Pemberian kemoterapi pada tumor tulang primer

advertisement
Tinjauan Pustaka
Pemberian kemoterapi pada tumor tulang primer
Benny, Nazar Moesbar
Departemen Orthopaedi & Traumatologi FK USU-RSUP Haji Adam Malik Medan
Abstrak
Tumor tulang primer maligna termasuk tumor yang jarang dijumpai dalam praktek sehari-hari. Yang paling sering dijumpai
adalah osteosarcoma , mencakup sekitar 20-40% dari semua tumor tulang diikuti oleh chondrosarcoma dan tumor turunan
ewing/PNET (Primitive Neuroectodermal Tumor). Amputasi telah menjadi pilihan yang standar untuk tata laksana
kebanyakan kasus sarcoma tulang, tetapi pada era tahun 1980-an, perkembangan limb salvage surgery untuk tumor tulang
maligna mulai tampak. Sekarang ini, limb salvage surgery dikategorikan aman dan dilakukan secara rutin pada sekitar 90%
pasien dengan osteosarcoma pada ektremitas. Kemajuan dalam teknik operasi ini juga diikuti oleh efektivitas kemoterapi
adjuvan yang secara dramatis meningkatkan overal survival.
Pada era tahun 1970-an angka ketahanan hidup berkisar antara 15%-20% dengan operasi sendiri. Angka ini meningkat
menjadi 55%-80% dengan pemberian kemoterapi adjuvan pada tahun 1980-an. Paradigma pemberian kemoterapi saat ini
mulai bergeser ke arah terapi yang lebih spesifik (targeted therapy) seperti agen yang mentarget receptor tyrosine kinases
(RTKs), agen yang mentarget pathways transduksi signal, agen yang mempengaruhi lingkungan mikro dari tumor (VEGF
inhibitors), agen imunomodulatori (Muramyl tripeptide phosphatidyl-ethanolamine) dan agen yang didesain untuk mengatasi
mekanisme resistensi. Katakunci: osteosarcoma; chondrosarcoma; ewing’s sarcoma; kemoterapi
109
Abstract
Primary bone tumors are uncommon. The most common malignant tumor of bone is osteosarcoma, which accounts for
approximately 20 to 45% of all bone tumors followed by chondrosarcoma and the ewing's/PNET family of tumors.
Amputation had been the standard method of treatment for most bone sarcomas, but the 1980’s witnessed the
development of limb-sparing surgery for most malignant bone tumors. Today, limb-sparing surgery is considered safe and
routine for approximately 90% of patients with extremity osteosarcomas. Advances in orthopedics, bioengineering, radiographic
imaging, radiotherapy, and chemotherapy have contributed to safer, more reliable surgical procedures. Paralleling these
advances has been the demonstrated effectiveness of adjuvant chemotherapy in dramatically increasing overall survival the
bleak 15% to 20% survival rate associated with surgery alone before the 1970’s rose to 55% to 80% with various adjuvant
treatment regimens by the 1980’s.
While therapy for patients with relapsed osteosarcoma often depends upon whether the disease is resectable, what prior
chemotherapy a patient has received and the time to relapse, attention has begun to shift to a variety of novel therapeutic
agents. Categories of these novel therapies include agents targeting receptor tyrosine kinases (RTKs), agents targeting
signaltransduction pathways, agents that interfere with the tumor microenvironment, immunomodulatory agents and agents
designed to overcome mechanisms of resistance.
Keywords: osteosarcoma; chondrosarcoma; ewing’s sarcoma; chemotherapy
email: [email protected].
109 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 45 • No. 2 • Agustus 2012
Benny, dkk
PENDAHULUAN
Tumor tulang primer maligna termasuk tumor yang jarang
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Sekitar 2400 neoplasma
maligna dari tulang dan sendi didiagnosa setiap tahunnya di
Amerika Serikat, mencakup sebesar 0.18% dari semua kasus
kanker.
