JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 72 Pendekatan Al-Qur’an Melalui Metode Syariah Maqashid Untuk Melawan Ekstremisme Sitti Nadirah Dosen Institut Agama Islam Negeri Palu Sulawesi Tengah [email protected] Abstract This article aimed for countering extremism through the method of Quran exegesis. It will explain about the methodology of Quran exegesis based on purposeful sharia within contextual approach. It is acquired method from maqashid sharia which initiated by Jasser Auda and contextual interpretation introduced by Abdullah Saeed for interpreting the Quran. With the complete of conviction of extremism, their emergences are textual interpretation of the Quran. As we know that in the Quran, there are radical verses whose duty against polytheist (musyrik) and infidel (kafir). The result of research is produce three steps of the method to interpret the radical verses. Firstly, thematic stages within two way; collect the same verses in one theme and arrange the chronology of their revelation. Secondly, understanding the context of revelation either specific causes (asbab nuzul mikro) or common causes (asbab nuzul makro) and establishing its purpose and its universal values. Thirdly, relating the verse for the present context. However, we could not accept extremist which are understand the Quran, incorrectly. They are blotted the Islamic teaching with their wrong interpretation of the Quran. So, this is kind of effort which take part in countering extremism. Keywords: Maqashid Saria, Quran Exegesis, Contextual Approach, radical verses, extremism. Abstrak; Artikel ini ditujukan untuk melawan ekstremisme melalui metode tafsir Qur’an. Ini akan menjelaskan tentang metodologi tafsir Al-Qur’an berdasarkan tujuan syariah dalam pendekatan kontekstual. Hal ini diperoleh metode dari syariah maqashid yang diprakarsai oleh Jasser Auda dan interpretasi kontekstual diperkenalkan oleh Abdullah Saeed untuk menafsirkan Al-Quran. Dengan lengkap keyakinan ekstremisme dan emergences mereka tafsirkan secara tekstual dari al-Qur’an. Seperti yang kita tahu bahwa dalam Quran, ada ayat-ayat yang di anggap radikal dan manusia berfikir harus melawannya. Sehingga mereka muda musyrik (musyrik) dan kafir-kan orang lain. Hasil penelitian ini menghasilkan tiga langkah dari metode untuk menafsirkan ayat-ayat yang radikal. Pertama, tahap tematik dalam dua cara; mengumpulkan ayatayat yang sama dalam satu tema dan mengatur kronologi wahyu mereka. Kedua, memahami konteks wahyu baik penyebab khusus (asbab mikro nuzul) atau penyebab umum (asbab makro nuzul) dan membangun tujuan dan nilai-nilai universal. Ketiga, berkaitan ayat untuk konteks sekarang. Namun, tidak bisa menerima ekstrimis yang memahami al-Qur’an secara tidak benar. Mereka menghilangkan makna damai ajaran Islam dengan interpretasi yang salah. Jadi, ini adalah jenis usaha yang mengambil bagian dalam melawan ekstremisme. Kata Kunci: Maqashid Syariah, Al-Qur’an Tafsir, Pendekatan, Radikal, Ekstremisme 73 JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 Latar Belakang Setelah akhir Perang Dunia II yang di mulai oleh Komunisme dan dimenangkan United State. Jadi, satu-satunya ideologi dengan kekuatan super adalah Kapitalisme. Tentu menafsirkan ideologi jelas akan membuat dan mencari musuh baru. Menurut teori benturan peradaban, ideologi harus memiliki lawan untuk membuatnya tampak diseluruh dunia. Yang terpilih adalah Islam, khususnya bagi mereka yang sering menyebut Islam itu terorisme. 