PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL (Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Oleh Mohalli NIM: 103033127754 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431/2010 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL (TELAAH KRITIS PEMIKIRAN MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat. Jakarta, 15 Juni 2010 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP:19610827199303031002 Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. NIP: 196808031994032002 Anggota, Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara, M.A. NIP: 195906111986031002 Drs. Nanang Tahqiq, M.A. NIP: 196602011991031001 PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL (Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Oleh: MOHALLI NIM: 103033127754 Di bawah Bimbingan Drs. Nanang Tahqiq, MA. NIP. 196602011991031001 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431/2010 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 31 Mei 2010 Mohalli ABSTRAKSI Mohalli Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal (Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr) Sejarah kehidupan masyarakat selalu dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan tatanan yang harmonis, adil, makmur, dan sejahtera? Persoalan ini diupayakan sedemikian rupa oleh sistem sosial yang mengorganisasi kehidupan bersama baik di bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam sistem sosial, terdapat suprastruktur yang menjadi pandangan dunia seseorang serta dijadikan landasan bagi setiap tindakan. Ketika suprastruktur itu membeku sebagai sebuah keyakinan bersama disertai cita-cita yang ditetapkan di dalamnya, maka terbentuklah ideologi. Tujuan sistem sosial diperjuangkan dalam bingkai ideologi ini. Di dunia modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai yaitu liberalisme dan sosialisme. Akar liberalisme bisa dilacak dari pemikiran John Locke yang mengumandangkan hak individu atas kebebasan dan kekayaan (hak milik). Sistem sosial harus berlandaskan atas hak ini, menjaga dan melindunginya. Dalam masalah ekonomi, liberalisme kemudian percaya kepada sistem kapitalisme di mana individu bebas mengupayakan serta mengembangkan usahanya. Semakin individu didorong untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadi, maka kesejahteraan masyarakat akan semakin terjamin. Sedangkan sosialisme secara konseptual dapat ditelusuri dari pemikiran Karl Marx yang mencita-citakan masyarakat komunis, yakni masyarakat tanpa kelas. Komunisme menentang kepemilikan pribadi karena menjadi sumber dari munculnya kelas. Kesenjangan sosial dan berbagai konflik yang terjadi di dalamnya disebabkan oleh kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi. Karena itu, sarana produksi harus dipindahkan menjadi milik bersama, dikerjakan dan dinikmati bersama sehingga tidak ada lagi pertentangan kelas. Akan tetapi, baik liberalisme maupun sosialisme menurut Muhammad Baqîr al-Shadr sama-sama menemui kegagalan. Dia mengeritik kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme karena membelenggu dan menutup peluang orang miskin untuk mendapatkan kekayaan. Sementara para pemilik modal cukup dimanjakan sehingga berlaku ungkapan “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Demikian pula dengan sosialisme-komunisme di mana cita-citanya hanya utopia belaka karena bertentangan dengan kodrat manusia yang cenderung ingin memiliki sesuatu, apalagi dalam masyarakat materialis. Baqîr al-Shadr kemudian mengajukan sistem sosial yang berlandaskan atas tauhid (pengesaan Tuhan). Penelitian ini ingin menelusuri bagaimana peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr alShadr. Melalui pembacaan kritis terhadap karyanya, dapat dikemukakan bahwa peran tauhid cukup signifikan sekali. Dalam tauhid terkandung nilai-nilai seperti kebebasan, keadilan dan persamaan yang akan mengantarkan masyarakat pada cita-cita kehidupan. Bahkan dia meyakini bahwa tujuan kehidupan sosial tidak akan pernah tercapai kecuali di bawah eksistensi Islam. i ii KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis dengan judul “Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal )Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr(”. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak kekurangan di dalam penulisan sehingga penulis membutuhkan masukan, saran atau kritik dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi dapat terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar dan bijak terus membimbing, menasehati, dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya yang terbaik. 2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils. selaku ketua jurusan Aqidah Filsafat, dan Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. sebagai sekretaris ii iii jurusan Aqidah Filsafat beserta seluruh staf pengajar di jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ayahanda H. Ahmad dan Ibunda Hj. Rafi„ah, terima kasih atas kasih sayang, bimbingan, dan motivasi yang tak kenal henti sehingga penulis mampu mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal masa depan. Sebagai wujud terima kasih, penulis persembahkan skripsi ini untuk mereka berdua. Doa mereka senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Terima kasih pula untuk kak Fauzi dan kak As‟adi yang terus memberikan semangat dan bantuan moril maupun materil bagi penulis. 4. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Indonesian Culture Academy (INCA) terutama Subairi, Fakhru, dan Rosi atas semangat, bantuan, dan diskusinya yang menggelora. Terima kasih kepada Mawardi atas “curhat” dan masukannya yang cukup berarti dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa terima kasih kepada sahabat abadi Guno dan adik Wardi yang selalu ada untuk penulis. Ali Chemal (ditunggu skripsinya), Ramfalak, Syafa‟at dan teman-teman yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segalanya. 5. Terima kasih kepada kakanda dan teman-teman Madura terutama kak Adi, kak Nabil, kak Idris, kak Fathur, kak Mahrus, bung Ozan, dan kek Faisal yang telah memberikan motivasi, masukan, dan iv bantuannya. Penulis selalu membutuhkan serta merindukan arti dari pergulatan ini. Terima kasih pula kepada kawan-kawan FORMAD; Jakfar, Anis, Muhdhari, Laili, Abdi, Wafa, Wasil, Rahmatun dan teman-teman di Masjid Al-Husaini, Rusun, dan lainnya. 6. Terima kasih kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam khususnya KOMFUF; Kak Asy‟ari, Su‟udi, Fikri, Fahmi, Guruh, Andi, Akib, Arma, Ay Sumiyati, Syifa, dan Mona. Teman-teman KOMTAR; Ikhwan, Irma dan Risfa, dan teman-teman komunitas Aqidah Filsafat; Dedi, Ali Makmur, dan Eli (ditunggu skripsinya), Bana (kuliah yang benar), Euis, Mu‟is, Anwar, Nanang, Riyan, Reza, Dhani, Dita dan Uphie (terima kasih atas inspirasinya). Tak lupa kepada Intan Latifah, Ibell dan semua teman-teman yang telah mengisi dan menghiasi kisah perjalanan hidup penulis. Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Akhirnya, penulis memohon kepada Allah semoga senantiasa membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Âmîn! Jakarta, 30 Mei 2010 Penulis v DATAR ISI ABSTRAK ………………………………………………………………………. i KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. v PEDOMAN TRANSLITERASI ..……………………………………………. vii BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………….. 11 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………............................................. 11 D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ………………………………. 12 E. Sistematika Penulisan …………………………………………………... 12 BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR …………………..14 A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial …………………………….. 14 B. Karya Tulis ……………………………………………………………... 19 C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran ……………………………….. 26 BAB III SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA ……………….. 36 A. Teori Sistem Sosial …………………………………………………….. 36 B. Masalah Utama Sistem Sosial ………………………………………….. 38 C. Masalah Keadilan ………………………………………………………. 42 1. Liberalisme ……………………………………………………... 44 2. Sosialisme ……………………………………………………… 48 D. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme ………………………….. 51 BAB IV PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL …………………………………………………………………………. 56 A. Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr………………………………………. 56 1. Tauhid ………………………………………………………….. 57 v vi 2. Tuhan sebagai Pusat Realitas ………………………………….. 62 B. Tauhid dan Kebebasan ………………………………………………… 64 1. Kemerdekaan Pribadi …………………………………………... 66 2. Kemerdekaan Sosial ……………………………………………. 69 C. Tauhid dan Keadilan …………………………………………………… 73 D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial ………………………………………. 79 E. Catatan Kritis …………………………………………………………... 82 BAB V PENUTUP …………………………………………………………….. 87 A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 87 B. Saran-saran ……………………………………………………………... 89 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 91 PEDOMAN TRANSLITERASI = a = f = b = q = t = k = ts = l = j = m = h = n = kh = w = d = h = dz = ’ = r = y = z = s = sy = â = sh = î = dh = û = th = aw = zh = ay = ‘ = gh Untuk Madd dan Diftong vii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu karakteristik pengetahuan dalam Islam adalah meyakini bahwa Tuhan merupakan Realitas Pertama yang menjadi sumber realitas, baik material maupun imaterial atau fisik dan non-fisik, yang keberadaan-Nya tidak bergantung kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya (wâjib al-wujûd). Ia niscaya dalam Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain tidak dapat eksis tanpa menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya tidak niscaya melainkan hanyalah mungkin (mumkin al-wujûd).1 Oleh sebab itu, ontologi dalam Islam mengambil bentuk metafisika2 di mana Tuhan menjadi Sebab Final atau Sebab Pertama (Prima Causa) segala sesuatu. Bagian pertama dari kesaksian iman Islam lâ ilâha illâ Allâh (Tiada Tuhan Selain Allah) menjadi prinsip dasar bahwa Tuhan satu dan niscaya dalam esensiNya, dalam nama-nama dan sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Dengan demikian, konsekuensi dari kesaksian tauhid ini adalah mengakui semua realitas tidak ada, dan hanya ada karena Realitas Tuhan. Semua penyelidikan pengetahuan dalam Islam harus berada dalam bingkai ini sebab semua realitas ketika memanifestasikan diri tidak bisa mengingkari asal-usul metafisiknya, yaitu 1 Murtadhâ Muthahharî, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Husain al-Habsyi dkk, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 351-377. 2 Dalam falsafat, penyelidikan tentang Tuhan disebut metafisika khusus yang dibedakan dari metafisika umum yang membahas mengenai “ada” pada umumnya (ontologi). Lihat Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 18. 1 2 Tuhan.3 Hal ini ditegaskan al-Qur‟ân dalam QS. 21: 22 bahwa “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha Suci Allah yang memiliki Arasy dari apa yang mereka sifatkan. Karena itu, kesaksian tauhid menjadi pernyataan pengetahuan pertama tentang realitas. Walaupun demikian, bukan berarti pengetahuan dalam Islam mengesampingkan sama sekali prosedur ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Penyelidikan ilmiah dengan metode eksperimentasi dan observasi dengan menggunakan penalaran induktif sudah dikenal sebelum Roger Bacon memerkenalkan metode eksperimentasi ke dunia sains Eropa. Para ilmuwan Muslim semisal al-Râzî, Ibn Sînâ, al-Bîrûnî, Ibn Haytsâm, al-Zahrawî, dan lain sebagainya dikenal dengan kekuatan observasi dan eksperimentasinya dalam kajian ilmu alam termasuk kedokteran.4 Hal ini disebabkan karena realitas material juga harus dikuasai dan dipahami oleh umat Islam selain realitas metafisik. Tetapi umat Islam tidak mengandalkan penyelidikan itu pada penyelidikan ilmiah saja. Al-Qur‟ân, sebagai sumber pengetahuan, menghimbau kepada umat Islam untuk mengamati tanda-tanda Tuhan yang termanifestasi di alam semesta, jiwajiwa manusia, dan ruang-ruang lain yang tidak terdeteksi secara empiris. Ini mengandung arti bahwa model penyelidikan berbeda-beda satu sama lain, yakni tajrîbî (eksperimen) untuk objek fisik, burhânî (demonstratif atau rasional) untuk 3 Osman Bakar, Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 12. 4 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Tangerang: UIN Jakarta, 2003), h. 12-13. 3 matematika dan objek metafisik, dan ‘irfânî (intuitif).5 Kenyataan ini sekaligus berbeda dari epistemologi Barat modern, khususnya materialisme, yang menganggap objek material sebagai satu-satunya realitas objektif yang absah dalam penyelidikan pengetahuan seraya menafikan objek metafisik. Tidak hanya itu, materialisme bahkan menganggap pemikiran metafisika sebagai takhayul belaka serta tidak memunyai landasan dasar yang kokoh. Di Barat, semangat ilmiah dengan penolakan terhadap berbagai bentuk tradisi dan dogma mengejawantah dalam aliran positivisme pada abad 19 yang diwakili oleh Saint-Simon dan Auguste Comte dalam bidang ilmu sosial. Positivisme menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris disertai penolakan atas wahyu sebagai sumber pengetahuan. Dalam menyelidiki objek sosial, Comte menerapkan metode penelitian empiris yang meliputi pengamatan, eksperimen, dan komparasi. Hasil penyelidikan empiris Comte tentang dinamika kemajuan sosial dikenal sebagai hukum tiga tahap yang menyatakan bahwa masyarakat berkembang dari tahap teologis, metafisik, dan terakhir positivis.6 Positivisme menjadi tahap terakhir perkembangan manusia di mana akal manusia tidak lagi memercayai takhayul, pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta melainkan pada data empiris dan hasil ilmu pengetahuan. 5 Pendekatan ‘irfânî digunakan untuk seluruh objek pengetahuan. Akan tetapi, secara ontologis, kaum ‘irfân berbeda dari para failasuf dalam memandang realitas beserta pendekatannya. Failasuf menganggap bahwa Tuhan maupun benda sama-sama objektif (absah dijadikan objek penyelidikan pengetahuan) dengan perbedaan bahwa jika Tuhan adalah wâjib alwujûd dan ada dengan sendiri-Nya maka benda-benda selain Tuhan hanyalah ada karena sesuatu yang lain atau akibat dari wâjib al-wujûd. Sementara kaum ‘irfân menganggap bahwa tidak ada tempat bagi sesuatu selain Tuhan yang ada di sisi-Nya meski ia adalah akibat dari Tuhan. Jika alat failasuf adalah akal, logika, dan deduksi maka alat seorang ‘ârif (sebutan subjek ‘irfân) adalah hati, usaha hati, penyucian dan disiplin diri serta dinamisme batin. Lihat, Murtadhâ Muthahharî, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h.377-378. 6 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terj. M.Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 82-86. 4 Kenyataan di atas menunjukkan bahwa mayoritas pergulatan pemikiran Barat pasca Renaisans bermuara pada matinya metafisika sebagai objek dan bahan penyelidikan. Serangan paling telak ditunjukkan oleh kalangan materialisme dalam bidang falsafat yang menganggap realitas material sebagai satu-satunya realitas objektif. Bahkan, sebagaimana materialisme dialektik dalam Marxisme, akal atau pikiran manusia dianggap bagian dari materi.7 Dalam artian bahwa pikiran merupakan bagian dari alam atau produk alam dan ekspresi tertinggi tentangnya. Ini disebabkan manusia adalah produk alam, maka pikiran juga bagian dan produk alam. Karena itu, akal tidak dapat merefleksikan pengetahuan apapun di luar objek material seperti objek metafisik. Dalam falsafatnya, Marxisme menerapkan metode dialektika terhadap objek material termasuk manusia (materialisme dialektis) yang diklaim sebagai pendekatan objektif dalam menemukan hukum-hukum perkembangan alam, manusia, dan objek material lainnya. Dengan bersandar pada bangunan epistemologisnya, Marxisme berhasil melahirkan sistem ekonomi politik sosialisme-komunisme. Pandangan materialis ini menjalar ke aspek-aspek lain, seperti ke bidang sosial, ekonomi, dan politik, tidak terkecuali materialisme Karl Marx. Untuk bidang sosio-ekonomi, materialisme Karl Marx menjadi konsep sosialismekomunisme. Konsep ini berdiri dalam rangka penentangannya terhadap liberalisme yang di dalamnya bercokol sistem ekonomi kapitalisme. Sistem terakhir bisa dilacak secara konseptual dari pemikiran Bernard de Mandeville dan Adam Smith pada abad ke-18. Keduanya adalah pendukung „masyarakat pasar‟ 7 Frederick Engels, Anti-Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu Pengetahuan, terj. Oey Hay Djoen, (Bandung: Hasta Mitra & Ultimus, 2005), h. 51. 5 yang bercirikan pembagian kerja secara rasional dan terperinci, penghormatan hak milik pribadi, dan pengutamaan kepentingan pribadi.8 Menurut Smith, kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka panjang apabila individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) di mana individu secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik buat masyarakat dengan memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya sendiri.9 Sebuah hukum pasar yang didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton membawa implikasi kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan seminimal mungkin kontrol pemerintah atas pasar. Baik sosialisme komunisme maupun liberalisme merupakan manifestasi dari semangat zaman pasca Renaisans hingga Pencerahan yang dalam kerangka epistemologisnya menolak keabsahan metafisika sebagai objek penyelidikan ilmiah. Peradaban Barat modern disandarkan pada semangat ilmiah, empiris, positivis, dan rasional. Tak dapat dipungkiri semangat ilmiah tersebut pada dasarnya adalah sumbangan Islam. Peradaban Islam yang pada Abad Pertengahan mencapai puncak keemasan juga karena sains. Akan tetapi, sistem kepercayaan Islam tidak semata mengandalkan sains tetapi juga metafisika sebagaimana tertera dalam kitab suci al-Qur‟ân dan telah diterangkan di muka tentang penyelidikan digunakan Islam. Maka keliru bila kemunduran Islam dikarenakan metafisika. Justru terbukti pada suatu masa bahwa puncak keemasan peradaban Islam telah muncul dan berkembang maju di bawah nilai ajaran metafisika Islam. 8 9 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h.101-103. Doyle Paul Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern, h. 25-26. 6 Sejak lahir masa Renaisans di Italia pada abad ke-14 dengan semangat penghargaan kembali kepada kebudayaan pra-Kristiani Yunani dan Romawi yang membuka pandangan mereka tentang manusia, lahirlah humanisme dengan homo universale (manusia universal) sebagai cita-citanya. Humanisme menempatkan manusia ke dalam pusat dunia. Pandangan ini mereformasi total faham realitas teosentris abad pertengahan menjadi antroposentris dengan memusatkan manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan ciptaan lain.10 Dengan kata lain, ciri khas masa Renaisans adalah ditemukannya subjektivitas yang bertolak dari perubahan perspektif manusia yang fundamental. Kemudian, sebagai tanggapan terhadap humanisme yang sangat ekstrovert dan dinilai sekular, muncullah penentangan dan penolakan dari para pangeran dan kelas penguasa di kota-kota kaya seperti Firense, Genova, Vanesia dan juga terlebih pemimpin rohani Gereja Katolik, para uskup, dan Paus Roma. Akibatnya, hal ini malah melahirkan gerakan reformasi Kristen Protestan yang diprakarsai Martin Luther melawan pimpinan Gereja dan para penguasa dunia yang berkroni dengan Gereja, dengan memaklumatkan kebebasan orang Kristen. Di satu sisi, Luther menentang keduniawian dan antroposentrisme Renaisans yang bersifat Eropa Selatan dan sekularistik, mendikotomikan urusan dunia dan agama. Namun pada sisi lain, sebenarnya ia justru memantapkan antroposentrisme itu dengan menekankan kebebasan dan kesadaran hati religius sebagai ukuran dan dasar kepercayaan seseorang. Dalam pandangannya, manusia tidak dapat dipaksa untuk memercayai sesuatu. Hal ini terungkap dalam tuntutan 10 61. Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 7 bahwa setiap orang Kristiani berhak untuk membaca Kitab Suci, memahami serta menafsirkannya sendiri, dan bukan lagi menjadi hak para pemimpin Gereja semata.11 Ini adalah sebuah kebebasan untuk tidak memercayai sesuatu yang bertentangan dengan suara hati. Kebebasan yang mendorong subjektivitas sekular ke subjektivisme religius. Pandangan sekularistik masyarakat Eropa menyebabkan tersisihnya peran agama di wilayah publik dan sepenuhnya menjadi urusan pribadi (privat) belaka. Bahkan, sejarah „sakit‟ terjadi ketika muncul pertentangan antara ilmu pengetahuan objektif dan doktrin Gereja di mana para ilmuwan positivis mendapat inkuisisi seperti Galileo Galilei akibat penemuannya bertentangan dengan otoritas Gereja, akhirnya membuat masyarakat tidak memercayai doktrin agama. Hingga pada taraf tertentu, peradaban Barat dengan humanisme sekularnya menggilas kepercayaan teosentris seraya meyakini berpijarnya peradaban baru yang didasarkan pada rasionalitas dan semangat ilmiah. Peradaban tersebut mencapai puncaknya pada abad 18 dengan lahirnya sebuah gerakan zaman yang memengaruhi kehidupan ilmu pengetahuan, sosial, politik, dan budaya yang disebut zaman pencerahan atau (Jerman: Aufklärung, Inggris: Enlighment). Dalam sebuah majalah Berlinische Monasschrift, Desember 1784, Immanuel Kant menulis artikel dengan judul “Beantwortung der Frage: Was ist Aufklärung? (Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?) Tulisan itu secara tegas menegaskan ciri dari masyarakat pencerahan sebagai keluarnya anak dari kategori bawah umur ke kedewasaan. Kategori bawah umur berarti ketika 11 Ibid, h. 62. 8 seseorang tidak bisa atau tidak berani menggunakan akal budinya secara mandiri dan masih perlu bimbingan orang lain. Pencerahan ditandai oleh penggunaan akal budi seluas-luasnya dengan semboyan sapere aude! (beranilah berpikir sendiri).12 Dirayakannya akal budi sekaligus menandai keterpisahan manusia modern dari pandangan tradisional yang diliputi oleh kungkungan tradisi dan dogma. Sebagai gantinya, individu menjadi subjek otonom yang dewasa yang tidak bergantung lagi pada nilai dan norma apapun selain atas akal budinya. Selain itu, Immanuel Kant dalam bukunya Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas Rasio Murni) berhasil melakukan penyelidikan transendental atas asas-asas a priori dalam rasio yang berkaitan dengan objek dunia luar yang disebut syarat-syarat kemungkinan bagi pengetahuan. Dalam penyelidikannya, Kant menetapkan putusan sintetis apriori sebagai pengetahuan yang bersifat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Rumusan epistemologis Kant disebut revolusi Kopernikan karena pengetahuan sebelumnya mengandaikan bahwa subjek mengarahkan diri pada objek, padahal seharusnya, dengan forma apriori yang melekat pada subjek, objek mengarahkan diri pada subjek. Akibatnya, metafisika akan tercampakkan karena berada pada wilayah nomena atau das ding an sich (ada pada dirinya sendiri) sedangkan pengetahuan manusia hanya mampu menangkap wilayah fenomena (penampakan indrawi) saja.13 Dalam sejarah pemerintahan Islam, Nabi Muhammad telah berhasil membangun suatu tatanan negara baru di Madînah sebagai penentangan pada 12 A. Setyo Wibowo, “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan di Mata Kant dan Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF, Jakarta, 24 Septempber, 2007, h. 1-2. 13 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 133-145. 9 tatanan kaum Quraysy yang tidak beradab. Islam membentuk suatu komunitas yang berkuasa di Madînah dengan membina pemerintahan yang lebih berkembang di mana kaum Muslim dan non-Muslim digolongkan atas dasar kehidupan sosial yang umum.14 Karena dasar dibangun Rasulullah inilah, terutama dasar metafisika, Islam menguasai dunia hingga delapan abad. Baru pada akhir abad 16, pemerintahan dalam Islam mengalami kemunduran. Demikian pula pemikiran Islam dan ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan oleh orang Muslim. Maka tidak mengherankan apabila para pemikir modern dalam Islam seperti Jamâluddîn al-Afghânî dan sebagainya, mendiagnosis kemunduran Islam untuk kemudian melakukan analisis konstruktif dalam upaya membangun kembali peradaban yang telah rapuh bahkan hancur. Banyak tantangan mengemuka di tengah melakukan upaya itu, terutama konteks zaman di mana para pemikir pembaharu dihadapkan pada arus modernisasi yang menuntut pertemuan global dengan peradaban dan ideologi Barat. Akibatnya, mereka „dipaksa‟ menjawab tantangan tersebut tanpa tercerabut dari akar ideologisnya dengan cara menilainya dari perspektif Islam. Dalam bingkai inilah Muhammad Baqîr al-Shadr melakukan analisis spesifik terhadap sistem sosial yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadi sistem yang ideal. Menurutnya, persoalan paling mendesak untuk segera diselesaikan adalah persoalan sistem sosial yang di dalamnya terdapat suprastruktur nilai yang bisa membawa kesejahteraan bagi umat Islam dan manusia pada umumnya. Hal 14 Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, jil. I, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 256. 10 ini disebabkan sistem sosial yang ada yang disandarkan pada pandangan dunia (worldview) Barat gagal mewujudkan kesejahteraan. Berbeda dari Barat, pandangan dunia Islam yang didasarkan pada tauhid diyakini Muhammad Baqîr al-Shadr mampu menciptakan sistem sosial yang membawa kesejahteraan. Tauhid di sini dalam pengertian keyakinan dan kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah”. Pernyataan ini mengandung makna paling agung dan kaya dalam seluruh khazanah Islam. Semua keragaman, kebudayaan dan pengetahuan serta kebajikan dan peradaban dalam Islam diringkas dalam kalimat pendek lâ ilâha illâ Allâh.15 Karena itu, tauhid bagi Muhammad Baqîr al-Shadr adalah dasar pandangan hidup yang melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan yang memanifestasikan keesaan Allah. Tidak ada dualitas dan kontradiksi dalam jagad raya ini seperti manusia dan alam, ruh dan badan, kapitalis dan proletar apalagi meletakkannya dalam jalinan hirarkis antara superior dan inferior. Semuanya memunyai posisi sama dan setara di dalam sebuah sistem total yang terwujud dari keesaan Allah. Hanya Allah yang patut disembah, tempat segala sesuatu bergantung dan berserah diri. Selain Allah tidak layak dipertuhankan karena keberadaannya tidak mandiri. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal penyerahan kepada bentuk dan corak apapun selain kepada-Nya.16 Penyerahan dan ketundukan terhadap berhala, belenggu sosial, rezim yang korup, dan sebagainya dikatakan syirk (menyekutukan Allah). 15 Ismâ„îl Râjî al-Fârûqî, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 9. Muhammad Baqîr al-Shadr, Problem Masa Kini dan Problem Sosial, terj. M. Hashem, (Bandung: Pustaka), h. 128. 16 11 Dengan demikian, di dalam keyakinan tauhid terkandung spirit pembebasan yang akan mengangkat martabat manusia. Pembebasan dari berbagai macam perbudakan, tirani, hegemoni, kemiskinan, dan sebagainya sehingga tercipta kehidupan sosial yang merdeka, adil, dan sejahtera. Sebuah tatanan kehidupan yang selama ini menjadi tujuan dari sistem sosial. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Demi menjaga efektifitas agar pembahasan tetap terfokus pada persoalan, maka penulis membatasi pembahasan pada peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial yang ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr. Dengan pembatasan seperti itu, maka permasalahan yang akan menjadi objek dan fokus penulisan adalah: Bagaimana peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial yang ideal menurut Muhammad Baqîr al-Shadr? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami dan menguraikan secara rinci pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial yang ideal serta melakukan analisis kritis terhadapnya. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Mengetahui latar belakang Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal. 2. Mengetahuai faktor penyebab munculnya problem sistem sosial 12 3. Mengetahui peran tauhid dalam menjawab problem dalam sistem sosial 4. Mengetahui peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi pustaka (library research) terhadap karya-karya Muhammad Baqîr al-Shadr. Pengumpulan data diambil dan dipilih dari karya Muhammad Baqîr al-Shadr dan karya lain yang memiliki relevansi dengan uraian skripsi ini. Secara teknis, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial yang ideal. Teknik pengumpulan data dan pembahasan masalah dalam skripsi ini disesuaikan dengan standar Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi Tesis, dan Desertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance (CeQDa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara, teknik penulisan dalam skripsi ini berdasarkan pada panduan penulisan skripsi Fakultas Ushuluddin yang termuat dalam Pedoman Akademik 2006/2007. Sedangkan penulisan transliterasi menggunakan pedoman transliterasi penerbit buku Paramadina dengan perubahan pada huruf ض, dari /dl/ menjadi /dh/ dalam skripsi ini. E. Sistematika Penulisan Setelah dalam Bab I penulis memaparkan latar belakang masalah, pokokpokok masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada BAB II penulis 13 mencoba memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup Muhammad Baqîr alShadr mulai dari latar belakang sosial, perjalanan intelektual hingga hasil karya dan pengaruh pemikirannya. Pada BAB III, penulis akan membahas konsep sistem sosial dan beberapa persoalan terkait dengan sistem itu dalam masyarakat modern, baik yang terjadi pada masyarakat kapitalis maupun masyarakat yang berada di dalam bingkai sosialisme. Hal ini menjadi pijakan awal dari analisis selanjutnya di mana Muhammad Baqîr al-Shadr mengembangkan analisisnya dalam rangka melihat peran tauhid bagi terciptanya sistem sosial yang ideal. Sedangkan BAB IV yang menjadi pokok inti tulisan ini, penulis sudah masuk pada pembahasan tentang pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam menjawab problem sistem sosial masyarakat modern sekaligus dalam menciptakan sistem sosial yang ideal. Bab IV diawali dengan pandangan dunia (worldview) Islam. Pada sub pokok selanjutnya, akan dipaparkan kedudukan tauhid dalam Islam sebagai landasan hidup dan Tuhan sebagai pusat realitas. Selain itu, di bab IV akan dijelaskan peran tauhid dalam kemerdekaan dan keadilan. Dari kemerdekaan ini kemudian mengejawantah suatu pencapaian tujuan dari sistem sosial yakni kesejahteraan dan kebahagiaan. Sementara pada bab V penulis akan menyimpulkan dari seluruh bahasan dan masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran terkait peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial yang ideal. BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial Muhammad Baqîr al-Shadr al-Sayyid Haydar b. Ismâ„îl adalah seorang ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak. Dia lahir di Kazmain, Baghdad, pada 25 Zhû al-Qâ„dah 1353 H./1 Maret 1935 M. dari keluarga religius dan termasyhur. Ayahnya, Haydar al-Shadr, sangat dihormati dan merupakan alim Syî„ah peringkat tinggi. Garis keturunannya kembali ke Nabi Muhammad melalui imam Syî„ah yang ketujuh yaitu Mûsâ Kazhîm. Beberapa tokoh kenamaan juga lahir dari keluarganya seperti Sayyid Shadr al-Dîn al-Shadr, seorang marja‘1 di Qum, Iran; Muhammad al-Shadr, salah seorang pemimpin religius yang memainkan peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan mendirikan Haras al-Istiqlâl (Pengawal Kemerdekaan); dan Mûsâ al-Shadr, seorang pemimpin Syî„ah di Lebanon.2 Pada usia empat tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr kehilangan ayahnya dan kemudian diasuh oleh ibu dan kakak laki-lakinya, Ismâ„îl, yang juga seorang mujtahid3 kenamaan di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah tentang sejarah Islam dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia sudah mampu menangkap wacana teologis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku yang 1 Ulama yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syî„ah. Biografi Muhammad Baqîr al-Shadr ditulis dalam bukunya Falsafatunâ, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 11. 3 Orang alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim. 2 14 15 mengeritik para failasuf. Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan Ushûl ‘Ilm al-Fiqh (Asas-asas Ilmu tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam). Pada usia enam belas tahun, ia pergi ke Najaf untuk menempuh pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu Islam di Universitas Najaf al-Asyraf, Irak. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah eksiklopedia tentang Ushûl Ghâyah al-Fikr fî al-Ushûl (Pemikiran Puncak dalam ushûl). Karya ini hanya berhasil diterbitkan satu volume. Ketika usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar bahts al-kharîj (tahap akhir ushul) dan fiqh. Dan, pada usia tiga puluh tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr telah menjadi mujtahid. 4 Dunia karirnya tidak begitu gemilang kecuali sebagai pengajar, penceramah, dan penulis. Karena tulisannya banyak bersinggungan dengan masalah ekonomi, terutama Iqtishâdunâ yang banyak mengeritik Marxisme dan kapitalisme dengan mengajukan prinsip ekonomi Islam, ia kemudian sering dimintai konsultasi oleh berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan Islam. Ia juga ditugaskan oleh pemerintah Kuwait untuk menilai bagaimana kekayaan minyak negara dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu, ia juga diminta untuk membangun dan meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan bank-bank Islam modern. Sebagai seorang pemikir kontemporer terkemuka, Muhammad Baqîr alShadr melambungkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara tahun 1950-1980. Tulisannya sarat dengan makna dan muatan teologis-falsafatis yang kerap menyerang konsepsi falsafat Barat seraya mengajukan konsep Islam 4 Ibid, h. 12. 16 dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan.5 Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi Irak pasca terjadinya revolusi 1958, dalam rangka menentang pemerintahan monarki, berada dalam ketidakpastian yang dihantui oleh merebaknya berbagai pemikiran dengan tendensi ateisme. Pemikiran itu dianggap telah berusaha memengaruhi akal, emosi, dan naluri sehingga akan terjadi kehampaan pada Islam dan kaum Muslim. Kondisi itu pula yang menggugah beberapa ulama di Najaf al-Asyraf untuk menerbitkan majalah al-Adwa’ alIslâmiyyah di mana Muhammad Baqîr al-Shadr menjadi pimpinan dan tokoh yang paling menonjol. Kehadirannya diharapkan menjadi juru bicara Islam dalam menghadapi pelbagai penyimpangan pemikiran dan gerakan. 6 Hawzah7 ilmiah di Najaf al-Asyraf sadar bahwa keadaan itu memerlukan alat-alat baru di tengah pergulatan mengisi kekosongan pemikiran dalam rangka restrukturisasi dan reformulasi sistem yang lebih baik. Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan tokoh paling produktif menuangkan tulisannya di majalah tersebut sebagai suatu bentuk perjuangan pemikiran dan gerakan ideologis. Namun, dia tidak dapat melanjutkan aktivitas menulisnya di al-Adwa’ lantaran ada tekanan dari sentral kekuatan di hawzah ilmiah. Alasannya karena mereka khawatir akan adanya dampak negatif yang akan menimpa masa depannya di mana dia diharapkan menjadi pemangku jabatan sebagai pusat rujukan keagamaan (al-marja‘iyyah al-islâmiyyah). Alasan itu tak 5 Karya yang secara khusus dan sistematis mengeritik bangunan konseptual falsafat Barat bisa dilihat dalam Falsafatunâ. 6 Sayyid Muhammad Husayn Fadhlullah “Kata Pengantar” dalam Muhammad Baqîr alShadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Caff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 15-16. 7 Hawzah dalam pengertian bahasa berarti wilayah. Dalam konteks ini berarti wilayah yang dijadikan pusat pendidikan agama Islam. 17 berlebihan karena Muhammad Baqîr al-Shadr secara progresif seringkali menganjurkan suatu gerakan Islam yang mengorganisasikan sebuah partai sentral yang dapat bekerja dengan berbagai unit dalam naungan bangsa Islam untuk perubahan sosial yang diinginkan. Sebagai akibatnya, dia kemudian mendirikan partai Da‘wah al-Islâmiyyah (Partai Dakwah Islam) seraya menegaskan bahwa politik adalah bagian dari Islam. Dia menyerukan kepada kaum Muslim supaya mengenali kekayaan khazanah Islam dan melepaskan diri dari pengaruh eksternal apapun, khususnya kapitalisme dan Marxisme.8 Melalui gerakannya, dia menyerukan kaum Muslim agar bangun dari tidur panjang dan menyadari bahwa imperialis sedang berupaya membunuh ideologi Islam dengan menyebarkan ideologi mereka. Kaum Muslim harus bersatu dalam melawan pengaruh dan intervensi itu, baik dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik. Di samping itu, ajaran dan gerakan politik Muhammad Baqîr al-Shadr secara langsung berhadapan dengan rezim Ba‟ats yang ditentangnya sebagai rezim diktator yang melanggar hak asasi manusia dan Islam. 9 Akibatnya, pada tahun 8 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 12. Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam menolak monarki, pemerintahan diktator, dan aristokrasi. Dia mengusulkan pemerintahan yang dikenal dengan wilâyah al-ummah yang terdiri dari khulafâ’ al-insân (manusia sebagai ahli waris atau wali Allah) dan syahâdah al-anbiyâ’ (kesaksian para Nabi). Menurutnya, sepanjang sejarah manusia terdapat dua garis peran dan fungsi pemerintahan yang saling berkaitan, yang pertama khalîfah sebagai wali yang mewarisi bumi Allah, dan yang kedua syâhid atau saksi. Khalîfah adalah hak dan kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada setiap orang untuk mengurusi persoalan dunia dan karena itu, dalam konteks negara, diidentifikasi sebagai hak rakyat di mana legitimasi pemerintahan berasal dari rakyat bukan ulama. Sementara syâhid adalah orang yang berperan sebagai saksi atau melakukan pengawasan atas pemerintahan di mana tanggung jawabnya diberikan kepada para nabi, imam sebagai pewaris nabi, dan terakhir marja‘iyyah. Fungsi ke-khalîfah-an (pemerintahan) dan syahâdah (pengawasan) pada zaman para nabi menyatu dalam diri mereka. Tetapi karena tidak ada nabi lagi pasca Nabi Muhammad maka fungsi khalîfah diberikan kepada umat sedangkan syahâdah kepada para ulama (marja‘). Karena itu, konsep politik Muhammad Baqîr al-Shadr mengandung prinsip-prinsip demokrasi dengan menganjurkan agar setiap orang menggunakan haknya untuk memilih pemimpin eksekutif, entah disebut presiden atau perdana menteri (setelah pencalonannya diakui oleh walî al-faqîh), dan secara langsung dan bebas memilih dewan legislatif yang mewakili 9 18 1977 dia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Baghdad tetapi berhasil dibebaskan karena popularitasnya. Dua tahun kemudian, dia ditahan lagi di Najaf pada tahun 1979. Kondisi ini membuat saudara perempuannya, Bint al-Hudâ, yang juga seorang sarjana teologi Islam, gusar dan mengorganisir suatu gerakan yang menentang penahanan atas seorang marja‘. Protes juga dilakukan oleh gerakan lain di dalam dan di luar Irak sehingga dia berhasil dibebaskan meski tetap dikenai tahanan rumah selama delapan bulan. Namun, keadaan itu tidak menyurutkan langkah Muhammad Baqîr alShadr untuk tetap berjuang dalam bingkai gerakan ideologis yang diyakininya. Bahkan, ketegangan antara partai Ba‟ats dan dia semakin menjadi kentara. Hal ini dapat dilihat dari fatwanya yang mengharamkan seorang Muslim bergabung dengan partai Ba‟ats dan dukungannya terhadap revolusi Islam. Akibatnya, pada 5 April 1980, dia ditahan lagi bersama dengan adiknya dan dipindahkan ke Baghdad. Keduanya dipenjarakan dan dieksekusi mati tiga hari kemudian oleh rezim Saddam Hussein. Diduga bahwa Muhammad Baqîr al-Shadr dibunuh dengan cara dipaku tepat di kepalanya.10 Jasad mereka dibawa dan dimakamkan di Najaf. Selain mereka, ribuan pelajar di Hawzah diusir ke luar Irak, sebagian dipenjara, dan para ulama dihukum gantung tanpa proses pengadilan. Tragedi pengeksekusian itu membuat reputasi Muhammad Baqîr al-Shadr semakin diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya melintas jauh ke ummah. Lihat di www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr", diakses tanggal 10 Maret 2009. Penjelasan lebih spesifik dan rinci mengenai prinsip dan landasan pemerintahan Islam bisa dilihat dalam buku Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 101-113. 