BAGIAN KETIGA INDIVIDU DALAM HUKUMINTERNASIONAL BAB XI NEGARA DAN INDIVIDU A. Kaitan antara Negara dan Warganegara Salah satu unsur dari negara adalah adanya penduduk yang menetap di wilayah negara yang bersangkutan Negara terikat oleh suatu norma dalam hukum internasional untuk melindungi warganegaranya. Sehingga masalah kewarganegaraan atas diri seseorang merupakan masalah penting dalam kaitannya dengan perlindungan warganegara tersebut oleh negara dimana individu tertebut memperoleh kewarganegaraan. 1. Cara memperoleh kewarganegaraan Praktek negara-negara memperlihatkan bahwa kewarganegaraan seseorang dapat diperoleh melalui cara-cara: - Proses kelahiran, baik menurut asas jus soli (tempat kelahiran) maupun asas jus sanguinis (faktor keturunan). Biasanya suatu negara menekankan pada salah satu asas dengan tidak meninggalkan asas yang lain. Hal ini untuk menghindari status bipetride atau apatride - Proses naturalisasi, baik melalui perkawinan, legitimasi, atau karena permohonan - Proses pemberian kewarganegaraan dalam peristiwa penaklukan 2. Hilangnya kewarganegaraan Ada beberapa kemungkinan hilangnya kewarganegaraan seseorang, seperti: - pelepasan atau penolakan - pencabutan oleh Negara - bertempat tinggal lama di negara lain 3. Arti penting nasionalitas dalam hukum internasional Nasionalitas (kewarganegaraan) seseorang merupakan keadaan yang terus menerus, yaitu suatu hubungan yang terus menerus antara negara yang berdaulat di satu pihak dengan warga negara di pihak lain. Adanya hubungan yang demikian melahirkan hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Apa yang menjadi hak dari salah satu pihak maka akan merupakan kewajiban pada pihak lain. Adapun hak-hak warga negara antara lain: - perlindungan diplomatic - memasuki dan menetap di negaranya - wajib melaksanakan dinas wajib militer - akibat tindakan warganegaranya dapat menimbulkan tanggung jawab negara - negara tidak wajib menyerahkan warganegaranya ke negara lain, kecuali ada pejanjian ekstradisi - status musuh dalam pertikaian bersenjata didasarkan pada nasionalitas - sebagai dasar pelaksanaan yurisdiksi adalah prinsip nasionalitas seseorang B. Hukum Hak Asasi Manusia 1. Pengartian dan Ruang Lingkup Hak Azasi Manusia Hak asasi adalah hak yang dimiliki oleh manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Adanya hak pada seseorang karena ia mempunyai suatu keistimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan keistimewaan tersebut. Keberadaan hak-hak asasi yang ada pada diri manusia itu bersifat universal, artinya tanpa perbedaan atas dasar ras, bangsa, agama atau kelamin. Demikian juga dengan hak asasinya, manusia haras mendapatkan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Secara tradisional ada dua macam hak, yaitu: 1. Hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia, yang berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Karenanya hak itu dinamakan "hak manusia". Dikatakan juga bahwa hak itu ada pada manusia, sebab manusia harus dinilai menurut martabatnya. Hak semacam ini tak dapat direbut, karena selalu ada pada diri manusia, tidak tergantung dari ada tidaknya persetujuan orang lain. Demikian juga tidak dapat dicabut oleh siapapun. 2. Hak yang ada pada diri manusia akibat adanya peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undang-undang. Hak yang demikian tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, namun menjadi hak karena tertampung dalam undang-undang yang sah. Hak-hak yang demikian dapat dituntut di depan pengadilan. Hak-hak asasi manusia dapat dibagi dan dibeda-bedakan atau digolongkan menurut sifatnya dalam beberapa jenis: 1. hak-hak asasi pribadi atau "personal rights" yang meliputi kemerdekaan menyatakan pendapat dan memeluk agama, kebebasan bergerak dan sebagainya. Pelaksanaan hak-hak yang demikian tentu saja harus memperhatikan berbagai peraturan perundangan yang bermaksud untuk melindunginya. 2. Hak-hak azasi ekonomi atau hak untuk memiliki sesuatu (“property rights"), untuk membeli atau menjual barang miliknya tanpa dicampuri secara berlebihan oleh pemerintah. Termasuk didalamnya adalah hak untuk mengadakan perjanjian dengan bebas. Pelaksanaan hak yang demikian harus mengingat adanya kepentingan umum sebagaimana di tetapkan dalam peraturan perundangan. 3. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan sederadjat dalam hukum dan pemerintahan atau "right of legal equality". Keberadaan hak yang demikian dimaksudkan agar supaya tidak ada perbedaan perlakuan atas tiap individu, yang didasarkan atas kedudukan atau statusnya dalam masyarakat oleh penguasa. 4. Hak-hak azasi politik atau "political rights". Yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan, serjerti hak dipilih dan memilih, mendirikah atau bergabung dalam partai politik, dan sebagainya. 5. Hak-hak azasi sosial dan kebudayaan atau "social and cultural rights", seperti memperoleh dan memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan yang disukai. 6. Hak berperkara dan perlindungan atasnya atau "procedural rights ". Hak ini berkaitan dengan perlindungan atas hak azasi manusia melalui pengadilan. Pengakuan terhadap hak-hak azasi yang demikian itu sebenarnya mengandung pengertian bahwa hak-hak azasi tersebut harus dilindungi baik terhadap pemegang kekuasaan maupun terhadap perorangan yang akan melanggar atau mengurangi hak tersebut. 2. Perkembangan Pengaturan Hak Azasi Manusia Dalam sejarah umat manusia telah tercatat berbagai kejadian dimana seseorang atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap menjadi haknya. Dibelahan dunia Barat telah berulang kali ada usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Melalui proses yang cukup panjang, tercatat beberapa naskah yang menetapkan beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat universal dan azasi. Naskah-naskah tersebut antara lain: 1. MagnaCharta, 1215 Kelahiran naskah ini melalui perjuangan yang cukup panjang dari kaum bangsawan di Inggris dalam menghadapi kekuasaan Raja, dan hal demikian dipandang sebagai awal dari perjuangan yang panjang untuk mendapatkan pengakuan dari hak-hak azasi manusia. Pada masa itu, Raja bisa berbuat sesuka hatinya, baik yang menyangkut kemerdekaan diri pribadi atau keluarga seseorang maupun hak milik seseorang. Selain dari itu yang menimbulkan kebencian dari kaum bangsawan terhadap raja John, atas sikap dan kelakuannya terhadap wanita. Raja John sering menyesatkan dan mengganggu kaum wanita bangsawan, memenjarakan kaum wanita dengan tanpa diberi makan hingga kelaparan dan meninggal. Ketika pada sekitar tahun 1214 Raja John menderita kekalahan dalam perang melawan Raja Philip dari Prancis, para bangsawan mengambil kesempatan sebaik-baiknya untuk mengadakan aksi terhadap radjanya, yaitu menyatakan perang pada rajanya bila tuntutannya tidak dipenuhi. Raja John menyadari tidak mendapat dukungan dari kaum bangsawan, maka ia menggunakan tentara-tentara bayaran dalam menghadapi kaum bangsawan. Di pihak lain kaum bangsawan berhasil menjadikan kota London sebagai benteng pemberontakan dan pemberontakan terjadi di mana-mana. Melihat kekuatan kaum bangsawan yang tak mudah dipatahkan, maka tidak ada pilihan lain dari raja John untuk berdamai. Maka pada tanggal 15 Juni 1215 diadakan pertemuan antara Raja John dengan pimpinan pemeberontak, di mana pihak pemberontak mengajukan tuntutan-tuntutannya kepada raja. Setelah diadakan perundingan diantaranya, akhirnya pada tanggal 19 Juni 1215 dirumuskan kesepakatan itu dalam suatu dokumen yang kemudian dikenal dengan Magna Charta. Beberapa ketentuan dalam Magna Charta antara lain: - Dengan karunia Tuhan, bersama ini kami menyatakan bagi kami sendiri maupun untuk keturunan kami, selanjutnya bahwa Gereja Inggeris akan mempunyai kemerdekaan dan akan memiliki hak-hak dan kebebasannya secara lengkap dan tidak dapat dikurangi. - Kepada rakyat atau penduduk daerah kerajaan kami yang bebas (free man of our realm} telah kami berikan hak-hak kemerdekaan, hal mana akan berlaku baik untuk diri kami sendiri maupun untuk keturunan kami dan selanjutnya. - Baik petugas keamanan maupun pemungut pajak kita tidak akan mengambil begitu saja gandum atau hewan tanpa pembayaran dengan segera dalam mata uang, kecuali bila atas kehendak yang mempunyainya disetujui penundaan pembayaran. - Petugas polisi dan kejaksaan tidak akan menuduh atau menuntut seseorang tanpa persaksian yang dapat dipercaya. - Dan tidak seorang bebas (free man) akan ditahan, ditangkap, dibuang, dinyatakan tanpa perlindungan atau dibunuh tanpa pertimbangan dan alasan hukum dari para kepala distrik atau berdasarkan hukum dan undangundang. Keadilan berdasarkan hukum dan hak-hak tidak akan dijual belikan dan semua berhak atas hal itu. - Bila seseorang tanpa pertimbangan menurut hukum telah ditangkap dan ditahan atau direbut hak miliknya atas tanah, hewan, atau lain-lain hak maka kami akan