INDIKATOR PERUBAHAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PASCA PEMBEBASAN LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM DAN PERMUKIMAN Nanang Rianto Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta Selatan 12310 Email: [email protected] Tanggal diterima: 4 November 2011 ; Tanggal disetujui: 17 November 2011 ABSTRACT Interesting to see that many problems occurred in land acquisition phase when compensations such as fresh money and/or another terrain already given for people. This article is a literature study to identify factors that effect the welfare change of people affected project. Interview and discussion with informants, people affected project and government employer that experiencing land acquisition also carry out to complete literature study. Finding shows there are several factors that effect people affected project welfare: 1) income; 2) expenditure; 3) access to economic sphere; and 4) access to public sphere. Generally, the arrangement process of the instrument can be divided into three steps: 1) define welfare concept; 2) make conceptual frame dan identfy relevant variables; 3) create a tools to apply the instrument. keyword: welfare , development, indicator, land acquisition, people affected project ABSTRAK Maraknya permasalahan terkait pengadaan lahan menarik untuk diketahui mengingat masyarakat telah diberi kompensasi dalam berbagai bentuk seperti uang atau lahan di lokasi lain. Tulisan ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perubahan kesejahteraan masyarakat pasca pembebasan lahan akibat pembangunan infrastruktur. Kajian singkat ini merupakan studi literatur yang bertujuan untuk menjabarkan faktor-faktor berpengaruh tersebut ke dalam sebuah instrumen pengukuran berupa variabelvariabel dan indikator. Untuk melengkapi sifatnya yang normatif, dilakukan juga wawancara dan diskusi dengan sejumlah informan dan partisipan dari unsur masyarakat yang terkena pembebasan lahan) serta instansi pemerintah (pihak yang membebaskan lahan) yang relevan dan menguasai perihal konsep dan dimensi kajian. Temuan kajian mendapati faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat pasca pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur adalah: 1) Pendapatan; 2) pengeluaran; 3) akses wilayah ke tempat perekonomian; 4) akses ke pelayanan publik. Proses pembuatan instrumen secara umum dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yakni: 1) mendefinisikan konsep kesejahteraan; 2) membuat kerangka konseptual dan mengidentifikasi variabel-variabel yang relevan; 3) membuat cara mengaplikasikan instrumen. Kata kunci: kesejahteraan, pembangunan, indikator,pengadaan lahan, orang terdampak PENDAHULUAN Kelancaran proyek pembangunan infrastruktur amat berkelindan dengan pengadaan lahan. Sudah jamak sekali pemberitaan melalui berbagai media mengenai sulitnya pembebasan lahan. Lebih dari 65% total berita pembangunan bersinggungan dengan sengketa mengenai ganti rugi tanah (Pamekas, 2010). Dalam konteks tersebut sangat mudah diprediksi kemudian bahwa banyak proyekproyek infrastruktur strategis untuk publik seperti pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT) dan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) tersendat. Sebagai ilustrasi, pembebasan lahan KBT sudah memakan waktu 7 tahun dan belum rampung hingga kini (http://www.tempointeraktif.com). Kemudian data dari Komisi Infrastruktur Kadin menyebutkan dari rencana pembangunan 21 ruas jalan tol, hingga kini baru 1 ruas jalan tol yang proses pengadaan lahannya rampung. Atau dengan kata lain dari total kebutuhan tanah seluas 6.734 Ha, selama 3 tahun baru bebas 939 Ha atau setara 14 % (Kadin, 2009). 183 Indikator Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum Dan Permukiman Nanang Rianto Dalam menjawab persoalan pengadaan tanah ini, di Indonesia telah diundangkan beberapa aturan yang antara lain: 1. UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya 2. Permendagri No 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah, yang disusul Permendagri No 2 Tahun 1976 dan Permendagri No 2 Tahun 1985. 3. Keppres No 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Demi Pembangunan. 4. Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ; dan yang terakhir 5. Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Namun demikian, banyaknya aturanaturan tersebut belumlah sanggup meredam sulitnya pengadaan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Sulitnya pembebasan lahan tersebut ditenggarai akibat dari beberapa hal seperti ketidaksesuaian harga ganti lahan hingga ketakutan masyarakat kehilangan hak atas lahannya. Artikel maupun kajian mengenai pengadaan lahan untuk infrastruktur publik menunjukkan bahwa pembebasan lahan bukan hanya berkutat pada “ganti rugi” yang berkutat pada perihal uang belaka. Namun lebih dari itu, lahan memiliki nilai ekonomi yang lebih luas yakni sebagai barang ekonomi karena telah memenuhi 3 (tiga) kriteria yaitu (i) mempunyai nilai guna, (ii) ketersediannya relatif terbatas, dan (iii) ada unsur-unsur hak kepemilikan. Selain fungsi ekonomi, tanah juga memiliki fungsi sosial yang bermakna penggunaan suatu lahan harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai hak maupun bagi masyarakat dan negara (Pamekas, 2010). Penelitian mengenai dampak pembebasan lahan terhadap kesejahteraan masyarakat pernah dilakukan oleh Ritahardoyo (1999) dan Pramdani (2007). Tesis Ritahardoyo mengemukakan bahwa perubahan pemilikan lahan akibat pembangunan infrastruktur Waduk Sermo berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Perubahan pemilikan lahan yang semakin menyempit membawa konsekuensi pada perubahan penghasilan masyarakat yang sebagian besar berprofesi petani. Pramdani (2007) yang meneliti perubahan taraf hidup rumah tangga pasca relokasi permukiman penduduk di bantaran Sungai Karang Mumus Samarinda menyebutkan bahwa terdapat perubahan yang cenderung meningkat pada total pendapatan rumah tangga yang menunjukkan kondisi perekonomian yang semakin membaik 2 tahun setelah pasca relokasi / pembebasan lahan. Dari beberapa studi literatur tersebut, dapat dilihat bahwa pembangunan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman berhubungan erat dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat terdampak, khususnya dalam fase pembebasan lahan. Hal tersebut yang menjadikan proses kelancaran dari suatu program pembangunan infrastruktur amat tergantung pada keberterimaan masyarakat yang lahannya masuk dalam perencanaan pembangunan. Lantas, bagaimanakah keadaan kesejahteraan masyarakat pasca pembebasan lahan, apakah lebih baik, sama saja, atau lebih buruk dari sebelumnya? Padahal, kata kunci ganti rugi yang tersurat di dalam peraturan perundangan yang berlaku adalah ”memberikan kelangsungan hidup yang “lebih baik” dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah”. Tulisan singkat ini belum akan menjawab semua pertanyaan tersebut, namun lebih untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perubahan kesejahteraan masyarakat pasca pembebasan lahan akibat pembangunan infrastruktur. Lebih khusus lagi, kajian ini akan mengoperasionalkan faktorfaktor tersebut ke dalam sebuah instrumen pengukuran berupa variabel-variabel dan indikator. METODE PENELITIAN Kajian ini bercirikan pendekatan kuantitatif karena menggunakan cara berpikir deduktif yang berangkat dari konsep-konsep untuk kemudian diperasionalkan menjadi indikator dan instrumen. Fokus kajian ini adalah membuat instrumen yang didasarkan pada indikator, variabel dan parameter yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah untuk mengukur perubahan kesejahteraan masyarakat akibat pembangunan infrastruktur PU dan Permukiman. 184 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 183-192 Pada proses penyusunan indikator/instrumen Operasionalisasi Konseptualisasi Pada proses uji coba indikator dan analisa Gambar 1. Kerangka Pendekatan Kajian Guna melihat lebih dalam operasionalisasi dan indikatorisasi konsep Pembangunan ke-PUan dan kesejahteraan sosial diperlukan kajian khusus untuk membangun dan memformulasi indikator, pengukuran serta bagaimana metode melakukan pengukuran dengan instrumen. Untuk melakukannya, proses dan tahapan kerja dapat dipilah menjadi tiga tahap, yakni, sebagai berikut: 1. Tahap pertama adalah studi pustaka (desk study), yakni melakukan kajian pustaka untuk mendefinisikan kembali konsep, dimensi dan indikator kesejahteraan dalam kaitannya dengan pengadaan lahan untuk pembangunan infrastruktur PU dan permukiman. 