BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Pustaka 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Telaah Pustaka
2.1.1 Definisi Diare
Diare adalah peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi
lebih lunak atau lebih cair dari biasanya yang terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24
jam dengan atau tanpa lendir dan darah. Diare pada bayi secara praktis
didefinisikan sebagai meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya
menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya (Juffrie et
al., 2012). Anak usia 0-3 tahun rata-rata dapat mengalami tiga kali serangan diare
dalam satu tahun (Rahmadani, 2013).
2.1.2 Etiologi
Lebih dari 90% kasus diare adalah disebabkan oleh beberapa agen-agen
infeksius (Ahlquist, 2005). Selain berasal dari agen infeksi, diare dapat
disebabkan oleh faktor lain yaitu (gangguan penyerapan zat gizi) makanan atau
malabsorbsi
a. Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama Diare pada
anak. Macam-macam agen Infeksi bakteri: Vibrio Colera, E.coli, Salmonella,
Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas. Agen Infeksi virus: Enteroovirus
(Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan
lain-lain. Agen Infestasi parasit : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris,
Strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas
hominis), jamur seperti candida albicans ).
b. Faktor malabsorbsi
Faktor malabsorbsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorbsi karbohidrat dan
lemak. Malabsorbsi karbohidrat dapat terjadi karena kepekaan terhadap
lactoglobulin dalam susu formula dapat menyebabkan diare. Malabsorbsi lemak
terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut trigliserida. Jika tidak ada
lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak
terserap dengan baik (Juffrie et al., 2012).
6
2.1.3 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan diare, antara lain faktor
lingkungan, faktor anak dan faktor ibu. Faktor lingkungan merupakan faktor yang
sering diteliti dan dibahas dari berbagai aspek seperti sarana air bersih,
penggunaan jamban dan kualitas bakteriologis air bersih. Faktor lingkungan
merupakan faktor risiko paling rentan dan paling banyak diteliti yang dapat
menyebabkan kejadian diare. Dari beberapa penelitian tersebut didapatkan nilai
rata-rata odd ratio (OR) jenis SAB sebesar 3,19 dan rata-rata OR pencemaran
SAB sebesar 7,89 sedangkan untuk jamban rata-rata OR kepemilikan jamban
sebesar 3,32. Faktor risiko penyebab diare menurut faktor ibu yang menunjukkan
hasil bermakna terhadap kejadian diare pada anak adalah perilaku hygiene ibu dan
pengetahuan ibu. Faktor risiko yang dapat menimbulkan diare berdasarkan faktor
anak yaitu status gizi anak dan riwayat ASI eksklusif (Adisasmito, 2007).
2.1.4 Patogenesis
Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare
pada anak dan Balita, biasanya pada anak umur 6 bulan sampai 2 tahun
(Suharyono, 2008).
Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk kedalam tubuh
bersama dengan makanan dan minuman. Kemudian virus akan menuju ke sel-sel
usus halus dan akan menyebabkan infeksi dan merusak sel-sel epitel tersebut. Sel
yang telah rusak akan akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk
kuboid atau sel epitel gepeng yang belum matang sehingga fungsinya masih
belum maksimal. Hal ini menyebabkan vili-vili usus halus mengalami atrofi dan
tidak dapat menyerap cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan
tersebut akan terkumpul diusus halus dan tekanan osmotik diusus akan meningkat
sehingga banyak cairan yang tertarik ke dalam lumen usus dan menyebabkan
hiperperistaltik usus sehingga terjadilah diare (Kliegman, 2006).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul pada pasien adalah adanya peningkatan frekuensi
buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi tinja cair,
kadang disertai muntah, lemah, penurunan nafsu makan, rasa sakit pada bagian
7
perut, kejang perut dan kejang perut serta dapat juga muncul gejala lain seperti
flu, demam, nyeri otot, kejang dan sakit kepala (Amirudin, 2007). Pada anak
gejala yang muncul mula-mula anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh
meningkat, nafsu makan berkurang, dan gejala muntah-muntah. Bila anak banyak
kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi yang muncul berupa penurunan
berat badan, turgor kulit melambat, mata cowong, dan ubun-ubun besar menjadi
cekung serta mukosa bibir dan mulut tampak kering (Ngastiyah, 2005).
