BAGIAN KETIGA INDIVIDU DALAM

advertisement
BAGIAN KETIGA INDIVIDU DALAM HUKUMINTERNASIONAL
BAB XI
NEGARA DAN INDIVIDU
A. Kaitan antara Negara dan Warganegara
Salah satu unsur dari negara adalah adanya penduduk yang menetap di
wilayah negara yang bersangkutan
Negara terikat oleh suatu norma dalam hukum internasional untuk
melindungi warganegaranya. Sehingga masalah kewarganegaraan atas diri
seseorang merupakan masalah penting dalam kaitannya dengan perlindungan
warganegara tersebut oleh negara dimana individu tertebut memperoleh
kewarganegaraan.
1. Cara memperoleh kewarganegaraan
Praktek
negara-negara
memperlihatkan
bahwa
kewarganegaraan
seseorang dapat diperoleh melalui cara-cara:
-
Proses kelahiran, baik menurut asas jus soli (tempat kelahiran) maupun
asas
jus
sanguinis
(faktor
keturunan).
Biasanya
suatu
negara
menekankan pada salah satu asas dengan tidak meninggalkan asas
yang lain. Hal ini untuk menghindari status bipetride atau apatride
-
Proses naturalisasi, baik melalui perkawinan, legitimasi, atau karena
permohonan
-
Proses pemberian kewarganegaraan dalam peristiwa penaklukan
2. Hilangnya kewarganegaraan
Ada beberapa kemungkinan hilangnya kewarganegaraan seseorang,
seperti:
-
pelepasan atau penolakan
-
pencabutan oleh Negara
-
bertempat tinggal lama di negara lain
3. Arti penting nasionalitas dalam hukum internasional
Nasionalitas (kewarganegaraan) seseorang merupakan keadaan yang
terus menerus, yaitu suatu hubungan yang terus menerus antara negara yang
berdaulat di satu pihak dengan warga negara di pihak lain. Adanya hubungan
yang demikian melahirkan hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Apa yang
menjadi hak dari salah satu pihak maka akan merupakan kewajiban pada pihak
lain. Adapun hak-hak warga negara antara lain:
-
perlindungan diplomatic
-
memasuki dan menetap di negaranya
-
wajib melaksanakan dinas wajib militer
-
akibat tindakan warganegaranya dapat menimbulkan tanggung jawab
negara
-
negara tidak wajib menyerahkan warganegaranya ke negara lain, kecuali
ada pejanjian ekstradisi
-
status musuh dalam pertikaian bersenjata didasarkan pada nasionalitas
-
sebagai dasar pelaksanaan yurisdiksi adalah prinsip nasionalitas
seseorang
B. Hukum Hak Asasi Manusia
1. Pengartian dan Ruang Lingkup Hak Azasi Manusia
Hak asasi adalah hak yang dimiliki oleh manusia yang diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat. Adanya hak pada seseorang karena ia mempunyai suatu
keistimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai
dengan keistimewaan tersebut.
Keberadaan hak-hak asasi yang ada pada diri manusia itu bersifat
universal, artinya tanpa perbedaan atas dasar ras, bangsa, agama atau kelamin.
Demikian juga dengan hak asasinya, manusia haras mendapatkan kesempatan
untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Secara tradisional ada dua macam hak, yaitu:
1.
Hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia, yang
berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Karenanya hak itu
dinamakan "hak manusia". Dikatakan juga bahwa hak itu ada pada manusia,
sebab manusia harus dinilai menurut martabatnya.
Hak semacam ini tak dapat direbut, karena selalu ada pada diri manusia,
tidak tergantung dari ada tidaknya persetujuan orang lain. Demikian juga
tidak dapat dicabut oleh siapapun.
2.
Hak yang ada pada diri manusia akibat adanya peraturan, yaitu hak yang
berdasarkan undang-undang.
Hak yang demikian tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia,
namun menjadi hak karena tertampung dalam undang-undang yang sah.
Hak-hak yang demikian dapat dituntut di depan pengadilan.