Sekitar 1300 pasien meninggal akibat kanker ini setiap
tahun, mewakili 0.24% dari semua kematian akibat kanker.1 Di
RSUP Haji Adam Malik Medan jumlah kasus tumor tulang
primer maligna ada sebanyak 17 kasus dalam periode Januari
2002–Juni 2006.2 Osteomyelitis pada anak-anak, trauma pada
dewasa muda dan karsinoma metastase jauh lebih sering
dijumpai dan sering sekali didiagnosa sebagai tumor tulang
primer.1
Tumor tulang primer maligna yang paling sering dijumpai
adalah osteosarcoma, mencakup sekitar 20-40% dari semua
tumor tulang. Chondrosarcoma menempati urutan kedua
mencakup sekitar 20% dan tumor turunan Ewing/PNET
(Primitive Neuroectodermal Tumor) mencakup 11% dari
keseluruhan tumor tulang maligna.3
Amputasi telah menjadi pilihan yang standar untuk tata
laksana kebanyakan kasus sarkoma tulang, tetapi pada era
tahun 1980-an, perkembangan operasi penyelamatan
tungkai untuk tumor tulang maligna mulai tampak.
Sekarang ini, limb salvage surgery dikategorikan aman dan
dilakukan secara rutin pada sekitar 90% pasien dengan
osteosarcoma pada ektremitas. Kemajuan dalam teknik operasi
ini juga diikuti oleh efektivitas kemoterapi adjuvan yang secara
dramatis meningkatkan overal survival.4
Pada era tahun 1970-an angka ketahanan hidup
berkisar antara 15%-20% dengan operasi sendiri. Angka ini
meningkat menjadi 55%-80% dengan pemberian kemoterapi
adjuvan pada tahun 1980-an.
Regimen kemoterapi multipel saat ini dipertimbangkan
sebagai terapi yang esensial. Regimen kemoterapi pre-operatif
(yang disebut juga sebagai kemoterapi neoadjuvan atau induksi)
dan regimen kemoterapi post-operatif sedang dievaluasi untuk
menentukan efeknya pada tumor dan dampaknya terhadap
pemilihan prosedur operasi dan overall survival.4
Pemberian kemoterapi pada osteosarcoma
Tindakan pembedahan pada pasien osteosarcoma tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini menggerakkan
Edmonson et al dari Mayo Clinic untuk melakukan studi acak
yang pertama mengenai pemberian kemoterapi adjuvan
yang dipublikasikan pada tahun 1980.5
Namun demikian, beliau tidak mampu memperlihatkan
peningkatan 2-year disease-free atau overal survival dengan
menambahkan methotrexate dosis tinggi setelah prosedur
amputasi.
Terobosan yang utama terjadi pada tahun 1986 ketika
Link et al melaporkan efikasi dari kombinasi beberapa obat
kemoterapi post-operatif. 5
Mereka melakukan penelitian acak terkontrol untuk
menentukan apakah kemoterapi dengan kombinasi beberapa
jenis agen meningkatkan angka relapse-free survival pada
Pemberian kemoterapi pada tumor tulang primer
pasien dengan osteosarcoma grade tinggi non-metastasik
pada ekstremitas dibandingkan dengan kontrol. Pemberian
kemoterapi dilakukan setelah pembedahan definitif. Tiga puluh
enam pasien diacak dan diberikan kemoterapi adjuvan dengan
methotrexate dosis tinggi, cisplatin, adriamycin, bleomycin/
cyclophosphamide/actinomycin-D (BCD) dan sebagian pasien
tidak diberikan kemoterapi adjuvan post-operatif.6
Pada follow-up 2 tahun kemudian, angka relapse-free
survival adalah sebesar 17% pada kelompok kontrol, sama
dengan tahun 1970-an, dan 66% pada kelompok kemoterapi
adjuvan.6
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu perjalanan alamiah
dari osteosarcoma ekstremitas tetap stabil selama 2 dekade
terakhir dan kemoterapi adjuvan meningkatkan angka relapsefree survival pada pasien dengan osteosarcoma grade tinggi
dan sebaiknya diberikan pada semua pasien.6
Pada saat yang hampir bersamaan dengan laporan Link
et al yang pertama, Eilber et al melaporkan hasil yang sama
menyangkut 2-year disease-free dan overall survival pada
studi acak lainnya dengan ukuran dan desain yang sama.
Eilber et al pada tahun 1981 melakukan penelitian acak
prospektif untuk menentukan peranan kemoterapi pada tata
laksana multi disiplin pada pasien dengan osteosarcoma. Lima
puluh sembilan pasien dengan osteosarcoma intrameduler
klasik non-metastasis diacak.
