civil society dalam pemikiran politik abdurrahman

advertisement
PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM
SOSIAL IDEAL
(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh
Mohalli
NIM: 103033127754
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM
SOSIAL IDEAL (TELAAH KRITIS PEMIKIRAN MUHAMMAD BAQÎR
AL-SHADR) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program
Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 15 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
NIP:19610827199303031002
Dra. Tien Rahmatin, M.Ag.
NIP: 196808031994032002
Anggota,
Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara, M.A.
NIP: 195906111986031002
Drs. Nanang Tahqiq, M.A.
NIP: 196602011991031001
PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL
IDEAL
(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh:
MOHALLI
NIM: 103033127754
Di bawah Bimbingan
Drs. Nanang Tahqiq, MA.
NIP. 196602011991031001
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 31 Mei 2010
Mohalli
ABSTRAKSI
Mohalli
Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal
(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)
Sejarah kehidupan masyarakat selalu dihadapkan pada persoalan
bagaimana menciptakan tatanan yang harmonis, adil, makmur, dan sejahtera?
Persoalan ini diupayakan sedemikian rupa oleh sistem sosial yang mengorganisasi
kehidupan bersama baik di bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Dalam sistem sosial, terdapat suprastruktur yang menjadi pandangan
dunia seseorang serta dijadikan landasan bagi setiap tindakan. Ketika
suprastruktur itu membeku sebagai sebuah keyakinan bersama disertai cita-cita
yang ditetapkan di dalamnya, maka terbentuklah ideologi. Tujuan sistem sosial
diperjuangkan dalam bingkai ideologi ini.
Di dunia modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai yaitu
liberalisme dan sosialisme. Akar liberalisme bisa dilacak dari pemikiran John
Locke yang mengumandangkan hak individu atas kebebasan dan kekayaan (hak
milik). Sistem sosial harus berlandaskan atas hak ini, menjaga dan melindunginya.
Dalam masalah ekonomi, liberalisme kemudian percaya kepada sistem
kapitalisme di mana individu bebas mengupayakan serta mengembangkan
usahanya. Semakin individu didorong untuk mengejar kepentingan dan
keuntungan pribadi, maka kesejahteraan masyarakat akan semakin terjamin.
Sedangkan sosialisme secara konseptual dapat ditelusuri dari pemikiran
Karl Marx yang mencita-citakan masyarakat komunis, yakni masyarakat tanpa
kelas. Komunisme menentang kepemilikan pribadi karena menjadi sumber dari
munculnya kelas. Kesenjangan sosial dan berbagai konflik yang terjadi di
dalamnya disebabkan oleh kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi.
Karena itu, sarana produksi harus dipindahkan menjadi milik bersama, dikerjakan
dan dinikmati bersama sehingga tidak ada lagi pertentangan kelas.
Akan tetapi, baik liberalisme maupun sosialisme menurut Muhammad
Baqîr al-Shadr sama-sama menemui kegagalan. Dia mengeritik kebebasan dalam
liberalisme-kapitalisme karena membelenggu dan menutup peluang orang miskin
untuk mendapatkan kekayaan. Sementara para pemilik modal cukup dimanjakan
sehingga berlaku ungkapan “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.
Demikian pula dengan sosialisme-komunisme di mana cita-citanya hanya utopia
belaka karena bertentangan dengan kodrat manusia yang cenderung ingin
memiliki sesuatu, apalagi dalam masyarakat materialis.
Baqîr al-Shadr kemudian mengajukan sistem sosial yang berlandaskan atas
tauhid (pengesaan Tuhan). Penelitian ini ingin menelusuri bagaimana peran tauhid
dalam menciptakan sistem sosial ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr alShadr. Melalui pembacaan kritis terhadap karyanya, dapat dikemukakan bahwa
peran tauhid cukup signifikan sekali. Dalam tauhid terkandung nilai-nilai seperti
kebebasan, keadilan dan persamaan yang akan mengantarkan masyarakat pada
cita-cita kehidupan. Bahkan dia meyakini bahwa tujuan kehidupan sosial tidak
akan pernah tercapai kecuali di bawah eksistensi Islam.
i
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat
mendapatkan gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada jurusan Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis
dengan judul “Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal )Telaah
Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr(”.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak
kekurangan di dalam penulisan sehingga penulis membutuhkan masukan, saran
atau kritik dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi
pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi dapat
terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai
ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1.
Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi yang dengan
sabar dan bijak terus membimbing, menasehati, dan mengarahkan
penulis untuk menghasilkan karya yang terbaik.
2.
Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA. selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils. selaku ketua jurusan
Aqidah Filsafat, dan Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. sebagai sekretaris
ii
iii
jurusan Aqidah Filsafat beserta seluruh staf pengajar di jurusan
Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3.
Ayahanda H. Ahmad dan Ibunda Hj. Rafi„ah, terima kasih atas kasih
sayang, bimbingan, dan motivasi yang tak kenal henti sehingga
penulis mampu mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal
masa depan. Sebagai wujud terima kasih, penulis persembahkan
skripsi ini untuk mereka berdua. Doa mereka senantiasa penulis
harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Terima kasih
pula untuk kak Fauzi dan kak As‟adi yang terus memberikan
semangat dan bantuan moril maupun materil bagi penulis.
4.
Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Indonesian Culture
Academy (INCA) terutama Subairi, Fakhru, dan Rosi atas semangat,
bantuan, dan diskusinya yang menggelora. Terima kasih kepada
Mawardi atas “curhat” dan masukannya yang cukup berarti dalam
menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa terima kasih kepada sahabat
abadi Guno dan adik Wardi yang selalu ada untuk penulis. Ali
Chemal (ditunggu skripsinya), Ramfalak, Syafa‟at dan teman-teman
yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas
segalanya.
5.
Terima kasih kepada kakanda dan teman-teman Madura terutama
kak Adi, kak Nabil, kak Idris, kak Fathur, kak Mahrus, bung Ozan,
dan kek Faisal yang telah memberikan motivasi, masukan, dan
iv
bantuannya. Penulis selalu membutuhkan serta merindukan arti dari
pergulatan ini. Terima kasih pula kepada kawan-kawan FORMAD;
Jakfar, Anis, Muhdhari, Laili, Abdi, Wafa, Wasil, Rahmatun dan
teman-teman di Masjid Al-Husaini, Rusun, dan lainnya.
6.
Terima kasih kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam
khususnya KOMFUF; Kak Asy‟ari, Su‟udi, Fikri, Fahmi, Guruh,
Andi, Akib, Arma, Ay Sumiyati, Syifa, dan Mona. Teman-teman
KOMTAR; Ikhwan, Irma dan Risfa, dan teman-teman komunitas
Aqidah Filsafat; Dedi, Ali Makmur, dan Eli (ditunggu skripsinya),
Bana
(kuliah yang benar), Euis, Mu‟is, Anwar, Nanang, Riyan,
Reza, Dhani, Dita dan Uphie (terima kasih atas inspirasinya). Tak
lupa kepada Intan Latifah, Ibell dan semua teman-teman yang telah
mengisi dan menghiasi kisah perjalanan hidup penulis.
Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi
masyarakat pada umumnya. Akhirnya, penulis memohon kepada Allah semoga
senantiasa membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Âmîn!
Jakarta, 30 Mei 2010
Penulis
v
DATAR ISI
ABSTRAK ………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..……………………………………………. vii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………….. 11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………............................................. 11
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ………………………………. 12
E. Sistematika Penulisan …………………………………………………... 12
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR …………………..14
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial …………………………….. 14
B. Karya Tulis ……………………………………………………………... 19
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran ……………………………….. 26
BAB III SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA ……………….. 36
A. Teori Sistem Sosial …………………………………………………….. 36
B. Masalah Utama Sistem Sosial ………………………………………….. 38
C. Masalah Keadilan ………………………………………………………. 42
1. Liberalisme ……………………………………………………... 44
2. Sosialisme ……………………………………………………… 48
D. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme ………………………….. 51
BAB IV PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL
IDEAL …………………………………………………………………………. 56
A. Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr………………………………………. 56
1. Tauhid ………………………………………………………….. 57
v
vi
2. Tuhan sebagai Pusat Realitas ………………………………….. 62
B. Tauhid dan Kebebasan ………………………………………………… 64
1. Kemerdekaan Pribadi …………………………………………... 66
2. Kemerdekaan Sosial ……………………………………………. 69
C. Tauhid dan Keadilan …………………………………………………… 73
D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial ………………………………………. 79
E. Catatan Kritis …………………………………………………………... 82
BAB V PENUTUP …………………………………………………………….. 87
A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 87
B. Saran-saran ……………………………………………………………... 89
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 91
PEDOMAN TRANSLITERASI
=
a
=
f
=
b
=
q
=
t
=
k
=
ts
=
l
=
j
=
m
=
h
=
n
=
kh
=
w
=
d
=
h
=
dz
=
’
=
r
=
y
=
z
=
s
=
sy
=
â
=
sh
=
î
=
dh
=
û
=
th
=
aw
=
zh
=
ay
=
‘
=
gh
Untuk Madd dan Diftong
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu karakteristik pengetahuan dalam Islam adalah meyakini bahwa
Tuhan merupakan Realitas Pertama yang menjadi sumber realitas, baik material
maupun imaterial atau fisik dan non-fisik, yang keberadaan-Nya tidak bergantung
kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya (wâjib al-wujûd). Ia niscaya dalam
Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain tidak dapat eksis tanpa
menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya tidak niscaya
melainkan hanyalah mungkin (mumkin al-wujûd).1 Oleh sebab itu, ontologi dalam
Islam mengambil bentuk metafisika2 di mana Tuhan menjadi Sebab Final atau
Sebab Pertama (Prima Causa) segala sesuatu.
Bagian pertama dari kesaksian iman Islam lâ ilâha illâ Allâh (Tiada Tuhan
Selain Allah) menjadi prinsip dasar bahwa Tuhan satu dan niscaya dalam esensiNya, dalam nama-nama dan sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Dengan
demikian, konsekuensi dari kesaksian tauhid ini adalah mengakui semua realitas
tidak ada, dan hanya ada karena Realitas Tuhan. Semua penyelidikan pengetahuan
dalam Islam harus berada dalam bingkai ini sebab semua realitas ketika
memanifestasikan diri tidak bisa mengingkari asal-usul metafisiknya, yaitu
1
Murtadhâ Muthahharî, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Husain al-Habsyi dkk,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 351-377.
2
Dalam falsafat, penyelidikan tentang Tuhan disebut metafisika khusus yang dibedakan
dari metafisika umum yang membahas mengenai “ada” pada umumnya (ontologi). Lihat Louis
Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 18.
1
2
Tuhan.3 Hal ini ditegaskan al-Qur‟ân dalam QS. 21: 22 bahwa “Seandainya pada
keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya
telah binasa. Maha Suci Allah yang memiliki Arasy dari apa yang mereka
sifatkan. Karena itu, kesaksian tauhid menjadi pernyataan pengetahuan pertama
tentang realitas.
Walaupun
demikian,
bukan
berarti
pengetahuan
dalam
Islam
mengesampingkan sama sekali prosedur ilmiah dalam ilmu pengetahuan.
Penyelidikan ilmiah dengan metode eksperimentasi dan observasi dengan
menggunakan penalaran induktif sudah dikenal sebelum Roger Bacon
memerkenalkan metode eksperimentasi ke dunia sains Eropa. Para ilmuwan
Muslim semisal al-Râzî, Ibn Sînâ, al-Bîrûnî, Ibn Haytsâm, al-Zahrawî, dan lain
sebagainya dikenal dengan kekuatan observasi dan eksperimentasinya dalam
kajian ilmu alam termasuk kedokteran.4 Hal ini disebabkan karena realitas
material juga harus dikuasai dan dipahami oleh umat Islam selain realitas
metafisik. Tetapi umat Islam tidak mengandalkan penyelidikan itu pada
penyelidikan ilmiah saja.
Al-Qur‟ân, sebagai sumber pengetahuan, menghimbau kepada umat Islam
untuk mengamati tanda-tanda Tuhan yang termanifestasi di alam semesta, jiwajiwa manusia, dan ruang-ruang lain yang tidak terdeteksi secara empiris. Ini
mengandung arti bahwa model penyelidikan berbeda-beda satu sama lain, yakni
tajrîbî (eksperimen) untuk objek fisik, burhânî (demonstratif atau rasional) untuk
3
Osman Bakar, Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj.
Yuliani Liputo, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 12.
4
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Tangerang:
UIN Jakarta, 2003), h. 12-13.
3
matematika dan objek metafisik, dan ‘irfânî (intuitif).5 Kenyataan ini sekaligus
berbeda dari epistemologi Barat modern, khususnya materialisme, yang
menganggap objek material sebagai satu-satunya realitas objektif yang absah
dalam penyelidikan pengetahuan seraya menafikan objek metafisik. Tidak hanya
itu, materialisme bahkan menganggap pemikiran metafisika sebagai takhayul
belaka serta tidak memunyai landasan dasar yang kokoh.
Di Barat, semangat ilmiah dengan penolakan terhadap berbagai bentuk
tradisi dan dogma mengejawantah dalam aliran positivisme pada abad 19 yang
diwakili oleh Saint-Simon dan Auguste Comte dalam bidang ilmu sosial.
Positivisme menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris disertai
penolakan atas wahyu sebagai sumber pengetahuan. Dalam menyelidiki objek
sosial, Comte menerapkan metode penelitian empiris yang meliputi pengamatan,
eksperimen, dan komparasi. Hasil penyelidikan empiris Comte tentang dinamika
kemajuan sosial dikenal sebagai hukum tiga tahap yang menyatakan bahwa
masyarakat berkembang dari tahap teologis, metafisik, dan terakhir positivis.6
Positivisme menjadi tahap terakhir perkembangan manusia di mana akal manusia
tidak lagi memercayai takhayul, pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta
melainkan pada data empiris dan hasil ilmu pengetahuan.
5
Pendekatan ‘irfânî digunakan untuk seluruh objek pengetahuan. Akan tetapi, secara
ontologis, kaum ‘irfân berbeda dari para failasuf dalam memandang realitas beserta
pendekatannya. Failasuf menganggap bahwa Tuhan maupun benda sama-sama objektif (absah
dijadikan objek penyelidikan pengetahuan) dengan perbedaan bahwa jika Tuhan adalah wâjib alwujûd dan ada dengan sendiri-Nya maka benda-benda selain Tuhan hanyalah ada karena sesuatu
yang lain atau akibat dari wâjib al-wujûd. Sementara kaum ‘irfân menganggap bahwa tidak ada
tempat bagi sesuatu selain Tuhan yang ada di sisi-Nya meski ia adalah akibat dari Tuhan. Jika alat
failasuf adalah akal, logika, dan deduksi maka alat seorang ‘ârif (sebutan subjek ‘irfân) adalah
hati, usaha hati, penyucian dan disiplin diri serta dinamisme batin. Lihat, Murtadhâ Muthahharî,
Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h.377-378.
6
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terj. M.Z. Lawang,
(Jakarta: Gramedia, 1994), h. 82-86.
4
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa mayoritas pergulatan pemikiran
Barat pasca Renaisans bermuara pada matinya metafisika sebagai objek dan bahan
penyelidikan. Serangan paling telak ditunjukkan oleh kalangan materialisme
dalam bidang falsafat yang menganggap realitas material sebagai satu-satunya
realitas objektif. Bahkan, sebagaimana materialisme dialektik dalam Marxisme,
akal atau pikiran manusia dianggap bagian dari materi.7 Dalam artian bahwa
pikiran merupakan bagian dari alam atau produk alam dan ekspresi tertinggi
tentangnya. Ini disebabkan manusia adalah produk alam, maka pikiran juga
bagian dan produk alam. Karena itu, akal tidak dapat merefleksikan pengetahuan
apapun di luar objek material seperti objek metafisik. Dalam falsafatnya,
Marxisme menerapkan metode dialektika terhadap objek material termasuk
manusia (materialisme dialektis) yang diklaim sebagai pendekatan objektif dalam
menemukan hukum-hukum perkembangan alam, manusia, dan objek material
lainnya. Dengan bersandar pada bangunan epistemologisnya, Marxisme berhasil
melahirkan sistem ekonomi politik sosialisme-komunisme.
Pandangan materialis ini menjalar ke aspek-aspek lain, seperti ke bidang
sosial, ekonomi, dan politik, tidak terkecuali materialisme Karl Marx. Untuk
bidang sosio-ekonomi, materialisme Karl Marx menjadi konsep sosialismekomunisme. Konsep ini berdiri dalam rangka penentangannya terhadap
liberalisme yang di dalamnya bercokol sistem ekonomi kapitalisme. Sistem
terakhir bisa dilacak secara konseptual dari pemikiran Bernard de Mandeville dan
Adam Smith pada abad ke-18. Keduanya adalah pendukung „masyarakat pasar‟
7
Frederick Engels, Anti-Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu
Pengetahuan, terj. Oey Hay Djoen, (Bandung: Hasta Mitra & Ultimus, 2005), h. 51.
5
yang bercirikan pembagian kerja secara rasional dan terperinci, penghormatan hak
milik pribadi, dan pengutamaan kepentingan pribadi.8 Menurut Smith,
kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka panjang apabila individu
dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini
dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) di mana individu
secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik buat masyarakat dengan
memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya sendiri.9 Sebuah hukum
pasar yang didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton membawa implikasi
kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan seminimal mungkin kontrol
pemerintah atas pasar.
Baik sosialisme komunisme maupun liberalisme merupakan manifestasi
dari semangat zaman pasca Renaisans hingga Pencerahan yang dalam kerangka
epistemologisnya menolak keabsahan metafisika sebagai objek penyelidikan
ilmiah. Peradaban Barat modern disandarkan pada semangat ilmiah, empiris,
positivis, dan rasional. Tak dapat dipungkiri semangat ilmiah tersebut pada
dasarnya adalah sumbangan Islam. Peradaban Islam yang pada Abad Pertengahan
mencapai puncak keemasan juga karena sains. Akan tetapi, sistem kepercayaan
Islam tidak semata mengandalkan sains tetapi juga metafisika sebagaimana tertera
dalam kitab suci al-Qur‟ân dan telah diterangkan di muka tentang penyelidikan
digunakan Islam. Maka keliru bila kemunduran Islam dikarenakan metafisika.
Justru terbukti pada suatu masa bahwa puncak keemasan peradaban Islam telah
muncul dan berkembang maju di bawah nilai ajaran metafisika Islam.
8
9
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h.101-103.
Doyle Paul Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern, h. 25-26.
6
Sejak lahir masa Renaisans di Italia pada abad ke-14 dengan semangat
penghargaan kembali kepada kebudayaan pra-Kristiani Yunani dan Romawi yang
membuka pandangan mereka tentang manusia, lahirlah humanisme dengan homo
universale (manusia universal) sebagai cita-citanya. Humanisme menempatkan
manusia ke dalam pusat dunia. Pandangan ini mereformasi total faham realitas
teosentris abad pertengahan menjadi antroposentris dengan memusatkan manusia
sebagai subjek yang berhadapan dengan ciptaan lain.10 Dengan kata lain, ciri khas
masa Renaisans adalah ditemukannya subjektivitas yang bertolak dari perubahan
perspektif manusia yang fundamental.
Kemudian, sebagai tanggapan terhadap humanisme yang sangat ekstrovert
dan dinilai sekular, muncullah penentangan dan penolakan dari para pangeran dan
kelas penguasa di kota-kota kaya seperti Firense, Genova, Vanesia dan juga
terlebih pemimpin rohani Gereja Katolik, para uskup, dan Paus Roma. Akibatnya,
hal ini malah melahirkan gerakan reformasi Kristen Protestan yang diprakarsai
Martin Luther melawan pimpinan Gereja dan para penguasa dunia yang berkroni
dengan Gereja, dengan memaklumatkan kebebasan orang Kristen.
Di satu sisi, Luther menentang keduniawian dan antroposentrisme
Renaisans yang bersifat Eropa Selatan dan sekularistik, mendikotomikan urusan
dunia dan agama. Namun pada sisi lain, sebenarnya ia justru memantapkan
antroposentrisme itu dengan menekankan kebebasan dan kesadaran hati religius
sebagai ukuran dan dasar kepercayaan seseorang. Dalam pandangannya, manusia
tidak dapat dipaksa untuk memercayai sesuatu. Hal ini terungkap dalam tuntutan
10
61.
Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.
7
bahwa setiap orang Kristiani berhak untuk membaca Kitab Suci, memahami serta
menafsirkannya sendiri, dan bukan lagi menjadi hak para pemimpin Gereja
semata.11 Ini adalah sebuah kebebasan untuk tidak memercayai sesuatu yang
bertentangan dengan suara hati. Kebebasan yang mendorong subjektivitas sekular
ke subjektivisme religius.
Pandangan sekularistik masyarakat Eropa menyebabkan tersisihnya peran
agama di wilayah publik dan sepenuhnya menjadi urusan pribadi (privat) belaka.
Bahkan, sejarah „sakit‟ terjadi ketika muncul pertentangan antara ilmu
pengetahuan objektif dan doktrin Gereja di mana para ilmuwan positivis
mendapat inkuisisi seperti Galileo Galilei akibat penemuannya bertentangan
dengan otoritas Gereja, akhirnya membuat masyarakat tidak memercayai doktrin
agama. Hingga pada taraf tertentu, peradaban Barat dengan humanisme
sekularnya menggilas kepercayaan teosentris seraya meyakini berpijarnya
peradaban baru yang didasarkan pada rasionalitas dan semangat ilmiah.
