Penyelesaian Kawin Lari dalam Hukum Adat di Desa Wab

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila
dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia.
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur,
maka negara harus benar-benar menjalankan pemerintahan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki
peranan penting dalam menyatukan keanekarangaman suku bangsa, budaya
dan bahasa yang berbeda-beda. Sri Harini (2006 : 4) menyatakan bahwa tata
hukum negara Indonesia terdiri atas dua sumber hukum yaitu sumber hukum
tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Sumber hukum tertulis adalah
peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh lembaga pihak yang diberi
kewenangan dengan prosedur yang telah ditetapkan. Hukum tertulis ini bisa
berbentuk Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata, KUH Pidana dan lainlain sebagainya. Sedangkan, sumber hukum tidak tertulis misalnya hukum
kebiasaan dan hukum adat.
Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa, juga
merupakan salah satu penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari
abad ke abad. Oleh karena itu, tiap bangsa di dunia termasuk suku-suku
bangsa di Indonesia memiliki adat kebiasaannya sendiri-sendiri yang
berbeda-beda satu dengan lainya dan justru karena tidak sama itulah, maka
1
dapat dikatakan bahwa adat itu merupakan unsur penting dalam memberikan
identitas dari suatu bangsa tertentu. Dari segi pandangan yuridis, hukum adat
dapat diidentifikasi dimana ketika hukum adat ini dilanggar maka pelakunya
akan terkena akibat hukum atau konsekunsi dari hukum tersebut.
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
menganut
keberagaman
pandangan dan pemahaman di bidang hukum. Indonesia mengakui
keberadaan hukum internasional, hukum berbasis agama (hukum agama) dan
hukum berbasis adat (hukum adat). Dalam prakteknya hukum agama diadopsi
sebagai hukum positif, seperti dalam penentuan hukum waris, perkawinan,
dan hukum lainnya. Demikian pula hukum adat, sebagian masyarakat masih
menggunakan hukum adat sebagai norma hukum dalam mengelola kehidupan
sosial, ekonomi dan budaya serta pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan (Wahyudin, Y. Abstract : 2013).
Perkawinan adalah perilaku makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar
kehidupan manusia di dunia berkembang biak. Maka perkawinan merupakan
salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya
manusia dalam kehidupan masyarakat(Hilman Hadikusuma, 1990 : 1).Dalam
pasal 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang
Perkawinan, dimana telah memberikan defenisi atau pengertian dan tujuan
perkawinan yaitu bahwa :
“ Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sahnya
2
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat
1, yang menyatakan “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sahnya perkawinan menurut hukum adat Indonesia pada umumnya
bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat
bersangkutan(Hilman Hadikusuma, 1990 : 27). Suatu perkawinan baru diakui
sah oleh anggota masyarakat entah itu masyarakat tradisional maupun
masyarakat moderen apabila pelaksanaan perkawinan tersebut dilaksanakan
menurut agama yang dianutnya atau menurut adat istiadat mereka. Berarti
dalam pandangan di atas sama halnya dengan kenyataan yang ada di dalam
masyarakat
Kei
yang memeluk agama
masing-masing dan
masih
mempertahankan adat istiadatnya.
Masyarakat Kei adalah masyarakat yang masih berpegang teguh hukum
adat sebagai pelindung kehidupan mereka, dan mempunyai salah satu hukum
adat yang biasa dipakai yaitu hukum Larwul Ngabal sebagai induk dalam
budaya, baik untuk hidup kebersamaan, penata kesatuan atau kekerabatan
dalam keluarga besar yang terpelihara dari dulu sampai sekarang.
Sebagaimana yang dituturkan oleh tua-tua adat bahwa sikap masyarakat Kei
sendiri terhadap hukum adat adalah kolektif, artinya lebih memprioritaskan
hukum dan bahkan memutlakannya. Dalam kehidupan kebersamaan hukum
selalu dijunjung tinggi diatas segalanya. Pemutlakan hukum adat ini sendiri
juga lebih menekankan kepada aspek kekerabatan.
