahkan itu adalah salah satu penyebab pecahnya 1997 Krisis keuangan Asia (ADBI, 2011). alam bisnis apapun, pemerintahan memerlukan aspek penting untuk memastikan kehati-hatian dan transparansi operasi yang mempromosikan kepentingan pihak-pihak terkait dengan organisasi. Tata kelola perusahaan adalah serangkaian proses, kebijakan atau undang-undang yang mempengaruhi cara korporasi diarahkan, diberikan atau dikendalikan (Odierno, 2009). Tujuan corporate governance adalah memastikan akuntabilitas individu dalam suatu organisasi dengan mencoba untuk mengurangi atau menghilangkan risiko salah satu pihak bertindak dalam kepentingan sendiri terhadap pihak lain (menyelaraskan kepentingan semua pihak) (Odierno, 2009) .Ini adalah Mekanisme yang digunakan untuk memantau tindakan, kebijakan dan keputusan perusahaan. Corporate governance perusahaan dikatakan meningkatkan citra perusahaan, keberlanjutan (Lensson, G. et all, 2010). Dalam upaya untuk memacu perkembangan takaful BNM mengalami penurunan jumlah aturan dan pedoman yang berkisar kecukupan modal, laporan keuangan, anti pencucian uang dan batas dan standar kehati-hatian. Prinsip-prinsip dasar corporate governance agar terwujudnya praktik goodcorporate governance yang perlu diperhatikan adalahberdasarkan lima prinsip utama yaitu : transparasi, pertanggungjawaban, akuntabilitas, profesional, dan kewajaran. 13 a. Transparasi Pengertian prinsip transparansi menurut peraturan Bank Indonesia nomor11/33/PBI/2009 adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi yangmaterial dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Menurut OECD (2004) konsep corporate governance harus menjamin adanyapengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan yangberkaitan dengan perusahaan. Pengungkapan ini meliputi informasi mengenaikeadaan keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. b. Pertanggung jawaban Menurut peraturan Bank Indonesia nomor 11/33/PBI/2009, pertanggungjawaban adalah kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yangsehat. Sedangkan menurut OECD (2004) responsibilitas adalah adanya tanggung jawab pengurus dalam manajemen, pengawasan manajemen serta pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para pemegang saham. Prinsip ini tercermin dalam kerangka corporate governance harus memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders, seperti yang telah ditentukan dalam undangundang, dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dengan para stakeholders tersebut dalam rangka menciptakan lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat dan kesinambungan usaha. Menurut Linan dalam Hastuti (2005) juga menyatakan bahwa prinsippertanggungjawaban ini meliputi antara lain, menjamin hak pihak- 14 pihakberkepentinggan, para pihak yang berkepentingan harus mempunyai kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran hak-hak mereka, dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi keikutsertaan pihak yang berkepentingan, dan jika perlu, para pihak yang berkepentingan harus memiliki akses terhadap informasi yang relevan. c. Akuntabilitas Menurut peraturan Bank Indonesia nomor 11/33/PBI/2009, akuntabilitasadalah kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Menurut OECD (2004) prinsip ini dapat dijalankan dengan cara adanya kejelasan fungsi pelaksanaan dan pertanggungjwaban dari organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan dapat terlaksana secara efektif. Konsep corporate governance harus menjamin adanya pedoman stategis perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen perusahaan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris, dan akuntabilitasnya terhadap perusahaan dan pemegang saham dan anggota direksi harus bertindak mewakili kepentingan perusahaan dan pemegang saham. d. Profesional Prinsip ini menekankan agar pengelolaan Perbankan Syariah sebaiknya dikelola secara profesional ataupun tanpa adanya tekanan atau pengaruh dari pihak lain sehingga conflict of interest dapat dihindari sejauh mungkin. Jadi sikapseluruh jajaran bank sebagai entitas ekonomi yang mandiri, bebas dari kepentingan sepihak terutama yang berpotensi merugikan stakeholders dan mampu mengambil keputusan secara objektif. 