Peradaban tersebut mencapai puncaknya pada abad 18 dengan lahirnya
sebuah gerakan zaman yang memengaruhi kehidupan ilmu pengetahuan, sosial,
politik, dan budaya yang disebut zaman pencerahan atau (Jerman: Aufklärung,
Inggris: Enlighment). Dalam sebuah majalah Berlinische Monasschrift, Desember
1784, Immanuel Kant menulis artikel dengan judul “Beantwortung der Frage:
Was ist Aufklärung? (Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?) Tulisan itu
secara tegas menegaskan ciri dari masyarakat pencerahan sebagai keluarnya anak
dari kategori bawah umur ke kedewasaan. Kategori bawah umur berarti ketika
11
Ibid, h. 62.
8
seseorang tidak bisa atau tidak berani menggunakan akal budinya secara mandiri
dan masih perlu bimbingan orang lain. Pencerahan ditandai oleh penggunaan akal
budi seluas-luasnya dengan semboyan sapere aude! (beranilah berpikir sendiri).12
Dirayakannya akal budi sekaligus menandai keterpisahan manusia modern dari
pandangan tradisional yang diliputi oleh kungkungan tradisi dan dogma. Sebagai
gantinya, individu menjadi subjek otonom yang dewasa yang tidak bergantung
lagi pada nilai dan norma apapun selain atas akal budinya.
Selain itu, Immanuel Kant dalam bukunya Kritik der reinen Vernunft
(Kritik atas Rasio Murni) berhasil melakukan penyelidikan transendental atas
asas-asas a priori dalam rasio yang berkaitan dengan objek dunia luar yang
disebut syarat-syarat kemungkinan bagi pengetahuan. Dalam penyelidikannya,
Kant menetapkan putusan sintetis apriori sebagai pengetahuan yang bersifat
ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Rumusan epistemologis Kant disebut
revolusi Kopernikan karena pengetahuan sebelumnya mengandaikan bahwa
subjek mengarahkan diri pada objek, padahal seharusnya, dengan forma apriori
yang melekat pada subjek, objek mengarahkan diri pada subjek. Akibatnya,
metafisika akan tercampakkan karena berada pada wilayah nomena atau das ding
an sich (ada pada dirinya sendiri) sedangkan pengetahuan manusia hanya mampu
menangkap wilayah fenomena (penampakan indrawi) saja.13
Dalam sejarah pemerintahan Islam, Nabi Muhammad telah berhasil
membangun suatu tatanan negara baru di Madînah sebagai penentangan pada
12
A. Setyo Wibowo, “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan di Mata Kant dan
Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF, Jakarta, 24 Septempber, 2007, h. 1-2.
13
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta:
Gramedia, 2004), h. 133-145.
9
tatanan kaum Quraysy yang tidak beradab. Islam membentuk suatu komunitas
yang berkuasa di Madînah dengan membina pemerintahan yang lebih berkembang
di mana kaum Muslim dan non-Muslim digolongkan atas dasar kehidupan sosial
yang umum.14 Karena dasar dibangun Rasulullah inilah, terutama dasar
metafisika, Islam menguasai dunia hingga delapan abad. Baru pada akhir abad 16,
pemerintahan dalam Islam mengalami kemunduran. Demikian pula pemikiran
Islam dan ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan oleh orang Muslim.
Maka tidak mengherankan apabila para pemikir modern dalam Islam
seperti Jamâluddîn al-Afghânî dan sebagainya, mendiagnosis kemunduran Islam
untuk kemudian melakukan analisis konstruktif dalam upaya membangun kembali
peradaban yang telah rapuh bahkan hancur. Banyak tantangan mengemuka di
tengah melakukan upaya itu, terutama konteks zaman di mana para pemikir
pembaharu dihadapkan pada arus modernisasi yang menuntut pertemuan global
dengan peradaban dan ideologi Barat. Akibatnya, mereka „dipaksa‟ menjawab
tantangan tersebut tanpa tercerabut dari akar ideologisnya dengan cara menilainya
dari perspektif Islam.
Dalam bingkai inilah Muhammad Baqîr al-Shadr melakukan analisis
spesifik terhadap sistem sosial yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadi sistem
yang ideal. Menurutnya, persoalan paling mendesak untuk segera diselesaikan
adalah persoalan sistem sosial yang di dalamnya terdapat suprastruktur nilai yang
bisa membawa kesejahteraan bagi umat Islam dan manusia pada umumnya. Hal
14
Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia,
jil. I, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 256.
10
ini disebabkan sistem sosial yang ada yang disandarkan pada pandangan dunia
(worldview) Barat gagal mewujudkan kesejahteraan.
Berbeda dari Barat, pandangan dunia Islam yang didasarkan pada tauhid
diyakini Muhammad Baqîr al-Shadr mampu menciptakan sistem sosial yang
membawa kesejahteraan. Tauhid di sini dalam pengertian keyakinan dan
kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah”. Pernyataan ini mengandung
makna paling agung dan kaya dalam seluruh khazanah Islam. Semua keragaman,
kebudayaan dan pengetahuan serta kebajikan dan peradaban dalam Islam
diringkas dalam kalimat pendek lâ ilâha illâ Allâh.15
Karena itu, tauhid bagi Muhammad Baqîr al-Shadr adalah dasar
pandangan hidup yang melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan yang
memanifestasikan keesaan Allah. Tidak ada dualitas dan kontradiksi dalam jagad
raya ini seperti manusia dan alam, ruh dan badan, kapitalis dan proletar apalagi
meletakkannya dalam jalinan hirarkis antara superior dan inferior. Semuanya
memunyai posisi sama dan setara di dalam sebuah sistem total yang terwujud dari
keesaan Allah.
Hanya Allah yang patut disembah, tempat segala sesuatu bergantung dan
berserah diri. Selain Allah tidak layak dipertuhankan karena keberadaannya tidak
mandiri. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal penyerahan kepada bentuk dan
corak apapun selain kepada-Nya.16 Penyerahan dan ketundukan terhadap berhala,
belenggu
sosial,
rezim
yang
korup,
dan
sebagainya
dikatakan
syirk
(menyekutukan Allah).
15
Ismâ„îl Râjî al-Fârûqî, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 9.
Muhammad Baqîr al-Shadr, Problem Masa Kini dan Problem Sosial, terj. M. Hashem,
(Bandung: Pustaka), h. 128.
16
11
Dengan demikian, di dalam keyakinan tauhid terkandung spirit
pembebasan yang akan mengangkat martabat manusia. Pembebasan dari berbagai
macam perbudakan, tirani, hegemoni, kemiskinan, dan sebagainya sehingga
tercipta kehidupan sosial yang merdeka, adil, dan sejahtera. Sebuah tatanan
kehidupan yang selama ini menjadi tujuan dari sistem sosial.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Demi menjaga efektifitas agar pembahasan tetap terfokus pada persoalan,
maka penulis membatasi pembahasan pada peran tauhid dalam menciptakan
sistem sosial yang ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr.
Dengan pembatasan seperti itu, maka permasalahan yang akan menjadi
objek dan fokus penulisan adalah: Bagaimana peran tauhid dalam menciptakan
sistem sosial yang ideal menurut Muhammad Baqîr al-Shadr?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami dan menguraikan
secara rinci pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam
menciptakan sistem sosial yang ideal serta melakukan analisis kritis terhadapnya.
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai
berikut:
1. Mengetahui latar belakang Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat
peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal.
2. Mengetahuai faktor penyebab munculnya problem sistem sosial
12
3. Mengetahui peran tauhid dalam menjawab problem dalam sistem sosial
4. Mengetahui peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi pustaka
(library
research)
terhadap
karya-karya
Muhammad
Baqîr
al-Shadr.
Pengumpulan data diambil dan dipilih dari karya Muhammad Baqîr al-Shadr dan
karya lain yang memiliki relevansi dengan uraian skripsi ini.
Secara teknis, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan
teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan pemikiran
Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat peran tauhid dalam menciptakan sistem
sosial yang ideal. Teknik pengumpulan data dan pembahasan masalah dalam
skripsi ini disesuaikan dengan standar Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi Tesis, dan
Desertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance
(CeQDa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara, teknik penulisan dalam
skripsi ini berdasarkan pada panduan penulisan skripsi Fakultas Ushuluddin yang
termuat dalam Pedoman Akademik 2006/2007. Sedangkan penulisan transliterasi
menggunakan pedoman transliterasi penerbit buku Paramadina dengan perubahan
pada huruf ‫ض‬, dari /dl/ menjadi /dh/ dalam skripsi ini.
E. Sistematika Penulisan
Setelah dalam Bab I penulis memaparkan latar belakang masalah, pokokpokok masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada BAB II penulis
13
mencoba memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup Muhammad Baqîr alShadr mulai dari latar belakang sosial, perjalanan intelektual hingga hasil karya
dan pengaruh pemikirannya.
Pada BAB III, penulis akan membahas konsep sistem sosial dan beberapa
persoalan terkait dengan sistem itu dalam masyarakat modern, baik yang terjadi
pada masyarakat kapitalis maupun masyarakat yang berada di dalam bingkai
sosialisme. Hal ini menjadi pijakan awal dari analisis selanjutnya di mana
Muhammad Baqîr al-Shadr mengembangkan analisisnya dalam rangka melihat
peran tauhid bagi terciptanya sistem sosial yang ideal. Sedangkan BAB IV yang
menjadi pokok inti tulisan ini, penulis sudah masuk pada pembahasan tentang
pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam menjawab
problem sistem sosial masyarakat modern sekaligus dalam menciptakan sistem
sosial yang ideal.
Bab IV diawali dengan pandangan dunia (worldview) Islam. Pada sub
pokok selanjutnya, akan dipaparkan kedudukan tauhid dalam Islam sebagai
landasan hidup dan Tuhan sebagai pusat realitas.
Selain itu, di bab IV akan dijelaskan peran tauhid dalam kemerdekaan dan
keadilan. Dari kemerdekaan ini kemudian mengejawantah suatu pencapaian
tujuan dari sistem sosial yakni kesejahteraan dan kebahagiaan.
Sementara pada bab V penulis akan menyimpulkan dari seluruh bahasan
dan masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran
terkait peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial yang ideal.
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial
Muhammad Baqîr al-Shadr al-Sayyid Haydar b. Ismâ„îl adalah seorang
ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak. Dia lahir di
Kazmain, Baghdad, pada 25 Zhû al-Qâ„dah 1353 H./1 Maret 1935 M. dari
keluarga religius dan termasyhur. Ayahnya, Haydar al-Shadr, sangat dihormati
dan merupakan alim Syî„ah peringkat tinggi. Garis keturunannya kembali ke Nabi
Muhammad melalui imam Syî„ah yang ketujuh yaitu Mûsâ Kazhîm. Beberapa
tokoh kenamaan juga lahir dari keluarganya seperti Sayyid Shadr al-Dîn al-Shadr,
seorang marja‘1 di Qum, Iran; Muhammad al-Shadr, salah seorang pemimpin
religius yang memainkan peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan
mendirikan Haras al-Istiqlâl (Pengawal Kemerdekaan); dan Mûsâ al-Shadr,
seorang pemimpin Syî„ah di Lebanon.2
Pada usia empat tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr kehilangan ayahnya
dan kemudian diasuh oleh ibu dan kakak laki-lakinya, Ismâ„îl, yang juga seorang
mujtahid3 kenamaan di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah
tentang sejarah Islam dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia sudah
mampu menangkap wacana teologis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika
berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku yang
1
Ulama yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syî„ah.
Biografi Muhammad Baqîr al-Shadr ditulis dalam bukunya Falsafatunâ, terj. M. Nur
Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 11.
3
Orang alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim.
2
14
15
mengeritik para failasuf. Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan Ushûl
‘Ilm al-Fiqh (Asas-asas Ilmu tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam). Pada usia
enam belas tahun, ia pergi ke Najaf untuk menempuh pendidikan yang lebih baik
dalam berbagai cabang ilmu Islam di Universitas Najaf al-Asyraf, Irak. Sekitar
empat tahun kemudian, dia menulis sebuah eksiklopedia tentang Ushûl Ghâyah
al-Fikr fî al-Ushûl (Pemikiran Puncak dalam ushûl). Karya ini hanya berhasil
diterbitkan satu volume. Ketika usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar bahts
al-kharîj (tahap akhir ushul) dan fiqh. Dan, pada usia tiga puluh tahun,
Muhammad Baqîr al-Shadr telah menjadi mujtahid. 4
Dunia karirnya tidak begitu gemilang kecuali sebagai pengajar,
penceramah, dan penulis. Karena tulisannya banyak bersinggungan dengan
masalah ekonomi, terutama Iqtishâdunâ yang banyak mengeritik Marxisme dan
kapitalisme dengan mengajukan prinsip ekonomi Islam, ia kemudian sering
dimintai konsultasi oleh berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan
Islam. Ia juga ditugaskan oleh pemerintah Kuwait untuk menilai bagaimana
kekayaan minyak negara dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu,
ia juga diminta untuk membangun dan meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan
bank-bank Islam modern.
Sebagai seorang pemikir kontemporer terkemuka, Muhammad Baqîr alShadr melambungkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara
tahun 1950-1980. Tulisannya sarat dengan makna dan muatan teologis-falsafatis
yang kerap menyerang konsepsi falsafat Barat seraya mengajukan konsep Islam
4
Ibid, h. 12.
16
dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan.5 Hal ini dapat dimaklumi
karena kondisi Irak pasca terjadinya revolusi 1958, dalam rangka menentang
pemerintahan monarki, berada dalam ketidakpastian yang dihantui oleh
merebaknya berbagai pemikiran dengan tendensi ateisme. Pemikiran itu dianggap
telah berusaha memengaruhi akal, emosi, dan naluri sehingga akan terjadi
kehampaan pada Islam dan kaum Muslim. Kondisi itu pula yang menggugah
beberapa ulama di Najaf al-Asyraf untuk menerbitkan majalah al-Adwa’ alIslâmiyyah di mana Muhammad Baqîr al-Shadr menjadi pimpinan dan tokoh yang
paling menonjol. Kehadirannya diharapkan menjadi juru bicara Islam dalam
menghadapi pelbagai penyimpangan pemikiran dan gerakan. 6 Hawzah7 ilmiah di
Najaf al-Asyraf sadar bahwa keadaan itu memerlukan alat-alat baru di tengah
pergulatan mengisi kekosongan pemikiran dalam rangka restrukturisasi dan
reformulasi sistem yang lebih baik.
Muhammad
Baqîr
al-Shadr
merupakan
tokoh
paling
produktif
menuangkan tulisannya di majalah tersebut sebagai suatu bentuk perjuangan
pemikiran dan gerakan ideologis. Namun, dia tidak dapat melanjutkan aktivitas
menulisnya di al-Adwa’ lantaran ada tekanan dari sentral kekuatan di hawzah
ilmiah. Alasannya karena mereka khawatir akan adanya dampak negatif yang
akan menimpa masa depannya di mana dia diharapkan menjadi pemangku jabatan
sebagai pusat rujukan keagamaan (al-marja‘iyyah al-islâmiyyah). Alasan itu tak
5
Karya yang secara khusus dan sistematis mengeritik bangunan konseptual falsafat Barat
bisa dilihat dalam Falsafatunâ.
6
Sayyid Muhammad Husayn Fadhlullah “Kata Pengantar” dalam Muhammad Baqîr alShadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Caff,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 15-16.
7
Hawzah dalam pengertian bahasa berarti wilayah. Dalam konteks ini berarti wilayah
yang dijadikan pusat pendidikan agama Islam.
17
berlebihan karena Muhammad Baqîr al-Shadr secara progresif seringkali
menganjurkan suatu gerakan Islam yang mengorganisasikan sebuah partai sentral
yang dapat bekerja dengan berbagai unit dalam naungan bangsa Islam untuk
perubahan sosial yang diinginkan. Sebagai akibatnya, dia kemudian mendirikan
partai Da‘wah al-Islâmiyyah (Partai Dakwah Islam) seraya menegaskan bahwa
politik adalah bagian dari Islam. Dia menyerukan kepada kaum Muslim supaya
mengenali kekayaan khazanah Islam dan melepaskan diri dari pengaruh eksternal
apapun, khususnya kapitalisme dan Marxisme.8
Melalui gerakannya, dia menyerukan kaum Muslim agar bangun dari tidur
panjang dan menyadari bahwa imperialis sedang berupaya membunuh ideologi
Islam dengan menyebarkan ideologi mereka. Kaum Muslim harus bersatu dalam
melawan pengaruh dan intervensi itu, baik dalam sistem sosial, ekonomi, dan
politik. Di samping itu, ajaran dan gerakan politik Muhammad Baqîr al-Shadr
secara langsung berhadapan dengan rezim Ba‟ats yang ditentangnya sebagai rezim
diktator yang melanggar hak asasi manusia dan Islam. 9 Akibatnya, pada tahun
8
Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 12.
Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam menolak monarki, pemerintahan diktator, dan
aristokrasi. Dia mengusulkan pemerintahan yang dikenal dengan wilâyah al-ummah yang terdiri
dari khulafâ’ al-insân (manusia sebagai ahli waris atau wali Allah) dan syahâdah al-anbiyâ’
(kesaksian para Nabi). Menurutnya, sepanjang sejarah manusia terdapat dua garis peran dan fungsi
pemerintahan yang saling berkaitan, yang pertama khalîfah sebagai wali yang mewarisi bumi
Allah, dan yang kedua syâhid atau saksi. Khalîfah adalah hak dan kewajiban yang diberikan oleh
Allah kepada setiap orang untuk mengurusi persoalan dunia dan karena itu, dalam konteks negara,
diidentifikasi sebagai hak rakyat di mana legitimasi pemerintahan berasal dari rakyat bukan ulama.
Sementara syâhid adalah orang yang berperan sebagai saksi atau melakukan pengawasan atas
pemerintahan di mana tanggung jawabnya diberikan kepada para nabi, imam sebagai pewaris nabi,
dan terakhir marja‘iyyah. Fungsi ke-khalîfah-an (pemerintahan) dan syahâdah (pengawasan) pada
zaman para nabi menyatu dalam diri mereka. Tetapi karena tidak ada nabi lagi pasca Nabi
Muhammad maka fungsi khalîfah diberikan kepada umat sedangkan syahâdah kepada para ulama
(marja‘). Karena itu, konsep politik Muhammad Baqîr al-Shadr mengandung prinsip-prinsip
demokrasi dengan menganjurkan agar setiap orang menggunakan haknya untuk memilih
pemimpin eksekutif, entah disebut presiden atau perdana menteri (setelah pencalonannya diakui
oleh walî al-faqîh), dan secara langsung dan bebas memilih dewan legislatif yang mewakili
9
18
1977 dia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Baghdad tetapi berhasil
dibebaskan karena popularitasnya. Dua tahun kemudian, dia ditahan lagi di Najaf
pada tahun 1979. Kondisi ini membuat saudara perempuannya, Bint al-Hudâ,
yang juga seorang sarjana teologi Islam, gusar dan mengorganisir suatu gerakan
yang menentang penahanan atas seorang marja‘. Protes juga dilakukan oleh
gerakan lain di dalam dan di luar Irak sehingga dia berhasil dibebaskan meski
tetap dikenai tahanan rumah selama delapan bulan.
Namun, keadaan itu tidak menyurutkan langkah Muhammad Baqîr alShadr untuk tetap berjuang dalam bingkai gerakan ideologis yang diyakininya.
Bahkan, ketegangan antara partai Ba‟ats dan dia semakin menjadi kentara. Hal ini
dapat dilihat dari fatwanya yang mengharamkan seorang Muslim bergabung
dengan partai Ba‟ats dan dukungannya terhadap revolusi Islam. Akibatnya, pada 5
April 1980, dia ditahan lagi bersama dengan adiknya dan dipindahkan ke
Baghdad. Keduanya dipenjarakan dan dieksekusi mati tiga hari kemudian oleh
rezim Saddam Hussein. Diduga bahwa Muhammad Baqîr al-Shadr dibunuh
dengan cara dipaku tepat di kepalanya.10 Jasad mereka dibawa dan dimakamkan
di Najaf. Selain mereka, ribuan pelajar di Hawzah diusir ke luar Irak, sebagian
dipenjara, dan para ulama dihukum gantung tanpa proses pengadilan.
Tragedi pengeksekusian itu membuat reputasi Muhammad Baqîr al-Shadr
semakin diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya melintas jauh ke
ummah. Lihat di www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr", diakses tanggal
10 Maret 2009. Penjelasan lebih spesifik dan rinci mengenai prinsip dan landasan pemerintahan
Islam bisa dilihat dalam buku Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah
Pengantar, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 101-113.
10
www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr". Artikel diakses pada
tanggal 20 April 2010.
19
Mediterania, Eropa hingga Amerika Serikat. Terbukti pada tahun 1981, Hanna
Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal, Washington, menunjukkan
betapa pentingnya Baqîr al-Shadr bagi gerakan bawah tanah Islam di Irak. Sebuah
peranan yang juga tak bisa diabaikan bagi kebangkitan berbagai gerakan politik
Islam di dunia.