10 www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr". Artikel diakses pada tanggal 20 April 2010. 19 Mediterania, Eropa hingga Amerika Serikat. Terbukti pada tahun 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal, Washington, menunjukkan betapa pentingnya Baqîr al-Shadr bagi gerakan bawah tanah Islam di Irak. Sebuah peranan yang juga tak bisa diabaikan bagi kebangkitan berbagai gerakan politik Islam di dunia. B. Karya Tulis Sebagai seorang intelektual, Muhammad Baqîr al-Shadr sangat produktif membuat karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun artikel. Mayoritas karyanya ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Kurang lebih dua puluh tujuh buku telah ditulisnya (beberapa diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa inggris dan bahasa Indonesia) dan tiga puluh satu artikel dipublikasikan di berbagai majalah khususnya al-Adwa’ al-Islâmiyyah. Sebagian artikel itu, diterbitkan secara berkesinambungan sesuai dengan tema dan judul tulisan sehingga dibentuk dan diterbitkan menjadi buku. Karyanya berkonsentrasi pada ilmu dan masalah-masalah keislaman yang cukup kompleks sehingga pemikirannya menyebar dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi, sejarah, teologi, falsafat, fiqh dan sebagainya. Hal itu menunjukkan keluasan cakrawala pengetahuan dan keragaman penguasaannya atas berbagai disiplin ilmu serta mencerminkan reputasi intelektual yang tinggi. Ciri khas tulisannya sarat dengan nuansa kritik terhadap berbagai pemikiran Barat seraya memberikan tanggapan dengan bersandar secara otentik pada prinsip atau konsep Islam. Tulisan-tulisannya mengandung makna 20 teologis dan falsafi, bukan retorika terkesan apologetik dengan tendensi ideologis yang dipaksakan. Karya falsafat yang secara khusus mengeritik bangunan falsafat Barat tertuang dalam Falsafatunâ: Dirâsah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Mu‘tarak al-Shirâ’ al-Fikrî al-Qâ’im bayna al-Mukhtalaf al-Thayarât al-Falsafiyyah wa al-Falsafah al-Islâmiyyah wa al-Mâddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah). Dalam buku ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyajikan kritik epistemologis terhadap pandangan dunia Barat yang mengakhiri matinya metafisika khususnya materialisme dialektis dalam Marxisme. Selanjutnya dia menjelaskan bagaimana Islam mengajukan konsep mendasar tentang dunia beserta metode berfikirnya. Di sini terlihat konfrontasi pemikiran yang sangat kentara antara Islam dan Barat dengan argumen falsafi cukup mendalam dan menyeluruh. Buku itu terdiri dari dua bagian pembahasan. Yang pertama adalah tentang epistemologi di mana Muhammad Baqîr al-Shadr membedakan dua bentuk pengetahuan: konsepsi dan tashdîqî (penilaian kebenaran pengetahuan atau aksiologi ilmu). Dalam bahasan ini ia mengeritik epistemologi dalam masingmasing tradisi atau aliran falsafat Barat. Yang kedua tentang metafisika dan konsep falsafat tentang dunia. Di sini dia mencoba mematahkan kerangka berpikir falsafat yang mengganggap metafisika sebagai takhayul dan kata-kata kosong dengan prinsip prima causa (sebab pertama) sebagai sesuatu yang menyebabkan adanya sesuatu yang lain. Menurutnya bahwa jika di alam semesta berlaku hukum kausalitas, maka mustahil sebab itu tidak berhingga. Gerak mundur sebab itu akan berhenti pada Sebab Pertama yang niscaya. Sedangkan Sebab Pertama itu tidak 21 tunduk pada hukum kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Baru dari Sebab Pertama kemudian muncul matarantai sebab yang berlaku umum bagi alam semesta. Selain karya itu, Muhammad Baqîr al-Shadr juga menulis masalah keimanan Islam dalam buku Mujâz fî al-Ushûl al-Dîn: al-Mursil, al-Rasûl, alRisâlah.11 Dalam buku ini dia mengeksplorasi tiga hal penting dalam iman Islam yaitu Allah, Rasul, dan Islam beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Khususnya keimanan kepada Allah, dia mengajukan argumen falsafi dan akademik dalam rangka membuktikan akan keberadaan-Nya serta sifat-sifat-Nya seperti keadilan. Demikian pula hal sama ia lakukan ketika membahas tentang Nabi Muhammad sebagai rasul penutup yang membawa pesan bagi seluruh umat manusia. Bagian terakhir buku itu menjelaskan tentang pesan Islam sebagaimana tertera dalam al-Qur‟ân yang diyakini memunyai keistimewaan dan karakteristik tersendiri dibanding pesan-pesan surgawi lainnya. Salah satu karakteristik itu adalah terjaganya al-Qur‟ân dari perubahan-perubahan baik dalam bentuk huruf maupun dalam bentuk keimanan sebagaimana telah terpatri dalam jiwa religius seorang Muslim. Al-Qur‟ân juga mengandung pesan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang membawahi dikotomi antara kehidupan material dan spiritual, dan sebagainya. Melalui karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr 11 Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud M. Ayoub menjadi The Revealer, the Messenger, the Message, (Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986). 22 menunjukkan bahwa keimanan dalam Islam memunyai landasan kebenaran yang kokoh di mana pembuktiannya bisa dilakukan secara rasional dan ilmiah. Setelah menghadirkan bukti-bukti rasional dan akademik, Muhammad Baqîr al-Shadr berusaha membangkitkan kesadaran umat Islam akan kebenaran keimanan tersebut beserta implikasinya bagi kehidupan dalam buku Risâlatunâ (Misi Kami).12 Upaya ini dilakukan karena menurutnya keimanan bukan sekedar taqlid saja melainkan suatu pemahaman dan pengakuan akan kebenarannya sehingga memengaruhi kesadaran dan tindakan seseorang. Dia meyakini bahwa seorang Muslim yang menyadari kebenaran iman Islam akan membawa kemajuan bagi kehidupan, membawa rahmat bagi seluruh alam sebagaimana tugas dan tanggung jawab khalifah yang diberikan Allah kepada manusia. Muslim yang sadar akan keimanannya tidak akan tinggal diam ketika melihat kenyataan yang bertentangan dengan tugas sejatinya, tidak pernah takut pada segala macam penindasan dan ketidakadilan yang merugikan kehidupan. Untuk menuju kesadaran dan kebangkitan Islam itu, ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh umat, yaitu adanya ajaran yang benar, adanya pemahaman terhadap ajaran tersebut, dan terakhir, sebagai konsekuensi dari keduanya, adanya keimanan. Tiga syarat ini tak boleh diabaikan karena bagaimana pun juga kesadaran tidak lahir dari ruang yang kosong. Kesadaran muncul dari keimanan seseorang yang memahami akan kebenaran ajarannya yang kemudian dijadikan landasan dalam setiap tindakan. Tanpa itu, seseorang akan tercabik-cabik oleh 12 Dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul berbeda dari aslinya yaitu Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup. Menurut hemat penulis, judul ini lebih ditekankan pada konten buku yang mengaitkan keimanan dan implikasinya bagi kebangkitan Umat. 23 ketidakpastian keadaan sehingga langkahnya goyah dan gontai bahkan sama sekali stagnan alias mati suri. Sedangkan karya yang berkaitan dengan kehidupan sosial umat di zaman modern, salah satunya termuat dalam bukunya Al-Insân al-Mu‘ashshir wa alMusykilah al-Ijtimâ‘iyyah (Manusia Masa Kini dan Problema Sosial). Ini merupakan salah satu karya yang diterbitkan dalam bentuk seri aliran pemikiran Islam. Dalam karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr berbicara tentang persoalan kehidupan sosial modern dan solusinya yang dibenturkan dengan solusi yang ditawarkan oleh pemikiran Barat khususnya sosialisme-komunisme dan kapitalisme-liberalisme. Buku ini berpijak di atas landasan konseptual sebagaimana terdapat dalam Falsafatunâ yang memberikan kritik epistemologis terhadap pemikiran Barat. Hanya saja cakupannya lebih luas dan lebih menyentuh pada persoalan praksis kehidupan, baik sosial maupun ekonomi. Menurut pandangannya, masalah yang paling mendesak untuk segera diselesaikan adalah masalah sistem sosial. Melalui sistem sosial, tujuan kehidupan individu dan masyarakat diupayakan bersama sehingga bisa mencapai hasil yang lebih baik dan maksimal. Karena itu, pencarian terhadap sistem yang sesuai dengan tujuan manusia serta mampu mewujudkannya sangat diperlukan. Sejarah telah menunjukkan bahwa dalam setiap zaman manusia selalu bergulat dalam sebuah sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan sistem itu menjadi eksperimen tersendiri bagi kehidupan selanjutnya untuk membangun dan menerapkan sistem baru yang dipandang lebih baik. Dalam konteks modern, 24 sistem itu mengejawantah dalam sosialisme-komunisme dan kapitalismeliberalisme. Dalam masing-masing sistem itu terdapat tujuan dan nilai-nilai yang dipercayai dan menjadi pandangan hidup (way of life) masyarakat. Di samping itu, terdapat pula seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut sehingga membentuk organisme padu antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Dan sejauh ini, menurut penilaian Muhammad Baqîr al-Shadr, sistem-sistem itu gagal mewujudkan tujuan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dia mengeritik sistem sosial yang selama ini saling bertikai dalam kehidupan modern dan kemudian menawarkan sistem sosial yang disandarkan atas Islam sebagai satu-satunya sistem yang ideal. Disebut ideal karena sistem itu diyakini mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan bersama dalam kehidupan. Karya lain berkenaan dengan masalah sosial khususnya tentang kehidupan politik umat Islam adalah Manâbi’ al-Qudrah fî al-Dawlah al-Islâmiyyah (Sumber-sumber Kekuasaan dalam Pemerintahan Islam). Dalam karya ini Muhammad Baqîr al-Shadr menjelaskan tentang sumber kekuasaan di bawah sistem keyakinan Islam, bentuk pemerintahan, peran fungsi serta tujuan yang akan dicapai. Menurutnya, sumber pemerintahan Islam berasal dari Allah yang memberikan tanggung jawab ke-khalîfah-an kepada manusia dan mendeklarasikan Allah sebagai tujuan atau terminal akhir kafilah kemanusiaan. Sedangkan tugas dan peran pemerintahan itu adalah mengakhiri segala bentuk eksploitasi dalam 25 masyarakat dan membebaskan mereka dari ketertindasan baik ekonomi, politik, dan intelektual. Akan tetapi, walaupun sumber pemerintahan berasal dari Allah bukan berarti secara gampangan seorang penguasa dapat menggunakannya sebagai sentimen untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini disebabkan tugas pemerintahan (khalîfah) tidak hanya diberikan kepada satu orang saja melainkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian, dalam politik seorang penguasa tidak dapat mengklaim kekuasaannya bersumber atau ditentukan langsung oleh Allah tetapi harus mendapatkan legitimasi dari semua orang di dalamnya. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk mengurusi dunia dan kehidupan sehingga dia memunyai hak untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Berangkat dari pemikiran ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menuntut diadakannya pemilu serta menyerukan agar masyarakat menggunakan haknya dengan memberikan suara untuk memilih dewan perwakilan mereka. Konsep pemerintahannya adalah wilâyah al-ummah yang terdiri dari khalîfah (pemerintahan eksekutif dan legislatif) dan syahâdah (kesaksian atau pengawasan yang dilakukan oleh ulama atau walî al-faqîh). Selain politik, karya Muhammad Baqîr al-Shadr menyangkut kehidupan sosial juga berkaitan dengan masalah ekonomi. Pemikirannya tentang ekonomi termuat dalam buku Al-Madrasah al-Islâmiyyah13 (Sekolah Islam) dan Iqtishâdunâ (Ekonomi Kami). Dalam karya ini, dia mengeritik sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme yang dinilai gagal mengupayakan tercapainya tujuan 13 Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan judul Islam and Schools of Economics. 26 sistem sosial. Sebagai gantinya, dia mengajukan konsep ekonomi Islam dengan mengurai prinsip-prinsip yang harus menjadi landasan dalam ekonomi. Kajiannya sangat mendalam dan komprehensif, khususnya dalam buku Iqtishâduna, sehingga mendapatkan nilai kesarjanaan yang cukup tinggi. Berbeda dari ekonomi syari„ah yang hanya menekankan pada praktik atau transaksi tanpa ribâ (bunga), ekonomi Islam perspektif Muhammad Baqîr al-Shadr berlandaskan pada nilainilai keadilan yang membawahi seluruh aspek ekonomi. Pemikirannya dapat menjadi alternatif baru di tengah runtuhnya komunisme dan gagalnya kapitalisme. Karena sumbangannya yang begitu besar dan sangat berarti dalam ekonomi, dia kemudian lebih dikenal sebagai ekonom Islam. C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan seorang intelektual Muslim brilian dan progresif yang memunyai kesadaran sejarah pada zamannya. Dia menekuni dan menguasai ilmu-ilmu Islam serta menulis dalam berbagai bidang keilmuan. Walaupun demikian, bukan berarti Muhammad Baqîr al-Shadr tidak memunyai konsentrasi khusus berkenaan dengan spesialisasi pemikiran. Lebih tepat jika dipahami bahwa semua masalah yang dijabarkan berkaitan dengan bidang-bidang itu mengacu pada suatu proyek pemikiran keislaman dalam rangka menciptakan sistem sosial yang ideal. Tujuan itu dirasakan sangat penting karena konteks historis pasca Perang Dunia II diwarnai oleh ketegangan ideologis mengenai persoalan kehidupan sosial, ekonomi dan politik antara sosialisme-komunisme dan kapitalisme- 27 liberalisme. Pengaruh ketegangan itu menjangkiti pemerintah dan masyarakat Irak sehingga terjadi penyimpangan dalam bentuk orientasi ateisme. Kejadian tersebut muncul setelah revolusi 14 Juli 1958 dalam rangka menentang pemerintahan monarki yang dipimpin oleh jenderal Abdul Karim Kassem dan berhasil mengubah sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik. Kondisi inilah yang menggerakkan Muhammad Baqîr al-Shadr untuk menemukan sistem sosial yang didasarkan atas keyakinan Islam. Dengan sendirinya, tujuan itu menuntut dia untuk menggali dan mengembangkan lebih jauh khazanah pemikiran keislaman serta menghadapkannya pada beberapa pemikiran dalam konteks kekinian. Dalam pengertian ini, maka wajar apabila karyanya bertebaran dalam berbagai bidang keilmuan. Semuanya dilakukan untuk mencari dasar pijakan dalam rangka membangun konsep ideal tentang sistem sosial tanpa tercerabut dari akar keyakinannya. Apalagi sistem sosial serta upaya mencapai tujuannya, membutuhkan konsep dan prinsip-prinsip yang menyeluruh yang mampu membawahi seluruh aspek kehidupan sosial, politik maupun ekonomi. Pencarian dasar pijakan itu dilakukan Muhammad Baqîr al-Shadr secara ekstensif dengan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dia menyadari betul bahwa landasan dari setiap pemikiran harus benarbenar kokoh sehingga bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak rapuh di depan pengujian kebenaran. Oleh karena itu, dia masuk ke dalam ranah falsafat untuk membuktikan kebenaran pandangan dunia Islam. Selanjutnya, dari pandangan 28 dunia, dia membangun pemikirannya tentang sistem sosial Islam yang dikonfrontasikan dengan sistem sosial lain. Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan pengaruh signifikan khususnya bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak dan pemikiran Islam pada umumnya. Hal ini disebabkan, di samping pemikirannya dibangun di atas landasan yang kokoh berhadapan dengan ideologi pemikiran Barat, ia juga mengupayakan pemikirannya agar menjadi praksis dalam suatu perjuangan ideologis melalui kajian dan gerakan kelompok akademis dan partai politik. Gerakan ini berkonfrontasi langsung terhadap partai penguasa di mana tidak jarang sikap serta kebijakannya ditentang oleh Muhammad Baqîr al-Shadr. Dalam pemikiran Islam, pengaruhnya paling mencolok dapat dilihat dalam pemikiran ekonomi lewat karyanya Iqtishâdunâ. Secara ringkas sepak terjang Muhammad Baqîr al-Shadr memiliki dua pengaruh, baik bagi negerinya maupun dunia internasional, dalam mana kedua elemen tersebut terkait dengan eksistensi Syî„ah sebagai aliran agama ia anut. Pertama, bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak, Muhammad Baqîr alShadr menjadi ikon perlawanan terhadap rezim yang lalim dan menindas umat Islam Syî„ah yang merupakan penduduk mayoritas Islam Irak, yaitu 57 persen dari 25 juta penduduk Irak.14 Umat Islam Syî„ah di Irak dicurigai gerak-geriknya sebagai kelompok yang dianggap membahayakan kekuasaan Sunnî dari partai Ba‟ats, Saddam Hussein. Bahkan pihak penguasa waktu itu melakukan, meminjam istilah Chibli Mallat, Sunnisasi serta Ba‟atsisasi terhadap masyarakat 14 M. Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Hikmah, 2007), h. 87. 29 Irak sehingga menimbulkan ketegangan akibat pertentangan massif dari kelompok Syî„ah. Sunnisasi dan Ba‟atsisasi panggung politik Irak menjadi sebab utama penentangan kaum Syî„ah terhadap rezim Saddam sehingga muncul dua organisasi Syî„ah yaitu partai Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn. Kedua organisasi itu sama-sama mengakui kepemimpinan imam Syî„ah Irak, Muhammad Baqîr al-Shadr. Maka wajar apabila ia disebut oleh Hanna Batatu sebagai “the most learned of Iraq’s Ayatullah” (sosok paling terpelajar dari komunitas Ayatullah Irak) karena ia memang seorang alim yang sangat kharismatik baik dilihat dari segi peranan politik maupun karya-karyanya. Dalam hal ini ia dapat disejajarkan dengan Imam Khomeini di Iran atau Imam Mûsâ al-Shadr di Libanon.15 Di bawah kepemimpinannya, kelompok Syî„ah mulai diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan politik yang sangat potensial. Pada tahun 1974 dan 1977, ketika prosesi memeringati hari ‘Asyûrâ (hari untuk mengenang kesyahidan Imam Husayn), kaum Syî„ah Irak melakukan demonstrasi mengutuk pemuka partai Ba‟ats. Dan ketika Revolusi Republik Islam Iran berhasil meruntuhkan dinasti Pahlevi, pada Juni 1979 Muhammad Baqîr alShadr merencanakan memimpin long march dari Najaf ke Teheran untuk memberi selamat kepada Imam Khomeini. Namun rezim Ba‟ats yang tidak menghendaki rencana itu segera menangkap Muhammad Baqîr al-Shadr sehingga menimbulkan kerusuhan anti Saddam dari kalangan Syî„ah selama hampir satu 15 Ibid, h. 89 30 tahun. Kerusuhan itu memuncak pada dieksekusinya Muhammad Baqîr al-Shadr dan saudara perempuannya Bint al-Hudâ.16 Sepeninggal Muhammad Baqîr al-Shadr, aksi represif rezim Saddam menjadi hari-hari tersulit bagi kelompok Syî„ah Irak. Akan tetapi kondisi itu tidak membuat kobaran semangat mereka padam. Hanya saja mereka kehilangan ikon pemersatu yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Syî„ah seperti Organisasi Aksi Islam, Dewan Ulama untuk Revolusi Islam Irak, Tentara Revolusioner untuk Pembebasan Irak, Kelompok Ulama Pejuang Irak, dan Biro Revolusi Islam Irak. Namun, organisasi itu tidak bertahan lama kecuali Organisasi Aksi Islam (Munazhzhamât al-‘Amal al-Islâm). Hal ini disebabkan tidak adanya pengakuan dari Imam Khomeini dan belum terpecahkannya masalah kepemimpinan pasca wafatnya Muhammad Baqîr al-Shadr. Sementara organisasi lama, Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn, dianggap tidak representatif lagi. Keadaan tersebut membuat prihatin para aktivis Syî„ah di Iran sehingga pada 17 November 1982, mereka sepakat membentuk Dewan Tertinggi Revolusi Islam Irak atau The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq (SAIRI) di bawah kepemimpinan Sayyid Muhammad Baqîr al-Hakîm. Sejak saat itu, atas restu Khomeini, dia diakui sebagai pemimpin Syî„ah Irak. Namun, al-Hakîm belum bisa disejajarkan dengan Muhammad Baqîr al-Shadr karena karyanya tidak ada yang mampu menandingi Iqtishâdunâ, Falsafatunâ atau karya lainnya. Ia justru berada di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya, Ayatullah al-„Uzmâ 16 Ibid, h. 90-91. 