15 e. Kewajaran Menurut FCGI prinsip kewajaran ini meliputi, Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, perilaku perusahaan (corporate conduct) dan atau kebijakan-terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading). Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang melindungi kepentingan minoritas, membuat pedoman kebijakan yang melindungi korporasi terhadap perbuatan buruk orang dalam, self-dealing, dan konflik kepentingan, menetapkan peran dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi, dan Komite, termasuk sistem remunerasi, menyajikan informasi secara wajar atau pengungkapan penuh material apa pun, mengedepankan Equal Job Opportunity. Prinsip kewajaran menurut Linan dalam Hastuti (2005) diungkapkan dalam adanya perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham dan perlakuan yang sama bagi para pemegang saham. Prinsip-prinsip tersebut dapat diimlementasikan melalui pelaksanaan tugas oleh organ perusahaan seperti dewan komisaris, dewan direksi, komite audit, kepemilikan manjerial dan kepemilikan institusional Linan dalam Hastuti (2005). Penjelasan mengenai organ perusahaan tersebut sebagai berikut: 1. Dewan komisaris Dalam suatu organ perusahaan, dewan komisaris memiliki tugas dan tanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG, 16 akan tetapi dewan komisaris tidak diperbolehkan turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Jumlah anggota dewan komisaris yang pas tergantung pada industri dimana perusahaan berada karena akan turut menentukan jenis kompetensi yang sebaiknya dimiliki oleh dewan komisaris secara menyeluruh. Dewan komisaris yang dimaksud disini adalah jumlah anggota dewan komisaris dalam perusahaan. 2. Dewan Direksi Dewan direksi merupakan anggota dewan independen yang berasal dari luar perusahaan yang berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan keseluruhan. Dewan direksi di dalam suatu perusahaan merupakan dewan yang independen dan yang tidak terafiliasi yaitu tidak memiliki hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain serta perusahaan itu sendiri dengan manajemen. 3. Komite Audit Peraturan bank Indonesia no.11/33/PBI/2009 tentang pelaksanaan good corporate governance pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah juga mengatur mengenai komite audit. Bank Indonesia menghendaki bahwa komite audit yang ada pada BUS minimal terdiri dari 3 orang yaitu seorang komisaris independen, seorang independen yang ahli di bidang akuntansi keuangan dan seorang independen yang ahli dalam bidang Perbankan Syariah. Pengangkatan anggota komite audit tersebut ditetapkan oleh direksi berdasarkan keputusan rapat dewan komisaris. Menurut peraturan tersebut tugas dan tanggung jawab komite audit adalah sebagai berikut : 17 a. Melakukan evaluasi atas pelaksanaan audit internal dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan. b. Melakukan koordinasi dengan kantor akuntan publik dalam rangka efektivitas pelaksanaan audit eksternal. c. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas hasil temuan audit dan rekomendasi dari hasil pengawasan bank Indonesia, auditor internal, dewan pengawas syariah, dan auditor eksternal. 4. Kepemilikan Manajerial Menurut Utami (2014) kepemilikan manajerial adalah konsentrasi adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen (agen) dalam suatu perusahaan. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruence) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham. 5. Kepemilikan Institusional Kepemilikan Institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan bankerinvestasi. Kepemilikan institusional berfungsi sebagai pihak yang mengawasi perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional artinya ruang gerak manejemen untuk mementingkan keuntungannya sendiri semakin kecil, 18 karena kepemilkan manajerial yang besar atau lebih dari 50% mengindikasikan untuk mengawasi dan memonitor manajemen. 2.1.3 Manajemen Risiko Tampubolon (2004) memberikan beberapa definisi tentang manajemen risiko sebagai berikut: a. Manajemen risiko merupakan titik sentral dari manajemen strategik Bank. Manajemen risiko merupakan proses dimana sebuah Bank secara metodik menghubungkan risiko yang melekat pada kegiatannya dengan tujuan untuk mempertahankan atau memperbesar keuntungan dari setiap aktivitas dan lintas portofolio dari semua kegiatan. b. Fokus manajemen risiko yang baik adalah mengidentifikasi, mengelola, dan mengendalikan risiko dengan sebaik-baiknya. Tujuannya untuk menambah value dari semua aktivitas Bank ke arah yang paling maksimal. Proses ini akan memimpin kita terhadap pemahaman mengenai faktor-faktor yang berpotensi memiliki dampak ke atas (upside), yaitu yang menguntungkan Bank, dan ke bawah (downside), yaitu yang merugikan Bank. Hal ini akan mengingatkan peluang untuk sukses dan mengurangi kemungkinan gagal maupun ketidakpastian dalam mencapai tujuan perusahaan. c. Manajemen risiko adalah sejumlah kegiatan atau proses manajemen yang terarah dan bersifat proaktif yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan gagal pada salah satu atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrument. Karena 19 itu manajemen risiko harus merupakan sebuah proses yang dinamis, tidak statis, dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan risiko usaha. d. Manajemen risiko haruslah merupakan proses yang terus bertumbuh dan berkelanjutan, mulai dari penyusunan strategi Bank sampai pada penerapan strategi tersebut. Kegiatan ini harus secara metodik mengidentifikasi semua risiko yang ada disekitar kegiatan Bank di masa lalu, masa kini, dan terlebih lagi di masa yang akan datang. e. Esensi dari manajemen risiko yaitu adanya persetujuan bersama (komite atau korporat) atas tingkat risiko yang dapat diterima atau ditolerir dan seberapa jauh program pengendalian risiko telah disusun untuk mengurangi dampak negatif dari risiko yang akan diambil tersebut. f. Manajemen risiko harus diintegrasikan ke dalam budaya organisasi melalui sebuah kebijakan dan sebuah program yang efektif karena diarahkan oleh semua manajemen puncak. Manajemen risiko menerjemahkan strategi ke dalam teknik dan tujuan-tujuan operasi, menetapkan tanggung jawab ke seluruh organisasi dimana setiap manajer dan pegawai bertanggung jawab dalam mengelola risiko sebagai bagian dari deskripsi jabatannya. Menurut Darmawi (2011), ada beberapa risiko yang sering dihadapi bank antara lain: risiko kredit (financing risk) , risiko likuiditas dan risiko operasional merupakan risiko yang dihadapi bank karena menyalurkan dananya dalam bentuk pinjaman kepada nasabah. Karena berbagai hal, nasabah tidak mampu memenuhi 20 kewajibannya seperti pembayaran pokok dan bunga pinjaman, sehingga bank mengalami kerugian karena tetap mengeluarkan beban bunga untuk simpanan nasabah. Peningkatan kredit bermasalah tersebut menyebabkan pendapatan dan laba menurun, ROA dan ROE juga mengalami penurunan. Oleh karena itu, perbankan perlu meningkatkan pengelolaan terhadap financing risknya agar tingkat kredit bermasalah atau NPLnya tidak melebihi ketentuan dari Bank Indonesia (BI). Bank Indonesia (PBI) no.13/3/2011 menetapkan bahwa rasio NPL maksimal 5% dari total kredit. Apabila rasio NPL berada dibawah ketentuan BI menunjukkan bahwa bank dapat mengelola financing risknya dengan baik karena mampu meminimalkan kredit macetnya. Sebaliknya, kenaikan NPL diatas 5% mengindikasikan