Hak-hak asasi manusia dapat dibagi dan dibeda-bedakan atau digolongkan
menurut sifatnya dalam beberapa jenis:
1. hak-hak asasi pribadi atau "personal rights" yang meliputi kemerdekaan
menyatakan pendapat dan memeluk agama, kebebasan bergerak dan
sebagainya. Pelaksanaan hak-hak yang demikian tentu saja harus
memperhatikan berbagai peraturan perundangan yang bermaksud untuk
melindunginya.
2. Hak-hak azasi ekonomi atau hak untuk memiliki sesuatu (“property rights"),
untuk membeli atau menjual barang miliknya tanpa dicampuri secara
berlebihan oleh pemerintah. Termasuk didalamnya adalah hak untuk
mengadakan perjanjian dengan bebas. Pelaksanaan hak yang demikian
harus mengingat adanya kepentingan umum sebagaimana di tetapkan dalam
peraturan perundangan.
3. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan sederadjat dalam hukum
dan pemerintahan atau "right of legal equality". Keberadaan hak yang
demikian dimaksudkan agar supaya tidak ada perbedaan perlakuan atas tiap
individu, yang didasarkan atas kedudukan atau statusnya dalam masyarakat
oleh penguasa.
4. Hak-hak azasi politik atau "political rights". Yaitu hak untuk turut serta dalam
pemerintahan, serjerti hak dipilih dan memilih, mendirikah atau bergabung
dalam partai politik, dan sebagainya.
5. Hak-hak azasi sosial dan kebudayaan atau "social and cultural rights",
seperti memperoleh dan memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan
yang disukai.
6. Hak berperkara dan perlindungan atasnya atau "procedural rights ". Hak ini
berkaitan dengan perlindungan atas hak azasi manusia melalui pengadilan.
Pengakuan terhadap hak-hak azasi
yang demikian itu
sebenarnya
mengandung pengertian bahwa hak-hak azasi tersebut harus dilindungi baik
terhadap pemegang
kekuasaan
maupun
terhadap
perorangan
yang
akan
melanggar
atau
mengurangi hak tersebut.
2. Perkembangan Pengaturan Hak Azasi Manusia
Dalam sejarah umat manusia telah tercatat berbagai kejadian dimana
seseorang atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap
penguasa golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap menjadi
haknya. Dibelahan dunia Barat telah berulang kali ada usaha untuk merumuskan
serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin.
Melalui proses yang cukup panjang, tercatat beberapa naskah yang
menetapkan beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan
karena itu bersifat universal dan azasi.
Naskah-naskah tersebut antara lain:
1.
MagnaCharta, 1215
Kelahiran naskah ini melalui perjuangan yang cukup panjang dari kaum
bangsawan di Inggris dalam menghadapi kekuasaan Raja, dan hal demikian
dipandang sebagai awal dari perjuangan yang panjang untuk mendapatkan
pengakuan dari hak-hak azasi manusia.
Pada masa itu, Raja bisa berbuat sesuka hatinya, baik yang menyangkut
kemerdekaan diri pribadi atau keluarga seseorang maupun hak milik
seseorang.
Selain dari itu yang menimbulkan kebencian dari kaum bangsawan terhadap
raja John, atas sikap dan kelakuannya terhadap wanita. Raja John sering
menyesatkan dan mengganggu kaum wanita bangsawan, memenjarakan
kaum wanita dengan tanpa diberi makan hingga kelaparan dan meninggal.
Ketika pada sekitar tahun 1214 Raja John menderita kekalahan dalam
perang melawan Raja Philip dari Prancis, para bangsawan mengambil
kesempatan sebaik-baiknya untuk mengadakan aksi terhadap radjanya, yaitu
menyatakan perang pada rajanya bila tuntutannya tidak dipenuhi. Raja John
menyadari tidak mendapat dukungan dari kaum bangsawan, maka ia
menggunakan tentara-tentara bayaran dalam menghadapi kaum bangsawan.
Di pihak lain kaum bangsawan berhasil menjadikan kota London sebagai
benteng pemberontakan dan pemberontakan terjadi di mana-mana. Melihat
kekuatan kaum bangsawan yang tak mudah dipatahkan, maka tidak ada
pilihan lain dari raja John untuk berdamai. Maka pada tanggal 15 Juni 1215
diadakan pertemuan antara Raja John dengan pimpinan pemeberontak, di
mana pihak pemberontak mengajukan tuntutan-tuntutannya kepada raja.