31 Muhsin al-Hakîm. Selain itu, selama menjabat sebagai pemimpin, ia belum mampu menyatukan kelompok Syî„ah sampai ia meninggal dunia.17 Setelah itu, SAIRI dipimpin oleh saudaranya yaitu „Abdul „Azîz al-Hakîm. Akan tetapi, ia dinilai kurang kharismatik terutama setelah ia menempuh jalan kompromi dengan penguasa pendudukan Amerika di Irak. Maka saat itulah pamor dinasti al-Shadr mulai naik kembali. Melalui tokoh muda Ayatullah Muhammad Shadîq al-Shadr, ia menjadi ikon baru bagi perlawanan Syî„ah Irak terhadap rezim Saddam Hussein dan pasukan pendudukan Amerika pasca Saddam Hussein. Dalam salah satu khutbah Jum„at di kota suci Najaf tahun 1998, ia bersuara lantang dengan mengatakan “Katakan tidak untuk Amerika, Israel dan tidak untuk imperialisme”. Ayatullah Muhammad Shadîq al-Shadr bersama Imam Mûsâ alShadr dan Ayatullah Husayn Fadhlullah (dari Libanon) serta Imam Khomeini pada tahun 1970-an sering bertemu di Najaf. Mereka memunyai pandangan keharusan kepemimpinan politik ulama atau yang disebut dengan wilâyah alfaqîh. Dia mengajak para ulama untuk masuk dalam perjuangan politik dan bagi yang menolaknya sama dengan mendukung kezaliman rezim Saddam. Namun lantaran semakin lantang melawan penguasa, Ayatullah Muhammad Shadîq alShadr akhirnya dibunuh pada 18 Februari 1999 di kota Najaf. Kemudian Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr, anak Muhammad Shadîq al-Shadr dan cucu Muhammad Baqîr al-Shadr, menggantikan posisi ayahnya dan meneruskan perlawanan terhadap rezim Saddam Hussein. Tetapi waktu itu, namanya belum 17 Ibid, h. 92. 32 diperhitungkan di panggung politik nasional Irak. Baru ketika terjadi invasi Amerika ke Irak namanya mulai populer dan melambung tinggi. Hal ini terbukti pada 7 April tahun 2003, dua hari sebelum Irak jatuh ke tangan AS, para pengikut setianya merebut kawasan Saddam di Baghdad dan segera mengganti namanya menjadi kota Shadr.18 Selain itu, pada Agustus tahun 2003, Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr mendeklarasikan pembentukan tentara Mahdî yang diperkirakan memiliki 10.000 pasukan berani syahid. Pasukan ini mulai melancarkan perlawanan sengit terhadap pasukan penjajah AS di sejumlah kota penting seperti Kûfah, Karbalâ‟, Najaf, al-Kut, dan kota Shadr. Kemudian pada tahun 2004, Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr dan pasukannya bertempur habis-habisan melawan pasukan AS di sejumlah kota di Irak terutama di Najaf.19 Meski dari segi persenjataan jauh lebih sedikit dan kuno dibandingkan dengan milik AS, pasukan Mahdî tetap berani syahid karena doktrin yang telah tertancap rapat dalam keimanan mereka sebagaimana telah dikobarkan sebelumnya oleh Muhammad Baqîr al-Shadr. Kedua, pengaruh Muhammad Baqîr al-Shadr bagi pemikiran Islam dalam bidang ekonomi. Hal ini nampak dalam bukunya Iqtishâdunâ yang membahas tentang masalah ekonomi. Melalui buku itu, Muhammad Baqîr al-Shadr membedah ilmu ekonomi berikut pelbagai madzhab ekonomi, serta mengeritik ekonomi konvensional beserta madzhab ekonomi yang berkembang seperti kapitalisme dan sosialisme. 18 19 Ibid, h. 94. Ibid, h. 94-96. 33 Menurutnya, ada dua perbedaan penting antara ilmu ekonomi dan madzhab atau doktrin ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan ilmu yang berhubungan dengan penjelasan terperinci perihal kehidupan ekonomi, peristiwa-peristiwa, gejala atau fenomena lahiriahnya serta hubungan antara peristiwa atau gejala tersebut dengan sebab-sebab dan faktor umum yang memengaruhinya. Jadi ilmu ekonomi mengaji efek-efek peristiwa yang ada di masyarakat seperti ilmuwan fisika mengaji hukum-hukum tentang panas dan efek-efeknya. Sedangkan madzhab ekonomi adalah cara yang dipilih dan diakui oleh masyarakat dalam memecahkan problem praktis ekonomi yang dihadapinya. Madzhab ekonomi memerkenalkan dan mengembangkan suatu sistem pengaturan kehidupan ekonomi yang didasarkan pada konsepsi keadilan.20 Melalui perbedaan ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyimpulkan bahwa ekonomi Islam merupakan madzhab dan bukanlah ilmu pengetahuan karena ia adalah cara yang ditawarkan Islam dalam mengejar kehidupan ekonomi. Ekonomi Islam bukanlah suatu ilmu yang mengandung tafsiran terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dan terhadap hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Islam tidak menjelaskan ilmu ekonomi melainkan suatu penjelasan tentang pengaturan kehidupan ekonomi seperti distribusi, kepemilikan, produksi, jaminan sosial, keseimbangan sosial dan semacamnya. Oleh sebab itu, Muhammad Baqîr al-Shadr menggunakan istilah Iqtishâdunâ untuk menyebut ekonomi Islam. Iqtishâd bukan sekedar alih bahasa istilah ekonomi ke dalam bahasa Arab. Arti asal kata itu adalah seimbang atau 20 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terj. M. Hashem, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), h. 135-137. 34 pertengahan. Istilah ekonomi sebagaimana pengertian ilmu ekonomi konvensional ditolaknya karena berbeda dari Islam. Perbedaan paling mencolok adalah terletak pada pandangan bahwa dalam ekonomi konvensional, masalah ekonomi muncul karena keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia sangat terbatas. Hal ini berbeda dari Islam yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya. Konsekuensi pandangan tersebut dalam pemikiran ekonomi Islam melahirkan apa yang disebut dengan madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr. Menurut Adiwarman A. Karim, terdapat tiga madzhab ekonomi Islam kontemporer yaitu madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif kritis. Para pendukung Madzhab Baqîr al-Shadr antara lain Abbas Mirakhor, Baqîr al-Hasan, Qadîm al-Shadr, Iraj Taotounchian, dan Hedayati. Madzhab mainstream kurang lebih sama dengan ekonomi konvensional yang memandang bahwa titik pusat persoalan ekonomi adalah terletak pada kelangkaan sumber daya alam. Tetapi untuk memerkuat argumentasi, mereka juga menggunakan dalil al-Qur‟ân. Pendukung madzhab ini di antaranya adalah Umer Chapra, MA Mannan, dan Najatullah Siddiqi. Sedangkan madzhab alternatif kritis adalah kalangan yang mengeritik kedua madzhab tersebut. Mereka mengeritik madzhab Baqîr al-Shadr karena berusaha menemukan sesuatu yang baru padahal sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain, sehingga merasa seakan-akan telah menghancurkan teori lama dengan menggantinya dengan perspektif yang baru. Adapun madzhab mainstream mereka katakan sekedar jiplakan saja dari ekonomi konvensional dan hanya 35 menghilangkan unsur riba dan memasukkan unsur zakat dan niat. Madzhab ini juga mengeritik ekonomi sosialisme dan kapitalisme. Mereka yakin bahwa Islam itu benar, tetapi ekonomi Islam yang merupakan tafsiran manusia terhadap alQur‟ân dan al-Sunnah harus selalu diuji kebenarannya. Pelopor madzhab ini salah satunya adalah Timur Koran, Jomo, dan Muhammad Arif. 21 21 2010. http://www.sescipb.co.cc/index.php?option=com, Artikel diakses pada tanggal 17 April 36 BAB III SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA A. Teori Sistem Sosial Sistem sosial seringkali menjadi pembincangan sengit dan kompleks dalam membicarakan masyarakat. Kompleksitas ini disebabkan keluasan wilayah cakupan sistem itu beserta berbagai persoalan yang terkandung di dalamnya. Selama manusia hidup di dalam masyarakat, selama itu pula persoalan sistem sosial tidak akan pernah terelakkan. Di sini akan dijelaskan upaya Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat sistem sosial dan permasalahannya beserta analisis dan kritiknya terhadap sistem sosial modern. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain. Tindakan individu dalam masyarakat didasarkan pada orientasi subjektif masing-masing. Orientasi subjektif yang terdapat dalam setiap individu berbeda-beda. Namun karena orientasi itu tidak dapat terpenuhi tanpa adanya interaksi dalam ruang lingkup sosial, maka orientasi subjektif individu menghasilkan tindakan yang saling bergantung dan membentuk sistem sosial. Interaksi membutuhkan hubungan timbal balik antara orientasi individu dengan individu lainnya sehingga tercipta keseimbangan dan kesesuaian. Sebelum terbentuk masyarakat, individu bertindak secara bebas sesuai dengan keinginan dan kekuatannya. Tidak ada yang membatasi kebebasannya kecuali keterbatasan kekuatan untuk mewujudkan keinginan itu. Batasan terhadap 36 37 tindakan baru muncul ketika individu berinteraksi dengan individu lainnya. Hal ini disebabkan penggunaan kebebasan dan kekuatan secara mutlak hanya akan menimbulkan konflik antar-individu sehingga merugikan orang lain, sebagaimana dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr: Sejak awal manusia percaya bahwa kekuatan mutlak adalah tidak mungkin bagi orang yang tinggal di tengah-tengah masyarakat, karena kekuatan mutlak dari semua individu akan berefek pada hilangnya kebebasan bagi semua orang dan akan berpuncak pada chaos serta kesemrawutan… Dari awal kehidupan sosial manusia, persoalan penting yang dihadapinya adalah peniadaan batasan kebebasan individu dalam masyarakat.1 Batasan tindakan individu dalam masyarakat mengejawantah dalam nilainilai dan norma sosial seperti nilai budaya dan norma hukum. Nilai budaya muncul dari pengetahuan individu terhadap diri dan lingkungannya yang dieksternalisasi dan kemudian disepakati bersama. Menurut Muhammad Baqîr alShadr, budaya menggambarkan karakter dan kecenderungan mental suatu masyarakat.2 Sedangkan norma hukum dilahirkan dari kesepakatan individu mengenai aturan-aturan yang harus dikuti oleh masyarakat. Hukum merupakan salah satu institusi yang ada dalam sistem sosial. Hukum diperlukan untuk mengatur hak-hak individu, menegakkan keadilan, dan menjamin stabilitas dan keutuhan masyarakat.3 Karena sistem sosial terbentuk dari individu-individu, maka syarat umum dari sistem itu harus mampu menjamin kebutuhan dasar para anggotanya, mengorganisasi tindakan yang mengarah pada integrasi, stabilitas, dan harmoni 1 Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 138. 2 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terj. M. Hashem, (Jakrta: Pustaka Zahra, 2002), h. 21. Lihat pula halaman 27. 3 Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, h. 95. 38 serta menetapkan tujuan demi kesejahteraan bersama. Hal ini dinyatakan oleh Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: Entitas sosial manusia muncul dari ikatan-ikatan individu yang terjalin satu sama lain oleh pertalian dan ikatan bersama. Pertalian ini tentu memerlukan pengarahan-pengarahan umum dan organisasi. Pada derajat keserasian antara sistem tersebut dengan realitas kemanusiaan yang ada serta buah dari keserasian itu, bergantung stabilitas maupun kesejahteraan masyarakat.4 Oleh sebab itu, selain budaya dan hukum, sistem sosial memerlukan subsistem yang berfungsi mengupayakan semua hal tersebut seperti sistem politik, ekonomi, dan institusi sosial lainnya. Politik berkaitan dengan upaya mewujudkan cita-cita kehidupan sosial yang dilakukan melalui institusi pemerintah atau partai politik dan sebagainya. Sedangkan ekonomi berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal keberlangsungan dan kesejahteraan hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keseluruhan total dari masyarakat yang terdiri dari budaya, politik, hukum, ekonomi, dan institusi sosial lainnya disebut sistem sosial. B. Masalah Utama Sistem Sosial Sebagai sistem yang bertujuan mewujudkan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan keutuhan anggotanya, sistem sosial memunyai peran dan tantangan yang tidak mudah. Upaya mewujudkan itu membutuhkan suatu konsep utuh yang menjadikan sistem sosial beroperasi secara efektif sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, konsep menjadi persoalan 4 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, terj. M. Hashem, (Jakarta: Pustaka, 1984), h. 4. 39 utama yang akan menentukan keberhasilan suatu upaya mencapai tujuan sistem sosial. Konsepsi menyeluruh berkaitan dengan pandangan tentang masyarakat yang menentukan prinsip-prinsip kebajikan untuk mencapai kesejahteraan bersama merupakan konsepsi ideal yang tertuju pada ideal sosial. Kebutuhan konsepsi semacam itu dirasakan betul oleh Muhammad Baqîr al-Shadr dengan mengintroduksi pernyataan yang diawali pertanyaan: Sistem apakah yang paling sesuai bagi umat manusia sehingga mereka dapat mencapai kehidupan sosial yang bahagia? Sudah sifatnya masalah sosial selalu menempati posisi yang menonjol dan membawa bahaya. Di dalam kerumitan serta keanekaragaman penyelesaian yang disarankan untuknya, ia bisa merupakan suatu sumber bahaya bagi umat manusia sendiri, karena dalam penjabaran kehidupan manusia selalu terlibat suatu sistem tertentu yang memengaruhi inti entitas sosialnya.5 Menurutnya, masalah sistem sosial sudah lama muncul sejak manusia mulai mengenal kehidupan bersama. Dalam setiap zaman, manusia berjuang mengatasi masalah tersebut sesuai kondisi yang dialaminya. Perjalanan perjuangan itu digambarkan secara metaforis ibarat kapal yang berlayar melewati berbagai rintangan menuju tempat berlabuh yang damai dan sejahtera, sebuah kehidupan yang stabil, adil, dan tentram.6 Sejarah perjuangan itu kemudian secara kontinyu mewariskan beberapa persoalan yang memberi pelajaran bagi epos sejarah kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, penting sekali mengevaluasi perjalanan upaya manusia dalam mengatasi masalah sosialnya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara melihat ideologi yang diterapkan. Menurutnya, masyarakat merupakan bentuk yang kongkrit dari ideologi tertentu yang 5 6 Ibid, h. 3. Ibid, h. 5. 40 mengarahkan kehidupan manusia. Dengan kata lain, upaya komprehensif mencapai tujuan sistem sosial dilakukan dalam bingkai ideologis yang meliputi pandangan dunia, doktrin politik, falsafat, agama, dan moral beserta mekanisme perwujudannya. Dia menyatakan bahwa: Manusia adalah makhluk yang memunyai ideologi. Manusia berjalan berdasarkan panduannya dalam kehidupan di dunia. Di masa lampau dan di masa akan datang tidak ada masyarakat yang menjalani kehidupannya tanpa ideologi. Jika tidak ada suatu ideologi atau suatu sistem, masyarakat pun tidak akan pernah ada. Ideologi manusia merupakan jendela yang darinya manusia memandang dunia. Jendela itu yang menentukan caracara hubungannya dengan lingkungan materi dan sosial yang mengelilinginya.7 Dalam kehidupan modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai, yakni liberalisme dan sosialisme. Liberalisme sebagai ideologi politik, ekonomi, dan sosial berakar dari pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke pada abad ke17. Sementara sosialisme disandarkan atas sistem pemikiran falsafat Karl Marx yang meliputi sejarah, kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Liberalisme mendapat legitimasinya ketika negara federasi Uni Soviet runtuh tahun 1991. Peristiwa itu diintroduksi oleh Francis Fukuyama dalam The End of History and 7 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Alcaff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 101-102. Bandingkan dengan pandangan Martin Slinger dalam John B. Thomson, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, terj. Haqqul Yaqin, (Yogyakarta: Ircisod, 2003), h. 129-133. Slinger melihat ideologi sebagai sistem kepercayaan yang menjadi orientasi tindakan seseorang yang diorganisasi dalam satu sistem yang koheren. Sistem itu terbuat dari sejumlah elemen yaitu deskripsi, analisis, preskripsi moral, preskripsi teknis, implement, dan rejection. Seluruh ideologi mencampuradukkan secara bersama antara deskripsi faktual dan analisis situasi dengan preskripsi moral tentang apa yang benar dan baik serta pertimbangan teknis tentang kehati-hatian dan efisiensi. Selanjutnya, ideologi membimbing tindakan seseorang yang diperlihatkan melalui elemen yang disebut implement (aturan-aturan yang memberikan cara dan alat untuk mengimplimentasikan komitmen dan menyesuaikannya dengan keperluan keadaan) dan rejection (penolakan terhadap prinsip dan kepercayaan lain yang beroposisi terhadap ideologi bersangkutan). Elemen rejection juga ditegaskan oleh Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa “Bila suatu ideologi benar, maka ia harus menolak setiap pemikiran yang berhubungan dengan berbagai bidang kemanusiaan yang berlawanan dengan ideologi tersebut. Pemikiran yang memiliki ideologi tunduk kepada tolok ukur ideologi itu dan menjauhi kontradiksinya”. Lihat Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, h 53. 41 the Last Man sebagai akhir sejarah sosialisme dan menandakan kemenangan ideologi liberalisme. Pasca itu, tak ada lagi perdebatan sengit dan aktual bernuansa ideologis yang selama ini bertentangan. Sebaliknya, liberalisme semakin menunjukkan taringnya dengan adanya globalisasi sehingga pengaruhnya tak dapat dibendung. Banyak yang menilai keruntuhan sosialisme-komunisme karena konsepsi yang bermasalah tentang kehidupan manusia sehingga pada tingkat operasionalnya menemui kegagalan. Misi emansipasi untuk menyelamatkan manusia dari berbagai bentuk eksploitasi kapitalis berbalik arah menjadi sistem totaliter yang menghisap darah dan merenggut nyawa manusia. Sosialisme gagal memenuhi janji-janjinya dan sejarah kemudian dimulai dengan kemenangan liberalisme. Akan tetapi, liberalisme bukan tanpa masalah. Sebagai ideologi yang mengupayakan tercapainya tujuan sistem sosial dengan bertumpu pada kebebasan, liberalisme justru melahirkan berbagai persoalan seperti ketimpangan sosial. Ketimpangan itu terlihat dari kelas pemilik modal yang cukup dimanjakan. Ketimpangan sosial secara eksplisit menunjukkan kegagalan liberalisme dalam mewujudkan kesejahteraan. Muhammad Baqîr al-Shadr memang secara ekstensif mengeritisi dua ideologi itu terutama sosialisme-komunisme dalam karya-karyanya. Akan tetapi, melacak sebab-sebab kegagalan ideologi tersebut dengan menguraikan akar dan bangunan konseptualnya, cukup kompleks dan luas. Karena itu, butuh tempat khusus untuk membahasnya. Di sini akan dibatasi pada upaya ideologi tersebut dalam menjawab hal penting dalam sistem sosial, yakni masalah keadilan. 42 Dikatakan penting karena sistem sosial tidak akan berhasil mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi apabila keadilan tidak tercapai. Keadilan merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan cita-cita sistem sosial. C. Masalah Keadilan Masalah keadilan sosial dan ekonomi yang erat kaitannya dengan hak dan kewajiban individu seringkali menimbulkan konflik yang melahirkan disintegrasi dan instabilitas yang mengancam kesejahteraan. Hal ini disebabkan dalam masyarakat terdapat perbedaan dalam hal kenikmatan dan kepentingan serta tolok ukur keduanya, sebagaimana dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: Manusia dalam suatu masyarakat mengalami kontradiksi dalam kenikmatan dan manfaat mereka. Masyarakat yang beragam juga mengalami kontradiksi menyangkut tolok ukur ini di mana sesuatu yang menjadi kepentingan individu atau masyarakat atau kenikmatan keduanya terkadang membahayakan individu atau masyarakat lain. Kepercayaan manusia terhadap tolok ukur moral yang kurang sempurna adalah penyebab terjadinya bencana yang menyeret mereka pada konflik yang terus menerus.8 Masyarakat sebagai kerja sama sosial yang menandai adanya identitas kepentingan cukup potensial bagi munculnya konflik antar individu. Disebut identitas kepentingan karena kerja sama sosial memungkinkan kehidupan yang lebih baik daripada diupayakan sendiri. Sementara konflik terjadi karena seseorang secara subjektif berbeda pendapat mengenai distribusi keuntungan dari hasil kerja sama. Perbedaan ini dipicu oleh tujuan dan keinginan individu untuk memilih bagian yang lebih besar ketimbang bagian yang sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu dalam kerja sama sosial tetap memunyai 8 Ibid, h. 48. 