6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ikan Tuna Ikan tuna mempunyai tubuh yang menyerupai cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, dan mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, serta sirip ekor berbentuk bulan sabit (Saanin, 1984). Ikan tuna termasuk ke dalam spesies yang bermigrasi jauh atau highly migratory spesies (Brill et al., 1998). Migrasi ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (KKP, 2003). Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang dibagi menjadi kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri atas tuna mata besar, tuna sirip kuning, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abuabu, sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP, 2003). 7 2.2 Taksonomi dan Morfologi Ikan Tuna Deskripsi ikan tuna menurut Saanin (1986) adalah spesies dengan kepala simetris, garis rusuk lengkap, sisik cycloid, tulang sejati, mempunyai tutup insang, bentuk badan cerutu, jari-jari sirip ekor bercabang pada pangkalnya, sirip-sirip kecil di belakang punggung, dan mempunyai sirip di bagian anal atau anal fin. Ikan tuna termasuk dalam ordo perciformes, famili scombridae yang terdiri atas empat genus yaitu auxis, thunnus, katsuwonus dan euthynnus (FAO, 2009). Klasifikasi tuna menurut Saanin (1984) dan FAO (2009) sebagai berikut : ` Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Teleostei Subclass : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Famili : Scombridae Genus : Thunnus Spesies : T. obesus (big eye tuna, tuna mata besar) T. alalunga (albacore, tuna albakora) T. albacares (yellowfin tuna, madidihang) T. tonggol (longtail tuna, tuna ekor panjang) T. macoyii (southern bluefin tuna) T. thynnus (northern bluefin tuna) T. atlanticus (blackfin tuna, tuna sirip hitam) 8 Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus sp). Ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) memiliki beberapa ciri-ciri morfologi, yaitu memiliki bentuk sirip lancip, sirip dorsal kedua lancip, dan sirip anal, pada kedua sirip terdapat tambahan sisik dan di bagian perut terlihat warna kuning mengkilap, tubuh lonjong memanjang, mempunyai warna biru tua metalik pada bagian belakang dan berubah menjadi kuning keperakan pada perut. Balutan kuning bergulir pada bagian tubuh sampingnya, perutnya mempunyai sekitar 20 garis-garis putus vertikal sebagai karakteristik yang tidak ditemukan pada jenis tuna lainnya. Ikan tuna sirip kuning terpanjang yang tercatat adalah sekitar 210 cm dengan berat sekitar 176,4 kg (Van Nostrand’s Scientific Encyclopedia 2005). Menurut Fukofuka dan Itano (2006) ikan tuna mata besar mempunyai ciri- ciri morfologi yaitu sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor, ukuran mata saat dewasa relatif lebih besar dibandingkan dengan tuna-tuna yang lain, tubuh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata, sirip dada pada saat YOY (young-of-the-year) lebih panjang dan selalu melewati belakang sebuah garis diantara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip 9 anal, ikan tuna mata besar dengan ukuran lebih dari 75 cm mempunyai sirip dada yang lebih panjang dari pada ikan tuna sirip kuning dengan ukuran yang sama. Menurut Collette dan Nauen (1983) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) atau biasa disebut juga skipjack tuna memilki ciri-ciri morfologi yaitu bentuk tubuh memanjang seperti bentuk cerutu dan agak membulat simetris, gigi-gigi kecil runcing yang tersusun secara seri, helai insang pertama berjumlah sebanyak 53-63 helai. Ikan cakalang mempunyai dua sirip dorsal yang terpisah, sirip pertama mempunyai 14-16 jari-jari keras sedangkan sirip kedua diikuti dengan 79 finlets dan 7 finlets di belakang anal fin. Badan ikan cakalang tidak bersisik pada bagian dada dan garis sisi (lateral line). Bagian punggung berwarna biru kehitaman, bagian perut abu-abu dengan 4-6 garis hitam yang membujur dan pada bagian ekor terdapat 2 keel yang keras. 