Setelah diadakan perundingan diantaranya, akhirnya pada tanggal 19 Juni
1215 dirumuskan kesepakatan itu dalam suatu dokumen yang kemudian
dikenal dengan Magna Charta. Beberapa ketentuan dalam Magna Charta
antara lain:
-
Dengan karunia Tuhan, bersama ini kami menyatakan bagi kami sendiri
maupun untuk keturunan kami, selanjutnya bahwa Gereja Inggeris akan
mempunyai kemerdekaan dan akan memiliki hak-hak dan kebebasannya
secara lengkap dan tidak dapat dikurangi.
-
Kepada rakyat atau penduduk daerah kerajaan kami yang bebas (free man
of our realm} telah kami berikan hak-hak kemerdekaan, hal mana akan
berlaku baik untuk diri kami sendiri maupun untuk keturunan kami dan
selanjutnya.
-
Baik petugas keamanan maupun pemungut pajak kita tidak akan mengambil
begitu saja gandum atau hewan tanpa pembayaran dengan segera dalam
mata uang, kecuali bila atas kehendak yang mempunyainya disetujui
penundaan pembayaran.
-
Petugas polisi dan kejaksaan tidak akan menuduh atau menuntut seseorang
tanpa persaksian yang dapat dipercaya.
-
Dan tidak seorang bebas (free man) akan ditahan, ditangkap, dibuang,
dinyatakan tanpa perlindungan atau dibunuh tanpa pertimbangan dan alasan
hukum dari para kepala distrik atau berdasarkan hukum dan undangundang. Keadilan berdasarkan hukum dan hak-hak tidak akan dijual belikan
dan semua berhak atas hal itu.
-
Bila seseorang tanpa pertimbangan menurut hukum telah ditangkap dan
ditahan atau direbut hak miliknya atas tanah, hewan, atau lain-lain hak maka
kami akan segera memperbaikinya.
Perumusan-perumusan dalam Magna Charta tersebut mempunyai arti
penting dan pengaruh bagi rakyat Inggeris dalam penafsirannya, dimana hak raja
bukanlah tidak terbatas atau absolut, namun harus juga memperhatikan hak-hak
rakyat yang tidak dapat dilanggar begitu saja. Magna Caharta telah menjadi
lambang bahwa hukum dan undang-undang adalah lebih tinggi daripada raja.
2.
Bill of Rights, 1689.
Dokumen ini lahir sebagai hasil perjuangan yang dilakukan oleh rakyat
Inggeris terhadap Raja James II dalam menuntut hak-haknya yang dirampas
oleh raja berikut para pembantunya. Dalam dokumen tersebut ditegaskan
beberapa hal yang dianggap tidak legal atau tidak sah, seperti:
-
Menjadakan undang-undang tanpa persetujuan dari badan parwakilan;
-
Merongrong dan usaha untuk menghancurkan agama protestan dan lainlain hak kemerdekaan dari pemeluknya;
-
Diadakannya
badan
peradilan
khusus
untuk
urusan
keagamaan
yang tidak berdasakan undang-undang;
-
Adanya pelucutan senjata bagi pmeluk agama Protestan, sedangkan bagi
pemeluk agama Katholik tidak;
Melalui perumusan dalam dokumen Bill of rights tersebut akhirnya diakui
adanya:
-
Hak memeluk agama menurut kepercayannya masing-masing;
-
Segala bentuk pungutan dari penguasa harus didasarkan pada adanya
persetujuan dari badan perwakilan;
-
Hak rakyat untuk mengajukan pertanyaan guna mendapat penjelasan dari
raja dalam sesuatu hal yang menurut rakyat tidak sebagaimana
mestinnya, dijamin;
-
Adanya jaminan kebebasan pemilihan dari anggota-anggota untuk
parlemen;
-
Perlemen memiliki kebebasan mengemukakan pendapat dan tidak bisa
dituntut dimuka pengadilan;
-
Perlunya sering diadakan sidang parlemen guna memperbaiki atau
mengoreksi undang-undang;
-
Jaminan hukuman yang tidak berlebihan.