43 rencana dan tujuan hidup sendiri yang memunculkan klaim-klaim yang saling bertentangan mengenai sumber daya alam dan sosial.9 Di sinilah kemudian diperlukan keadilan. Pandangan tentang keadilan berbeda-beda antara liberalisme dan sosialisme. Gambaran tradisional biasanya mendeskripsikan keadilan dalam liberalisme sebagai kebebasan (liberty) sedangkan keadilan dalam sosialisme adalah persamaan (equality). Kedua posisi ini kemudian melahirkan kategorisasi kanan dan kiri. Setuju dengan kebebasan berarti memosisikan diri sebagai orang kanan. Sebaliknya, setuju dengan prinsip persamaan berarti orang kiri.10 Namun gambaran demikian tidak cukup memuaskan dan cenderung simplistis. Dalam keadilan selalu sudah terkandung prinsip persamaan. Karena itu, liberalisme bukan berarti sama sekali tidak mengenal persamaan. Bahkan teoritisi liberal kontemporer secara khusus berusaha menyatukan dua prinsip tersebut dalam membahas keadilan distributif.11 Pada sisi lain, terdapat pengertian persamaan lebih fundamental daripada kategorisasi dangkal di atas, yaitu memerlakukan orang secara sama. Melalui pengertian ini, baik liberalisme maupun sosialisme sama-sama memunyai prinsip persamaan. Kelompok kiri mengartikan persamaan pendapatan atau kekayaan sebagai prakondisi memerlakukan orang tanpa pilih kasih. Sementara kelompok 9 John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 154-155. 10 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 5. Lihat pula Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 2-3. 11 John Rawls (liberalisme egaliter) dan Robert Nozick (libertarianisme) memasukkan prinsip persamaan kesempatan dan kebebasan dalam teori mereka walaupun mereka berbeda dalam mengembangkan teori keadilan. 44 kanan melihat hak-hak yang sama atas pekerjaan dan properti (kebebasan hak milik) sebagai prakondisi memerlakukan orang secara sama.12 1. Liberalisme Keadilan dalam liberalisme seringkali dikaitkan dengan hak individu. Karena itu, definisi Aristoteles cukup tepat untuk menggambarkan keadilan dalam tradisi liberal. Aristoteles memberi arti khusus pada keadilan sebagai berhenti dari pleonexia, yaitu dari pencapaian keuntungan dengan merebut apa yang menjadi hak milik orang lain, wilayahnya, kantornya, dan lain-lain atau menolak pemenuhan janji, pembayaran hutang, dan sebagainya.13 Banyak formulasi terkenal tentang keadilan dilahirkan dari pengertian ini. John Stuart Mill misalnya memberikan rumusan dengan mengatakan bahwa “Keadilan sebagai sesuatu yang bukan hanya benar bila dilakukan atau salah bila dinafikan, tetapi orang bisa mengklaim dari kita sebagai hak moralnya”.14 Hak individu dapat ditelusuri dari pemikiran Hobbes dan khususnya Locke yang sangat berpengaruh dalam pandangan liberal. John Locke dianggap sebagai pendiri pandangan liberal modern mengenai hak individu manusia. Ia mengatakan bahwa setiap orang, karena hukum alam, memunyai hak alamiah atas kehidupan, kebebasan, dan harta milik agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak.15 Hak alamiah ini sudah ada dalam kondisi alamiah manusia sebelum munculnya 12 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, h. 5. John Rowls, Teori Keadilan, h. 11-12. 14 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, h.15. 15 Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terj. Masri Maris, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 85. 13 45 masyarakat sipil melalui kontrak sosial. Namun berbeda dari gambaran kondisi alamiah dan kontrak sosial a la Hobbes,16 Locke menggambarkan manusia dalam kondisi alamiah itu baik. Dalam artian, manusia memunyai kecenderungan baik untuk memelihara hidupnya dengan mengikuti hukum kodrat atau hukum alam. Hukum ini dapat ditemukan manusia melalui tiga cara dan bentuk,17 yaitu prinsip rasionalitas, ide kreasionis Tuhan, dan keharusan alamiah. Ketiga bentuk hukum itu kemudian dijadikan argumen untuk membuktikan bahwa setiap orang memunyai hak alamiah yang sama dan berlaku universal. Prinsip rasionalitas atau argumen nalar berangkat dari kepercayaan Locke bahwa setiap manusia memiliki kemampuan rasional yang sama untuk memeroleh pengetahuan sejati. Tak peduli apakah seseorang belajar rumus-rumus sains atau tidak, semua manusia memiliki potensi untuk mengetahui hukum-hukum alam dengan menggunakan nalarnya. Menurutnya, Tuhan tidak begitu kikir dalam menciptakan manusia sebagai makhluk berkaki dua, sebab Dia tidak menyerahkan mandat hanya kepada Aristoteles untuk menjadi satu-satunya manusia rasional dengan terlebih dahulu belajar sillogisme.18 Sebab itu, tanpa ada hukum sipil sekali pun manusia tetap mengikuti hukum yang diturunkan oleh nalar melalui refleksi terhadap kehidupan di alam semesta. 16 Hobbes menggambarkan kondisi alamiah manusia sebagai keadaan dengan penuh ketidakpastian, kacau balau, dan perang. Hal ini diakibatkan oleh: terpesonanya manusia terhadap kenikmatan sehingga tergugah untuk mendapatkannya dengan berbagai cara; ketidakpercayaan terhadap orang lain sehingga menganggapnya sebagai ancaman; dan berkurangnya sumberdaya alam sehingga muncul persaingan tak terkendali antar satu sama lain. Akibatnya, yang kuat berarti kekalahan bagi pihak yang lemah. Kondisi ini membawa manusia ke dalam sebuah kontrak yang melahirkan teori hukum kekuasaan dengan terbentuknya negara leviathan (negara yang memiliki otoritas untuk memerintahkan serta menghukum warga warganya). 17 Disebut cara karena melalui ketiga hal itu dapat ditemukan hukum kodrat atau hukum alam. Dikatakan bentuk karena Locke kadang menyebut ketiga hal itu sebagai hukum itu sendiri. 18 Ibid, h. 89-90. 46 Argumen kreasionis mengatakan bahwa Tuhan-lah yang menciptakan manusia dan semua manusia diciptakan sama sebagai anak-anak Tuhan.19 Sebagai Pencipta, Tuhan tidak membedakan hak atas ciptaan-Nya termasuk untuk species manusia. Konsekuensi pandangan kreasionis ini adalah semua orang akan dipandang memiliki hak yang sama atas hidup mereka masing-masing. Kemudian, karena manusia juga memiliki kemampuan mencipta sebagaimana Tuhan, maka ia berhak pula atas hasil ciptaannya. Sedangkan argumen alam menunjuk pada tuntutan alamiah seperti tatanan yang harmonis dalam kehidupan atau upaya memertahankan hidup. Sebagaimana dikatakan Locke bahwa “Dari pembawaan yang sama, ketika umat manusia ditindas sudah sewajarnya berusaha melepaskan diri dari kekangan yang mencekik leher mereka”.20 Artinya sudah menjadi bawaan manusia untuk tetap hidup serta keluar dari berbagai belenggu dan tirani. Karena itu, semua orang memunyai hak alamiah yang sama untuk memertahankan kehidupannya. Dengan demikian, menurut Locke, setiap orang dilahirkan dengan dua hak sekaligus, yaitu hak kebebasan bagi dirinya sendiri dan hak mewarisi harta ayahnya. Tak ada seorang pun yang berhak menguasai kehidupan orang lain.21 Seseorang bebas menjalankan dan menentukan kehidupannya sendiri. Karena seseorang berhak atas kehidupan, maka berarti dia bebas menjalankan dan menentukan hidupnya. Ia juga berhak mewarisi harta orang tuanya. Sementara, harta yang merupakan hasil kerja manusia juga menjadi haknya untuk kemudian diwariskan pada anaknya. 19 Ibid, h. 91. Ibid, h. 82. 21 Ibid, h. 87. 20 47 Namun, meskipun manusia memunyai hak atas kebebasan, bukan berarti ia bebas berbuat sesuka hati dan sewenang-wenang (tidak semena-mena). Manusia dibatasi oleh hukum alam yang melingkupinya di mana melalui hukum tersebut orang lain harus diperlakukan sama sebagaimana hak alamiahnya. Tetapi selama manusia tidak melanggar hukum alam, tindakannya adalah milik dan urusan pribadinya.22 Di sinilah perbedaan hak dan kewajiban yang, walaupun sama-sama muncul dari hukum alam, salah satu dari keduanya membatasi keberadaan yang lain. Menurut Locke, hukum kodrat harus dibedakan dari hak alamiah karena hak dilandaskan pada kenyataan bahwa kita bisa memanfaatkan sesuatu dengan bebas. Sedangkan hukum adalah perintah atau larangan melakukan sesuatu.23 Meskipun manusia pada kondisi alamiah dilingkupi oleh hukum alam, bukan berarti tidak ada hambatan sama sekali dalam merealisiasikan hak alamiahnya. Pelanggaran terhadap hukum alam menjadikan perilaku manusia seperti binatang buas yang melumat kehidupan orang lain. Pelanggaran itu rentan terjadi sehingga manusia terdorong untuk membuat kesepakatan kontraktual dengan manusia lainnya. Di sinilah awal mula munculnya kontrak yang melibatkan seseorang dalam ikatan sosial (masyarakat). Locke menggarisbawahi bahwa “Karena keculasan manusia sedemikian rupa sehingga lebih suka merampas hak milik orang lain ketimbang berusaha sendiri, mendorong manusia masuk ke dalam anggota masyarakat”.24 22 Ibid, h. 101. Ian Shapiro, Asas Moral dalam Politik, terj. Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 9. 24 Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, h. 125. 23 48 Kontrak sosial diperlukan untuk menetapkan kategori hukum secara harfiah beserta konsekuensi yang diakibatkannya. Akan tetapi, hukum dalam masyarakat (hukum sipil) tidak boleh bertentangan dengan hak-hak alamiah seseorang. Sebab itu, individu dalam masyarakat tetap bebas dan tidak dikatakan berada di bawah kekuasaan apa pun kecuali kekuasaaan itu dibentuk berdasarkan kesepakatan.25 Kekuasaan politik tidak lain dari hak untuk membuat hukum dengan sangsi-sangsinya yang bertujuan melindungi hak individu. Dalam pemikiran Locke, individu merupakan makhluk otonom dan dapat melakukan apa saja dalam batas-batas yang ditentukan hukum alam. Akibatnya, dalam kehidupan masyarakat, individu harus menghormati otonomi masingmasing sehingga tidak seorang pun boleh mencederai kehidupan, kebebasan, dan kekayaan orang lain. Di sinilah letak keadilan mendapatkan maknanya. Berbagai gangguan dan pelanggaran terhadap hak individu, baik yang dilakukan seseorang maupun oleh penguasa, dikatakan tidak adil.26 Keadilan disandarkan kepada yang hak (the right) yang lebih prioritas daripada yang baik (the good) di mana setiap orang diperlakukan memunyai hak alamiah yang sama atas kehidupan, kebebasan, dan harta milik. 2. Sosialisme Menelusuri keadilan dalam sosialisme diperlukan kecermatan tersendiri karena berkaitan dengan seluruh proyek falsafat yang dibangun oleh pendahulu mereka, yaitu Karl Marx. Di sini keadilan tidak mendapat prioritas utama 25 26 Ibid, h. 112. Ibid, h. 101-102. 49 ketimbang cita-cita utopis yang dituju, yakni terbentuknya masyarakat komunis tanpa antagonisme kelas. Menurut Marx, sejarah masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas; pemilik tanah dan petani, bangsawan dan budak, kapitalis dan proletar dalam suatu hubungan antara penindas dan tertindas. Perjuangan itu pada akhirnya, sebagaimana dalam pembukaan The Communist Manifesto, menggerakkan kesadaran manusia untuk mewujudkan suatu kehidupan masyarakat tanpa kelas, yaitu masyarakat komunis.27 Karena itu, keadilan tidaklah cukup menentukan untuk menghilangkan konflik kelas dalam masyarakat, apalagi keadilan yang disandarkan pada hak yang sama dalam masing-masing individu. Keadilan hanya menjembatani konflik antar individu, sementara komunisme mampu menghilangkannya. Bahkan Marx menyerang gagasan “hak yang sama” seperti dalam liberalisme sebagai kata-kata usang. Menurutnya, hak yang sama secara diam-diam mengakui karunia individu yang timpang. Hak yang sama tidak mungkin diterapkan karena manusia sejak lahir sudah berbeda-beda, baik kecerdasannya, kelas sosial keluarganya, kemampuannya, dan sebagainya. Perbedaan ini memberikan pengaruh tersendiri bagi manusia dalam memergunakan haknya sehingga akan terjadi ketimpangan. Marx melanjutkan, hak yang sama hanya mungkin diterapkan sejauh individuindividu yang timpang dan berbeda-beda dibawa ke dalam sudut pandang yang sama dari satu sisi yang pasti. Misalkan semua individu dianggap sebagai kaum buruh saja dan mengabaikan semua hal lainnya.28 Jelas ini tidak mungkin. 27 Karl Marx dan Freidrich Engels, The Communist Manifesto, (London: Penguin Book, 1967), h. 1. 28 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, h. 217-218. 50 Walaupun Marx secara eksplisit menentang hak yang sama tetapi bukan berarti menghilangkan persamaan moral yang selama ini menjadi landasan keadilan. Marx tidak menolak pandangan bahwa komunitas harus memerlakukan anggotanya secara sama. Yang ditolaknya ialah bila komunitas memerlakukan anggotanya secara sama melalui penerapan teori persamaan yuridis kaum liberal, yaitu teori persamaan yang mengartikulasikan klaim individu pada kondisikondisi tertentu seperti hak yang sama atas kebebasan dan kekayaan. Hak yang sama model ini dianggap timpang karena hanya menetapkan pendirian moral yang terbatas. Hak ini hanya akan melahirkan “ketidaksamaan” dan karena itu gagal mencapai cita-cita persamaan itu sendiri.29 Di samping menolak hak yang sama, komunisme juga menolak keadilan yang terlalu memusatkan pada persoalan distribusi ketimbang masalah produksi. Sosialisme menganggap munculnya konsep keadilan distributif diakibatkan oleh perbedaan kelas yang apabila dapat diatasi konsep itu akan menjadi usang. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan bukan bagaimana distribusi yang adil melainkan memindahkan pemilikan sarana produksi yang selama ini menjadi sumber bagi munculnya pertentangan kelas antara borjuis dan proletar. Kepemilikan sarana produksi tidak hanya memberikan seseorang kesempatan untuk menambah pendapatan yang lebih besar, tetapi juga mengatur kehidupan orang lain.30 Di sinilah eksploitasi itu masih terjadi. Persamaan dalam pandangan sosialisme hanya mungkin tercapai dalam masyarakat komunis yang menghapus hak milik pribadi. Sebagai gantinya, 29 30 Ibid, h. 219. Ibid, h. 220. 51 sosialisasi sarana-sarana produksi harus dilakukan sehingga setiap orang memunyai akses yang sama terhadap sumber kekayaan dan berperan serta dalam keputusan kolektif di sekitar penyebaran aset-aset produktif. Sarana-sarana produksi dikerjakan oleh kolektifitas manusia sehingga menghasilkan kekayaan yang melimpah. Ketika ini terwujud, prinsip distribusi yang adil menurut Marx adalah “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, bagi setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”. Inilah rumusan prinsip keadilan yang amat terkenal dalam sosialisme.31 Meski rumusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, tetapi sebagaimana dikatakan sebelumnya, sosialisme lebih mengutamakan cita-cita masyarakat komunis. Setelah cita-cita itu tercapai, baru keadilan dapat diwujudkan. Di luar itu, keadilan dalam perspektif komunisme tidak terlalu penting. Konflik di dalam masyarakat terjadi bukan karena tidak adanya keadilan sebagaimana dalam liberalisme, tetapi lebih dari itu, karena kepemilikan saranasarana produksi oleh individu yang melahirkan kelas-kelas sosial. 3. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme Penekanan liberalisme pada hak individu atas kehidupan, kebebasan, dan harta milik menimbulkan beberapa konsekuensi yang tak dapat dielakkan terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Hak tersebut bersifat ekslusif dan otonom dalam diri individu. Di antara konsekuensi itu yang paling mencolok adalah munculnya ekonomi kapitalisme. Bahkan antara liberalisme dengan 31 16. Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, h. 15- 52 kapitalisme tak dapat dipisahkan satu satu sama lain.32 Akar kapitalisme dapat ditemukan dalam pandangan Bernard de Mandeville dan Adam Smith pada abad ke-18 yang mendukung masyarakat pasar yang bercirikan pembagian kerja secara rasional dan terperinci, penghormatan hak milik pribadi, dan pengutamaan kepentingan pribadi.33 Menurut Smith, kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka panjang apabila individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) di mana individu secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik buat masyarakat dengan memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya sendiri.34 Maka hukum pasar haruslah didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton sehingga membawa implikasi kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan seminimal mungkin kontrol pemerintah atas pasar. Akan tetapi, kebebasan akan hak milik pribadi yang melahirkan kompetisi di pasar mulai bermasalah ketika sarana-sarana produksi dikuasai oleh para pemilik modal. Mereka memiliki kekuatan lebih dengan cara memekerjakan para buruh sehingga menghasilkan produk yang berlipat ganda. Sementara, kaum buruh (proletar) hanya mendapatkan upah minimum dari hasil kerja mereka, karena para pemilik modal (borjuis) mengejar keuntungan maksimum. Keadaan ini digambarkan Marx sebagai bentuk eksploitasi di mana kaum proletar terasing dari diri dan hasil kerjanya. Kelompok borjuis mendapat nilai lebih (surplus) 32 Calton Clymer Rodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 134. 33 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 101-103. 34 Doyle Paul Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern, h. 25-26. 53 dengan menambahkan jam kerja buruh sehingga memeroleh keuntungan, tetapi kerugian bagi buruh karena tenaganya melebihi upah yang dikeluarkan. Selain kerugian jam kerja, kaum buruh juga tidak dapat menikmati hasilnya meski itu merupakan buah dari jerih payah dan kecakapan kerjanya. Lain dari itu, kompetisi yang bebas ternyata mendorong kapitalis untuk mendominasi pasar sehingga terjadi sentralisasi modal yang menyebabkan terjadinya ketimpangan. Pemilik modal makin leluasa melebarkan sayapnya, sementara kaum proletar terjerat dan tersungkur dalam kemiskinan. Di sini berlaku ungkapan seperti didendangkan H. Rhoma Irama “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Akibatnya, kesenjangan sosial semakin melebar dan kemudian disusul dengan instabilitas dan disentegrasi sosial yang akan mengubur kesejahteraan. Tidak hanya itu, kepemilikan diri yang merupakan kebebasan fundamental dalam diri manusia hancur seketika karena kaum proletar terasing dari dirinya sendiri. Mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hak sama atas kekayaan akibat dominasi dan hegemoni kaum borjuis. Dengan demikian, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, kebebasan yang diusung dalam liberalisme dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalisme hanyalah khayalan belaka. Dia mengatakan bahwa: Dalam banyak hal, para pekerja pabrik hanya memeroleh upah sedikit yang tidak lebih dari kebutuhan dasarnya yang minimal. Mengejar keuntungan sebesar-besarnya adalah sistem ini. Ia membagi manusia menjadi dua kelompok, yaitu manusia yang sangat kaya dan bersuka ria di atas kemewahan besar, dan kelompok yang hidup dalam kemelaratan yang paling sengsara… Kebebasan ini hanyalah khayal belaka di tengah kehadiran kebebasan pribadi dan kebebasan ekonomi.35 35 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 70. 54 Menurutnya, kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme hanya menarik dari kulit luarnya saja tetapi sebenarnya tidaklah benar-benar bebas.36 Kebebasan yang diberikan sepenuhnya kepada individu justru mengekang kebebasan orang lain. Persamaan hak individu atas kebebasan dan kekayaan justru menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Bahkan kebebasan itu hilang sama sekali karena individu yang miskin dan tertindas dan ditentukan hidupnya oleh kaum borjuis. Sementara itu, sosialisme yang berupaya mewujudkan masyarakat komunis dengan cara menghapus hak properti dihadapkan pada berbagai persoalan mendasar yang cukup pelik dan kompleks. Meskipun berhasil, dalam klaim mereka, menelusuri sebab-sebab terjadinya konflik antar individu dalam masyarakat, tetapi mereka gagal dalam mencapai cita-citanya. Alih-alih mengatasi konflik tersebut, komunisme berubah menjadi raksasa totaliter yang melumat dan menghancurkan kemanusiaan. Runtuhnya negara federasi Uni Soviet pada tahun 1991 menjadi ujian empiris tak terbantahkan mengenai kesalahan tesis yang dibangun dalam menangkap hukum-hukum sosial. Kesalahan tesis itu secara general ditunjukkan oleh ketiadaan korespondensi antara pernyataan pemikiran dengan kenyataan. Cita-cita komunisme hanyalah utopia yang melintasi dunia imajiner para pejuang kelas karena setiap upaya mewujudkannya selalu bertentangan dengan kodrat alamiah mereka. Sudah sejak dulu, ketika hasrat alamiah manusia mengenal kenikmatan, dorongan untuk memiliki sesuatu itu muncul. Apalagi 36 Ibid, h. 129. 