2.3 Sebaran Ikan Tuna Menurut Uktolseja et al. (1991) ikan tuna hampir menyebar di seluruh perairan Indonesia yang meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, laut daerah selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores, Laut Halmahera, Laut Maluku, Laut Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar. Beberapa daerah di Indonesia yang merupakan daerah penangkapan ikan tuna antara lain adalah laut Banda, laut Maluku dan perairan selatan Jawa terus menuju timur. Begitu pula di perairan selatan dan barat Sumatera serta perairan lainnya (Gunarso, 1998). 10 Spesies ikan tuna yang berada di perairan Indonesia terdapat semua jenis tuna besar kecuali southern bluefin tuna (Thunnus thynnus) dan tuna sirip hitam/blackfin tuna (Thunnus atlanticus), ini disebabkan karena southern bluefin tuna berada di perairan Samudera Pasifik dan Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di perairan Samudera Atlantik. Selain itu, terdapat pula jenis-jenis tuna kecil diantaranya adalah cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis, Euthynnus alleteratus, dan Euthynnus lineatus) dan tongkol kecil (Auxis thazard dan Auxis rochei) (Uktolseja, 1998). Suhu dan kedalaman perairan memberikan pengaruh yang besar terhadap penyebaran ikan tuna. Kenaikan suhu rata-rata pada permukaan bumi turut mempengaruhi kenaikan suhu permukaan laut Berdasarkan hasil pengukuran, segi kedalaman operasi (fishing depth) rawai tuna dibagi tiga yaitu yang bersifat dangkal (shallow longline), pertengahan (halfway longline) dan dalam (deep longline). Rawai tuna yang bersifat dangkal, kedalaman mata pancingnya berada pada 92–181 m dengan suhu 22–27o C sedangkan yang bersifat pertengahan berada pada kedalaman 118–342 m dengan suhu 10–22o C dan deep longline berada pada kedalaman 75,–446 m dengan suhu 9-26o C (Barata et al., 2011). Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia terbagi atas tiga lapisan, yaitu lapisan hangat di bagian teratas atau lapisan epilimnion yang pada lapisan ini gradien suhu berubah secara perlahan, lapisan termoklin yaitu lapisan yang gradien suhu berubah secara cepat sesuai dengan pertambahan kedalaman, lapisan dingin di bawah lapisan termoklin yang disebut juga lapisan hipolimnion yang suhu air laut konstan sebesar 4ºC (Barata et al., 2011). 11 Tuna sirip kuning/yellowfin tuna merupakan ikan tuna yang hanya ditemukan di samudera dengan perairan yang hangat, perubahan suhu yang ekstrim dapat menyebabkan ikan tuna sirip kuning meninggalkan lapisan tersebut. Penyebaran ikan tuna sirip kuning secara geografis berada di semua perairan tropis dan subtropis kecuali pada Laut Mediterania (Uktolseja, 1998). Uktolseja et al. (1997) mengatakan bahwa jenis ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) dalam pertumbuhannya mengalami penyesuaian dengan habitatnya. Pada ukuran baby tuna pola hidup ikan tersebut cenderung berkelompok atau bergerombol pada lapisan permukaan air yang lebih dalam dan bersifat soliter. Lingkungan sekitar juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran dari ikan tuna mata besar (Thunnus obesus). Forshbergh (1980) mengatakan ikan cakalang/Katsuwonis pelamis merupakan kelompok ikan tuna kecil memiliki panjang tubuh antara 30-75 cm dengan umur yang dapat mencapai enam tahun. Ikan cakalang yang berada pada permukaan perairan tropis merupakan ikan cakalang dengan berat kurang dari 4 kg. Sedangkan cakalang yang beratnya lebih dari 6,5 kg mempunyai habitat di perbatasan termoklin dan beradaptasi dengan perairan sejuk (FAO, 2009). Pasar Ikan Kedonganan mendapatkan suplai ikan tuna dari nelayan lokal yang daerah tangkapannya tidak terlalu jauh dari pesisir pantai. Hasil tangkapan ikan tuna dari nelayan lokal tersebut didominasi oleh ikan baby tuna atau juga disebut YOY (young-of-the-year) (Carlsson et al., 2004). Sedangkan kapal tuna yang berasal dari Benoa menangkap tuna di perairan selatan Jawa Tengah dan di luar perairan ZEEI dengan hasil tangkapan ikan tuna yang lebih beragam. 