Tiga puluh dua orang menerima kemoterapi adjuvan
dengan regimen methotrexate dosis tinggi, adriamycin dan
bleomycin/cyclophosphamide/actinomycin-D (BCD). Dua puluh
tujuh pasien lainnya tidak mendapatkan kemoterapi adjuvan.7
Pada follow-up selama 2 tahun, terdapat peningkatan
signifikan secara statistik pada disease-free dan overal survival
pada pasien yang menerima kemoterapi adjuvan. Sementara
itu, disease-free dan overall survival pada kelompok kontrol
tanpa kemoterapi adjuvan pada penelitian ini sama nilainya
dengan yang dijumpai pada pasien yang tidak mendapatkan
kemoterapi adjuvan pada tahun 1970-an.7
Karena itu, dengan melakukan prosedur staging yang
identik, manajemen bedah yang sama dan evaluasi
patologis yang standar, kemoterapi adjuvan post-operatif
jelas sekali meningkatkan angka bebas penyakit dan overall
survival pada pasien osteosarcoma.7
Semenjak itu, peranan kemoterapi kombinasi adjuvan
post-operatif menjadi diakui dan hal ini menyebabkan
indoktrinasi kemoterapi adjuvan pada protokol terapi
osteosarcoma yang terlokalisir pada ekstremitas di hampir
semua institusi.5
Konsep kemoterapi neoadjuvan
Konsep dari kemoterapi adjuvan post-operatif efektif
dalam mengeradikasi metastasis mikro secara perlahan
berubah pada tahun 1976 ketika Rosen et al melaporkan
efikasi dari kemoterapi pre operatif dengan vincristine,
adriamycin dan High Dose Methotrexate (HDMTX) mingguan.
Pada protokol T5 ini, 17 dari 18 pasien dilaporkan menunjukkan tanda-tanda pengecilan tumor setelah pemberian kemoterapi pre operatif yang pada awalnya bertujuan untuk membe-
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |
110
11
0
Benny, dkk
11
1
rikan pengobatan sambil menunggu prostesis yang
diperlukan untuk tindakan limb salvage surgery.5
Pada protokol T7, jadwal pemberian kemoterapi BCD,
HDMTX mingguan, vincristine dan adriamycin pre operatif
lebih diintensifkan. Setelah pembedahan, kemoterapi yang
sama diulangi sebanyak 3 siklus. Dalam rangka untuk lebih
meningkatkan outcome pada pasien yang tidak respon
terhadap kemoterapi neoadjuvan (poor responders).
Rosen et al memodifikasi kemoterapi adjuvan pada protokol
T10 sesuai dengan respon histologis yang dilaporkan sebagai
persentase nekrosis tumor pada tumor primer yang direseksi.
Kombinasi adriamycin/cisplatin menjadi komponen kunci
kemoterapi adjuvan pada poor responders.
Kebolehan dalam hal personalisasi kemoterapi dan
penentuan prognosis pasien sesuai dengan laju nekrosis tumor
primer menjadikan kemoterapi neoadjuvan popular pada tahun
1980-an dan 1990-an.5
Namun demikian, sebagian ahli bedah Orthopaedi mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai keuntungan dan
kerugian dari kemoterapi neoadjuvan. Hal ini pada akhirnya
melahirkan sebuah studi klinis acak yang dilakukan antara
tahun 1986 dan 1993 oleh Pediatric Oncology Group (POG)
untuk membandingkan pemberian kemoterapi neoadjuvan
diikuti oleh tindakan pembedahan segera dan kemoterapi adjuvan pada pasien dibawah usia 30 tahun dengan osteosarcoma
grade tinggi non-metastatik.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa tidak terdapat
perbaikan pada overall survival baik dengan pemberian
kemoterapi adjuvan atau pun neoadjuvan. Namun demikian,
pemberian kemoterapi neoadjuvan telah rutin dilakukan di
kebanyakan institusi, hal ini terutama dikarenakan pentingnya
dampak survival yang diketahui dari respon histologis tumor
terhadap terapi tersebut dengan konsensus nekrosis tumor
>90% dan <90% membedakan respon yang baik dan buruk.4
Saat ini, tata laksana standar pasien osteosarcoma terdiri
dari kemoterapi pre operatif (neoadjuvan) selama 10 minggu,
reseksi surgikal dan kemoterapi post operatif (adjuvan) selama
20 minggu. Sementara masih terdapat beberapa variasi dari
regimen kemoterapi yang digunakan di seluruh dunia, protokol
yang paling sering digunakan adalah yang mencakup cisplatin,
doxorubicin dan methotrexate dosis tinggi.8
Pada tahun 2005, European American Osteosarcoma
Study Group (EURAMOS) yang mewakili kolaborasi dari
Children’s Oncology Group (COG) di Amerika Serikat dan
beberapa kelompok kooperatif Eropa, meluncurkan studi
kooperatif yang pertama, EURAMOS-1. EURAMOS-1
merupakan randomized controled trial yang menginvestigasi
hal-hal dibawah ini:
 Apakah penambahan ifosfamide dan etoposide ke dalam
regimen kemoterapi post operatif cisplatin, doxorubicin
dan methotrexate dosis tinggi pada poor responders
(>10% tumor yang viabel) akan meningkatkan event-free
dan overall survival.