1 Kemudian, argumentasi ini diperkuat oleh peristiwa 9/11 tahun 2001 lalu. Mendeklarasikan perang dengan terorisme, mungkin mereka cara inilah lebih diterima logika dan masuk akal untuk menyebut Islam itu terorisme dan memeranginya. Oleh karena itu, masyarakat-masyarakat Barat sangat penasaran, apa yang terjadi dengan Islam. Apakah ada alasan untuk melakukan teror dalam Islam?. Untuk jawaban pertanyaan itu, para ulama Islam, melakukan penelitian mendalam. Penelitian itu outputnya menjadi banyak buku, artikel, jurnal dan makalah. Salah satunya adalah jurnal dari American Journal of Social Sciences yang mengulas tentang Islam waktu itu dan dibahas dalam edisi khusus antara Neo-orientalisme dan Islamophobia. Christoper Allen dalam penelitiannya mengatakan bahwa Islam phobia lebih bersinar pada orangorang Uni Eropa dan Inggris setelah 9/11. Di Eropa, ada beberapa tindakan seperti kekerasan, agresi dan perubahan yang di identifikasi melalui sikap dan prilaku, seperti tindakan diskriminasi terhadap Muslim dan fisik manusia yang terkait dengan Islam. Sementara, di British sendiri singkatan untuk Islam: Intoleransi, Slaughter, Penjarahan, Pembakaran dan penganiayaan perempuan.2 Bagaimanapun perlakuan image mereka terhadap Islam, namun penjualan Al-Qu’an sangat laris dan itu di beli oleh kebanyakan masyarakat Eropa, termasuk yang Islamphobia. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki pengaruh yang signifikan untuk setiap kegiatan umat Islam diberbagai belahan dunia. Sebagai kitab suci umat Islam, Al-Quran selalu menjadi petunjuk dalam hidup dan pedoman dalam bertindakan setiap hari berdasarkan ajaran Islam, termasuk yang dianggap mereka itu Islam radikal dan justru mereka mendasarkan tindakannya pada Al-Qur’an. Hal ini tidak bisa diperdebatkan bahkan oleh muslim sendiri. Karena, dalam beberapa ayat Al-Quran ada ayat-ayat perang yang mewajib umat Islam atau seorang muslim itu berjihad dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan khususnya penduduk yang musyrik.3 Menurut Abdullah Saeed (2006;3) membuat tiga kategori tentang pemahaman kitab suci umat Islam; Tekstualis, Semi-tekstualis dan Kontekstualis. Perbedaan antar umat Islam sendiri adalah interpretasi masing-masing dengan sosio-konteks. Tekstualis Islam menimbulkan perdebatan melalui pemaknaan teks dan menerima pemahaman harfiah tentang sebuah teks. Lalu, Semi-textualists pada dasarnya sama dengan textualists, tetapi menggunakan beberapa istilah modern untuk perkuat argumentasi. Kemudian, contextualists menekankan konsep sosio-historis dan nilai-nilai esensial dari al-Qur’an. 4 Untuk kategori-kategori, ekstrimis dan teroris atau Islam radikal adalah penafsiran Al-Qur’an dengan 1 Pippa Norris and Ronald Inglehart, Islam and The West: Testing the Clash of Civilization Thesis (Harvard: Harvard University Press, 2002) p. 1 2 Christoper Allen, “Justifying Islamophobia: A Post 9/11 Consideration of the European Union and British Context” in American Journal of Islamic Social Sciences vol. 21, Summer 2004, p. 3-12 3 For the examples look the Quran: 2.190, 3.167, 9.29, 49.9 etc. 4 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006) p. 3 JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 74 pendekatan tekstual, terutama di ayat yang dianggap radikal. Sebenarnya, Abdullah Saeed memiliki metodologi penafsiran yang perhatiannya untuk melawan tafsir tekstual. Dia mendefinisikan metode dengan pendekatan kontekstual. Di sisi lain, ada ulama yang merasa tidan nyaman dengan Abdullah Saeed, namanya Jasser Auda. Dia mengembangkan teori syariah maqashid dengan pendekatan sistem pelafalan dan penafsiran realitas untuk melawan ekstremisme itu sendiri. Teori syariah maqashid adalah teori hukum dasar Islam yang membahas tentang nilai-nilai penting dari hukum Islam termasuk ayat pertempuran (jihad). Sementara, posisi Jasser Auda adalah konsep dasar untuk metodologi tafsir alQur’an. Tulisan ini juga akan menjelaskan dan menerapkan metodologi untuk ayat-ayat jihad. Kelompok ekstremis sering menafsirkan ayat-ayat jihad dengan kesalahpahaman. Mereka yang menganggap bahwa kekerasan itu sah dengan berlandaskan diri pada ayat-ayat jihad. Ini tentu