segera memperbaikinya. Perumusan-perumusan dalam Magna Charta tersebut mempunyai arti penting dan pengaruh bagi rakyat Inggeris dalam penafsirannya, dimana hak raja bukanlah tidak terbatas atau absolut, namun harus juga memperhatikan hak-hak rakyat yang tidak dapat dilanggar begitu saja. Magna Caharta telah menjadi lambang bahwa hukum dan undang-undang adalah lebih tinggi daripada raja. 2. Bill of Rights, 1689. Dokumen ini lahir sebagai hasil perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Inggeris terhadap Raja James II dalam menuntut hak-haknya yang dirampas oleh raja berikut para pembantunya. Dalam dokumen tersebut ditegaskan beberapa hal yang dianggap tidak legal atau tidak sah, seperti: - Menjadakan undang-undang tanpa persetujuan dari badan parwakilan; - Merongrong dan usaha untuk menghancurkan agama protestan dan lainlain hak kemerdekaan dari pemeluknya; - Diadakannya badan peradilan khusus untuk urusan keagamaan yang tidak berdasakan undang-undang; - Adanya pelucutan senjata bagi pmeluk agama Protestan, sedangkan bagi pemeluk agama Katholik tidak; Melalui perumusan dalam dokumen Bill of rights tersebut akhirnya diakui adanya: - Hak memeluk agama menurut kepercayannya masing-masing; - Segala bentuk pungutan dari penguasa harus didasarkan pada adanya persetujuan dari badan perwakilan; - Hak rakyat untuk mengajukan pertanyaan guna mendapat penjelasan dari raja dalam sesuatu hal yang menurut rakyat tidak sebagaimana mestinnya, dijamin; - Adanya jaminan kebebasan pemilihan dari anggota-anggota untuk parlemen; - Perlemen memiliki kebebasan mengemukakan pendapat dan tidak bisa dituntut dimuka pengadilan; - Perlunya sering diadakan sidang parlemen guna memperbaiki atau mengoreksi undang-undang; - Jaminan hukuman yang tidak berlebihan. Sehubungan dengan kedua instrument Hak Asasi Manusia tersebut di atas yang ternyata mengilhami lahirnya beberapa instrumen Hak Asasi Manusia yang lain, yang lahir baik dalam tingkat internasional maupun dalam tingkat regional. Instrumen-instrumen tersebut meliputi antara lain: - The Universal Declaration of Human Rights 1948. - The International Covenant on Civil and Political Rights - The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights - Protocol Optional of International Covenant on Civil and Political Rights, 1976 - Protocol Optional of International Covenant on Civil and Political Rights, 1989 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dapatlah dikatakan bahwa Deklarasi tersebut merupakan suatu instrument pokok dalam tingkat internasional bagi pengaturan dan pengembangan hak asasi manusia. Bahkan dapat dikatakan pula sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa (the common standar of achievement for all peoples and all nations). Hak-hak yang tercantum dalam UDHR tidak dapat dipisahkan (inalienable) dan tidak dapat dicabut/dilanggar (inviolable) dari semua keluarga kemanusiaan (human family). UDHR menyerukan kepada anggota masyarakat internasional agar menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam Deklarasi ini. Pengakuan secara umum atas hak asasi manusia oleh Deklarasi tersebut dapat dilihat dalam pasal 1 dan 2, yang menegaskan bahwa: "semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain". Adapun hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak setiap orang secara rinci dapat dilihat dalam pasal 3 sampai dengan pasal 21, yaitu antara lain: • Hak untuk hidup • Kebebasan dan Keamanan Pribadi • Bebas dari Perbudakan dan penghambaan • Bebas kejam, dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang tak berperikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan • Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja sebagai pribadi • Hak untuk pengampunan hukum yang efektif • Bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenangwenang • Hak untuk peradilan yang adil dan dengan pendapat yang dilakukan oleh pengadilan yang indipenden dan tidak memihak • Hak untuk praduga tak bersalah • Bebas dari campur tangan sewenang-wenang terhadap keleluasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-meyurat • Bebas dari serangan kehormatan dan nama baik • Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu • Bebas bergerak, hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan, hak untuk menikah dan membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak milik • Bebas berpikir, berkesadaran dan beragama, dan menyatakan pendapat • Hak untuk menghimpun berserikat, hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat. Sedangkan hak-hak ekonomi sosial dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang diatur dalam pasal 22-27, yang antara lain: • Hak atas jaminan social • Hak untuk bekerja • Hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat buruh • Hak atas istirahat dan waktu senggang, • Hak atas stattdar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan, • Hak atas pendidikan • Hak uhtuk berpartisipasi dalam kebudayaan masyarakat. Beberapa hak tersebut di atas kemudian ditegaskan kembali dalam beberapa pasal dalam International Covenant on Civil and Political Rights sebagai hak yang tak dapat diderogasi, yaitu: ¾ Pasal 6 ¾ Pasal 7 : setiap manusia melekat hak untuk hidup. : Tidak seorangpun boleh dikenakan siksaan atau perlakuan/hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau penghinaan.Pasal 8 ay. 1 : tidak seorangpun boleh diperbudak. ¾ Pasal 8 ay. 2 ¾ Pasal 11 : tidak seorangpun boleh diperhamba : tidak seorangpun boleh dipenjara semata-mata atas alasan ketidak mampuan memenuhi kewajiban dalam kontrak ¾ Pasal 15 : tidak seorangpun boleh dianggap bersalah karena pelanggaran pidana disebabkan oleh suatu perbuatan/kelalaian yang tidak merupakan tindak kejahatan, menurut hukum nasional atau internasional, pada waktu perbuatan itu dilakukan.. ¾ Pasal 16 : setiap orang berhak untuk diakui sebagai subyek hukum di mana pun ia berada. ¾ Pasal 18 : setiap orang berhak atas kebebesan berpikir, keyakinan dan agama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut agama/kepercayaan pilihannya sendiri. Apabila diperhatikan, hak-hak yang diuraikan dalam Deklarasi tersebut dapat dikatakan sebagai sintesa antara konsepsi liberal Barat dan konsepsi sosial. Hanya saja dalam Deklarasi tersebut belum mengatur mengenai hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Hak yang terakhir ini baru mendapat mengaturan dalam The International Covenant on Civil and Political Rights dan The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, yang dalam pelaksanannya tidak boleh adanya diskriminasi dalam segala bentuk/wujud. Dalam perkembangannya UDHR (demikian juga The International Covenant on Civil and Political Rights dan The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ) telah memberikan inspirasi terhadap lahirnya instrumen internasional lainnya mengenai hak-hak asasi manusia, antara lain: Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan suatu Bangsa dengan sengaja, 1948. Konvensi Mengenai Status Pengungsi, 1951 4 Konvensi Mengenai Hak Politik Wanita, 1953 Konvensi Perbudakan, 1926 yang diamandemen oleh Protokol, 1953 Kottvensi Mengenai Status Orang yang Tidak Berkewarganegaraan, 1954 Deklarasi tentang Hak Asasi Anak, 1959 Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan pada Negara-Negara dan Bangsa-bangsa Kolonial, 1960 Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1966 Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Hukuman dari Kejahatan Apartheid, 1973 Konvensi mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Wanita, 1979 Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam dan tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, 1984 Konvensi mengenai Hak-hak Anak, 1989, dan sebagainya 3. Kekuatan Mengikat Secara Hukum Instrument Hak Azasi Manusia Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu instrument internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional pada hakikatnya akan mengikat negara pihak, apabila negara yang bersangkutan telah menyatakan diri untuk terikat pada perjanjian internasional tersebut. Cara menyatakan terikat pada perjanjian internasional dapat dilakukan melalui Penanda Tanganan (Signature), Pertukaran Instrumen yang membentuk Perjanjian (exchange of Instruments constituting a treaty), Ratifilasi (ratification) Penerimaan (acceptance), Persetujuan (approval) atau Aksesi (accession), atau cara lain yang telah disepakati. Dengan negara telah menyatakan terikat pada suatu perjanjian, maka sejak saat itu negara tersebut telah menjadi pihak pada perjanjian yang bersangkutan dan memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut, serta tidak merusak obyek dan tujuan perjanjian, sekalipun perjanjian itu belum mempunyai kekuatan mengikat Sebagaimana dicontohkan dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Covenan on Politik and Political Rights. Pasal 2 