B. Karya Tulis
Sebagai seorang intelektual, Muhammad Baqîr al-Shadr sangat produktif
membuat karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun artikel. Mayoritas
karyanya ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Kurang lebih dua puluh tujuh
buku telah ditulisnya (beberapa diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa
inggris dan bahasa Indonesia) dan tiga puluh satu artikel dipublikasikan di
berbagai majalah khususnya al-Adwa’ al-Islâmiyyah. Sebagian artikel itu,
diterbitkan secara berkesinambungan sesuai dengan tema dan judul tulisan
sehingga dibentuk dan diterbitkan menjadi buku. Karyanya berkonsentrasi pada
ilmu
dan masalah-masalah keislaman
yang cukup kompleks
sehingga
pemikirannya menyebar dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi,
sejarah, teologi, falsafat, fiqh dan sebagainya.
Hal itu menunjukkan keluasan cakrawala pengetahuan dan keragaman
penguasaannya atas berbagai disiplin ilmu serta mencerminkan reputasi
intelektual yang tinggi. Ciri khas tulisannya sarat dengan nuansa kritik terhadap
berbagai pemikiran Barat seraya memberikan tanggapan dengan bersandar secara
otentik pada prinsip atau konsep Islam. Tulisan-tulisannya mengandung makna
20
teologis dan falsafi, bukan retorika terkesan apologetik dengan tendensi ideologis
yang dipaksakan.
Karya falsafat yang secara khusus mengeritik bangunan falsafat Barat
tertuang dalam Falsafatunâ: Dirâsah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Mu‘tarak al-Shirâ’
al-Fikrî al-Qâ’im bayna al-Mukhtalaf al-Thayarât al-Falsafiyyah wa al-Falsafah
al-Islâmiyyah wa al-Mâddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah). Dalam buku
ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyajikan kritik epistemologis terhadap
pandangan dunia Barat yang mengakhiri matinya metafisika khususnya
materialisme dialektis dalam Marxisme. Selanjutnya dia menjelaskan bagaimana
Islam mengajukan konsep mendasar tentang dunia beserta metode berfikirnya. Di
sini terlihat konfrontasi pemikiran yang sangat kentara antara Islam dan Barat
dengan argumen falsafi cukup mendalam dan menyeluruh.
Buku itu terdiri dari dua bagian pembahasan. Yang pertama adalah tentang
epistemologi di mana Muhammad Baqîr al-Shadr membedakan dua bentuk
pengetahuan: konsepsi dan tashdîqî (penilaian kebenaran pengetahuan atau
aksiologi ilmu). Dalam bahasan ini ia mengeritik epistemologi dalam masingmasing tradisi atau aliran falsafat Barat. Yang kedua tentang metafisika dan
konsep falsafat tentang dunia. Di sini dia mencoba mematahkan kerangka berpikir
falsafat yang mengganggap metafisika sebagai takhayul dan kata-kata kosong
dengan prinsip prima causa (sebab pertama) sebagai sesuatu yang menyebabkan
adanya sesuatu yang lain. Menurutnya bahwa jika di alam semesta berlaku hukum
kausalitas, maka mustahil sebab itu tidak berhingga. Gerak mundur sebab itu akan
berhenti pada Sebab Pertama yang niscaya. Sedangkan Sebab Pertama itu tidak
21
tunduk pada hukum kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu merupakan
akibat dari sebab sebelumnya. Ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada
esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Baru dari Sebab
Pertama kemudian muncul matarantai sebab yang berlaku umum bagi alam
semesta.
Selain karya itu, Muhammad Baqîr al-Shadr juga menulis masalah
keimanan Islam dalam buku Mujâz fî al-Ushûl al-Dîn: al-Mursil, al-Rasûl, alRisâlah.11 Dalam buku ini dia mengeksplorasi tiga hal penting dalam iman Islam
yaitu Allah, Rasul, dan Islam beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Khususnya keimanan kepada Allah, dia mengajukan argumen falsafi dan
akademik dalam rangka membuktikan akan keberadaan-Nya serta sifat-sifat-Nya
seperti keadilan. Demikian pula hal sama ia lakukan ketika membahas tentang
Nabi Muhammad sebagai rasul penutup yang membawa pesan bagi seluruh umat
manusia.
Bagian terakhir buku itu menjelaskan tentang pesan Islam sebagaimana
tertera dalam al-Qur‟ân yang diyakini memunyai keistimewaan dan karakteristik
tersendiri dibanding pesan-pesan surgawi lainnya. Salah satu karakteristik itu
adalah terjaganya al-Qur‟ân dari perubahan-perubahan baik dalam bentuk huruf
maupun dalam bentuk keimanan sebagaimana telah terpatri dalam jiwa religius
seorang Muslim. Al-Qur‟ân juga mengandung pesan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan yang membawahi dikotomi antara kehidupan material dan
spiritual, dan sebagainya. Melalui karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr
11
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud M. Ayoub menjadi The
Revealer, the Messenger, the Message, (Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986).
22
menunjukkan bahwa keimanan dalam Islam memunyai landasan kebenaran yang
kokoh di mana pembuktiannya bisa dilakukan secara rasional dan ilmiah.
Setelah menghadirkan bukti-bukti rasional dan akademik, Muhammad
Baqîr al-Shadr berusaha membangkitkan kesadaran umat Islam akan kebenaran
keimanan tersebut beserta implikasinya bagi kehidupan dalam buku Risâlatunâ
(Misi Kami).12 Upaya ini dilakukan karena menurutnya keimanan bukan sekedar
taqlid saja melainkan suatu pemahaman dan pengakuan akan kebenarannya
sehingga memengaruhi kesadaran dan tindakan seseorang. Dia meyakini bahwa
seorang Muslim yang menyadari kebenaran iman Islam akan membawa kemajuan
bagi kehidupan, membawa rahmat bagi seluruh alam sebagaimana tugas dan
tanggung jawab khalifah yang diberikan Allah kepada manusia. Muslim yang
sadar akan keimanannya tidak akan tinggal diam ketika melihat kenyataan yang
bertentangan dengan tugas sejatinya, tidak pernah takut pada segala macam
penindasan dan ketidakadilan yang merugikan kehidupan.
Untuk menuju kesadaran dan kebangkitan Islam itu, ada tiga syarat yang
harus dimiliki oleh umat, yaitu adanya ajaran yang benar, adanya pemahaman
terhadap ajaran tersebut, dan terakhir, sebagai konsekuensi dari keduanya, adanya
keimanan. Tiga syarat ini tak boleh diabaikan karena bagaimana pun juga
kesadaran tidak lahir dari ruang yang kosong. Kesadaran muncul dari keimanan
seseorang yang memahami akan kebenaran ajarannya yang kemudian dijadikan
landasan dalam setiap tindakan. Tanpa itu, seseorang akan tercabik-cabik oleh
12
Dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul berbeda dari aslinya yaitu Syahadat
Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup. Menurut hemat penulis, judul ini lebih ditekankan pada
konten buku yang mengaitkan keimanan dan implikasinya bagi kebangkitan Umat.
23
ketidakpastian keadaan sehingga langkahnya goyah dan gontai bahkan sama
sekali stagnan alias mati suri.
Sedangkan karya yang berkaitan dengan kehidupan sosial umat di zaman
modern, salah satunya termuat dalam bukunya Al-Insân al-Mu‘ashshir wa alMusykilah al-Ijtimâ‘iyyah (Manusia Masa Kini dan Problema Sosial). Ini
merupakan salah satu karya yang diterbitkan dalam bentuk seri aliran pemikiran
Islam. Dalam karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr berbicara tentang persoalan
kehidupan sosial modern dan solusinya yang dibenturkan dengan solusi yang
ditawarkan oleh pemikiran Barat khususnya sosialisme-komunisme dan
kapitalisme-liberalisme. Buku ini berpijak di atas landasan konseptual
sebagaimana terdapat dalam Falsafatunâ yang memberikan kritik epistemologis
terhadap pemikiran Barat. Hanya saja cakupannya lebih luas dan lebih menyentuh
pada persoalan praksis kehidupan, baik sosial maupun ekonomi.
Menurut pandangannya, masalah yang paling mendesak untuk segera
diselesaikan adalah masalah sistem sosial. Melalui sistem sosial, tujuan kehidupan
individu dan masyarakat diupayakan bersama sehingga bisa mencapai hasil yang
lebih baik dan maksimal. Karena itu, pencarian terhadap sistem yang sesuai
dengan tujuan manusia serta mampu mewujudkannya sangat diperlukan. Sejarah
telah menunjukkan bahwa dalam setiap zaman manusia selalu bergulat dalam
sebuah sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan sistem itu
menjadi eksperimen tersendiri bagi kehidupan selanjutnya untuk membangun dan
menerapkan sistem baru yang dipandang lebih baik. Dalam konteks modern,
24
sistem itu mengejawantah dalam sosialisme-komunisme dan kapitalismeliberalisme.
Dalam masing-masing sistem itu terdapat tujuan dan nilai-nilai yang
dipercayai dan menjadi pandangan hidup (way of life) masyarakat. Di samping itu,
terdapat pula seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut sehingga
membentuk organisme padu antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Dan
sejauh ini, menurut penilaian Muhammad Baqîr al-Shadr, sistem-sistem itu gagal
mewujudkan tujuan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai makhluk sosial. Dia mengeritik sistem sosial yang selama ini saling
bertikai dalam kehidupan modern dan kemudian menawarkan sistem sosial yang
disandarkan atas Islam sebagai satu-satunya sistem yang ideal. Disebut ideal
karena sistem itu diyakini mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan
bersama dalam kehidupan.
Karya lain berkenaan dengan masalah sosial khususnya tentang kehidupan
politik umat Islam adalah Manâbi’ al-Qudrah fî al-Dawlah al-Islâmiyyah
(Sumber-sumber Kekuasaan dalam Pemerintahan Islam). Dalam karya ini
Muhammad Baqîr al-Shadr menjelaskan tentang sumber kekuasaan di bawah
sistem keyakinan Islam, bentuk pemerintahan, peran fungsi serta tujuan yang akan
dicapai. Menurutnya, sumber pemerintahan Islam berasal dari Allah yang
memberikan tanggung jawab ke-khalîfah-an kepada manusia dan mendeklarasikan
Allah sebagai tujuan atau terminal akhir kafilah kemanusiaan. Sedangkan tugas
dan peran pemerintahan itu adalah mengakhiri segala bentuk eksploitasi dalam
25
masyarakat dan membebaskan mereka dari ketertindasan baik ekonomi, politik,
dan intelektual.
Akan tetapi, walaupun sumber pemerintahan berasal dari Allah bukan
berarti secara gampangan seorang penguasa dapat menggunakannya sebagai
sentimen untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini disebabkan tugas pemerintahan
(khalîfah) tidak hanya diberikan kepada satu orang saja melainkan kepada seluruh
manusia. Dengan demikian, dalam politik seorang penguasa tidak dapat
mengklaim kekuasaannya bersumber atau ditentukan langsung oleh Allah tetapi
harus mendapatkan legitimasi dari semua orang di dalamnya. Setiap orang
memiliki tanggung jawab untuk mengurusi dunia dan kehidupan sehingga dia
memunyai hak untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Berangkat dari
pemikiran ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menuntut diadakannya pemilu serta
menyerukan agar masyarakat menggunakan haknya dengan memberikan suara
untuk memilih dewan perwakilan mereka. Konsep pemerintahannya adalah
wilâyah al-ummah yang terdiri dari khalîfah (pemerintahan eksekutif dan
legislatif) dan syahâdah (kesaksian atau pengawasan yang dilakukan oleh ulama
atau walî al-faqîh).
Selain politik, karya Muhammad Baqîr al-Shadr menyangkut kehidupan
sosial juga berkaitan dengan masalah ekonomi. Pemikirannya tentang ekonomi
termuat dalam buku Al-Madrasah al-Islâmiyyah13 (Sekolah Islam) dan
Iqtishâdunâ (Ekonomi Kami). Dalam karya ini, dia mengeritik sistem ekonomi
kapitalisme dan sosialisme yang dinilai gagal mengupayakan tercapainya tujuan
13
Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan judul Islam and Schools of Economics.
26
sistem sosial. Sebagai gantinya, dia mengajukan konsep ekonomi Islam dengan
mengurai prinsip-prinsip yang harus menjadi landasan dalam ekonomi. Kajiannya
sangat mendalam dan komprehensif, khususnya dalam buku Iqtishâduna,
sehingga mendapatkan nilai kesarjanaan yang cukup tinggi. Berbeda dari ekonomi
syari„ah yang hanya menekankan pada praktik atau transaksi tanpa ribâ (bunga),
ekonomi Islam perspektif Muhammad Baqîr al-Shadr berlandaskan pada nilainilai keadilan yang membawahi seluruh aspek ekonomi. Pemikirannya dapat
menjadi alternatif baru di tengah runtuhnya komunisme dan gagalnya kapitalisme.
Karena sumbangannya yang begitu besar dan sangat berarti dalam ekonomi, dia
kemudian lebih dikenal sebagai ekonom Islam.
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran
Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan seorang intelektual Muslim brilian
dan progresif yang memunyai kesadaran sejarah pada zamannya. Dia menekuni
dan menguasai ilmu-ilmu Islam serta menulis dalam berbagai bidang keilmuan.
Walaupun demikian, bukan berarti Muhammad Baqîr al-Shadr tidak memunyai
konsentrasi khusus berkenaan dengan spesialisasi pemikiran. Lebih tepat jika
dipahami bahwa semua masalah yang dijabarkan berkaitan dengan bidang-bidang
itu mengacu pada suatu proyek pemikiran keislaman dalam rangka menciptakan
sistem sosial yang ideal.
Tujuan itu dirasakan sangat penting karena konteks historis pasca Perang
Dunia II diwarnai oleh ketegangan ideologis mengenai persoalan kehidupan
sosial, ekonomi dan politik antara sosialisme-komunisme dan kapitalisme-
27
liberalisme. Pengaruh ketegangan itu menjangkiti pemerintah dan masyarakat Irak
sehingga terjadi penyimpangan dalam bentuk orientasi ateisme. Kejadian tersebut
muncul setelah revolusi 14 Juli 1958 dalam rangka menentang pemerintahan
monarki yang dipimpin oleh jenderal Abdul Karim Kassem dan berhasil
mengubah sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik. Kondisi inilah
yang menggerakkan Muhammad Baqîr al-Shadr untuk menemukan sistem sosial
yang didasarkan atas keyakinan Islam.
Dengan sendirinya, tujuan itu menuntut dia untuk menggali dan
mengembangkan
lebih
jauh
khazanah
pemikiran
keislaman
serta
menghadapkannya pada beberapa pemikiran dalam konteks kekinian. Dalam
pengertian ini, maka wajar apabila karyanya bertebaran dalam berbagai bidang
keilmuan. Semuanya dilakukan untuk mencari dasar pijakan dalam rangka
membangun konsep ideal tentang sistem sosial tanpa tercerabut dari akar
keyakinannya.
Apalagi
sistem
sosial
serta upaya mencapai
tujuannya,
membutuhkan konsep dan prinsip-prinsip yang menyeluruh yang mampu
membawahi seluruh aspek kehidupan sosial, politik maupun ekonomi.
Pencarian dasar pijakan itu dilakukan Muhammad Baqîr al-Shadr secara
ekstensif dengan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara
rasional. Dia menyadari betul bahwa landasan dari setiap pemikiran harus benarbenar kokoh sehingga bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak rapuh di depan
pengujian kebenaran. Oleh karena itu, dia masuk ke dalam ranah falsafat untuk
membuktikan kebenaran pandangan dunia Islam. Selanjutnya, dari pandangan
28
dunia, dia membangun pemikirannya tentang sistem sosial Islam yang
dikonfrontasikan dengan sistem sosial lain.
Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan pengaruh signifikan
khususnya bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak dan pemikiran Islam
pada umumnya. Hal ini disebabkan, di samping pemikirannya dibangun di atas
landasan yang kokoh berhadapan dengan ideologi pemikiran Barat, ia juga
mengupayakan pemikirannya agar menjadi praksis dalam suatu perjuangan
ideologis melalui kajian dan gerakan kelompok akademis dan partai politik.
Gerakan ini berkonfrontasi langsung terhadap partai penguasa di mana tidak
jarang sikap serta kebijakannya ditentang oleh Muhammad Baqîr al-Shadr. Dalam
pemikiran Islam, pengaruhnya paling mencolok dapat dilihat dalam pemikiran
ekonomi lewat karyanya Iqtishâdunâ.
Secara ringkas sepak terjang Muhammad Baqîr al-Shadr memiliki dua
pengaruh, baik bagi negerinya maupun dunia internasional, dalam mana kedua
elemen tersebut terkait dengan eksistensi Syî„ah sebagai aliran agama ia anut.
Pertama, bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak, Muhammad Baqîr alShadr menjadi ikon perlawanan terhadap rezim yang lalim dan menindas umat
Islam Syî„ah yang merupakan penduduk mayoritas Islam Irak, yaitu 57 persen
dari 25 juta penduduk Irak.14 Umat Islam Syî„ah di Irak dicurigai gerak-geriknya
sebagai kelompok yang dianggap membahayakan kekuasaan Sunnî dari partai
Ba‟ats, Saddam Hussein. Bahkan pihak penguasa waktu itu melakukan,
meminjam istilah Chibli Mallat, Sunnisasi serta Ba‟atsisasi terhadap masyarakat
14
M. Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Hikmah, 2007), h. 87.
29
Irak sehingga menimbulkan ketegangan akibat pertentangan massif dari kelompok
Syî„ah.
Sunnisasi dan Ba‟atsisasi panggung politik Irak menjadi sebab utama
penentangan kaum Syî„ah terhadap rezim Saddam sehingga muncul dua
organisasi Syî„ah yaitu partai Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn. Kedua
organisasi itu sama-sama mengakui kepemimpinan imam Syî„ah Irak, Muhammad
Baqîr al-Shadr. Maka wajar apabila ia disebut oleh Hanna Batatu sebagai “the
most learned of Iraq’s Ayatullah” (sosok paling terpelajar dari komunitas
Ayatullah Irak) karena ia memang seorang alim yang sangat kharismatik baik
dilihat dari segi peranan politik maupun karya-karyanya. Dalam hal ini ia dapat
disejajarkan dengan Imam Khomeini di Iran atau Imam Mûsâ al-Shadr di
Libanon.15 Di bawah kepemimpinannya, kelompok Syî„ah mulai diperhitungkan
sebagai sebuah kekuatan politik yang sangat potensial.
Pada tahun 1974 dan 1977, ketika prosesi memeringati hari ‘Asyûrâ (hari
untuk mengenang kesyahidan Imam Husayn), kaum Syî„ah Irak melakukan
demonstrasi mengutuk pemuka partai Ba‟ats. Dan ketika Revolusi Republik Islam
Iran berhasil meruntuhkan dinasti Pahlevi, pada Juni 1979 Muhammad Baqîr alShadr merencanakan memimpin long march dari Najaf ke Teheran untuk
memberi selamat kepada Imam Khomeini. Namun rezim Ba‟ats yang tidak
menghendaki rencana itu segera menangkap Muhammad Baqîr al-Shadr sehingga
menimbulkan kerusuhan anti Saddam dari kalangan Syî„ah selama hampir satu
15
Ibid, h. 89
30
tahun. Kerusuhan itu memuncak pada dieksekusinya Muhammad Baqîr al-Shadr
dan saudara perempuannya Bint al-Hudâ.16
Sepeninggal Muhammad Baqîr al-Shadr, aksi represif rezim Saddam
menjadi hari-hari tersulit bagi kelompok Syî„ah Irak. Akan tetapi kondisi itu tidak
membuat kobaran semangat mereka padam. Hanya saja mereka kehilangan ikon
pemersatu yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Syî„ah seperti
Organisasi Aksi Islam, Dewan Ulama untuk Revolusi Islam Irak, Tentara
Revolusioner untuk Pembebasan Irak, Kelompok Ulama Pejuang Irak, dan Biro
Revolusi Islam Irak. Namun, organisasi itu tidak bertahan lama kecuali Organisasi
Aksi Islam (Munazhzhamât al-‘Amal al-Islâm). Hal ini disebabkan tidak adanya
pengakuan
dari
Imam
Khomeini
dan
belum
terpecahkannya
masalah
kepemimpinan pasca wafatnya Muhammad Baqîr al-Shadr. Sementara organisasi
lama, Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn, dianggap tidak representatif lagi.
Keadaan tersebut membuat prihatin para aktivis Syî„ah di Iran sehingga
pada 17 November 1982, mereka sepakat membentuk Dewan Tertinggi Revolusi
Islam Irak atau The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq (SAIRI)
di bawah kepemimpinan Sayyid Muhammad Baqîr al-Hakîm. Sejak saat itu, atas
restu Khomeini, dia diakui sebagai pemimpin Syî„ah Irak. Namun, al-Hakîm
belum bisa disejajarkan dengan Muhammad Baqîr al-Shadr karena karyanya tidak
ada yang mampu menandingi Iqtishâdunâ, Falsafatunâ atau karya lainnya. Ia
justru berada di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya, Ayatullah al-„Uzmâ
16
Ibid, h. 90-91.
31
Muhsin al-Hakîm. Selain itu, selama menjabat sebagai pemimpin, ia belum
mampu menyatukan kelompok Syî„ah sampai ia meninggal dunia.17
Setelah itu, SAIRI dipimpin oleh saudaranya yaitu „Abdul „Azîz al-Hakîm.
Akan tetapi, ia dinilai kurang kharismatik terutama setelah ia menempuh jalan
kompromi dengan penguasa pendudukan Amerika di Irak. Maka saat itulah pamor
dinasti al-Shadr mulai naik kembali. Melalui tokoh muda Ayatullah Muhammad
Shadîq al-Shadr, ia menjadi ikon baru bagi perlawanan Syî„ah Irak terhadap rezim
Saddam Hussein dan pasukan pendudukan Amerika pasca Saddam Hussein.