sudah sangat keliru. Metode ini konvergensi antara perspektif Jasser Auda dan pendekatan Abdullah Saeed. Ide menekankan bahwa saya melakukan penelitian ini untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an yang membutuhkan lebih banyak pengetahuan, metode, dan memahami sosio-konteks. Untuk keterangan fokus, saya membuat dua pertanyaan yang akan dijawab dalam artikel ini. Pertama, apakah metodologi syariah maqashid dalam pendekatan kontekstual? Kedua, bagaimana menerapkan metodologi syariah maqashid untuk ayat – ayat Jihad? Maqashid Syariah Jasser Auda’s Sebelum saya menjelaskan tentang perspektif Jasser Auda untuk syariah maqashid, itu baiknya bahwa untuk menggambarkan syariah maqashid sendiri dibentuk oleh dua kata; maqashid dan syariah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshad tunggal berarti tujuan. maka, maqashid adalah nilai penting universal. Kemudian, syariah dikenal sebagai aturan dasar hukum Islam dan yurisprudensi. Sehingga pengertian gabungan keduanya maqashid syariah adalah tujuan yang telah hukum Islam untuk bertindak demi keadilan.5 Syariah maqashid pada pertama kali adalah bentuk istilah untuk salah satu sumber hukum Islam di samping al-Qur’an, Sunnah, konsensus ulama (ijma’) dan analogi (qiyas) dan lain sebagainya. Tentu semuanya bersumber pada hukum dasar Islam (ushul fiqih). Namun, sekarang syariah maqashid adalah bagian dari ushul fiqih. Pada pengembangan syariah maqashid, karya Al-Shatibi pada judul tulisan al-Muwafaqat fi Ushul alSyariah adalah buku pertama yang memperkenalkan syariah maqashid sebagai prinsip untuk menentukan hukum Islam. kontribusinya dari konsep maqashid adalah tiga aspek dasarnya; Pertama, maqashid menjadi rujukan dan prinsip dasar dari aturan Islam yang sebelumnya tidak pernah menjadi konsep yang independen.6 Kedua, al-Shatibi mengatakan bahwa syariah maqashid adalah prasyarat untuk melakukan interpretasi individu (ijtihad). Ia mengklaim bahwa konsep umum dari maqashid adalah prinsip dasar untuk keputusan hukum, bukan pada argumentasi parsial. Ketiga, ia menyatakan bahwa undang-undang untuk syariah maqashid adalah pasti (qat’i).7 Ada tiga hierarki dari aspek syariah maqashid sebagai dimensi tingkat kebutuhan: kebutuhan (daruriyat), kebutuhan (hajiyat) dan kemewahan (tahsiniyat). Hal yang paling penting di antara itu Jasser Auda, Maqashid Sharia as Philosophy of Islamic Law (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007) p. 2 6 Ibrahim Muhammad al-Shatibi, Al-Muwâfaqât fî Usûl al-Sharia (Beirut: Dar Ibn Affan, 1997) vol. 1, p. 1 7 Ibrahim Muhammad al-Shatibi, Al-Muwâfaqât fî Usûl al-Sharia … vol 3 1 p. 173 5 75 JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 adalah aspek kebutuhan. Lima faktor dari aspek kebutuhan yang melestarikan iman (hifz al-din), Soul (nafs), Wealth (mal), Pikiran (aql), Offspring (nasl) dan Honor (‘ird). pengembangan kontemporer syariah maqashid adalah inisiatif oleh Jasser Auda. Dia adalah kantor pusat sebagai pendiri al-maqashid Research Center di London, UK. Dia menulis sebuah karya tentang syariah maqashid dalam dua versi; Inggris dan Arab. Keduanya diterbitkan di London oleh The International Institute of Islamic Thought.8 Jasser Auda ketika mengutif ide Abraham Maslow tentang kebutuhan pada abad ke-21 untuk mengembangkan konsep keharusan. Menurut Maslow, kebutuhan manusia di era kontemporer diperpanjang dari persyaratan physicological dasar dan keselamatan, mencintai dan memperhatikan dan aktualisasi diri. Menurut Jasser Auda maqashid syariah klasik memiliki beberapa kelemahan. Pertama, kisaran maqashid tradisional tidak dibagi secara detail. Kontemporer klasifikasi maqashid menjadi tiga tingkatan: 1). maqashid umum untuk seluruh tubuh pemerintahan Islam seperti keadilan dan kebebasan; 2). maqashid khusus untuk bab tertentu dari pemerintahan Islam