FENOMENA JOKOWI DAN DAHAGA IDEALISASI PEMIMPIN

advertisement
FENOMENA JOKOWI DAN DAHAGA IDEALISASI PEMIMPIN HEBAT
Kajian Interaksionisme Dalam Kepemimpinan Pada Era Reformasi
Suryadi Marthadinata
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Email: [email protected]
ABSTRACT
State is a household. Like a household, would require ideal leader for to captain toward
a common goal. The President is the leader of the state captain. A President must be able
to form a government clean and respectable for shared prosperity. For that a leader must
have a self-identity that becomes a role model for his subordinates as well as society. Era
of reform demanded of the birth the ideal great leaders, both for the party and the
nominating, and great in the eyes of society. Jokowi is one of them in view of today's
society. With the theory of symbolic interaction George Herbet Mead which utilizes the
metaphor naturally relationship between human beings as individuals in society, the
understanding then examined with an approach that studies the relationship of
leadership and principal leader of the problems in the organization. As a result,
interaction and self-concept implies empathy and homofili Jokowi and resistance to
authority's image always looks handsome and dignified, full of formalities, as well as the
attitude of mere lip service. He managed to keep a balance of information with a variety
of political communication strategies are combined in a style leadership. Despite the
presence of only the imaging label on him, but achievements, leadership as well as their
roles as former mayor of Solo and Jakarta Governor also gained the majority of the
people of Indonesia, so it is able to deliver be elected President in 2014 election.
Keywords : Jokowi , symbolic interaction , mead , leadership .
ABSTRAK
Negara adalah sebuah rumah tangga. Layaknya rumah tangga, pasti membutuhkan pemimpin
idaman untuk menakhodainya menuju cita-cita bersama. Presiden adalah pemimpin yang
menakhodai negara. Seorang Presiden harus bisa membentuk pemerintahan yang bersih dan
berwibawa untuk kemakmuran bersama. Untuk itu seorang pemimpin harus memiliki
identitas diri yang menjadi panutan bagi bawahannya dan juga masyarakatnya. Era reformasi
menuntut lahirnya pemimpin hebat yang ideal, baik bagi partai yang mengusungnya, maupun
hebat menurut pandangan masyarakat. Jokowi adalah salah satunya dalam pandangan
masyarakat saat ini. Dengan teori interaksi simbolik George Herbet Mead yang
memanfaatkan metafor hubungan secara alami antara sesama manusia sebagai individu dalam
masyarakat, pemahaman tersebut lalu dikaji dengan pendekatan kepemimpinan yang
mempelajari hubungan prinsipal pemimpin dan masalah-masalah dalam organisasinya.
Hasilnya, interaksi dan konsep diri Jokowi menyiratkan empati dan homofili serta
resistensinya terhadap citra otoritas yang selalu tampak gagah dan berwibawa, penuh
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
42
formalitas, serta sikap basa-basi semata. Ia berhasil menjaga keseimbangan informasi dengan
berbagai strategi komunikasi politik yang dipadukan dalam sebuah gaya kepemimpinan.
Terlepas dari adanya label pencitraan semata pada dirinya, tetapi prestasi, kepemimpinan
serta sepak terjangnya sebagai mantan walikota Solo dan juga Gubernur DKI telah
menggugah sebagian besar hati masyarakat Indonesia, sehingga hal itu mampu
mengantarkannya menjadi Presiden terpilih pada pilpres tahun 2014.
Kata Kunci: Jokowi, interaksi simbolik, mead, kepemimpinan
PENDAHULUAN
Joko Widodo adalah sosok politisi
fenomenal dan mungkin kurang populer
untuk kancah perpolitikan nasional,
setidaknya sampai dua tahun yang lalu.
Sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta,
beberapa kebijakan langsung dibuatnya
dalam sistem birokrasi pemerintahan dan
juga
terhadap
program-program
kesejahteraan rakyat seperti kartu sehat,
penataan pemukiman kumuh, penataan
parkir di jalanan, pengaturan pedagang
kaki lima (PKL), penyederhanaan kinerja
birokrasi, konsep tata kota, dan lain-lain.
Dalam waktu yang relatif singkat ia
dinilai cukup cakap dalam mengatasi
persoalan yang dihadapi ibu kota secara
bertahap.
Keberhasilannya
dalam
membuat
beberapa
terobosan
dan
kebijakan populer untuk DKI membuat
pihak lembaga survei menghasilkan
survei-survei yang menunjukkan ia adalah
kandidat paling populer untuk pemilihan
Presiden
2014.
Sejak
saat
itu
popularitasnya di media terus menanjak,
ditambah lagi ia di topang oleh kekuatan
partai politik besar PDIP dibelakangnya,
nama Jokowi Widodo-pun semakin
melekat di hati dan telinga sebagian besar
masyarakat Indonesia. Kesemuanya itu
diperkuat lagi dari cara komunikasinya
dengan rakyat berupa konstruksi interaksi
simbolik yang tertuang dalam konteks,
waktu dan ruang.
Sosok yang akrab disapa “Jokowi”
ini memulai karier politiknya dari Solo,
kota asalnya. Sebagai walikota, ia sukses
memangkas birokrasi serta mendorong
terciptanya
transparansi
dalam
pemerintahan.
Keberhasilan
tersebut
membawanya mendapatkan berbagai
penghargaan
hingga
ke
tingkat
internasional pada masa itu, di mana ia
berhasil
mendapatkan
penghargaan
sebagai walikota terbaik ketiga sedunia.
Prestasi tersebutlah yang mengantarkannya
terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta
mengalahkan kandidat incumben Fauzi
Bowo. Dengan berbagai kecemerlangan
yang lekat di hati publik dan masyarakat,
sepertinya sosok Jokowi menjadi semacam
identitas pujaan bagi sebagian masyarakat
Indonesia di era reformasi ini, terutama
bagi kalangan wong cilik atau rakyat kecil.
Kurang lebih 16 tahun reformasi
bergulir, begitu banyak lika-liku yang
telah dialami bangsa Indonesia dan sudah
banyak pula hal-hal dan kebijakan yang
diambil seorang kepala negara dalam
pemerintahan Indonesia. Empat kali
pemilu
telah
dijalani
masyarakat
Indonesia, selama itu pula kepemimpinan
nasional datang silih berganti dalam
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
43
menjalankan roda pemerintahan. Dari
pergantian-pergantian tersebut, dalam
kenyataanya, ternyata sosok Presiden yang
didapati masih jauh dari harapan yang
diinginkan. Jangankan berupa hasil
pekerjaan yang cemerlang, rasa kedekatan
dan kesederhanaan serta kebersamaan
dengan rakyat-pun tidak tampak dari
perilaku keseharian yang ada. Sehingga
rakyat merasakan jurang pemisah yang
begitu tinggi antara mereka dengan
pemimpinnya.
Padahal rakyat membutuhkan
kehangatan dari sosok seorang pemimpin
untuk menyelesaikan sekelumit persoalan
hidup mereka atau setidaknya mereka
berharap
pemimpin
tersebut
ikut
merasakan penderitaan yang mereka alami
dalam kesehariannya. Mereka merindukan
perubahan serta contoh dan suri tauladan
di negeri yang tidak hanya krisis
kesejahteraan akan tetapi juga krisis
akhlak dan moral dalam kesehariannnya.
Di saat negara-negara tetangga kita
seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan
yang lainnya telah jauh maju, meniggalkan
Indonesia dari berbagai segi, negara kita
masih berutak-atik dalam mencari
formulasi untuk menyelesaikan begitu
banyak persoalan bangsa terutama yang
menyangkut
kesejahteraan
rakyat,
kemiskinan, pengangguran, dan juga
masih terkungkung dalam masalah
birokrasi yang tidak efektif, serta
persoalan korupsi yang menjadi-jadi dari
hari ke hari yang merenggus keuangan
negara.
Walaupun bisa dibilang belum
terlalu lama menjalani biduk reformasi,
setidaknya waktu lebih kurang 16 tahun
tersebut semestinya sudah layak bagi
Bangsa Indonesia untuk berbenah dari
segala ketidakbecusan pengurusan negara
selama ini. Akan tetapi dalam faktanya,
selama itu pulalah rakyat Indonesia belum
mampu menemukan pemimpin nasional
yang
benar-benar
bisa
membawa
perubahan nyata dalam menyelesaikan
seluruh persoalan bangsa yang telah
mengakar dan menggurita di dalam sistem
ketatanegaraan yang ada. Selanjutnya,
belum ada pemimpin nasional yang
memiliki identitas diri yang mampu
mengimbangi dan menyesuaikan dirinya
dengan perasaan, aspirasi, dan kebutuhan
dari kelompok individu dalam masyarakat.