2. Tahap ke-dua adalah uji coba indikator. Indikator umum yang dikembangkan mungkin cocok untuk karakteristik pembebasan lahan dan relokasi A, namun ada kemungkinan belum cocok dengan karakteristik lainnya. Untuk itu perlu dilakukan uji coba indikator untuk melihat validitas dan reliabilitas indikator 3. Tahap ke-tiga adalah merumuskan kembali konsep, indikator, pengukuran dan metode hasil temuan-temuan dari uji lapangan. Pada intinya tiga tahap ini merupakan sebuah kesatuan dalam proses pengembangan indikator dan metode dalam ilmu sosial. Untuk tulisan kali ini baru akan ada di tahap pertama yakni untuk mendefinisikan kembali konsep, dimensi dan indikator kesejahteraan dalam kaitannya dengan pengadaan lahan untuk pembangunan infrastruktur PU dan permukiman. Kajian ini bersifat positivistik-deduktif, bergerak mengkaji konsep, dipadukan dengan review atas berbagai riset empiris dan menurunkannya ke dalam indikator yang relevan. Hal utama yang dilakukan adalah mengkaji semua literatur relevan, undang-undang, menganalisa indikator-indikator yang selama ini digunakan berbagai pihak lain dalam mengkaji tingkat kesejahteraan masyarakat dan pengadaan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Kajian literatur adalah tahapan paling penting dalam penyusunan indikator. Indikator merupakan operasionalisasi dari konsepsi teoritik yang digunakan. Oleh karena itu dalam studi ini akan dikaji berbagai konsepsi teoritik kesejahteraan dalam dimensi ekonomi maupun sosial. Selain itu juga dilakukan tinjauan literatur terhadap tahapan pelaksanaan pengadaan lahan/ganti rugi berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dari tinjauan terhadap literatur dan dokumen-dokumen di atas diharapkan dapat disarikan beberapa hal penting berkenaan dengan: 1. Definisi, dimensi dan prinsip-prinsip kesejahteraan 2. Indikator dan parameter yang umum digunakan 3. Arti penting, fungsi dan tujuannya, Tahapan pelaksanaan pengadaan lahan/ ganti rugi Setelah menyarikan beberapa hal di atas, kemudian ditentukan definisi kesejahteraan yang relevan dengan kajian ini serta hubungannya dengan proses pembebasan lahan. Definisi tersebut lalu diturunkan menjadi dimensi dan indikator. Secara umum, kajian ini bersifat desk study dengan melakukan kajian literatur dan data sekunder. Untuk melengkapi sifatnya yang normatif, dilakukan juga wawancara dan diskusi dengan sejumlah informan dan partisipan dari unsur masyarakat yang terkena pembebasan lahan) serta instansi pemerintah (pihak yang membebaskan lahan) yang relevan dan menguasai perihal konsep dan dimensi kajian. HASIL DAN PEMBAHASAN Menyoal Konsep Kesejahteraan dan Pembebasan Lahan untuk Infrastruktur Menurut Segel & Bruzzy (1998) kesejahteraan adalah suatu kondisi yang meliputi aspek kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup masyarakat. Pengertian lain dikemukakan Gardono (2005) yang 185 Indikator Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum Dan Permukiman Nanang Rianto mengemukakan pengertian kesejahteraan sebagai sebuah kondisi yang mengacu pada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, tersedianya akses ke berbagai bentuk pelayanan sosial dan tersedianya akses terhadap segenap kesempatan untuk maju. United Nation Development Programme (UNDP) membagi kesejahteraan menjadi dua sisi yakni kesejahteraan fisik dan kesejahteraan ekonomi. Cara pengukuran berupa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan Pendapatan per kapita masuk dalam kategori kesejahteraan fisik. Sedangkan kesejahteraan ekonomi dapat dilihat dari dua hal yaitu konsumsi dan produksi (skala usaha). Dari sisi konsumsi maka kesejahteraan bisa diukur dengan cara menghitung seberapa besar pengeluaran yang dilakukan seseorang atau sebuah keluarga untuk kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan lainnya dalam waktu atau periode tertentu Pengertian kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) melihat taraf kesejahteraan menjadi beberapa bidang yaitu: kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan, serta sosial lainnya. Dari segenap batasan pengertian kesejahteraan di atas terlihat bahwa konsep kesejahteraan merupakan konsep yang kompleks, bahkan beberapa pengertian mengatakan bahwa kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan dan akses terhadap sumber daya yang meliputi aspek jasmani, rohani, dan sosial. Walaupun demikian terlihat beberapa definisi yang sudah operasional dan kerap digunakan dalam berbagai penelitian cenderung melihat kesejahteraan dari aspek fisik (sosial) dan ekonomi. Beberapa hal penting terkait konsep kesejahteraan. Hal penting dari pengertian Segel & Bruzzy yang relevan dengan kajian ini adalah konsep i) terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, ii) tersedianya akses ke berbagai bentuk pelayanan sosial dan tersedianya akses terhadap segenap kesempatan untuk maju. Dari definisi UNDP, esensi yang bisa diambil adalah konsep kesejahteraan ekonomi yang memfokuskan pada pengeluaran seseorang atau sebuah keluarga untuk kebutuhan-kebutuhan hidupnya dalam waktu dan periode tertentu. Tak jauh beda dengan UNDP, definisi kesejahteraan versi BPS adalah mengenai taraf dan pola konsumsi. Berdasarkan uraian diatas juga dapat diketahui bahwa terdapat banyak indikator yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan banyaknya indikator kesejahteraan maka lingkungan ekonomi yang meliputi tingkat pendapatan seringkali digunakan sebagai ukuran kesejahteraan karena relatif mudah untuk dihitung dan dianalisis. Untuk dapat lebih operasional dan terukur, maka dalam kajian ini akan digunakan batasan pengertian kesejahteraan yang mengacu pada aspek fisik (sosial) dan ekonomi, tentunya dengan memilah sejumlah dimensi dan indikator (parameter) yang relevan dengan konteks pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Oleh karena itu batasan pengertian kesejahteraan yang digunakan dalam kajian ini adalah “suatu kondisi yang mengacu pada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan (kebutuhan ekonomi, pendidikan, kebutuhan sosial akan interaksi), tersedianya akses ke berbagai bentuk pelayanan sosial (akses terhadap pelayanan sosial aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi), tersedianya akses terhadap segenap kesempatan untuk maju (kesempatan kerja, kesempatan usaha)”. Hubungan pembebasan lahan dan kesejahteraan Dalam pembangunan proyek infrastruktur sangat dimungkinkan terdapat sebagian atau seluruh tanah1 milik perorangan atau kelompok (pemerintah/swasta) yang akan digunakan sebagai tapak pembangunan infrastruktur. Oleh karenanya, implementasi pembangunan proyek infrastruktur akan memerlukan adanya aktivitas pembebasan terhadap tanah yang menjadi lokasi proyek. Pembebasan tanah tersebut berimplikasi pada hilangnya sebagian atau seluruh tanah yang digantirugikan dengan sejumlah uang atau dikonsesikan dengan tanah di daerah lain. Secara lengkap, alur pengadaan lahan untuk pembangunan infratsruktur bisa dilihat pada gambar 2. Ritahardoyo (1999) yang melakukan penelitian terhadap masyarakat terdampak pengadaan lahan di Waduk Sermo mengenai fungsi ekonomi suatu lahan. Tesis Ritahardoyo mengemukakan bahwa perubahan pemilikan lahan akibat pembangunan infrastruktur Waduk Sermo berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Kajian tersebut berfokus pada aspek variasi besarnya luas perubahan pemilikan lahan, variasi perubahan pendapatan, dan pengaruh pemilikan lahan terhadap pendapatan rumahtangga tergusur pembangunan waduk. 1 Ganti rugi tanah merupakan penyederhanaan istilah dalam tulisan ini. Pada praktiknya, ganti rugi bisa berupa ganti rugi tanah, lahan produktif, asset (bangunan pribadi dan bangunan pemerintahan), infrastruktur fisik, lingkungan, dan sebagainya. 186 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 183-192 Gambar 2. Proses pembebasan lahan menurut Peraturan Kepala BPN No.3/2007 Perubahan pemilikan lahan yang semakin menyempit membawa konsekuensi pada perubahan penghasilan masyarakat yang sebagian besar berprofesi petani. Selain berdampak pada penghasilan, hal lain yang terpengaruh adalah pilihan mata pencaharian yang berkurang. Kajian mengenai dampak relokasi / pembebasan lahan ternyata ada juga yang berimbas positif. Hal tersebut dapat diungkap Ammy Pramdani (2007) dalam tesisnya yang meneliti perubahan taraf hidup rumah tangga pasca relokasi permukiman penduduk di bantaran Sungai Karang Mumus Samarinda. Ammy menyebutkan bahwa terdapat perubahan yang cenderung meningkat pada total pendapatan rumah tangga yang menunjukkan kondisi perekonomian yang semakin membaik 2 tahun setelah pasca relokasi / pembebasan lahan. Dalam ranah sosial seperti kondisi kesehatan dan relasi sosial keadaannya juga mengalami perubahan yang secara signifikan lebih baik. Perspektif warga terdampak terhadap relokasi pun tak melulu negatif (Syafni, 2008). Dalam Tesis Syafni mengenai pandangan masyarakat penghuni bantaran Sungai Cikapundung di Kota Bandung terhadap relokasi, dikatakan bahwa responden dalam penelitiannya menilai positif kebijakan relokasi karena beberapa hal. Alasan yang melatarbelakangi responden tersebut antara lain: 1) dengan relokasi, responden akan memperoleh lingkungan yang lebih asri, jauh dari kebisingan dan tersedia tempat bermain anak; 2) relokasi akan memberikan peluang untuk membuka usaha di tempat yang baru apabila program relokasi sejalan dengan pemberian bantuan modal usaha. Dari beberapa literatur tersebut, bisa dilihat bahwa adanya penggantian tanah dalam bentuk uang atau aset lain akan menimbulkan adanya perubahan sosial dan ekonomi masyarakat dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini dikarenakan masyarakat harus melakukan penyesuaian atas perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungannya apabila harus berpindah ke wilayah baru dan melakukan perubahan aktivitas yang sebelumnya dilakukan di lokasi proyek. Perubahan sosial ekonomi tersebut bisa mengarah pada perubahan yang lebih baik tetapi bisa juga mengarah pada perubahan yang lebih buruk dari kondisi sebelum mengalami ganti rugi tanah. Kemampuan setiap individu dalam melakukan proses penyesuaian diri dan lingkungan pada wilayah baru atau dalam pengelolaan asset hasil ganti rugi tanah akan sangat menentukan dampak yang akan diperolehnya. Bagi sebagian masyarakat yang terkena program ganti rugi lahan proyek dan harus berpindah ke daerah lain yang jauh dari lokasi proyek, maka harus melakukan penyesuaian pada wilayah barunya. Sebagian masyarakat ini bisa mengalami kesulitan untuk memperoleh lapangan kerja baru di lokasi yang baru. Umumnya hal ini akan dialami oleh pekerja di sektor informal dan dapat juga karena kegagalan dalam menyesuaikan perubahan sosial dalam lingkungan barunya (perubahan pola hidup, perubahan taraf hidup, konflik sosial, dan interaksi/konstruksi/relasi sosial). Misalnya, masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani di lokasi lama, maka akan berusaha mencari mata pencaharian yang sejenis misalnya dengan membeli lahan pertanian baru di daerah baru dari hasil ganti rugi tanahnya. Sebagian masyarakat lain mengubah sumber pendapatannya dengan bekerja di sektor yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. 187 Indikator Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum Dan Permukiman Nanang Rianto Dependent variable R E L O K Independent variable Ganti Rugi lahan (untuk pembangunan infrastruktur PU dan Permukiman) A S I Tingkat kesejahteraan penduduk Sebelum Infrastruktur ke-PU-an Sesudah Intervening variable Gambar 3. Kerangka Pikir Kajian Dinamika perubahan aktivitas sosial ekonomi masyarakat terdampak proyek ini yang akan mempengaruhi perubahan tingkat kesejahteraan atau taraf hidup dari akibat ganti rugi tanah bagi proyek pembangunan infrastruktur. Konseptualisasi Instrumen Kerangka Konseptual Berangkat dari tujuan untuk melihat apakah pembebasan lahan/relokasi (untuk pembangunan ke-PU-an) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka secara tidak langsung penelitian ini sudah berangkat dari sebuah hipotesis bahwa: H0: Tidak ada pengaruh (positif) antara pembebasan lahan/relokasi (untuk pembangunan ke-PU-an) dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Ha : Ada pengaruh (positif) antara pembebasan lahan/relokasi (untuk pembangunan ke-PUan) dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Variabel dependen dari studi ini adalah tingkat kesejahteraan. Konsep kesejahteraan sendiri kerap digunakan dalam berbagai ukuran keberhasilan pembangunan oleh pemerintah. Dengan pemahaman seperti ini, maka yang mau dilihat adalah apakah ganti rugi pembebasan lahan yang diberikan (dalam konteks pembangunan ke-PU-an) berpengaruh pada peningkatan atau penurunan tingkat kesejahteraan. Implikasi kerangka alur pikir 1 tersebut terhadap substansi studi adalah variabel, dimensi dan indikator (parameter) yang harus dikembangkan dalam studi ini berkaitan dengan konsep ganti rugi lahan (sebagai variabel independent) dan tingkat kesejahteraan (sebagai variabel dependen). Ganti rugi lahan untuk pembebasan dapat dilihat dari beberapa indikator (nilai ganti rugi, penyediaan lokasi alternatif, dan sebagainya). Sedangkan tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari aspek sosial ekonomi (misalnya dari konsep –konsep yang telah diuraikan dalam berbagai literatur dan status sosial ekonomi yang digunakan BPS) Pertanyaannya, di manakah posisi pembangunan infrastruktur ke-PU-an (setelah bendungan, jalan, jalan tol, rumah susun terbangun), apakah tidak dilihat pengaruhnya terhadap kesejahteraan? Bisa saja dilihat, namun Tabel 2. Operasionalisasi konsep kesejahteraan Konsep K E S E J A H T E R A A N Dimensi Konsep Aspek kebutuhan Aspek akses ke berbagai bentuk pelayanan sosial Aspek akses segenap kesempatan untuk maju Indikator Umum kebutuhan ekonomi, Kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan sosial akan interaksi akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, ekonomi akses terhadap pelayanan kesehatan akses terhadap pelayanan ekonomi kesempatan kerja, Skala Rasio ordinal Ordinal Ordinal/rasio kesempatan usaha. Ordinal Ordinal/rasio Ordinal/Rasio Ordinal 188 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 183-192 tidak sebagai variabel independent, melainkan sebagai variabel intervening/variabel antara seperti halnya dapat dilihat pada kerangka alur pikir di atas. Identifikasi variabel tingkat kesejahteraan Dari batasan pengertian yang dipilih di atas terkandung sejumlah bahasa operasional yang akan memudahkan definisi operasional sejumlah dimensi dan indikator yang digunakan untuk pengukuran. Setidaknya terdapat 3 (tiga) dimensi konsep yang terdapat pada pengertian kesejahteraan yang didefinisikan di Bab 2, yakni: 1. Aspek kebutuhan a. Aspek akses ke berbagai bentuk pelayanan sosial b. Aspek akses terhadap segenap kesempatan untuk maju Masing-masing dimensi konsep mengandung sejumlah indikator umum yang dapat menjadi indikator awal sebelum diturunkan ke dalam sejumlah indikator yang lebih operasional, yakni: a. Aspek kebutuhan: kebutuhan ekonomi, pendidikan, kebutuhan sosial akan interaksi b. Aspek akses ke berbagai bentuk pelayanan sosial: akses terhadap pelayanan sosial aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi c. Aspek akses terhadap segenap kesempatan untuk maju: kesempatan kerja, kesempatan usaha. Konsep status sosial ekonomi berkaitan erat dengan sistem pelapisan di dalam masyarakat. Soleman mendefinisikan status sebagai posisi seseorang dalam suatu kelompok sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut (Soleman 1987). Sedangkan yang dimaksud dengan status sosial ekonomi ialah tempat atau posisi seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, serta hak dan kewajibannya (Soekanto 2006). Status sosial ekonomi tersebut mempengaruhi posisi sosial seseorang dalam stratifikasi sosial masyarakatnya. Stratifikasi didefinisikan sebagai perbedaan anggota masyarakat baik dari jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, penghasilan, serta kekayaan yang dimilikinya berdasarkan status yang dimiliki, baik status utama, status yang diraih maupun status yang diperoleh (Soemarjan & Soemardi). Terdapat berbagai jenis operasionalisasi yang dapat digunakan untuk menentukan posisi seseorang dalam stratifikasi sosial. Misalnya, Parelius & Parelius (1987: 265) menyatakan bahwa: “Socio-economic status or social class can be measured in number of different ways. Most commonly, it is measured by education, occupation, or income, family income, or household possesion are used.” Tabel 3. Operasionalisasi konsep status sosial ekonomi (SSE) Status Sosial Ekonomi Konsep Status Sosial Ekonomi (SSE) Dimensi Konsep Pendidikan Penghasilan dan pengeluaran Pekerjaan Kepemilikan Indikator Umum Tingkat pendidikan keluarga Aksesibilitas terhadap pelayanan pendidikan Penghasilan kepala rumah tangga dari pekerjaan utama Penghasilan anggota keluarga lain dari pekerjaan utama Penghasilan kepala rumah tangga dari pekerjaan sampingan Penghasilan anggota keluarga lain dari pekerjaan sampingan Pengeluaran rumah tangga Pekerjaan utama kepala rumah tangga Pekerjaan sampingan Pekerjaan anggota keluarga lain Aksesibilitas ke tempat kerja Kepemilikan asset dalam rumah tangga Kondisi kepemilikan Skala Ordinal Ordinal rasio rasio rasio rasio rasio Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal rasio Ordinal 189 Indikator Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum Dan Permukiman Nanang Rianto Tabel 4. Matrik Pengumpulan data bagian kuesioner I (identitas umum responden) dan II (keterangan pembebasan lahan) No 1 2 3 Variabel Usia Responden Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir 4 Alamat saat ini 5 6 7 Lama tinggal di wilayah saat ini Sifat tempat tinggal saat ini Alamat sebelumnya 8 Lama tinggal di wilayah sebelumnya 9 Jumlah anggota keluarga dalam rumah sebelum lahan dibebaskan Jumlah anggota keluarga dalam rumah saat ini Alasan Pindah ke Tempat Saat ini Status tempat Tinggal anda saat ini 10 11 12 Data Primer Alat: Kuesioner Substansi: berkenaan dengan variasi umur responden, variasi jenis kelamin dan Variasi tingkat pendidikan responden Sampel: random warga umum atau purposive terhadap warga tertentu. Alat: Kuesioner Substansi: Alamat tempat tinggal setelah pembebasan lahan, jarak dari tempat sebelumnya, waktu menempati lahan/tempat tinggal baru, Sifat tempat tinggal pasca pembebasan lahan, alamat tempat tinggal sebelum pembebasan lahan, Kurun waktu menempati lahan/rumah tinggal sebelum pembebasan lahan Sampel: random warga umum atau purposive terhadap warga tertentu. Alat: Kuesioner