seperti mencegah penjahat dalam hukum pidana dan 3). maqashid tertentu, yang maksud di balik putusan tertentu seperti memungkinkan orang yang sakit dan puasa untuk buka puasa mereka. Kedua, perhatian maqashid tradisional masih orientasi individu. Jassser Auda, kemudian memberikan sebuah argumentasi bahwa perubahan orientasi dengan keluarga, masyarakat dan manusia pada umumnya sangat memiliki kecenderungan terjadi pada manusia dalama sistem kehidupannya, seperti mlestarikan jiwanya. Maka, konteksnya kalau diartikan dalam bentuk tindakan jihad, maka tidak hanya melarang membunuh satu sama lain secara individual, tetapi bagaimana cara merawat untuk keamanan orang lain sebagai masyarakat terjaga hak asasi manusianya. Ketiga, dasar maqashid tradisional tipu muslihat dan perlindungan. Auda menyarankan pengembangan hak asasi manusia untuk dasar berikutnya dalam konteks kajian maqashid.9 Paradigma baru, terutama syariah maqashid yang diatur oleh Jasser Auda adalah pendekatan sistem. Ada lima fitur pemikiran Islam pada pendekatan sistem menurut Jasser Auda terhadap metode memvalidasi kognisi, holisme, keterbukaan, multi-dimensi dan menuju purposefulness. Tiga diantara cara diatas bahwa yang memvalidasi kognisi, Keterbukaan dan Multi-dimensi yang terkait dengan epistemologi ilmu dasar pemerintahan Islam yang berkaitan dengan metodologi sistem hukum dalam suatu negara. Oleh karena itu, antara holisme dan purposefulness untuk mengembangkan metode al-Qur’an tafsir. Prinsip holisme tidak menggunakan ayat-ayat parsial dalam al-Quran, namun setiap ayat tunggal yang hubungan antara satu ayat dan orang lain dalam tema yang sama. Biasanya, prinsip ini disebut metode tematis tentang metodologi al-Qur’an tafsir untuk melihat peristiwa dan realitas kekuasaan negara. Dan purposefulness adalah tentang konteks situasi al-Qur’an itu sendiri. Berarti, bagaimana model menafsirkan al-Qur’an didasarkan pada cara-cara nabi melakukan dan bertindak dalam kebijaksanaan melalui ayat-ayat yang menjelaskan tentang berbagai persfektif lingkungan tertentu. Pendekatan Kontekstual Abdullah Saeed Abdullah Saeed adalah profesor di National Centre of Excellence untuk Studi Islam, Institut Asia di Universitas Melbourne. pemikiran Saeed dari proses penafsiran al-Qur’an yang selama ini dilakukannya banyak dipengaruhi oleh Fazlurrahman, dan ia mengakui hal itu. Dan kontribusinya untuk bidang tafsir 8 9 Accessed from www.JasserAuda.net on Desember 9th 2015 Jasser Auda, Maqashid Sharia as Philosophy of Islamic Law … p. 5 JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 76 al-Qur’an adalah membuat pikiran Fazlurrahman ini lebih sistematis dengan yang ia sebut pendekatan kontekstual. Bukti dari pernyataan ini adalah metodologi penafsiran yang ditempuh. 10 Menurut Abdullah Saeed, hal-hal penting untuk dilakukan pada proses penafsiran al-Qur’an adalah mengetahui ilmu linguistik, ilmu sejarah dari Quran (asbab nuzul), dan memahami konteks sosiohistoris bahkan di masa lalu dan era kontemporer. Oleh karena itu, semua tahapan mencakup semua aspek-aspek untuk bagaimana model dan sistem menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tahap pertama adalah perjumpaan dengan dunia teks / ayat. Tahap kedua adalah analisis kritis dengan aspek linguistik. Fungsi penafsir harus tahu arti sastra, konteks sastra, aspek tata bahasa dan semua potongan tentang linguistik. Yang ketiga adalah apa yang dikatakannya berarti untuk penerima yang pertama. Ada analisis kontekstual yang menentukan sifat dari pesan secara spesifik, menjelajahi mendasari dan spesifik serta mendalam, mengingat pesan yang berkaitan dengan tujuan yang lebih luas, dan mengevaluasi bagaimana teks itu menerima oleh masyarakat pertama dan bagaimana metode mereka menafsirkannya. Tahap terakhir adalah bagaimana mengidentifikasi makna untuk saat ini. Berkaitan