Sehingga dalam kenyataannya, visi dan
misi pemerintah sangat sulit terlaksana di
mana salah satu penyebab utamanya
adalah ketiadaan interaksi yang sehati
antara pemimpin dengan bawahan maupun
dengan rakyatnya.
Oleh sebab itu, supaya interaksi itu
terwujud, menurut Mulyana (dalam
Arrianie, 2010: 33), intinya, hanya dengan
menyerasikan diri dengan harapan-harapan
orang lain, maka interaksi menjadi
mungkin. Semakin mampu seseorang
mengambil alih, atau membatinkan
perasaan-perasaan
sosial
semakin
terbentuk identitas atau kediriannya.
Karena itulah lewat pendekatannya
terhadap interaksi sosial, Goffman sering
dianggap sebagai salah satu penafsir “teori
diri” dari Mead dengan menekankan sifat
simbolik dari manusia.
Ibarat sebuat tim sepak bola,
seorang Presiden adalah seorang pelatih
bagi tim yang dilatihnya. Ia akan meramu
berbagai strategi dalam membentuk
formasi tim ideal nan hebat yang
diinginkan seluruh penggemar dan
pendukungnya. Untuk itu harus ada
kehangatan komunikasi yang jitu berupa
interaksi simbolik antara pelatih dan para
pemain tersebut. Seorang pelatih harus
mampu berdialog dari hati ke hati untuk
memahami potensi diri setiap pemainnya
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
44
dan memberikan arahan serta motivasi
yang bisa diterima, dipahami, dan
dilaksanakan di atas lapangan. Tujuannya
tidak lain adalah membawa tim yang
dipimpinnya dapat mencapai target yang
diinginkan oleh pihak manajemen. Bila
dilihat dalam sistem dan konteks
ketatanegaraan,
penggemar
dan
pendukung tersebut adalah rakyat banyak
dan pihak manajemen di sini bisa
dikatakan adalah DPR RI yang merupakan
representasi tertinggi dari kedaulatan
rakyat itu sendiri.
Dengan terpilihnya Jokowi sebagai
pemenang pilpres 2014, sungguh menjadi
sebuah
pemandangan
baru
dalam
kepemimpinan
nasional
Indonesia.
Dikatakan pemandangan baru dalam arti
sosok Jokowi dianggap berasal dari latar
belakang biasa-biasa saja. Tidak seperti
pemimpin sebelumnya yang datang dari
golongan yang telah terpandang seperti
dari militer dan negarawan. Dilihat dari
sisi lainnya, ternyata Jokowi memiliki
konsep diri luhur dan sederhana yang bisa
masuk dan menyesuaikan diri dengan
konsep diri dari berbagai kalangan dalam
masyarakat yang dipimpinnya. Jokowi
menghabiskan banyak waktunya dengan
berbaur di tengah-tengah masyarakat
daripada di kantor dalam berbagai hal
untuk melihat langsung berbagai masalah
seperti birokrasi, tata kota, infrastruktur,
kesejahteraan, perekonomian dan lainya
demi sebuah perubahan. Seperti halnya
menurut (Kasali, 2007: 113) untuk
menghasilkan perubahan, pertama-tama
dibutuhkan kemampuan untuk “melihat”,
“Seeingis
believing”.
“Saya
telah
melihatnya, maka saya percaya”. Dan
kemampuan melihat di sini menurut Kasali
bukanlah melihat benda yang kasatmata,
melainkan sesuatu yang tidak mudah
terbaca. Jika ditautkan dengan teori Mead
tentang “diri” (self), ini bisa diartikan
dengan kemampuan membaca mental dan
ranah kognitif manusia itu sendiri dalam
sebuah realitas yang ada, dan seorang
Jokowi memiliki hal itu. Dengan demikian
komunikasi dialogis yang dilakukannya
dengan masyarakat melahirkan interaksi
simbolik intensif yang menyentuh hati
dengan toleransi tinggi yang kita kenal
dengan “blusukan”. Jadi, kemenangan
Jokowi tersebut menurut penulis tidak
lepas dari pergeseran opini dalam
masyarakat dan citra jadi diri yang
ditampilkannya kepada publik.
Jika dibuat idealisasi perbandingan
yang tercipta dalam masyarakat saat ini,
maka pemimpin hebat tidak mesti berasal
dari latar belakang keluarga terpandang.
Pemimpin hebat tidak lagi yang selalu
bicara dari dalam istana sehingga kelihatan
gagah dan berwibawa, tetapi yang hebat
adalah yang mampu blusukan ke
masyarakat bawah untuk menyapa
rakyatnya terhadap berbagai macam
masalah. Pemimpin hebat juga bukan
pemimpin yang banyak wacana dan
retorika apalagi sekedar tebar pesona.
Pemimpin hebat tidaklah yang melulu
bekerja memakai jas dan dasi kemanapun
ia pergi, tetapi yang hebat adalah yang
mampu membuat solusi dalam sebuah
dunia interaksi dan mengambil keputusan
berarti dengan berani yang diiringi hati
nurani demi sebuah solusi. Dengan
demikian telah terjadi pergeseran makna
‘hebat” itu sendiri setidaknya pada
sebagian kalangan masyarakat Indonesia.
Bertolak dari uraian singkat di atas,
apa sebenarnya yang menggeser pola pikir
atau cara pandang masyarakat tentang
idealisasi pemimpin hebat di era reformasi
ini? Apa sesungguhnya nilai tambah yang
menyebabkan Jokowi begitu dipuja dan
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
45
mendapatkan tempat di hati sebagian besar
masyarakat Indonesia?
Paparan berikut akan mencoba
menguraikan bagaimana penilaian atau
opini tersebut bergeser dalam sistem
kognisi atau benak masyarakat saat ini.
KERANGKA PEMIKIRAN
Politisi Dan Pemimpin Dalam Politik
Menurut definisi Nimmo (2011:
30), politisi adalah orang yang bercita-cita
untuk dan atau memegang jabatan
pemerintahan
harus
dan
memang
berkomunikasi tentang politik. Tak peduli
apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau
pejabat karier, dan tak mengindahkan
apakah jabatan itu eksekutif, legislatif,
atau yudikatif. Pekerjaan mereka adalah
aspek utama dari kegiatan ini. Oleh karena
itu Nimmo juga mempertukarkan istilah
“politisi” dengan “pemimpin politik”. Di
lain pihak Kartono (2010: 38) secara
umum
mendefinisikan
“pemimpin”
sebagai seorang pribadi yang memiliki
kecakapan dan kelebihan, sehingga
mampu mempengaruhi orang lain untuk
bersama-sama
melakukan
aktivitasaktivitas tertentu, demi pencapaian satu
atau beberapa tujuan. Jadi, dengan
demikian, dalam konteks komunikasi
politik, “pemimpin politik” dapat dipahami
sebagai orang yang mempengaruhi orang
lain guna mencapai beberapa agenda dan
tujuan politik.
Di dalam dunia politik, pemimpin
adalah manusia yang dicaci sekaligus
dipuja. Dicari karena rasa sakit hati, tidak
tepat janji ataupun dianggap tidak punya
hati nurani. Sedang dipuja mulai dari
sekedar menjadi idola saja, memiliki
akhlak yang mulia, sederhana, hingga
dianggap sukses memimpin daerahnya dan
memajukan rakyatnya. Dengan kata lain,
seorang pemimpin di dunia politik
merupakan tokoh yang selalu dalam
sorotan di setiap langkah dan tindak
tanduknya oleh semua kalangan.
Lebih lanjut Nimmo (1989: 71)
melihat bahwa di dalam politik, orang
meraih posisi kepemimpinan tersebut
adalah orang-orang yang mengambil
bagian dalam komunikasi politik secara
tetap, terus menerus, dan dipancarkan
secara luas. Bagi seorang pemimpin
politik, berkomunikasi merupakan cara
untuk
menjaga
kelangsungan
kepemimpinannya.