Dalam salah satu khutbah Jum„at di kota suci Najaf tahun 1998, ia bersuara
lantang dengan mengatakan “Katakan tidak untuk Amerika, Israel dan tidak untuk
imperialisme”. Ayatullah Muhammad Shadîq al-Shadr bersama Imam Mûsâ alShadr dan Ayatullah Husayn Fadhlullah (dari Libanon) serta Imam Khomeini
pada tahun 1970-an sering bertemu di Najaf. Mereka memunyai pandangan
keharusan kepemimpinan politik ulama atau yang disebut dengan wilâyah alfaqîh.
Dia mengajak para ulama untuk masuk dalam perjuangan politik dan bagi
yang menolaknya sama dengan mendukung kezaliman rezim Saddam. Namun
lantaran semakin lantang melawan penguasa, Ayatullah Muhammad Shadîq alShadr akhirnya dibunuh pada 18 Februari 1999 di kota Najaf. Kemudian
Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr, anak Muhammad Shadîq al-Shadr dan cucu
Muhammad Baqîr al-Shadr, menggantikan posisi ayahnya dan meneruskan
perlawanan terhadap rezim Saddam Hussein. Tetapi waktu itu, namanya belum
17
Ibid, h. 92.
32
diperhitungkan di panggung politik nasional Irak. Baru ketika terjadi invasi
Amerika ke Irak namanya mulai populer dan melambung tinggi. Hal ini terbukti
pada 7 April tahun 2003, dua hari sebelum Irak jatuh ke tangan AS, para pengikut
setianya merebut kawasan Saddam di Baghdad dan segera mengganti namanya
menjadi kota Shadr.18
Selain itu, pada Agustus tahun 2003, Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr
mendeklarasikan pembentukan tentara Mahdî yang diperkirakan memiliki 10.000
pasukan berani syahid. Pasukan ini mulai melancarkan perlawanan sengit
terhadap pasukan penjajah AS di sejumlah kota penting seperti Kûfah, Karbalâ‟,
Najaf, al-Kut, dan kota Shadr. Kemudian pada tahun 2004, Ayatullah Muqtadhâ
al-Shadr dan pasukannya bertempur habis-habisan melawan pasukan AS di
sejumlah kota di Irak terutama di Najaf.19 Meski dari segi persenjataan jauh lebih
sedikit dan kuno dibandingkan dengan milik AS, pasukan Mahdî tetap berani
syahid karena doktrin yang telah tertancap rapat dalam keimanan mereka
sebagaimana telah dikobarkan sebelumnya oleh Muhammad Baqîr al-Shadr.
Kedua, pengaruh Muhammad Baqîr al-Shadr bagi pemikiran Islam dalam
bidang ekonomi. Hal ini nampak dalam bukunya Iqtishâdunâ yang membahas
tentang masalah ekonomi. Melalui buku itu, Muhammad Baqîr al-Shadr
membedah ilmu ekonomi berikut pelbagai madzhab ekonomi, serta mengeritik
ekonomi konvensional beserta madzhab ekonomi yang berkembang seperti
kapitalisme dan sosialisme.
18
19
Ibid, h. 94.
Ibid, h. 94-96.
33
Menurutnya, ada dua perbedaan penting antara ilmu ekonomi dan
madzhab atau doktrin ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan ilmu yang berhubungan
dengan penjelasan terperinci perihal kehidupan ekonomi, peristiwa-peristiwa,
gejala atau fenomena lahiriahnya serta hubungan antara peristiwa atau gejala
tersebut dengan sebab-sebab dan faktor umum yang memengaruhinya. Jadi ilmu
ekonomi mengaji efek-efek peristiwa yang ada di masyarakat seperti ilmuwan
fisika mengaji hukum-hukum tentang panas dan efek-efeknya. Sedangkan
madzhab ekonomi adalah cara yang dipilih dan diakui oleh masyarakat dalam
memecahkan problem praktis ekonomi yang dihadapinya. Madzhab ekonomi
memerkenalkan dan mengembangkan suatu sistem pengaturan kehidupan
ekonomi yang didasarkan pada konsepsi keadilan.20
Melalui perbedaan ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyimpulkan bahwa
ekonomi Islam merupakan madzhab dan bukanlah ilmu pengetahuan karena ia
adalah cara yang ditawarkan Islam dalam mengejar kehidupan ekonomi. Ekonomi
Islam bukanlah suatu ilmu yang mengandung tafsiran terhadap peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dan terhadap hukum-hukum yang berlaku
di dalamnya. Islam tidak menjelaskan ilmu ekonomi melainkan suatu penjelasan
tentang pengaturan kehidupan ekonomi seperti distribusi, kepemilikan, produksi,
jaminan sosial, keseimbangan sosial dan semacamnya.
Oleh sebab itu, Muhammad Baqîr al-Shadr menggunakan istilah
Iqtishâdunâ untuk menyebut ekonomi Islam. Iqtishâd bukan sekedar alih bahasa
istilah ekonomi ke dalam bahasa Arab. Arti asal kata itu adalah seimbang atau
20
Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi
Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terj. M. Hashem, (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2002), h. 135-137.
34
pertengahan. Istilah ekonomi sebagaimana pengertian ilmu ekonomi konvensional
ditolaknya karena berbeda dari Islam. Perbedaan paling mencolok adalah terletak
pada pandangan bahwa dalam ekonomi konvensional, masalah ekonomi muncul
karena keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang
tersedia sangat terbatas. Hal ini berbeda dari Islam yang menyatakan bahwa
Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.
Konsekuensi pandangan tersebut dalam pemikiran ekonomi Islam
melahirkan apa yang disebut dengan madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr. Menurut
Adiwarman A. Karim, terdapat tiga madzhab ekonomi Islam kontemporer yaitu
madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif
kritis. Para pendukung Madzhab Baqîr al-Shadr antara lain Abbas Mirakhor,
Baqîr al-Hasan, Qadîm al-Shadr, Iraj Taotounchian, dan Hedayati.
Madzhab mainstream kurang lebih sama dengan ekonomi konvensional
yang memandang bahwa titik pusat persoalan ekonomi adalah terletak pada
kelangkaan sumber daya alam. Tetapi untuk memerkuat argumentasi, mereka juga
menggunakan dalil al-Qur‟ân. Pendukung madzhab ini di antaranya adalah Umer
Chapra, MA Mannan, dan Najatullah Siddiqi.
Sedangkan madzhab alternatif kritis adalah kalangan yang mengeritik
kedua madzhab tersebut. Mereka mengeritik madzhab Baqîr al-Shadr karena
berusaha menemukan sesuatu yang baru padahal sebenarnya sudah ditemukan
oleh orang lain, sehingga merasa seakan-akan telah menghancurkan teori lama
dengan menggantinya dengan perspektif yang baru. Adapun madzhab mainstream
mereka katakan sekedar jiplakan saja dari ekonomi konvensional dan hanya
35
menghilangkan unsur riba dan memasukkan unsur zakat dan niat. Madzhab ini
juga mengeritik ekonomi sosialisme dan kapitalisme. Mereka yakin bahwa Islam
itu benar, tetapi ekonomi Islam yang merupakan tafsiran manusia terhadap alQur‟ân dan al-Sunnah harus selalu diuji kebenarannya. Pelopor madzhab ini salah
satunya adalah Timur Koran, Jomo, dan Muhammad Arif. 21
21
2010.
http://www.sescipb.co.cc/index.php?option=com, Artikel diakses pada tanggal 17 April
36
BAB III
SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA
A. Teori Sistem Sosial
Sistem sosial seringkali menjadi pembincangan sengit dan kompleks
dalam membicarakan masyarakat. Kompleksitas ini disebabkan keluasan wilayah
cakupan sistem itu beserta berbagai persoalan yang terkandung di dalamnya.
Selama manusia hidup di dalam masyarakat, selama itu pula persoalan sistem
sosial tidak akan pernah terelakkan. Di sini akan dijelaskan upaya Muhammad
Baqîr al-Shadr dalam melihat sistem sosial dan permasalahannya beserta analisis
dan kritiknya terhadap sistem sosial modern.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan
kumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain. Tindakan individu
dalam masyarakat didasarkan pada orientasi subjektif masing-masing. Orientasi
subjektif yang terdapat dalam setiap individu berbeda-beda. Namun karena
orientasi itu tidak dapat terpenuhi tanpa adanya interaksi dalam ruang lingkup
sosial, maka orientasi subjektif individu menghasilkan tindakan yang saling
bergantung dan membentuk sistem sosial. Interaksi membutuhkan hubungan
timbal balik antara orientasi individu dengan individu lainnya sehingga tercipta
keseimbangan dan kesesuaian.
Sebelum terbentuk masyarakat, individu bertindak secara bebas sesuai
dengan keinginan dan kekuatannya. Tidak ada yang membatasi kebebasannya
kecuali keterbatasan kekuatan untuk mewujudkan keinginan itu. Batasan terhadap
36
37
tindakan baru muncul ketika individu berinteraksi dengan individu lainnya. Hal
ini disebabkan penggunaan kebebasan dan kekuatan secara mutlak hanya akan
menimbulkan konflik antar-individu sehingga merugikan orang lain, sebagaimana
dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr:
Sejak awal manusia percaya bahwa kekuatan mutlak adalah tidak mungkin
bagi orang yang tinggal di tengah-tengah masyarakat, karena kekuatan
mutlak dari semua individu akan berefek pada hilangnya kebebasan bagi
semua orang dan akan berpuncak pada chaos serta kesemrawutan… Dari
awal kehidupan sosial manusia, persoalan penting yang dihadapinya
adalah peniadaan batasan kebebasan individu dalam masyarakat.1
Batasan tindakan individu dalam masyarakat mengejawantah dalam nilainilai dan norma sosial seperti nilai budaya dan norma hukum. Nilai budaya
muncul dari pengetahuan individu terhadap diri dan lingkungannya yang
dieksternalisasi dan kemudian disepakati bersama. Menurut Muhammad Baqîr alShadr, budaya menggambarkan karakter dan kecenderungan mental suatu
masyarakat.2 Sedangkan norma hukum dilahirkan dari kesepakatan individu
mengenai aturan-aturan yang harus dikuti oleh masyarakat. Hukum merupakan
salah satu institusi yang ada dalam sistem sosial. Hukum diperlukan untuk
mengatur hak-hak individu, menegakkan keadilan, dan menjamin stabilitas dan
keutuhan masyarakat.3
Karena sistem sosial terbentuk dari individu-individu, maka syarat umum
dari sistem itu harus mampu menjamin kebutuhan dasar para anggotanya,
mengorganisasi tindakan yang mengarah pada integrasi, stabilitas, dan harmoni
1
Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi,
(Jakarta: Lentera, 2001), h. 138.
2
Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi
Barat dengan Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terj. M. Hashem, (Jakrta: Pustaka Zahra, 2002), h.
21. Lihat pula halaman 27.
3
Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, h. 95.
38
serta menetapkan tujuan demi kesejahteraan bersama. Hal ini dinyatakan oleh
Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:
Entitas sosial manusia muncul dari ikatan-ikatan individu yang terjalin
satu sama lain oleh pertalian dan ikatan bersama. Pertalian ini tentu
memerlukan pengarahan-pengarahan umum dan organisasi. Pada derajat
keserasian antara sistem tersebut dengan realitas kemanusiaan yang ada
serta buah dari keserasian itu, bergantung stabilitas maupun kesejahteraan
masyarakat.4
Oleh sebab itu, selain budaya dan hukum, sistem sosial memerlukan subsistem yang berfungsi mengupayakan semua hal tersebut seperti sistem politik,
ekonomi, dan institusi sosial lainnya. Politik berkaitan dengan upaya mewujudkan
cita-cita kehidupan sosial yang dilakukan melalui institusi pemerintah atau partai
politik dan sebagainya. Sedangkan ekonomi berhubungan dengan upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal keberlangsungan dan kesejahteraan
hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keseluruhan total dari
masyarakat yang terdiri dari budaya, politik, hukum, ekonomi, dan institusi sosial
lainnya disebut sistem sosial.
B. Masalah Utama Sistem Sosial
Sebagai sistem yang bertujuan mewujudkan keadilan, kesejahteraan,
kemakmuran, dan keutuhan anggotanya, sistem sosial memunyai peran dan
tantangan yang tidak mudah. Upaya mewujudkan itu membutuhkan suatu konsep
utuh yang menjadikan sistem sosial beroperasi secara efektif sesuai dengan yang
diharapkan. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, konsep menjadi persoalan
4
Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, terj. M. Hashem,
(Jakarta: Pustaka, 1984), h. 4.
39
utama yang akan menentukan keberhasilan suatu upaya mencapai tujuan sistem
sosial. Konsepsi menyeluruh berkaitan dengan pandangan tentang masyarakat
yang menentukan prinsip-prinsip kebajikan untuk mencapai kesejahteraan
bersama merupakan konsepsi ideal yang tertuju pada ideal sosial. Kebutuhan
konsepsi semacam itu dirasakan betul oleh Muhammad Baqîr al-Shadr dengan
mengintroduksi pernyataan yang diawali pertanyaan:
Sistem apakah yang paling sesuai bagi umat manusia sehingga mereka
dapat mencapai kehidupan sosial yang bahagia? Sudah sifatnya masalah
sosial selalu menempati posisi yang menonjol dan membawa bahaya. Di
dalam kerumitan serta keanekaragaman penyelesaian yang disarankan
untuknya, ia bisa merupakan suatu sumber bahaya bagi umat manusia
sendiri, karena dalam penjabaran kehidupan manusia selalu terlibat suatu
sistem tertentu yang memengaruhi inti entitas sosialnya.5
Menurutnya, masalah sistem sosial sudah lama muncul sejak manusia
mulai mengenal kehidupan bersama. Dalam setiap zaman, manusia berjuang
mengatasi masalah tersebut sesuai kondisi yang dialaminya. Perjalanan
perjuangan itu digambarkan secara metaforis ibarat kapal yang berlayar melewati
berbagai rintangan menuju tempat berlabuh yang damai dan sejahtera, sebuah
kehidupan yang stabil, adil, dan tentram.6 Sejarah perjuangan itu kemudian secara
kontinyu mewariskan beberapa persoalan yang memberi pelajaran bagi epos
sejarah kehidupan selanjutnya.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, penting sekali
mengevaluasi perjalanan upaya manusia dalam mengatasi masalah sosialnya. Hal
ini bisa dilakukan dengan cara melihat ideologi yang diterapkan. Menurutnya,
masyarakat merupakan bentuk yang kongkrit dari ideologi tertentu yang
5
6
Ibid, h. 3.
Ibid, h. 5.
40
mengarahkan kehidupan manusia. Dengan kata lain, upaya komprehensif
mencapai tujuan sistem sosial dilakukan dalam bingkai ideologis yang meliputi
pandangan dunia, doktrin politik, falsafat, agama, dan moral beserta mekanisme
perwujudannya. Dia menyatakan bahwa:
Manusia adalah makhluk yang memunyai ideologi. Manusia berjalan
berdasarkan panduannya dalam kehidupan di dunia. Di masa lampau dan
di masa akan datang tidak ada masyarakat yang menjalani kehidupannya
tanpa ideologi. Jika tidak ada suatu ideologi atau suatu sistem, masyarakat
pun tidak akan pernah ada. Ideologi manusia merupakan jendela yang
darinya manusia memandang dunia. Jendela itu yang menentukan caracara hubungannya dengan lingkungan materi dan sosial yang
mengelilinginya.7
Dalam kehidupan modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai,
yakni liberalisme dan sosialisme. Liberalisme sebagai ideologi politik, ekonomi,
dan sosial berakar dari pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke pada abad ke17. Sementara sosialisme disandarkan atas sistem pemikiran falsafat Karl Marx
yang meliputi sejarah, kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Liberalisme
mendapat legitimasinya ketika negara federasi Uni Soviet runtuh tahun 1991.
Peristiwa itu diintroduksi oleh Francis Fukuyama dalam The End of History and
7
Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj.
Muhammad Abdul Qadir Alcaff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 101-102. Bandingkan dengan
pandangan Martin Slinger dalam John B. Thomson, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, terj.
Haqqul Yaqin, (Yogyakarta: Ircisod, 2003), h. 129-133. Slinger melihat ideologi sebagai sistem
kepercayaan yang menjadi orientasi tindakan seseorang yang diorganisasi dalam satu sistem yang
koheren. Sistem itu terbuat dari sejumlah elemen yaitu deskripsi, analisis, preskripsi moral,
preskripsi teknis, implement, dan rejection. Seluruh ideologi mencampuradukkan secara bersama
antara deskripsi faktual dan analisis situasi dengan preskripsi moral tentang apa yang benar dan
baik serta pertimbangan teknis tentang kehati-hatian dan efisiensi. Selanjutnya, ideologi
membimbing tindakan seseorang yang diperlihatkan melalui elemen yang disebut implement
(aturan-aturan yang memberikan cara dan alat untuk mengimplimentasikan komitmen dan
menyesuaikannya dengan keperluan keadaan) dan rejection (penolakan terhadap prinsip dan
kepercayaan lain yang beroposisi terhadap ideologi bersangkutan). Elemen rejection juga
ditegaskan oleh Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa “Bila suatu ideologi benar, maka ia harus
menolak setiap pemikiran yang berhubungan dengan berbagai bidang kemanusiaan yang
berlawanan dengan ideologi tersebut. Pemikiran yang memiliki ideologi tunduk kepada tolok ukur
ideologi itu dan menjauhi kontradiksinya”. Lihat Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua:
Ketika Keimanan saja Tak Cukup, h 53.
41
the Last Man sebagai akhir sejarah sosialisme dan menandakan kemenangan
ideologi liberalisme. Pasca itu, tak ada lagi perdebatan sengit dan aktual
bernuansa ideologis yang selama ini bertentangan. Sebaliknya, liberalisme
semakin menunjukkan taringnya dengan adanya globalisasi sehingga pengaruhnya
tak dapat dibendung.
Banyak yang menilai keruntuhan sosialisme-komunisme karena konsepsi
yang
bermasalah
tentang
kehidupan
manusia
sehingga
pada
tingkat
operasionalnya menemui kegagalan. Misi emansipasi untuk menyelamatkan
manusia dari berbagai bentuk eksploitasi kapitalis berbalik arah menjadi sistem
totaliter yang menghisap darah dan merenggut nyawa manusia. Sosialisme gagal
memenuhi janji-janjinya dan sejarah kemudian dimulai dengan kemenangan
liberalisme. Akan tetapi, liberalisme bukan tanpa masalah. Sebagai ideologi yang
mengupayakan tercapainya tujuan sistem sosial dengan bertumpu pada kebebasan,
liberalisme justru melahirkan berbagai persoalan seperti ketimpangan sosial.
Ketimpangan itu terlihat dari kelas pemilik modal yang cukup dimanjakan.
Ketimpangan sosial secara eksplisit menunjukkan kegagalan liberalisme dalam
mewujudkan kesejahteraan.
Muhammad Baqîr al-Shadr memang secara ekstensif mengeritisi dua
ideologi itu terutama sosialisme-komunisme dalam karya-karyanya. Akan tetapi,
melacak sebab-sebab kegagalan ideologi tersebut dengan menguraikan akar dan
bangunan konseptualnya, cukup kompleks dan luas. Karena itu, butuh tempat
khusus untuk membahasnya. Di sini akan dibatasi pada upaya ideologi tersebut
dalam menjawab hal penting dalam sistem sosial, yakni masalah keadilan.
42
Dikatakan penting karena sistem sosial tidak akan berhasil mencapai
kesejahteraan sosial dan ekonomi apabila keadilan tidak tercapai. Keadilan
merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan cita-cita sistem sosial.
C. Masalah Keadilan
Masalah keadilan sosial dan ekonomi yang erat kaitannya dengan hak dan
kewajiban individu seringkali menimbulkan konflik yang melahirkan disintegrasi
dan instabilitas yang mengancam kesejahteraan. Hal ini disebabkan dalam
masyarakat terdapat perbedaan dalam hal kenikmatan dan kepentingan serta tolok
ukur keduanya, sebagaimana dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:
Manusia dalam suatu masyarakat mengalami kontradiksi dalam
kenikmatan dan manfaat mereka. Masyarakat yang beragam juga
mengalami kontradiksi menyangkut tolok ukur ini di mana sesuatu yang
menjadi kepentingan individu atau masyarakat atau kenikmatan keduanya
terkadang membahayakan individu atau masyarakat lain. Kepercayaan
manusia terhadap tolok ukur moral yang kurang sempurna adalah
penyebab terjadinya bencana yang menyeret mereka pada konflik yang
terus menerus.8
Masyarakat sebagai kerja sama sosial yang menandai adanya identitas
kepentingan cukup potensial bagi munculnya konflik antar individu. Disebut
identitas kepentingan karena kerja sama sosial memungkinkan kehidupan yang
lebih baik daripada diupayakan sendiri. Sementara konflik terjadi karena
seseorang secara subjektif berbeda pendapat mengenai distribusi keuntungan dari
hasil kerja sama. Perbedaan ini dipicu oleh tujuan dan keinginan individu untuk
memilih bagian yang lebih besar ketimbang bagian yang sedikit. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap individu dalam kerja sama sosial tetap memunyai
8
Ibid, h. 48.