Substansi: perubahan jumlah anggota keluarga, motif pemilihan tempat tinggal pasca pembebasan lahan, Ada tidaknya perubahan status kepemilikan tempat tinggal pasca pembebasan lahan Sampel: random warga umum atau purposive terhadap warga tertentu. Merujuk pada Parelius di atas, status sosial ekonomi dapat dilihat dari beberapa aspek. Pada umumnya terindikasi dari pendidikan dan/atau pekerjaan, dan/atau pendapatan serta kekayaan seseorang, baik secara terpisah ataupun bersama-sama. Apabila unit analisis kita rumah tangga, maka yang kerap digunakan sebagai patokan adalah pendidikan, pekerjaan, pendapatan serta kepemilikan keluarga. Dalam hal ini dimensi konsep status sosial ekonomi yang akan diukur adalah pendidikan, penghasilan, pekerjaan dan kepemilikan. 1. Pendidikan Pendidikan yang dimaksud disini adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran/pelatihan. 2. Pekerjaan Pekerjaan ialah pencaharian yang dijadikan pokok penghidupan atau sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Data Sekunder Substansi: Data penunjang berkenaan dengan demografi penduduk Sumber: Kecamatan dan kantor desa, Badan Statistik, Panitia pembebasan tanah Substansi: Data penunjang berkenaan dengan pembebasan lahan maupun relokasi. Sumber: Pers lokal, Kecamatan dan kantor desa, Panitia pembebasan tanah, laman internet Substansi: Data penunjang berkenaan dengan demografi penduduk Sumber: Kecamatan dan kantor desa, Badan Statistik, Panitia pembebasan tanah 3. Penghasilan/pengeluaran Penghasilan ialah proses, cara, perbuatan menghasilkan. Biasanya perolehan berupa uang. 4. Kepemilikan Kepemilikan berupa rumah dan harta benda yang dimiliki secara personal oleh seseorang. Aspek pendidikan dapat dilihat dari dapat berlangsung kembali atau tidaknya aktivitas pendidikan anak, ketercapaian pendidikan masyarakat seiring dengan pembangunan ke-PUan. Aspek pekerjaan dapat dilihat dari berlangsung atau tidaknya aktivitas pencarian nafkah oleh masyarakat, aspek penghasilan sudah sangat jelas karena akan dilihat dari besarnya penghasilan. Aspek kepemilikan sendiri merujuk pada harta yang dimiliki secara pribadi dalam satuan keluarga seperti rumah, telepon, dan sebagainya, artinya ada tidaknya serta baik buruknya harta yang dimiliki dapat menjadi patokan bagi kita untuk melihat status sosial ekonomi. 190 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 183-192 Dengan menggunakan konsep Status Sosial Ekonomi (SSE) yang merujuk pada keempat aspek atau salah satu dari aspek di atas dapat menjadi alat bantu yang akan memudahkan peneliti untuk dapat membedakan (memetakan) kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum dan setelah ganti rugi lahan/pembangunan ke-PU-an yang dilakukan. Indikator-indikator di atas sebenarnya hampir sama dengan dimensi dan indikator yang dikembangkan oleh BPS untuk mengukur tingkat ekonomi penduduk. Hanya saja, demi relevansi kajian dengan sektor ke-PU-an, pengukuran variabel kondisi ekonomi dibuat lebih sederhana berdasarkan empat dimensi di atas. Selain itu perlu ditegaskan bahwa dalam kajian ini kondisi ekonomi yang diukur merupakan kondisi ekonomi rumah tangga dan bukan ukuran ekonomi regional. Tim peneliti memutuskan untuk menggunakan ukuran ekonomi rumah tangga dengan pertimbangan bahwa pada level tersebut ekonomi penduduk lebih dipengaruhi oleh pembangunan ke-PU-an dibandingkan pada level ekonomi regional yang rentan dipengaruhi variabel ekonomi makro lainnya sebagai variabel kontrol. Selain itu penggunaan sampel gampong atau desa dalam kajian ini cukup menyulitkan apabila harus disimpulkan di tingkat ekonomi regional. Setelah melakukan identifikasi variabel dan mengoperasionalisasikan beberapa konsep yang ada, kemudian dilakukan klasifikasi variabel untuk menentukan nilai masing-masing variabel. Secara umum kuesioner yang dibuat terbagi menjadi tiga bagian, yakni: 1) identitas umum responden; 2) keterangan pembebasan lahan; 3) perubahan tingkat kesejahteraan. Pada bagian I dan II sebagai keterangan umum ditentukan cara pengumpulan data dan substansi data yang diperlukan untuk mengisi variabel –variabel yang telah ditentukan (lihat tabel 4). Selesai menentukan nilai masing-masing variabel kemudian dilakukan pembobotan terhadap variabel-variabel yang ada. Pembobotan ini penting untuk mengkonversi atau mengolah data kuesioner menjadi hasil akhir yang merepresentasikan nilai perubahan kesejahteraan. Terkait dengan pembobotan, maka bagian dari instrumen yang akan dibobot adalah bagian III mengenai perubahan tingkat