Lilleker
(2006:1)
mengatakan bahwa komunikasi antara
pihak yang berkuasa dan masyarakat
adalah suatu keniscayaan dan hal yang
tidak terpisahkan dalam proses apapun. Itu
sebabnya Nimmo (1989: 33) menegaskan
bahwa politisi mencari pengaruh melalui
komunikasi, karena pada akhirnya
tujuannya adalah untuk mempengaruhi
opini orang lain. Jadi, politisi dalam hal ini
berperan sebagai seorang komunikator
politik pada posisi strategis yang
memainkan peran interaksi politik dalam
suatu setting politik tertentu guna
membentuk opini publik. Hal tersebut
dipertegas Nimmo (dalam Arrianie, 2010:
17) bahwa politisi sebagai komunikator
politik memainkan peran sosial yang
utama,
terutama
dalam
proses
pembentukan opini publik. Artinya,
interaksi dilalukan oleh seorang pemimpin
terhadap seluruh lapisan kelompok sosial
masyarakat yang dipimpinnya guna
mendapatkan sebuah pengaruh yang dapat
diterima semua pihak.
Pada hakekatnya, pemimpin dalam
dunia
politik
seharusnya
mampu
merangkul seluruh elemen masyarakat
yang ada termasuk di dalamnya seluruh
elemen partai politik juga. Menurut
(Kasali, 2007: 115) pemimpin ibarat
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
46
sebagai mata. Ia bukanlah sekedar
seseorang yang bergerak secara acak,
melainkan seseorang yang melihat sesuatu
secara visioner, sesuatu yang tak kelihatan
atau belum kelihatan oleh banyak orang.
Tuhan memberi mereka kelebihan, lewat
intuisi, pengetahuan, kecerdasan, dan
ketajaman.
Lebih
lanjut
Kasali
mengatakan bahwa pemimpin harus
mampu mengumpulkan mozaik yang
terpecah-pecah menjadi sebuah gambar
yang utuh, yang membentuk sesuatu di
masa depan. Jadi, dengan demikian,
seorang pemimpin politik harus mampu
berkomunikasi dengan masyarakatnya
dengan bahasa sederhana yang dapat
dimengerti dan dicerna oleh semua.
Bahasa politik tersebut bisa dimaknai
sebagai cara atau strategi komunikasi yang
dilakukan oleh seorang pemimpin pada
rakyatnya ataupun pada bawahannya. Ia
harus bisa mengerti dan menginterpretasi
beragam bentuk bahasa dari rakyatnya itu
serta mampu mengimplementasikan apaapa yang diinginkan rakyat dengan
seksama, dan menumpahkannya kedalam
sebuah wadah di mana muaranya adalah
pada
pengambilan
keputusan
dan
kebijakan yang sesuai serta relevan dengan
situasi dan kondisi yang ada. Dengan
demikian terciptalah gambar utuh wajah
masa depan yang didambakan dalam suatu
rasa kebersamaan seperti yang dikatakan
oleh Kasali tersebut.
Teori Interaksi Simbolik
Jika berpijak pada argumentasi di
atas, lahirnya pemimpin yang ideal (hebat)
dan berkualitas merupakan tuntutan utama
dari cita-cita di era reformasi. Sepertinya,
untuk
sistem
ketatanegaraan
dan
kepemimpinan nasional kita sekarang ini,
lahir sebuah realitas pemaknaan bahwa
pemimpin hebat yang didambakan adalah
yang mampu blusukan kepada rakyatnya
mengetahui
langsung
kompleksitas
masalah yang mereka hadapi, tampil apa
adanya, banyak berdialog langsung demi
membuat solusi dan sebagainya, sehingga
kesan formal yang lain seperti jago orasi
dan berpidato, selalu tampil gagah dalam
retorika dengan segudang janji dan wacana
dari dalam istana menghilang dari kategori
hebat. Pendekatan interaksi simbolik
dalam komunikasi pemerintahan oleh
seorang pemimpin (Jokowi) dengan
rakyatnya telah menggeser bahkan
menghilangkan citra hebat pandangan
tradisional dengan citra hebat pandangan
masyarakat Indonesia saat ini.
Dengan
dikesampingkannya
bagian-bagian formalitas dan batas derajat
serta gengsi antara sesama manusia, dalam
hal ini antara seorang pemimpin dengan
rakyatnya ketika berinteraksi guna
memecahkan setiap permasalahan yang
ada, maka patutlah kiranya diberikan
apresiasi terhadap sudut pandang ini.
Pergeseran
makna
hebat
tersebut
merupakan sebuah proses evolusi berfikir
dalam sistem kognisi masyarakat di era
yang menuntut kesadaran dan transparansi
dalam segala bidang di pemerintahan.
Itulah sebabnya penulis menggunakan
sudut pandang teori interaksi simbolik
dalam menganalisis permasalahan ini.
Perspektif interaksional tentang
komunikasi
manusia
seyogyanya
janganlah
ditafsirkan
sebagai
pengaplikasian interaksi simbolis pada
komunikasi. Akan tetapi, hendaknya
dipandang bahwa sejumlah penghampiran
tentang studi komunikasi manusia
nampaknya
mencerminkan
beberapa
asumsi yang secara filosofis sama.
Asumsi-asumsi itu tampak konsisten
dengan beberapa prinsip umun dan
mendasar dari interaksi simbolis (Fisher,
1986: 230). Jadi, dengan begitu dapat
ditarik kesimpulan kalau perspektif
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
47
interaksionisme itu pada hakekatnya suatu
usaha
untuk
menganalisis
bidang
komunikasi manusia itu sendiri. menurut
penulis, kelebihan perspektif ini dalam
kontek kepemimpinan adalah bukan saja
pada apa yang dikomunikasikan, tetapi
bersama siapa mengkomunikasikannya.
Secara
lebih
lengkap
interaksionisme bisa dikatakan merupakan
studi analisis terhadap proses hubungan
dialogis komunikasi yang dilakukan oleh
individu dalam masyarakat dengan
penekanan pada sisi psikologisnya dalam
aneka ragam budaya dan bahasa simbol
yang ada. Budaya dan bahasa simbol ini
tercipta dari proses pertukaran makna yang
dibangun
atas
peran
karakteristik
interaksionisme itu sendiri yaitu: hakekat
konsep diri, lambang, tindakan manusia
dan tindakan sosial masing-masing
individu dalam masyarakat. Jadi, secara
lebih luas bisa dikatakan, interaksionisme
bertujuan memahami pola dan pendekatan
dari proses komunikasi sesama manusia
dalam aspek psikologi sosial untuk setiap
pengambilan peran yang ada. Begitu
pentingnya dialog dalam kajian perspektif
ini, sehingga (Arifin, 2011: 97)
mengatakan dalam dialog, manusia yang
berkomunikasi diangkat derajatnya ke
posisi yang mulia karena dialog
mengandung arti pengungkapan diri dan
pengembangan saling pengertian bersamasama dengan pengembangan diri melalui
interaksi sosial.
Kajian
interaksionisme
ini
dipelopori oleh George Herbert Mead
(1934) yang merupaka seorang sosiolog
yang mengajar psikologi sosial pada
departemen
filsafat
di
Universitas
Chicago.
Mead
meyakini
bahwa
keanggotaan individu dalam suatu
kelompok sosial akan menghasilkan
perilaku bersama yang disebutnya sebagai
budaya. Menurut (Arifin, 2011: 98) dalam
komunikasi dialogis, konteks kultural
menempati posisi yang penting. Dengan
demikian, “komunikasi tidaklah bebas
nilai” sehingga dengan perspektif ini,
dapat membicarakan komunikasi politik
yang khas Indonesia (musyawarah dan
mufakat). Jadi, setiap individu yang
memiliki perilaku dan peran berbeda-beda
tersebut merasa diangkat harkatnya pada
posisi yang mulia dan pada akhirnya akan
membantu menciptakan suatu kondisi
tertentu
dalam
lingkungan
sosial
dikarenakan mereka menemukan dan
mengembangkan diri dalam situasi
komunikatif.