12 Penangkapan di luar perairan ZEEI yang berada di Samudera Hindia diduga terjadi karena jumlah ikan tuna di perairan ZEEI semakin sedikit. Menurut Wudianto et al. (2003) penangkapan tuna dengan metode longline sebagian besar dilakukan di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dengan nilai laju tangkap di luar perairan ZEEI antara 0,301,59, sedangkan di perairan ZEEI antara 0,38-0,83. Hal ini diduga terjadi karena jumlah tuna di perairan ZEEI semakin sedikit. Terlihat dari laju pancing (hook rate) di perairan ZEEI makin kecil dan berat ikan yang tertangkap juga semakin kecil. Pada awal perkembangan tuna longline di tahun 1970-an, laju pancing berkisar antara 1,15-2,16 dan terus menurun sampai pada tahun 1999 yang hanya mencapai 0,67. Begitu pula dengan berat ikan yang tertangkap juga terus menurun dari 37 kg/ekor pada tahun 1973 menjadi 26 kg/ekor pada tahun 1999 (PRPT, 2002). 2.4 Keragaman Genetik Keragaman genetik dapat diartikan sebagai variasi gen antar spesies. Keragaman genetik memberikan kemampuan untuk beradaptasi melawan perubahan lingkungan dan iklim atau hama serta penyakit baru pada suatu spesies (Sofro, 1994). Tingkat keragaman genetik dalam populasi maupun antar populasi menggambarkan status keberadaan spesies tersebut di alam. Tingkat keragaman yang rendah menunjukkan penurunan dalam effective population size di alam akibat terjadinya inbreeding ataupun jumlah populasi yang tersedia memang sangat terbatas di alam (Sofro, 1994). 13 Soewardi (2007) menyebutkan bahwa keragaman genetik merupakan bagian dari keragaman hayati (biodiversitas) yang memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu keragaman struktural dan fungsional dari kehidupan pada tingkat komunitas dan ekosistem, populasi, spesies dan genetik. Sumberdaya genetik memiliki peran penting untuk mempertahankan keragaman hayati. Karena semakin bervariasi keragaman genetik yang dimiliki maka semakin besar kemungkinan populasi tersebut untuk hidup lebih lama serta semakin tinggi daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Menurut Sumantadinata (1982) keragaman genetik antar populasi merupakan hasil interpretasi dari isolasi secara fisik dan terhalang secara ekologis, terpisah jauh secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah. Secara umum keragaman genetik suatu populasi akan mempengaruhi respon populasi terhadap seleksi alam maupun seleksi buatan yang dilakukan oleh manusia. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik. Hal ini dikarenakan setiap gen memiliki respon yang berbeda terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari individu-individu di dalam populasi maka berbagai perubahan lingkungan akan dapat direspon lebih baik (Ryman dan Utter 1987). 2.5 Mitokondria DNA DNA mitokondria sangat potensial digunakan untuk pengamatan hubungan genetik antar spesies maupun di dalam spesies, yaitu intra spesies yang memiliki hubungan dekat. Brown (1983) menyatakan bahwa peranan DNA 14 mitokondria dalam studi keragaman genetik dan biologi populasi pada hewan cukup besar, karena DNA mitokondria memiliki derajat polimorfisme yang tinggi serta hubungan yang jelas antara polimorfisme dengan substansi basa-basa penyusun genomnya. DNA mitokondria berbeda dengan organel sel lainnya, mitokondria memiliki materi genetik sendiri yang karakteristiknya berbeda dengan materi genetik di inti sel. Mitokondria DNA merupakan rantai DNA yang terletak di bagian sel yang bernama mitokondria. DNA mitokondria memiliki ciri-ciri yang berbeda dari DNA nukleus ditinjau dari ukuran, jumlah gen, dan bentuk. Diantaranya adalah memiliki laju mutasi yang lebih tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti. Selain itu DNA mitokondria terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1.000 kopi) dalam tiap sel, sedangkan DNA inti hanya berjumlah dua kopi. DNA inti merupakan hasil rekombinasi DNA kedua orang tua sementara DNA mitokondria hanya diwariskan dari ibu (maternally inherited) (Giles et al., 1980). DNA mitokondria memiliki bentuk serat ganda, terdiri dari daerah 12S rRNA,16S rRNA, ND 1, ND 2, CO I, CO II, ATPase, CO III, ND 4, ND 5, ND 6, Cyt b dan D-loop (Displacement loop) atau dikenal juga dengan control region yang terkait dalam proses replikasi (Kocher dan Thomas, 1989). 