BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Saham Tidur Salim merupakan (tidak (2010) menjelaskan saham tidur saham yang tidak aktif diperdagangkan likuid) dalam jangka waktu yang lama. Berdasarkan Surat Edaran PT BEJ No. SE-03/BEJ II1/I/1994 menyatakan bahwa suatu saham dikatakan aktif apabila frekuensi perdagangan saham selama 3 bulan sebanyak 75 kali atau lebih, dengan demikian apabila frekuensi perdagangan saham kurang dari 75 kali selama tiga bulan maka saham tersebut tidak aktif, sehingga lama kelamaan menjadi saham tidur dan memiliki likuiditas saham yang sangat rendah. Likuiditas saham merupakan ukuran jumlah transaksi suatu saham di pasar modal dalam suatu periode tertentu. Semakin tinggi frekuensi transaksi saham tersebut, maka semakin tinggi pula likuiditas saham. Likuiditas saham merupakan salah satu faktor penting yang perlu dipertimbangkan investor dalam melakukan investasi pada saham. Bagi investor jangka pendek, likuiditas saham sangat penting karena besar kecilnya keuntungan yang diperoleh sangat ditentukan 6 oleh likuiditas saham yang dimilikinya. Semakin likuid frekuensi transaksi, semakin tinggi minat investor terhadap saham perusahaan tertentu. Saham dengan tingkat likuiditas tinggi akan meningkatkan probabilitas untuk mendapatkan return saham, yang pada akhirnya akan meningkatkan harga saham. Likuiditas saham tidur yang sangat rendah menunjukkan bahwa tidak adanya minat investor terhadap saham tersebut, karena kinerja perusahaan yang sahamnya tidur dinilai tidak cukup baik/buruk dan prospek usahanya masih kurang cerah (Pakar Investasi, 23 September 2013). Selain kinerja perusahaan, tidak aktifnya saham sehingga menjadi saham tidur disebabkan jumlah saham beredar di masyarakat (floating share) yang kurang akibat krisis ekonomi tahun 1997 dan 2008 (inilah.com, 24 Juli 2012). Terbatasnya jumlah saham yang dipasarkan menyebabkan tidak banyak transaksi yang terjadi dan saham dikuasai oleh investor institusi dan pemilik saham lama (pendiri perusahaan). Menurut Basir dan Hendy (2005) ada dua kemungkinan penyebab dari saham tidur, pertama saham tersebut cukup prospektif dalam memberikan dividen yang teratur sehingga diminati investor jangka panjang, yang menyebabkan pemegang saham menjadi tidak tertarik untuk melepas sahamnya. Kedua karena 7 saham tersebut tidak menarik dan tidak berprospek. Ahmad Riyadi sebagai analis pasar saham berpendapat perusahaan tercatat seharusnya lebih transparansi terhadap ekspansinya agar pelaku pasar dapat mempelajari prospek perusahaan ke depan yang secara tidak langsung berimbas pada pergerakan sahamnya ke depan, karena tidak semua saham yang tidur kinerja perusahaanya buruk (Investor Daily Indonesia, 20 Februari 2011). 2.2. Kinerja Perusahaan Sebagai perusahaan publik, kinerja perusahaan tidak lagi hanya dipertanggungjawabkan ke pihak internal perusahaan, melainkan juga kepada investor sebagai penyedia dana. Kinerja perusahaan merupakan hasil yang dicapai suatu perusahaan dengan mengelola sumber daya yang ada dalam perusahaan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan manajemen (Stoner et al., 1996). Menurut Moeljadi (2006) menganalisis keuangan perusahaan merupakan suatu penilaian terhadap kinerja perusahaan pada waktu yang lalu dan prospek pada masa datang. Mengukur prospek perususahaan dapat dilakukan dengan menggunakan Investment Opportunity Set (IOS), tetapi dalam penelitian ini IOS 8 kurang tepat digunakan karena harga saham pada saham tidur cenderung sama atau tidak mengalami pergerakan sehingga penelitian ini mengukur prospek perusahaan menggunakan pendekatan kinerja keuangan. Rasio Keuangan merupakan alat analisis keuangan perusahaan untuk menilai kinerja suatu perusahaan berdasarkan perbandingan data keuangan yang terdapat laporan keuangan. Berbagai macam rasio keuangan yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja perusahaan perusahaan, namun tidak semua rasio dibutuhkan oleh investor. Investor lebih tertarik pada hasil pengelolaan dana dan bukan pada cara mengelolanya investor (Samsul, biasanya 2006), dengan memfokuskan demikian pada rasio profitabilitas yang terdiri dari ROA dan ROE (Van Horne & John, 2013). Selain rasio profitabilitas, rasio pasar juga menjadi perhatian investor pada umumnya atau calon investor, yaitu rasio EPS dan PER (Hanafi dan Abdul, 2012). ROA (return on asset), sering disebut juga ROI (return on investment) mengukur keefektifan manajemen dalam menghasilkan laba dengan penggunaan aset perusahaan (Gitman & Chad, 2012). Hansen dan Birger (1989), Tsoutsoura (2004) menggunakan ROA sebagai ukuran untuk kinerja keuangan. Semakin besar nilai 9 ROA, maka semakin baik kemampuan perusahaan memanfaatkan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan laba, begitu sebaliknya (Kieso et al., 2008). Jika hasil dari ROA lebih dari atau sama dengan 10%, maka perusahaan tersebut efektif atau kinerja keuangannya relatif baik (Weston dan Brigham, 1995). Selain ROA, menurut Katchova and Sierra (2013) banyak analis dan investor cenderung berfokus pada, tingkat ROE (Return On Equity) yang telah terbukti dalam berfokus mengevaluasi pada kinerja konsep perusahaan sederhana yaitu karena tingkat pengembalian yang diterima pemegang saham sebuah perusahaan. Nilai ROE yang lebih besar daripada 15% sudah cukup bagus bagi investor (Herciu et al, 2011). Menurut Alwi (2003), Earning Per Share (EPS) perusahaan biasanya menjadi perhatian pemegang saham, karena EPS menunjukkan jumlah uang yang dihasilkan dari setiap lembar saham. Semakin besar nilai EPS, semakin besar keuntungan yang diterima pemegang saham. Fabozzi (2003) berpendapat EPS merupakan salah satu dari dua alat analisis yang sering digunakan mengevaluasi saham biasa disamping PER dalam lingkaran keuangan. Selanjutnya menunjukkan Price berapa Earning banyak investor Ratio (PER) bersedia membayar untuk tiap rupiah dari laba perusahaan, 10 semakin tinggi PER maka semakin besar kepercayaan investor terhadap kinerja perusahaan di masa depan (Gitman & Chad, 2012). Oleh para investor rasio ini digunakan untuk memprediksi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba di masa yang akan datang. Menurut Mahendra, et al (2011) kinerja keuangan perusahaan merupakan salah satu faktor yang dilihat oleh calon investor untuk menentukan investasi saham. Bagi sebuah perusahaan, menjaga dan meningkatkan kinerja keuangan yang tergambarkan dari laporan keuangan adalah suatu keharusan agar saham tersebut tetap eksis dan tetap diminati oleh investor. Kinerja perusahaan yang buruk menunjukan nilai perusahaan yang rendah, sehingga investor tidak tertarik untuk melakukan transaksi. perusahaannya baik Sebaliknya, akan apabila menunjukkan kinerja nilai perusahaan yang tinggi, sehingga investor akan tertarik untuk melakukan transaksi (Wira, 2012). Investor akan merespon kinerja keuangan perusahaan yang ditunjukkan oleh kenaikan atau penurunan tingkat likuiditas saham. Apabila informasi yang diterima bahwa perusahaan berkinerja baik, maka hal tersebut merupakan salah satu informasi mengenai prospek perusahaan yang menguntungkan. Respon investor terhadap informasi tersebut, nampak pada peningkatan penawaran jual maupun permintaan beli 11 saham perusahaan tersebut sehingga likuiditas saham meningkat (Sudana & Nurul, 2008). Namun sebaliknya apabila informasi yang diterima adalah kinerja perusahaan buruk, maka investor tidak tertarik untuk melakukan penawaran transaksi, jual nampak maupun pada permintaan penurunan beli saham perusahaan, dengan demikian likuiditas sahampun menurun. Penurunan likuiditas saham mengakibatkan saham menjadi kurang aktif diperdagangkan, sehingga lama kelamaan menjadi saham tidur. 12