bank kurang berhasil dalam mengelola kredit bermasalahnya. Risiko likuiditas merupakan risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Ketidak mampuan bank tersebut akan mempengaruhi kredibilitas bank karena menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Sebagai lembaga yang sumber dana terbesarnya berasal dari masyarakat, bank tidak akan mampu bertahan beroperasi tanpa adanya kepercayaan tersebut. Syamsuddin (2007), mengemukakan bahwa semakin tinggi rasio likuiditasnya maka semakin baik suatu perusahaan, karena semakin tinggi rasio ini berarti jumlah kredit yang disalurkan meningkat sehingga menyebabkan pendapatan bunga dan laba yang diterima meningkat. 21 2.1.4 Pencapaian Maqashid Syariah Bank Syariah adalah lembaga bisnis Syariah yang memiliki tujuan untuk memberikan kontribusi mencapai Maqashid Shariah. Menurut Shahul et.al (2004), Bank Syariah pada umumnya hanya memiliki pengukuran kinerja berdasarkan pengukuran Konvensional. Tolak ukur Konvensional ini sudah merupakan dimensi yang mendunia, yaitu untuk mengukur kinerja keuangan. Shahul et.al (2004) mencoba untuk menyusun pengukuran kinerja berdasarkan kepada prinsipprinsip Syariah. Usaha Shahul et.al (2004) kemudian mendorong Mohammed dan Taib (2009) mengembangkan alat ukur kinerja Bank Syariah dalam pencapaian Maqashid Shariah. Pengukuran kinerja Maqashid Shariah tersebut menurut Mohammed dan Taib (2009) mencerminkan tanggung jawab dan kewajiban yang diharapkan dari Bank Syariah. Mohammed dan Taib (2009) dalam mengembangkan pengukuran kinerja pencapaian Maqashid Shariah mengadopsi teori Abu Zaharah yang mengenai AlMaqashid. Menurut Abu Zaharah sebagaimana yang dikutip oleh Mohammed dan Taib (2009) mengatakan bahwa pencapaian Maqashid Shariah setidaknya dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu Tahdhib al-Fard (Pendidikan individu), Iqamah al‘Adl (Penciptaan Keadilan) dan Jalb al-Maslahah (Pencapaian Kepentingan Publik). Uraian dari dimensi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tahdhib al-Fard (Pendidikan individu) Berkaitan dengan kinerja Bank Syariah, mendidik individu ini mengacu pada peran Bank Umum Syariah dalam mendidikan dan meningkatkan kesadaran 22 karyawan dan masyarakat mengenai produk-produk Bank Syariah (Reni, Muklis dan Cholisni 2014). Secara praktis tujuan ini dapat dicapai dengan bekerja sama dengan instistusi pendidikan, media masa dan lain sebagainya. 2. Iqamah al-‘Adl (Penciptaan Keadilan) Tujuan ini menghendaki bahwa Bank Syariah harus menegakkan keadilan dari operasi usahanya untuk semua pihak yang berhubungan dengan bank. Tujuan ini dapat tercapai melalui transparansi dalam laporan keuangan, distribusi yang adil dari keuntungan yang diperoleh atas investasi, pembebanan biaya yang tidak memberatkan nasabah dan lain-lain (Reni, Muklis dan Cholisni 2014). Hal lain yang perlu ditekankan juga adalah bahwa bank syariah memandang semua stakeholder memiliki hak yang proporsional, tidak seperti bank konvensional yang sangat memuliakan pemegang saham. 3. Jalb al-Maslahah (Pencapaian Kepentingan Publik). Bank syariah dapat ikut serta memajukan kesejahteraan masyarakat (maslahah) melalui alokasi pembiayaan yang menguntungkan sebagian besar masyarakat (Reni, Muklis dan Cholisni 2014). Hal tersebut tidak menandakan bahwa bank harus memberikan pembiayaan pada sektor yang paling menguntungkan (profit) terlebih dahulu, namun memberikan pembiayaan yang paling membutuhkan terlebih dahulu. Contoh jika pembiyaan lebih banyak dibutuhkan oleh industri pertanian maka bank harus mengalokasikan pembiayaan yang lebih besar untuk industri tersebut dari pada industri lain yang mungkin memberikan tingkat return yang lebih tinggi. Namun begitu tujuan yang tidak mengedepankan maksimalisasi profitabilitas bukan berarti mengabaikan 23 profitabilitas. Hal itu karena pada dasarnya bank telah terikat oleh