3
Kebersamaan hidup orang-orang Kei menurut Ohoitimur dalam
Loupatty (2005 : 1) pada waktu dulu tergolong dalam kehidupan solidaritas
sosial, marga, soa dan orang sekampung yang diatur oleh pranata sosial, yang
memposisikan mereka pada pembentukan identitas primordial. Dalam hal ini
falsafah hidup mereka adalah Ain na Fangnan Ain(satu sayang satu) yang
merupakan bagian dari bingkai adat, menjadikan mereka hidup dalam nilainilai budaya yang sangat kuat. Hukum Larwul Ngabal merupakan petunjuk
bagi kehidupan mereka, sehingga keberadaan hidup orang Kei saat itu sangat
patuh terhadap hukum tersebut.
Masyarakat Kei (Rahail J. P. 1993 : 13) mempunyai adat-istiadat yang
diatur dalam Hukum adat Larwul Ngabal, secara etimologis berarti (Lar :
Darah, wul : Merah sedangkan Nga : tombak, Bal : Bali), jadi Larwul Ngabal
adalah Darah Merah (yang mengalir dari tubuh sapi yang dibantai dengan
tombak dari bali). Hukum adat Larwul Ngabal juga mengandung unsur-unsur
peraturan atau larangan yang dilihat sebagai penata kehidupan sosial,
ekonomi dan moral orang-orang Kei. Dalam hukum Larwul Ngabal
perkawinan sangat dihargai. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal hukum
Larwul Ngabal khusunnya pada pasal 5 dan 6 yang membahas tentang
perkawinan :
a) Pasal 5 : Rek Fo Kilmutun(perkawinan hendaklah pada tempatnya agar
suci murni).
b) Pasal 6 : Morjain fo mahiling(tempat untuk perempuan dihormati,
diluhurkan).
4
Dalam peraturan pasal 5 dan 6, pada intinya merupakan aturan untuk
menjaga dan menjamin kesusilaan, kehormatan dan kemudian pergaulan umat
manusia dengan menempatkan kaum perempuan sebagai pihak yang sangat
dihoramati dan dihargai.
Hukum Larwul-Ngabal (pidana dan perdata) merupakan sebuah aturan
baku yang masih dijunjung tinggi serta di hormati masyarakat dan tetap
berlaku bersamaan dengan hukum positif dari negara. Didalam hukum adat
Larwul Ngabal maka aturan yang mengatur perempuan pada tempatnya
dimana perkawinan hendaklah pada tempatnya agar suci dan murni, ini
menunjukkan bahwa perempuan Kei (vat-vat kei) sebagai pihak yang sangat
dihargai, dijunjung tinggi dan punya posisi yang penting dalam pandangan
hukum adat Larwul Ngabal.
Perlu diketahui bahwa sistem kekeluargaan yang dianut masyarakat Kei
adalah sistem kebapaan (Patriarchaat) atau mengikuti garis keturunan Ayah
(Patrilineal). Oleh karena itu seorang perempuan yang telah menikah masuk
dalam lingkungan keluarga suami. Hilman Hadikusuma (1977 : 22)
mengemukakan perkawinan menurut hukum adat bersangkut paut dengan
urusan famili, masyarakat, martabat dan pribadi. Sedangkan perkawinan adat
dalam masyarakat Kei pada dasarnya bukan masalah laki-laki dan perempuan
yang kawin semata-mata, tetapi itu juga masalah orang tua (bapak-ibu),
masalah sanak keluarga dan masalah kedua marga belah pihak.
Macam-macam perkawinan secara adat menurut Ter Haar (1953 : 159164) adalah sebagai berikut : perkawinan pinang, perkawinan lari terbagi atas
5
lari bersama dan bawa lari, perkawinan jujur, perkawinan mengabdi,
perkawinan bertukar serta perkawinan menganti dan lain-lain sebagainya.
Dalam penelitian ini yang akan di teliti secara mendalam adalah perkawinan
lari atau kawin lari khususnya mengenai terjadinya perkawinan lari bersama,
yaitu :
” Perkawinan yang lari bersama dengan tiada peminangan atau pertunangan
secara formal,
atau
kedua mempelai (laki – laki dan perempuan) lari
bersamaan tanpa melalui peminangan. Maksud dari pada perkawinan lari
bersama atau sama-sama melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari
berbagai keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, dari pihak orang
tua dan saudara-saudara atau keluarga”. Sedangkan menurut Hilman
Hadikusuma (2003 : 189-190) perkawinan lari bersamaan adalah perbuatan
belarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita),
cara melakukan belarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin
lari dan pada waktu yang sudah di tentukan melakukan lari bersama.
Pandangan diatas dipahami bahwa perkawinan itu dilakukan untuk
menghindarkan diri dari pihak orang tua dan saudara-saudara atau keluarga
dan dilakukan atas persetujuan bujang gadis, sedangkan pelaksanaan suatu
perkawinan sangat terikat dengan kehidupan masyarakat. Artinya kawin lari
dipandang tidak sah, sebab tidak memenuhi tuntutan keluarga yaitu
persetujuan dari orang tua atau keluarga besar marga. Dalam perkawinan
tuntutan keluarga sangat penting untuk sah tidaknya perkawinan itu. Selain
latar belakang cara terjadinya kawin lari yang dikemukakan di atas, maka
6
pandangan masyarakat Kei (Hanoatubun FR. Tua-tua adat) tentang Kawin
Lari merupakan salah satu kesalahan dari hukum hanilit, yang juga
merupakan bagian dari hukum Larwul Ngabal. Kawin lari yang dianut
masyarakat Kei yaitu apabila orang tua baik dari pihak laki-laki dan
perempuan tidak menyutujui jalinan cinta kasih antara laki-laki dan
perempuan atas dasar cinta mereka, maka mereka biasanya mengambil jalan
pintas lari kawin (kawin lari).
Menurut Ohoitimur dalam Loupatty (2005 : 41) Kawin Lari merupakan
adat perkawinan yang dianggap masyarakat Kei sebagai bentuk perkawinan
tidak terhormat yaitu : manuu marai(kawin lari) dan marfuan fo
ivun(menghamili diluar nikah). Jadi kawin lari dipandang oleh masyarakat
tidak terhormat, atau melanggar adat. Sedangkan perkawinan yang dilakukan
secara terhormat yaitu : dudung ngail (meminta, memohon secara terhormat),
hab sol vel taan(meminang secara terhormat dengan menyandang tempat
tuak/arak dan talam yang berisi harta), lenan reet fid (meminang secara
hormat dengan melalui tangga atau pintu rumah).
Dengan demikian, maka alasan-alasan tersebut di atas diperoleh
kejelasan kawin lari terjadi dalam dua bentuk sisi alasan masing-masing.
Kawin lari berarti suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan diamdiam, dan melepaskan diri dari lingkungan. Melihat kenyataan diatas, maka
penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh apa yang terjadi dalam masyarakat
Kei dengan judul :
7
“PENYELESAIANKAWIN LARI DALAM HUKUM ADAT DI DESA
WAB KEPULAUAN KEI KABUPATEN MALUKU TENGGARA
(STUDI KASUS) “.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka penulis
merumuskan pokok permasalahannya sebagai berikut :
“ Bagaimanakah penyelesaian Kawin Lari menurut Hukum adat di Desa Wab
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk memperoleh alasan atau penyebab kawin lari di desa Wab
kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara.
b. Untuk mengetahui akibat dari permasalahan kawin lari di desa Wab
kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara.
c. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian kawin lari secara adat agar
perkawinan tersebut menjadi sah di desa Wab kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna :
a. Secara teoretis : memberikan masukan bagi Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai kajian dalam pengembangan dan penerapan
hukum adat dalam konteks Indonesia yang beragam suku dan budaya,
khususnya dalam perkawinan.
b. Secara praktis : memberikan informasi realistis terhadap masyarakat Kei
terlebih khusus pemuda-pemudi generasi masyarakat setempat agar bisa
taat pada hukum adat dan menjauhi perkawinan kawin lari karena pada
dasarnya melanggar larangan-larangan yang telah ada dan ditetapkan serta
merupakan perkawinan yang tidak terhormat.
9
Download