Guna dapat memahami kajian
interaksionisme ini dengan utuh, Mead
berpendapat
agar
aspek
internal
(mental/introspeksi diri) dan eksternal
(hubungan sosial) perlu untuk dipelajari
dalam berinteraksi. Hubungan kedua aspek
tersebut oleh Mead disebutnya dengan
“social behaviorism”, di mana pada
hakekatnya penilaian individual juga
memiliki peran yang sangat penting dalam
sebuah interaksi sosial kemasyarakatan itu
sendiri. Dalam kajian interaksionisme,
teori yang layak untuk dibahas adalah
interaksi simbolik dan identitas diri.
Pendekatan Interaksi Simbolik
Teori interaksi simbolik sering
disebut juga sebagai teori sosiologi
interpretif. Selain itu, teori ini ternyata
amat dipengaruhi oleh ilmu psikologi,
khususnya psikologi sosial. Teori ini juga
didasarkan pada persoalan konsep diri
(Sudikin, 2002: 111). Dengan demikian
“diri” merupakan elemen yang sangat
berperan dalam kelangsungan interaksi
antara individu dalam kelompok sosial.
Diri pada hakekatnya sangat dikendalikan
oleh sistem pikiran dalam bertindak dan
memahami makna yang dijumpai dalam
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
48
pengalaman keseharian melalui simbolsimbol dan bahasa dalam kehidupan sosial.
Jadi, dalam teori ini terdapat tiga konsep
utama dalam teori Mead ditangkap dalam
judul karyanya yang paling terkenal yaitu,
masyarakat, diri sendiri, dan pikiran
(Littlejohn & Foss, 2011: 232). Konsep
diri itu merupakan susunan kesadaran
individu mengenai keterlibatan khusus
dalam seperangkat hubungan sosial yang
sedang berlangsung atau dalam suatu
komunitas yang teroganisir (Sudikin,
2002: 113). Sedangkan masyarakat
(society) atau kehidupan kelompok, terdiri
atas perilaku-perilaku kooperartif anggotaanggotanya.
Kerjasama
manusia
mengharuskan untuk memahami maksud
orang lain yang juga mengharuskan
individu mengetahui apa yang dilakukan
selanjutnya. Jadi, kerjasama terdiri dari
“membaca” tindakan dan maksud orang
lain serta menanggapinya dengan cara
yang tepat (Littlejohn & Foss, 2011: 233).
Dengan kata lain, dalam interaksi
simbolik individu tidak hanya memandang
dan memahami diri sendiri berdasarkan
pengalaman individu, akan tetapi individu
mencoba bergerak keluar melibatkan
dirinya dalam introspeksi dari sudut
pandang orang lain juga. Sehingga dengan
cara yang sama individu melibatkan
dirinya dalam pengambilan peran dan
memahami diri dan orang lain dalam
konteks yang lebih luas. Artinya, di sini
ada unsur adaptasi (penyesuaian diri).
Menurut
Fisher
(1986:
248),
menyesuaikan diri bukanlah merupakan
komponen komunikasi; tetapi lebih banyak
pada
prinsip
yang
memberikan
pengarahan. Komunikator menyesuaikan
dirinya dengan yang lain, dengan diri,
dengan objek, dengan situasinya, dan
dengan peranannya. Sedangkan (Littlejohn
& Foss, 2011: 231) mengatakan
interaksionisme
simbolis
merupakan
pergerakan dalam sosiologi, berfokus pada
cara-cara manusia membentuk makna dan
susunan dalam masyarakat melalui
percakapan. Jadi, sebenarnya komunikator
dituntut proaktif untuk memainkan lebih
banyak peran dalam berbagai situasi dan
menyesuaikan peran tersebut dengan
kelompok perilaku sesuai dengan diri
sendiri, orang lain, dan konteks tertentu.
Blumer sebagai orang yang
memperkenalkan istilah interaksi simbolik
ini (1969) mengatakan, pokok pikiran
interaksi simbolik ada tiga, yaitu: (1)
bahwa manusia bertindak (act) terhadap
sesuatu (thing) atas dasar makna
(meaning), (2) makna itu berasal dari
interaksi
sosial
seseorang
dengan
sesamanya, (3) makna itu diperlakukan
atau diubah melalui suatu proses
penafsiran (interpretative process), yang
digunakan orang dalam menghadapi
sesuatu yang dijumpainya (Sudikin, 2002:
116). Jadi, pada dasarnya Blumer ingin
menegaskan bahwa makna yang tercipta
dari sebuah proses interaksi mengalami
proses seleksi terlebih dahulu melalui
sebuah pemaham agar bisa diterima oleh
seseorang maupun berbagai kelompok
sosial lainnya dalam masyarakat.
Barbara
Ballis
Lal
(dalam
Littlejohn & Foss, 2011: 231) meringkas
dasar-dasar dari pemikiran interaksionisme
simbolik ini antara lain:
1. Manusia membuat keputusan dan
bertindak
sesuai
dengan
pemahaman subjektif mereka
terhadap situasi ketika mereka
menemukan diri mereka.
2. Kehidupan sosial terdiri dari
proses-proses interaksi daripada
susunan, sehingga terus berubah.
3. Manusia memahami pengalaman
mereka melalui makna-makna
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
49
yang ditemukan dalam simbolsimbol dari kelompok utama
mereka dan bahasa merupakan
bagian penting dalam kehidupan.
4. Dunia terbentuk dari objek-objek
sosial yang memiliki nama dan
makna yang ditentukan secara
sosial.
5. Tindakan manusia didasarkan
pada penafsiran mereka, dimana
objek
dan
tindakan
yang
berhubungan dalam situasi yang
dipertimbangkan dan diartikan.
6. Diri seseorang merupakan sebuah
objek yang signifikan dan
layaknya semua objek sosial,
dikenalkan melalui interaksi sosial
dengan orang lain.
Interaksi
Simbolik
Dalam
Kepemimpinan
Salah satu premis interaksionisme
simbolik adalah bahwa makna muncul dari
interaksi sosial yang merupakan proses
interpretif dua-arah, dan fokusnya adalah
efek dari interpretasi terhadap orang yang
tindakannya sedang diinterpretasikan
(Griffn, 2000: 55). Jadi, dengan demikian
interaksi yang terjadi di antara individu
dalam masyarakat merupakan sebuah
proses
pertukaran
informasi
yang
membangun
terciptanya
interpretasiinterpretasi
yang
pada
akhirnya
menempatkan makna pada puncak
pemahaman yang diinginkan. Berdasarkan
penjelasan tersebut dan jika dikaitkan
dengan masalah kepemimpinan, pada
praktiknya di dalam kepemimpinan itu
sendiri, interpretasi dua arah yang tercipta
tersebut sangat ditentukan juga oleh gaya
kepemimpinan yang ditampikan oleh
pemimpin yang bersangkutan.
Secara umum, jika disimpulkan,
terdapat dua bentuk gaya kepemimpinan
dalam praktik kepemimpinan itu sendiri
yaitu:
1. Directive Leadership, merupakan
gaya kepemimpinan di mana
dalam memutuskan segala sesuatu
tanpa meminta pendapat atau
berkonsultasi dengan orang lain
terlebih dahulu.
2. Participative
Leadership,
merupakan gaya kepemimpinan di
mana dalam membuat keputusan
pemimpin tersebut terlebih dahulu
menanyakan
dan
mempertimbangkan
pendapat
orang lain.
Dari keduanya tentu secara
akademik mempunyai keunggulan dan
kelemahan masing-masing. Akan tetapi
dalam
aplikasinya,
kedua-duanya
terkadang tetap populer dalam realitasnya.
Mungkin terbersit pertanyaan dalam benak
khalayak, manakah yang terbaik dari
kedua gaya tersebut?. Menurut penulis,
dua-duanya baik dan perlu tergantung
situasi dan kondisi yang dihadapi seorang
pemimpin.
