BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik

advertisement
15 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bahan Organik Tanah
Bahan organik meliputi semua bahan yang berasal dari jasad hidup, baik
tumbuhan maupun hewan. Bahan organik tanah (BOT) merupakan kumpulan
senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses
dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi, maupun senyawa-senyawa
anorganik hasil mineralisasi (Hanafiah, 2005). BOT menyusun sekitar 3-5 %
bobot total tanah. Sumber primer bahan organik di dalam tanah berasal dari
jaringan tanaman berupa akar, batang, daun, ranting, bunga dan buah. Tanaman
merupakan sumber primer bahan organik tidak hanya kepada tanah, tetapi juga
kepada semua ekosistem makhluk hidup (Lengkong dan Kawulusan, 2008).
Karakteristik BOT dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kondisi lingkungan dan
aktivitas mikrob (Stevenson, 1996 dalam Zsolnay et al., 2006).
BOT mempengaruhi sifat kimia dan kesuburan tanah karena perannya
sebagai penyedia unsur hara kepada tanah dan tanaman melalui proses
dekomposisi-mineralisasi dan pelapukan mineral oleh senyawa asam organik.
Pada saat proses mineralisasi akan dilepas unsur hara yang dibutuhkan oleh
tanaman, seperti N, P, K, Ca, Mg dan unsur-unsur lainnya (Hanafiah, 2005),
sedangkan penyediaan unsur hara melalui pelapukan mineral dilakukan oleh
senyawa asam organik melalui proses acidolysis dan complexolysis (Ismangil dan
Hanudin, 2005). Proses pelapukan mineral secara alamiah pada umumnya terjadi
melalui reaksi hydrolysis oleh air, namun proses pelapukan itu dapat lebih intensif
dengan keberadaan dari asam-asam organik. Air yang bertindak sebagai pelarut
asam-asam organik memiliki kemampuan untuk membantu aktivitas pelapukan
secara acidolysis dan complexolysis. Pada proses acidolysis pelarut air akan
melepaskan proton (H+) dari senyawa asam organik BOT yang berfungsi dalam
menyerang atau mendegradasi batuan mineral, sedangkan anion-anion yang
terlepas melalui pelarutan ini akan membentuk ikatan kompleks dengan kation-
16 kation mudah terjerap, seperti Al dan Fe, sehingga terjadilah pengkhelatan melalui
proses complexolysis (Ismangil dan Hanudin, 2005).
Sifat dan struktur senyawa organik ini ditentukan oleh susunan atom atau
kelompok atom tertentu yang disebut gugus fungsional. Senyawa-senyawa yang
mempunyai gugus fungsi yang sama digolongkan dalam kelompok yang sama.
Gugus fungsional bahan organik merupakan bagian yang paling reaktif jika
senyawa tersebut bereaksi dengan zat lain (Sukarmin, 2004). Komposisi gugus
fungsional yang menyusun suatu bahan menentukan produktifitas dari senyawa
asam organik dan karakteristiknya. Sifat-sifat asam organik yang berperan penting
dalam pelarutan mineral ditentukan oleh gugus fungsi karboksil (-COO) dan
gugus fenolat (-OH) (Ismangil dan Hanudin, 2005). Metode FTIR Spektroskopi
digunakan untuk mengidentifikasi struktur kimia dan jenis gugus fungsional pada
suatu senyawa organik. Suatu senyawa organik dapat menyerap radiasi dengan
panjang gelombang tertentu bergantung kepada strukturnya (Anam et al., 2007).
2.2
Senyawa Organik Larut Air
Ekstraksi bahan organik dengan menggunakan air akan menghasilkan
Water Extractable Organic Matter (WEOM) atau senyawa organik larut air
(SOLA). Fraksi SOLA merupakan bagian dari bahan organik terlarut atau
dissolved organic matter (DOM). SOLA didefinisikan sebagai bagian dari bahan
organik terlarut (DOM) yang dapat melewati saringan membran berukuran 0,45
µm (Zsolnay, 2003) dan memiliki campuran molekul yang heterogen dengan
ukuran molekul yang berbeda-beda dan kompleks, berkisar dari ukuran molekul
gula sederhana dan asam organik hingga koloid humat yang relatif lebih besar dan
berat (Traversa et al., 2010). Contoh dari SOLA diantaranya adalah berbagai
asam-asam organik seperti asam format, asam asetat, asam askorbat, asam vanilat,
aspartat, sitrat dan lain-lainnya (Ismangil dan Hanudin, 2005).