bisnis yang menghendaki adanya laba, karena bank menahan banyak uang dari banyak orang yang menghendaki laba. Uang yang dipercayakan kepada bank tersebut menjadi amanah bank untuk mengoperasikannya dan pemilik menghendaki adanya laba. Pemaparan sebelumnya menandakan bahwa perlu adanya keseimbangan antara kepentingan komersial dan sosial serta menjalankannya sesuai Syariah Islam (Reni, Muklis dan Cholisni2014). Oleh karena itu bank syariah juga perlu ikut serta mendistribusikan pendapatannya kepada pihak yang berhak mendapatkannya (zakat,Infaq, Shodaqoh) karena hal tersebut juga merupakan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Mohammed dan Taib (2009) mengatakan bahwa dalam tujuan pertamanya Abu Zaharah menyebutkan istilah Tahdhib, yaitu menunjukkan penyebaran pengetahuan dan keterampilan serta menanamkannya kedalam nilai-nilai individu untuk perkembangan spiritualnya. Dengan demikian, Bank Syariah harus merancang program-program pendidikan dan pelatihan yang harus dapat mengembangkan tenaga kerja berpengetahuan dan terampil serta memiliki nilainilai moral yang tepat. Selain itu Bank Syariah juga harus memberikan informasi tentang produk-produk mereka kepada para pemegang saham. Menurut Mohammed dan Taib (2009), Abu Zaharah menyebutkan bahwa dalam mencapai tujuan kedua adalah keadilan, Bank Syariah harus memastikan transaksi wajar dalam semua kegiatan bisnis, yang meliputi produk, harga dan jangka waktu dalam kontrak dan kondisinya. Bank Syariah juga harus memastikan bahwa semua usaha bisnis yang bebas dari unsur-unsur negatif dapat 24 menimbulkan ketidakadilan, seperti riba (termasuk bunga), penipuan atau kecurangan, korupsi, dll. Secara tidak langsung, Bank Syariah harus bijak dalam menggunakan keuntungannya dan mengarahkan kegiatan-kegiatannya kearah yang penting, yang dapat membantu mengurangi pendapatan dan kesenjangan sosial, serta dapat memutarkan harta dan pembagian bagi hasil secara adil. Berkaitan dengan tujuan ketiga, Mohammed dan Taib (2009) mengatakan bahwa Abu Zaharah menyatakan Bank Syariah harus mampu menciptakan maslahah atau pencapaian kepentingan publik. Bank Syariah harus bisa memberikan prioritas untuk kegiatan bisnis yang menghasilkan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat. Kegiatan ini termasuk dibidang yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat seperti investasi pada sektor-sektor penting dan pembiayaan proyek perumahan. Berdasarkan pada hasil penelitian Mohammed, Razak dan Taib (2008) operasional pengukuran Kinerja maqasid syariah bank syariahdapat dijelaskan pada gambar tabel 2.1 : 25 Tabel 2.1 Kinerja Maqashid Syariah Dalam Penelitian Sebelumnya no Konsep Ukuran Elemen Rasio kinerja Sumber data Pendidik D1. Kemajuan Bantuan R1. Nilai 1 = Annual an Pengetahuan Pendidikan memilikibantuan report Individu pendidikan, 0 = tidakmemberikan bantuan pendidikan Penelitiaan Annual R2. Biaya report penelitian/total biaya 1 D2.Penanaman Pelatihan R3. Annual dan Biayapelatihan/total report peningkatan biaya ketrampilan baru D3. Menciptakan kesadaraan atas perbankan Publikasi R4. Biaya promosi/total Annual Biaya report 26 syariah Pendidik Pengembalian an atau Pembagian Individu secara adil 2 Fair Return R5. Laba bersih/total Annual Pendapatan report Produkdan Harga yang R6.Total Annual pelayanyang terjangkau pembiayaan&piutang report terjangkau bersih/ Total pembiayaan&piutang Menghilangkan Produk R7. Pendapatan bebas Annual Ketidakadilan bebasBunga bunga/total pendapatan report Rasio laba R8.Lababersih/total Annual asset report R9. Zakat/ laba bersih Annual Pencapai Profitabilitas an kepentin gan DistribusiPenda Pendapatan publik patandan Individu report Investasidalam Rasioinvesta R10.Total investasi Annual SektorRiil si di report 3 Kesejahteraan sektor riil/ total asset 27 sektor riil Sumber : Mohammed, Razak dan Taib (2008) Beberapa elemen