 Apakah penambahan pegylated IFN-a ke dalam regimen
kemoterapi post operatif cisplatin, doxorubicin dan
methotrexate dosis tinggi pada good responders (<10%
tumor yang viabel) akan meningkatkan event-free dan
overall survival.7
EURAMOS 1
Biopsy-proven diagnosis of
resectable osteosarcoma
REGISTER
Induction therapy
MAP
Surgery
Histological assessment
of response
Good
RANDOMISE
Gambar 1. Algoritma
MAP
MAPifn
Poor
RANDOMISE
MAP
MAPIE
EURAMOS-1. MAP =
methotrexateadriamycin-cisplatin, IE = ifosfamide/etoposide,
dan IFN = interferon-alpha.
Tata laksana osteosarcoma yang relaps saat ini mencakup
reseksi surgikal, kemoterapi dan investigational agent yang
diharapkan akan memberikan perbaikan outcome yang tidak
bisa dicapai dengan regimen kemoterapi konvensional.8
Kategori dari investigational agent ini mencakup agen
yang mentarget receptor tyrosine kinases (RTKs), agen yang
mentarget pathways transduksi signal, agen yang mempengaruhi lingkungan mikro dari tumor (VEGF inhibitors), agen imunomodulatori (Muramyl tripeptide phosphatidyl-ethanolamine)
dan agen yang didesain untuk mengatasi mekanisme
resistensi.8
Pemberian kemoterapi pada chondrosarcoma
Kemoterapi pada umumnya tidak efektif pada
Chondrosarcoma, terutama pada tipe yang paling sering
diamati yaitu tipe konvensional.8-10
Walaupun Mitchell et al. melaporkan bahwa kemoterapi
adjuvan dengan cisplatin dan doxorubicin berkaitan dengan
peningkatan ketahanan hidup pada pasien dengan
dedifferentiated chondrosarcoma, penemuan ini tidak dapat
dikonfirmasi pada penelitian yang lain.11
Baru-baru ini Cesari et al. Melaporkan bahwa penambahan
kemoterapi meningkatkan angka ketahanan hidup pada pasien
111 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 45 • No. 2 • Agustus 2012
Pemberian kemoterapi pada tumor tulang primer maligna
dengan Chondrosarcoma mesenkimal.11,12
Laporan yang lain dari kelompok studi Jerman juga
mengkonfirmasi outcome yang lebih baik pada pasien yang
berusia muda. Namun demikian, tidak terdapat uji klinis
prospektif acak yang telah dilakukan, dan karena itu peranan
kemoterapi pada penatalaksanaan Chondrosarcoma masih
belum jelas.11
Tidak ada regimen kemoterapi yang sudah baku untuk
Chondrosarcoma konvensional (grade 1-3). Panduan The
NCCN Bone Cancer Guidelines menyarankan bahwa
dedifferentiated Chondrosarcoma dapat diterapi seperti
layaknya Osteosarcoma, dan Chondrosarcoma mesenkimal
dapat diterapi layaknya sarkoma Ewing. Kedua pilihan ini
masuk dalam kategori rekomendasi 2B.11
Pemberian kemoterapi pada ewing’s sarcoma
Sebelum era kemoterapi, kurang dari 10% pasien dengan
Ewing’s Sarcoma bertahan hidup, walaupun diketahui tumor
ini termasuk radiosensitif. Pasien biasanya meninggal karena
metastasis dalam kurun waktu 2 tahun, mengisyaratkan
perlunya terapi sistemik.