kesejahteraan. Sementara bagian I mengenai identitas responden dan bagian II mengenai keterangan pembebasan lahan akan digunakan sebagai pelengkap (variabel independen) untuk dianalisa tabel silang (crosstab) dengan tingkat kesejahteraan. Analisa tabel silang tersebut akan memberikan penjelasan mengenai beberapa hal yang mempengaruhi perubahan tingkat kesejahteraan. KESIMPULAN Dari hasil kajian, bisa disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat pasca pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur adalah: 1) Pendapatan; 2) pengeluaran; 3) akses wilayah ke tempat perekonomian; 4) akses ke pelayanan publik. Proses pembuatan instrumen secara umum dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yakni: 1) mendefinisikan konsep kesejahteraan; 2) membuat kerangka konseptual dan mengidentifikasi variabel-variabel yang relevan; 3) membuat matrik pengumpulan data, mengklasifikasi variabel dan menentukan nilai serta bobotnya. DAFTAR PUSTAKA Parelius, J and A. Parelius. 1987. The Sociology of Education. 2nd ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hal Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Taneko, Soleman B. 1987. Hukum Adat : Suatu Pengantar Awal Dan Prediksi Masa Mendatang. Bandung: Eresco, Syafni, Rian. 2008. Tesis: Pandangan Masyarakat terhadapUsaha Perbaikan Permukiman Kumuh. Institut Teknologi Bandung. Pramdani, Amy. 2007. Tesis: Kajian Perubahan Taraf Hidup Rumah Tangga Pasca Relokasi Permukiman Penduduk Bantaran Sungai Mumus Samarinda. Institut Teknologi Bandung Ritahardoyo, Su. Perubahan Pemilikan Lahan dan Pendapatan Masyarakat Akibat Pembangunan: Studi Kasus Masyarakat Tergusur Pembangunan Waduk Sermo di Desa Hargowilis Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo. Majalah Geografi Indonesia Vol 13, Nomor 2, Sept 1999 hlm 103-117. Segal, E. & Bruzy, S. 1998. Social welfare policy, programs, and practice. Itasca, IL: Peacock Komisi Infrastruktur Kadin. 2009. Percepatan dan Pembangunan Infrastruktur 20092014. Disampaikan dalam National Summit 29-30 Oktober. Jakarta. 191 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 183-192 Tabel 5. Pembobotan/Skoring Tingkat Kesejahteraan (Aspek Sosial-Ekonomi) dengan 5 Skala NO VARIABEL KLASIFIKASI VARIABEL 5 1 Pendapatan & Pekerjaan Jenis Pekerjaan 4 % BOBOT 3 2 1 Pekerjaan tetap dari 1 anggota keluarga dan tidak ada pekerjaan sampingan Pendapatan tetap dari 1 anggota keluarga dan tidak ada Pendapatan sampingan 1 – 2 juta Pekerjaan tidak tetap lebih dari 1 anggota keluarga Pendapatan tidak tetap lebih dari 1 anggota keluarga 500rb – 1 juta Pekerjaan tidak tetap hanya dari 1 anggota keluarga saja Pendapatan tidak tetap hanya dari 1 anggota keluarga saja Kurang dari 500 rb 40% Jenis Pendapatan Pendapatan tetap lebih dari 1 anggota keluarga Pendapatan Total Pengeluaran Total Pengeluaran Pengeluaran konsumsi bahan makanan Kepemilikan Asset Status kepemilikan rumah Lebih dari 3 juta Pekerjaan tetap dari 1 anggota keluarga dan ada pekerjaan sampingan Pendapatan tetap dari 1 anggota keluarga dan ada Pendapatan sampingan 2– 3 juta Lebih dari 3 juta < 50% 2– 3 juta 50 - 60% 1 – 2 juta 60-75% 500rb – 1 juta 76 – 90% Kurang dari 500 rb 90-100% Milik Sendiri Jenis Kepemilikan Asset tetap Memiliki semua asset terdaftar di kuesioner 4 Akses wilayah Jarak <10km dengan waktu tempuh <30 menit Milik Sendiri (dalam proses kredit) Memiliki Rumah/ tanah dan nilai asset lainnya >Rp 10 juta Jarak <10 km dengan waktu tempuh >30 menit Sewa/ Kontrak rumah permanen Memiliki Rumah/ tanah, dan nilai asset lainnya s.d Rp 10 juta Jarak 10-30 km dengan waktu tempuh s.d 1 jam Sewa/ Kontrak rumah non permanen Tidak memiliki Rumah/ tanah, tetapi memiliki nilai asset lainnya > Rp 10 juta Jarak 10-30 km dengan waktu tempuh > 1 jam Pinjam pakai/ menumpang di rumah orang lain Tidak memiliki Rumah/ tanah, dan hanya memiliki asset <Rp 10 juta Jarak lebih dari 30 km dan waktu tempuh >1 jam 5 Bank Kawasan Industri menengah/besar Jalur transportasi Pasar tradisional Pasar Modern Lokasi Kerja Akses ke Pelayanan Publik Jarak <10km dengan waktu tempuh <30 menit Jarak <10 km dengan waktu tempuh >30 menit Jarak 10-30 km dengan waktu tempuh s.d 1 jam Jarak 10-30 km dengan waktu tempuh > 1 jam Jarak lebih dari 30 km dan waktu tempuh >1 jam 2 3 Kantor Kelurahan/Desa Kantor Kecamatan Kantor Dinas Pemerintahan Puskesmas Rumah Sakit Pemerintah Sekolah Pekerjaan tetap lebih dari 1 anggota keluarga 20% 20% 10% 10% TOTAL Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 183-192 183