Sehubungan dengan kedua instrument Hak Asasi Manusia tersebut di
atas yang ternyata mengilhami lahirnya beberapa instrumen Hak Asasi Manusia
yang lain, yang lahir baik dalam tingkat internasional maupun dalam tingkat
regional. Instrumen-instrumen tersebut meliputi antara lain:
-
The Universal Declaration of Human Rights 1948.
-
The International Covenant on Civil and Political Rights
-
The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
-
Protocol Optional of International Covenant on Civil and Political Rights,
1976
-
Protocol Optional of International Covenant on Civil and Political Rights,
1989
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dapatlah dikatakan
bahwa Deklarasi tersebut merupakan suatu instrument pokok dalam tingkat
internasional bagi pengaturan dan pengembangan hak asasi manusia. Bahkan
dapat dikatakan pula sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi
semua rakyat dan semua bangsa (the common standar of achievement for all
peoples and all nations). Hak-hak yang tercantum dalam UDHR tidak dapat
dipisahkan (inalienable) dan tidak dapat dicabut/dilanggar (inviolable) dari semua
keluarga kemanusiaan (human family).
UDHR menyerukan kepada anggota masyarakat internasional agar
menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah
ditetapkan dalam Deklarasi ini. Pengakuan secara umum atas hak asasi manusia
oleh Deklarasi tersebut dapat dilihat dalam pasal 1 dan 2, yang menegaskan
bahwa:
"semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan
berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan
oleh Deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna kulit,
jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal-usul
kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang
lain".
Adapun hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak setiap orang
secara rinci dapat dilihat dalam pasal 3 sampai dengan pasal 21, yaitu
antara lain:
•
Hak untuk hidup
•
Kebebasan dan Keamanan Pribadi
•
Bebas dari Perbudakan dan penghambaan
•
Bebas
kejam,
dari
penyiksaan
atau
perlakuan
maupun
hukuman
yang
tak berperikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat
kemanusiaan
•
Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja sebagai pribadi
•
Hak untuk pengampunan hukum yang efektif
•
Bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenangwenang
•
Hak untuk peradilan yang adil dan dengan pendapat yang dilakukan oleh
pengadilan yang indipenden dan tidak memihak
•
Hak untuk praduga tak bersalah
•
Bebas dari campur tangan sewenang-wenang terhadap keleluasaan pribadi,
keluarga, tempat tinggal maupun surat-meyurat
•
Bebas dari serangan kehormatan dan nama baik
•
Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu
•
Bebas bergerak, hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan,
hak untuk menikah dan membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak
milik
•
Bebas berpikir, berkesadaran dan beragama, dan menyatakan pendapat
•
Hak untuk menghimpun berserikat, hak untuk ambil bagian dalam
pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan
masyarakat.
Sedangkan hak-hak ekonomi sosial dan kebudayaan yang menjadi hak
semua orang diatur dalam pasal 22-27, yang antara lain:
•
Hak atas jaminan social
•
Hak untuk bekerja
•
Hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat buruh
•
Hak atas istirahat dan waktu senggang,
•
Hak atas stattdar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan,
•
Hak atas pendidikan
•
Hak uhtuk berpartisipasi dalam kebudayaan masyarakat.
Beberapa hak tersebut di atas kemudian ditegaskan kembali dalam
beberapa pasal dalam International Covenant on Civil and Political Rights
sebagai hak yang tak dapat diderogasi, yaitu:
¾
Pasal 6
¾
Pasal 7
: setiap manusia melekat hak untuk hidup.
: Tidak seorangpun boleh dikenakan siksaan atau
perlakuan/hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau penghinaan.Pasal 8
ay. 1
: tidak seorangpun boleh diperbudak.
¾
Pasal 8 ay. 2
¾
Pasal 11
: tidak seorangpun boleh diperhamba
: tidak seorangpun boleh dipenjara semata-mata atas alasan
ketidak mampuan memenuhi kewajiban dalam kontrak
¾
Pasal 15 : tidak seorangpun boleh dianggap bersalah karena pelanggaran
pidana disebabkan oleh suatu perbuatan/kelalaian yang tidak merupakan
tindak kejahatan, menurut hukum nasional atau internasional, pada waktu
perbuatan itu dilakukan..