43
rencana dan tujuan hidup sendiri yang memunculkan klaim-klaim yang saling
bertentangan mengenai sumber daya alam dan sosial.9
Di sinilah kemudian diperlukan keadilan. Pandangan tentang keadilan
berbeda-beda antara liberalisme dan sosialisme. Gambaran tradisional biasanya
mendeskripsikan keadilan dalam liberalisme sebagai kebebasan (liberty)
sedangkan keadilan dalam sosialisme adalah persamaan (equality). Kedua posisi
ini kemudian melahirkan kategorisasi kanan dan kiri. Setuju dengan kebebasan
berarti memosisikan diri sebagai orang kanan. Sebaliknya, setuju dengan prinsip
persamaan berarti orang kiri.10 Namun gambaran demikian tidak cukup
memuaskan dan cenderung simplistis. Dalam keadilan selalu sudah terkandung
prinsip persamaan. Karena itu, liberalisme bukan berarti sama sekali tidak
mengenal persamaan. Bahkan teoritisi liberal kontemporer secara khusus berusaha
menyatukan dua prinsip tersebut dalam membahas keadilan distributif.11
Pada sisi lain, terdapat pengertian persamaan lebih fundamental daripada
kategorisasi dangkal di atas, yaitu memerlakukan orang secara sama. Melalui
pengertian ini, baik liberalisme maupun sosialisme sama-sama memunyai prinsip
persamaan. Kelompok kiri mengartikan persamaan pendapatan atau kekayaan
sebagai prakondisi memerlakukan orang tanpa pilih kasih. Sementara kelompok
9
John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 154-155.
10
Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua
Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 5. Lihat pula Will
Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-teori Keadilan,
terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 2-3.
11
John Rawls (liberalisme egaliter) dan Robert Nozick (libertarianisme) memasukkan
prinsip persamaan kesempatan dan kebebasan dalam teori mereka walaupun mereka berbeda
dalam mengembangkan teori keadilan.
44
kanan melihat hak-hak yang sama atas pekerjaan dan properti (kebebasan hak
milik) sebagai prakondisi memerlakukan orang secara sama.12
1. Liberalisme
Keadilan dalam liberalisme seringkali dikaitkan dengan hak individu.
Karena itu, definisi Aristoteles cukup tepat untuk menggambarkan keadilan dalam
tradisi liberal. Aristoteles memberi arti khusus pada keadilan sebagai berhenti dari
pleonexia, yaitu dari pencapaian keuntungan dengan merebut apa yang menjadi
hak milik orang lain, wilayahnya, kantornya, dan lain-lain atau menolak
pemenuhan janji, pembayaran hutang, dan sebagainya.13 Banyak formulasi
terkenal tentang keadilan dilahirkan dari pengertian ini. John Stuart Mill misalnya
memberikan rumusan dengan mengatakan bahwa “Keadilan sebagai sesuatu yang
bukan hanya benar bila dilakukan atau salah bila dinafikan, tetapi orang bisa
mengklaim dari kita sebagai hak moralnya”.14
Hak individu dapat ditelusuri dari pemikiran Hobbes dan khususnya Locke
yang sangat berpengaruh dalam pandangan liberal. John Locke dianggap sebagai
pendiri pandangan liberal modern mengenai hak individu manusia. Ia mengatakan
bahwa setiap orang, karena hukum alam, memunyai hak alamiah atas kehidupan,
kebebasan, dan harta milik agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak.15 Hak
alamiah ini sudah ada dalam kondisi alamiah manusia sebelum munculnya
12
Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, h. 5.
John Rowls, Teori Keadilan, h. 11-12.
14
Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua
Teori Filsafat Politik Modern, h.15.
15
Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terj. Masri Maris, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2006), h. 85.
13
45
masyarakat sipil melalui kontrak sosial. Namun berbeda dari gambaran kondisi
alamiah dan kontrak sosial a la Hobbes,16 Locke menggambarkan manusia dalam
kondisi alamiah itu baik. Dalam artian, manusia memunyai kecenderungan baik
untuk memelihara hidupnya dengan mengikuti hukum kodrat atau hukum alam.
Hukum ini dapat ditemukan manusia melalui tiga cara dan bentuk,17 yaitu prinsip
rasionalitas, ide kreasionis Tuhan, dan keharusan alamiah. Ketiga bentuk hukum
itu kemudian dijadikan argumen untuk membuktikan bahwa setiap orang
memunyai hak alamiah yang sama dan berlaku universal.
Prinsip rasionalitas atau argumen nalar berangkat dari kepercayaan Locke
bahwa setiap manusia memiliki kemampuan rasional yang sama untuk memeroleh
pengetahuan sejati. Tak peduli apakah seseorang belajar rumus-rumus sains atau
tidak, semua manusia memiliki potensi untuk mengetahui hukum-hukum alam
dengan menggunakan nalarnya. Menurutnya, Tuhan tidak begitu kikir dalam
menciptakan manusia sebagai makhluk berkaki dua, sebab Dia tidak menyerahkan
mandat hanya kepada Aristoteles untuk menjadi satu-satunya manusia rasional
dengan terlebih dahulu belajar sillogisme.18 Sebab itu, tanpa ada hukum sipil
sekali pun manusia tetap mengikuti hukum yang diturunkan oleh nalar melalui
refleksi terhadap kehidupan di alam semesta.
16
Hobbes menggambarkan kondisi alamiah manusia sebagai keadaan dengan penuh
ketidakpastian, kacau balau, dan perang. Hal ini diakibatkan oleh: terpesonanya manusia terhadap
kenikmatan sehingga tergugah untuk mendapatkannya dengan berbagai cara; ketidakpercayaan
terhadap orang lain sehingga menganggapnya sebagai ancaman; dan berkurangnya sumberdaya
alam sehingga muncul persaingan tak terkendali antar satu sama lain. Akibatnya, yang kuat berarti
kekalahan bagi pihak yang lemah. Kondisi ini membawa manusia ke dalam sebuah kontrak yang
melahirkan teori hukum kekuasaan dengan terbentuknya negara leviathan (negara yang memiliki
otoritas untuk memerintahkan serta menghukum warga warganya).
17
Disebut cara karena melalui ketiga hal itu dapat ditemukan hukum kodrat atau hukum
alam. Dikatakan bentuk karena Locke kadang menyebut ketiga hal itu sebagai hukum itu sendiri.
18
Ibid, h. 89-90.
46
Argumen kreasionis mengatakan bahwa Tuhan-lah yang menciptakan
manusia dan semua manusia diciptakan sama sebagai anak-anak Tuhan.19 Sebagai
Pencipta, Tuhan tidak membedakan hak atas ciptaan-Nya termasuk untuk species
manusia. Konsekuensi pandangan kreasionis ini adalah semua orang akan
dipandang memiliki hak yang sama atas hidup mereka masing-masing. Kemudian,
karena manusia juga memiliki kemampuan mencipta sebagaimana Tuhan, maka ia
berhak pula atas hasil ciptaannya.
Sedangkan argumen alam menunjuk pada tuntutan alamiah seperti tatanan
yang harmonis dalam kehidupan atau upaya memertahankan hidup. Sebagaimana
dikatakan Locke bahwa “Dari pembawaan yang sama, ketika umat manusia
ditindas sudah sewajarnya berusaha melepaskan diri dari kekangan yang
mencekik leher mereka”.20 Artinya sudah menjadi bawaan manusia untuk tetap
hidup serta keluar dari berbagai belenggu dan tirani. Karena itu, semua orang
memunyai hak alamiah yang sama untuk memertahankan kehidupannya.
Dengan demikian, menurut Locke, setiap orang dilahirkan dengan dua hak
sekaligus, yaitu hak kebebasan bagi dirinya sendiri dan hak mewarisi harta
ayahnya. Tak ada seorang pun yang berhak menguasai kehidupan orang lain.21
Seseorang bebas menjalankan dan menentukan kehidupannya sendiri. Karena
seseorang berhak atas kehidupan, maka berarti dia bebas menjalankan dan
menentukan hidupnya. Ia juga berhak mewarisi harta orang tuanya. Sementara,
harta yang merupakan hasil kerja manusia juga menjadi haknya untuk kemudian
diwariskan pada anaknya.
19
Ibid, h. 91.
Ibid, h. 82.
21
Ibid, h. 87.
20
47
Namun, meskipun manusia memunyai hak atas kebebasan, bukan berarti ia
bebas berbuat sesuka hati dan sewenang-wenang (tidak semena-mena). Manusia
dibatasi oleh hukum alam yang melingkupinya di mana melalui hukum tersebut
orang lain harus diperlakukan sama sebagaimana hak alamiahnya. Tetapi selama
manusia tidak melanggar hukum alam, tindakannya adalah milik dan urusan
pribadinya.22 Di sinilah perbedaan hak dan kewajiban yang, walaupun sama-sama
muncul dari hukum alam, salah satu dari keduanya membatasi keberadaan yang
lain. Menurut Locke, hukum kodrat harus dibedakan dari hak alamiah karena hak
dilandaskan pada kenyataan bahwa kita bisa memanfaatkan sesuatu dengan bebas.
Sedangkan hukum adalah perintah atau larangan melakukan sesuatu.23
Meskipun manusia pada kondisi alamiah dilingkupi oleh hukum alam,
bukan berarti tidak ada hambatan sama sekali dalam merealisiasikan hak
alamiahnya. Pelanggaran terhadap hukum alam menjadikan perilaku manusia
seperti binatang buas yang melumat kehidupan orang lain. Pelanggaran itu rentan
terjadi sehingga manusia terdorong untuk membuat kesepakatan kontraktual
dengan manusia lainnya. Di sinilah awal mula munculnya kontrak yang
melibatkan seseorang dalam ikatan sosial (masyarakat). Locke menggarisbawahi
bahwa “Karena keculasan manusia sedemikian rupa sehingga lebih suka
merampas hak milik orang lain ketimbang berusaha sendiri, mendorong manusia
masuk ke dalam anggota masyarakat”.24
22
Ibid, h. 101.
Ian Shapiro, Asas Moral dalam Politik, terj. Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 9.
24
Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, h. 125.
23
48
Kontrak sosial diperlukan untuk menetapkan kategori hukum secara
harfiah beserta konsekuensi yang diakibatkannya. Akan tetapi, hukum dalam
masyarakat (hukum sipil) tidak boleh bertentangan dengan hak-hak alamiah
seseorang. Sebab itu, individu dalam masyarakat tetap bebas dan tidak dikatakan
berada di bawah kekuasaan apa pun kecuali kekuasaaan itu dibentuk berdasarkan
kesepakatan.25 Kekuasaan politik tidak lain dari hak untuk membuat hukum
dengan sangsi-sangsinya yang bertujuan melindungi hak individu.
Dalam pemikiran Locke, individu merupakan makhluk otonom dan dapat
melakukan apa saja dalam batas-batas yang ditentukan hukum alam. Akibatnya,
dalam kehidupan masyarakat, individu harus menghormati otonomi masingmasing sehingga tidak seorang pun boleh mencederai kehidupan, kebebasan, dan
kekayaan orang lain. Di sinilah letak keadilan mendapatkan maknanya. Berbagai
gangguan dan pelanggaran terhadap hak individu, baik yang dilakukan seseorang
maupun oleh penguasa, dikatakan tidak adil.26 Keadilan disandarkan kepada yang
hak (the right) yang lebih prioritas daripada yang baik (the good) di mana setiap
orang diperlakukan memunyai hak alamiah yang sama atas kehidupan, kebebasan,
dan harta milik.
2. Sosialisme
Menelusuri keadilan dalam sosialisme diperlukan kecermatan tersendiri
karena berkaitan dengan seluruh proyek falsafat yang dibangun oleh pendahulu
mereka, yaitu Karl Marx. Di sini keadilan tidak mendapat prioritas utama
25
26
Ibid, h. 112.
Ibid, h. 101-102.
49
ketimbang cita-cita utopis yang dituju, yakni terbentuknya masyarakat komunis
tanpa antagonisme kelas. Menurut Marx, sejarah masyarakat yang ada hingga saat
ini adalah sejarah perjuangan kelas; pemilik tanah dan petani, bangsawan dan
budak, kapitalis dan proletar dalam suatu hubungan antara penindas dan tertindas.
Perjuangan itu pada akhirnya, sebagaimana dalam pembukaan The Communist
Manifesto, menggerakkan kesadaran manusia untuk mewujudkan suatu kehidupan
masyarakat tanpa kelas, yaitu masyarakat komunis.27
Karena itu, keadilan tidaklah cukup menentukan untuk menghilangkan
konflik kelas dalam masyarakat, apalagi keadilan yang disandarkan pada hak yang
sama dalam masing-masing individu. Keadilan hanya menjembatani konflik antar
individu, sementara komunisme mampu menghilangkannya. Bahkan Marx
menyerang gagasan “hak yang sama” seperti dalam liberalisme sebagai kata-kata
usang. Menurutnya, hak yang sama secara diam-diam mengakui karunia individu
yang timpang. Hak yang sama tidak mungkin diterapkan karena manusia sejak
lahir sudah berbeda-beda, baik kecerdasannya, kelas sosial keluarganya,
kemampuannya, dan sebagainya. Perbedaan ini memberikan pengaruh tersendiri
bagi manusia dalam memergunakan haknya sehingga akan terjadi ketimpangan.
Marx melanjutkan, hak yang sama hanya mungkin diterapkan sejauh individuindividu yang timpang dan berbeda-beda dibawa ke dalam sudut pandang yang
sama dari satu sisi yang pasti. Misalkan semua individu dianggap sebagai kaum
buruh saja dan mengabaikan semua hal lainnya.28 Jelas ini tidak mungkin.
27
Karl Marx dan Freidrich Engels, The Communist Manifesto, (London: Penguin Book,
1967), h. 1.
28
Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, h. 217-218.
50
Walaupun Marx secara eksplisit menentang hak yang sama tetapi bukan
berarti menghilangkan persamaan moral yang selama ini menjadi landasan
keadilan. Marx tidak menolak pandangan bahwa komunitas harus memerlakukan
anggotanya secara sama. Yang ditolaknya ialah bila komunitas memerlakukan
anggotanya secara sama melalui penerapan teori persamaan yuridis kaum liberal,
yaitu teori persamaan yang mengartikulasikan klaim individu pada kondisikondisi tertentu seperti hak yang sama atas kebebasan dan kekayaan. Hak yang
sama model ini dianggap timpang karena hanya menetapkan pendirian moral yang
terbatas. Hak ini hanya akan melahirkan “ketidaksamaan” dan karena itu gagal
mencapai cita-cita persamaan itu sendiri.29
Di samping menolak hak yang sama, komunisme juga menolak keadilan
yang terlalu memusatkan pada persoalan distribusi ketimbang masalah produksi.
Sosialisme menganggap munculnya konsep keadilan distributif diakibatkan oleh
perbedaan kelas yang apabila dapat diatasi konsep itu akan menjadi usang. Oleh
karena itu, yang perlu dilakukan bukan bagaimana distribusi yang adil melainkan
memindahkan pemilikan sarana produksi yang selama ini menjadi sumber bagi
munculnya pertentangan kelas antara borjuis dan proletar. Kepemilikan sarana
produksi tidak hanya memberikan seseorang kesempatan untuk menambah
pendapatan yang lebih besar, tetapi juga mengatur kehidupan orang lain.30 Di
sinilah eksploitasi itu masih terjadi.
Persamaan dalam pandangan sosialisme hanya mungkin tercapai dalam
masyarakat komunis yang menghapus hak milik pribadi. Sebagai gantinya,
29
30
Ibid, h. 219.
Ibid, h. 220.
51
sosialisasi sarana-sarana produksi harus dilakukan sehingga setiap orang
memunyai akses yang sama terhadap sumber kekayaan dan berperan serta dalam
keputusan kolektif di sekitar penyebaran aset-aset produktif. Sarana-sarana
produksi dikerjakan oleh kolektifitas manusia sehingga menghasilkan kekayaan
yang melimpah. Ketika ini terwujud, prinsip distribusi yang adil menurut Marx
adalah “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, bagi setiap orang sesuai
dengan kebutuhannya”. Inilah rumusan prinsip keadilan yang amat terkenal dalam
sosialisme.31
Meski rumusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, tetapi
sebagaimana dikatakan sebelumnya, sosialisme lebih mengutamakan cita-cita
masyarakat komunis. Setelah cita-cita itu tercapai, baru keadilan dapat
diwujudkan. Di luar itu, keadilan dalam perspektif komunisme tidak terlalu
penting. Konflik di dalam masyarakat terjadi bukan karena tidak adanya keadilan
sebagaimana dalam liberalisme, tetapi lebih dari itu, karena kepemilikan saranasarana produksi oleh individu yang melahirkan kelas-kelas sosial.
3. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme
Penekanan liberalisme pada hak individu atas kehidupan, kebebasan, dan
harta milik menimbulkan beberapa konsekuensi yang tak dapat dielakkan
terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Hak tersebut bersifat ekslusif dan
otonom dalam diri individu. Di antara konsekuensi itu yang paling mencolok
adalah munculnya ekonomi kapitalisme. Bahkan antara liberalisme dengan
31
16.
Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, h. 15-
52
kapitalisme tak dapat dipisahkan satu satu sama lain.32 Akar kapitalisme dapat
ditemukan dalam pandangan Bernard de Mandeville dan Adam Smith pada abad
ke-18 yang mendukung masyarakat pasar yang bercirikan pembagian kerja secara
rasional dan terperinci, penghormatan hak milik pribadi, dan pengutamaan
kepentingan pribadi.33
Menurut Smith, kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka
panjang apabila individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan
pribadinya. Hal ini dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan (invisible
hand) di mana individu secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik
buat masyarakat dengan memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya
sendiri.34 Maka hukum pasar haruslah didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton
sehingga membawa implikasi kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan
seminimal mungkin kontrol pemerintah atas pasar.
Akan tetapi, kebebasan akan hak milik pribadi yang melahirkan kompetisi
di pasar mulai bermasalah ketika sarana-sarana produksi dikuasai oleh para
pemilik modal. Mereka memiliki kekuatan lebih dengan cara memekerjakan para
buruh sehingga menghasilkan produk yang berlipat ganda. Sementara, kaum
buruh (proletar) hanya mendapatkan upah minimum dari hasil kerja mereka,
karena para pemilik modal (borjuis) mengejar keuntungan maksimum. Keadaan
ini digambarkan Marx sebagai bentuk eksploitasi di mana kaum proletar terasing
dari diri dan hasil kerjanya. Kelompok borjuis mendapat nilai lebih (surplus)
32
Calton Clymer Rodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2006), h. 134.
33
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 101-103.
34
Doyle Paul Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern, h. 25-26.
53
dengan menambahkan jam kerja buruh sehingga memeroleh keuntungan, tetapi
kerugian bagi buruh karena tenaganya melebihi upah yang dikeluarkan. Selain
kerugian jam kerja, kaum buruh juga tidak dapat menikmati hasilnya meski itu
merupakan buah dari jerih payah dan kecakapan kerjanya.
Lain dari itu, kompetisi yang bebas ternyata mendorong kapitalis untuk
mendominasi pasar sehingga terjadi sentralisasi modal yang menyebabkan
terjadinya ketimpangan. Pemilik modal makin leluasa melebarkan sayapnya,
sementara kaum proletar terjerat dan tersungkur dalam kemiskinan. Di sini
berlaku ungkapan seperti didendangkan H. Rhoma Irama “Yang kaya makin kaya,
yang miskin makin miskin”. Akibatnya, kesenjangan sosial semakin melebar dan
kemudian disusul dengan instabilitas dan disentegrasi sosial yang akan mengubur
kesejahteraan. Tidak hanya itu, kepemilikan diri yang merupakan kebebasan
fundamental dalam diri manusia hancur seketika karena kaum proletar terasing
dari dirinya sendiri. Mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hak sama
atas kekayaan akibat dominasi dan hegemoni kaum borjuis. Dengan demikian,
menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, kebebasan yang diusung dalam liberalisme
dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalisme hanyalah khayalan belaka. Dia
mengatakan bahwa:
Dalam banyak hal, para pekerja pabrik hanya memeroleh upah sedikit
yang tidak lebih dari kebutuhan dasarnya yang minimal. Mengejar
keuntungan sebesar-besarnya adalah sistem ini. Ia membagi manusia
menjadi dua kelompok, yaitu manusia yang sangat kaya dan bersuka ria di
atas kemewahan besar, dan kelompok yang hidup dalam kemelaratan yang
paling sengsara… Kebebasan ini hanyalah khayal belaka di tengah
kehadiran kebebasan pribadi dan kebebasan ekonomi.35
35
Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 70.
54
Menurutnya, kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme hanya menarik dari
kulit luarnya saja tetapi sebenarnya tidaklah benar-benar bebas.36 Kebebasan yang
diberikan sepenuhnya kepada individu justru mengekang kebebasan orang lain.
Persamaan hak individu atas kebebasan dan kekayaan justru menutup kesempatan
orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Bahkan kebebasan itu hilang sama
sekali karena individu yang miskin dan tertindas dan ditentukan hidupnya oleh
kaum borjuis.
Sementara itu, sosialisme yang berupaya mewujudkan masyarakat
komunis dengan cara menghapus hak properti dihadapkan pada berbagai
persoalan mendasar yang cukup pelik dan kompleks. Meskipun berhasil, dalam
klaim mereka, menelusuri sebab-sebab terjadinya konflik antar individu dalam
masyarakat, tetapi mereka gagal dalam mencapai cita-citanya. Alih-alih mengatasi
konflik tersebut, komunisme berubah menjadi raksasa totaliter yang melumat dan
menghancurkan kemanusiaan. Runtuhnya negara federasi Uni Soviet pada tahun
1991 menjadi ujian empiris tak terbantahkan mengenai kesalahan tesis yang
dibangun dalam menangkap hukum-hukum sosial. Kesalahan tesis itu secara
general ditunjukkan oleh ketiadaan korespondensi antara pernyataan pemikiran
dengan kenyataan.
