EFEK TAYANGAN FILM HOROR ”KUNTILANAK” TERHADAP SISWA-SISWI SMA NEGERI 4 TANGERANG (Studi Deskriptif Pada Siswa-Siswi SMA Negeri 4 Tangerang) Di Susun Oleh : Nama : Umiroh Syaqqi Nim : 44105010212 Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Jenjang Pendidikan Srata 1 (S1) Program Studi Broadcasting FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2009 i Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu Komunikasi Bidang Studi Broadcast ABSTRAKSI UMIROH SYAQQI (44105010212) Efek Tayangan Film Horor Kuntilanak Terhadap Siswa-Siswi SMA Negeri 4 Tangerang (Studi Deskriptif Pada Siswa-Siswi SMA Negeri 4 Tangerang) Xii hal + 81 hal + 26 Tabel + 17 Lampiran Bibliografi : 32 buku (thn 1987-2007) Salah satu media massa yang dapat diserap secara mendalam oleh khalayak adalah film. Film merupakan produk kebudayaan yang dibuat dengan didasari oleh kesadaran, hal ini berarti bahwa film diciptakan melalui proses pemikiran dan pertimbangan tentang nilai-nilai normative yang dianut masyarakat, suatu hal yang wajar sebagai pertanggung jawaban bagi kemanusiaan dan kehidupan. Judul film yang menggunakan nama-nama hantu cukup populer dikalangan masyarakat Indonesia sehingga menimbulkan kesan bahwa masyarakat Indonesia masih menganut paham dinamisme. Pada tahun 2006 film horor Kuntilanak berhasil menyedot penonton sebanyak 1,8 juta dengan pendapatan kotor 30 Milyar dari biaya produksi 3,5 Milyar. Film horor Kuntilanak ini mengalahi film horor sebelumnya yakni Jelangkung yang pernah sukses ditahun 2001 yang menyedot penonton sebanyak 1,2 juta penonton. Efek merupakan suatu pengaruh yang dihasilkan terhadap seseorang atau sesuatu. Efek-efek yang diteliti disini sendiri yakni kognitif yaitu yang berhubungan dengan pengetahuan kita terhadap sesuatu, efek afektif berhubungan dengan sikap kita atau ekspresi perasaan kita terhadap sesuatu, serta efek konatif yang berhubungan dengan tingkah laku kita terhadap sesuatu. Teori “Stimulus Organisme Response (S-O-R)” menjelaskan bahwa efek merupakan reaksi terhadap stimuli (rangsangan) tertentu. Dan teori “Jarum Hipodermik” merupakan suatu teori yang membahas mengenai media itu sendiri yang di umpamakan sebagai alat bius untuk audiens dalam ketidaksadarannya. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah survey, dimana peneliti mengumpulkan data dari 90 responden yang dipilih secara purposif. Kemudian, data yang diperoleh dari jawaban responden diolah secara manual dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek tayangan film horor “Kuntilanak terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang adalah TINGGI dinilai positif dengan presentase 72,2%. Jadi dapat disimpulkan, melalui hasil penelitian yang diperoleh akhirnya diketahui bahwa film horor Kuntilanak memiliki efek-efek tertentu bagi mayoritas responden. ii KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Efek Tayangan Film Horor Kuntilanak Terhadap Siswa-Siswi SMA Negeri 4 Tangerang.” Penyusunan skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana jurusan Broadcasting. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadikan sumbangan yang berarti bagi Universitas Mercu Buana, khususnya Fakultas Ilmu Komunikasi. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi, antara lain : 1. Bapak Drs. Riswandi, M.Si, selaku dosen pembimbing yang selalu mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi hingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Bapak Ponco Budi Sulistyo, S.Sos, M.Comn, selaku ketua bidang broadcasting dan sebagai ketua sidang outline yang memberikan arahan dalam penyusunan skripsi. 3. Ibu Dra. Tri Diah Cahyowati, M.Si, selaku ketua sidang skripsi. 4. Ibu Feni Fasta, M.Si, selaku sekretaris bidang broadcasting dan penguji ahli sidang skripsi. Terima kasih atas segala masukan dan kritik selama kuliah. 5. Ibu Nurprapti. W.W, S.Sos, M.Si, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan kepada penulis. 6. Ibu Dra. Diah Wardhani, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi yang telah memberikan kemudahan dalam perizinan peneliti untuk mencari informasi. iii 7. Wakil Dekan Bpk Drs Hardiyanto, Msi yang selalu membantu dalam proses perizinan peneliti. 8. Mama (Hj. Juhaeriyah) dan Bapak (H. M. Muhidin Hambali) yang peneliti cintai dan hormati. Terima kasih atas bantuan baik moril maupun materil yang tak ternilai harganya. 9. Seluruh dosen Fikom yang ada di Mercu Buana. Karena kalian menjadi seperti sekarang ini. Dan semua staf TU (Tata Usaha) yang sudah memberikan kemudahan dari awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. 10. Papa Edo ku. Terima kasih atas cinta dan kasih sayang selama ini. Semoga cobaan yang sudah dilewati akan menambah kita semakin kuat dalam menjalani hidup. AMIN. 11. Adikku semata wayang. Yayah, calon perawat muda yang lebih pintar dari dokter. Makasih udah nemenin begadang n resep-resep yang mujarab tanpa perlu ke dokter. 12. Untuk sahabat terbaikku Mega Herli sahabat pertamaku (bosen sih tapi...udah takdir, hehe..), Dian Septiana, Lilis Hermawati, Ranti, dan Putri Chintya Dewi. Terima kasih atas bantuan selama ini. Aku akan merindukan kisah klasik kita semasa kuliah. Gak lupa Teh Mil2 sobat magang ti Bogor. Thanks. 13. For My Team 7, Aa Juang, Om Wowo, Mba’ Dwi, Teh Achie, Mba’ Dara, Mas Wahyu’Lampung’, Mba’ Liez, Mas Akbar.Love U all. 14. Genk Caur alias pasukan ninja. Upsss...terima kasih banyak atas supportnya. Love U all. 15. Anak-anak Broadcast angkatan 2005. Banyak banget dah. Puyeng nyebutin satu-satu buang-buang kertas. 16. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Maaf klo nggak kesebut, udah penuh ntar jatoh. Hahahaha.....Thanks buat semua mahkluk yang berwujud ataupun tidak. Jakarta, Juli 2009 Penulis iv DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI ABSTRAKSI KATA PENGANTAR.................................................................................... v DAFTAR ISI................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah........................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 8 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 8 1.4 Signifikansi Penelitian ............................................................. 9 1.4.1 Akademis ..................................................................... 9 1.4.2 Praktis........................................................................... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi ............................................................ 10 2.2 Komunikasi Massa ................................................................... 11 2.2.1 Fungsi Komunikasi Massa ........................................... 12 Media Massa ............................................................................ 14 2.3.1 Fungsi Media Massa .................................................... 15 2.4 Teori Jarum Hipodermik .......................................................... 16 2.5 Teori S-O-R.............................................................................. 17 2.6 Film Sebagai Saluran Media Massa......................................... 18 2.7 Jenis/Tema Film....................................................................... 22 2.7.1 Kriteria Film Bermutu..................................................... 24 2.7.2 Fungsi Film ..................................................................... 25 2.3 v 2.8 Sejarah Perfilman Horor Indonesia............................................. 26 2.8.1 Ciri-Ciri Karya Horor...................................................... 29 2.8.2 Jenis Cerita Drama Misteri.............................................. 29 2.9 Efek Media Massa....................................................................... 30 2.10 Khalayak .................................................................................... 34 2.10.1 Definisi Khalayak......................................................... 34 2.10.2 Khalayak Remaja ......................................................... 35 2.11 Karakteristik Khalayak .............................................................. 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ............................................................................ 38 3.2 Metode Penelitian ....................................................................... 38 3.3 Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 40 3.3.1 Data Primer ..................................................................... 40 3.3.2 Data Sekunder ................................................................. 40 3.4 Populasi Dan Sampel .................................................................. 40 3.4.1 Populasi ........................................................................... 40 3.4.2 Sampel Penelitian............................................................ 41 3.5 Teknik Sampling .......................................................................... 42 3.6 Definisi dan Operasionalisasi Konsep ........................................ 42 3.6.1 Definisi Konsep.................................................................. 42 3.6.2 Operasionalisasi Konsep .................................................... 44 3.7 Analisis Data ................................................................................ 47 vi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Perusahaan........................................................ 52 4.2.1 Visi .................................................................................. 54 4.2.2 Misi ................................................................................. 54 4.2 Sinopsis Film Kuntilanak.............................................................. 54 4.3 Sinopsis Film Kuntilanak 2........................................................... 55 4.4 Sinopsis Film Kuntilanak 3........................................................... 56 4.5 Hasil Penelitian ............................................................................. 57 4.6 Identitas Responden ...................................................................... 58 4.6.1 Jenis Kelamin ................................................................. 58 4.6.2 Usia ................................................................................ 58 4.6.3 Kelas Responden............................................................. 59 4.7 Pola Menonton .............................................................................. 60 4.7.1 Intensitas Menonton Dibioskop ..................................... 60 4.7.2 Teman Menonton ........................................................... 60 4.7.3 Durasi Menonton............................................................ 61 4.8 Pengetahuan Siswa/i (efek kognitif) ............................................. 61 4.8.1 Pengetahuan Isi Cerita Film Kuntilanak ......................... 62 4.8.2 Pengetahuan Mengenai Tema Cerita ............................. 62 4.8.3 Pengetahuan Nama Tokoh .............................................. 63 4.8.4 Pengetahuan Karakter Tokoh.......................................... 63 4.8.5 Pengetahuan Tentang Dermo .......................................... 64 4.9 Perasaan Takut Siswa/i Terhadap Film Kuntilanak ..................... 64 vii 4.9.1 Perasaan Takut Setelah Menonton .................................. 65 4.9.2 Perasaan Takut Saat Menonton....................................... 65 4.9.3 Perasaan Takut di Tempat-Tempat Tertentu................... 66 4.9.4 Backsound Film Menimbulkan Rasa Takut .................... 66 4.9.5 Wangsit/Dermo Menimbulkan Rasa Takut..................... 67 4.10 Perilaku/Tingkah Laku Siswi (Konatif) ..................................... 68 4.10.1 Meniru Wangsit/Dermo ................................................ 68 4.10.2 Mengumpulkan Pernak-Pernik Horor ........................... 68 4.10.3 Meniru Suara-Suara Yang Menyeramkan..................... 69 4.10.4 Meniru Gaya Hantu....................................................... 70 4.10.5 Mengikuti Alur Cerita Sampai Akhir............................ 70 4.11 Pembahasan................................................................................ 71 4.11.1 Efek Tayangan Film Horor Kuntilanak......................... 73 4.11.2 Tabel Frekuensi Efek Kognitif...................................... 75 4.11.3 Tabel Frekuensi Efek Afektif........................................ 76 4.11.4 Tabel Frekuensi Efek Konatif ....................................... 77 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 79 5.2 Saran............................................................................................... 80 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii DAFTAR TABEL NO TABEL Tabel 3.6.2 Operasionalisasi Konsep .......................................................... 44 Tabel 4.6.1 Jenis Kelamin ........................................................................... 58 Tabel 4.6.2 Usia .......................................................................................... 58 Tabel 4.6.3 Kelas Responden...................................................................... 59 Tabel 4.7.1 Intensitas Menonton Dibioskop ............................................... 60 Tabel 4.7.2 Teman Menonton ..................................................................... 60 Tabel 4.7.3 Durasi Menonton...................................................................... 61 Tabel 4.8.1 Pengetahuan Isi Cerita Film Kuntilanak .................................. 62 Tabel 4.8.2 Pengetahuan Mengenai Tema Cerita ....................................... 62 Tabel 4.8.3 Pengetahuan Nama Tokoh ....................................................... 63 Tabel 4.8.4 Pengetahuan Karakter Tokoh................................................... 63 Tabel 4.8.5 Pengetahuan Tentang Dermo ................................................... 64 Tabel 4.9.1 Perasaan Takut Setelah Menonton ........................................... 65 Tabel 4.9.2 Perasaan Takut Saat Menonton................................................ 65 Tabel 4.9.3 Perasaan Takut di Tempat-Tempat Tertentu............................ 66 Tabel 4.9.4 Backsound Film Menimbulkan Rasa Takut ............................. 66 Tabel 4.9.5 Wangsit/Dermo Menimbulkan Rasa Takut.............................. 67 Tabel 4.10.1 Meniru Wangsit/Dermo ........................................................... 68 Tabel 4.10.2 Mengumpulkan Pernak-Pernik Horor ...................................... 68 Tabel 4.10.3 Meniru Suara-Suara Yang Menyeramkan ............................... 69 Tabel 4.10.4 Meniru Gaya Hantu.................................................................. 70 ix Tabel 4.10.5 Mengikuti Alur Cerita Sampai Akhir....................................... 70 Tabel 4.11.1 Akumulasi Efek Tayangan Film Horor ................................... 