ANALISIS ATAS TEMUAN BPK TENTANG PERAN PT. BAHANA PEMBINAAN USAHA INDONESIA (BPUI) UNTUK MENDUKUNG PENGUSAHA NASIONAL BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN Dr. HENDRI SAPARINI PENDAHULUAN Peran pengusaha kecil dan menengah nasional diyakini sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah sejak tahun 1970an, saat memulai industrialisasi, telah memiliki BUMN-BUMN yang ditujukan mendukung pengembangan para pengusaha swasta nasional. Salah satu BUMN yang diharapkan akan dapat mendukung para pengusaha nasional tersebut adalah PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT. BPUI) adalah sebuah perusahaan yang didirikan pemerintah pada tahun 1973. Pemegang saham PT. BPUI adalah Bank Indonesia dengan jumlah saham sebesar 82% dan Departemen Keuangan, mewakili Negara Republik Indonesia dengan jumlah saham sebesar 18%. Perusahaan ini berdiri didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 18 Tahun 1973 Tentang ”Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan Dalam Bidang Pengembangan Usaha Swasta Nasional Indonesia”. Dengan demikian tujuan utama PT. BPUI adalah untuk menumbuhkan dan mengembangkan jiwa wiraswasta dan kemampuan pengusaha nasional kecil dan menengah di Indonesia. Pendirian PT. BPUI ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah memiliki concern yang besar terhadap kelompok pengusaha swasta agar dapat memiliki peran yang besar dalam ekonomi nasional. Dalam perkembangannya, PT. BPUI mengalami banyak permasalahan yang mengakibatkan hingga saat ini peranannya dalam memajukan pengusaha nasional sangat terbatas. Banyak hal menarik yang perlu dibahas menyangkut PT. BPUI yakni mulai dari keterlibatan PT. Artha Investa Argha (AIA) yang memiliki banyak sekali hak istimewa, proses-proses pemberian kredit kepada sejumlah debitor yang menyalahi prosedur, hingga proses pengalihan hak tagih piutang BPUI yang kontroversial. Perjanjian kerjasama dengan PT AIA merupakan salah satu kesalahan manajemen terbesar yang kemudian menjadikan BUMN ini semakin terpuruk. Sebagaimana diketahui pada tahun 1993 para pemegang saham memutuskan untuk melakukan perjanjian kerja sama dengan PT. Artha Investa Argha (AIA). Alasan utama dari kontrak kerjasama ini adalah untuk memperbaiki manajemen yang lemah dan dalam rangka mengembangkan kegiatan usaha PT. BPUI. Namun, perjanjian antara para pemegang saham PT. BPUI dengan PT AIA sangat tidak lazim karena dibuat secara tertutup (privatisasi diam-diam). Privatisasi seharusnya dilakukan secara terbuka dengan mengundang mitra strategis atau melalui IPO. Berikut beberapa ketidakwajaran yang mengakibatkan terpuruknya PT. BPUI dan menyimpangnya kegiatan usaha PT. BPUI dari tugas utamanya untuk mendukung pengusaha kecil menengah. Pertama, dalam kerjasama antara PT. BPUI dengan PT AIA, maka pihak PT AIA akan mendapatkan hak opsi untuk memiliki saham PT. BPUI sampai dengan 40% selama perjanjian berlangsung. Hak opsi tersebut dilakukan pada tahun 1997 melalui transfer dana sebesar Rp 7,4 milyar kepada Bank Indonsia, sehingga komposisi pemilikan saham menjadi Negara RI (17,8%), Bank Indonesia (42,2%) dan PT AIA (40%). Namun, manajemen baru tidak segera melakukan perubahan anggaran dasar karena adanya kesepakatan pada tahun 1996 yang mengatur bahwa kepemilikan Pemerintah harus 100% selama belum dilakukan pembayaran. 2 Akibat perjanjian tersebut segala akibat yang ditimbulkan oleh manajemen masih akan menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah RI dan Bank Indonesia. Kedua, manajemen baru PT. BPUI dibawah kontrak kerjasama dengan PT AIA telah menyelewengkan arah tujuan PT. BPUI untuk menumbuhkan dan meningkatkan jiwa wiraswasta serta kemampuan berusaha perusahaan swasta nasional kecil menengah. Pada bulan Desember tahun 1999, jumlah dana yang dialokasikan untuk penjebatanan kepada perusahaan yang tidak tergolong perusahaan kecil dan menengah telah mencapai 45,5% sedangkan untuk kegiatan modal ventura bagi UKM hanya sekitar 8%. Sejak terjadinya perjanjian kerjasama antara PT. BPUI dengan PT IAI inilah berbagai macam persoalan terus bermunculan. Sehingga pada akhirnya PT. BPUI masuk dan direstrukturisasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasioanal (BPPN). Salah satu alasan utama memasukkan PT. BPUI ke BPPN adalah karena pada tahun 1999, BUMN ini tiba-tiba mengalami kerugian sebesar Rp. 487,38 miliar. Lebih tragis lagi pada tahun 2000, PT. BPUI bahkan membukukan kerugian sangat besar yakni Rp. 4,43 triliun. Terbongkarnya permasalahan besar pada PT. BPUI berawal dari meledaknya kasus hutang-piutang PT. BPUI saat terjadi krisis moneter. Kinerja PT. BPUI yang sebelumnya bagus, tiba-tiba merosot. Utangnya menumpuk dan gagal bayar. Di sisi lain, PT. BPUI mengaku memiliki piutang pada sejumlah debitor yang ternyata macet. Akhirnya terungkap adanya praktik-praktik bisnis tidak sehat dalam perjalanan usaha PT. BPUI. Ruwetnya permasalahan di tubuh PT. BPUI semakin sulit diselesaikan tatkala dalam praktik bisnis ini tersangkut sejumlah nama-nama pengusaha besar Indonesia. Seharusnya yang menjadi target kegiatan PT. BPUI atau yang mendapatkan kucuran dana semestinya adalah para pengusaha kecil dan menengah. Sebagai perusahaan milik pemerintah maka laporan yang dikeluarkan oleh PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia diaudit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hasil audit terhadap laporan keuangan PT. BPUI selama periode 1993-1999 dinyatakan wajar, tetapi pada tahun 1998 BPUI mengalami kerugian yang sangat besar sehingga pada tahun 1998 masuk dan direstrukturisasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hal aneh ini terjadi karena dalam mengaudit laporan keuangan PT. BPUI hanya mengacu pada standar auditing yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. BPKP tidak melihat apakah perusahaan yang diaudit memiliki kondisi keuangan yang sehat atau tidak. Sehingga para pemeriksa tidak memberikan solusi-solusi untuk membantu memecahkan masalah-masalah keuangan yang dihadapi oleh perusahaan. Hingga saat ini PT. BPUI masih menghadapi banyak permasalahan yang sama dari tahun ke tahun. Mulai dari pemberian dukungan pembiayaan bagi para pengusaha dengan praktek tidak wajar akibat KKN, juga kelemahan usaha PT. BPUI karena tidak adanya strategi bisnis yang baik. Mengingat pentingnya peran PT. BPUI dalam mengembangkan pengusaha nasional terutama kelompok menengah, maka perlu dilakukan suatu evaluasi yang serius terhadap PT. BPUI agar BUMN yang sangat strategis ini dapat berperan lebih besar. 3 TEMUAN BPK Pada laporan hasil pemeriksaan BPK Semester I Tahun Anggaran 2007 telah dilaporkan banyak kasus yang menimbulkan kerugian dan hilangnya peran PT. BPUI dalam memberikan dukungan kepada pengusaha UKM. Berikut ringkasannya: Tabel 1. Resume Hasil Temuan BPK atas PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Semester I Tahun Anggaran 2007 No Indikator temuan BPK 1 Pemberian fasilitas pembiayaan kepada Kredit Asia Finance Limited melanggar anggaran dasar dan merugikan PT. BPUI sebesar USD 34,812,896.38 dan Rp 212.806.012.828. Penyaluran dana kepada pihak asing ini telah melanggar anggaran dasar. Sudjiono Timan sebagai presiden Direktur PT. BPUI telah menjalankan usaha dengan tidak sehat 2 Penyaluran fasilitas pembiayaan kepada Penta Investama Limited melanggar anggaran dasar karena diberikan kepada perusahaan asing. Praktik ini merugikan PT. BPUI sebesar USD 19,024,502. 3 Penyerahan novasi kredit PT. BPUI yang berasal dari Barito Pacific Group oleh Bank Mandiri kepada BPPN mengakibatkan PT. BPUI menanggung beban novasi sebesar Rp 1.336.755.267.338,30. 4 PT. BPUI menanggung utang novasi yang lebih besar senilai Rp 189.783.957.555 akibat MoU dengan beberapa perusahaan swasta nasional besar 5 Pembelian saham Sinophil Corporation sebesar USD 5,000,000.00 tidak sesuai prosedur. Langkah direksi yang telah melanggar anggaran dasar dan menguntungkan diri sendiri telah mengakibatkan PT. BPUI mengalami kerugian. 6 Penyertaan pada PT Widya Global Ventura berpotensi menimbulkan kerugian pada PT. BPUI sebesar Rp 9.555.898.692,01 dan USD 20,000,000.00 7 Penyaluran pembiayaan oleh PT Saran Sultra Ventura merugikan anak perusahaan PT. BPUI yakni PT Bahana Artha Ventura sebesar Rp 15.850.000.000 8 Fasilitas pembiayaan kepada PT Limamuda Mitramakasar sebesar Rp 9.000.000.000,00 tidak dapat diyakini kewajarannya 9 Penyelesaian kewajiban PT Mitra Tani Terpadu secara debt to asset swap pada PT Mitra Tani 27 mengakibatkan PT Bahana Artha Ventura menanggung kemahalan sebesar Rp 4.717.000.000,00 dan membebaskan tanggung jawab Sigit H. Samsu sebesar Rp 10.125.035.779,75 telah melanggar anggaran dasar 10 PT. BPUI telah dirugikan karena PT Graha Niaga Tata Utama harus menyisihkan cadangan piutang atas wan prestasi yang dilakukan PT Nusa Sarana Pradipta sebesar Rp 3.811.301.153,00. PT GNTU tidak melakukan tindakan hukum kepada PT NSP padahal telah 4 tahun tidak beritikad baik untuk melunasi hutangnya. PT GNTU justru memberi fasilitas kemudahan kepada PT NSP untuk tidak melunasi piutangnya 11 Manajemen PT Graha Niaga Tata Utama belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak atas HGB tanah seluas 618m2 sehingga Negara belum menerima pendapatan pajak sebesar Rp 2.902.583.775,00 12 Realisasi penggunaan Rekening Dana Investasi No. RDI 327/DP3/1997 sebesar Rp 250.000.000.000 tidak sesuai dengan aturan yang ada. Selain Departemen Keuangan dirugikan juga karena pengembalian dana tersebut tidak dapat digunakan untuk kegiatan lainnya. Masalah 4 lain adalah pembayaran kepada perusahaan asing Allweather Investment Company Limited tidak dapat dipertanggung jawabkan. ANALISA ATAS PT. BPUI Temuan BPK atas PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia yang disampaikan pada Semester I 2007 membawa pada kesimpulan penting yakni bahwa pengelolaan PT. BPUI semakin menyimpang dari tujuan utama pendiriannya untuk mendukung perkembangan pengusaha swasta nasional. Tidak terjadi praktek pengelolaan dengan benar (good corporate governance) pada PT. BPUI. Pertama, dana pemerintah yang semestinya digunakan untuk memberikan bantuan pembiayaan pada usaha kecil dan menengah nasional, ternyata telah menyimpang jauh. Hingga saat ini masih banyak penyaluran dana yang tidak sesuai anggaran dasar. Terbukti penerima dana sebagian besar adalah pengusaha yang tidak tergolong UKM bahkan sebagian besar milik asing dan kepentingan bisnis para mantan pejabat. Sebagai contoh transaksi sebesar Rp 1,7 triliun yang dilakukan dengan satu perusahaan yakni Barito Pacific Group tidak didasari pada analisa kelayakan yang memadai. Demikian pula kerugian yang ditimbulkan dari pembiayaan untuk perusahaan asing Kredit Asia Finance Limited sebesar lebih dari Rp 500 miliar. Praktek-praktek tersebut sangat mungkin terjadi karena kapasitas manajemen yang lemah, praktek KKN juga tidak adanya ketegasan dari pemerintah. Kedua, kelemahan dan salah urus PT. BPUI ataupun kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai praktek KKN yang masih terjadi hingga saat ini pada dasarnya tidak terlepas dari berbagai kesalahan langkah manajemen. Tidak pernah dilakukan pengusutan apakah pemberian berbagai fasilitas yang salah sasaran tersebut benar-benar karena kelemahan manajemen. Meskipun dilakukan tindak lanjut pemanggilan mantan pejabat PT. BPUI seperti dilaporkan pada kasus pembelian saham Sinophil Corporation pada tahun 2004, akan tetapi langkah tersebut hanya proforma karena tidak diselesaikan melalui jalur hukum. Masih munculnya berbagai permasalahan lama terjadi karena masalah dan kerugian yang ditimbulkan di masa lalu tidak pernah dituntaskan. Sebagai contoh berbagai kasus dan penyimpangan yang terjadi pada saat krisis masih akan membebani PT. BPUI hingga sekarang. REKOMENDASI Pertama, Indonesia memiliki banyak UKM yang berdaya saing dan dengan produktifitas rendah. Jumlah UKM ini juga sangat banyak dan tersebar di berbagai sektor. Kebijakan perdagangan dan industri yang semakin liberal juga mengakibatkan UKM semakin terpinggirkan. Oleh karenanya, DPR harus meminta kepada Pemerintah untuk mempertahankan PT. BPUI dan segera menata kembali sehingga dapat berperan lebih besar untuk membangun UKM yang mandiri. Kedua, Untuk segera menuntaskan berbagai pernyimpangan yang terjadi karena berbagai kerugian yang muncul saat ini diakibatkan oleh kebijakan pada 5 periode lalu. Kerugian negara yang ditimbulkan oleh berbagai salah urus di PT BPUI telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Pada tahun 2000 saja kerugian finansial dilaporkan hampir mencapai Rp 5 triliun. Belum lagi kerugian yang ada hingga saat ini. Perlu adanya dukungan dan upaya penagihan secara intensif dengan memanfaatkan personal guarantee yang diberikan oleh debitur. Pengusutan kerugian ini penting untuk dilakukan dalam rangka menegakkan keadilan. Kesalahan manajemen PT. BPUI selain telah menimbulkan kerugian finansial juga menimbulkan kerugian ekonominya. Yakni hilangnya peluang bagi UKM nasional untuk mendapatkan dukungan pembiayaan sehingga menghilangkan peluang peningkatan daya saing dan produktifitas dari berbagai UKM potensial. Karena berbagai kasus terkait dengan para pengambil kebijakan baik pada masa lalu maupun masa sekarang, maka peran DPR menjadi amat sangat penting untuk memberikan koreksi kepada pemerintah. Ketiga, koordinasi dan kerjasama antar berbagai BUMN yang sangat lemah harus ditingkatkan. Hal ini penting karena dari temuan-temuan BPK pada PT. BPUI maupun temuan-temuan di berbagai BUMN menunjukkan bahwa berbagai BUMN yang melakukan tujuan hampir sama tidak memiliki koordinasi sehingga berbagai program menjadi tidak efektif. Untuk pengembangan UKM nasional misalnya, pemerintah Indonesia memiliki banyak BUMN yang akan mendukung pengusaha nasional. Selain PT. BPUI juga PT. PNM atau berbagai BUMN yang saat ini masih berkewajiban menyisihkan profitnya untuk pengembangan UKM. Akan tetapi tidak adanya strategi pengembangan usaha nasional, mengakibatkan potensi dukungan yang besar menjadi tidak efektif. Keempat, meningkatkan kemampuan teknis dari manajemen dalam pengelolaan PT. BPUI agar lebih prudent (mendasarkan pada pertimbangan kelayakan usaha, mengembalikan fungsi untuk mendukung UKM, dll) sehingga tidak muncul berbagai kerugian yang diakibatkan oleh berbagai praktek financial engineering di berbagai perusahaan penerima bantuan PT. BPUI. Demikian juga harus ditegaskan tentang langkah-langkah standar penanganan berbagai kasus sehingga tidak semakin banyak kasus yang menggantung. Dengan upaya ini tidak akan terjadi pemberian fasilitas pelunasan utang oleh manajemen secara mudah dan tidak bertanggung jawab. 6