Cita-cita komunisme hanyalah utopia yang melintasi dunia imajiner para
pejuang kelas karena setiap upaya mewujudkannya selalu bertentangan dengan
kodrat alamiah mereka. Sudah sejak dulu, ketika hasrat alamiah manusia
mengenal kenikmatan, dorongan untuk memiliki sesuatu itu muncul. Apalagi
36
Ibid, h. 129.
55
dalam masyarakat yang memunyai pandangan hidup dan meyakini falsafat hidup
materialisme. Maka setiap upaya untuk menghapuskannya akan mendapat
perlawanan dalam diri manusia sendiri. Muhammad Baqîr al-Shadr memandang
bahwa:
Pemecahan yang diajukan oleh komunisme menyebabkan terlalu banyak
kompilasi. Komunisme hendak merebut kemerdekaan individu dan
mengganti kepemilikan pribadi dengan pemilikan kolektif, akan tetapi
pada umumnya, perubahan yang besar ini terbukti bertentangan dengan
tabiat manusia. Karena orang materialis selalu berpandangan materialistis
dan memandang kepentingannya dari sudut pribadi yang terbatas.37
Pemecahan
yang
diajukan
dalam
sosialisme-komunisme
menurut
Muhammad Baqîr al-Shadr mengalami banyak kompilasi. Komunisme hendak
merebut kemerdekaan individu dengan cara mengganti kepemilikan pribadi
dengan kepemilikan kolektif. Padahal, kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan
ekonomi merupakan fondasi dari semua kebebasan.38 Jelas ini bertentangan
dengan tabiat manusia sehingga wajar apabila kekuasaan Lenin menggunakan
cara-cara otoriter dalam rangka menghantam perlawanan itu. Oleh sebab itu,
persamaan ideal beserta falsafat hidup yang dibangun dalam sosialisme tak dapat
dipertahankan meski tetap menancapkan pengaruh konseptual di luar ideologi
bersangkutan.
37
38
Ibid, h. 81.
Ibid, h. 81-82.
56
BAB IV
PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL
A. Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, upaya manusia mencapai
tujuan sistem sosial dilakukan dalam bingkai ideologis yang meliputi pandangan
dunia, doktrin politik, moral, dan sebagainya. Ideologi merupakan jendela dalam
memandang dunia yang menentukan cara-cara manusia dalam berhadapan dengan
lingkungan material dan sosialnya. Di dalam ideologi terdapat nilai, norma serta
tata cara yang diikuti manusia dan diyakini mampu mewujudkan cita-cita
kehidupan. Dalam konteks ini, Muhammad Baqîr al-Shadr juga melihat Islam
sebagai ideologi yang berbeda dari ideologi Barat. Islam adalah ideologi agama
yang harus dikuti dan ditegakkan oleh umat Muslim. Ia mengatakan:
Kewajiban kaum Muslim yang sadar adalah hendaklah mereka menjadikan
Islam sebagai kaidah pemikiran dan ruang lingkup umum dari setiap apa
yang mereka bangun dari berbagai pemikiran peradaban dan konsepsi
alam, kehidupan, manusia, dan masyarakat. Tak diragukan lagi bahwa
ideologi agama memerhatikan sisi ini dan mengharuskannya eksis
(mawjûd) pada orang yang beragama.1
Islam merupakan sistem kepercayaan yang mengandung nilai-nilai guna
menopang kehidupan umatnya. Seluruh aspek tindakan umat Islam didasarkan
pada nilai-nilai kepercayaan itu, sebab secara epistemologis, setiap tindakan
diandaikan selalu sudah siap (always ready) diawali oleh suatu putusan atau
kepercayaan. Keraguan tidak dapat dijadikan landasan utuh bagi tindakan pun
1
Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj.
Muhammad Abdul Qadir Alcaff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 55. Lihat pula halaman 104.
56
57
kepercayaan. Keragu-raguan berarti tidak adanya suatu putusan dalam proses
berpikir sehingga tidak akan menghasilkan apapun kecuali keraguan itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap tindakan didasarkan pada nilainilai dan nilai itu dilahirkan dari kepercayaan.
Nilai-nilai yang dilahirkan dari kepercayaan tersebut ketika diinternalisasi
pada gilirannya akan membentuk pandangan dunia (worldview) umat Islam.
Segala hal yang berkaitan dengan kehidupan umat Islam meliputi tindakan, asalusul beserta tujuan hidup dan sebagainya dipengaruhi oleh pandangan dunianya.
Karena itu, setiap tindakan orang Islam yang bertentangan dengan pandangan
dunianya
berarti
melanggar
atau
bahkan
mengingkari
kepercayaannya.
Bagaimanapun, orang Islam harus mengikuti nilai-nilai kepercayaannya selama
menyejarah di belantara kehidupan ini.
1. Tauhid
Pandangan dunia Islam didasarkan atas tauhid yang meyakini keberadaan
Tuhan dan mengesakan-Nya. Tauhid berasal dari bahasa Arab yang merupakan
bentuk ketiga dari asal kata wahhada yuwahhidu tawhîdan yang berarti pengesaan
atau penunggalan. Dalam hal ini tauhid berarti meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan
tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Tuhan. Kepercayaan ini menjadi syarat
utama dan paling utama seseorang disebut Muslim. Tuhan diyakini sebagai
kebenaran mutlak yang menjadi asal-usul keberadaan segala sesuatu. Sebab itu,
hanya Tuhan yang patut disembah karena keberadaan-Nya mandiri dan menjadi
58
tempat bergantung keberadaan yang lain. Kepercayaan ini diekspresikan dalam
kalimat tauhid lâ ilâh illâ Allâh (Tiada tuhan Selain Allah).
Mengatakan bahwa Tuhan ada dan keberadaan-Nya mandiri bukan tanpa
alasan. Di sini Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan penjelasan rasional
dengan argumen kausalitas. Dalam kausalitas berlaku hukum bahwa setiap
sesuatu merupakan akibat dari sebab sebelumnya, dan setiap sesuatu
membutuhkan sebab agar menjadi ada. Akan tetapi menurutnya, jika di alam
semesta berlaku hukum kausalitas, mustahil sebab itu tidak terhingga. Gerak
mundur sebab itu akan berhenti pada Sebab Pertama (prima causa) yang niscaya.
Sedangkan Sebab Pertama itu tidak tunduk pada hukum kausalitas. Hal ini
dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada esensinya niscaya, mandiri, dan
tidak membutuhkan sebab. Tuhan tidak membutuhkan sebab karena Ia adalah
Sebab Pertama. Sebab sebagai sebab tidak menuntut sebab sebelumnya tetapi ia
menuntut akibat. Baru dari Sebab Pertama kemudian muncul matarantai sebab di
mana hukum kausalitas berlaku umum bagi alam semesta.2
Dengan demikian, hanya Allah yang pantas dipertuhankan karena
keberadaan-Nya sebagai Sebab Pertama menjadi sebab keberadaan yang lain.
Keberadaan Allah tidak bergantung kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya
(wâjib al-wujûd). Ia niscaya dalam Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain
tidak dapat eksis tanpa menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya
hanyalah mungkin (mumkin al-wujûd). Yang lain membutuhkan Allah agar
menjadi eksis. Kebutuhan itu menggambarkan hubungan eksistensial yang tak
2
Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan,
1991), h. 226-228.
59
dapat dipisahkan antara keberadaan yang lain dengan Allah, antara akibat dengan
sebabnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu menuju pada-Nya
karena ikatan eksistensial di mana tanpa Tuhan sesuatu itu tidak mungkin eksis.
Inilah tujuan hakiki paling fundamental yang mengatasi segala tujuan dari setiap
keberadaan.
Dari keyakinan tauhid tersebut, terdapat dua hal yang bisa digarisbawahi.
Pertama, karena Allah niscaya dan mandiri sementara keberadaan yang lain
sepenuhnya bergantung kepada Allah, maka yang lain tidak memiliki kekuatan
apa-apa kecuali kepasrahan dan ketundukan total kepada-Nya. Bagi Muhammad
Baqîr al-Shadr, orang Islam harus mengakui ini serta mewujudkan eksistensi
“Islam” pada seluruh ranah kehidupan. Dia merujuk pada ayat al-Qur‟ân surat alBaqarah 208 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam
Islam secara sempurna dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata”.
Menurutnya, kata “Islam” atau “al-silm” pada ayat di atas memunyai
banyak kemungkinan pengertian. Ia bisa diartikan perdamaian (al-salâm) yang
merupakan lawan atau antonim dari kata perang (al-harb). Al-salâm juga berarti
al-islâm sebagai akidah, yaitu keimanan kepada Allah. Selain itu, al-salâm bisa
berarti al-istislâm, yaitu penyerahan secara mutlak kepada Allah dan ketundukan
sempurna dalam segala urusan kehidupan. Tetapi bagi Muhammad Baqîr alShadr, di antara berbagai pengertian tersebut, yang paling benar adalah yang
terakhir.3 Sebab secara bahasa, al-silm tidak berarti al-salâm karena ia bisa juga
3
Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua, h. 121.
60
berarti al-istislâm yaitu penyerahan, ridha, dan penerimaan. Lagi pula Islam
memiliki hukum yang berbeda-beda berkenaan dengan hukum syari„at sesuai
dengan kondisi dan posisi umat Islam ketika atau di tengah jihad. Kadang damai
dibolehkan tetapi kadang dilarang seperti ayat “Janganlah kamu lemah dan
meminta damai padahal kamulah yang di atas” (QS. Muhammad: 35).
Dia melanjutkan, pengertian al-silm dengan al-islâm sebagai keimanan
kepada Allah juga bermasalah. Seandainya kata itu berarti keimanan kepada
Allah, maka tidak mungkin ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara
khusus, sebab apa perlunya mengajak orang-orang Mukmin masuk dalam Islam?
Dengan demikian, bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, ayat itu menunjukkan makna
yang lebih luas di mana al-silm bermakna eksistensi yang istimewa di mana
orang-orang Islam dituntut untuk masuk ke dalamnya. Eksistensi itu bukan sifat
psikologis pribadi individu semata yang terpisah dari orang-orang Muslim yang
lain. Eksistensi itu bersifat kolektif yang menjadi tanda bagi suatu kehidupan
sosial di mana mereka menyerahkan seluruh kehidupan mereka kepada Allah serta
tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. Tafsiran ini sebagaimana dinyatakan oleh
Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:
Ayat tersebut menyeru pada pendirian suatu eksistensi yang konkrit, yang
memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta,
dan menyerahkan kepemimpinan praktis kepada-Nya serta memberikan
kekuasaan-kekuasaan di mana masyarakat berdiri di atas fondasinya. Di
tangan-Nyalah eksistensi ini, yang dapat diungkapkan dengan ungkapan
yang hakiki dan jelas yaitu, eksistensi Islam di mana Nabi Muhammad
diutus untuk mendirikannya dan mengajak manusia dalam kehidupan di
bawah naungannya.4
4
Ibid, h. 122-123.
61
Kedua, karena manusia memunyai ikatan dan hubungan eksistensial
dengan Allah, maka Allah harus menjadi tujuan dari kehidupan manusia. Tidak
ada tujuan lain yang lebih hakiki daripada tujuan ini, sebab tanpa Allah manusia
tidak akan mungkin ada. Keberadaan manusia tidak niscaya dengan sendirinya
dan karena itu keberadaannya dikatakan mungkin, bukan wajib. Sebagai akibat
dari ciptaan Allah, manusia tidak memunyai hak apa-apa terhadap-Nya kecuali
kewajiban, yaitu kewajiban mengikuti segala perintah dan kehendak-Nya seperti
yang telah diturunkan kepada para nabi. Sedangkan Allah memunyai hak penuh
atau absolut atas ciptaan-Nya, memilikinya, dan memerlakukannya.
Umat Islam wajib mengikuti perintah Allah sebagaimana disampaikan
oleh Nabi Muhammad dalam bentuk risâlah, yaitu pesan Islam dalam kitab suci.
Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, yang pertama dan terpenting dari pesan
Islam itu adalah pembentukan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Hubungan itu bersifat penghambaan yang menekankan akan keesaan Allah dalam
kalimat syahadat (lâ ilâh illâ Allâh) sehingga menghapus segala bentuk
penuhanan lain. Selain itu, pesan terpenting lain hubungannya dengan Allah
adalah penekanan akan kembalinya (ma„âd) manusia kepada-Nya di kehidupan
akhirat. Di sini manusia akan diminta pertanggungjawabannya selama menyejarah
di muka bumi dan menjadi tempat ditegakkan keadilan yang sebenarnya.5
Oleh sebab itu, semua tindakan umat Islam harus sesuai dengan yang
diperintahkan dan dikehendaki oleh Allah karena setiap tindakannya akan
dimintai pertanggungjawaban dan diberi ganjaran dan hukuman di akhirat. Hal ini
5
Muhammad Baqîr al-Shadr, The Revieler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed
M Ayoub, (Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986), h. 137-138.
62
menunjukkan dengan tegas bahwa tujuan sejati dari kehidupan umat Islam tidak
lain adalah Allah dengan cara mencapai Ridha-Nya. Umat Islam tidak dibenarkan
menjadikan yang lain sebagai tujuan hidupnya.
2. Tuhan sebagai Pusat Realitas
Keyakinan tauhid di atas menjadi pijakan dasar bagi umat Islam dalam
memandang realitas alam semesta. Meski bersifat material dan fisik, bukan berarti
itu merupakan satu-satunya realitas. Justru realitas yang paling hakiki adalah
realitas Tuhan, karena realitas alam semesta tidak mungkin ada jika tidak
menggantungkan diri pada Tuhan.
Dengan demikian, keberadaan alam semesta harus dilihat dan dimaknai
dalam satu kesatuan dengan realitas Tuhan. Kesatuan ini besifat eksistensial dan
esensial. Kesatuan eksistensial berarti bahwa alam semesta merupakan realitas
yang tak dapat dipisahkan dari Tuhan, sehingga keberadaannya memanifestasikan
keberadaan Tuhan. Seluruh benda di alam semesta menandakan adanya kesatuan
sebab yang niscaya dengan Esensi-Nya yang sekaligus menjadi akhir dari mata
rantai sebab.6 Sekalipun ada perbedaan, maka perbedaan alam semesta dan Tuhan,
profan dan absolut, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr hal itu justru untuk kian
meneguhkan
Tuhan
sebagai
satu-satu-Nya
realitas,
dan
bukan
malah
mengunggulkan realitas Alam di atas Tuhan. Perbedaan tersebut dimaksudkan
supaya manusia tahu “Eksistensi paling Sejati” di alam semesta ini.
6
Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 229.
63
Kesatuan esensial merupakan akibat dari kesatuan eksistensial yang harus
dijadikan pandangan oleh umat Islam dalam memandang kehidupan dan alam
secara umum. Walaupun manusia hidup di dunia materi bukan berarti ia
cenderung materialistis dan hanya mencurahkan hidupnya pada hal-hal materi.
Kecenderungan ini jelas bertentangan dengan keimanan Islam sendiri. Sebaliknya,
umat Islam harus menjadikan Tuhan sebagai telos (tujuan) dalam segala sendi
kehidupanya. Segala sesuatu berasal dari Allah dan akan menuju kepada-Nya
sebagai terminal akhir serta tujuan yang paling hakiki. Oleh sebab itu, di tengah
kehidupan yang dilingkupi oleh kondisi dan reaksi material, umat Islam
selayaknya berpandangan spiritual tanpa mengingkari arti keberadaan materi di
alam. Hal ini dijelaskan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:
Spiritualitas di sini tidak berarti mengingkari makna-makna materi di alam
atau hanya semata-mata membatasi ruang lingkup keberadaan hanya pada
rohani semata sebagaimana banyak penulis Barat menafsirkan pandangan
spiritual dengan cara demikian. Islam mengakui hakikat rohani dan
jasmani, namun ia mengikat semua hakikat tersebut dengan Penyebab
Pertama (Sabab al-Musytarak) yang lebih dalam yaitu Allah. Jadi, pada
hakikatnya pandangan spiritual merupakan pengetahuan akan hubungan
kehidupan dan alam dengan Allah serta pancaran dari kekuasaan-Nya dan
ketentuan-Nya. Dengan makna yang demikian maka kita dapat
menganggap alam secara umum sebagai sesuatu yang bersifat spiritual.7
Menganggap realitas alam semesta bersifat spiritual, sebagaimana
dinyatakan di atas, bukan berarti mengingkari realitas materi. Tetapi hal ini
berkaitan erat dengan pemahaman manusia terhadap Tuhan terhubung dengan
keberadaan diri maupun alam. Pemahaman itu kemudian memengaruhi seseorang
dalam menentukan sikap terhadap alam dan kehidupan. Dari pemahaman itu
manusia menetapkan orientasi umum yang menjadi landasan dan tujuan dalam
7
Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua, h. 43.
64
setiap tindakannya, yaitu Allah. Inilah karakter pandangan dunia Islam yang
Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr berbeda dari pandangan dunia Barat
khususnya falsafat materialisme. Dalam pandangan mereka, satu-satunya realitas
adalah realitas material sedangkan metafisika hanyalah takhayul belaka.
B. Tauhid dan Kebebasan
Konsekuensi dari pandangan tauhid di atas adalah munculnya kebebasan
dalam diri manusia. Dalam tauhid terkandung semangat revolusioner untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk dominasi dan belenggu kekuatan
lain. Islam tidak menghendaki ketundukan dan kepasrahan terhadap apapun atau
siapa pun selain kepada Allah. Dengan demikian, kebebasan di sini bukan dalam
arti kebebasan yang seluas-luasnya yang dimiliki sepenuhnya oleh manusia
sehingga bisa berbuat apapun sesuai dengan keinginannya. Kebebasan yang
dimaksud adalah kemerdekaan seseorang dari penentuan dan penguasaan orang
lain sehingga sisi negatif kebebasan benar-benar dihilangkan.
Dasar kebebasan dalam Islam adalah tauhid di mana seseorang tunduk dan
pasrah kepada Allah. Dari ketundukan dan kepasrahan itu kemudian muncul
persamaan dalam diri manusia, yaitu sama-sama hamba Allah. Umat Islam berdiri
di atas pijakan yang sama dengan mahluk lain sebagai hamba Allah. Hal ini
ditegaskan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:
Dasar yang hakiki dari kebebasan dalam Islam adalah suatu kesatuan dan
kepercayaan dalam penyerahan yang ikhlas kepada Allah, yang di
hadapan-Nya segala kekuasaan keberhalaan dihancurkan, kekuasaan yang
menginjak martabat manusia sepanjang sejarah… Karena itu, di atas
segalanya manusia adalah hamba Allah yang tidak mengakui penyerahan
kepada apapun dan siapa pun selain kepada-Nya, atau penyerahan kepada
65
hubungan keberhalaan yang bagaimanapun corak dan bentuknya.
Sebaliknya, manusia berkedudukan sama tinggi dengan segala mahluk lain
dalam penyerahannya yang ikhlas kepada Allah.8
Umat Islam yang tunduk kepada selain Allah, baik dalam bentuk
perbudakan, hegemoni, tirani dan sebagainya, berarti mengingkari keimanannya
dan karena itu dikatakan syirk. Sebab itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr,
ketika keimanan tauhid seseorang mendalam, tertancap rapat dalam hati dan
kesadarannya, maka semakin mendalam pula perasaannya akan martabat dan
kehormatannya. Ia akan semakin keras dalam menentang berbagai bentuk
eksploitasi, perbudakan, korupsi, dan semacamnya.9 Kobaran spirit pembebasan
yang terpancar dari keimanan tauhid menusuk langsung pada jantung orang Islam
yang menempatkan Tuhan sebagai sentral kehidupan, sebagai asal sekaligus
tujuan yang mengatasi segala tujuan.
Namun, Islam tidak hanya memberikan spirit pembebasan dari belenggu
orang lain saja tanpa mengeliminasi sebab-sebab terjadinya belenggu tersebut.
Dalam pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, konsep kebebasan dalam Islam
bersifat menyeluruh dan mendalam sehingga tidak terjadi kontradiksi dalam
penerapannya. Hal ini berbeda dari kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme yang
pada satu sisi mendukung kebebasan individu tetapi berakibat pada perbudakan,
eksploitasi, dominasi bahkan menghilangkan kebebasan itu sendiri.
Kondisi itu terjadi karena kebebasan dalam pandangan liberalismekapitalisme diperoleh dari hasil kekuasaan diri manusia atas dirinya sendiri di
mana manusia bebas menjalankan hidupnya sesuai dengan yang diinginkan
8
9
Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 128.
Ibid, h. 129.
66
(kebebasan eksklusif). Penerapan ekonomi kapitalisme hanya memanjakan para
pemilik modal saja dan menutup kesempatan kaum proletar untuk mendapatkan
hak yang sama atas kekayaan. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr jelas
kebebasan model ini bertentangan dengan kebebasan dalam Islam. Apabila
kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme diawali oleh kekuasaan penuh manusia
atas dirinya sendiri, maka kebebasan dalam Islam diawali oleh dan didasarkan
atas kepatuhan total kepada Allah.10 Dengan demikian, agar kebebasan tidak
menjadi kata-kata kosong belaka, maka Islam dalam konsep kebebasannya
melenyapkan sebab-sebab yang menghalanginya.