73 Tabel 4.11.2 Tabel Frekuensi Efek Kognitif................................................. 74 Tabel 4.11.3 Tabel Frekuensi Efek Afektif................................................... 76 Tabel 4.11.4 Tabel Frekuensi Efek Konatif .................................................. 77 . x 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi diantara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda, atau tingkah laku.1 Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin communis yang berarti ”sama”, communico, communication, atau communicare yang berarti ”membuat sama”.2 Pengertian komunikasi begitu luas, maka rumusan atau definisi tentang komunikasi tak terbilang jumlahnya. Salah satunya adalah menurut Berelson dan Steiner (1964) : ”Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, ide-ide, emosi, keterampilan, atau sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol, gambar, grafik, dan sebagainya.” Dalam tingkatan proses komunikasi kita mengenal ada 6 tingkatan proses komunikasi yakni, komunikasi intra pribadi, komunikasi antar pribadi, komunikasi dalam kelompok, komunikasi antar kelompok/asosiasi, komunikasi organisasi, dan komunikasi dengan masyarakat luas.3 Kekuatan komunikasi pada masa kini dapat membuat seseorang berbicara dengan ribuan bahkan jutaan orang secara serentak dan serempak, ciri utamanya 1 Webster’s New Colleglate diambil dari Sasa Djuarsa Sandjaja, Pengantar Ilmu Komunikasi, Universitas Terbuka, 1999, hlm.7 2 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung ; PT. Remaja Rosdakarya, 2005, hlm.41 3 Sasa Djuarsa Sandjaja, Pengantar Ilmu Komunikasi, Universitas Terbuka, 1999, hlm.39.4 1 2 adalah keserempakan.4 Artinya, suatu pesan dapat diterima oleh komunikasi yang jumlahnya banyak pada saat yang sama secara bersama-sama. Keserempakan merupakan ciri utama komunikasi massa adapun komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa televisi, radio, majalah, surat kabar dan film. Salah satu media massa yang dapat diserap secara mendalam oleh khalayak adalah film. Film merupakan produk kebudayaan yang dibuat dengan didasari oleh kesadaran, hal ini berarti bahwa film diciptakan melalui proses pemikiran dan pertimbangan tentang nilai-nilai normatif yang dianut masyarakat, suatu hal yang wajar sebagai pertanggung jawaban bagi kemanusiaan dan kehidupan. Film apapun pada hakekatnya memiliki nilai-nilai kebaikan, walaupun kadang-kadang sajiannya kurang transparan. Dunia perfilman berperan sangat penting sebagai media komunikasi. Pada 1970-an film Indonesia mendominasi bioskop di kota-kota besar di Indonesia. Sampai saat ini perfilman Indonesia kembali marak dengan melahirkannya filmfilm yang bertemakan mistis/horor diawal tahun 2005. Tak mau kalah film-film bertemakan mistis di adu pula dengan film-film bertemakan komedi dewasa yang jelas terlihat mencolok sekali membius para penggemar film. Untuk mempertahankan eksistensi horor (mistis), para pembuat film justru mengimingimingi bahwa film tersebut sesuai dengan fakta atau suatu kejadian yang benarbenar terjadi. Apresiasi yang kritis terhadap film merupakan langkah antisipatif yang paling tepat untuk mencegah dampak negatif film itu. Kita perlu memandang film 4 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. hal.10 3 dari berbagai sisi dan mempertimbangkan dampaknya dalam berbagai aspek. Salah satu tema film yang patut untuk dikritisi adalah mistik/horor. Dalam persperktif mistis,hal-hal yang tidak logis dan tidak esensial menjadi sesuatu yang mempengaruhi kehidupan nyata. Mistik lahir dari alam pikiran orang-orang jaman dahulu yang masih memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam. Sehingga berbagai fenomena alam yang berada diluar jangkauan berpikir mereka direspon sebagai suatu hal gaib yang harus dihormati agar tidak mengganggu kehidupan mereka.Saat ini, kepercayaan mistis telah dikonversi menjadi semacam fenomena unik ditengah zaman modern. Sepintas, memang film-film horor cukup seru, memacu adrenalin kita. Tetapi wajib diingat, film merasuk jauh hingga ke alam pikiran dan kejiwaan kita. Tidak hanya berhenti sampai mata kita. Penyajian film-film semacam ini hanya akan menanamkan nilai-nilai paradoksal dalam benak penontonnya, yaitu masyarakat kita. Di sekolah, mereka diajarkan untuk berfikir kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai masalah, tetapi media massa dalam hal ini film mengajarkan sebaliknya. Film ini mengajarkan bahwa makhluk-makhluk halus itu turut menentukan jalannya hidup kita. dan Dengan kemajuan teknologi film, hantu-hantu itu muncul demikian nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah, hal-hal yang bersifat mistis turut berkembang seiring kemajuan zaman. Padahal kemajuan paradigma berfikir kitalah yang menentukan kemajuan zaman. Jadi, waspadalah dengan nilainilai paradoks yang secara halus ditanamkan oleh film-film mistis ini ke dalam 4 benak kita. Apalagi mengingat tingkat intelektualitas masyarakat kita yang belum merata sehingga filter mereka terhadap hal-hal semacam ini masih minim. Film-film mistis/horor menciptakan paradigma seperti kepercayaan mereka terhadap kekuatan gaib yang berasal dari benda-benda yang jika dipikirkan secara logis tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Melihat kondisi perfilman Indonesia saat ini sungguh mengkhawatirkan. Berbagai tayangan yang tidak pantas bagi masyarakat muncul di layar kaca dan khususnya layar lebar. Dan yang paling berbahaya khususnya bagi anak-anak adalah tayangan film mistis. Seperti tayangan film pocong, sundel bolong, dan berbagai macam film misteri lainnya. Film-film yang bertemakan mistis/horor tersebut saat-saat ini diimingiimingi oleh berbagai spekulasi seperti sesuai kisah nyata untuk mendompleng tema mistis agar menarik audiens sebanyak-banyaknya. Entah mengapa hal tersebut menyedot begitu banyak minat menonton terhadap film bertemakan mistis (bergenre horor). Masyarakat Indonesia dapat dinilai percaya akan mitosmitos yang ada mengenai hantu seperti, pocong, kuntilanak, genderuwo, kalong wewe, sundel bolong, dan lain-lain. Judul film yang menggunakan nama-nama hantu cukup populer dikalangan masyarakat Indonesia sehingga menimbulkan kesan bahwa masyarakat Indonesia masih menganut paham dinamisme. Paham dinamisme ini adalah suatu kepercayaan terhadap roh-roh atau hal gaib yang berlebihan. Pada tahun 2006 muncul film horor dengan menggunakan nama salah satu hantu yang menjadi mitos di kalangan masyarakat yakni Kuntilanak. 5 Film Kuntilanak dibuat sebanyak 3 film, jadi film Kuntilanak 1 memiliki kelanjutan di film Kuntilanak 2 dan seterusnya. Film Kuntilanak bercerita mengenai seorang gadis yang bernama Sam (Samantha) (Julie Estelle) memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah kost setelah kematian ibunya dan gara-gara bermasalah dengan ayah tirinya. Rumah kost yang besar, nyaman dan murah itu berada di daerah yang berdekatan dengan sebuah kuburan dan banyak yang mengatakan sangat angker. Sam tidak mempedulikan peringatan orangorang tentang hal itu, termasuk kekuatiran dari kekasihnya, Agung (Evan Sanders). Berbagai kejadian aneh dan menyeramkan mulai menyelimuti hidup Sam ketika tinggal di rumah kost angker tersebut, kematian penghuni-penghuni kost dan teman dekatnya. Puncaknya adalah hilangnya Agung secara misterius, Juga kematian Dinda (Ratu Felisha), penghuni sebelah kamar Sam. Seluruh penghuni meninggalkan rumah kos, kecuali Sam. Sam bertekad untuk tidak meninggalkan tempat itu sampai ia bisa menyelamatkan Agung, juga dirinya sendiri. Akhir film Kuntilanak 1 adalah Sam memutuskan untuk memelihara kuntilanak yang ada di sebuah cermin yang ada di kamar kost-kost-annya selanjutnya film Kuntilanak 2 dan 3 adalah mengenai perjalanan Sam dengan kuntilanak yang menjadi peliharaannya. Dalam film ini memperlihatkan sosok kuntilanak, cara memanggil kuntilanak dengan dermo (tembang Jawa), tempattempat yang menjadi media adanya kuntilanak, dan hal-hal lain yang di anggap sebagai suatu kepercayaan mengenai adanya kuntilanak. 6 Film Kuntilanak ini juga menyampaikan pesan dan kesan bahwa mitos mengenai kuntilanak benar adanya, sehingga membuat audiens terbius dengan pesan yang disampaikan oleh film tersebut. Film horor Kuntilanak ini berhasil menyedot audience hingga 1,8 juta penonton dengan pendapatan kotor 30 Milyar dari biaya produksi 3,5 Milyar. Film horor Kuntilanak ini mengalahi film horor sebelumnya yakni Jelangkung yang pernah sukses di tahun 2001 menyedot penonton sekitar 1,2 juta penonton.5 Jika ditelaah lebih jauh, ternyata film-film mistis/horor yang sekarang marak ditayangkan di Indonesia dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi anak-anak. Dampak negatif inilah yang akan mengantarkan masyarakat kepada keterpurukan dan kebekuan dalam berpikir. Salah satu dampak negatifnya yang paling nyata adalah dapat menciptakan mental penakut pada audiens. Artinya dengan menonton film mistis/horor yang merupakan khayalan belaka itu, audiens akan terpengaruh secara mental tanpa disadari. Misalnya saja, ketika seseorang berjalan di depan kuburan sendirian, dia merasa takut. Dia menganggap apa yang ditontonnya dalam layar kaca itu seakanakan merupakan sesuatu yang realistis, padahal itu hanya rekayasa.6 Jika mental penakut ini melekat pada diri publik khususnya audiens remaja yang secara tidak langsung menyadarinya, maka implikasi yang akan ditimbulkan di saat dia menginjak dewasa adalah pada aspek kognitif. Semestinya ini berkembang pesat tetapi justru menjadi beku akibat terkontaminasi dengan 5 http://www.suarapembaruan.com/News/2007/02/01/Hiburan/hib01.htm/diakses Sabtu tanggal 18 Oktober 2008/pukul 02.42 pm. 6 www.suryaonline-racunfilmmistis.com/diakses Selasa 13 Januari 2009/pukul 03.50 p.m. 7 tayangan-tayangan yang pernah ditonton. Selain itu, film-film mistis/horor ini akan menciptakan paradigma seperti kepercayaan mereka terhadap kekuatan gaib yang berasal dari benda-benda yang jika dipikirkan secara logis tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Contohnya, percaya bahwa pohon beringin itu mempunyai kekuatan gaib. Menurut Totok Sudiharyanto selaku seorang konsultan perfilman, para insan perfilman lupa bahwa pendidikan di Indonesia telah berhasil mengentaskan warganya dari lembah kebodohan. Para insan perfilman juga lupa bahwa kebanyakan mereka yang bisa pergi menonton ke bioskop-bioskop di kota besar dengan ongkos mahal dan yang justru menjadi sasaran untuk menangguk keuntungan adalah mereka yang telah cerdas dan kritis. Jika itu sampai diabaikan, jelas itu sebuah kekonyolan.7 Kini jelas bahwa para insan film sendiri tidak pernah mempertimbangkan realitas penonton film Indonesia; atau para insan perfilman itu memang tidak pernah mau berubah dari kondisi berpikir yang sama dengan 20 tahun silam.8 Tidak satu pun film horor yang bernuansa budaya dan mendidik. Bahkan, film horor yang beredar justru merusak moral generasi muda. Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault mengungkapkan kegelisahannya terhadap maraknya film horor.9 7 http://obrolan-santai.blogspot.com/2007/09/genre-film-horor-film-berkualitas.html/diakses Senin tanggal 2 Februari 2009/pukul 01.28 p.m. 8 http://obrolan-santai.blogspot.com/2007/09/genre-film-horor-film-berkualitas.html/diakses Senin tanggal 2 Februari 2009/pukul 01.28 p.m. 9 www. tabloidnurani.com/maraknya horor/2008/diakses Senin tanggal 2 Februari 2009/pukul 01.47 p.m 8 Film mistis/horor seperti ini sangat tidak relevan untuk ditayangkan di era modern. Jika film seperti ini ditayangkan, maka kecenderungan masyarakat untuk maju dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman akan pudar. Pada akhirnya ini akan membawa mereka kepada masyarakat yang terbelakang dalam berbagai bidang, baik ilmu pengetahuan maupun teknologi, sebab mereka sangat percaya pada segala yang mistis. Fenomena menjamurnya film horor yang banyak diminati audiens khususnya kaum remaja karena target utama film horor Kuntilanak ini adalah remaja sehingga menjadi alasan utama bagi penulis untuk melakukan penelitian mengenai sejauh mana film bergenre horor (film Kuntilanak sebagai contoh penelitian) mempengaruhi kalangan remaja yang menjadi target khalayak uatama dalam film tersebut. Alasan lain memilih obyek SMA Negeri 4 Tangerang karena sebagian besar obyek yang diteliti menyaksikan film horor Kuntilanak.10 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana efek tayangan film horor ”Kuntilanak” terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek dari menonton tayangan bertemakan mistis pada tahap kognitif dan afektif terhadap 10 Observasi langsung ke lapangan, Sabtu, 15 Maret 2008, Metropolis Town Square 21. 9 unsur-unsur program tayangan bergenre horor (mengenai mitos, benda-benda yang di anggap bersifat gaib, isi pesan dan visualisasi). 1.4 Signifikasi Penelitian 1.4.1 Akademis Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan berguna untuk memberikan kontribusi pengembangan ilmu komunikasi terutama tentang kajian dibidang komunikasi massa (film) dalam hal fungsi dan peranan. Selain itu juga dapat memberikan ilmu dalam kajian jurnalistik mengenai dampak tayangan film layar lebar yang bersifat mistis di Indonesia. 1.4.2 Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada khalayak khususnya audiens remaja yang menyukai film layar lebar mengenai perfilman Indonesia terhadap efek penayangan film yang bergenre horor terhadap publik. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi Menurut Everett M. Rogers dalam Deddy Mulyana, ilmu komunikasi suatu pengantar, komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.11 Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata lain communication, dan sumber dari kata communiss yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna.12 Wilbur Scharmmn mengatakan komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang berhasil melahirkan kebersamaan commonness: kesepahaman antara sumber (source) dengan penerima (audience-receiver)-nya. Sebuah komunikasi akan benar-benar efektif apabila audience menerima pesan, pengertian dan lain-lain persis sama seperti apa yang dikehendaki oleh penyampai.13 Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan sebagai berikut:14 1. komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain. Mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan 11 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hlm.62 12 Webster’s New Colagellate diambil dari Sasa Djuarsa Sendjaja, Pengantar Ilmu Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta, 1999, hlm.7 13 Tommy Suprapto, Pengantar Teori Komunikasi, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm.5 14 http://id.wikipedia.org/wiki/komunikasi/diakses Jumat tanggal 24 Oktober 2008/pukul 07.52 p.m. 10 11 yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat symbol-simbol yang bisa dimengerti oleh kedua pihak. 2. Pesan (Message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung ataupun tidak langsung. Contohnya: berbicara langsung melalui telepon. 3. Komunikan (Receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya kedalam bahasa yang dimengerti kedua pihak. Komunikan memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya. 2.2 Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah proses penyampaian informasi, ide dan sikap kepada banyak orang, biasanya dengan menggunakan mesin, atau media yang diklasifikasikan kedalam media massa seperti radio siaran, televisi siaran, surat kabar/majalah dan film.15 Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dengar kata komunikasi massa. Banyak definisi komunikasi massa oleh para pakar, diantaranya adalah menurut Werner I. Severin dan James W. Tankard Jr. (1979: 1) mengatakan bahwa:16 “Mass communication is a part of skill, part art, and part science. It’s a skill in the sense that it involves certain fundamental learnable technique such as focusing television, camera operating, a tape recorder or taking a note during interview. It is art in the sense that it involves creative challenges such as writing a script for a television program developing an esthetic lay put for a magazines and or coming up with a cathchy lead for news story. It is a science in the sense that there are certain principle 15 16 Ibid hlm.11 Ibid hlm.10 12 involves in how communication works that can be verified and used to make things works better.” Maksudnya komunikasi massa merupakan sebagian dari kemampuan, seni, dan pengetahuan melalui media perantara seperti media televisi, majalah, koran, radio dan lain-lain. Media massa merupakan media perantara dengan masyarakat luas. Dari pendapat Severin dan Tankard terlihat bahwa komunikasi massa memang sesuatu yang pelik dan rumit karena selain diselenggarakan secara massal dia pun ditujukan kepada massa melalui media massa. Dari beberapa keterangan diatas maka komunikasi massa dapat didefinisikan dalam 3 ciri:17 1. Komunikasi massa diarahkan kepada audience yang relatif besar, haterogen dan anonim. 2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkun anggota audience secara serempak dan sifatnya sementara. 3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar. 2.2.1 Fungsi Komunikasi Massa Dari beberapa keterangan diatas maka komunikai massa dapat didefinisikan sebagai komunikasi yang mampu menimbulkan keserempakan diantara khalayak yang sedang memperhatikan pesan yang dilancarkan oleh media tersebut. Fungsi komunikasi massa menurut Jay Black dan Federick C. Witney 17 Werner J. Severin dan James W. Tankard Jr., Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, edisi kelima, Jakarta: Kencana, 2005, hlm.4. 13 (1988) adalah to inform (menginformasikan), to entertaint (memberi hiburan), to persuade (membujuk), dan transmission of the culture (transmisi budaya).18 Sejalan dengan tingkat perkembangan masyarakat dan teknologi komunikasi, fungsi komunikasi massa sudah mulai berubah. Dalam perspektif kritis, fungsi komunikasi massa bisa ditambah sebagai berikut:19 1. Melawan kekuasaan dan kekuatan represif. 2. Menggugat hubungan trikotonomi antara pemerintah, pers dan masyarakat. Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, yakni surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Oleh karena itu, maka sumber komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi formal, dan ’sang pengirimnya’ sering kali merupakan komunikator profesional, pesannya tidak unik dan beraneka ragam, serta dapat diperkirakan. Disamping itu, pesan tersebut sering kali ’diproses’, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan itu juga merupakan produk dan komoditi yang mempunyai nilai tukar, serta acuan simbolik yang mempunyai ’kegunaan’. Hubungan tersebut juga bersifat impersonal, bahkan mungkin seringkali bersifat non moral dan kalkulatif, dalam pengertian bahwa, sang pengirim biasanya, tidak bertanggung jawab atas konsekuensi yang terjadi pada para individudan pesan yang dijual belikan dengan uang atau dengan perhatian tertentu.20 Penghubung antara komunikator dengan komunikan dari beberapa penjabaran soal komunikasi massa adalah media massa. Media massa adalah sarana untuk menyampaikan isi pesan/ pernyataan/ informasi bersifat umum, 18 19 20 Nurrudin, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: PT. Raja Persada, 2007, hlm.4 Ibid, hlm.65-66 Dennis Mc.Quail, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, 1997, hlm. 33 14 kepada sejumlah orang yang jumlahnya relatif besar, heterogen, anonim, tidak terlembagakan, perhatiannya terpusat pada isi pesan yang sama, yaitu pesan dari media massa yang sama, dan tidak dapat memberikan arus balik secara langsung pada saat itu.21 2.3 Media Massa22 Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Karakteristik media massa : 1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi. 2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalau terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda. 3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama. 21 JB. Wahyudi, Komunikasi Jurnalistik Pengetahuan Praktis Kewartawanan Surat Kabar Majalah, Radio, dan Televisi, Alumni, Bandung, 1991, hlm.90 22 Cangara Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm.138 15 4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat kabar dan semacamnya. 2.3.1 Fungsi Media Massa Dari beberapa keterangan tersebut, maka media massa dapat didefinisikan sebagai media yang mampu menimbulkan keserempakan diantara khalayak yang sedang memperhatikan pesan yang dilancarkan oleh media tersebut. Perkembangan masyarakat yang dipacu oleh kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih menubjukkan pengaruh yang kuat terhadap kemekaran media massa, tetapi dilain pihak secara timbal balik ini menimbulkan dampak yang teramat kuat terhadap masyarakat. Menurut Dennis McQuail, media memiliki fungsi penting, antara lain :23 1. Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang, dan jasa, serta menhidupkan industri lain yang tekait; media juga merupakan industri lain yang tersendiri yang memiliki peraturan dan norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan industri sosial lainnya. Dilain pihak, institusi media diatur oleh masyarakat. 2. Media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. 3. Media merupakan lokasi (atau forum) yang semakin berperan, untuk 23 Dennis MCQuail, Op.cit, hlm.3 16 menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. 4. Media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. 5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif; media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. Radio, surat kabar, televisi, film, merupakan media komunikasi yang dibutuhkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Peran media massa terasa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern, perolehan informasi dan hiburan melalui media massa. 2.4 Teori Jarum Hipodermik Teori ini disamping mempunyai pengaruh yang sangat kuat juga mengkonsumsi bahwa pengelola media dianggap sebagai orang yang lebih pintar dari audiens. Akibatnya, audiens bisa dikelabui sedemikian rupa atau bahkan bisa dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki media. Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa audiens bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bisa dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki oleh media. Intinya, sebagaimana dikatakan dengan Jason dan Anne Hill (1997), media massa dalam 17 teori jarum hipodermik mempunyai efek langsung “disuntikkan” kedalam ketidaksadaran audiens.24 2.5 Teori S-O-R Begitu banyak atau bahkan hampir semua, teori-teori komunikasi massa membahas masalah-masalah efek. Efek komunikasi merupakan hal yang menarik bagi mereka-mereka yang ingin berhubungan dengan orang lain dan yang karenanya ingin memakai saluran paling efektif menuju khalayak, serta mereka yang takut akan dampak negatif media massa. Dalam konteks ini, apa yang dinamakan ”prinsip stimulus-respons” merupakan hal yang penting. Model S-O-R berasal dari model stimuli-respons menurut pendekatan psikologi dimodifikasi oleh De Fleur dengan memasukkan unsur organisme. Dalam membahas komunikasi massa dan pengaruhnya terhadap orang-perorangan istilah-istilah yang digunakan, yaitu:25 1. Stimulus = rangsangan = dorongan 2. Organisme = manusia = komunikan 3. Response = respon = reaksi = tanggapan = jawaban = pengaruh = efek = akibat Gambar:26 SÆOÆR 24 Nuruddin, Pengantar Komunikasi Massa, PT Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.166. A. M. Hoeta Soehoet, Teori Komunikasi Massa, Yayasan Kampus Tercinta-IISIP, Jakarta, 2002, hlm.26 26 Ibid hlm.27 25 18 Prinsip Stimulus-Response :27 Efek adalah reaksi khusus dari rangsangan khusus, dengan demikian dapat diharapkan atau diduga berhubungan yang erat antara isi pernyataan, media dengan reaksi khalayak. 2.6 Film Sebagai Saluran Media Massa Film adalah satu media komunikasi massa yang merupakan suatu kekuatan yang dapat menpengaruhi pengetahuan, sikap, dan tingkah laku. Film dalam arti sempit adalah penyajian gambar layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan.28Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang sifatnya audio dan atau visual dalam bentuk film.29 Menurut UU Perfilman, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam dengan pita seluloid, pita video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan/atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.30 27 Nuruddin, Pengantar Komunikasi Massa, PT Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.26 Cangara Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm.138 29 Ononng Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 21 30 www.kpi.go.id/ UU Republik Indonesia No.8 Tahun 1992 tentang perfilman. Bab 1, Pasal 1, ayat 1. Departemen Penerangan RI/ diakses Jum’at tanggal 24 Oktober 2008/ pukul 07.55 p.m. 28 19 Gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa. Film lebih dulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton televisi menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an. Film adalah industri bisnis yang diproduksi secara kreatif dan memuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika.31 Film tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perkembangan arus kebudayaan. Sebagai media massa, film memiliki kemampuan untuk mempengaruhi para penontonnya. Namun sayang, film-film kita yang beredar kebanyakan mengangkat kisah-kisah yang bersifat praktis dan disajikan dalam kemasan yang hedonis. Hal ini bersimbiosis dengan rendahnya stamina kreativitas masyarakat kita. Sehingga gejala psikologis yang tampak pada mereka adalah kecenderungan untuk berkompromi dengan fenomena yang berkembang. Bentuknya adalah fleksibilitas penilaian yang berasal dari kurangnya paradigma yang visioner atau penafsiran yang sempit. Akibatnya adalah krisis identitas akibat pengaruh film yang menjadi media percontohan. Mereka terbuai oleh absurditas film yang ditontonnya lalu mereka mendamba hal-hal seperti yang mereka tonton hingga mereka perlahan mulai menirunya. Mereka akan mengalami krisis identitas yang berasal dari sikap meniru atas apa yang mereka anggap ”wah”. Dalam konteks inilah, film turut berkontribusi, karena film merupakan salah satu kiblat tiruan masyarakat kita. Cermatilah apa yang dikatakan Michael Foucault : ”Film teaches with the whole body” (Film memberi gambaran sesuatu 31 http://imagejakarta.blog.co.uk/2007/11/06/jumlah_output_film_indonesia_2007_53_fil~3254039 http://www.geocities.com/Paris/7229/film.htm/diakses Jum’at tanggal 24 Oktober 2008/ pukul 07.57 p.m. 20 secara utuh kepada penontonnya).32 Film memberi ilustrasi berupa suara dan rupa sehingga mudah diterima dan dicerna. Apa yang diungkapkan Foucault ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Usmar Ismail. Menurutnya, film bisa mempengaruhi jiwa seseorang. Film adalah alat yang ampuh sekali di tangan orang yang mempergunakannya secara efektif untuk suatu maksud, terutama sekali terhadap rakyat banyak yang memang lebih banyak berbicara dengan hati daripada dengan akal. Dan, hati lewat caranya sendiri akan mempengaruhi pikiran serta sikap pada giliran berikutnya. Berdasarkan ungkapan-ungkapan diatas, hendaknya kita lebih kritis dalam mengapresiasi perkembangan film saat ini. Sebab ada kalanya tontonan bisa menjadi tuntunan. 33 Film, hendaknya dimaknai sebagai esensi yang meminta kecermatan dan ketepatan memilih, secara individu maupun kebudayaan. Ketika film telah direspon sebagai entitas seni dan kreativitas yang harus memberi warna cerah dalam wajah kebudayan, maka film tidak lagi sekadar menghibur belaka. Ada dampak positif yang melintasi dimensi hiburan. Dalam konteks ini, film akan digagas dengan kreatifitas dan berorientasi untuk mengkonstruksi realitas yang tujuannya adalah untuk membuka wawasan maupun mempertahankan identitas. Sehingga film akan diapresiasi dengan pikiran terbuka dan kemaluan tertutup. 32 http://manusiamemilih.multiply.com/journal/item/34/Film_Cepat_Saji/diakses Sabtu tanggal 7 Februari 2009/pukul 02.53 p.m 33 www.ruangfilm.com/ diakses Sabtu tanggal 7 Februari 2009/pukul 02.56 p.m 21 Dari berbagai definisi diatas maka dapat diketahui pula film pada hakekatnya adalah media massa, adapun tujuan media massa untuk masyarakat sebagai berikut :34 1. Informasi Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dunia. Menunjukkan hubungan kekuasaan. Memudahkan inovasi, adaptasi, dan kemajuan. 2. Korelasi Menjelaskan, menafsirkan, megomentari, makna peristiwa dan informasi. Menunjang otoritas dan norma-norma mapan. 3. Melakukan sosialisasi Mengkoordinasi beberapa kegiatan. Membentuk kesepakatan. 4. Kesinambungan Mengekspresikan budaya dominant dan mengakui kebudayaan khusus serta perkembangan baru. Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai. 5. Hiburan Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian, dan sarana relaksasi. Meredakan ketegangan social. 34 Dennis McQuail, Opcit 22 6. Mobilisasi Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan, dan kadang kala juga dalam bidang agama. Film juga berpotensi menjadi sumber pendidikan informal melalui isi pesan yang dikandungnya, tidak peduli bagaimana cara pesan itu disampaikan muncul. Namun yang pasti, isi yang dikandungnya tidak bebas dari nilai-nilai tertentu, seperti bias ideologi atau politik dari si pembuat film. Media yang paling sering dipakai secara kolektif adalah film kemudian disusul televisi.35 2.7 Jenis/Tema Film Jenis-jenis film adalah sebagai berikut :36 1. Drama Tema ini mengangkat aspek-aspek human interest sehingga sasarannya adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. Tema ini dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya, seperti jika kejadian disekitar keluarga maka disebut drama keluarga. 2. Action Tema ini bisa dikatakan sebagai film yang berisi pertarungan secara fisik antara tokoh baik dan tokoh jahat. 35 36 Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta 1996, hlm. 22 Askurifai Baksin, Membuat Film Indie Itu Gampang., Katarsis, Bandung, 2003. hlm. 93 23 3. Komedi Film komedi tidak harus dimainkan oleh pelawak, tetapi juga bisa oleh pemain film biasa dan selalu menawarkan sesuatu yang membuat orang tersenyum atau tertawa. Ada 2 jenis komedi yaitu komedi slapstik yang memperagakan adegan konyol seperti dilempar kue, dan situation comedy (sitcom) yang menghadirkan adegan lucu dari situasi yang dibentuk dalam alur dan irama film. 4. Tragedi Tema ini meniktikberatkan pada nasib manusia, sebuah film dengan akhir cerita nasib tokoh utama yang selamat dari perampokan, pembunuhan dan lainnya. 5. Horor (suspense-thriller) Film horor adalah film yang menawarkan suasana menakutkan dan menyeramkan yang membuat bulu kuduk penontonnya merinding. Suasana horor bisa dibuat dengan animasi, special effect atau oleh tokohtokoh dalam film. 6. Drama Action Drama action menyuguhkan suasana drama dan adegan-adegan ”pertengkaran fisik”. Biasanya film dimulai dengan suasana ”drama” setelah itu suasana tegang berupa ”pertangkaran-pertengkaran”. 7. Komeditragi Suasana komedi ditonjolkan lebih dahulu kemudian disusulkan dengan suasana komedi. 24 8. Komedi Horor Film ini menampilkan film horor yang berkembang, kemudian diplesetkan menjadi komedi. Unsur ketegangan yang bersifat menakutkan menjadi lunak karena unsur tersebut dikemas dengan adegan komedi. 9. Parodi Tema ini merupakan duplikasi dari film-film tertentu yang diplesetkan (disindirkan). Jadi tema parodi berdimensi duplikasi film yang sudah ada lantas dikomedikan. 10. Musikal Merupakan jenis film yang diisi dengan lagu-lagu maupun irama melodious, sehingga penyutradaraan, penyuntingan, akting, termasuk dialog, dikonsep sesuai dengan kehadiran lagu-lagu dan irama melodiuos. 2.7.1 Kriteria Film Bermutu37 1. Memenuhi trifungsi film Fungsi film adalah hiburan, pendidikan, dan penerangan, film itu sendiri sudah merupakan suatu hiburan karena alasan orang menonton film tertentu untuk mendapatkan hiburan. Jika film membawa pesan yang sifatnya mendidik atau memberi penerangan, sudah dapat dinilai memenuhi salah satu unsur film bermutu. 37 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 226 25 2. Konstruktif Film yang bersifat konstruktif adalah film dimana perilaku para pemain serba positif, yang biasa ditiru oleh masyarakat terutama remaja. Dan hal-hal yang ditiru tersebut akan memberikan dampak positif/negatif bagi yang menontonnya. 3. Artistik-etis-logis Film memang harus artistik, karena merupakan hasil karya seni dari orang-orang kreatif yang terlibat didalamnya. Sebuah film harus mengandung etika dan logis. 4. Persuasif Film yang bersifat persuasif adalah film yang ceritanya mengandung ajakan secara halus, dalam hal ini adalah ajakan berpartisipasi dalam pembangunan, ”national and character building” dari program pemerintah. Seandainya film Indonesia mengandung persuasif seperti itu, hal itu dinilai sebagai memenuhi ciri mutu yang harus dimiliki film nasional. 2.7.2 Fungsi Film Fungsi film ada tiga, yakni :38 a. Fungsi hiburan Dalam mensejahterakan rohani manusia karena membutuhkan kepuasan batin untuk melihat secara visual serta pembinaan. 38 Buku Sejarah PPH UI, Jakarta, 1998, hlm. 48 26 b. Fungsi penerangan Dalam film segala informasi dapat disampaikan secara audio-visual sehingga dapat mudah dimengerti. c. Fungsi pendidikan Dapat memberikan contoh suatu peragaan yang bersifat mendidik, tauladan didalam masyarakat dan mempertontonkan perbuatan-perbuatan yang baik. 2.8 Sejarah Perfilman Horor Indonesia39 Perkara film horor sebagai sebuah genre belum selesai sampai di sini. Khususnya di dalam perbincangan film Indonesia kita mengenal kategori-kategori konvensional lain yang sungguh rancu dan kerap bertumpang-tindih dengan genre film horor adalah film mistik dan film legenda. Kedua kategori terakhir ini bukanlah genre film yang dikenal luas dalam wacana film internasional. Nasib keduanya, sebagaimana nasib taksonomi lokal yang lain, sangat mengenaskan karena tidak memiliki kejelasan definitif. Dan, mohon segera dimaklumi: jangan sekali-kali para pakar dan kritikus film mencoba memahaminya secara ketat karena film mistik dan legenda adalah buah dari kesalahpahaman. Yang disebut film mistik ternyata tidak berhubungan sama sekali dengan mistisisme dan film legenda tidak niscaya berbasis sebuah legenda. Jika melihat kebelakang dalam sejarah film Indonesia dekade 80-an, kedua genre film ini memang sudah biasa dirancukan. Kisah para wali pada fase awal 39 http://antikris.multiply.com/journal/item/2/HOROR_DI_TENGAH_KERANCUAN_DAN_SIM PLIFIKASI/ diakses Jumat tanggal 24 Oktober 2008/pukul 08.01 p.m. 27 penyebaran Islam di Jawa, yang lebih populer dengan sebutan Walisanga, misalnya, bukanlah sebuah legenda. Maka, film tentang mereka pun tidak dapat seenak perutnya saja dikategorikan sebagai film legenda. Meskipun mustahil ada mistikus yang protes, kisah Nyi Blorong dan Ratu Laut Kidul sama sekali tidak berkaitan dengan mistisisme sehingga tidak masuk-nalar kalau dikategorikan sebagai film mistik. Kondisi ini menjadi semakin runyam tatkala para produser, filmmakers, dan komentator film mengacaukan keduanya dengan genre film horor. Oleh karena itu, jangan heran apabila ada seorang pengamat film yang mengatakan bahwa asal-usul sejarah film horor di Indonesia dimulai dari film Loetoeng Kasaroeng (1926). Sungguh gegabah, tetapi memang begitulah jalan nalar yang melengkung! Pada awal 2000-an Jelangkung dan Tusuk Jelangkung pada awal 2000-an yang meraup sukses komersial, genre film horor kini menemukan gairahnya kembali. Bagaikan penyakit latah yang menular, booming film horor terjadi, sampai-sampai majulah seorang Shanker yang dengan gagah-perkasa berambisi untuk menjadi raja industri film horor di negeri ini. Memang tidak banyak yang berhasil mencapai peringkat box office, namun film-film semacam Hantu Jeruk Purut dan Misteri Terowongan Casablanca layak dijadikan eksemplar. Pada era 70-an dan 80-an, pelopor genre ini adalah film-film semacam Tuan Tanah Kedaung atau Beranak Dalam Kubur yang dibintangi oleh Suzanna pada paruh-pertama dasawarsa 70-an. Film yang disebut pertama berbasis kisah sejarah lokal yang sudah bercampur legenda, sementara yang kedua mengangkat kepercayaan populer tentang sejenis hantu perempuan yang ngetop dengan 28 julukan kuntilanak. Pada pertengahan 80-an film-film Suzanna yang meramu seks dan horor pun hadir dan menjamur. Sama seperti film-film yang lahir di era sebelumnya, film-film ini biasanya berangkat dari mitos dan cerita rakyat tertentu. Film tentang hantu pun, dalam upaya kategorisasi sintaktis yang lebih halus, tidak niscaya masuk ke dalam genre film horor. Tentu ingat akan film Ghost di awal 90-an, bahkan kenal betul akan film-film semacam Scooby-Doo dan Casper. Film yang dibintangi oleh Demi Moore itu lebih tepat digolongkan ke dalam film melodrama, sedangkan dua yang terakhir film komedi anak-anak. Menurut amatan Rumah Sinema (sebuah production house), film-film horor kontemporer Indonesia semakin mendekati teknik videoklip: peralihan shot demi shot yang tangkas dengan ritme serbacepat; pemilihan sudut-pandang kamera (camera’s angles) yang ekstrem dan dramatis; serta tatacahaya yang condong ke arah chiaroscuro. Dari sisi ideologis, tambahnya, film-film ini pun dilandasi oleh orientasi nilai yang berbeda atau, setidak-tidaknya, sudah bergeser bila dibandingkan dengan film-film horor pada era-era sebelumnya. Teks-teks yang melatarbelakangi film-film ini memang bukan lagi mitosmitos rural-agraris sebangsa Nyi Blorong atau Sundel Bolong, melainkan mitosmitos urban masa kini atau “kisah nyata” yang beredar dari mulut ke mulut dalam kehidupan sehari-hari. Ciri pembeda ini sebetulnya sudah kasat-mata dari karakterisasi dan pemilihan latar spasialnya. Para tokohnya adalah anak-anak muda dan remaja perkotaan yang terlibat tali percintaan dan sekaligus diteror oleh sesosok hantu. 29 2.8.1 Ciri-ciri Karya Horor Menurut Noell Carrol dalam buku The Philosophy of Horror, beliau mensekuenkan 4 fungsi sebuah karya seram yaitu:40 1. Onset (mukadimah) - Memperkenalkan subjek seram yaitu asal-usul (backstory), pemastian (establish) dan maklumat (exposition). Ada 2 cara pilihan onset yaitu: a. Thriller b. Mystery 2. Discovery (penemuan) - Kesemua set-up yang ditunjukkankan dalam onset akan dijawab dengan penemuan-penemuan yang dilalui satu-persatu bersama khalayak. 3. Confirmation (pengesahan) – Penemuan-penemuan akan diikuti oleh pengesahan juga klimaks jawapan penuh 100% kepada persoalan-persoalan dari onset dan discovery. 4. Confrontation (perhitungan akhir) - Ini ialah konklusi kepada persoalanpersoalan. 2.8.2 Jenis Cerita Drama Misteri41 Jenis ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian : a. Kriminal, misteri yang sangat terasa unsur ketegangannya/suspense 40 http://horrorisma.blogspot.com/2007/01/kuntilanak-indonesia2006.html/diakses Sabtu tanggal 18 Oktober 2008/pukul 02.45 pm. 41 Elizabeth Lutters, Kunci Sukses Menulis Skenario, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 38 30 dan biasanya menceritakan seputar kasus pembunuhan atau pemerkosaan. Sipelaku biasanya akan menjadi semacam misteri karena penulis skenario memperkuat alibinya. Sering kali dalam cerita jenis ini, beberapa tokoh bayangan dimasukkan untuk mengecoh penonton. b. Horor, misteri yang bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan roh halus atau makhluk yang menakutkan semacam setan. c. Mistik, misteri yang bercerita tentang hal-hal yang bersifat klenik, perdukunan, atau alam gaib. 2.9 Efek Media Massa Melihat begitu kuatnya dampak dari media, maka dapat diketahui peran dari media adapun peran media adalah :42 1. Jendela pengalaman yang meluaskan pandangan kita dan memungkinkan kita mampu memahami apa yang terjadi disekitar diri kita, tanpa campur tangan pihak lain atau sikap memihak. 2. Juru bahasa yang menjelaskan dan memberi makna terhadap peristiwa atau hal yang terpisah dan kurang jelas. 3. Jaringan interaktif yang menghubungkan pengirim dan penerima sebagai umpan balik. 4. Papan penunjuk jalan yang secara aktif menunjukkan arah, memberikan bimbingan atau instruksi. 5. Penyaring yang memilih bagian pengalaman yang perlu diberi 42 Dennis McQuail, Opcit, hlm. 53 31 perhatian khusus dan menyisihkan aspek yang lainnya, baik secara sadar dan sistematis maupun tidak. 6. Cermin yang memantulkan citra masyarakat terhadap masyarakat itu sendiri. Tirai atau penutup yang menutupi kebenaran demi pencapaian tujuan propaganda atau pelarian dari suatu kenyataan. 7. Adanya asumsi yang diingatkan bahwa dampak yang ditimbulkan media massa hanya mampu pada tahap kognisi dan afeksi meskipun bisa berkelanjutan ketahap dengan persyaratan memenuhi unsurunsur dua tahap dampak media massa yaiu dampak kognitif dan dampak afektif. Adapun asumsi yang diingatkan bahwa efek yang ditimbulkan media massa hanya mampu pada tahap kognisi dan afeksi dan berkelanjutan ke tahap konasi dengan persyaratan memenuhi unsur-unsur tertentu. 1. Efek Kognitif Efek kognitif adalah dampak yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran dari komunikan.43 Tentang tahap pengetahuan khalayak dilihat melalui tahap-tahap yang dijelaskan Everett M. Rogers : 1. Awareness knowledge, yaitu tingkat kesadaran, pengetahuan mengenai 43 Prof.Dr .Onong Uchjana Effendy, op.cit, hlm.7 32 keberadaan, suatu ide, produk dan jasa tertentu. 2. How to Knowledge, yaitu tingkat pengetahuan yang meliputi informasi yang diperlukan mengenai pemakaian atau penggunaan suatu ide, produk atau jasa. 3. Principles knowledge, yaitu tingkat pengetahuan yang berhubungan dengan prinsip suatu ide, produk dan jasa tertentu. 2. Efek Afektif Efek afektif timbul apabila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenagi, atau dibenci khalayak. Dalam model akibat komunikasi pada tahap belajar efek afektif merupakan lanjutan dari efek kognitif, komunikator tidak hanya berubah dalam tingkat pengetahuan melainkan efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap atau nilai-nilai. Dalam perubahan sikap (efek afektif), ada tahap-tahap yang dilalui adapun tahap tersebut adalah : liking (menyukai), preference (pilihan), conviction (menyakini). Pada tahun 1960 Josen Klapper melaporkan hasil penelitiannya mengenai efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum :44 1. Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti personal, proses selektif, keanggotaan kelompok (faktor personal). 2. Karena faktor-faktor tersebut, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang 44 Drs. Jalaluddin Rakhmat, Sosiologi Komunikasi Massa, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995, hlm.136-138 33 berfungsi sebagai media pengubah (agent of change). 3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada “konversi” (perubahan seluruh sikap) dari sisi masalah ke sisi yang lain. 4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidangbidang dimana pendapat orang lemah. 5. Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh. a. Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas rangsangan emosional pesan media massa menurut Weiss, 1969, V: 52-99 :45 • Suasana emosional (mood) • Skema kognitif • Suasana terpaan • Predisposisi individual • Tingkat identifikasi khalayak dengan tokoh dalam media massa Faktor ketiga yang mempengaruhi efek emosional media massa ialah suasana terpaan (setting of exposure). Anda akan sangat ketakutan menonton film horror bila Anda menonton sendirian disebuah rumah tua, ketika hujan lebat, dan tiang-tiang rumah berderik. Beberapa penelitian yang dilaporkan Weiss menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keadaan sendirian atau ditempat gelap. Begitu pula reaksi orang lain pada saat menonton akan mempengaruhi emosi pada waktu memberikan respon. Ketakutan, juga 45 Jalaluddin Rachmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,hlm. 234 34 emosi lainnya, memang ,mudah menular.46 3. Efek Konatif Pada dampak media massa sudah dijelaskan bahwa media massa tidak hanya sampai pada tahap kognisi dan afeksi melainkan mampu ketahap konasi (tingkah laku), dampak ini menimbulkan menimbulkan aksi. Menurut Dervin, media massa mampu mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak. Dalam kerangka behavioralisme media massa adalah faktor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik, khalayak sendiri dianggap sebagai kepala kosong yang siap untuk menampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan menampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan kepadanya.47 2.10 Khalayak 2.10.1 Definisi Khalayak Khalayak merupakan faktor penentu keberhasilan komunikasi, karena komunikasi tentunya patokan keberhasilan upaya komunikasi yang dilakukan itu merupakan pesan-pesan yang disampaikan melalui suatu saluran medium dapat diterima/sampai ke khalayak sasaran, di pahami dan mendapatkan tanggapan positif, dalam arti sesuai dengan harapan si komunikator.48 Khalayak dalam konteks peristiwa komunikasi telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pada masa itu pengertian khalayak menunjuk pada sekumpulan orang yang menonton suatu petunjukkan (misal : drama, pertandingan, dll). 