¾
Pasal 16 : setiap orang berhak untuk diakui sebagai subyek hukum di mana
pun ia berada.
¾
Pasal 18 : setiap orang berhak atas kebebesan berpikir, keyakinan dan
agama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut agama/kepercayaan
pilihannya sendiri.
Apabila diperhatikan, hak-hak yang diuraikan dalam Deklarasi tersebut
dapat dikatakan sebagai sintesa antara konsepsi liberal Barat dan konsepsi
sosial. Hanya saja dalam Deklarasi tersebut belum mengatur mengenai hak
rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Hak yang terakhir ini baru mendapat
mengaturan dalam The International Covenant on Civil and Political Rights dan
The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, yang dalam
pelaksanannya tidak boleh adanya diskriminasi dalam segala bentuk/wujud.
Dalam perkembangannya UDHR (demikian juga The International
Covenant on Civil and Political Rights dan The International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights ) telah memberikan inspirasi terhadap
lahirnya instrumen internasional lainnya mengenai hak-hak asasi manusia,
antara lain:
ƒ
Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan
Pemusnahan suatu Bangsa dengan sengaja, 1948.
ƒ
Konvensi Mengenai Status Pengungsi, 1951 4
Konvensi Mengenai Hak
Politik Wanita, 1953
ƒ
Konvensi Perbudakan, 1926 yang diamandemen oleh Protokol, 1953
ƒ
Kottvensi Mengenai Status Orang yang Tidak Berkewarganegaraan, 1954
ƒ
Deklarasi tentang Hak Asasi Anak, 1959
ƒ
Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan pada Negara-Negara dan
Bangsa-bangsa Kolonial, 1960
ƒ
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1966
ƒ
Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Hukuman dari Kejahatan
Apartheid, 1973
ƒ
Konvensi mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Wanita, 1979
ƒ
Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang
Kejam dan tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, 1984
ƒ
Konvensi mengenai Hak-hak Anak, 1989, dan sebagainya
3.
Kekuatan Mengikat Secara Hukum Instrument Hak Azasi Manusia
Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu instrument internasional
yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional pada hakikatnya akan
mengikat negara pihak, apabila negara yang bersangkutan telah menyatakan diri
untuk terikat pada perjanjian internasional tersebut. Cara menyatakan terikat
pada perjanjian internasional dapat dilakukan melalui Penanda Tanganan
(Signature), Pertukaran Instrumen yang membentuk Perjanjian (exchange of
Instruments
constituting
a
treaty),
Ratifilasi
(ratification)
Penerimaan
(acceptance), Persetujuan (approval) atau Aksesi (accession), atau cara lain
yang telah disepakati. Dengan negara telah menyatakan terikat pada suatu
perjanjian, maka sejak saat itu negara tersebut telah menjadi pihak pada
perjanjian yang bersangkutan dan memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi
perjanjian tersebut, serta tidak merusak obyek dan tujuan perjanjian, sekalipun
perjanjian itu belum mempunyai kekuatan mengikat Sebagaimana dicontohkan
dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Covenan on Politik and Political
Rights.
Pasal 2 ayat 1 menyebutkan: "Setiap Negara Peserta Perjanjian ini akan
menghormati dan menjamin semua individu yang berada dalam wilayahnya dan
tunduk kepada yurisdiksi hak-hak yang diakui dalam Perjanjian ini...."
Pasal 2 ayat 2 menyatakan: "Bila belum tersedia perundang-undangan
atau peraturan lainnya, setiap Negara Peserta Perjanjian berusaha mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, ....untuk membuat undang-undang seperti itu
atau peraturan lain yang diperlukan untuk memperkuat hak-hak yang diakui
dalam Perjanjian ini.
Suatu perjanjian internasional dikatakan mulai efektif berlaku (entry into
force) dapat melalui beberapa kemungkinan, seperti:
•
Ditentukan pada tanggal tertentu, atau
•
Setelah dipenuhinya sejumlah ratifikasi, atau
•
Waktu tertentu setelah dipenuhi sejumlah ratifikasi, atau
•
Setelah penandatangan atau ratifikasi atau pernyataan terikat dari negara
pihak, atau
•
Setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, atau
•
Cara lain yang disetujui oleh para pihak.