Ralph M. Stogdill (dalam Nimmo,
2011:
38)
mengatakan
bahwa
kepemimpinan
melibatkan
proses
kelompok, pengaruh kepribadian, seni
meminta kerelaan, penggunaan pengaruh,
persuasi, pencapaian tujuan, interaksi,
peran-peran yang diperbedakan, dan
pembentukan struktur dalam kelompokkelompok. Kepemimpinan (leadership)
sendiri secara sederhana dapat diartikan
sebagai kemampuan mempengaruhi orang
lain untuk mencapai hasil kerja yang
diinginkan. Sedangkan orang yang
memiliki kemampuan tersebut disebut
“pemimpin”. Jadi, antara “kepemimpinan”
dan “pemimpin” sebenarnya adalah unsur
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
50
mata rantai yang inheren dalam batang
tubuhnya dan tidak mungkin untuk
dipisahkan. Pertanyaan yang muncul tentu
bagaimana
cara
menjalankan
kepemimpinan tersebut jika diimplikasikan
dengan teori interaksi simbolik?. Dalam
pelaksanaanya,
menurut
penulis,
sesungguhnya ada formulasi simbol yang
harus diciptakan seorang pemimpin dalam
sebuah proses interaksi simbolik dengan
yang dipimpinnya agar menghasilkan
sebuah leadership yang disukai. Dalam
konteks kenegaraan sudah pasti antara
seorang Kepala Daerah dengan masyarakat
daerahnya, Presiden dengan rakyatnya
ataupun Presiden dengan segenap bawahan
dan jajaran menteri-menterinya. Formulasi
simbol itu adalah sebagai berikut:
Respect + Trust = Leadership (Rasa
Hormat) (Kepercayaan) (Kepemimpinan)
Sedangkan untuk mendapatkan Respect
tersebut juga harus ada formulanya yaitu:
Knowledge + Skill=
(Pengetahuan) (Kecakapan)
Hormat)
Respect
(Rasa
Sementara Trust itu sendiri adalah
bagaimana orang lain menerima Anda
sebagai leader dengan cara menunjukkan
bahwa Anda peduli dengan kebutuhan dan
perasaan mereka. Adapun formula bagi
seorang pemimpin untuk mendapatkan
Trust dari orang lain atau masyarakat yang
dipimpinnya yaitu harus mengerti:
Needs + Feelings = Trust (Kebutuhan)
(Perasaan) (Kepercayaan)
Menurut penulis, kepercayaan
(Trust) dalam interaksi simbolik dengan
kajian pendekatan kepemimpinan tersebut
dapat diperoleh seorang pemimpin
diantaranya dengan cara: (1) Menunjukkan
bahwa
dia
peduli
(2)
Dengan
menggunakan positif Follow Up (sifatnya
konstruktif) (3) Menciptakan suasana kerja
yang sehat, positif dan kondusif (4)
Memperlakukan orang lain dengan baik
seperti dia ingin diperlakukan juga
demikian (5) Mengenali orang lain dengan
sebaik mungkin (6) Berusaha untuk
bersikap adil.
Sedangkan hal-hal lain yang dapat
membuat orang atau masyarakat Respect
selain dua hal di atas menurut penulis yaitu
adanya semacam perwujudan Golden Rule
(aturan emas) dari seorang pemimpin yang
diterapkan untuk setiap hal dalam
pekerjaan yang meliputi: (1) Memberikan
contoh-contoh dan keteladanan yang baik
(2) Mencari tahu dan membuat keputusan
berdasarkan fakta (3) Menunjukkan rasa
percaya diri (4) Mengerti tugas dan
tanggungjawab (5) Mengerjakan tugas dan
tanggungjawab
dengan
baik
(6)
Menghormati orang lain.
Tentu dari penjelasan di atas,
pengertian Golden Rule yang dimaksud di
sini adalah “Saya memperlakukan orang
lain
sebagaimana
saya
ingin
diperlakukan“. Di dalam sebuah tatanan
organisasi pemerintahan, orang yang
menghormati pengetahuan dan kecakapan
seorang pemimpin akan percaya pada apa
yang akan dikerjakan oleh pemimpin
tersebut. Mereka percaya bahwa pemimpin
mereka akan membuat keputusankeputusan yang baik secara konsisten.
Formulasi simbol yang diciptakan
oleh seorang pemimpin terhadap orang
yang dipimpinnya baik itu seluruh anak
buah dan jajaranya ataupun terhadap
masyarakatnya harus bisa menciptakan
sebuah proses interaksi dua arah yang
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
51
mampu dimengerti dalam sistem pikiran
setiap diri sendiri (self) seperti yang
dijelaskan Mead. Cara individu dalam
memahami diri sendiri (self) dan
masyarakat sosialnya inilah yang disebut
Mead akan membentuk konsep diri bagi
individu yang bersangkutan apapun
profesinya, apakah ia seorang pedagang,
guru, petani, nelayan, PNS, pegawai
swasta, buruh pabrik, pejabat pemerintah
dan termasuk pemimpin itu sendiri.
Konsep diri itu sendiri menurut (Sudikin,
2002: 113) merupakan susunan kesadaran
individu mengenai keterlibatan khusus
dalam seperangkat hubungan sosial yang
sedang berlangsung atau dalam suatu
komunitas yang terorganisir. Jadi, bagi
seorang
pemimpin
dalam
kepemimpinannya, ia akan mendapatkan
konsep diri yang dipahaminya dalam
berbagai
interaksi
dirinya
dengan
bawahannya dan terhadap masyarakatnya
sebagai proses yang sama menurut proses
yang ada dalam pikirannya. Dengan kata
lain, identitas dirinya tidak hanya
dinyatakan oleh dirinya sendiri akan tetapi
secara simbolik identitas dirinya juga
dinyatakan oleh orang lain berdasarkan
setiap tindakan yang dilakukan oleh
pemimpin tersebut.
HASIL PENELITIAN
Idealisasi Hebat = Empati dan Homofili
Serta Komit Terhadap Solusi
Idealisasi pemimpin hebat dalam
era reformasi ini sepertinya menjadi
sebuah enigma tersendiri dalam perjalanan
bangsa ini. Betapa tidak, mereka yang
terpilih oleh rakyat seakan lupa dengan
janjinya dan tidak mampu berbuat apa-apa
seperti
harapan
yang
diinginkan.
Banyaknya persoalan yang dihadapi
masyarakat
jarang
mendapatkan
penyelesaian yang pasti dan cendrung
terpenjara oleh semacam lingkaran setan
ketidakbecusan.
Pemimpin seolah tidak bisa
mengerti akan tuntutan rakyatnya.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa
pemimpin seolah jauh dari rakyatnya di
saat rakyatnya membutuhkan perhatian
untuk mendengarkan seluruh keluh kesah
mereka. Sepertinya rakyat sudah muak
dengan gaya dan cara kerja pemimpin
yang hanya berteriak dari dalam kantor
atau istananya, tanpa mau turun untuk
melihat langsung apa dan bagaimana
kondisi mereka. Rakyat tampaknya ingin
dilibatkan dalam sebuah dialog yang
berkesinambungan dengan pemimpin
mereka, mereka ingin langsung berdiskusi
dan bernegosiasi dengan pemimpin
mereka karena mereka merasa tidak
percaya lagi terhadap institusi atau
perangkat pemerintahan yang ada.
Dalam
realitasnya,
seorang
pemimpin akan dianggap hebat dan ideal
oleh masyarakat saat ini apabila pemimpin
tersebut mau berinteraksi langsung dengan
rakyatnya, mendengarkan semua tuntutan
dan kebutuhan mereka, dan menyediakan
solusi nuntuk setiap permasalahan yang
ada. Singkat kata, pemimpin tersebut
haruslah memiliki rasa simpati dan empati
terhadap permasalahan serta penderitaan
yang melilit rakyatnya dan mau berbaur
dalam senang dan susah. Mereka
menginginkan pemimpin yang sederhana,
berbicara dengan bahasa yang mereka
mengerti, serta mau menyatu dalam
suasana dan perasaan yang sama, berani
mengambil keputusan, jujur, adil dan
bijaksana dalam setiap tindakan serta
menjadi contoh dan teladan bagi semua.
Bila diperhatikan sepak terjang
para pemimpin di Indonesia saat ini baik
yang bersifat lokal, regional, maupun
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
52
nasional, tampaknya belum banyak
pemimpin yang mampu memberikan
semacam kesan ataupun perhatian seperti
yang telah diutarakan tersebut, apalagi
mendapatkan pengakuan hebat yang cukup
berarti dari masyarakat. Semua itu tidak
lepas dari apa dan bagaimana seorang
pemimpin tersebut mampu berkomunikasi
dan memenuhi ekspektasi masyarakatnya.