pengukuran diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Bantuan Pendidikan Bantuan pendidikan adalah bantuan yang diberikan bank syariah untuk kemajuan pendidikan, baik itu berupa beasiswa, atau bantuan peralatan yang dapat mendukung pendidikan yang lebih baik. Pengukuran bantuan pendidikan telah disesuaikan dengan data yang ada di perbankan syariah di Indonesia. Pengukuran menurut Mohammed, Razak dan Taib (2008) untuk bantuan pendidikan adalah biaya pendidikan dibagi dengan total biaya, namun karena tidak semua bank syariah mengungkapkan nilai bantuan pendidikan maka pengukurannya diubah dengan memberikan nilai 1 pada bank yang memberikan bantuan pendidikan, dan nilai 0 untuk bank yang tidak memberikan bantuan pendidikan. b. Penelitian Biaya penelitian mengacu pada total biaya yang dikeluarkan oleh bank syariah terkait dengan penelitian untuk pengembangan produkproduk syariah dan penelitian untuk perbaikan-perbaikan operasi Bank Syariah yang lebih syari dan lebih baik. c. Pelatihan Biaya pelatihan mengacu pada biaya yang telah dikeluarkan bank syariah untuk mendidik dan melatih sumber daya manusia. d. Publikasi 28 Biaya publikasi mengacu pada biaya yang telah dikeluarkan bank untuk melakukan promosi atas produk-produk syariah yang dimilikinya. e. Fair Return Fair return diukur dengan laba bersih dibagi dengan total pendapatan. f. Harga yang terjangkau Harga yang terjangkau diukur dari total pembiayaan dan piutang setelah dikurangi penyisihan kerugian dibagi dengan total pembiayaan dan piutang. Penyisihan kerugian atas pembiayaan dan piutang dibentuk berdasarkan pengalaman bank mengenai tingkat ketidak tertagihan pembiayaan dan piutang yang telah diberikan kepada nasabah. Oleh karenanya penyisihan kerugian dapat mencerminkanketerjangkauan produk bank. g. Produk bebas bunga Produk bebas bunga diukur dengan dari produk bebas bunga dibagi total pendapatan. Produk bebas bunga diukur dengan dari total pendapatan dikurangi dengan pendapatan non-halal yang dilaporkan bank dalam laporan laba rugi dan laporan dana qordul hasan. h. Rasio laba Rasio ini mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba, diukur dengan Return on Assets (ROA). i. Pendapatan individu Rasio ini mengacu pada tingkat pemberian zakat yang dikeluarkan bank dibandingkan dengan laba bersih. j. Investasi sektor riil 29 Investasi sektor riil mengacu pada investasi dalam bentuk nonsurat berharga maupun surat berharga yang sesuai dengan syariah Islam dimana surat berharga tersebut dikeluarkan oleh perusahaan nonkeuangan dengan jangka waktu lebih dari satu tahun. Selain itu juga pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah yang digunakan untuk aktivitas dalam sektor riil. Berdasarkan pada review atas data yang akan dipakai, maka pembiayaan kepada nasabah in di ukur dari total pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang diberikan dikurangi pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada sektor jasa usaha, jasa sosial dan konsumsi. 2.2 PenelitianTerdahulu Beberapa peneliti telah mengevaluasi kinerja perbankan syariah menggunakan maqashid indeks telah dilakukan oleh Muhammad, Razak dan Taib dalam penelitiannya yang berjudul “ Pengukuran Kinerja Perbankan Syariah berdasarkan Kerangka Maqashid Indeks yang dikembankan menggunakan metode SAW ( Simple Additive Weighting). Ada enam sampel bank syariah yang digunakan didalam penelitaanya (Bank Muamalat Malaysia, Islamic Bank Bangladesh, BSM Indonesia, Bahrain Islamic Bank, IIABJ Jordan, dan Sudan Islamic Bank) dalam kurun waktu enam tahun (2000-2005) ( Mohammed, Razak dan Taib, 2008). Variabel yang digunakan mengacu pada teori Maqashid Syariah oleh Abu Zahrah yang membahas Tahdzib al-Fard, Iqomat Al-Adl dan Maslahah. Untuk variabel operasionalnya diukur dengan menggunakan konsep Sekaran, maka 30 diperoleh 10 rasio yang menjadi indikator kinerja. Dari 