Dengan penggunaan regimen terapeutik multimodalitas
modern, termasuk kombinasi kemoterapi dan radioterapi,
angka kesembuhan sampai 75% dan lebih dapat dicapai
pada tumor yang terlokalisir.13
Secara konseptual, tata laksana untuk pasien dengan
penyakit yang terlokalisir mencakup tiga fase yang berbeda:
Sitoreduksi (untuk mengeradikasi metastasis mikro dan
memfasilitasi kontrol lokal ), kontrol lokal definitif untuk
mengeradikasi semua penyakit yang diketahui (pembedahan
ataupun radioterapi) dan kemoterapi adjuvan untuk
meminimalisir rekurensi tumor.14
Laporan pertama mengenai pemberian kemoterapi pada
Ewing’s Sarcoma berawal pada tahun 1960. Pada tahun 1962,
Sutow dan Sullivan dan Pinkel secara independen
mempublikasi
laporan
mengenai
penggunaan
cyclophosphamide pada kasus Ewing’s Sarcoma.
Dengan adanya publikasi Hustu et al. mengenai
kombinasi cyclophosphamide, vincristine dan radioterapi yang
menunjukkan respon yang baik pada 5 pasien, era dari terapi
multimodalitas modern pada Ewing’s Sarcoma pun dimulai.
Pada tahun 1974, Rosen et al., dari Memorial SloanKettering Cancer Center mempublikasikan hasil yang pertama
dari studi mengenai pemberian radioterapi beserta regimen
kemoterapi empat agen yang terdiri dari vincristine,
actinomycin D, cyclophosphamide dan doxorubicin yang
digunakan secara kombinasi dan bukan sekuensial (skema
VACD), memberikan angka ketahanan hidup jangka panjang
pada 12 orang pasien dengan Ewing’s Sarcoma. Skema VACD
kemudian menjadi terapi baku di banyak uji klinis.13
Studi acak Amerika Utara yang pertama, Intergroup Ewing
Sarcoma Study, IESS-I 1973-1978, memperlihatkan superioritas
dari regimen kemoterapi empat agen VACD dibandingkan
dengan regimen kemoterapi tiga agen VAC (tanpa doxorubicin),
dalam hal efektivitas kontrol lokal (96% vs 86%) dan event-free
survival (EFS) (60% v 24%).13
Pada IESS-II 1978-1982, dua jadwal kombinasi kemoterapi
empat agen VACD diperbandingkan. Peneliti dari laporan
original mengklaim bahwa regimen dosis tinggi intermiten
dengan dosis cyclophosphamide tiga mingguan yang lebih
tinggi, lebih superior dari pada jadwal dengan dosis rendah yang
kontinu, dimana dosis yang lebih rendah diberikan secara
mingguan, tetapi dosis kumulatif sama pada kedua regimen.13
Kepentingan doxorubicin, dan terutama mengenai
intensitas terapi inisial yang tinggi , selanjutnya diamati oleh
Smith et al. dalam meta-analisis sistematik dari uji klinis pada
Ewing’s Sarcoma, yang menyimpulkan bahwa dari semua
obat kemoterapi yang diberikan pada Ewing’s Sarcoma,
doxorubicin merupakan obat kemoterapi yang paling aktif,
diikuti dengan alkylating agent.
Dalam Sudut pandang penemuan ini, hasil dari studi
IESSII mungkin harus dipertimbangkan kembali. Selain itu,
terdapat juga perbedaan signifikan pada kedua jadwal terapi
IESS-II, di mana pasien yang dimasukkan dalam kelompok
regimen dosis tinggi intermiten menerima intensitas dosis
doxorubicin inisial yang lebih tinggi, dibandingkan dengan
pasien dalam kelompok regimen dosis rendah kontinu.13
Smith et al. berpendapat bahwa setidaknya sebagian
dari outcome yang superior pada pasien yang diberikan
jadwal dosis tinggi intermiten mungkin dikarenakan oleh
intensitas dosis doxorubicin inisial yang lebih tinggi.
Total dosis obat dari setiap obat untuk keseluruhan
regimen adalah sebanding antara kedua regimen, namun
demikian mereka yang mendapatkan dosis tinggi interminten
menerima secara keseluruhan 450 mg/m2 doxorubicin pada
minggu 36, sedangkan mereka yang menerima dosis rendah
kontinu menerima hanya 180 mg/m2 doxorubicin pada waktu
yang sama.13
Karena dosis total doxorubicin terbatas sehubungan
dengan resiko kardiomiopati, dosis kumulatif intensifikasi dari
agen alkilasi pun dipelajari, keduanya menggunakan cyclophosphamide sebagai alkilator utama dan menggunakan ifosfamide
sebagai alkilator alternatif, menggantikan atau melengkapi
cyclophosphamide.