55 dalam masyarakat yang memunyai pandangan hidup dan meyakini falsafat hidup materialisme. Maka setiap upaya untuk menghapuskannya akan mendapat perlawanan dalam diri manusia sendiri. Muhammad Baqîr al-Shadr memandang bahwa: Pemecahan yang diajukan oleh komunisme menyebabkan terlalu banyak kompilasi. Komunisme hendak merebut kemerdekaan individu dan mengganti kepemilikan pribadi dengan pemilikan kolektif, akan tetapi pada umumnya, perubahan yang besar ini terbukti bertentangan dengan tabiat manusia. Karena orang materialis selalu berpandangan materialistis dan memandang kepentingannya dari sudut pribadi yang terbatas.37 Pemecahan yang diajukan dalam sosialisme-komunisme menurut Muhammad Baqîr al-Shadr mengalami banyak kompilasi. Komunisme hendak merebut kemerdekaan individu dengan cara mengganti kepemilikan pribadi dengan kepemilikan kolektif. Padahal, kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan ekonomi merupakan fondasi dari semua kebebasan.38 Jelas ini bertentangan dengan tabiat manusia sehingga wajar apabila kekuasaan Lenin menggunakan cara-cara otoriter dalam rangka menghantam perlawanan itu. Oleh sebab itu, persamaan ideal beserta falsafat hidup yang dibangun dalam sosialisme tak dapat dipertahankan meski tetap menancapkan pengaruh konseptual di luar ideologi bersangkutan. 37 38 Ibid, h. 81. Ibid, h. 81-82. 56 BAB IV PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL A. Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, upaya manusia mencapai tujuan sistem sosial dilakukan dalam bingkai ideologis yang meliputi pandangan dunia, doktrin politik, moral, dan sebagainya. Ideologi merupakan jendela dalam memandang dunia yang menentukan cara-cara manusia dalam berhadapan dengan lingkungan material dan sosialnya. Di dalam ideologi terdapat nilai, norma serta tata cara yang diikuti manusia dan diyakini mampu mewujudkan cita-cita kehidupan. Dalam konteks ini, Muhammad Baqîr al-Shadr juga melihat Islam sebagai ideologi yang berbeda dari ideologi Barat. Islam adalah ideologi agama yang harus dikuti dan ditegakkan oleh umat Muslim. Ia mengatakan: Kewajiban kaum Muslim yang sadar adalah hendaklah mereka menjadikan Islam sebagai kaidah pemikiran dan ruang lingkup umum dari setiap apa yang mereka bangun dari berbagai pemikiran peradaban dan konsepsi alam, kehidupan, manusia, dan masyarakat. Tak diragukan lagi bahwa ideologi agama memerhatikan sisi ini dan mengharuskannya eksis (mawjûd) pada orang yang beragama.1 Islam merupakan sistem kepercayaan yang mengandung nilai-nilai guna menopang kehidupan umatnya. Seluruh aspek tindakan umat Islam didasarkan pada nilai-nilai kepercayaan itu, sebab secara epistemologis, setiap tindakan diandaikan selalu sudah siap (always ready) diawali oleh suatu putusan atau kepercayaan. Keraguan tidak dapat dijadikan landasan utuh bagi tindakan pun 1 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Alcaff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 55. Lihat pula halaman 104. 56 57 kepercayaan. Keragu-raguan berarti tidak adanya suatu putusan dalam proses berpikir sehingga tidak akan menghasilkan apapun kecuali keraguan itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap tindakan didasarkan pada nilainilai dan nilai itu dilahirkan dari kepercayaan. Nilai-nilai yang dilahirkan dari kepercayaan tersebut ketika diinternalisasi pada gilirannya akan membentuk pandangan dunia (worldview) umat Islam. Segala hal yang berkaitan dengan kehidupan umat Islam meliputi tindakan, asalusul beserta tujuan hidup dan sebagainya dipengaruhi oleh pandangan dunianya. Karena itu, setiap tindakan orang Islam yang bertentangan dengan pandangan dunianya berarti melanggar atau bahkan mengingkari kepercayaannya. Bagaimanapun, orang Islam harus mengikuti nilai-nilai kepercayaannya selama menyejarah di belantara kehidupan ini. 1. Tauhid Pandangan dunia Islam didasarkan atas tauhid yang meyakini keberadaan Tuhan dan mengesakan-Nya. Tauhid berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk ketiga dari asal kata wahhada yuwahhidu tawhîdan yang berarti pengesaan atau penunggalan. Dalam hal ini tauhid berarti meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Tuhan. Kepercayaan ini menjadi syarat utama dan paling utama seseorang disebut Muslim. Tuhan diyakini sebagai kebenaran mutlak yang menjadi asal-usul keberadaan segala sesuatu. Sebab itu, hanya Tuhan yang patut disembah karena keberadaan-Nya mandiri dan menjadi 58 tempat bergantung keberadaan yang lain. Kepercayaan ini diekspresikan dalam kalimat tauhid lâ ilâh illâ Allâh (Tiada tuhan Selain Allah). Mengatakan bahwa Tuhan ada dan keberadaan-Nya mandiri bukan tanpa alasan. Di sini Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan penjelasan rasional dengan argumen kausalitas. Dalam kausalitas berlaku hukum bahwa setiap sesuatu merupakan akibat dari sebab sebelumnya, dan setiap sesuatu membutuhkan sebab agar menjadi ada. Akan tetapi menurutnya, jika di alam semesta berlaku hukum kausalitas, mustahil sebab itu tidak terhingga. Gerak mundur sebab itu akan berhenti pada Sebab Pertama (prima causa) yang niscaya. Sedangkan Sebab Pertama itu tidak tunduk pada hukum kausalitas. Hal ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Tuhan tidak membutuhkan sebab karena Ia adalah Sebab Pertama. Sebab sebagai sebab tidak menuntut sebab sebelumnya tetapi ia menuntut akibat. Baru dari Sebab Pertama kemudian muncul matarantai sebab di mana hukum kausalitas berlaku umum bagi alam semesta.2 Dengan demikian, hanya Allah yang pantas dipertuhankan karena keberadaan-Nya sebagai Sebab Pertama menjadi sebab keberadaan yang lain. Keberadaan Allah tidak bergantung kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya (wâjib al-wujûd). Ia niscaya dalam Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain tidak dapat eksis tanpa menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya hanyalah mungkin (mumkin al-wujûd). Yang lain membutuhkan Allah agar menjadi eksis. Kebutuhan itu menggambarkan hubungan eksistensial yang tak 2 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 226-228. 59 dapat dipisahkan antara keberadaan yang lain dengan Allah, antara akibat dengan sebabnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu menuju pada-Nya karena ikatan eksistensial di mana tanpa Tuhan sesuatu itu tidak mungkin eksis. Inilah tujuan hakiki paling fundamental yang mengatasi segala tujuan dari setiap keberadaan. Dari keyakinan tauhid tersebut, terdapat dua hal yang bisa digarisbawahi. Pertama, karena Allah niscaya dan mandiri sementara keberadaan yang lain sepenuhnya bergantung kepada Allah, maka yang lain tidak memiliki kekuatan apa-apa kecuali kepasrahan dan ketundukan total kepada-Nya. Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, orang Islam harus mengakui ini serta mewujudkan eksistensi “Islam” pada seluruh ranah kehidupan. Dia merujuk pada ayat al-Qur‟ân surat alBaqarah 208 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam Islam secara sempurna dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata”. Menurutnya, kata “Islam” atau “al-silm” pada ayat di atas memunyai banyak kemungkinan pengertian. Ia bisa diartikan perdamaian (al-salâm) yang merupakan lawan atau antonim dari kata perang (al-harb). Al-salâm juga berarti al-islâm sebagai akidah, yaitu keimanan kepada Allah. Selain itu, al-salâm bisa berarti al-istislâm, yaitu penyerahan secara mutlak kepada Allah dan ketundukan sempurna dalam segala urusan kehidupan. Tetapi bagi Muhammad Baqîr alShadr, di antara berbagai pengertian tersebut, yang paling benar adalah yang terakhir.3 Sebab secara bahasa, al-silm tidak berarti al-salâm karena ia bisa juga 3 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua, h. 121. 60 berarti al-istislâm yaitu penyerahan, ridha, dan penerimaan. Lagi pula Islam memiliki hukum yang berbeda-beda berkenaan dengan hukum syari„at sesuai dengan kondisi dan posisi umat Islam ketika atau di tengah jihad. Kadang damai dibolehkan tetapi kadang dilarang seperti ayat “Janganlah kamu lemah dan meminta damai padahal kamulah yang di atas” (QS. Muhammad: 35). Dia melanjutkan, pengertian al-silm dengan al-islâm sebagai keimanan kepada Allah juga bermasalah. Seandainya kata itu berarti keimanan kepada Allah, maka tidak mungkin ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara khusus, sebab apa perlunya mengajak orang-orang Mukmin masuk dalam Islam? Dengan demikian, bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, ayat itu menunjukkan makna yang lebih luas di mana al-silm bermakna eksistensi yang istimewa di mana orang-orang Islam dituntut untuk masuk ke dalamnya. Eksistensi itu bukan sifat psikologis pribadi individu semata yang terpisah dari orang-orang Muslim yang lain. Eksistensi itu bersifat kolektif yang menjadi tanda bagi suatu kehidupan sosial di mana mereka menyerahkan seluruh kehidupan mereka kepada Allah serta tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. Tafsiran ini sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: Ayat tersebut menyeru pada pendirian suatu eksistensi yang konkrit, yang memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta, dan menyerahkan kepemimpinan praktis kepada-Nya serta memberikan kekuasaan-kekuasaan di mana masyarakat berdiri di atas fondasinya. Di tangan-Nyalah eksistensi ini, yang dapat diungkapkan dengan ungkapan yang hakiki dan jelas yaitu, eksistensi Islam di mana Nabi Muhammad diutus untuk mendirikannya dan mengajak manusia dalam kehidupan di bawah naungannya.4 4 Ibid, h. 122-123. 61 Kedua, karena manusia memunyai ikatan dan hubungan eksistensial dengan Allah, maka Allah harus menjadi tujuan dari kehidupan manusia. Tidak ada tujuan lain yang lebih hakiki daripada tujuan ini, sebab tanpa Allah manusia tidak akan mungkin ada. Keberadaan manusia tidak niscaya dengan sendirinya dan karena itu keberadaannya dikatakan mungkin, bukan wajib. Sebagai akibat dari ciptaan Allah, manusia tidak memunyai hak apa-apa terhadap-Nya kecuali kewajiban, yaitu kewajiban mengikuti segala perintah dan kehendak-Nya seperti yang telah diturunkan kepada para nabi. Sedangkan Allah memunyai hak penuh atau absolut atas ciptaan-Nya, memilikinya, dan memerlakukannya. Umat Islam wajib mengikuti perintah Allah sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad dalam bentuk risâlah, yaitu pesan Islam dalam kitab suci. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, yang pertama dan terpenting dari pesan Islam itu adalah pembentukan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan itu bersifat penghambaan yang menekankan akan keesaan Allah dalam kalimat syahadat (lâ ilâh illâ Allâh) sehingga menghapus segala bentuk penuhanan lain. Selain itu, pesan terpenting lain hubungannya dengan Allah adalah penekanan akan kembalinya (ma„âd) manusia kepada-Nya di kehidupan akhirat. Di sini manusia akan diminta pertanggungjawabannya selama menyejarah di muka bumi dan menjadi tempat ditegakkan keadilan yang sebenarnya.5 Oleh sebab itu, semua tindakan umat Islam harus sesuai dengan yang diperintahkan dan dikehendaki oleh Allah karena setiap tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban dan diberi ganjaran dan hukuman di akhirat. Hal ini 5 Muhammad Baqîr al-Shadr, The Revieler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed M Ayoub, (Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986), h. 137-138. 62 menunjukkan dengan tegas bahwa tujuan sejati dari kehidupan umat Islam tidak lain adalah Allah dengan cara mencapai Ridha-Nya. Umat Islam tidak dibenarkan menjadikan yang lain sebagai tujuan hidupnya. 2. Tuhan sebagai Pusat Realitas Keyakinan tauhid di atas menjadi pijakan dasar bagi umat Islam dalam memandang realitas alam semesta. Meski bersifat material dan fisik, bukan berarti itu merupakan satu-satunya realitas. Justru realitas yang paling hakiki adalah realitas Tuhan, karena realitas alam semesta tidak mungkin ada jika tidak menggantungkan diri pada Tuhan. Dengan demikian, keberadaan alam semesta harus dilihat dan dimaknai dalam satu kesatuan dengan realitas Tuhan. Kesatuan ini besifat eksistensial dan esensial. Kesatuan eksistensial berarti bahwa alam semesta merupakan realitas yang tak dapat dipisahkan dari Tuhan, sehingga keberadaannya memanifestasikan keberadaan Tuhan. Seluruh benda di alam semesta menandakan adanya kesatuan sebab yang niscaya dengan Esensi-Nya yang sekaligus menjadi akhir dari mata rantai sebab.6 Sekalipun ada perbedaan, maka perbedaan alam semesta dan Tuhan, profan dan absolut, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr hal itu justru untuk kian meneguhkan Tuhan sebagai satu-satu-Nya realitas, dan bukan malah mengunggulkan realitas Alam di atas Tuhan. Perbedaan tersebut dimaksudkan supaya manusia tahu “Eksistensi paling Sejati” di alam semesta ini. 6 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 229. 63 Kesatuan esensial merupakan akibat dari kesatuan eksistensial yang harus dijadikan pandangan oleh umat Islam dalam memandang kehidupan dan alam secara umum. Walaupun manusia hidup di dunia materi bukan berarti ia cenderung materialistis dan hanya mencurahkan hidupnya pada hal-hal materi. Kecenderungan ini jelas bertentangan dengan keimanan Islam sendiri. Sebaliknya, umat Islam harus menjadikan Tuhan sebagai telos (tujuan) dalam segala sendi kehidupanya. Segala sesuatu berasal dari Allah dan akan menuju kepada-Nya sebagai terminal akhir serta tujuan yang paling hakiki. Oleh sebab itu, di tengah kehidupan yang dilingkupi oleh kondisi dan reaksi material, umat Islam selayaknya berpandangan spiritual tanpa mengingkari arti keberadaan materi di alam. Hal ini dijelaskan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: Spiritualitas di sini tidak berarti mengingkari makna-makna materi di alam atau hanya semata-mata membatasi ruang lingkup keberadaan hanya pada rohani semata sebagaimana banyak penulis Barat menafsirkan pandangan spiritual dengan cara demikian. Islam mengakui hakikat rohani dan jasmani, namun ia mengikat semua hakikat tersebut dengan Penyebab Pertama (Sabab al-Musytarak) yang lebih dalam yaitu Allah. Jadi, pada hakikatnya pandangan spiritual merupakan pengetahuan akan hubungan kehidupan dan alam dengan Allah serta pancaran dari kekuasaan-Nya dan ketentuan-Nya. Dengan makna yang demikian maka kita dapat menganggap alam secara umum sebagai sesuatu yang bersifat spiritual.7 Menganggap realitas alam semesta bersifat spiritual, sebagaimana dinyatakan di atas, bukan berarti mengingkari realitas materi. Tetapi hal ini berkaitan erat dengan pemahaman manusia terhadap Tuhan terhubung dengan keberadaan diri maupun alam. Pemahaman itu kemudian memengaruhi seseorang dalam menentukan sikap terhadap alam dan kehidupan. Dari pemahaman itu manusia menetapkan orientasi umum yang menjadi landasan dan tujuan dalam 7 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua, h. 43. 64 setiap tindakannya, yaitu Allah. Inilah karakter pandangan dunia Islam yang Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr berbeda dari pandangan dunia Barat khususnya falsafat materialisme. Dalam pandangan mereka, satu-satunya realitas adalah realitas material sedangkan metafisika hanyalah takhayul belaka. B. Tauhid dan Kebebasan Konsekuensi dari pandangan tauhid di atas adalah munculnya kebebasan dalam diri manusia. Dalam tauhid terkandung semangat revolusioner untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk dominasi dan belenggu kekuatan lain. Islam tidak menghendaki ketundukan dan kepasrahan terhadap apapun atau siapa pun selain kepada Allah. Dengan demikian, kebebasan di sini bukan dalam arti kebebasan yang seluas-luasnya yang dimiliki sepenuhnya oleh manusia sehingga bisa berbuat apapun sesuai dengan keinginannya. Kebebasan yang dimaksud adalah kemerdekaan seseorang dari penentuan dan penguasaan orang lain sehingga sisi negatif kebebasan benar-benar dihilangkan. Dasar kebebasan dalam Islam adalah tauhid di mana seseorang tunduk dan pasrah kepada Allah. Dari ketundukan dan kepasrahan itu kemudian muncul persamaan dalam diri manusia, yaitu sama-sama hamba Allah. Umat Islam berdiri di atas pijakan yang sama dengan mahluk lain sebagai hamba Allah. Hal ini ditegaskan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: Dasar yang hakiki dari kebebasan dalam Islam adalah suatu kesatuan dan kepercayaan dalam penyerahan yang ikhlas kepada Allah, yang di hadapan-Nya segala kekuasaan keberhalaan dihancurkan, kekuasaan yang menginjak martabat manusia sepanjang sejarah… Karena itu, di atas segalanya manusia adalah hamba Allah yang tidak mengakui penyerahan kepada apapun dan siapa pun selain kepada-Nya, atau penyerahan kepada 65 hubungan keberhalaan yang bagaimanapun corak dan bentuknya. Sebaliknya, manusia berkedudukan sama tinggi dengan segala mahluk lain dalam penyerahannya yang ikhlas kepada Allah.8 Umat Islam yang tunduk kepada selain Allah, baik dalam bentuk perbudakan, hegemoni, tirani dan sebagainya, berarti mengingkari keimanannya dan karena itu dikatakan syirk. Sebab itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, ketika keimanan tauhid seseorang mendalam, tertancap rapat dalam hati dan kesadarannya, maka semakin mendalam pula perasaannya akan martabat dan kehormatannya. Ia akan semakin keras dalam menentang berbagai bentuk eksploitasi, perbudakan, korupsi, dan semacamnya.9 Kobaran spirit pembebasan yang terpancar dari keimanan tauhid menusuk langsung pada jantung orang Islam yang menempatkan Tuhan sebagai sentral kehidupan, sebagai asal sekaligus tujuan yang mengatasi segala tujuan. Namun, Islam tidak hanya memberikan spirit pembebasan dari belenggu orang lain saja tanpa mengeliminasi sebab-sebab terjadinya belenggu tersebut. Dalam pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, konsep kebebasan dalam Islam bersifat menyeluruh dan mendalam sehingga tidak terjadi kontradiksi dalam penerapannya. Hal ini berbeda dari kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme yang pada satu sisi mendukung kebebasan individu tetapi berakibat pada perbudakan, eksploitasi, dominasi bahkan menghilangkan kebebasan itu sendiri. Kondisi itu terjadi karena kebebasan dalam pandangan liberalismekapitalisme diperoleh dari hasil kekuasaan diri manusia atas dirinya sendiri di mana manusia bebas menjalankan hidupnya sesuai dengan yang diinginkan 8 9 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 128. Ibid, h. 129. 66 (kebebasan eksklusif). Penerapan ekonomi kapitalisme hanya memanjakan para pemilik modal saja dan menutup kesempatan kaum proletar untuk mendapatkan hak yang sama atas kekayaan. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr jelas kebebasan model ini bertentangan dengan kebebasan dalam Islam. Apabila kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme diawali oleh kekuasaan penuh manusia atas dirinya sendiri, maka kebebasan dalam Islam diawali oleh dan didasarkan atas kepatuhan total kepada Allah.10 Dengan demikian, agar kebebasan tidak menjadi kata-kata kosong belaka, maka Islam dalam konsep kebebasannya melenyapkan sebab-sebab yang menghalanginya. 1. Kemerdekaan Pribadi Tak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan manusia terhadap materi merupakan akibat langsung dari hasrat, naluri atau dorongan hawa nafsunya. Manusia terdiri dari badan dan jiwa atau tubuh dan ruh. Sebagai makhluk biologis, manusia memunyai kebutuhan-kebutuhan sebagaimana makhluk biologis lain seperti makan, minum, dan sebagainya. Namun, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, meski manusia maupun binatang berbuat menurut kehendaknya, garis demarkasi yang paling mendasar yang membedakan keduanya adalah perbuatan binatang hanya didorong dan ditentukan oleh gerak naluri saja, sementara manusia mampu menggunakan akal dan mengontrol nafsunya.11 Manusia yang hanya mengikuti hawa nafsunya akan berusaha keras dan membabi buta untuk mendapatkan apa yang diinginkan, apapun taruhannya. 