teks dengan menentukan keprihatinan dan masalah baru-baru, mencari nilai-nilai dan norma-norma yang memiliki mentolerir pada pesan tertentu, membandingkan konteks sekarang dengan konteks sosio-historis ayat dalam pertimbangan untuk memahami yang sama dan berbeda antara keduanya, dan bagaimana konteks ini mengambil nilai Al-Qur’an dengan cara yang sama dengan penerima pertama. Teori landasan pendekatan kontekstual mengatur dari tiga konsepsi; proto-kontekstual, hermeneutik Fazlurrahman dan maqashid. tindakan yang benar (amal salih) sama seperti kesalehan (taqwa) yang konsepsi dasar untuk menafsirkan semua ayat-ayat dalam Al-Quran menurut Abdullah Saeed dan Fazlurrahman. Dengan semua faktor ini Saeed membuat struktur nilai dalam Quran, yaitu hierarki nilai. Abdullah Saeed mengakui bahwa mengidentifikasi semua nilai al-Qur’an sulit. Tapi ia menyimpulkan semua kedalam lima kategori; Pertama adalah nilai wajib, adalah nilai dasar fundamental. Setiap satu muslim benar-benar harus yakin dan melakukan nilai segala sesuatu dalam wajib ini. Ada tiga aspek nilai wajib; 1). nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem kepercayaan, misalnya seperti kepercayaan kepada Tuhan, nabi, al-Qur’an dan lainnya. 2). nilai yang berkaitan dengan praktek doa menekankan dalam al-Qur’an seperti lima waktu shalat sehari dan lainnya. 3). nilai sekitar diperbolehkan dan dilarang.11 Kedua; nilai fundamental. Nilai-nilai fundamental dasar dari nilai-nilai kemanusiaan yang mengikuti lima poin dari syariah maqashid, adalah 1). perlindungan kehidupan, 2). properti, 3). kehormatan, 4). keturunan dan 5). agama. Ketiga adalah nilai perlindungan. Ini adalah praktek untuk melindungi nilai-nilai fundamental, misalnya seperti melarang pencurian dan riba adalah properti perlindungan dan lainnya. Keempat adalah nilai implementasi, nilai ini adalah jenis hadiah dan hukuman yang konsekuensi dari nilai-nilai perlindungan. Sebagai contoh, ketika pencurian seseorang, maka hukuman akibat dipotong tangan. Tapi ini adalah lokasi untuk pendekatan kontekstual yang harus dipertimbangkan tempat dan waktu. Nilai terakhir adalah nilai pembelajaran yang lebih spesifik dan nilai lebih duniawi seperti ayat-ayat perang, ayat-ayat jihad, ayat-ayat membunuh dan lainnya. 12 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach … p. 128 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach … p. 130 12 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach … p. 136 10 11 77 JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 Maqashid Syariah sebagai Metode al-Qur’an Tafsir dalam Kontekstual Pendekatan dan Aplikasi nya Maqashid syariah dalam pendekatan kontekstual adalah hal yang diperlukan untuk menafsirkan dan memahami ayat-ayat yang radikal. Sebelum saya menjelaskan metode sistematis syariah maqashid dalam pendekatan kontekstual, saya menunjukkan ayat-ayat yang radikal dalam al-Qur’an. Aku mengambil kata-kata membunuh atau bertarung dengan formulasi perintah, dan hasilnya ditemukan sedikit tentang sembilan ayat dalam al-Qur’an. Di antara dari mereka dikatakan: “Dan bunuhlah mereka di mana Anda menyalip mereka dan mengusir mereka dari mana pun mereka telah mengusir Anda, dan fitnah lebih buruk daripada membunuh. Dan tidak melawan mereka di al-Masjid al-haram sampai mereka memerangi kamu di sana. Tetapi jika mereka memerangi kamu, kemudian membunuh mereka. Tersebut adalah balasan dari orang-orang kafir.” (Al-Qur’an, 2:191) “Melawan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah atau di hari akhir (kiamat) dan yang tidak menganggap sah apa yang Allah dan Rasul-Nya telah sampaikan dan yang tidak mengadopsi agama yang benar dari orang-orang yang diberi Kitab Suci - [melawan] sampai mereka memberikan yang jizyah (rela) dan sementara mereka merendahkan diri”. (Al-Qur’an, 9.29) Dua ayat di atas adalah