46 Jalaluddin, Op.cit, hlm. 236 Op.cit hal, 202. 48 Sasa Djuarsa, Pengantar Komunikasi, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Hal: 9.24. 47 35 Dengan demikian pengertian khalayak adalah sekumpulan orang yang terorganisir dalam tempat dan waktu tertentu, di mana masing-masing secara sukarela datang ke suatu tempat karena memiliki perhatian yang sama, serta tujuan yang kurang lebih sama pula yakni ingin memperoleh hiburan. 2.10.2 Khalayak Remaja Khalayak remaja tidak lepas dari permasalahan kehidupan yang di alami oleh para remaja sekarang, karena remaja ingin mencoba-coba dan ingin banyak mengetahui apa yang belum di ketahuinya. Acara-acara sekarang lebih banyak menayangan suatu acara atau program acara di mana yang menjadi target utama adalah kalangan remaja karena remaja lebih suka di suguhkan acara-acara yang berunsur dengan nilai hiburan, komedi, musik. Remaja yang dimaksud disini adalah anak-anak yang berusia 12 atau 13 tahun sampai 16 tahun yang sedang berada dalam pertumbuhan yang mengalami masa remaja.49 2.11 Kharakteristik Khalayak Jenis-jenis karakteristik khalayak dalam sasarannya yaitu :50 a. Khalayak sebagai penggarap informasi Terjadi pada pihak penerima ( khalayak ) bersifat “selektif“. Pihak penerima pesan saat berhadapan dengan “bentuk informasi“ maka melakukan “ decoding “ (penerima atau penginterprestasikan kode) 49 50 Elizabeth Lutters, Kunci Sukses Menulis Skenario, Jakarta, Grasindo, 2004, hal.32 Ibid, hal: 9.28 akan 36 b. Khalayak sebagai “ problem solver “ Khalayak tidak terlepas dari permasalahan kehidupan yang di hadapi mereka masing-masing, tujuan optimal tentunya meniadakan keseluruhan permasalahan tujuan minimal meringankan beban yang ditimbulkan oleh permasalahan yang ada. c. Khalayak sebagai mediator Pada dasarnya proses penyebaran informasi tidak berhenti pada khalayak sasaran langsung sebagai barisan pertama. Penyebaran informasi bias melalui barisan dan bertahap. d. Khalayak sebagai yang menjadi pembela Hal ini terjadi karena adanya suatu yang baru yang mempengaruhi keyakinan atau karena faktor-faktor lainnya. e. Khalayak sebagai anggota kelompok Yang di maksud kelompok adalah formal di sini antara lain misalnya ABRI, KORPRI, serikat buruh. Sedang kelompok seperti kelompok pecinta alam, kelompok olah raga termasuk ke dalam kelompok informal. f. Selera khalayak Adalah manusiawi sifatnya apabila tiap orang mempunyai selera yang berbeda satu sama lainnya. Media massa tercetak seperti surat kabar dan majalah dan media elektronik. g. Khalayak sebagai kelompok 37 Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Bisa menyangkut cirri demografis seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan, asal kesukuan, dan lain-lain. 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang secara faktual dan cermat.51 Sedangkan sifat deskriptif yaitu penelitian yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dalam kaitannya dengan topik penelitian dan tidak menguji hipotesa atau membuat prediksi. Fokus riset ini adalah perilaku yang sedang terjadi (what exist of moment) dan terdiri dari satu variable, misalnya menggambarkan sosiodemografi responden dalam riset.52 Penelitian deskriptif ini dapat diartikan sebagai prosedur memaparkan keadaan objek yang diselidiki sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang actual sekarang.53 3.2 Metode Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah survey yang merupakan metode penelitian dengan cara peneliti turun kelapangan dan melakukan pengamatan, pencatatan, dan observasi terhadap obyek apa yang akan diteliti guna mencari data yang dapat memperkuat isi penelitian. Metode survey 51 Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995, hlm.114 Rachmat Kriyantono, Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2007, hlm.60-61 53 Hadari Nawawi&Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1995, hlm.67 52 38 39 yang yaitu penelititan menggambarkan dan menjelaskan respon khalayak atas stimulus tertentu dan mengguakan daftar pertanyaan (kuisioner).54 Metode survey adalah penelitian yang digunakan untuk memperoleh faktafakta dari gejala-gejala yang ada baik tentang institusi sosial, ekonomi, ataupun politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah, dengan menekankan penggunaan pengumpulan tentang suatu masalah tetapi juga dapat menerangkan sebagian kelompok-kelompok tertentu.55 Metode penelitian survey digunakan untuk maksud :56 1. Penjajagan, biasanya bersifat terbuka, masih mencari-cari. 2. Deskriptif, dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu. 3. Penjelasan, yakni untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa. 4. Evaluasi, untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan yang digariskan pada awal program tercapai atau mempunyai tanda-tanda akan tercapai. 5. Prediksi atau meramalkan kejadian tertentu dimassa yang akan dating tentang fenomena sosial tertentu. 6. Penelitian oprasional dengan memusatkan perhatian pada variable-variabel yang berkaitan dengan aspek oprasional suatu program. 7. Pengembangan indikator-indikator sosial. 54 Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm.83 55 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm.65 56 Masri Singarimbun&Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta, Cetakan Kedua, hlm.3 40 3.3 Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Data Primer Untuk mendapatkan data yang diinginkan, dalam penelitian ini peneliti menyebarkan kuisioner. Kusioner adalah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh responden, disebut juga angket.57 Dimana didalamnya terdapat susunan pertanyaan yang nantinya dapat memberikan data-data yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk melakukan suatu analisa dalam penelitian ini. 3.3.2 Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan, dan memperjelas mengenai dampak media massa. Studi kepustakaan yang meliputi jurnal, buku-buku serta referensi tertentu lainnya yang terkait, seperti artikel, surat kabar, majalah, internet maupun observasi langsung ke lapangan. 3.4 Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan analisis yang menjadi sasaran dalam suatu penelitian. Dengan kata lain, populasi akan berisi unit analisis yang akan dijadikan sasaran penelitian.58 Populasi yang dimaksud pada penelitian ini adalah remaja yang usianya antara 16 sampai 18 tahun yang bersekolah di SMA Negeri 4 Tangerang yang telah menonton tayangan film Kuntilanak di bioskop. Alasan mengapa SMA Negeri 4 Tangerang, hal ini dikarenakan siswa-siswi sekolah 57 58 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2006, hlm.93 Bambang Setiawan, Metode Penelitian Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta, 1995.hlm.181 41 tersebut pada saat dilakukan survey oleh peneliti secara lisan, banyak yang menonton film-film layar lebar bergenre horor atau bertema mistis. Alasan lainnya yakni karena usia 16 sampai 18 tahun, manusia cenderung pada masa produktifnya atau pencarian jati diri sehingga mudah menerima informasi dari luar termasuk tayangan. Jumlah siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang yang menonton film horor Kuntilanak tahun ajaran 2008-2009 sebagai populasi penelitian ini adalah 180 siswa.59 3.4.2 Sampel Penelitian Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti yang dianggap mewakili terhadap seluruh populasi dan diambil dengan menggunakan teknik tertentu. Dalam pengambilan sampel terdapat dua syarat yaitu: sampel harus respresentatif (mewakili) dan besarnya sampel memadai.60 Suatu sampel dikatakan respresentatif apabila ciri-ciri populasinya. Dengan sampel yang respresentatif seperti ini, maka informasi yang dikumpulkan dari sampel hampir sama telitinya dengan informasi yang dikumpulkan dari populasi. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat Suharsimi Arikunto :61 “Sekedar ancer-ancer, maka apabila subjeknya kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 10% hingga 15% atau 20% atau lebih, tergantung setidaknya-tidaknya dari: 59 Sumber data dari ketua Osis SMA Negeri 4 Tangerang, Sabtu 20 September 2008. Irawan Soehartono: Metode Penelitian Sosial, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998, Hal: 58. 61 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2006, hal: 134. 60 42 1. Kemampuan peneliti, dari waktu, tenaga, dan dana. 2. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data. Melalui pendapat tersebut, peneliti mengambil sampel 50% dari 180 siswa yang menonton film Kuntilanak karena jumlah sampel lebih dari seratus, sehingga diambil 90 siswa untuk mewakili yang menonton film Kuntilanak. 3.5 Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah suatu teknik non probability sampling, yaitu purposive sampling. Dalam teknik purposive sampling ini pengambilan sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian. Perbedaannya terletak pada pembatasan sampel dengan hanya mengambil unit sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kata lain, unit sampel dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan yakni siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang yang sudah menonton tayangan film horor Kuntilanak yang ditentukan dalam kegiatan penarikan sampel. 3.6 Definisi dan Operasionalisasi Konsep 3.6.1 Definisi Konsep 1. Efek Tayangan Efek merupakan suatu pengaruh yang dihasilkan terhadap seseorang atau sesuatu. Efek sosial berkenaan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial akibat sehadiran media massa salah satunya film yang menimbulkan efek positif maupun negatif. Efek-efek yang diteliti disini 43 sendiri yakni efek kognitif yaitu yang berhubungan dengan pengetahuan kita tentang segala sesuatu, efek afektif berhubungan dengan sikap kita terhadap sesuatu, serta efek konatif berhubungan dengan tingkah laku kita terhadap sesuatu. Efek tayangan sendiri merupakan suatu pengaruh tayangan program, dalam hal ini tayangan menonton film yang bergenre horor (mistis) dengan judul Kuntilanak yang di produksi oleh Multivision Plus terhadap subyek, yaitu siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang. Efek yang akan diteliti disini adalah efek kognitif, afektif, dan konatif. 2. Film horor Film horor adalah karya cipta dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam dengan pita seluloid, pita video, piringan video dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk jenis dan atau ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan lainnya yang berjenis horor yang mengagetkan dan membuat takut audiens. 3. Remaja Remaja adalah anak-anak yang berusia antara 15 atau 16 tahun sampai dengan 18 tahun yang sedang berada dalam pertumbuhan yang mengalami masa remaja. 44 3.6.2 Operasionalisasi Konsep Variabel Dimensi Indikator Terpaan Frekuensi Sering menonton film di a. Tinggi 3 bioskop b. Sedang 2 c. Rendah 1 Menonton sampai selesai a. 90menit 3 atau separuh b. 45 menit 2 c. 30 menit 1 Tayangan Film Skala Horor Intensitas Efek Kognitif Pengetahuan 1. Mengetahui seluruh isi a. Mengetahui cerita film b. Kurang mengetahui Kuntilanak. c. Tidak mengetahui 2. Mengetahui tema cerita a. Mengetahui film Kuntilanak. dalam Kuntilanak 4. Mengetahui tokoh Kuntilanak dalam 3 2 1 3 b. Kurang mengetahui 2 c. Tidak mengetahui 1 3. Mengetahui nama-nama a. Mengetahui tokoh Skor film b. Kurang mengetahui c. Tidak mengetahui karakter a. Mengetahui film b. Kurang mengetahui c. Tidak mengetahui 3 2 1 3 2 1 45 Efek Afektif Rasa takut 5. Mengetahui tembang a. Mengetahui 3 (dermo) yang ada dalam b. Kurang mengetahui 2 film Kuntilanak 1 c. Tidak mengetahui 1. Perasaan takut timbul a. Ya menonton b. Biasa saja setelah tayangan film Kuntilanak. c. Tidak 3 2 1 2. Perasaan takut timbul a. Ya 3 saat menyaksikan hantu- b. Biasa saja 2 hantu yang muncul di film c. Tidak 1 Kuntilanak. 3. Rasa takut selalu timbul a. Ya ketika anda melewati b. Biasa saja tempat-tempat yang sepi c. Tidak setelah 3 2 1 menonton tayangan film Kuntilanak. 4. Backsound dalam film a. Ya 3 Kuntilanak menimbulkan b. Biasa saja 2 rasa takut. c. Tidak 1 46 5. Wangsit (tembang lagu a. Ya 3 pemanggil kuntilanak) b. Biasa saja 2 dalam Kuntilanak c. Tidak 1 film membuat Anda menjadi takut. Efek Konatif Perilaku 1. wangsit a. Ya Meniru (tembang lagu pemanggil b. Biasa saja kuntilanak) dalam film c. Tidak 3 2 1 Kuntilanak. 2. Mengumpulkan pernak- a. Ya 3 pernik yang berhubungan b. Biasa saja 2 dengan film Kuntilanak c. Tidak 1 (VCD, ghotic, Novel, pakaian kostum-kostum seram, dan lain-lain) 3. Meniru suara-suara a. Ya b. Biasa saja yang menyeramkan/menakutkan c. Tidak dalam film Kuntilanak untuk menakuti teman. 3 2 1 47 4. Meniru dalam gaya film untuk hantu a. Ya Kuntilanak b. Biasa saja menakut-nakuti c. Tidak 3 2 1 teman. 5. Mengikuti (mengikuti a. Ya jalan cerita/terus b. Biasa saja 2 karena c. Tidak 1 menonton penasaran dengan film Kuntilanak) setiap episode selanjutnya pada film Kuntilanak. 3.7 Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam proses ini seringkali digunakan statistik.62 Karena metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif artinya semua data dihimpun dan disusun secara sistematis, cermat dan untuk kemudian dipelajari dan dianalisa secara deskriptif hanya memaparkan situasi atau peristiwa dan tidak mencari atau menjelaskan hubungan serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. 62 3 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendy, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta : 1995, hlm.25 48 Pada penelitian ini, analisa dapat dilakukan setelah data yang dibutuhkan telah terkumpul, kemudian data diolah melalui tahap-tahap berikut : a. Data diolah dari jawaban para responden yang telah masuk setelah kuesioner dibagikan dengan cara manual, yaitu dengan menghitung jumlah jawaban untuk setiap kategori dari setiap pertanyaan yang diajukan. b. Menyederhanakan data dalam bentuk table terlebih dahulu dengan membuat coding book dan coding sheet, hal ini dilakukan untuk mempermudah pembuatan table tunggal. c. Dari jawaban para responden kemudian data dianalisa kedalam table frekuensi data secara kuantitatif yang bersifat deskriptif. Hal tersebut dapat dilihat dari pengetahuan terhadap unsur-unsur yang ada. Selanjutnya jawaban-jawaban dari responden akan diberi poin 1-3, dengan perincian sebagai berikut : 1. Mengetahui : 3 Poin 2. Kurang Mengetahui : 2 Poin 3. Tidak Mengetahui : 1 Poin Setelah semua jawaban terkumpul dari responden, kemudian akan diklasifikasikan setiap responden berdasarkan hasil jawaban mereka. Dari beberapa pertanyaan yang telah diajukan kepada responden akan dihitung dan diketahui seberapa tahukah mereka mengenai tayangan film horor Kuntilanak. Selanjutnya untuk mengetahui secara akumulatif data dampak kognitif, maka dilakukan penghitungan dengan menggunakan rumus interval, yaitu :63 63 Sutrisno Hadi M.A : Statistik. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. 1985. hal. 12 49 Interval = ( NT x P ) – ( NR x P ) ___________________ Skala Ket : NT : Nilai Tinggi NR : Nilai Rendah P : Pertanyaan Efek Kognitif (Pengetahuan) Interval =(3x5)–(1x5) 3 = 15 – 5 __ 3 = 10 ______ 3 = 3,3 = 4 Akumulatif data efek kognitif (Pengetahuan) : • Mengetahui = 9 sampai dengan 11 • Kurang Mengetahui = 6 sampai dengan 8 • Tidak mengetahui = 3 sampai dengan 5 50 Efek Afektif (Rasa Takut) Interval =(3x5)–(1x5) 3 = 15 – 5 __ 3 = 10 ______ 3 = 3,3 = 4 Akumulatif data efek afektif (rasa takut) : • Ya = 9 sampai dengan 11 • Biasa Saja = 6 sampai dengan 8 • Tidak = 3 sampai dengan 5 Efek Konatif (Perilaku) Interval =(3x5)–(1x5) 3 = 15 – 5 __ 3 = 10 ______ 3 = 3,3 = 4 51 Akumulatif data efek konatif (perilaku) : • Ya = 9 sampai dengan 11 • Biasa Saja = 6 sampai dengan 8 • Tidak = 3 sampai dengan 5 Efek Interval = ( 3 x 15 ) – ( 1 x 15 ) 3 = 45 – 15 __ 3 = 30 ______ 3 = 10 Akumulatif data efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif : • Tinggi = 34 sampai dengan 44 • Sedang = 25 sampai dengan 34 • Rendah = 15 sampai dengan 24 52 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Perusahaan Pada tahun 1967, Ram bersama dua kakaknya Dhammoo Punjabi dan Gobind Punjabi mendirikan perusahaan importir film, PT Indako Film dengan modal Rp 30 juta. Tiga tahun kemudian, ia mendirikan PT Panorama Film (1971-1976) yang bersama PT. Aries Internasional Film memproduksi film Mama karya sutradara Wim Umboh tahun 1972 yang merupakan film Indonesia pertama yang menggunakan seluloid 70 milimeter, tapi kurang laku ketika dilempar ke pasar. Kemudian kembali Raam memproduksi film Demi Cinta yang dibintangi Sophan Sophiaan dan Widyawati. Namun film produksi keduanya ini termasuk biasabiasa saja dalam peredarannya. Akhirnya di film produksinya yang ketiga Pengalaman Pertama bintang terang menghampirinya. Film ini dibintangi Roy Marten, Yatie Octavia, dan Robby Sugara. Pada tahun 1980-an ketika kondisi perfilman Indonesia sedang terpuruk, Raam malah sukses, membawa trend film bertemakan komedi di perfilman Indonesia dengan menampilakan bintang komedi pada saat itu trio Warkop (Warung Kopi) yaitu Dono, Kasino dan Indro. Dalam kurun waktu tujuh belas tahun awal karirnya sebagai produser, Ram telah memproduksi lebih dari seratus film termasuk lewat PT Parkit Film yang ia dirikan pada 1981. Pada tahun sekitar tahun 1989 dimana kondisi 52 53 perfilman Indonesia benar-benar hancur, Raam yang sebagai seorang produser film tidak kehilangan akal. Dia berhasil berpikir cepat dan cemerlang, Ram beralih ke dunia sinetron yang pada saat itu memang baru dan juga seiring dengan munculnya stasiun televisi swasta pertama yaitu RCTI. Raam melihat hal tersebut sebagai peluang yang baik dan itu terbukti dengan suksesnya serial sinetron komedi Gara-Gara, yang dibintangi Lydia Kandou dan Jimmy Gideon . Pada tahun 1990 ia mendirikan rumah produksi PT Tripar Multivision Plus dengan modal Rp. 250 juta. Raam Punjabi meniti dari awal hingga puncak kesuksesannya dengan tidak lepas dari berbagai masalah dan kontroversi. Daya cipta dan kreativitas ia tumpahkan demi merengkuh tahta tertinggi industri film di Indonesia. Di satu sisi ia dipuji sebagai penyelamat industri film Indonesia, pada saat bersamaan dinista sebagai biang kemerosotan mutu tontonan. Tapi Punjabi terus melangkah walau harus menghadapi semuanya. Sinetron-sinetron yang diproduksi perusahaannya memang memiliki ciri tersediri, yakni selalu menampilkan tokoh-tokoh yang cantik, dari lingkungan keluarga menengah ke atas dan terkesan jauh dari realitas yang ada. Seringkali kritik dialamatkan pada sinetron hasil rumah produksinya. Tapi Raam tidak bergeming. Hingga tahun 2000-an tidak ada yang bisa menyaingi kebesaran Punjabi dalam industri hiburan televisi, terutama film dan sinetron. 54 4.1.1 Visi Menjadi rumah produksi pertama di Indonesia yang unggul dan dihormati yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan industri perfilman dan pertelivisian Indonesia. 4.1.2 Misi Membangun Multivision sebagai perusahaan Rumah Produksi swasta pertama dan terkemuka di Indonesia dengan : 1. Menciptakan beragam program acara Tv atau serial Tv atau Film yang kreatif, inovatif dan bekualitas 2. Memberikan kesempatan kepada tenaga kreatif baru untuk dapat menyalurkan kemampuan seninya dan merealisasikan keahliannya secara maksimal 3. Melaksanakan metode pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) 4. Menjadi kebanggan bagi seluruh karyawan dan pihak lain yang terlibat di kegiatan perusahaan dan produksi 5. Memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam kancah industri perfilman di dunia. 4.2 Sinopsis Film Kuntilanak Kuntilanak berkisah tentang Samantha atau Sam (Julie Estelle), seorang mahasiswi ‘patah hati’ yang kost di rumah tua dekat kuburan dan pohon besar. Uniknya, meski Rumah kost itu tua, angker, tapi anak kostnya modern. 55 Suatu kali ibu kost, Ibu Yanti (Lita Soewandi) menyenandungkan ‘gending Dermo’ atau nyanyian kemarahan yang bisa memanggil kuntilanak. Dasar berbakat, Dermo itu justru menjadi ‘mantra’ bagi Sam. Sepanjang film, paling tidak lima kali Sam ‘nembang’ Dermo itu dan rasanya, bagai menyaksikan film India versi jawa. Nembang terus. Penasaran bagaimana Kuntilanak itu bisa datang, silahkan belajar pada Sam. Caranya tidak sulit. Setiap kali Sam ‘dizolimi’, dan muncul perasaan dendam, dia akan segera nembang Durmo, wajah pucat kesurupan, mendongak sadis ke arah ‘korban’, kemudian si korban mimisan, lalu Sam sadar dan muntah disertai belatung, tak lama si ‘korban’ pasti ditemukan tewas dengan kepala terbalik. Siapa saja korbannya? Salah satunya adalah Dinda (Ratu Felisha), tipikal cewek gothic gaul, anak broken home. Sam punya kekasihnya bernama Agung (Evan Sanders). Karena kesalahan Agung, hubungan Sam dengan Agung tidak begitu baik. Agung yang mencoba meyelamatkan Sam, malah menjadi sasaran korban Kuntilanak. 4.3 Sinopsis Film Kuntilanak 2 Sam berada dalam dilema, apa akan memenuhi panggilan gelap tersebut atau mempertahankan jati dirinya. Karena wangsit pemanggil Kuntilanak semakin menguasai Sam, dan membuat sisi gelap jiwanya semakin kuat. Sam harus berjuang melawan musuh yang ada di dalam dirinya sendiri. 56 Selain itu, sisa-sisa pengikut Sekte Mangkoedjiwo yang kejam juga menggunakan berbagai cara dan ritual sesat untuk memaksa Sam masuk ke dalam lingkaran mereka, dan menjadi pemimpin mereka, supaya mereka tetap bisa menggunakan Kuntilanak untuk menimba kekayaan. Sementara itu, Agung (Evan Sanders) yang masih trauma akan pergumulannya dengan kuntilanak kini tidak lagi menjadi kekasih Samantha. Agung yang telah diputuskan pun tetap berusaha mencari-cari Sam lantaran ia memiliki kunci kemenangan Sam melawan semua kejahatan itu. Sam harus mengalahkan segala kejahatan yang ada di sekitarnya, dan juga didalam dirinya, sebelum Sekte Mangkoedjiwo berhasil menangkap dan membuatnya tunduk pada kemauan mereka. Semakin banyak korban nyawa, dan semakin banyak curahan darah, membuat Kuntilanak semakin lepas dari kendali Sam, dan malah berbalik menyerang Sam. 4.4 Sinopsis Kuntilanak 3 Darwin (Mandala Abadi Shoji), Asti (Imelda Therine), Herman (Reza Pahlevi) dan Petra (Laura Antoinetta) pergi ke Desa Ujung Sedo untuk mencari dua orang teman mereka yang hilang, Stella (Laudya Chintya Bella) dan tunangannya. Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang gadis bernama Samantha (Julie Estelle) yang memiliki sebuah misi pribadi yang misterius di Ujung Sedo. Kelima anak muda ini bertualang menembus hutan, kabut dan gua, di mana banyak kejadian menyeramkan dan aneh menghantui mereka. Semua 57 ternyata berkaitan dengan misi pribadi Samantha yang memiliki wangsit untuk memanggil Kuntilanak. Ibu Samantha, Mega (Ida Iasha), menyuruh Samantha mencari seorang dukun tua di Ujung Sedo yang bisa mencabut wangsit tersebut. Namun, dukun tua itu punya rencana jahat lain yang mengancam nyawa semua orang. Dibantu gadis cilik bernama Yenny (Cyndi Valerie) serta teman-temannya, Samantha berjuang menuntaskan misinya, walaupun kekuatan dukun tua dan Kuntilanak jauh melampauinya. 4.5 Hasil Penelitian Analisa data merupakan satu tahapan yang sangat penting dalam metode ilmiah. Karena dengan menganalisa, data tersebut akan diberi arti dan makna yang bermanfaat dalam memecahkan masalah penelitian. Data yang diperoleh dengan cara menyebarkan kuisioner kepada siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang. Berdasarkan karakteristik responden, maka sampel ditentukan sebanyak 90 siswa yang diambil secara purposive sampling. Dalam analisa ini peneliti menggunakan tabel tunggal dan analisa secara deskriptif secara beruntun akan dibahas secara keseluruhan yang bersangkutan dengan penelitian ini dengan objek penelitian siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang yang menyaksikan film Kuntilanak di bioskop. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dengan membagikan kuisioner kepada responden, maka penulis menguraikan hasil penelitian dalam bentuk tabel sebagai berikut : 58 4.6 Identitas Responden Berdasarkan karakteristik responden dapat dijelaskan dalam berbagai kriteria sebagai berikut : 4.6.1 Jenis Kelamin No Usia F % 1. Laki-laki 39 43,3 2 Perempuan 51 56,6 90 100 Jumlah Berdasarkan hasil jawaban dari 90 responden yang tertera pada tabel 4.6.1, dari segi jenis kelamin diperoleh hasil, jenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding responden laki-laki. Hal ini bisa terjadi karena sebagian besar responden yang berjenis kelamin perempuan tersebut adalah para siswi yang paling banyak menonton tayangan film Kuntilanak di bioskop dan memiliki intensitas tinggi menonton film di bioskop dalam sebulan. Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas penonton film Kuntilanak adalah khalayak berjenis kelamin perempuan, dengan presentase mencapai 56,6%, dan sisanya berjenis kelamin laki-laki sebanyak 43,3%. 4.6.2 Usia No. Usia f % 1. 15 29 32,2 2. 16 25 27,8 59 3. 17 36 40 Jumlah 90 100 Pada tabel 4.6.2 diperoleh keterangan bahwa sebanyak 40% atau 36 responden yang diteliti berusia 17 tahun. Sisanya sebanyak 32,2% berusia 15 tahun dan 27,8% berusia 16 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdasarkan usia, seluruh responden penelitian ini merupakan khalayak dalam tingkat usia mudah terpengaruh oleh suatu efek tayangan film karena mereka ada dalam masa transisi menuju tingkat kedewasaan. 4.6.3 Kelas Responden No. Kelas f % 1. 1 30 33.3 2. 2 27 30 3. 3 33 36,7 Jumlah 90 100% Berdasarkan karakteristik tersebut sebagian responden yang diberikan pertanyaan mengenai kelas adalah sebagian besar berada pada kelas 3, dengan jumlah 33 orang atau 36,7%. Sedangkan untuk masing-masing kelas selain kelas 3 adalah kelas 1 sebanyak 30 orang atau 33,3% dan kelas 2 sebanyak 27 orang atau 30%. 60 4.7 Pola Menonton Setelah mengetahui identitas responden, berikut akan diuraikan hasil penelitian bagian II yaitu mengenai pola menonton, yang pertanyaannya meliputi : intensitas menonton dalam sebulan di bioskop, teman menonton film di bioskop, dan durasi menonton film dibioskop. 4.7.1 No. Intensitas Menonton di Bioskop Intensitas menonton f % dalam sebulan 1. > 3 kali 68 75,6 2. 2-3 kali 13 14,4 3. 1 kali 9 10 Jumlah 90 100 Berdasarkan tabel 4.7.1 diatas, dapat dijelaskan bahwa intensitas menonton film di bioskop lebih dari 3 kali paling tinggi sebanyak 68 orang atau 75,6%, selanjutnya sedang sebanyak 13 orang atau 14,4%, serta rendah sebanyak 9 orang atau 10%. 4.7.2 Teman Menonton No. Teman Menonton f % 1. Pacar 58 64,4 2. Teman 32 35,6 3. Sendiri - 0 61 Jumlah 90 100 Berdasarkan tabel 4.7.2 sebagian besar responden menonton ditemani oleh pacarnya. Presentase menunjukkan sebanyak 58 responden atau 64,4% responden menonton bersama pacarnya. Sebagian besar beralasan agar mereka lebih nyaman. Dan 13 responden atau 35,6% responden menjawab pergi menonton bersama teman. 4.7.3 Durasi Menonton No. Durasi Menonton f % 1. 90 menit 90 100 2. 45 menit - 0 3. 30 menit - 0 Jumlah 90 100 Dari tabel 4.7.3 bisa kita ketahui bahwa 90 responden atau 100% responden menonton film kuntilanak sampai selesai. Dengan beragam alasan. 4.8 Pengetahuan Siswa/i (efek kognitif) Efek kognitif yang diteliti oleh peneliti meliputi isi cerita film Kuntilanak, tema, nama-nama tokoh, karakter tokoh, dan tembang yang ada di film Kuntilanak. 62 4.8.1 Pengetahuan Isi Cerita Film Kuntilanak No. Pengetahuan isi cerita f % 1. Mengetahui 69 76,7 2. Kurang mengetahui 21 23,3 3. Tidak mengetahui - 0 Jumlah 90 100 Dari tabel 4.8.1 ada sebanyak 69 responden atau 76,7% menjawab sangat mengetahui semua isi cerita film Kuntilanak. Menurut survey, sebagian besar responden menonton film Kuntilanak dari 1 sampai 3. Sisanya sebanyak 21 responden atau 23,3% responden menjawab kurang mengetahui karena mereka menonton tetapi kurang ingat dan kosong yang menjawab tidak mengetahui. 4.8.2 No. Pengetahuan Mengenai Tema Cerita Pengetahuan Tema f % Film 1. Mengetahui 84 93,3 2. Kurang mengetahui 6 6,7 3. Tidak mengetahui - 0 Jumlah 90 100 Sebagian besar responden mengetahui tema cerita film Kuntilanak. Pada tabel 4.8.2 sebanyak 84 responden atau 93,3% menjawab sangat mengetahui dan sebanyak 6 responden atau 6,7% responden menjawab kurang mengetahui dan tak ada yang menjawab pada pilihan tidak mengetahui. 63 4.8.3 No. Pengetahuan Nama Tokoh Pengetahuan Nama f % Tokoh 1. Mengetahui 64 71,1 2. Kurang mengetahui 26 28,9 3. Tidak mengetahui - 0 Jumlah 90 100 Pada tabel 4.8.3 sebanyak 64 responden atau 71,1% menjawab sangat mengetahui tokoh film Kuntilanak. Sebagian besar menjawab benar dalam menyebutkan nama-nama tokoh dalam film Kuntilanak. Dan 26 responden atau 28,9% responden menjawab kurang mengetahui karena mereka hanya menikmati filmnya. Sisanya tidak ada yang menjawab tidak tahu. 4.8.3 No. Pengetahuan Karakter Tokoh Pengetahuan f % Karakter Tokoh 1. Mengetahui 38 42,2 2. Kurang mengetahui 52 57,8 3. Tidak mengetahui - 0 Jumlah 90 100 Pada tabel 4.8.4 sebanyak 38 responden atau 42,2% responden menjawab sangat mengetahui setiap karakter tokoh dalam film Kuntilanak. Sisanya 52 responden atau 57,8% responden menjawab kurang tahu karena kurang ingat 64 dengan karakter setiap tokoh. Dan tak ada yang menjawab tidak mengetahui karakter tokoh dalam film Kuntilanak. 4.8.5 Pengetahuan Tentang Dermo No. Pengetahuan Dermo f % 1. Mengetahui 34 37,8 2. Kurang mengetahui 46 51,1 3. Tidak mengetahui 10 11,1 Jumlah 90 100 Pada tabel 4.8.5 diatas menunjukkan mengenai apakah responden mengetahui tembang atau dermo yan ada difilm Kuntilanak. Diketahui bahwa jumlah responden sebanyak 34 atau 37,8% menjawab sangat mengetahui, responden yang menjawab kurang mengetahui sebanyak 46 orang atau 51,1% karena mereka kurang ingat, serta 10 responden atau 11,1% responden menjawab tidak tahu karena mereka tidak mengetahui. Responden yang tidak mengetahui tidak mengerti apa yang dimaksud tembang atau dermo yang ada di film Kuntilanak. 4.9 Perasaan Takut Siswa/i Terhadap Film Kuntilanak (Afektif) Pada bagian ini peneliti ingin mengetahui efek afektif pada responden setelah menonton film Kuntilanak di bioskop. Efek afektif responden terhadap film Kuntilanak diukur melalui poin-poin pertanyaan seperti di bawah ini : 65 4.9.1 Perasaan Takut Setelah Menonton No. Pengetahuan Dermo f % 1. Ya 54 60 2. Biasa Saja 31 34,4 3. Tidak 5 5,6 Jumlah 90 100 Berdasarkan tabel 4.6.1 diatas, diketahui bahwa responden yang menyatakan ya merasa takut berjumlah 54 orang atau 60%, kemudian jumlah responden yang menjawab biasa saja sebanyak 31 atau 34,4% karena kadang takut tapi kadang biasa saja. Sisanya tidak takut berjumlah 5 orang atau 5,6% responden karena mereka memang hobi menonton film horor. 4.9.2 No. Perasaan Takut Saat Menonton Perasaan Takut Saat f % Menonton 1. Ya 60 66,7 2. Biasa Saja 23 25,5 3. Tidak 7 7,8 Jumlah 90 100 Berdasarkan tabel 4.9.2 diatas, diketahui bahwa responden yang menjawab ya sebanyak 60 orang atau 66,7% responden merasa takut saat menonton film Kuntilanak dengan beragam alasan seperti kaget, rasa ngeri, takut, dan lain-lain 66 serta yang menjawab biasa saja sebanyak 23 orang atau 25,5% dan yang menjawab tidak sebanyak 7 orang atau 7,8% responden. 4.9.3 No. Rasa Takut Timbul Di Tempat-Tempat Tertentu Perasaan Takut f % Berada Di Tempat Sepi 1. Ya 45 50 2. Biasa Saja 35 38,9 3. Tidak 10 11,1 Jumlah 90 100 Berdasarkan tabel 4.9.3 diatas, diketahui bahwa responden yang menjawab ya merasa takut berada di tempat sepi sebanyak 45 orang atau 50% responden, yang menjawab biasa saja sebanyak 37 orang atau 41,1% dan yang menjawab tidak sebanyak 8 orang atau 8,9% responden. 4.9.4 No. Backsound Film Menimbulkan Rasa Takut Backsound f % Menimbulkan Rasa Takut 1. Ya 45 50 2. Biasa Saja 37 41,1 3. Tidak 8 8,9 67 Jumlah 90 100 Berdasarkan tabel 4.9.4 diatas, yang menjawab takut mendengar backsound sebanyak 45 orang atau 50% menjawab ya merasa takut karena terdengar menegangkan dan menimbulkan rasa takut, dan yang berjumlah 37 atau 41,1% responden menjawab biasa saja karena terbiasa menonton horor tapi terkadang menimbulkan ketakutan, sedangkan yang menjawab tidak sebanyak 8 orang atau 8,9% responden karena hobi menonton film horor. 4.9.5 No. Wangsit/Dermo Menimbulkan Rasa Takut Wangsit/Dermo f % Menimbulkan Rasa Takut 1. Ya 3 3,3 2. Biasa Saja 59 65,6 3. Tidak 28 31,1 Jumlah 90 100 Berdasarkan tabel 4.9.5 diatas, yang menjawab ya wangsit/dermo menimbulkan rasa takut berjumlah 3 orang atau 3,3% responden karena mereka menjawab kesannya terdengar mistis dan menimbulkan aura berbeda yang membengkitkan perasaan takut. Sedangkan yang menjawab biasa saja berjumlah 59 orang atau 65,6% responden karena sebagian besar beralasan tidak mengerti bahasa wangsit/dermo yang dilantunkan sisanya menjawab tidak sebanyak 28 orang atau 31,1% responden. 68 4.10 Perilaku/Tingkah Laku Siswa/i (Konatif) Pada bagian ini peneliti ingin mengetahui efek konatif pada responden mengenai film Kuntilanak. Efek konatif responden terhadap film Kuntilanak diukur dengan tindakan mereka menyangkut film Kuntilanak yang sudah mereka tonton. 4.10.1 Meniru Wangsit/Dermo No. Meniru Wangsit f % 1. Ya 10 11,1 2. Biasa Saja 59 65,6 3. Tidak 38 42,2 Jumlah 90 100 Menurut tabel 4.10.1 diatas, sebanyak 10 atau 11,1 responden menjawab ya meniru wangsit/dermo yang dilantunkan tetapi hanya mengikuti untuk menakuti teman melalui sms, sebanyak 59 orang atau 65,6% responden menjawab biasa saja karena tidak terlalu mengerti sisanya menjawab tidak sebanyak 38 orang atau 42,2% responden karena tidak mengerti maksudnya. 4.10.2 Mengumpulkan Pernak-Pernik Horor No. Mengumpulkan f % Pernak-Pernik Horor 1. Ya 1 1,1 2. Biasa Saja 28 31,1 69 3. Tidak 61 67,8 Jumlah 90 100 Menurut tabel 4.10.2 diatas, sebanyak 1 orang atau 1,1% responden menjawab ya mengumpulkan pernak-pernik horor seperti VCD film Kuntilanak, pakaian gothic, novel-novel horor, dan kostum-kostum seram karena si responden kebetulan mengikuti organisasi drama sekolah. Sedangkan sebanyak 28 orang atau 31,1% responden menjawab biasa saja, sisanya 61 orang atau 67,8% responden menjawab tidak karena tidak tertarik. 4.10.3 Meniru Suara-Suara Yang Menyeramkan Untuk Menakuti Teman No. Meniru Suara-Suara f % Aneh Untuk Menakuti Teman 1. Ya 71 78,9 2. Biasa Saja 18 20 3. Tidak 1 1,1 Jumlah 90 100 Pada tabel 4.10.3 diatas, sebagian besar memilih jawaban ya yaitu sebanyak 71 orang atau 78,9% responden dengan alasan terbiasa menakuti teman seperti itu karena mereka percaya dengan menggunakan suara-suara aneh dalam film horor biasanya menimbulkan perasaan takut. Sedangkan yang menjawab biasa saja hanya terkadang saja jika iseng sebanyak 18 responden atau 20%. Sisanya sebanyak 1 orang atau 1,1% menjawab tidak karena tidak tertarik. 70 4.10.4 Meniru Gaya Hantu No. Meniru Gaya Hantu f % Untuk Menakuti Teman 1. Ya 53 58,9 2. Biasa Saja 18 20 3. Tidak 19 21,1 Jumlah 90 100 Pada tabel 4.10.4 diatas, sebagian besar responden sebanyak 53 orang atau 58,9% orang menjawab ya mereka meniru gaya hantu untuk menakuti teman seperti ekspresi hantu yang datang tiba-tiba, dan lain-lain. Sebanyak 18 orang atau 20% responden menjawab biasa saja karena jarang menakuti teman, sisanya menjawab tidak sebanyak 19 orang atau 21,1% karena mereka tidak tertarik. 4.10.5 Mengikuti Alur Cerita Sampai Akhir No. Mengikuti Setiap f % Episode 1. Ya 74 82,2 2. Biasa Saja 15 16,7 3. Tidak 1 1,1 Jumlah 90 100 Pada tabel 4.10.5 diatas, sebagian besar responden yang berjumlah 74 orang atau 82,2% responden menjawab ya mengikuti setiap episode film 71 Kuntilanak sebab mereka penasaran, selanjutnya menjawab biasa saja sebanyak 15 orang atau 16,7% responden karena kurang penasaran karena sekedar hobi menonton, sisanya menjawab tidak tertarik sebanyak 1 orang karena tidak tertarik. 4.11 Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian terhadap para responden, pada bab IV ini peneliti akan membahas data yang telah dikumpulkan, sehingga dapat diketahui sejauh mana efek tayangan film horor Kuntilanak terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang. Untuk memperoleh gambaran yang jelas pada pembahasan ini, peneliti telah memberikan kuisioner kepada 90 responden yang merupakan siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang. Kuisioner dibagikan kepada siswa-siswi yang sudah ditentukan, yakni yang menonton film Kuntilanak di bioskop. Kuisioner yang telah dibagikan tersebut telah diisi dan dikembalikan kepada peneliti dengan lengkap sehingga kuisioner ini dapat dijadikan bahan penulisan dalam bab ini. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif yang memberikan gambaran atau penjabaran tentang kondisi empirik objek penelitian. Penelitian ini adalah penelitian survei yang menggambarkan dan menjelaskan respon khalayak atas stimulus tertentu dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Peneliti menyebarkan kuisioner untuk diisi oleh para responden di SMA Negeri 4 Tangerang. Dalam penelitian ini peneliti berpatokan pada teori S-O-R dan teori Jarum Hipodermik. Yakni, teori S-O-R (Stimulus-Organisme-Respons) yang atas dasar 72 dari teori Stimulus-Respons dengan menambahkan organisme kedalamnya dengan maksud membahas komunikasi massa dan pengaruhnya terhadap orangperorangan. Sedangkan teori Jarum Hipodermik yakni membahas mengenai media massa mempunyai pemikiran bahwa audiens bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bisa dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki oleh media. Sehingga media diibaratkan sebagai jarum suntik yang disuntikkan pada ketidaksadaran audiens. Melalui hasil kuisioner, peneliti berhasil memperoleh keterangan mengenai identitas para responden. Mayoritas responden adalah perempuan, dan sisanya laki-laki. Sebagian besar responden berada pada batasan 15-17 tahun, dengan mayoritas kelas 3. Pada penelitian ini diketahui bahwa seluruh responden mengetahui dan pernah menonton film Kuntilanak khususnya bermayoritas di bioskop. Hasil kuisioner menunjukkan bahwa seluruh responden memberikan jawaban yang menyatakan bahwa efek tayangan film horor Kuntilanak terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang adalah termasuk kategori TINGGI dengan jumlah jawaban antara 35-45 dengan persentase sebanyak 72,2%. Maksud hasil dari penelitian ini yakni efek kognitif yang tinggi adalah sebagian besar siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang mengingat dan mengetahui apa yang dipertanyakan dan bersangkutan dengan film Kuntilanak dari mulai pengetahuan mengenai isi cerita, tema cerita, nama-nama tokoh, pengetahuan mengenai tembang/dermo dalam film, hingga terakhir mengenai karakter pemain yang terlibat. 73 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat digambarkan dalam tabel 4.11.1 berikut : Tabel 4.11.1 Efek Tayangan Film Horor Kuntilanak Terhadap Siswa-Siswi SMA Negeri 4 Tangerang Kategori Nilai f % TINGGI 35-45 65 72,2 SEDANG 25-34 25 27,8 RENDAH 15-24 - - 90 100 Jumlah Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Efek kognitif yaitu efek akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informatif, kepercayaan, pengetahuan, keterampilan dan efek ini terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, difahami, dan dipersepsikan khalayak. Mengenai efek kognitif ada 5 pertanyaan yang diberikan dalam kuisioner, sebagian besar responden memberikan jawaban a yang berarti efek tayangan film horor Kuntilanak terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang dari segi kognitif adalah tinggi, dengan kategori pertanyaan mengenai : pengetahuan mengenai isi cerita film Kuntilanak, pengetahuan tema film, pengetahuan nama-nama tokoh dalam film Kuntilanak, pengetahuan terhadap tembang / dermo dalam film Kuntilanak 74 dan pengetahuan mengenai karakter tokoh dalam film Kuntilanak. Mayoritas responden menjawab mengetahui. Sebanyak 74 responden atau 82,2% menjawab mengetahui dengan kisaran skor 12 sampai 15. Sisanya sebanyak 16 responden atau 17,8% responden menjawab kurang mengetahui karena mereka menonton tetapi kurang ingat dan kosong yang menjawab tidak mengetahui. Menurut survey sebagian besar yang menjawab sangat mengetahui ini dikarenakan mereka menonton film Kuntilanak dari episode 1 sampai 3. Dapat dilihat dari besarnya persentase responden menjawab keseluruhan pertanyaan dengan jawaban positif. Berikut adalah tabel 4.11.2 yang berisi mengenai frekuensi efek kognitif dari keseluruhan skor yang di kategorikan sesuai dengan pengetahuan siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang. Tabel 4.11.2 Tabel Frekuensi Efek Kognitif Kategori Nilai f % MENGETAHUI 12-15 74 82,2 KURANG MENGETAHUI 8-11 16 17,8 TIDAK MENGETAHUI 4-7 - - 90 100 Jumlah 2. Mengenai efek afektif yaitu efek afektif yang muncul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, ditakuti, dan di benci. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh jawaban mayoritas adalah a, yang 75 berarti efek afektif tayangan film horor Kuntilanak terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang adalah tinggi, dengan penjelasan 5 pertanyaan yang diberikan dalam kuisioner berkaitan dengan efek afektif. Pertama mengenai perasaan takut setelah menonton film Kuntilanak. Kedua mengenai perasaan takut mereka saat menonton film Kuntilanak. Ketiga, mengenai pertanyaan sikap mengenai perasaan takut saat melewati tempattempat sepi setelah menonton film Kuntilanak. Keempat yakni mengenai perasaan takut terhadap suara-suara/backsound dalam film Kuntilanak. Kelima mengenai perasaan takut mengenai lantunan dermo/wangsit dalam film Kuntilanak. Sebanyak 54 responden atau 60% menjawab ”ya” memiliki efek afektif tinggi mengenai film horor Kuntilanak yakni perasaan takut itu ada. Selanjutnya sebanyak 33 responden atau 36,7% menjawab ”biasa saja” karena perasaan takut muncul namun disisi lain juga biasa saja karena hanya mengagetkan namun di bagian-bagian tertentu menimbulkan kesan-kesan yang berbeda selain takut, seperti ngeri, kaget, benci atau lainnya. Sisanya adalah 3 responden atau 3,3% menjawab ”tidak” merasa takut karena hobi menonton horor. Mereka yang menjawab tidak merasa faktor kesukaan yang mendorong mereka menonton film horor karena faktor sebagai hiburan semata. Berikut adalah tabel 4.11.3 yang berisi mengenai frekuensi efek afektif dari keseluruhan skor yang di kategorikan sesuai dengan perasaan takut setelah menonton atau pada saat menonton terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang yang sudah diakumulasi. 76 Tabel 4.11.3 Tabel Frekuensi Efek Afektif Kategori Nilai f % YA 12-15 54 60 BIASA SAJA 8-11 33 36,7 TIDAK 4-7 3 3,3 90 100 Jumlah 3. Mengenai efek konatif yaitu efek ini merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh jawaban mayoritas adalah ”biasa saja” dari 5 pertanyaan yang berkaitan dengan efek konatif. Pertama mengenai peniruan wangsit/dermo yang dilantunkan dalam keadaan nyata Kedua mengenai koleksi yang dimiliki reponden yang berhubungan dengan film Kuntilanak seperti VCD, pakaian gothic, novel-novel horor, ataupun kostum-kostum seram lainnya. Ketiga mengenai peniruan suara-suara aneh atau seram untuk menakuti teman. Sedangkan yang keempat adalah mengenai meniru gaya hantu dalam film Kuntilanak untuk menakuti audiensnya. Kelima mengenai mengikuti kelanjutan kisah film Kuntilanak. Sebanyak 42 responden atau 46,7% menjawab ”ya” meniru dengan maksud iseng atau malah tanpa disadari karena ingat dengan apa yang mereka tonton. Maksud dari jawaban tersebut bukan karena dilandasi perasaan tidak takut sebab menurut penelitian orang yang merasa takut pun terkadang tanpa 77 mereka sadari meniru apa yang pernah mereka saksikan. Selanjutnya sebanyak 48 responden atau 53,3% menjawab ”biasa saja”, sebab mereka mengakui perasaan takut itu menguasai sehingga tak ingin meniru hal yang tidak-tidak atau yang bertentangan dengan perasaan takutnya. Dalam efek konatif terdapat 1 pertanyaan mengenai kesukaan horor sebab ada sebagian penyuka horor yang juga mengoleksi pernak-pernik horor seperti VCD, novel, kostum seram, dan lain-lain. Responden yang menjawab memiliki koleksi tersebut hanya 1 responden sebab ia memang hobi sekaligus ia mengikuti ekstrakulikuler teather. Pernak-pernik tersebut menurutnya berguna pada saat dibutuhkan untuk bermain teather. Peniruan yang bertentangan dengan rasa takut dalam penelitian ini dijawab oleh responden yang hobi menonton horor dan yang iseng melakukannya yang terkadang tanpa mereka sadari. Tabel 4.11.4 Tabel Frekuensi Efek Konatif Kategori Nilai f % YA 12-15 42 46,7 BIASA SAJA 8-11 48 53,3 TIDAK 4-7 - - 90 100 Jumlah Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa teori S-O-R ( StimulusOrganime-Respons) merupakan teori yang berkaitan dengan efek tayangan film 78 horor dari segi respon dari tiap individu seperti apa dan bagaimana mengenai yang berkaitan dengan apa yang mereka lihat. Apakah memiliki respon positif atau respon negatif dalam realisasinya. Setelah diteliti lebih jauh, film horor memiliki efek negatif namun tetap disambut positif oleh penggemar film layar lebar khususnya dibioskop. Dari segi teori jarum hipodermik, film horor Kuntilanak disini diposisikan sebagai media penyampaian pesan secara tidak sadar audiens yang menyaksikan film Kuntilanak ini ditundukkan dengan sedemikian rupa agar penonton percaya dan mengetahui sosok-sosok hantu yang diperlihatkan difilm seperti apa yang digambarkan dalam cerita dengan yang nyata. Sehingga audiens percaya, sosoksosok hantu yang diperlihatkan memang benar adanya. Sehingga menimbulkan kesan bahwa masyarakat Indonesia khususnya kaum remaja masih menganut paham dinamisme yang menghambat kemajuan berfikir orang Indonesia dengan berbagai macam contoh seperti mental penakut yang ada pada tiap pada audiens tanpa mereka sadari. 