Pada awal tahun 1980, terapi dengan ifosfamide dengan
atau tanpa etoposide, menghasilkan respon yang berarti pada
pasien yang telah mengalami kekambuhan setelah menjalani
terapi standar untuk Ewing’s Sarcoma. Dari 72 pasien yang
diterapi dengan ifosfamide dan etoposide, 30 orang memiliki
respon parsial atau komplit. Ifosfamide dan etoposide juga
diperkenalkan ke dalam beberapa studi untuk pasien yang
baru didiagnosa.13
Hasil yang menjanjikan dari ifosfamide dan etoposide pada
pasien yang mengalami kekambuhan membawa Children’s
Cancer Group dan the Pediatric Oncology Group untuk memulai
uji kontrol-acak, INT 0091, dimana mereka menyelidiki apakah
kombinasi dari ifosfamide dan etoposide ketika diselingi dengan
obat standar, akan memperbaiki outcome pada pasien dengan
Ewing’s Sarcoma.13
Pasien-pasien dalam penelitian tersebut dikelompokkan
secara acak ke dalam kelompok kemoterapi standar (regimen
A) dengan doxorubicin, vincristine, cyclophosphamide dan
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |
112
112
Benny, dkk
terapi standar, P = 0.01].
Studi ini menyimpulkan bahwa penambahan ifosfamide dan
etoposide ke dalam regimen standar tidak mempengaruhi
outcome pada pasien dengan penyakit yang sudah metastasis,
tetapi hal tersebut secara signifikan memperbaiki outcome pada
pasien dengan Ewing’s Sarcoma non-metastasis.13
Studi terbaru Euro-EWING-99 (menggabungkan studi
Eropa dan Amerika untuk Ewing’s Sarcoma terlokalisir dan
metastasis) menggunakan VIDE (vincristine, ifosfamide,
doxorubicin, etoposide) sebagai kemoterapi inisial untuk
semua pasien.
Pada skema yang rumit, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2, studi ini membandingkan VAC (vincristineactinomycin-cyclophosphamide) dengan VAI (vincristineactinomycin-ifosfamide) sebagai kemoterapi kontinu untuk
pasien dengan respon histologis yang baik terhadap VIDE
atau tumor kecil (<200 mL) yang diterapi dengan radiasi.13
actinomycin atau kelompok terapi eksperimental (regimen B)
yang terdiri dari empat obat diselingi dengan ifosfamide dan
etoposide.13
Pasien-pasien tersebut kemudian distratifikasi menjadi
kelompok-kelompok sesuai dengan ada atau tidaknya
metastasis. Terdapat total sebanyak 518 pasien memenuhi
syarat penelitian. Dari 120 pasien dengan penyakit
metastasis, 62 orang menerima terapi standar dan 58 orang
lainnya mendapatkan terapi eksperimental. Tidak terdapat
perbedaan signifikan pada 5-year-EFS (22%) antara kedua
kelompok terapi tersebut.