1. Kemerdekaan Pribadi
Tak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan manusia terhadap materi
merupakan akibat langsung dari hasrat, naluri atau dorongan hawa nafsunya.
Manusia terdiri dari badan dan jiwa atau tubuh dan ruh. Sebagai makhluk
biologis, manusia memunyai kebutuhan-kebutuhan sebagaimana makhluk
biologis lain seperti makan, minum, dan sebagainya. Namun, menurut
Muhammad Baqîr al-Shadr, meski manusia maupun binatang berbuat menurut
kehendaknya, garis demarkasi yang paling mendasar yang membedakan keduanya
adalah perbuatan binatang hanya didorong dan ditentukan oleh gerak naluri saja,
sementara manusia mampu menggunakan akal dan mengontrol nafsunya.11
Manusia yang hanya mengikuti hawa nafsunya akan berusaha keras dan
membabi buta untuk mendapatkan apa yang diinginkan, apapun taruhannya.
10
Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi
Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, h. 118.
11
Ibid, h. 119.
67
Sedangkan hasrat manusia tidak terbatas dan tidak akan pernah terpuaskan.
Manusia memunyai keinginan dan kebutuhan tak terhingga karena ketika
keinginan tercapai akan muncul keinginan lagi melebihi apa yang didapatkan.
Apabila manusia hanya mengikuti hasratnya saja, maka pada posisi ini, dia
kehilangan martabat dan kehormatannya sebagai manusia dan statusnya sama
dengan binatang. Tidak hanya itu, kebebasan dalam arti kemerdekaan pun akan
terancam oleh kebebasan orang lain yang membabi buta sebagaimana terjadi
dalam hukum rimba.
Dalam kondisi itu, kebebasan tidak akan terwujud sampai kapan pun.
Maka kebebasan yang pertama kali harus ditekankan adalah kebebasan internal
manusia dari cengkraman hawa nafsunya. Manusia harus benar-benar merdeka
dari penguasaan hawa nafsunya dengan kendali kekuatan akal sehingga mampu
mengarahkan pada hal-hal yang positif. Akal mampu mengendalikan hawa nafsu
manusia menjadi suatu alat yang mengenalkan dia pada kebutuhan-kebutuhan
yang lebih bermanfaat dan bermakna. Jika tidak demikian, menurut Muhammad
Baqîr al-Shadr, sejak awal manusia sudah kehilangan kebebasannya.12 Manusia
akan diperbudak oleh hawa nafsunya yang berakibat pada perampasan kebebasan
orang lain.
Oleh sebab itu, langkah pertama yang ditempuh Islam adalah
membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu dengan membangun landasan
yang kokoh, yaitu tauhid. Dengan tauhid, orang Islam tidak akan mengikuti
dorongan hawa nafsunya karena ia memandang bahwa tujuan hakiki dari
12
Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h, 134-135.
68
kehidupan adalah Allah. Meski ia berada di tengah alam yang dilingkupi oleh halhal material, ia tetap memunyai pandangan spiritual di mana alam dan dirinya
berada dalam satu kesatuan dengan realitas Tuhan. Hal ini dikemukakan
Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:
Ketika Islam membebaskan manusia dari perbudakan duniawi dan
kesenangan sementara, ia menghubungkannya dengan keilahian dan
keridhaan Allah. Dalam pandangan Islam, mengakui keesaan Ilahi adalah
jaminan kebebasan manusia dari semua jenis perbudakan hawa nafsu yang
pada gilirannya menjamin kebebasan dalam semua bidang lainnya.13
Langkah Islam itu dimaksudkan untuk mengantarkan manusia pada
kebebasan yang sebenarnya sehingga kebebasan benar-benar dapat terwujud.
Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, kebebasan yang memancar dari sumber lain
adalah kamuflase dan khayalan belaka yang akhirnya akan berubah menjadi
belenggu yang melumat kebebasan itu sendiri. Kebebasan dalam arti seluasluasnya tidak akan pernah mencapai kebebasan atau kemerdekaan meski sepintas
lalu orang dibuat terpesona dengannya. Kebebasan model ini menjanjikan
kenikmatan tetapi sekaligus menyimpan badai yang akan menghancurkan
kemerdekaan manusia.
Selanjutnya, kebebasan pribadi atau internal dari hawa nafsu pada
gilirannya akan membuat manusia mencapai kemerdekaan rohani atau konsistensi
jiwa. Kemerdekaan rohani ini merupakan infrastruktur masyarakat merdeka.
Menurutnya, orang tidak mungkin merasakan kebebasan dalam bidang sosial
apabila ia tidak menguasai kemauan dan mengontrol hawa nafsunya.14 Seseorang
yang hanya mengikuti hawa nafsunya akan melahirkan prilaku yang merugikan
13
14
Ibid, h. 120.
Ibid, h. 121-122.
69
terhadap kehidupan bersama. Akibatnya, kehidupan sosial tidak akan stabil dan
tidak akan terjamin integritasnya.
2. Kemerdekaan Sosial
Setelah membebaskan manusia dari dalam, Islam kemudian membebaskan
manusia dalam bidang sosial. Kebebasan ini sebenarnya konsekuensi lebih lanjut
dari kemerdekaan pribadi di mana dasarnya adalah tauhid. Jika dengan keyakinan
tauhid manusia dapat membebaskan diri dari cengkraman hawa nafsu, maka
dalam bidang sosial, keyakinan tauhid dapat menghapus segala bentuk
penaklukan dan penindasan oleh manusia. Keyakinan tauhid menempatkan
manusia pada posisi yang sama dengan manusia lain di hadapan Allah. Menurut
Muhammad Baqîr al-Shadr, tidak ada hak yang diberikan Allah kepada suatu
bangsa untuk menaklukkan bangsa lain, eksploitasi kelompok atas kelompok lain
atau melanggar kebebasannya. Tak seorang pun diperbolehkan menjadi yang
dipertuan oleh orang lain.15
Islam tidak memberikan tempat bagi imperialisme, eksploitasi, tirani,
hegemoni, perbudakan dan sebagainya. Sebaliknya, Islam mengutuk perbuatan
tersebut dan memasukkan setiap ketundukan dan kepasrahan terhadapnya dalam
kategori syirk. Ketundukan dan kepasrahan terhadapnya sama dengan menjadikan
Tuhan selain Allah. Di sini peran sentral tauhid sangat signifikan dalam
membebaskan manusia di bidang sosial sebagaimana dalam semua dakwah Islam
lainnya. Hal ini dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:
15
Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 142-143.
70
Islam dalam semua dakwahnya menggunakan tauhid sebagai senjatanya.
Ketika manusia menjadi hamba Allah maka dia membuang semua tuhan
palsu. Dengan demikian, dia tidak merasa rendah atau hina di hadapan
suatu kekuatan atau penguasa duniawi… Islam tidak saja membebaskan
manusia dari perbudakan nafsu, tetapi juga menghapus takhayul-takhayul
syirk.16
Melalui keyakinan tauhid, Islam membebaskan manusia sepenuhnya
sehingga ia benar-benar bebas dan merdeka dalam hubungannya dengan yang
lain. Pembebasan manusia dari penyembahan berhala dalam bidang sosial, baik
berhala bangsa, kelompok atau individu pada akhirnya akan semakin meneguhkan
hubungan manusia dengan Allah di atas pijakan yang kokoh. Sebuah kebebasan
yang diraih dari kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah dan digunakan untuk
menuju kepada-Nya sebagai orientasi hidup yang paling hakiki. Kebebasan dalam
Islam tidak digunakan untuk mengikuti hawa nafsu sehingga penggunaannya
tidak terkendali. Di atas segalanya, Allah menjadi pusat segala tindakan manusia
sehingga kebebasan pun harus beroperasi dari dan dalam bingkai ini, baik dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.
Dalam bidang politik, kebebasan didasarkan pada keimanan kepada Allah
sebagaimana kebebasan yang lain. Karena itu, kekuasaan dan kedaulatan hanya
milik Allah. Dialah yang berhak untuk mengatur kehidupan manusia. Semua
anggota masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk melaksanakan
perintah-Nya. Hasil kesamaan ini adalah manusia merdeka dari dominasi orang
lain, semua jenis eksploitasi politik, kekuasaan despotik, dan kekuasaan kelas.
Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam tidak mengakui suatu bentuk politik yang
membolehkan seorang individu atau kelompok mendominasi dan menguasai
16
Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 123.
71
individu atau kelompok lain. Karena menurutnya, hal itu menyangkal kesamaan
semua anggota masyarakat dalam memegang amanah Allah. Muhammad Baqîr alShadr mengungkapkan:
Landasan pemerintahan Islam pertama adalah kekuasaan mutlak (absolut)
milik Allah. Penjelasan atas kebenaran ini merupakan revolusi besar yang
dirintis oleh para nabi yang berjuang demi pembebasan manusia dari
perbudakan manusia lain. Kedaulatan Allah berarti bahwa manusia itu
merdeka. Manusia secara individual maupun kelas atau kelompok tidaklah
memiliki kekuasaan dan otoritas yang utama terhadap dirinya. Kekuasaan
dan kedaulatan mutlak dan eksklusif adalah milik Allah.17
Dalam bidang ekonomi, manusia memiliki hak untuk memiliki sesuatu dan
mengupayakan keinginan dan kebutuhannya. Akan tetapi, kebebasan di sini
bukanlah kebebasan yang seluas-luasnya sehingga kebebasan seseorang
berpotensi mengancam dan menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan
hak yang sama. Di sini, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam
menyelaraskan kebebasan ekonomi dengan keamanan ekonomi, memadukannya
dalam suatu struktur yang terpadu. Manusia memiliki kebebasan ekonomi tetapi
dalam batas-batas tertentu. Batasan itu adalah keamanan ekonomi individu
lainnya dan kesejahteraan umumnya.18 Kebebasan ekonomi dibolehkan selama
tidak mengancam kebebasan dan kesejahteraan orang lain. Kebebasan ekonomi,
sebagaimana dalam politik, juga berlandaskan pada tauhid sehingga tidak ada hak
kepemilikan penuh atau eksklusif dalam Islam. Sebaliknya, Islam memberikan
jaminan atau keamanan bagi individu yang kurang beruntung untuk mendapatkan
hak yang sama dengan lainnya.
17
18
Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, h. 101-102.
Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 151.
72
Jaminan keamanan itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, adalah
menjadi tanggung jawab pemerintah agar semua penduduk hidup layak dan
terhormat. Untuk tujuan ini, dana dapat dikumpulkan dari kekayaan negara,
sumber pendapatan umum, dan anggaran belanja negara.19 Negara dapat
mengambil pajak atau zakat dari pendapatan individu sebagai pendapatan umum.
Pajak dan zakat itu didistribusikan secara adil kepada orang-orang yang kurang
beruntung untuk memberikan jaminan keamanan ekonomi pada mereka. Zakat
merupakan bentuk solidaritas sosial antar sesama di mana orang Islam yang satu
dengan Islam lainnya diikat oleh tali persaudaraan keimanan sebagaimana
diperintahkan oleh agama.
Dalam kehidupan sosial, khususnya berkaitan dengan kebebasan
berpendapat, juga ditekankan dalam Islam. Kebebasan berpendapat menunjukkan
adanya kebebasan berpikir. Namun, karena berlandaskan kepada tauhid,
kebebasan berpikir dibolehkan selama tidak bertentangan dengan keyakinan
tauhid. Selain itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam tidak menghendaki
pendapat yang berasal dari prasangka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Setiap pendapat harus memunyai argumentasi rasional dan bersifat akademik
sehingga bisa diuji dan dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini penting
dilakukan agar manusia tidak jatuh dalam fanatisme buta, takhayul serta
melindungi manusia dari penyalahgunaannya.20 Penyalahgunaan kebebasan
berpikir seringkali terjadi ketika manusia mengikuti dorongan hawa nafsu dan
kepentingannya dengan melakukan pembenaran atas tindakannya.
19
20
Ibid, h. 157.
Ibid, h. 153.
73
C. Tauhid dan Keadilan
Konsekuensi lain dari pandangan Tauhid di atas adalah adanya dorongan
atau keharusan berbuat keadilan dalam diri manusia dalam berhubungan dengan
sesama. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, manusia sebagai mahluk Allah
memunyai kewajiban untuk menjalankan perintah-Nya seperti diajarkan risâlah
Nabi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan kembalinya manusia
kepada-Nya di akhirat. Kehidupan akhirat menjadi tempat ditegakkannya keadilan
oleh Hakim Maha Adil yang akan mengakhiri segala konflik dan persoalan di
dunia. Oleh karena itu, manusia harus berbuat adil di dunia karena setiap perilaku
dan tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban dan akan diberikan ganjaran
atau balasan. Inilah jaminan keadilan, kebaikan, dan kebenaran dalam Islam.
Banyak definisi tentang keadilan seperti yang telah dikemukakan oleh para
pemikir dalam kajian falsafat moral. Bahkan diskursus mutakhir falsafat politik
bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir
bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada
persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri.
Sementara, keadilan merupakan wilayah yang sangat luas, kompleks bahkan
tersembunyi --karena berkenaan dengan nilai-- sehingga nyaris tak dapat
didefinisikan. Pada posisi ini, menentukan atau menunjuk ketidakadilan relatif
lebih mudah daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para
pemikir lebih berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya
keadilan ketimbang mendefinisikannya.
74
Dalam al-Qur‟ân, tidak ada definisi yang komprehensif mengenai keadilan
kecuali hanya disebutkan kata adil („adl) saja. Hal ini menuntut penelusuran lebih
jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam konteks kehidupan
bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, intuisi dan pikiran dapat
mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap tindakan seseorang.
Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat ditemukan, demikian
pula dengan keadilan. Ia menyatakan:
Ini (nilai-nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran) adalah nilainilai yang menegaskan bahwa keadilan adalah kebenaran dan kebaikan,
dan perbuatan salah (ketidakadilan) adalah batil dan jahat. Kami juga
percaya bahwa barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain
layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan
pengkhianatan layak mendapat sebaliknya.21
Menurutnya, intuisi dan pikiran sangat penting dalam mengarahkan
perilaku manusia dengan benar. Selama manusia mengikutinya maka selama itu
pula perilakunya akan benar, kecuali ada rintangan seperti ketidaktahuan atau
sengaja melanggar nilai itu demi keuntungan pribadi. Selama tidak ada rintangan
itu, ketika manusia dihadapkan pada pilihan antara kebenaran dan kesalahan,
kebaikan dan keburukan, maka intuisi dan pikiran dia akan memilih kebenaran
dan kebaikan.22 Dengan kata lain, seseorang akan berbuat adil bila tidak ada motif
pribadi yang membuatnya melanggar nilai-nilai keadilan itu.
Namun, meski secara intuitif seseorang memunyai kecenderungan untuk
berbuat adil serta mampu merasakan dan menilai perilaku mana yang adil dan
tidak, untuk mewujudkan keadilan bukanlah perkara mudah. Di sinilah
21
22
Muhammad Baqîr al-Shadr, The Revieler, the Messanger, the Message, h. 98.
Ibid, h. 99.
75
dibutuhkan prinsip yang menjadi syarat bagi keadilan, yaitu prinsip persamaan.
Prinsip ini harus menjadi landasan dalam kehidupan sosial baik dalam bidang
politik, ekonomi, dan sebagainya. Tanpa persamaan, tidak mungkin keadilan akan
terwujud, karena dalam keadilan terkandung nilai-nilai persamaan. Nilai ini
menyatakan bahwa setiap orang adalah sama dalam hak dan kewajibannya.
Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam sangat menjunjung tinggi
persamaan. Islam tidak mengenal adanya diskriminasi dalam memandang dan
memerlakukan umatnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pandangan
tauhid di mana di hadapan Allah semuanya adalah sama, yaitu sebagai hamba
Allah.23 Tidak ada individu, kelompok, atau bangsa yang lebih tinggi derajat dan
kelasnya sehingga dapat mengeksploitasi, menjajah, dan menundukkan yang lain.
Bahkan Islam mengutuk tindakan tersebut serta menegaskan bahwa kepatuhan
terhadap perbuatan itu adalah syirk. Di hadapan Allah, sistem kelas seperti
proletar dan borjuis, budak dan bangsawan, rakyat dan pemimpin, dan sebagainya
adalah sama. Dengan demikian, semua orang memiliki hak yang sama yaitu hak
untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kekayaan.
Hak untuk hidup berarti setiap orang berhak untuk menjalankan
kehidupan. Tak ada seorang pun yang dibolehkan mengganggu, menentukan atau
bahkan merenggut kehidupan orang lain kecuali Allah. Sebagaimana dijelaskan di
atas, Allah adalah Pencipta yang memunyai hak penuh atas ciptaan-Nya
sedangkan manusia tidak memiliki hak apa-apa kecuali kewajiban terhadap
Pencipta. Oleh karena itu, seseorang berhak menjalankan kehidupan sesuai
23
Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 114.
76
dengan yang telah dikehendaki dan diperintahkan oleh Allah. Inilah yang
membedakan Islam dari liberalisme yang berpandangan bahwa seseorang berhak
menjalankan kehidupan sesuai dengan yang diinginkan. Hak dalam liberalisme
adalah hak eksklusif di mana manusia secara otonom memiliki dan menguasai
hidupnya. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hak penuh atau eksklusif yang
dimiliki oleh seseorang karena pemilik dan penguasa absolut atas segala sesuatu
hanyalah Allah.
Demikian pula dengan hak atas kebebasan. Setiap orang memiliki hak atas
kebebasan selama kebebasan itu tidak bertentangan dengan keyakinan tauhid.
Selama seseorang beroperasi dalam bingkai ini, maka tidak ada seorang pun yang
diperkenankan mengekang kebebasan orang lain. Sementara hak kebebasan atas
kekayaan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki sesuatu
berkaitan dengan harta kekayaan, sebab sudah menjadi kodrat manusia untuk
cenderung memiliki sesuatu atas hasil kerja dan usahanya. Namun kepemilikan di
sini, sebagaimana hak lainnya, tidak bersifat eksklusif dan absolut.
Dari hak-hak tersebut, keadilan harus ditegakkan dengan cara tidak
membeda-bedakan hak orang yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak ada
yang merasa dizhalimi. Setiap orang dijaga dan dilindungi haknya dan setiap
orang berkewajiban menjaga dan menghormati hak orang lain. Walaupun
demikian, dalam praktiknya, prinsip persamaan ini tidak serta merta terwujud
tanpa persoalan. Persoalan paling mencolok terjadi dalam hak atas kekayaan
dalam bidang ekonomi. Tidak mungkin menerapkan prinsip persamaan bagi
seseorang yang tidak beruntung secara alamiah seperti cacat sejak lahir yang
77
membuatnya tidak mampu memaksimalkan haknya. Demikian juga tidak
mungkin menerapkan prinsip itu bagi orang-orang yang lahir dalam keadaan
miskin dengan membiarkannya terlantar begitu saja. Maka dari itu, menurut
Muhammad Baqîr al-Shadr, hak dan kebebasan ekonomi harus dibarengi dengan
keamanan ekonomi.24
Keamanan ekonomi masuk dalam masalah jaminan sosial yang dijelaskan
Muhammad Baqîr al-Shadr dalam perbedaannya dari sosialisme atau Marxisme.
Pertama, jaminan dalam Islam adalah salah satu hak manusia yang diperoleh dari
dan diwajibkan oleh Allah. Karena itu, tidak ada perbedaan menurut keadaan atau
kedudukan warga negara. Sementara jaminan sosial menurut Marxisme lebih
menyerupai hak mesin daripada hak manusia. Apabila mesin produksi telah
mencapai titik tertentu maka jaminan sosial menjadi syarat esensial untuk
pertumbuhannya dan peningkatan produksinya. Bila kekuatan-kekuatan produksi
belum mencapai ini maka ide tentang jaminan sosial tidak berarti apa-apa.
Kedua, konsep jaminan sosial erat kaitannya dengan persaudaraan dalam
Islam. Menurutnya, persaudaraan dalam Islam merupakan suatu kerangka yang
melaksanakan peranan jaminan sosial dalam masyarakat. Islam menggambarkan
bahwa Muslim yang satu adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak boleh
menyakiti saudaranya, merampas haknya, dan tidak menolak memberikan
pertolongan kepadanya. Persaudaraan Islam mengimbau agar umat Islam saling
bekerja sama dan saling membantu orang-orang yang kurang beruntung.
Sementara, Marxisme memandang jaminan sosial hanya dapat dicapai melalui
24
Ibid, h. 129.
78
perjuangan kelas dengan cara menghasut kebencian dan memertentangkan kelas,
yaitu proletar dan borjuis. Ketika perjuangan itu berhasil dengan terwujudnya
masyarakat komunis, baru jaminan sosial dapat diterapkan.25
Ketiga, jaminan sosial, sebagai hak asasi manusia, tidak memberikan
perbedaan antara kelompok atau kelas tertentu dari yang lainnya. Ia bahkan
menekankan pada orang-orang yang sama sekali tidak mampu untuk mengambil
bagian dalam hal produksi. Orang-orang itu dijamin dalam naungan masyarakat
Islam. Dalam hal ini, negara harus memberikan sarana untuk mencapai nafkah
bagi mereka. Sementara itu, Marxisme tidak menyinggung masalah jaminan itu
bagi orang-orang yang tidak mampu yang hidup di luar perjuangan kelas. Bahkan,
dalam konsep keadilannya, Marxisme tidak mendistribusikan sarana dan hasil
produksi bagi orang-orang yang tidak mampu.