2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) ditemukan pertama kali oleh Kary Mullis pada pertengahan tahun 1980-an. Teknik tersebut merupakan salah satu penemuan revolusioner dalam genetika molekuler. Erlich (1989) menyatakan 15 bahwa PCR adalah sebuah metode in vitro yang digunakan untuk mensintesa sekuen DNA tertentu secara enzimatis dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridasi pita yang berlawanan dan mengapit daerah target DNA. Adapun keunggulan daripada PCR yaitu polymerase-rantai DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu dan PCR akan menghasilkan amplifikasi wilayah DNA tertentu (Mahardika, 2003). Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan DNA 105-106 kali lipat dari jumlah nanogram DNA template dalam latar belakang besar pada sekuen yang tidak relevan (Roche, 2006). Metode PCR terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (1) tahap denaturasi (denaturation) untuk memisahkan DNA menjadi utas tunggal (single strand) pada suhu 95o C, (2) tahap penempelan (annealing) merupakan proses penempelan primer DNA baru pada utas tunggal yang telah terpisah dan (3) tahap pengembangan (extension) yang merupakan proses pemanjangan utas DNA yang baru (Baker dan Birt, 2000). Lisdiyanti (1997) mengemukakan bahwa PCR adalah metode yang sangat sensitif sehingga hanya dengan satu molekul DNA, dapat diperbanyak dua kali lipat DNA dalam satu siklus suhu denaturation, annealing dan extension. Sekuen primer DNA merupakan faktor kunci yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu PCR, karena primer ini sebagai awal dimulainya proses amplifikasi DNA. Jika primer langsung menempel pada susunan basa nukleotida pada sekuens DNA, maka proses berikutnya akan mudah bekerja dengan baik. 16 umumnya suatu primer DNA memiliki panjang antara 20-24 pasangan basa (basepairs), baik primer yang berukuran panjang atau pendek keduanya umum digunakan dalam proses PCR (Baker dan Birt 2000). 2.7 Sekuensing DNA Sekuensing DNA adalah proses penentuan urutan nukleotida dalam DNA. Sekuensing DNA mencakup setiap metode atau teknologi yang digunakan untuk menentukan urutan empat basa, yaitu adenin , guanin , sitosin dan timin dalam untai DNA (Sanger dan Coulson, 1975). Sekuensing pada daerah mtDNA merupakan metode yang sering digunakan untuk mengetahui struktur populasi serta sekuensing mtDNA dapat memberikan banyak informasi tentang komposisi sekuen dan kemunculan mutasi pada daerah mtDNA (Terrence, 2007). Sanger memperkenalkan metode “plus and minus” untuk melakukan sekuensing DNA pada tahun 1975, (Sanger dan Coulson, 1975). Penemuan dari Sanger merupakan teknik transisi yang sangat penting untuk menemukan metode sekuensing modern. Kunci utama dalam metode sanger adalah dengan penggunaan gel poliakrilamida untuk memisahkan produk dari sintesis primer oleh polimerase DNA untuk meningkatkan panjang rantai. Maxam dan Gilbert (1977) mengembangkan sebuah metode sekuensing DNA yang mirip dengan metode Sanger dan Coulson dalam menggunakan gel poliakrilamida untuk menyelesaikan pita yang berakhir pada masing-masing target sekuen. Teknik yang banyak digunakan adalah DNA sequencing otomatis dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip PCR. Terminasi rantai dilakukan dengan 17 penambahan ddNTP (ddATP, ddCTP, ddGTP, dan ddTTP) yang diberi label dengan warna fluoresensi berbeda. Elektroforesis dilakukan pada kapiler polimer dan elektroferogram dibaca dengan menggunakan komputer. (Sanger dan Coulson, 1975) 2.8 Bioinformatika Bioinformatika merupakan ilmu yang mempelajari penerapan teknik komputasional untuk mengelola dan menganalisis informasi biologis. Bidang ini mencangkup penerapan metode matematika, statistika, dan informatika untuk memecahkan masalah biologis, terutama dengan menggunakan sekuens DNA dan asam amino, yang berguna dalam menganalisa kekerabatan suatu individu baik dalam satu spesies maupun antar spesies (Tekaia, 2007) Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) 5 merupakan perangkat lunak yang dapat mencari database sebuah sekuen secara online, merunutkan sebuah sekuens dan membangun pohon filogenetik. MEGA 5 menggunakan metode evolusi bioinformatika berdarkan ilmu biologi, biomedis, dan evolusi (Tamura et al., 2011) Beberapa fitur penting dalam program MEGA 5 adalah alligment, berfungsi untuk menyetarakan ataupun membandingkan sekuen nukleotida. BLAST, berguna untuk mengidentifikasi spesies suatu individu melalui kesamaan nukleotida pada database di GenBank (Baxevanis et al., 2002). Hasil sekuen dapat di BLAST yang berguna untuk mencari kekerabatan suatu individu melalui kesamaan nukleotida pada database internasional di 18 GenBank. Dari hasil tersebut dapat dilakukan analisis nukleotida polimorfik untuk mengetahui variasi genetik dalam spesies yang sama. Hasil analisis tersebut akan direkonstruksi menjadi pohon filogenetik yang berguna dalam membentuk struktur bagan kekerabatan (Baxevanis et al., 2002). DnaSP merupakan perangkat lunak untuk melakukan analisis data polimorfisme pada DNA. Hasil sekuen yang telah dirunutkan pada program MEGA 5 akan dihitung jumlah keragaman haplotipenya dengan menggunakan program DnaSP. Diversitas haplotipe dari suatu spesies dapat diukur menggunakan DnaSP (Rozas et al., 2003). BEAST 1.75 merupakan program multi-platform untuk analisis sekuen molekuler Bayesian MCMC.. BEAST 1.75 menggunakan MCMC untuk meratakan ruang pada pohon filogeni, sehingga setiap pohon diberi bobot yang sebanding dengan probabilitas posterior. Beast 1.75 penghitungan utama yang dapat diteliti. Tiga penghitungan mempunyai tiga ini merupakan filogeni spesies untuk molecular dating , penggabungan populasi berdasarkan genetika dan pengukuran evolusi pada suatu populasi (Alexei et al., 2007). 2.9 Kerangka Konsep Pembentukan struktur genetika populasi suatu jenis ikan dipengaruhi berbagai faktor yang dapat menambah ataupun mengurangi keragaman genetik. Faktor-faktor yang meningkatkan keragaman genetik antara lain faktor mutasi dan migrasi, sedangkan faktor-faktor yang menurunkan keragaman genetik antara lain seleksi alami dan genetic drift (Gardner et al. 1991). Soelistyawati (1996) 19 menyatakan bahwa keragaman genetik juga dipengaruhi oleh perpindahan materi genetik antar dua populasi yang berbeda tempat. Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. - Variasi genetik - Sebaran ikan tuna - Diversitas haplotipe Keragaman genetik spesies ikan tuna - Mutasi genetik - Genetik drift Identifikasi spesies ikan tuna - Jarak genetik - Seleksi alam Keterangan: Faktor yang diamati Faktor tidak diamati Gambar 2. Kerangka konsep penelitian Morfometri merupakan studi yang mengukur variasi perubahan ukuran dan bentuk dari organisme, meliputi pengukuran panjang dan analisis kerangka suatu organisme (Turan, 1998). Studi morfometri didasarkan pada sekumpulan data pengukuran yang mewakili variasi bentuk dan ukuran ikan. Dalam ilmu perikanan, analisis morfometri digunakan untuk mengukur ciri-ciri khusus dan hubungan variasi dalam suatu populasi ikan. Variasi morfometri suatu populasi pada kondisi geografi yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan struktur genetik dan kondisi lingkungan (Tzeng et al., 2000). 20 Ikan tuna pada ukuran YOY atau baby tuna akan sulit untuk diidentifikasi secara morfometri (Ivane et al., 2012). Morfologi ikan akan bervariasi sesuai dengan fase pertumbuhan, perilaku dan habitat (Mark et al., 1994). Tetapi dengan menggunakan teknik molekuler analisis sekuen control region mtDNA semua spesies baby tuna dapat diidentifikasi dengan tepat (Chuang et al., 2012). Disamping itu, struktur genetik baby tuna yang berbeda spesies maupun pada baby tuna yang sejenis akan tetap bervariasi. Identifikasi spesies perlu dilakukan untuk memantau atau menjaga serta meningkatkan potensi yang ada di dalam laut. Berdasarkan data GenBank, identifikasi spesies ikan tuna menggunakan analisis genetika belum banyak dilakukan di perairan Indonesia.