Di antara 398 pasien dengan penyakit non-metastasis,
rata-rata 5-year-EFS diantara 198 pasien dalam kelompok
terapi eksperimental adalah 69 (SD 3%) dibandingkan dengan
54 (SD 4%) diantara 200 pasien dalam kelompok terapi
standar (P = 0.05). Overal survival juga secara signifikan lebih
baik diantara pasien yang berada di dalam kelompok terapi
eksperimental [72 (SD 3.4%) vs 61 (SD 3.6%) dalam kelompok
VIDE x 6
VCR
IFO
DOX
ETO
1,5
3000
20
150
mg/m2/d dl
mg/m2/d d1, d2, d3
mg/m2/d d1, d2, d3
mg/m2/d d1. d2, d3
S
< 200 ml,
lo c. > 2 00ml ,
lo c. L u n g
M o st ace s
1
2
VAIx1 VACx7
R1
3
4
5
VCR 1,5 mg/m2/d d1 ACT
0.75 mg/m2/d d1, d2 CYC
1500 mg/m2/d d1
- OP, good response (gr)
6
- if early RAD mandatory
- <200+RAD
- <200 ml+RAD+/- OP (gr)
R
A
N
D
7
8
9
1 0 11 1 2 1 3 1 4
7
8
9
1 0 11 1 2 1 3 1 4
U
R
VAIx7
VCR 1,5 mg/m2/d d1
ACT 0.75 mg/m2/d d1, d2
IFO 3000 mg/m2/d d1, d2
R2
- OP, poor response (pr)
G
113
E
- if early RAD mandatory >200+RAD+OP (pr) <200 ml+RAD+/- OP (pr)
- lung mostaces
R
A
N
D
7
8
9
7
Bu-Mei*
1 0 11 1 2 1 3 1 4
R
Mostaces
to - Bone
- BM
- Muff
<<<<<<<<<<
Y
WINDOW
1
<<<<< Radiotherapy in selected cases - 500 protocol for indication>>>>>>>>>
2
3
4
5
6
O
P
T
I
O
N
S
R3
Bu-Mei*
7
Treo-Mei
Bu-Mei*
Phase 2
* inapplicable for previosly imadiated central aoda sites, off randomisation in R2
RANDOMISE
STRATIFY
PB PC
PB PC
REGISTER
Untuk pasien dengan respon histologis yang buruk, atau
tumor yang besar yang diterapi dengan radiasi atau metastase
paru, studi ini membandingkan VAI dan radioterapi paru dengan
busulfan-melphalan high dose chemotherapy/ autologous stem
cel rescue (HDCT/ASCR). Pasien dengan metastasis ekstra
pulmonal secara acak dimasukkan dalam kelompok
HDCT/ASCR.
Studi EuroEWING-99 yang sedang berjalan ini memberikan
evaluasi acak yang pertama mengenai HDCT/ASCR pada
pasien dengan Ewing’s Sarcoma. Pasien-pasien dengan tumor
yang terlokalisir dan yang berespon buruk terhadap kemoterapi
inisial dengan VIDE, atau dengan metastasis paru pada saat
diagnosis, secara acak diberikan intervensi baik kemoterapi
(vincristine, actinomycin and ifosfamide, dan radioterapi seluruh
113 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 45 • No. 2 • Agustus 2012
Pemberian kemoterapi pada tumor tulang primer maligna
paru bila terjadi metastasis paru) atau busulfan-melphalan
dengan sel punca autolog.
EuroEWING-99 baru-baru ini melaporkan outcome dari
281 pasien dengan metastasis ekstra pulmonal dari Ewing’s
sarcoma. Menyusul 6 siklus dari VIDE dan terapi lokal, 169/281
pasien menerima HDCT/ASCR, 112 pasien tidak menerima
HDCT dikarenakan oleh progresifitas yang dini, dokter dan
pilihan pasien, dan kegagalan pengumpulan pada empat
pasien. Three-year-EFS pada 281 pasien adalah 27% dan
overal survival rate adalah 34% dengan rata-rata pemantauan
selama 3,9 tahun setelah diagnosis. Pasien yang menerima
busulfan-melphalan HDCT dan radioterapi lokal untuk tumor
pelvis beresiko tinggi mengalami toksisitas gastrointestinal,
dikarenakan oleh irradiasi usus; tiga pasien dalam studi ini
meninggal karena toksisitas gastrointestinal. Radioterapi lokal
direkomendasikan, 8-10 minggu setelah kemoterapi berbasis
busulfan pada pasien-pasien ini.
Beberapa pengetahuan baru telah dibuat berkaitan
dengan biologi Ewing Sarcoma Family of Tumors (ESFT).
Hal yang paling penting, yaitu identifikasi dari EWS/ETS
gene rearrangement sebagai kunci transformasi maligna dan
pemahaman tentang pengaruh rearrangement ini pada
regulasi berbagai pathways yang terlibat dalam proliferasi
sel, diferensiasi dan apoptosis. Pengetahuan ini berujung
pada identifikasi target potensial untuk perkembangan terapi
molekuler yang baru.14
Beberapa target molekuler yang menjanjikan antara lain
yaitu insulin-like growth factor-1 dan reseptornya ( IGF-1/IGFR1),p53 pathway, ekspresi CD99, tyrosine kinase, mammalian
target of rapamycin (mTOR), mitogenactivated protein kinase
(MAPK), PI3K/Akt, epidermal growth factor receptor (EGFR),
platelet-derived growth factor C (PDGFC), vascular endothelial
growth factor (VEGF), dan tumor necrosis factor–related
apoptosis-inducing ligand. 14
Inhibisi dari ekspresi gen EWS/FLI1 dengan antisense
oligodeoxynucleotides yang diarahkan pada fusi RNA atau
dengan shortinterfering RNA akan mengurangi pertumbuhan
tumor secara signifikan secara in vitro dan in vivo.