ayat 1 menyebutkan: "Setiap Negara Peserta Perjanjian ini akan menghormati dan menjamin semua individu yang berada dalam wilayahnya dan tunduk kepada yurisdiksi hak-hak yang diakui dalam Perjanjian ini...." Pasal 2 ayat 2 menyatakan: "Bila belum tersedia perundang-undangan atau peraturan lainnya, setiap Negara Peserta Perjanjian berusaha mengambil langkah-langkah yang diperlukan, ....untuk membuat undang-undang seperti itu atau peraturan lain yang diperlukan untuk memperkuat hak-hak yang diakui dalam Perjanjian ini. Suatu perjanjian internasional dikatakan mulai efektif berlaku (entry into force) dapat melalui beberapa kemungkinan, seperti: • Ditentukan pada tanggal tertentu, atau • Setelah dipenuhinya sejumlah ratifikasi, atau • Waktu tertentu setelah dipenuhi sejumlah ratifikasi, atau • Setelah penandatangan atau ratifikasi atau pernyataan terikat dari negara pihak, atau • Setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, atau • Cara lain yang disetujui oleh para pihak. Dalam kaitannya dengan berlakunya suatu perjanjian internasional, instrument hak asasi manusia yang termasuk dalam The International Bill of Human Rights perlu dikaji seberapa jauh dokumen-dokumen tersebut mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota PBB. Sesuai dengan namanya, UDHR berbentuk Deklarasi Majelis Umum PBB, yang berarti secara hukum Deklarasi tersebut tidak mengikat para anggota PBB. Namun demikian, menurut beberapa pakar dengan teorinya masingmasing mengatakan bahwa Deklarasi tersebut mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Von Glahn, bahwa Deklarasi tersebut merupakan suatu penafsiran resmi (expository intepretation) dari beberapa ketentuan tentang "Human Rights" yang bersifat umum, yang terdapat dalam Piagam PBB dan ketentuan dalam Piagam mengikat semua negara anggota PBB. Sedangkan menurut Prof. Lung Chu Chen, bahwa ketentuan-ketentuan yang mengatur Human Rights, teralama yang terdapat dalam Deklarasi sudah dapat digolongkan sebagai jus cogens, yang berarti bahwa ketentuan itu hanya dapat diubah atau ditiadakan oleh suatu ketentuan yang berstatusya jus cogens juga. Juga menurut David Ott, yang mengatakan bahwa Universal Declaration of Human Rights dapat dianggap telah menjadi dasar bagi tersusunnya "cutomary international human rights". Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa UDHR: - telah berulang kali dijadikan referensi dari sejumlah resolusi PBB; - telah dijadikan referensi dalam persidangan Badan Internasional, seperti dalam Final Act dari Konperensi Hilsinki tahun 1975; - telah dicantumkan dalam beberapa "statement” dan "agreement" antar negara, yang dibuat diluar lingkungan PBB. Senada dengan pendapat diatas, pendapat dari Paul Sieghart, yang mengatakan bahwa: "although the juridical status of UDHR cannot yet be free from doubt there are therefore today substantial grounds for saying that it now constitutes a binding obligation for member States of the U.N., and some grounds also for saying that it has now become part ofcostumary international law and so bind all states ". Demikian juga pendapat dari Buergental, bahwa : " Whatever the theory, it is today dear that the international community attributes a very special "moral" and "normative status " to the Universal Declaration that no other instrument of its kind has aquired" Perlu ditambahkan pula, bahwa dalam Konperensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diadakan di Teheran pada tahun 1968 antara lain diputuskan: bahwa UDHR mengikat semua negara; dan supaya masyarakat internasional meningkatkan usahanya untuk menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam International Bill of Human Rights. Dengan demikian sudah tidak diragukan lagi bahwa instrument hak asasi manusia telah internasional. menjadi Bahkan bagian menjadi dari norma kewajiban hukum bagi dalam setiap masyarakat negara untuk mengimplementasikan instrumen hak asasi tersebut kedalam hukum nasional mereka. C. Hukum Humaniter Internasional 1. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional Hukum humaniter merupakan bagian dari hukum perang. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum perang dibedakan menjadi: 1. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, yang pada intinya mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. 2. Jus in hello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, yang dibagi menjadi: a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang. Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws, b. Hukum yang mengatur prlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Bagian ini biasanya disebut The Geneva Laws. Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa, hukum humaniter adalah merupakan bagian dari ketentuan yang mengatur perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Dengan demikian ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa adalah identik dengan hukum humaniter. Jean Pictet, membagi hukum humaniter internasional menjadi Hukum perang, yang termasuk didalamnya Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, dan Hukum Hak-hak asasi Manusia. 2. Tujuan dan Asas-asas Hukum Humaniter Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan atau sering dikatakan untuk lebih memanusiawikan perang. Tujuan lain adalah: - melindungi korban perang baik kombatan atau penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu - menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ketangan musuh - mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas kemanusiaan. Guna mencapai tujuan tersebut dalam hukum humaniter dikenal asas- asas: a. Asas kepentingan militer, dimana pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan pihak lawan guna mencapai tujuan perang, b. Asas Perikemanusiaan, dalam hal ini pihak yang bersengketa diharuskan memperhatikan perikemanusiaan. Mereka dilarang menggunakan kekerasan yang menimbulkan penderitaan yang berlebihan, c. Asas Kesatriaan, bahwa di dalam perang kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat yang tidak terhormat, penggunaan tipu muslihat, dan pengkianatan dilarang. Di samping itu, dalam hukum humaniter dikenal suatu prinsip yang sangat penting, yaitu Prinsip Pembedaan (distinction principle), yaitu suatu prinsip atau asas yang membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang ke dalam dua golongan yaitu Kombatan (Combatant) dan Penduduk Sipil (Civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan. Sebagai konsekuensinya, bila ia tertangkap oleh pihak musuh memiliki status sebagai tawanan perang, dan berhak memndaptkan perlindungan secara mahusiawi. Termasuk dalam golongan ini adalah Angkatan bersenjata, Milisi dan Korps Sekarelawan, dan Levee en masse. Sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak turut serta dalam permusuhan. Konsekuensinya, mereka tidak boleh dijadikan sasaran dalam permusuhan dan memilik hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan permusuhan. 3. Sumber Hukum Humaniter. Hukum humaniter internasional yang merupakan bagian dari hukum internasional publik, maka ketentuan mengenai sumber hukum internasional sebagaimana terdapat dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional juga berlaku, yaitu: - Perjanjian internasional - Hukum kebiasaan internasional, - Prinsip Hukum umum Keputusan pengadilan dan ajaran para ahli. Beberapa perjanjian internasional yang menjadi sumber hukum humaniter adalah: a. Konvensi Den Haag 1899 b. Konvensi Den Haag 1907, terutama: - Konvensi III Den Haag 1907 tentang Cara Memulai Permusuhan, - Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat - Konvensi V Den Haag 1907 tentang Negara dan Orang Netral dalam Perang di Darat - Konvensi XIII Den Haag 1907 tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut c. Konvensi Genewa 1949, yang terdiri dari 4 Konvensi yaitu: - Konvensi I, mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat - Konvensi II, mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang di Laut yang luka, sakit dan korban karam - Konvensi III, mengenai Perlakuan tawanan perang - Konvensi IV, mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang Konvensi Genewa 1949 dilengkapi dengan 2 Protokol Tambahan, yaitu Protokol Tambahan I, 1977 tentang Perlindungan Korban Perang dalam Pertikaian Bersenjata Internasional, dan Tambahan II, 1977 tentang Perlindungan Korban Perang dalam Pertikaian Bersenjata Non-Internasional d. Beberapa Deklarasi atau Protokol lainya, seperti Deklarasi Paris 1856, Deklarasi St. Petersburg 1868, Protokol Jenewa 1925, Protokol London 1936, dan sebagainya. e. Hukum Kebiasaan dan Prinsip-prinsip hukum internasional, sebagai mana di kenal dengan Klausula Martens. Klausula ini pada prinsipnya mengatakan bahwa, apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara beradab; dari hukum kebiasaan; serta dari pendapat publik.