SOLA berperan sangat penting di dalam tanah, diantaranya sebagai
sumber karbon bagi mikrob, translokasi ion-ion Fe dan Al, transport polutan atau
bahan pencemar dalam tanah, sumber kemasaman untuk proses pembentukan
tanah dan siklus unsur hara di dalam tanah (Michel et al., 2006). Karakteristik
SOLA dipengaruhi oleh pH, aktivitas mikrob, penggunaan lahan, ionic strength
17 dari air dan kemampuan bahan organik padat untuk melarut dalam air (Chantigny,
2003).
Dissolved Organic Carbon (DOC) atau karbon organik terlarut merupakan
fraksi senyawa karbon dari SOLA. DOC berperan dalam menentukan aktivitas
mikroorganisme melalui suplai karbonnya (Neff dan Asner, 2006 dalam
Undurraga et al., 2009) dan distribusi karbon ke seluruh horizon tanah (Fujii et
al., 2009). Ketersediaan DOC dipengaruhi kadar bahan organik tanah, pH, curah
hujan dan tipe penggunaan lahan. Kadar DOC lebih tinggi pada ekosistem hutan
dibandingkan pada lahan pertanian (Chantigny, 2003). DOC banyak bersumber
dari horizon O di dalam tanah pada ekosistem yang masih alami seperti hutan
tropis (Michel et al., 2006), meskipun ketersediaan DOC yang sebenarnya pada
tanah tropis tetap rendah karena terdapat pengaruh pencucian oleh air hujan (Zech
et al., 1997). Pencucian oleh air hujan merupakan proses penting sebagai
transportasi DOC dari horizon O menuju horizon mineral di bawahnya (Fujii et
al., 2009).
2.3
Karakteristik Tanah Gambut di Indonesia dan Gambut Rawa Pening
Tanah gambut merupakan tanah yang bahan penyusunnya didominasi oleh
bahan organik, yaitu sebesar 85 % (Wijaya Adhi, 1988 dalam Barchia, 2006) dan
terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman, baik yang telah mengalami pelapukan,
maupun yang belum (Agus dan Subiksa, 2008). Dominasi bahan organik sebagai
penyusun pada tanah gambut terlihat dari kadar C-organik dan N-total yang
tinggi. Menurut Barchia (2006) kadar C-organik pada tanah gambut Indonesia
sebesar 57,23 %, sedangkan kadar N-total sebesar 1,2 % hingga 1,8 %.
Gambut di Indonesia pada umumnya tersusun dari bahan yang berasal dari
tanaman kayu-kayuan yang memiliki kadar lignin tinggi. Lignin merupakan bahan
yang resisten terhadap pelapukan, sehingga bahan ini lambat terdekomposisi.
Keberadaan bahan yang mengandung lignin tinggi menyebabkan gambut
Indonesia memiliki karakteristik pH yang sangat masam. Sifat masam ini berasal
dari asam-asam organik hasil dari aktivitas dekomposisi. Menurut Agus dan
Subiksa (2008) pH tanah gambut di Indonesia secara umum berkisar antara 3-5.
Pada tanah gambut oligotrofik yang terdapat di Kalimantan, nilai pH dapat
18 berkisar antara 3,25 hingga 3,60 (Halim, 1987 dalam Barchia, 2006), sedangkan
tanah gambut Sumatera memiliki pH yang sedikit lebih tinggi yaitu sekitar 4,14,3 (Agus dan Subiksa, 2006).
Tanah gambut memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi.
Menurut Kussow (1971 dalam Barchia, 2006) KTK tanah gambut dapat berkisar
antara 100 hingga 300 me/100 gram. Kandungan hara pada tanah gambut
umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah (Tabel 1) sehingga dapat
menyebabkan gejala defisiensi pada tanaman.
Tabel 1. Kandungan Unsur Hara Pada Tanah Gambut
Ca
Mg
K
Na
Cu
Zn
Mn
Fe
-1
-------------------me 100 g ------------ -------------------ppm-------------------2,5
0,53
0,2
1,88
0,5
1,6
1,4
8,9
Sumber : Sabiham dan Ismangun (1977 dalam Barchia, 2006)
Keberadaan gugus fenolat (-OH) dan karboksil (-COOH) menyebabkan
sifat hidrofilik pada tanah gambut. Kedua gugus tersebut berperan dalam
peningkatan penyerapan air karena sifatnya yang polar, sehingga bereaksi kuat
dengan air. Menurunnya kapasitas tanah gambut dalam menyerap air berkaitan
dengan penurunan kualitas kedua gugus fungsi tersebut akibat pengeringan
(Dikas, 2010).
Gambut Rawa Pening merupakan gambut yang berkembang di kawasan
Rawa Pening, Jawa Tengah bagian utara. Rawa Pening daerah tempat
berkembangnya gambut ini merupakan daerah rawa dengan ekosistem
phytoplankton yang tinggi hingga mencapai 103 spesies (Goltenboth dan
Timothius, 1992). Permukaan rawa ditutupi oleh vegetasi pakis dan eceng
gondok, sedangkan bagian bawah rawa ditumbuhi Hydrilla verticilata (Hastuti,
1999). Karakteristik gambut Rawa Pening adalah bahan gambutnya yang berasal
dari tanaman non-kayu, sehingga memiliki pH yang tidak terlalu masam. Menurut
Kristijono (2010) pH tanah gambut Rawa Pening sebesar 5 hingga 5,5, sedangkan
menurut Nuryani et al. (1999) pH gambut ini senilai 4,89. Gambut ini
mengandung sedikit abu volkan karena sebelum terbentuk daerah rawa tempat ini
merupakan hutan lebat yang mendapat timbunan abu volkan gunung berapi
(Hastuti, 1999).
19 2.4
Karakteristik Serasah Pinus Gunung Walat
Serasah pada ekosistem hutan memegang peranan penting dalam siklus
unsur hara antara tanah dan tanaman karena serasah yang jatuh ke lantai hutan
akan melepaskan unsur-unsur hara melalui proses dekomposisi dan mineralisasi,
sehingga ekosistem sekitarnya menjadi subur (Nilamsari, 2000). Serasah pinus
merupakan bahan organik dengan karakteristik kandungan lignin yang tinggi dan
bersifat asam. Nisbah C/N yang tinggi membuat serasah pinus sulit
terdekomposisi (Mindawati et al., 1998 dalam Nilamsari, 2000).
Serasah pada hutan pinus Gunung Walat umumnya didominasi oleh
hancuran bahan berupa daun pinus daripada bagian tanaman lainnya (Nilamsari,
2000). Penelitian yang dilakukan Komaryati et al. (2002) menunjukkan
karakteristik yang dimiliki serasah pinus Gunung Walat (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik Serasah Pinus Gunung Walat
Kadar Air Lignin
C
N
P
K
Ca
Mg
pH
C/N
-----------------------------------------%---------------------------------4,3
23,11
39,8
51,46 0,47 0,19 0,15 2,97 0,37 109,49
Sumber : Komaryati et al. (2002)
2.5
Karakteristik Limbah Cair Kelapa Sawit
Limbah cair pabrik kelapa sawit atau dikenal dengan palm oil mill effluent
(POME) merupakan hasil sampingan dari pengolahan tandan buah segar kelapa
sawit menjadi minyak sawit kasar (Hasanah, 2011). Limbah cair ini berasal dari
sludge water, air kondensat (sterilizer condensate), air hidrocylicone (claybath)
atau bak pemisah lumpur, air cucian pabrik dan lain sebagainya (Naibaho, 1998).
Limbah cair kelapa sawit memiliki karakteristik umum berwarna coklat
pekat, terdiri dari padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan minyak yang
bersifat asam dengan tingkat COD dan BOD yang tinggi. Komposisi limbah ini
terdiri dari 95 % cairan, 4,5 % berupa padatan yang tersuspensi dan 0,5 % berupa
minyak yang teremulsi. Padatan terlarut dalam limbah cair kelapa sawit
merupakan senyawa organik seperti selulosa, lemak, protein atau mikroorganisme
seperti bakteri dan alga yang tersuspensi dalam larutan (Ahmad et al., 2011).
20 Karakteristik limbah cair kelapa sawit (Tabel 3) yang menunjukkan
tingginya BOD dan COD berpotensi menimbulkan pencemaran terhadap
lingkungan. Sebesar 76 % porsi BOD ini berasal dari padatan tersuspensi dan
sebesar 22,4 % berasal dari padatan terlarut (Manurung, 2004).
Tabel 3. Karakteristik Limbah Cair Kelapa Sawit
BOD
COD
N
P
K
Mg
K
Fe
pH
---------------------------------------------mg/l----------------------------------------4,3
25.000
55.000
700
120
1.500
270
325
110
Sumber : Manurung, (2004)
Pengolahan limbah kelapa sawit menggunakan sistem parit yang dialirkan
menuju kolam pengutipan (deoling pond) untuk kemudian mengalami degradasi
pada kolam pengasaman (Hanum, 2009). Pada proses degradasi limbah kelapa
sawit, senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalamnya seperti
karbohidrat, lemak dan minyak mengalami degradasi oleh mikrob (Ahmad et al.,
2011) dan dirombak menjadi senyawa-senyawa asam sederhana seperti asam
asetat, gas metana, karbon dioksida dan hidrogen sulfida untuk kemudian
dilepaskan ke lingkungan (Sihaloho, 2009).
Download