Sementara tidak mungkin bahwa terapi spesifik ini tidak bisa
menyembuhkan ESFT secara tuntas bila diberikan sendiri,
diharapkan bahwa kombinasinya dengan kemoterapi standar
bisa meningkatkan kematian sel tumor dan mengurangi perkembangan resistensi dengan mempengaruhi pathway yang
berbeda yang penting untuk ketahanan hidup sel tumor. 14
KESIMPULAN
Tumor tulang primer maligna merupakan neoplasma yang
jarang dengan osteosarcoma, chondrosarcoma dan ewing’s
sarcoma merupakan 3 bentuk yang paling sering dijumpai.
Perkembangan regimen kemoterapi multiagen untuk
terapi neoadjuvan dan adjuvan telah memperbaiki prognosis
secara signifikan pada pasien dengan osteosarcoma dan
sarkoma ewing pada stadium dini dan non metastasis.
Pada laporan yang berskala kecil, penambahan
kemoterapi meningkatkan outcome pasien dengan
chondrosarcoma mesenkimal. Namun demikian, peranan
kemoterapi pada tata laksana chondrosarcoma belum jelas.
REFERENSI
1. Springfield D, Rosen G. Bone tumors. In: Kufe DW, Pollock
RE, Weichselbaum RR, Bast RC, Gansler TS, Holland JF,
et al., editors. Cancer medicine. 6th ed. Spain: BC Decker
Inc.; 2003. p. 2015.
2. Moesbar N. Profil tumor tulang di RSUP Haji Adam Malik
Medan. Majalah Kedokteran Nusantara. 2006;39:217-8.
3. Kantarjian HM, Wolff RA, Koller CA. Anderson manual of
medical oncology. New York: McGraw-Hill’s; 2005.
4. Brennan MF, Singer S, Maki RG, O’Sullivan B. Sarcoma
of the soft tissue and bone. In: Devita VT, Lawrence TS,
Rosenberg SA, editors. Principles & practice of oncology.
8th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
5. Ngan RKC. Chemotherapy for non-metastatic high-grade
osteosarcoma of extremity — is neoadjuvant better than
adjuvant?. J HK Coll Radiol. 2003;6:7-14.
6. Link MP, Goorin AM, Miser AW, Green AA, Pratt CB,
Belasco JB, et al. The effect of adjuvant chemotherapy
on relapse-free survival in patients with osteosarcoma of
the extremity. N Engl J Med. 1986;314:1600-6.
7. Eilber F, Giuliano A, Eckardt J, Patterson K, Moseley S,
Goodnight J. Adjuvant chemotherapy for osteosarcoma:
a randomized prospective trial. J Clin Oncol. 1987;5:216.
8. O’Day K, Gorlick R. Novel therapeutic agents for osteosarcoma. Expert Rev. 2009;9:511-23.
9. Hogendoorn PCW. Bone sarcomas: ESMO clinical
practice guidelines for diagnosis, treatment and followup. Annals of Oncology. 2010;21:204.
10. Gelderblom H, Hogendoorn PCW, Dijkstra SD, Rijswijk
CSV, Krol AD, Taminiau AHM, et al. The clinical
approach towards chondrosarcoma. The oncologist.
2008;13:320- 9.
11. Biermann JS, Adkins DR, Benjamin RS, Brigman B, Chow
W, Conrad III EU. Bone cancer: clinical practice guidelines
in oncology. Journal of the national comprehensive cancer
network. 2010;8:700.
12. Cesari M, Bertoni F, Bacchini P, Mercuri M, Palmerini E,
Ferrari S. Mesenchymal chondrosarcoma. In: An
analysis of patients treated at single institution. Tumori;
2007. p. 423-7.
13. Padhye B, McCowage G. Chemotherapy regimens in
newly diagnosed and recurrent ewing sarcoma in children
and young adults. Cancer Forum. 2010;34:128-34.
14. Maheshwari AV, Cheng EY. Ewing sarcoma family of
tumors. J Am Acad Orthop Surg. 2010;18:94-107.
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara
| 114
114
Download