Keempat, jaminan sosial dalam Islam merupakan tanggung jawab individu
dan negara. Sementara dalam Marxisme, jaminan sosial hanya menjadi tanggung
jawab negara saja. Oleh karena itu, Islam meletakkan dua prinsip yaitu prinsip
kerja sama dan prinsip jaminan sosial. Prinsip kerja sama berarti bahwa setiap
orang Muslim bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada orang lain
sesuai dengan kemampuannya. Kaum Muslim harus menerapkan prinsip ini
bahkan dalam keadaan tidak ada negara sekalipun yang melaksanakan perintah
legislatif itu. Sedangkan prinsip jaminan sosial menjadi tanggung jawab negara
25
Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia dan Problema Masa Kini, h. 155-156.
79
yang harus menjamin kemakmuran semua warga negara. Untuk tujuan ini, dana
dapat dikumpulkan dari kekayaan negara, sumber pendapatan umum, dan pajak.26
Jadi, persamaan hak atas kekayaan dipadukan dengan jaminan sosial.
Seseorang bebas mengupayakan kekayaan selama tidak mengganggu dan
menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Terhadap
orang-orang yang kurang beruntung, Islam memberikan kompensasi agar haknya
tetap terjaga sehingga bisa mengupayakan dan menikmati kekayaan. Jaminan itu
menggambarkan tidak adanya kepemilikan eksklusif atas kekayaan karena segala
sesuatu hanya milik Allah semata. Islam tidak mengenal persaingan yang
mengarah kepada eksploitasi atau merugikan orang lain. Persaingan hanya
dibolehkan untuk tujuan mencapai ridha Allah semata.
D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, tujuan sistem sosial adalah
tercapainya kehidupan yang sejahtera, adil, makmur, dan bahagia. Untuk tujuan
ini, tauhid memunyai peranan signifikan sebagai landasan hidup yang
mengarahkan prilaku manusia. Keyakinan tauhid membentuk pandangan dunia
seseorang sehingga setiap tindakannya mencerminkan nilai-nilai keyakinan ini.
Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, tauhid adalah jendela untuk melihat dunia.
Nilai-nilai tauhid harus mewarnai seluruh ranah kehidupan sehingga eksistensi
Islam dapat berdiri tegak dan kokoh.
26
Ibid, 157.
80
Menurutnya,
Allah
tidak
menginginkan
seorang
Muslim
hanya
menunjukkan ketundukan pribadi kepada-Nya. Tetapi lebih dari itu, ia
menginginkan orang Muslim menjadi satu faktor berdirinya eksistensi Islam yang
memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta.
Kemudian, Umat Islam dituntut untuk bersatu di bawah eksistensi itu. Tauhid
menjadi kaidah utama yang paling pokok dan esensial dari eksistensi Islam untuk
mewujudkan tujuan dari sistem sosial. Dia menyatakan:
Kaidah utama adalah sesuatu yang pokok dan esensial dari setiap
masyarakat yang menginginkan dari keberadaannya suatu komitmen dan
kekekalan serta bertujuan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kemuliaan. Karena kaidah utama adalah penggerak yang bersumber dari
hati dan akan mengembangkan masyarakat menuju kehidupan. Kaidah
inilah yang menjaga kesatuan masyarakat dan kesolidannya. Ia menjadi
titik tolak dari setiap perbuatan. Ia merupakan unsur yang menempati
sentral penjagaan dari penyimpangan dan kemunduran masyarakat.27
Dalam pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, eksistensi Islam yang
berdiri di atas keimanan dan keyakinan kepada Allah, penyerahan dan ketundukan
kepada-Nya serta penyerahan kepemimpinan praktis di tangan-Nya adalah
eksistensi satu-satunya yang dapat melaksanakan peranan kemanusiaan, menjamin
kebahagiaan, kemuliaan, dan kesejahteraan sosial. Hal ini disebabkan dalam
eksistensi Islam tidak ada nilai-nilai yang bertentangan dengan fitrah dan naluri
manusia. Islam adalah agama kemanusiaan yang mampu mengakui dan
mengafirmasi fitrah manusia. Islam tidak mengubah fitrah tersebut dan tidak
mengingkarinya. Islam sangat memuliakan kemanusiaan dalam segenap
dimensinya.28
27
Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, h.
28
Ibid, h. 76.
123-124.
81
Islam juga merupakan agama yang tidak menentang kecenderungan naluri
manusia. Sebaliknya, ia menyediakan ruang untuk mengekspresikannya. Sikap
Islam terhadap naluri sangatlah positif karena ia merupakan kekuatan hewani
yang tanpanya suatu aktivitas atau gerakan akan musnah. Naluri mendorong dan
menyempurnakan gerakan menjadi syarat internal dari prilaku manusia.29 Namun
demikian, Islam juga menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan spiritual
dalam diri manusia. Spiritualitas pasti cenderung kepada kebahagiaan dan
ketenangan sehingga manusia tidak merasa miskin di tengah keberlimpahan
materi. Dengan spiritualitas, manusia memiliki nilai dan tujuan dalam hidupnya
serta mampu memberi makna pada kekayaan yang dimilikinya.
Dalam eksistensi Islam, terpancar prinsip-prinsip kebebasan, keadilan dan
persamaan yang menjadi landasan etis prilaku manusia dalam kehidupan sosial.
Demikian pula dengan struktur dan institusi sosial. Setiap keputusan dan
kebijakan yang dilahirkan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik, dan
sebagainya berlandaskan pada prinsip-prinsip itu. Sistem sosial Islam (eksistensi
Islam) mengatur masyarakat secara adil sehingga tercipta stabilitas dan integritas
serta tatanan kehidupan yang harmonis, makmur, dan sejahtera. Di sini peran
negara sangat besar sekali dalam mengupayakan cita-cita sistem sosial. Negara
bukan sekedar penjaga malam yang hanya melindungi kebebasan individu
sebagaimana dalam liberalisme-kapitalisme. Negara juga bukanlah monster
menakutkan yang mengawasi dan melumat kebebasan individu seperti dalam
sosialisme-komunisme.
29
Ibid, h. 80.
82
Sistem sosial Islam tidak menentang kebebasan individu tetapi juga tidak
menghapus kepemilikan pribadi. Sistem sosial Islam meletakkan kebebasan itu
serta hal-hal lainnya dalam bingkai tauhid. Karena itu, sistem sosial Islam disebut
Muhammad Baqîr al-Shadr sebagai sistem langit yang akan mewujudkan cita-cita
kehidupan manusia.
Islam bukanlah undang-undang positif yang terbatas bidangnya dalam
zaman dan tempat, juga bukan buatan manusia yang memiliki wawasan
dan tujuan yang terbatas. Namun, Islam adalah sistem langit yang
diwahyukan dari sisi Allah, pencipta manusia dan dunia dengan segala hal
yang membawa manfaat bagi manusia… Manusia tidak akan mampu
memerbaiki kehidupan kecuali dengan Islam, dengan sistem dan undangundangnya.30
Menurutnya, tidak ada nilai-nilai yang lebih tinggi yang sesuai dengan
seluruh aspek kehidupan manusia serta menjamin kebahagiaan dan stabilitasnya
selain eksistensi Islam. Dalam eksistensi itu terdapat nilai-nilai luhur yang
mengarahkan manusia pada cita-cita hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Tercapainya tujuan kehidupan inilah yang diupayakan dari sistem sosial Islam.
Bila eksistensi Islam berhasil tegak dalam kehidupan umat, maka cita-cita sistem
sosial akan terwujud.
E. Catatan Kritis
Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan harapan besar bagi
terwujudnya tujuan sistem sosial. Sebuah tujuan yang selama ini diupayakan
dalam perjalanan panjang sejarah kehidupan manusia, yaitu kehidupan yang adil,
makmur, sejahtera, dan bahagia. Ideal-ideal sosial itu akan tercapai bila suatu
30
Ibid, h. 73.
83
sistem dibangun di atas fondasi yang kokoh yang di dalamnya berdiri eksistensi
Islam. Di bawah naungan eksistensi itu, ketimpangan sosial, kemiskinan, patologi
dan krisis sosial lain akan terhapuskan. Pemikirannya yang konstruktif, kritis dan
mendalam membuat dia layak ditempatkan sebagai pemikir modern Islam
terkemuka.
Namun demikian, sebagaimana layaknya pemikir lain, pemikirannya
bukan berarti tanpa kelemahan. Setidaknya, ada dua hal yang menjadi catatan
kritis penulis dari pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr berkenaan dengan peran
tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal. Pertama, mengenai akseptabilitas
sistem sosial Islam. Menempatkan tauhid sebagai landasan bagi sistem sosial
berarti mengkhususkan sistem sosial itu pada masyarakat Islam saja. Sedangkan
dalam masyarakat atau negara plural seperti Indonesia, sistem sosial itu tidak
dapat diterapkan. Eksistensi Islam, sebagaimana dikemukakan dengan tegas oleh
Muhammad Baqîr al-Shadr, tidak dapat terwujud bila dalam suatu masyarakat
masih ada yang tidak mengakui kaidah tauhid.
Di samping itu, masyarakat non-Muslim akan merasa keberatan bila tauhid
dijadikan landasan bagi sistem sosial. Hal ini disebabkan mereka memunyai
keyakinan dan nilai-nilai kepercayaan tersendiri yang berbeda dari umat Islam.
Walaupun Islam memiliki misi global dan universal sebagai rahmat bagi seluruh
alam, Islam tetap dipandang berdiri di tengah perbedaannya terhadap agama lain.
Oleh karena itu, sistem sosial Islam hanya terbatas pada masyarakat Islam saja
dan tidak dapat diterapkan kepada masyarakat secara global.
84
Kedua, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr terkesan ambisius dengan
nuansa ideologis untuk menegakkan eksistensi Islam pada masyarakat Muslim.
Padahal umat Islam sendiri berbeda-beda pandangan dalam melihat nilai ajaran
Islam. Meski berkeyakinan sama, pandangan dunia mereka bisa berbeda-beda
antara satu sama lainnya. Muhammad Baqîr al-Shadr menempatkan Islam sebagai
pandangan dunia yang kemudian diletakkan dan diperjuangkan dalam bingkai
ideologis. Sementara, terdapat kalangan Muslim lain yang melihat Islam sebagai
agama saja, bukan ideologi politik, ekonomi, dan sosial. Munculnya berbagai
aliran pemikiran dan kepercayaan dalam Islam menjadi potret perbedaan ini.
Selain perbedaan pandangan, hal lain yang menjadi kendala dari
pemikirannya adalah realitas umat Islam yang tidak sepenuhnya memahami peran
sentral tauhid dalam kehidupan. Berdirinya eksistensi Islam tidak hanya menuntut
negara dan institusi sosial berlandaskan atas tauhid. Lebih dari itu, semua elemen
masyarakat harus menegakkan nilai Islam (tauhid) dalam diri dan seluruh dimensi
hidupnya. Budaya masyarakat harus mencerminkan nilai itu. Sementara, orang
Islam belum tentu memahaminya apalagi menginternalisasi nilai-nilai itu dalam
kesadarannya. Tidak adanya kesatuan pandangan dunia serta pemahaman dan
kesadaran terhadap nilai itu menjadi kendala bagi eksistensi Islam. Di sinilah
pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, menurut penulis, terkesan ambisius.
Akan tetapi, sekalipun mengandung kelemahan, pemikiran Muhammad
Baqîr al-Shadr sangat bermanfaat dan patut ditulis serta dibaca oleh khalayak.
Pandangannya yang kritis dan konstruktif dapat menyentakkan kesadaran manusia
pada umumnya dan umat Islam khususnya, akan sistem sosial yang ada serta
85
kebutuhan suatu sistem yang dapat mengantarkan manusia pada cita-cita
kehidupan. Sistem sosial yang ada selama ini tidaklah cukup sempurna dan
mampu menjamin manusia mewujudkan tujuannya. Terdapat banyak persoalan
dalam sistem itu, baik dalam liberalisme maupun sosialisme. Persoalan itu
menjadi batu sandungan tersendiri yang menggagalkan tujuan dari sistem tersebut.
Oleh sebab itu, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang kebebasan, keadilan
dan persamaan menjadi terobosan baru sekaligus solusi brilian bagi persoalan
yang dihadapi sistem sosial.
Bagi umat Islam, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr dapat membuka
cakrawala pengetahuan dan kesadaran terhadap keimanan. Pemikirannya yang
mendalam tentang tauhid menunjukkan dengan tegas bahwa keimanan tidak
sebatas percaya saja tanpa memahami dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan. Sebaliknya, tauhid harus benar-benar terpatri dalam keyakinan umat
Islam sebagai landasan tindakan sehingga eksistensi Islam dapat berdiri tegak di
jagad raya ini. Tanpa itu, apapun yang dilakukan oleh umat Islam seperti
penerapan syari„ah Islam secara legal formal dalam konteks negara, hanya akan
sia-sia belaka.
Melalui pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr, kita dapat mengetahui
bahwa Islam bukanlah agama yang dipaksakan. Tegaknya eksistensi Islam bukan
karena aturan formal negara melainkan melalui proses simultan antara keyakinan
dan implimentasi keyakinan itu dalam seluruh ranah kehidupan sosial, budaya,
politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Selama hal ini belum tercapai, maka di
negara Islam sekalipun eksistensi Islam tidak akan pernah berdiri tegak serta tidak
86
akan berhasil mewujudkan tujuan sistem sosial. Membangun eksistensi Islam
bukan dari struktur politik dan kekuatan pemerintahan, tetapi pertama kali harus
dimulai dari manusia yang ada di dalamnya.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menelusuri secara singkat dan padat pemikiran Muhammad Baqîr
al-Shadr di bab-bab terdahulu, pada bagian ini sudah saatnya penulis menarik
kesimpulan dari gagasannya mengenai peran tauhid dalam menciptakan sistem
sosial ideal. Dari eksplorasi itu, dapat disimpulkan bahwa tauhid sangat besar
sekali peranannya sebagai landasan sistem sosial yang akan mengarahkan
masyarakat mencapai tujuan hidupnya. Di dalam tauhid, terdapat nilai-nilai yang
menjadi prinsip tindakan bagi individu dan masyarakat beserta institusi sosial
dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Nilai-nilai itu meliputi kebebasan,
keadilan dan persamaan. Ketika keyakinan tauhid beserta nila-nilai itu
diinternalisasi dan diaktualisasikan secara total dalam seluruh kehidupan, maka di
sanalah akan berdiri eksistensi Islam. Bila hal ini berhasil ditegakkan, maka
sistem sosial akan mencapai tujuannya, yaitu kehidupan yang adil, makmur,
sejahtera, dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam seluruh tulisannya, Muhammad Baqîr al-Shadr menekankan
pentingnya tauhid dalam seluruh ranah kehidupan. Tauhid menjadi titik sentral
pemikiranya ketika berbicara masalah politik, ekonomi, dan sebagainya. Dia
yakin bahwa dengan tauhid sistem sosial akan mencapai tujuan yang
diperjuangkan selama ini. Hanya sistem sosial yang berlandaskan pada tauhid
(sistem sosial Islam) yang mampu mewujudkan tujuan itu. Sedangkan sistem
sosial lain seperti liberalisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme tidak akan
87
88
pernah mencapainya karena mengandung banyak persoalan dan kelemahan.
Kompilasi persoalan itu terletak pada pandangan yang diusung oleh kedua sistem
bersangkutan seperti kebebasan dan masyarakat komunis. Dalam kedua sistem itu
tidak akan terwujud keadilan sebagai salah satu prinsip yang akan mengantarkan
manusia pada cita-cita kehidupan.
Keyakinan Muhammad Baqîr al-Shadr cukup kuat dan mendalam yang
kemudian ia perjuangkan dalam sebuah gerakan sosial politik Syî‘ah di Irak.
Keyakinan itu menyatu dalam aliran darahnya bersamaan dengan keyakinannya
kepada Allah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Muhammad Baqîr alShadr melihat sistem sosial Islam sebagai sistem langit di mana manusia
berkewajiban untuk menegakkannya. Sebuah sistem yang tidak bertentangan
dengan fitrah dan kodrat manusia kapan pun dan di mana pun. Sistem yang
mengafirmasi kepentingan individu dan menciptakan kesejahteraan bagi
kehidupan bersama.
Sistem sosial yang mampu mewujudkan cita-cita kehidupan, individu
maupun masyarakat, adalah sistem ideal yang selama ini diupayakan dalam
sejarah panjang kehidupan manusia. Dinamika sosial menunjukkan upaya ini
dengan pergulatan yang masing-masing berbeda dari setiap zaman, tempat dan
waktu. Pergulatan yang mengurai darah dan air mata, tangis dan tawa bahkan tak
jarang nyawa manusia menjadi taruhannya. Seluruh energi manusia terkuras oleh
upaya itu demi kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Menurut Muhammad
Baqîr al-Shadr, sistem yang dapat mewujudkan itu adalah sistem sosial Islam di
mana tauhid menjadi landasan dasarnya.
89
Terlepas dari kelemahannya, bagi penulis, pemikiran Muhammad Baqîr alShadr cukup konstruktif dalam membangun sistem sosial ideal. Pandangannya
tentang kebebasan, keadilan dan persamaan yang lahir dari keyakinan tauhid
merupakan terobosan baru yang menjadi solusi segar bagi persoalan sistem sosial.
Pandangan itu dapat dijadikan prinsip-prinsip nilai bagi tindakan individu maupun
struktur dan institusi sosial dalam mengambil kebijakan. Sedangkan eksistensi
Islam sebagai kerangka dan bentuk ideal sistem sosial Islam, menurut penulis,
akan menemui beberapa hambatan terutama di negara plural dengan pandangan
dan keyakinan yang berbeda-beda. Hambatan itu muncul karena kerangka dan
bentuk sistem sosial Islam menuntut keyakinan serta pandangan yang sama dari
seluruh individu dalam masyarakat.
B. Saran-saran
Di penghujung studi ini, perlu kiranya penulis memberikan saran-saran
berkenaan dengan pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr khususnya tentang
tauhid dan perannya dalam menciptakan sistem sosial Islam. Saran yang utama
adalah tauhid merupakan keyakinan pokok umat Islam terhadap Allah yang Maha
Esa di mana segala sesuatu bergantung pada-Nya. Terhadap-Nya segala sesuatu
bergantung dan berserah diri. Dari keyakinan tauhid ini kemudian lahir nilai-nilai
yang dijadikan pandangan dunia umat Islam. Meski demikian, sistem sosial
adalah wilayah yang sangat luas yang meliputi kehidupan politik, ekonomi,
budaya, dan sebagainya.
90
Oleh karena itu, untuk melihat peranan tauhid dalam menciptakan sistem
sosial ideal memerlukan kajian komprehensif, mendalam, dan kritis. Kajian itu
menuntut penelusuran lebih jauh terhadap pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr.
Apalagi, tidak ada karya yang secara spesifik dan utuh dalam bentuk buku
tersendiri dari Muhammad Baqîr al-Shadr yang membahas peranan tauhid bagi
terciptanya sistem sosial ideal. Butuh ketelitian dan konsistensi dari peneliti yang
berkonsentrasi pada tema kajian pemikiran bersangkutan. Maka, penulis
mengharapkan ada peneliti yang mengaji lebih komprehensif dan lebih baik lagi
terhadap pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr.
Allah a‘lam bi al-shawâb
91
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Osman, Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains
Islam, terjemahan Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Engels, Frederick, Anti-Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu
Pengetahuan, terjemahan Oey Hay Djoen. Bandung: Hasta Mitra &
Ultimus, 2005.
Departemen Agama RI, Al-Qur’ân al-Karîm. Semarang: PT. Karya Thaha Putra,
1999.
Fâruqî, Ismâ„il Râji, Tauhid, terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka,
1988.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia, 2004.
Hodgson, Marshall, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Dunia, jilid I, terjemahan Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina,
2002.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terjemahan M.Z.
Lawang. Jakarta: Gramedia, 1994.
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam.
Tangerang: UIN Jakarta, 2003.
Kymlicka, Will, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas
Teori-teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Marx, Karl, dan Freidrich Engels, The Communist Manifesto. London: Penguin
Book, 1967.
Muthahharî, Murtadhâ, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terjemahan Ibrahim Husain
al- Habsyi dkk. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.
Shadr, Muhammad Baqîr, Falsafatunâ, terjemahan M. Nur Mufid bin Ali.
Bandung: Mizan, 1991.
-------, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, terjemahan M. Hashem.
Bandung: Pustaka, 1984.
91
92
-------, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terjemahan Arif Mulyadi. Jakarta:
Lentera, 2001.
-------, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan
Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terjemahan M. Hashem.
Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
-------, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad
Abdul Qadir Alcaff. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.
-------, The Revieler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed M Ayoub.
Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986.
Sihbudi, M. Reza, Menyandera Timur Tengah. Jakarta: Hikmah, 2007.
Soseno, Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Shapiro, Ian, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terj. Masri Maris. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006.
-------, Asas Moral dalam Politik, terj. Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas,
Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Rodee, Calton Clymer. dkk, Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Rowls, John, Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Wibowo, A. Setyo “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan Di Mata Kant
dan Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF. Jakarta, 24 September,
2007.
Hambali, Muhammad, “ Relevansi Pemikiran Ekonomi Muhammad Baqîr alShadr Dalam Konteks Kekinian”. Artikel diakses pada tanggal 17 April
2010 dari http://marx83.wordpress.com/2009/01/31/relevansi-pemikiranekonomi-muhammad-baqir-ash-sadr-dalam-konteks-kekinian/
Muhammad Baqîr al-Shadr. Artikel diakses pada tanggal 20 April 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr".
Download