Dalam kaitannya dengan berlakunya suatu perjanjian internasional,
instrument hak asasi manusia yang termasuk dalam The International Bill of
Human Rights perlu dikaji seberapa jauh dokumen-dokumen tersebut mengikat
secara hukum bagi negara-negara anggota PBB.
Sesuai dengan namanya, UDHR berbentuk Deklarasi Majelis Umum
PBB, yang berarti secara hukum Deklarasi tersebut tidak mengikat para anggota
PBB. Namun demikian, menurut beberapa pakar dengan teorinya masingmasing mengatakan bahwa Deklarasi tersebut mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Von Glahn, bahwa Deklarasi tersebut
merupakan suatu penafsiran resmi (expository intepretation) dari beberapa
ketentuan tentang "Human Rights" yang bersifat umum, yang terdapat dalam
Piagam PBB dan ketentuan dalam Piagam mengikat semua negara anggota
PBB.
Sedangkan menurut Prof. Lung Chu Chen, bahwa ketentuan-ketentuan
yang mengatur Human Rights, teralama yang terdapat dalam Deklarasi sudah
dapat digolongkan sebagai jus cogens, yang berarti bahwa ketentuan itu hanya
dapat diubah atau ditiadakan oleh suatu ketentuan yang berstatusya jus cogens
juga.
Juga menurut David Ott, yang mengatakan bahwa Universal Declaration
of Human Rights dapat dianggap telah menjadi dasar bagi tersusunnya
"cutomary international human rights". Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
UDHR:
-
telah berulang kali dijadikan referensi dari sejumlah resolusi PBB;
-
telah dijadikan referensi dalam persidangan Badan Internasional, seperti
dalam Final Act dari Konperensi Hilsinki tahun 1975;
-
telah dicantumkan dalam beberapa "statement” dan "agreement" antar
negara, yang dibuat diluar lingkungan PBB.
Senada dengan pendapat diatas, pendapat dari Paul Sieghart, yang
mengatakan bahwa: "although the juridical status of UDHR cannot yet be free
from doubt there are therefore today substantial grounds for saying that it now
constitutes a binding obligation for member States of the U.N., and some grounds
also for saying that it has now become part ofcostumary international law and so
bind all states ".
Demikian juga pendapat dari Buergental, bahwa : " Whatever the theory,
it is today dear that the international community attributes a very special "moral"
and "normative status " to the Universal Declaration that no other instrument of
its kind has aquired"
Perlu ditambahkan pula, bahwa dalam Konperensi Internasional tentang
Hak Asasi Manusia yang diadakan di Teheran pada tahun 1968 antara lain
diputuskan: bahwa UDHR mengikat semua negara; dan supaya masyarakat
internasional meningkatkan usahanya untuk menerapkan prinsip-prinsip yang
terdapat dalam International Bill of Human Rights.
Dengan demikian sudah tidak diragukan lagi bahwa instrument hak asasi
manusia
telah
internasional.
menjadi
Bahkan
bagian
menjadi
dari
norma
kewajiban
hukum
bagi
dalam
setiap
masyarakat
negara
untuk
mengimplementasikan instrumen hak asasi tersebut kedalam hukum nasional
mereka.
C. Hukum Humaniter Internasional
1.
Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional
Hukum humaniter merupakan bagian dari hukum perang. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum perang dibedakan menjadi:
1. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, yang pada intinya mengatur
tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan
bersenjata.
2. Jus in hello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, yang dibagi menjadi:
a.
Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang. Bagian ini
biasanya disebut The Hague Laws,
b.
Hukum yang mengatur prlindungan orang-orang yang menjadi
korban perang.
Bagian ini biasanya disebut The Geneva Laws.
Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa, hukum humaniter adalah
merupakan bagian dari ketentuan yang mengatur perlindungan korban perang,
berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala
sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Dengan demikian
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa adalah identik dengan hukum
humaniter.