Seiring perjalanan waktu, ternyata Jokowilah pada akhirnya dalam hal ini yang
dianggap sesuai dengan kriteria penilaian
yang ada dan dimau dalam benak
masyarakat saat ini. Jokowi mampu
menciptakan rasa hormat (respect) dan
kepercayaan (trust) untuk dirinya sendiri
dan segenap jajaran anak buahnya dengan
simbol-simbol interaksi yang melekat di
hati. Dan itu dibuktikannya dengan cara
mengetahui kebutuhan (needs) dan
perasaan
(feelings) rakyat yang
dipimpinnya serta ditambah dengan
pengetahuan (knowledge) dan kecakapan
(skill) yang dimilikinya selama 18 tahun
pengalamannya menjadi pengusaha yang
sering berkunjung ke Eropa. Salah satu
contoh respect dan trust yang dia ciptakan
di tengah-tengah rakyat yaitu selama
memimpin Solo Jokowi tidak pernah
mengambil gajinya (Vivanews.com,2012).
Jelas tindakannya itu menyiratkan rasa
empati dan homofili dalam konteks
kesusahan hidup yang dialami oleh rakyat.
Dengan
menempatkan
rakyat
sebagai motto inspirasinya, maka sudah
bisa dipastikan jalan dialog dan
komunikasi menjadi senjata utama Jokowi
untuk mengeksplorasi masyarakat ataupun
bawahannya dengan jalan interaksi. Dalam
prakteknya, dialog dan komunikasi Jokowi
tersebut terwujud dalam suatu bentuk
empati dan homofili terhadap orang-orang
yang dihadapinya. Artinya, dia tidak
merasa lebih tinggi derajatnya dengan
yang dipimpinnya dan dia tidak tergesagesa dalam menyampaikan keinginannya
pada masyarakat untuk sebuah eksekusi
kebijakan
yang
krusial.
Dia
mengutamakan persuasi, etika, dan moral
serta menunggu moment yang tepat
dengan penuh kesabaran untuk sebuah
tindakan kebijakan. Sungguh sebuah
proses komunikasi yang hebat dan langka
yang dilakukan oleh seorang Jokowi
mengingat jarang atau bahkan sedikit dari
seorang kepala daerah yang mau bersusah
payah berkeringat dalam “memanusiakan“
warganya. Hebatnya lagi, keputusan yang
diambil tersebut sebelumnya sudah
disediakan terlebih dahulu rancangan
solusinya. Sehingga keputusan itu dapat
dan mudah untuk diterima semua pihak.
Itu terbukti dari cara Jokowi
merelokasi pedagang kaki lima (PKL)
yang merupakan masalah yang sulit diatasi
di kota Solo. Dia tidak menggunakan
birokrasi dalam mendekati masalah
tersebut, tetapi langsung terjun menemui
para PKL untuk melakukan negosiasi
dalam wujud forum-forum diskusi
(Indrinanto, 2012: 191). Bahkan dalam
faktanya, dia mengundang seluruh PKL
sampai 54 kali pertemuan hanya untuk
mendengarkan dan mendekatkan diri
dengan mereka. Barulah di pertemuan ke
55 di saat waktunya sudah dianggap tepat
ia mengutarakan niatnya untuk merelokasi
para PKL. Dan cara yang dilakukannya itu
ternyata menaruh simpati dan dianggap
manusiawi oleh para PKL dan mereka
merasa tidak direndahkan sebagai rakyat
kecil. Jadi, ada prinsip kesetaraan dan
kesamaan yang diterapkan Jokowi pada
warganya dalam hal ini.
Salutnya lagi, pada saat relokasi
dilakukan, Joko Widodo menggelar arakarakan dengan menghadirkan budaya khas
Solo, seperti penggunaan musik tradisional
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
53
“Kleningan” dan pakaian adat. Jokowi
juga menghadirkan “Prajurit Keraton”
dengan
maksud
menciptakan
rasa
kebanggaan pada diri para PKL. Arakarakan yang dilakukan ini menjelaskan
bahwa Jokowi ingin menunjukkan
“kesamaan” dengan para PKL, yakni
kesamaan bahwa mereka sama-sama ingin
membangun Kota Solo menjadi lebih baik,
dan kesamaan bahwa mereka berasal dan
memiliki budaya yang sama, yakni budaya
orang Solo, pakaian adat yang sama,
musik yang sama, tarian yang sama.
Bukan
hanya
itu,
Jokowi
juga
mempromosikan tempat berdagang baru
itu selama empat bulan di media lokal. Ini
adalah bukti kalau relokasi itu dilakukan
dengan interaksi simbolik yang etis di
mana para PKL merasa mereka
dimanusiakan oleh pemimpinnya.
Langkah Jokowi itu sekaligus
menunjukkan keberpihakannya terhadap
ekonomi kecil dan pasar tradisional.
Bukan hanya dalam soal PKL, di bawah
kepemimpinannya Jokowi juga sukses
membangun
ekonomi
kerakyatan.
Interaksi simbolik yang diciptakan Jokowi
dalam hal menyamakan persepsi yang
coba dibangun antara pemerintahannya
dengan para pedagang ekonomi kecil, pada
akhirnya memunculkan kesamaan persepsi
pula bahwa masyarakat menganggap
Walikota mereka berpihak pada mereka.
Secara akademik, mungkin Jokowi tidak
mengenal teori “empati dan homofili“,
namun dia telah mengaktualisasikan hal
tersebut dengan sangat baik dalam
kepemimpinannya. Tujuan dari tindakan
empati dan homofili dari Jokowi tersebut
menurut penulis semata-mata untuk
menciptakan kesadaran kolektif dalam
hidup bermasyarakat dan bernegara.
Sebagaimana
bagi
Jokowi
sendiri
(Indrinanto, 2012: 188) bahwa yang harus
dibangun adalah kesadaran kolektif bukan
kesadaran represif, sehingga terciptalah
wibawa
dan
kepercayaan
dalam
pemerintahan. Sebagai contoh, selama
tujuh tahun pemerintahannya di kota Solo,
satpol PP tergolong mudah dalam kerjanya
karena adanya wibawa dari pemerintahan
Jokowi, sehingga dengan dialog dan
percakapan yang singkat saja para satpol
PP tersebut bisa mengatur orang-orang
yang mendiami sarana umum yang tidak
semestinya mereka tempati di luar batas
waktu yang ditentukan pemerintah,
khususnya yang dilakukan oleh para
pedagang kaki lima (PKL) (Indrinanto,
2012: 188).
Teori empati dan homofili itu
sendiri pada hakekatnya mengutamakan
persuasi di mana di sana ada unsur etis,
interaktif, tidak bersifat seketika, serta jauh
dari sifat paksaan. Dan hal itu bisa
terwujud
karena
ia
selalu
mempertimbangkan
proposisi
fakta,
proposisi nilai serta proposisi kebijakan
dalam bertindak. Teori empati dan
homofili menjadi sebuah “instrumen”
komunikasi persuasi yang simbolik bagi
Jokowi dalam melaksanakan tugas dan
fungsi sebagai pemimpin. Selama masa
jabatannya, tidak ada gejolak yang
signifikan dari masyarakat terhadap
dirinya. Hal yang sama juga terjadi di saat
dia menjabat Gubernur DKI Jakarta
walaupun hanya separoh jalan saja. Semua
hanya
karena
komunikasi
yang
dilaksanakannya sangat dialogis, efektif
dan etis (bermartabat) dan bermuara pada
komitmen yang berbuah solusi untuk
sebuah perubahan.
Sebenarnya banyak sekali contoh
penyelesaian masalah yang dilakukan oleh
Jokowi
dengan
elegan
selama
kepemimpinannya. Seperti cara menangani
demo, bagaimana memastikan sebuah
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
54
sistem yang dibuat tetap langgeng,
mengubah sistem yang kompleks, cara
mendidik PKL, penanganan masalah
preman, tentang desain pembangunan,
mengenai cara komunikasi dengan
masyarakat, tentang program-program
kesejahteraan masyarakat, bagaimana
menghadapi permintaan di luar sistem,
perhatian terhadap ekonomi rakyat,
menangani kelompok garis keras, dan lain
sebagainya (Indrinanto, 2012: 183-202).
Itu semua juga dapat diketahui dari
berbagai laporan media baik media cetak
maupun elektronik dan dari literatur
kepustakaan lainya seperti buku maupun
hasil penelitian lain tentang Jokowi.
Intinya, dalam memerintah, Jokowi lebih
memfokuskan “penguasaan lapangan”
untuk mendapatkan rasa empati dan
homofili terlebih dahulu dengan rakyat
yang dipimpinnya, setelah itu rasa tersebut
dikibarkannya
di
tiang
bendera
komunikasi dialogis. Salah satu warna
benderanya adalah “blusukan”, yang
menurut hemat penulis hal itu merupakan
implementasi dari nilai-nilai luhur negara
kita yaitu Pancasila. Bagi Jokowi itu
dijadikan resep ampuh guna memecahkan
semua kebuntuan untuk sebuah solusi
permasalahan sehingga pada akhirnya
memudahkan dalam membuat berbagai
kreasi kebijakan yang terukur dan pasti.
Resistensi Jokowi Terhadap Citra
Otoritas Kepemimpinan Tradisonal
Masyarakat sepertinya telah jenuh
dengan pola-pola lama dan usang dari
seorang pempimpin dalam melaksanakan
tugasnya kala bekerja. Bukan hanya jenuh
terhadap
penyelesaikan
masalah
rakyatnya, akan tetapi juga sudah muak
dengan cara mereka memimpin anak
buahnya sendiri. Ditambah lagi pemimpin
tersebut jarang yang mau berdialog dengan
rakyatnya
untuk
memecahkan
permasalahan publik yang ada. Akibatnya,
pembangunan yang dicita-citakan tidak
pernah dapat diwujudkan. Pemimpin tidak
pernah selaras dengan keinginan rakyatnya
dari segi apapun. Oleh sebab itu, menurut
Jokowi (Indrinanto, 2012: 183) dialog
lapangan, kontinuitas dialog terhadap
sebuah
problem
penting
untuk
mendapatkan sebuah kesepakatan dengan
hasil win-win sehingga dalam menata kota
jadi lebih baik dan rakyat tidak merasa
dirugikan. Kemudian lagi masih menurut
Jokowi kegagalan seorang pemimpin
dalam membuat keputusan yang benar dan
tepat sasaran adalah karena informasi yang
didapat keliru. Hal itu cendrung
disebabkan oleh budaya dengar-dengar
dari bawahan semata dengan jargonnya
yang terkenal yaitu “asal bapak senang”
(ABS) yang merupakan warisan dari citra
kepemimpinan tradisional masa orde baru.
Dalam kenyataan yang telah
mengakar dan seolah telah menjadi sebuah
budaya dalam hal kepemimpinan pada
umumnya di Indonesia, Jokowi hadir
dengan pendekatan yang sebaliknya. Ia
memilih jalan yang berseberangan dengan
citra otoritas tradisional kepempimpinan
yang sudah lumbrah ditampilkan di
Indonesia. Di mana kesan selalu tampil
gagah dan berwibawa serta berkutak-katik
dan berwacana dari dalam kantor atau
istana seraya memerintahkan para anak
buahnya melaksanakan tugas dengan
segudang
agenda.
Situasi
tersebut
diperburuk lagi dengan pemandangan
pemimpin yang tidak pernah mau
bersentuhan dengan masyarakatnya secara
langsung. Kalaupun ada interaksi secara
langsung, itu hanyalah sesaat saja dalam
konteks kepentingan tertentu dan tak
jarang hanya pencitraan semata. Parahnya
lagi, pemimpin tersebut tidak pernah mau
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
55
berkeringat untuk rakyatnya dan jauh dari
kesan sederhana. Pemimpin tersebut
seolah ingin selalu menjaga hegemoni
jarak formalitas status dan kedudukan
dengan rakyatnya sebagai sebuah pembeda
yang nyata diantara mereka.
Dalam sebuah wawancara, menurut
Jokowi (Indrananto, 2012: 183) kita
sekarang ini kehilangan pemimpin yang
bertindak di lapangan, pendekatan
lapangan saat ini kurang sekali dan tidak
semestinya decision itu selalu dibelakang
meja. Mestinya pemimpin itu baik daerah,
propinsi dan negara harus menguasai
lapangan, punya peta lapangan, database
lapangan yang komplit guna membuat
desidn policy. Artinya di sini Jokowi
mengurangi porsi praktik rapat secara
drastis yang telah membudaya selama ini
dan menggantikannya dengan tindakan
langsung terhadap penyelesaian masalah
yang ada. Rapat bagi Jokowi hanya untuk
masalah yang penting-penting saja yang
membutuhkan koordinasi berbagai pihak
(Indrinanto, 2012: 184).
Pola citra otoritas kepemimpinan
tradisional yang sudah mengakar tersebut
disingkirkan jauh-jauh oleh Jokowi dari
segala bentuk cara kerjanya, dan
membuang jauh-jauh mental dan budaya
yang tidak saja bertentangan menurut
pandangan hati nuraninya, tetapi juga
sangat tidak disukai oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya. Dia mampu
menunjukkan dirinya menjadi Golden Rule
atau contoh yang patut ditiru oleh siapapun
dengan jalan mendobrak kemapanan. Dia
tidak mau terjebak dalam formalitas
gengsi, citra dan wibawa basa-basi semata.
Dia tidak sungkan untuk mengenakan
pakaian
yang
sederhana,
tidak
menggunakan mobil mewah, mau makan
bersama-sama rakyatnya, mau berbaur
dengan rakyatnya, dan tidak membalas
jika dihina oleh lawan politiknya.
Kalaupun ada ungkapan balasan, paling
santer ia hanya bilang “aku rapopo”, itu
saja. Dia juga sangat rajin melakukan
inspeksi mendadak terhadap jajaran aparat
birokrasinya waktu jam kerja, dan tidak
segan-segan
memberikan
hukuman
setimpal jika mereka bersalah. Sebagai
bukti (Indrananto, 2012: 184) dalam
tahun-tahun pertama kepemimpinannya,
Jokowi pernah di PTUN-kan tujuh kali
oleh orang-orang yang dia copot dari
jabatannya karena tidak mau menerapkan
sistem yang diinginkannya. Sungguhpun
demikian, Jokowi selalu menang karena
dia ada di rel dan jalan yang benar. Dan
yang terpenting, dia berpikir simpel dan
berkomunikasi dengan bahasa yang sangat
sederhana dengan mengikuti pola dan
kesederhanaan dari rakyatnya baik verbal
maupun non verbal untuk membuat sebuah
terobosan kreatif.
PEMBAHASAN
Jokowi Bernegosiasi Hanya Dengan
Kepentingan Rakyat
Salah satu kelebihan dari Jokowi
dalam
kepemimpinannya
adalah
kemampuan bernegosiasi yang melekat
dalam dirinya. Dan itu digunakannya
untuk bernegosiasi dengan rakyat yang
dipimpinnya di atas segala kepentingan
demi memahami kebutuhan dan perasaan
mereka. Artinya, bagi Jokowi sendiri
pemecahan masalah yang berpihak pada
rakyat jauh lebih penting dari sekedar
konsensus politik semata. Suatu hal atau
fenomena yang jarang dijumpai dalam
setiap individu yang berperan dalam
perpolitikan, dan bisa dikatakan tidak
dipunyai dan tidak dapat dilakukan oleh
kebanyakan
pemimpin
lainnya
di
Indonesia. Dan hal semacam itulah yang
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
56
membuat Jokowi dicinta dan dipuja oleh
sebagian besar kalangan.
Efek dari hal tersebut adalah akan
muncul dalam kepemimpinannya sebuah
integritas, profesionalisme, kepedulian
yang tinggi, ketanggapan, dan melahirkan
interpretasi yang tepat sasaran yang sejalan
dengan visi dan misi yang telah ditetapkan.
Artinya, di sini Jokowi membangun
sebuah hubungan interaksi yang intensif
dengan rakyat atau masyarakat yang
dipimpinnya
guna
menyelaraskan
kepentingan masyarakat dan kepentingan
pemerintah yang memang terkadang dalam
realitasnya sering sekali bertabrakan atau
bertolak belakang.