bagian dari ayat-ayat yang radikal menurut mereka orang-orang yang melakukan interpretasi terhadap perubahan dan tekanan yang tidak mereka inginkan. Kita tidak bisa menyangkal bahwa dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang radikal. Tapi di sisi lain, kita harus menyadari bahwa ayat-ayat yang tidak bisa dimengerti tanpa metodologi al-Qur’an tafsir. Jadi, ide inti dari artikel ini adalah untuk menjawab bagaimana menafsirkan ayat-ayat radikal dalam al-Qur’an dengan metodologi syariah maqashid dalam pendekatan kontekstual. Metode yang saya disebut adalah konvergensi antara pikiran Jasser Auda dan Abdullah Saeed. Syariah maqashid pada kasus ini adalah epistemologi dasar. Holisme dan purposefulness menjadi aspek utama untuk metodologi. Dan pendekatan kontekstual adalah desain secara sistematis agar mereka mendapat simpati publik bahwa itu adalah ayat-ayat radikal yang berlaku dan relevansi dengan konteks kontemporer. Didasarkan pada itu prinsip, saya membuat metodologi Quran tafsir untuk menafsirkan ayat-ayat yang radikal. Ada tiga langkah: Pertama, sebagai prinsip holisme menggunakan metode tematik yang mengumpulkan seluruh ayat-ayat dalam satu tema dan kemudian mengatur sesuai dengan kronologi wahyu. Kedua adalah mencari tujuan ayat yang menarik dengan semangat Nabi Muhammad saw, melalui dua cara, yakni 1). memahami konteks wahyu termasuk tradisi, budaya dan 2). memahami konteks kontemporer seperti aspek geo-politik, budaya masyarakat dengan horizon tertentu dan cakrawala umum. Kemudian, menemukan nilai universal al-Qur’an. Langkah ketiga; membuat ayat relevansi di pangkalan konteks nilai-nilai Al-Qur’an yang ditemukan. Penerapan metode tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahapan Holistik Metode ini melalui dua langkah: 1). mengumpulkan ayat-ayat dan 2). mengatur kronologi wahyu. Untuk langkah pertama menggunakan buku Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Quran yang ditulis oleh Fuad Abd al-Baqi. Akhirnya, ditemukan beberapa ayat al-Qur’an yang sering mereka sebut ayat radikal yakni ayat 22:39-40, 2:190, 3:167, 4:76, 9:12, 9:29, dan 9:49. 13 Langkah kedua adalah membuat pengaturan untuk kronologi wahyu. Setelah kita mendapatkan ayat-ayat dalam tema yang sama pada langkah pertama, mengungkapkan ayat-ayat dalam Al-Quran 13 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfâz al-Qurân (Cairo: Dar al-Hadith, 1364) p. 535 JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 78 berbicara tentang pertarungan. Seperti diketahui bahwa dakwah pertama Muhammad adalah pada tindakan yang benar dan jalan damai. Dia adalah manusia yang kredibel memiliki gelar al-amin sebelum ia menjadi seorang nabi. Tapi, dia selalu diserang oleh orang-orang di Mekah bahkan oleh pamannya. Selama periode Mekkah 13 tahun, Muhammad menyebarkan ajaran teologis Islam kepada orang-orang di sekelilingnya dengan penuh belas kasih dan pengampunan. Meski begitu orang selalu penyalahgunaan Muhammad berulang-ulang, tapi ia menerima perlakuan mereka patuh. Pada akhirnya, Allah memberikan peringatan kepada Muhammad untuk melindungi dirinya dan teman-temannya dari gangguan orang. Akhirnya, di tahun kedua dari removal (hijrah), Muhammad membuat pertahanan untuk melawan orang-orang yang memusuhi Islam. Pada pembahasan ayat ini mengungkapkan bahwa memungkinkan nabi untuk melawan yang tertera pada ayat 22:39-40. Allah berfirman: Izin [untuk melawan] telah diberikan kepada mereka yang sedang berjuang, karena mereka dirugikan. Dan memang, Allah adalah kompeten untuk memberi mereka kemenangan. [Mereka] mereka yang telah diusir dari rumah mereka tanpa hak-hanya karena mereka mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa”. Menurut Sahiron Syamsuddin dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kedua ayat-ayat di atas adalah inti-ayat dari seluruh