79 BAB V PENUTUP Pada bab ini peneliti akan mengemukakan kesimpulan berdasarkan keseluruhandata yang sudah diteliti. Selain mengemukakan kesimpulan, peneliti juga memberikan saran bagi audience khusunya remaja yang berada dalam masa transisi menuju kedewasaan. Dalam bab ini peneliti membagi menjadi dua bagian, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dijelaskan tersebut diatas, maka peneliti menyimpulkan : 1. Pada aspek efek kognitif, beradasrkan hasil penelitian telah diketahui bahwa efek tayangan film horor Kuntilanak terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang dari segi kogniti adalah TINGGI. Hal ini terlihat dari seluruh pertayaan, sebagian besar responden mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan film Kuntilanak. Karena dari seluruh jawaban yang diberikan oleh responden dengan presentase 82,2% dari jumlah seluruh pertanyaan yang berjumlah 5 pertanyaan dengan menilai tinggi, dalam hal ini berarti hampir seluruh responden menjawab demikian. 2. Pada aspek efek afektif, berdasarkan hasil penelitian telah diketahui bahwa efek afektif tayangan film horor Kuntilanak terhadap siswa-siswi SMA Negeri 4 Tangerang adalah TINGGI karena dari seluruh jawaban yang 79 80 diberikan oleh responden dengan presentase 60% dari 5 pertanyaan. Sehingga perasaan takut melekat pada mereka yang menonton tayangan film horor Kuntilanak. 3. Pada aspek efek konatif, beradasrkan hasil penelitian telah diketahui bahwa efek konatif dari tayangan film horor Kuntilanak terhadap siswasiswi SMA Negeri 4 Tangerang adalah SEDANG dengan presentase 53,3%. Karena dalam tahap peniruan ada keseimbangan antara rasa takut dan tidak takut. Bahkan tanpa mereka sadari perasaan takut bukan halangan untuk meniru apa yang mereka takuti atas dasar mengingat apa yang pernah mereka saksikan sesuai dengan pernyataan teori jarum hipodermik yakni media dapat menundukkan audiens sedemikian rupa sesuai dengan apa yang dikehendaki media. 5.2 Saran Adapun saran-saran dari peneliti mengenai efek tayangan film horor yakni bagi audiens yang menyukai tontonan film horor dan umumnya bagi seluruh audiens film yakni : 1. Oleh karena banyak efek-efek yang timbul dari media massa khususnya film maka, audiens khususnya remaja yang ada dalam tahap transisi menuju dewasa biasanya dalam kondisi labil. Tahap remaja ini lah yang mudah dipengaruhi lebih cepat namun, disisi lain remaja didorong untuk menyaring apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. 81 2. Sebelum menonton tayangan film ada baiknya di fikir mana film yang bisa difikir logika dengan yang tidak masuk akal. Maksudnya, sebagai audiens seharusnya audiens tahu perasaan-perasaan yang timbul pada saat atau setelah menonton film hanyalah perasaan yang datamg untuk sementara waktu. 3. Menganggap apa yang ditonton oleh audiens hanyalah sebagai hiburan semata bukan karena sebuah film merupakan ancaman dikehidupan nyata. Seperti film horor Kuntilanak contohnya, apa yang dipertontonkan yang membuat audiens takut seharusnya tak hanya dianggap negatif, bisa saja perasaan takut itu dijadikan acuan untuk melatih mental audiens. 4. Sebaiknnya audiens yang menonton film horor tak hanya sekedar menonton karena hobi atau sekedar ikut-ikutan karena trend film yang berubah tiap waktu. Audiens harus cermat dalam menonton film, tak hanya sebagai hiburan semata tapi, lihat pula apa yang terkandung dalam isi film tersebut. Semisal, ada nilai kemanusiaan dan moral dalam sebuah film, maka disini audiens juga harus mengerti maksud dari keseluruhan isi film gunanya untuk apa dalam kehidupan nyata. 82 DAFTAR PUSTAKA Alatas, Ali. 1997. Bersama Televisi Merenda Wajah Bangsa. Jakarta : YPKMD. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT. Rhineka Cipta. Baksin, Askurifai. 2003. Membuat Film Indie Itu Gampang. Bandung : Katarsis Burton, Greane. 2000. Membincangkan Televisi. Yogyakarta : Jalansutra. Effendy, Onong Uchjana. 1984. Televisi Siaran Teori dan Praktek. Bandung : Alumni ___________________2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT Citra Aditya Bakti Goodwin, Andrew. 1997. Riding With Ambulance : Television and Its Uses, “Media Studies Reader”. London. Hadi, Sutrisno. 1985. Statistik. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Hafied, Cangara. 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Kriyantono, Rakhmat. 2007. Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana. Lutters, Elizabeth. 2004. Kunci Sukses Menulis Skenario, Jakarta : Gasindo McQuail, Dennis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga. ______________2000. Mass Communication Theories, Fourth Edition. London : Sage Publication. Morrisson. 2005. Jurnalistik Televisi Mukhtahir. Tangerang : Ramdina Prakarsa. Mulyana. Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Naratama. 2004. Menjadi Sutradara Televisi. Jakarta : Grasindo. Nawawi, Hadi dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 83 Nazir, Moch. 1988. Metode Penalitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : Yayasan Kampus Tercinta-IISIP. Rakhmat, Jalaludin. 1995. Metode Penelitian. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. _______________1996. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. ________________1995. Sosiologi Komunikasi Massa. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Rice, Ronald E. 1990. Public Commucation Campaign. London : Second Edition Sandjaja, Sasa Djuarsa. 1999. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka. Setiawan, Bambang. 1995. Metode Penelitian Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka. Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr. 2005. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi kelima. Jakarta: Kencana. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendy. 1995. Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES. Soehartono, Irawan. 1998. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Soehoet, A.M Hoeta. 2002. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Yayasan Kampus Tercinta IISIP Suprapto, Tommy. 2006. Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta : Media Presindo. Wahyudi, JB. 1996. Dasar-dasar Jurnalistik Radio dan Televisi. Jakarta : Grafity. Wawan Kuswandi. 1996. Komunikasi Massa Sebuah Analisa Televisi. Jakarta : 84 PT. Rineka Cipta. Sumber Lain Buku Sejarah PPH UI http://antikris.multiply.com/journal/item/2/HOROR_DI_TENGAH_KERANCUA N_DAN_SIMPLIFIKASI/ diakses Jum’at tanggal 24 Oktober 2008/ pukul 08.01p.m http://id.wikipedia.org/wiki/komunikasi/ diakses Jumat tanggal 24 Oktober 2008/pukul 07.52 p.m./diakses Jum’at tanggal 24 Oktober 2008/ pukul 07.57 p.m. http://manusiamemilih.multiply.com/journal/item/34/Film_Cepat_Saji/diakses Sabtu tanggal 7 Februari 2009/pukul 02.53 p.m http://obrolan-santai.blogspot.com/2007/09/genre-film-horor-filmberkualitas.html/diakses Senin tanggal 2 Februari 2009/pukul 01.28 p.m. www.kpi.go.id/ UU Republik Indonesia No.8 Tahun 1992 tentang perfilman. Bab 1, Pasal 1, ayat 1. Departemen Penerangan RI/ diakses Jum’at tanggal 24 Oktober 2008/ pukul 07.55 p.m www.ruangfilm.com/ diakses Sabtu tanggal 7 Februari 2009/pukul 02.56 p.m www.suryaonline-racunfilmmistis.com/ diakses Selasa 13 Januari 2009/pukul 03.50 p.m. www. tabloidnurani.com/ diakses Senin tanggal 2 Februari 2009/pukul 01.47 p.m 85 CODDING SHEET No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 4 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 5 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 2 3 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 6 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 7 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 VARIABEL 8 9 10 11 12 13 14 3 2 2 2 3 3 2 3 2 2 2 3 3 2 3 3 2 2 2 3 1 3 3 3 3 1 3 1 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 2 1 2 1 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 2 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 2 2 3 3 2 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 2 3 2 2 2 2 3 2 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 2 2 3 3 3 2 3 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2 2 2 2 2 2 3 2 2 3 3 2 3 3 2 2 3 3 2 3 3 3 1 TOTAL 15 16 17 18 19 20 21 2 2 3 1 3 3 2 1 3 2 1 3 3 3 1 2 1 1 3 3 3 1 1 3 2 3 3 3 3 2 2 1 3 3 3 2 2 3 2 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 2 2 1 3 3 3 2 2 2 1 3 3 3 3 2 1 1 3 3 2 3 2 2 1 3 3 3 3 2 2 1 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 2 3 2 1 1 3 3 3 3 2 1 1 3 3 3 3 2 1 1 3 3 3 2 2 1 1 3 3 3 2 2 2 1 3 2 3 3 2 2 1 3 3 3 3 1 2 2 2 3 2 3 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 3 3 2 3 1 1 1 3 3 2 2 1 2 1 2 2 3 2 1 1 1 3 3 1 2 2 1 1 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 2 2 1 3 3 3 3 2 2 1 3 3 3 3 2 1 1 3 3 3 3 2 1 1 3 3 3 3 2 1 1 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 1 2 2 3 3 3 2 1 2 2 2 3 3 2 1 1 2 2 3 3 2 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 2 3 3 3 1 2 1 3 3 3 42 45 42 45 48 44 49 46 43 45 48 47 48 50 47 47 47 45 45 47 47 42 45 45 43 38 43 43 43 46 49 48 48 45 46 45 43 41 40 44 44 86 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 73 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 2 2 1 1 3 1 3 3 1 3 3 3 2 2 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 2 2 3 2 2 3 2 3 3 2 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 3 3 3 2 3 2 3 2 2 2 2 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 1 1 3 1 3 3 1 3 3 3 1 1 1 2 2 2 2 3 3 2 2 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 2 1 3 2 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 2 2 2 1 3 3 2 3 2 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 2 1 2 2 1 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 1 1 2 2 2 3 3 1 3 3 3 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 2 1 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 3 2 3 3 3 3 3 1 2 3 2 2 2 2 2 1 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 1 1 1 1 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 1 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 2 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 2 1 2 2 1 2 2 2 1 2 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 1 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 44 46 47 46 49 49 48 47 46 42 41 38 46 46 47 48 48 45 45 46 38 38 45 37 42 41 31 46 48 45 42 40 34 45 46 46 44 46 45 45 46 47 50 51 87 86 87 88 89 90 2 1 3 2 2 2 2 3 2 2 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 2 3 2 2 2 2 3 3 3 2 1 2 2 2 2 1 3 3 2 3 1 2 3 3 2 1 1 2 3 3 2 2 2 3 2 1 1 1 2 3 1 1 2 2 1 1 2 2 1 3 2 2 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3 44 30 42 43 44 88 My Biography My name is Umiroh Syaqqi. And Ismi Umiroh Syaqqi for my ID Card. Usually called Syaqqi, U_Me, Cumi, Umay, or whatever U say but still in best called. I was born in Tangerang in Sepetember seventh, One Thousand Nine Hundred Eighty Eight. Now, I live in Bugel Mas Indah, Flamboyan 1 Street blok B2 No. 36, Tangerang province Banten. I have one young sister and of course I’m the first child in my family. I ever studied in Kindergarden in Al-Husna, Elementary in SD Negeri Tangerang 1, Junior High School in SMP Negeri 1 Tangerang, Senior High School in SMA Negeri 2 Tangerang, and the last In Mercu Buana University in Faculty of Communication in the major of Broadcasting Television. All of my school of course the best one that I ever feel until now. My goal is be a good writer, sometimes thinks I wanna be a journalist but in the other side I remember my responsibilities as a woman’s fate later. I would have a husband, children, and of course my family later. The journalist have few time, have a difficult challenges, have hard life and each other that can’t imagine. I have the other ability, I think my English good. Sometimes I think that’s other overplus to find the other job. But we’ll see. What will happen tomorrow be what will we do now. In this university I never join anything which be related with student university movement. Why? It’s not because of I was not active student. I just little bit lazy. The reason one just because of my house far away for this university. But Me, never lazy to make relationship with many people, find a new friend and make a friendship is my hobby. More correctly, one of my hobbies because I have so many hobbies like singing, listening the music, writing anything, swimming, eating and other. The last, I just wanna give notice for the reader, DON’T EVER GIVE UP FOR THIS LIFE. EVERYTHING BE A WAY OUT. EVERY LIFE HAS DIFFICULT THING N EVERYONE HAS THE RIGHT FOR BEING HAPPY. DON’T FORGET TO OUR PRINCIPLE WHICH BRING US TO OURSELVES IDENTITY. 89 My Biodata Complete Name : Ismi Umiroh Syaqqi Nick Name : Umie_chill/Syaqqi Date Of Birth : Tangerang, 7 September 1988 Phone No. : - 021-5583876 - 08999-255-057/0856-722-9330 Email : [email protected] (friendster) [email protected] (Facebook) Address : Perumahan Bugel Mas Indah Jln. Flamboyan 1 Blok B2 No. 36, Tangerang, Banten Religion : Moeslim Tall/Height : 160 cm/46 kg EDUCATION BACK GROUND 2005 – 2009 2002 – 2005 1999 – 2002 1993 – 1999 1992 – 1993 Univercity Mercu Buana Meruya, Jakarta Barat, Majoring inBroadcasting Senior High School, SMAN 2 Tangerang, Majoring in Sosial Sciences Junior High School, SLTPN 1 Tangerang Elementary School, SDN Tangerang 1 Kindergarten, TK Islam Al-Husna EXPERIENCE 2000-2004 2003 2004 July-August 2008 March-June 2009 April-July 2009 English Course, King’s, Tangerang City English Course LBPP LIA, Cikokol, Tangerang 3th Winner Debate English Competition in Tangerang Video Editing, Broadcast 9, Jakarta Barat Participate Work In PT. Imaji Bentang Selaras (Production House) Work as assistant reporter in LPP TVRI in Department News