Untuk dapat mewujudkan jalannya
negosiasi dalam menyelaraskan antara
kepentingan kedua pihak
itu, maka
Jokowi membuat strategi komunikasasi
politik dalam menyeimbangkan setiap
informasi
yang
ada
dalam
kepemimpinannya. Tujuannya jelas untuk
menjaga kesamaan opini dan persepsi dari
masyarakat ataupun rakyatnya dengan
pemerintah. Adapun bentuk strategi
tersebut menurut (Indrananto, 2012: 100118) dalam penelitiannya dengan teknik
pengumpulan data berupa “pengamatan
berperan serta, wawancara, dan analisis
dokumen”
terhadap
Jokowi,
ia
menemukan antara lain:
1. Jokowi menyediakan informasi
mengenai dirinya dan tindakannya
yang meliputi (a) membuka akses
informasi bagi masyarakat (b)
melibatkan
publik
dalam
memecahkan masalah publik (c)
mendekati pihak-pihak ketiga (d)
mendekati
masalah
tanpa
perantara.
2. Tampak selarasnya kepentingan
Jokowi
dan
kepentingan
masyarakat Solo yang meliputi (a)
berupaya bebas dari konflik
kepentingan (b) menghindari
glorifikasi diri (c) terjaganya
kepercayaan yang telah diberikan.
Dari penjelasan tersebut, maka
dapatlah ditarik kesimpulan kalau Jokowi
mengutamakan kepentingan rakyat di atas
segala bentuk strategi komunikasi untuk
negosiasi yang dilakukannya. Kemudian
lagi, ia selalu berupaya menjaga nilai-nilai
dan makna setiap langkah negosiasi serta
kebijakan yang diambilnya dengan selalu
melakukan interaksi berkesinambungan
yang tiada henti. Dengan demikian Jokowi
seolah-olah ingin mengajak dirinya sendiri
dan masyarakat yang dipimpinnya untuk
memiliki konsep diri yang konstruktif
dalam kehidupan sosial masyarakat
sehingga terciptalah proses pengembangan
identitas diri yang baik dari setiap individu
yang ada. Makanya jangan heran kalau
Jokowi sering blusukan dari kampung ke
kampung hanya semata-mata untuk
mengetahui apa sesungguhnya persoalan
yang
ada,
dan
bagaimana
cara
menegosiasikan persoalan tersebut dengan
elegan. Sebagaimana dalam filosofi
Jokowi sendiri (Indrinanto, 2012: 205)
bahwa kunci sukses jadi pemimpin untuk
menata rakyat adalah sebanyak mungkin
dialog, sebanyak mungkin berada di
tengah-tengah mereka yang berbicara,
terutama di tempat-tempat rakyat yang
menderita. Dengan bahasa lain bisa
dimaknai bahwa “blusukan” Jokowi untuk
sebuah perubahan dan perubahan menurut
(Kasali, 2007: 114) menuntut tiga hal
sekaligus:
Melihat,
Bergerak,
dan
Menyelesaikan sampai tuntas. Dan
menurut penulis ketiga hal tersebut sangat
sinkron dengan filosofi blusukan yang
diimplementasikan
Jokowi
tersebut.
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
57
Sungguh hal demikian merupakan sebuah
interaksi simbolik yang sangat menyentuh
hati dalam hal negosiasi kepentingan di
saat krisis kesejahteraan yang terus
menyelimuti sistem ekonomi negara
Indonesia.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sederhana
tersebut, dapatlah kiranya diambil benang
merah, bagaimana proses interaksi dua
arah yang berlangsung antara seorang
pemimpin dengan masyarakatnya maupun
pemimpin dengan segenap bawahan dan
jajarannya telah mampu menciptakan pola
pandang baru masyarakat Indonesia
terhadap gambaran pemimpin dan
kepemimpinan ideal pada era reformasi
yang bergulir saat ini. Pola pandang
tersebut berasal dan tumbuh dari sebuah
sistem hubungan sosial yang dibentuk oleh
seorang pemimpin dengan rakyatnya
dengan simbol-simbol yang diciptakan,
kemudian
simbol
itu
dibawanya
menelusuri masuk dalam hati dan pikiran
seluruh elemen masyarakat. Simbolsimbol
interaksi
tersebut
mampu
menciptakan rasa simpati dan empati
dalam diri setiap individu, baik bagi
pemimpin itu sendiri ataupun bagi
masyarakatnya. Hal tersebut menciptakan
sebuah keseimbangan konsep diri yang
terintegrasi dalam sistem kognisi yang
menembus jauh dan melintasi lorong diri
yang terdalam. Konsep diri tersebut
akhirnya turun ke dalam sanubari dan
menghasilkan sebuah interaksi simbolik
yang
menyentuh
hati,
manusiawi,
berkesinambungan dan disenangi banyak
kalangan.
Dengan konsep diri yang dibangun
dalam sebuah interaksi sosial yang kuat
dan intensif itulah seorang pemimpin
dalam hal ini “Jokowi” mampu membuat
terobosan-terobosan dan kebijakan untuk
setiap program pemerintahannya. Dengan
interaksi itu jualah Jokowi mampu
mendekati masalah tanpa perantara,
mencarikan solusi pasti yang dapat
diterima, menghadapi konfilk dengan
persuasif, menjaga ritme perasaan
masyarakat dengan manajemen informasi
yang manusiawi, sehingga pada akhirnya
mampu menciptakan suasana kondusif
dalam
melaksanakan
pembangunan.
Dengan demikian, seluruh bentuk ragam
kompleksitas yang mengemuka sebagai
akar persoalan sosial masyarakat dapat
ditangani dan diredam dengan pendekatan
kepemimpinan
yang
mengutamakan
interaksi
dialogis
sebagai
perekat
kebersamaan dalam menata pemerintahan
dan pembangunan yang dicita-citakan.
Dengan
interaksi
simbolik
yang
menyentuh hati itulah pada akhirnya
Jokowi mendapat tempat di hati sebagian
masyarakat Indonesia pada Pilpres 2014
dan mengantarkannya jadi pemenang.
Sebagai Presiden terpilih, diharapkan
Jokowi mengulangi prestasinya dengan
cara
kepemimpinan
dan
strategi
komunikasi yang sama. Menarik untuk
disimak bagaimana kedepannya?
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2011. Komunikasi Politik:
Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan
Strategi dan Komunikasi Politik
Indonesia. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Arrianie. Lely. 2010. Komunikasi Politik:
Politisi
dan
Pencitraan
di
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
58
Panggung Politik.
Widya Padjadjaran.
Bandung:
Fisher, B. Aubrey. 1986. Teori-Teori
Komunikasi.
Penyunting
Drs.
Jalaluddin Rahmat, M.Sc.
Terjemahan Soejono Trimo, MLS.
Bandung: CV Remadja Karya.
Griffin, Em. 2000. A First Look at
Communication Theory, 4st ed.
Boston: McGrowHill
Education.
Kartono, Kartini. 2010. Pemimpin dan
Kepemimpinan:
Apakah
Kepemimpinan itu? Jakarta:
Rajawali Pers
(Terjemahan
dari
Political
Commnication and Public Opinion
in Amerika). Bandung: Penerbit
Remaja Rosdakarya.
Nimmo, Dan. 2011. Komunikasi Politik:
Komunikator, Pesan, dan Media
(Terjemahan
dari
Political
Commnication and Public Opinion
in Amerika). Bandung: Penerbit
PT. Remaja Rosdakarya.
Sudikin, Basrowi.2002. Metode Penelitian
Kualitatif
Perspektif
Mikro.
Cetakan Pertama. Penerbit Insan
Cendikia. Surabaya
Tesis
Kasali, Rhenald. 2007. Change!. Jakarta.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Lilleker, Darren. 2006. Key Concepts in
Political Communication, 1st ed.
London:
SAGE Publications
Littlejohn, Stephen W and Foos, Karen A.
2009. Teori Komunikasi: Theories
of
Human Communication, 9th
ed. Terjemahan Mohammad Yusuf
Hamdan.
Jakarta:
Penerbit
Salemba Humanika.
Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi Politik:
Komunikator, Pesan, dan Media
Indrananto, Cahyadi. 2012. Pemimpin
Daerah Sebagai Agen: Dramaturgi
Dalam Komunikasi Politik Wali
Kota Solo Joko Widodo. Jakarta:
Pascasarjana Fisipol Universitas
Indonesia.
Artikel Online Media Massa
Kalsum, Umi, 2012. Walikota Solo Tak
Pernah
Ambil
Gaji.
Vivanews.com.
http://politik.vivanews.com/news/read/202
003-ribut-soal-gaji-sbytengoklah-walikota-solo.
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO. 2 Desember 2014
59
Download