ayat-ayat tentang pertarungan dan pertempuran yang terungkap selama ini. Hal ini terungkap ketika pertempuran Badar terjadi pada dua tahun pertama setelah penghapusan. Hasil Syamsuddin analisis linguistik dan sejarah menjelaskan ayat-ayat tidak hanya perintah untuk berperang, tetapi memiliki tiga mengandung nilai-nilai; menghapus penindasan, kebebasan beragama dan untuk membangun perdamaian. Selain itu, Syamsuddin memiliki gagasan bahwa ayat-ayat radikal termasuk ayat-ayat yang belum dikonfirmasi (mutasyabih) dan ayat-ayat perdamaian melibatkan ayatayat dikonfirmasi (muhkam).14 Kemudian, mengungkapkan ayat-ayat lain pada masalah pertempuran dalam konteks yang berbeda dari perang. Ali Imran 3:167 terungkap ketika perang Uhud dalam tiga tahun pertama setelah penghapusan. At-Tauba 9;29 terungkap ketika perang Tabuk terjadi. Kemudian Hujurat 49:9 adalah tentang muslim munafik yang melakukan pengkhianatan kepada Nabi dan umat Islam lainnya. b. Tahap Tujuan Ada empat langkah untuk mencari makna maksud tertentu. Pertama, memahami aspek tertentu dari motif terungkap. Kedua; dikenal seluruh alasan wahyu dalam konteks global Arab. Ketiga; mengambil purposefulness dan keempat adalah menentukan nilai-nilai universal. Konteks spesifik 9:29 adalah tentang perang Tabuk. Perang Tabuk ini adalah melawan Roma untuk sebagian wilayah membebaskan di Utara Arab yang dijajah oleh mereka. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada buku mereka yaitu Tafsir al-Manar mengatakan bahwa ayat 9:29 bukan tentang pertempuran perintah ini. Ide menekankan ayat adalah penyebab alasan. Alasannya adalah permusuhan dan bersekongkol rencana dari orang yang tidak percaya untuk istirahat Nabi dan Islam ke bawah. Mereka tidak menghormati dengan kesepakatan yang telah dibuat antara mereka dengan Nabi dan akan menghancurkannya.15 Pendapat yang sama, Mustafa Maraghi mengatakan bahwa semua pertempuran yang ditafsirkan dari ayat tersebut secara substantif adalah di jalan memikat (dakwah) dan dasar aturan yang memikat dalam Sahiron Syamsuddin, “Pesan Damai di Balik Seruan Jihad” in Sahiron Syamsuddin (ed), Islam Tradisi dan Peradaban (Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012) p. 87-99 15 Muhammad Abduh and Rashid Rida, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm; Tafsîr al-Manâr (Cairo: al-Hai’ah al-Misriyah, 1999) p. 249 14 79 JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 Islam adalah sikap, penyayang dan keadilan. 16 Mengapa al-Qur’an mewajibkan non-orang percaya untuk membayar beberapa pajak (jizyah) kepada Nabi? perpajakan pada saat itu adalah jenis pengejaran kepada pemimpin. Hal ini jelas terkait dengan langkah kedua. Pembayaran praktek perpajakan dilakukan oleh kerajaan-kerajaan pada saat itu. Raja memiliki kaya semua kebijakan terbatas. Warga merasa menderita karena beban pajak yang diwajibkan oleh raja kepada mereka. Dan Tabuk adalah wilayah dominasi untuk kerajaan Gassan yang di bawah perintah kekaisaran Byzantium. Orang-orang di Tabuk sangat lemah dan sangat miskin karena perpajakan kerajaan Gassan. Setelah mendengar bahwa Muhammad ingin datang ke Tabuk, mereka sangat antusias dan berharap Nabi membebaskan mereka dari penindasan. Dan memang benar, karena Muhammad membangun keadilan dan belas kasihan di Tabuk. Warga sangat senang untuk membayar jizyah kepada Nabi. Dia membuat reformasi perpajakan ketika ia pertama diterapkan jizyah. Dengan dua cara: perjanjian dengan orang-orang di Tabuk dan bernegosiasi untuk perpajakan yang paling mudah bagi mereka.17 Langkah purposefulness diketahui dari apa yang praktek telah dilakukan oleh Nabi. Praktek Nabi berlaku kesadaran, saling menghormati satu sama lain untuk warga Tabuk di jalan damai menunjukkan bahwa Muhammad adalah pemimpin yang memiliki rasa hormat pada prinsip keadilan, kesetaraan dan kebebasan. Oleh karena itu, nilai-nilai universal dari ayat ini adalah nilai kesetaraan, nilai kebebasan, nilai perdamaian dan nilai keadilan. Dan perbedaan antara prinsip dan nilai, prinsip adalah hal dasar untuk membangun aturan tertentu atau canon, sedangkan nilai adalah sesuatu yang lebih global daripada prinsip, diinternalisasi oleh orang-orang untuk melakukan semua aktivitas. Sebuah. aplikasi kontekstual Untuk saat ini, dalam konteks ini, ayat-ayat yang radikal tidak dapat diterapkan oleh umat Islam. Karena kondisi geo-politik telah berubah. Islam tidak harus melakukan perang atau pertempuran ke dasar lain di ayat-ayat ini. Ayat ekstremisme adalah ayat-ayat dalam waktu tertentu dan dalam kondisi sangat temporal. perubahan kondisi, sehingga ayat-ayat yang perubahan. Dan satu hal dapat diterapkan dari ayat-ayat radikal adalah semangat dakwah Nabi. Hal ini harus berada di bawah kebijakan ayat-ayat damai. Karena perdamaian adalah prinsip dan nilai ajaran Islam. aplikasi kontekstual global untuk ayat ini adalah bagaimana menjadi seorang muslim yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kehormatan, nilainilai penghormatan, nilai-nilai kepercayaan di mana-mana, setiap waktu, setiap saat pada kehidupan mereka. Pada tingkat tertentu, ayat 9.29 adalah berbicara tentang jizyah, konsep dasar adalah sama dengan pajak. Konteks ini tidak harus menerapkan konsep jizyah, karena sekarang, tidak ada bangsa dan perang wilayah Islam lagi. Tapi, prinsip-prinsip ini ayat itu menemukan, harus diterapkan pada praktek perpajakan, di era kontemporer. perpajakan hukum harus memberikan perhatian dengan prinsip keadilan, prinsip kehormatan, prinsip kepercayaan dengan membangun sistem modern yang didasarkan pada semua nilai-nilai. Kesimpulan ayat radikal, bagaimanapun, termasuk di isi al-Qur’an. Tapi, kita harus tahu prinsip dan metode menafsirkan dan mengeksegesis ayat-ayatnya. Melalui syariah maqashid dan pendekatan kontekstual, itu adalah salah satu metodologi untuk Mustafa Maraghi, Tafsîr al-Marâgî (Cairo: Makatab Mustafa al-Baby, 1946) vol. 10, p. 92 Karen Armstrong, Islam; the Short History (New York: Chronicle Book, 2002) p. 23. See also: Safiyurrahman alMubarakfuri, Al-Rahîq al-Makhtoum (Riyadh: Dar al-Salam, 1414 H) p. 398 16 17 JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017 80 memahami ayat-ayat dengan membangun perdamaian dan pembangunan manusia. Ini semacam upaya untuk melawan pemahaman ekstremis yang menerapkan Quran dengan tindakan yang salah. Bibliografi Allen, Christoper. “Justifying Islamophobia: A Post 9/11 Consideration of the European Union and British Context” in American Journal of Islamic Social Sciences vol. 21, Summer 2004. Armstrong, Karen. Islam; the Short History, New York: Chronicle Book, 2002. Auda, Jasser. Maqashid Sharia as Philosophy of Islamic Law, London: The International Institute of Islamic Thought, 2007. Baqi, Muhammad Fuad Abd al-, Mu’jam Mufahras lî Alfâz al-Qurân, Cairo: Dar al-Hadith, 1364. Maraghi, Mustafa. Tafsîr al-Marâgî, Cairo: Makatab Mustafa al-Baby, 1946. Mubarakfuri, Safiyurrahman al-, Al-Rahîq al-Makhtoum (Riyadh: Dar al-Salam, 1414 H) p. 398 Muhammad Abduh and Rashid Rida, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm; Tafsîr al-Manâr, Cairo: al-Hai’ah al-Misriyah, 1999. Pippa Norris and Ronald Inglehart, Islam and The West: Testing the Clash of Civilization Thesis, Harvard: Harvard University Press, 2002. Saeed, Abdullah. Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach, London: Routledge, 2006. Shatibi, Ibrahim Muhammad al-, Al-Muwâfaqât fî Usûl al-Sharia, Beirut: Dar Ibn Affan, 1997. Syamsuddin, Sahiron. “Pesan Damai di Balik Seruan Jihad” in Sahiron Syamsuddin (ed), Islam Tradisi dan Peradaban, Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012. The Holy Quran, www.JasserAuda.net Accessed on Desember 9th 2015