Jean Pictet, membagi hukum humaniter internasional menjadi Hukum
perang, yang termasuk didalamnya Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, dan
Hukum Hak-hak asasi Manusia.
2.
Tujuan dan Asas-asas Hukum Humaniter
Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat
dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan atau sering
dikatakan untuk lebih memanusiawikan perang. Tujuan lain adalah:
-
melindungi korban perang baik kombatan atau penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu
-
menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang
jatuh ketangan musuh
-
mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas
kemanusiaan.
Guna mencapai tujuan tersebut dalam hukum humaniter dikenal asas-
asas:
a. Asas kepentingan militer, dimana pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menundukkan pihak lawan guna mencapai
tujuan perang,
b. Asas Perikemanusiaan, dalam hal ini pihak yang bersengketa diharuskan
memperhatikan perikemanusiaan.
Mereka
dilarang
menggunakan
kekerasan yang menimbulkan penderitaan yang berlebihan,
c. Asas Kesatriaan, bahwa di dalam perang kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat yang tidak terhormat, penggunaan tipu muslihat, dan
pengkianatan dilarang.
Di samping itu, dalam hukum humaniter dikenal suatu prinsip yang sangat
penting, yaitu Prinsip Pembedaan (distinction principle), yaitu suatu prinsip atau
asas yang membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang ke
dalam dua golongan yaitu Kombatan (Combatant) dan Penduduk Sipil (Civilian).
Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam
permusuhan. Sebagai konsekuensinya, bila ia tertangkap oleh pihak musuh
memiliki
status
sebagai
tawanan
perang,
dan
berhak
memndaptkan
perlindungan secara mahusiawi. Termasuk dalam golongan ini adalah Angkatan
bersenjata, Milisi dan Korps Sekarelawan, dan Levee en masse.
Sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak
turut serta dalam permusuhan. Konsekuensinya, mereka tidak boleh dijadikan
sasaran dalam permusuhan dan memilik hak untuk mendapatkan perlindungan
dari tindakan permusuhan.
3.
Sumber Hukum Humaniter.
Hukum humaniter internasional yang merupakan bagian dari hukum
internasional publik, maka ketentuan mengenai sumber hukum internasional
sebagaimana terdapat dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional
juga berlaku, yaitu:
-
Perjanjian internasional
-
Hukum kebiasaan internasional,
-
Prinsip Hukum umum
Keputusan pengadilan dan ajaran para ahli.
Beberapa perjanjian internasional yang menjadi sumber hukum humaniter
adalah:
a.
Konvensi Den Haag 1899
b.
Konvensi Den Haag 1907, terutama:
-
Konvensi III Den Haag 1907 tentang Cara Memulai Permusuhan,
-
Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
-
Konvensi V Den Haag 1907 tentang Negara dan Orang Netral dalam Perang
di Darat
-
Konvensi XIII Den Haag 1907 tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral
dalam Perang di Laut
c.
Konvensi
Genewa
1949,
yang
terdiri
dari
4
Konvensi yaitu:
-
Konvensi I, mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang
luka dan sakit di medan pertempuran darat
-
Konvensi II, mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang di Laut
yang luka, sakit dan korban karam
-
Konvensi III, mengenai Perlakuan tawanan perang
-
Konvensi IV, mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang
Konvensi Genewa 1949 dilengkapi dengan 2 Protokol Tambahan, yaitu
Protokol Tambahan I, 1977 tentang Perlindungan Korban Perang dalam
Pertikaian Bersenjata Internasional, dan Tambahan II, 1977 tentang
Perlindungan Korban Perang dalam Pertikaian Bersenjata Non-Internasional
d. Beberapa Deklarasi atau Protokol lainya, seperti Deklarasi Paris 1856,
Deklarasi St. Petersburg 1868, Protokol Jenewa 1925, Protokol London
1936, dan sebagainya.
e. Hukum Kebiasaan dan Prinsip-prinsip hukum internasional, sebagai mana di
kenal dengan Klausula Martens. Klausula ini pada prinsipnya mengatakan
bahwa, apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum
mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan
harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari
kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara beradab; dari hukum
kebiasaan; serta dari pendapat publik.
Download