Diare merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh untuk
mengeluarkan sesuatu yang merugikan atau racun dari dalam tubuh, namun
banyaknya cairan tubuh yang dikeluarkan bersama tinja dapat menyebabkan
dehidrasi yang berakibat pada kematian. Keadaan ini harus dihadapi dengan serius
mengingat banyaknya cairan yang keluar dari tubuh, sedangkan komposisi tubuh
manusia pada umumnya 60% terdiri dari air, oleh karena itu itu bila seseorang
menderita Diare berat, maka dalam waktu singkat saja tubuh penderita sudah
kelihatan sangat kurus (Wijayanti, 2010).
Dehidrasi merupakan suatu keadaan yang diakibatkan oleh kehilangan
cairan tubuh yang berlebihan (Dorland, 2012). Dehidrasi dapat dinilai berdasarkan
derajatnya, antara lain:
a. Tanpa Dehidrasi.
Biasanya tanda dehidrasi belum muncul pada derajat ini dikarenakan jumlah
kehilangan cairan masih sekitar 5% berat badan. Kesadaran pasien masih baik,
sadar, ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata masih ada, air
liur masih ada, mukosa mulut dan bibir basah, turgor kulit masih baik yaitu <2
detik, dan akral masih teraba hangat.
b. Dehidrasi Ringan atau Sedang.
Pada kondisi ini tubuh kehiangan cairan sekitar 5-10% berat tubuh. Pada
kondisi ini juga biasanya pasien mulai gelisah, rewel, ubun-ubun besar sedikit
cekung, mata sedikit cekung, air mata berkurang, mukosa mulut dan bibir kering,
turgor kulit melambat akan tetapi akral masih teraba hangat.
c. Dehirasi Berat
8
Pada kondisi dehidrasi berat tubuh kehilangan cairan lebih dari 10% berat
badan. Keadaan pasien tampak lemah, letargi bahkan koma, ubun-ubun dan mata
tampak cekung, air mata tidak ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering, turgor
sangat lambat, dan akral teraba dingin. Tanda-tanda dehidrasi ini yang harus
diperhatikan dan diberi penatalaksaan yang tepat sesuai dengan derajat
dehidrasinya (IDAI, 2009).
2.1.5 Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis diare pada anak dapat dilakukan dengan anamnesis
secara teliti dan pemeriksaan fisik yang tepat. Anamnesis dimulai dari menggali
informasi mengenai frekuensi buang air besar anak dalam 24 jam, lamanya
keluhan yang muncul, bentuk dan konsistensi feses, apakah disertai lender dan
darah dalam feses, apakah disertai mual dan muntah, riwayat pemberian makanan
pada anak dan riwayat konsumsi obat-obatan sebelumnya. Dan pada pemeriksaan
fisik dimulai dari mencari tanda-tanda dehidrasi ringan, sedang atau berat seperti
anak tampak rewel, gelisah, kesadaran berkurang, mata cekung, turgor kulit
melambat, anak tampak kehausan atau bahkan mulai malas untuk minum dan
terjadi peningkatan peristaltik usus (IDAI, 2009). Pemeriksaan penunjang hanya
dilakukan pada keadaan tertentu seperti penyebab dari diare yang tidak diketahui,
terdapat gejala dan tanda-tanda dehidrasi berat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
diantaranya pemeriksaan darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah,
glukosa darah, kultur dan tes kepekaan antibiotic serta dapat juga dilakukan
pemeriksaan feses makroskopis dan mikroskopis (Juffrie et al., 2012).
2.1.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan diare pada Balita adalah Lintas Diare (Lima
Langkah Tuntaskan Diare), yang telah didukung oleh IDAI dengan rekomendasi
dari WHO. Program lintas diare terdiri dari rehidrasi menggunakan oralit
osmolaritas rendah untuk menggantikan cairan yang hilang, pemberian zinc
selama 10 hari berturut-turut, meneruskan pemberian ASI dan Makanan
pendamping ASI, penggunaan antibiotik secara selektif, dan edukasi kepada orang
tua dan pengasuh.
a. Berikan Oralit.
9
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia
berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat
ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang
rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan
yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila
penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk
mendapat pertolongan cairan melalui infus.