10 rasio, Muhammad, Razak dan Taib hanya menggunakan 7 rasio pada penelitian mereka. Hasilnya menunjukan bahwa tidak ada bank tunggal mampu memperoleh kinerja tinggi dengan 7 rasio. Namun didalam peringkat bank tersebut, bank IIABJ Jordan diperingkat paling atas lalu BSM Indonesia, Bahrain Islamic Bank, Bangladesh Islamic Bank, Bank Muamalat Malaysia dan yang terakhir Sudan Islamic Bank. Oleh karena itu, bank syariah perlu mengevaluasi ulang tujuan dan sasaran mereka agar sesuai dengan Maqasid Syariah (Mohammed, Razak dan Taib, 2008). Kinerja Maqasid Syariah dari salah satu bank syariah di Indonesiamasih berada pada peringkat 3 dari 6 sampel bank syariah yang di temukan oleh Mohammed, Razak dan Taib (2008), hal itu menunjukkan bahwa kinerjanya belum terlalu bagus sehingga perlu didalami faktor yang mungkin dapat mendorong peningkatan kinerja bank tersebut. Bagi masyarakat muslim, bank yang merupakan komponen vital dari kegiatan ekonomi harus berlandaskan pada Syariah Islam, yang sering disebut sebagai Bank Syariah atau Bank Islam. Menurut Mohammed, Razak dan Taib (2008) tujuan Bank Syariah akan tepat jika diturunkan dari Maqasid Syariah (tujuan syariah), sehingga untuk mengukur apakah tujuan tersebut tercapai atau tidak maka pengukuran kinerjanya pun harus berdasarkan Maqasid Syariah. Kebanyakan sekarang ini, bank syariah Islam mengadopsi pengukuran kinerja Bank Konvensional untuk mengukur kinerjanya, hal ini mengakibatkan pengukuran kinerja bank hanya fokus pada pengukuran kinerja berkenaan dengan kemampuan menghasilkan laba layaknya pengukuran kinerja Bank Konvensional. 31 2.3 Kerangka penilitian Seperti yang telah dijelaskan dalam teori di atas dan dari pengaruh corporate governance dan manajemen risikoterhadap kinerja perbankan syariah berbasis maqashid syariah, maka dibuat suatu kerangka pemikiran. Terdapat tiga variabel independen yang terdiri dari manjemen risiko kredit,manajemen risiko likuiditasdan corporate governance serta satu variabel dependen yaitu kinerja perbankan syariah berbasis maqashid syariah. Kerangka pemikiran tersebut ditampilkan dalam gambar 2.1: 32 Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Corporate Governnace Manajemen Risiko Manajemen risiko likuiditas Financing Risk Dewan Komisaris Komite Audit Kepemilikan Konstitusional Kinerja Perbankan Berbasis Maqasid Syariah 2.4 Hipotesis Penelitian 2.4.1 Pengaruh jumlah Dewan Komisaris terhadap kinerja Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah Dewan komisaris memeliki tugas untuk memberikan saran dan melakukan pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab direksi terkait dengan operasional bank. Dewan komisaris juga memiliki kewajiban memastikan bahwa direksi telah menindaklanjuti temuan maupun rekomendasi yang diberikan oleh dewan pengawas syariah terhadap syariah Islam. Muttakin dan Ullah (2012) yang meneliti 30 bank di bangladesh dan penelitian Hoque, Islam dan Ahmed (2012) yang meneliti 25 bank di bangladesh 2003-2011 menemukan bahwa jumlah board ofdirector (komisaris) mempengaruhi kinerja 33 keuangan bank. Penelitian Santoso (2012) yang meneliti kinerja bank merger,menemukan bahwajumlah komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja bank yang melakukan merger. H1 : Jumlah Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah 2.4.2 Pengaruh jumlah Komite Audit terhadap kinerja Perbankan Syariah bebasis Maqashid Syariah Sam’ani (2008) dalam penelitian Sawitri Sekaredi (2011) mengatakan bahwa jumlah komite audit memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Menurut Sam’ani (2008) dalam penelitian Sawitri Sekaredi (2011) tugas komite audit yaitu memelihara kredibilitas proses penyusuan laporan keuangan, mengoptimalkan fungsi pegawasan, mengawasi audit eksternal dan menjadi sistem pengendalian internal perusahaan. Dengan berjalannya fungsi audit secara efektif, maka control