10 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, h. 118. 11 Ibid, h. 119. 67 Sedangkan hasrat manusia tidak terbatas dan tidak akan pernah terpuaskan. Manusia memunyai keinginan dan kebutuhan tak terhingga karena ketika keinginan tercapai akan muncul keinginan lagi melebihi apa yang didapatkan. Apabila manusia hanya mengikuti hasratnya saja, maka pada posisi ini, dia kehilangan martabat dan kehormatannya sebagai manusia dan statusnya sama dengan binatang. Tidak hanya itu, kebebasan dalam arti kemerdekaan pun akan terancam oleh kebebasan orang lain yang membabi buta sebagaimana terjadi dalam hukum rimba. Dalam kondisi itu, kebebasan tidak akan terwujud sampai kapan pun. Maka kebebasan yang pertama kali harus ditekankan adalah kebebasan internal manusia dari cengkraman hawa nafsunya. Manusia harus benar-benar merdeka dari penguasaan hawa nafsunya dengan kendali kekuatan akal sehingga mampu mengarahkan pada hal-hal yang positif. Akal mampu mengendalikan hawa nafsu manusia menjadi suatu alat yang mengenalkan dia pada kebutuhan-kebutuhan yang lebih bermanfaat dan bermakna. Jika tidak demikian, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, sejak awal manusia sudah kehilangan kebebasannya.12 Manusia akan diperbudak oleh hawa nafsunya yang berakibat pada perampasan kebebasan orang lain. Oleh sebab itu, langkah pertama yang ditempuh Islam adalah membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu dengan membangun landasan yang kokoh, yaitu tauhid. Dengan tauhid, orang Islam tidak akan mengikuti dorongan hawa nafsunya karena ia memandang bahwa tujuan hakiki dari 12 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h, 134-135. 68 kehidupan adalah Allah. Meski ia berada di tengah alam yang dilingkupi oleh halhal material, ia tetap memunyai pandangan spiritual di mana alam dan dirinya berada dalam satu kesatuan dengan realitas Tuhan. Hal ini dikemukakan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: Ketika Islam membebaskan manusia dari perbudakan duniawi dan kesenangan sementara, ia menghubungkannya dengan keilahian dan keridhaan Allah. Dalam pandangan Islam, mengakui keesaan Ilahi adalah jaminan kebebasan manusia dari semua jenis perbudakan hawa nafsu yang pada gilirannya menjamin kebebasan dalam semua bidang lainnya.13 Langkah Islam itu dimaksudkan untuk mengantarkan manusia pada kebebasan yang sebenarnya sehingga kebebasan benar-benar dapat terwujud. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, kebebasan yang memancar dari sumber lain adalah kamuflase dan khayalan belaka yang akhirnya akan berubah menjadi belenggu yang melumat kebebasan itu sendiri. Kebebasan dalam arti seluasluasnya tidak akan pernah mencapai kebebasan atau kemerdekaan meski sepintas lalu orang dibuat terpesona dengannya. Kebebasan model ini menjanjikan kenikmatan tetapi sekaligus menyimpan badai yang akan menghancurkan kemerdekaan manusia. Selanjutnya, kebebasan pribadi atau internal dari hawa nafsu pada gilirannya akan membuat manusia mencapai kemerdekaan rohani atau konsistensi jiwa. Kemerdekaan rohani ini merupakan infrastruktur masyarakat merdeka. Menurutnya, orang tidak mungkin merasakan kebebasan dalam bidang sosial apabila ia tidak menguasai kemauan dan mengontrol hawa nafsunya.14 Seseorang yang hanya mengikuti hawa nafsunya akan melahirkan prilaku yang merugikan 13 14 Ibid, h. 120. Ibid, h. 121-122. 69 terhadap kehidupan bersama. Akibatnya, kehidupan sosial tidak akan stabil dan tidak akan terjamin integritasnya. 2. Kemerdekaan Sosial Setelah membebaskan manusia dari dalam, Islam kemudian membebaskan manusia dalam bidang sosial. Kebebasan ini sebenarnya konsekuensi lebih lanjut dari kemerdekaan pribadi di mana dasarnya adalah tauhid. Jika dengan keyakinan tauhid manusia dapat membebaskan diri dari cengkraman hawa nafsu, maka dalam bidang sosial, keyakinan tauhid dapat menghapus segala bentuk penaklukan dan penindasan oleh manusia. Keyakinan tauhid menempatkan manusia pada posisi yang sama dengan manusia lain di hadapan Allah. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, tidak ada hak yang diberikan Allah kepada suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain, eksploitasi kelompok atas kelompok lain atau melanggar kebebasannya. Tak seorang pun diperbolehkan menjadi yang dipertuan oleh orang lain.15 Islam tidak memberikan tempat bagi imperialisme, eksploitasi, tirani, hegemoni, perbudakan dan sebagainya. Sebaliknya, Islam mengutuk perbuatan tersebut dan memasukkan setiap ketundukan dan kepasrahan terhadapnya dalam kategori syirk. Ketundukan dan kepasrahan terhadapnya sama dengan menjadikan Tuhan selain Allah. Di sini peran sentral tauhid sangat signifikan dalam membebaskan manusia di bidang sosial sebagaimana dalam semua dakwah Islam lainnya. Hal ini dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: 15 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 142-143. 70 Islam dalam semua dakwahnya menggunakan tauhid sebagai senjatanya. Ketika manusia menjadi hamba Allah maka dia membuang semua tuhan palsu. Dengan demikian, dia tidak merasa rendah atau hina di hadapan suatu kekuatan atau penguasa duniawi… Islam tidak saja membebaskan manusia dari perbudakan nafsu, tetapi juga menghapus takhayul-takhayul syirk.16 Melalui keyakinan tauhid, Islam membebaskan manusia sepenuhnya sehingga ia benar-benar bebas dan merdeka dalam hubungannya dengan yang lain. Pembebasan manusia dari penyembahan berhala dalam bidang sosial, baik berhala bangsa, kelompok atau individu pada akhirnya akan semakin meneguhkan hubungan manusia dengan Allah di atas pijakan yang kokoh. Sebuah kebebasan yang diraih dari kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah dan digunakan untuk menuju kepada-Nya sebagai orientasi hidup yang paling hakiki. Kebebasan dalam Islam tidak digunakan untuk mengikuti hawa nafsu sehingga penggunaannya tidak terkendali. Di atas segalanya, Allah menjadi pusat segala tindakan manusia sehingga kebebasan pun harus beroperasi dari dan dalam bingkai ini, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Dalam bidang politik, kebebasan didasarkan pada keimanan kepada Allah sebagaimana kebebasan yang lain. Karena itu, kekuasaan dan kedaulatan hanya milik Allah. Dialah yang berhak untuk mengatur kehidupan manusia. Semua anggota masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk melaksanakan perintah-Nya. Hasil kesamaan ini adalah manusia merdeka dari dominasi orang lain, semua jenis eksploitasi politik, kekuasaan despotik, dan kekuasaan kelas. Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam tidak mengakui suatu bentuk politik yang membolehkan seorang individu atau kelompok mendominasi dan menguasai 16 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 123. 71 individu atau kelompok lain. Karena menurutnya, hal itu menyangkal kesamaan semua anggota masyarakat dalam memegang amanah Allah. Muhammad Baqîr alShadr mengungkapkan: Landasan pemerintahan Islam pertama adalah kekuasaan mutlak (absolut) milik Allah. Penjelasan atas kebenaran ini merupakan revolusi besar yang dirintis oleh para nabi yang berjuang demi pembebasan manusia dari perbudakan manusia lain. Kedaulatan Allah berarti bahwa manusia itu merdeka. Manusia secara individual maupun kelas atau kelompok tidaklah memiliki kekuasaan dan otoritas yang utama terhadap dirinya. Kekuasaan dan kedaulatan mutlak dan eksklusif adalah milik Allah.17 Dalam bidang ekonomi, manusia memiliki hak untuk memiliki sesuatu dan mengupayakan keinginan dan kebutuhannya. Akan tetapi, kebebasan di sini bukanlah kebebasan yang seluas-luasnya sehingga kebebasan seseorang berpotensi mengancam dan menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Di sini, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam menyelaraskan kebebasan ekonomi dengan keamanan ekonomi, memadukannya dalam suatu struktur yang terpadu. Manusia memiliki kebebasan ekonomi tetapi dalam batas-batas tertentu. Batasan itu adalah keamanan ekonomi individu lainnya dan kesejahteraan umumnya.18 Kebebasan ekonomi dibolehkan selama tidak mengancam kebebasan dan kesejahteraan orang lain. Kebebasan ekonomi, sebagaimana dalam politik, juga berlandaskan pada tauhid sehingga tidak ada hak kepemilikan penuh atau eksklusif dalam Islam. Sebaliknya, Islam memberikan jaminan atau keamanan bagi individu yang kurang beruntung untuk mendapatkan hak yang sama dengan lainnya. 17 18 Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, h. 101-102. Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 151. 72 Jaminan keamanan itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, adalah menjadi tanggung jawab pemerintah agar semua penduduk hidup layak dan terhormat. Untuk tujuan ini, dana dapat dikumpulkan dari kekayaan negara, sumber pendapatan umum, dan anggaran belanja negara.19 Negara dapat mengambil pajak atau zakat dari pendapatan individu sebagai pendapatan umum. Pajak dan zakat itu didistribusikan secara adil kepada orang-orang yang kurang beruntung untuk memberikan jaminan keamanan ekonomi pada mereka. Zakat merupakan bentuk solidaritas sosial antar sesama di mana orang Islam yang satu dengan Islam lainnya diikat oleh tali persaudaraan keimanan sebagaimana diperintahkan oleh agama. Dalam kehidupan sosial, khususnya berkaitan dengan kebebasan berpendapat, juga ditekankan dalam Islam. Kebebasan berpendapat menunjukkan adanya kebebasan berpikir. Namun, karena berlandaskan kepada tauhid, kebebasan berpikir dibolehkan selama tidak bertentangan dengan keyakinan tauhid. Selain itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam tidak menghendaki pendapat yang berasal dari prasangka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Setiap pendapat harus memunyai argumentasi rasional dan bersifat akademik sehingga bisa diuji dan dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini penting dilakukan agar manusia tidak jatuh dalam fanatisme buta, takhayul serta melindungi manusia dari penyalahgunaannya.20 Penyalahgunaan kebebasan berpikir seringkali terjadi ketika manusia mengikuti dorongan hawa nafsu dan kepentingannya dengan melakukan pembenaran atas tindakannya. 19 20 Ibid, h. 157. Ibid, h. 153. 73 C. Tauhid dan Keadilan Konsekuensi lain dari pandangan Tauhid di atas adalah adanya dorongan atau keharusan berbuat keadilan dalam diri manusia dalam berhubungan dengan sesama. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, manusia sebagai mahluk Allah memunyai kewajiban untuk menjalankan perintah-Nya seperti diajarkan risâlah Nabi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan kembalinya manusia kepada-Nya di akhirat. Kehidupan akhirat menjadi tempat ditegakkannya keadilan oleh Hakim Maha Adil yang akan mengakhiri segala konflik dan persoalan di dunia. Oleh karena itu, manusia harus berbuat adil di dunia karena setiap perilaku dan tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban dan akan diberikan ganjaran atau balasan. Inilah jaminan keadilan, kebaikan, dan kebenaran dalam Islam. Banyak definisi tentang keadilan seperti yang telah dikemukakan oleh para pemikir dalam kajian falsafat moral. Bahkan diskursus mutakhir falsafat politik bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri. Sementara, keadilan merupakan wilayah yang sangat luas, kompleks bahkan tersembunyi --karena berkenaan dengan nilai-- sehingga nyaris tak dapat didefinisikan. Pada posisi ini, menentukan atau menunjuk ketidakadilan relatif lebih mudah daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para pemikir lebih berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya keadilan ketimbang mendefinisikannya. 74 Dalam al-Qur‟ân, tidak ada definisi yang komprehensif mengenai keadilan kecuali hanya disebutkan kata adil („adl) saja. Hal ini menuntut penelusuran lebih jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, intuisi dan pikiran dapat mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap tindakan seseorang. Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat ditemukan, demikian pula dengan keadilan. Ia menyatakan: Ini (nilai-nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran) adalah nilainilai yang menegaskan bahwa keadilan adalah kebenaran dan kebaikan, dan perbuatan salah (ketidakadilan) adalah batil dan jahat. Kami juga percaya bahwa barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan pengkhianatan layak mendapat sebaliknya.21 Menurutnya, intuisi dan pikiran sangat penting dalam mengarahkan perilaku manusia dengan benar. Selama manusia mengikutinya maka selama itu pula perilakunya akan benar, kecuali ada rintangan seperti ketidaktahuan atau sengaja melanggar nilai itu demi keuntungan pribadi. Selama tidak ada rintangan itu, ketika manusia dihadapkan pada pilihan antara kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan, maka intuisi dan pikiran dia akan memilih kebenaran dan kebaikan.22 Dengan kata lain, seseorang akan berbuat adil bila tidak ada motif pribadi yang membuatnya melanggar nilai-nilai keadilan itu. Namun, meski secara intuitif seseorang memunyai kecenderungan untuk berbuat adil serta mampu merasakan dan menilai perilaku mana yang adil dan tidak, untuk mewujudkan keadilan bukanlah perkara mudah. Di sinilah 21 22 Muhammad Baqîr al-Shadr, The Revieler, the Messanger, the Message, h. 98. Ibid, h. 99. 75 dibutuhkan prinsip yang menjadi syarat bagi keadilan, yaitu prinsip persamaan. Prinsip ini harus menjadi landasan dalam kehidupan sosial baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sebagainya. Tanpa persamaan, tidak mungkin keadilan akan terwujud, karena dalam keadilan terkandung nilai-nilai persamaan. Nilai ini menyatakan bahwa setiap orang adalah sama dalam hak dan kewajibannya. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam sangat menjunjung tinggi persamaan. Islam tidak mengenal adanya diskriminasi dalam memandang dan memerlakukan umatnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pandangan tauhid di mana di hadapan Allah semuanya adalah sama, yaitu sebagai hamba Allah.23 Tidak ada individu, kelompok, atau bangsa yang lebih tinggi derajat dan kelasnya sehingga dapat mengeksploitasi, menjajah, dan menundukkan yang lain. Bahkan Islam mengutuk tindakan tersebut serta menegaskan bahwa kepatuhan terhadap perbuatan itu adalah syirk. Di hadapan Allah, sistem kelas seperti proletar dan borjuis, budak dan bangsawan, rakyat dan pemimpin, dan sebagainya adalah sama. Dengan demikian, semua orang memiliki hak yang sama yaitu hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kekayaan. Hak untuk hidup berarti setiap orang berhak untuk menjalankan kehidupan. Tak ada seorang pun yang dibolehkan mengganggu, menentukan atau bahkan merenggut kehidupan orang lain kecuali Allah. Sebagaimana dijelaskan di atas, Allah adalah Pencipta yang memunyai hak penuh atas ciptaan-Nya sedangkan manusia tidak memiliki hak apa-apa kecuali kewajiban terhadap Pencipta. Oleh karena itu, seseorang berhak menjalankan kehidupan sesuai 23 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 114. 76 dengan yang telah dikehendaki dan diperintahkan oleh Allah. Inilah yang membedakan Islam dari liberalisme yang berpandangan bahwa seseorang berhak menjalankan kehidupan sesuai dengan yang diinginkan. Hak dalam liberalisme adalah hak eksklusif di mana manusia secara otonom memiliki dan menguasai hidupnya. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hak penuh atau eksklusif yang dimiliki oleh seseorang karena pemilik dan penguasa absolut atas segala sesuatu hanyalah Allah. Demikian pula dengan hak atas kebebasan. Setiap orang memiliki hak atas kebebasan selama kebebasan itu tidak bertentangan dengan keyakinan tauhid. Selama seseorang beroperasi dalam bingkai ini, maka tidak ada seorang pun yang diperkenankan mengekang kebebasan orang lain. Sementara hak kebebasan atas kekayaan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki sesuatu berkaitan dengan harta kekayaan, sebab sudah menjadi kodrat manusia untuk cenderung memiliki sesuatu atas hasil kerja dan usahanya. Namun kepemilikan di sini, sebagaimana hak lainnya, tidak bersifat eksklusif dan absolut. Dari hak-hak tersebut, keadilan harus ditegakkan dengan cara tidak membeda-bedakan hak orang yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak ada yang merasa dizhalimi. Setiap orang dijaga dan dilindungi haknya dan setiap orang berkewajiban menjaga dan menghormati hak orang lain. Walaupun demikian, dalam praktiknya, prinsip persamaan ini tidak serta merta terwujud tanpa persoalan. Persoalan paling mencolok terjadi dalam hak atas kekayaan dalam bidang ekonomi. Tidak mungkin menerapkan prinsip persamaan bagi seseorang yang tidak beruntung secara alamiah seperti cacat sejak lahir yang 77 membuatnya tidak mampu memaksimalkan haknya. Demikian juga tidak mungkin menerapkan prinsip itu bagi orang-orang yang lahir dalam keadaan miskin dengan membiarkannya terlantar begitu saja. Maka dari itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, hak dan kebebasan ekonomi harus dibarengi dengan keamanan ekonomi.24 Keamanan ekonomi masuk dalam masalah jaminan sosial yang dijelaskan Muhammad Baqîr al-Shadr dalam perbedaannya dari sosialisme atau Marxisme. Pertama, jaminan dalam Islam adalah salah satu hak manusia yang diperoleh dari dan diwajibkan oleh Allah. Karena itu, tidak ada perbedaan menurut keadaan atau kedudukan warga negara. Sementara jaminan sosial menurut Marxisme lebih menyerupai hak mesin daripada hak manusia. Apabila mesin produksi telah mencapai titik tertentu maka jaminan sosial menjadi syarat esensial untuk pertumbuhannya dan peningkatan produksinya. Bila kekuatan-kekuatan produksi belum mencapai ini maka ide tentang jaminan sosial tidak berarti apa-apa. Kedua, konsep jaminan sosial erat kaitannya dengan persaudaraan dalam Islam. Menurutnya, persaudaraan dalam Islam merupakan suatu kerangka yang melaksanakan peranan jaminan sosial dalam masyarakat. Islam menggambarkan bahwa Muslim yang satu adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak boleh menyakiti saudaranya, merampas haknya, dan tidak menolak memberikan pertolongan kepadanya. Persaudaraan Islam mengimbau agar umat Islam saling bekerja sama dan saling membantu orang-orang yang kurang beruntung. Sementara, Marxisme memandang jaminan sosial hanya dapat dicapai melalui 24 Ibid, h. 129. 78 perjuangan kelas dengan cara menghasut kebencian dan memertentangkan kelas, yaitu proletar dan borjuis. Ketika perjuangan itu berhasil dengan terwujudnya masyarakat komunis, baru jaminan sosial dapat diterapkan.25 Ketiga, jaminan sosial, sebagai hak asasi manusia, tidak memberikan perbedaan antara kelompok atau kelas tertentu dari yang lainnya. Ia bahkan menekankan pada orang-orang yang sama sekali tidak mampu untuk mengambil bagian dalam hal produksi. Orang-orang itu dijamin dalam naungan masyarakat Islam. Dalam hal ini, negara harus memberikan sarana untuk mencapai nafkah bagi mereka. Sementara itu, Marxisme tidak menyinggung masalah jaminan itu bagi orang-orang yang tidak mampu yang hidup di luar perjuangan kelas. Bahkan, dalam konsep keadilannya, Marxisme tidak mendistribusikan sarana dan hasil produksi bagi orang-orang yang tidak mampu. Keempat, jaminan sosial dalam Islam merupakan tanggung jawab individu dan negara. Sementara dalam Marxisme, jaminan sosial hanya menjadi tanggung jawab negara saja. Oleh karena itu, Islam meletakkan dua prinsip yaitu prinsip kerja sama dan prinsip jaminan sosial. Prinsip kerja sama berarti bahwa setiap orang Muslim bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada orang lain sesuai dengan kemampuannya. Kaum Muslim harus menerapkan prinsip ini bahkan dalam keadaan tidak ada negara sekalipun yang melaksanakan perintah legislatif itu. Sedangkan prinsip jaminan sosial menjadi tanggung jawab negara 25 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia dan Problema Masa Kini, h. 155-156. 