Dosis oralit yang diberikan berbeda-beda tergantung dari usia dan jenis
dehidrasi yang mucul pada penderita. Pada dehidrasi ringan atau tanpa dehidrasi
usia kurang dari satu tahun berikan 1/4 -1/2 gelas setiap kali anak mencret. Untuk
anak usia 1-4 tahun oralit yang diberikan sebanyak 1/2-1 gelas setiap kali anak
mencret. Sedangkan untuk anak usia diatas 5 tahun jumlah oralit yang dianjurkan
sebanyak 1-11/2 gelas setiap kali anak mencret. Pada dehidrasi sedang dosis oralit
yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml / kgBB dan selanjutnya diteruskan
dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi. Pada kasus dehidrasi berat
yang tidak dapat minum harus segera dirujuk untuk diberi terapi cairan melalui
infus.
b. Berikan Zink
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc
dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana
ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel
usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami
kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare. Pemberian Zinc selama
diare terbukti dapat mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi
frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Dosis zink yang diberikan
sebanyak 10 mg/hari untuk anak usia kurang dari 6 bulan dan 20 mg/hari untuk
anak usia lebih dari 6 bulan selama 10 hari.
c. Berikan ASI atau Makanan
10
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak agar tetap kuat serta mencegah berkurangnya berat
badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di beri ASI. Anak yang
minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan
atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan
makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering.
Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu
untuk membantu pemulihan berat badan.
d. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Pemberian antibiotik sebaiknya dihindari karena biasanya kasus diare pada
bayi disebabkan oleh infeksi virus, kecuali pada kasus diare dengan darah dan
suspek kolera.
e. Edukasi
Edukasi kepada orang tua atau pengasuh pasien sangat penting dalam
penanggulangan kasus diare pada anak. Para pengasuh dan orang tua harus dibeti
tahu kapan harus diberikan cairan oralit dirumah dan kapan anak harus dibawa
atau segara dirujuk kepetugas kesehatan jika frekuensi diare meningkat, muntah
berulang, makan atau minum sedikit, timbul demam, feses berdarah dan diare
tidak membaik dalam tiga hari (Kemenkes RI,2011).
2.1.7 ASI dan Determinan Pemberian ASI
ASI (air susu ibu) adalah cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar
payudara Ibu melalui proses menyusui (Khasanah, 2011). ASIeksklusif (menurut
WHO) adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai usia 6 bulan tanpa tambahan
cairan ataupun makanan lain. ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun
(Kristiyansari, 2009). ASI eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja tanpa
makanan dan minuman lain. ASI eksklusif dianjurkan sampai 6 bulan pertama
kehidupan (Depkes RI, 2008). ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, selain
itu ASI memiliki banyak manfaat untuk bayi karena kandungan-kandungan yang
ada didalamnya yang sangat baik untuk tumbuh kembang bayi. Air susu ibu selain
sebagai sumber nutrisi dapat memberi perlindungan kepada bayi melalui berbagai
zat kekebalan yang dikandungnya zat kekebalan atau zat protektif tersebut antara
11
lain IgG, IgM, IgA, IgD Bifidobacterium bifidum, laktoferin, laktoperoksidase,
lysozyme Makrofag, neutrofil, limfosit dan lipid (Kemenkes RI, 2011). Walaupun
ibu dalam kondisi kekurangan gizi sekalipun, ASI tetap mengandung nutrisi
esensial yang cukup untuk bayi dan mampu mengatasi infeksi melalui komponen
sel fagosit dan imunoglobulin (Munasir, 2008). ASI akan merangsang
pembentukan daya tahan tubuh bayi sehingga ASI berfungsi pula sebagai
imunisasi aktif (Roesli, 2005). Hal ini terlihat dari lebih rendahnya penyakit otitis
media, pneumonia, bakteriemia, meningitis dan infeksi traktus urinarius pada bayi
yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat PASI (Matondang, 2008).
Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan
protein yang terdapat dalam susu sapi. Protein dalam ASI dan susu sapi terdiri
dari protein whey dan casein. Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein
whey yang lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan susu sapi lebih banyak
mengandung protein casein yang lebih sulit dicerna oleh usus bayi (Hendarto,
2008). Dari kandungan-kandungan dalam ASI tersebut dapat menghindarkan bayi
dari diare.
ASI sangat bermanfaat untuk bayi dan bagi ibu, manfaat itu antara lain
(Kristiyansari, 2009):
a. Manfaat bagi bayi
1. ASI merupakan makanan bagi bayi karena mengandung komposisi yang
tepat
2. ASI dapat meningkatkan kecerdasan bayi.
3. Bayi yang diberi ASI akan jarang terserang penyakit karena mengandung
zat protektif
4. Menghindarkan bayi dari karies gigi.
5. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan bayi.
b. Manfaat bagi Ibu
1. Menghindarkan ibu dari kanker payudara
2. Mengurangi perdarahan pasca persalinan karena oksitosin yang
dikeluarkan saat bayi menghisap ASI
3. Sebagai alat kontrasepsi alami
12
4. Sebagai penyatu antara ibu dan bayi.
Begitu banyak manfaat dari pemberian ASI tersebut akan sangat
menguntungkan bagi ibu dan bayi, dengan diberikan ASI maka kejadian Diare
baik itu karena infeksi ataupun akibat gangguan dari absorbsi bisa menurun.
Selain itu pemberian ASI akan menghindarkan ibu dari penyakit ganas seperti
kanker payudara.
Pemberian ASI eksklusif sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pekerjaan ibu, tingkat pendidikan ibu, urutan kelahiran bayi, dukungan suami,
dukungan petugas kesehatan, sosial budaya dan usia ibu. Sebanyak 31 dari 42 ibu
bekerja (73,8%) tidak memberikan ASI eksklusif,dan 22 dari 38 ibu tidak bekerja
(57,9%) memberikan ASI eksklusif. Sebanyak 41 dari 69 ibu berpendidikan
tinggi(59,4%) tidak memberikan ASI eksklusif dan 5 dari11 ibu berpendidikan
rendah (45,5%) memberikan ASI eksklusif pada bayinya.Untuk urutan kelahiran
bayi, 28 dari 40 bayi yang lahir sebagai anak pertama (70%) tidak diberikan ASI
eksklusif dan sebanyak 21 dari 40 bayi yang lahir selain sebagai anak pertama
(52,5%) diberikan ASI eksklusif. Sebanyak 41 ibu dari 69 ibu dengan suami yang
mendukung pemberian ASI eksklusif (59,4%) tidak memberikan ASI eksklusif
dan sebanyak 5 dari 11 ibu yang menyatakan suami yang kurang mendukung
pemberian ASI eksklusif (45,5%) memberikan ASI eksklusif. Sebanyak 41 dari
74 ibu yang menyatakan petugas kesehatan mendukung pemberian ASI eksklusif
(55,4%) tidak memberikan ASI eksklusif dan sebanyak 6 ibu yang menyatakan
petugas kesehatan kurang mendukung pemberian ASI eksklusif (100%) tidak
memberikan ASI eksklusif. Sebanyak 35 dari 52 ibu usia <20 - 30 tahun (67%)
tidak memberikan ASI eksklusif dan sebanyak 16 dari 28 ibu usia lebih dari 30
tahun (57,1%) memberikan ASI eksklusif. Dari sekian banyak faktor yang
mempengaruhi seorang ibu dalam memberikan ASI eksklusif terdapat dua faktor
yang mempunyai pengaruh paling besar yaitu usia dan pekerjaan ibu. Pada wanita
yang tidak bekerja berpeluang memberikan ASI eksklusif 4 kali dibandingkan
pada wanita yang bekerja, karena pada saat bekerja wanita tersebut memiliki
peran ganda. usia merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan
13
kematangan seseorang secara fisik, psikis dan sosial, sehingga membuat seseorang
mampu lebih baik dalam proses pembentukan perilakunya (Rahmawati,2010).
14
15
(Wijaya , 2012)
Pengetahuan
(p=0,001, OR=16)
2.2 Kerangka Teori
Pendidikan
(p=0,410)
(Rahmawati, 2010)
Usia
(p=0,091)
Diare
Paritas
(p=0,735
Kepemilikan
Jamban
(OR=3,32)
(Adisasmito, 2007)
Pencemaran
SAB (OR=7,89)
Lingkungan
(Ahlquist, 2005)
Penurunan Status
Imun
Jenis SAB
(OR=3,19)
Imunisasi tidak
lengkap
(p=0,421)
Dukungan Sosial
(p=0,000)
(Hamisah, 2011)
ASI Non eksklusif
(Cahyaningrum, 2015)
Status Gizi Buruk
(p=0,001, OR=0,46)
Gambar 1. Kerangka Teori
Pekerjaan
(p=0,008 OR=3,137)
Ibu
ASI Eksklusif
Anak
2.3
Kerangka Kosep
Variabel Bebas:
Variabel Terikat:
ASI Eksklusif, ASI
Noneksklusif, Usia Ibu dan
Pekerjaan Ibu
Diare
Variabel Pengganggu:
BBLR, cacat bawaan, dan
status imunisasi
Gambar 2. Kerangka Konsep
Keterangan:
----------- : Tidak diteliti
2.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara pemberian
ASI baik ekslusif maupun non ekslusif dan determinannya terhadap kejadian
Diare pada bayi usia 0-24 bulan di RS KIA Rachmi Yogyakarta pada Januari
2015-Desember 2015.
16
Download