terhadap perusahaan akan lebih baik, sehingga konflik keagenan yang terjadi akibat keinginan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dapat diminimalisasi. H2: Jumlah Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah 34 2.4.3 Pengaruh jumlah Kepemilikan Institusional terhadap kinerja Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah Corporate Governance atau tata kelola perusahaan merupakan mekanisme pengendalian untuk mengatur dan mengelola bisnis dengan maksud untuk meningkatkan kemampuan dam akuntabilitas perusahaan guna mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan (stakeholder), tidak hanya kepentingan para pemegang saham (shareholder). Dengan praktek tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai perusahaan diantaranya kinerja keuangan perusahaan, mengurangi risiko yang merugikan akibat dari tindakan pengelola yang cenderung menguntukan dirinya sendiri dan meningkatkan harga saham perusahaan jangka panjang. Disisi lain, kepemilikan institusional berpengaruh terhadap mekanisme corporate governance sebagai alat monitoring. Menurut Lastanti (2005) menyatakan bahwa aktifitas monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan perusahaan yang mampu meningkatkan kemakmuran pemegang saham sehingga nilai perusahaan meningkat. H3: Jumlah Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap kinerja perbankan berbasis maqashid syariah. 35 2.4.4 Pengaruh variabel financing risk terhadap kinerja perbankan berbasis maqashid syariah Antonio (2001) dan Arifin (2002) menguraikan penyebab utama terjadinya risiko kredit adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas. Akibatnya, penilaian pembiayaan kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya. Risiko akan semakin tampak ketika prekonomian dilanda krisis. Turunnya penjualan mengurangi pengahasilan perusahaan sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Hal ini semakin dibebani oleh meningkatnya tingkat bunga. Pada saat bank akan mengeksekusi pembiayaan macet, bank tidak akan memperoleh hasil yang memadai karena jaminan yang ada tidak sebanding dengan besarnya pembiayaan yang diberikan. Dalam penelitian Wisnu Mawardi (2005), NPL merupakan proksi dari resiko kredit yangterdapat dalam laporan keuangan publikasi. Bank dapat menjalankan operasinya dengan baik jikamempunyai NPLdibawah 5%. Kenaikan NPL yang semakin tinggi menyebabkan cadanganPenyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang ada tidak mencukupi sehingga pemacetankredit tersebut harus diperhitungkan sebagai beban (biaya) yang langsung berpengaruh terhadapkeuntungan bank dan karena keuntungan atau akumulasi keuntungan juga habis, maka harusdibebankan kepada modal (Z. Dunil, 2005). Dengan demikin kenaikan NPL mengakibatkan labamenurun sehingga ROA menjadi semakin 36 kecil. Dengan kata lain semakin tinggi NPL maka kinerjabank menurun dan sebaliknya. H4: Variabel Financing risk berpengaruh negative terhadap kinerja Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah 2.4.5 Pengaruh variabel Manajemen Risiko Likuiditas terhadap kinerja Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah Zainul Arifin (2002) menguraikan bahwa bank syariah harus mampu memenuhi kebutuhan likuiditasnya dengan memelihara likuiditas aset atau menciptakan likuiditas dengan cara meminjam dana. Apabila bank menahan aset seperti surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, risiko likuiditas bisa jadi rendah. Basran Desfian (2005) menyatakan bahwa sesuai dengan teori yaitu peningkatan LDR disebabkan peningkatan dalam pemberian kredit ataupun penarikan dana oleh masyarakat dimana hal ini dapat mempengaruhi likuiditas bank yang berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan masyarakat H5: Variabel Manajemen Risiko Liquiditas berpengaruh positif terhadap kinerja Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah