UNIVERSITAS INDONESIA MODEL SIMULATOR RISIKO KARIES GIGI PADA ANAK PRASEKOLAH DISERTASI Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran Gigi pada Universitas Indonesia di Jakarta, dibawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri untuk dipertahankan dihadapan Sidang Ujian Terbuka Program Doktor pada Hari Rabu, tanggal 2 Juli 2008, pukul 10.00 WIB. Irene Adyatmaka PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS INDONESIA 2008 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karies gigi didefinisikan sebagai hilangnya mineral dari permukaan gigi yang berkepanjangan, yang distimulasi oleh adanya bakteri tertentu dan produk yang dihasilkannya. Kehilangan mineral awalnya hanya dapat diamati secara mikroskopis, tetapi lama-­‐kelamaan akan terlihat pada email sebagai lesi putih (white spot). Kegagalan untuk mencegah dan mengembalikan kehilangan mineral akan menyebabkan terjadinya lubang.[1-­‐ 4] Saat ini ada dua cara penghitungan karies gigi. (1) Penghitungan karies gigi secara konvensional ditinjau dari kebutuhan epidemiologi sesuai dengan Oral Health Surveys Basic Method – WHO 1997, terdiri dari komponen decay (kavitas yang tampak kasat mata, dan gigi dengan pengalaman karies gigi seperti gigi dengan tambalan sementara) ditambah komponen filling (kavitas yang telah ditambal). White spot dan fisur yang mengalami diskolorasi tidak masuk kategori karies gigi.[5] Penghitungan WHO ini dikenal dengan df-­‐t untuk gigi sulung / DMF-­‐T untuk gigi tetap.[6] (2) Penghitungan karies secara progresif memungkinkan pengklasifikasian komponen D(Decay) karies gigi secara anatomi gigi dengan melihat penetrasinya ke dalam jaringan gigi terlihat pada Gambar 2.3 sebelah kanan, yaitu (D1) lesi awal (sering disebut sebagai incipient lesion/white spot), (D2) penetrasi karies gigi mencapai email, tampak kavitas email, (D3) Penetrasi karies gigi mencapai dentin, (D4) penetrasi karies gigi mencapai pulpa.[6] Sesuai dengan The Application of the International Classification of Diseases and Stomatology, 3rd edition WHO 1995 karies gigi adalah proses sejak awal hingga terbentuknya gigi berlubang. Dalam hal ini yang termasuk kodifikasi K02 (Karies gigi) adalah karies gigi terbatas pada email, lesi putih (white spot), karies gigi awal, karies gigi mencapai dentin, karies gigi pada semen, karies gigi terhenti (arrested caries). Dalam penghitungan progresif ini, lesi white spot dihitung sebagai karies gigi . Bila kelanjutan karies gigi di masukkan ke dalam kategori karies gigi maka akan melibatkan penyakit pulpa dan jaringan periapikal (K04). Kesehatan gigi dan mulut merupakan hal fundamental bagi kesehatan umum karena mulut yang sehat memungkinkan individu untuk berbicara, makan, bersosialisasi tanpa 2 mengalami rasa sakit, rasa tidak nyaman, maupun rasa malu.[7] Tanpa perawatan yang memadai, proses karies gigi akan terus berlanjut hingga gigi hancur. Karies gigi merupakan penyebab utama sakit gigi dan kehilangan gigi. Karies gigi adalah satu di antara banyak penyakit masa kanak-­‐kanak yang dapat dicegah dan setiap orang rentan terhadap penyakit ini sepanjang hidupnya.[8] Adanya karies gigi dapat mengganggu sistem pengunyahan pada umumnya, dan dapat menjadi infeksi fokal sehingga mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak.[9] Di Amerika, Kanada, dan Inggris misalnya, terbukti bahwa karies gigi pada masa kanak-­‐kanak sangat mempengaruhi kualitas hidup anak-­‐anak. Pada anak-­‐anak Aborigin di Australia Barat, karies gigi merupakan penyakit nomor 5 dari penyakit yang paling sering menyebabkan anak harus dirawat di rumah sakit pada anak prasekolah (usia 1-­‐ 4 tahun).[10] Lebih dari 50 juta jam sekolah pertahun hilang sebagai akibat yang ditimbulkan oleh sakit gigi pada anak-­‐anak, dan akibat ini akan berdampak hingga kehidupan dewasa nanti.[7] Di Indonesia 62,4% penduduk merasa terganggu pekerjaan/sekolahnya karena sakit gigi selama rata-­‐rata 3,86 hari per tahun.[11] Kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi, walaupun tidak menimbulkan kematian, dapat menurunkan produktivitas kerja. Penelitian di Medan membuktikan adanya dampak karies gigi terhadap empat dimensi kualitas hidup, yaitu keterbatasan fungsi, rasa sakit, ketidaknyamanan psikis, dan disabilitas fisik.[12] Di DKI Jakarta sendiri, hasil evaluasi karies gigi pada anak balita tahun 1993 menemukan bahwa 44,4% anak mengalami susah makan karena keluhan sakit gigi, dan hal ini berdampak 13,1% anak mempunyai status gizi di bawah normal.[13] Sheiham mengemukakan tiga dampak karies gigi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak prasekolah, yaitu (1) karies gigi yang tidak terawat dapat menyebabkan rasa sakit sehingga mengganggu asupan makan anak, (2) rasa sakit bisa menimbulkan gangguan tidur dan selanjutnya mengganggu produksi glucosteroid dan pertumbuhan, (3) inflamasi kronis dari karies gigi dapat menekan hemoglobin dan selanjutnya menimbulkan anemia karena produksi eritrosit dalam sumsum tulang menjadi berkurang. Hal ini menjelaskan bahwa sangat perlu merawat karies gigi pada anak prasekolah untuk meningkatkan tumbuh kembang dan meningkatkan kualitas hidup anak.[14] WHO mentargetkan bahwa pada tahun 2000 sedikitnya 50% anak usia 5-­‐6 tahun bebas karies gigi .[15] Namun, pada kenyataannya, prevalensi karies gigi pada anak prasekolah dilaporkan mulai dari 1% hingga 72%.[2, 10, 16-­‐18] Bervariasinya laporan disebabkan anak usia prasekolah yang terkena karies gigi terkadang tidak memiliki akses untuk 3 pemeriksaan gigi. Selain itu, memeriksa anak seusia mereka jauh lebih sulit daripada memeriksa orang dewasa.[16, 19] Menurut WHO, hingga tahun 2006 karies gigi masih menjadi masalah utama dan mengenai 60% -­‐ 90% murid sekolah.[15] Survai Kesehatan Rumah Tangga 2001 melaporkan bahwa 76,5% anak usia 12 tahun memiliki kerusakan gigi yang belum ditangani.[11] Prevalensi karies gigi yang mencapai pulpa dan akar gigi sudah dijumpai pada murid kelas 2 SD sebesar 5,3%, sementara itu 81,3% anak usia 5 tahun memiliki gigi permanen yang sudah berlubang.[11, 20] Pengamatan pendahuluan di 13 sekolah swasta di Jakarta menemukan hal serupa, bahwa 55% anak kelas 1 SD memiliki gigi yang berlubang, dengan rata-­‐rata 2 gigi sulung berlubang per anak.[21] Oleh karena itu, dirasakan adanya kebutuhan untuk melakukan upaya pencegahan penyakit gigi melalui sekolah, pada jenjang yang lebih awal, yaitu prasekolah. Karies gigi saat ini dipahami sebagai penyakit multifaktorial, dapat ditularkan, dan infeksius, sehingga dianggap sebagai masalah sosial.[16] Mekanisme proses karies gigi pada dasarnya sama untuk semua jenis karies gigi . Bakteri endogen (kebanyakan mutans dari Streptococci [Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus] dan Lactobacillus spp) dalam biofilm memproduksi asam organik lemah sebagai hasil metabolisme karbohidrat yang dapat difermentasi. Asam ini menyebabkan pH lokal turun hingga di bawah ambang kritis (pH = 5,5) sehingga terjadilah demineralisasi jaringan gigi.[22, 23] Jika kalsium, fosfat, dan dan karbonat terus dibiarkan berdifusi keluar dari gigi, maka lama-­‐kelamaan akan terbentuk lubang. Demineralisasi dapat dibalik arahnya pada tahap awal melalui pemasukan ion kalsium, fosfat, dan fluor.[3] Fluor bertindak sebagai katalis yang membantu difusi kalsium dan fosfat masuk ke dalam gigi, yang dapat meremineralisasi struktur kristal gigi pada daerah lesi. Permukaan kristal gigi yang terbentuk kembali, mempunyai komposisi yang terdiri dari hidroksiapatit yang terfluoridasi, atau fluorapatit, yang lebih tahan terhadap serangan asam dibandingkan struktur aslinya. Faktor risiko fisik dan biologis untuk karies gigi email meliputi aliran dan komposisi saliva,[3, 23, 24] tebalnya biofilm,[25] kematangan biofilm,[26] bakteri kariogenik dalam jumlah banyak,[22, 27, 28] kurangnya paparan fluor,[3, 23, 29, 30] komponen imunologi, kebutuhan akan perawatan kesehatan khusus, riwayat karies gigi sulung,[31] serta faktor genetik.[32] Karies gigi berhubungan erat dengan gaya hidup seseorang, yang meliputi kebersihan mulut yang jelek, kebiasaan makan yang jelek (misal sering ngemil karbohidrat refined di antara waktu makan, seringnya frekuensi penggunaan obat peroral yang mengandung gula, dan cara 4 pemberian makanan bayi yang kurang tepat).[24, 33] Faktor risiko karies gigi yang lain meliputi kemiskinan,[10, 34, 35] status sosial,[36-­‐38] keadaan anak sebagai perokok pasif,[39] pendidikan orangtua, ada tidaknya asuransi kesehatan gigi, umur ibu,[40] anak dengan orangtua/pengasuh yang mempunyai riwayat karies gigi yang cukup parah, serta perilaku orangtua/ pengasuh.[41, 42] Anak dengan berat badan rendah pada saat lahir juga berisiko terhadap karies gigi , meskipun belum ada bukti yang jelas. Kolonisasi Streptococcus mutans, serta bakteri kariogenik lainnya pada usia anak yang sangat muda, dapat menjadi faktor risiko utama perkembangan karies gigi .[2, 24, 43, 44] Saat ini mulai diteliti faktor risiko secara genetika, dan diketahui analisis amplified polymorphic DNA (AP-­‐PCR) mampu mendeteksi variasi genetik sehingga di masa yang akan datang diharapkan ada pemahaman yang lebih baik mengenai transmisi Streptococcus mutans dari ibu/ayah ke bayinya (intrafamilial transmission) yang dianggap berperan penting dalam kejadian karies gigi.[45] Risiko karies gigi seseorang dapat bervariasi sejalan dengan waktu karena banyak faktor risiko yang dapat diperbaiki dan diubah. Etiologi karies gigi dan berbagai faktor risiko yang mempengaruhi telah dipahami. Yang masih menjadi masalah adalah bagaimana menerapkan pengetahuan tersebut untuk mendiagnosa tingkat aktivitas karies gigi sebelum terjadi dampak karies gigi, yaitu lubang, dan kedua, adalah mengubah anak yang rentan penyakit karies gigi menjadi lebih tidak rentan.[23] Oleh karena itu semua faktor risiko yang mungkin berkontribusi harus dipertimbangkan agar dapat disusun strategi pencegahan dan perawatan karies gigi secara spesifik, untuk mendapatkan cara yang lebih efektif efisien.[4, 46] Pencegahan karies gigi pada anak prasekolah memerlukan strategi khusus. Kebanyakan peneliti setuju bahwa satu-­‐satunya pendekatan rasional untuk karies gigi adalah pencegahan, yang diawali dengan penyuluhan kesehatan gigi. Namun, sangat kecil bukti yang menyatakan bahwa penyuluhan kesehatan gigi dan kampanye kesehatan gigi dapat menurunkan penyakit mulut secara umum dengan efektif.[47-­‐49] Memberikan penyuluhan kesehatan gigi pada anak saja ternyata cukup membuat frustrasi para pendidik kesehatan, dan tidak begitu berhasil menurunkan angka kerusakan gigi, terutama balita. Untuk anak usia di bawah 4 tahun, keberhasilan pencegahan karies gigi lebih tercapai jika penyuluhan diberikan kepada orang tuanya.[41] Mahon dalam disertasinya mengatakan bahwa, pengetahuan serta praktik kesehatan seorang anak dipengaruhi oleh orang tua dan gurunya.[50] 5 Salah satu usaha untuk bisa menjangkau anak prasekolah adalah melalui pendekatan usaha kesehatan gigi yang dilakukan di sekolah taman kanak-­‐kanak (UKGS). Sekolah merupakan wadah yang efektif untuk mempromosikan kesehatan gigi dan mulut, karena anak-­‐anak sekolah jumlahnya mencapai lebih dari 1 miliar di dunia.[7] Banyak masalah kesehatan gigi dan mulut yang dapat dicegah dan bahkan dapat dihentikan perjalanannya. Hanya saja, orang tua dan guru seringkali tidak memiliki cukup pengetahuan mengenai penyebab dan cara pencegahan penyakit gigi dan mulut. Selain itu, ditambah dengan perilaku berisiko karies gigi tinggi pada anak, maka sekolah merupakan sarana yang tepat untuk memulai pendidikan pola hidup sehat, karena sekolah memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan perkembangan anak dan kesejahteraannya[7]. Pelaksanaan program upaya kesehatan gigi untuk anak sekolah dasar (UKGS) telah dilakukan oleh pemerintah pada Sekolah Dasar sejak tahun 1951 dengan program yang diberlakukan secara massal dan beban dana untuk pelaksanaan program rutin UKGS DKI Jakarta dari tahun 1999 sampai 2001 mencapai Rp. 1,68 miliar/tahun anggaran.[20] Program rutin Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) bervariasi mulai dari yang minimal sampai optimal, meliputi upaya promotif untuk murid dan guru. Upaya pencegahan karies gigi berupa kumur fluor 2X sebulan dan sikat gigi massal, dilengkapi upaya kuratif berupa ekstraksi dan pengobatan darurat bagi murid kelas 1-­‐6, serta perawatan medik gigi berupa ekstraksi gigi permanen dan restorasi amalgam dan ART (Atraumatic Restorative Treatment) pada gigi permanen murid kelas 4-­‐5. Hasil evaluasi tahun 2002 terhadap UKGS tahap 3 (paket optimal/ paripurna) di DKI Jakarta, menunjukkan prevalensi karies gigi permanen sebesar 85,5%, prevalensi gingivitis 70,2%, dengan rasio tambal:cabut=2:3, dan nilai Performed Treatment Index (PTI) 8%.[20] Keterbatasan program yang diberlakukan massal adalah besarnya biaya, waktu, tenaga, dan belum tentu memberikan hasil seperti yang diinginkan. Baelum menyatakan bahwa faktor risiko karies gigi tiap kelompok tidak sama sehingga intervensi tiap kelompok pun harusnya berbeda.[3] Oleh karenanya perlu diterapkan konsep identifikasi risiko karies gigi yang bersifat individual. Dibandingkan dengan pendekatan tradisional, pendekatan intervensi melalui identifikasi risiko pada anak-­‐ anak, terutama usia yang masih muda, memiliki potensi yang lebih baik dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut.[23, 51-­‐55] Melalui identifikasi populasi berisiko tinggi 6 dan pendekatan yang tepat, karies gigi dapat dikontrol dan bahkan dapat dicegah.[8, 23, 24, 46, 52, 56-­‐58] Saat ini ada banyak metode dikembangkan untuk mengidentifikasi risiko karies gigi. Shimono membuat Cariostat, suatu metode kolorimetri untuk mengelompokkan pasien risiko karies gigi tinggi dan rendah, berdasarkan aktivitas mikroorganisme dalam sampel biofilm.[59] Bratthall mengembangkan metode untuk mengidentifikasi penilaian risiko karies gigi melalui Cariogram, yaitu suatu program komputer yang menyajikan diagram pie interaksi antar berbagai faktor risiko karies gigi, antara lain faktor saliva, pola diet, biofilm, asupan fluor, adanya penyakit dan pengalaman karies gigi .[29, 60] Hien Ngo membuat Traffic Light Matrix, yang menyajikan faktor saliva, biofilm, diet, fluor, modifying factors, dalam skoring merah-­‐kuning-­‐hijau.[23] The American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) membuat CAT (Caries Risk Assessment Tool) yang mengelompokkan risiko karies gigi tinggi, sedang, rendah secara manual berdasarkan faktor fisik, lingkungan, dan kesehatan umum.[53] Departemen Kesehatan Selandia baru membuat panduan Risk Assessment and Recall Intervals dengan mengelompokkan individu risiko karies gigi tinggi dan rendah, berdasarkan faktor riwayat karies gigi, banyaknya biofilm, jenis diet, frekuensi asupan karbohidrat, sekresi saliva, fluor.[57] Berbagai instrumen tersebut di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Kebanyakan dari instrumen tersebut menggunakan penghitungan jumlah bakteri melalui media yang harus dibiakkan beberapa hari di laboratorium dan biayanya relatif mahal. Kendala lain yang spesifik jika diterapkan pada anak prasekolah adalah sulitnya pengambilan sampel volume saliva.[61] Dalam setting intervensi preventif karies gigi pada anak prasekolah, terutama dalam hal ini anak taman kanak-­‐kanak, dirasakan perlunya suatu alat bantu yang secara cepat, mudah, tetapi cukup akurat dapat mengidentifikasi risiko karies gigi anak, bisa memotivasi anak dan orang tuanya, serta memberikan rekomendasi tindakan pencegahan yang tepat. Hal ini mengingat laju karies gigi anak dapat sangat progresif, banyaknya jumlah anak yang harus ditangani di sekolah dan sebagian besar pelaksana di lapangan adalah perawat gigi. Oleh karena itu, akan dirancang suatu instrumen interaktif berupa simulator risiko karies gigi, yang secara computerized dapat menilai faktor risiko dan memperkirakan besarnya kemungkinan terjadinya karies gigi baru. Simulasi dengan program komputer akan memberikan beberapa keuntungan seperti mudah penggunaannya, cepat memberikan hasil penilaian, sehingga baik anak maupun orang tua dapat langsung melihat simulasi efek 7 perbaikan kesehatan gigi jika mereka melakukan sesuai dengan anjuran yang diberikan. Selain itu, perlu dikembangkan suatu alat bantu semacam motivational report untuk orangtua dan anak agar bisa secara mandiri dan berkelanjutan melaksanakan pencegahan yang disarankan. 1.2 Pertanyaan Penelitian 1. Apakah faktor anak (jenis kelamin, umur, berat badan saat lahir, indeks massa tubuh, white spot, diskolorasi fisur, gigi berjejal, pH saliva, pH biofilm, konsistensi makanan, kebiasaan mengemut makanan, kebiasaan makan sayur, kebiasaan makan permen, frekuensi makan permen, frekuensi sikat gigi, penggunaan pasta gigi, sikat gigi sendiri/dibantu, lama pemberian ASI, lama pemberian susu botol, frekuensi minum susu, susu diberi tambahan gula, suka minum soft-­‐drink, kebiasaan sikat gigi malam) dan faktor ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, praktik kesehatan gigi), serta faktor ada tidaknya pengasuh, tipe pengasuh, secara bersama-­‐sama berkontribusi terhadap risiko terjadinya karies gigi pada anak prasekolah? 2. Apakah faktor-­‐faktor di atas dapat membentuk instrumen simulasi risiko karies gigi dengan program komputer yang dapat diterima penggunaannya oleh dokter gigi dan perawat untuk memotivasi orang tua dan anak? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan menyusun simulator risiko karies gigi berupa instrumen simulasi dengan program komputer bagi anak prasekolah berdasarkan faktor risiko yang terbukti berpengaruh. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Menjelaskan faktor-­‐faktor dan besar risiko karies gigi pada anak prasekolah yang berkaitan dengan karakteristik anak, kondisi lokal mulut anak, dan karakteristik keluarga (ibu); 2. Mendapatkan instrumen simulasi risiko karies gigi dominan pada anak prasekolah dan rekomendasinya; 3. Menyusun pemrograman komputasi yang sesuai. 8 4. Memberdayakan ibu dan pengasuh untuk melakukan pencegahan karies gigi pada anak prasekolah. 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat teoretis Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menghasilkan instrumen simulasi risiko karies gigi bagi anak prasekolah; 2. Studi ini menjelaskan faktor risiko karies gigi yang berpengaruh pada anak prasekolah, yang di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian serupa dengan tingkat presisi tinggi; 3. Memberikan informasi yang berguna untuk pengembangan keilmuan, yaitu pengembangan alat ukur penilaian risiko karies gigi dan saran intervensi menurut kelompok faktor risiko yang dimiliki setiap anak 1.4.2 Manfaat metodologis Manfaat metodologis penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Simulator yang dihasilkan sangat memudahkan penilaian risiko karies gigi untuk setiap anak prasekolah; 2. Intervensi yang dilakukan pada anak prasekolah dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien; 3. Simulator membuat dokumentasi perjalanan risiko tiap anak, sehingga memudahkan pemantauan dan evaluasi. 1.4.3 Manfaat aplikatif Manfaat aplikatif penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi kesehatan masyarakat, manfaatnya adalah menemukan indeks komposit tingkat risiko karies gigi bagi murid taman kanak-­‐kanak; 2. Untuk menemukan faktor dominan karies gigi yang terjadi pada anak prasekolah sehingga dapat ditentukan urutan prioritas anak untuk dilakukan intervensi; 3. Sebagai simulator interaktif untuk memotivasi perubahan perilaku pada orangtua dan pengasuh; 9 4. Sebagai indikator perubahan faktor risiko setiap anak; 5. Untuk pengatur kebijakan tingkat nasional, metode ini dapat direplikasi di jenjang taman kanak-­‐kanak dan diharapkan hasil rekomendasi lebih tepat sasaran sehingga dapat menurunkan angka keparahan karies gigi pada anak-­‐anak; 6. Untuk pengguna, yaitu BPK PENABUR Jakarta, masyarakat luas, dan masyarakat spesifik dapat digunakan untuk pengefektifan identifikasi risiko karies gigi. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Karies gigi Konsep penyebab dan perkembangan karies gigi telah berubah selama lebih dari 30 tahun. Paradigma lama memahami karies gigi sebagai proses demineralisasi jaringan keras gigi yang berjalan satu arah dan juga tidak digambarkan adanya kemungkinan untuk perbaikan permukaan gigi yang terkena lesi awal.[3] mikroorganisme Substrat Karies gigi Gigi Waktu (3) Gambar 2.1. Model karies gigi tradisional Paradigma baru memahami karies gigi sebagai proses yang dinamis dan reversible (bisa dibalik arahnya). Dinamis artinya ada pertukaran ion yang signifikan di antara permukaan gigi dengan lapisan biofilm mulut yang secara normal terjadi setelah setiap kali makan atau minum. Reversible artinya demineralisasi apatit email dapat secara cepat diremineralisasi atau dipulihkan dengan cadangan ion-­‐ion kalsium dan fosfat yang disimpan di dalam saliva. Faktor penyebab demineralisasi adalah pola diet dan bakteri dalam biofilm, sedangkan faktor penyebab remineralisasi adalah saliva dan fluor (Gambar 2.2). Akan tetapi, pada situasi dimana demineralisasi melebihi kapasitas tubuh untuk melakukan remineralisasi, maka akan menuntun ke arah akumulasi kehilangan kandungan mineral baik pada email maupun dentin, yang selanjutnya akan diikuti terjadinya kavitas (lubang). 11 Gambar 2.2 Pemodelan baru konsep karies gigi berdasarkan kesetimbangan (1) demineralisasi dan remineralisasi Karies gigi kemudian didefinisikan sebagai kehilangan ion-­‐ion mineral secara kronis dan berkelanjutan dari email mahkota atau permukaan akar yang dirangsang terutama oleh kehadiran flora bakteri tertentu dengan produknya.[1, 3, 46] Karies gigi pada gigi sulung anak-­‐anak prasekolah biasa dikenal sebagai ”Early Childhood Caries”. Lapisan email gigi sulung lebih tipis daripada gigi tetap sehingga lebih rentan terhadap karies gigi. ”Early Childhood Caries” berjalan agresif dan cepat yang menyebabkan rusaknya gigi sulung pada bayi dan balita, dan terutama ditemukan pada permukaan anterior gigi sulung rahang atas dan dapat pula mengenai gigi molar susu rahang atas maupun rahang bawah.[2, 16, 43] Karies gigi ini diawali dengan demineralisasi yang nampak sebagai lesi white spot pada gigi sulung insisivus rahang atas di sepanjang perbatasan dengan gingiva. Lesi white spot dapat dihentikan bahkan dapat dihilangkan jika penyebab situasi kariogenik dihilangkan atau dikurangi.[62] Perubahan ultrastruktur yang terjadi pada email akibat biofilm kariogenik adalah sebagai berikut. Kidd mereviu suatu studi eksperimental dimana biofilm dibiarkan terbentuk pada permukaan gigi tanpa diganggu. Setelah 1 minggu terjadi sedikit peningkatan porositas email dan jaringan di bawah lapisan luar yang ternyata lebih porus dibanding permukaan luar itu sendiri. Kejadian ini disebut sebagai demineralisasi subsurface yang akan nampak makin jelas pada minggu ke 2, 3, dan 4, dan akan nampaklah lesi white spot jika terpolarisasi cahaya.[22] White spot adalah fenomena optik dari kondisi demineralisasi gigi.[1] Kidd mengatakan lesi white spot seyogyanya dianggap satu tanda atau gejala adanya penyakit (it should be considered the sign or symptom of the disease). [22] 12 Sebuah penelitian longitudinal yang mengamati lesi white spot gigi molar pertama pada saat anak berusia 8 tahun hingga berusia 15 tahun menemukan bahwa mayoritas lesi white spot tidak berlanjut menjadi lubang, melainkan terhenti.[63] Pada lesi white spot yang terhenti tidak selalu terjadi penggantian sempurna mineral yang telah mengalami demineralisasi dengan mineral baru. Gambaran putih masih mungkin tetap terlihat pada gigi. Permukaan gigi dari lesi white spot yang terhenti/arrested justru mengandung lebih banyak fluor dibandingkan permukaan email disekitarnya. [62] Namun jika proses penyakit berjalan terus, karies gigi akan berkembang dan menyebabkan terjadinya destruksi mahkota gigi. Pada kasus dengan keparahan sedang, setelah terjadi lubang gigi, karies gigi mulai menyebar ke gigi molar rahang atas. Namun, pada kasus dengan keparahan tinggi, karies gigi menghancurkan gigi rahang atas dan menyebar ke gigi molar rahang bawah.[16] Diagnostic threshold determines what is recorded as “diseased” or “sound” Threshold used in classical epidemiological survey examination D3 Threshold used in many practice & research & epid exam (D3 + enamel) Considered as “caries free” at the D3 threshold D1 D1 + additional diagnostic aid used in practice & reseach Threshold achieveable by new diagnostic tools now & in the future Gambar 2.3 Fenomena Gunung Es ( Iceberg) karies gigi, gambaran batasan diagnosis dalam epidemiologi dan praktik [64] Penghitungan karies gigi konvensional ditinjau dari kebutuhan epidemiologi adalah sesuai dengan Oral Health Surveys Basic Method – WHO 1997, terdiri dari komponen decay (kavitas yang tampak kasat mata, dan gigi dengan pengalaman karies gigi seperti gigi dengan tambalan sementara) ditambah komponen filling (kavitas yang telah ditambal). 13 White spot dan fisur yang mengalami diskolorasi dianggap sehat[5] /considered as ”caries free” at the D3 threshold.[62] Selengkapnya kutipan pencatatan karies gigi berdasarkan Oral Health Surveys Basic Method – WHO 1997, adalah sebagai berikut [5]: “Caries is recorded as present when a lesion in a pit of fissure, or on smooth-­‐tooth surface, has an unmistakable cavity, undermined enamel, or a detectably softened floor or wall. A tooth with a temporary filling….. In cases where the crown has been destroyed by caries and only the root is left, the caries is judged to have originated on the crown and therefore scored as crown cavity only.” “Should be coded as sound: white or chalky spots; discolored or rough spot that are not soft to touch with a metal CPI probe; stained pits or fissures in the enamel that do not have visual signs of undermined enamel, or softening of the floor or walls detectable with CPI probe; dark, shiny, hard, pitted areas of enamel in a tooth showing signs of moderate to severe fluorosis; lesion that, on the basis of their distribution or history, or visual / tactile examination, appear to be due to abrasion.” Pencatatan karies gigi menggunakan indeks df-­‐t/DMF-­‐T mulai dikembangkan tahun 1930 dan hingga hari ini indeks yang sama masih terus dipergunakan setelah lebih dari 70 tahun. Hal ini menunjukkan betapa suksesnya indeks ini dan juga sekaligus sulitnya menemukan alternatif pengganti yang bisa diterima oleh semua pihak. Indeks ini dipahami secara internasional dan oleh karenanya mampu diperbandingkan antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu negara dengan negara lain. [6] Adanya pemahaman karies gigi yang lebih baik pada masa kini juga berdampak pada cara pengukuran karies gigi. Pengukuran progresif yang dilakukan di klinik memungkinkan pengklasifikasian karies gigi secara anatomi gigi dengan melihat penetrasi karies gigi ke dalam jaringan gigi terlihat pada Gambar 2.3 sebelah kanan, yaitu (D1) lesi awal (sering disebut sebagai incipient lesion/white spot), (D2) penetrasi karies gigi mencapai email, tampak kavitas email, (D3) Penetrasi karies gigi mencapai dentin, (D4) penetrasi karies gigi mencapai pulpa.[6] Pengukuran karies pendekatan progresif menggunakan D1 sebagai ambang batas. Pada gambar 2.3 iceberg of dental caries sebelah kiri, secara nyata digambarkan kriteria karies konvensional untuk epidemiologi adalah pada ambang batas D3 yaitu karies 14 dentin dengan kavitas kasat mata. Untuk dapat tetap menggunakan data yang sudah berlaku universal, maka komponen decay dalam kriteria WHO sebenarnya setara dengan d3 untuk gigi sulung / D3 untuk gigi tetap. D3 dianggap sebagai ambang batas karena merupakan batasan diperlukan suatu perawatan operatif.[6] Pada ambang batas D3, maka white spot dihitung sebagai caries free, seperti tampak pada Gambar 2.3 Oleh karenanya, akan lebih tepat dan tetap bisa diperbandingkan secara global jika dipahami bahwa df-­‐t atau DMF-­‐T pada kriteria WHO sebenarnya adalah d3f-­‐t atau D3MF-­‐T.[6] Selanjutnya, perkembangan kriteria diagnostik masih akan terus berkembang mengingat kemajuan teknologi deteksi karies gigipun (misalnya menggunakan fiber-­‐optic transillumination dan bitewing radiography) semakin bisa mendeteksi lesi yang tidak tampak oleh mata. Itu sebabnya karies gigi digambarkan sebagai fenomena gunung es. Yang biasa dilihat sebagai lubang kasat mata adalah sebagian dari gunung es yang tampak di atas air, namun sebenarnya masih ada sebagian besar gunung es yang tersembunyi di bawah air.[3] Pemilihan ambang batas karies gigi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan rencana perawatan. Yang penting adalah jika ingin menggunakan suatu data epidemiologis, seseorang harus tahu betul ambang batas diagnostik yang dipergunakan dalam pengumpulan data dan pelaporannya.[6] Dalam disertasi ini, semua yang disebutkan menggunakan df-­‐t/ DMF-­‐T berarti menggunakan ambang batas D3 (kavitas dentin) sesuai kriteria WHO.[5] 2.2 Distribusi Kejadian Karies gigi Untuk membandingkan frekuensi dan distribusi kejadian karies gigi secara global perlu berhati-­‐hati, mengingat banyaknya perbedaan kriteria diagnosis yang digunakan pada studi yang satu dengan studi yang lainnya. Namun, adanya penurunan prevalensi dan keparahan karies gigi permanen bisa terlihat pada banyak negara berkembang sepanjang dekade terakhir ini. Kecepatan perkembangan karies gigi juga menurun sejalan dengan pertambahan umur .[4, 48] Penyakit ini terutama ditemukan pada jenis gigi tertentu baik gigi sulung maupun gigi permanen. Pada gigi permanen, kejadian karies gigi pada permukaan interproksimal dan permukaan halus lebih rendah daripada kejadian karies gigi pada permukaan oklusal atau pit dan fisur. Karies gigi pada mahkota gigi permanen anak terutama adalah karies gigi 15 pada pit dan fisur. Pada masa awal kanak-­‐kanak, lesi karies gigi justru berkembang pada permukaan halus, padahal biasanya permukaan halus berisiko rendah terhadap karies gigi . Pada beberapa kelompok populasi, prevalensi dan keparahan karies gigi sulung sudah stabil atau sedikit mengalami peningkatan.[4] Meskipun prevalensi dan keparahan karies gigi permanen dan gigi sulung mengalami penurunan di banyak negara dengan pendapatan tinggi, tetapi tetap ditemukan perbedaan, dan tetap banyak anak dan orang dewasa yang menderita penyakit karies gigi.[48] Di Amerika, karies gigi adalah penyakit kronis anak-­‐anak yang paling sering ditemukan, dan kejadiannya lima kali lebih sering dibanding penyakit asma.[65] Sebuah survei nasional di Amerika menyatakan bahwa prevalensi karies gigi pada anak prasekolah di beberapa populasi bahkan mencapai 90%.[43] Pola karies gigi terpolarisasi pada kelompok anak dari sosial ekonomi rendah, etnik minoritas pada negara maju, dan beberapa populasi di pedesaan.[16] Di Australia, karies gigi pada anak telah mengalami penurunan selama 20 tahun terakhir. Namun, tinggi rendahnya angka def-­‐t (1,33–2,53 pada anak 5-­‐6 tahun) masih tersebar tidak merata, dihubungkan dengan faktor geografi dan karakteristik sosial ekonomi.[10] Data dari Kuwait tahun 1985-­‐1995 menunjukkan trend peningkatan prevalensi karies gigi sulung dari 11,5% -­‐ 35,5% pada anak usia 4-­‐6 tahun.[66] Sejauh ini belum ada data pasti yang dilaporkan mengenai prevalensi gigi sulung di Indonesia. Tinjauan yang dilakukan Heriandi memperlihatkan adanya variasi prevalensi karies gigi sulung dari 61% -­‐ 85%, hasil dari beberapa penelitian di beberapa daerah di Indonesia.[67] Data BPK PENABUR Jakarta menunjukkan def-­‐t 2,82 untuk anak kelas 1 SD, dengan prevalensi karies gigi sulung 55%.[21] 2.3 Patogenesis Karies gigi Karies gigi merupakan hasil dari interaksi selama kurun waktu tertentu antara bakteri yang memproduksi asam, substrat yang dapat dimetabolisir oleh bakteri, dan banyak faktor individual meliputi gigi dan saliva. Karies gigi terjadi akibat ketidakseimbangan ekologi rongga mulut antara mineral gigi dan mikrobial biofilm.[68, 69] Bakteri hidup di rongga mulut membentuk koloni secara mikro, yang dibungkus oleh matriks organik yang terdiri atas polisakarida, protein, dan DNA hasil sekresi sel. Matriks ini berfungsi memberikan perlindungan terhadap kekeringan, melawan pertahanan dari tubuh, serta meningkatkan resistensi terhadap agen antimikroba. Gigi menyediakan permukaan gigi yang rentan bagi 16 perlekatan koloni bakteri serta hasil metabolismenya, yang terakumulasi di dalam biofilm yang melekat pada permukaan gigi, baik gigi sehat maupun telah terkena karies gigi .[4] Mekanisme proses karies gigi pada dasarnya sama untuk semua jenis karies gigi . Bakteri endogen (kebanyakan mutans dari streptococci [Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus] dan Lactobacillus spp.) dalam biofilm memproduksi asam organik lemah sebagai hasil metabolisme karbohidrat yang dapat difermentasi. Asam ini menyebabkan pH lokal turun hingga di bawah ambang kritis (pH 5,5) sehingga terjadilah demineralisasi jaringan gigi.[68, 70] Jika kalsium, fosfat, dan dan karbonat terus dibiarkan berdifusi keluar dari gigi, maka lama-­‐kelamaan akan terbentuk lubang. Demineralisasi dapat dibalik arahnya pada tahap awal melalui pemasukan ion kalsium, fosfat, dan fluor.[23] Fluor bertindak sebagai katalis yang membantu difusi kalsium dan fosfat masuk ke dalam gigi, yang dapat meremineralisasi struktur kristal gigi pada daerah lesi. Permukaan kristal gigi yang terbentuk kembali, mempunyai komposisi yang terdiri dari hidroksiapatit yang terfluoridasi dan fluorapatit, yang lebih tahan terhadap serangan asam dibandingkan struktur aslinya. Enzim yang dihasilkan bakteri dapat pula ikut berperan dalam perkembangan karies gigi. Apakah proses karies gigi akan berlanjut, berhenti, atau berbalik arahnya, tergantung pada keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi. Proses demineralisasi dan remineralisasi terus-­‐menerus terjadi pada kebanyakan orang. Sejalan dengan waktu, proses ini akan berujung pada berlubangnya gigi atau terjadi perbaikan dan penyembuhan lesi, ataupun tetap status quo.[23] Remineralisasi seringkali terjadi, terutama jika pH biofilm dinetralkan kembali oleh saliva, yang bertindak sebagai buffer. Area yang sudah mengalami remineralisasi mempunyai konsentrasi fluor yang lebih tinggi dan struktur email secara mikroskopis lebih padat dibandingkan struktur gigi yang semula karena masuknya kalsium dan fosfat dari saliva.[71] Proses demineralisasi dan remineralisasi terus-­‐menerus terjadi pada kebanyakan orang. Sejalan dengan waktu, proses ini akan berujung pada berlubangnya gigi atau terjadi perbaikan dan penyembuhan lesi, ataupun tetap tak berubah.[4, 43] Lesi karies gigi akan berkembang jika biofilm mulut dibiarkan menjadi matang (menjadi kariogenik) dan bertahan pada gigi dalam waktu yang lama. Jika kavitas dibiarkan terus berkembang, daerah tersebut menjadi habitat sehingga organisme dalam biofilm berangsur-­‐angsur beradaptasi terhadap 17 penurunan pH. Lubang gigi merupakan tempat perlindungan bagi biofilm, dan selama pasien tidak bisa membersihkan daerah ini, proses karies gigi akan terus berjalan. Karies gigi pada email awalnya terlihat sebagai lesi white spot, yaitu daerah kecil di bawah permukaan gigi yang mengalami demineralisasi yang terjadi di bawah biofilm gigi.[3] Faktor genetik diduga (might be)[45, 72] berperan dalam terjadinya karies gigi, sehingga anak dengan faktor risiko yang sama belum tentu mengalami kejadian karies gigi yang sama, karena memiliki kerentanan ataupun resistensi terhadap karies gigi yang berbeda satu sama lain secara genetik.[45, 72] (1) Gambar 2.4 Ilustrasi patogenesis karies gigi (Permission Assoc. Prof. Hien Ngo) 2.4 Akibat Karies Gigi pada Anak Prasekolah Adanya karies gigi dapat mengganggu sistem pengunyahan pada umumnya, dan dapat menjadi infeksi fokal sehingga mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak.[9] Di Amerika, Kanada, dan Inggris misalnya, terbukti bahwa karies gigi pada masa kanak-­‐kanak sangat mempengaruhi kualitas hidup anak-­‐anak. Pada anak-­‐anak Aborigin di Australia Barat, karies gigi merupakan penyakit nomor 5 dari penyakit yang paling sering menyebabkan anak harus dirawat di rumah sakit pada anak prasekolah (usia 1-­‐4 tahun).[10] Lebih dari 50 juta jam sekolah pertahun hilang sebagai akibat yang ditimbulkan oleh sakit gigi pada anak-­‐anak, dan akibat ini akan berdampak hingga kehidupan dewasa nanti.[7] Di Indonesia 62,4% penduduk merasa terganggu pekerjaan/sekolahnya karena sakit gigi selama rata-­‐rata 3,86 hari per tahun.[11] Kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi, walaupun tidak menimbulkan kematian, dapat menurunkan produktivitas kerja. Penelitian di Medan membuktikan adanya dampak karies gigi terhadap empat dimensi kualitas hidup, yaitu 18 keterbatasan fungsi, rasa sakit, ketidaknyamanan psikis, dan disabilitas fisik.[12] Di DKI Jakarta sendiri, hasil evaluasi karies gigi pada anak balita tahun 1993 menemukan bahwa 44,4% anak mengalami susah makan karena keluhan sakit gigi, dan hal ini berdampak 13,1% anak mempunyai status gizi di bawah normal.[13] Sheiham mengemukakan tiga dampak karies gigi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak prasekolah, yaitu (1) karies gigi yang tidak terawat dapat menyebabkan rasa sakit sehingga mengganggu asupan makan anak, (2) rasa sakit bisa menimbulkan gangguan tidur dan selanjutnya mengganggu produksi glucosteroid dan pertumbuhan, (3) inflamasi kronis dari karies gigi dapat menekan hemoglobin dan selanjutnya menimbulkan anemia karena produksi eritrosit dalam sumsum tulang menjadi berkurang.[14] 2.5 Faktor Risiko Karies gigi pada Anak Prasekolah Berikut ini adalah tinjauan berbagai risiko karies gigi pada anak prasekolah. 2.5.1 Pengertian Risiko Karies gigi Secara umum, risiko adalah peluang terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan. Risiko sering didefinisikan sebagai peluang terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan dalam suatu periode waktu tertentu. Risiko karies gigi adalah peluang terjadinya sejumlah karies gigi baru, mencapai derajat penyakit tertentu, dalam kurun waktu yang tertentu, dengan syarat bahwa faktor-­‐faktor risiko berada dalam keadaan sama dan stabil selama kurun waktu yang ditentukan. Jadi, risiko karies gigi berhubungan dengan peluang terjadinya karies gigi pada seseorang.[56, 60] Memperkirakan risiko karies gigi secara tepat adalah sangat mutlak agar tindakan preventif dapat diarahkan langsung kepada pasien dengan risiko karies gigi tinggi sebelum timbulnya kavitas baru. Biasanya, jika faktor etiologi utama dapat ditemukan, perawatan yang sesuai untuk pasien bersangkutan akan membawa hasil yang memuaskan.[56] Risiko karies gigi seseorang dapat bervariasi sejalan dengan waktu karena banyak faktor risiko yang dapat diperbaiki dan diubah. Faktor risiko fisik dan biologis untuk karies gigi email meliputi aliran dan komposisi saliva, bakteri kariogenik dalam jumlah banyak, kurangnya paparan fluor, komponen imunologi, kebutuhan akan perawatan kesehatan khusus, serta faktor genetik. 19 Faktor risiko karies gigi yang lain meliputi kemiskinan, status sosial, lamanya mengenyam pendidikan, ada tidaknya asuransi kesehatan gigi. Termasuk juga anak dengan orangtua/ pengasuh yang mempunyai riwayat karies gigi yang cukup parah dianggap sebagai faktor yang mempertinggi risiko anak untuk terkena penyakit karies gigi. 2.5.2 Faktor Host 2.5.2.1 Morfologi Gigi Sulung Yang membedakan pola karies gigi sulung dengan gigi tetap adalah email dan dentin pada gigi sulung lebih tipis, dan kontak proksimalnya lebih luas dibanding gigi tetap, sehingga daerah proksimal lebih rentan terhadap karies gigi. Oleh karenanya, pada gigi sulung, penjalaran karies gigi lebih cepat mengenai pulpa.[16] Selain itu, pada dentin gigi sulung ditemukan tubulus dengan diameter besar, yang merupakan jalan bagi bakteri untuk masuk lebih cepat hingga daerah pulpa.[73] Gambar 2.5 A Menunjukkan tubulus yang besar yang tampak pada oklusal dentin. Gambar 2.5 B Menunjukkan pembesaran daerah yang diberi tanda *, dimana terlihat banyak bakteri [73] dan debris . Struktur gigi yang belum matang karena masih banyak mengandung ion karbonat juga menyebabkan struktur gigi mudah larut oleh asam. Kelainan pembentukan gigi seperti amelogenesis imperfekta dan dentinogenesis imperfekta walaupun merupakan kejadian yang sangat jarang (1 di antara 718-­‐14000), meningkatkan risiko karies gigi karena ketidakmampuan email melindungi struktur gigi di bawahnya . 20 Anatomi gigi dengan banyak groove, pit, dan fisur yang dalam dan meluas juga menyebabkan makanan mudah terperangkap di dalamnya, serta sulit dibersihkan sehingga meningkatkan risiko gigi berlubang.[1] 2.5.2.2 Saliva Saliva memainkan peranan utama dalam melindungi gigi-­‐geligi melawan tantangan asam, juga melindungi jaringan lunak mulut dan jaringan saluran cerna melawan dehidrasi dan potensial iritan patologis.[74] Saliva sendiri merupakan proteksi terbaik untuk melawan serangan asam pada permukaan gigi dan faktor-­‐faktor protektifnya meliputi [23, 74] hal-­‐hal sebagai berikut. 1. Saliva sangat dijenuhi dengan ion-­‐ion Ca2+ dan PO43-­‐ tersedia untuk menggantikan ion-­‐ion yang hilang dari permukaan gigi sebagai akibat dari demineralisasi oleh asam; 2. Ion HPO42-­‐ terutama memberikan kapasitas penyanggaan yang signifikan pada pH istirahat dan pada tahap awal tantangan asam; 3. Pellicle – lapisan glikoprotein dari saliva merupakan bagian biofilm mulut yang melapisi permukaan gigi dan memberikan proteksi tingkat tinggi melawan tantangan asam. Ia menahan difusi ion-­‐ion asam masuk kedalam gigi, sebagaimana juga menahan pergerakan apatite keluar dari gigi. Ini juga membatasi mineralisasi apatite dan menuntun ke pembentukan kalkulus dari lepasnya ion-­‐ion Ca2+ dan PO43-­‐ dari saliva saat mencapai kadar super jenuh; 4. Penyanggaan bikarbonat – ada sistem penyanggaan bikarbonate yang sangat efektif yang memberikan tingkat proteksi tinggi melawan asam organik dan erosif pada permukaan gigi; 5. Tingkat aliran saliva – aliran saliva dan oral clearance rates mempengaruhi pembuangan sisa-­‐sisa makanan (food-­‐debris) dan mikro-­‐organisme. Namun, aliran saliva yang tinggi juga dapat mengencerkan obat terapetik yang dipakai secara topikal, misalnya fluor, menyebabkan diperlukannya penambahan konsentrasi bahan yang pakai untuk pemeliharaan optimal bagi proteksi gigi; 6. Ion-­‐ion fluor – memberikan sumbangan pada keseluruhan proteksi dan memperbaiki mineralisasi gigi. Kandungan ion fluor normal dalam saliva rata-­‐rata hanya 0,03 ppm tetapi kadarnya akan bervariasi menyusul masukan ion-­‐ion fluor tambahan dari sumber makanan, fluor topikal, pasta gigi dan sebagainya. 21 Kualitas dan kuantitas saliva yang disekresi akan bervariasi sepanjang hari, tetapi akan terdepresi selama tidur. Saliva yang tidak distimulasi berisi sedikit penyangga bikarbonate, dengan lebih sedikit ion Ca2+ tetapi lebih banyak ion PO43-­‐ daripada plasma. Rangsangan refleks aliran saliva dengan mengunyah atau melalui paparan makanan yang asam, misalnya asam sitrat dapat menambah aliran sampai 10x lipat. Menyusul adanya rangsangan, konsentrasi penyangga bikarbonat dapat bertambah sampai 60x lipat. Juga kadar ion Ca2+ akan bertambah secara ringan, tetapi ion-­‐ion PO43-­‐ tidak akan bertambah secara proporsional dengan tingkat aliran saliva.[23, 69, 75] Pengurangan aliran saliva maksimum sampai 0,7 mL/menit akan menambah risiko karies gigi , walaupun hal ini tergantung banyak faktor-­‐faktor lain yang berinteraksi. Saat aliran saliva di bawah 0,7 ml/ menit, saliva tidak akan mampu membilas karbohidrat yang menempel pada permukaan gigi. Rendahnya aliran saliva mengindikasikan kapasitas buffer saliva, imunoglobulin Ig A, serta kandungan kalsium dan fosfat yang rendah sehingga mengurangi kemampuan netralisasi asam dalam biofilm gigi. Data penelitian ’Survei Kesehatan dan Nutrisi’ di Amerika menyimpulkan ada hubungan antara lingkungan perokok tembakau dan risiko karies gigi pada anak-­‐anak. Anak yang hidup di lingkungan perokok mempunyai risiko karies gigi 27% dan risiko gigi ditambal 14%, karena diketahui nikotin menyebabkan pertumbuhan bakteri kariogenik S. mutans. Kondisi perokok pasif (serum cotinine levels 0,2-­‐10 ng/mL) telah dihubungkan dengan terjadinya penekanan tingkat serum vitamin C pada anak-­‐anak, dan hal ini berdampak pada pertumbuhan bakteri kariogenik. Kemungkinan lain adalah kondisi perokok pasif mengurangi kemampuan proteksi saliva terhadap karies gigi. Sistem imun pada anak biasanya belum matang, komposisi saliva sehubungan dengan konsentrasi IgA pada anak berbeda dengan orang dewasa. Karenanya anak lebih rentan terhadap lingkungan perokok dikarenakan sistem imunnya yang belum sempurna dan aliran saliva lebih sedikit dibanding orang dewasa.[39] 2.5.2.3 Faktor Bakteri pada Anak Biofilm gigi adalah biofilm yang tertata, berstruktur dan berfungsi. Biofilm terbentuk dengan cara yang teratur, dan terdiri dari berbagai jenis komposisi mikroba, yang dalam kesehatan, relatif stabil (microbial homeostasis).[76] Spesies yang dominan pada daerah yang 22 sakit, ternyata berbeda dengan spesies di daerah yang sehat, meskipun sejumlah kecil bakteri patogen juga terdeteksi pada daerah yang normal. Pada karies gigi, terjadi pergeseran ke arah komunitas yang didominasi spesies yang tahan asam dan asidogenik, seperti mutans streptococci dan Lactobacillus. Kondisi pH rendah yang berkepanjangan merupakan lingkungan baik bagi mutans streptococci dan Lactobacillus.[4, 68, 76] Mutans streptococci adalah bakteri yang kuat dihubungkan dengan Early Childhood Caries.[27, 43] Mutans streptococci diklasifikasikan menjadi 7 spesies yang berbeda, yaitu S.criceti, S. ratti, S. mutans, S. sobrinus, S. macacae, S. downei, dan S. orisratti sp.nov.[45] Anak dengan ECC memperlihatkan peningkatan jumlah mutans streptococci mencapai lebih dari 30% flora dalam biofilm. Streptococcus mutans dapat berkoloni pada mulut bayi yang belum bergigi, dengan menggunakan galur-­‐galur pada lidah sebagai habitatnya.[77] Streptococcus mutans ditemukan 55% pada sampel biofilm dan 70% pada hasil scrapping lidah. Anak yang sudah terinfeksi Streptococcus mutans pada usia 2 tahun memiliki aktivitas karies gigi yang sangat tinggi pada usia 4 tahun. Dengan demikian, keberadaan Streptococcus mutans pada usia 1 tahun merupakan prediktor efektif untuk memperkirakan kondisi karies gigi pada usia 3,5 tahun. Soerodjo menemukan bahwa konsentrasi Streptococcus mutans dalam 1 mg biofilm gigi lebih tinggi pada subjek dengan karies gigi positif daripada konsentrasi Streptococcus mutans pada subjek karies gigi negatif atau subjek karies gigi yang telah dirawat.[44] Sementara itu, Corby pada penelitannya mengenai Early Childhood Caries mengemukakan bahwa subjek dengan karies gigi aktif memiliki flora mikro yang berbeda dibandingkan subjek yang bebas karies gigi. Profil kelompok dengan karies gigi aktif ditandai dengan berlebihnya jumlah bakteri kariogenik seperti Actinomyces sp., S. mutans, dan Lactobacillus sp., dan sangat rendahnya jumlah bakteri yang dihubungkan dengan kesehatan seperti S. parasanguinis, Abiotrophia defectiva, Gemella hemolysans, S. oralis, S. sanguinis. Streptococcus mutans ditemukan dalam jumlah sangat banyak pada 90% subjek karies gigi aktif dan ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil pada subjek bebas karies gigi , namun Actinomyces ditemukan dalam jumlah banyak pada subjek karies gigi maupun bebas karies gigi .[78] Streptococcus mutans yang bersifat asidogenik dan asidurik, bersama-­‐sama dengan lactobacillus, merupakan bakteri yang dominan ditemukan pada kebanyakan kasus karies 23 gigi.[70, 79, 80] Penemuan terbaru yang mengejutkan adalah Streptococcus mutans mampu hidup secara normal tanpa melalui Signal Recognition Particle (SRP), yaitu mekanisme primer penghantaran protein yang mensuplai membran pelindung sel bakteri, yang pada awalnya dipercaya bahwa SRP merupakan syarat hidup semua sel.[81] Akibatnya, S. mutans ini mempunyai daya survival yang lebih tinggi daripada spesies lain. Reservoar utama seorang anak mendapatkan Streptococcus mutans diduga dari ibu atau pengasuhnya.[2, 16, 77] Beberapa bukti menunjukkan bahwa strain Streptococcus mutans hasil isolasi dari ibu dan bayinya menunjukkan profil bakteriosin dan pola DNA yang sama.[82, 83] Hal itu diperburuk dengan seringnya frekuensi asupan karbohidrat kariogenik yang dapat difermentasi. Mutans streptococci menghasilkan asam dalam jumlah banyak dan menurunkan pH biofilm dalam jangka lama sehingga berakibat pada demineralisasi. 2.5.2.4 Faktor Biofilm Biofilm atau yang dulu lebih dikenal dengan sebutan plak gigi merupakan suatu komunitas mikroba yang di dalam mulut terdiri dari lebih 700 spesies dan mempunyai cara perlekatan yang berbeda ke permukaan gigi.[26, 84] Ada 4 tahap perkembangan biofilm mulut, dimulai dari tahap 1 berupa pembentukan lapisan pelikel yang terjadi dalam hitungan detik, dan merupakan prakondisi perlekatan dan kolonisasi bakteri. Kolonisasi bakteri yang menjadi pioner adalah terutama terdiri dari bakteri kokus gram positif dan bakteri bentuk batang, yang membelah diri dan membentuk koloni mikro. Jika biofilm supragingival pada tahap awal ini tidak dibersihkan secara teratur, koloni akan semakin matang dalam tiga tahap berikutnya. Tahap pertama didominasi oleh bakteri kokus gram positif yang diwakili oleh spesies streptokoki. Tahap kedua adalah cross linking melalui spesies fusobacterium yang terjadi dalam hitungan menit, dan tahap ketiga didominasi organisme gram negatif yang terjadi dalam hitungan jam. Struktur biofilm yang sudah matang sangat kokoh dan resilien, berperan sebagai alat pertahanan terhadap antibiotik dan bersifat virulen pada poket periodontal yang dalam. Selanjutnya tahap keempat adalah terlepasnya bakteri dari permukaan gigi. Patogenisitas dari biofilm ditandai dengan dua karakteristik yaitu meningkatnya ketahanan terhadap antibiotik dan komunitas bakteri yang tidak mampu difagositosis oleh sel inflamasi dari pejamu. 24 Gambar 2.6 Empat tahap pertumbuhan biofilm mulut [26] Hal ini menunjukkan bahwa biofilm mulut akan selalu terbentuk dan oleh karenanya tidak bisa dihilangkan.[26, 68, 76, 84] Sifat patogen dari biofilm dapat dikurangi dengan mengurangi jumlah flora dalam mulut, yang dapat dilakukan dengan menjaga higiene mulut melalui gosok gigi setiap hari, flossing, dan pada kasus yang melibatkan periodontal dapat ditambah penggunaan obat kumur antimikroba. Kuncinya adalah pencegahan melalui penatalaksanaan kesehatan mulut yang normal dengan menjaga keseimbangan ekosistem mulut.[26] Anak prasekolah biasanya masih kurang terampil dalam menggosok gigi secara efektif. Oleh karena itu dalam pembentukan kebiasaan hidup sehatnya, ia harus secara aktif disupervisi oleh pengasuhnya.[50, 52] 2.5.3 Faktor Nutrisi dan Pola Makan Status nutrisi adalah indikator kesehatan umum yang akurat pada usia awal kehidupan. Jika terjadi undernutrition dan gangguan terjadi pada masa pembentukan matriks gigi, maka timbul hipoplasia email. Email yang mengalami hipoplasia dan defek merupakan tempat paling ideal untuk pertumbuhan mutans streptococci. Hipoplasia email ada hubungannya dengan karies gigi nantinya dan merupakan prediktor karies gigi yang baik. Anak dengan berat badan rendah pada saat lahir juga dianggap anak yang berisiko terhadap karies gigi , meskipun belum ada bukti yang jelas adanya relasi antara berat badan lahir yang rendah dengan kejadian karies gigi. 25 Anak yang mengalami malnutrisi memiliki sekresi saliva dan kapasitas buffer yang rendah, kadar Ca dan sekresi protein lebih rendah pada saliva terstimulasi, dan faktor pertahanan lebih rendah pada saliva istirahat .[33] Obesitas anak saat ini adalah bentuk malnutrisi yang paling sering terjadi. Pola makan merupakan kontributor terhadap obesitas dan karies gigi. Anak cenderung mengkonsumsi banyak makanan berlemak, garam, dan kurang asupan buah, sayur, dan Kalsium. Anak dengan pola makan buruk (tidak makan pagi, dan makan kurang dari 5 macam buah dan sayur per hari) bertendensi untuk mempunyai karies gigi lebih banyak dibanding anak dengan pola makan sehat. Obesitas dan karies gigi terjadi karena perubahan gaya hidup dan lingkungan. Kurang aktivitas fisik, lebih banyak jam belajar di kelas sering nonton TV, lebih banyak input tentang iklan makanan tidak sehat, lebih sering snack, kurang makan besar, menyebabkan konsumsi kalori berlebihan.[65] Risiko karies gigi meningkat sejalan dengan makin meningkatnya frekuensi makan dan banyak jumlah karbohidrat yang masuk.[85] Jus buah merupakan sumber nutrisi yang baik, namun konsumsi jus berlebihan menyebabkan kalori berlebih, kurang nafsu makan untuk makanan sehat, dan menyebabkan karies gigi pada anak. Soft-­‐drink dan jus mengandung asam sitrat atau asam fosfat yang bisa mendemineralisasi email jika dikonsumsi terlalu sering. Potensi erosi gigi dalam satu menit pertama gigi terekspose oleh minuman Cola, misalnya, adalah 10 kali lebih besar dibanding potensi erosi oleh jus jeruk.[86] Konsumsi soft-­‐drink pada anak prasekolah merupakan indikator risiko karies gigi sulung dan oleh karenanya harus dikurangi konsumsinya.[87] Anak dengan Early Childhood Caries biasanya mengonsumsi minuman yang mengandung gula dengan frekuensi yang sering dan minuman tersebut berada dalam mulut dalam jangka waktu yang lebih lama.[2] Buah-­‐buahan seperti bengkoang dan apel, serta keju dan crackers merupakan makanan yang berisiko rendah terhadap karies gigi [3, 88] sehingga bisa disarankan untuk dijadikan alternatif jajanan/ snack sehat untuk anak. 2.5.4 Faktor Perilaku Karies gigi berhubungan erat dengan gaya hidup seseorang, dan faktor perilaku yang kendalinya di bawah individu ini memiliki implikasi yang jelas.[2, 48] Faktor ini meliputi kebersihan mulut yang jelek, kebiasaan makan yang jelek (misal sering ngemil refined 26 karbohidrat di antara waktu makan, seringnya frekuensi penggunaan obat peroral yang mengandung gula, dan cara pemberian makanan bayi yang kurang tepat).[2] Setelah faktor perilaku yang berhubungan dengan karies gigi dapat diidentifikasi, tantangan berikutnya adalah mencari penyebab perilaku tertentu dan menentukan metode untuk bisa mengatasi dan mengubah determinan tersebut.[89] Ned menyimpulkan berdasarkan empat tinjauan sistematik bahwa peningkatan pengetahuan seseorang tidak berarti perubahan perilaku yang bertahan dalam jangka waktu panjang.[90] Berikut adalah beberapa acuan ilmu perilaku yang dianggap relevan dengan tujuan perbaikan perilaku kesehatan gigi dalam penelitian ini. 2.5.4.1 Health Belief Model (HBM) HBM pertama kali dikembangkan tahun 1950 sebagai upaya untuk menjelaskan alasan kegagalan partisipasi seseorang terhadap program pencegahan ataupun program deteksi dini penyakit. Kemudian, tahun 1974 diperluas lagi untuk menjelaskan reaksi seseorang terhadap gejala penyakit dan bagaimana perilakunya dalam merespon suatu penyakit yang telah terdiagnosis, serta kepatuhannya terhadap pengobatan. HBM menyatakan bahwa orang bertindak sesuai dengan apa yang dipercayainya. HBM menekankan pentingnya peran “persepsi” dalam pengambilan keputusan.[91] Persepsi adalah sesuatu yang diyakini/dipercaya benar oleh seseorang, meskipun secara objektif belum tentu benar. Tiga elemen kunci kepercayaan dalam HBM yang dipakai untuk menilai apakah seseorang akan mengikuti anjuran dari suatu perilaku pencegahan adalah sebagai berikut. I. Ancaman a. persepsi kerentanan terhadap suatu keadaan sakit b. persepsi tingkat keparahan suatu penyakit II. Harapan Keluaran a. persepsi keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan b. persepsi hambatan yang dihadapi untuk melakukan suatu tindakan III. Harapan efikasi a. keyakinan akan kemampuannya untuk melakukan tindakan yang dianjurkan 27 Untuk bisa mengubah perilaku, seseorang harus percaya bahwa pola perilakunya yang sekarang merupakan ancaman, dan bahwa perilaku tersebut dapat menimbulkan suatu kelainan yang serius. Selanjutnya, orang tersebut harus percaya bahwa perubahan perilaku yang spesifik dapat memberikan keuntungan, tanpa biaya yang berlebihan. Tapi, di samping itu, orang tersebut juga harus merasa cukup kompeten untuk bisa mengimplementasikan perubahan tersebut. Namun konsep HBM mempunyai beberapa keterbatasan, seperti berikut. 1. Hubungan antara kepercayaan dan perilaku belum bisa secara seragam ditetapkan; 2. Usaha yang langsung ditujukan untuk mengubah kepercayaan seseorang seringkali tidak berhasil dan untuk itu memerlukan beberapa pendekatan alternatif; 3. Seharusnya tidak hanya faktor individu, tetapi faktor sosial dan lingkungan harus menjadi target intervensi kesehatan juga; 4. HBM kurang dapat dikuantifikasi, karena variabelnya kebanyakan hanya merupakan skala nominal. Suatu model yang bermanfaat dikatakan sebaiknya mampu memberikan koefisien numerik terhadap persepsi kerentanan, keparahan, keuntungan, hambatan, dan efikasi, dan dapat memberikan hubungan matematis di antara variabel tersebut; 5. Dengan berfokus pada determinan individu dari suatu perilaku kesehatan, terdapat bahaya meletakkan kesalahan pada faktor individu jika terjadi suatu masalah kesehatan.[92] Untuk penyempurnaan itulah, HBM digambarkan seperti berikut. 28 Persepsi Individu Faktor Modifying Kemungkinan tindakan Variabel demografik Variabel sosiopsikologi Persepsi kerentanan Persepsi keparahan Persepsi keuntungan melakukan tindakan preventif Persepsi hambatan melakukan tindakan preventif Kemungkinan menjalankan tindakan preventif yang disarankan Persepsi ancaman Dasar bertindak : Informasi Pengingat Komunikasi persuasi Pengalaman Gambar 2.7 Komponen dasar HBM [91] Berdasarkan Teori HBM di atas, diadopsi pula Teori Precede-­‐Proceed untuk menyusun kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini. 2.5.4.2 Teori Precede -­‐ Proceed Teori Precede adalah suatu Model Perencanaan Kesehatan dengan pendekatan diagnostik, yang menggunakan cara berpikir deduktif, dimulai dari menetapkan outcome yang berefek pada kualitas hidup, kemudian berpikir ke belakang, mencari faktor penyebab yang mendahului terjadinya masalah tersebut. Modifikasinya kemudian disebut dengan Precede – Proceed.[93] Terdapat sembilan tahap dalam proses perencanaan ini, yaitu sebagai berikut. Tahap Precede (melangkah ke belakang) 1. Tahap 1, diagnosis masalah sosial : menetapkan masalah pada masyarakat yang mempengaruhi kualitas hidup 2. Tahap 2, diagnosis epidemiologi : mengidentifikasi akar masalah kesehatan yang merupakan penyebab atau memberi kontribusi terhadap masalah yang sudah ditetapkan pada Tahap 1. 3. Tahap 3, diagnosis perilaku dan lingkungan : mengidentifikasi perilaku kesehatan yang spesifik, yang berkaitan dengan masalah yang diuraikan pada Tahap 2. 29 Dibedakan dalam dua kategori, yaitu faktor perilaku dan faktor nonperilaku (misalnya ekonomi, genetik, faktor lingkungan). 4. Tahap 4, diagnosis pendidikan dan kebijakan organisasi : mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan terbentuknya suatu perilaku kesehatan yang disebutkan pada Tahap 3. Tiga faktor tersebut meliputi faktor predisposisi (predisposing factors), faktor yang memfasilitasi/memungkinkan (enabling factors), faktor yang memperkuat (reinforcing factors). 5. Tahap 5, diagnosis kebijakan dan administrasi: dengan mempelajari faktor predisposisi, faktor pendukung, faktor yang memperkuat, dapat diambil keputusan dalam memilih kombinasi intervensi yang sesuai. Tahap Proceed (melangkah maju): 6. Tahap 6, implementasi intervensi 7. Tahap 7, evaluasi proses 8. Tahap 8, evaluasi dampak 9. Tahap 9, evaluasi hasil akhir / evaluasi outcome PRECEDE Tahap 5 PROMOSI KESEHATAN Pendidikan kesehatan Kebijakan Peraturan organisasi Tahap 6 Tahap 4 Tahap 3 Tahap 2 Tahap 1 Faktor Predisposisi Faktor Reinforcing Faktor Enabling Tahap 7 Perilaku & gaya hidup Masalah Kesehatan Kualitas hidup Nonperilaku : Lingkungan Tahap 8 Tahap 9 PROCEED Gambar 2.8 Precede-­‐Proceed Model [93] 30 Sebuah studi di India mengevaluasi efektivitas program screening dan rujukan untuk melihat respon anak sekolah dalam mencari perawatan gigi. Studi ini menyimpulkan bahwa screening dan motivasi secara bermakna meningkatkan persentase anak sekolah yang pergi mencari perawatan gigi sebanyak 3 kali lipat lebih besar dibandingkan anak sekolah yang tidak mendapatkan program screening.[94] 2.5.4.3 Identifikasi Perilaku secara Multidimensi Biopsikososial pada Anak Prasekolah Identifikasi perilaku pada anak prasekolah meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi biofisik, psikologis, dan sosial. 2.5.4.3.1 Dimensi Biofisik Pada anak usia 3-­‐5 tahun, perkembangan fisik meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus. Anak usia ini merasa senang dengan pencapaiannya. Mereka belajar mengkoordinasikan kelompok ototnya yang besar-­‐besar, mereka bisa naik turun tangga, melempar bola, menangkap bola, dan mereka tidak pernah lelah berlari dan bermain petak umpet. Anak usia 5 tahun dapat menulis huruf besar dan angka. Mereka dapat belajar menggunakan gunting, cat, pensil, krayon. Untuk kelompok umur ini, program permainan berbasis komputer lebih interaktif dan mengena untuk anak, yang tanpa perlu bisa membaca, tetapi merupakan sarana bermain dan belajar.[95] Untuk mendapatkan kekuatan biofisik, nutrisi penting diperhatikan pada masa ini. Apa yang dimakan anak berdampak pada pertumbuhan tulang dan gigi, bentuk tubuh, serta kemampuan melawan penyakit. 2.5.4.3.2 Dimensi Psikologis Perkembangan kognitif dan kemampuan memproses informasi mulai terjadi. Anak mempunyai pikiran imajinasi. Pada usia 5 tahun, pemikiran logis dan pemahaman mengenai waktu mulai timbul. Mereka bersifat egosentris, tidak mampu membedakan bahwa cara pandang diri sendiri mungkin berbeda dengan orang lain. Sesudah usia 3 tahun, mereka baru bisa mengingat suatu informasi. Pada masa ini pula, anak mulai berinteraksi sosial. Rasa takut dan fobia, terutama takut gelap, dimulai pada usia awal anak. Jika anak mengalami trauma maka dapat terjadi kelainan depresi paska trauma. Menggunakan anak lain sebagai model, dapat melatih 31 respons empati pada anak.[95] Pada masa ini anak harus dilatih supaya bisa melakukan sesuatu dengan lebih baik, termasuk cara menggosok gigi. 2.5.4.3.3 Dimensi sosial Dimensi sosial berupa keluarga dan kelompok; yang juga mempengaruhi perkembangan perilaku anak adalah peran ibu, peran ayah, jumlah saudara sekandung, teman seusia anak. Selain itu, yang mempengaruhi perkembangan perilaku anak adalah komunitas sekolah dan sistem yang menunjang. Melibatkan orangtua sangat penting untuk menjamin kesuksesan anak. 2.6 Ringkasan Faktor Risiko Karies gigi Gambar 2.9 Interaksi berbagai faktor risiko karies gigi. [3] Tabel 2.1 akan menyajikan ringkasan berbagai faktor risiko yang pernah diteliti dan dianggap berhubungan dengan karies gigi dari berbagai literatur, disertai dengan Odds Rationya (jika dicantumkan dalam literatur). 32 Tabel 2.1 Ringkasan Faktor Risiko Karies gigi FAKTOR RISIKO KARIES GIGI NO LITERATUR 1 [79] Jumlah Streptococcus mutans, jumlah lactobacillus, banyaknya asupan karbohidrat 2 [43] Streptococcus mutans 3 [96] Saliva, morfologi permukaan gigi, kesehatan umum, status nutrisi, status hormonal, diet, bakteri, kebersihan gigi, ketersediaan fluor 4 [9] Berat badan saat lahir (OR=7,9) 5 [97] Aliran saliva, kapasitas buffer saliva, pengobatan sistemik yang menyebabkan xerostomia, Sjorgen syndrome dan kondisi yang berhubungan, spesifik Imunoglobulin A dalam saliva 6 [98] Saliva 7 [32] Keturunan / genetik 8 [99] Kunjungan ke dokter gigi, konsumsi permen, etnis, jenis kelamin 9 [77] Streptococcus mutans 10 [100] Berat badan saat lahir, umur anak terkena S.mutans, jumlah S. mutans, status karies gigi sulung, plak secara jelas nampak pada gigi anterior rahang atas, pendidikan ortu, penghasilan ortu 11 [36] Status sosial ekonomi 12 [58] Riwayat karies gigi terdahulu, pendidikan orangtua, status sosial ekonomi, DMF-­‐S, morfologi pit dan fisur. 13 [28] Pengalaman karies gigi terdahulu, penyakit yang berpengaruh, konten diet, frekuensi diet, jumlah plak, jumlah mutans streptococci, asupan fluor, sekresi saliva, kapasitas buffer saliva 14 [31] Status karies gigi sulung (OR=2,6) 15 [101] Frekuensi asupan karbohidrat 16 [40] Umur ibu 17 [69] Ekologi berbagai bakteri dalam plak 18 [102] Pola diet yang mengandung gula 19 [24] Riwayat karies gigi masa lampau, Streptococcus mutans, aliran saliva, kebersihan mulut 20 [35] Penghasilan keluarga, minum susu sambil tertidur (OR=1,9) 21 [2] Akuisisi S. mutans pada usia dini, pola diet, kebiasaan cara makan 22 [103] Dehidrasi ringan 33 NO LITERATUR FAKTOR RISIKO KARIES GIGI 23 [41] Perilaku orangtua 24 [22] Kariogenik biofilm 25 [57] Riwayat karies gigi terdahulu, jumlah plak, jenis diet, frekuensi asupan karbohidrat, sekresi saliva, fluor 26 [104] Frekuensi paparan gula, bakteri kariogenik, berkurangnya aliran saliva 27 [105] Frekuensi asupan gula bebas, jumlah gula bebas 28 [38] Pekerjaan ibu (OR=14,4), kandungan makanan (OR=2,3), frekuensi sikat gigi (OR=4,2), pendidikan ibu (OR=2,3), minum susu sambil tertidur (OR=1,2), Berat badan saat lahir (OR=1,3) 29 [85] Frekuensi asupan gula, konsumsi gula di antara makan besar 30 [33] Anak dengan kebiasaan tidak makan pagi atau makan kurang dari 5 jenis sayur dan buah (OR=3,77) 31 [16] Streptococcus mutans, substrat, host 32 [1] Diet & plak, aliran saliva, kapasitas buffer saliva, oral clearance rate, pH saliva 33 [42] Persepsi orangtua 34 [88] Konsumsi makanan kariogenik, praktik kesehatan gigi ibu 35 [37] Pendidikan orangtua (OR=2,5), penghasilan keluarga, frekuensi asupan gula (OR= 2,5) 36 [106] Ibu tidak bergigi 37 [107] Faktor diet, pembersihan gigi, mikrobiologi, sosiodemografi, pengalaman karies gigi terdahulu 38 [23] Saliva, diet, fluor, biofilm, modifying factors 39 [44] Streptococcus mutans dari plak 40 [106] Pendidikan ibu (OR=2,4), umur ibu (OR=1,6), status ekonomi (OR=1,8), frekuensi sikat gigi (OR=1,3) 41 [29] Frekuensi makan (OR=3,2) 42 [65] Obesitas, frekuensi makan, lama makan 43 [73] Tubulus dentin yang besar pada gigi sulung 44 [78] Actinomyces sp. strain B19SC, Streptococcus mutans, lactobacillus spp. 45 [108] Pemberian ASI saat tidur malam, konsumsi gula, makan nasi yang telah dikunyahkan oleh ibu 34 NO LITERATUR 46 [34] FAKTOR RISIKO KARIES GIGI Cara pemberian makanan pada anak, cara pembersihan gigi, persepsi orangtua, anak yang menunda membersihkan gigi sampai usia 24 bulan, sosial ekonomi rendah 47 [39] Perokok pasif (OR=2,1) 48 [17, 18] Pemberian ASI dalam jangka waktu lebih dari 18 bulan 49 [26] Kariogenik biofilm 50 [109] Mutans streptococci, plak, ngemil malam hari, frekuensi asupan gula, pekerjaan ibu, latar belakang imigran 51 [51] Plak yang nampak mata, frekuensi ngemil makanan ringan, lesi interproksimal/ radiolusensi interproksimal, white spot/ diskolorasi pada oklusal (OR=1,5) 52 [110] Streptococcus sobrinus 53 [111] Index DMF-­‐T ibu, pendidikan ibu, kebiasaan cara pemberian makan anak 54 [68] pH Plak 55 [82] Mutans streptococci pada plak dan saliva 56 [112] Jumlah Streptococcus mutans dan lactobacilli 57 [87] Konsumsi soft-­‐drink pada masa gigi sulung 58 [55] Bakteri, kebersihan mulut, organisme spesifik, plak, fluor, pengalaman karies gigi masa lampau, kesehatan umum, faktor demografi 59 [113] Soft-­‐drink sebagai faktor risiko kesehatan umum (misal diabetes) 60 [4] Faktor fisik, biologis, lingkungan, faktor yang berhubungan dengan gaya hidup Dari berbagai faktor risiko yang disebutkan di atas, faktor risiko yang tersering dilaporkan bermakna khususnya terhadap karies gigi pada anak dan memegang peranan penting adalah sebagai berikut. 1. Pola diet, meliputi frekuensi diet, banyaknya karbohidrat, kebiasaan cara makan, jenis karbohidrat, pemberian susu / ASI, kebiasaan makan permen, lama makan, kebiasaan minum soft-­‐drink. 2. Bakteri, kebanyakan menyebutkan S.mutans. 3. Kebersihan gigi 4. Pendidikan ibu 5. Pengalaman karies gigi terdahulu 6. Penghasilan orangtua/ sosial ekonomi 7. Biofilm 35 8. Morfologi gigi 9. Fluor 10. Berat Badan saat lahir 11. Umur ibu 12. Saliva 13. Genetik 14. White spot dan diskolorasi fisur 2.7 Pencegahan Karies gigi Untuk bisa mengatasi karies gigi terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai faktor yang memberi kontribusi terjadinya karies gigi , penetapan diagnosis yang akurat, serta kemampuan mendeteksi dan menangani lesi aktif. Pemilihan terapi bergantung pada permukaan daerah lesi karies gigi, tingkat risiko, aktivitas penyakit, umur anak. Misalnya, progres lesi proksimal pada anak risiko tinggi tanpa paparan fluor membutuhkan waktu 18 bulan, sedangkan pada anak risiko rendah memerlukan waktu 40 bulan. Artinya, tidak semua lesi proksimal yang tampak pada radiografik harus diintervensi dengan penambalan karena belum tentu semua berakhir menjadi kavitas. Terdapat bukti kuat bahwa untuk mencegah ataupun memperlambat proses karies gigi pada anak-­‐anak terdapat beberapa faktor penting yang harus dimodifikasi, yaitu pola diet, kebersihan mulut, asupan fluor, dan intervensi berupa sealant,[114] seperti dipaparkan berikut ini. 2.7.1 Pola Diet Salah satu cara untuk mencegah Early Childhood Caries adalah dengan membatasi pemberian makanan kariogenik. Namun usaha untuk mengedukasi orang tua mengenai hal ini, tidak banyak membuahkan hasil.[41, 48, 49] Sebuah penelitian terkini berusaha mengganti sukrosa dengan silitol karena silitol tidak dapat dimetabolisir oleh bakteri sehingga tidak terbentuk asam. Penggunaan permen karet yang mengandung silitol, 3-­‐5 kali per hari, selama minimum 5 menit sesudah makan, dapat mencegah akumulasi plak, mencegah demineralisasi, merangsang remineralisasi, dan menurunkan hitung mutans streptococci.[90] 36 Rekomendasi mengenai pola makan sebenarnya cukup sederhana,[114] yaitu sebagai berikut. 1. Membatasi frekuensi makan/ intake menjadi 5-­‐6 kali per hari, berarti 3 kali makan besar dan 3 kali makan ringan. Hindarkan kebiasaan “ngemil” di antara waktu makan. 2. Batasi pemberian permen dan snack manis menjadi satu kali seminggu (“Saturday sweets”). 3. Jika pemberian permen tidak bisa dihindarkan, berikan produk dengan pemanis pengganti sukrosa, misalnya silitol dan sorbitol. 4. Kurangi minum-­‐minuman yang asam seperti soft-­‐drink, jus buah, dan minuman sport. 2.7.2 Menjaga Kebersihan Mulut WHO menyarankan menggosok gigi dua kali sehari cukup efektif mengurangi perkembangan karies gigi. Menggosok gigi lebih dari dua kali sehari dapat memberikan proteksi tambahan. Namun, hal itu tidak disarankan untuk anak prasekolah, mengingat semakin sering sikat gigi maka risiko tertelannya Fluor menjadi lebih tinggi pula.[105] Alternatif lain adalah dengan berusaha mencegah transmisi bakteri dari ibu ke bayinya, dengan cara mengontrol bakteri ibu. Pendekatan yang lain dengan mencegah terakumulasinya Streptococcus mutans hingga level yang patogenik, dengan pemberian agen antimikroba secara topikal. Menurut penelitian di Puerto Rico, antimikroba yang bisa digunakan adalah 10% povidon iodin, dioleskan pada gigi bayi dua bulan sekali.[2] 2.7.3 Fluor dalam Pasta Gigi Peran fluor dalam pencegahan karies gigi sudah dikenal sejak 50 tahun yang lalu. Secara umum, fluor bekerja melalui tiga cara, yaitu (1) memperlambat perkembangan karies gigi dengan menghentikan proses demineralisasi, (2) meningkatkan ketahanan email terhadap serangan asam dengan cara membantu proses remineralisasi terhadap hidroksiapatit dan mengubahnya menjadi fluorapatit, (3) dalam dosis tinggi dapat menghentikan metabolisme bakteri.[1] Tabel 2.2 berikut ini menjelaskan asupan fluor yang direkomendasikan bagi anak prasekolah dan perkiraan ambang batas risiko terjadinya fluorosis.[1, 19, 115] 37 (117) Tabel. 2.2 Rekomendasi asupan Fluor harian dan (116) perkiraan ambang batas risiko fluorosis gigi tetap Umur 0-­‐6 bulan 6-­‐12 bulan 1-­‐3 tahun 4-­‐6 tahun Berat Badan (kg) 7 9 13 22 Kecukupan asupan (mg/hari) 0,01 0,5 0,7 1,1 Ambang batas risiko fluorosis gigi tetap (mg/ hari) 0,7 0,9 1,3 2,2 Bagi anak usia prasekolah, pemberian fluor dalam pasta gigi adalah sarana pencegahan karies gigi yang paling murah, mudah didapat, sekaligus efektif. Berikut adalah kandungan fluor dalam berbagai sediaan pasta gigi. (116) Tabel 2.3 Kandungan fluor dalam sediaan pasta gigi Pasta Gigi Konsentrasi Fluor Dosis Fluor dalam 1 aplikasi 1500 ppm F 0,15% F 0,6 g = 0,9 mg F 1000 ppm F 0,1%F 0,6 g = 0,6 mg F 500 ppm F 0,05% F 0,4 g = 0,2 mg F 250 ppm F 0,025% F 0,4 g = 0,1 mg F Produsen pasta gigi menggunakan bahan aktif yang berbeda-­‐beda, yang paling sering digunakan ada dua, yaitu sodium fluoride dan sodium monofluorophosphat. Oleh karena itu pada tabel di bawah ini ditampilkan kandungan pasta gigi yang ekuivalen dengan Fluor dalam satuan ppm (parts per million).[3] (3) Tabel 2.4 Kandungan fluor dalam pasta gigi yang ekuivalen dengan ppm F Fluoride (ppm) Sodium Fluoride Sodium monofluorophosphate (% by weight) (% by weight) 1500 0,32 1,14 1000 0,22 0,76 500 0,11 0,38 Ambang batas untuk risiko terjadinya fluorosis gigi tetap adalah asupan Fluor sekitar 0,04-­‐0,1 mg F/kg berat badan per hari dalam jangka panjang yang terjadi pada saat periode pembentukan gigi tetap (umur 2-­‐4 tahun).[19] Dosis toksik untuk anak adalah jika tertelan 5 mg F/kg berat badan, anak akan mengalami pusing dan muntah. Jika anak menelan fluor melebihi 15 mg/kg berat badan, bisa menimbulkan kematian. Penggunaan pasta berfluor 38 pada anak di bawah usia 6 tahun harus diperhatikan, mengingat anak sering menelan pasta gigi karena rasanya manis dan karena anak belum bisa mengontrol refleks menelannya dengan baik. Dosis pasta gigi untuk anak di bawah usia 2 tahun adalah pasta gigi dioleskan tipis (smear) pada sikat gigi. Untuk 2-­‐6 tahun disarankan pasta gigi diberikan seukuran butiran kacang polong (pea-­‐sized) atau sekitar 0,25 g pasta gigi.[19, 115] Sebuah sikat gigi anak bisa menampung 0,7-­‐1 g pasta gigi (full strip). Pemilihan pasta gigi untuk anak harus dibedakan dengan pasta untuk orang dewasa karena kandungan fluor di dalamnya berbeda. Terapi dengan fluor ada dua macam, yaitu intensitas rendah dan intensitas tinggi. Yang dimaksud intensitas rendah adalah terapi menggosok gigi dengan pasta gigi berfluor sesuai anjuran ADA (American Dental Association). Sedangkan yang dimaksud intensitas tinggi adalah pemberian gel fluor, varnish fluor, dan pasta atau obat kumur fluor konsentrasi tinggi. Namun untuk lesi awal yang terdapat pada pit dan fisur, terapi fluor kurang dapat bekerja efektif. Karena itu untuk penanganan lesi awal pada pit dan fisur disarankan untuk diberikan sealant.[6] 2.7.4 Pemberian CPP ACP (Casein Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate) Kehilangan Calcium phosphate dari “subsurface” email dikenal sebagai white spot. Gambaran putih pada gigi karena adanya fenomena optik yang terkait dengan porositas email. Pada stadium ini proses adalah reversible dan dimungkinkan ion calcium dan ion phosphate, biasanya dalam bentuk ion netral pasangan CaHPO40 , mengadakan difusi kedalam lesi subsurface untuk memperbaiki kehilangan apatit, yang disebut proses “remineralisasi”. Secara klinis aplikasi larutan yang mengandung ion calcium dan ion phosphate, ternyata tidak mampu mengadakan remineralisasi karena kelarutan Calcium Phosphate yang rendah dan tidak dapat menempel cukup lama di permukaan email. Riset terkini menemukan kemampuan sediaan Casein-­‐Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate nanocomplexes (CCP-­‐ACP) mampu mengurangi aktivitas karies gigi. CPP-­‐ACP mampu menstabilkan kelarutan CaHPO40 dan mampu menempel pada permukaan gigi melalui biofilm, sehingga memungkinkan terjadinya remineralisasi.[1] CPP-­‐ ACP terbukti mampu terlokalisir pada permukaan gigi, melekat pada biofilm supragingival, dan mempunyai daya anti karies gigi seperti tampak dalam gambaran di bawah ini.[1] 39 Gambar 2.10 Perlekatan CPP-­‐ACP pada supragingival biofilm (Prof. Eric Reynolds) (1) 2.7.5 Tindakan Sealant dan Surface Protection Pemberian sealant terbukti dapat menghentikan laju karies gigi pada lesi awal (incipient lesion)[1]. Pemberian sealant di atas lesi awal, yaitu fisur yang mengalami staining, diskolorasi coklat kehitaman, namun belum terjadi kavitasi; dapat menghentikan proses karies gigi. Pemberian sealant memungkinkan kerja antibakteri di dalam sealant untuk mengeliminir reservoir bakteri pada pit dan fisur.[6] Surface protection adalah konsep yang lebih maju dalam tindakan sealant. Konsep ini menggunakan bahan semen glass ionomer yang flowable dan memiliki kandungan fluor tinggi. Surface protection berarti tidak hanya men-­‐seal, tetapi sekaligus mematangkan struktur gigi dan menggantikan ion karbonat pada hidroksiapatit gigi dengan kompleks kalsium, fosfat, fluor, sehingga terbentuklah ikatan fluorapatit pada gigi sehingga lebih tahan asam. Gambar 2.11 Gigi yang diberi proteksi surface protection (permission Assoc. Prof. Hien Ngo) 40 2.8 Indikator Prediksi Karies gigi Saat ini adalah lebih penting tidak hanya mengetahui faktor risiko, tetapi membuat prediksi kejadian karies gigi agar bisa disusun strategi pencegahannya. Berikut ini adalah beberapa upaya menemukan prediktor karies gigi. Norman merekomendasikan perlunya indikator untuk memprediksi risiko karies gigi anak, yaitu dengan mengamati ada tidaknya karies gigi pada anterior rahang atas, dan karies gigi permukaan proksimal molar sulung. Senada dengan Norman, Li menganjurkan menggunakan karies gigi molar sulung dan karies gigi sulung anterior rahang atas sebagai indikator risiko karies gigi pada anak.[31, 100] Domenick menggunakan status pengalaman karies gigi, pendidikan orang tua, dan status ekonomi untuk memprediksi kejadian karies gigi sulung. Anak dengan dmf-­‐t lebih dari 10 berisiko 3,5 kali lebih besar untuk mengalami karies gigi pada gigi tetapnya.[58] Beberapa faktor yang dapat digunakan untuk memprediksi karies gigi pada anak menurut Hausen [24] adalah sebagai berikut. a) Pengalaman karies gigi masa lampau (status def-­‐t) b) Status karies gigi sulung umur 6 th merupakan prediktor kuat untuk memprediksi karies gigi pada umur 7-­‐13 tahun c) Mutans Streptococci dalam saliva d) Flow rate saliva e) Kebersihan mulut Sementara itu, menurut Bratthall dalam program komputer Cariogra,[56] prediktor karies gigi meliputi hal-­‐hal sebagai berikut. a) Pengalaman karies gigi (berdasarkan DMF-­‐T, DMF-­‐S setahun terakhir) b) Penyakit yang berpengaruh (berdasarkan catatan medis dan pengobatan yang dijalani pasien) c) Kandungan makanan (berdasarkan perkiraan kariogenisitas makanan yang terlihat dari riwayat diet dan penghitungan jumlah Lactobacillus) d) Frekuensi makan (berdasarkan pencatatan diet selama 3 hari, dicari rata-­‐ratanya untuk satu hari yang biasa) e) Jumlah plak (berdasarkan indeks plak, misalnya Loe-­‐ Silness) 41 f) Streptococci dan mutansnya (berdasarkan hasil tes strip mutans) g) Program Fluor (berdasarkan paparan fluor hasil tanya jawab dengan pasien) h) Sekresi saliva (berdasarkan nilai tes stimulasi sekresi saliva) i) Kapasitas buffer saliva (berdasarkan nilai tes kapasitas buffer menggunakan Dentobuff) j) Penilaian klinis (berdasarkan pendapat subjektif pemeriksa) 2.8.1 Cariogram Cariogram adalah suatu cara untuk menggambarkan interaksi antara berbagai faktor yang berperan dalam proses terjadinya karies gigi . Tujuan dikembangkannya program edukatif dan interaktif ini adalah untuk memperoleh suatu pemahaman lebih mendalam tentang aspek multifaktorial karies gigi , dan sekaligus berperan sebagai penuntun dalam memperkirakan risiko karies gigi . Program ini dapat digunakan baik di klinik maupun untuk pendidikan. Tujuan Cariogram adalah memperlihatkan risiko karies gigi secara grafis, dengan penekanan pada peluang menghindari terjadinya karies gigi baru (misalnya mencegah terbentuknya kavitas baru atau “gigi berlubang”) di masa mendatang. Cariogram juga menggambarkan bagaimana pengaruh faktor faktor terhadap peluang tersebut. Tujuan lebih lanjut dari program ini adalah untuk memacu diperkenalkannya cara-­‐cara pencegahan sebelum terbentuk kavitas baru. Cariogram tidak mengambil alih penilaian serta tanggung jawab pemeriksa, tetapi dapat digunakan sebagai sarana berharga dalam pengambilan keputusan. 2.8.1.1 Faktor yang Harus Dipertimbangkan dalam Memperkirakan Risiko Karies gigi Faktor-­‐faktor ini dapat dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut. a) Faktor yang berperan langsung dalam proses karies gigi , baik sebagai penyerang maupun sebagai mekanisme pertahanan, pada perkembangan lesi. Yang termasuk sebagai penyerang adalah plak gigi, adanya mikroorganisme tertentu dalam plak (termasuk mutans streptococci), serta pola makan gula dan karbohidrat. Yang termasuk mekanisme pertahanan adalah sistem pertahanan saliva serta keterpaparan terhadap fluor. Ini adalah faktor-­‐faktor kunci yang menentukan terjadinya karies gigi atau tidak, pada permukaan gigi tertentu dimana faktor-­‐faktor berinteraksi. 42 b) Faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya karies gigi , tetapi tidak secara aktif ikut berperan dalam perkembangan lesi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah faktor sosio ekonomi dan pengalaman karies gigi di masa lampau. Faktor yang demikian dapat dianggap sebagai indikator risiko karies gigi , dan tidak berperan dalam “pembuatan kavitas”. Cariogram dibuat berdasarkan faktor-­‐faktor dalam kelompok pertama. Tidak berarti bahwa faktor-­‐faktor dalam kelompok kedua diabaikan karena berperan secara tidak langsung pada perubahan faktor-­‐faktor kelompok pertama. Sebagai contoh, keadaan sosial ekonomi yang miskin dapat berpengaruh buruk terhadap kebersihan mulut dan pola makan seseorang. Faktor-­‐faktor yang secara langsung mengenai gigi, tergantung pada “dosis”, “frekuensi”, dan “jangka waktu”. Karena itu, setiap faktor harus dilihat bertolak dari pemikiran demikian. Misalnya, plak dengan jumlah yang sangat banyak (dosis tinggi) hanya mengindikasikan risiko tinggi jika frekuensi terjadinya sering, dan untuk jangka waktu yang lama. 2.8.1.2 Cariogram -­‐ Lima Bagian Sektor. Cariogram adalah diagram Pie (Pie diagram), seperti tampak pada layar monitor, terdiri atas lima bagian sektor (lihat gambar di bawah) dengan warna-­‐warna sebagai berikut: hijau, biru tua, merah, biru muda dan kuning, serta menandakan kelompok faktor yang berbeda yang mempengaruhi karies gigi. Berikut ini penjelasan setiap bagian sektor. Gambar 2.12 Diagram pie Cariogram 43 Bagian sektor hijau menggambarkan perkiraan “Peluang menghindari timbulnya gigi berlubang” Bagian sektor hijau ini akan langsung terpengaruh bila faktor lain mengambil bagian dalam diagram tersebut. Bagian sektor biru tua menggambarkan faktor pola makan, yaitu kombinasi dari komponen diet dan frekuensi makan. Bagian Sektor merah menggambarkan faktor bakteri, yaitu kombinasi banyaknya plak dan kandungan Streptococcus mutans. Bagian sektor biru muda menggambarkan faktor kerentanan, yaitu kombinasi adanya program fluor, sekresi air ludah dan kapasitas buffer dari air ludah. Bagian sektor kuning menggambarkan faktor lingkungan/keadaan lain yang berpengaruh, yaitu kombinasi dari pengalaman masa lalu dan penyakit yang terkait. Bagian sektor hijau makin besar makin baik bagi kesehatan gigi. Bagian sektor hijau kecil berarti peluang kecil untuk menghindarkan diri dari karies gigi berarti risiko tinggi terjadinya karies gigi. Untuk bagian sektor lain, makin kecil bagian sektor makin baik ditinjau dari kesehatan gigi. Sebagai kesimpulan, Cariogram menunjukkan pola risiko karies gigi seseorang tinggi, sedang, atau rendah. Cariogram menunjukkan juga untuk individu yang diperiksa faktor apa yang bertanggung jawab terhadap risiko karies gigi . Hasilnya menunjukkan juga langkah-­‐ langkah apa untuk perbaikan yang lebih baik dampaknya. Cariogram hanya menampilkan risiko karies gigi saja, tidak mempertimbangkan masalah kesehatan gigi lainnya seperti fraktur gigi atau tumpatan, dan pewarnaan yang mungkin menyebabkan perlunya tumpatan baru yang lebih banyak. 2.8.1.3 Dampak Nyata dari Perkiraan Peluang Menghindarkan Karies gigi Peluang menghindarkan diri dari karies gigi (bagian sektor hijau) dan risiko karies gigi menerangkan proses karies gigi yang sama tetapi berlawanan. Bila peluang besar maka risiko kecil demikian sebaliknya, seperti tampak berikut ini. Tabel 2.5 Peluang menghindari karies gigi menurut Cariogram RISIKO KARIES GIGI PELUANG MENGHINDARI DARI KARIES GIGI CARIOGRAM Risiko tinggi = Peluang menghindari diri dari karies gigi kecil = Sektor hijau kecil Risiko rendah = Peluang menghindari diri dari karies gigi besar = Sektor hijau besar 44 Evaluasi risiko karies gigi dapat dianalogikan dengan prakiraan cuaca. Untuk memperoleh hasil yang tepat, perlu informasi dari beberapa faktor seperti arah angin, kecepatan angin, suhu, kelembaban dari atmosfir bumi dan sebagainya. Ahli metereologi mengumpulkan data yang diperoleh dan mengolahnya dan meramalkan untuk daerah tertentu misalnya 80% akan terjadi hujan lebat. Untuk pendengar, ini berarti kemungkinan terjadinya hujan lebat adalah tinggi tetapi tidak berarti mutlak akan terjadi hujan lebat. Bisa saja terjadi didaerah tertentu hujannya tidak lebat. Bila evaluasi Cariogram menunjukkan, misalnya adanya 80% peluang menghindarkan diri dari karies gigi, sebagai hasil perhitungan semua faktor terkait, ini berarti ada 80% peluang untuk menghindarkan diri dari timbulnya karies gigi baru di masa depan. Aktivitas karies gigi akan rendah, sejauh pasien tidak berubah dari pola hidupnya dan faktor-­‐faktor yang menjadi dasar pertimbangan ramalan tetap dipegang teguh. Program Cariogram, dalam keadaan normal, tak akan menunjukkan angka 0% atau 100% peluang untuk menghindarkan diri dari risiko karies gigi. ( bila ada angka demikian karena adanya pembulatan angka). 2.8.1.4 Bagaimana Membentuk Sebuah Cariogram ? Untuk memunculkan gambar Cariogram, pemeriksa harus terlebih dulu memasukkan penilaian dari berbagai faktor, seperti nampak pada sisi sebelah kanan layar. Pemeriksa harus mengumpulkan informasi secara akurat melalui tanya jawab dan pemeriksaan klinis pasien. Pada beberapa komponen, seperti saliva dan bakteri, harus dilakukan tes dignostik lebih lanjut agar diperoleh penilaian yang tepat untuk menggambarkan Cariogram. Pemeriksa harus memiliki informasi yang relevan dalam menggunakan program ini agar Cariogram yang tampil benar-­‐benar menggambarkan profil karies gigi pasien yang bersangkutan. 45 Gambar 2.13 Tampilan Cariogram Bratthal, Kariogram versi Internet edisi Bahasa Indonesia versi 2.01 2.9 Kerangka Teori Dari Gambar 2.14 terlihat bahwa kerangka teori mengikuti model perencanaan kesehatan dengan pendekatan precede karena dinilai paling tepat menggambarkan masalah karies gigi yang erat hubungannya dengan teori perilaku. Langkah pertama adalah dengan menetapkan karies gigi sebagai masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup anak. Karies gigi disebabkan oleh faktor perilaku dan nonperilaku anak. Perilaku anak secara spesifik dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan praktik anak, selain itu juga dipengaruhi oleh ibu dan pengasuhnya. Faktor enabling berupa tersedianya UKGS dan pelayanan kesehatan gigi. Selanjutnya setelah mempelajari faktor yang mempengaruhi, barulah dapat diambil keputusan dalam memilih kombinasi intervensi yang sesuai, meliputi penyuluhan, surface protection, terapi remineralisasi. Jika intervensi sudah diimplementasikan dan dievaluasi, selanjutnya kebijakan akan membantu sustainabilitas program. Berdasarkan teori-­‐teori pendukung yang telah dikemukakan sebelumnya, dapatlah disusun suatu kerangka teori yang akan mendasari dilakukannya penelitian ini. 46 Pencegahan: • Pendidikan kesehatan • Prediktor karies gigi • Terapi remineralisasi • Surface Protection Kebijakan Peraturan Organisasi Faktor predisposisi : • Pengetahuan • Sikap • Praktik • Persepsi • Values Faktor Reinforcing • Perilaku Ibu • Perilaku Pengasuh • Perilaku Guru Faktor Enabling • UKGS • Pelayanan kesehatan gigi Faktor Perilaku dan gaya hidup anak: • Pola diet kariogenik • Higiene mulut Kualitas hidup anak : • Keterbatasan fungsi • Rasa sakit • Ketidak nyamanan psikis • Beban biaya pengobatan jangka panjang KARIES GIGI ANAK Faktor Nonperilaku: • Sos eko • Pendidikan ortu • Umur ibu • Genetik • Saliva • Biofilm • Fluor • Struktur gigi Gambar 2.14 Framework PRECEDE yang diaplikasikan pada Usaha Kesehatan Gigi Sekolah [93, 116] 47 BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS Berdasarkan tinjauan pustaka dan latar belakang permasalahan di depan, serta dari kerangka teori, maka dipilihlah variabel-­‐variabel tertentu yang diperkirakan berhubungan dengan karies gigi anak yang dapat diintervensi di jenjang sekolah TK. Dalam penelitan ini variabel-­‐variabel yang dipilih dibatasi sebagai berikut. 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Perilaku dan gaya hidup anak: • Konsistensi makanan • Kebiasaan ngemut makanan • Makan sayur • Suka permen • Frekuensi permen • Frekuensi sikat gigi • Sikat gigi malam • Penggunaan pasta • Sikat gigi sendiri/ dibantu • Lama ASI • Lama susu botol • Frekuensi susu • Susu ditambah gula • Suka minuman soft-­‐drink • Faktor Pengetahuan dan sikap Ibu • Faktor praktik kesehatan ibu Faktor Nonperilaku Ibu: Karies gigi anak Pendidikan ibu Umur ibu Pekerjaan ibu Ada pengasuh/ tidak • Jenis pengasuh • • • • SIMULATOR Faktor nonperilaku anak: • Umur • Jenis kelamin • Berat Badan lahir • IMT • White spot • Diskolorasi fisur • Gigi berjejal • pH saliva • pH biofilm Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian 48 Gambar 3.1 mengenai kerangka konsep penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut. Karies gigi anak dipengaruhi oleh faktor perilaku anak, dalam hal ini yang akan diteliti adalah khas anak prasekolah, yaitu konsistensi makanan, kebiasaan ngemut makanan, kebiasaan makan sayur, kebiasaan makan permen, frekuensi permen, frekuensi sikat gigi, sikat gigi malam, penggunaan pasta gigi, sikat gigi sendiri/ dibantu, lama ASI, lama susu botol, frekuensi susu, susu ditambah gula, kebiasaan minum soft-­‐drink. Karies gigi anak juga dipengaruhi oleh faktor nonperilaku anak, seperti umur, jenis kelamin, IMT, white spot, diskolorasi fisur, gigi berjejal, pH saliva, dan pH plak. Mengingat anak prasekolah masih sangat bergantung pada ibu, maka diteliti pula pengaruh faktor pengetahuan, sikap, dan praktik kesehatan ibu yang diterapkan pada anak, serta faktor nonperilaku ibu, seperti pendidikan, umur, pekerjaan, dan pola pengasuhan. Faktor pengetahuan dan sikap ibu diletakkan terpisah dari faktor praktik kesehatan ibu, mengingat pengetahuan dan sikap yang baik belum tentu berlanjut dengan praktik, sedangkan dalam pencegahan karies gigi yang betul-­‐betul berperan adalah praktiknya. Selanjutnya dari faktor-­‐faktor yang menyebabkan karies gigi pada anak prasekolah, akan disusun sebuah simulator prediksi karies gigi anak. Maka dengan demikian dapatlah diajukan hipotesis sebagai berikut. 49 Hipotesis Penelitian 1. Faktor anak (jenis kelamin, umur, berat badan saat lahir, indeks massa tubuh, white spot, diskolorasi fisur, gigi berjejal, pH saliva, pH biofilm, konsistensi makanan, kebiasaan mengemut makanan, kebiasaan makan sayur, kebiasaan makan permen, frekuensi makan permen, frekuensi sikat gigi, penggunaan pasta gigi, sikat gigi sendiri/dibantu, lama pemberian ASI, lama pemberian susu botol, frekuensi minum susu, susu diberi tambahan gula, kebiasaan minum soft-­‐drink, kebiasaan sikat gigi malam) dan faktor ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, praktik kesehatan gigi), serta faktor ada tidaknya pengasuh, tipe pengasuh, secara bersama-­‐ sama berkontribusi terhadap risiko terjadinya karies gigi pada anak prasekolah. 2. Faktor-­‐faktor di atas dapat membentuk instrumen simulasi risiko karies gigi yang dapat diterima penggunaannya oleh dokter gigi dan perawat untuk memotivasi orang tua dan anak. 50 BAB IV METODA PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross-­‐sectional, dengan variabel dependen dan variabel independen diukur pada waktu yang bersamaan. Pemilihan desain ini dirasakan adekuat untuk menyusun simulator prediksi karies gigi. Studi cross-­‐sectional akan melakukan pengukuran variabel pada satu titik waktu, untuk menentukan apakah subjek masuk kategori terpapar/tak terpapar dan mengalami karies gigi /tidak karies gigi. Keuntungan studi ini adalah tidak adanya intervensi, dan dapat dilakukan dengan cukup cepat dan mudah. Selain itu, hanya dilakukan satu kali pengukuran saja pada sejumlah besar variabel, sehingga dari segi biaya studi ini cukup hemat.[117] Desain cross-­‐sectional untuk studi ini dapat digambarkan sebagai berikut. Murid TK Penabur Sampel Diukur Faktor Risiko Faktor Risiko Tak ada Faktor Risiko Tak ada Faktor Risiko Ada Karies gigi Tidak Karies gigi Ada Karies gigi Tak Ada Karies gigi Gambar 4.1 Rancangan studi cross-­‐sectional [117] 51 4.2 Alur Penelitian Penelitian ini memerlukan beberapa tahapan operasional, dan dapat digambarkan dalam bagan alur penelitian sebagai berikut. Pemeriksaan intra oral dan anamnesa Kuesioner Ibu dan Pengasuh Pemeriksaan spesifik (saliva dan biofilm) Diagnosis Karies gigi Pemrograman komputer Rekomendasi Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian Yang Dilakukan Pertama kali dilakukan pengisian kuesioner yang diberikan pada ibu dari anak yang bersangkutan. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan intra oral dan anamnesa pada anak, dilanjutkan dengan pemeriksaan pH saliva dan pH biofilm yang akan dilakukan pada pagi hari sebelum istirahat makan. Diagnosis karies gigi disertai rekomendasi dicatat dalam kartu status. Selanjutnya, berdasarkan data yang ada, dilakukan pembuatan model risiko karies gigi dan selanjutnya penyusunan program komputer. 4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilakukan di TK BPK PENABUR Jakarta. Pertimbangan pemilihan tempat adalah karena peneliti merupakan koordinator UKGS di tempat tersebut sehingga mempermudah aksesibilitas. Namun, pertimbangan utamanya adalah kondisi di tempat ini ideal untuk dijadikan lahan studi. Cocok dengan masalah penelitian. Jumlah murid cukup banyak, tersebar di seluruh Jakarta. UKGS sudah berjalan baik, walaupun di tingkat TK baru 52 dilakukan kegiatan edukasi dan menggosok gigi bersama. Ada tenaga dokter gigi dan perawat di setiap sekolah. Kerja sama dalam penyelenggaraan UKGS sudah cukup baik. Rekam medis setiap siswa tersedia lengkap. Akses kepada orangtua murid maupun pengasuh cukup mudah. Bahan dan alat untuk merawat karies gigi anak tersedia cukup, sehingga murid tidak hanya dipakai sebagai objek penelitian tetapi, kegiatan studi juga akan berfungsi sebagai pemantauan dan evaluasi perawatan giginya sepanjang bersekolah di BPK PENABUR (sampai dengan kelas 6 SD). Waktu pelaksanaan : Januari -­‐ Februari 2008 4.4 Populasi dan Sampel Populasi target adalah anak prasekolah yang tercatat sebagai murid taman kanak-­‐kanak di Jakarta yang orang-­‐tuanya termasuk kelas sosial-­‐ekonomi menengah dan menengah ke atas. Populasi studi adalah murid TK yang bersekolah di BPK PENABUR. Sebagai gambaran perlu dikemukakan bahwa sekolah-­‐sekolah BPK PENABUR di Jakarta berjumlah 13, dan tersebar di seluruh bagian Jakarta : Pusat, Barat, Timur, Utara, Selatan, kecuali Pulau Seribu. Gambar menunjukkan distribusi yang merata sekolah BPK PENABUR di Jakarta menurut lokasinya. Pemilihan populasi studi oleh karenanya non-­‐random. Namun, mengingat karakteristik sekolah dan distribusinya yang menyebar di seluruh wilayah Jakarta maka dapat dianalogikan dengan sampling kluster. Gambar 4.3 Distribusi TK BPK PENABUR Jakarta di DKI Jakarta dan sekitarnya 53 Selain itu, kondisi sosial-­‐ekonomi orangtua murid masih cukup bervariasi, ada yang termasuk kelas menengah atas, menengah dan sebagian ada yang menengah bawah. Kondisi sosial-­‐ekonomi lebih mudah diinterpretasi berdasarkan jumlah uang masuk sekolah yang bervariasi menurut tingkat sekolahnya. Kondisi seperti ini dapat dipakai sebagai justifikasi analogi sampling stratifikasi. Jadi, dengan mengambil semua sekolah BPK PENABUR sebagai populasi studi dapat diestimasikan bahwa sampel yang diambil dapat merepresentasikan kondisi murid-­‐murid TK di Jakarta karena menyerupai clustered stratified sampling. Sebagai sampel adalah murid TK BPK PENABUR yang terdaftar sebagai murid aktif pada tahun 2007. Jumlah semua murid TK adalah 2.887 orang yang tersebar di 13 sekolah. Ibu dan pengasuh subjek menjadi responden yang akan diambil datanya dengan kuesioner untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan kesehatan gigi/mulut anak. 4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Subjek Kriteria subjek 1. Anak sehat pada saat pemeriksaan 2. Merupakan murid TK yang terdaftar di 13 TK BPK PENABUR Kriteria eksklusi 1. Anak menolak saat pemeriksaan 2. Anak dengan kelainan sistemik 4.6 Besar Sampel Untuk membuktikan sejumlah faktor risiko terhadap karies gigi anak, dilakukan perhitungan besar sampel minimal sebagai berikut. Rumus yang digunakan (sesuai rancangan studi Cross-­‐Sectional): d = Z p x q x N-­‐ n n N-­‐ 1 d = Penyimpangan terhadap populasi, umumnya 0,05 Z = Nilai koefisien kepercayaan 95% = 1,96 p = Proporsi kemungkinan terjadinya peristiwa = 0,813 q = 1-­‐ p = 0,187 N = Besarnya populasi yang akan diteliti = 120.000 54 n = Besar sampel 0,05 = 1,96 0,152 x 120.000 – n n 119.999 n = 233 Total sampel minimal = 233 anak Antisipasi desain effect = 233 x 2 = 466 anak Namun, untuk meningkatkan presisi, seluruh murid TK di PENABUR akan diambil sebagai sampel (sekitar 2.887 murid). Jadi dilakukan sensus (total sampel) pada penelitian ini. 4.7 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian Tabel 4.1 Variabel dan definisi operasional VARIABEL DEPENDEN DEFINISI OPERASIONAL YG SKALA DIUKUR Status Karies gigi Sesuai kriteria Survey WHO, 1997 : Ada / Nominal Ada atau tidaknya karies gigi berupa gigi tidaknya (0=secara klinis dengan kavitas kasat mata maupun gigi Decay tidak tampak yang telah ditambal (pernah berlubang). dan atau kavitas, Gigi berlubang adalah gigi dengan kavitas Filling 1= ada kavitas tampak mata pada pit/ fisur/ permukaan Gigi kasat mata/ ada sulung tambalan) halus, dasar kavitas lunak, email undermined, gigi dengan sekunder karies gigi , serta gigi dengan tumpatan [5] sementara . White spot dan diskolorasi fisur dianggap bebas karies (considered as free caries. [6, 62] 55 Variabel Definisi Operasional Alat bantu Skala Independen Umur Ulang tahun terakhir Tanggal lahir Rasio Jenis Kelamin Laki/ Perempuan Nominal Indeks massa tubuh Berat badan dibagi tinggi badan kuadrat Catatan Berat Rasio badan dan tinggi badan Berat Badan saat Berat badan saat lahir dalam gram Kuesioner Rasio Tampilan gigi dengan white spot pada Nominal lahir White Spot (16) sepertiga servikal gigi (tempat dimana biofilm 1= ada diperkirakan banyak melekat). Pemeriksaan 0 = tidak ada secara visual. (16) Tidak tampak kavitas secara klinis. Gigi dibersihkan dari debris dan dikeringkan dengan kapas. Riwayat penyakit Penyakit berat atau keadaan yang Kuesioner Nominal Kategori : 1= ada 0 = tak ada Kuesioner Nominal mempengaruhi perkembangan karies gigi (misalnya asma, dan sebagainya yang menyebabkan anak perlu dirawat di rumah sakit). Kandungan susu Kariogenisitas susu, khususnya apakah susu diberi tambahan gula. 0=tidak 1=diberi gula Frekuensi susu Jumlah frekuensi pemberian susu untuk satu hari yang biasa. kuesioner Nominal 0= 3 kali sehari atau kurang 1= lebih dari 3 kali sehari 56 Variabel Definisi Operasional Alat bantu Skala Independen Fisur yang Ada tidaknya gigi dengan fisur yang mengalami mengalami diskolorasi coklat/ kehitaman, diskolorasi coklat/ tidak tampak kavitas secara klinis. kehitaman (16) (16) Nominal 0=tidak ada 1=ada Pemeriksaan dilakukan secara visual, gigi dibersihkan dari debris, dikeringkan dengan kapas dan dilakukan gentle probing menggunakan probe jika perlu [118] . Tujuan dari gentle probing adalah memeriksa apakah ada jaringan gigi yang lunak pada permukaan fisur. pH Biofilm Perkiraan 5 menit, kemampuan bakteri dalam pH plaque check Interval biofilm mengubah sukrosa menjadi asam. pH Saliva Keasaman saliva yang diukur dengan kertas Kertas Lakmus Interval lakmus Konsistensi makanan Kebiasaan anak makan makanan dengan Kuesioner Nominal dilembutkan dahulu atau tidak setiap harinya 0=normal 1=lunak Kebiasaan ngemut Kebiasaan anak mengemut makanan setiap makanan harinya (prolonged eating time) Kuesioner Nominal 0=biasa 1=mengemut Kebiasaan makan Kebiasaan anak makan dengan ada menu sayur sayuran tiap harinya Kuesioner 0=suka sayur 1= tidak suka sayur Kebiasaan anak Kebiasaan anak makan permen setiap harinya Kuesioner makan permen 0=tidak suka permen 1= tiap hari makan permen Frekuensi makan Frekuensi anak makan permen dalam sehari Kuesioner Frekuensi sikat gigi Frekuensi anak sikat gigi dalam sehari Kuesioner Penggunaan pasta Penggunaan pasta gigi tiap hari saat Kuesioner gigi menggosok gigi permen 57 Variabel Definisi Operasional Alat bantu Skala Independen Kebiasaan supervised Kebiasaan anak saat menggosok gigi diawasi toothbrushing atau dibantu orang tua Lama menyusui Lama pemberian ASI eksklusif pada anak, (pemberian Air Susu dihitung dengan satuan bulan Kuesioner Nominal Kuesioner Rasio Kuesioner Rasio Kuesioner Nominal Ibu) Lama pemberian Lama pemberian susu menggunakan botol susu dengan botol dihitung dengan satuan bulan Kebiasaan minum Kebiasaan anak minum soft-­‐drink, dihitung soft-­‐drink berdasarkan kebiasaan anak minum soft-­‐ 0 =tidak suka drink lebih dari sekali seminggu. 1= minum soft-­‐ drink > 1 kali seminggu Sikat gigi malam Kebiasaan anak untuk selalu menggosok gigi sebelum tidur setiap malam sebelum tidur Kuesioner Nominal Kuesioner Nominal Kuesioner Nominal Kuesioner Nominal Keluarga perokok Ada salah satu anggota keluarga anak yang merokok Pengasuh Keluarga anak memiliki pengasuh/ maid khusus untuk mengasuh si anak Tipe pengasuh Pengasuhan dilakukan oleh anggota keluarga (ibu/ nenek/ kakek/ bibi) atau pengasuhan dilakukan oleh ibu dibantu pengasuh profesional/ maid Pengetahuan dan Pengisian kuesioner yang dibagikan kepada Kuesioner Rasio sikap ibu ibu Praktik kesehatan ibu Pendidikan ibu Pendidikan terakhir ibu Kuesioner Nominal Pekerjaan ibu Pekerjaan ibu Kuesioner Nominal Umur ibu Ulang tahun terakhir ibu Kuesioner Nominal 4.8 Cara kerja Pengumpulan data diintegrasikan dengan program rutin UKGS TK dengan modifikasi. Ada empat kelompok kegiatan di dalam rangka pengumpulan data. 58 4.8.1 Kelompok kegiatan I (kaitan dengan orang tua/wali murid) 1. Secara lisan orang tua telah diberi informasi tentang program pengumpulan data guna peningkatan kesehatan gigi anak TK 2. Secara tertulis dibagikan informasi serta persetujuan orang tua murid/wali murid 3. Dibagikan kuesioner dari hasil “FGD” yang telah diuji coba dan dianalisis validitasnya 4. Diharapkan surat persetujuan orang tua/wali murid dikembalikan beserta kuesioner yang telah diisi 5. Pemeriksaan pH saliva, pH biofilm dan disclosing solution two tones telah dipaparkan pada hari jadi UKGS BPK PENABUR yang ke-­‐30 6. Banyak orang tua yang mengajak anaknya untuk diperiksa saliva, maupun kematangan biofilm. 7. Hasil pemeriksaan cukup menggugah orang tua anak bila dijumpai kelainan termasuk nasihat antisipasi mengatasi kelainannya. 4.8.2 Kelompok Kegiatan II (kaitan dengan yayasan) 1. Persetujuan dari ketua yayasan menggunakan data anak TK untuk kepentingan penelitian. 2. Mengambil data anak TK meliputi nama, nomor absen, nama orang tua/wali murid, tanggal lahir, jenis kelamin, tinggi dan berat badan dari file tata usaha tiap TK. 4.8.3 Kelompok Kegiatan III (kaitan dengan program pemeriksaan gigi) 1. Pemeriksaan gigi dilakukan oleh dokter gigi sebagai pemeriksa dan perawat gigi sebagai pencatat. 2. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bias pengamat, dokter gigi dan perawat gigi, sebagai pemeriksa dan pencatat, memeriksa murid TK yang bukan binaannya (silang antar-­‐TK). 3. Satu perawat gigi setempat bertindak sebagai pengatur alur kegiatan 59 Cara pengukuran dengan memanggil satu per satu murid untuk diperiksa mulutnya a. Pemeriksaan Intra oral, yaitu pemeriksaan karies gigi sulung dan jumlah permukaan gigi yang terkena karies gigi. b. Pemeriksaan spesifik, yaitu pemeriksaan derajat keasaman (pH) saliva Sebelum pemeriksaan, anak sudah tidak makan atau minum selama paling sedikit satu jam. Pemeriksaan dilakukan sebelum istirahat makan. Anak diminta meludahkan saliva ke cawan. Kemudian Saliva pH paper dicelupkan ke dalam cawan. Setelah 10 detik, cocokkan perubahan warna pada pH paper sesuai dengan warna pada tabel dari manufaktur untuk menentukan derajat keasaman (pH) saliva. [23] Gambar 4.4 Urutan pemeriksaan indikator pH saliva (permission GC Asia Dental Pte. Ltd) • Pemeriksaan derajat keasaman (pH) biofilm Sampel biofilm diambil dari salah satu gigi anterior atas (elemen gigi 51 atau 61) menggunakan stik plastik sekali pakai. Lalu, sampel biofilm dicelupkan ke dalam larutan sukrosa (larutan A) dan stik segera ditaruh pada pad untuk menunggu 5 menit. Setelah 5 menit, perubahan warna yang terjadi pada biofilm dicocokkan dengan warna pada tabel dari manufaktur untuk menentukan derajat keasaman (pH) biofilm. 60 Gambar 4.5 Urutan pemeriksaan indikator pH biofilm (permission GC Asia Dental Pte. Ltd) 4. Periksa kondisi gigi dengan kaca mulut catat dalam format pemeriksaan. Pemeriksaan intra oral dilakukan dengan bantuan cahaya lampu. 4.8.4 Kelompok Kegiatan IV (kaitan dengan program sikat gigi massal) 1. Program sikat gigi massal ditugaskan kepada perawat gigi (2 orang) , dan dilakukan di depan cermin dan wastafel. • Pemeriksaan kematangan biofilm dengan Disclosing gel 2 tone. Pemeriksaan kematangan biofilm dilakukan pada hari yang berbeda. Anak yang diperiksa paling sedikit tidak makan dan minum selama 1 jam sebelum pemeriksaan. Disclosing gel 2 tone dioleskan pada gigi geligi menggunakan microbrush. Selanjutnya anak diminta berkumur. Setelah itu, dicatat hasil pewarnaan yang terjadi. Warna ungu menunjukkan biofilm yang sudah matang (berumur lebih dari 48 jam), sedangkan warna merah menunjukkan biofilm yang baru terbentuk. Hien Ngo Gambar 4.6 Pemeriksaan biofilm dengan two-­‐tone disclosing solution (Permission GC Asia Dental Pte. Ltd) 61 2. Amati perubahan warnanya dan catat ke dalam tabel yang telah disediakan 3. Anak diajarkan menyikat giginya sehingga warna yang menempel pada biofilm hilang seluruhnya 4.8.5 Pengumpulan Data 1. Empat kelompok data terpisah akan dikumpulkan pada komputer peneliti, dan tidak dapat diakses siapa pun 2. Data empat kelompok disinkronkan menjadi kesatuan data. 3. Data dibersihkan, dianalisis, dan variabel yang tidak signifikan dihapus. 4. Data yang signifikan digunakan sebagai bahan pembuatan “simulator” 4.8.6 Uji Reliabilitas dan Validitas 1. Kuesioner ibu Untuk alasan kepraktisan dan biaya, data mengenai perilaku ibu dikumpulkan melalui kuesioner mandiri yang diisi sendiri oleh responden. Untuk mengontrol reliabilitas, maka pemilihan kata didasarkan pada pendapat ibu yang sebelumnya telah dikumpulkan melalui Focus Group Discussion. Uji kuesioner pertama dilakukan pada 40 sampel ibu menggunakan uji reliabilitas Cronbach’s Alpha, dan selanjutnya hasil perbaikan kuesioner kembali diujikan pada 130 ibu. Kuesioner diujikan bukan pada ibu yang akan mengikuti penelitian. Untuk mengurangi kemungkinan bias responden maka pengumpulan data dengan kuesioner dilakukan 2 kali dengan selisih 3 minggu. Selisih jawaban yang terjadi antara kuesioner yang pertama dan kedua dikonfirmasi lagi kepada ibu. 2. Pelatihan dan Kalibrasi Untuk meningkatkan reliabilitas pengambilan data, sebelum penelitian diadakan pelatihan dan kalibrasi kepada 11 dokter gigi dan 11 perawat, dengan nilai kappa 0,7 yang berarti memadai. 4.8.7 Alat Ukur dan Bahan Alat ukur yang digunakan adalah sebagai berikut. • Kartu pemeriksaan karies gigi 62 • Instrument pemeriksaan standar (kaca mulut, pinset, sonde) • Kartu kuesioner kondisi anak terkait faktor risiko karies gigi Bahan : • Saliva pH paper • Plaque pH • Disclosing gel 2 tone 4.9. Manajemen dan Analisis Data Data yang terkumpul kemudian diedit, diberi kode, dan diolah menggunakan program komputer. Setelah itu, dilakukan cleaning data. Kemudian dilakukan analisis statistik dengan urut-­‐urutan sebagai berikut. 4.9.1 Analisis Univariat Langkah pertama analisis statistik dilakukan analisis deskriptif dengan mendistribusikan karakteristik individu dan faktor risiko menurut status karies gigi (ya/tidak-­‐‘ada karies gigi berupa kavitas kasat mata’). Digunakan perhitungan proporsi pada faktor risiko yang berskala nominal terhadap status karies gigi (nominal), serta perhitungan mean±SD dan atau median terhadap variabel berskala numerik (umur, indeks massa tubuh, berat saat lahir, frekuensi makan dll.). 4.9.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat menggunakan uji Chi-­‐Square pada variabel independen dan dependen (status karies gigi ), dengan koreksi Yates khusus pada tabel 2x2 atau Fischer Exact test apabila frekuensi expected kurang dari yang dipersyaratkan. Selain menghitung nilai-­‐p, akan dihitung pula nilai POR (Prevalence Odds Ratio) & 95% Confidence Interval POR faktor-­‐faktor risiko terhadap status karies gigi anak. 4.9.3 Analisis Multivariat Untuk menyusun simulator digunakan analisis faktor dan Multivariate Logistic Regression (MLR) yang akan mencari faktor bermakna untuk memprediksikan status karies gigi [119]. Sesuai dengan saran Sander & Greenland, maka akan dipilih faktor-­‐faktor risiko dari 63 hasil uji bivariat yang mempunyai nilai-­‐p < 0,25 yang akan dimasukkan ke dalam model persamaan multivariat. Hasil analisis terakhir akan didapatkan model persamaan regresi yang parsinomi, dan dapat dipakai sebagai perhitungan risiko adjusted pada setiap anak yang dikumpulkan data faktor risikonya. Persamaan ini akan menghasilkan perhitungan probabilitas terkena karies gigi di masa yang akan datang sehingga dapat dijadikan dasar untuk rencana intervensi pencegahan karies gigi. Hasil persamaan ini dengan pemrograman komputer dapat dibuat simulator interaktif yang memungkinkan operator setara perawat/guru terlatih untuk dapat memasukkan (input) faktor risiko terpilih, kemudian dengan menyentuh tombol sederhana akan dikeluarkan output berupa perhitungan besar risiko dengan penggolongannya (tinggi, sedang, rendah) dan output rekomendasi perawatan selanjutnya untuk menjaga anak tetap dalam kondisi yang mempunyai status kesehatan gigi yang optimal. 4.10 Masalah Etika Penelitian ini dilakukan dengan mengindahkan etika kedokteran (gigi) yang berlaku (sesuai dengan deklarasi Helshinki). Proposal ini telah diajukan ke Panitia Etika Penelitian Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia dan telah dinilai kelayakannya serta mendapat persetujuan. (Surat Lolos Uji Komisi Etik FKG-­‐UI terlampir). Penelitian ini melakukan pemeriksaan intraoral pada setiap murid TK untuk menentukan status karies gigi, kebersihan mulut, dan lain-­‐lain. Pemeriksaan seperti ini sebetulnya sudah merupakan kegiatan rutin pada sekolah-­‐sekolah yang dikelola BPK PENABUR, yang sudah terbukti tidak membahayakan pasien. Sebelum mengikuti penelitian, subjek diberi tahu mengenai segala sesuatu yang akan dilakukan pada penelitian ini. Jenis pemeriksaan yang akan dilakukan adalah pengambilan sampel ludah, pengambilan sampel biofilm, pemeriksaan gigi, dan pengisian kuesioner. Bahan disklosing akan dipakai untuk memeriksa biofilm. Bahan ini sudah mendapatkan approval keamanan standard FDA dan telah dinyatakan aman. Pemeriksaan gigi pada anak akan menggunakan instrumen diagnostik standar kedokteran gigi yang telah disterilisasi sebelumnya. Pengambilan sampel biofilm menggunakan stik sekali pakai sehingga tidak ada risiko infeksi silang. Pada responden orang tua murid akan dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Pada setiap kuesioner akan disertakan penjelasan tentang 64 pengambilan data yang akan dilakukan dengan disertai informed consent (persetujuan setelah penjelasan) yang harus ditanda-­‐tangani. Tidak ada kondisi yang menyebabkan para orang-­‐tua terpaksa menyetujui pemeriksaan yang dilakukan pada anaknya yang bersekolah di TK Penabur. Peneliti yang menjadi koordinator UKGS di TK Penabur tidak berhubungan langsung dengan para orang-­‐tua murid. Pemberian informasi dan permintaan persetujuan tertulis dilakukan dengan mengirimkan surat dan formulir persetujuan untuk ditandatangani melalui guru kelas masing-­‐masing. Tidak ada sanksi apapun yang diberikan pihak sekolah maupun peneliti terhadap murid yang orangtuanya tidak setuju anaknya untuk diikutsertakan dalam penelitian. Semua informasi yang didapatkan dalam penelitian bersifat tertutup (rahasia). Pada setiap karies gigi yang ditemukan akan dilakukan perawatan yang sesuai (misal penambalan gigi berlubang sesuai diagnosis). Penyuluhan dan penanggulangan karies gigi pada subjek dilakukan oleh peneliti dan tim kesehatan gigi sekolah. Para orangtua yang menolak anaknya diperiksa atau dirawat dengan tindakan akan diberikan surat yang menjelaskan kondisi kesehatan gigi mulut anak dan saran untuk melakukan tindakan pada dokter gigi yang mereka pilih sendiri. Sebagai tambahan informasi, di UKGS Penabur tindakan pemeriksaan dan intervensi gigi pada murid TK selalu dimintakan tanda-­‐tangan persetujuan. Selama ini hanya 20% yang menolak anaknya untuk dirawat, namun semua orangtua mengijinkan kalau hanya dilakukan pemeriksaan intra-­‐oral saja. Para orangtua yang menolak anaknya dirawat giginya di UKGS Penabur umumnya dari kalangan menengah ke atas yang memiliki dokter gigi keluarga sehingga tidak merasa perlu untuk merawatkan gigi anaknya ke UKGS. Hasil penelitian ini akan dipakai sebagai dasar pengembangan simulator yang akan diterapkan langsung terhadap murid-­‐murid TK BPK PENABUR. Manfaatnya akan sangat besar karena dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas program prevensi karies gigi. 4.11 Risiko pada Program Modifikasi 1. Meludah di cawan (disposable), pengukuran pH saliva di luar mulut dinyatakan aman (keterangan keamanan bahan tercantum pada Material Safety Data Sheet). 2. Mengambil sampel biofilm dengan “disposable stick” dinyatakan aman. 3. Mewarnai gigi dengan disclosing solution sudah menjadi program umum dan dapat diterima anak. 65 4. Disclosing two tones aman penggunaannya (keterangan keamanan bahan tercantum pada Safety Data Sheet 91/155 EEC & 93/ 112 EEC ). Pemeriksaan pH saliva, pH biofilm dan “disclosing solution two tones” telah dipaparkan pada hari jadi UKGS BPK PENABUR yang ke-­‐30. Banyak orang tua yang mengajak anaknya untuk diperiksa saliva, plak maupun kematangan biofilm. Hasil pemeriksaan cukup menggugah orang tua anak bila dijumpai kelainan, termasuk nasihat antisipasi mengatasi kelainannya. 4.12 Manfaat bagi Anak yang diperiksa 1. Secara langsung, segera dapat diketahui kelainan sehingga dapat dilakukan intervensi (noninvasif) kepada anak. 2. Sebagai bahan diskusi/advokasi kepada orang tua/wali murid untuk perbaikan kesehatan gigi anaknya. 4.13 Manfaat Hasil Penelitian 1. Simulator diisi dengan variabel anak yang diperiksa. 2. Simulator menunjukkan kelebihan dan kekurangan kondisi anak. 3. Simulator menjelaskan faktor-­‐faktor yang turut berperan terhadap kesehatan gigi anak 4. Simulator adalah sebatas alat bantu, pendapat/kesan dokter gigi/keluarga tetap menjadi pertimbangan untuk intervensi. “In Case of Emergency” 1. Setiap TK/SD ada klinik UKGS dengan peralatan yang memadai. 2. Pada setiap kegiatan, dokter gigi selalu siap di tempat. 66 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Profil Subjek Penelitian Total subjek yang berhasil dikumpulkan datanya meliputi 2.656 murid TK dan KB. Subjek penelitian diambil dari 14 TK dan tingkat kelas kelompok bermain (KB) sebanyak 34 kelas, taman kanak-­‐kanak A (TKA) sebanyak 43 kelas, dan taman kanak-­‐kanak B (TK B) sebanyak 45 kelas. Total ada 122 kelas dengan jumlah murid sebanyak 2.768 anak (Participatory rate 95,95%). Dari Tabel 5.1 di bawah ini dapat diketahui bahwa subjek yang terambil tersebar di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan perbandingan yang seimbang, yaitu 525 subjek dari Jakarta Barat dan sekitarnya, 504 subjek dari Jakarta Pusat, 502 subjek dari Jakarta Timur dan sekitarnya, 534 subjek dari Jakarta Utara, dan 591 subjek dari Jakarta Selatan dan sekitarnya. Tabel 5.1 Deskripsi jumlah kelas dan jumlah murid per TK Lokasi TK Wilayah KB TK A TK B Jumlah kelas Jumlah murid Jumlah diperiksa Participatory Jumlah / rate (%) wilayah Daan Mogot Jakarta Barat 4 5 5 14 339 331 97,64 Kota Modern Tangerang 2 3 3 8 198 194 97,98 Pasar Baru Jakarta Pusat 2 2 2 6 143 141 98,60 Pembangunan Jakarta Pusat 2 2 2 6 172 169 98,26 Gunung Sahari Jakarta Pusat 2 2 2 6 146 142 97,26 Menteng Atas Jakarta Pusat 1 1 2 57 52 91,23 Cipinang Jakarta Timur 4 4 4 12 224 207 92,41 Taman Mini Jakarta Timur 1 1 2 4 84 82 97,62 Cawang Jakarta Timur 2 2 2 6 112 111 99,11 Cikarang Bekasi 1 3 4 8 117 102 87,18 Kelapa Gading Jakarta Utara 4 6 6 16 403 386 95,78 Pluit Jakarta Utara 3 3 2 8 151 148 98,01 Bintaro Jakarta Selatan Tangerang 2 2 4 8 176 168 95,45 6 8 8 22 446 423 94,84 591 34 43 45 122 2.768 2.656 95,95 2.656 Gading Serpong TOTAL 525 504 502 534 Keterangan : KB= Kelompok Bermain, TK A = Taman kanak-­‐kanak kelas A, TK B= Taman kanak kanak kelas B 67 Distribusi umur murid menurut ulang tahun terakhir menunjukkan modus usia murid KB pada usia 3 tahun, TK A pada usia 4 tahun dan TK B pada usia 5 tahun dengan rincian pada Tabel 5.2. Subjek terbanyak pada kelompok umur 5 tahun (38,6%), sedangkan yang berumur 6 tahun hanya 3,3% dan berumur 2 tahun hanya 0,9%. Tabel 5. 2 Distribusi umur subjek Kelas Umur 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun (%) (%) (%) (%) (%) KB 21 (3,6) 554 (93,7) 15 (2,5) 1 (0,2) 0 (0,0) TKA 1 (1,0) 39 (4,3) 809 (89,3) 56 (6,2) 1 (0,1) TKB 0(0) 0 (0,0) 29 (2,8) 919 (89,1) 83 (8,0) Jumlah 22 (0,9) 593 (23,4) 853 (33,7) 976 (38,6) 84 (3,3) Keterangan : Dalam tiap kelompok umur disajikan jumlah anak dan persentase. Jumlah (%) 591 (23,4) 906 (35,8) 1.031 (40,8) 2.528 (100,0) Distribusi jenis kelamin murid menurut kelas menunjukkan bahwa murid laki-­‐laki (52,1%) sedikit lebih banyak dibanding murid perempuan (47,9%) dengan perincian seperti tercantum dalam Tabel 5.3. Tabel 5. 3 Distribusi jenis kelamin murid menurut kelas Jenis Kelas Perempuan Laki -­‐ laki Total N % N % KB 297 49,34 305 50,66 602 TK A 463 47,63 508 52,37 971 TK B 520 48,01 563 51,99 1.083 Total 1.280 48,17 1.376 51,83 2.656 Berdasarkan berat badan lahir (BBL) maka subjek dapat dikelompokkan sebagai berikut. Sebagian besar (53,6%) berada dalam kisaran berat lahir 3-­‐3,4 kg. Tabel 5.4a Distribusi berat badan saat lahir Kelompok Berat Badan Lahir Jumlah anak % ≥ 3,5 kg 518 20,5 3 – 3,4 1.355 53,6 ≤ 2,9 kg 653 25,9 TOTAL 2526 100 Keterangan : Berat badan lahir dikelompokkan berdasarkan kuartil. 68 Sedangkan jika Berat Badan Lahir dikelompokkan berdasarkan kategori Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), maka tampak bahwa ada sekitar 5,3% anak yang memiliki Berat Badan Lahir Rendah, seperti tampak pada Tabel 5.4b di bawah ini. Yang termasuk kategori Berat Badan Lahir rendah adalah bayi yang ketika lahir, berat badannya kurang dari 2,5 kg. Tabel 5.4b Distribusi berat badan saat lahir berdasarkan Berat Badan Lahir Rendah Kelompok Berat Badan Lahir Jumlah anak % ≥ 2,5 kg 2390 94,7 < 2,5 kg 136 5,3 TOTAL 2526 100 Statistik berat badan sekarang, tinggi badan sekarang serta indeks massa tubuh tercantum dalam Tabel 5.4c – 5.4e sebagai berikut. Umur Tabel 5.4c Berat badan (Kg) anak menurut umur dan jenis kelamin (127) hasil penelitian dibandingkan rujukan baku WHO-­‐NCHS Hasil Penelitian Rujukan baku WHO NCHS Median Laki-­‐laki Perempuan Laki-­‐laki Perempuan Umur 3 th N Berat badan 266 263 Minimum 11,5 12,0 Maksimum 30,0 37,0 Rata-­‐rata 17,8 17,1 Median 17,2 16,0 15,2 – 16,5 14,1 – 15,8 Simpang baku 3,7 3,5 Umur 4 th N 391 358 Minimum 12,0 11,0 Maksimum 35,0 35,0 Rata-­‐rata 21,2 19,6 Median 20,0 19,0 16,7 – 18,5 16,0 – 17,5 Simpang baku 4,7 3,9 Umur 5 th N 430 442 Minimum 12,0 12 Maksimum 42,0 37,7 Rata-­‐rata 23,4 22,2 Median 22,0 21,0 18,7 – 20,5 17,7 – 19,4 Simpang baku 5,3 4,6 Keterangan : Median berat badan hasil penelitian dibandingkan dengan median rujukan baku WHO 69 Dari Tabel 5.4c terlihat bahwa median berat badan subjek penelitian menurut kelompok umur dan jenis kelamin semua menunjukkan lebih berat dibanding angka rujukan baku WHO-­‐NCHS. Sedangkan median tinggi badan subjek penelitian menurut kelompok umur dan jenis kelamin semua menunjukkan masih dalam kisaran tinggi badan angka rujukan baku WHO-­‐ NCHS, seperti nampak pada tabel 5.4d berikut. Tabel 5.4 d Tinggi badan (Cm) anak menurut umur dan jenis kelamin (127) hasil penelitian dibandingkan rujukan baku WHO-­‐NCHS Hasil Penelitian Rujukan baku WHO-­‐NCHS Median Umur Tinggi badan Laki-­‐laki Perempuan laki-­‐laki Perempuan 172 163 Umur 3 th N Minimum 80,0 80,0 Maksimum 125,0 130,0 Rata-­‐rata 101,7 99,7 Median 102 100 94,9 – 102,3 93,9 – 101,0 Simpang baku 7,2 6,8 Umur 4 th N 268 230 Minimum 85,0 80,0 Maksimum 130,0 135,0 Rata-­‐rata 109,4 106,6 Median 105 102 102,9 – 109,4 101,6 – 107,8 Simpang baku 7,1 6,5 Umur 5 th N 282 304 Minimum 75,0 89,0 Maksimum 135,0 135,0 Rata-­‐rata 113,7 113,1 Median 115 112 109,9 – 115,6 108,4 – 114,1 Simpang baku 8,7 8,6 Keterangan : Median tinggi badan hasil penelitian dibandingkan dengan median rujukan baku WHO NCHS. Median indeks masa tubuh (IMT) subjek penelitian menurut kelompok umur dan jenis kelamin kelompok ultah ke-­‐3 masih dalam kisaran rujukan baku, tetapi pada kelompok umur ke-­‐4 dan 5 baik laki-­‐laki maupun perempuan lebih tinggi dari pada angka rujukan baku WHO-­‐NCHS, seperti tampak pada Tabel 5.4e. 70 Tabel 5.4e Indeks masa tubuh (IMT) anak menurut umur dan jenis kelamin (127) hasil penelitian dibandingkan rujukan baku WHO-­‐NCHS Hasil Penelitian Dihitung berdasarkan Rujukan baku WHO-­‐NCHS Umur IMT Laki-­‐laki Perempuan Laki-­‐laki Perempuan Umur 3 th N 169 162 Minimum 11,6 10,2 Maksimum 40,2 28,0 Rata-­‐rata 17,4 17,2 Median 16,7 16,6 17,6 15,8 16,0 15,5 Simpang baku 3,5 3,0 Umur 4 th N 266 227 Minimum 10,1 11,0 Maksimum 35,0 31,3 Rata-­‐rata 17,8 17,3 Median 17,4 17,1 15,8 15,8 15,6 15,1 Simpang baku 3,8 3,1 Umur 5 th N 280 301 Minimum 10,1 10,1 Maksimum 37,3 39,9 Rata-­‐rata 18,4 17,6 Median 17,4 16,8 15,5 Simpang baku 4,5 3,8 15,3 15,1 14,9 Keterangan : Median IMT hasil penelitian dibandingkan dengan median rujukan baku dari WHO NCHS Statistik umur ibu terlibat dalam penelitian terdapat pada tabel berikut. Dari Tabel 5.5 terlihat bahwa rata-­‐rata umur ibu adalah 35,6 tahun dengan standard deviasi (simpangan baku) sebesar 4,39 tahun. Tabel 5.5 Umur ibu N Mean Median Modus std. Umur ibu 2.510 35,6 35,3 33,1 4,39 Keterangan : std = standard deviasi 71 Pendidikan ibu menunjukkan data sebagai berikut. Dari Tabel 5.6 di bawah ini terlihat bahwa pendidikan ibu terbanyak berturut-­‐turut adalah Sarjana (S1) 58,4% diikuti SMA 37,2%, Pascasarjana 4%, dan SMP 0,5%. Tabel 5.6 Pendidikan Ibu Pendidikan SMP Jumlah (N) 13 SMA 958 37,2 S1 1.505 58,4 S2 102 4,0 2.578 100,0 Total % 0,5 Pekerjaan ibu menunjukkan data seperti pada tabel 5.7a berikut. Sebanyak 54,5% ibu adalah ibu rumah tangga, 39,1% karyawati, dan 6,5% wiraswasta. Tabel 5.7a Pekerjaan Ibu Pekerjaan Ibu rumah tangga % 1.389 54,5 Wiraswasta 166 6,5 Karyawati 997 39,1 2.552 100,0 Total Jumlah (N) Jika dilakukan tabulasi silang antara pendidikan dan pekerjaan ibu maka seperti terlihat pada tabel 5.7b bahwa ibu dengan pendidikan SMP dan SMA, sebagian besar bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ibu dengan pendidikan Sarjana S1 hampir berimbang antara yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dan karyawati. Ibu dengan pendidikan S2 sebagian besar bekerja sebagai karyawati. Tabel 5.7b Distribusi pendidikan dan pekerjaan ibu Pekerjaan Ibu Ibu rumah tangga Wiraswasta Karyawati SMP 12 (92,3%) 0 (0%) 1 (7,7%) SMA 619 (66,2%) 66 (7,1%) 250 (26,7%) S1 725 (48,7%) 98 (6,6%) 666 (44,7%) S2 22 (22%) 2 (2%) 76 (76%) Total 1378 (54,3%) 166 (6,5%) 993 (39,1%) Keterangan : Tabulasi silang antara pekerjaan ibu dengan pendidikan ibu Pendidikan Ibu Total 13 (100%) 935 (100%) 1489 (100%) 100 (100%) 2537 (100%) 72 5.2 . Hasil Deskriptif Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Ibu Untuk menggali pengetahuan, sikap, dan praktik kesehatan ibu dilakukan pembuatan kuesioner yang selanjutnya diisi oleh ibu secara mandiri. Pertanyaan pada kuesioner menggunakan bahasa yang dipahami oleh ibu, sebagai hasil dari Focus Group Discussion dengan para ibu. Hasil penelitian terkait dengan kuesioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu menunjukkan hasil sebagai berikut. 5.2.1 Pengetahuan Ibu Tabel 5.8 menyajikan kompilasi jawaban pengetahuan ibu diurut berdasarkan tingkat betulnya jawaban dari paling rendah ke paling tinggi. Tabel 5.8 Kompilasi jawaban ibu yang menjawab “betul”, “tidak tahu”, dan “salah” dalam persen (%) No. 11 Pertanyan Betul Tidak tahu 43,2 Salah Pemberian pelapis khusus pada gigi baru tumbuh dapat mencegah gigi 47,2 9,6 berlubang 7 Minum susu dengan botol berisiko terkena gigi berlubang 48,1 20,7 31,1 14 Calsium dan Phosphat dalam sediaan krim dapat dipakai sebagai terapi dalam 48,7 48,3 3,0 pencegahan gigi berlubang 8 Banyak minum soft-­‐drink memperbesar risiko terjadinya gigi berlubang pada 66,4 24,1 9,5 anak 4 Gigi berlubang menyebabkan anak tidak selera makan 77,9 9,8 12,3 6 Minum susu yang manis berisiko menyebabkan gigi berlubang 81,9 5,4 12,7 3 Gigi berlubang bisa dideteksi dengan pengamatan langsung pada gigi 84,3 5,4 10,3 2 Gigi berlubang bisa disebabkan karena mengemut makanan dalam waktu 85,1 6,1 8,8 yang lama 1 Gigi berlubang ditandai dengan lubang yang berwarna coklat kehitaman 90,0 5,0 5,0 10 Penambalan gigi pada anak untuk mencegah kerusakan lebih lanjut 93,2 4,4 2,4 5 Gigi berlubang karena malas menggosok gigi 93,7 1,6 4,7 12 Malam hari setelah minum susu, anak harus menggosok giginya terlebih 97,3 1,8 0,9 dahulu, baru kemudian tidur 9 Gigi berlubang bisa dicegah 98,2 1,3 0,5 13 Pemeriksaan gigi berkala (tiap 6 bulan) penting untuk mencegah gigi 98,7 1,2 0,1 berlubang Keterangan : kuesioner pengetahuan ibu diurutkan berdasar tingkat betulnya jawaban untuk mengetahui penekanan penyuluhan kesehatan gigi. Dari 14 pertanyaan yang menggali pengetahuan ibu, dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% ibu belum memahami cara pencegahan gigi berlubang, yaitu pemberian pelapis khusus pada gigi baru tumbuh (pertanyaan 11), serta terapi dengan Calcium Phosphate (pertanyaan 14). Penyebab gigi berlubang yang masih kurang dipahami ibu adalah minum susu dengan botol (pertanyaan 7), dan banyak minum soft-­‐drink (pertanyaan 8). 73 Sedangkan 98% ibu sudah mengetahui pentingnya memeriksakan gigi anak secara berkala (6 bulan sekali) (pertanyaan 13), dan mengetahui bahwa gigi berlubang bisa dicegah (pertanyaan 9). Sebanyak 90% ibu mengetahui bahwa gigi berlubang ditandai dengan lubang berwarna coklat kehitaman (pertanyaan 1), dan gigi berlubang terjadi karena malas menggosok gigi (pertanyaan 5). Lebih dari 97% ibu mengetahui bahwa malam hari sebelum tidur dan sesudah minum susu, anak harus menggosok giginya terlebih dahulu (pertanyaan 12), serta 93% mengetahui bahwa penambalan gigi dapat mencegah kerusakan lebih lanjut (pertanyaan 10). 5.2.2 Sikap Ibu Tabel 5.9 menyajikan kompilasi jawaban sikap ibu diurut berdasarkan tingkat setujunya jawaban dari paling rendah ke paling tinggi untuk mengetahui penekanan materi penyuluhan kesehatan gigi. Pernyataan setuju berkisar antara 47,7% sampai dengan 98,6%. Tampak dari tabel 5.9. sikap terhadap prevensi terhadap karies gigi yang menggunakan teknologi kedokteran gigi yang relatif baru (surface protectection dan terapi remineralisasi) (pertanyaan 11 dan 14) masih kurang baik. Meskipun 97% ibu setuju bahwa gigi berlubang bisa dicegah (pertanyaan 9), namun terhadap teknologi pencegahan yang baru ini, 38-­‐ 49% ibu masih ragu dan bahkan sekitar 3-­‐14% menyatakan tidak setuju. Lebih dari 50 % ibu tidak setuju dan ragu bahwa minum susu dari botol akan berisiko terhadap gigi berlubang (pertanyaan 7) dan sekitar 33% ibu tidak setuju dan ragu bahwa soft-­‐drink berisiko terhadap gigi berlubang (pertanyaan 8). Namun lebih dari 90% ibu setuju akan perlunya penambalan untuk mencegah kerusakan gigi lebih lanjut (pertanyaan 10), perlunya pemeriksaan berkala (pertanyaan 13). 74 Tabel 5.9 Jawaban sikap ibu yang menjawab setuju, ragu-­‐ragu/ tidak tahu, tidak setuju dalam persen (%) No Pertanyaan S_11 Setuju Ragu-­‐ ragu 38,0 Tidak setuju 14,3 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan gigi yang baru tumbuh 47,7 sebaiknya dilindungi dengan bahan khusus, agar tidak mudah berlubang S_14 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan krim yang mengandung 47,8 49,2 3,0 Calsium dan Phosphat dapat dipakai untuk mencegah gigi berlubang S_7 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan anak yang minum susu 49,1 27,8 23,1 dari botol lebih mudah mengalami gigi berlubang S_1 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan gigi karies adalah gigi 62,1 31,2 6,7 yang berlubang berwarna coklat kehitaman S_8 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan banyak minum soft-­‐ 66,8 27,2 6,0 drink/ minuman berkarbonasi akan menyebabkan gigi anak mudah karies gigi S_3 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan cara mendeteksi gigi 75,1 12,7 12,1 berlubang adalah dengan melihat langsung gigi apakah berlubang/ tidak S_4 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan, anak yang berlubang 79,3 12,6 8,1 giginya akan terganggu selera makannya S_6 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan minum susu yang manis 79,9 10,5 9,5 berisiko meningkatkan gigi berlubang S_2 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan gigi berlubang dapat 82,8 9,9 7,3 terjadi karena mengemut makanan dalam waktu lama S_10 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan anak yang giginya 93,5 4,8 1,8 berlubang perlu ditambal untuk mencegah kerusakan lebih lanjut S_12 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan sehabis anak minum susu 96,9 2,2 0,8 pada malam hari sebaiknya menggosok gigi lebih dulu sebelum tertidur S_5 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan anak yang malas 97,1 2,0 0,8 menggosok giginya, maka giginya mudah berlubang S_9 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan terjadinya gigi berlubang 97,8 1,8 0,3 itu bisa dicegah S_13 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan pemeriksaan berkala 98,6 1,2 0,2 penting untuk dapat mencegah gigi berlubang secara efektif dan efisien Keterangan : kuesioner sikap ibu diurutkan berdasar tingkat betulnya jawaban untuk mengetahui penekanan penyuluhan kesehatan gigi. 5.2.3 Perilaku Praktik Kesehatan Jawaban mengenai praktik kesehatan ibu diurutkan berdasarkan praktik yang belum benar. Dari Tabel 5.10 sekitar 90% ibu yang belum pernah melakukan pencegahan gigi berupa pelapisan gigi dan terapi remineralisasi dengan calcium phosphate (pertanyaan 11 75 dan 14). Lebih dari 50% ibu tidak memeriksakan gigi anak dalam 6 bulan terakhir ke dokter gigi (pertanyaan 13). Lebih dari 75% ibu tidak pernah menambal gigi anak ke dokter gigi. Tindakan pencegahan karies gigi pada anaknya masih bertumpu pada tindakan gosok gigi (pertanyaan 5 dan 9). Berikut ini adalah jawaban para ibu tentang praktik kesehatan para ibu. Tabel 5.10 Kompilasi jawaban ibu ”tidak” dalam persen (%) menjawab kuesioner praktik kesehatan ibu No. PR_11 PR_14 PR_10 PR_13 PR_7 PR_1 PR_16 PR_15 PR_3 PR_2 PR_12 PR_4 PR_8 PR_6 PR_5 PR_9 Pertanyaan Apakah Ibu pernah membawa anak ke dokter gigi untuk melapisi giginya agar tidak mudah berlubang? Apakah ibu pernah memakai krim gigi yang mengandung Calsium dan Phosphat pada anak untuk mencegah gigi berlubang? Apakah Ibu pernah menambal gigi anak ke dokter gigi? Apakah Anda pernah memeriksakan kondisi gigi anak anda ke dokter gigi dalam 6 bulan terakhir? Apakah anak diberikan susu dalam gelas (tidak dengan botol)? Apakah ibu tidak menemui gigi anak anda berlubang, ditandai dengan adanya lubang berwarna coklat kehitaman? Apakah pengasuhan anak tidak dilakukan oleh keluarga sendiri (nenek, tante, dll)? Apakah ibu mempunyai pengasuh anak? Apakah Ibu pernah memeriksa anak secara langsung untuk mendeteksi adanya gigi berlubang? Apakah anak ibu tidak mengemut makanan dalam waktu lama? Apakah setelah anak minum susu malam hari, anak selalu menggosok giginya sebelum tidur? Apakah anak ibu tidak pernah tidak mau makan karena giginya sakit? Apakah anak ibu tidak suka minum soft-­‐drink/ minuman berkarbonasi? Suka=minum soft-­‐drink lebih dari sekali seminggu Apakah susu diberikan tanpa tambahan gula? Apakah Anak anda teratur menggosok gigi tiap hari? Apakah ibu berusaha melakukan pencegahan gigi berlubang untuk anak dengan membantu anak menggosok gigi tiap hari? Tidak 91,0 Kadang 1,0 Ya 8,0 86,0 2,7 11,3 75,3 59,3 0,9 6,2 23,7 34,5 44,2 ( dengan botol) 33,5 (ada lubang) 39,5 (oleh keluarga) 36,6 25,9 10,3 45,5 16,4 50,0 0,2 60,4 17,9 63,4 56,2 19,2 (mengemut) 18,2 25,1 55,7 29,7 52,1 15,8 (pernah) 11,4 (suka) 3,5 ( + gula) 2,6 2,5 6,2 78,0 34,3 54,3 2,0 94,6 10,9 7,7 86,5 89,8 Keterangan : kuesioner praktik ibu diurutkan berdasar tingkat betulnya jawaban untuk mengetahui penekanan penyuluhan kesehatan gigi. 76 5. 3 Hasil Pemeriksaan Mulut Anak Berikut ini adalah hasil pemeriksaan mulut anak, yang dalam penjelasannya akan dibagi menjadi (1) kondisi gigi, (2) pH saliva dan pH biofilm 5.3.1 Kondisi Gigi White spot ditemukan pada 17,3% murid. Diskolorasi fisur ada pada 267 murid atau 10,1%. Caries free (who)(bebas karies gigi) ada pada 1.168 murid atau 44%. Ini berarti prevalensi murid dengan karies gigi (batas d3ft) mencapai 56%. Yang tercatat dalam prevalensi karies gigi adalah murid yang pada saat pemeriksaan dijumpai gigi berlubang (karies gigi aktif), gigi karies gigi tetapi telah terhenti, dan gigi karies gigi yang telah ditambal. Sementara itu, prevalensi karies gigi dengan batas d1ft mencapai 59,5%. Jika total white spot ditemukan pada 17,3% anak, ini artinya hanya 3,5% white spot yang ditemui pada anak yang bebas gigi berlubang. Gigi berjejal ada pada 252 murid atau 9,6%. Berikut adalah kondisi gigi pada subjek penelitian. Tabel 5.11 Kondisi gigi subjek penelitian No Pemeriksaan 1 White spot Tidak ada Ada 2 Diskolorasi fisur Tidak ada Ada N % 2.173 82,7 455 17,3 2.366 89,9 267 10,1 [5]) 3 Caries free dengan batas D3 Karies gigi 1.487 56,0 Bebas karies gigi (bebas gigi berlubang) Bebas karies gigi dengan batas D1 1.168 44,0 Karies gigi 1581 59,5 Bebas karies gigi 1077 40,5 2.372 90,4 252 9,6 4 5 Berjejal Tidak Ya Berikut ini adalah grafik df-­‐t pada subjek penelitian. 77 1400 1200 1000 800 600 400 Count 200 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 decay filling teeth Gambar 5.1 Distribusi frekuensi murid dengan jumlah gigi karies gigi / pernah karies gigi Dari Gambar 5.1 tampak murid dengan caries free (44%) yaitu gigi tanpa lubang (0) selanjutnya murid dengan gigi berlubang satu (1) dan seterusnya hingga semua gigi berlubang (20 gigi) frekuensinya makin sedikit. Rata-­‐rata df-­‐t 2,97 (2,97 gigi berlubang per anak). Perincian lebih mendetil tentang gigi yang terserang karies gigi dan tingkat karies gigi nya tercantum di Tabel 5.12 berikut ini. Jenis gigi sulung yang paling banyak terserang karies gigi adalah gigi 51 dan 61 (gigi seri pertama atas = 39%) diikuti gigi 52 dan 62 (gigi seri kedua atas = 26%) kemudian gigi 74 dan 84 (gigi geraham pertama bawah = 24%). Selanjutnya, mengingat pola gigi yang terserang karies gigi pada anak, dapat dibuat suatu indeks untuk screening bagi ibu, cukup dengan memeriksa gigi anterior atas dan posterior bawah (AAPB) untuk melihat adanya kemungkinan gigi anak karies. Tabel 5.12 Distribusi jenis karies gigi , decay (d), arrested (a), filling (f) dan distribusi menurut jenis gigi dalam persentase Rahang atas Kanan Rahang atas Kiri Gigi 55 54 53 52 51 61 62 63 64 65 %d 10,6 16,9 11,2 20,1 31,1 31,5 20,8 10,3 16,6 10,9 %a 0,7 2,5 2,0 5,5 7,2 7,2 5,0 2,2 2,6 0,8 %f 1,4 2,8 0,2 0,0 0,7 0,5 0,2 0,3 2,9 1,3 %df 12,7 22,3 13,4 25,7 39,0 39,2 26,0 12,8 22,0 12,9 Rahang bawah Kanan Rahang bawah Kiri Gigi 85 84 83 82 81 71 72 73 74 75 %d 13,4 16,8 3,8 3,7 4,7 4,7 4,4 4,2 16,7 14,2 %a 1,3 2,3 0,6 0,9 0,9 0,8 0,7 0,7 2,3 1,4 %f 4,4 5,3 0,1 0,1 0,1 0,0 0,0 0,1 4,7 4,4 %df 19,1 24,4 4,5 4,7 5,7 5,5 5,0 5,0 23,7 20,1 78 Keterangan : merah = gigi berlubang, kuning = karies terhenti, hijau = tumpatan 55 54 53 52 51 61 62 63 64 65 85 84 83 82 81 71 72 73 74 75 Gambar 5.2 Pola karies gigi menurut jenis gigi Secara grafis pola karies gigi menurut jenis gigi dapat digambarkan dalam Grafik 5.2. Dari gigi yang karies, 77,6% dalam kondisi karies gigi (merah), 13,9% dalam kondisi arrested (kuning), dan 8,5% telah ditumpat (hijau). 79 5.3.2 Pemeriksaan pH Saliva dan pH Biofilm Pemeriksaan pH Saliva dan pH Biofilm menunjukkan gambaran sebagai berikut. pH Plak pH Saliva 2000 1200 1000 800 1000 600 Frequency Frequency 400 Std. Dev = ,57 200 Mean = 7,10 N = 2561,00 0 5,00 5,50 5,25 6,00 6,50 7,00 5,75 6,25 6,75 Mean = 6,0 N = 2566,00 0 0,0 7,50 7,25 Std. Dev = ,74 2,0 1,0 7,75 4,0 3,0 6,0 5,0 8,0 7,0 pH Plak pH Saliva Gambar 5.3 Gambaran histogram pH Saliva dan pH Biofilm Rata-­‐rata pH saliva adalah 7,1 (±0,57), sedangkan rata-­‐rata pH plak adalah 6 (±0,74). Dari gambaran tersebut di atas, tampak bahwa ada kecenderungan skor warna tidak merata, tetapi cenderung warna tertentu. Selanjutnya, agar dapat disimpulkan maka pH dikelompokkan sesuai dengan petunjuk manufaktur sebagai berikut. pH Saliva : Merah (lingkungan oral tidak balans) terletak antara pH 5,0 – 5,8. Kuning (waspada) terletak antara pH 6,0 – 6,6. Hijau (lingkungan oral balans sehat) terletak antara pH 6,8-­‐ 7,8. pH Biofilm : Merah (Biofilm bersifat kariogenik) terletak pH 6,0 kebawah. Kuning (waspada) terletak sekitar pH 6,5. Hijau (Biofilm tidak berbahaya) terletak pH 7,0 keatas. Selanjutnya gambaran grafik batang adalah sebagai berikut. pH Saliva 100 pH Plak 70 80 66,2 60 80 50 60 40 20 22,6 30 40 20 15,2 4,8 11,1 10 0 0 5-5,8 6-6,6 6,8-7,8 <6 6,5-6,8 >7 Keterangan : merah = rawan demineralisasi, kuning= waspada, hijau= sehat Gambar 5.4 Gambaran Bar Chart pH Saliva dan pH Biofilm setelah dikelompokkan 80 Tampak 80% anak memiliki pH saliva yang baik, yaitu 6,8-­‐7,8, sedangkan untuk pH biofilm justru kebalikannya. Sebanyak 66,2 % anak memiliki pH biofilm di bawah 6. 5.4 Kebiasaan Murid Kebiasaan makan termasuk makanan yang kariogenik serta perilaku menyikat gigi adalah sebagai berikut. Dari Tabel 5.13 terlihat bahwa murid-­‐murid banyak yang makan permen tiap hari (72,6%), walaupun frekuensinya tersering kurang 2x sehari. Masih 35% murid tidak suka makan sayur. Perilaku sikat gigi sudah baik, namun masih 41,3% murid yang perlu dibantu. No. Tabel 5.13 Kebiasaan makan KEBIASAAN MAKAN N % 2.236 88,8 1 Konsistensi makanan Normal Lunak 274 10,9 Normal/ lunak 7 0,3 2 Ngemut makanan Tidak 1.784 70,3 Ya 643 25,3 Kadang-­‐kadang 110 4,3 3 Suka sayur Ya 1.560 61,5 Tidak 887 35,0 Kadang-­‐kadang 88 3,5 635 25,2 1.827 72,6 54 2,1 498 20,4 4 Kebiasaan makan permen Tidak Tiap hari Kadang-­‐kadang 5 Frekuensi makan permen Tidak makan permen Kadang, < dari 2 kali sehari 1.377 56,4 Sering, > dari 2 kali sehari 567 23,2 6 Frekuensi sikat gigi 1 kali sehari 487 19,3 2 kali sehari 1.729 68,4 3 kali sehari 303 12,0 4 kali sehari atau lebih 7 0,3 7 Pasta gigi Ya 2.491 98,3 Tidak 42 1,7 8 Sikat gigi sendiri /dibantu Ya/ sendiri 1.189 47,4 Dibantu 1.036 41,3 Keduanya 285 11,4 81 5.5 Pola Pemberian Susu Terbanyak ibu menyusui adalah 5,5 bulan ke bawah (61,8%), dan makin lama menyusui makin berkurang frekuensinya. Pemberian susu botol paling banyak adalah 3 tahun jalan. Frekuensi minum susu paling banyak adalah 3 kali sehari (36,9%), diikuti 2 kali sehari (32,2%), bahkan ada yang sampai 4 kali sehari (21,5%). Umumnya susu tidak diberi tambahan gula lagi (95%). Pemberian susu sejak awal dengan ASI, dilanjutkan susu botol dan selanjutnya terlihat dalam tabel berikut. Tabel 5.14 Pola pemberian susu kepada anak No. PEMBERIAN SUSU N % 1 Lama pemberian ASI < 5,5 bln 1.460 61,8 6 -­‐ 11 bln 485 20,5 12 -­‐ 23 bln 260 11,0 24 -­‐ 35 bln 135 5,7 > 36 bln 24 1,0 2 Pemberian susu botol tidak minum susu botol 114 4,5 < 1 tahun (0-­‐11 bln) 157 6,3 tahun 1 (12-­‐23 bln) 238 9,5 tahun 2 (24-­‐35 bln) 393 15,7 tahun 3 (36-­‐47 bln) 716 28,6 tahun 4 (48-­‐59 bln) 576 23,0 > tahun 5 (60 +) 313 12,5 3 Frekuensi minum susu tidak minum susu 12 0,5 satu kali sehari 227 8,9 dua kali sehari 819 32,2 3 kali sehari 938 36,9 4 kali sehari atau lebih 548 21,5 4 Susu diberi gula tidak 2418 95,0 ya 127 5,0 Rata-­‐rata lama pemberian ASI adalah 6,4 bulan ±7,18, sedangkan rata-­‐rata pemberian susu dalam botol adalah 38,7 bulan ±18,10. 82 Bila digambarkan dalam histogram tampak sebagai berikut. Lama pemberian ASI Lama pemberian susu botol 1200 400 1000 300 800 600 200 Std. Dev = 7,18 200 Mean = 6,4 N = 2363,00 0 0,0 10,0 20,0 15,0 30,0 25,0 40,0 35,0 50,0 100 Std. Dev = 18,10 Mean = 38,7 N = 2506,00 0 ,0 75,0 70,0 65,0 60,0 55,0 50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10 0 5, 0 0, 5,0 Frequency Frequency 400 45,0 Lama pemberian ASI Lama pemberian susu botol Gambar 5.5 Lama pemberian ASI dan lama pemberian susu botol dalam bulan 5.6 Hubungan Bivariat Variabel Karakteristik Subjek dengan Karies gigi Dari tujuh (7) variabel karakteristik subjek tercatat tiga (3) karakteristik yang mempunyai hubungan signifikan dengan adanya gigi berlubang, yaitu kelas, umur, dan berat badan saat lahir. Ketiga variabel tersebut menunjukkan adanya hubungan dose response relationship. Penyajian data selengkapnya terdapat pada Tabel 5.15. Semakin tinggi kelas, semakin besar risiko gigi berlubang. Anak TK A memiliki risiko 1,36 kali lebih besar untuk terkena gigi berlubang dibandingkan anak KB. Demikian pula anak TK B memiliki risiko 1,86 kali lebih besar untuk terkena gigi berlubang dibanding anak KB. Sama halnya dengan umur. Semakin tua umur, semakin besar risiko gigi berlubang. Anak umur 4 tahun memiliki risiko 1,35 kali lebih besar terkena gigi berlubang dibandingkan anak umur 3 tahun, dan anak umur 5 tahun memiliki risiko 1,82 kali lebih besar untuk terkena gigi berlubang dibandingkan anak umur 3 tahun. Sedangkan untuk berat badan saat lahir, nampak bahwa semakin rendah berat badan lahir, semakin tinggi risiko gigi berlubang. Anak yang lahir dengan berat badan 2,9 kg atau kurang, memiliki risiko 1,28 kali lebih besar untuk terkena gigi berlubang dibanding anak yang lahir dengan berat badan 3,5 kg atau lebih. 83 Indeks massa tubuh yang merupakan berat badan dibagi tinggi badan kuadrat menunjukkan bahwa makin rendah IMT, makin tinggi risiko gigi berlubang. Tabel 5.15 Tabulasi silang antara variabel karakteristik murid dengan karies gigi No. 1 2 3 Variabel Jenis kelamin Jenis kelas Umur Kriteria Perempuan N gigi berlubang 712 % Nilai-­‐p POR 95% CI 55,7% 0,734 1,03 0,88-­‐1,20 Laki-­‐laki 775 56,3% KB 283 47,0% TK A 530 54,6% TK B 674 62,2% ≤ 3 th 296 47,3% 4 th 503 54,7% ≥ 5 th 688 62,0% p<0,0001* 1 -­‐ 1,36 1,14-­‐1,64 1,86 1,51-­‐2,28 1 -­‐ 1,35 1,12-­‐1,62 1,82 1,48-­‐2,23 0,04162* 1 -­‐ 1,18 0,85-­‐1,25 1,28 1,02-­‐1,47 p< 0,0001* 4 Berat badan saat lahir ≥ 3,5 kg 270 52,1% 3,0-­‐3,4 kg 763 56,3% ≤ 2,9 kg 380 58,2% 0,376 1 -­‐ 0,94 0,75-­‐1,13 1,09 0,86-­‐1,32 1 -­‐ 0,91 0,70-­‐1,18 1,25 0,97-­‐1,60 1 -­‐ 0,87 0,67-­‐1,12 1,38 1,06-­‐1,79 5 Berat badan saat ini ≤18 kg 478 57,3% 18,1-­‐22,0 kg 379 53,6% ≥22,1 kg 387 55,2% ≤105 cm 306 53,9% 105,5-­‐112,4 cm ≥112,5 cm 224 51,5% 288 59,3% ≥18,41 268 53,7% 15,81-­‐18,4 248 50,2% ≤15,80 296 61,5% 6 7 Tinggi badan saat ini Indek massa Tubuh 0,869 0,014* Keterangan : Uji tabulasi silang, *= berbeda bermakna, OR = 1 sebagai based data/ data acuan. 84 5.7 Hubungan Bivariat Variabel Karakteristik Ibu dengan Karies gigi Anaknya. Dari 3 karakteristik ibu ada dua (2) karakteristik yang mempunyai hubungan bermakna dengan karies gigi anaknya. Variabel tersebut adalah umur ibu dan pendidikan ibu. Ibu dengan umur 36 tahun dan lebih memiliki risiko 1,44 kali lebih besar memiliki anak dengan gigi berlubang dibanding ibu umur 36 tahun ke bawah. Cut off point umur ibu 36 tahun didapat dari uji compare means Independent T Test. Selanjutnya ibu dengan pendidikan rendah berisiko lebih tinggi memiliki anak dengan gigi berlubang. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.16. Tabel 5.16 Tabulasi silang antara variabel karakteristik ibu dengan karies gigi anak No. Variabel Kriteria 1 Umur ibu ≤ 35,9 th (based) 2 Pendidikan ibu ≥ 36 th N karies gigi 724 % Nilai p 51,8% p< 0,0001* OR 95%CI 1,44 1,23 – 1,69 250 63,8% ≥ Sarjana 850 52,9% 1 -­‐ SMA/ Akademi 577 60,2% 0,003* 1,35 1,14-­‐1,59 ≤ SMP 8 61,5% 1,42 0,42 – 5,01 0,582 1 -­‐ 1,18 0,84-­‐1,67 1,00 0,84-­‐1,18 3 Pekerjaan ibu ibu rumah tangga (based) Wiraswasta 771 55,5% 99 59,6% Karyawati 553 55,5% Keterangan : Uji tabulasi silang, *= berbeda bermakna, OR = 1 sebagai based data/ data acuan. 5.8 Hubungan Bivariat Variabel Pengetahuan Ibu dengan Karies gigi Anaknya Dari 14 pertanyaan pengetahuan ada 8 pertanyaan yang jawabannya berbeda bermakna antara kelompok karies dan bebas karies. Namun, dari 8 jawaban tersebut yang mempunyai hubungan efek positif yaitu karies gigi relatif lebih kecil dari bebas karies gigi ada dua, yaitu gigi berlubang menyebabkan anak tidak selera makan/ susah makan (pertanyaan 4) dan gigi berlubang karena malas/ tidak teratur menggosok gigi (pertanyaan 5). Ada 6 pertanyaan lainnya yang jawabannya betul, tetapi tidak mempunyai hubungan positif. Artinya pada 6 pertanyaan yang dijawab dengan betul oleh ibu, justru karies gigi anak lebih banyak ditemukan ketimbang pada ibu yang jawabannya salah. Ke 6 pertanyaan 85 tersebut adalah pengetahuan bahwa gigi berlubang ditandai dengan lubang berwarna coklat kehitaman (pertanyaan 1), gigi berlubang bisa disebabkan karena mengemut makanan (pertanyaan 2), minum susu yang manis (pertanyaan 6), gigi berlubang bisa dicegah dengan diberi pelapis pada gigi baru tumbuh (pertanyaan 11), dan malam hari setelah minum susu harus sikat gigi baru tidur (pertanyaan 12). Hal Ini merupakan gambaran bahwa pengetahuan ibu tidak selalu mempunyai hubungan dengan status karies gigi anak . Tabel 5.17 di bawah ini menampilkan hasil analisis tabulasi silang antara variabel pengetahuan ibu dengan karies gigi anak. Tabel 5.17 Tabulasi silang antara variabel pengetahuan ibu dengan karies gigi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Variabel Kriteria pe_1 Tidak tahu Salah Betul pe_2 Tidak tahu Salah Betul pe_3 Tidak tahu Salah Betul pe_4 Tidak tahu Salah Betul pe_5 Tidak tahu Salah Betul pe_6 Tidak tahu Salah Betul pe_7 Tidak tahu Salah Betul pe_8 Tidak tahu Salah Betul N karies gigi %karies gigi Nilai p 59 47,2% 0,026* 60 48,4% 1.267 56,7% 73 49,0% 0,022* 105 49,3% 1.209 57,0% 71 51,8% 0,073 126 50,0% 1.189 56,8% 148 61,2% <0,0001* 202 66,7% 1.036 53,5% 23 63,9% <0,0001* 97 82,9% 1.266 54,4% 62 47,7% 0,003* 151 48,9% 1.173 57,4% 276 54,0% <0,0001* 360 46,6% 750 62,6% 350 58,7% 0,269 129 55,4% 908 54,9% 86 No. 9 10 11 12 13 14 Variabel Kriteria N karies gigi %karies gigi pe_9 Tidak tahu 22 68,8% Salah 7 53,8% Betul 1.357 55,7% pe_10 Tidak tahu 52 47,7% Salah 28 47,5% Betul 1.306 56,4% pe_11 Tidak tahu 593 55,3% Salah 110 46,2% Betul 683 58,3% pe_12 Tidak tahu 19 43,2% Salah 8 34,8% Betul 1.359 56,3% pe_13 Tidak tahu 18 62,1% Salah 2 66,7% Betul 1.366 55,8% pe_14 Tidak tahu 681 56,5% Salah 37 52,1% Betul 668 55,4% Keterangan: pe_ = nomer pertanyaan pengetahuan, *= berbeda bermakna (p<0,05) Nilai p 0,332 0,084 0,003* 0,028* 0,739 0,714 5.9 Hubungan Bivariat Variabel Sikap Ibu dengan Karies gigi Anaknya Dari 14 pertanyaan sikap ibu ada 6 pertanyaan yang jawabannya signifikan dengan karies gigi anak. Namun, dari 6 jawaban tersebut cuma ada 3 pertanyaan yang mempunyai hubungan efek positif, yaitu karies gigi lebih kecil daripada bebas karies gigi pada anak . Ketiga pertanyaan tersebut meliputi anak yang berlubang giginya terganggu selera makannya (pertanyaan 4), anak yang malas menggosok gigi maka giginya mudah berlubang (pertanyaan 5), dan banyak minum soft-­‐drink menyebabkan gigi berlubang (pertanyaan 8). Pertanyaan lainnya ( 3 ) jawaban setuju namun tidak mempunyai efek positif, yaitu mengenai kebiasaan mengemut makanan (pertanyaan 2), pelapisan gigi baru tumbuh (pertanyaan 11), dan kebiasaan minum susu dari botol (pertanyaan 7) . Ketiga pertanyaan ini meskipun dijawab dengan benar oleh ibu, namun karies pada anak ditemukan lebih banyak ketimbang pada anak yang ibunya menjawab salah. Ini merupakan gambaran bahwa sikap ibu yang setuju dengan hal yang positif tidak selamanya berhubungan dengan status 87 karies gigi. Tabel 5.18 di bawah ini adalah hasil analisis tabulasi silang antara variabel sikap ibu dengan karies gigi anak. Tabel 5.18 Tabulasi silang antara variabel sikap ibu dengan karies gigi No. Variabel Kriteria Karies gigi %Karies gigi Nilai p 1 sikap 1 2 sikap 2 3 sikap 3 4 sikap 4 5 sikap 5 6 sikap 6 7 sikap 7 8 sikap 8 9 sikap 9 10 sikap 10 Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju Ragu-­‐ragu, tidak tahu Tidak setuju Setuju 440 89 856 127 82 1.177 168 163 1.055 196 133 1.057 33 20 1.333 136 117 1.133 366 267 752 398 89 898 27 4 1.354 63 22 1.300 56,8% 53,0% 55,7% 51,4% 46,6% 57,2% 52,3% 54,5% 56,7% 62,2% 67,2% 53,7% 66,0% 83,3% 55,4% 52,3% 50,6% 56,9% 53,6% 46,7% 61,4% 59,3% 59,3% 54,1% 61,4% 50,0% 55,8% 52,9% 51,2% 56,1% 0,655 0,008* 0,308 <0,0001* 0,008* 0,090 <0,0001* 0,050* 0,719 0,656 88 No. 11 12 13 14 Variabel Kriteria Karies gigi %Karies gigi sikap 11 Ragu-­‐ragu, tidak tahu 523 55,0% Tidak setuju 172 50,1% Setuju 690 58,2% sikap 12 Ragu-­‐ragu, tidak tahu 25 45,5% Tidak setuju 9 45,0% Setuju 1.351 56,2% sikap 13 Ragu-­‐ragu, tidak tahu 15 55,6% Tidak setuju 3 60,0% Setuju 1.367 55,8% sikap 14 Ragu-­‐ragu, tidak tahu 693 56,5% Tidak setuju 39 55,7% Setuju 652 55,2% Keterangan: sikap = nomer pertanyaan sikap, *= berbeda bermakna (p<0,05) Nilai p 0,025* 0,177 0,982 0,809 5.10 Hubungan Bivariat Variabel Praktik Kesehatan dengan Karies gigi Anak Berikut ini adalah hasil analisis tabulasi silang antara variabel praktik kesehatan dengan karies gigi anak. Tabel 5.19 Tabulasi silang antara variabel praktik kesehatan dengan karies gigi anak No. Variabel Kriteria Karies gigi %Karies gigi Nilai p <0,0001* 1 pr_1 Tidak 366 29,8% Kadang 319 77,6% Ya 680 84,1% 2 pr_2 Tidak 666 48,6% Kadang 364 58,7% Ya 345 72,5% <0,0001* 3 pr_3 Tidak 299 46,9% Kadang 251 57,0% Ya 821 59,4% <0,0001* 4 pr_4 Tidak 934 48,8% Kadang 120 78,4% Ya 321 81,7% <0,0001* 41 65,1% 176 67,2% 1.157 54,1% <0,0001* 5 pr_5 Tidak Kadang Ya 89 No. Variabel 6 pr_6 7 pr_7 Tidak Kadang Ya 8 pr_8 Tidak Kadang Ya 9 pr_9 Tidak 10 pr_10 11 12 13 14 Kriteria Karies gigi Tidak %Karies gigi Nilai p 0,004* 1.284 55,0% Kadang 32 66,7% Ya 60 71,4% 628 56,4% 126 50,4% 619 56,5% 0,191 675 50,5% 511 61,0% <0,0001* 180 65,9% Kadang Ya Kadang Ya pr_11 Tidak pr_12 Tidak Kadang Ya pr_13 Tidak Kadang Ya pr_14 Tidak Ya 68,4% 1.217 54,9% 851 46,0% 21 84,0% 500 84,9% <0,0001* 1.201 53,6% 20 80,0% 153 78,1% <0,0001* 261 58,0% 432 59,5% 682 52,9% 0,010* 719 49,3% 101 64,3% 553 65,2% <0,0001* Ya 0,001* 46,6% Kadang 27 Kadang 130 Tidak 1.176 55,4% 44 65,7% 157 56,5% 0,239 Keterangan: pr = nomer pertanyaan praktik, *= berbeda bermakna (p<0,05) Dari 16 pertanyaan tentang praktik kesehatan, ada 7 pertanyaan yang khusus berkaitan dengan ibu dan signifikans terhadap karies gigi anak, yaitu ibu menemui tanda gigi berlubang (pertanyaan 1), ibu memeriksa gigi anak (pertanyaan 3), ibu memberi tambahan gula pada susu (pertanyaan 6), ibu membantu anak menggosok gigi tiap hari (pertanyaan 9), 90 ibu membawa anak ke dokter gigi untuk tambal gigi (pertanyaan 10), ibu memastikan anak gosok gigi setelah minum susu sebelum tidur malam (pertanyaan 12), ibu membawa anak periksa ke dokter gigi dalam 6 bulan terakhir (pertanyaan 13) . 5.11 Hubungan Bivariat Variabel Pemeriksaan dengan Karies gigi Anak Dari 5 variabel pada Tabel 5.20 , terlihat 4 variabel secara signifikan merupakan risiko karies gigi. Variabel-­‐variabel tersebut meliputi pH saliva, pH biofilm, white-­‐spot dan diskolorasi fisur. Berikut ini adalah hasil analisis tabulasi silang antara variabel pemeriksaan dengan karies gigi anak. Tabel 5.20 Tabulasi silang antara variabel pemeriksaan dengan karies gigi anak Variabel Kriteria N karies gigi % Nilai p OR 95%CI No. 1 pH saliva ≥ 6,8 1.156 54,6% ≤ 6,6 324 62,1% 2 pH biofilm 7 137 47,6% 6.5 304 52,1% 3 White Spot Tidak ada Ada 4 Diskolorasi fisur Tidak ada Ada ≤ 6 5 Berjejal Tidak Ya 1.021 0,002* 1.077 51,1% -­‐ 1,36 1,12 -­‐ 1,66 0,00002* 1 -­‐ 1,20 0,90 -­‐ 1,61 1,59 1,23 -­‐ 2,06 p<0,0001* 3,37 2,66 – 4,27 p<0,0001* 3,94 2,86 – 5,42 59,1 1 352 78,4% 1.218 53,0% 214 81,7% 1.333 56,2% 0,358 0,90 0,69-­‐1,17 134 53,2% Keterangan : OR=1 sebagai based, *= berbeda bermakna (p<0,05) Pada Tabel 5.20 terlihat bahwa pH saliva ≤ 6,6 memiliki risiko 1,36 kali lebih besar untuk terjadi karies gigi anak dibanding pH ≥ 6,8. Cut off point pH saliva 6,6 berdasarkan uji compare means Independent T Test, dan selain itu juga memperhatikan pengkategorian pH saliva dari alat ukur pH saliva (GC Saliva pH Paper) yang mengkategorikan pH saliva berdasarkan warna dimulai dari skala 5,0 hingga 7,8 dengan selisih tiap warna 0,2 (lihat indikator warna pH saliva pada Gambar 4.4). 91 pH biofilm memperlihatkan tren dimana makin rendah pH, makin tinggi risiko karies gigi. pH biofilm ≤ 6 berisiko 1,59 kali lebih besar terhadap karies gigi dibanding pH 7. Cut off point pH biofilm 6 adalah berdasarkan uji compare means Independent T Test, dan selain itu juga memperhatikan pengkategorian pH biofilm dari alat ukur pH plaque check (GC Corp) yang mengkategorikan pH biofilm berdasarkan warna dimulai dari skala 5,5 hingga 7 dengan selisih tiap warna 0,5 (lihat indikator warna pH saliva pada Gambar 4.5). Anak yang memiliki white spot berisiko 3,37 kali lebih besar untuk terkena karies gigi dibanding anak yang tidak memiliki white spot. Demikian pula anak dengan diskolorasi fisur berisiko 3,94 kali lebih besar untuk terkena karies dibanding anak yang tidak memiliki diskolorasi fisur. Sedangkan keadaan gigi berjejal tidak berbeda antara anak yang karies gigi dan yang bebas karies gigi. 5.12 Hubungan Bivariat Kebiasaan Anak dengan Karies gigi Tabel 5.21 menampilkan hasil analisis hubungan bivariat antara kebiasaan anak dengan karies gigi. Variabel nilai-­‐p nya < 0,25 adalah mengemut makanan, suka sayur,kebiasaan makan permen, frekuensi permen, frekuensi sikat gigi. Sehingga variabel-­‐ variabel ini masuk dalam kandidat analisis multivariat. Anak yang punya kebiasaan ngemut makanan mempunyai risiko 1,62 kali lebih besar untuk terkena karies dibanding anak yang tidak ngemut makanan. Anak yang tiap hari makan permen berisiko 1,7 kali lebih besar untuk terkena karies dibanding anak yang tidak suka permen. Anak dengan frekuensi makan permen lebih dari 2 kali sehari berisiko 1,94 kali lebih besar terkena karies daripada anak yang tidak makan permen. Semakin sering frekuensi makan permen, risiko karies semakin tinggi. Penggunaan pasta gigi meski tidak berbeda bermakna antara kelompok anak yang karies gigi dan bebas karies gigi, namun merupakan faktor protektif. Demikian pula sikat gigi dengan dibantu ibu/ pengasuh merupakan faktor protektif. 92 Tabel 5.21 Tabulasi silang kebiasaan anak dengan karies gigi Variabel Kategori N Karies % Nilai p OR gigi No 1 Konsistensi makanan Normal Lunak 1.209 55,5% 95% CI 0,330 1 1,03 -­‐ 0,80-­‐1,33 p<0,0001* 1 1,62 -­‐ 1,36 – 1,94 0,056* 1 1,17 -­‐ 0,99 – 1,38 p<0,0001* 1 1,70 -­‐ 1,41 – 2,04 p<0,0001* 1 -­‐ 1,33 1,07 – 1,64 1,94 1,50 – 2,51 1 -­‐ 1,19 0,93 – 1,54 1,36 1,00 – 1,83 0,288 0,71 1 0,38-­‐1,33 -­‐ 0,999 0,98 0,84-­‐1,15 1 -­‐ 157 57,1% 2 Ngemut makanan Tidak 911 52,4% Ya 472 64,1% 3 Kebiasaan makan sayuran Ya 822 54,3% Tidak 558 58,2% Kebiasaan makan permen Tidak 285 46,0% 4 Tiap hari 1.085 59,2% 5 Frekuensi permen Tidak makan 234 48,1% ≤ 2 kali sehari 740 55,2% > 2 kali sehari 357 64,3% 6 Frekuensi sikat gigi ≥ 3 kali sehari 154 51,3% 2 kali sehari 942 55,7% 1 kali sehari 279 58,9% 0,0418* 7 Penggunaan Ya pasta gigi Tanpa pasta gigi 1.359 55,9% 19 47,5% 8 Sikat gigi sendiri Dibantu 564 56% Sendiri 806 56% Keterangan :OR=1 sebagai based, *= berbeda bermakna (p<0,05) 5.13 Pola Pemberian Susu kepada Anak Variabel dengan nilai-­‐p< 0,25 adalah lama ASI, lama susu botol, dan frekuensi minum susu. Variabel-­‐variabel inilah yang masuk kandidat analisis multivariat selanjutnya. Tabel 5.22 berikut ini adalah hasil analisis tabulasi silang antara pola pemberian susu dengan karies gigi. 93 Tabel 5.22 Tabulasi silang pola pemberian susu kepada anak dengan karies gigi No 1 Variabel Lama ASI Kategori ≤ 12 bulan N Karies % gigi 1.092 54,7% 13 – 24 bulan 160 65,3% ≥ 25 bulan Nilai p OR p<0,0001* 1 -­‐ 1,56 1,17 – 2,08 2,29 1,24 – 4,18 1 -­‐ 1,04 0,87 – 1,23 1,58 1,14 – 2,19 47 73,4% 95% CI 2 Lama susu botol < 3 tahun 3-­‐4 tahun 561 54,6% 671 55,5% > 4 th 135 65,5% 0,0271* 3 Frekuensi minum susu ≤ 3 kali sehari 1.067 54,6% ≥ 4 kali sehari 319 60,6% 0,013* 1 -­‐ 1,28 1,05– 1,56 Keterangan :OR=1 sebagai based, *= berbeda bermakna (p<0,05) Anak yang diberikan ASI ≥ 25 bulan memiliki risiko karies gigi 2,29 kali lebih besar dibanding anak yang diberikan ASI sampai dengan 12 bulan. Terlihat dari Tabel 5.22 bahwa semakin lama pemberian ASI, risiko karies gigi makin meningkat. Semakin lama penggunaan susu botol juga memiliki pengaruh yang sama dengan ASI. Anak yang minum susu dengan botol lebih dari 4 tahun berisiko karies gigi 1,58 kali lebih besar dibanding anak yang minum susu dengan botol kurang dari 3 tahun. Frekuensi pemberian susu dalam satu hari juga berpengaruh pada risiko karies gigi. Anak dengan frekuensi susu ≥ 4 kali sehari berisiko karies gigi 1,28 kali lebih besar daripada anak yang diberikan susu ≤3 kali sehari. 5.14 Pola Pengasuhan No 1 Tabel 5.23 Pola pengasuhan anak Kategori N Karies gigi % Variabel Pengasuh Ada 851 54,5% Tidak 524 58,2% Nilai-­‐p OR 95%CI 0,077* 1 -­‐ 1,16 0,98 – 1,37 1 -­‐ 1,20 1,02 – 1,41 2 Tipe pengasuh Ibu dibantu Pembantu / baby sitter Ibu dibantu keluarga sendiri 798 54,1 565 58,6 0,030* Keterangan :OR=1 sebagai based, *= berbeda bermakna (p<0,05) 94 Tabel 5.23 adalah hasil analisis tabulasi silang antara pola pengasuhan anak dengan karies gigi. Variabel dengan nilai-­‐p< 0,25 adalah keberadaan pengasuh dan tipe pengasuh. Anak yang tidak memiliki pengasuh berisiko 1,16 kali lebih besar untuk terjadi karies gigi dibanding anak yang punya pengasuh. Selain itu anak yang diasuh hanya oleh keluarga sendiri juga berisiko karies gigi anak 1,20 kali lebih besar dibanding anak yang pengasuhannya dilakukan oleh ibu dengan dibantu pengasuh. Variabel-­‐variabel inilah yang masuk kandidat analisis multivariat selanjutnya. 5.15 Rekoding Variabel Bermakna Selanjutnya pada variabel-­‐variabel yang bermakna dilakukan re-­‐koding menjadi dua kategori sebelum masuk ke dalam análisis multivariat, yaitu sebagai berikut. Kategorisasi menjadi nominal dikotom lazim dilakukan pada studi epidemiologi demi alasan kemudahan operasional dalam interpretasi dan aplikasi hasil studi. Sebelumnya, untuk data rasio terlebih dahulu dicari nilai cut off point menggunakan Independent T Test, untuk mengetahui pada rata-­‐rata angka berapa terjadi perbedaan antara anak yang karies dan yang bebas karies. Hasil re-­‐koding yang bermakna secara statistik adalah umur anak (dengan cut off point 4 tahun), umur ibu (dengan cut off point 36 tahun, pendidikan ibu (dengan cut off point sarjana), pH saliva (dengan cut off point 6,6), pH biofilm (dengan cut off point 6), white spot, diskolorasi fisur, ngemut makanan, suka sayur, kebiasaan makan permen, frekuensi permen, frekuensi sikat gigi, lama ASI (dengan cut off point 12 bulan), lama susu botol (dengan cut off point 4 tahun), frekuensi minum susu (dengan cut off point 3 kali sehari), pengasuh, tipe pengasuh, nilai perilaku ibu, kebiasaan minum soft-­‐drink lebih dari sekali seminggu, dan sikat gigi sebelum tidur malam. 95 Tabel 5.24 Rekoding variabel bivariat yang bermakna (p<0,25) untuk multivariat No 1 Variabel Umur anak Kriteria 0 = ≤ 3,9 tahun Nilai-­‐p OR 95%CI <0,0001* 1 -­‐ 1,58 1,32 – 1,07 0,480 1 -­‐ 1,14 0,80 – 1,61 1 -­‐ 1,44 1,23 – 1,69 <0,0001* 1 -­‐ 1,35 1,15 – 1,59 0,002* 1 -­‐ 1,36 1,12 – 1,66 <0,0001* 1 1,41 1,19 – 1,66 <0,0001* 1 -­‐ 3,37 2,66 – 4,27 <0,0001* 1 -­‐ 3,94 2,86 – 5,42 <0,0001* 1,62 1,36 – 1,94 0,056* 1,17 0,99 – 1,38 <0,0001* 1,70 1,41 – 2,04 1 = ≥ 4 tahun 2 Berat badan saat lahir ≥ 2.500 gram < 2.500 gram (Berat Badan Lahir Rendah) 3 Umur ibu ≤ 35,9 tahun <0,0001* ≥ 36 tahun 4 Pendidikan ibu ≤ SMA / Akademi Sarjana 5 pH saliva ≥ 6,8 ≤ 6,6 6 pH biofilm ≥ 6,5 ≤ 6 7 White spot Tidak ada Ada 8 Diskolorasi fisur Tidak ada Ada 9 Ngemut makanan Tidak Ya 10 Kebiasaan makan sayur Ya Tidak 11 Kebiasaan makan permen Tidak Tiap hari 96 No Variabel Kriteria 12 Frekuensi permen ≤ 2 kali sehari Nilai-­‐p OR 95%CI <0,0001* 1 -­‐ 1,58 1,30 – 1,92 0,097* 1 -­‐ 1,23 0,96 – 1,56 <0,0001* 1 -­‐ 1,69 1,31 – 2,17 0,002* 1 -­‐ 1,49 1,16 -­‐1,91 0,013* 1 -­‐ 1,28 1,05 – 1,56 0,077* 1 -­‐ 1,16 0,98 – 1,40 0,030* 1 -­‐ 1,20 1,02 – 1,41 <0,0001* 1 -­‐ 1,55 1,32 – 1,83 <0,0001* 1 -­‐ 1,62 1,37 – 1,90 0,003* 1 -­‐ 1,28 1,09 – 1,50 0,012* 1 -­‐ 1,54 1,10 – 2,15 > 2 kali sehari 13 Frekuensi sikat gigi ≤ 2 kali sehari > 2 kali sehari 14 Lama ASI ≤ 12 bulan > 12 bulan 15 Lama susu botol < 4 th ≥ 4 th 16 Frekuensi minum susu ≤ 3 kali sehari ≥ 4 kali sehari 17 Pengasuh Ada Tidak ada 18 Tipe pengasuh Pembantu / baby sitter Keluarga sendiri 19 Nilai pengetahuan, sikap, > 6 praktek ≤ 6 20 Minum soft-­‐drink lebih Tidak dari sekali seminggu Ya 21 Sikat gigi sebelum tidur Ya malam Tidak 22 Indeks massa tubuh ≥ 14 < 14 97 6.1 Problema Multivariabel BAB VI KONSTRUKSI SIMULATOR Problema multivariabel berusaha menjawab bagaimana hubungan antara faktor paparan (variabel exposures) terhadap outcome penyakit (D). Bila outcome penyakit diwakili “0” = tidak timbul penyakit dan “1” = timbulnya penyakit, merupakan variabel “dikotom”, maka dalam hal ini digunakan regresi logistik. Regresi logistik mempunyai pengertian sebagai pendekatan model matematik yang dapat digunakan menerangkan hubungan berbagai faktor independen (X) kepada variabel dependen dikotom (D). X1, X2, …………..Xk à D Simulator dibuat berdasarkan model logistik yang diperoleh dari regresi logistik. Model logistik sangat populer karena didasarkan fungsi logistik yang memungkinkan hal-­‐hal berikut. 1. Estimasi terletak pada antara nol dan satu, jadi baik untuk mendeskripsikan probabilitas. 2. Grafik bentuk S yang menerangkan pengaruh kombinasi berbagai faktor risiko terhadap risiko terjadinya penyakit. Bentuk grafik S menunjukkan bila z bergerak dari minus tak terhingga ke positif tak terhingga = fungsi (z) = 0 adalah sehat, pada saat mendekati titik nol (threshold) terjadi pergerakan yang dramatis tajam menuju fungsi (z) = 1 adalah sakit, menuju positif tak terhingga (baik untuk mendeskripsikan pengaruh kombinasi berbagai faktor risiko untuk timbulnya penyakit). SIMULATOR threshold Gambar 6.1 Grafik bentuk S dimana terjadi perpindahan dramatis dari kondisi sehat ke kondisi sakit karena pengaruh kombinasi berbagai faktor risiko 98 6.2 Formulasi Simulator Untuk menyusun simulator digunakan rumus logistik regresi sebagai berikut . 1. Fungsi logistik : f (x) = 1 / [ 1 + exp (-­‐z) ] 2. Model Logistik : P (X) = 1 / { 1 + exp [-­‐ ( α + Σ βi Xi )]} 6.3 Analisis Regresi Logistik Untuk mendapatkan nilai alfa ( α ) dan nilai berbagai beta ( β ) digunakan analisis regresi logistik – biner. Untuk mendapatkan variabel yang mempunyai pengaruh cukup bermakna, perlu dipertimbangkan dua hal penting, yaitu statistikal dan biologik. Secara statistik dilihat dari signifikansi tabulasi silang antara karies gigi dengan berbagai variabel, dan secara biologis dipertimbangkan secara teoretis-­‐empiris variabel tersebut mempunyai pengaruh. 6.4 Pemodelan Simulator Secara tradisional, manajemen karies gigi dianggap hanyalah menemukan kavitas dan selanjutnya dibor dan ditambal. Namun, pada tahun-­‐tahun ini, telah berkembang pengertian karies gigi yang lebih baik, dan menyebabkan adanya pergeseran filosofi perawatan. Strategi pencegahan meliputi pemberian fluor dan remineralisasi lebih diutamakan, dan tindakan operatif tidak diperlukan kecuali jika lesi karies gigi telah menjadi kavitas. Untuk keperluan pengambilan tindakan preventif, simulator membuat pemodelan sebagai berikut. Dalam model simulator, white spot dan diskolorasi fisur sebagai pre-­‐cavitation stage, jadi dianggap bebas karies gigi (considered as caries free) [5, 6], dan merupakan indikator penting akan perlunya segera diambil tindakan pencegahan. Seperti tampak dalam ilustrasi gunung es karies gigi, white spot tidak memerlukan tindakan operatif, tetapi tindakan pencegahan. Ilustrasi Gunung es berikut ini mengkaitkan diagnosis klinis dan rencana perawatan pada tingkat individu dan tingkat populasi grup. 99 Individual treatment OT – Operative PCA+OCA Treatment Progressive/ cavitated Stable/non cavitated (Group) Care Advice Preventive and Operative Care Advised NOT-­‐ Non Operative Treatment Preventive Care Advised PCA NIAC No Active Care above normal caries-­‐control measures (3) Gambar 6.2 Perawatan individu dan kelompok berdasarkan fenomena gunung es Dengan berulang mengadakan analisis multiple logistik biner dengan berbagai kombinasi, maka diperolehlah hasil yang paling optimal sebagai berikut. 6.4.1 Model Logistik Simulator Berikut ini adalah variabel bermakna yang terpilih untuk dimasukkan dalam pembuatan simulator. 100 Tabel 6.1 Variabel bermakna yang dipilih setelah uji multivariat Model Logistik 1 No. Faktor Risiko B Wald Nilai p POR 95,0% C.I. 1 Minum soft-­‐drink 0,245 5,534 0,019 1,278 1,042 1,568 2 Frek. minum Susu 0,355 7,488 0,006 1,426 1,106 1,838 3 Lama susu dengan botol 0,236 4,061 0,044 1,266 1,006 1,592 4 Makan permen 0,435 13,983 0,000 1,545 1,230 1,941 5 Suka ngemut makanan 0,425 14,264 0,000 1,529 1,227 1,906 6 Pendidikan ibu 0,352 10,994 0,001 1,421 1,155 1,750 7 Usia ibu 0,318 9,504 0,002 1,374 1,123 1,681 8 Lama ASI 0,548 12,190 0,000 1,730 1,272 2,352 9 Umur anak 0,187 2,843 0,092 1,206 0,970 1,499 10 Tipe asuhan 0,306 8,787 0,003 1,358 1,109 1,663 11 Diskolorasi fisur 1,218 37,911 0,000 3,379 2,293 4,978 12 White-­‐spot 1,086 55,500 0,000 2,962 2,226 3,941 13 pH biofilm 0,305 8,080 0,004 1,356 1,099 1,673 14 Indeks pengetahuan dan sikap 0,608 13,251 0,000 1,837 1,324 2,549 15 Indeks praktik kesehatan 0,258 6,309 0,012 1,294 1,058 1,583 16 Constant -­‐1,689 93,001 0,000 0,185 Dengan persamaan Model Logistik : P (X) = 1 / { 1 + exp [-­‐ ( α + Σ βi Xi )]} 6.4.2 Formula Simulator (Generik) Formula simulator (generik) tercantum dalam Tabel berikut. Format komputer ini juga dapat dibuat bentuk lain secara manual. Dalam lampiran disajikan Simulator Risiko Gigi Lubang manual 1 digit. Pendekatan lain adalah dengan model Simulator Risiko Gigi Lubang manual 2 digit, yang lebih teliti, tetapi perhitungannya menjadi lebih rumit dan memerlukan kalkulator . 101 Untuk perhitungan dipergunakan program EXCEL dan dibuat kolom (No.) Untuk urutan nomor variabel faktor risiko, kolom (Variabel) adalah berisi faktor risiko, kolom (kriteria) adalah kriteria biner dengan kode 0 dan 1. Kolom (kode) adalah kode biner 0 dan 1 sesuai dengan kriteria. Kolom (pilih) untuk diisi sesuai dengan kriteria dari variabel yang bersangkutan yaitu 1 atau 0. Kolom (bobot) adalah beta (β) yang diperoleh dari hasil regresi biner. (Skor) adalah hasil kali (pilih) dengan (bobot), dan telah dimasukkan rumus ke dalam kolom dimaksud. Variabel no 14 adalah indeks komposit yang diperoleh dengan menjumlah sub variabel 14a, 14b, 14c dan 14d. Bila jumlah (sub 1) adalah indeks komposit pengetahuan dan sikap = 3 atau lebih masukkan dalam kolom (pilih) sebagai angka 0, sebaliknya bila jumlah kurang dari 3 dimasukkan angka 1. Variabel no 15 adalah indeks komposit yang diperoleh dengan menjumlah subvariabel 15a, dan 15b. Bila jumlah (sub 2) = indeks komposit praktik kesehatan = 2 masukkan dalam kolom (pilih) sebagai angka 0, sebaliknya bila jumlah kurang dari 2 dimasukkan angka 1. Selanjutnya, seluruh jumlah skor variabel no 1 s/d no 15 dijumlahkan ( Σ βi Xi ), kemudian ditambah dengan nilai konstan ( α + Σ βi Xi ) dan hasilnya dilanjutkan dengan exponensial minus, exp [-­‐ ( α + Σ βi Xi ) dan akhirnya dibuat perhitungan P(X) = 1 / { 1 + exp [-­‐ ( α + Σ βi Xi )]} adalah proporsi risiko gigi berlubang. Jika diubah jadi persen, akan diperoleh angka % risiko gigi lubang dan % prediksi gigi bebas lubang. Format komputer ini juga dapat dibuat bentuk lain secara manual. Dalam lampiran disajikan Simulator Risiko Gigi Lubang manual 1 digit. Pendekatan lain adalah dengan model Simulator Risiko Gigi Lubang manual 2 digit, yang lebih teliti, tetapi perhitungannya menjadi lebih rumit dan memerlukan kalkulator. Selengkapnya ditampilkan dalam Tabel 6.7 berikut ini. 102 Tabel 6.7 Formula Generik Simulator Risiko Gigi Lubang No. Variabel Kriteria 1 Minum soft-­‐drink Lebih dari 1 kali seminggu 2 Frek. minum Susu 3 Lama susu dengan botol 4 Makan permen 5 6 7 8 9 Umur anak 10 Tipe asuhan 4X sehari / lebih 1 3X sehari/kurang 0 Tiap hari 1 tidak 0 ya, ngemut 1 tidak 0 bukan sarjana 1 sarjana 0 di atas 36 tahun 1 36 tahun /kurang 0 lebih dari 1 tahun 1 1 tahun / kurang 0 5 tahun atau lebih 1 4 tahun atau kurang 0 Usia ibu Lama ASI 0 0 Pendidikan ibu 1 tidak 1 4 tahun / lebih Suka ngemut makanan di bawah 4 tahun Kode Pilih Bobot Skor 0,24522 0 0,35466 0 0,23561 0 0,43502 0 0,42459 0 0,35166 0 0,31762 0 0,54786 0 0,18709 0 oleh kerabat 1 oleh pengasuh khusus 0 ada diskolorasi fisur 1 tak ada diskolorasi fisur 0 ada bercak putih 1 tak ada bercak putih 0 pH biofilm pH biofilm 6 /kurang 1 pH biofilm 6,5 /lebih 0 Bila jumlah (sub 1) = 2 atau lebih 0 0 Bila jumlah (sub 1) = 1 atau 0 1 0,60831 11 Diskolorasi fisur 12 13 14 15 White-­‐spot Indeks pengetahuan dan sikap Indeks praktik kesehatan 0,30619 0 1,21755 0 1,0858 0 0,30472 0 bila jml indeks praktik kesehatan = 2 0 0 bila jml indeks praktik kesehatan = 0 / 1 1 0,25794 ( Σ β Xi ) Constant -­‐1,689 ( α + Σ βi Xi ) -­‐1,689 exp [-­‐ ( α + Σ βi Xi ) 5,416 ι 0,156 P(X) = 1 / { 1 + exp [− ( α + Σ βi Xi )]} % risiko gigi lubang 15,6% % prediksi gigi sehat 84,4% 103 Untuk mengisi variabel komposit, terlebih dahulu dilakukan perhitungan sebagai berikut. Lingkari (sub 1) sesuai dengan kriteria dan jumlahkan de dalam kotak jumlah indeks pengetahuan dan sikap. Masukkan datanya ke dalam baris no 14 di atas. Lingkari (sub 2) sesuai dengan kriteria dan jumlahkan ke dalam kotak jumlah indeks praktik kesehatan. Masukkan datanya ke dalam baris no 15 di atas. Tabel 6.8 Perhitungan indeks pengetahuan dan sikap dan Indeks praktik kesehatan ibu 14 Indeks Pengetahuan/sikap 14a Gigi berlubang jika dibiarkan dapat TIDAK 0 mengganggu selera makan anak YA 1 14b Sub 1 Gigi berlubang karena malas menggosok -­‐ TIDAK 0 gigi 1 YA 14c Gigi berlubang bisa mengganggu T IDAK SETUJU 0 pertumbuhan dan perkembangan anak ? SETUJU 1 14d Sering minum soft-­‐drink menyebabkan gigi mudah berlubang? TIDAK SETUJU 0 15 SETUJU 1 Jumlah indeks pengetahuan dan sikap Indeks praktik kesehatan ibu. Sub 2 15a Apakah ibu, pernah memeriksa gigi anak secara langsung untuk mendeteksi gigi berlubang? ya 0 tidak 1 15b Apakah setiap hari ibu membantu menggosok gigi anak ya 0 tidak 1 Jumlah indeks praktik kesehatan 6.4.3 Contoh Aplikasi Simulator dengan Perangkat Komputer Di bawah ini adalah contoh kondisi awal dan kondisi bila dilakukan perbaikan. Bila simulator diisi dengan skor awal dan skor perbaikan, hasil simulator adalah sebagai berikut. 104 Tabel 6.4 Tabel isian simulator KRITERIA awal Perbaikan Perilaku gaya hidup anak A = tidak senang minum soft-­‐drink B = minum soft-­‐drink > 1 kali seminggu A A A = minum susu 3 kali sehari atau kurang A = minum susu dengan botol < 4 tahun A = anak tidak senang makan permen B = minum susu 4 kali sehari atau lebih A A B = minum susu dengan botol ≥ 4 tahun A A B = makan permen tiap hari B A A = anak tidak ngemut makanan B = ngemut B A Kondisi dalam mulut anak A = tidak ada diskolorasi fisur B = ada diskolorasi fisur B A A = tidak ada white spot B = ada white spot A A A = pH Biofilm ≥ 6,5 B = pH Biofilm ≤ 6 A A Prakondisi A = sarjana B = bukan sarjana A A A = ≤ 36 tahun B = > 36 tahun B B A = ASI ≤ 1 tahun B = ASI lebih dari 1 tahun A A A = ulang tahun terakhir 4 tahun atau kurang A = anak diasuh pengasuh B = ulang tahun terakhir 5 tahun atau lebih B = anak diasuh anggota keluarga B B A A Perilaku ibu A = nilai pengetahuan dan sikap ≥2 B = nilai pengetahuan dan sikap < 2 A A A = nilai praktik ≥2 B = nilai praktik <2 A A KUESIONER PERILAKU isi kolom Perbaikan Gigi berlubang menyebabkan anak tidak selera makan (ya=1) 1 1 Gigi berlubang karena malas menggosok gigi (ya= 1) 1 1 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan, gigi yang berlubang dapat 0 1 1 1 3 4 Apakah Ibu pernah memeriksa mulut anak secara langsung untuk mendeteksi 1 1 1 1 2 2 mengganggu tumbuh kembang anak? (setuju= 1) Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan sering minum soft-­‐drink, gigi mudah berlubang? (setuju= 1) SKOR PENGETAHUAN DAN SIKAP adanya gigi berlubang? (ya= 1) Apakah ibu memastikan dan atau membantu anak menggosok gigi setiap malam sebelum tidur? (ya=1) SKOR PRAKTIK 105 Maka tampak sebelum perbaikan: Perkiraan risiko gigi berlubang sebesar 77%. 23% 40% 60% 77% Gambar 6.3 Simulator yang menggambarkan besar Gambar 6.4 Simulator yang menggambarkan besar risiko karies gigi (77%) pada keadaan awal risiko karies gigi (40%) setelah faktor diperbaiki Perkiraan risiko gigi berlubang jika dilakukan perbaikan adalah 40%, sedangkan kelompok faktor-­‐faktor yang berpengaruh terlihat pada diagram batang di Indeks Percepatan Risiko Gigi Berlubang bawah ini. 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 Faktor Ibu Faktor predisposisi Faktor Anak Gambar 6.5 Kelompok faktor yang mempengaruhi risiko karies gigi gigi Detail faktor yang berpengaruh digambarkan pada diagram batang horisontal berikut ini. 106 BESAR VARIABEL YANG BERPENGARUH Total praktek Total pengetahuan dan sikap Pengasuhan Ulang tahun terakhir Lama ASI Umur Ibu Pendidikan Ibu pH Plak White spot Fisur hitam Ngemut makanan Suka permen Lama susu botol Frekuensi susu Soft drink 0.00 0.50 1.00 1.50 Indeks Percepatan Risiko Gigi Berlubang Gambar 6.6 Detail faktor faktor yang mempengaruhi risiko karies gigi gigi 6.4.4 Penilaian Kesesuaian Simulator Terhadap Hasil Pemeriksaan di Lapangan Selanjutnya, untuk memastikan analisis simulator sudah tepat, dilakukan uji ulang terhadap simulator, yaitu dengan membandingkan hasil prediksi yang dihasilkan simulator dengan kenyataan pemeriksaan di lapangan, seperti tampak pada Tabel 6.5. Tabel 6.9 Penilaian prediksi simulator karies gigi terhadap hasil pemeriksaan dilapangan Prediksi karies gigi Rentang kelompok Prediksi karies gigi Simulator Hasil pemeriksaan di lapangan n Bebas 20% -­‐ 30% 25% 116 30% -­‐ 40% 35% 40% -­‐ 50% 45% 50% -­‐ 60% 82 Karies gigi 34 %Karies gigi 29,3% 286 185 101 35,3% 366 214 152 41,5% 55% 352 161 191 54,3% 60% -­‐ 70% 65% 272 85 187 68,8% 70% -­‐ 80% 75% 222 58 164 73,9% 80% -­‐ 90% 85% 172 33 139 80,8% 90% 100%-­‐ 95% 75 4 71 94,7% jumlah 1.861 822 1.039 55,8% Antara prediksi karies gigi oleh simulator dengan pemeriksaan di lapangan, secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut. 107 100% 90% 80% 70% donat simulator mu obyektif 60% 50% Linear (obyektif) 40% simulator Linear (donat) 30% mu 20% 10% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 Gambar 6.7 Hubungan hasil pemeriksaan simulator model 1 dengan kondisi obyektif Disimpulkan bahwa prediksi simulator menyerupai hasil pemeriksaan di lapangan, sehingga bisa dikatakan analisis data untuk membentuk simulator sudah benar. 6.5 Rekomendasi Simulator untuk Intervensi Faktor risiko dalam simulator dikelompokkan sebagai berikut. • Kebiasaan/ pola hidup anak, yaitu variable no. 1 sampai dengan 5. Rekomendasi yang diberikan adalah mengubah kebiasaan / pola hidup yang jelek sesuai dengan besarnya (skor). Rekomendasi tidak semata-­‐mata diberikan sebagai teks, tetapi ibu perlu diajak memecahkan masalah, apa sebabnya kebiasaan itu terjadi dan bagaimana meninggalkan kebiasaan berisiko tadi sesuai dengan kondisi keluarga yang bersangkutan. • Variabel no. 6 sampai dengan 10 adalah faktor risiko sebagai faktor predisposisi yang tidak dapat diubah. Untuk menghadapi kondisi ini, perlu intervensi peningkatan kesehatan umumnya maupun kesehatan gigi anak khususnya. • Variabel no. 11 sampai dengan 13 adalah faktor risiko dari kondisi gigi anak melalui pemeriksaan oleh dokter gigi. Keadaan ini perlu intervensi berupa tindakan oleh dokter gigi. 108 • Khusus variable Indeks komposit pengetahuan dan sikap yang hanya terdapat dalam model Simulator 1 adalah mewakili pengetahuan dan sikap ibu terkait dengan kesehatan gigi anaknya. Bila indeks ini menunjukkan kecenderungan tidak menguntungkan, perlu penyuluhan, tidak semata-­‐mata pada dua pertanyaan pengetahuan dan dua pernyataan sikap, tetapi satu paket penyuluhan terpadu. • Indeks komposit praktik kesehatan adalah mewakili perilaku praktik ibu menjaga kesehatan gigi anaknya. Sama dengan di atas, bila indeks ini menunjukkan kecenderungan tidak menguntungkan, perlu pelatihan, tidak semata-­‐mata pada dua pertanyaan praktik kesehatan, tetapi satu paket pelatihan terpadu. Berikut ini adalah saran-­‐saran dan daftar monitor kegiatan ibu yang akan keluar sesuai dengan faktor risiko. FAKTOR RISIKO LAMA ASI UMUR PENGASUHAN TOTAL PRAKTIK Tabel 6.13 Saran dan daftar monitor kegiatan ibu sesuai faktor risiko SARAN – SARAN DAFTAR MONITOR KEGIATAN IBU Mengingat pemberian ASI melebihi 1 tahun, terutama pemberian di tengah malam, maka berisiko menyebabkan gigi berlubang, karena itu perlu perhatian lebih besar untuk upaya pemeliharaan kebersihan mulut dan gigi. Perhatikan bahwa gigi tetap akan mulai tumbuh. Gigi tetap yang akan mulai tumbuh adalah gigi depan atas dan bawah, serta gigi paling belakang. Mengangkat bibir atas dan memeriksa gigi depan atas dan gigi depan bawah, untuk memastikan tidak ada lagi gigi anak yang [16] berlubang. Bersihkan daerah gigi yang akan tumbuh dengan kapas basah. Anak yang diasuh oleh keluarga sendiri harus lebih diperhatikan. Pastikan anak menggosok gigi sebelum tidur malam. Tingkatkan praktik ibu dalam pemeliharaan kesehatan gigi anak. Membantu anak menggosok gigi [16] pada malam hari sebelum tidur. TOTAL PENGETAHUAN dan SIKAP Tingkatkan pengetahuan dan sikap ibu mengenai kesehatan gigi anak. SOFT-­‐DRINK Kurangi frekuensi minum soft-­‐drink karena keasamannya menyebabkan mineral gigi mudah [118] larut (lubang). Biasakan anak berkumur setelah minum susu. Hindari pemberian susu ditengah-­‐tengah waktu [118] tidur malam. Latih anak menggunakan gelas jika minum susu [118] atau sari buah yang manis. FREKUENSI SUSU LAMA SUSU BOTOL Pastikan menu makanan anak mengandung sayur dan buah-­‐ buahan. Untuk anak 2 tahun ke atas gunakan pasta gigi sedikit saja, seukuran kacang polong. Untuk 2 tahun ke bawah, pasta gigi hanya dioleskan [107] tipis. Batasi frekuensi minum soft-­‐drink maksimal sekali seminggu Tidak memberikan susu di tengah [2, 105] waktu tidur malam. Memastikan anak minum susu dan [2] juice menggunakan gelas. 109 FAKTOR RISIKO SUKA PERMEN NGEMUT MAKANAN DISKOLORASI FISUR WHITE SPOT PH BIOFILM ADA GIGI BERLUBANG ATAU TIDAK SARAN – SARAN DAFTAR MONITOR KEGIATAN IBU Mengganti permen dengan aktivits bermain. Batasi makanan manis pada anak. Misalnya, membuat aturan bahwa permen, coklat, jelly, snack hanya diberikan pada hari libur. Latih anak untuk tidak mengemut makanannya. Mengusahakan anak tidak ngemut Periksa apakah ada gigi yang sakit sehingga anak makanan. malas mengunyah. [16] Perlu dilakukan surface protection/ proteksi gigi. Pergi ke dokter gigi untuk melapisi gigi anak. Pelu dilakukan profilaksis dengan CPP-­‐ACP (Krim Mengoleskan CPP-­‐ACP (Krim Calcium Calcium Phosphat). Gigi dengan bercak putih jika Phosphat) 2x sehari. [16] dibiarkan akan segera menjadi lubang. Perlu minum air putih yang cukup, sikat gigi Memastikan anak minum cukup air sebelum tidur malam, oleskan CPP-­‐ACP (Krim putih. Calcium Phosphat) 2x sehari. Perlu penambalan gigi yang belubang. 6.6 Pendapat Responden Dalam Rangka Uji Coba Untuk mengetahui apakah simulator bisa diterima oleh ibu yang berbeda-­‐beda sosial ekonominya dan latar belakangnya, maka dilakukan uji coba pada 3 tempat yang berbeda. Untuk mengetahui kecukupan besar sampel uji coba, digunakan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi. n= (Zα2PQ)/ d2 n = jumlah sampel Zα = deviat baku normal untuk α = 1,96 P = Proporsi penyakit Q = (1-­‐P) d = tingkat ketepatan absolut yang diinginkan (ditetapkan peneliti = 10%) Maka diperoleh penghitungan jumlah subjek sebagai berikut n= (1,96)2. 0,7.0,3 0,1. 0,1 n = 80 Uji coba yang dilakukan di (1) TK menengah bawah di daerah Bambu Apus (TK Taman Wiyata), Jakarta Timur, dengan 30 responden, (2) TK menengah bawah di daerah Serpong (TK Kemala Bhayangkari), dengan 30 responden, dan (3) TK Toddler menengah atas di daerah Serpong (TK Toddler BPK PENABUR Gading Serpong) dengan 20 responden. Uji coba 110 dilakukan pada subyek yang berbeda dengan subyek penelitian. Cara uji coba adalah dengan membagikan hasil cetak komputer kondisi anaknya kepada ibu melalui tatap muka satu per satu. Hasil uji coba secara kualitatif disampaikan sebagai berikut. 1. Tentang kegunaan lembar cetak simulator risiko gigi berlubang, 73% menyatakan sangat berguna dan 27% menyatakan berguna. 2. Tentang kegunaan simulator, 93% menyatakan untuk mengetahui faktor risiko gigi lubang dan cara pencegahannya dan 7% menyatakan untuk mengetahui cara pencegahan gigi lubang. 3. Tentang kemudahan dimengerti, 67% responden menyatakan mengerti setelah dijelaskan dan 33% menyatakan hasil cetak simulator langsung dapat dimengerti. 4. Tentang rekomendasi hasil cetak simulator, 87% responden menyatakan dapat diterapkan, 10% menyatakan sebagian rekomendasi dapat diterapkan, 3% sisanya abstain. 5. Tentang desain simulator, 87% menyatakan menarik, 3% menyatakan kurang menarik 10% abstain. Masukan dan usul usul serta kesan para ibu dapat digolongkan sebagai berikut. 1. Agar simulator diprogramkan secara berkelanjutan, 6 bulan sekali, pada saat pemeriksaan simulator kepada anak, ibunya turut menghadiri sehingga rekomendasinya langsung didengar baik oleh anak maupun ibunya. Anak kadang-­‐ kadang lebih mudah menerima penjelasan guru. Oleh karena itu, anak sebaiknya dapat ikut berinteraksi dengan program simulator untuk lebih menyadarkan anak. 2. Istilah disederhanakan sehingga mudah dimengerti oleh anak maupun ibunya. 3. Rekomendasi dari simulator agar dijadikan program pencegahan di TK. Dilakukan juga pengajaran cara sikat gigi langsung kepada anak-­‐anak. 4. Agar hasil cetak simulator menggunakan kertas tebal dan cetak berwarna supaya menarik. 5. Tentang kesan, semua menyatakan berkesan dan para ibu mengharapkan program berkelanjutan, bahasa lebih disederhanakan sehingga lebih mudah dimengerti, menyadarkan ibu tentang faktor risiko gigi lubang dan cara pencegahannya, mengetahui kondisi dan perkembangan kesehatan gigi anaknya. Simulator merupakan kemajuan yang baik. 111 Bab 7 PEMBAHASAN 7.1 Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan desain cross-­‐sectional, yaitu satu bentuk studi observasional yang paling sering dilakukan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Dikatakan bahwa kira-­‐kira sepertiga artikel orisinal dalam jurnal kedokteran merupakan laporan studi cross-­‐sectional. Pada studi ini subjek dikelompokkan berdasarkan paparan (faktor risiko) dan akibat (efek). Sebab dan akibat diukur bersamaan dilakukan sekali pada satu saat. Selain bersifat deskriptif studi ini dapat juga merupakan studi analitik. Dalam studi ini variabel bebas (faktor risiko) dan tergantung (efek) dinilai secara simultan pada satu saat. Dengan studi ini diperoleh prevalens suatu penyakit, karena ini disebut pula sebagai studi prevalens. Data yang diperoleh, dapat dibandingkan prevalens penyakit pada kelompok dengan risiko, dengan prevalens penyakit pada kelompok tanpa risiko. Studi prevalens tidak hanya untuk perencanaan kesehatan, yaitu untuk program UKGS di tingkat TK, tetapi dapat pula digunakan sebagai studi etiologi seperti dalam rangka pembuatan simulator risiko karies gigi. Desain ini dinilai cocok karena penyakit karies gigi adalah penyakit yang mempunyai onset yang lama dan lama penyakit yang panjang sehingga biasanya pasien tidak mencari pertolongan sampai penyakitnya relatif telah lanjut .([120] Kelebihan lain penelitian cross-­‐sectional terutama adalah memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat umum seperti halnya murid-­‐murid TK, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan, sehingga generalisasinya cukup memadai. Desain relatif mudah, murah dan hasilnya cepat diperoleh. Kegiatan dalam penelitian sekarang diintegrasikan dengan program pemeriksaan kesehatan gigi murid TK. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus, dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu penelitian kohort atau eksperimen karena data murid TK yang mendapat intervensi dapat diikuti hingga SD. Kekurangan desain ini adalah sulit menentukan sekuens sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek dilakukan pada saat yang bersamaan. Akibatnya, sering tidak mungkin ditentukan mana penyebab dan mana akibat, dalam hal ini misalnya karies gigi dengan status gizi. Apakah penderita karies gigi menyebabkan gangguan makan 112 sehingga menurunkan status gizi, atau karena status gizi yang jelek menyebabkan gangguan pembentukan gigi yang kurang optimal sehingga risiko karies gigi menjadi sangat tinggi. Kekurangan ini tidak terlalu menjadi masalah karena simulator lebih mementingkan hubungan untuk memprediksi kemungkinan adanya penyakit. Dalam penelitian ini faktor risiko maupun outcome akan dikategorikan menjadi variabel berskala nominal dikotom. Untuk ukuran efek dihitung rasio prevalens, yaitu perbandingan antara prevalens efek pada kelompok dengan risiko dan kelompok tanpa risiko. Rasio prevalens sama dengan satu menunjukkan bahwa variabel yang independen yang diteliti bukan merupakan faktor risiko. Rasio prevalens lebih dari satu menunjukkan bahwa variabel independen tersebut merupakan faktor risiko, dan bila prevalens kurang dari satu berarti variabel independen merupakan faktor protektif. Pada setiap perhitungan rasio prevalens disertakan perhitungan nilai interval kepercayaan 95%. Dengan interval kepercayaan ini dapat dinilai presisi estimasi rasio prevalens dan kemaknaan statistiknya. Selanjutnya analisis akan dilanjutkan dengan multivariat, dan yang dipergunakan adalah persamaan multivariat regresi logistik. 7.2. Jumlah Subjek yang Diperiksa Subjek penelitian tersebar di semua wilayah di DKI, pada 14 taman kanak-­‐kanak (TK) dengan 34 kelas kelompok bermain (KB), 43 kelas TKA dan 45 kelas TKB. Jumlah murid yang diperiksa merata antara 502 – 591 murid per wilayah dengan total murid yang diperiksa 2.656 murid. Data jumlah TK di Jakarta (2005-­‐2006) tercatat 1.787 TK swasta dengan 96.939 murid, tersebar di wilayah Jakarta antara 10.840 murid hingga 26.952 murid per wilayahnya dan 9 TK negeri dengan 1.787 murid. Perhitungan subjek didasarkan populasi anak prasekolah sebanyak 120.000 dan menghasilkan jumlah subjek 466 anak. Dari jumlah subjek yang diperbesar dan meratanya subjek yang diperiksa dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian mewakili populasi studi. 7.3 Status Karies gigi Karies gigi mencapai dentin adalah variabel dependen yang menjadi pusat penelitian ini. Dengan menggunakan acuan target WHO – Health for All by The Year 2000, yang menghendaki bebas karies gigi harus lebih besar dari 50%, hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalens anak karies gigi meliputi 56% ini berarti bebas karies gigi baru 44%. Berarti 113 target WHO tahun 2000 belum bisa dicapai. Jenis gigi sulung yang paling banyak terserang karies gigi adalah gigi 51 dan 61 (gigi seri pertama atas = 39%) diikuti gigi 52 dan 62 (gigi seri kedua atas = 26%) kemudian gigi 74 dan 84 (gigi geraham pertama bawah = 24%). Hal ini kemungkinan disebabkan adanya sisa susu atau makanan lunak yang biasa menempel pada labial gigi seri, kurangnya fungsi clearance dari saliva di daerah tersebut, di samping usia gigi terpapar lebih lama. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebagai gigi indeks untuk skrining. Untuk melihat apakah anak usia prasekolah menderita karies gigi atau tidak, cukup dengan mengangkat bibir atas, melihat gigi depan atas labial, dan membuka mulut untuk melihat gigi geraham bawah oklusal. Sebut saja anterior atas posterior bawah disingkat indeks AAPB. Ternyata indeks ini sangat baik sebagai perangkat diagnostik karies gigi pada anak, terbukti hasil Uji Sensitivitas dan Spesifisitas menunjukkan hal tersebut sesuai Tabel 7.1. Tabel 7.1 Uji sensitivitas dan spesifisitas Indeks AAPB Sensitifitas Spesifisitas Predik karies gigi Predik sound 96,6% 100,0% 100,0% 95,4% Ini berarti bila indeks AAPB positif karies gigi maka 100% pasti karies gigi. Bila indeks AAPB negatif (tidak ada karies gigi ) maka kemungkinan anak tersebut benar-­‐benar bebas karies gigi adalah 95,4%, karena ada gigi posterior atas yang mungkin karies gigi. 7.4 Umur Subjek Untuk kepraktisan dan sesuai dengan ketentuan WHO – Oral Health Surveys Basic Method 4th edition,[5] umur subjek dicatat sebagai umur ulang tahun terakhir. Pada kelas KB didominasi umur 3 tahun, pada TKA umur 4 tahun dan pada TKB umur 5 tahun. Umur 5 tahun adalah indeks umur yang direkomendasikan WHO untuk menilai tingkat karies gigi sulung. Penyakit gigi sangat kuat berkorelasi dengan umur. WHO mentargetkan Health For All by the year 2000 gigi anak kelompok usia 5 tahun harus bebas karies gigi dalam pengertian bebas gigi berlubang secara kasat mata lebih dari 50%.[121] Selama ini tidak pernah ada program kesehatan gigi untuk anak di bawah 5 tahun di Indonesia sehingga sejak dulu kondisi bebas karies gigi untuk anak kelompok usia 5 tahun tidak pernah berubah. 114 Maka sangat jelas bahwa program kesehatan anak di usia KB dan TKA sangat strategis untuk meningkatkan kesehatan gigi anak prasekolah di kemudian hari. Hubungan bivariat antara umur dengan karies gigi adalah berbeda bermakna (p<0,0001). Prevalensi karies gigi kelompok umur 3 tahun = 47,3%, kelompok umur 4 tahun = 54% dan kelompok umur 5 tahun = 62%. Secara teoretis memang prevalensi karies gigi merupakan fungsi umur dan karena karies gigi bersifat progresif akumulatif. Untuk kepentingan analisis multivariat regresi logistik variabel umur dibuat dikotom dengan batas kelompok umur 3 tahun (kode 0) dan kelompok umur 4 tahun ke atas (kode 1), yaitu sebagai hasil analisis ROC. Tingkat berbeda bermakna p<0,0001 POR 1,58 dengan rentang 95%CI 1,32 – 1,90. Karena lebih besar dari 1 maka dapat dikategorikan sebagai faktor risiko, dan dalam uji multivariat, variabel umur lolos sebagai variabel independen terpilih. 7.5 Jenis Kelamin, Berat Badan Saat Lahir, Berat Badan, Tinggi Badan dan Indeks Massa Tubuh 7.5.1 Jenis kelamin Jenis kelamin boleh dikatakan merata walaupun anak laki-­‐laki sedikit lebih banyak daripada anak perempuan dengan beda sekitar 3,6%. Hubungan bivariat antara jenis kelamin dan karies gigi tidak berbeda bermakna (p=0,734). Prevalens karies gigi anak laki-­‐ laki 56,3%, prevalens anak perempuan 55,7% menunjukkan tidak ada perbedaan prevalens karies gigi antara anak laki-­‐laki dan anak perempuan. Ini memperlihatkan bahwa antara anak laki-­‐laki dan perempuan tampaknya pada usia tersebut fisiologis maupun fisik yang berpengaruh terhadap karies gigi tidak berbeda. Selanjutnya, variabel jenis kelamin tidak masuk dalam analisis berikutnya. 7.5.2 Berat Badan Saat Lahir Efek defisiensi nutrisi pada saat anak dalam kandungan dapat mempengaruhi dua tahapan perkembangan gigi, baik pada waktu pre-­‐erupsi maupun paska-­‐erupsi gigi. Pada pre-­‐erupsi, defisiensi nutrisi makanan mempengaruhi proses maturasi gigi, komposisi kimiawi gigi, ukuran, morfologi, dan juga dapat mengakibatkan keterlambatan waktu erupsi gigi. Maturasi gigi yang tidak sempurna kemungkinan menyebabkan gigi lebih rentan terhadap karies gigi. 115 7.5.3 Berat Badan dan Tinggi Badan Berat badan dan tinggi badan laki-­‐laki secara konsisten sedikit lebih berat dan sedikit lebih tinggi dari anak perempuan. Berat badan dan tinggi badan baik laki-­‐laki maupun perempuan juga sangat kuat berkorelasi dengan umur. Dibandingkan dengan rujukan baku WHO – NCHS (National Center for Health Statistics),[122] tinggi badan anak laki-­‐laki dan anak perempuan masih dalam kisaran rujukan baku, tetapi berat badan sedikit di atas rujukan baku yang mencerminkan subjek penelitian rata-­‐rata sedikit lebih gemuk dibanding rujukan baku. Hubungan berat badan dengan karies gigi tidak berbeda bermakna (p=0,376). Demikian pula tinggi badan (p=0,869). 7.5.4 IMT (Indeks Massa Tubuh) Setelah diperlakukan sebagai variabel dikotom dengan menggunakan analisis ROC maka diperoleh batas IMT di bawah 14 (kode 1) dan IMT 14 ke atas (kode 0), tampak hubungan dengan karies gigi adalah berbeda bermakna (p=0,012), POR=1,54 pada 95%CI = 1,10 – 2,15. Prevalens karies gigi pada kelompok IMT di bawah 14 = 64% pada kelompok 14 ke atas = 54%. Bila median IMT rujukan baku WHO-­‐NHCS berkisar antara 15 – 17, maka 14 dapat dikategorikan di bawah median rata-­‐rata. Namun, pada analisis multivariat, variabel IMT tidak bermakna sehingga tidak dimasukkan dalam simulator. Dibandingkan dengan data NHANES, diketahui bahwa kebiasaan makan makanan sehat lebih bermakna terhadap prevalensi karies gigi daripada IMT (30). Sebuah reviu yang dilakukan oleh Psoter, mengumpulkan semua artikel yang ditulis dari tahun 1966-­‐2003 dan menemukan bahwa salah satu hal yang menyebabkan anak memiliki Indeks massa tubuh yang lebih rendah dibanding anak seusianya adalah Protein-­‐ Energy Malnutrition (PEM), [123] yaitu istilah malnutrisi ditandai dengan gejala kurangnya intake protein, energi, dan mikronutrien, serta sering terjangkit penyakit infeksi.(115) Pada tahap paska-­‐erupsi gigi, pola makan dapat mempengaruhi pembentukan biofilm dan aktivitas metabolik mikroba dalam lingkungan mulut, komposisi saliva, dan komposisi permukaan email gigi.[19] Berat badan anak cenderung lebih rendah jika ibu mengalami diet rendah protein pada saat fase menyusui. Anak yang terkena PEM memiliki daya tahan lebih rendah terhadap penyakit. PEM juga diasosiasikan dengan perubahan aliran saliva, kemampuan buffer dan komposisi saliva. Selain itu, PEM juga dianggap memiliki hubungan dengan hipoplasi email eksternal pada gigi susu. Kurangnya mineral pada gigi dapat 116 menyebabkan permukaan gigi lebih rentan terhadap perlekatan mikroba patogen dan ada bukti tidak langsung yang menyebutkan bahwa email gigi yang mengalami hipoplasia/ hipomineralisasi secara struktur lebih rentan terhadap demineralisasi.([114, 123] Studi kros-­‐ seksional yang dilakukan terhadap 788 anak usia 7 tahun di Teheran menunjukkan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang bermakna antara intake makronutrien dan indeks anthropometrik, anak-­‐anak yang mengkonsumsi lemak kurang dari 75% dari yang direkomendasikan mempunyai DMF-­‐T yang lebih tinggi.([114] Studi-­‐studi tersebut menyimpulkan hal senada bahwa defisiensi energi dan protein dapat diasosiasikan dengan timbulnya defek perkembangan gigi.([114, 123] Sebaliknya, obesitas pada anak didapati tidak mempunyai korelasi dengan karies gigi gigi. 7.6 Gigi Berjejal Anak dengan gigi berjejal tercatat 9,6%. Kebijakan program hanya terbatas observasi karena dengan bertambah usia dan pertumbuhan kepala dan rahang di kemudian hari dapat saja gigi berjejal berubah statusnya. Gigi berjejal diperkirakan akan menyebabkan pembersihan gigi kurang efektif sehingga sangat berisiko akan menimbulkan karies gigi, tetapi ternyata hubungan gigi berjejal dengan karies gigi tidak berbeda bermakna (p=0,358). Hal ini mungkin disebabkan kondisi berjejal tidak terlalu parah dan hampir semua sudah menggosok gigi. 7.7 Kondisi Gigi Kondisi gigi yang akan dibahas disini adalah mengenai white spot dan diskolorasi fisur. Kedua faktor ini menjadi faktor risiko yang bermakna terhadap karies gigi anak. 7.7.1 White spot White spot terdapat pada 17,3% anak. White spot adalah kondisi gigi dalam fase awal karies gigi. Pada kondisi ini bagian gigi tersebut mengalami demineralisasi, tetapi matrik masih utuh. Secara kasat mata gigi tidak tampak berlubang, tetapi melalui foto rontgen tampak bayangan hitam di bagian sebelah dalam daerah white spot. Pada fase ini proses kerusakan gigi dapat dihentikan melalui terapi remineralisasi.(63) Umumnya white spot dijumpai pada daerah leher gigi yang disebabkan sisa makanan yang menempel pada daerah labial atau bukal cukup lama, memungkinkan asam terbentuk dan menyebabkan 117 demineralisasi. Program yang diluncurkan untuk mengatasi white spot adalah terapi remineralisasi dengan menggunakan preparat CPP-­‐ACP. Hubungan white spot dengan karies gigi berbeda bermakna (p<0,0001) POR=3,37 pada 95%CI terletak antara 2,57-­‐4,27. Lolos sebagai variabel independen dalam analisis multivariat. Prevalensi kelompok anak dengan white spot = 78% dibandingkan kelompok tanpa white spot = 51%. Sebuah penelitian retrospektif melibatkan lebih dari 2300 subjek yang dilakukan tahun 2006, juga menemukan white spot secara statistik bermakna (OR=1,5) sebagai faktor risiko karies gigi terhadap terjadinya kavitasi kasat mata/karies gigi dentin yang tampak dengan foto rontgen. [51] 7.7.2 Diskolorasi fisur Diskolorasi fisur terdapat pada 10,1% anak. Diskolorasi fisur di sini adalah fisur berwarna coklat kehitaman di mana tidak tampak sebagai gigi lubang atau tidak teraba adanya lubang dengan menggunakan probe. Hubungannya dengan karies gigi berbeda bermakna (p<0,0001). Prevalens kelompok anak dengan diskolorasi fisur 82% dibandingkan dengan kelompok tanpa diskolorasi fisur 53%. POR 3,94 pada 95%CI terletak antara 2,86 – 5,42. Lolos sebagai variabel independen dalam analisis multivariat. Meski penelitian ini tidak meneliti kedalaman dan bentuk fisur, namun menurut Mount, peran diskolorasi fisur terhadap karies gigi bisa dijelaskan dengan anatomi gigi dengan banyak groove, pit, dan fisur yang dalam dan meluas sehingga menyebabkan makanan dan pewarnaan mudah terperangkap di dalamnya, serta sulit dibersihkan sehingga meningkatkan risiko gigi berlubang.[1] Sedangkan pendapat lain mengatakan diskolorasi fisur tidak selalu berarti ada proses karies aktif yang sedang berjalan (discoloration of the fissure does not necessarily mean that there is an active caries process going on). [118] Menurut Raadal, lesi yang tidak aktif biasanya ditandai dengan warna fisur coklat gelap atau kehitaman, sedangkan lesi aktif biasanya ditandai dengan warna opak atau coklat terang. [118] Sebuah penelitian retrospektif melibatkan lebih dari 2300 subjek yang dilakukan tahun 2006, juga menemukan diskolorasi oklusal secara statistik bermakna (OR=1,5) sebagai faktor risiko karies gigi terhadap terjadinya kavitasi kasat mata/karies gigi dentin yang tampak dengan foto rontgen. [51] 118 Untuk menghindari diskolorasi fisur menjadi gigi lubang, dilakukan program proteksi fisur dengan menggunakan semen glass-­‐ionomer yang bersifat mudah mengalir dan kaya fluor untuk dilapiskan pada permukaan oklusal gigi. 7.8 Pemeriksaan pH Saliva dan pH Plak 7.8.1 pH Saliva Melalui analisis Independent T Test, pH saliva dikategorikan dikotom : kelompok pH 6,8 dan ke atas (kode 0) proporsinya 80%, tampaknya sebagian besar kondisi saliva cukup baik dengan prevalensi karies gigi = 55%, dan kelompok pH 6,6 dan ke bawah (kode 1) proporsinya 20% dengan prevalens karies gigi = 62%. Pada analisis bivariat, jika dipotong pada pH 6,8 maka saliva secara statistik berbeda bermakna (p=0,002) terhadap karies gigi dengan POR = 1,36 dan kisaran pada 95%CI = 1,12-­‐1,66. Namun pada analisis multivariat menjadi tidak bermakna, sehingga tidak dimasukkan dalam simulator. Ada banyak penelitian pada orang dewasa yang membuktikan bahwa saliva berperan dalam kejadian karies gigi.(52, 87-­‐89) Namun, dalam penelitian ini saliva menjadi kurang bermakna karena hanya 4,8% anak yang mempunyai kualitas pH saliva yang jelek (pH<6), bisa dijelaskan karena pada anak belum banyak gangguan penyakit yang berefek pada salivasi, dibanding pada orang dewasa. 7.8.2 pH Biofilm Melalui analisis dengan Independent T Test, maka pH biofilm dikategorikan dikotom : kelompok pH 6,5 dan ke atas (kode 0) ada 34% dengan prevalens karies gigi sekitar 50% dibandingkan dengan kelompok pH 6 dan ke bawah (kode 1) ada 66% dengan prevalens karies gigi = 59%. Tampaknya kondisi biofilm sebagian besar subjek kurang baik. Berbeda bermaknasi (p<0,0001) POR = 1,41 dengan kisaran pada 95% CI = 1,19 -­‐1,66. Masuk sebagai variabel independen untuk analisis multivariat. pH biofilm diukur menggunakan kode warna seperti disajikan pada Gambar 4.5. pH kritis untuk terjadinya demineralisasi bukanlah angka yang fix. Komposisi email gigi utamanya terdiri dari hidroksiapatit yang terdiri dari Ca10(PO4)6(OH)2, namun selain itu juga mengandung ion karbonat dan fluor. Proporsi karbonat dan fluor berbeda-­‐beda pada tiap orang, berbeda-­‐beda pula antara satu gigi dengan gigi lainnya. Kelarutan email 119 bergantung pada komposisi karbonat dan fluor. Karenanya pH kritis bervariasi dan angkanya bergantung pada konsentrasi kalsium dan fosfat yang tersedia dalam saliva.([71] Bila biofilm dihilangkan dengan jalan menyikat gigi atau prosedur higiene oral lainnya, maka dalam hitungan menit biofilm akan terbentuk lagi.[124] Siklus ini tidak dapat dicegah karena bersifat alamiah dan normal. Namun, fluktuasi metabolik demineralisasi dan remineralisasi di dalam biofilm ini dapat dimodifikasi agar ada proses keseimbangan, yaitu proses demineralisasi segera dinetralkan dan proses remineralisasi didorong, maka tidak akan terjadi gigi berlubang. Penggunaan 2 tones disclosing solution dalam penelitian ini sebagai alat bantu mengidentifikasi kematangan/ketebalan biofilm pada saat pelatihan cara menggosok gigi pada anak prasekolah. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa meningkatnya status karies gigi seseorang ditandai dengan meningkatnya biofilm yang terdiri dari bakteri acidogenik yang tahan asam dan meningkatnya keasaman pH plak. Dengan demikian, dengan mengukur keasaman biofilm dapat diperkirakan potensi kariogenik bakteri.[125, 126] pH biofilm merupakan indikator risiko karies gigi. [68] 7.9 Pola Diet Kariogenik dan Higiene Mulut Diet kariogenik yang bermakna setelah analisis multivariat adalah kesukaan minum soft-­‐ drink, dan makan permen. Kebiasaan ngemut makanan terkait dengan lamanya kontak makanan kariogenik dengan gigi, dan lamanya pemberian air susu ibu (ASI), frekuensi minum susu lebih dari 4 kali sehari demikian pula minum susu dengan botol setelah berumur 4 tahun atau lebih, terkait dengan faktor pembersihan sisa susu, yang biasanya diikuti langsung tidur. Detail hasil analisis akan disampaikan dalam sub-­‐bab berikut ini. 7.9.1 Konsistensi Makanan Konsistensi makanan yang menjadi kebiasaan makan anak umumnya normal (89%) sisanya (11%) adalah dikategorikan lunak. Secara statistik hubungannya dengan karies gigi tidak bermakna (p=0,330). Konsistensi makanan lunak pada awalnya diperkirakan berhubungan dengan karies gigi, namun ternyata pada penelitian ini tidak terbukti. Hal ini kemungkinan terjadi karena konsistensi makanan tidak terlalu bervariasi pada murid TK 120 PENABUR atau kemungkinan lain, meskipun makan makanan yang lunak, anak rajin menggosok giginya. 7.9.2 Ngemut Makanan Kebiasaan mengemut makanan dalam jangka waktu lama serta seringnya frekuensi makan memiliki dampak besar terhadap kesehatan gigi. Ketika anak mengkonsumsi makanan yang mengandung gula yang difermentasikan, pH dalam mulut turun dan email gigi mulai larut. Pada masa awal kanak-­‐kanak, karies gigi menjadi masalah serius karena gigi yang baru erupsi sangat sensitif terhadap karies gigi gigi. ([114] Kebiasaan ngemut mencakup 34% sedang sebagian lain yang tidak ngemut makanan ada 66%. Ngemut makanan menyebabkan gigi terpapar dengan makanan cukup lama dan peruraian karbohidrat menjadi asam yang memungkinkan demineralisasi email yang akan berakibat gigi berlubang. Prevalensi karies gigi pada kelompok ngemut (kode 1) = 64%, dibandingkan dengan kelompok tidak ngemut (kode 0) = 52%. Secara statistik bermakna (p<0,0001) dengan OR = 1,62 dan pada 95% CI berkisar 1,36 -­‐ 1,94. Variabel ngemut masuk sebagai variabel independen dalan analisis multivariat. Penelitian di beberapa tempat juga menemukan bahwa kebiasaan ngemut/prolonged eating time pada anak menjadi risiko karies gigi gigi. ([2, 65] 7.9.3 Suka Sayur Sebanyak 60% anak mengaku suka sayur dan 40% tidak suka sayur. Hubungannya dengan karies gigi tidak berbeda bermakna (0,056). OR = 1,17, dengan 95% CI terbentang antara 0,99– 1,38. Makan sayur yang diperkirakan dapat membantu pembersihan spontan saat makan ternyata tidak tampak efeknya terhadap pencegahan karies gigi. Hal ini bisa dijelaskan karena oleh jumlah sayur yang dimakan masih kurang, atau mungkin efeknya kalah oleh makanan kariogenik. 7.9.4. Kebiasaan makan Permen Permen yang secara teoretis menjadi sebab karies gigi dalam penelitian ini ternyata didukung data penelitian. Dari data terlihat bahwa 87% anak menyukai permen. Prevalens karies gigi kelompok anak yang makan permen tiap hari mencapai 59%. Dibandingkan dengan kelompok tidak senang permen yang jumlahnya 13%, prevalensi karies gigi nya 121 hanya 46%. Secara statistik hubungan dengan karies gigi bermakna (p<0,0001). POR= 1,69 kisaran 95% CI = 1,41 – 2,09. Kebiasaan makan permen masuk sebagai variabel independen dalam analisis multivariat. Suatu systematic review tahun 2004 mengevaluasi hubungan konsumsi gula dengan risiko karies gigi. Sedikitnya ditampilkan 12 studi kohort dengan Risk Ratio konsumsi gula terhadap karies gigi berkisar dari 1,4 hingga lebih dari 2,5. ([85] 7.9.5 Frekuensi Makan Permen Pada anak yang suka permen (87%), yang makan tiap hari lebih dari 2 kali (kode 1) ada 33% (28% dari keseluruhan anak). Prevalensi karies gigi pada kelompok ini mencapai 64% dibanding kelompok yang makan permen kurang dari 2 kali sehari (kode 0) proporsinya 67%, prevalensi karies giginya hanya 55%. Secara statistik bermakna (p<0,0001). POR=1,58 dengan 95% CI = 1,29– 1,92. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa semakin sering frekuensi konsumsi gula, makin besar risiko karies gigi[28, 37, 47, 85, 104, 105, 109]) dan bukan banyaknya gula yang dimakan yang penting melainkan cara makannya, terutama frekuensinya, konsistensi makanannya, serta praktik kebersihan mulutnya yang menentukan tingginya kariogenisitas.([102] 7.9.6 Kebiasaan minum soft-­‐drink Sebanyak 55% anak tidak suka soft-­‐drink (kode 0), prevalens karies gigi kelompok ini 51%. Dibandingkan kelompok suka soft-­‐drink (minum soft-­‐drink lebih dari sekali seminggu) (kode 1) yang proporsinya 45%, prevalens karies gigi = 62%. Secara statistik mempunyai hubungan bermakna (p<0,0001). POR=1,62 dengan 95%CI =1,37–1,90. Soft-­‐drink masuk sebagai variabel independen dalam analisis multivariat. Hasil National Health and Nutrition Examination Survey III (NHANES III) di Amerika pada anak usia 2-­‐10 tahun menyimpulkan hal serupa, yaitu bahwa anak dengan kebiasaan minum soft-­‐drink mempunyai karies gigi sulung yang lebih tinggi dibanding anak dengan kebiasaan minum susu, air putih, atau jus. ([87] Konsumsi tinggi soft-­‐drink oleh anak-­‐anak merupakan indikator risiko karies gigi dan oleh karenanya harus dikurangi sedapat mungkin.[3, 87] Sebuah studi meta-­‐analisis tahun 2007 juga menemukan adanya asosiasi positif antara konsumsi soft-­‐drink dan kejadian karies gigi. ([113] 122 Dengan demikian hasil dari penelitian ini mengenai soft-­‐drink sebagai faktor risiko karies gigi pada anak tidak bertentangan dengan penelitian lain. 7.9.7 Lama ASI Lama anak menyusu ASI umumnya kurang dari 12 bulan proporsinya 84%. Prevalensi karies gigi kelompok ini 55%. Yang menyusu ASI lebih dari 12 bulan tercatat 16%, dengan prevalens karies gigi sekitar 70%. Secara statistik mempunya hubungan bermakna (p<0,0001). OR=1,69 dengan 95%CI=1,31 – 2,17. Lama ASI masuk sebagai variabel independen dalam analisis multivariat. Hal ini bisa dijelaskan karena bagi anak yang lama ASI lebih dari 12 bulan biasanya mempunyai kebiasaan langsung tertidur tanpa membersihkan gigi di malam hari, sedangkan pada malam hari fungsi saliva juga berkurang. ASI mengandung 7% laktosa, 34 mg/100g kalsium dan 15 mg/100g fosfat. Berbeda dengan susu sapi yang mengandung 125 mg/100g kalsium dan 96 mg/100g fosfat. Secara teoriritis ASI lebih kariogenik dibandingkan susu sapi.[3] Suatu proyek penelitian trial klinik randomisasi terbesar mengenai efek ASI terhadap karies gigi telah dilakukan pada tahun 2007, melibatkan 13.889 ibu yang mengikuti program Promotion of Breastfeeding Intervention Trial (PROBIT) dan anaknya diikuti selama 6,5 tahun. Sayangnya penelitian PROBIT hanya mengamati efek pemberian ASI pada 4 kelompok anak, yaitu yang diberi ASI selama 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, dan 12 bulan. Penelitian PROBIT menemukan bahwa tidak ada penurunan insiden karies gigi dengan memperlama pemberian ASI.[127] Penelitian lain mengemukakan bahwa pemberian ASI dalam jangka waktu lebih dari 18 bulan berisiko terhadap kejadian karies gigi gigi.[17, 18] Sebuah studi kohort retrospektif menemukan bahwa anak dengan kebiasaan menyusu ASI pada malam hari selama lebih dari 12 bulan merupakan risiko karies gigi bagi anak di Myanmar. [108] Dengan demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain dan dapat diikatakan memiliki justifikasi meta-­‐analitik. 7.9.8 Lama Susu Botol Perhitungan statistik menggunakan Independent T Test membagi lama minum susu dengan botol dengan cut of point 4 tahun. Anak yang minum susu dengan botol kurang dari 4 tahun (kode 0) ada 69%. Prevalens karies gigi kelompok ini 54%. Dibandingkan kelompok minum susu botol lebih dari 4 tahun (kode 1) berjumlah 31%, dengan prevalensi karies gigi 123 61%. Statistik berbeda bermakna (p=0,02) POR = 1,24 dengan 95% CI = 1,11 – 1,57. Lama minum susu botol masuk sebagai variabel independen dalam analisis multivariat. Hal ini dikarenakan susu formula yang beredar di pasaran sudah diberi kandungan gula di dalamnya sehingga pemberian susu dengan botol mengakibatkan gigi terendam cairan susu yang relatif manis dalam jangka waktu yang lama. Hasil observasi di lapangan menemukan bahwa berbagai merek susu formula yang beredar di Jakarta, per serving-­‐nya mengandung 6-­‐13 gram glukosa. Moynihan menyimpulkan bahwa pemberian susu dengan botol berisiko meningkatkan kejadian karies gigi, terutama pemberian susu botol di tengah waktu tidur malam hari.[105] 7.9.9 Frekuensi Minum Susu Anak minum susu 3 kali sehari atau kurang proporsinya 77%, prevalensi karies gigi 55%, dibanding kelompok minum susu 4 kali atau kebih, proporsinya 23%, dengan prevalensi karies gigi 61%, secara statistik bermakna (p=0,013) POR = 1,28 dengan 95% CI= 1,05 – 1,56. 7.10 Kebiasaan Pembersihan Gigi dan Mulut 7.10.1 Sikat Gigi Menggunakan Pasta Gigi Penelitian ini menggali informasi mengenai keterpaparan fluor pada anak melalui variabel ”sikat gigi menggunakan pasta gigi”, mengingat pasta gigi adalah sumber utama Fluor. Hal yang sama juga dilakukan pada sebuah penelitian cross sectional di Kanada tahun 2005 yang meneliti 6303 pasang ibu dan anak usia 5-­‐9 tahun. [106] Bagi anak usia prasekolah, penggunaan fluor dalam pasta gigi adalah sarana pencegahan karies gigi yang paling murah, mudah didapat, sekaligus efektif mencegah karies gigi. Berbagai pasta gigi untuk anak yang beredar di pasaran mencantumkan kandungan fluor yang bervariasi, setara dengan 450 ppm hingga 1.000 ppm Fluor. Sebanyak 98% subjek sudah menggosok gigi menggunakan pasta gigi, dengan prevalensi karies gigi 55,9%. Nilai-­‐p 0,288 yang berarti tidak berbeda bermakna secara statistik dengan subjek yang tidak menggosok gigi menggunakan pasta gigi. Kemungkinan hal ini terjadi karena hampir seluruh subjek sudah menggunakan pasta gigi dan pasta gigi yang beredar di pasaran 124 semuanya disebutkan mengandung Fluor. Dengan demikian penggunaan pasta gigi, dalam penelitian ini tidak dimasukkan dalam analisis multivariat. Gambar 7.1. Berbagai merek pasta gigi anak yang beredar di pasaran, kesemuanya mencantumkan kandungan Fluor. 7.10.2 Frekuensi Sikat Gigi Kelompok anak yang sikat gigi lebih dari 2 kali sehari ada 80%, prevalensi karies gigi kelompok ini 55%, dibandingkan dengan kelompok yang sikat gigi 1 kali sehari (20%), prevalensi karies giginya 59%. Secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,097). WHO menyarankan menggosok gigi dua kali sehari cukup efektif mengurangi perkembangan karies gigi. Menggosok gigi lebih dari dua kali sehari dapat memberikan proteksi tambahan, namun tidak disarankan untuk anak prasekolah, mengingat semakin sering sikat gigi maka risiko tertelannya Fluor menjadi lebih tinggi pula.[115] 7.10.3. Sikat Gigi Sebelum Tidur Malam Sebanyak 52% anak sikat gigi sebelum tidur malam(kode 0), prevalens karies gigi kelompok ini 53%. Dibandingkan kelompok tidak sikat gigi sebelum tidur malam (kode 1) yang proporsinya 48%, prevalens karies gigi 59%. Secara statistik mempunyai hubungan bermakna (p=0,003). POR=1,28 dengan 95 %CI = 1,09 – 1,50. Hal ini disebabkan karena waktu tidur aliran ludah beristirahat sehingga tubuh tidak bisa melakukan buffering pada serangan asam yang dihasilkan oleh bakteri yang tidak dibersihkan sebelum tidur. 125 7.11. Pengasuhan Anak Anak prasekolah masih sangat bergantung pada pengasuhnya. Oleh karena itu akan disajikan pembahasan berikut ini. 7.11.1 Pengasuh Sebanyak 62% keluarga mempunyai pengasuh anak. Pada kelompok ini prevalens anak karies gigi 55%. Dibandingkan dengan kelompok tanpa pengasuh anak yang proporsinya 38%, prevalens karies gigi anaknya 58%. Jadi ada tidaknya pengasuh secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,077). 7.11.2 Tipe Pengasuhan Sebanyak 59% anak diasuh oleh ibu dibantu pengasuh (baby sitter). Pada kelompok ini prevalens karies gigi = 54%. Dibandingkan dengan asuhan oleh keluarga sendiri proporsinya 41%, prevalens karies giginya = 58%. Secara statistik mempunyai hubungan bermakna (p=0,030). POR=1,20 dengan 95%CI = 1,02 – 1,41. Tipe pengasuhan ini masuk sebagai variabel independen dalam analisis multivariat. Jika diperhatikan bahwa pada sub bab 7.11.1 dikatakan yang mempunyai pengasuh anak sebanyak 62%, sedangkan pada sub bab 7.11.2 terungkap bahwa 59% diasuh oleh baby sitter, maka yang diasuh oleh anggota keluarga selain ibu (nenek, kakek, paman, bibi, dan lain-­‐lain) hanya sekitar 3%. Terkait tipe pengasuh, suatu studi pada 421 murid taman kanak kanak di Abu Dhabi menemukan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh bermakna terhadap karies gigi anak adalah variabel “siapa yang menyiapkan makanan untuk anak”. Ditemukan bahwa jika ibu atau keluarga (nenek, kakek) yang menyiapkan makanan untuk anak, maka risiko karies gigi akan lebih tinggi dibanding jika pembantu / maid yang menyiapkan.[128]. Mengenai mengapa orang yang menyiapkan makanan anak berperan pada karies gigi anak, masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Disarankan untuk melakukan wawancara pada orang yang bertanggung jawab pada penyediaan makanan anak untuk menggali attitude mereka terhadap diet anak. [128] 126 7.12 Faktor Ibu 7.12.1. Umur Ibu Faktor ibu sangat penting mempengaruhi kondisi anak prasekolah dalam segala hal, termasuk kesehatan giginya. Median umur ibu adalah 35,3 tahun, persentil 10 = 30,3 tahun dan persentil 90 = 40,4 tahun. Ada hubungan berbeda bermakna dengan karies gigi (p<0,0001). Untuk keperluan analisis data selanjutnya, setelah dilakukan penghitungan dengan Independent T Test maka umur ibu dikelompokkan 35,9 tahun ke bawah (kode 0) dengan prevalensi karies gigi 52% dibanding kelompok 36 tahun ke atas (kode 1) prevalensi karies gigi 64%. POR= 1,44 dengan kisaran 95%CI 1,23-­‐1,69 , dan lolos dalam uji multivariat sebagai variabel independen. Ibu dengan usia di bawah 36 tahun berisiko lebih rendah terhadap karies gigi anak dibandingkan ibu yang berusia di atas 36 tahun. Karena itu, penting memberikan supervisi dan penyuluhan pemeliharaan kesehatan gigi anak pada ibu dengan kelompok umur di atas 36 tahun. Penting untuk dilakukan penelitian lanjutan berupa wawancara untuk menggali mengapa umur ibu di atas 36 tahun berperan terhadap kejadian karies gigi, antara lain apakah jumlah anak berpengaruh, dan seberapa kepedulian ibu terhadap kesehatan gigi anak. Penelitian lain di Jepang menemukan bahwa umur ibu saat melahirkan anak pertama di atas 35 tahun dan di bawah 22 tahun merupakan faktor risiko karies gigi anak. [40] Yoneda menyimpulkan bahwa umur ibu harus dikualifikasikan sebagai faktor baru yang kemungkinan berperan pada terjadinya karies gigi anak (mother’s age itself should be qualified as a new factor that may influence children’s potential to develop new caries). [40] 7.12.2 Pendidikan Ibu Subjek 58,4% adalah sarjana dan 37,2% adalah lulusan SMA. Prevalensi karies gigi kelompok sarjana ke atas 53%, dibandingkan dengan prevalensi karies gigi kelompok akademi/ SMA ke bawah 61%. Secara statistik bermakna (p<0,0001) . POR = 1,35 pada 95%CI berkisar antara 1,15 – 1,57. Pendidikan ibu masuk sebagai variabel independen dalam analisis multivariat. Dengan tingkat pendidikan seperti di atas maka dapat dimengerti bahwa pada kolompok masyarakat semacam akan mempunyai kesadaran lebih tinggi untuk mendidik anaknya sedini mungkin dan tentunya masalah biaya tidak menjadi halangan. Hal ini juga tercermin dari jumlah TK di Jakarta, yaitu ada 1.787 TK yang merupakan TK swasta dan hanya 9 TK negeri. 127 7.12.3 Status Pekerjaan Ibu Pekerjaan responden sebagai Ibu rumah tangga 54,5% dan sebagai karyawati 39,1%. Hubungan pekerjaan ibu dengan karies gigi secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,582). Prevalensi karies gigi pada kelompok ibu rumah tangga 56% tidak berbeda dengan kelompok karyawati yang juga 56%. Hal ini mungkin disebabkan ibu yang bekerja biasanya mempunyai pengasuh anak. 7.12.4 Pengetahuan, Sikap dan Praktek Ibu Pengetahuan, sikap, dan praktik kesehatan sangat berkaitan. Namun, walaupun mempunyai pengetahuan, dapat saja sikap dan prakteknya berbeda atau sebaliknya. Untuk mengetahui sejauh mana ibu mempunyai pengetahuan, sikap dan praktik kesehatan telah dibuat kuesioner. Kuesioner adalah hasil kelompok diskusi terfokus dari sejumlah ibu murid TK. Setelah diadakan uji coba maka ditetapkan kuesioner untuk menjaring pengetahuan (14 pertanyaan), Sikap (14 pernyataan) dan perilaku praktik kesehatan (16 pertanyaan). Hasil penelitan menunjukkan bahwa dari 14 pertanyaan yang menggali pengetahuan ibu, dapat disimpulkan bahwa 98% ibu mengerti pentingnya memeriksakan gigi anak secara berkala (6 bulan sekali) dan mengetahui bahwa gigi berlubang ditandai dengan lubang berwarna coklat kehitaman, dan gigi berlubang terjadi karena malas menggosok gigi, yaitu malam hari sebelum tidur dan sesudah minum susu, anak harus menggosok giginya terlebih dahulu, serta mengetahui bahwa penambalan gigi dapat mencegah kerusakan lebih lanjut. Namun, faktor risiko karies gigi yang lain seperti me-­‐ngemut makanan, minum susu yang manis, minum soft-­‐drink, minum susu dengan botol, masih belum terlalu dipahami oleh ibu. Demikian pula akibat dari gigi berlubang masih belum disadari oleh sebagian besar ibu. Cara-­‐cara pencegahan gigi berlubang yang terkini seperti pemberian pelapisan pada gigi yang baru tumbuh, serta terapi remineralisasi menggunakan kalsium dan fosfat masih perlu disosialisasikan. Antara pengetahuan, sikap, dan praktik kesehatan ternyata tidak selamanya sejalan. Dari Tabel 7.2 Hubungan pengetahuan, sikap, dan praktik kesehatan ibu, dijumpai hal-­‐hal sebagai berikut. 128 Tabel 7.2 Hubungan pengetahuan, sikap dan praktik kesehatan ibu (dalam %) No. Pertanyaan pengetahuan sikap 90 62,1 85,1 82,8 84,3 75,1 55,7 56,2 77,9 79,3 78 5 Gigi berlubang karena malas menggosok gigi 93,7 97,1 86,5 6 Minum susu yang manis berisiko gigi berlubang 81,9 79,9 94,6 7 Minum susu dengan botol berisiko terkena gigi berlubang 8 Banyak minum soft drink memperbesar risiko terjadinya gigi berlubang pada anak 9 Gigi berlubang bisa dicegah 48,1 49,1 45,5 66,4 66,8 54,3 98,2 97,8 89,8 10 Penambalan gigi pada anak untuk mencegah kerusakan lebih lanjut 11 Pemberian pelapis khusus pada gigi baru tumbuh dapat mencegah gigi berlubang 12 Malam hari setelah minum susu, anak harus menggosok giginya terlebih dahulu, baru kemudian tidur. 13 Pemeriksaan gigi berkala (tiap 6 bulan) penting untuk mencegah gigi berlubang 14 Calsium dan Phosphat dalam sediaan krim dapat dipakai sebagai terapi dalam pencegahan gigi berlubang 93,2 93,5 23,7 47,2 47,7 8 97,3 96,9 52,1 98,7 98,6 34,5 48,7 47,8 11,3 1 Gigi berlubang ditandai dengan lubang yang berwarna coklat kehitaman 2 Gigi berlubang bisa disebabkan karena mengemut makanan dalam waktu yang lama 3 Gigi berlubang bisa dideteksi dengan pengamatan langsung pada gigi 4 Gigi berlubang menyebabkan anak tidak selera makan Praktik yang benar 33,5 Pengetahuan bahwa gigi lubang ditandai lubang berwarna coklat kehitaman sudah 90% benar, tetapi hanya 62,1% yang menyikapi menyetujui pengetahuan tersebut memang benar dan hanya 33,5% yang melakukan praktik memeriksa gigi anaknya didasarkan tanda-­‐ tanda di atas. Demikian pula ngemut makanan meski lebih dari 80% pengetahuan maupun sikap sudah benar, tetapi dalam praktik hanya 55% yang benar dan berarti masih 45% yang tetap ngemut pada saat makan. Mendeteksi gigi anak berlubang dengan cara pengamatan langsung juga ada kesenjangan antara pengetahuan, sikap dan praktik kesehatan. Baru 56,2% ibu yang memeriksa gigi anak untuk mendeteksi gigi anak lubang atau tidak. Gigi berlubang dapat menyebabkan anak tidak selera makan tampak lebih konsisten, yaitu berkisar kurang lebih 78%. Gigi berlubang karena malas menggosok gigi cukup konsisten dan telah dilakukan sebagian besar responden. Risiko karies gigi karena minum susu botol kurang dipahami. Masih lebih dari 50% yang berkeyakinan minum susu dengan botol tidak 129 bermasalah, atau mungkin tak terhindarkan demi anaknya dapat diberi konsumsi susu. Demikian juga minum soft-­‐drink, masih ada sekitar 40% yang tidak yakin bahwa soft-­‐drink dapat menyebabkan karies gigi. Gigi berlubang dapat dicegah diyakini oleh 90% lebih responden. Penambalan gigi pada anak diyakini dapat mencegah kerusakan lebih lanjut, tetapi baru 34,5% yang benar melakukan. Terapi remineralisasi dengan kalsium dan fosfat telah diketahui sekitar 50% responden, tetapi baru 11,3% yang melaksanakan. Hal ini disebabkan terapi remineralisasi merupakan program yang baru. Untuk analisis multivariat selanjutnya dibuat Indeks Komposit. Indeks Komposit Pengetahuan dan Sikap Indeks ini dikelompokkan menjadi satu kelompok, dijadikan satu (1) indeks komposit karena belum tentu diikuti dengan praktik kesehatan. Pertanyaan yang bisa mewakili pengetahuan dan sikap ibu dalam hubungannya dengan karies gigi anak adalah sebagai berikut. • Gigi berlubang menyebabkan anak tidak selera makan (ya=1) • Gigi berlubang karena malas menggosok gigi (ya= 1) • Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan, Anak yang berlubang giginya terganggu tumbuh kembangnya (setuju= 1) • Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan sering minum soft-­‐drink menyebabkan gigi mudah berlubang (setuju= 1) Penelitian yang dilakukan Ned menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan seseorang tidak berarti perubahan perilaku yang bertahan dalam jangka waktu panjang.[90] Pendidikan dan pengetahuan yang baik saja tidak cukup untuk menjamin terjadinya perubahan perilaku.[16] Indeks Komposit Praktik Kesehatan Pertanyaan yang mewakili praktik kesehatan ibu dalam hubungannya dengan karies gigi anak adalah sebagai berikut. • Apakah Ibu pernah memeriksa mulut anak secara langsung untuk mendeteksi adanya gigi berlubang (ya = 1) • Apakah ibu memastikan dan atau membantu anak menggosok gigi setiap malam sebelum tidur (ya=1) 130 7.13 Simulator Tiga elemen kunci kepercayaan dalam Health Believe Model yang dipakai untuk menilai apakah seseorang akan mengikuti anjuran dari suatu perilaku pencegahan adalah sebagai berikut. [91] 1. Ancaman i. persepsi kerentanan terhadap suatu keadaan sakit ii. persepsi tingkat keparahan suatu penyakit 2. Harapan Keluaran i. persepsi keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan ii. persepsi hambatan yang dihadapi untuk melakukan suatu tindakan 3. Harapan efikasi i. keyakinan akan kemampuannya untuk melakukan tindakan yang dianjurkan Konsep inilah yang menjadi dasar dibuatnya simulator. Simulator menghasilkan suatu angka yang dapat dipersepsikan oleh ibu sebagai besarnya ancaman terhadap gigi berlubang. Setelah semua faktor risiko diisi, maka simulator akan mengeluarkan angka prediksi dalam persentase. Angka persentase tersebut adalah hasil analisis statistik pada regresi multivariat biner. Angka 0 adalah sehat dan angka 1 adalah sakit. Perpindahan dari sehat ke sakit seperti bentuk huruf S. Perpindahan ini menjadi rentang simulator 0=0% adalah sehat dan 1=100% adalah sakit. Secara otomatis komputer menghitung % menurut faktor risiko yang ada. Dalam statistik angka numerik berskala rasio lebih kuat dibanding skala ordinal atau nominal. Cara membaca angka yang ditampilkan adalah sebagai berikut. Jika simulator memberikan angka 80%, hal ini berarti prakiraan risiko terjadi gigi berlubang adalah sebesar 80%, hal ini juga berarti “dari 100 anak dengan kombinasi faktor risiko serupa, ada 80 anak yang mempunyai gigi berlubang dan hanya 20 anak yang bebas karies gigi.” Namun jika dilakukan perbaikan pada faktor risiko, maka besaran persentase gigi berlubang akan berkurang. Tindakan simulasi ini dilakukan untuk memberikan persepsi pada ibu, seberapa jauh keuntungan yang diperoleh jika faktor risiko berhasil dikurangi. Selanjutnya pada simulator akan ditampilkan saran-­‐saran pencegahan yang personalized dan bisa dilakukan oleh ibu, sehingga harapannya adalah terjadi perbaikan perilaku kesehatan. 131 Aplikasi simulator disajikan dalam 2 bentuk, yaitu bentuk program computer dan bentuk manual. Sesuai perkembangan dimensi biofisik anak usia prasekolah, program permainan berbasis komputer lebih interaktif dan mengena untuk anak, yang tanpa perlu bisa membaca, tetapi merupakan sarana bermain dan belajar.[95] Untuk mengetahui sensitivitas, spesifisitas, kemampuan prediksi karies gigi, kemampuan prediksi sehat dari simulator, maka terlebih dahulu hasil simulator dikelompokkan menjadi risiko tinggi dan risiko rendah. Yang disebut sebagai risiko tinggi karies gigi adalah jika simulator memberikan angka 80% -­‐100%. Sedangkan yang disebut sebagai risiko rendah adalah jika simulator memberikan angka 40% ke bawah. Tabel 7.3 Uji Sensitivitas, Spesifisitas, Predik Karies Gigi, Predik Sehat dari Simulator Pengelompokan risiko Karies Bebas karies Total nyata nyata Risiko tinggi menurut simulator (80% ke atas) 210 37 247 Risiko rendah menurut simulator (40% ke bawah) 34 82 116 Total 244 119 363 Berdasarkan tabel 7.3 diatas maka dapat dihitung sensitivitas simulator adalah 86 %, artinya pada 244 anak yang ditemukan karies gigi, ternyata ada 210 anak yang diprediksi risiko tinggi oleh simulator. Spesifisitas simulator adalah 69%, artinya pada 119 anak yang bebas karies gigi, ternyata ada 82 anak yang diprediksi risiko rendah oleh simulator. Sedangkan predik karies gigi dari simulator adalah 85%, artinya dari 247 anak yang diprediksi risiko karies tinggi ternyata 210 anak memang mengalami karies gigi. Predik sehat dari simulator adalah 71%, artinya dari 116 anak yang diprediksi risiko karies rendah oleh simulator, ternyata yang betul-­‐betul sehat (bebas karies) ada 82 anak. 7.13.1 “Bobot” / Berat dari Faktor-­‐Faktor Faktor-­‐faktor yang dimasukkan dalam Simulator telah diberi bobot yang berbeda-­‐ beda. Ini berarti bahwa pada saat Simulator menghitung “perkiraan terjadinya karies gigi baru”, faktor-­‐faktor kunci yang mempengaruhi perkembangan karies gigi, atau yang menahan laju perkembangan karies gigi, mempunyai efek yang lebih besar dibandingkan dengan faktor-­‐faktor yang kurang penting. Faktor-­‐faktor tersebut juga ditimbang dalam 132 hubungannya satu sama lain. Jadi, faktor yang berbeda memiliki bobot yang berbeda pada situasi yang berbeda, dan kombinasi antar faktor-­‐faktor tersebut sangat banyak. Pemberian berat masing-­‐masing faktor ini didasarkan pada hasil penelitian dan evaluasi yang diperoleh dari publikasi ilmiah, ditambah lagi adanya pengalaman klinis selama bertahun-­‐tahun mengelola UKGS. Namun, harus dipahami bahwa tidak ada penelitian ilmiah yang mampu mengevaluasi seluruh faktor pada saat yang bersamaan, untuk kelompok umur yang berbeda-­‐beda, dari berbagai daerah. Evaluasi risiko karies gigi tidak dapat dilakukan secara matematis. 7.13.2 Kisaran Simulator Model simulator 1 (model konvensional), yaitu karies didefinisikan sebagai gigi berlubang, terdiri dari 15 variabel, yaitu senang minum soft-­‐drink, frekuensi minum susu, lama susu dengan botol, kebiasaan makan permen, suka ngemut makanan, pendidikan ibu, usia ibu, lama ASI, umur anak, tipe pengasuh, diskolorasi fisur, white spot, pH biofilm, indeks pengetahuan dan sikap ibu, indeks praktik ibu. Bila simulator model 1 diberikan data masukan semua baik, simulator tetap menunjukkan prakiraan karies gigi sebesar 15,8%. Sebaliknya, bila diberikan masukan semua jelek prakiraan karies gigi adalah 99,5%. Hal ini menunjukkan masih ada faktor lain yang berpengaruh, walaupun tidak bermakna, tetapi bila terjadi kumulatif, dan saling berinteraksi, akan mempunyai dampak pada keluaran gambaran Simulator. Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya karies gigi, sehingga anak dengan faktor risiko yang sama belum tentu mengalami kejadian karies gigi yang sama, karena memiliki kerentanan ataupun resistensi terhadap karies gigi yang berbeda satu sama lain secara genetik.[45, 129] Simulator dibuat untuk keperluan kesehatan masyarakat. Model Simulator akan diterapkan pada komunitas yang sudah ada, seperti misalnya pada kelompok taman kanak-­‐ kanak dan ibu-­‐ibu di posyandu. 7.13.3 Kelompok Faktor Simulator membagi 3 kelompok faktor variabel, yaitu (1) faktor ibu dan perilaku serta gaya hidup anak, yang masih dapat dilakukan perbaikan berupa penyuluhan untuk peningkatan kesehatan gigi anak. (2) Kelompok faktor predisposisi, yaitu suatu keadaan 133 prakondisi yang tidak dapat diubah, dan (3) faktor kondisi anak yang dapat dilakukan tindakan intervensi oleh provider. 7.13.4 Intervensi Untuk kelompok faktor ibu dan perilaku serta gaya hidup anak, dapat dilakukan penyuluhan, pelatihan untuk mengubah apa yang terindikasi buruk dalam simulator. Teori HBM mengatakan, untuk bisa mengubah perilaku, seseorang harus percaya bahwa pola perilakunya yang sekarang merupakan ancaman, dan bahwa perilaku tersebut dapat menimbulkan suatu kelainan yang serius. Selanjutnya, orang tersebut harus percaya bahwa perubahan perilaku yang spesifik dapat memberikan keuntungan, tanpa biaya yang berlebihan. Tapi, di samping itu, orang tersebut juga harus merasa cukup kompeten untuk bisa mengimplementasikan perubahan tersebut. Simulator berguna untuk memberi gambaran perubahan gaya hidup dan dampaknya langsung dari keluaran gambar simulator. Hal ini diharapkan memberikan motivasi kuat agar ibu mau mengubah perilaku dan gaya hidup anak. Untuk faktor predisposisi, meskipun faktor yang bernilai jelek secara langsung tidak dapat diubah, tetapi dapat dilakukan tindakan promotif seperti penggunaan CPP-­‐ACP, Fluor atau Xylitol. Untuk faktor kondisi dalam mulut anak, tampak bahwa adanya Diskolorasi fisur (β = 1,241) dan White Spot (β = 1,064) adalah faktor yang terbesar pengaruhnya dalam perjalanan karies gigi menjadi gigi berlubang secara kasat mata. Untuk ini, perlu tindakan proteksi fisur (fissure / surface protection) dan terapi remineralisasi (Remineralization treatment). Di sini tampak bahwa upaya penyuluhan dan upaya sikat gigi masal yang selama ini dilakukan di UKGS ternyata hanya mampu menghasilkan bebas karies gigi kurang dari 50%. Kemungkinan untuk program berikutnya harus melakukan tindakan intervensi terhadap diskolorasi fisur dan white spot. pH biofilm dapat di atasi dengan latihan sikat gigi yang baik, misalnya dengan menggunakan bantuan disclosing solution atau disclosing two tones. 7.13.4.1. Proteksi Fisur dengan Surface Protection Proteksi fisur menggunakan teknik Surface Protection menjadi pilihan untuk strategi intervensi pencegahan karies gigi pada anak prasekolah dengan beberapa pertimbangan. Bahan yang digunakan adalah Glass Ionomer Cement yang mengandung fluor tinggi dan 134 terbukti bisa meremineralisasi jaringan gigi menjadi Fluorapatit. Bahan yang dipakai mempunyai setting time yang cepat dan tidak terlalu sensitif dengan saliva sehingga cocok untuk perawatan anak prasekolah yang umumnya memiliki konsentrasi terbatas dan hanya mengerti instruksi sederhana, seperti ”buka mulut” dan ”tutup mulut”. 7.13.4.2. Terapi Remineralisasi dengan CPP-­‐ACP Preparat CPP-­‐ ACP merupakan preparat remineralisasi yang paling cocok untuk anak usia prasekolah mengingat CPP-­‐ACP hanya berisikan calcium dan phosphate sehingga aman jika tertelan. Selain itu, produsen menyediakan preparat CPP-­‐ACP ini dalam bentuk krim dengan berbagai rasa buah sehingga kemungkinan bisa diterima oleh anak. 7.13.5 Keterbatasan dan Pengembangan simulator Mengingat masih ada 15% faktor risiko kisaran simulator yang belum terjawab, maka perlu dipertimbangkan mencari faktor risiko yang belum bisa ditemukan pada simulator.Hal ini disebabkan simulator tidak menggunakan pemeriksaan bakteri di laboratorium seperti yang dilakukan banyak risk assessment yang lain. Selanjutnya disarankan untuk merancang simulator untuk keperluan klinik sebagai antisipasi perkembangan ilmu kariologi. Simulator untuk keperluan klinik seyogyanya menggunakan pemeriksaan-­‐pemeriksaan yang lebih teliti dan lengkap, seperti misalnya pemeriksaan bakteri di laboratorium, dan pemeriksaan saliva lengkap. Sedangkan untuk metode diagnostiknya dapat menggunakan perkembangan terkini seperti fiber optic transillumination (FOTI), electrical conductance, digital radiography, dan laser fluorescence. Langkah-­‐langkahnya pembuatan simulator klinik pada dasarnya sama, yaitu memilih variabel independen yang mempunyai hubungan dengan karies gigi dengan Odds-­‐ratio yang cukup besar dan secara statistik signifikan, dengan tetap mempertimbangan faktor biologis yang secara empiris ada hubungannya. Pada penelitian ini, sudah dicoba membuat model simulator untuk klinik, namun lebih banyak keterbatasannya yaitu jumlah faktor lebih sedikit dan prakiraan kisaran lebih sempit, dikarenakan data yang tersedia tidak dipersiapkan untuk keperluan model klinik. Pada pembahasan ini ditampilkan prototipe Model simulator untuk klinik yang memasukkan white spot dalam penghitungan karies sebagai dependen variabel. Jika dibuat 135 model menggunakan variabel yang tersedia pada penelitian ini maka terpilih 10 variabel. Variabel tersebut seperti terlihat pada tabel 6.10 meliputi kebiasaan minum soft-­‐drink, sikat gigi malam, suka ngemut makanan, lama ASI, lama susu botol, tipe pengasuhan, diskolorasi fisur, pH biofilm, umur anak, indeks massa tubuh anak. Pada prototipe model simulator klinik rentang prakiraan karies antara 28,3% sampai 96,4%. Hal ini disebabkan pada saat white spot sebagai faktor risiko dikeluarkan dari independen variabel dan dimasukkan dalam dependen variabel maka terjadi ketidakseimbangan model sehingga error termnya meningkat. Tabel 6.10 Variabel bermakna yang dipilih setelah uji multivariat Model Logistik 2 Variabel B Nilai p. POR Minum soft drink 0,304 0,014 1,355 1,062 1,729 Sikat gigi malam 0,291 0,019 1,338 1,050 1,705 Ngemut makanan 0,329 0,015 1,389 1,067 1,810 pH Biofilm 0,273 0,037 1,314 1,017 1,698 Diskolorasi fisur 0,750 0,001 2,116 1,361 3,291 95,0% C.I Lama ASI 0,491 0,013 1,635 1,111 2,405 Susu botol 0,577 0,000 1,780 1,400 2,263 Tipe asuhan anak 0,368 0,003 1,445 1,131 1,847 IMT 0,510 0,014 1,666 1,111 2,498 Ulang tahun akhir 0,334 0,008 1,396 1,093 1,784 -­‐0,929 0,000 0,395 Constant Model Logistik : P (X) = 1 / { 1 + exp [-­‐ ( α + Σ βi Xi ]} Ide model simulator klinik seyogyanya dikembangkan lebih lanjut sebagai antisipasi perkembangan ilmu kariologi, dan karenanya direkomendasikan perlunya penelitian lanjutan yang lebih canggih. 7.14. Hasil Kualitatif Uji Coba Simulator Simulator yang dicobakan kepada 80 ibu yang memiliki anak prasekolah mendapat respon yang memuaskan, sesuai dengan harapan peneliti. 136 Mengenai manfaat simulator, sebanyak 73% ibu menyatakan sangat bermanfaat, 27% menyatakan bermanfaat. Tidak ada yang mengatakan tidak bermanfaat. Dari segi kegunaan simulator, 93% ibu mengatakan bahwa simulator berguna untuk mengetahui faktor risiko gigi berlubang dan cara pencegahannya, sedangkan 7% ibu mengatakan bahwa simulator berguna untuk mengetahui cara pencegahan gigi berlubang. Mengenai kemudahan dimengerti, 33% ibu mengatakan langsung dapat dimengerti, sedangkan 66% mengerti setelah dijelaskan. Untuk itu, maka simulator telah mengalami beberapa perbaikan dan penyesuaian bahasa agar lebih dipahami ibu. Mengenai rekomendasi yang diberikan oleh simulator, 87% ibu mengatakan dapat diterapkan seluruhnya, 10 % mengatakan dapat diterapkan sebagian, 3% abstain. Ada beberapa masukan dari ibu yang menyatakan bahwa dengan adanya simulator, mereka lebih mudah mengontrol pola anak. Hal ini dimungkinkan mengingat simulator dilengkapi dengan checklist tindakan preventif sehingga anak akan lebih menurut karena seolah-­‐olah mendapat “penilaian” dari sekolah atau guru. Semua ibu menyatakan terkesan, dan mengharapkan program berkelanjutan. Simulator mampu menyadarkan ibu tentang faktor risiko gigi berlubang dan cara pencegahannya, ibu dapat mengetahui kondisi dan perkembangan kesehatan gigi anaknya. Simulator menurut mereka adalah suatu kemajuan bagi TK. Tabel 7.2 Perubahan nilai simulator setelah uji coba N % prediksi awal simulator % kenyataan % prediksi perbaikan simulator 80 80 80 Rata-­‐rata nilai simulator 67,0% 38,8% 23,8% Nilai Minimum 22,7% 15,8% 15,8% Nilai Maksimum 96,4% 75,0% 43,5% Pada saat simulator dibagikan, rata-­‐rata prediksi gigi berlubang pada 80 anak adalah 67%, dengan nilai minimum adalah 22,7% dan nilai risiko karies gigi maksimum adalah 96,4%, seperti tertera pada Tabel 7.2. Kepada ibu dijelaskan bahwa jika seluruh faktor risiko berhasil dikendalikan maka prediksi perbaikannya menjadi rata-­‐rata 23,8%, minimum 15,8% dan maksimum 43,5%. Ada faktor-­‐faktor predisposisi yang tidak bisa diubah seperti umur anak, umur ibu, pendidikan ibu. Selanjutnya kepada ibu dibagikan daftar monitor yang harus dilakukan setiap hari oleh ibu dalam rangka mengendalikan faktor risiko gigi berlubang. Setelah 2 minggu, ternyata faktor risiko berhasil diturunkan, rata-­‐rata dari 67% menjadi 38,8%. Tidak semua faktor risiko berhasil diatasi dalam 2 minggu. Namun hasil ini sudah 137 memuaskan, karena jika awalnya faktor risiko sebesar rata-­‐rata 67%, berarti dalam 2 minggu terjadi penurunan faktor risiko karies gigi sebesar 29%, yang sebenarnya sudah teratasi lebih dari separuh faktor risiko (dari 67% menjadi 38,8%). Yang diperlukan selanjutnya adalah menjaga agar perilaku yang baik tetap konsisten dan menjadi kebiasaan. 7.15 Rencana Manajemen dan Implementasi Program Simulator Untuk bisa mengimplementasikan simulator ini maka perlu dikaji runtutan kebijakan Diknas, Pemda, dan sekolah yang bersangkutan. Taman kanak kanak adalah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kota, namun kebijakannya dipengaruhi oleh Diknas. Diknas dapat memfasilitasi pelatihan dan sosialisasi ke Pemerintah Daerah dan selanjutnya pemerintah daerah yang tertarik dapat menggunakan simulator ini. Pada tahap pertama, simulator direncanakan disosialisasi dan dijalankan kepada TK Binaan tingkat propinsi, yaitu sejumlah 30 TK, di bawah payung UKS-­‐UKGS. Diknas dapat melakukan pelatihan untuk guru UKS yang memenuhi syarat sebagai operator simulator, kemudian dokter gigi Puskesmas setempat dapat mengontrol pelaksanaan program tiap 6 bulan sekali. Keberadaan simulator sendiri juga turut mempertegas peran promosi dan preventif dokter gigi di Puskesmas secara dini. Selanjutnya pada tahap dua, simulator direncanakan dijalankan di TK negeri tingkat kabupaten yang berjumlah sekitar 400 TK. [130] Program-­‐program nasional yang diuji coba dapat diusulkan menjadi kegiatan pembangunan dengan menggunakan anggaran APBN. Namun jika pemerintah daerah berminat maka bisa juga menggunakan anggaran APBD tingkat propinsi maupun kabupaten kota. Jika sudah terasa manfaatnya, barulah sekolah dapat terpacu untuk melaksanakan menggunakan anggaran masing masing. Jadi, strategi pemasaran yang digunakan di sini adalah gabungan antara menciptakan need dan demand, yang dibantu dengan arahan strategis yang sifatnya top down. Simulator direncanakan untuk dipasarkan kepada Ikatan Guru Taman kanak kanak serta Himpunan Pendidik dan pengelola Anak Usia Dini. Rekomendasi yang diberikan di dalam simulator sudah mengikuti anjuran Best Practices yang diterapkan di kalangan internasional, sehingga dapat dilaksanakan di berbagai tempat, dengan disesuaikan dengan kondisi lokal yang spesifik, seperti bahasa, budaya, geografis, kebijakan lokal, serta otonomi daerah. Pemeriksaan simulator pun bisa dilakukan tidak hanya oleh dokter gigi, tapi juga oleh tenaga terlatih seperti guru UKS, mahasiswa FKG, perawat gigi. 138 7.16 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-­‐sectional, dan hubungan sebab-­‐akibat merupakan asumsi, berbasis teori. Kejadian apa yang terjadi lebih dulu tidak dapat ditentukan dengan pasti, misalnya apakah karies gigi menyebabkan anak terganggu nafsu makannya sehingga memiliki Indeks massa tubuh yang rendah, ataukah Indeks massa tubuh yang rendah menyebabkan perkembangan gigi terganggu sehingga mudah terkena karies gigi. Selanjutnya hasil penelitian ini selayaknya searah dengan hasil-­‐hasil penelitian lain yang menggunakan desain eksperimental. Namun, kekuatan dari penelitian ini adalah banyaknya jumlah subjek anak prasekolah, sedikitnya 2.600 anak berpartisipasi dalam penelitian ini. Bias informasi juga mungkin terjadi, karena orangtua maupun anak dapat lupa jika ditanya mengenai informasi yang telah terjadi di waktu lampau. Untuk mengatasi hal ini, kuesioner disebarkan dua kali. Jika terjadi selisih jawaban, maka ibu akan ditelepon untuk mengkonfirmasi jawaban yang benar. Pada kenyataannya ada sekitar 200 ibu yang memiliki selisih jawaban dan hal tersebut berhasil dikonfirmasi oleh dokter gigi dan perawat yang bertugas di sekolah masing-­‐masing. Bias seleksi kemungkinan terjadi mengingat subjek yang menolak bisa saja memiliki karakteristik yang berbeda dengan subjek yang datanya berhasil diukur. Namun, mengingat angka penolakan hanya sekitar 4,05%, maka masih dalam batas toleransi. Tidak semua variabel diukur dalam penelitian ini. Salah satu yang mungkin berperan adalah status genetik, yang bisa merupakan confounding atau faktor risiko lain yang seharusnya memenuhi syarat dimasukkan dalam model regresi logistik. Hal ini menjelaskan mengapa dalam model simulator masih ada 15% kemungkinan terjadi karies gigi meskipun semua faktor risiko yang tercantum dalam simulator berhasil dikendalikan. Populasi studi hanya mencakup murid-­‐murid TK PENABUR Jakarta, yang mungkin saja hanya dapat mewakili TK kelas menengah dan kelas menengah atas saja. Untuk mengatasi kemungkinan ini maka dilakukan uji coba di 3 tempat berbeda, yaitu pada ibu-­‐ibu di TK menengah bawah daerah Bambu Apus, TK menengah bawah daerah Serpong, dan TK kelas Toddler menengah atas daerah Serpong Tangerang. Hasil uji coba menemukan bahwa simulator dapat digunakan di berbagai lokasi yang berbeda tingkat sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan ibu. 139 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan 1. Variabel yang bersama-­‐sama berhubungan dengan karies gigi pada simulator adalah kebiasaan minum soft-­‐drink (POR= 1,28; 95% CI= 1,04-­‐1,57), frekuensi minum susu (POR= 1,43; 90% CI= 1,11-­‐1,84), kebiasaan minum susu dengan botol (POR=1,27; 95% CI= 1,01-­‐1,60), kebiasaan makan permen (POR=1,55; 95% CI = 1,23 – 1,94), pH biofilm (POR = 1,36; 95% CI= 1,10-­‐ 1,67), kebiasaan me-­‐ngemut makanan (POR =1,53; 95% CI= 1,23 -­‐1,91), diskolorasi fisur (POR= 3,38; 95%CI= 2,29-­‐4,98), white spot (POR=2,96; 95% CI = 2,23-­‐3,94), pendidikan ibu (POR=1,42; 95% CI= 1,16-­‐1,75), umur ibu (POR= 1,37; 95%CI = 1,12-­‐ 1,68), lama menyusui ASI (POR= 1,73; 95% CI= 1,27-­‐2,35), umur anak (POR= 1,21; 95%CI= 0,97 -­‐1,50), tipe pengasuh (POR= 1,36; 95%CI= 1,11-­‐1,67), pengetahuan dan sikap ibu (POR= 1,84; 95% CI= 1,32-­‐2,55), praktik kesehatan ibu (POR=1,30; 95% CI= 1,06-­‐1,58). 2. Dengan hasil analisis multivariat pada kesimpulan 1, berhasil dibuat program komputer untuk menghitung probabilitas terkena karies gigi per anak. Untuk mempermudah interpretasi, maka dibuat dalam tampilan diagram donat yang diintegrasikan dengan saran pencegahan maupun terapinya. 3. Dalam ujicoba terhadap orangtua, perawat dan dokter gigi UKGS, program dapat diterima dengan baik karena mudah dijalankan dan dimengerti sehingga memacu untuk memperbaiki faktor risiko. 4. Diskolorasi fisur dan white spot adalah faktor yang terkuat mempengaruhi risiko karies gigi. Tampaknya belum tercapainya target WHO Health For All 2000 pada usia 6 tahun 50% bebas karies gigi, salah satunya adalah karena pada program kesehatan masyarakat belum dilakukan intervensi berupa proteksi fisur dan terapi remineralisasi. 5. Dalam penelitian ini juga diperoleh gambaran pola karies gigi anak prasekolah dan ditemukan indek gigi AAPB untuk screening anak prasekolah yang umumnya sangat sulit untuk diperiksa gigi-­‐giginya, yaitu cukup dengan membuka bibir melihat gigi anterior atas dan membuka mulut melihat gigi posterior kanan kiri 140 bawah melihat ada tidaknya karies gigi. Sensitivitas 96,6%, spesifisitas 100%, predictive caries 100%, predictive sound 95,4%. 6. Ide simulator untuk klinik seyogyanya dikembangkan lebih lanjut sebagai antisipasi perkembangan ilmu kariologi, dan karenanya direkomendasikan perlunya penelitian lanjutan yang lebih canggih. 8.2 Saran Untuk Program Kesehatan Gigi Kelompok Bermain / Taman Kanak-­‐kanak a. Untuk Screening UKGS di tingkat kelompok bermain dan taman kanak-­‐kanak dapat digunakan indeks gigi anterior atas dan gigi posterior kanan-­‐kiri bawah. b. Bila dijumpai karies gigi, segera buat program perawatan c. Bila tidak dijumpai karies gigi, dapat dilakukan pengisian Simulator untuk mengetahui potensi kemungkinan karies gigi di kemudian hari dan lakukan intervensi yang disarankan. d. Untuk membangkitkan motivasi orang tua/pengasuh, hasil Simulator dapat dicetak dan diberikan pada orang tua/pengasuh bersangkutan atau dilakukan pertemuan khusus dengan orang tua/pengasuh bersangkutan. e. Pertemuan kelompok yang lebih besar dapat juga menggunakan Simulator untuk membangkitkan minat pemeliharaan kesehatan gigi yang efeknya akan langsung tampak pada diagram donat. f. Diskolorasi fisur pada gigi dianjurkan untuk dilakukan program proteksi fisur dengan menggunakan glassionomer yang kaya fluor dan flowable. g. White spot pada gigi dianjurkan untuk dilakukan terapi remineralisasi dengan menggunakan preparat CPP-­‐ACP (Casein Phosphopeptide – Amorphous Calcium Phosphate ) 8.3 Usulan Riset Selanjutnya Pencegahan atau kontrol terhadap karies gigi tidak dapat diperoleh hanya dengan mengandalkan metode dan model dari perawatan gigi yang ada sekarang. Kita perlu mempertimbangkan suatu kerja sama yang terintegrasi antara bidang kesehatan gigi, kesehatan umum, dan bidang kesehatan lainnya. Perlu juga dipertimbangkan efektivitas 141 intervensi kesehatan masyarakat dan pengenalan promosi kesehatan gigi yang diintegrasikan dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Dengan semakin tinggi tuntutan untuk meningkatkan kesehatan gigi, maka harus melibatkan peran masyarakat (community participation) dan badan pendidikan, dan kombinasi tenaga kesehatan mulai dari guru UKS, perawat umum hingga dokter gigi. Intervensi semacam ini perlu pengkajian lebih lanjut untuk mendapatkan kemajuan kesehatan yang berarti. Tenaga kesehatan yang menangani perawatan dasar harus dibiasakan dengan cara pencegahan bagi anak anak sebelum anak memerlukan perawatan gigi, yaitu mendeteksi tanda awal karies gigi berupa lesi white spot dan memberikan nasihat yang bisa dijalankan secara mandiri. Dokter gigi pun harus bisa menyajikan perawatan pencegahan dan cara penanganan yang efektif di klinik. Jika semua kondisi dalam simulator dalam keadaan baik, masih ada sekitar 15% kemungkinan terjadinya karies gigi. Riset yang akan datang harus memfokuskan pada pemahaman yang lebih baik mengenai penyebab aktivitas karies gigi, yaitu misalnya bagaimana mengetahui apakah lesi mengalami progres atau regresi, atau bahkan berhenti. Selain itu, pemahaman dan penelitian variasi DNA dan polymorph dalam biofilm dan saliva mungkin dapat menjawab risiko karies gigi yang 15% tersebut. Meningkatnya pemahaman mengenai biofilm, yang melekat pada permukaan gigi, mungkin menjadi kunci penanganan karies gigi yang lebih efektif. Kemungkinan yang lain adalah dengan modifikasi genetika dari kelenjar saliva agar dapat menghasilkan aliran saliva yang lebih meningkat sehingga protein yang bersifat proteksi juga lebih banyak, dan dapat mengubah ekologi dalam mulut serta meningkatkan mekanisme pertahanan dalam mulut. Kemajuan ilmu seharusnya mengaburkan batas antara bidang kedokteran gigi dan kedokteran umum, mengingat penyakit karies gigi adalah masalah kesehatan yang dapat ditangani oleh tim yang meliputi dokter gigi dan dokter. Untuk saat ini, dokter dapat berkonsentrasi menggunakan metode yang ada untuk mendeteksi lesi karies gigi awal dan selanjutnya memberikan nasihat pada pasien tentang bagaimana mencegah dan menangani karies gigi gigi. Pengetahuan mengenai perawatan restorasi akan terus berkembang, tetapi pendekatan ini tidak cukup untuk mengatasi masalah karies gigi gigi. Di masa yang akan datang, saat praktisi mengetahui bahwa risiko karies gigi pasiennya tinggi, bahan yang sifatnya memberi efek positif untuk tubuh (biomaterial), yaitu yang mampu melepas fluor atau agen probiotik, dapat digunakan untuk menangani karies gigi gigi. Dokter gigi perlu 142 mengembangkan diri dari kebiasaan membuang jaringan gigi, dan beralih kepada strategi minimum intervention, jika memungkinkan, dan hanya melakukan pembersihan jaringan keras gigi secara mikro, atau memilih restorasi yang hanya membutuhkan intervensi minimal jika memang diperlukan. Perlu diketahui cara mendidik para tenaga kesehatan, guru UKS, ibu, maupun pengasuh untuk dapat mendeteksi tanda awal karies gigi dan cara menilai seberapa jauh mereka efektif dalam mempromosikan kemungkinan remineralisasi dari lesi karies gigi awal. Selain itu perlu dikaji studi yang kaitannya dengan psikologi anak dan ibu dalam upaya konseling dan perbaikan perilaku pencegahan kesehatan gigi. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya dapat berperan mengedukasi pasien mengenai makanan sehat dan pola diet seimbang yang dapat mengurangi risiko berkembangnya karies gigi. Pendekatan pencegahan karies gigi lainnya yang harus diteliti meliputi ketentuan instruksi cara pemeliharaan kesehatan gigi; aplikasi varnish fluor pada gigi; dan pengenalan adanya istilah ”bakteri baik” untuk menggantikan ”bakteri buruk penyebab karies gigi ” pada anak dengan aktivitas karies gigi yang tinggi. 143 SUMMARY CARIES RISK SIMULATOR MODEL FOR PRESCHOOL CHILDREN 1. INTRODUCTION Dental caries is an infectious, communicable disease, which causes destruction of teeth by acid-­‐performing bacteria found in dental plaque. The most important concept is that caries is a dynamic disease process, and not a static problem. Before a cavity is formed in the tooth, the caries infection can actually be reversed. The development of the carious lesion is episodic, with periods of demineralization alternating with periods of remineralization. The lactic acid produced by the cariogenic bacterial dissolve the calcium phosphate mineral of the tooth enamel in a process call demineralization. Deciduous teeth have thinner enamel than permanent teeth, making them very susceptible to caries. Dental caries in children is typically first observed clinically as a “white spot lesion”. If the tooth surface remains intact and non cavitated, then remineralization of the enamel is possible. If the subsurface demineralization of enamel is extensive, it eventually causes the collapse of the overlying tooth surface, resulting in a “cavity”. The clinical pattern of early childhood caries is rampant and first affecting the primary upper anterior teeth. The causes of caries are multifactorial, and the individual risk factors associated with caries are therefore not necessarily causative. Frequent intake of carbohydrate-­‐rich or sugary foods enables the cariogenic bacteria to maintain a low pH on the surfaces of the teeth. Night-­‐time bottle feeding, prolonged breastfeeding, can lead to caries. The flow of saliva is decreased during sleep, so clearance of the sugary liquid from the oral cavity is slowed down. The Global Oral Health Goals -­‐ WHO by the year 2000 said that the proportion of caries free of 6 year-­‐olds should be at least 50%. According to WHO, until 2006 dental caries is still the main problem and impacting 60-­‐90% school children. Early examination in 13 private primary schools in Jakarta found that 55% children in first year has already had 2 deciduous teeth decayed per child. For that reason, there’s a need to do prevention at earlier stage of schooling, that is the kindergarten stage or preschool stage. Baelum said 144 that the risk factor of each group is different, and so the intervention approach should be different as well. With identification of high risk group and correct approach, actually dental caries can be controlled and prevented. Effective dental care requires early identification of children at high risk for dental caries, so that they may receive early and intensive intervention. Caries risk assessment is one of the most important goals of a child’s first oral examination. The goal of caries risk assessment is to deliver patient-­‐specific diagnostic, preventive, and restorative services – based on the needs of each individual child. Caries risk describes the status of the whole patient. It can be defined as the likelihood of a child getting a new cavity. In the setting of preschool children, it is needed an easy, fast, accurate instrument to do a caries risk assessment. The instrument should be able to motivate the behavior changes of parents (mothers) and the children, and able to empower them to do the prevention by themselves. 2. RESEARCH QUESTIONS 1. Are internal factors in a child (sex, age, birth weight, body mass index, white spot, fissure discoloration, teeth irregularities, saliva pH, biofilm pH, food consistency, prolonged eating time, habit of eating vegetables, habit of eating sweets, frequency of sweets intake, tooth-­‐brushing frequency, use of toothpaste, supervised toothbrushing, prolonged breast-­‐feeding, prolonged bottle milk use, frequency of milk intake, sugary-­‐added milk, habit of drinking soft-­‐drink, habit of toothbrushing at night before sleeping), and internal factors in a mother (age, education, occupation, knowledge, attitude, practice), and factor of mother’s having a maid to take care the child, and factor of who dominantly taking care the child, together contributing to the caries risk in preschool children? 2. Are those factors given above able to construct a computerized-­‐caries-­‐risk-­‐ simulator model, that can be used widely by dentists and dental nurses to motivate the mothers and children? 3. PURPOSE OF STUDY : 1. To construct a computerized caries risk simulator for preschool children depend on their risk factors, in order to be able to explain the dominant risk and how big 145 is the risk for preschool children. The risk factors are the combination of child characteristics and the mothers’. 2. To construct the personalized recommendation based on the risk factors of each child. 3. To empower mothers and children to prevent dental caries 4. METHOD The research is a cross sectional study, with the study population were 2.656 children from 13 BPK PENABUR kindergarten schools in Jakarta, including East Jakarta, West Jakarta, Central Jakarta, South Jakarta, North Jakarta. Data collection was integrated with regular program of the school oral health program with some modification. There were 4 groups of activities; (1) related to parents, (2) related to the school foundation, (3) related to oral health examination, (4) related to class-­‐tooth brushing activity. 5. RESULT After a series of logistic regression multivariate analysis, there were some significant variables which could be arranged. The formula of the simulator is as below : P (X) = 1 / { 1 + exp [-­‐ ( α + Σ β X )]} ι ι Variables that were significant to dental caries were soft-­‐drink intake per week, frequency of drinking milk, prolonged breast feeding, intake sweets per day, prolonged eating time, mother’s education, mother’s age, prolonged bottle milk use, child’s age, who dominantly take care of the child, fissure discoloration, white spot lesion, pH biofilm, mother’s knowledge and attitude, mother’s oral health practice. Other finding from this research was the AAPB Index. This index can be used as mothers’ screening tools for checking the children’s teeth. Mothers can easily pull out the child’s upper lip and check whether there’s decay in the anterior upper teeth, and also check the posterior lower teeth. Fissure discoloration and white spot were found to be statistically significant with dental caries in preschool children with POR 3,38 and 2,96 respectively. 6. SIMULATOR FIELD TRIAL 146 7. CONCLUSIONS AAPB index is advised to be used by mothers to do first oral health screening for their children. If there’s a cavity then the children should receive filling treatment. If there’s no cavity then continue with examining the risk using simulator. Fissure discoloration and white spot should be intervened by remineralization therapy. 147 DAFTAR PUSTAKA 1. Mount, G.J. and W.R. Hume, eds. Preservation and Restoration of Tooth Structure. 2nd ed. Dental Caries-­‐ The major Cause of Tooth Damage, ed. J.M. McIntyre. 2005, Knowledge books and software: Queensland. 2. Berkowitz, R.J., Causes, Treatment and Prevention of Early Childhood Caries : A Microbiological Perspective. Journal of the Canadian Dental Association, 2003. 69(5): p. 304-­‐307b. 3. Fejerskov, O. and E. Kidd, eds. Dental Caries -­‐ The Disease and its clinical management. 2003, Blackwell Munksgaard: Oxford. 4. Selwitz, R.H., A. Ismail, and N.B. Pitts, Dental Caries. The Lancet, 2007. 369: p. 51-­‐59. 5. WHO, ed. Oral Health Survey, Basic Methods. 1997, WHO: Geneva, Switzerland. 41-­‐ 42. 6. Pitts, N., O. Fejerskov, and F.v.d. Fehr, Caries Epidemiology, with special emphasis on diagnostic standards, in Dental Caries, E. Kidd and O. Fejerskov, Editors. 2003, Blackwell Munksgaard: Oxford. 7. Kwan, S.Y.L., et al., Health promoting schools : an opportunity for oral health promotion. Bulletin of the WHO, 2005. 83(9): p. 677-­‐685. 8. Donahue, G.J., et al., The ABCDs of Treating the Most Prevalent Childhood Disease. American Journal of Public Health, 2005. 95(8): p. 1322-­‐1325. 9. Li, X., et al., Systemic Diseases caused by oral infection. Clinical Microbiology Review, 2000. 13(4): p. 547-­‐558. 10. Kruger, E., K. Dyson, and M. Tennant, Pre-­‐school child oral health in rural Western Australia. Australian Dental Journal, 2005. 50(4): p. 258-­‐262. 11. Kristanti, C., Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia Tahun 2001, D.K.R.B. Litbangkes, Editor. 2003. 12. Situmorang, N., Dampak karies gigi dan penyakit periodontal terhadap kualitas hidup : Studi di dua kecamatan kota Medan, in Ilmu kesehatan masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat. 2004, Universitas Indonesia: Jakarta. 148 13. Dinas Kesehatan, D.J., Hasil Evaluasi Karies Gigi pada Anak Balita Dalam Hubungannya dengan Status Gizi di Jakarta Tahun 1993. 1993, Dinas Kesehatan DKI Jakarta. 14. Sheiham, A., Dental Caries Affects Body Weight, Growth, and Quality of Life in Preschool Children. British Dental Journal, 2006. 201(10): p. 625-­‐626. 15. World Health Organization. What is the burden of oral disease? 2006 [cited 2006. 16. Ramanalingam, L. and L.B. Messer, Early Childhood Caries : An Update. Singapore Dental Journal, 2004. 26(1): p. 21-­‐29. 17. Yonezu, T., N. Ushida, and M. Yakushiji, Longitudinal study of prolonged breast or bottle feeding on dental caries in Japanese children. Bull Tokyo Dent Coll, 2006. 47(4): p. 157-­‐160. 18. Yonezu, T., K. Yotsuya, and M. Yakushiji, Characteristic of breast-­‐fed children with nursing caries. Bull Tokyo Dent Coll 2006 47(4): p. 161-­‐165. 19. Koch, G. and S. Poulsen, eds. Pediatric Dentistry-­‐ A Clinical Approach. 2006, Blackwell Munksgaard: Copenhagen. 20. Dwiati, L., Pengaruh Model Pencegahan Karies Gigi dan gingivitis terhadap status kesehatan gigi dan mulut anak sekolah serta efisiensi sumber daya program UKGS di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002, in Program Pendidikan Doktor Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. 2003, Universitas Indonesia: Jakarta. 21. Adyatmaka, I., Evaluasi UKGS SDK BPK PENABUR Jakarta. 2006, BPK PENABUR Jakarta: Jakarta. 22. Kidd, E.A.M. and O. Fejerskov, What constitutes Dental Caries? Histopathology of Carious Enamel and Dentin Related to the Action of Cariogenic Biofilms. J Dent Res, 2004. 83(Spec Iss C): p. C35-­‐C38. 23. Ngo, H. and S. Gaffney, eds. Risk Assesment in the Diagnosis and Management of Caries. 2 ed. Preservation and Restoration of Tooth Structure. 2005, Knowledge books and Software: Queensland. 24. Hausen, ed. Caries Prediction. Dental Caries, The Disease and its Clinical Management. 2003, Blackwell Munksgaard: UK. 335-­‐339. 25. Santos, A.P.P.d. and V.M. Soviero, Caries Prevalence and risk factors among children aged 0-­‐36 months. Pesqui Odontol Bras, 2002. 16(3): p. 203-­‐208. 149 26. Thomas, J.G. and L.A. Nakaishi, Managing the complexity of a dynamic biofilm. JADA, 2006. 137: p. 10s-­‐15s. 27. Bratthall, D., A Streptococcus mutans safari! J Dent Res, 1997. 76(7): p. 1332-­‐1336. 28. Petersson, G.H., S. Twetman, and D. Bratthall, Evaluation of a Computer program for caries risk assessment in schoolchildren. Caries Research, 2002. 36: p. 327-­‐340. 29. Bratthall, D., H. Petersson, and Gunnel, Cariogram -­‐ a multifactorial risk assessment model for a multifactorial disease. Community Dentistry and Oral Epidemiology, 2005. 33(4): p. 256-­‐264. 30. Hausen, H., How to improve the effectiveness of Caries Preventive Programs based on Fluoride. Caries Research, 2004. 38(263-­‐267): p. 263-­‐267. 31. Li, Y. and W. Wang, Predicting Caries in Permanent Teeth from Caries in Primary Teeth : An Eight-­‐year Cohort Study. J.Dent Res 2002. 8: p. 561-­‐566. 32. Shuler, C.F., Inherited risks for susceptibility to dental caries. Journal of Dental Education, 2001. 65(10): p. 1038-­‐1044. 33. Dye, B.A., et al., The relationship between healthful eating practices and dental caries in children aged 2-­‐5 years in the United States, 1988-­‐1994. Journal of American Dental Association, 2004. 135(55-­‐66). 34. Slade, G., et al., Risk Factors for dental caries in the five-­‐year old South Australian Population. Australian Dental Journal, 2006. 51(2): p. 130-­‐139. 35. Hallett, K. and P.O. Rourke, Social and behavioural determinants of early childhood caries. Australian Dental Journal, 2003. 48(1): p. 27-­‐33. 36. Reisine, S.T. and W. Psoter, Socioeconomic Status and Selected Behavioural Determinants as Risk Factors for Dental Caries. Journal of Dental Education, 2001. 65(1). 37. Petersen, Sociobehavioural risk factors in dental caries -­‐ international perspectives. Community Dentistry and Oral Epidemiology, 2005. 33: p. 274-­‐279. 38. Peres, et al., Social and biological early life influences on severity of dental caries in children aged 6 years. Community Dentistry and Oral Epidemiology, 2005. 33: p. 53-­‐ 63. 39. Aligne, C.A., et al., Association of Pediatric Dental Caries With Passive Smoking. Journal American Medical Association, 2006. 289(10): p. 1258-­‐1264. 150 40. Yoneda, M., et al., Mother's age as a caries risk factor among children. IADR 80th, 2002. 41. Weinstein, P., R. Harrison, and T. Benton, Motivating parents to prevent caries in their young children. JADA, 2004. 135: p. 731-­‐738. 42. Talekar, B.S., et al., Parental perceptions of their preschool-­‐aged children's oral health. JADA, 2005. 136: p. 364-­‐372. 43. Slavkin, H.C., Streptococcus Mutans, Early Childhood Caries and New opportunities. JADA, 1999. 130: p. 1787-­‐1972. 44. Soerodjo, T.S., Respon imun humoral terhadap streptococcus mutans sehubungan dengan penyakit karies gigi, in Post Graduate 2005, Airlangga University: Surabaya. 45. Spolidorio, D. and J. Hofling, Genetic Polymorphism of Streptococcus Mutans in Brazilian Family Member. Brazilian Journal of Microbiology, 2003. 34: p. 213-­‐217. 46. Fejerskov, O., Changing Paradigms in Concepts on Dental Caries : Consequences for Oral Health Care. Caries Research, 2004. 38: p. 182-­‐191. 47. Weinstein, P., R. Harrison, and T. Benton, Motivating Mothers to Prevent Caries. JADA, 2006. 137: p. 789-­‐793. 48. Schwarz, E., Global Aspects of preventive dental care. International Dental Journal, 2007. 57(3 suppl 1): p. 209-­‐214. 49. Calonge, N., Prevention of Dental Caries in Preschool Children : Recommendations and Rationale. American Family Physician, 2004. 70(8): p. 1529-­‐1532. 50. Mahon, J.F., The effect of dental health education program on the dental health knowledge of inner city and non inner city elementary age children, in College of Nursing, Woman's University. 2001: Denton, Texas. 51. DomAjean-­‐Orliaguet, G. SA, and J.D.B. Featherstone, Caries Risk Assessment in an educational environment. J Dent Educ, 2006. 70(12): p. 1346-­‐1354. 52. Crall, J.J., Optimising oral health throughout childhood : the importance of caries risk assessment and strategic interventions. International Dental Journal, 2007. 57(3 Suppl 1): p. 221-­‐226. 53. Policies, O.H., Policy use of a Caries Risk assessment Tool (CAT) for infants, children, and adolescent, A.A.o.P. Dentistry, Editor. 2006. 151 54. Rethman, J., Trends in Preventive Care: Caries Risk Assessment and indications for sealant. JADA, 2000. 131: p. 8S-­‐12S. 55. Fontana, M. and D.T. Zero, Assessing patients' caries risk. JADA, 2006. 137: p. 1231-­‐ 1239. 56. Bratthall, D., Cariogram Internet version Indonesian Language, I. Adyatmaka, Editor. 2000, Department of Cariology, Malmo University, Sweden: Malmo. 57. Toolkit, N.H.S.O.H., Risk Assessment and Recall Intervals. 2004. 58. Zero, D., M. Fontana, and A.M. Lennon, Clinical Applications and Outcomes of Using Indicators of Risk in Caries Management. Journal of Dental Education, 2001. 65(10). 59. Shimono, A New Colorimetric method for caries diagnosis. Dental Outlook, 1974. 43(6): p. 829-­‐835. 60. Petersson, G.H., S. Twetman, and D. Bratthall, Caries Risk Profiles over two years assessed by the Cariogram. 2005: Baltimore. 61. Rodis, O.M.M., et al., Comparison of plaque samples and saliva samples using the CAT21 Test (Cariostat method). Pediatric Dental Journal, 2005. 15(1): p. 6-­‐9. 62. Mejare, I. and I. Mjor, Prognosis for caries and restorations, in Dental Caries, E. Kidd and O. Fejerskov, Editors. 2003, Blackwell Munksgaard: Oxford. 63. Backer, D., Posteruptive Changes in Dental Enamel. J Dent Res, 1966. 45: p. 503-­‐511. 64. Pitts, N.B., Modern Concepts of Caries Measurement. J Dent Res, 2004. 83(Spec Iss C): p. C43-­‐C47. 65. Palmer, C.A., Dental Caries and Obesity in Children : Different problem, Related Causes. Quintessence International, 2005. 36(6): p. 457-­‐459. 66. Morris, R.E., et al., Early Childhood Caries in Kuwait : Review and Policy Recommendations. Eastern Mediterranean Health Journal, 1999. 5(5): p. 1014-­‐1022. 67. Sutadi, H., The Determination of the predictive value of a caries activity test and its suitability for mass screening and clinical use in Indonesia, in Department of Pediatric Dentistry. 1992, Okayama University Dental School: Okayama. 68. Marsh, P.D., Dental Plaque as biofilm and a microbial community implications for health and disease. BioMed Central Oral Health, 2006. 6(Supplement 1 S 14). 152 69. Kleinberg, I., A Mixed-­‐bacteria ecological approach to understanding the role of the oral bacteria in dental caries causation: an alternative to streptococcus mutans and the specific plaque hypothesis. Crit Rev Oral Biol Med, 2002. 13(108-­‐125). 70. Rogers, A., Why be down in the mouth? Three decades of research in oral microbiology. Australian Dental Journal, 2005. 50(1): p. 2-­‐5. 71. Dawes, C., Why is the Critical pH and Why Does a Tooth Dissolve in Acid? Journal of the Canadian Dental Association, 2003. 69(11): p. 722-­‐724. 72. Nakata, M. and K. Ohkura, Genetic Study of Dental Caries in Primary Dentition. Proc Japan Acad, 1967. 43(10): p. 1003-­‐1008. 73. Agematsu, H., et al., Relationship between large tubules and dentin caries in human deciduous tooth. Bull Tokyo Dent Coll, 2005. 46(1-­‐2): p. 7-­‐15. 74. Amerongen, A.v.N., Salivary proteins : Protective and Diagnostic Value in Cariology? Caries Research, 2004. 38: p. 247-­‐253. 75. Leone, C.W. and F.G. Oppenheim, Physical and Chemical Aspects of Saliva as Indicators of Risk for Dental Caries in Humans. Journal of Dental Education, 2000. 65(10). 76. Marsh, P.D., Dental Plaque as a Microbial Biofilms. Caries Research, 2004. 38: p. 204-­‐ 211. 77. Tanzer, J.M., J. Livingston, and A.M. Thompson, The microbiology of primary dental caries in humans. Journal of Dental Education, 2001. 65(10): p. 1028-­‐1035. 78. Corby, P., et al., Microbial Risk Indicators of Early Childhood Caries. Journal of Clinical Microbiology, 2005. 43(11): p. 5753-­‐5759. 79. Houte, J.v., Microbiological Predictors of Caries Risk. Adv Dent Res, 1993. 7(2): p. 87-­‐ 96. 80. Munson, M., et al., Molecular analysis of the microflora associated with dental caries. Journal of Clinical Microbiology, 2004. 42(7): p. 3023-­‐3029. 81. Hasona, A., Streptococcus mutans survives without important biochemical pathway, in JADA. 2006. p. 136. 82. Thenisch, N., et al., Are mutans streptococci detected in preschool children a reliable predictive factor for dental caries risk? A systematic review. Caries Research, 2006. 40(5): p. 366-­‐374. 153 83. Zanata, R.L., et al., Effect of Caries Preventive Measures directed to Expectant Mothers on Caries Experience in their children. Braz Dent J, 2003. 14(2): p. 75-­‐81. 84. Marsh, P.D. and B. Nyvad, eds. The oral microflora and biofilms on teeth. 2003, Blackwell Munksgaard: Oxford. 85. Zero, D., Sugars-­‐ The Arch Criminal. Caries Research, 2004. 38: p. 277-­‐25. 86. Jensdottir, T., et al., Immediate Erosive Potential of Cola drinks and Orange juices. J Dent Res, 2006. 85(3): p. 226-­‐230. 87. Sohn, W., B.A. Burt, and M.R. Sowers, Carbonated Soft Drinks and Dental Caries in the Primary Dentition. J Dent Res 2006. 85(3): p. 262-­‐266. 88. Korneliani, K., H. Setyawan, and Z. Rafiludin, Hubungan konsumsi makanan kariogenik anak prasekolah dengan terjadinya karies gigi, in Forum Ilmiah FKG Trisakti. 2005: Jakarta. 89. Bartholomew, L.K., et al., eds. Planning Health Promotion Programs : an intervention mapping approach. 2006, Jossey-­‐Bass: San Fransisco. 90. Burt, B.A., The use of sorbitol-­‐ and xylitol-­‐sweetened chewing gum in caries control. Journal of American Dental Association, 2006. 137: p. 190-­‐196. 91. Simons-­‐Morton, B.G., W.H. Greene, and N.H. Gottlieb, eds. Introduction to Health Education and Health Promotion. second ed. 1995, Waveland Press , Inc: Illinois. 92. Glanz, K., F.M. Lewis, and B.K. Rimer, eds. Health Behaviour and Health Education. First ed. 1990, Josey-­‐Bass Inc: California. 93. Green, L. and M.W. Kreuter, eds. Health Promotion Planning : An Educational and Environmental Approach. 1991, Mountainview, CA: Mayfield. 94. Hebbal, M. and R. Nagarajappa, Does school-­‐based dental screening for children increase Follow up treatment at dental school clinics? Journal of Dental Education, 2005. 69(3): p. 382-­‐386. 95. Ashford, J.B., C.W. LeCroy, and K.L. Lortie, eds. Human Behavior in the Social Environment : A multidimensional perspective. third ed. 2006, Thomson Brooks/ Cole: Belmont. 96. Lenander-­‐Lumikari, M. and V.Loimaranta, Saliva and Dental Caries. Adv Dent Res, 2000. 14: p. 40-­‐47. 154 97. Leone, C.W. and F.G. Oppenheim, Physical and Chemical Aspects of Saliva as Indicators of Risk for Dental Caries in Humans. Journal of Dental Education, 2001. 65(10). 98. Lendenmann, U., J. Grogan, and F.G. Oppenheim, Saliva and Dental Pellicle-­‐ A Review. Adv Dent Res, 2000. 14: p. 22-­‐28. 99. Petersen, P.E., et al., Oral Health Status dan oral health behaviour of urban dan rural school children in Southern Thailand. International Dental Journal, 2001. 51: p. 95-­‐ 102. 100. Tinanoff, N. and J.M. Douglas, Clinical Decision-­‐ making for Caries Management in Primary Teeth. Journal of Dental Education 2001. 65(10). 101. Arcella, D., et al., The relationship between frequency of carbohydrates intake and dental caries : a cross sectional study in Italian teenagers. Public Health Nutrition, 2002. 5(4): p. 553-­‐560. 102. Touger-­‐Decker, R. and C.v. Loveren, Sugars and Dental caries. the American Journal of Clinical Nutrition, 2003. 78(supplemen): p. 881S-­‐92S. 103. Smith, A. and L. Shaw, Mild dehydration : A risk factor for dental disease? European Journal of Clinical Nutrition, 2003. 57(Suppl 2): p. s75-­‐s80. 104. Featherstone, J.D.B., The Continuum of Dental Caries -­‐ Evidence for a Dynamic Disease Process. J Dent Res, 2004. 83(Spec Iss C): p. C39-­‐C42. 105. Moynihan, P. and P.E. Petersen, Diet, nutrition and the prevention of dental diseases. Public Health Nutrition, 2004. 7(1A): p. 201-­‐226. 106. Bedos, C., et al., Dental Caries Experience : A Two generation study. J Dent Res, 2005. 84(10): p. 931-­‐936. 107. Network, S.I.G., Prevention and management of dental decay in the pre-­‐school child. 2005, Scottish Intercollegiate Guidelines Network 108. Helderman, W.H.v.P., W. Soe, and M.A.v.t. Hof, Risk factors of Early Childhood Caries in Southeast Asian Population. Journal of Dental Research, 2006. 85(1): p. 85-­‐88. 109. Bankel, M., U. Eriksson, and A. Robertson, Caries and associated factors in group of Swedish children 2-­‐3 years of age. Swed Dent J, 2006. 30(4): p. 137-­‐146. 110. Rupf, S., et al., Streptococcus sobrinus in children and its influence on caries activity. Eur Arch Paediatr Dent, 2006. 7(1): p. 17-­‐22. 155 111. Ersin, N., et al., Association of maternal-­‐child characteristics as a factor in early childhood caries and salivary bacterial counts. J Dent Child, 2006. 73(2): p. 105-­‐111. 112. Shukairy, A., et al., A Comparative study of Streptococcus mutans and lactobacilli in mothers and children with severe early childhood caries versus a caries free group of children and their corresponding mothers. J Clin Pediatr Dent, 2006. 31(2): p. 80-­‐85. 113. Vartanian, L.R., M.B. Schwartz, and K.D. Brownell, Effects of soft drink consumption on nutrition and health : A systematic review and Meta-­‐analysis. American Journal of Public Health, 2007. 97(4): p. 667-­‐675. 114. Pourhashemi, S.J., et al., Nutritional Assessment of micronutrients in Primary school children and its association with anthropometric indices and oral health. Pakistan journal of nutrition, 2007. 6(6): p. 687-­‐692. 115. Services, U.D.o.H.a.H., Recommendation for using Fluoride to prevent and control dental caries in the United States. CDC Morbidity and Mortality Weekly Report 2001. 50: p. 13-­‐30. 116. Green, L.W., et al., eds. Health Education Planning, A Diagnostic Approach. first ed. 1980, Mayfield Publishing Company: California. 117. Mann, C., Observational Research methods. Research design II : cohort, cross sectional, and case control. Emergency Medical Journal, 2003. 20: p. 54-­‐60. 118. Raadal, M., I. Espelid, and I. Mejare, The caries lesion and its management in children and adolescents, in Pediatric Dentistry a Clinial Approach, G. Koch and S. Poulsen, Editors. 2006, Blackwell Munksgaard: Oxford. 119. Johnson, M., The role of risk factors in the identification J Dent Res, 2004. 83(C): p. 116-­‐118. 120. Sastroasmoro, S., ed. Dasar-­‐dasar Metodologi Penelitian Klinis. Vol. 3. 2006, Sagung Seto: Jakarta. 121. Hobdell, M., et al., Global goals for oral health 2020. International Dental Journal, 2003. 53: p. 285-­‐288. 122. Supariasa, D. and B. Bakri, eds. Penilaian Status Gizi. Vol. 1. 2002, EGC: Jakarta. 123. Psoter, W., B. Reid, and R. Katz, Malnutrition and dental caries. Caries Research, 2005. 39(6): p. 441-­‐447. 156 124. Scheie, A.A. and F.C. Petersen, The Biofilm Concept : Consequences for future prophylaxis of oral diseases? Crit Rev Oral Biol Med, 2004. 15(1): p. 4-­‐12. 125. Ruyven, F. and P. Lingstrom, Relationship among Mutans Streptococci, "Low pH" Bacteria, and Iodophilic Polysaccharide-­‐producing Bacteria in Dental Plaque and Early Enamel Caries in Humans. J Dent Res, 2000. 79(2): p. 770-­‐777. 126. Lingstrom, P. and F. Ruyven, The pH of Dental Plaque in Its Relation to Early Enamel Caries and Dental Plaque Flora in Humans. J Dent Res, 2000. 79(2): p. 770-­‐777. 127. Kramer, M., et al., The effect of prolonged and exclusive breast feeding on dental caries in early school age children. Caries Research, 2007. 41: p. 484-­‐488. 128. Al-­‐Hosani, E. and A.J.R.-­‐. Gunn, The relationship between diet and dental caries in 2 and 4 year old children in the Emirate of Abu Dhabi. Saudi Dental Journal, 2000. 12(3): p. 149-­‐155. 129. Nakata, M. and K. Ohkura, Genetic Study of Dental Caries in Primary Dentition. Proc. Japan Acad, 1967. 43(10): p. 1003-­‐1008. 130. Fasli, D., Konsultasi pribadi. 2008: Jakarta. 157 Lampiran 1. Formulir informasi kepada subjek dan surat permohonan kesediaan berpartisipasi dalam penelitian kepada subjek penelitian Kepada YTH : Bapak/ Ibu/ Sdr dari ............................. Di SDK .............. Bersama ini saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara dan mohon memberi ijin bagi putra/ putrinya untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya yang berjudul : Pengembangan Instrumen Simulasi Risiko Karies gigi pada Anak Prasekolah di Jakarta, dengan tujuan untuk menyusun simulator/ prediksi risiko karies gigi berupa instrumen simulasi bagi anak prasekolah berdasarkan faktor risiko. Dalam penelitian tersebut kepada putra/ putri Bapak/ Ibu/ Saudara akan dilakukan : 4. Pemeriksaan keasaman saliva dengan cara mengambil sampel saliva 5. Pemeriksaan keasaman biofilm (biofilm) gigi dengan cara mengambil sampel biofilm pada gigi depan atas Dalam penelitian tersebut kepada Bapak/ Ibu/ Saudara akan dibagikan kuesioner mengenai perilaku kesehatan gigi dan mohon kesediaan Ibu untuk mengisinya dengan keadaan sesungguhnya. Adapun ketidaknyamanan yang akan dialami dalam penelitian ini adalah pemeriksaan dilakukan pada jam sekolah dan membutuhkan waktu 5 menit per anak. Bahan yang digunakan berbentuk gel telah diuji di laboratorium dan dinyatakan aman, serta penggunaannya hanya dioleskan tipis pada gigi depan atas. Namun apabila terjadi reaksi alergi (yang selama ini belum pernah terjadi) maka disediakan obat anti alergi dan susu untuk menetralkan. Keuntungan menjadi subjek penelitian juga ada, yaitu Putra/ Putri Bapak/ Ibu/ Saudara akan mendapatkan penyuluhan kesehatan gigi, rujukan / rapor kesehatan gigi berbasis faktor risiko beserta rekomendasi intervensi dan tindakan perawatan yang dibutuhkan. Jika Bapak/ Ibu/ Saudara bersedia, surat pernyataan kesediaan menjadi penelitian terlampir harap ditandatangani dan dikirimkan kembali kepada drg. Irene Adyatmaka, melalui guru kelas masing masing. Demikian, mudah mudahan keterangan saya di atas dapat dimengerti dan atas kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara untuk berpartisipasi dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih. Jakarta, 2 Januari 2008 drg. Irene Adyatmaka (Telp 08159108393) 158 Lampiran 2. Formulir Persetujuan Berpartisipasi dalam Penelitian Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Subjek Penelitian Setelah saya membaca semua keterangan tentang risiko, keuntungan dan hak-­‐hak saya/ anak saya sebagai subjek penelitian yang berjudul : Pengembangan Instrumen Simulasi Risiko Karies gigi pada Anak Prasekolah di Jakarta Atas nama : drg. Irene Adyatmaka Saya dengan sadar dan tanpa paksaan bersedia berpartisipasi dan memberikan ijin untuk putra/ putri kami mengikuti penelitian tersebut di atas. Jakarta 12 Januari 2008 (.................................) 159 Lampiran 2. Gambar-­‐gambar rangkaian kegiatan penelitian Gambar L 1. Sosialisasi pemeriksaan risiko caries gigi kepada orangtua dan murid Pada acara PENABUR Dental Expo Gambar L2. Kegiatan kalibrasi pemeriksaan gigi di salah satu sekolah TK Gambar L3. Pengambilan sampel saliva oleh perawat gigi 160 Gambar L4. Penjelasan kegiatan UKGS oleh perawat gigi kepada murid-­‐murid Gambar L5. Pemeriksaan pH saliva oleh dokter gigi Gambar L6. Pemeriksaan murid melibatkan dokter gigi, perawat, dan guru 161 LAMPIRAN 4 KUESIONER PERILAKU KESEHATAN IBU YANG DIGUNAKAN UNTUK PENGAMBILAN DATA MENTAH SEKOLAH : TK ……………… NAMA IBU : ……………………………………………… TELP : ………………………………………………. NAMA ANAK : ……………………………………………………. KLS : ………………………………………………. BERAT BADAN ANAK SAAT LAHIR : ………………… BERAT BADAN ANAK SEKARANG : ………………… TINGGI BADAN ANAK SEKARANG : ………………… Penyakit serius/ berat yang pernah diderita anak : ……………………. Anggota keluarga yang tinggal bersama anak, ada yang perokok : ya / tidak. Lama pemberian ASI : ………………… bulan. Pemberian susu dengan botol dari usia …………………………… sampai usia …………………………….. Lama pemberian susu dengan botol : ………………… bulan. Konsistensi makanan yang disukai anak : lunak / normal. Anak tiap hari makan permen dan makan yang manis-­‐manis : ya / tidak. Frekuensi anak makan pemen dan makan yang manis-­‐manis dalam sehari : ……………………. kali. Apakah anak suka makan sayur-­‐sayuran : ya / tidak. I. Lingkarilah salah satu jawaban di bawah ini ( B = Betul, S = Salah, T = Tidak Tahu ) 1 Gigi berlubang ditandai dengan lubang yang berwarna coklat kehitaman B / S / T 2 Gigi berlubang bisa disebabkan karena mengemut makanan dalam waktu yang B / S / T lama 3 Gigi berlubang bisa dideteksi dengan pengamatan langsung pada gigi B / S / T 4 Gigi berlubang menyebabkan anak tidak selera makan B / S / T 5 Gigi berlubang karena malas gosok gigi B / S / T 6 Minum susu yang manis berisiko menyebabkan gigi berlubang B / S / T 7 Minum susu dengan botol berisiko terkena gigi berlubang B / S / T 8 Banyak minum soft-­‐drink memperbesar risiko terjadinya gigi berlubang pada B / S / T anak 9 Gigi berlubang bisa dicegah B / S / T 10 Penambalan gigi pada anak untuk mencegah kerusakan lebih lanjut B / S / T 11 Pemberian pelapis khusus pada gigi baru tumbuh dapat mencegah gigi B / S / T berlubang 12 Malam hari setelah minum susu, anak harus menggosok giginya terlebih B / S / T dahulu, baru kemudian tidur 13 Pemeriksaan gigi berkala (tiap 6 bulan) penting untuk mencegah gigi berlubang B / S / T 14 Calsium dan Phosphat dalam sediaan krim dapat dipakai sebagai terapi dalam B / S / T pencegahan gigi berlubang 162 II. 1 2 3 4 Lingkarilah salah satu jawaban ( S = Setuju, R = Ragu-­‐ragu, TS = Tidak Setuju, TTH = Tidak Tahu ) Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan gigi caries adalah gigi S R TS TTH yang berlubang berwarna coklat kehitaman Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan gigi berlubang dapat S R TS TTH terjadi karena mengemut makanan dalam waktu lama Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan cara mendeteksi gigi berlubang adalah dengan melihat langsung gigi apakah berlubang/ S R TS TTH tidak Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan, anak yang berlubang S R TS TTH giginya terganggu selera makannya 5 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan anak yang malas menggosok giginya, maka giginya mudah berlubang 6 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan minum susu yang manis berisiko meningkatkan gigi berlubang 7 Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan anak yang minum dari susu botol lebih mudah mengalami gigi berlubang 8 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan banyak minum soft-­‐ drink/ bersoda akan menyebabkan gigi anak mudah caries 9 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan terjadinya gigi berlubang itu bisa dicegah 10 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan anak yang gigi berlubang perlu ditambal untuk mencegah kerusakan lebih lanjut 11 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan gigi yang baru tumbuh sebaiknya dilindungi dengan bahan khusus, agar tidak mudah berlubang 12 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan sehabis anak minum susu pada malam hari sebaiknya menggosok gigi lebih dulu sebelum tidur 13 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan anda pemeriksaan berkala penting untuk dapat mencegah gigi berlubang secara efektif dan efisien 14 Bagaimanakah pendapat ibu bila dikatakan krim yang mengandung Calsium dan Phosphat dapat dipakai untuk mencegah gigi berlubang S R TS TTH S R TS TTH S R TS TTH S R TS TTH S R TS TTH S R TS TTH S R TS TTH S R TS TTH S R TS TTH S R TS TTH 163 III. Beri tanda silang pada salah satu jawaban mengenai praktik kesehatan gigi mengenai anak ibu yang namanya ibu dicantumkan pada kuesioner ini. 1 Apakah ibu sering menemui gigi anak anda berlubang, ditandai Ya Kadang Tidak dengan adanya lubang berwarna coklat kehitaman? 2 Apakah anak ibu sering mengemut makanan dalam waktu lama? Ya Kadang Tidak 3 Apakah ibu pernah memeriksa anak secara langsung untuk Ya Kadang Tidak mendeteksi adanya gigi berlubang? 4 Apakah anak ibu pernah tidak mau makan karena gigi nya sakit? Ya Kadang Tidak 5 Apakah anak anda teratur menggosok gigi setiap hari? Ya Kadang Tidak 6 Apakah susu diberi tambahan gula? Ya Kadang Tidak 7 Apakah anak diberikan susu dalam botol? Ya Kadang Tidak 8 Apakah anak ibu suka minum soft-­‐drink/ bersoda? Ya Kadang Tidak 9 Apakah ibu berusaha melakukan pencegahan gigi berlubang utuk Ya Kadang Tidak anak dengan membantu anak menggosok gigi setiap hari? 10 Apakah ibu pernah menambal gigi anak ke dokter gigi? Ya Kadang Tidak 11 Apakah ibu pernah membawa anak ke dokter gigi utuk melapisi Ya Kadang Tidak giginya agar tidak mudah berlubang? 12 Apakah setelah anak minum susu malam hari, anak selalu Ya Kadang Tidak menggosok gigi nya sebelum tidur? 13 Apakah anda pernah memeriksakan kondisi gigi anak anda ke Ya Kadang Tidak dokter gigi dalam 6 bulan terakhir? 14 Apakah ibu pernah memakai krim gigi yang mengandung Calsium Ya Kadang Tidak dan Phosphat pada anak untuk mencegah gigi berlubang? 164 LAMPIRAN 5 FORM ISIAN UNTUK SIMULATOR SEMI MANUAL NAMA ANAK : …………………………………… KELAS : …………………………………… TK : …………………………………… NAMA IBU : …………………………………… TANGGAL PERIKSA : …………………………………… LINGKARILAH JAWABAN YANG PALING TEPAT MENURUT ANDA UNTUK ORANG TUA MURID A 1 Apakah anak anda senang minum soft-­‐drink? tidak 3x sehari 2 Seberapa seringkah anak anda minum susu? atau kurang di bawah 4 3 Berapa lamakah anak anda minum susu dengan botol? tahun 4 Apakah anak anda tiap hari makan permen atau yang manis-­‐manis? tidak 5 Apakah anak anda suka ngemut makanan? tidak 9 Apa pendidikan terakhir ibu? sarjana 10 Berapakah umur ibu? ≤ 36 tahun 11 Berapa lamakah anak anda minum ASI? ≤ 1 tahun 12 Berapa umur anak ibu menurut ulang tahun terakhirnya? ≤ 4 tahun anak Siapa yang mengasuh dan bersama anak paling lama setiap 13 diasuh harinya ? pengasuh UNTUK DOKTER GIGI A 6 Diskolorasi fisur tidak ada 7 White Spot tidak ada 8 pH Plak ≥ 6,5 UNTUK ORANG TUA MURID 0 1 Gigi berlubang jika dibiarkan dapat mengganggu selera makan anak. salah 2 Gigi berlubang karena malas menggosok gigi. salah Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan bahwa gigi berlubang bisa tidak 3 mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. setuju Bagaimana pendapat ibu jika dikatakan bahwa sering minum Soft-­‐ tidak 4 drink menyebabkan gigi mudah berlubang setuju Apakah ibu pernah memeriksa gigi anak secara langsung untuk 5 tidak mendeteksi adanya gigi berlubang? 6 Apakah setiap hari ibu membantu menggosok gigi anak? tidak B ya 4x sehari atau lebih ≥ 4 tahun ya ya bukan sarjana > 36 tahun > 1 tahun ≥ 5 tahun anak diasuh anggota keluarga B ada ada ≤ 6 1 betul betul setuju setuju ya ya 165 LAMPIRAN 6 MATERIAL SAFETY DATA SHEET Manufacturer information: Company: Toyo Roshi Co., Ltd. Address: 1-­‐5-­‐1-­‐ Kotobuki, Taito-­‐Ku, Tokyo JAPAN Department in charge: Sales Dept. TEL: 03-­‐3842-­‐6290 FAX: 03-­‐3842-­‐6299 Date prepared: June 20, 2001 Reference Number: MC-­‐1034J Product Name: pH Test Paper Booklet Type No. 20 (Methyl red, bromthymol blue mixing) [Product Identification] Classification (Single material or Mixed material): Mixed material Chemical Name: -­‐ Composition: Cellulose fiber (test paper) Bromthymol blue (test paper) Methyl red (test paper) Sodium hydrate Polystyrene (holder) Chemical Formula or Structural Formula: Cellulose (C6H10O5)n Bromthymol blue C27H28Br2O5S Methyl red C15H15N3S Polystyrene (C6H8)n Reference Number of Notice through Official Gazettes: (The law concerning the Examination and Regulation of Manufacture etc of Chemical Substances ) Sodium hydrate (1)-­‐410 Polystyrene (6)-­‐120 CAS No.: Cellulose 65996-­‐61-­‐4 Bromthymol blue 76-­‐59-­‐5 Methyl red 493-­‐52-­‐7 Sodium hydrate 1310-­‐73-­‐2 Polystyrene 9003-­‐53-­‐6 Chemical Inventory No.: -­‐ United Nations Classification: Sodium hydrate Class 8 (Corrosive substance) Group United Nations Number: Sodium hydrate 1823 [Hazards Classification] Name of Classification: Acute toxic substance, corrosive substance (Sodium hydrate). Hazardous nature: -­‐ Toxicity: RTECS #SJ 7450000 (Bromthymol blue) 166 Environmental effects: The material will not be decomposed in case of ocean dumping and may cause environmental pollution (Polystyrene) [First aid measures] Eyes: Immediately flush eyes with plenty of water and seek medical attention. Skin: Flush skin with water. Seek medical attention if irritation persists. In case of high temperature melt, immediately cool with clear water. Do not tear the hardened plastic away from the skin. Seek medical attention in case of burn injury (Polystyrene). Inhalation: Gargle enough. Seek medical attention if irritation persists. In case of discomfort caused by inhalation of gas from high temperature melt, immediately move the patient for fresh air and keep quiet. Seek medical attention (Polystyrene). Ingestion: Immediately spit out and flush with clean water or gargle. Seek medical attention if discomfort persists. [Fire Fighting Measures] Fire Fighting Instructions: Use normal protective equipment. In case of fire, graphite, carbon monoxide, carbonic anhydride, styrene, sulfur dioxide, bromine hydrogen gas, nitrogen oxides and hydrogen chloride may be generated or released by thermal decomposition or incomplete combustion. Extinguishing Media: Water (mist), Chemical powder, Chemical foam, Carbon dioxide, and Halogen extinguishing media. [Accidental Release Measures] In order to prevent marine life or birds from consuming, retrieve all of the amount. Refer to the “Disposable Consideration” for further details. [Handling and Storage] Handling: -­‐ Storage: Keep away from direct sunlight and high humidity. Keep in cool and dark place. Keep sealed when not in use. Keep away from oxide or organic peroxide. Keep away from a hear source like a boiler, etc or flammable materials. Following Fire Defense Law (designated flammable material), seek legal instruction when stored more than 1,000kg (cellulose fiber). [Exposure Controls, Personal Protection ] Controlled Exposure Limit: -­‐ Permissible Exposure Limit: -­‐ Engineering Controls: Establish hand-­‐wash equipment and eye-­‐washing equipment. Specify the location. Personal Protective Equipment Respiratory protective device: -­‐ Protective eyewear: -­‐ 167 Protective glove: -­‐ Protective clothing: -­‐ [Physical and Chemical Properties] Appearance: -­‐ Boiling Point: -­‐ Vapor Pressure: -­‐ Volatile: -­‐ Melting point: -­‐Start to be softened from around 100°C (Polystyrene) Specific Gravity: No data Initial boiling point: -­‐ Solubility: Slightly soluble in water. Soluble in alcohol, ether, ethyl acetate and benzene (Bromthymol blue). Not soluble in water however soluble in methyl ethyl ketone, ethyl benzene and benzene, etc (Polystyrene). Color changing range: pH5.8(red) – pH8.0(green) ___________________________________________________________________________ [Hazardous information] Flash point: -­‐ Auto-­‐ignition temperature: Explosive limit Upper: -­‐ Lower: -­‐ Inflammability: Flammable Ignitability (spontaneous ignition and reactivity with water): Spontaneous ignitable. Spontaneous ignition temperature: 489-­‐496°C (Polystyrene). Oxidizing nature: -­‐ Auto reactivity/ Auto explosion: -­‐ Dust explosion: -­‐ Stability/Reactivity: Stable under the normal handling. Hygroscopic nature to absorb carbon dioxide in the air (Sodium hydrate). Others: Avoid contact with high oxidizing agent (test paper). _________________________________________________________________________ [Toxicological information (including case of human beings, epidemiological information)] Skin corrosiveness: -­‐ Skin/Eyes Irritation: May cause irritation by inhalation, swallowing and skin contact. (Bromthymol blue). Toxic if inhaled or swallowed. Contact with eyes, skin or membrane may cause irritation. Prolonged exposure may cause discomfort, nauseousness or headache (Methyl red). Sensitizing: Continuous contact with diluted solution may cause destruction of tissue and may directly cause irritating dermatitis or moist tetter (Sodium hydrate). Acute toxicity: -­‐ Sub-­‐acute toxicity: -­‐ Chronic toxicity: -­‐ Sub-­‐chronic toxicity: -­‐ Carcinogenicity: Classified as IARC Group 3 (Polystyrene) Mutagenicity: -­‐ Reproductive toxicity: -­‐ 168 Teratogenicity: -­‐ Others: -­‐ _______________________________________________________________________ [Ecological Information] Degradability: -­‐ Accumulative: -­‐ Ichthyotoxicity: -­‐ Others: In order to avoid environmental pollution and consumption (intake がベタ ー?)by marine life or birds, do not dump or release into any ocean or water. ___________________________________________________________________________ [Disposal consideration] Dispose waste following the relevant regulations (national or local regulations or by law). As well as other general industrial wastes, consign to authorized industrial waste disposal firm or local public organization for disposal (Disposal as an industrial waste is recommended). ________________________________________________________________________ [Transport information] ⎯ ________________________________________________________________________ [Regulatory information] Fire Defense Law: The third paragraph of the ninth article, the twelfth paragraph of the first article of the Hazardous Materials Control Act, Appendix 4 designated flammable material (rag or wastepaper) (1,000kg) (Cellulose fiber). _________________________________________________________________________ [Other information] ⎯ ________________________________________________________________________ The information herein is given in good faith, but no warranty expressed or implied, is made. 169 LAMPIRAN 7 170 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Data Pribadi Nama : Irene Adyatmaka Tempat dan tanggal lahir : Papua, 17 Januari 1971 Agama : Kristen Alamat : : Pulo Asem Timur 8 no. 5 Rawamangun, Jakarta 13220 Keterangan keluarga Anak : Immanuel Oktavian Ayah : drg. Andreas Adyatmaka, MSc Ibu : Elisabeth Ami Saudara kandung : Ir. Daniel Wiratma Timotius Suryana, SE Riwayat Pendidikan 1978-­‐1984 : SD Tarakanita V 1984-­‐1987 : SMP Tarakanita IV 1987-­‐1990 : SMA Marsudirini Fons Vitae, Jakarta 1990-­‐1995 : FKG Universitas Indonesia 2006-­‐ : Peserta program Doktoral FKG UI Riwayat Pelatihan/Pendidikan Tambahan Maret 1998 Carisolv Training and Comparative Study, Dept. of Cariology, Centre ® for Oral Health Sciences, Lund University, Malmo, Sweden. Januari 2000 Performance Logic in Dentistry, Intercountry Center for Oral Health (ICOH), Chiang Mai, Thailand. Agustus 2004 Program Pengembangan Eksekutif, Lembaga Manajemen PPM, Jakarta Maret 2007 The 1st Jakarta International Clinical Epidemiology Course, Jakarta 171 Maret 2008 Training for the Firewalk Trainers, TDW Resources, Denpasar. Riwayat Pekerjaan • 1996-­‐1999 Operator penelitian ART (12 SD) di Bekasi – Badan Litbangkes Departemen Kesehatan RI. • 1998-­‐2000 Operator proyek penelitian Carisolv Mediteam, Sweden, Kerja sama ® Lund University dengan Depkes RI. • 1996-­‐2001 Dokter Gigi UKGS (TK dan SD), Badan Pendidikan Kristen -­‐ BPK PENABUR, Jakarta. • 2001-­‐2003 Koordinator UKGS Badan Pendidikan Kristen -­‐ BPK PENABUR, Jakarta. • 2003-­‐2004 Kepala Bidang Kesehatan Sekolah (UKS, UKGS dan NAPZA) Badan Pendidikan Kristen – BPK PENABUR Jakarta • 2002-­‐2005 Dokter Gigi PTT pada Puskesmas Kecamatan Matraman, Jakarta Timur • 2005 Tim penyusun prosedur ISO 9001-­‐2000 Puskesmas Kecamatan Matraman, Jakarta Timur • 2003 – sekarang Professional Relation Manager Indonesia, GC Asia Dental Pte Ltd • 2004 – sekarang Koordinator UKGS BPK PENABUR Jakarta Penelitian 2004 Keefektifan Fuji 7 sebagai Surface Protection Gigi Molar Permanen yang sedang erupsi 2001 Directorate for Oral Health, Ministry of Health, as a field operator on Glass Ionomer Research at school children and elderly patients 1998-­‐2000 Carisolv Study in collaboration with Lund University, Sweden. 1996-­‐1999 ART Survey and Research at Bekasi, West Java, Indonesia, in collaboration ® with National Institute of Health Research and Development, Ministry of Health Indonesia. International Research Publication • Mothers’ and Caregivers’ caries preventing behaviors for their children, presented at 21st IADR South East Asia Division, Bali, Indonesia, 2007 172 • Mothers’ perception of their children’s oral health, presented at Asia Pacific Dental Congress, Jakarta, Indonesia, 2007 • Efficacy of Fuji 7 in Preventing Pit and Fissures Caries in Indonesian Children, presented at 20th SEAADE IADR Melaka, Malaysia, September 2005 • Tooth Surface Protection in Child Patient, presented at 97th Phillippine Dental Association Annual Convention and Scientific Session, Pasay City, Manila, Philippines, 2005 • Specially designed ART Foldable Bench, presented at 2nd Asian Conference of Oral Health Promotion for School Children, Ayutthaya, Thailand, 2003. • Atraumatic Restorative Treatment – Lower Molar Project, How Effective, presented at 4th Asian Academy of Preventive Dentistry, Beijing, China, 2000. • ART-­‐ Three years Experience, presented at International Dental Congress at Institute of Odontostomatology, Ho Chi Minh City, Vietnam, 2000. • ART-­‐ Two Years Experience, presented at Intercountry Center of Oral Health (ICOH), Chiang Mai, Thailand, 2000. • Results of Manually and Micromotor Operated ART and Fissure Sealant in Permanent Teeth, presented at 3rd Asian Academy of Preventive Dentistry, Chiang Rai, Thailand, 1998. • Atraumatic Restorative Treatment (ART), as a New Breakthrough in Improving the Quality of Life, presented at National Institute of Health Research and Development, Ministry of Health, Jakarta, 1998. • ART One Year Experience, presented at Lund University, Malmo, Sweden, 1998. Published Translation 2001 Cariogram, Indonesian Web Version; Douglas Bratthall, WHO Geneva. 1999 Atraumatic Restorative Treatment (ART) Approach to control dental caries; Jo Frencken, et all, WHO. Honors dan Awards 173 2007 Nara sumber dan anggota Perumus Standar Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Puskesmas – Dirjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI 2007 South East Asia Manager of the Year -­‐ GC Asia Dental Pte. Ltd 2006 South East Asia Manager of the Year -­‐ GC Asia Dental Pte. Ltd 2005 South East Asia Employee of the Year -­‐ GC Asia Dental Pte. Ltd 2005 Tanda Jasa Satya Karya – Badan Pendidikan Kristen Penabur -­‐ Jakarta 2004 South East Asia Managers Merit Award – GC Asia Dental Pte. Ltd 1995 5 Besar lulusan terbaik FKG Universitas Indonesia 1988 Juara Pertama lomba Mengarang tingkat SLTA se JABOTABEK dalam rangka ulang tahun PBB (United Nations Anniversary) 174