79 yang harus menjamin kemakmuran semua warga negara. Untuk tujuan ini, dana dapat dikumpulkan dari kekayaan negara, sumber pendapatan umum, dan pajak.26 Jadi, persamaan hak atas kekayaan dipadukan dengan jaminan sosial. Seseorang bebas mengupayakan kekayaan selama tidak mengganggu dan menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Terhadap orang-orang yang kurang beruntung, Islam memberikan kompensasi agar haknya tetap terjaga sehingga bisa mengupayakan dan menikmati kekayaan. Jaminan itu menggambarkan tidak adanya kepemilikan eksklusif atas kekayaan karena segala sesuatu hanya milik Allah semata. Islam tidak mengenal persaingan yang mengarah kepada eksploitasi atau merugikan orang lain. Persaingan hanya dibolehkan untuk tujuan mencapai ridha Allah semata. D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, tujuan sistem sosial adalah tercapainya kehidupan yang sejahtera, adil, makmur, dan bahagia. Untuk tujuan ini, tauhid memunyai peranan signifikan sebagai landasan hidup yang mengarahkan prilaku manusia. Keyakinan tauhid membentuk pandangan dunia seseorang sehingga setiap tindakannya mencerminkan nilai-nilai keyakinan ini. Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, tauhid adalah jendela untuk melihat dunia. Nilai-nilai tauhid harus mewarnai seluruh ranah kehidupan sehingga eksistensi Islam dapat berdiri tegak dan kokoh. 26 Ibid, 157. 80 Menurutnya, Allah tidak menginginkan seorang Muslim hanya menunjukkan ketundukan pribadi kepada-Nya. Tetapi lebih dari itu, ia menginginkan orang Muslim menjadi satu faktor berdirinya eksistensi Islam yang memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta. Kemudian, Umat Islam dituntut untuk bersatu di bawah eksistensi itu. Tauhid menjadi kaidah utama yang paling pokok dan esensial dari eksistensi Islam untuk mewujudkan tujuan dari sistem sosial. Dia menyatakan: Kaidah utama adalah sesuatu yang pokok dan esensial dari setiap masyarakat yang menginginkan dari keberadaannya suatu komitmen dan kekekalan serta bertujuan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Karena kaidah utama adalah penggerak yang bersumber dari hati dan akan mengembangkan masyarakat menuju kehidupan. Kaidah inilah yang menjaga kesatuan masyarakat dan kesolidannya. Ia menjadi titik tolak dari setiap perbuatan. Ia merupakan unsur yang menempati sentral penjagaan dari penyimpangan dan kemunduran masyarakat.27 Dalam pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, eksistensi Islam yang berdiri di atas keimanan dan keyakinan kepada Allah, penyerahan dan ketundukan kepada-Nya serta penyerahan kepemimpinan praktis di tangan-Nya adalah eksistensi satu-satunya yang dapat melaksanakan peranan kemanusiaan, menjamin kebahagiaan, kemuliaan, dan kesejahteraan sosial. Hal ini disebabkan dalam eksistensi Islam tidak ada nilai-nilai yang bertentangan dengan fitrah dan naluri manusia. Islam adalah agama kemanusiaan yang mampu mengakui dan mengafirmasi fitrah manusia. Islam tidak mengubah fitrah tersebut dan tidak mengingkarinya. Islam sangat memuliakan kemanusiaan dalam segenap dimensinya.28 27 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, h. 28 Ibid, h. 76. 123-124. 81 Islam juga merupakan agama yang tidak menentang kecenderungan naluri manusia. Sebaliknya, ia menyediakan ruang untuk mengekspresikannya. Sikap Islam terhadap naluri sangatlah positif karena ia merupakan kekuatan hewani yang tanpanya suatu aktivitas atau gerakan akan musnah. Naluri mendorong dan menyempurnakan gerakan menjadi syarat internal dari prilaku manusia.29 Namun demikian, Islam juga menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan spiritual dalam diri manusia. Spiritualitas pasti cenderung kepada kebahagiaan dan ketenangan sehingga manusia tidak merasa miskin di tengah keberlimpahan materi. Dengan spiritualitas, manusia memiliki nilai dan tujuan dalam hidupnya serta mampu memberi makna pada kekayaan yang dimilikinya. Dalam eksistensi Islam, terpancar prinsip-prinsip kebebasan, keadilan dan persamaan yang menjadi landasan etis prilaku manusia dalam kehidupan sosial. Demikian pula dengan struktur dan institusi sosial. Setiap keputusan dan kebijakan yang dilahirkan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik, dan sebagainya berlandaskan pada prinsip-prinsip itu. Sistem sosial Islam (eksistensi Islam) mengatur masyarakat secara adil sehingga tercipta stabilitas dan integritas serta tatanan kehidupan yang harmonis, makmur, dan sejahtera. Di sini peran negara sangat besar sekali dalam mengupayakan cita-cita sistem sosial. Negara bukan sekedar penjaga malam yang hanya melindungi kebebasan individu sebagaimana dalam liberalisme-kapitalisme. Negara juga bukanlah monster menakutkan yang mengawasi dan melumat kebebasan individu seperti dalam sosialisme-komunisme. 29 Ibid, h. 80. 82 Sistem sosial Islam tidak menentang kebebasan individu tetapi juga tidak menghapus kepemilikan pribadi. Sistem sosial Islam meletakkan kebebasan itu serta hal-hal lainnya dalam bingkai tauhid. Karena itu, sistem sosial Islam disebut Muhammad Baqîr al-Shadr sebagai sistem langit yang akan mewujudkan cita-cita kehidupan manusia. Islam bukanlah undang-undang positif yang terbatas bidangnya dalam zaman dan tempat, juga bukan buatan manusia yang memiliki wawasan dan tujuan yang terbatas. Namun, Islam adalah sistem langit yang diwahyukan dari sisi Allah, pencipta manusia dan dunia dengan segala hal yang membawa manfaat bagi manusia… Manusia tidak akan mampu memerbaiki kehidupan kecuali dengan Islam, dengan sistem dan undangundangnya.30 Menurutnya, tidak ada nilai-nilai yang lebih tinggi yang sesuai dengan seluruh aspek kehidupan manusia serta menjamin kebahagiaan dan stabilitasnya selain eksistensi Islam. Dalam eksistensi itu terdapat nilai-nilai luhur yang mengarahkan manusia pada cita-cita hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Tercapainya tujuan kehidupan inilah yang diupayakan dari sistem sosial Islam. Bila eksistensi Islam berhasil tegak dalam kehidupan umat, maka cita-cita sistem sosial akan terwujud. E. Catatan Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan harapan besar bagi terwujudnya tujuan sistem sosial. Sebuah tujuan yang selama ini diupayakan dalam perjalanan panjang sejarah kehidupan manusia, yaitu kehidupan yang adil, makmur, sejahtera, dan bahagia. Ideal-ideal sosial itu akan tercapai bila suatu 30 Ibid, h. 73. 83 sistem dibangun di atas fondasi yang kokoh yang di dalamnya berdiri eksistensi Islam. Di bawah naungan eksistensi itu, ketimpangan sosial, kemiskinan, patologi dan krisis sosial lain akan terhapuskan. Pemikirannya yang konstruktif, kritis dan mendalam membuat dia layak ditempatkan sebagai pemikir modern Islam terkemuka. Namun demikian, sebagaimana layaknya pemikir lain, pemikirannya bukan berarti tanpa kelemahan. Setidaknya, ada dua hal yang menjadi catatan kritis penulis dari pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr berkenaan dengan peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal. Pertama, mengenai akseptabilitas sistem sosial Islam. Menempatkan tauhid sebagai landasan bagi sistem sosial berarti mengkhususkan sistem sosial itu pada masyarakat Islam saja. Sedangkan dalam masyarakat atau negara plural seperti Indonesia, sistem sosial itu tidak dapat diterapkan. Eksistensi Islam, sebagaimana dikemukakan dengan tegas oleh Muhammad Baqîr al-Shadr, tidak dapat terwujud bila dalam suatu masyarakat masih ada yang tidak mengakui kaidah tauhid. Di samping itu, masyarakat non-Muslim akan merasa keberatan bila tauhid dijadikan landasan bagi sistem sosial. Hal ini disebabkan mereka memunyai keyakinan dan nilai-nilai kepercayaan tersendiri yang berbeda dari umat Islam. Walaupun Islam memiliki misi global dan universal sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam tetap dipandang berdiri di tengah perbedaannya terhadap agama lain. Oleh karena itu, sistem sosial Islam hanya terbatas pada masyarakat Islam saja dan tidak dapat diterapkan kepada masyarakat secara global. 84 Kedua, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr terkesan ambisius dengan nuansa ideologis untuk menegakkan eksistensi Islam pada masyarakat Muslim. Padahal umat Islam sendiri berbeda-beda pandangan dalam melihat nilai ajaran Islam. Meski berkeyakinan sama, pandangan dunia mereka bisa berbeda-beda antara satu sama lainnya. Muhammad Baqîr al-Shadr menempatkan Islam sebagai pandangan dunia yang kemudian diletakkan dan diperjuangkan dalam bingkai ideologis. Sementara, terdapat kalangan Muslim lain yang melihat Islam sebagai agama saja, bukan ideologi politik, ekonomi, dan sosial. Munculnya berbagai aliran pemikiran dan kepercayaan dalam Islam menjadi potret perbedaan ini. Selain perbedaan pandangan, hal lain yang menjadi kendala dari pemikirannya adalah realitas umat Islam yang tidak sepenuhnya memahami peran sentral tauhid dalam kehidupan. Berdirinya eksistensi Islam tidak hanya menuntut negara dan institusi sosial berlandaskan atas tauhid. Lebih dari itu, semua elemen masyarakat harus menegakkan nilai Islam (tauhid) dalam diri dan seluruh dimensi hidupnya. Budaya masyarakat harus mencerminkan nilai itu. Sementara, orang Islam belum tentu memahaminya apalagi menginternalisasi nilai-nilai itu dalam kesadarannya. Tidak adanya kesatuan pandangan dunia serta pemahaman dan kesadaran terhadap nilai itu menjadi kendala bagi eksistensi Islam. Di sinilah pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, menurut penulis, terkesan ambisius. Akan tetapi, sekalipun mengandung kelemahan, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr sangat bermanfaat dan patut ditulis serta dibaca oleh khalayak. Pandangannya yang kritis dan konstruktif dapat menyentakkan kesadaran manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya, akan sistem sosial yang ada serta 85 kebutuhan suatu sistem yang dapat mengantarkan manusia pada cita-cita kehidupan. Sistem sosial yang ada selama ini tidaklah cukup sempurna dan mampu menjamin manusia mewujudkan tujuannya. Terdapat banyak persoalan dalam sistem itu, baik dalam liberalisme maupun sosialisme. Persoalan itu menjadi batu sandungan tersendiri yang menggagalkan tujuan dari sistem tersebut. Oleh sebab itu, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang kebebasan, keadilan dan persamaan menjadi terobosan baru sekaligus solusi brilian bagi persoalan yang dihadapi sistem sosial. Bagi umat Islam, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr dapat membuka cakrawala pengetahuan dan kesadaran terhadap keimanan. Pemikirannya yang mendalam tentang tauhid menunjukkan dengan tegas bahwa keimanan tidak sebatas percaya saja tanpa memahami dan mengimplementasikannya dalam kehidupan. Sebaliknya, tauhid harus benar-benar terpatri dalam keyakinan umat Islam sebagai landasan tindakan sehingga eksistensi Islam dapat berdiri tegak di jagad raya ini. Tanpa itu, apapun yang dilakukan oleh umat Islam seperti penerapan syari„ah Islam secara legal formal dalam konteks negara, hanya akan sia-sia belaka. Melalui pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr, kita dapat mengetahui bahwa Islam bukanlah agama yang dipaksakan. Tegaknya eksistensi Islam bukan karena aturan formal negara melainkan melalui proses simultan antara keyakinan dan implimentasi keyakinan itu dalam seluruh ranah kehidupan sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Selama hal ini belum tercapai, maka di negara Islam sekalipun eksistensi Islam tidak akan pernah berdiri tegak serta tidak 86 akan berhasil mewujudkan tujuan sistem sosial. Membangun eksistensi Islam bukan dari struktur politik dan kekuatan pemerintahan, tetapi pertama kali harus dimulai dari manusia yang ada di dalamnya. 87 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menelusuri secara singkat dan padat pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr di bab-bab terdahulu, pada bagian ini sudah saatnya penulis menarik kesimpulan dari gagasannya mengenai peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal. Dari eksplorasi itu, dapat disimpulkan bahwa tauhid sangat besar sekali peranannya sebagai landasan sistem sosial yang akan mengarahkan masyarakat mencapai tujuan hidupnya. Di dalam tauhid, terdapat nilai-nilai yang menjadi prinsip tindakan bagi individu dan masyarakat beserta institusi sosial dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Nilai-nilai itu meliputi kebebasan, keadilan dan persamaan. Ketika keyakinan tauhid beserta nila-nilai itu diinternalisasi dan diaktualisasikan secara total dalam seluruh kehidupan, maka di sanalah akan berdiri eksistensi Islam. Bila hal ini berhasil ditegakkan, maka sistem sosial akan mencapai tujuannya, yaitu kehidupan yang adil, makmur, sejahtera, dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam seluruh tulisannya, Muhammad Baqîr al-Shadr menekankan pentingnya tauhid dalam seluruh ranah kehidupan. Tauhid menjadi titik sentral pemikiranya ketika berbicara masalah politik, ekonomi, dan sebagainya. Dia yakin bahwa dengan tauhid sistem sosial akan mencapai tujuan yang diperjuangkan selama ini. Hanya sistem sosial yang berlandaskan pada tauhid (sistem sosial Islam) yang mampu mewujudkan tujuan itu. Sedangkan sistem sosial lain seperti liberalisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme tidak akan 87 88 pernah mencapainya karena mengandung banyak persoalan dan kelemahan. Kompilasi persoalan itu terletak pada pandangan yang diusung oleh kedua sistem bersangkutan seperti kebebasan dan masyarakat komunis. Dalam kedua sistem itu tidak akan terwujud keadilan sebagai salah satu prinsip yang akan mengantarkan manusia pada cita-cita kehidupan. Keyakinan Muhammad Baqîr al-Shadr cukup kuat dan mendalam yang kemudian ia perjuangkan dalam sebuah gerakan sosial politik Syî‘ah di Irak. Keyakinan itu menyatu dalam aliran darahnya bersamaan dengan keyakinannya kepada Allah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Muhammad Baqîr alShadr melihat sistem sosial Islam sebagai sistem langit di mana manusia berkewajiban untuk menegakkannya. Sebuah sistem yang tidak bertentangan dengan fitrah dan kodrat manusia kapan pun dan di mana pun. Sistem yang mengafirmasi kepentingan individu dan menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan bersama. Sistem sosial yang mampu mewujudkan cita-cita kehidupan, individu maupun masyarakat, adalah sistem ideal yang selama ini diupayakan dalam sejarah panjang kehidupan manusia. Dinamika sosial menunjukkan upaya ini dengan pergulatan yang masing-masing berbeda dari setiap zaman, tempat dan waktu. Pergulatan yang mengurai darah dan air mata, tangis dan tawa bahkan tak jarang nyawa manusia menjadi taruhannya. Seluruh energi manusia terkuras oleh upaya itu demi kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, sistem yang dapat mewujudkan itu adalah sistem sosial Islam di mana tauhid menjadi landasan dasarnya. 89 Terlepas dari kelemahannya, bagi penulis, pemikiran Muhammad Baqîr alShadr cukup konstruktif dalam membangun sistem sosial ideal. Pandangannya tentang kebebasan, keadilan dan persamaan yang lahir dari keyakinan tauhid merupakan terobosan baru yang menjadi solusi segar bagi persoalan sistem sosial. Pandangan itu dapat dijadikan prinsip-prinsip nilai bagi tindakan individu maupun struktur dan institusi sosial dalam mengambil kebijakan. Sedangkan eksistensi Islam sebagai kerangka dan bentuk ideal sistem sosial Islam, menurut penulis, akan menemui beberapa hambatan terutama di negara plural dengan pandangan dan keyakinan yang berbeda-beda. Hambatan itu muncul karena kerangka dan bentuk sistem sosial Islam menuntut keyakinan serta pandangan yang sama dari seluruh individu dalam masyarakat. B. Saran-saran Di penghujung studi ini, perlu kiranya penulis memberikan saran-saran berkenaan dengan pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr khususnya tentang tauhid dan perannya dalam menciptakan sistem sosial Islam. Saran yang utama adalah tauhid merupakan keyakinan pokok umat Islam terhadap Allah yang Maha Esa di mana segala sesuatu bergantung pada-Nya. Terhadap-Nya segala sesuatu bergantung dan berserah diri. Dari keyakinan tauhid ini kemudian lahir nilai-nilai yang dijadikan pandangan dunia umat Islam. Meski demikian, sistem sosial adalah wilayah yang sangat luas yang meliputi kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. 90 Oleh karena itu, untuk melihat peranan tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal memerlukan kajian komprehensif, mendalam, dan kritis. Kajian itu menuntut penelusuran lebih jauh terhadap pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr. Apalagi, tidak ada karya yang secara spesifik dan utuh dalam bentuk buku tersendiri dari Muhammad Baqîr al-Shadr yang membahas peranan tauhid bagi terciptanya sistem sosial ideal. Butuh ketelitian dan konsistensi dari peneliti yang berkonsentrasi pada tema kajian pemikiran bersangkutan. Maka, penulis mengharapkan ada peneliti yang mengaji lebih komprehensif dan lebih baik lagi terhadap pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr. Allah a‘lam bi al-shawâb 91 DAFTAR PUSTAKA Bakar, Osman, Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terjemahan Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. Engels, Frederick, Anti-Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu Pengetahuan, terjemahan Oey Hay Djoen. Bandung: Hasta Mitra & Ultimus, 2005. Departemen Agama RI, Al-Qur’ân al-Karîm. Semarang: PT. Karya Thaha Putra, 1999. Fâruqî, Ismâ„il Râji, Tauhid, terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka, 1988. Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2004. Hodgson, Marshall, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, jilid I, terjemahan Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 2002. Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terjemahan M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia, 1994. Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam. Tangerang: UIN Jakarta, 2003. Kymlicka, Will, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Marx, Karl, dan Freidrich Engels, The Communist Manifesto. London: Penguin Book, 1967. Muthahharî, Murtadhâ, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terjemahan Ibrahim Husain al- Habsyi dkk. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. Shadr, Muhammad Baqîr, Falsafatunâ, terjemahan M. Nur Mufid bin Ali. Bandung: Mizan, 1991. -------, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, terjemahan M. Hashem. Bandung: Pustaka, 1984. 91 92 -------, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terjemahan Arif Mulyadi. Jakarta: Lentera, 2001. -------, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terjemahan M. Hashem. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002. -------, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Alcaff. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. -------, The Revieler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed M Ayoub. Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986. Sihbudi, M. Reza, Menyandera Timur Tengah. Jakarta: Hikmah, 2007. Soseno, Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992. Shapiro, Ian, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. -------, Asas Moral dalam Politik, terj. Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Rodee, Calton Clymer. dkk, Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Rowls, John, Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Wibowo, A. Setyo “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan Di Mata Kant dan Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF. Jakarta, 24 September, 2007. Hambali, Muhammad, “ Relevansi Pemikiran Ekonomi Muhammad Baqîr alShadr Dalam Konteks Kekinian”. Artikel diakses pada tanggal 17 April 2010 dari http://marx83.wordpress.com/2009/01/31/relevansi-pemikiranekonomi-muhammad-baqir-ash-sadr-dalam-konteks-kekinian/ Muhammad Baqîr al-Shadr. Artikel diakses pada tanggal 20 April 2010 http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr".