Dalam mesdiskusikan local wisdom, tentu kita tidak berhenti pada

advertisement
ade saptomo
Awal Memahami
HUKUM
TEORI HUKUM
&FILSAFAT
HUKUM
2015
1
Prof. Dr. Ade Saptomo, SH., M.Si selain menulis
buku Awal Pemahaman Hukum Teori Hukum & Filsafat
Hukum ini, juga menulis buku Hukum dan Kearifan Lokal
(2010), Metodologi Penelitian Hukum Empiris (2009),
dan Budaya Hukum dan Kearian Lokal (2014). Buku ini
semata merupakan gambaran perjalanan studi hukum
penulis dalam upaya mengetahui, mengerti, dan
memahami hukum. Awalnya, memahami dalam tataran
idealis, merambah ketataran positivistik dan kemudian
hukum dalam tataran sosiologis. Teori hukum dalam buku
ini tidak dimaknai sebagai seperangkat ilmu dan
pengetahuan hukum saja tetapi juga dimaknai sebagai alat
untuk menjawab permasalahan hukum teoretis maupun
praksis, bahkan dalam konteks metodologi dapat
digunakan sebagai alat menggali data hukum, dan
menganalisis data hukum.
Pemahaman yang baik atas teori hukum diharapkan
setiap karya ilmiah menghasilkan teori hukum baru,
konsep hukum baru, setidaknya sintesa hukum baru.
Pemahaman hukum dan teori hukum tersebut memudahkan
jalan untuk membedakan antara teori hukum dan filsafat
hukum. Setidaknya, keduanya memiliki metodologi dan
metode berfikir berbeda dan tataran abstraksinya pun
berbeda ketinggiannya. Untuk mengetahui hal itu, buku ini
menjadi penting untuk dibaca mahasiswa dan semua
penstudi hukum.
2
ade saptomo
Awal Memahami
HUKUM
TEORI HUKUM
&FILSAFAT
HUKUM
2015
3
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Hukum,Teori Hukum & Filsafat Hukum
vii, 162 hlm
hukum, teori hukum, ilmu hukum, filsafat hukum,
ISBN 978-602-18880-0-1
diterbitkan FHUP Press, editor I Putranto, lay out Ades
email: [email protected]
Jakarta, 2015
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Dilarang mengutip atau
memperbanyak dengan cara apapun seluruh atau sebagian
dari isi buku ini tanpa seizin penulis dan penerbit.
ade saptomo
4
PENGANTAR
Buku diberi judul Awal Memahami Hukum, Teori
Hukum & Filsafat Hukum ini semula merupakan bahan
perkuliahan yang terdiri dari sekumpulan pandanganpandangan sarjana ternama termasuk pandangan penulis
sendiri dan beberapa penjelasan dari sarjana manca negara
yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Sementara tujuan dibukukannya bahan perkuliahan
tersebut adalah agar mahasiswa dan pembaca umumnya
dapat memahami dengan mudah tidak saja pengertian
hukum dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga hukum
dalam pengertian kaidah dan bagaimana kaidah dimaksud
menjadi hukum tertulis sehingga mempunyai kewibawaan
yang harus dipedomani.
Untuk memudahkan langkah pemahaman dimaksud,
isi buku ini dipilah-pilah kedalam rangkuman kecil yang
terdiri dari serangkaian bab. Diawali Bab I tentang Apakah
Hukum Itu, yang mencakup pengertian hukum dalam
definisi Idealis, Positivistik, dan Sosiologis; Bab II tentang
ApakahTeori Hukum Itu, yang mencakup Pengertian Teori
Hukum, Jenis Teori Hukum, Fungsi Teori Hukum,
Konsepsi dan Jenis Hukum. Kemudian disusul Bab III
tentang Ilmu Hukum Positif, yang mencakup Pengertian
Ilmu, Ilmu Hukum, Ilmu Hukum Positif, Obyek Ilmu
Hukum Positif.
5
Bab IV tentang Legalistik dan Penemuan Hukum,
yang mencakup Pengertian umum, Pendekatan Legalisitk,
Penemuan Hukum, Metode Interpretasi dan Metode
Konstruksi Hukum. Bab V tentang Teori Hukum dan
Filsafat Hukum, yang mencakup Antara Teori Hukum dan
Filsafat
Hukum,
Ilmu
Hukum
Positivis
dan
Fenomenologis, serta kajian Kepastian, Keadilan, dan
Kemanfaatan Hukum, dan diakhiri dengan Bab VI Teori
Hukum sebagai Asumsi yang mencakup. Teori-Teori
Hukum Tata Negara, Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum,
Teori Ekonomi.
Terhadap penulis yang nama dan bukunya keliru
sebut maupun belum disebut disebabkan karena kurang
teliti dan cermat pribadi penulis. Untuk itu, dalam
kesempatan
ini
penulis
mohon
maaf
atas
ketidaknyamanannya. Jika ada satu kata, dua kata, tiga
kata, dan seterusnya masih salah, sekali lagi mohon maaf.
Namun demikian, keseluruhan tulisan dimaksud telah
dijadikan bahan ajar dimana penulis mengajar di berbagai
program studi doktoral dan magister ilmu hukum pada
universitas ternama di Indonesia.
Jakarta,
2015
6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................... iii
DAFTAR ISI.......................................................................v
BAB I APAKAH HUKUM ITU......................................1
I.1 Pengertian Hukum .................................................1
I.2 Definisi Hukum .....................................................7
I.2.1 Definisi Idealis ....................................................9
I.2.2 Definisi Positivistik ..........................................15
I.2.3 Definisi Sosiologis ............................................19
BAB II APAKAH TEORI HUKUM ..............................22
II.1 Pengertian Teori Hukum ....................................22
II.2 Jenis-Jenis Teori Hukum ....................................27
II.3 Fungsi Teori Hukum ..........................................30
II.4 Konsepsi dan Jenis Hukum ................................36
BAB III ILMU HUKUM POSITIF ................................44
III.1 Pengertian Ilmu ................................................44
III.2 Ilmu Hukum ......................................................54
III.3 Ilmu Hukum Positif...........................................58
III.4 Obyek Ilmu Hukum Positif ...............................61
BAB IV LEGALISTIK DAN PENEMUAN
HUKUM ...................................................................67
IV.1 Pengertian Umum .............................................67
IV.2 Pendekatan Legalistik .......................................71
IV.3 Pendekatan Penemuan Hukum .........................77
IV.3.1 Metode Interpretasi ........................................82
IV.3.2 Metode Konstruksi Hukum............................85
7
BAB V TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM . 90
V.1 Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum......... 90
V.2 Ilmu Hukum Positivis dan Fenomenologis ..... 103
V.3 Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan .......... 109
BAB VI TEORI HUKUM SEBAGAI ASUMSI ........ 117
VI.1 Teori-Teori Hukum Tata Negara ................... 117
VI.2 Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum ................ 132
VI.2.1 Dalam Sosiologi Hukum ............................. 132
VI.2.2 Dalam Antroplogi Hukum .......................... 144
VI.2.3 Dalam Ilmu Hukum Adat............................ 148
VI.2.4 Dalam Ilmu Ekonomi .................................. 150
DAFTAR PUSTAKA .................................................... 159
8
BAB I
APAKAH HUKUM ITU
I.1 Pengertian Hukum
Tampaknya, menjelaskan tentang sesuatu lebih mudah
daripada memberi definisi tentang sesuatu dimaksud.
Namun tidak lazim untuk menjelaskan sesuatu atau
mengkaji sesuatu subyek tertentu tetapi definisinya sendiri
belum jelas. Pada awal mengkaji sesuatu subyek dengan
tanpa pembatasan (definisi) akan beresiko belakangan
karena diskusinya pun tidak akan terarah dengan baik.
Untuk itu, definisi tentang sesuatu yang menjadi subyek
kajian menjadi sangat perlu karena selain sebagai
pembatasan, pengarahan, juga sebagai awal dan akhir dari
kajian sebuah subyek. Dengan demikian, definisi tetap
perlu dan penting untuk dirumuskan. Namun, untuk
memberikan definisi hukum secara pasti memang sulit
karena banyak alasan.
Pertama, dalam semua tingkat perkembangan
masyarakat baik dari masyarakat dengan peradaban rendah
hingga peradaban tinggi masing-masing masyarakat
dimaksud memiliki hukum. Perbedaan terletak antara
hukum dari dua masyarakat tidak hanya dalam satu bentuk
saja tetapi ada tahapan perkembangan yang masing-masing
memiliki karekteristik berbeda sehingga terminologi
hukum berarti dan mencakup hal-hal yang berbeda dalam
setiap masyarakat. Kata-kata terkait law dalam bahasa
Inggris, dalam sistem hindu disebut dharma, dalam sistem
9
Islam disebut hukum, dalam bahasa Romawi disebut jus,
dalam bahasa Perancis disebut Droit, dan dalam bahasa
Jerman disebut Richt. Makna dan gagasan yang ada dalam
kata-kata tersebut berbeda-beda satu sama lain sehingga
suatu definisi hukum yang gagal mencakup semua makna
dimaksud tidak akan menjadi definisi baik.
Kedua, defnisi berbeda padahal yang didefinisikan
dari hal yang sama, mungkin ini terjadi karena definisi
diberikan dari sudut pandang berbeda dan satu sudut tidak
mengambil pertimbangan dari sudut pandang yang lain.
Dengan demikian definisi yang diberikan oleh lawyer,
filosof dan theologian semakin menjadi besar perbedaan.
Aliran beragam yang dianut penekun hukum telah
mendefinisikan hukum dari sudut berbeda-beda pula.
Beberapa ahli hukum telah mendefinisikannya dengan
mendasarkan pada siapa, dan beberapa ahli hukum
menekankan pada sumbernya, sementara beberapa ahli
hukum yang lain berkenaan dengan pengaruh masyarakat,
sementara beberapa ahli hukum lain berkaitan dengan
akhir atau tujuan. Sebuah definisi yang tidak mencakup
semua ini akan menjadi definisi yang tidak sempurna.
Ketiga, demikian juga dalam tataran ilmu
pengetahuan terutama dalam ilmu sosial. Ilmu sosial yang
dimaksud adalah sebuah ilmu yang tumbuh dan
berkembang
bersama
masyarakat.
Perkembangan
masyarakat mulai dari masyarakat sederhana hingga
modern, terutama era modern yang penuh kemajuan ilmu
dan teknologi tinggi, telah menciptakan problem baru.
10
Hukum dituntut mencakup bidang-bidang baru dan
bergerak ke arah baru agar mampu menjaga ruangan,
fungsi, dan skope hukum yang selalu berubah. Oleh sebab
itu, sulit untuk memberikan sebuah definisi hukum dalam
pengertian tertentu untuk tetap valid untuk sepanjang
waktu. Sebuah definisi yang tetap dan baku sudah tidak
memungkinkan lagi mengingat definisi yang paling
memuaskan saat ini bisa mempersempit dan tidak lengkap
untuk masa yang akan datang. Oleh karena kesulitan itu,
Hart pernah mengatakan bahwa sejak zaman kuno
kebutuhan akan definisi apa hukum itu telah dibuat dan
jawaban berbeda telah diberikan, diantaranya
“Few questions concerning human society have been
asked with such persistence and answered by serious
thinkers in so many diverse, strange, and even
paradoxical ways as the question What Law is.1
Jawaban atas pertanyaan “apa hukum itu” itu tidak
gampang. Jawaban yang paling baik mendekati persoalan
itu dengan mengemukakan sejumlah ciri dan sifat dari
hukum secara singkat dan mencoba menjelaskannya
sampai pada suatu “pengertian dari hukum itu sendiri.
Ketidakgampangan dimaksud karena suatu analisis hingga
pada perumusan jawaban tidak bebas nilai dan netral,
tetapi terkait pada orientasi kefilsafatan hukum yang
melandasi. Pada umumnya, setiap kali “hukum”
dibicarakan, yang dimaksud adalah hukum yang berlaku
1
Hart H.L.A., 1961. The Concept of Law. hlm. 1
11
atau biasa disebut hukum positif. Jadi, hukum yang berlaku
diartikan sebagai undang-undang atau keputusankeputusan hakim dan tidak tentang salah satu hukum
kodrat atau sistem-sistem hukum ideal lain yang mungkin
memang juga berlaku. Hukum yang dibicarakan di sini
adalah hukum pada umumnya yang setiap hari banyak
orang berurusan dengannya. Ada beberapa ciri objektif
untuk sampai pada apa yang disebut hukum:2
a. Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh
kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang. Ini
hampir selalu berupa perlengkapan penguasa
(overheads-organ) dari suatu tatanan hukum dan
tatanan negara yang konkret.
b. Hukum memiliki suatu sifat lugas dan objektif. Itu
berarti bahwa ia secara jelas dapat dikenali dan tidak
tergantung pada kehendak bebas yang subjektif. Kita
juga dapat mengatakan bahwa hukum positif modern
itu rasional. Dengan itu Koesnoe maksudkan bahwa
hukum itu tidak timbul dari pewartaan religius
(wahyu), juga tidak lagi memiliki suatu bobot mistik
atau yang irasional, tetapi bahwa ia hampir selalu
merupakan resultat dari suatu prosedur yang diatur
secara cermat. Bila suatu undang-undang dibentuk atau
bila suatu proses di hadapan hakim dijalankan, maka
berbagai argumentasi dihadapkan yang satu terhadap
2
Meuwissen dan K. Larenz, 1979. Richtiges Recht.
12
yang lain dan dipertimbangkan dengan membandingbandingkan yang satu terhadap yang lain. “Rasionalitas
dari hukum” terutama mengandung arti bahwa orangorang berupa untuk saling meyakinkan berdasarkan
argument-argumen yang masuk akal. Hal menetapkan
hukum adalah bukan begitu saja suatu keputusan dari
otoritas, tetapi membutuhkan suatu motivasi lebih jauh.
c. Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan
perilaku manusia yang dapat diamati. Ia primer tidak
berminat pada pertimbangan-pertimbangan atau
perasaan-perasaan subjektif, meskipun hal itu juga
khususnya dalam hukum pidana kadang-kadang
penting. Dalam segi ini, hukum itu dibedakan dari
etika. Untuk etika, suatu pertimbangan pribadi yang
murni, intensi (niat) atau sikap memang penting. Untuk
hukum hal ini baru terjadi (menjadi penting), bila
disposisi yang demikian itu diwujudkan dalam suatu
perilaku (atau pola perilaku) konkret. Jadi hukum itu
mengatur hubungan-hubungan lahiriah antar manusia.
Ia tidak berkaitan dengan hubungan-hubungan atau
kontak-kontak pribadi yang murni.
d. Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu,
yang kita namakan keberlakuan (berlaku, gelding).
Sebagaimana yang akan kita lihat keberlakuan ini
mengenal (memiliki) tiga aspek, yakni aspek moral
aspek sosial, dan aspek yuridis.
e. Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu
struktur formal. Kita membedakan kaedah-kaedah
13
hukum, figur-figur hukum dan lembaga-lembaga
hukum (pranata hukum). Termasuk ke dalam kaedahkaedah hukum adalah aturan-aturan umum (misalnya
undang-undang)
keputusan-keputusan
konkret
(misalnya vonis, keputusan-keputusan pemerintah atau
ketetapan) dan asas-asas hukum (misalnya itikad baik,
tuntutan kecermatan kemasyarakatan, pacta sunt
servanda, asas persamaan).
Sementara itu, perbedaan asasi antara aturan-aturan
hukum dan asas-asas hukum tidak ada. Asas itu seperti
aturan memiliki suatu sifat umum, dengan catatan
bahwa isinya kadang-kadang dirumuskan kurang tajam
ketimbang yang terjadi pada aturan. Selanjutnya
misalnya dalam pengertian “aturan” masih dapat
dibedakan berbagai struktur, misalnya keharusankeharusan
(perintah-perintah),
larang-larangan,
pemberian kewenangan-kewenangan. Struktur-struktur
demikian oleh banyak filsuf hukum analitik dijadikan
objek penelitian.
Figur-figur hukum memiliki suatu sifat yang lebih
majemuk. Mereka adalah perangkat-perangkat aturanaturan dan keputusan-keputusan atas dasar suatu
substrat ideal aturan-aturan dan keputusan-keputusan
atas dasar suatu substrat ideal atau kemasyarakatan
spesifik (misalnya hak milik, kontrak, perbuatan
melanggar hukum, hak-hak dasar). Lembaga hukum
jauh lebih majemuk lagi : dalam banyak hal ia
mengenal suatu pengaturan kewenangan-kewenangan
14
yang terjabar masing-masing dengan organ tersendiri.
Contoh, di antaranya, perkumpulan-perkumpulan,
perusahaan-perusahaan, perseroan-perseroan. Lembaga
hukum yang terpenting adalah negara.
f. Ciri yang terakhir dan terpenting dari hukum
menyangkut objek dan isi dari hukum. Hukum itu
memiliki pretensi untuk mewujudkan atau mengabdi
tujuan tertentu. Dalam arti yang sangat formal, kita
menunjuk tujuan ini sebagai idea-hukum (cita-hukum).
Tentang isi dari idea hukum itu di dalam filsafat hukum
terdapat perbedaan pemahaman yang besar. Sebagai
tujuan dari hukum sering dirujuk adalah ketertiban,
perdamaian, harmoni, prediktabilitas, hal dapat
diperhitungkan, kepastian hukum. Oleh yang lain
persamaan dan keadilan juga dipandang penting.
Sebagaimana yang akan diuraikan, menurut pandangan
Koesnoe, dalam hubungan ini kebebasan memiliki arti
penting secara primer. Sementara itu Koesnoe
berpendapat bahwa di sini persoalannya berkenaan
dengan pretensi yang dijalankan oleh hukum. Hukum
selalu menginginkan sekurang-kurangnya prima facie
untuk mewujudkan suatu idea-hukum tertentu.
Penetapan tujuan ini terletak dalam lingkungan
normatif. Apakah penetapan tujuan ini atau
perwujudannya juga secara faktual atau sungguhsungguh ada, adalah suatu persoalan yang sama sekali
lain tatanannya. Untuk sebagian ia hanya dapat
ditentukan berdasarkan penelitian empiris. Koesnoe
15
masih menambahkan padanya bahwa, menurut
pemahaman Koesnoe, hukum itu selalu memiliki
perkaitan dengan hubungan-hubungan lahiriah
antarmanusia bertalian dengan penentuan atas bendabenda langka. Justru dalam hubungan-hubungan
intersubjektif untuk sebagian tentu saja hukum
bertujuan untuk merealisasikan kebebasan.
Setelah masuk pada kajian ciri-ciri hukum, kembali
ke belakang sejenak untuk mengingatkan betapa penting
definisi hukum yang telah berkembang hingga saat ini.
Definisi hukum dimaksud dapat ditemui dalam beberapa
literatur yang terkait dengan Ilmu Hukum, disana akan
ditemukan beberapa definisi tentang “hukum”, hal itu
dapat pula ditemukan dalam kamus, ensiklopedi ataupun
dari suatu aturan perundang-undangan. Untuk melihat apa
yang dimaksud dengan hukum, berikut akan diurai definisi
“hukum” dari beberapa aliran pemikiran dalam ilmu
hukum, sebab timbulnya perbedaan tentang sudut pandang
orang tentang apa itu “hukum” salah satunya sangat
dipengaruhi oleh aliran yang melatarbelakanginya.
I.2 Definisi Hukum
Mengerti definisi menjadi penting dan perlu karena
mengawali dan mengakhiri kajian suatu bidang ilmu lazim
dengan pengertian definisi bidang ilmu dimaksud. Untuk
memberikan definisi hukum secara perbandingan
merupakan perkerjaan sulit karena banyak alasan, pertama,
dalam semua masyarkat dari bentuk primitif hingga
masyarakat yang telah memiliki peradaban tinggi, maju,
16
dan modern masing-masing memiliki apa yang disebut
hukum. Itu satu hal, hal lain hampir setiap penekun hukum
baik itu akademisi, praktisi, bahkan pengamat hukum
sekalipun telah berusaha untuk mendefinisikan hukum
dengan sudut pandang berbeda.
Bahkan telah banyak definisi dengan beragam sudut
telah mereka berikan sehingga banyak pilihan definisi
untuk didiskusikan. Oleh karena terdapat banyak definisi,
maka dengan tujuan mengklarifikasi definisi-definisi
hukum tersebut, di bawah ini diklasifikasikan definisidefinisi dimaksud ke dalam tiga kelompok definisi, yaitu
definisi idealis (idealisitic definition), definisi positivistis
(positivistical definition), dan definisi sosiologis
(sociological definition).
I.2.1 Definisi Idealis
Definisi idiealis dimaksud pada umumnya diberikan pada
zaman Romawi dan ahli-ahli hukum masa silam. Di
antaranya definisi yang diberikan oleh Justinian‟ s Digest
bahwa hukum didefinisikan sebagai the standard of what is
just and unjust. Ulpian mendefinisikan hukum sebagai the
art or science of what is equitable and good. Cicero
mengatakan bahwa hukum law is the highest reason
implanted in nature. Pendek kata keadilan sebagai elemen
utama hukum, merupakan satu hal yang harus ditekankan
dalam semua upaya pengungkapan semua definisi hukum.
Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat bahwa apa
saja pandangan teoretis ahli hukum Romawi saat itu
17
mereka miliki, dalam praktik tidak pernah kebingungan
dalam memisahkan antara hukum dan keadilan.
Pada era Hindu Kuno juga memiliki pandangan
bahwa hukum adalah perintah Tuhan dan bukan perintah
dari kekuatan politik. Pembuatan peraturan itu sendiri juga
terikat pada dan patuh pada hukum, bahkan memiliki
kewajiban untuk melaksanakan hukum tersebut. Jadi
hukum dipandang sebagai dharma. Ini merupakan
pandangan tentang hukum yang ditemukan moral dan
religious injunction mingled up with legal precept.
Artinya, ide keadilan selalu dihadirkan konsep hukum
dalam masyarakat Hindu.
Hukum alam (natural law atau lex naturalis) pun
merupakan idealis karena pada dasarnya merupakan
hukum yang tidak dibuat oleh manusia dan oleh karenanya
berlaku universal (International Encyclopedia of the Social
Sciences). Pemahaman hukum alam ini sering
diasosiasikan bertentangan atau merupakan lawan dari
pemahaman hukum positif, masyarakat, dan pemerintahan
negara. Pemahaman tentang teori hukum alam tidak
terlepas dari pemikiran Aristotle (384 SM-322 SM) yang
menggali filsafat Yunani dengan membedakan antara
“hukum” dan “alam.” Hukum bisa berbeda dari satu
tempat dengan lainnya, sedangkan alam bersifat universal.
Kebutuhan, perilaku, dan hak-hak manusia, pada
prinsipnya bersifat alami atau sesuai dengan hukum alam.
Oleh karena itu, Aristotle mengemukakan faktor
terpenting yaitu aspek keadilan yang bersifat alami atau
18
universal (ius naturalis). Atas dasar pemikiran dan
kontribusinya dalam perkembangan ilmu hukum, Aristotle
dinobatkan sebagai “bapak hukum alam.” Pandangan
Aristotle tersebut sering dikaitkan dengan sebuah
ungkapan “an unjust law is not a true law” (hukum yang
tidak berkeadilan bukan hukum sebenarnya). Prinsipprinsip dari pemikiran Aristoteles tersebut kemudian
dielaborasi lebih lanjut dalam pengembangan ilmu hukum
oleh Thomas Aquinas (1225-1274) dalam bukunya
Treaties on Law3, sehingga menjadi dasar-dasar
pengembangan ilmu hukum pada abad-abad berikutnya.
Menurut pandangan Thomas Aquinas, dalam konteks
hukum, aturan-aturan moralitas pada hakekatnya bersifat
alami dan mengikat bagi seluruh umat manusia. Untuk itu,
Thomas Aquinas mengembangkan teori hukum alam yang
didasari oleh tiga doktrin yaitu:4
(1) Semua hukum yang berkeadilan dapat ditemukan
secara alami;
(2) Aturan-aturan yang bersifat aturan dasar harus
dijadikan pedoman untuk menyelesaikan berbagai
konflik; dan
(3) Hukum hanya dapat dipahami dan dimengerti apabila
didasari oleh prinsip-prinsip moralitas yang telah ada
dan bersifat alami.
3
Lihat McInerny, R. 1996. Thomas Aquinas: Treatise on law (Summa
Theologica, Quesions 90-97). Regnery Publishing Inc, Washington,
D.C.
4
Ibid
19
Oleh karena sifatnya yang universal, pemikiran
Thomas Aquinas banyak mempengaruhi pengembangan
sistem hukum di dunia, terutama di Inggris dan negaranegara Anglo-Saxon yang menganut sistem common law.
Definisi tersebut diatas diberikan pada saat ketika belum
ada pembedaan secara jelas antara hukum, moral, dan
agama sehingga seolah ketiganya menyatu ke dalam satu
definisi. Sementara pada saat zaman sudah modern
demikian, hukum pada umumnya telah disekulerisasi dan
telah tumbuh berkembang ke dalam satu cabang yang
independen dalam ilmu sosial. Untuk itu, definisi hukum
diberikan dari sudut teologis.
Namun unsur keadilan masih menjadi elemen penting
dalam beberapa definisi yang diberikan oleh ahli-ahli
hukum modern. Mereka telah mendefinisikan hukum
berkaitan dengan keadilan tetapi konsep keadilan tidak
sama persis seperti keadilan pada zaman kuno. Keadilan,
dalam definisi modern berarti keadilan hukum dan bukan
sebuah keadilan abstrak. Keadilan dapat diperoleh melalui
proses hukum formal, yatu melalui praktik peradilan.
Pandangan demikian telah diklasifikasikan oleh ahli
hukum masih sebagai idealistis meskipun mereka
sebenarnya positivistik.
Definisi yang demikian ini adalah definisi yang
dikemukakan oleh Salmond, bahwa hukum merupakan
prinsip-prinsip yang diakui dan diterapkan oleh negara
sebagaimana tampak dalam administrasi peradilan. Dengan
kata lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui,
20
dijalankan oleh pengadilan. Ada dua implikasi penting
berkenaan dengan definisi yang demikian ini. Pertama,
bahwa untuk memahami hukum orang harus mengetahui
tujuannya, kedua bahwa untuk mengetahui ciri utama
hukum orang harus masuk ke pengadilan dan tidak ke
lembaga legislasi. Definisi Salmond demikian ini menuai
kritik dari para ahli hukum lain. Di antaranya, Vinogradoff
menyampaikan kritik terhadap definisi Salmond karena
definisi tersebut didasarkan pada sebuah pemahaman
bahwa hukum berlangsung dari tindakan hakim.
Kritik utama terhadap definisi Salmond adalah bahwa
ia merancukan antara keadilan dengan hukum sementara
hukum dan keadilan bukan satu hal sama karena hukum
diterapkan hingga memperoleh kesimpulan apakah baik
atau buruk. Sementara, keadilan merupakan idealisme
yang ditemukan dalam moral manusia. Salmon itu tidak
pernah membicarakan keadilan, tetapi ia mengatakan
bahwa dengan hukum keadilan itu dapat diperoleh. Dengan
demikian, hukum telah didefinisikan oleh Salmond
berkenaan dengan tujuan. Memang mendefinisikan hukum
yang dikaitkan dengan tujuan mungkin membantu namun
ketika hukum dimaknai untuk melayani banyak tujuan,
tentu definisi demikian itu akan memperoleh kesulitan
sendiri. Misalnya saja, jika tujuan hukum adalah keadilan
maka Salmond dianggap telah mempersempit wilayah
kajian hukum.
Kedua, untuk mengerti hukum orang harus pergi ke
pengadilan dan bukan ke lembaga legislasi. Pandangan
21
demikian ini telah dikritik dengan alasan-alasan sebagai
berikut: Pertama, menurut definisi ini berarti konvensikonvensi yang seharusnya dikeluarkan dari hukum karena
konvensi tidak dijalankan pengadilan. Kedua, definisi
Salmon demikian itu telah memunculkan kontroversi
tentang makna pengadilan. Misalnya, apakah peradilan
administrasi yang dalam beberapa kasus telah menetapkan
hak dan tanggung jawab hendak dipertimbangkan sebagai
pengadilan atau bukan. Pada titik ini jelas definisi Salmond
kurang memadai sehingga hal itu merupakan kesulitan
tersendiri bagi Salmond untuk menjawabnya. Ketiga,
pranata-pranata hukum tidak dipertimbangkan sebagai
hukum menurut definisi Salmond karena pranata-pranata
itu tidak lahir di depan pangadilan, demikian pula hukum
internasional, hukum adat, dan seterusnya yang
kesemuanya tidak lahir dan tidak dijalankan oleh
pengadilan, pada hal keseluruhannya menjadi rujukan
bertindak dalam kehidupan sehari-hari .
Dalam aliran Sejarah, Karl Von Savigny mengatakan
bahwa: All law is originally formed by custom and popular
feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted
in a people‟s history: the roots are fed by the
consciousness, the faith and the customs of the people
(Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui
kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui
pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum
berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan
oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.
22
Selain itu, masih terdapat lagi aliran hukum lain,
yaitu aliran hukum alam yang diteorikan oleh Aristoteles.
Menurut aliran hukum alam, hukum didefinisikan sebagai
sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan
mengekspresikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi
untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di
pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap
pelanggar. Selain Aristoteles, Jhon Locke juga berpendapat
bahwa hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga
masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan
mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan
perbuatan jujur dan mana yang merupakan perbuatan
curang.
I.2.2 Definisi Positivistis
Selain itu, masih ada di dalam hukum terdapat pandangan
dari aliran Positivistis. Definisi positivistis sebenarnya juga
telah lama muncul, misalnya saja pernyataan para ahli
filsafat hukum yang mengembangkan teori positivisme
hukum (legal positivist theory),5 terutama Jeremy Bentham
(1748-1832), John Austin (1790-1859), Hans Kelsen
(1881-1973), H.L.A. Hart (1907-1992), dan Joseph Raz
(1939-sekarang). Teori ini didasari oleh 3 prinsip pokok
yaitu:
5
Jeremy Bentham (1748-1832) dikenal sebagai tokoh individualis,
utilitarian, John Austin (1790-1859) dikenal sebagai tokoh aliran
analistis dan bapak Jurisprudence Inggris, Hans Kelsen (1881-1973)
dikenal sebagai tokoh positivis, H.L.A. Hart (1907-1992), dan Joseph
Raz (1939-sekarang).
23
(1) Tidak ada kaitan langsung antara hukum dan etika
atau moralitas;
(2) Hukum adalah aturan yang dibuat oleh manusia,
disengaja atau tidak;
(3) Hukum
harus
memberikan
kepastian
dan
menggunakan ukuran-ukuran pasti, yaitu sangat
ditentukan oleh aturan-aturan dan praktik dalam
kehidupan sosial masyarakat yang memberlakukan
norma sebagai hukum.
Perdebatan antara penganut paham hukum alam
(natural-made) dan positivisme hukum (man-made) selalu
menarik perhatian diantara para ahli filsafat hukum. Para
penganut paham positivisme berpendapat bahwa hukum
didasarkan oleh suatu tindakan, praktik, atau permasalahan
yang di masa lampau tidak bisa dipecahkan; masa yang
akan datang ditentukan oleh suatu tindakan dan keputusan
masa lampau dan masa kini. Teori Bentham yang
dielaborasi lebih tegas oleh salah seorang muridnya yakni
John Austin dalam bukunya The province of jurisprudence
determined (1832), mengemukakan bahwa hukum
merupakan perintah penguasa (kedaulatan) yang
dilengkapi dengan ancaman dan harus dipatuhi oleh
banyak orang atau masyarakat umum.
Menurut John Austin bahwa hukum adalah
seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak
langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga
masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik
independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas
24
tertinggi. Dengan kata lain, hukum merupakan komando,
perintah dari yang berdaulat. Hukum mewajibkan
serangkaian tindakan atau mendorong suatu kewajiban dan
diikuti sebuah sanksi. Dengan demikian, perintah,
kewajiban, dan sanksi merupaka tiga unsur penting dalam
mendefinisikan hukum. Artinya, hukum yang mencirikan
atau meliputi tiga elemen penting ini disebut hukum
positif. Sehubungan dengan itu, definisi John Austin
setidaknya menggambarkan paham positivisme dimaksud.
John Austin membedakan antara hukum positif,
moralitas positif dan jenis-jenis lain aturan yang disebut
hukum. Memang definisi Austin demikian juga tidak luput
dari kritikan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
pertama, tidak semua hukum adalah perintah, kedua
kebanyakan hukum memberikan kesempatan daripada
pembatasan (ini berarti bukan sebuah kewajiban). Ketiga,
hukum bukan sanksi semata yang membuat patuh hukum
tetapi juga ada faktor lain. Kelemahan lainnya bahwa
definisi John Austin demikian ini tidak mencakup
kebiasaan dan hukum internasional karena keduanya ini
tidak mempunyai esensi hukum sebagaimana menurut
definisi John Austin. Secara lengkap, Austin mengabaikan
aspek sosial dan faktor psikologis yang memang menjamin
ketaatan seseorang terhadap hukum.
Kemudian Hans Kelsen yang menggunakan
pendekatan the pure theory of law, dapat juga
dikategorikan sebagai positivis. Meskipun ia menganut
aliran positivisme hukum, namun agak berbeda pendapat
25
dengan sarjana sebelumnya karena ingin memberikan jalan
tengah antara hukum alam dan positivisme hukum.
Menurut Hans Kelsen, hukum tidak dibatasi oleh
pertimbangan moral seperti yang dianut dalam mazhab
hukum alam.6
Menurut A.P. d‟Entreves,7 teori positivisme hukum
dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu: (i)
imperativisme, yaitu hukum merupakan perintah
kekuasaan yang didukung oleh suatu kebiasaan; (ii)
normativisme, yaitu hukum merupakan kumpulan normanorma; dan (iii) realisme (realism), yaitu hukum
merupakan produk manusia yang selalu berkaitan dengan
dunia nyata. Dari ketiga jenis teori tersebut, yang paling
mendapat perhatian besar adalah realisme hukum.
Jika dalam teori hukum positif, pengertian positif
bersifat “tekstual,” maka dalam teori realisme hukum,
pengertian positif bersifat “kontekstual.”
Lain lagi
menurut Oliver Wendell Holmes, Jr. (1841-1935) yang
dalam bukunya The common law (1881), dikatakan hukum
bukan semata teks dan kontekstual tetapi hukum lebih
mudah dimengerti dalam praktik sebagaimana yang
dijalankan oleh institusi peradilan, kantor pengacara, dan
6
Asshiddiqie, J dan Safa‟at, a., 2006. Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum. sekretariat jenderal & kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
R.I. Jakarta.
7
Lihat A.P. d‟Entreves, 1951. Natural law: An introduction of legal
philosophy
26
kantor polisi daripada mempelajari rangkaian aturan yang
tertera dalam dokumen.
I.2.3 Definisi Sosiologis
Sarjana yang pandangannya dapat diklasifikasikan ke
dalam definisi sosiologis adalah Nathan Roscoe Pound
(1870-1964). Ia berpandangan bahwa hukum berasal dari
negara/pemerintah
sebagai
penguasa
karena
negara/pemerintah perlu mengatur berbagai kepentingan,
baik kepentingan publik maupun kepentingan privat.
Meskipun demikian, Pound yang merupakan pioner dalam
gerakan pembangunan hukum untuk tujuan sosial
(sociological jurisprudence), mengemukakan teorinya
bahwa hukum mencerminkan kemauan negara/pemerintah
untuk mengatur masyarakat dalam rangka melakukan
perubahan sosial (social engineering) dan pengendalian
sosial (social control). Lebih jauh dikatakan bahwa
berbagai perubahan sosial masyarakat harus dikendalikan
agar perubahan tersebut membawa manfaat yang lebih
baik.
Dikaitkan dengan perkembangan hukum, pemikiran
Pound mempengaruhi praktik kenegaraan yang misalnya
dalam pembuatan peraturan perundang - undangan tidak
mengakomodasikan hukum asli masyarakat setempat atau
dikenal adat. Selain itu, dalam praktik kenegaraan,
pemikiran Pound juga berpengaruh kuat karena hanya
sedikit inisiatif pembentukan undang-undang yang berasal
dari lembaga legislatif. Pandangan Pound tersebut yang
juga menganut paham realisme hukum, sangat berpengaruh
27
terhadap perkembangan sistem hukum dan sistem
peradilan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Salah
satu bentuk penerapan dari pemikiran Pound yaitu di
Amerika Serikat dengan pengembangan Criminal Justice
System (CJS) yang mutlak berasal dari keinginan
pemerintah untuk menciptakan keadilan dengan
mengintegrasikan sistem peradilan.
Menurut aliran sosiologis, Nathan Roscoe Pound,
memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:8
1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum
(hubungan antara manusia dengan individu
lainnya, dan tingkah laku para individu yang
mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial,
atau tata ekonomi).
2. Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar
kewenangan dari putusan-putusan pengadilan
dan tindakan administratif (harapan-harapan atau
tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu
ataupun kelompok-kelompok manusia yang
mempengaruhi
hubungan
mereka
atau
menentukan tingkah laku mereka).
Hukum bagi Rouscoe Pound adalah sebagai “Realitas
Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum &
hukum adalah sarana utamanya. Sedangkan menurut
Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the
8
Ilmu hukum76.wordpress.com/2008/04/14/beberapa-definisi-hukum/
28
widest sense of the term, as secured by the power of the
states through the means of external compulsion (Hukum
adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas,
yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui sarana
paksaan yang bersifat eksternal). Sedangkan Bellefroid
berpendapat bahwa: “Hukum yang berlaku di suatu
masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan
atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu”.
Dalam aliran Realis, Holmes berpendapat bahwa The
prophecies of what the court will do are what I mean by
the law (apa yang diramalkan akan diputuskan oleh
pengadilan, itulah yang penulis artikan sebagai hukum).
Sedangkan menurut Salmond: Hukum dimungkinkan
untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang
diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan.
Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan
yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.
Selain aliran sosiologis dan Realis, dari segi
Antropologis, melalui Schapera: Law is any rule of
conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah
setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan
oleh pengadilan). Sedangkankan menurut Gluckman: Law
is the whole reservoir of rules on which judges draw for
their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan
di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).
29
BAB II
APAKAH TEORI HUKUM ITU
II.1 Pengertian Teori Hukum
Apakah Teori? Penulis sering mengatakan di berbagai
tempat dan kesempatan ketika ada diskusi yang
menyangkut Teori. Pertanyaan awal yang juga sering
dikemukakan dalam diskusi itu adalah apa teori itu. Untuk
mejelaskannya, tentu perlu disinggung lebih dahulu
tentang makna kata teori yang kadangkala secara tidak
sengaja terdengar atau mendengar dari pernyataan orang,
misalnya ”Itu hanya teori saja, praktiknya berbeda”. Dalam
percakapan sehari-hari demikian, orang cenderung
menggunakan kata teori untuk mengartikan sebagai
pengetahuan umum, ada juga diartikan sebagai sesuatu
yang masih spekulatif, misalnya orang mengatakan
”penulis mempunyai sebuah teori tentang sesuatu”. Teori
dimaksud pertama tentu bukan teori yang sedang dibahas
dalam tulisan ini mengingat teori dalam bahasan ini adalah
teori ilmiah sebagai disebut kedua sehingga perlu
dibuktikan atau didukung data mutakhir.
Dalam konteks ilmiah, ilmuwan menggunakan istilah
teori untuk mengartikan sebuah pernyataan dari hubungan
antara dua atau lebih fenomena atau variabel yang dapat
diuji kebenarannya. Artinya, sebelum sampai pada teori
berarti telah ada proses verifikasi yang memungkinkan
untuk menemukan penjelasan tentang hubungan-hubungan
dua atau lebih fenomena tertentu dimaksud, dan melalui
30
pengujian berulang-ulang menunjukka bahwa hubungan
dimaksud teruji hingga pada kesimpulan yang dinyatakan
dengan sebuah pernyataan. Pernyataan dimaksud
merupakan penjelasan padat yang harus dikatakan,
meskipun pernyataan itu masih terbuka dan dapat
diverikasi atau dinegasikan. Dengan demikian, untuk pada
sampai pada teori tertentu, maka teori itu sebenarnya
mempunyai komponen atau bagian-bagian yang terbuka
untuk pengujian, falsifikasi, dan verifikasi. Komponen
dimaksud adalah proposisi, konsep-konsep, definisidefinisi, dan hipotesa.
Proposisi merupakan pernyataan-pernyataan tentang
ciri kenyataan dimana ciri dimaksud menggambarkan
hubungan antara dua atau lebih fenomena atau peristiwa.
Misalnya, manusia adalah suatu makhluk dan harus makan
jika ingin hidup”. Ini merupakan pernyataan yang amat
proposional dan dengan amat mudah untuk diuji
kebenarannya. Pada tataran yang lebih tinggi, sosiolog
mungkin mengatakan bahwa” Perubahan dalam struktur
ekonomi akan menghasilkan perubahan-perubahan aspek
nonmaterial dalam mayarakat”. Kebenaran pernyataan
demikian ini juga mudah untuk dilakukan pengujian.
Konsep merupakan sebutan-sebutan yang diberikan
atau ditujukan pada peristiwa-peristiwa, fenomena, dan
proses-proses tertentu. Dengan demikian, konsep-konsep
dimaksud merupakan simbol-simbol dan biasa digunakan
ilmuwan sebagai bentuk singkat yang menggambarkan
suatu proses, fenomena, atau perisitiwa. Masing-masing31
masing konsep mengkomunikasikan sebuah rangkaian
pengalaman yang telah diabstraksi dan diklarifikasikan
bagi mereka yang memahami istilah itu sendiri. Misalnya,
status. Status ini merupakan sebuah konsep yang merujuk
pada posisi seseorang dalam masyarakat, ada kemungkinan
ia berada pada tataran tinggi, tengah, rendah. Tataran
demikian ini oleh Max Weber dimaknai sebagai tiga skala,
skala ekonomi, politik, dan prestise. Jadi, konsep dapat
diartikan lebih dari tataran rangking.
Definisi dapat dipandang sebagai turunan teori. Jika
diperhatikan, teori yang dipandang sebagai alat jawab
sementara terhadap permasalahan, juga penuntun dalam
mengklasisifikasi informasi ke dalam data, serta sebagai
alat analisis terhadap data yang terkumpul, maka definisi
merupakan batasan dari suatu pengertian tentang sesuatu
sehingga sesuatu yang dimaksud dapat dimasukkan ke
dalam data. Ada dua tipe definisi yang umum didiskusikan,
pertama, definisi nominal. Definisi nominal merupakan
pengganti dari beberapa obyek kongkrit. Misal kata-kata
mobil sport, dalam faktualnya didefinisikan sebagai sebuah
mobil yang memiliki bentuk langsing, ramping, roda karet
radial dengan kecepatan tinggi. Kedua, definisi riil.
Sementara definisi riil merupakan fenomena yang dapat
diamati, kasad inderawi, dan mempunyai implikasi riil,
dapat diuji, empiris, nyata. Misalnya, presiden mempunyai
status tinggi. Status tinggi ini secara inderawi dapat
diamati, misalnya kemewahan kantornya, mobil dinasnya,
dan dapat diuji pula bagaimana ia mempunyai kekuasaan
32
ekonomi dan politik mengatur rakyat. Artinya, definisi riil
merupakan gambaran yang terikat pada dunia nyata.
Hipotesa merupakan pernyataan yang merangkai
hubungan antara dua atau lebih faktor-faktor atau
peristiwa-peristiwa, misalnya hujan turun menyebabkan
jalan basah. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah
hipotesa merupakan turunan atau diturunkan dari teori dan
mencoba membuat pernyataan umum dan spesifik. Dari
uraian tersebut di atas, konstruksi teori dapat dilakukan
melalui empat tahap. Pertama; penyebutan suatu fenomena
sebagai konsep; kedua, mendefinisikan konsep ke dalam
istilah yang lebih kongkrit dan dapat diamati; ketiga,
menyatakan asumsi tentang hubungan antara konsepkonsep; keempat, diturunkan secara logis ke dalam sebuah
hipotesa dan mengujinya.
Namun
sebelumnya,
perlu
dikemukakan
definisi tentang "teori" itu sendiri yang dikemukakan oleh
sarjana-sarjana, diantaranya sebagai berikut:9
1. Fred N. Kerlinger. Teori adalah sekumpulan
konstruksi (konsep, definisi, dan dalil) yang saling
terkait yang menghadirkan suatu pandangan secara
sistematis tentang fenomena dengan menetapkan
hubungan di antara beberapa variabel, dengan
maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena.
9
Pandangan tersebut dapat dibaca pada James A. Black dan Dean J.
Champion ( 1992). Sementara pandangan Nasution dapat dibaca pada
. S. Nasution (1995) dan Kartini Kartono pada Kartini Kartono (1990).
33
2. Braithwaite. Teori adalah sekumpulan hipotesis yang
membentuk suatu sistem deduktif, yaitu yang
disusun sedemikian rupa, sehingga dari beberapa
hipotesis yang menjadi dasar pikiran beberapa
hipotesis semua hipotesis lain secara logis
mengikutinya.
3. Jack Gibbs. Teori adalah sekumpulan pernyataan
yang saling berkaitan secara logis dalam bentuk
penegasan empiris mengenai sifat-sifat dari kelaskelas yang tak terbatas dari berbagai kejadian atau
benda.
4. S. Nasution. Teori adalah susunan fakta-fakta yang
saling berhubungan dalam bentuk sistematis
sehingga dapat dipahami. Fungsi dan peranan teori
dalam penelitian ilmiah, mengarahkan, merangkum
pengetahuan dalam sistem tertentu, serta meramalkan
fakta.
5. Kartini Kartono. Teori adalah suatu prinsip umum
yang
dirumuskan
atau
diformulasikan
untuk menerangkan sekelompok gejala gejala yang
saling berkaitan.
Kemudian, setelah mencoba mengerti teori,
pertanyaan berikutnya adalah Apakah Teori Hukum Itu?
Pertanyaan tersebut hingga kini masih terdapat perbedaan
pandangan di antara para pengemban teori hukum. Hal ini
hampir selalu berkaitan dengan titik tolak filsafat (hukum)
yang dipilih. Dengan sedikit berlebihan dapat dikatakan
bahwa tiap filsafat hukum memiliki pandangan sendiri
34
tentang teori hukum. Di lain pihak beberapa teori hukum
juga memiliki implikasi-implikasi kefilsafatan (hukum).
Hal ini tampak jelas misalnya pada apa yang dinamakan
teori hukum empirik, yang sangat berorientasi pada aliranaliran tertentu dari filsafat ilmu modern. Menurut
pandangan hukum empirik ini ilmu hukum harus diemban
dengan bantuan metode-metode empirik.10
Definisi berbeda tersebut menggambarkan bahwa
sangat sukar untuk memberikan suatu definisi dari teori
hukum yang dapat mencakup semua makna diterima oleh
semua pihak. Perbedaan ini terjadi karena secara umum
berkaitan dengan berbagai aliran dalam teori hukum yang
menganut pandangan yang berbeda tentang teori hukum.
Namun penulis berpendapat teori hukum itu dapat
dikategorikan secara singkat menjadi dua, yaitu teori
hukum diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang
berkaitan dengan hukum dan kedua teori hukum sebagai
pernyataan ilmiah, yag uraiannya dapat disimak pada
subbab-subbab di bawah.
II.2 Jenis-Jenis Teori Hukum
Secara umum, banyak aliran dalam teori hukum
diantaranya: 1) Teori hukum empirik yang membicarakan
pengembanan ilmu hukum (pembentukan dan penemuan
hukum), 2) Teori hukum fungsional, misalnya dari
gurubesar Rotterdam, J. ter Heide, Ajaran teori itu
10
Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Hukum Empiris
Murni.Jakarta: Usakti Press.
35
berintikan pandangan bahwa berfungsinya hukum dapat
dipahami sebagai pengartikulasian suatu hubungan yang
ajeg di antara sejumlah variable. Ter Heide menyatakan
hubungan tersebut dalam rumus (formula) “B=fPE”, yang
berarti perilaku para yuris, hakim, pembentuk undangundang, warga masyarakat (B) berada dalam suatu
hubungan yang ajeg (f) terhadap di satu pihak berbagai
kaedah hukum (P) dan di lain pihak lingkunganlingkungan konkret (E).
Dengan cara ini diperoleh suatu pemahaman (insight)
tentang berfungsinya hukum, dalam arti bahwa ia dipahami
sebagai suatu “data” (keterberian). Dalam suatu konteks
kemasyarakatan, yang di dalamnya tidak hanya keadaankeadaan (lingkungan) faktual, tetapi juga kaedah-kaedah,
harapan-harapan, asas-asas mempunyai arti penting.
Dengan latar belakang tersebut, Ter Heide menunjukkan
bahwa tindakan yuridis (perbuatan hukum) itu tidak hanya
menerapkan kaedah-kaedah tetapi juga menetapkan
kaedah-kaedah, ia menciptakan harapan-harapan, ia
megartikulasi “makna” yang terkandung dalam suatu
cakrawala pengalaman tertentu.
Selanjutnya, misal Teori Sistem, di Jerman teori
sistem ini dikembangkan oleh yuris-sosiolog Nikolas
Luhmann dan di Belanda dipropagandakan oleh guru besar
Hukum Tata Negara dari Utrecht, yakni M.C. Burkens.
Menurut teori sistem ini, hukum harus dipahami dengan
latar belakang masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Manusia-manusia hidup dalam berbagai hubungan antara
36
yang satu dengan yang lainnya dan mempunyai harapanharapan tentang perilaku masing-masing dan tentang
reaksi-reaksi masing-masing terhadapnya.
Menurut pandangannya, fungsi dari sistem itu adalah
mereduksi kompleksitas (kemajemukan) ini menjadi
struktur-struktur yang kurang-lebih jelas kerangka
umumnya (overzichtelijk). Dengan cara itu kehidupan
menjadi tertata dan kepastian di dalam masyarakat dapat
diciptakan. Sistem itu memperlihatkan sejumlah besar
bentuk-bentuk, misalnya politik, ekonomi, ilmu, hukum.
Daya jangkau dari hukum adalah secara umum untuk
memungkinkan berfungsinya semua sistem (yang lain).
Untuk itu maka hukum harus mengupayakan bahwa di
dalam masyarakat tersedia keputusan-keputusan (hukum)
yang mengikat. Hukum mengambil dari masyarakat pada
satu pihak berbagai keterberian atau data (“input”) dan
mengolahnya menjadi keputusan-keputusan (“output”)
pada pihak lain.
Dalam arti demikian, maka harapan-harapan yang
kompleks direduksi menjadi aturan-aturan hukum yang
dapat diperhitungkan (dipredik) dan berkerangka umum.
Sementara itu, kita tidak boleh mengacaukan pengertian
“sistem” dalam teori hukum ini dengan pengertian “sistem
hukum”. Dengan yang terakhir ini Koesnoe maksudkan
adalah suatu konstruksi (teoretikal), yang di dalamnya
berbagai kaedah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan
logik-konsisten menjadi suatu kesatuan tertentu. Dalam
model Luhmann dinyatakan suatu interprestasi tertentu
37
tentang kenyataan empirical dari hukum. Karena itu,
teorinya juga mempunyai arti penting untuk sosiologi
hukum. Dalam suatu sistem hukum, persoalannya
sesungguhnya lebih untuk merumuskan suatu “pengertian
hukum” tertentu. Contoh dari teori yang demikian itu kita
temukan dalam Reine Rechtslehre dari Hans Kelsen.
Menurut pandangan ini, hukum dipahami sebagai sejenis
“Stufenordnung”, sebagai suatu kesatuan yang konsisten.
Teori hukum politik dari R. Wietholter, guru besar
dari Frankrut, di Belanda meskipun tidak banyak
menemukan gemanya namun tujuannya adalah untuk
membebaskan
hukum
dari
keabstrakannya
dan
menonjolkan implikasi-implikasi politik dari hukum itu.
Hukum dipandang sebagai kategori politik, sebagai suatu
sarana untuk mewujudkan suatu pergaulan hidup yang baik
dan adil. Di sini diungkapkan bahwa hukum itu bukan
gejala bebas nilai yang netral, tetapi bahwa di dalamnya
diyatakan perkaitan immanen dengan politik. Hukum itu
selalu merupakan resultat (produk) dari proses politik.
Teori hukum politik menginginkan antara lain
memantapkan perhatian pada hal tersebut.
II.3 Fungsi Teori Hukum
Setelah sampai pada pemahaman apa teori hukum itu,
tampaknya pelu juga disampaikan lebih dahulu fungsi teori
secara umum dan teori hukum pada khususnya mengingat
ada kemungkinan sebagian dari kita belum memahami
dengan baik posisi teori dalam karya ilmiah atau pada
penerapan kasus kongkrit sehingga sering pada tulisan
38
lainnya yang diharapkan ilmiah tetapi justru kurang ilmiah
gara-gara pemahaman teori itu sendiri. Sehubungan dengan
itu, perlu diketahui bahwa dalam karya ilmiah lebih-lebih
penelitian keberadan teori menjadi penting.
Sebenarnya tanpa teori hanya ada seperangkat
pengetahuan tentang fakta-fakta saja yang tentu tidak akan
menghasilkan pengetahuan baru. Lebih-lebih teori dalam
kegiatan penelitian empiris karena teori-teori itu
mempunyai fungsi penting. Fungsi penting teori
dimaksud11, pertama, teori berfungi sebagai alat
penggeneralisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, dalam
konteks ini teori menyimpulkan hubungan korelai antara
fakta-fakta secara induktif. Kedua, teori sebagai kerangka
penelitian, dalam konteks ini teori yang sudah mapan dapat
berfungsi sebagai pendorong proses berfikir yang bergerak
dari alam abstrak ke alam fakta-fakta kongkrit. Artinya,
teori berfungsi sebagai kerangka orientasi analisa dan
klasifikasi atas fakta-fakta yang dikumpulkan dalam
penelitian. Dengan demikian, teori dipakai sebagai
kerangka yang memberi pembatasan-pembatasan terhadap
fakta-fakta kongkrit yang tak terbilang banyaknya dalam
kenyataan kehidupan masyarakat, yang harus diperhatikan.
Ketiga, teori secara deduktif berfungsi sebagai alat
untuk memprediksi atau meramal mengenai fakta-fakta
11
Lihat Hassan dan Koentjaraningrat, 1989. “Beberapa Azas
Metodologi Ilmiah” dalam Koentjarangrat (ed.) Metode-Metode
Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, hlm.1-13
39
yang akan terjadi, mengingat sebenarnya teori merupakan
generalisasi abstrak dari fakta-fakta kongkrit sebelumnya
sehingga apabila terjadi fakta-fakta sejenis maka teori
dimaksud dapat digunakan sebagai alat prediksi. Artinya,
teori memberi prediksi terhadap gejala baru yang akan
terjadi. Keempat, teori juga berfungsi sebagai alat untuk
mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang
gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi. Secara
deduktif, fungsi teori demikian ini tidak jauh berbeda
dengan ilmu sejarah, bahkan pada dasarnya fungsi teori
demikian ini juga sama dengan teori untuk meramalkan
akan timbulnya gejala-gejala baru. Di dalam struktur ilmu
pengetahuan, teori dipandang sebagai alat penjelas
mengenai suatu fenomena tertentu dari dari sudut pandang
sebuah disiplin keilmuan tertentu pula. Menusut penulis,
dalam konteks proposal, teori digunakan sebagai alat
jawab sementara terhadap tesis atau research question,
dalam dalam konteks penelitian sebagai penuntun dan
penyaring informasi menjadi data, dan terakhir sebagai alat
analisa.
Dalam konteks disiplin ilmu hukum, terutama
perkembangan teori argumentasi hukum misalnya, sejak
tiga puluh tahun lalu studi argumentasi telah menjadi
bagian penting dalam penelitian hukum. Teori argumentasi
hukum ini biasa digunakan pada putusan-putusan huum
hakim dimana sebelumnya, peneliti dari beragam tradisi
sedang berusaha menjelaskan ciri-ciri struktural tentang
pembuatan putusan hukum dan justifikasi dari sudat
40
pandang berbeda. Penekun-penekun tradisi logis tertarik
pada masalah-masalah mengenai validitas legal reasoning.
Penekun-penekun dalam tradisi retorika menganalisa
pembuatan putusan hukum sebagai proses persuasi dan
pendekatannya didasarkan pada teori argumentasi dari Van
Eemeren dan Grootendorst, dimana legal argumentation
dianalisa sebagai bagian dari diskusi kritis.
Dalam diskusi kritis itu, salah satu topik sentralnya
adalah perkembangan instrument untuk merekonstruksi
argumentasi dalam putusan hukum. Untuk itu, kajiannya
difokuskan pada rekonstruksi tipe-tipe argumentasi,
misalnya agumentasi interpretasi yang digunakan untuk
menyelesaikan problem-problem interpretasi berkenaan
dengan hukum. Persoalan sentralnya adalah bagaimana
seseorang dapat mencapai analisis dan evaluasi
argumentasi interpretasi.
Penulis akan membawa audiens pada teori
interpretasi dan argumentasi, terutama ketika seorang
hakim menyelesaikan suatu problem interpretasi dalam
upaya memutus suatu kasus hukum kongkrit. Sebenarnya,
hakim dapat memilih argumentasi interpretasi yang
berbeda untuk membenarkan putusannya. Idealnya,
argumentasi-argumentasi dimaksud dapat diakui dalam
pemebenaran terhadap putusan hukum. Bagi para hakim
bukan hanya diwajibkan untuk menyelesaikan problem
interpretasi, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk
menyatakan alasan-alasan terhadap persoalan-persoalan
interpretasional.
41
Namun dalam praktik, alasan-alasan dimaksud tidak
selalu dipresentasikan secara eksplisit, dan tidak dalam
bentuk yang terstruktur. Kadang-kadang, hakim tidak
menyatakan semuanya bahwa itu sebenarnya perlu untuk
menjustifikasi putusannya, dan pada saat lain hakim justru
membangun argumentasi yang berlebihan untuk
menjustifikasi putusannya. Bagi pengamat kritis yang
berkeinginan untuk mengevaluasi alasan-alasan dimaksud
justru harus menyelesaikan sejumlah rekonstruksi
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kasus hukum
kongkrit dimaksud.
Misalnya, Pertama, ia harus mengidentfikasi
argumentasi-argumentasi sebanyak mungkin. Ini berarti
bahwa ia harus menetapkan hasil identifikasi jika pada titik
tertentu dalam argumentasi putusan dianggap sebagai
bukti, maka fungsi argumentasi hukum terpenuhi. Kedua,
ia harus menginterpretasi argumentasi-argumentasi hukum.
Ini berarti bahwa ia harus menentukan propisisi yang harus
dipertahankan sebagai titik bahasan yang ditujukan sebagai
argumentasi secara eksplisit. Ketiga, ia harus menganalisis
argumentasi, yang berarti bahwa ia harus menguji apa yang
terungkap dalam argumentasi tersebut.
Satu hal yang penting dalam diskusi sekarang ini
adalah poblem kritis berikutnya, yaitu bagaimana penekun
atau pengamat hukum menemukan kriteria yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi justifikasi intepretasi
putusan hakim. Misalnya, apa saja yang menjadi kebiasaan
argumentasi interpretasi itu digunakan dan kapan
42
argumentasi interpretasi dapat diterapkan secara benar.
Dalam tulisan ini, untuk menjawab itu sebenarnya penulis
memperkenalkan sebuah teori yang dapat dikatakan
mutakhir dalam kajian hukum. Teori dimaksud
dimaksudkan sebagai alat untuk menganalisis dan
mengevaluasi argumentasi interpretasi dalam putusan
hukum. Teori dimaksud dikenal dengan Teori Argumentasi
Hukum Dialektika Pragma.12
Teori dialektikal pragma merupakan studi
argumentasi yang menggunakan pendekatan empat premis
utama, dimana masing-masing pendekatan berangkat dari
perspektif argumentasi. Sedangkan ciri-ciri argumentasi
teori dimaksud adalah sosialisasi, fungsionalisasi,
eksternalisasi, dan dialektika.
Pertama, sosialisasi dalam konteks ini adalah bahwa
argumentasi diambil dalam konteks sosial ketika ada
proses penyelesaian masalah. Argumentasi ini merupakan
bagian dari proses interaksi antara dua atau lebih pengguna
bahasa. Dalam analisa interpretasi argumentasi,
perhatiannya ditekankan pada klaim (claim) dan klaim
balik (counter claim) pihak-pihak yang berbeda dalam
diskusi hukum. Perhatiannya, khususnya dapat diarahkan
pada apa yang dilakukan oleh hakim dalam putusannya
mengingat dalam diskusi yuridis, tugas hakim adalah
menggunakan hukum sebagai sebuah sistem aturan.
12
Teori ini diperkenalkan oleh Harm Kloosterhuis, 2006.
Reconstructing Interpretative Argumentation in Legal Decisions A
pragma-dialectical Approac. Amsterdam: Rozenberg.
43
Kedua, fungsionalisasi dimana deskripsi yang
memadai dan evaluasi argumentasi hanya dapat diberikan
jika ada interaksi. Artinya, teori ini mengonsentrasikan
pada fungsi dalam upaya mengelola penyelesaian
ketidaksetujuan-ketidaksetujuan argumentasi dimaksud.
Dalam penyelesaian problem interpretasi, seorang hakim
menggunakan argumentasi fungsional pada saat ada
interaksi antara argumentasi hukum satu dan yang lain.
Ketiga, eksternalisasi, pada poin ketiga ini kita harus
memfokuskan pada posisi para pihak sekaligus posisi
hakim, apakah posisi hakim telah diungkapkan secara
eksplisit dalam putusan hukumnya.
Keempat, dialektifikasi. Dalam point ini yang
dimaksud adalah rasionalitas dimana suatu argumentasi
merupakan kemampuan mengakomodasi reaksi kritis yang
berkembang. Untuk menegaskan apakah argumentasi
dalam putusan hukum suatu kasus dapat dipandang sebagai
bagian dari diskusi yang dilakukan sesuai dengan kriteria
diskusi kritis. Tentu, selain persoalan substansi
akseptabilitas premis dan persoalan formal tentang
validitas logis dalam membangun interpretasi, juga yang
perlu diperhatikan adalah apakah dalam kasus kongkrit
argumentasi interpretatif merupakan cara paling baik untuk
menyelesaikan problem interpretasi.
II.4 Konsepsi dan Jenis Hukum
Satu hal yang perlu dipahami, apakah perbedaan antara
teori dan konsep? Sebelum sampai pada tataran ini penulis
bermaksud menampilkan konsep-konsep hukum yang
44
berkembang. Konsep-konsep dimaksud dapat dipetakan
secara lengkap seperti pada tabel berikut di bawah ini.
Pada peta konsep hukum di bawah dapat dibaca bahwa,
pertama, hukum dipandang sebagai asas-asas kebenaran
dan keadilan kodrati dan berlaku universal yang berada
dalam kajian filsafat hukum. Sementara, logika yang
digunakan dalam penelitian adalah logika-deduksi yang
berpangkal pada premis normatif, penekunnya dapat
dikategorikan sebagai pemikir mengingat berorientasi ke
filsafat. Artinya, hukum merupakan azas moralitas atau
azas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian
inheren sistem hukum alam, atau bahkan tak jarang
dipandang
sebagai
bagian
dari
kaedah-kaedah
supranatural.
Kedua, hukum dipandang sebagai norma-norma
positif di dalam sistem perundang-undangan hukum
nasional, tipe kajian diarahkan pada ajaran hukum murni
yaitu hukum sebagaimana tertulis dalam buku (law as it is
written in the books).
45
No
1.
2.
3.
Konsep
Hukum
sebagai
kebenaran,
prinsip, dan
nilai universal
sebagai apa
yang tertulis
dalam buku,
undangundang.
sebagai apa
yang
diputuskan
oleh hakim
lewat proses
peradilan
Tipe Kajian
Logika
Penekun
Kebenaran
Filsafat Hukum
Legal Philosophy
Deduksi, etik
Kontemplator
Phenomeno logy
personal
Hukum murni
Pure of law,
Doctrinal
Deduksi, etik
Ahli Hukum,
Kontinental
Positivism
documenta tion
Hukum terapan
ke dalam,
Doctrinal
Deduksi,
Ahli Hukum,
Induksi, Etik, Anglo-Saxon
Internal
Emik
Positivism
Application Internal
46
4.
sebagai apa
Hukum terapan
Deduksi,
yang berlaku
ke luar,
Induksi,
dalam
Doctrinal-Non
Etikkehidupan
Doctrinal
Eksternal
sosial
Emik
5.
sebagai apa
Sosiologi Hukum, Induksi,
yang ada
Non Doctrinal
Emik
dalam
masyarakat
secara
terlembaga
6.
sebagai apa
Antropologi
Induksi,
yang ada
Hukum, Non
Emik
dalam
Doctrinal
Grounded
interaksi
Sumber: dikembangkan dari Wignyosoebroto, 1992.
Ahli Hukum,
Pengamat
dalam Ilmu
Hukum
Positivism
Application external
Ilmuwan,
sosiolog
Hukum,
Positivism
Ilmuwan,
Antropolog
Hukum
Phenomeno logy
47
Tentu, pengkajiannya menggunakan metode
penelitian doktrinal dengan logika deduktif mengingat
kajian dimaksud bertujuan untuk membangun sistem
hukum positif. Para penekunnya adalah para ahli hukum
kontinental. Ini berarti bahwa hukum merupakan kaedah
positif yang berlaku umum pada suatu waktu tertentu dan
di suatu wilayah tertentu dan menjadi sumber suatu
kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi atau lebih
dikenal dengan hukum nasional atau hukum negara yang
berorientasi filsafat posivistis.
Ketiga, hukum dipandang sebagai apa yang
diputuskan oleh hakim in cincreto (judge-made-law). Arah
kajian
menuju
kepada
American
Sociological
Jurisprudence atau mengkaji law as it is decided by judges
through judicial prosess dengan metode kajian doktrinal.
Namun demikian, juga non-doktrinal bersaranakan logika
induktif untuk mengkaji court behaviours, penelitinya
american lawyer dan orientasinya behaviour sociopsichologik. Ini berarti bahwa hukum merupakan
keputusan-keputusan yang diciptakan oleh hakim in
concreto. Hal ini dapat dilihat dalam proses peradilan
sebagai bagian dari upaya hakim untuk menyelesaikan
perkara mengingat keputusan dimaksud mempunyai
kemungkinan dijadikan sebagai preseden bagi perkaraperkara berikutnya.
Keempat, hukum merupakan pola-pola perilaku
sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel sosial
48
empiris, tipe kajiannya sosiologi hukum mangkaji “law as
it is in society” dengan menggunakam metode kajian nondoktrinal dengan pendekatan yang terkuantifikasi. Peneliti
demikian ini biasa disebut sosiolog hukum. Artinya,
hukum merupakan institusi sosial riil dan fungsional di
dalam sistem kehidupan masyarakat, baik dalam proses
pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun
dalam proses-proses pengarahan dan pembentukan pola
perilaku yang baik.
Kelima, hukum merupakan manifestasi maknamakna simbolik para pelaku sosial sebagai tampak dalam
interaksi antar mereka, tipe kajiannya sosiologi dan/atau
antropologi dengan menggunakan kajian non-doktrinal.
Analisis yang digunakan adalah kualitatif mengingat
orientasinya kepada simbolik interaksional. Artinya,
hukum merupakan makna-makna simbolik sebagaimana
termanifestasi dalam dan dari interaksi warga masyarakat.
Konsep pertama, kedua dan ketiga dalam literatur
hukum disebut sebagai konsep-konsep normatif. Dalam
konsep normatif ini hukum adalah norma, baik yang
diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius
constituendum), ataupun norma yang telah terwujud
sebagai perintah eksplisit dan yang secara positif telah
terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin
kepastiannya. Selain itu, juga berupa norma-norma yang
merupakan produk dari seorang hakim (judgment) pada
waktu hakim itu memutuskan suatu perkara dengan
memperhatikan
terwujudnya
kemanfaatan
dan
49
kemaslahatan bagi para pihak yang berpekara. Karena
setiap norma baik yang berupa asas moral keadilan,
ataupun yang telah dipositifkan sebagai hukum perundangundangan maupun yang judgmade selalu eksis sebagai
bagian dari suatau sistem doktrin atau ajaran (ajaran
menyelesaikan perkara), maka setiap penelitian hukum
yang mendasarkan hukum sebagai norma ini dapat disebut
sebagai penelitian normatif atau doktrinal dan metodenya
disebut sebagai metode doktrinal.
Konsep keempat, kelima, dan keenam bukan
merupakan konsep normatif melainkan sesuatu yang
normologik dimana hukum di sini bukan dikonsepkan
sebagai rules tetapi sebagai keteraturan (regularities) yang
terjadi dalam kehidupan segari-hari atau dalam alam
pengalaman. Di sini hukum berupa tingkah laku atau aksiaksi dan interaksi manusia yang secara aktual dan potensial
akan terpola. Karena setiap perilaku atau aksi itu
merupakan suatu realitasosial yang terjadi dalam alam
pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian
yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai
tingkah laku atau perilaku dan aksi ini dapat disebut
sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau
penelitian non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian
keilmuan dengan maksud hanya hendak mempelajari saja
dan bukan hendak mengerjakan sesuatu doktrin sehingga
metodenya disebut sebagai metode non-doktrinal.
Untuk menguraikan dan menjelaskan masing-masing
metode yang doktrinal maupun yang non-doktrinal pada
50
setiap tipe kajian yang berjumlah lima disejajarkan dengan
lima konsep hukum yang telah dikemukakan di muka,
maka kelima tipe kajian tersebut ialah tipe-tipe kajian yang
(1) berupaya menemukan ius constituendum, (2) berupaya
menemukan ius cinstitutum, (3) berupaya menemukan
hukum yang judge made, (4) berupaya menemukan hukum
yang termanifestasi secara empiris sebagai suatu pola
perilaku dan yang mungkin telah terinstitusionalisasi, (5)
berupaya menemukan hukum sebagai fenomena simbolik
sebagaimana terwujud dalam aksi-aksi atau interaksi antar
manusia dalam masyarakat.
Dengan keanekaragaman konsep hukum tersebut di
atas selain menyebabkan juga keragaman tipe kajian, juga
berimplikasi pada metodologinya sehingga metode
penelitian hukum itu pun menjadi beragam. Hal ini akan
dapat dijumpai dalam praktek pelaksanaannya. Namun
demikian, pada dasarnya metode dalam penelitian hukum
itu dapat dibedakan secara umum ke dalam dua kategori
penelitian, yaitu penelitian doktrinal dan non-doktrinal,
tetapi penulis membedakan antara penelitian hukum murni
(legal research, doctrinal), penelitian hukum sosiologis
(socio-legal research, non doktrnal), juga penelitian
hukum empiris murni (legal anthro research).13
13
Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian
Hukum Empiris Murni. Jakarta: Usakti Press
51
BAB III
ILMU HUKUM POSITIF
III.1. Pengetian Ilmu
Dalam mengawali penelusuran apa itu ilmu, perlu
ditampilkan lebih dahulu peta pengertian-pengertian ilmu
yang pernah disebutkan sejumlah sarjana, setidak-tidaknya
yang pernah penulis singgung dalam buku Pokok Pokok
Metodologi
Penelitian
Hukum
Empiris
Murni
14
sebelumnya . Di dalam Kata Pengantar buku itu juga
disebutkan bahwa ada perbedaan antara terminologi
metode dan metodologi. Perbedaan terminologi ini juga
penting untuk mengawali pembahasan apakah ilmu itu
mengingat disana telah tergambar implikasi perbedaan
kedua terminologi tersebut. Namun dalam awal tulisan ini
juga perlu dikemukakan pandangan sarjana lain tentang
perbedaan makna yang membawa implikasi metodologis
tertentu. Noeng Muhadjir, misalnya, menyebutkan bahwa
sering dicampuradukkan antara metodologi dan metode
sehingga dalam buku tertentu berjudul metodologi namun
isinya metode, yang langsung berisi pembahasan tentang
populasi, teknik sampling dan seterusnya15,.
14
Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian
Hukum Empiris Murni. Jakarta: Usakti Press.
15
Lihat Noeng Muhadjir, 1990. Metode Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Rake Sarasin, hlm. 24
52
Tentu, itu menjadi kerisihan sendiri bagi penstudi
filsafat ilmu yang hampir selalu menempatkan landasan
filsafat ilmu sebagai landasan standar metodologi yang
digunakan dalam penelitian. Jika tidak demikian,
dimungkinkan peneliti dimaksud akan menerapkan saja
pola penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh
sarjana sebelumnya, baik itu dalam skripsi, tesis, dan
disertasi atau laporan-laporan penelitian lainnya.
Kelemahan akan segera tampak ketika ada perubahanperubahan data lapangan dan yang membutuhkan
perubahan metodologi. Atau mungkin, ia juga tidak
mampu membangun argumentasi logis dan nalar jika ada
pertanyaan mengapa harus ada atau tidak ada judul,
mengapa harus ada permasalahan, mengapa permasalahan
dibentuk dalam kalimat pertanyaan, mengapa harus ada
kerangka teori, lokasi, dan seterusnya.
Jawaban atas pertanyaan mengapa demikian itu yang
membedakan antara metode dan metodologi. Pertanyaan
metode tidak memerlukan ilmu, sementara metodologi
menampilkan ilmu. Sehubungan dengan itu, tentu, satu
pertanyaan mendasar dalam konteks epistemologi adalah
apakah yang dimaksud ilmu itu. Sebelum menemukan
jawaban ini, ada beberapa kamus yang menyebutkan
padanan arti seperti dalam bahasa Inggris ditemukan
terminologi science (ilmu), dalam bahasa Latin ditemukan
terminologi scientie (pengetahuan), scire (mengetahui).
Sementara dalam kamus bahasa Indonesia Ilmu diartikan
sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
53
secara sistematis menurut metode-metode tertentu yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu.16
Selain itu, berbagai pengertian tentang ilmu juga
dapat dijumpai, misalnya dari pandangan sejumlah sarjana
sebagai berikut17:
1. Mohammad Hatta mendefinisikan ilmu sebagai
pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum
kausal dalam suatu golongan masalah yang sama
tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari
luar maupun menurut bangunannya dari dalam.
2. Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag mengatakan
bahwa ilmu adalah yang empiris, rasional, umum, dan
sistematik dan keempatnya serentak.
3. Karl Pearson mengatakan bahwa ilmu adalah lukisan
atau keterangan yang komprehensif dan konsisten
tentang fakta pengalaman dengan istilah yang
sederhana.
4. Asley Montaqu, Guru Besar Antropologi di Rutgers
University menyimpulkan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang
berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk
menentukan hakekat dan prinsip tentang hal yang
sedang dikaji.
16
Wihadi Admojo, 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, hlm. 324
17
Pandangan sarjana demikian ini dapat dijumpai pula pada Amsal
Bakhtiar, 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press, hlm. 15-16
54
5. Harsoyo, Guru Besar Antropologi di Universitas
Pajajaran menerangkan bahwa ilmu adalalah akumulasi
pengetahuan yang disistematikan, suatu pendekatan
atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia
empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan
waktu. Ia pada prinsipnya dapat diamati oleh panca
indera manusia, suatu cara menganalisis yang
mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan
sesuatu proposisi dalam bentuk Jika…, maka….;
6. Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia
mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan manusia
tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia
mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan
hukum-hukum, yang ketepatannya dan kebenarannya
diuji dengan pengalaman praktis.
7. Amsal Bachtiar menarik kesimpulan dari penjelasan
sarjana di atas bahwa yang dimaksud ilmu adalah
sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri dan syarat
tertentu, yaitu sistematik rasional, empiris, universal,
obyektif, dapat diukur, terbuka, dan komulatif.
Sementara dalam bidang kajian Filsafat Ilmu atau
biasa disebut sebagai ajaran tentang metode keilmuan atau
teori keilmuan (wissenschaftheorie) mengandung ajaran
meta ilmu berupa hakekat (ontologi), cara memperoleh
hakekat (epistemologi), dan kemanfaatannya (aksiologi).
Sehubungan dengan kandungan makna yang demikian itu,
selain pertanyaan apakah ilmu itu, maka pertanyaan
berikutnya adalah apakah hakekat ilmu itu, bagaimana
55
ilmu dimaksud dikonstruksi berikut batasan-batasannya,
dan bagaimana ilmu itu harus dipertanggungjawabkan.
Jika demikian halnya, dapat dikatakan bahwa ilmu
pada dasarnya merupakan refleksi mendasar tentang
hakekat yang di dalamnya termuat pengetahuan tentang
ilmu, wujud ilmu, dan kedudukan ilmu dimaksud di antara
ilmu-ilmu lain, cara menarik kesimpulan, dan sarana yang
diperlukan dengan cara dan alur berfikir ilmiah, serta
jangan lupa generalisasinya.
Pandangan-pandangan di atas dapat digolongkan ke
dalam pandangan statis, sementara pandangan yang
dinamis menyebutkan sebagaimana disampaikan oleh Paul
Friedmand dalam buku The Principles of Scientific
Research bahwa ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia
yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh
suatu pengetahuan tentang alam di masa lampau, kini dan
kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat
untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah
lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.18
Demikian pula pandangan Carles Siregar bahwa ilmu
adalah proses yang membuat pengetahuan.19 Ini berarti ia
menekankan pada sebuah proses bukan pada produk.
Sarjana lain yang senada dengan pandangan demikian
adalah Suryasumantri yang mengatakan bahwa ilmu lebih
18
The Liang Gie, 1977. Pekerjaan Umum, Keinsinyuran, dan
Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Karya Kencana, hlm. 163164
19
Ibid., hlm. 45
56
bersifat kegiatan daripada sekedar produk yang siap
dikonsumsikan.20 Sementara penulis sendiri menyebutkan
bahwa ilmu adalah proses penalaran yang bergerak
menurut alur dialog fikir tesis, anti tesis, dan sintesa.21
Dialog tesis dan antitesis merupakan proses berfikir
sementara sintesa adalah produk sehingga ilmu mencakup
proses berfikir sejak tesis, antitesis hingga sintesis.
Paradigma dinamis yang mendasari pengertian terakhir ini
yang digunakan untuk mewarnai uraian tulisan dalam buku
ini mengingat dengan cara demikian ini pula sebenarnya
dapat dibedakan antara ilmu dan pengetahuan bukan ilmu
pengetahuan.
Mari kembali ke alur untuk mengawali pemahaman
apa itu Ilmu, untuk itu di bawah ini diantarkan ke awal
pemahaman filsafat ilmu dari tiga konsepsi ilmu alam
(natural science), yaitu positivisme, realisme, dan
konvensionalisme. Analisis terhadap posisi ketiga konsep
ini perlu dilakukan dengan merujuk pada pandanganpandangan para penekun filsafat ilmu dari Anglo-America
yang memang telah mengembangkan dan mempertahankan
posisi keilmuan mereka dalam era abad keduapuluh.
Posisi-posisi yang mereka pertahankan dimaksud
mempunyai hubungan penting dengan pandangan sejarah
20
Lihat Jujun S. Suriasumantri, 1981. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta:
PT. Gramedia, hlm. 9
21
Lihat Saptomo, 2005 “Menunggu Kematian Ilmu Hukum” dalam
Pidato Ilmiah Dies Natalis ke 56, Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang.
57
dan filsafat ilmu, demikian juga dengan pergerakan
intelektual dan pemikiran filosofis pada umumnya.
Namun, dalam konteks filsafat ilmu dicoba memberi
uraian ringan posisi ketiga konsep tersebut.
Pertama, Positivisme. Kaum positivis memandang
bahwa ilmu merupakan upaya untuk memperoleh
pengetahuan prediktif dan eksplanatoris mengenai dunia
eksternal, sebuah dunia yang berada di luar dirinya. Dunia
luar dipandang sebagai sumber kebenaran sehingga ia
menuntun arah pikiran orang dimaksud. Untuk melakukan
ini, orang harus mengkonstruksi teori, yang terdiri dari
pernyataan-pernyataan umum, yang mengungkapkan
keteraturan hubungan yang didapatkan, memang ada, di
dunia ini. Pernyataan-pernyataan umum seperti misalnya
hukum, memberikan pemahaman kepada kita bahwa untuk
memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena yang kita
temukan dapat digunakan suatu sarana pengamatan
sistematis dan eksperimen-eksperimen laboratoris secara
teratur. Artinya, untuk menjelaskan sesuatu, seseorang
harus menunjukkan bahwa sesuatu itu merupakan
peristiwa yang berada dalam keteraturan atau keajegan,
dan kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi
sebelumnya atas dasar landasan atau pijakan yang sama.
Pernyataan-pernyataan
yang
mengungkapkan
keteraturan merupakan sebuah kebenaran yang memang
harus ada, jadi bukan sekedar persoalan logika dan bukan
pula diketahui dengan sarana apriori, tetapi pernyataanpernyataan itu kebenarannya diuji secara obyektif dengan
58
sarana eksperimen laboratoris dan pengamatan inderawi.
Langkah demikian ini merupakan sarana untuk
memperoleh kebenaran yang sumbernya berasal dari
kepastian, keteraturan, dan pengetahuan empiris.
Oleh sebab itu, tujuan ilmu sebagaimana apa yang
dilakukan positivis bukan ingin memperoleh apa yang ada
di belakang atau di luar fenomena yang terungkap melalui
pengalaman, dan bukan pula bertujuan untuk memberikan
pengetahuan yang memiliki sifat yang tidak dapat diamati,
atau esensi-esensi yang some how necessitate fenomena
demikian ini. Bagi positivis, yang penting adalah
keteraturan, dan keteraturan itu dapat ditampilkan secara
sistematis ke dalam hukum universal sehingga proses
keteraturan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk
menjelaskan suatu fenomena dan keberhasilan penjelasan
itu akan menghasilkan teori ilmiah.
Kedua, Realisme. Kaum realis memandang bahwa
ilmu merupakan proses bekerjanya sebuah struktur dan
mekanismenya suatu fenomena yang dikaji. Realis berbeda
dengan positivis mengingat ia amat membedakan antara
prediksi dan penjelasan sebagaimana rujukan kaum
positivis dalam mengejar kebenaran. Penjelasan, bagi
realis, merupakan unsur utama dalam ilmu, dan untuk
menjelaskan fenomena bukan dengan menunjukkan
keteraturan-keteraturan yang amat mapan (well-established
regulerities) sebagaimana positivis lakukan, tetapi dengan
mengkaji secara teliti hubungan antar fenomena ketika
59
struktur dan mekanismenya bekerja. Dengan melakukan
kajian demikian ini akan diperoleh pengetahuan esensi.
Artinya, dengan kerja seperti ini berarti perumusan
asumsi keberadaan entitas oleh realis, adalah bukan yang
teramati (observasi) dan prosesnya memang tidak biasa
bagi positivis yang mengandalkan eksperimen untuk
menemukan keteraturan. Dengan kata lain, realis dalam
upaya mencapai esensi melakukan apa yang diperoleh
bukan dari penampilan luar suatu fenomena atau benda
yang menjadi kajian tetapi esensi dari hubungan antar
fenomena. Dengan demikian, realis berpandangan bahwa
suatu pernyataan disebut sebagai suatu teori ilmiah apabila
ia merupakan gambaran hubungan esensi antara fenomena
satu dan yang lain.
Dengan kata lain, teori ilmiah merupakan suatu
deskripsi struktur dan mekanisme yang secara kausalitas
mengeneralisasi fenomena-fenomena yang teramati. Ilmu,
bagi realis, adalah sebuah deskripsi yang memberikan
kesempatan pada kita untuk menjelaskan. Untuk itu, realis
mampu menjawab pertanyaan mengapa (why) suatu
peristiwa dapat terjadi. Pertanyaan mengapa ini jelas tidak
dapat dijawab oleh positivis karena argumentsi positivis
hanya menekankan kekuatan prediksi terjadinya suatu
peristiwa tertentu dan pengetahuan prediktif ini
mengabaikan pentingya eksplanasi esensi mengapa terjadi
suatu peristiwa.
Ketiga, Konvensionalisme. Pemahaman positivis
dan realis di atas memang menggambarkan perbedaan
60
posisi yang jelas meskipun keduanya sama-sama berada
pada wilayah empiris yang sama mengingat keduanya
memiliki ciri-ciri sama dan telah dikembangkan dalam
tradisi filsafat empiris pula. Kegagalan membedakan posisi
keduanya tentu amat riskan dalam dunia ilmiah mengingat
dalam empirisme telah ada perkembangan yang
membedakan, positivisme dan realisme. Positivisme,
misalnya, sering digunakan sebagai sinonim dari
naturalisme, pada hal tidak demikian persis dan bahkan
sering pula diterapkan pada tradisi intelektual pada
umumnya. Kini, positivisme memang telah lazim menjadi
tradisi keilmuan, yang tidak saja mengadopsi ilmu alam,
tetapi juga sebagai pelegitimasian bentuk-bentuk
pengetahuan humaniora, termasuk hukum.
Bagi konvensionalis, apa yang dikemukakan oleh
positivis dan realis dengan beragam perbedaan tipis
tersebut bukan merupakan alat ukur untuk menentukan
kebenaran ilmu karena ilmu dipandang hanya sebagai
konvensi semata. Konvensionalis memandang bahwa ilmu
tidak lebih dari instrumen, suatu alat pembenar yang
kebenarannya amat tergantung pada kepentingan pragmatis
semata-mata. Berkenaan dengan ini, instrumentalisme
biasa merujuk pada suatu pandangan tentang tujuan umum,
yang bertujuan untuk memberikan kekuatan manipulatif
dan prediktif terhadap lingkungan pisik yang
mengelilinginya. Artinya, justifikasi aktivitas ilmiah
terletak pada hasil praktis dan teori dikatakan ilmiah
apabila kemanfaatannya betul-betul dapat diakses.
61
Jadi, bukan persoalan kebenaran dan kesalahan yang
dikontrol oleh hasil pengamatan dan keteraturan
sebagaimana positivis lakukan dan bukan esensi dari
hubungan antar fenomena seperti realis lakukan, tetapi
adakah kepentingan praktis dari teori yang dimaksud.
Prinsipnya, konvensionalis menekankan pada ada tidaknya
kepentingan kolektif praktis, kepentingan kolektif praktis
ini menjadi sebuah kriteria bagi diterima atau tidak
diterimanya suatu teori. Dengan demikian, ilmu, bagi
konvensionalis, adalah ada atau tidak kemanfaatan dari
suatu teori, dengan kata lain kepentingan praktis
III.2 Ilmu Hukum
Pengalaman menunjukkan bahwa masih banyak penekun
Ilmu Hukum yang belum mampu menjelaskan secara
jernih tentang jawaban atas pertanyaan apakah ilmu hukum
itu sama dengan teori hukum, apakah keduanya berbeda
dengan filsafat hukum. Jika jawabannya mengatakan
bahwa ilmu hukum dan teori hukum dikatakan sama atau
identik, maka pernyataan demikian perlu dikaji ulang,
direnung ulang. Sebagaimana disebut di atas bahwa Ilmu
merupakan proses dialog antara tesis dan anti tesis yang
menghasilkan sintesa. Dengan demikian, jawabannya
adalah Ilmu merupakan proses sementara teori merupakan
salah satu produk dari proses itu sendiri. Artinya, ilmu
hukum, teori hukum, dan filsafat hukum jelas berbeda
posisinya.
Di negara yang menganut sistem hukum Anglo
Sakson, ilmu hukum dikenal dengan istilah jurisprudence
62
yang berarti ilmu hukum, tetapi pada sisi lain juga dikenal
istilah legal theory yang di Indonesia diistilahkan dengan
teori hukum. Membicarakan hukum sebagai ilmu (ilmu
hukum), secara umum terfokus pada tiga bidang atau objek
kajian, yaitu:
Ilmu tentang kaedah hukum (normwissenschaft) atau
ilmu hukum normatif, mempelajari dan menganalisis
peraturan hukum (UU) secara "das sollen" atau apa
yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya
tidak boleh dilakukan. Misalnya, ilmu hukum pidana,
ilmu hukum perdata, ilmu hukum tata negara, dan
sebagainya. Ilmu tentang sosiologi hukum atau
kenyataan hukum empiris (tatsachenwissenschaft),
mempelajari dan menganalisis hukum dalam
kenyataan (law of fact) atau "sein", dan apakah
hukum mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat,
demikian pula sebaliknya. Sosiologi Hukum tidak
melakukan penilaian tentang benar-salahnya suatu
peristiwa atau gejala hukum yang terjadi, dan hanya
menggambarkannya sebagai mana kenyataannya.
Ilmu tentang pengertian-pengertian pokok hukum
(begriffenwissenchaft), mempelajari, menganalisis
pengertian pengertian dasar hukum, asas hukum,
sistem hukum, dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan, bahwa objek ilmu
hukum itu cukup luas cakupannya dan bukan hanya hukum
normatif atau hukum tertulis saja, sehingga akan lebih
eksis apabila melihat dan memamahi pengertian ilmu
hukum oleh beberapa juris. Memang, dalam kepustakaan
hukum, bahwa "ilmu hukum" itu dikenal dengan sebutan
63
dalam bahasa Inggris jurisprudence. Berasal dari kata Jus
atau Juris yang artinya “hukum atau hak, kata prudence
berarti "melihat ke depan atau mempunyai keahlian". Arti
harfiah secara umum dari kata jurisprudence adalah "ilmu
yang mempelajari hukum".
Untuk memberikan gambaran dan pemahaman
tentang arti sesungguhnya dari ilmu hukum, di bawah ini
sejumlah juris mengemukakan pendapatnya,22 sebagai
berikut:
1. Ulpian
menyebutnya
sebagai
pengetahuan
mengenai masalah yang berifat surgawi dan
manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan
yang tidak benar. Stone mengatakan ilmu hukum
merupakan penyelidikan oleh para ahli hukum
tentang norma-norma, cita-cita dan teknik-teknik
hukum dengan menggunakan pengetahuan yang
diperoleh dari berbagai disiplin di luar hukum yang
mutakhir.
2. Fitsgerald mengatakan nama yang diberikan kepada
suatu cara untuk mempelajari hukum, suatu
penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan
teoritis, yang berusaha untuk mengungkapkan asasasas yang pokok dari hukum dan sistem hukum.
3. E. Bodenheimer menjelaskan ilmu yang membahas
objeknya secara luas sekali, meliputi hal-hal yang
22
Lihat Satjipto Rahardjo, 1986, hlm.11-12
64
filsafati, sosiologis, historis, maupun komponenkomponen analitis dari teori hukum.
4. Llewellyn menyebut ilmu hukum adalah pemikiran
yang diteliti dan bobotmengenai semua tingkat
kehidupan hukum, dan pemikiran itu menjangkau
ke luar batas pemecahan terhadap suatu problem
yang konkrit. Jadi ilmu hukum itu meliputi semua
macam generalisasi yang jujur dan dipikirkan
masak-masak di bidang hukum.
5. Jolowic mengartikan ilmu hukum adalah suatu
diskusi teoretis yang umum mengenai hukum dan
asas-asasnya, sebagai lawan dari studi mengenai
peraturan-peraturan hukum yang konkret.
Sementara John Austin mengartikan ilmu hukum
(jurisprudence) dalam tiga aspek,23 yaitu:
1. Ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum
positif yang otonom dan dapat mencakupi dirinya
sendiri.
2. Ilmu hukum tentang hukum berurusan dengan
hukum positif atau dengan hukum-hukum lain yang
secara tegas diterima, tanpa memperhatikan
kebaikan atau pun kejelekannya.
3. Ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsurunsur yang secara nyata ada dari sistem hukum
modern. Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur
23
Op.Cit hlm. 238-239
65
yang bersifat historis di dalamnya tetapi unsurunsur tersebut tidak diperhatikan.
III.3 Ilmu Hukum Positif
Dalam subbab ini ada dua terminologi, ilmu hukum dan
positif. Ilmu hukum dimaksud merupakan Ilmu Hukum
yang sesungguhnya, yaitu Ilmu Hukum yang mengkaji
suatu peraturan perundang-undangan. Mengapa perlu
disebut ilmu hukum yang sesungguhnya? Pertanyaan ini
berkaitan dengan perkembangan ilmu hukum itu sendiri.
Secara historis, ilmu hukum ini sudah ada dan diterima
sejak zaman Romawi Kuno yang pada saat itu Ilmu
Hukum yang sesungguhnya dimaksud disebut sebagai jus.
Tentu, jus dalam pengertian sempit dan tidak termasuk
dalam pengertian luas yang mencakup pengertianpengertian yang dilihat dari ilmu sosial. Dalam lingkungan
Ilmu Hukum di Eropa Barat bagian Kontinen Ilmu Hukum
dimaksud diberi sebutan selain Ilmu Hukum dalam Arti
Sempit, juga "Ilmu Hukum yang sesungguhnya, atau "Ilmu
Hukum Sistematis" atau "Ilmu Hukum Dogmatis, atau
Ilmu Hukum Positif".
Sementara istilah positip di sini dapat diterjemahkan
ke dalam pengertian berlaku (validity-english, geltunggerman, geldang-netherland) di sini dan waktu ini. Ketika
positif diartikan sebagai berlaku atau yang berlaku, maka
sasaran ilmu hukum yang berlaku adalah terciptanya tertib
secara sosial, ekonomi, politik, dan tentu tertib hukum
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Artinya, sasaran Ilmu Hukum Positip adalah
66
Tertib Hukum Positip atau Tertib Hukum yang berlaku di
sini dan waktu ini.24
Untuk mengetahui tertib hukum dimaksud, salah satu
caranya adalah dengan mengamati pelaksanaan suatu
peraturan tertentu dalam suatu masyarakat tertentu pula.
Dalam pelaksanaan secara nyata itu akan dapat diketahui
secara persis apakah peraturan tertentu dapat atau tidak
diterima oleh masyarakat. Artinya, ukurannya datang dari
masyarakat dimana peraturan itu dilaksanakan. Jika
masyarakat itu tertib berarti menerima, maka ilmu hukum
sesungguhnya itu atau peraturan itu positif. Dengan kata
lain, berlaku.
Namun demikian perlu diperhatikan perbedaan antara
diberlakukan dan berlaku. Terminologi disebut pertama
mengandung makna bahwa suatu peraturan dilakukan atau
diharuskan berlaku atau wajib diberlakukan oleh pihak
yang mempunyai kewenangan secara sepihak. Dengan
pengertian demikian ini lahir terminologi penegakan
hukum (law enforcement). Sementara terminologi kedua
mengandung makna bahwa masyarakat telah menerima
dan berinteraksi dengan peraturan dimaksud.
24
Dalam lingkungan ilmu sosial, yang mendasarkan diri pada fakta
empiris yang terdapat dan terjadi dalam kehidupan masyarakat seharihari, istilah "berlaku" diberi arti dalam hubungannya dengan apa yang
sering terlaksana dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Di satu
ilmu sosial mengikatkan isi pengertian berlaku pada penerimaan dan
pelaksanaannya sesuatu di dalam praktek kehidupan.
67
Dalam konteks penegakan hukum, ketika seorang
Sarjana Hukum melihat suatu peristiwa hukum, maka
pertanyaan yang timbul adalah pertanyaan preskriptif,
yaitu bagaimana itu hukumnya suatu peristiwa hukum.
Artinya bagaimana bunyi ketentuan Hukum yang dapat
diterapkan pada suatu peristiwa hukum yang bersangkutan.
Dalam konteks, peradilan, yang diperhatikan sesara khusus
ialah bagaimana menemukan unsur-unsur hukum atau
"menghukumi" peristiwa hukum dimaksud; artinya
dipertanyakan "normativitas" peristiwa yang bersangkutan.
Untuk itu dicarinya kaitan logisnya unsur-unsur
peristiwa yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam alam kaedah Hukum yang
dimaksudkannya. Dia mencari dari fakta yang
bersangkutan segala unsur-unsur yang ada relevansinya
dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh
ketentuan-ketentuan normatip yang terdapat dalam Tata
Hukum masyarakat yang bersangkutan.
Dalam hal ditemukan unsur-unsur peristiwa yang
dapat memenuhi tuntutan persyaratan sesuatu ketentuan
normatip dari suatu kaedah Tata Hukum yang
bersangkutan maka dikatakan bahwa kaedah atau peraturan
Hukum tertentu itu kena atau “berlaku" bagi peristiwa
(Hukum) yang bersangkutan. Peristiwa itu menjadi
dikuasai oleh kaedah Hukum tersebut. Dari itu " berlaku "
dalam Ilmu Hukum yang sesungguhnya berarti berkaitan
secara logis dengan suatu persyaratan yang ditetapkan oleh
suatu kaedah Hukum dengan sesuatu ketentuan yang lebih
68
konkrit. "Berlaku” dalam Hukum, berarti tidak cukup
hanya dengan sudah dipenuhinya persyaratan yang dituntut
oleh sesuatu kaedah yang konkrit. Kaedah konkrit itu juga
seterusnya harus berkait logis dengan ketentuan yang lebih
umum dan begitu seterusnya.
Persoalan "berlaku" dalam Ilmu Hukum, menurut
Koesnoe,
merupakan
persoalan
tentang
dasar
pembenarannya yang logis. Dengan lain perkataan
merupakan persoalan "legitimasi ". Untuk itu, berlaku
berarti bagaimana dasar pembenarannya. Bagaimana
legitimasinya sesuatu perhubungan konkrit dalam
masyarakat. Bagaimana tempatnya dan kesesuaiannya
dalam tatanan keseluruhan ketentuan dalam tata hukum
yang sifatnya normatif.
III.4 Obyek Ilmu Hukum Positif
Obyek Ilmu Hukum Positip adalah Hukum Positip.
Sehubungan dengan itu, jika mempelajari Hukum Positip,
maka yang mendapat tekanan adalah istilah Hukum yang
dimaksud perlu mendapat perhatian khusus terlebih
dahulu. Ini perlu mengingat dalam masyarakat suatu istilah
hukum dapat diberi arti berbeda-beda. Di antaranya ada
pengertian yang tidak ada urusannya dengan isi yang
dipelajari oleh Ilmu Hukum Positip. Ilmu Hukum Positif
berobyekkan peraturan (peraturan tertulis sebagai tesis,
pelaksanaan peraturan (proses sebagai anti tesis), dan tertib
hukum (produk sebagai sintesa). Sekedar sebagai contoh
dapat disebut di sini mengenai arti yang diberikan oleh
masyarakat kita tentang istilah Hukum.
69
Pertama.
Hukum dihubungkan dengan soal sifat yang "ajeg"
(regulerities, tetap terus-menerus sama) yang ada pada
suatu peristiwa atau benda. Misalnya dalam persoalan Ilmu
Alam seperti halnya dengan Hukum Boyle, Hukum
Newton. Arti Hukum yang diberikan dalam hubungannya
dengan soal soal sifat benda atau peristiwa alam seperti itu
tidak sama dengan arti Hukum yang dimaksud dalam
lingkungan Ilmu Hukum Positip. Pengertian arti Hukum di
dalam mana disyaratkan ada unsur "ajeg" mempunyai
kemiripan saja dengan arti pengertian Hukum yang
diterima oleh Ilmu Hukum Positip. Artinya, hukum dalam
pengertian Ilmu ini juga menuntut terpenuhinya
kontinuitas dalam aturannya.
Kedua.
Istilah-istilah Hukum diterima sebagai pendapat dari
seorang yang memegang kekuasaan yang kemudian
melahirkan keputusan (hukum yang diputus oleh
Pemegang Otoritas formal). Dalam hal ini kita ingatkan
kepada hal-hal sebagai berikut: Pemegang kekuasaan resmi
seperti Hakim, Polisi, Jaksa, Gubernur, Bupati, Carik,
Lurah dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari
dikatakan bahwa terhadap sesuatu peristiwa, oleh pejabat
tersebut telah dihukumi demikian. Di sini penggunaan
istilah "Dihukum" disamakan dengan pendapat dari pejabat
yang bersangkutan dalam persoalan yang dihadapi, yang
sudah tidak dapat ditawar tawar lagi.
70
Ketiga.
Istilah Hukum sering dihubungkan dengan keputusan
Hakim (jugde made law). Hal ini terlihat dalam
penggunaan istilah "dihukum" yang terdapat dalam setiap
isi keputusan Pengadilan. Dalam arti yang ketiga ini
terlihat adanya satu Pengertian arti Hukum yang sudah
lebih dekat pada apa yang menjadi sasaran studi para
sarjana Hukum yaitu bahwa disamping kesimpulan yang
dinyatakan oleh Hakim, di dalamnya juga terkandung
unsur memaksa yaitu yang oleh yang terkena keputusan itu
dituntut untuk melaksanakan atau dipaksa untuk
melaksanakan bilamana tidak dikerjakan.
Keempat.
Hukum juga sering dikaitkan dengan peraturan tertulis
(law in the book) yang ditetapkan oleh kekuasaan resmi
yang ditugaskan untuk itu yaitu yang memang berwenang
membuat peraturan tertulis berupa Undang-Undang; dalam
hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Terhadap Undang-Undang, masyarakat melihat itu sebagai
Hukum, karena didasarkan kepada aturan yang lebih tinggi
yaitu Undang-Undang Dasar. Di sini Hukum identik
dengan Undang-Undang.5)
Kelima.
Ada lagi yang memberi arti Hukum dalam hubungannya
dengan yang lebih abstrak misalnya Hukum Alam. Dalam
hal ini arti yang terkandung di dalamnya memuat tentang
bekerjanya hubungan kausal dalam kejadian fisik dalam
71
alam. Misalnya dalam konteks orang Jawa, seorang yang
salah pasti seleh. Penggunaan istilah Hukum alam arti ini
sangat dekat dengan arti yang dipakai kalangan ajaran
Budha yaitu Hukum Karma.
Keenam.
Lebih abstrak lagi ialah pemakaian istilah Hukum dengan
arti sebagai kehendak Tuhan yang sudah pasti dalam soal
hidup manusia. Di dalam lingkungan ajaran Islam Hukum
dalam arti ini disebut dengan istilah syariat.
Ketujuh.
Ada lagi dalam masyarakat yang memberi arti hukum sebagai ketentuan-ketentuan tingkah laku obyektip yang bekerja dan dipertahankan dalam masyarakat. Sebagai
ketentuan tingkah laku yang obyektip di dalammya
mengandung keharusan,
artinya
tuntutan
untuk
dilaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-hari oleh
semua anggauta masyarakat yang bersangkutan, sebagai
kewajiban. Menjalankan kewajiban, tidak mungkin dapat
terlaksana bilamana yang terkena kewajiban tidak
mempunyai sarana untuk melaksanakan itu.
Bilamana ada sarana padanya, dia masih perlu kekuasaan untuk melaksanakan kewajibannya. Segala sarana
yang disediakan semacam itu bagi anggota masyarakat dan
juga kekuasaan yang diberikan dinamakan sebagai hak.
Hukum dalam hubungannya dengan arti ini merupakan
suatu keseluruhan hak dan kewajiban yang diterima dan
dipertahankan oleh sesuatu masyarakat secara menyeluruh
atas dasar keyakinan yang dianut masyarakat itu.
72
Kedelapan.
Ada lagi satu pengertian yang diberikan oleh masyarakat
mengenai istilah Hukum. Dalam hal ini, ingat pada
kebiasaan yaitu bahwa apa yang terjadi di dalam
masyarakat berbentuk perbuatan sebagai bentuk
pelaksanaan sesuatu hak dan kewajiban itu yang dilakukan
berulangkali. Kebiasaan itu adalah nyata, dapat dilihat
dalam wujud perbuatan dalam pergaulan masyarakat.
Perbuatan tidak berdiri sendiri akan tetapi berhubungan
dengan motif yang menggerakkannya yaitu yang
merupakan kesadaran hak-kewajiban yang bersangkutan.
Perbuatan semacam itu juga dinamakan Hukum pula. Di
sini Hukum dilihat sebagai Gejala yang terjadi dalam
masyarakat, ringkasnya gejala sosial.
Misalnya, di dalam sesuatu masyarakat di Indonesia
(di Madura) kalau orang melepaskan sapinya untuk
diserahkan sepenuhnya kepada orang lain singkatnya:
menjual sapi, maka bilamana telah disepakati harganya
oleh masing-masing fihak (penjual-pembeli), dalam
menyerahkan uang, si pembeli menepuk ditanah terlebih
dahulu tumpukan uangnya dan kemudian diserahkan
kepada fihak penjual-nya. Kemudian kedua-duanya
menyatakan secara lisan dan dapat didengar orang lain
yang ada di satu "uang penulis serahkan" sedang fihak lain
menyatakan "uangnya penulis terima". Demikian juga
dalam hal menyerahkan sapinya.
Itu semua adalah merupakan apa yang dinamakan
"ijab-kabul" nya dalam jual beli. Perbuatan: menepukkan
73
uang yang dipakai sebagai pembeliannya dan tingkah laku
berjasatun tangan dengan ucapan seperti itu adalah
kebiasaan; artinya dalam setiap dual beli sapi perbuatanperbuatan tersebut dapat dilihat berulangnya. Dan itu
semua dapat dijangkau oleh penglihatan dan pendengaran,
dapat diobservasi. Perbuatan itu sering pula dimaksudkan
sebagai Hukum-nya jual beli dalam arti yang kedelapan.
Aliran ini tidak begitu memperhatikan motif-motif yang
abstrak, yang tidak terlihat. Hukum dalam artinya seperti
ini, dapat menjadi perhatian khusus dari Para sarjana
hukum, tetapi dalam kasus-kasus tertentu.
74
BAB IV
LEGALISTIK DAN PENEMUAN HUKUM
\
IV.1 Pengertian Umum
Sering dipermasalahkan mengenai istilah “penemuan
hukum” apakah tidak lebih tepat istilah pelaksanaan
hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum atau
pencitaan hukum. Pelaksanaan hukum dapat bearti
mejalankan hukum tanpa ada sengketa atau pelanggaran.
Ini meliputi pelaksanaan hukum dari setiap warga negara
dan juga oleh aparat setiap hari yang tidak disadarinya dan
juga oleh aparat negara, misalnya seorang polisi yang
berdiri diperempatan jalan mengatur lalu lintas (law
enforcement). Disamping itu pelaksanaan hukum dapat
terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh
hakim. Ini sekaligus merupakan penegakan hukum.
Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan
peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya.
Menerapkan (peraturan) hukum pada peristiwa konkrit
secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkrit itu harus
dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan
hukumnya dapat diterapkan. Di waktu lampau dikatakan
bahwa hakim adalah corong undang-undang, karena
kewajibannya hanyalah menerapkan Undang-undang.
Lain lagi dengan penemuan hukum, penciptaan
hukum, pembentukan hukum, yag disebut terakhir ini
adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang
berlaku umum, bagi setiap orang. Kalau lazimnya
75
pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undangundang, maka hakim dimungkinkan pula membentuk
hukum. Kalau hasil penemuan hukumnya itu kemudian
merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para
hakim, maka ia merupakan pedoman bagi masyarakat,
yaitu putusan yang mengandung asas-asas hukum yang di
rumuskan dalam peristiwa konkrit, dan memperoleh
kekuasaan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat
sekaligus mengandung dua unsur yaitu satu pihak putusan
merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa
konkrit dan di lain pihak merupakan peraturan hukum
umum waktu mendatang.
Sedangkan istilah penciptaan hukum kiranya kurang
tepat karena memberi kesan bahwa hukumnya itu sama
sekali tidak ada kemudian diciptakan, dari tidak ada
menjadi ada. Hukum bukan selalu berupa kaedah baik
tertulis, maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku
atau peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat
hukumnya. Dari perilaku itulah harus ditemukan atau
digali hukumnya. Maka kiranya penemuan hukumlah yang
tepat. Menurut Sudikno Mertokusumo penemuan hukum
adalah „proses pembentukan hukum hakim, atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan
hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.
Mencermati terdapatnya fenomena ditengah-tengah
masyarakat yang menyatakan putusan hakim tidak
mencerminkan rasa keadilan masyarakat, pendapat
demikian tidak dapat diabaikan karena yang menjadi salah
76
satu sasaran dari vonis hakim adalah masyarakat, terutama
pencari keadilan. Setiap orang ingin melihat hakim-hakim
bertindak benar (properly) menurut undang-undang dan
mempertimbangkan keadilan masyarakat sehingga
menghasilkan putusan adil. Meskipun demikian, tidak
jarang putusan hakim, baik di tingkat Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung seringkali
dirasakan kurang adil atau tidak adil oleh pihak yang
berperkara. Persoalan seperti yang diuraikan di atas
merupakan permasalahan signifikan disebabkan karena
pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan (the
last fortress) kurang memiliki wibawa karena vonis yang
dijatuhkan dirasakan oleh masyarakat tidak mencerminkan
rasa keadilan masyarakat.
Tulisan ini terinspirasi secara normatif oleh makna
Undang-Undang Nomer 14 tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman Pasal (27) sebagaimana
diperbaiki oleh Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menjadi Pasal 28 Ayat (1),
dikatakan bahwa "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa kadilan yang hidup
dalam masyarakat”25 Oleh sebab itu, tulisan ini akan lebih
menitikberatkan tugas-tugas hakim sebagai salah satu
unsur penegak hukum dibanding penegak hukum lainnya.
25
UU RI No. 4 Tahun 2004 Tenlang Kekuasaan Kehakiman,
Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor S, Pasal 28 ayat (1). Lihat
juga Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 5.
77
Kini pertanyaannya, mengapa hakim mempunyai
kewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Secara normatif pula, jawabannya merujuk pada
pengertian Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB)
disebutkan :
“Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu
perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan,
tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat
dituntut untuk dihukum karena menolak
mengadili.”
Maknanya adalah hakim memang wajib memeriksa
dan mengadili perkara perdata/perdata adat yang diajukan
kepadanya. Prinsip demikian ini yang dipegang teguh oleh
hakim sehingga hakim dianggap tahu hukumnya atas kasus
hukum kongkrit yang diajukan kepadanya. Prinsip ini di
dalam ajaran asas biasa dikenal dengan asas Ius Curia
Novit yang biasa diartikan hakim diangap tahu hukum.
Namun dalam kenyataannya, amat dimungkinkan bahwa
hukum yang terdiri seperangkat aturan normatif itu tidak
lengkap atau bahwa hukum belum mengatur. Jika hal ini
yang terjadi, maka pertanyaannya adalah apa yang harus
dilakukan hakim dalam mengadili kasus hukum kongkrit.
Dalam mengadili perkara-perkara hukum kongkrit
dimaksud, maka hakim akan melakukan tiga langkah
alternatif pendekatan, sebagai berikut:
1. Pendekatan legalistik, jika dalam kasus hukum
kongkrit yang dihadapi hukumnya atau undang78
undangnya sudah ada dan jelas, maka hakim secara
preskriptif tinggal menerapkan saja hukum yang
dimaksud;
2. Dalam kasus hukum kongkrit yang hukumnya tidak
atau kurang jelas, maka hakim harus menemukan
hukumnya dengan cara menafsirkan hukum atau
undang-undang yang masih samar-samar dimaksud
melalui metode penafsiran yang sudah lazim dalam
kajian ilmu hukum;
3. Dalam kasus hukum kongkrit yang hukumnya belum
ada atau undang-undang belum mengatur, maka hakim
harus menemukan hukum dengan cara menggali,
mengikuti, dan menghayati nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
IV.2 Pendekatan Legalistik
Pendekatan legalistik di atas biasa disebut pula pendekatan
yuridis normatif formal sebagaimana tampak dominan
dalam penyelesaian kasus hukum kongkrit. Bahkan sejak
awal pendidikan hukum di perguruan tinggi. pengamatan
terhadap kelulusan pendidikan hukum menunjukkan kesan
kuat bahwa masyarakat luas masih mengharapkan agar
fakultas-fakultas hukum di lingkungan universitas dan
sekolah tinggi ilmu hukum memproduksi sarjana hukum
yang mempunyai ketrampilan dalam menggarap persoalanpersoalan hukum kongkrit.
Artinya, pendidikan hukum diharap menghasilkan
sarjana hukum yang keilmuannya dapat digunakan untuk
mengelola fenomena hukum kongkrit atau hukum untuk
79
hukum, bukan hukum untuk fenomena lain. Sehubungan
dengan itu, studi dan pengajaran yang berlangsung di
perguruan tinggi, khususnya di fakultas hukum dan
sekolah tinggi ilmu hukum, masih didominasi oleh
pengajaran ilmu hukum positif preskriptif.
Jika demikian halnya, maka ini berarti pengajaran
ilmu hukum positif preskritif di Indonesia ke depan masih
terus dominan. Kondisi demikian, tentu, membawa
konsekuensi logis pada ajaran ilmu hukum yang diberikan
kepada mahasiswa dimana pada proses pengajaran
ditekankan pada aspek preskriptif, yaitu memberikan
seperangkat pengetahuan tentang apa hukumnya bagi suatu
peristiwa
hukum
kongkrit
serta
bagaimanakah
mengoperasionalkan hukum dimaksud. Salah satu contoh
praktis bagaimanakah mengoperasionalkan sperangkat
peraturan perundang-undangan dimaksud dalam suatu
kasus kongkrit tertentu adalah praktik hakim dalam
mengadili suatu perkara di pengadilan. Di pengadilan,
hakim menghadapi suatu persoalan konkrit individual
dengan mempraktikkan pendekatan yuridis-normatif. Di
sinilah letak kegiatan ilmu hukum positif dimaksud.
Hasil kegiatan ilmu hukum positif tersebut bilamana
diperhatikan, maka ada kemungkinan bahwa dalam
menjalankan tugas untuk menemukan putusan obyektif
terhadap perkara kongkrit yang dihadapkan kepadanya,
mindset hakim dapat terpengaruh ukuran hukum dalam tata
hukum Indonesia. Di antara praktik-praktik hakim yang
dapat dikategorikan ke dalam upaya penyelesaian suatu
80
perkara hukum konkrit menurut pendekatan yuridisnormatif yang menurut penulis yuridis normatif formal,
pernah disampaikan Koesnoe adalah berikut.
Pengertian Hukum Normatif dapat ditelusuri sebelum
seseorang diangkat menjadi hakim atau seorang hakim
ditunjuk untuk menangani suatu perkara konkrit, pertamatama, yang bersangkutan harus sudah memiliki,
menguasai, dan menghayati dengan baik hukum positif
atau seperangkat peraturan, ilmu hukum, serta serangkaian
konsep dan teori hukum. Dalam hal ini, satu hal yang perlu
diperhatikan dengan baik adalah apa yang dimakdud
dengan hukum. Hukum harus diartikan secara yuridis,
yaitu seperangkat kaedah hukum positif dalam sistem tata
hukum suatu negara. Seperangkat kaedah inilah yang harus
digunakan sebagai landasan dasar dan rujukan hakim
dalam menangani perkara yang dihadapkan kepadanya.
Sehubungan dengan itu, satu hal pokok yang harus
dilakukan hakim lebih lanjut adalah mempelajari dan
menguasai hukum positif yang relevan. Misalnya,
mempelajari bahan hukum tertulis, baik berupa buku berisi
tentang undang-undang yang berlaku, putusan-putusan
pengadilan terkait, dan buku-buku ilmiah tentang
pemikiran-pemikiran hukum yang tersebar di kalangan
sarjana berilmu pengetahuan hukum, baik kalangan ilmu
hukum positif maupun kalangan teori, dan filsafat hukum.
Dengan penguasaan dan penghayatan bahan-bahan
pengetahuan hukum dimaksud, selain hakim akan dapat
melakukan pendekatan terhadap sesuatu persoalan konkrik
81
secara yuridis normatif, juga dimungkinkan untuk
menghadapi suatu persoalan konkrit dengan tolok ukur
jelas yang mengacu pada realisasi kaedah hukum positif
bersangkutan.
Di dalam melaksanakan tugas mengadili perkara
konkrit misalnya, hakim selalu bergerak dari kegiatan
mencari, memilah, memilih, dan kemudian menemukan
unsur-unsur peristiwa hukum. Hasilnya dirumuskan
sedemikian rupa sehingga mampu menjawab pertanyaan
bagaimana kasus tertentu yang dihadapi dapat diukur
dengan kaedah hukum positif dimaksud. Dalam
keseluruhan kegiatan itu, aspek penting yang harus
dilakukan hakim adalah selain aspek ketelitian, terutama
ditujukan kepada terpenuhinya keseluruhan unsur peristiwa
berupa fakta-fakta, juga aspek kegiatan interpretatif.
Dengan tindakan interpretasi, suatu “peristiwa hukum”
yaitu peristiwa yang akibat-akibatnya diatur oleh hukum
positif yang bersangkutan, dapat ditetapkan.
Ketelitian untuk melengkapi segala unsur-unsur
berupa fakta-fakta dari peristiwa hukum menjadi perhatian
utama dari hakim dalam persidangan. Ketelitian demikian
ini tidak sama dengan ketelitian dan kelengkapan dari
peristiwa menurut ukuran pengertian umum. Peristiwa
lengkap sampai sekecil-kecilnya untuk ukuran umum yang
dalam teori hukum Jerman biasa disebut Rumphtatbestand
tidak diperlukan oleh hakim. Bagi hakim, dari peristiwa
sederhana itu hanya dipilih unsur-unsur perbuatan yang
82
ditentukan di dalam kaedah hukum positif yang digunakan
sebagai dasar rujukan dalam menyelesaikan suatu perkara.
Dalam pendekatan legalistik atau yuridis normatif
formalpun sebenarnya dilakukan kegiatan interpretasi
hukum. Di sini diberikan contoh bagaimana pemikiran
hakim yang seringkali melakukan interpretasi hukum.
Pemikiran yuridis normatif atas fakta-fakta yang dihadapi
oleh hakim akan dapat ditemukan ketika fakta-fakta yang
dihadapi dikumpulkan, dan disusun ke dalam suatu
kesatuan peristiwa hukum dengan memperhatikan apa
yang ditentukan oleh kaedah hukum yang bersangkutan.
Hal ini dilakukan agar suatu peristiwa dapat
dikualifikasikan sebagai suatu peristiwa hukum yang
dimaksud oleh kaedah hukum bersangkutan. Caranya,
fakta-fakta tersebut diteliti dengan cermat tentang wujud
dan isi unsur-unsurnya. Hasil pemeriksaan dari setiap fakta
tersebut dinilai dan diseleksi. Kemudian, hasilnya
disatukan ke dalam suatu kesatuan sehingga menimbulkan
ide-ide yang menggambarkan berbagai macam peristiwa
yang relevan dengan kaedah-kaedah hukum positif.
Mengkaitkan hubungan logis antara peristiwa dan
kaedah hukum positif tersebut merupakan kegiatan
interpretasi. Hasil akhirnya adalah sebuah peristiwa
dimaksud dapat ditetapkan sebagai wujud peristiwa
hukum. Bilamana peristiwa itu sudah dikualifikasikan
sebagai wujud peristiwa hukum dengan baik, sekali lagi
menurut ukuran kaedah hukum bersangkutan, maka hakim
segera menanjak satu tahap lagi kepada upaya memahami
83
arti dari segala unsur peristiwa yang bersangkutan. Dalam
kegiatan interpretatif tersebut, hakim akan dihadapkan
kepada berbagai kemungkinan dalam melihat dan
menafsirkan setiap unsur yang berupa fakta yang telah
didapatkan. Setelah itu, hakim sampai kepada usaha
menghubungkan segala unsur peristiwa yang berupa fakta
itu.
Dalam usahanya tersebut, hakim dibimbing oleh
penilaiannya terhadap setiap unsur peristiwa berupa fakta
untuk mendapatkan ide-ide yang mungkin memberikan
gambaran tentang unsur-unsur itu. Ide berupa gambaran
terhadap kesatuan unsur-unsur yang berupa fakta-fakta itu,
tidak hanya akan terdiri dari satu gambaran, tetapi berbagai
variasi gambaran. Berlandaskan pada sejumlah variasi
tersebut, alur pikiran hakim dibimbing oleh suatu
keyakinan yang apabila diukur dari kebiasaan-kebiasaan
mapan, diterima, dan diikuti oleh kalangan akademisi dan
praktisi pengadilan.
Kemudian, hakim mulai melangkah kepada
pemikiran yang mendasarkan diri dan mengacu pada
realisasi kaedah dalam sistem hukum yang berlaku.
Dengan jalan demikan, akhirnya hakim akan sampai
kepada pandangan tentang kualitas peristiwa yang dihadapi
menurut ukuran kaedah hukum yang bersangkutan sebagai
peristiwa hukum. Hakim selain menentukan suatu
peristiwa hukum dengan kualifikasinya itu, juga dapat
mencari kaedah mana dan bagaimana konsekuensi hukum
yang harus diikatkan pada peristiwa dimaksud.
84
Tahap berikutnya, dilakukan pemilihan dan
pemilahan dari berbagai ide itu tentang kualitasnya yang
dapat dikategorikan sebagai peristiwa hukum. Penentuan
kualitas demikian itu juga harus memperhatikan,
mendasarkan, dan mengacu pada realisasi ketentuan
kaedah yang ada di dalam tata hukum negara. Kualifikasi
tersebut dilakukan dengan memperhatikan bagaimana
hubungan antara unsur satu dan yang lain. Selain itu,
bagaimana kemungkinan lain yang dapat memenuhi
persyaratan untuk dinyatakan dalam suatu pengertian
hukum yang yuridis relevan (juridis relevante
rechtsbegrippen).
IV.3 Pendekatan Penemuan Hukum
Sementara nomer dua dan tiga diatas merupakan
pendekatan penemuan hukum yang dilandasai asumsi
bahwa dalam kenyataan yang ada Undang-Undang tidak
ada yang sempurna dan lengkap untuk mengatur segala
kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Dalam upaya
menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).26 Dengan
demikian, hakim mempunyai kewenangan untuk
menemukan hukum (rechtsvinding) dan bahkan
menciptakan hukum (judge made law), terutama terhadap
kasus-kasus hukum kongkrit yang hukumnya masih samar26
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit.
Lihat Sudikno Martokusumo, Op.cit. hlm. 32
85
samar atau bahkan yang sama sekali belum ada
hukumnnya, tetapi telah masuk ke pengadilan.
Jika nilai hukum yang dimaksud telah ditemukan dan
dirumuskan sedemikian rupa maka selanjutnya dituangkan
sebagai dasar pertimbangan dalam proses pengambilan
putusan untuk menyelesaikan perkara yang sedang
diadilinya. Nilai hukum itu diposisikan sebagai sebagai
hukum (premis mayor) untuk menyelesaikan suatu kasus
hukum kongkrit atau pokok perkara (premis minor) dan
dituangkan dalam amar putusan sebagai klonklusi.27
Dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus hukum
kongkrit yang belum ada aturan hukumnya, hakim wajib
mengali nilai-nilai hukum yang hidup dan dipelihara baik
di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai hukum yang
hidup dan dipelihara baik ditengah-tengah masyarakat.
Nilai-nilai hukum yang hidup itu antara lain: nilai-nilai
ajaran agama, nilai-nilai adat istiadat yang masih
terpelihara baik, budaya dan tingkat kecerdasan
masyarakat, keadan sosial dan ekonomi masyarakat.
Hakim juga mempunyai kewenangan untuk
menyimpang selain dari hukum yang hidup juga ketentuan
hukum tertulis atau jika aturan hukum yang tertulis telah
telah usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Cara ini disebut
"contra legem”. Hakim dalam menggunakan lembaga
27
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty,
Yogyakarta, 2003: hlm.62
86
contra legem, harus mencukupi pertimbangan hukumnya
secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan
berbagai aspek kehidupan hukum. Keputusan hakim yang
berisikan suatu pertimbangan-pertimbangan sendiri
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 22 AB,
yang kemudian menjadi dasar putusan hakim lainnya di
kemudian hari untuk mungadili perkara yang memiliki
unsur-unsur yang sama dan selanjutnya putusan hakim
tersebut menjadi sumber hukum di pengadilan. Putusan
hakim demikian disebut "Hukum Yurisprudensi".
Tujuannya adalah untuk menghindari "Disparitas" putusan
hakim dalam perkara yang sama.28
Persoalan yang dihadapi berkaitan dengan Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah dimana hakim diwajibkan
untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat
bersifat lokal, berbeda daerah atau masyarakat yang satu
dengan lainnya. Pepatah mengatakan “lain lubuk lain
ikannya, lain padang lain belalang”. Ada sifat-sifat spesifik
dari nilai-nilai yang dianut dan hidup di tengah
masyarakat.
Sebagian hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri
datang dari berbagai kultur yang melatar belakangi
28
H. Ahmad Koesnoel dkk, 2004. Kaedah-Kaedah Hukum
Yurisprudensi. Prenada Media, Jakarta. hlm. 8-9
87
kehidupannya, kemudian bertugas selaku hakim didaerah
yang sebelumnya hukum adatnya belum mereka kenal
secara mendalam, mereka harus memutus perkara
berdasarkan perintah Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Nomo 4 tahun 2004. Dalam tulisan ini, diuraikan tentang
apa yang dimaksud nilai hukum dimaksud dan bagaimana
cara menggali, mengikuti, memahami nilai hukum
dimaksud.
Dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran
hakim harus dapat melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding). Dalam melakukan penemuan hukum oleh
hakim tidak semata-mata menyangkut penerapan
peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.
Tetapi juga penciptaan hukum dan pembentukan
hukumnya sekaligus.9 Menurut Achmad Ali, ada perbedaan
pandangan tentang metode dan cara penemuan hukum oleh
hakim yaitu menurut Yuris yang berasal dari sistem hukum
Eropa Kontinental dan yuris dari Anglo Saxon. Pada
umumnya para Yuris dari kalangan penganut sistem Eropa
kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode
interpretasi dan metode konstruksi. Sedangkan Yuris yang
berasal dari Anglo Saxon membuat pemisahan secara tegas
antara metode interpretasi dan metode konstruksi.10
9
Jhon J. Loudoe, 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta.
Jakarta: Bina Aksara, hlm. 66
10
Jazim Hamidi, 1993. Hermenutika. Hukum Teori Penemuan Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 14 – 19
88
Dasar pemikiran bagi kelompok yang memisahkan
secara tegas dalam teori penemuan hukum, antara metode
interpretasi dengan metode konstruksi adalah, metode
interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya
sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwa konkrit. Interpretasi terhadap teks peraturanya
pun masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan
metode konstruksi hukum dilakukan dalam hal
peraturannya memang tidak ada. Jadi terdapat kekosongan
hukum (rechtsvacum). Untuk mengisi kekosongan undangundang, biasanya hakim menggunakan penalaran logisnya
yang berupa metode analogi, metode argumentum acontrario metode pengkonkritan hukum dan fiksi hukum.11
IV.3.1 Metode Interpretasi
Adapun yang termasuk metode interpretasi (penafsiran)
hukum adalah:12
1. Interpretasi Gramatikal. Interpretasi gramatikal adalah
menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai
kaedah bahasa dan kaedah hukum tata bahasa. Metode
interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran yang
paling sederhana untuk mengatur makna yang
terkandung di dalam pasal undang-undang.
2. Interpretasi Historis. Interpretasi historis merupakan
penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Jadi
11
Ibid. hlm. 54
Sudikno Mertokusumo, 1993. Bab – Bab Tentang Penemuan
Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 14-19
89
12
undang-undang ditafsirkan dengan cara sejarah
terjadinya, karena setiap ketentuan perundangundangan mempunyai sejarahnya sendiri. Karena itu
bagi hakim yang bermaksud mengetahui makna kata
atau kalimat dalam suatu undang-undang dia harus
menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran
pasal tertentu dirumuskan.
Ada dua macam interpretasi historis, yaitu: pertama,
interpretasi memuat sejarah pengaturannya atau
sejarah undang-undangnya. Jadi dalam interpretasi
ini kehendak pembentuk undang-undang sangat
menentukan. Kedua, interpretasi yang memuat
sejarah hukumnya yaitu metode interpretasi yang
ingin memahami undang-undang dalam konteks
seluruh sejarah hukumnya, khususnya yang terkait
dengan kelembagaan hukumnya.
3. Interpretasi sistematis. Interpretasi sistimatis adalah
metode yang menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan sisten perundang-undangan.
Artinya tidak satupun dari peraturan perundangan
dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri. Tetapi
ia harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan
jenis peraturan yang lain.
4. Interpretasi sosiologis atau teleologis. Intepretasi
sosiologis artinya apabila makna undang-undang
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatanya.
Melalui interpretasi ini hakim dapat menyelesaikan
90
5.
6.
7.
8.
adanya perbedaan hukum (rechtspositiviteit) dengan
kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid)
Interpretasi Komparatif. Interpretasi komparatif
adalah penafsiran dengan jalan membandingkan
antara berbagai sistem hukum. Terutama bagi hukum
yang timbul dari perjanjian internasional. Karena
dengan pelaksanaan yang seimbang atau seragam
direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian
internasional sebagai hukum objektif atau sebagai
kaedah hukum umum untuk beberapa Negara
Interpretasi Futuristik. Intepretasi Futuristik atau
metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi
adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan
berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuasan hukum. Seperti suatu
rancangan undang-undang yang masih dalam proses
pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa
Rancangan Undang -Undang itu akan diundangkan.
Interpretasi Restriktif. Interpretasi Restrktif adalah
metode interpretasi yang sifatnya membatasi.
Misalnya menurut interpretasi Gramatikal kata
“tetangga” dalam Pasal 666 KUHPerdata, dapat
diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa
dari pekarangan sebelahnya,ini berarti hakim telah
melakukan interpretasi restriktif.
Interpretasi Ekstensif. Interpretasi Ekstensif adalah
metode penafsiran yang membuat interpretasi
melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal.
91
Contoh, perkataan “menjual” dalam Pasal 1576 KUH
Perdata ditafsirkan secara luas yaitu bukan sematamata hanya berarti jual beli, tetapi juga menyangkut
peralihan hak
9. Interpretasi Otentik atau Resmi. Pada Interpretasi ini,
hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran
dengan cara lain selain dari apa yang telah
ditentukan, pengertiannya di dalam undang-undang
itu sendiri. Contoh, pasal “X” yang ada dalam suatu
undang-undang sudah sangat jelas, tegas, definitif
maksud yang dituju, sehingga tidak perlu penafsiran
lagi dalam penerapannya.
10. Interpretasi interdisipliner. Interpretasi jenis ini
biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang
menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini
digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang
ilmu hukum. Contoh yang menyangkut kejahatan
“korupsi” hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal
ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum
Pidana, Administrasi negara dan Perdata.
11. Interpretasi Multidisipliner. Dalam interpretasi
multidisipliner, seorang hakim harus juga
mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain
di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim
membutuhkan verivikasi dan bantuan dari lain-lain
disiplin ilmu.
92
IV.3.2 Metode Konstruksi Hukum.
Metode konstruksi hukum digunakan oleh hakim pada saat
dia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum
atau kekosongan undang-undang. Karena pada prinsipnya,
hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan
dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum
mengaturnya.13 Menurut
Rudolph
Von
Jhering
sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali ada 3 syarat utama
untuk melakukan konstruksi hukum yaitu.14
1. Konstruksi hukum harus mampu meliput semua bidang
hukum positif.
2. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada
pertentangan logis di dalamnya atau tidak boleh
membantah dirinya sendiri.
3. Konstruksi mencerminkan faktor keindahan yaitu
konstruksi bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat
dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang
jelas tentang sesuatu hal.
Ada 4 metode konstruksi hukum yang biasa
digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan
hukum yaitu : 15
a. Metode Argumentum Peranalogium (analogi)
Analogi ini merupakan metode penemuan hukum
dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari
13
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi
Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 8
14
Jazim Hamidi, Op.Cit, hlm. 59
15
Ibid, hlm. 59
93
sebuah peristiwa hukum atau pembuatan hukum baik
yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang
belum ada peraturannya.
Contoh pasal 1576 KUHPerdata hanya mengatur
bahwa “jual beli tidak memutuskan sewa menyewa. “
Dalam Praktek hakim dihadapkan kasus lain, yaitu
hibah. Pertanyaannya apakah ia tidak memutuskan
sewa menyewa. Dalam hal ini hakim wajib melakukan
penemuan hukum, karena peraturannya tidak mengatur
masalah hibah. Supaya ada putusan yang dapat
dikeluarkan oleh hakim langkah yang ditempuh hakim
ialah mencari esensi dari jual beli itu apa, ternyata
esensinya adalah “peralihan hak.” Kemudian apa yang
menjadi esensi dari hibah. Ternyata juga “peralihan
hak” jadi ditemukan jawabannya bahwa peralihan
hukum merupakan “genus” (peristiwa umum).
Sedangkan jual beli dan hibah masing-masing sebagai
“spesiesnya” (peristiwa khusus) kesimpulannya, hibah
juga tidak memutuskan sewa menyewa.
b. Metode Argumentum a Contrario
Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim
untuk menemukan hukum dengan petimbangan bahwa
apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu
untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas
pada peristiwa tertentu dan untuk peristiwa di luarnya
berlaku kebalikannya. Jadi esensinya mengedepankan
cara penafsiran yang dihadapi dengan peristiwa yang
diatur
dalam
undang-undang.
Pada
metode
94
argumentum a cantrario ini titik berat diletakkan pada
ketidaksamaan peristiwanya. Contoh : masa tunggu
(masa iddah) bagi janda yang hendak kawin lagi karena
perceraian dengan suaminya. Menurut pasal 39 PP No.
9 tahun 1975, masa tunggu bagi janda di tetapkan 130
hari. Bagaimana halnya dengan duda yang hendak
kawin lagi setelah bercerai dengan istrinya. Solusinya,
hakim dapat menerapkan metode argumentum a
contrario, sehingga seorang duda tidak perlu menunggu
waktu tertentu (masa iddah) untuk menikah lagi.
c. Metode Penyempitan/Pengkonkritan hukum
(rechtvervinding)
Metode ini bertujuan untuk mengkonkritkan/
menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu
abstrak, luas dan umum, supaya dapat diterapkan
terhadap suatu peristiwa.
d. Fiksi Hukum
Menurut Paton sebagaimana dikutip Achmad Ali,
metode penemuan hukum melalui fiksi hukum
bersumber pada fase perkembangan hukum dalam
periode menengah, yaitu setelah berakhirnya periode
hukum primitif esensi dari fiksi hukum merupakan
metode penemuan hukum yang mengemukakan faktafakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru.
Fungsi dari fiksi hukum disamping untuk memenuhi
hasrat menciptakan stabilitas hukum. Juga utamanya
untuk mengisi kekosongan undang-undang. Dengan
kata lain, fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi
95
konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem
hukum yang ada.
96
BAB V
TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM
V. 1 Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum
Apa hubungan antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum?
Apakah Filsafat Hukum itu? Pertanyaan yang seolah
bersifat peringatan itu sering didengar dan terdengar dalam
wacana komunitas yang mencoba memasuki kajian
filosofis atas suatu obyek ilmu. Apa benar sedemikian sulit
untuk menjawabnya? Mungkin jawabannya tidak selalu
demikian mengingat Filsafat dapat dipelajari, dimengerti,
dipahami dengan baik, dan yang paling penting secara
substansial pernah dialami oleh setiap orang. Pengertian,
pemahaman, pengalaman dimaksud sebenarnya dapat
dimulai dari apa itu filsafat dan hal ini dapat diketahui dari
makna terminologinya.
Kemudian dalam konteks Filsafat Hukum, maka
yang perlu diketahui lebih dahulu adalah filsafat dalam arti
umum, baru memasuki wilayah Filsafat Hukum karena
Filsafat Hukum dapat diartikan sebagai filsafat umum yang
diterapkan pada hukum atau fenomena hukum. Secara
umum, pertanyaan-pertanyaan paling dalam yang biasa
dibahas dalam filsafat adalah hubungan antara kenyataan
dengan makna yang ada di balik kenyataan itu sendiri,
landasan atau sesuatu yang mendasari suatu kenyataan,
struktur atau inti, hakehat suatu kenyataan, dan sejenisnya.
Dalam filsafat hukum, pertanyaan-pertanyaan demikian ini
difokuskan pada pemaparan-pemaparan yuridis atas suatu
97
hukum. Jika hukum (peraturan perundang-undangan) yang
dipaparkan, maka yang perlu dimunculkan adalah apa
makna yang ada di baik peraturan dimaksud.
Dari sini, dapat diketahui bahwa ada dua hal penting.
Pertama, proses, dan, kedua, hasil. Proses yang dimaksud
adalah kegiatan berfikir, yang mencakup dialog antara
tesis–antitesis, yang memproduksi sintesa (konsep baru,
teori kecil). Selanjutnya, sintesa ini menjadi tesis yang
akan dipertemukan lagi dengan antitesa, dan menghasilkan
sintesa. Inilah kegiatan berfikir yang dimaksud di atas.
Memang dalam kepustakaan, masih terdapat beragam
pengertian filsafat hukum. Misalnya Filsafat Hukum yang
didefinisikan oleh beberapa sarjana, sebagai berikut:
 Sebagai sebuah disiplin yang berkenaan dengan
penalaran-penalaran yang bersifat spekulatif dan yang
menyibukkan diri dengan upaya pencarian latar
belakang dari suatu pemikiran Untuk itu, penalaranpenalaran spekulatif dimaksud tidak selalu harus diuji
secara rasional (I. Tammelo);
 Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang
hukum yang “benar”, hukum yang adil (J.Schnidt,
H.Kelsen);
 Sebagai sebuah refleksi mendasar dari suatu kenyataan
yuridis. Refleksi dimaksud merupakan suatu bentuk
berfikir sistematis yang hanya akan merasa puas dengan
hasil-hasil yang timbul dari pemikiran. Artinya, filsafat
merupakan kegiatan berfikir yang mencari suatu
hubungan teoretis antara gejala satu dan yan lain
98
sehingga gejala-gejala hukum dapat dimengerti dan
dipikirkan (D. Meuwissen);
 Sebagai diisplin ilmu yang mencari pengetahuan tentang
hakekat dari keadilan, tentang bentuk keber-ada-an,
transenden dan immanen dari hukum, tentang nilai-nilai
yang di dalamnya hukum berperan, dan tentang
hubungan antara hukum dan keadilan, tentang struktur
dari pengetahuan, tentang moral dan ilmu hukum, dan
tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbelly).
Definisi-definisi tersebut menggambarkan bahwa
pemahaman terhadap Filsafat Hukum cukup beragam.
Namun secara umum dapat dikatakan bahwa filsafat
hukum merupakan sebuah disiplin yang berupaya untuk
menjawab pertanyaan mendalam yang berkaitan dengan
hukum dan kenyataan-kenyataan hukum. Pengertian
filsafat hukum demikian ini sesungguhnya juga masih
kabur dan terlalu luas mengingat belum jelas apa yang
diartikan dengan “pertanyaan mendalam” itu. Untuk dapat
membatasi pengertian Filsafat Hukum, maka diperlukan
didudukkan terlebih dahulu tentang wilayah ajaran apa
sajakah yang seharusnya ditelaah dalam filsafat hukum.
Wilayah ajaran filsafat hukum dapat dibagi ke dalam
sejumlah wilayah sebagai berikut:
a. Ontologi hukum, yaitu ajaran tentang ada (zijnsleer).
Ajaran ini menekankan pada upaya untuk menemukan
“hakekat”, misalnya hakekat dari hukum, hakekat
demokrasi, tentang hubungan antara hukum dan moral.
99
b. Epistemologi Hukum, ajaran tentang pengetahuan
(kennileer). Ajaran ini berupaya menjawab pertanyaan
sejauh mana pengetahuan tentang “hakekat” dari
hukum atau masalah-masalah lain didapat. Artinya,
bagaimanakah sesuatu itu menjadi mungkin. Jadi, ini
adalah suatu bentuk dari meta-filsafat.
c. Aksiologi Hukum, ajaran tentang nilai (waardenleer).
Ajaran ini menekankan pada upaya penentuan tentang
isi dan nilai-nilai, seperti kekayaan, persamaan,
keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalahgunaan hak.
d. Ideologi Hukum (harafiah: ajaran idea, ideeenleer):
pengolahaan wawasan menyeluruh atas manusia dan
masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan
dan/atau sebagai legitimasi bagi pranata-pranata hukum
yang ada atau yang akan datang, sistem-sistem hukum
seutuhnya atau bagian-bagian sistem tersebut (misalnya
tatanan-tatanan hukum kodrat, filsafat hukum
marxistik).
e. Teleologi Hukum (ajaran finalitas, finaliteitsleer): hal
menentukan makna dan tujuan dari hukum.
f. Ajaran ilmu (wetenschapsleer) dari hukum: ini adalah
meta-teori dari ilmu hukum, yang di dalamnya
diajukan dan dijawab pertanyaan-pertanyaan antara
lain dalam hubungan kriteria bagi keilmiahan (sejauh
mana pengetahuan ilmiah tentang hukum itu
dimungkinkan?) dan dalam hubungan dengan
klasifikasi Ilmu Hukum (bukan klasifikasi hukumnya
itu sendiri). Juga metodologi dari Filsafat Hukum
100
sendiri (dengan mengecualikan metodologi dair
cabang-cabangIlmu Hukum lain) dapat dimasukkan ke
dalamnya.
g. Logika Hukum (rechtslogika): penelitian tentang
aturan-aturan berfikir hukum dan argumentasi yuridis,
bangunan logikal serta struktur hukum sistem hukum.
Logika hukum telah berkembang menjadi sebuah
cabang Filsafat Hukum mandiri dan bahkan menjadi
sebuah disiplin snediri dalam ilmu hukum, yang di
dalamnya ia mengambil tempat sendiri disamping
Filsafat Hukum. Logika hukum lebih jauh akan
dibicarakan tersendiri dan untuk selebihnya di sini
tidak akan dibahas.
Satu hal yang mencolok pada Filsafat Hukum adalah
bahwa hasil dari penalarannya tidak dapat diuji, secara
empirik untuk keseluruhannya, dan secara rasional untuk
sebagian. Penalaran-penalaran filosofikal sendiri memang
harus selalu memenuhi syarat-syarat minimum tertentu
dari rasionalitas, yakni harus tepat secara logikal dan
terbuka bagi diskusi rasional.
Syarat pertama, yaitu berkaitan dengan keberlakuan
logikal dari penalaran filsafat hukum, tidak memerlukan
komentar lebih jauh mengingat aturan-aturan logika
berlaku untuk semua penalaran dan dengan demikian pasti
untuk penalaran-penalaran yang mengklaim keilmiahan,
atau yang sekurang-kurangnya harus berfungsi sebagai
landasan bagi penalaran-penalaran ilmiah. Demikianlah,
filsafat lazimnya tidak dikualifikasi sebagai sebuah “ilmu”,
101
melainkan lebih sebagai sebuah “meta-disiplin”, yang
antara lain menjadikan ilmu-ilmu ini sendiri sebagai
obyeknya, namun secara umum disyaratkan bahwa filsafat
harus mematuhi suatu metode ilmiah. Memang dapat
ditetapkan sejumlah syarat-syarat minimal pada tataran
argumentasi, dengan kata lain, pada tataran logika. Jika
dalam filsafat tidak pernah dapat dijamin konsensus atas
dasar landasan rasional semata-mata berkenaan dengan
hasil-hasil dari penalaran-penalaran, maka suatu konsensus
rasional yang demikian pada asasnya dimungkinkan jika
ihwalnya berkenaan dengan metode-metode dan argumenargumen yang digunakan.
Syarat kedua, yang berkenaan dengan keberadaan
dari kemungkinan untuk menjalankan suatu diskusi
rasional berkaitan dengan penalaran kefilsafatan tentang
hukum, dapat dipandang sebagai pasangan dari tuntutan
dapat diuji (secara empirikal) hasil-hasil dalam ilmu-ilmu
yang menjelaskan (ilmu eksplanatif). Ketidakmungkinan
untuk memverifikasi atau memfalsifikasi dalil-dalil dan
teori-teori Filsafat Hukum tidak boleh menyebabkan
bahwa dalil-dalil dan teori-teori ini menjadi imun (kebal)
terhadap kritik rasional. Sama seperti tiap ilmu yang
berkembang dalam dan oleh suatu diskusi permanen
diantara para ilmuwan berkenaan dengan teori-teori yang
ada, maka suatu perkembangan maju dari filsafat hukum
dan suatu perluasan dari pemahaman-pemahaman
kefilsafatan tentang hukum hanya mungkin terjadi jika
teori-teori kefilsafatan tentang hukum membuka ruang
102
bagi suatu diskusi rasional tentang titik-titik tolak, isi,
pengolahan/penjabaran dari teori-teori ini, yang
berlandaskannya dapat dikembangkan lagi gagasangagasan kefilsafatan tentang hukum yang baru.
Suatu diskusi rasional dan terbuka yang demikian itu
adalah syarat yang mutlak perlu untuk mencapai suatu
konsensus intersubyektif yang demikian adalah alternatif
yang mutlak perlu untuk suatu pengujian ilmiah, dalam
hal-hal yang di dalamnya pengujian ilmiah yang demikian
itu tertutup. Itu terutama berlaku jika ihwalnya berkenaan
dengan pengandaian nilai-nilai kaedah-kaedah dan
ideologi-ideologi. Untuk memungkinkan diskusi rasional
mengenai teori-teori kefilsafatan tentang hukum, juga
mutlak diperlukan bahwa teori ini (misalnya yang
berkaitan dengan “hakekat” dari hukum) sesuai dengan
pengetahuan ilmiah yang berlaku pada saat itu. Jika
ihwalnya tidak demikian, maka diskusi rasional memang
akan tidak mungkin dijalankan.
Di luar dua syarat rasionalitas ini, maka teori-teori
dalam filsafat hukum tidak dapat dikontrol. Hal ini kurang
lebih tampak jelas berkenaan dengan Aksiologi Hukum,
Ideologi hukum dan Teologi Hukum. Sebab pada bidangbidang bagian dari Filsafat Hukum ini tidak dibuat
putusan-putusan tentang kenyataan, melainkan diolah
nilai-nilai dan/atau kaedah-kaedah tertentu, yang diterima
terlebih dahulu sebagai landasan untuk aturan-aturan
hukum positif dan sistem-sisten hukum. Ihwalnya jelas
bahwa nilai-nilai dan kaedah-kaedah pada dirinya sendiri
103
tidak terbuka bagi pengujian empirikal dan rasional. Hanya
rasionalitas, ini adalah konsistensi internal, dari sebuah
ideologi atau koherensi diantara berbagai nilai dan kaedah
yang bersama-sama dipandang sebagai berlaku yang dapat
dikritik berdasarkan kriteria obyektif.
Dalam optik yang sama orang juga dapat menguji
rasionalitas dari nilai-nilai dan kaedah-kaedah pada tataran
hubungan dengan “sarana-tujuan”: nilai-nilai dan kaedahkaedah selalu terhubung dengan penetapan tujuan (orang
memandang misalnya suatu persamaan maksimal antarmanusia, diantaranya pada bidang pendapatan, sebagai
nilai dan/atau kaedah karena orang berpendapat bahwa
dengan itu maka kehidupan orang rata-rata (doorsneemens) akan menjadi lebih nyaman dan lebih bahagia.
Demikianlah nilai-nilai dan kaedah-kaedah sebagai
demikian tidak dapat “diuji”, namun orang dapat menelaah
sejauh mana (dalam derajat apa) nilai-nilai dan kaedahkaedah ini relevan, dapat digunakan, berguna atau mutlak
diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah
ditetapkan terlebih dahulu (diandaikan). Antara lain demi
relasi dari nilai-nilai dan kaedah-kaedah dengan penetapan
tujuan tertentu ini, yang sering diterima secara umum,
maka pilihan pada nilai-nilai dan kaedah-kaedah tertentu
atau pada ideologi tertentu untuk sebagian dapat
diargumentasi secara rasional. Argumentasi rasional ini
juga untuk keseluruhan atau untuk sebagian akan sudah
bertumpu pada putusan-putusan nilai atau butir-butir
keyakinan yang lain.
104
Jika orang, misalnya mengopsi (memilih) suatu
ideologi hukum sosialistik maka orang lain bertumpu pada
putusan nilai bahwa adalah hal yang dikehendaki bahwa
semua orang sebanyak mungkin sama, sementara manusia
juga, terutama dalam suatu optik marxistik, betolak dari
keyakinan bahwa di dalam sejarah terdapat (berlangsung)
suatu perkembangan positif menuju pada suatu masyarakat
yang demikian. Karakter filsafat hukum yang sebagian
besar bersifat spekulatif dengan merenung ini juga sama
kurang bukti nyata pada bidang Ontologi Hukum, dan pada
bidang ajaran pengetahuan (epsistemologi) serta Ajaran
Ilmu dari Hukum. Karena itu, tiap aspek-bagian dari
filsafat hukum ini akan dibahas secara sama singkatnya.
Ajaran tentang hal ada (zijnsleer) atau Ontologi dari
hukum mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang
“hakekat” dari hukum, tentang isi pokok (basisinhoud) dari
pengertian hukum, tentang “cita-hukum”. Isi pokok ini
misalnya dicari dalam nilai-nilai fundamental seperti
kebebasan, keadilan dan kepastian hukum. Jadi, di sini
ihwalnya tidak terutama berkenaan dengan upaya mencari
pengetahuan tentang hukum ketimbang berkenan dengan
hal menetapkan suatu nilai dasar atau sebuah kaedah dasar
(basisnorm), yang demikian berfungsi sebagai titik tolak
untuk menentukan nilai-nilai dan kaedah-kaedah yang
lainnya dan untuk membangun (onderbouw) bagi
legitimasi dari aturan-aturan hukum, pranata-pranata
hukum dan sistem-sistem hukum yang ada atau yang
dipropagandakan.
105
Ketika orang tampaknya mencari apa yang menjadi
(merupakan, yang adalah) inti dari apa yang yuridisial,
dalam kenyataan sesungguhnya orang menunjukkan apa
yang seharusnya dipandang sebagai nilai yang paling
esensial dari hukum. Orang mengklaim hanya melakukan
sekedar suatu refleksi merenung, tentang hakekat dari
hukum, namun dalam kenyataannya orang dengan ini
menyatakan putusan-putusan normatif yang terselubung.
Orang berkata: “hukum bertujuan untuk mewujudkan
keadilan” padahal yang paling sesungguhnya dinyatakan:
“hukum (se)harusnya(nya) memperjuangkan keadilan”.
Dengan begitu maka Ontologi Hukum memperlihatkan
ciri-ciri yang sama seperti aksiologi, ideologi dan ajaran
finalitas dari hukum, sehingga pengujian obyektif terhadap
hasil-hasilnya menjadi tertutup dan paling jauh hanya
dapat dicoba untuk mencapai konsensus intersubyektif.
Dalam perspektif Epistemologi Hukum atau Ajaran
Pengetahuan dari hukum ditelaah sejauh mana
dimungkinkan pengetahuan tentang “hakekat” dari hukum
atau tentang masalah-masalah kefilsafatan tentang hukum
lainnya. Di sini dengan demikian kita berhadapan dengan
meta-filsafat dari filsafat hukum. Jika misalnya Ontologi
Hukum mengajukan pertanyaan tentang “hakekat” dari
hukum maka Epistemologi Hukum meneliti kemungkinankemungkinan untuk dapat menjawab pertanyaan yang
demikian itu. Jadi di sini jelas ihwalnya tidak berkenaan
dengan pengandaian nilai-nilai dan kaedah-kaedah
tertentu, melainkan dengan upaya menemukan batas-batas
106
dari pengetahuan (yang mungkin) tentang kenyataan
(yuridisal). Jadi, pada pandangan pertama seolah-olah di
sini suatu pengujian empirikal akan harus dimungkinkan.
Ini untuk sebagian juga memang benar.
Jika seseorang mengajukan bahwa hal memperoleh
pengetahuan tentang “hakekat” dari hukum, adalah
sepenuhnya tertutup, maka pernyataan ini adalah sebuah
dalil yang secara prinsipiil terbuka bagi falsifikasi. Dalam
kenyataan, hal ini juga akan tidak mungkin, karena aturan
dasar pengetahuan dari setiap “pengetahuan” tentang
“hakekat” dari hukum yang diajukan akan selalu dapat
diragukan. Misalkan, orang menerima bahwa, seperti
dikemukakan diatas, Ontologi hukum tidak bertujuan
untuk memperoleh pengetahuan tetapi mengejar suatu
pilihan nilai-nilai dan/atau kaedah-kaedah yuridis
fundamental, maka akan selalu dapat disangkal
(geloochend) bahwa hasil-hasil penelitian dari Ontologi
Hukum mempunyai hubungan dengan pengetahuan tentang
hukum. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tentang batasbatas dari pengetahuan kita (yang mungkin) tentang
kenyataan (yuridisal) juga secara esensial akan selalu
menyandang sifat spekulatif.
Sebagai wilayah-bagian dari Filsafat Hukum yang
terakhir kini masih akan dibahas Ajaran Ilmu. Ketika di
atas pada pengurutan wilayah-wilayah bagian dari Fisalfat
Hukum sebagai wilayah keenam disebut “Ajaran Ilmu dari
Hukum”, maka sesungguhnya perlu disinggung bahwa
uraian ini sedikit banyak dapat menyesatkan. Dipandang
107
secara historikal ihwalnya memang demikian bahwa ajaran
ilmu dari hukum secara integral dipandang sebagai obyek
studi khas dari Filsafat Hukum. Namun kini ajaran ilmu ini
untuk sebagian dapat dimasukkan ke dalam wilayah dari
Teori Hukum, khusus ajaran ilmu dari Dogmatika Hukum.
Pertanyaan krusialnya, yang dalam perjalanan dua abad
terakhir selalu tampil kembali untuk didiskusikan, yakni
tentang sifat keilmuan dari Dogmatika Hukum, dewasa ini
secara umum dipandang sebagai sebuah tema penelitian
dari Teori Hukum dan tidak (lagi) dari Filsafat Hukum.
Bukankah Teori Hukum itu adalah meta-teori terhadap
Dogmatika Hukum.
Karena itu, yang termasuk ke dalam wilayah dari
Filsafat Hukum itu bukanlah ajaran ilmu dari hukum,
dipandang dalam arti luas, melainkan hanya ajaran ilmu
dari Teori Hukum. Mengingat Filsafat Hukum itu sendiri
tidak mempunyai meta-disiplin di atasnya, maka ia juga
harus melakukan penelitian sendiri terhadap masalahmasalah yang berkaitan dengan karakter keilmuan dan
metodologi dari filsafat Hukum. Jadi, di sini Filsafat
Hukum harus melakukan perenungan diri (zelfreflektie).
Pada medan berkiprah dari Filsafat Hukum ini, pemikiran
spekulatif tidak dipandang sebagai ciri utama dari
pendekatan kefilsafatan tentang hukum. Pemikiran tentang
keilmuan dan tentang metodologi tidak dapat (sulit untuk
diterima) bersifat spekulatif murni. Namun unsur
spekulatif di sini juga akan memainkan peranan penting,
khususnya
karena
pertanyaan-pertanyaan
yang
108
terhadapnya oleh ilmu sendiri secara a priori tidak dapat
diberikan jawaban, digeser ke Filsafat Hukum. Sebuah
masalah inti dalam Ajaran Ilmu adalah misalnya,
pertanyaan sejauh mana berbagai ilmu dapat bebas-nilai.
Ini antara lain telah manimbulkan “perjuangan metode”
(methodenstrijd) dalam Sosiologi yang terkenal ini.
Dalam Teori Hukum juga mulai berkembang
perjuangan metode yang demikian itu. Tentang hal ini akan
dibahas dalam bab berikutnya, yang di dalamnya antara
lain akan ditampilkan pertentangan antara apa yang
dinamakan Teoti Hukum “Empirikal” dan Teori Hukum
“Normatif”. Pilihan berkenaan dengan masalah ini, harus
dilakukan atas dasar suatu pilihan antara nilai-nilai,
kaedah-kaedah, ideologi-ideologi dan bukan putusanputusan tentang kenyataan yang sudah terbukti (dan untuk
sementara tidak dapat dibuktikan). Dengan demikian, juga
pada tataran Ajaran Ilmu, pemikiran spekulatif dalam
Filsafat Hukum akan memainkan peranan penting lagi.
Sebagai penutup dari paragraf ini yang di dalamnya
telah diberikan ikhtisar dari wilayah Filsafat Hukum, dapat
ditetapkan bahwa Filsafat Hukum dalam hakekatnya
dicirikhaskan (ditengarai) dengan karakter spekulatif dari
pemikiran kefilsafatan tentang hukum, dan ini pada semua
wilayah-bagian dari Filsafat Hukum.
109
V.2 Ilmu Hukum Positivis dan Fenomenologis29
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa positivis juga
sudah merambah pada pengetahuan humaniora. Ketika
positivis memasuki wilayah ini sebenarnya yang dikaji
sudah berbeda mengingat humaniora dekat dengan
perilaku manusia yang sumber kebenarannya ada dalam
diri manusia yang menekankan pada faktor internal yang
penulis sebut sebagai fenomenologis. Untuk memasuki
wilayah kedua paham ini, ditampilkan ledih dahulu wantiwanti yang pernah disampaikan Amselek bahwa
“legal science must seek to observe, objectively, the
“intersubjectivity” of juridical norms instead of
being content like classical technological theory,
with “prediction” or “certainty”.
Di balik pesan dimaksud Amselek tampak telah risau
dengan kerangka berfikir ilmu hukum yang terjebak pada
kegiatan ramal meramal dan mengejar kepastian.30
29
Dalam pemahaman kalangan komunitas filsafat, filsafat hukum
positivistis ini mendasarkan pada filsafat analitis (ought, is atau das
sollen-das sein) dan fungsionalis sebagaimana dianut oleh filsafat yang
bersumber dari Amerika Serikat (Roscoe Pound, Hart, Fuller). Ini
berbeda dengan filsafat yang dianut di daratan Eropa Barat yang biasa
disebut filsafat metafisis, fenomenologis atau hermenetis. Lihat
Koesnoe, 1997. Pengantar Kerah Pemikiran Filsafat Hukum.
Surabaya: Ubhara Press, hlm 1. Review atas dua aliran ini telah pernah
dilakukan oleh Saptomo, 2002. Jamin: Konstruksi Sosial Integrasi
Sukubangsa Jawa dengan Minangkabau, Disertasi. Yogyakarta: PPS
UGM, hlm. 10-25
30
Kepastian dalam perspektif posivistik diartikan sebagai keajegan,
keteraturan, predictable, namun dalam perspektif sosio-kultural justru
sebaliknya bahwa apa yang dikatakan sebelumnya itu ketidakajegan,
110
Kemapanan apa yang dirisaukan ini menjadikan hampir
dapat dipastikan bilamana seseorang berlatarbelakang
pendidikan formal hukum, segala aspek kehidupan sosial
yang dihadapi akan selalu dilihat dan dimasukkan ke
dalam kerangka berpikir normatif formal.
Kerangka berpikir demikian memang mudah terbawa
kemana saja pergi meskipun yang bersangkutan telah
memasuki wilayah sosial. Bahkan, setelah sekian lama
hidup dalam habitat sosial, semua pengalaman dan
pengetahuan berspektif ilmu sosial yang baru saja dimiliki
belum tentu mampu menempatkan posisi paradigma
dirinya secara tepat sebagai sosok sosiatif sebagaimana
ilmuwan sosial yang sejak semula telah lahir dan berada di
wilayah sosial. Kekaburan penempatan posisi paradigmatik
demikian ini akan semakin menjadikan yang bersangkutan
sebagai sosok yang sedang berada dalam alam
kebingungan, terutama di saat-saat dihadapkan pada satu
pilihan sehingga yang ada dalam dirinya sebuah kecamuk
dialog ke dalam dengan selalu menanyakan kepada diri
sendiri, manakah yang harus dipilih kembali ke normatif
atau ke sosiatif.
Di tengah kebingungan antara dua pilihan itu tentu
segera dicari jalan pikir untuk memutus jaring-jaring
semrawut dimaksud mengingat keburaman penentuan titik
pijak arah berpikir akan tidak menguntungkan. Ketika
ketidakaturan, unpredictable, sehingga sulit mengontrol. Mengenai hal
ini lihat Saptomo, 2006 “Potensi Lokal dalam Pengelolalaan Sumber
Daya Alam” dalam Tanah Masih Di Langit. Jakarta: Yayasan Kemala.
111
pilihan jatuh pada perspektif sosiatif, maka yang segera
diputuskan selanjutnya adalah sebuah keharusan
pembalikan paradigma agar dapat melihat bangunan rumah
normatifnya sendiri dari luar pagar normatif. Tentu,
pembalikan paradigma dimaksud tidak semudah membalik
dua buah telapak tangan bagaikan sulapan dan beli cabe di
pasar. Pembalikan paradigma berpikir dari angle yuridis
normatif, deduktif, etik, kuantitatif, dan positivistik ke
paradigma sosiatif, induktif, emik, kualitatif, dan
fenomenologis, membutuhkan waktu panjang dan ini
merupakan persoalan yang amat mendasar tersendiri.
Mengapa amat mendasar demikian tentu mengingat
hal ini menyangkut penggantian roh akademik sang
intelektual. Proses penggantian roh akademis dimaksud
harus dilalui dengan sabar, tekun, teliti, tegas dan tentu
tidak menunjukkan rasa kelelahan dalam mengukir,
melukis, memoles, membersihkan, dan mewarnai alam
pikiran dari roh akademik yuridis positivistis ke roh
sosiatif fenomenologis. Proses pembalikan paradigma
dimaksud merupakan konstruksi alam pikiran normatif
positvistis menjadi sebuah alam pikiran sosiatif
fenomenologis.
Dari titik yang disebut terakhir ini mulai terlihat
bahwa di sana ilmu hukum31 nyaris selalu dilihat dari angle
31
Ilmu hukum dianggap sebagai terjemahan dari jurisprudence, yang
berasal dari paduan dua kata jus, juris (hukum atau hak), prudence
(melihat ke depan atau mempunyai keahlian). Dengan demikian
jurisprudence diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
112
epistemologi positivistik, sebuah epistemologi yang
berpandangan bahwa kapan saja orang berinteraksi akan
menghasilkan suatu realitas hukum, sebuah dunia fakta
hukum yang dipahami sebagai kenyataan obyektif.
Pandangan demikian ini menjadi kurang bermakna
mengingat ia tidak mengungkap isi pengetahuan hukum
subyek yang diteliti, yang berarti tidak diketahui logika
hukum yang ada di dalam kepala pelaku hukum. Dalam
konteks penelitian, meskipun ia sebenarnya telah berada
pada posisi analisis, namun ia masih berada pada posisi
analitical positivism sehingga kelemahan kerangka berfikir
positivistis lainnya pun lahir mengingat hasil penelitiannya
tidak dapat menjelaskan dengan baik pola perilaku
hukum. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan hukum yang
menurut Rahardjo, 1982, dalam Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, hlm.
3, ia mencakup sepuluh bidang yang pengklasifikasiannya berdasarkan
atas tujuan dari ilmu itu sendiri. Demikian pula gambaran dan
batasannya tidak begitu jelas sebagaimana disampaikan Curzon yang
dikutip Raharjo (Ibid:11) bahwa berbagai sarjana telah berpandangan
yang satu sama lain berbeda penekannannya. Namun pertanyaan yang
menarik adalah sebagaimana disampaikan oleh Bruggink, Apakah Ilmu
Hukum itu Ilmu? Untuk menjawabnya diajukan dua pendekatan,
positivistik dan normatif. Masing-masing pendekatan ini berpijak pada
teori kebenaran berbeda, korespondensi dan pragmatik. Selanjutnya
mengenai hal ini lihat Bruggink, 1999 dalam Refleksi tentang Hukum
(alih bahasa-Arief Sidharta). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm.
183-199. Sementara Ilmu dalam Ilmu Hukum yang dimaksud di sini
adalah pengetahuan baru tentang hakekat hukum yang diperoleh
melalui proses interpretatif atas interpretasi dengan cara dialog logis.
Bandingkan pula apa yang dimaksud ilmu dengan berbagai definisi
tentang ilmu dari sarjana-sarjana dikemukakan oleh Bakhtiar, 2004,
dalam Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 12-20
113
manusia; kurang informatif karena pandangan orang yang
diteliti tidak diketahui; penelitian semacam ini
beranggapan bahwa manusia tidak berbeda dengan hewan,
padahal ada sebuah premis penting bahwa manusia adalah
animal symbolicum atau binatang yang mampu
menggunakan simbol-simbol untuk berkomunikasi dan
memberikan makna hukum pada lingkungan dan
perilakunya.
Ketika hukum dipahami lewat epistemologi
positivisme demikian, hukum dipandang sebagai taken for
granted social world.32 Tentu ini berbeda dengan ketika
hukum dipahami dari angle epistemologi fenomenologi
dimana hukum dibangun oleh interaksi antarpelaku hukum
sendiri. Jika pilihan terakhir demikian yang dipilih, maka
pengetahuan normatif yang ada di dalam kepala orang
sebagai pelaku hukum menjadi penting untuk digali.
Dengan demikian, fenomenologi memandang bahwa
hukum dibentuk oleh pikiran-pikiran normatif lewat proses
interaksi dalam berbagai tempat dan kesempatan.
Konsekuensi metodologisnya, apa yang dilihat dalam
interaksi dimaksud bukan proses pendangkalan horisontal
dengan cara data dicocok-cocokkan dengan kategorikategori teoretis seperti dalam paradigma positivisme,
tetapi dilihat dengan cara mengacu kepada makna di balik
32
Artinya, positivisme berpandangan bahwa kapan saja orang
berinteraksi akan menghasilkan suatu realitas, sebuah dunia fakta
sosial dan merupakan kenyataan obyektif. Lihat Walsh, 1972.
Positivism. Amsterdam: Rouldge.
114
aktivitas aktual dinamis warga masyarakat sebagai pelaku
hukum itu sendiri. Dengan cara ini, tentu mereka
membangun sebuah dunia hukum, yaitu dunia yang isinya
subjektivikasi hukum.33
Sehubungan dengan pandangan terurai di atas, jika
kajian hukum yang dilakukan didasarkan pada paradigma
yuridis normatif positivistis maka ia tidak mampu
menggali pengetahuan normatif dalam diri kepala orang
atau sekelompok orang yang terlibat, juga tidak menjawab
hakekat hukum di balik interaksi itu sendiri.34 Oleh sebab
kelemahan demikian ini, kajian hukum dengan perspektif
fenomenologis mendesak dan penting dilakukan jika tidak
ingin melihat perkembangan ilmu hukum berada pada titik
nadir. Selain itu, dengan perspektif epistemologi ini
33
Dalam perspektif kebudayaan, hukum merupakan bagian dari
kebudayaan mengingat pemahaman konsep kebudayaan seperti ini
membedakan dengan konsep kebudayaan dalam perspektif
positivisme. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat, misalnya,
diartikan sebagai suatu gagasan yang harus diikuti suatu aktivitas
sosial, dan hasil karya. Artinya, dalam perpektif positivisme
kebudayaan dipandang sebagai given, barang jadi, dan selesai yang
sudah seharusnya dipedomani.
34
Di sini subyek penelitian disebut sebagai orang, bukan sebagai
manusia. Manusia dikatakan orang di saat secara sosial ia dikenal atau
mengenal lingkungan sosialnya sehingga dalam dirinya terikat hak dan
kewajiban sosial. Praktek pemenuhan sebagian hak dan kewajiban
sosial tersebut melahirkan aksi dan reaksi dari orang yang berada di
dalam lingkungan sosial bersangkutan. Di dalam proses interaksi sosial
tersebut, manusia telah beridentitas sehingga ia disebut orang. Istilah
manusia telah biasa digunakan dalam wacana antropologi forensik dan
biologi, sementara dalam komunitas sosial istilah orang terasa lebih
bersifat sosial daripada istilah manusia.
115
hakekat interaksi dapat dipahami dengan baik sehingga
kelahiran ilmu hukum baru dapat diharapkan.35 Namun
demikian, paradigma filosofis adalah persoalan pilihan dan
pertanggungjawaban apa yang telah dipilih merupakan hal
yang ditunggu-tunggu.
V.3 Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan.
Dalam kehidupan sehari-hari, jikalau orang berbicara
hukum, lebih-lebih yang sedang mengalami atau ketimpa
persoalan hukum, umumnya yang dipikirkan adalah
keadilan apa yang akan dirumuskan oleh hakim ke dalam
putusan. Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum
sebelum menjatuhkan putusan memperhitungkan setidaktidaknya tiga unsur, yaitu adanya unsur kepastian hukum
(Rechtszekerheit). Artinya, hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan. Setiap orang mengharapkan diterapkan hukum
yang tepat dalam hal terjadi peristiwa hukum konkrit.
Dengan demikian, dalam konteks peradilan hakim
dan aparat penegak hukum lainnya hanya memainkan
peran sebatas sebagai hamba udang-undang yang bertugas
untuk melaksanakan undang-udang dimaksud. Ada
pandangan dari Michel Steven Green bahwa
“Decisions can not be all there is to the law, for
courts deciding cases are guided by the law-by the
legal rules that can be found in constitutions, statues,
35
Dengan model dialektika seperti ini tentu mendatangkan atau
menghasilkan pengetahuan berabstrak tinggi. Mengenai pengertian
dialektika itu sendiri dapat dibaca pada Lorens Bagus 2006, Kamus
Filsafat, hlm. 162-164
116
regulations and past judicial opinions. The
philosophical community agreed. The realists‟ theory
of law was, in the philosophers‟ words, „deeply
implausible,‟ open to easy refutation, and a
jurisprudential joke”.36
Apa hukum yang harus diterapkan tidak boleh
menyimpang dari aturan hukum yang mengaturnya
sehingga semboyan Fiat Justitia et Pereat Mundus
(meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan)
betul-betul diwujudkan. Pandangan positivistik demikian
ini memang amat popular mengingat masyarakat amat
mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan berada dalam
keadaan tertib.
Meskipun demikian, apakah sebuah produk hukum
seperti putusan hakim dalam proses peradilan juga serta
merta memenuhi rasa keadilan bagi pesengketa khususnya
dan umumnya masyarakat. Untuk itu pertanyaannya,
keadilan yang bagaimanakah yang harus dipenuhi oleh
hakim dalam putusannya? Keadilan itu hendaknya
dikaitkan dengan fakta bahwa orang yang mengajukan
perkara hukum kongkrit ke pengadilan selain bertujuan
untuk mengembalikan hak-haknya yang untuk sementara
dirampas atau terampas oleh pihak lain. Jika tidak, ia
merasa keadilannya terampas. Dengan kata lain, ia bisa
36
Pandangan sarjana ini dimuat dalam bukunya Michael Steven
Green, 2005. Legal Realism as Theory of Law. Williamsburg: William
& Mary Law Review, Vol. 46.
117
disebut sebagai pencari keadilan. Harapan pencari keadilan
yang mengajukan perkara ke pengadilan adalah hasil
penyelesaian perkara yang adil seperti keadaan semula.37
Di sini mulai muncul permasalahan tentang apa yang
dimaksud keadilan itu, dan apa ada alat ukurnya untuk
mengatakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa
keadilan.
Di bawah ini disebutkan beberapa sarjana yang
mencoba mendefinisikan keadilan. Secara akademik,
perbedaan dan perdebatan memang menarik mengingat
perdebatan itu justru sering menghasilkan sintesa sebagai
calon tesis kecil baru. Dalam perspektif Hegelisme ilmu itu
bisa cepat berkembang jika proses dialog tersebut terjadi.
Adil dan Keadilan. Guna memahami nilai-nilai keadilan
dalam hukum dimulai dari memahami apa arti adil dan
keadilan itu sendiri. Menurut Kahar Masyhur apa yang
dinamakan adil tersebut adalah:
1. Adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya.
2. Adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan
hak orang lain tanpa kurang.
3. Adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara
lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang
berhak, dalam keadaan yang sama, dan penghukuman
37
Lihat J.Johansyah, 2001. Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Gramedia, hlm. 42
118
orang jahat atau melanggar hukum, sesuai dengan
kesalahan dan pelanggarannya.18
Seorang tokoh filsafat hukum alam, Thomas Aquinas,
mengelompokan keadilan menjadi dua, yaitu :19
1. Keadilan umum yaitu keadilan menurut kehendak
Undang-undang yang harus ditunaikan demi
kepentingan umum.
2. Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada
asas kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus ini
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Keadilan distributif (justitia distributiva)
Adalah keadilan yang secara proposional diterapkan
dalam lapangan hukum publik secara umum contoh,
negara hanya akan mengangkat seseorang menjadi
hakim apabila orang itu memiliki kecakapan untuk
menjadi hakim.
b. Keadilan komutatif adalah keadilan dengan
mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi
c. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal
menjatuhkan hukum atau ganti kerugian dalam
tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia
dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya
hukuman yang telah ditentukan atas tidak pidana
yang dilakukannya.
19.Kahar Masyur, 2004. “Membina moral dan Akhlak, Hukum”,
M.Muchsin. 2004. Ikhtisar Materi Pokok Hukum. Jakarta: STIH
IBLAM, hlm. 83
119
Menurut Aristoteles keadilan dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:20
1. Keadilan korektif, keadilan dengan menyamakan
antara prestasi dan kontra prestasi, keadilan ini
didasarkan pada prestasi baik yang sukarela maupun
tidak, misalnya dalam perjanjian tukar menukar.
2. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang membutuhkan
distribusi atas penghargaan
Menurut Tasrif sebagaimana dikutip oleh Lili Rasyidi
dan Arief Sidharta ada empat syarat minimum agar
keadilan mendapat pernyataannya yaitu : 21
1. Yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan
kesebandingan;
2. Dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus
mempunyai dua ujung dan diantara dua ujung itu ia
berada;
3. Dalam sifatnya sebagai yang sebanding, kesebandingan
itu harus dinyatakan dalam dua bagian yang sebanding,
kesebandingan itu harus dinyatakan dalam dua bagian
yang sebanding dari apa yang dibagi;
4. Dalam sifatnya yang adil harus ada orang-orang
tertentu untuk siapa hal itu adil.
Sebetulnya yang dibicarakan di masyarakat adalah
keadilan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
20
Ibid, hlm. 85
Lili Rasjidi dan B. Arief sidarta, Filsafat Hukum, Mazhab dan
Refleksinya dalam.M. Muchsin, 2004. Ikhtisar Materi Pokok Filsafat
Hukum. Jakareta: STIH IBLAM, hlm. 87
120
21
Misalnya tidak ada keadilan bagi rakyat kecil pencari
keadilan atau tidak ada keadilan bagi wanita dan anakanak, tidak ada keadilan bagi pegawai negeri karena
gajinya kecil. Keadilan seperti ini oleh Lawrance Friedman
disebut sebagai Total Justice yakni Justice Without
Response.
Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum
dalam menjatuhkan putusan harus memperhitungkan Tiga
unsur.
1. Pertama, unsur kepastian hukum (Rechtszekerheid).
Artinya hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan.
Setiap orang mengharapkan ditetapkannya hukum
dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana
hukumnya inilah yang harus berlaku. Pada dasarnya
tidak boleh menyimpang, Fiat Justitia et Pereat
Mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian
hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang. Yang
berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadilan tertentu.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum,
karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat
akan tertib.
2. Kedua, kemanfaatan (Zweckmassigheit).
Artinya
dalam pelaksanaan penegakkan hukum harus memberi
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Sampai di sini,
sering putusan pengadilan yang dianggap sebagai track
121
kepastian hukum menemukan persolan tersedniri karena
masyarakat memandang bahwa hukum Negara bukan
hukum masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat
memiliki hukum yang disebut hukum adat sehingga
hukum yang menghadirkan kemanfaatan tentu hukum
mereka sendiri yang biasa disebut hukum adat.
3. Unsur ketiga adalah keadilan (rechtvaardigheid).
Artinya bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum keadilan masyarakat diperhatikan. Hukum tidak
identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum
mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan dan
menyeragamkan. Dalam menegakkan hukum harus
kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur
tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional
seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah
mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang
antara ketiga unsur itu.38
Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum
dalam membuat putusan harus memperhatikan konsep
keadilan seperti yang telah diuraikan. Meskipun demikian,
keadilan yang bagaimanakah yang harus dipenuhi oleh
hakim dalam putusannya? Masyarakat seringkali
menghubungkan antara keadilan dengan moral. Artinya
hakim dalam menjatuhkan putusan harus memberikan
38
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum, Citra Aditya Bakti. Bandung, hlm. 1-2
122
keadilan moral justice. Meskipun dalam praktek, hakim
melihat keadilan dari sisi legal justice system.
123
BAB VI
TEORI HUKUM SEBAGAI ASUMSI
VI.1 Teori-Teori Hukum Tata Negara39
Teori sebagai asumsi adalah jawaban-jawaban sementara
terhadap permasalahan yang diajukan dalam sebuah karya
ilmiah. Misalnya dalam hukum tata negara, ada
permasalahan kekuasaan legisilatif umumnya dan
pemegang kekuasaan negara khususnya yang setelah
reformasi ini sering dipertanyakan keabsahannya. Dalam
konteks akademis, dapat dijelaskan dengan beberapa teori.
Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang menjadi fokus
perhatian, yaitu (a) siapa yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam negara; dan (b) apa yang dikuasai oleh
pemegang kekuasaan tertinggi itu.40 Dalam konteks negara
Indonesia, pemikiran tentang Kekuasaan di bidang legislasi
menurut UUD 1945 dapat dibahas berdasarkan teori
kedaulatan rakyat (demokrasi) sebagai teori utamanya
(grand theory). Selanjutnya untuk memperkuat teori
tersebut digunakan teori sistem pemerintahan sebagai teori
pendukung (middle range theory). Kemudian berdasarkan
kedua teori tersebut di atas, digunakan teori aplikatif
(applied theory) yaitu teori legislasi.
39
Disarikan dari proposal Disertasi Dr. Pataniari
Jimly Asshiddiqie, 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, hlm. 9.
124
40
Namun sebelum sampai pembahasan, dibawah ini
diperkenalkan lebih dahulu beberpa teori terkait.
Diantranya adalah:
1. Teori Kedaulatan
Istilah
kedaulatan,
menurut
Sri
Soemantri
Martosuwignjo adalah sesuatu yang tertinggi di dalam
negara. Jadi kedaulatan dapat diartikan sebagai
kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan yang tidak di
bawah kekuasaan yang lain.41 Dalam ilmu hukum tata
negara dikenal ada 5 (lima) teori kedaulatan yang
menjelaskan mengenai hal tersebut. Kelima teori itu
adalah: (a) Kedaulatan Tuhan; (b) Kedaulatan Raja; (c)
Kedaulatan Negara; (d) Kedaulatan Rakyat; dan (e)
Kedaulatan Hukum.42
Mengenai tata urutan kelima teori kedaulatan
tersebut, antara para sarjana hukum di Indonesia
mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut
Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih misalkan,
mereka membagi dan mengurutkan kelima teori tersebut
dengan urutan sebagai berikut (a) Kedaulatan Tuhan;
(b) Kedaulatan Raja; (c) Kedaulatan Rakyat; (d)
Kedaulatan Negara; dan (e) Kedaulatan Hukum.43
41
Eddy Purnama, 2007. Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis
Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya
dengan Negara-Negara Lain Jakarta: Nusamedia, hlm. 9.
42
Ibid.
43
Mohammad Koesnardi & Bintan R. Saragih, 1988. Ilmu Negara,
Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 118.
125
Sedangkan menurut Hamid Attamimi, ia membagi dan
mengurutkan teori kedaulatan menjadi 5 (lima)
kelompok tetapi untuk Kedaulatan Tuhan tidak ia sebut,
sebagai gantinya ia menggunakan istilah ajaran
kedaulatan dalam lingkup sendiri.44 Adapun menurut
Wirjono Prodjodikoro, kedaulatan terdiri dari (a)
Kedaulatan Negara; (b) Kedaulatan Tuhan; (c)
Kedaulatan Rakyat; dan (4) Kedaulatan Hukum.45
Dalam perkembangan saat ini, berkaitan dengan
teori-teori kedaulatan tersebut dapat dikatakan bahwa
90% (sembilan puluh persen) negara di dunia dengan
tegas telah mencantumkan dalam konstitusinya masingmasing bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat,
dan kekuasaan pemerintah bersumber kepada kehendak
rakyat. Inilah prinsip dasar yang kemudian dikenal
dengan konsep demokrasi.46
44
Hamid S. Attamimi, 1991. ”Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,” Disertasi,
Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI, hlm. 129-130.
45
Wirjono Prodjodikoro, 1989. Azas-azas Hukum Tata Negara di
Indonesia,Jakarta: Dian Rakyat, hlm.5-6.
46
Masykuri Abdillah, 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna
Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi
1966-1993, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, hlm. 73, yang menyatakan
bahwa ”demokrasi mengandung unsur-unsur: kekuasaan mayoritas,
suara rakyat dan pemilihan yang bebas, dan bertanggung jawab.”
126
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah
”demokrasi” diartikan sebagai pemerintahan rakyat.47
Pada awalnya pelaksanaan konsep gagasan tersebut
dilakukan secara langsung khususnya ketika pada masa
pemerintahan Yunani ketika pada waktu itu bentuk
negara masih berwujud polis. Artinya, rakyat terlibat
langsung dalam proses pemerintahan. Namun seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk dan luasnya
suatu negara, maka hal itu menjadi sulit untuk
dilakukan.
Dari sinilah kemudian muncul konsep yang
dinamakan demokrasi tidak langung atau perwakilan.
Artinya, rakyat tidak lagi terlibat langsung dalam proses
pemerintahan. Dalam konsep tersebut, rakyat
diharuskan menentukan atau memilih para wakilwakilnya untuk menduduki posisi tertentu dalam
pemerintahan.
2. Teori Perwakilan
Berdasarkan hal itu kemudian berkembang beberapa
teori yang menjelaskan mengenai hubungan antara si
wakil dengan para orang yang diwakilinya. Menurut
Gilbert Abcarian, ia membagi keberadaan wakil rakyat
ke dalam empat perspektif, yaitu:
47
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.2002. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Edisi III, Cetakan Ke-. Jakarta: Balai Pustaka, hlm.
249.
127
(1) wakil rakyat bertindak sebagai wali (trustee), di sini
ia bebas bertindak untuk mengambil keputusan
menurut
pertimbangannya
sendiri
tanpa
berkonsultasi dengan yang wakilinya;
(2) wakil rakyat bertindak sebagai utusan (delegate), di
sini wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari
wakilnya, di wakil selalu mengikuti instruksi dan
petunjuk dari yang diwakilinya;
(3) wakil rakyat bertindak sebagai politico, di sini si
wakil kadang bertindak sebagai wali dan ada
kalanya bertindak sebagai utusan yang tergantung
isu; dan
(4) wakil rakyat bertindak sebagai partisan, di sini si
wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau
program dari partai si wakil. Setelah si wakil
terpilih maka lepaslah hubungan dengan
pemilih/rakyat dan mulailah hubungan dengan
partai yang mencalonkannya dalam Pemilu
tersebut.
Selanjutnya ada beberapa teori yang menyangkut
hubungan si wakil dengan yang diwakilinya yang antara
lain dikemukakan oleh Bintan Saragih.
1. Teori mandat, dimana si wakil yang duduk di
lembaga perwakilan karena mandat dari rakyat
sehingga di sebut mandataris.
2. Teori organ, yang menyatakan bahwa negara
merupakan suatu organisme yang mempunyai alatalat kelengkapan seperti eksekutif, parlemen, dan
128
mempunyai rakyat yang kesemuanya mempunyai
fungsi masing-masing dan saling tergantung sama
lain. Setelah rakyat memilih wakilnya, tidak perlu
lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan
lembaga itu bebas melakukan fungsinya menurut
undang-undang dasar.
3. Teori sosiologi Rieker yang menganggap bahwa
lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan
politis tetapi merupakan bangunan masyarakat
(sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya
yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan
yang akan benar-benar membela kepentingan si
pemilih sehingga terbentuk lembaga perwakilan.
4. Teori hukum obyektif dari Duguit yang menyatakan
bahwa pada dasarnya hubungan antara rakyat dan
parlemen adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat
melaksanakan tugas kenegaraannya hanya atas nama
rakyat. Sedangkan rakyat tidak akan dapat
melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa
mendukung wakilnya dalam menentukan wewenang
pemerintah. Jadi ada pembagian kerja.48
Berdasarkan teori-teori sebagaimana tersebut di
atas, terdapat satu hal pokok yaitu bahwa seorang wakil
rakyat bertindak mewakili dan mengikuti atau
mewujudkan aspirasi rakyat dalam sebuah lembaga
48
Bintan R. Saragih, 1987. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan
Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 82-86.
129
perwakilan yang merupakan bangunan masyarakat yang
memiliki keahlian dalam melaksanakan tugas, fungsi,
dan wewenang tertentu sebagaimana layaknya tugas
pokok lembaga perwakilan di dalam bangunan negara
demokrasi.49
Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan
pemerintahan oleh rakyat mengalami berbagai
penyempurnaan. Dalam tahap perkembangan tersebut,
mulai dikenal ada teori pendistribusian kekuasaan.
Salah satu teori yang monumental mengenai hal itu
adalah teori trias politica yang dikemukakan oleh
Montesquieu. Menurut Montesquieu, perlu ada
pemisahan antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Kalaupun tidak bisa,
maka setidaknya mempertahankan agar kekuasaan
yudikatif tetap independen.50 Menurut Ismail Sunny,
teori trias politica yang digagas oleh Montesquieu
merupakan perkembangan ajaran bentuk negara dari
monarki-tirani ke bentuk negara demokrasi. Dalam
negara modern, hubungan antara ketiga macam
kekuasaan tersebut sering merupakan hubungan yang
kompleks. Trias politica atau biasa disebut Trichotomy
sudah merupakan kebiasaan, kendati batas pembagian
49
DPR RI, 2006. Hasil Laporan Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR
RI. Jakarta: Sekjen DPR RI, hlm. 7-9.
50
Montesquieu, 2007. Kontrak Sosial. Jakarta: Nusamedia, hlm. 187.
130
itu
tidak
selalu
51
mempengaruhi.
sempurna
bahkan
saling
3. Teori Sistem Pemerintahan
Sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas,
perkembangan pemerintahan oleh rakyat telah
melahirkan teori trias politica yang memisahkan antara
kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan
kekuasaan yudikatif. Berkaitan dengan hal tersebut,
selanjutnya berkembang berbagai teori
yang
menjelaskan mengenai sistem pemerintahan. Sistem
pemerintahan merupakan sistem yang berkaitan dengan
regeringsdaad penyelenggaraan kekuasaan eksekutif
dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Sistem
pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar
dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu:
a) sistem pemerintahan presidensil (presidential
system);
b) sistem pemerintahan parlementer (parliamentary
system); dan
c) sistem campuran (mixed system atau hybrid system).
Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan
yang terpusat pada jabatan Presiden sebagai kepala
pemerintahan (head of goverment) sekaligus sebagai
kepala negara (head of state). Dalam sistem
parlementer, jabatan kepala negara (head of state) dan
51
Ismail Suny, 1981. Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia,
hlm. 15.
131
kepala pemerintahan (head of goverment) itu dibedakan
atau dipisahkan satu sama lain. Kedua jabatan tersebut,
pada hakekatnya merupakan sama-sama cabang dari
kekuasaan eksekutif.
Oleh sebab itu menurut C.F. Strong, kedua jabatan
eksekutif itu dibedakan antara pengertian nominal
executive dan real executive. Istilah nominal executive
ditujukan untuk jabatan kepala negara. Sedangkan
istilah real executive ditujukan untuk jabatan kepala
pemerintahan.52 Adapun dalam sistem campuran, unsurunsur dari kedua sistem itu tercampur dan sama-sama
dianut. Banyak studi telah yang dilakukan untuk
membedakan antara sistem presidensil,
sistem
parlementer, dan sistem campuran. Menurut Douglas V.
Verney, dari ketiga sistem tersebut, sistem parlemenlah
yang banyak dianut oleh berbagai negara, sehingga
timbul banyak ragam corak parlementarisme yang
dipratikkan di dunia. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 9
(sembilan) prinsip pokok yang menjadi ciri dari sistem
presidensil. Kesembilan prinsip pokok itu adalah:
a) terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara
cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif;
b) presiden merupakan eksekutif tunggal;
c) kepala pemerintahan sekaligus bertindak selaku
kepala negara atau sebaliknya;
52
C.F. Strong, 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Jakarta:
Nusamedia, hlm. 100.
132
d) presiden mengangkat para menteri sebagai
pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung
jawab kepadanya;
e) anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan
eksekutif dan demikian pula sebaliknya;
f) presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa
parlemen;
g) jika dalam sistem parlemen berlaku prinsip
supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensil
berlaku prinsip supremasi konstitusi. Sebab itu,
pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada
konstitusi;
h) eksekutif bertanggung jawab langsung kepada
rakyat yang berdaulat; dan
i) kekuasaan tersebar secara tidak terpusat, tidak
seperti dalam sistem parlemen yang terpusat pada
parlemen.
Amerika Serikat merupakan salah satu contoh
negara yang menganut sistem presidensil. Bahkan
Amerika Serikat sering disebut sebagai salah satu
contoh ideal sistem presidensil di dunia. Namun
demikian, Charles O. Jones mengkritik pemberian
istilah ”presidensil” untuk sistem yang dipratikkan di
Amerika Serikat. Menurutnya, sebutan yang lebih
tepat bagi sistem tersebut adalah a sparated system of
goverment dan bukan a presidential system of
government. Sistem pemisahan kekuasaan (separation
of power) dengan prinsip checks and balances itulah
133
yang menurut Charles O. Jones lebih menggambarkan
kenyataan. Setiap kekuasaan saling mengkontrol dan
mengimbangi satu sama lain.53 Lebih lanjut dikatakan
oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa untuk sistem
pemerintahan parlementer terdapat sejumlah prinsip
pokok, yaitu:
a) hubungan antara lembaga parlemen dan
pemerintah tidak murni terpisah;
b) fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu
sebagai kepala pemerintahan (the real executive)
dan kepala negara (the nominal executive);
c) kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara;
d) kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri
sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat
kolektif;
e) menteri biasanya merupakan anggota parlemen;
f) pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen,
tidak kepada rakyat pemilih;
g) kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat
kepada kepala negara untuk membubarkan
parlemen;
53
Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, hlm.
316-317.
134
h) dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga
kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi
daripada bagian-bagian dari pemerintahan; dan
i) sistem kekuasaan terpusat pada parlemen.54
Terkait dengan negara Indoneia, sistem pemerintahan
yang dianut adalah sistem pemerintahan presidensil.
Sebab, kesembilan prinsip yang ada pada sistem
pemerintahan presidensil tersebut, ada pada sistem
pemerintahan di Indonesia sebagaimana ternyata
dalam UUD 1945. Bahkan, jika dibandingkan dengan
sistem presidensil yang dianut oleh UUD 1945
sebelum perubahan, maka sistem presidensil yang
dianut sekarang (setelah perubahan UUD 1945) dapat
dikatakan sebagai sistem pemerintahan presidensil
yang lebih murni sifatnya. Presiden Republik
Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan dengan tugas dan wewenangnya
masing-masing menurut UUD 1945. Sebab itu,
kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan
tidak perlu dibedakan atau dipisahkan.55
4. Teori Legislasi
Teori legislasi atau lazim dikenal dengan sebutan teori
perundang-undangan menunjuk kepada cabang,
54
55
Ibid., hlm. 315-316.
Ibid., hlm. 317.
135
bagian, segi atau sisi dari ilmu perundang-undangan
yang bersifat kognitif dan berorientasi pada
mengusahakan kejelasan atau memberi pemahaman,
khususnya pemahaman yang bersifat mendasar di
bidang perundang-undangan, yaitu antara lain
pemahaman mengenai undang-undang, pembentukan
undang-undang, perundang-undangan dan lain
sebagainya. Sebab itu, karakter teori perundangundangan suatu negara sangat terkait sekali dengan
sistem pemerintahan negara dari negara itu. Fungsi
perundang-undangan bukan hanya memberi bentuk
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup
dalam masyarakat, dan juga bukan hanya sekadar
produk fungsi negara di bidang pengaturan.
Kekuasaan pembentuk undang-undang, hendaknya
berusaha memberi bentuk terhadap pengubahan moral
masyarakat dan watak bangsa sesuai dengan yang di
cita-citakan. Kekuasaan pembentuk undang-undang
kini tidak lagi ”berjalan di belakang” mengikuti atau
membuntuti
perkembangan
masyarakat
tetapi
”berjalan di depan” membimbing dan memimpin
perkembangan masyarakat. Pembentukan undangundang tidak lagi mengarah kepada upaya melakukan
”kodifikasi” melainkan ”modifikasi”.56 Dalam
56
Hamid S. Attamimi, 1992. ”Teori Perundang-undangan Indonesia:
Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia Yang
Menjelaskan dan Menjermihkan Pemahaman,” Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar. Jakarta: FHUI,hlm. 116-117.
136
melakukan ”modifikasi” terhadap masyarakat,
pembentuk undang-undang harus benar-benar
memperhatikan hirarki perundang-undangan dan
karakter produk hukum yang dibentuknya (responsif,
otonom, atau represif).
Kerangka teori tersebut di atas, digambarkan dalam
ragaan sebagai berikut:
137
Kedaulatan Rakyat/
Demokrasi
Grand Theory
Langsung
Tidak Langsung
Sistem
Pemerintahan
Middle Range Theory
Presidensil
Applied Theory
Analisis dan Sintesa
Parlementer
Hybrid
Legislasi
Kekuasaan
Membentuk UU
menurut UUD 1945
138
VI. 2 Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum
Dalam subab ini dikemukakan teori-teori klasik ilmu sosial
terhadap hukum baik dalam kajian sosiologi hukum seperti
dalam pandangan Max Weber, Emille Durkheim, dan Karl
Marx, maupun dalam kajian Antropologi Hukum dan Ilmu
Hukum Adat. Pengemukaan teori-teori dari tokoh-tokoh
tersebut
dilakukan
mengingat
peran
sebagian
pandangannya ditujukan pada hukum menjadi basis
perkembangan hukum ditilik dari perspektif ilmu sosial.
Selain itu, pandangan-pandangannya juga bermuatan
erat dan konsen dengan perkembangan masyarakat, bentuk
hukum, pemikiran-pemikiran hukum, dan subyek juridis
lainnya. Pemahaman teori klasik tersebut di bawah ini
diharapkan akan memberi basis kuat kepada peminat
hukum untuk mengerti munculnya perspektif sosiologi
terhadap hukum.
VI.2.1 Dalam Sosiologi Hukum
VI.2.1.1 Dalam Pandangan Max Weber
Salah satu tokoh klasik yang tidak dapat ditinggalkan
ketika seseorang mencoba mempelajari ilmu sosial,
terutama sosiologi hukum, adalah Max Weber (18641920). Ia dilahirkan di negeri Jerman yang keseluruhan
hidupnya dimanfaatkan untuk menekuni segenap karya
intelektual dan politik. Ia memperoleh pendidikan ketika
aliran jurisprudence menjadi populer di Jerman. Dalam
perjalanan pendidikan itu, ia belajar hukum Roman,
Hukum Hindu, Hukum Inggris, dan Hukum Eropa.
Serangkaian
hukum
tersebut
menjadikan
ia
139
berpengetahuan tidak saja hukum normatif, tetapi juga
mencakup sistem hukum yang berkembang dalam
peradaban kuno.
Selain kelengkapan pengetahuan yang mendalam
dan luas menjadikan dirinya mampu menaklukan
pertanyaan-pertanyaan hasil dialog internal yang diangkat
sendiri. Keintelektualannya selain dipengaruhi oleh ajaran
sejarah juga terpengaruh oleh ajaran Karl Max yang
berkembang di Jerman saat itu, dan bahkan ia juga
menerapkan pemahaman bahwa struktur ekonomi ikut
serta berperan dalam menentukan politik, seni, hukum,
filsafat.
Teori Weber yang berkenaan dengan hukum adalah
ketika ia berpandangan bahwa perkembangan masyarakat
senantiasa selaras dengan perkembangan hukumnya.
Pandangan demikian ini memperlihatkan bahwa teorinya
diwarnai oleh pengalaman empirisnya di negeri Jerman,
ketika di sana masyarakatnya tidak pernah mengalami
perubahan yang sifatnya revolusioner. Weber menguji
proposisinya melalui tulisan-tulisan khususnya yang
termuat dalam buku yang ia sebut sebagai economic and
society. Dalam buku ini ia tidak setuju dengan pandangan
Karl Marx tentang determinasi ekonomi, tetapi ia juga
berpendapat bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang
paling penting di antara faktor-faktor politik, agama dsb.
Oleh karena pandangan demikian ini, ia menganggap
dirinya sebagai seorang liberal namun tetap sadar akan
140
kataristik kontradiktori dan destruktif. Akibatnya, ia
diidentifikasikan sebagai Marxis borjuis.
Di dalam bidang hukum, ada dua aktifitas dasar
yang menciptakan hukum dan menemukan hukum.
Artinya, ia membedakan pendekatan legal terhadap hukum
dan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Pendekatan
pertama peduli dengan cara dimana perilaku aktual hakim,
pengacara, penjahat, dan penduduk mengukur normanorma ideal sistem hukum. Mereka menggunakan hukum
sebagai standar nilai untuk mengukur perilaku orang,
sementara pendekatan sosiologis memandang aturan
hukum sebagai komponen kenyataan dan peduli dengan
bagaimana hukum sebagai motif orang untuk
melaksanakan dan sebagai faktor motif bagi orang yang
mentaatinya. Hukum menurutnya didefinisikan sebagai
suatu tatanan, tatanan akan di sebut hukum jika secara
eksternal dijamin oleh kemungkinan paksaan fisik dan
psikologis untuk menghasilkan kenyamanan yang akan
diterapkan oleh orang yang secara khusus dipersiapkan
untuk tujuan itu.
Weber menyajikan suatu pendekatan hukum dan
masyarakat dimana hukum didefinisikan berkenaan dengan
norma-norma hukum dan pranata-pranata hukum yang
mengatur tingkah laku bagi para pelaku hukum, baik itu
individu-individu maupun asosiasi-asosiasi. Satu hal
penting dari pemikiran Weber adalah hukum dipandang
sebagai kumpulan norma atau aturan yang dikombinasikan
dengan konsensus dan penerapan paksaan. Dua unsur
141
tersebut merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam
hukum. Dengan demikian, hukum merupakan kombinasi
antara beberapa langkah kesepakatan, suatu persetujuan
tentang prosedur-prosedur, proses-proses melalui apa
hukum dibuat, dan pelaksanaan melalui organisasi
kekuasaan negara.
VI.2.1.2 Teori Solidaritas Dalam Pandangan Emille
Durkheim
Tokoh ilmu sosial lain yang memiliki konsen terhadap
hukum adalah Emile Durkheim (1858-1917). Ia seorang
Perancis yang menulis buku The Rules of Sociological
Method (1895). Dalam tulisannya, ia memberikan
perhatian lebih pada masyarakat daripada individu,
mengingat manusia dipandang hanya semata-mata sebagai
individu yang hidup dalam masyarakat dan kehidupan
individu dilahirkan dari masyarakat. Pendekatan dasar
yang ia gunakan dalam mengkaji segala sesuatu adalah
menemukan fakta sosial dan pandangan yang ada dalam
fakta sosial. Perhatian utama Durkheim demikian dapat
diketahui dalam tulisan-tulisannya yang berkenaan dengan
persoalan solidaritas sosial, integrasi sosial, dan apa yang
dimaksud masyarakat itu sendiri. Artinya, pendekatan yang
digunakan adalah anti individualistik.
Dalam konteks hukum, pandangannya dapat di baca
ketika ia mengawali studi tentang hukum dan masyarakat
dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan sosiologis
penting seperti berikut.
142
What is about human society whit its over more
complex
interrelationship,
structures
and
institutions which ensures not only its continuity an
cohesion but also its transformation? (Apakah
sesungguhnya yang terdapat di dalam masyarakat
yang sedemikian rumit hudungan-hubungannya,
struktur-struktur dan pranata-pranatanya yang
menjamin tidak hanya kontinuitas sebuah kohesi
tetapi juga tranformasinya)
Durkheim kemudian mempertanyakan What holds
society together? (Apa sebenarnya yang menyebabkan
masyarakat terikat menjadi satu kesatuan). Kemudian ia
menjawab sendiri The primary of the social collective life
is not born from individual life, but it is no the contrary the
second which is born what of the first (Penyebab terpokok
adalah sosial. Kehidupan kolektif tidak lahir dari
kehidupan individual, melainkan sebaliknya kehidupan
individual lahir dari kehidupan kolektif). Menurutnya,
social life, especially where it exists durably, tend
inevitably to assume a define form and to organize
itself an law is nothing also than this very
organization in so far it has greater stability and
precision (kehidupan sosial, khususnya dimana
hukum dapat bertahan terus menerus cenderung
untuk mengasumsikan sebuah bentuk terbatas dan
masyarakat mampu mengorganisir dirinya sendiri
dimana hukum merupakan salah satu sarana
pengorganisasian dan karena ada hukum, masyarakat
dapat stabil).
143
Di dalam karyanya tentang metodologi dan melalui
studi tentang hubungan antara hukum dan masyarakat, ia
menganalisis faktor-faktor sosial yang menentukan polapola hukum yang berbeda-beda dan cara-cara
menfungsikan hukum untuk mempertahankan tipe-tipe
masyarakat berbeda-beda. Dalam konteks ini, ia
berpandangan bahwa hukum menjadi lebih independen
dari kondisi-kondisi sosialnya dan juga menjadi lebih
berbeda mengingat masyarakat senantiasa berubah-ubah
dari organisasi dan asosiasi yang relatif berbentuk
sederhana menjadi organisasi dan asosiasi yang memiliki
pola-pola kompleks. Dalam perkembangan dari
masyarakat
sederhana
ke
kompleks
tersebut,
perkembangan hukum juga berubah dari masyarakat
sederhana ke kompleks. Dalam konteks ini Durkheim
memberi konsep perubahan hukum dan masyarakat.
Teori Perubahan Hukum dan Masyarakat. Durkheim
dalam karya bukunya De la Division dan Les Regles
memberi perhatian besar pada persoalan pembagian kerja
dalam perubahan sosial. Durkheim melihat bahwa dalam
peningkatan jumlah penduduk harus serentak dengan
peningkatan kepadatan materi, derajad konsentrasi
penduduk pada wilayah tertentu, dan terutama pada
persoalan moral atau kepadatan dinamis. Artinya, menurut
Durkheim, jumlah individu yang memelihara hubungan
satu sama lain bukan saja bersifat lugas, melainkan juga
bersifat moral, yaitu melayani kehidupan bersama.
144
Kepadatan itu ditingkatkan oleh adanya konsentrasi
penduduk dalam wilayah tertentu, oleh pembentukan
kuota-kuota dan oleh peningkatan jumlah dan kesepakatan
sarana-sarana komunikasi. Akhirnya, Durkheim melihat
bahwa pertumbuham volume dan kepadatan dimaksud
melakukan pembagian kerja. Artinya, ia mempertajam
perjuangan hidup dan konflik-konflik sosial hanya
mungkin diletakkan, paling tidak dikurangi jika orang
melakukan spesialisasi. Jadi, Durkheim melihat
peningkatan pembagian kerja sebagai daya penggerak
kemajuan dan yang kesemuanya berproses secara mekanis
dan berlangsung terlepas dari kemauan individu.
Kemudian, Durkheim membedakan dua tipe
solidaritas sosial. Pertama, solidaritas mekanis. Solidaritas
mekanis merupakan ciri masyarakat dimana taraf
pembagian kerjanya masih rendah dan sifat masyarakatnya
relatif masih utuh. Di sini hukum bersifat refresif. Di
dalam tipe ini, di antara warga masyarakat memiliki
keterikatan besar dan keterikatan ini menjadi dasar
berdirinya masyarakat sederhana. Di dalam masyarakat
jenis ini tidak bisa ditolerir timbulnya perbedaan sehingga
hubungan-hubungan di dalamnya bersifat mekanis.
Seandainya terjadi penyimpangan atau kelalaian, maka
cara berfikir mereka menyebabkan kelumpuhan
keseluruhan sendi masyarakat. Oleh karena itu, hukum
yang dapat menjamin kelangsungan tipe masyarakat
seperti ini adalah hukum represif dengan sanksi yang
bersifat pidana.
145
Kedua, solidaritas organis. Solidaritas organis
merupakan ciri masyarakat kompleks dengan taraf
pembagian kerja tinggi. Dalam masyarakat kompleks,
penggunaan sanksi restitutif sangat dominan. Selain itu,
masyarakat kompleks memperlihatkan sebuah struktur
sosial yang terdiri atas unsur-unsur yang interdependen,
dimana masing-masing unsur memberikan budaya-budaya
khusus (subculture). Di dalam masyarakat kompleks ini
pula diferensiasi kepentingan warga masyarakat tampak
lebih tegas dan sangat spesialis dibanding masyarakat
sederhana. Masyarakat seperti ini mengandalkan pada
kebebasan dan kemerdekaan, yang sekaligus menjadi dasar
berdirinya masyarakat kompleks. Durkheim melihat
hukum yang cocok dalam masyarakat kompleks adalah
hukum restitutif. Jadi, hukum bukan bekerja dengan cara
menindak, tetapi hukum bekerja dengan mengembalikan
pada keadaan semula.
Pandangan Durkheim lebih lanjut adalah bahwa apa
yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat tergantung
pada tertib sosial. Artinya, kebebasan itu tidak ada dalam
individu, tetapi kebebasan itu berada dalam kerangka
masyarakat. Jika dilihat dari teori Durkheim, maka bentuk
masyarakat Indonesia sudah benar, dan justru bentuk
masyarakat individualistik ala barat salah.57 Meskipun
demikian, teori Durkheim dalam konteks sosiologi hukum
57
Lihat Ahmad ,1993. Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum.
Jakarta: PT. Yarsif, hlm 299
146
menjadi penting karena ia termasuk tokoh awal yang
melihat peranan hukum dalam membentuk masyarakat.
Hanya saja tiada gading yang tak retak, teori Dukheim pun
di alam kenyataan kevaliditasannya diragukan karena pada
masyarakat sederhana jenis hukumnya bersifat represif,
dan pada masyarakat sederhana umumnya didominasi oleh
hukum restitutif karena di dalam masyarakat demikian ini
cenderung mengutamakan keharmonisan.
Dalam buku The rules of sociological Method (1895),
ia lebih menekankan perhatian masyarakat daripada
individu karena manusia hanya semata-mata sebagai
individu yang hidup dalam masyarakat dan kehidupan
individu dilahirkan dari masyarakat. Pendekatan yang ia
gunakan adalah menemukan fakta sosial dan pandangan
yang ada dalam fakta sosial. Perhatian utama Durkheim
dapat diketahui lewat tulisan-tulisannya yang berkenaan
dengan persoalan solidaritas sosial, integrasi sosial, dan
apa yang dimaksud nasyarakat itu sendiri.
Pendekatannya adalah anti individualistik dan
menyarankan adanya penjelasan-penjelasan psikologis.
Dalam konteks hukum, pandangannya dapat dibaca ketika
perhatian utamanya adalah sosiologi murni dimana disana
diberi contoh pernyataan bahwa manusia ada semata-mata
karena dia hidup di dalam masyarakat. Kehidupan kolektif
tidak lahir dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya
kehidupan individual lahir dari kehidupan kelektif.
Ia berpandangan tentang kemungkinan mengkaji
masyarakat secara ilmiah dengan pertimbangan adanya
147
fakta sosial sebagai sesuatu nyata. Faktor sosial tersebut
dicirikan dengan kemampuannya untuk menahan
perubahan. Mereka mempunyai kualitas paksaan dan
pelanggaran-pelanggaran. Hukum dipandang sebagai fakta
sosial namun hukum juga sebagai simbol yang tampak
merefleksikan ciri solidaritas sosial. Sehubungan dengan
itu, cara baik untuk mempelajari masyarakat adalah dengan
mempelajari hukum karena ia merupakan indikator
solidaritas obyektif.
VI.2.1.3 Teori Kelas
Pendekatan Marxis terhadap sosiologi hukum datang dari
dua bentuk. Hukum dan pikiran hukum berasal atau
sebagai produk dari pemegang kelas. Selain itu, dia
berargumentasi bahwa bentuk hukum relatif otonom dari
harapan kapitalisme. Sementara pada saat yang sama ia
menyediakan sebuah lingkungan bagi eksploitasi bagi
pekerja. Hukum dipandang selain sebagai alat yang
digunakan untuk memaksimalkan kepentingan kelas
penguasa dalam masyarakat, juga mengontrol kelas
pekerja. Dalam pernyataan klasiknya, disebutkan bahwa
manusia adalah manusia semata-mata yang hidup di dalam
masyarakat. Kehidupan kolektif tidak lahir dari kehidupan
individual, tetapi sebaliknya kehidupan individual lahir
dari kehidupan kolektif.
Ia berpandangan tentang kemungkinan mengkaji
masyarakat secara ilmiah dengan pertimbangan adanya
fakta sosial sebagai sesuatu nyata. Fakta sosial tersebut
dicirikan dengan kemampuannya untuk menahan
148
perubahan. Dalam konteks hukum, hukum dipandang
sebagai fakta sosial, namun hukum juga sebagai simbol
yang merefleksikan ciri solidaritas sosial. Sehubungan
dengan itu, hukum dipelajari karena ia merupakan
indikator solidaritas obyektif.
Pendekatan kedua, pendekatan struktural. Pendekatan
yang dimaksud menyebutkan bahwa hukum bukan
merupakan sebuah instrumen kelas penguasa namun
hukum mempunyai derajad ketertidakgantungan terhadap
elit-elit tertentu. Pandangan ini dikenal sebagai otonom
relatif. Dengan kata lain, ada sejumlah kekuatan yang
menghasilkan efek-efek tertentu di dalam masyarakat.
Kini, Kedua pendekatan pertama disebut sebagai
commodity exchange perspective dan kedua disebut
sebagai structural interpolation perspective.
149
Teori Perubahan Hukum dan Sosial
No. Theory
1.
Evolution of Law
Key figure
N Luhmann
2.
Living Law
Eugen Erhlich
3.
Social
Engineering
Functional
Law
Structural
Functionalism
4.
5.
6.
Behavior of law
Thesis
three stages: archaic law, pre-modern high
culture, positivisation of law
a set of knowledge which is referred to guide
behaviorism
balancing of interests in a society, law can be a
tool of social engineering
of social reality influences law
Roscoue Pond
Dean Pound
law is a normative behavior expectation, social N Luhmann
system needs a form of law that reflects its
degree of complexity
law related to socio-political stratification
Donald Black
150
VI.2.2 Dalam Antropologi Hukum
VI.2.2.1 Teori Evolusionistik
Pendiskusian antropologi hukum modern biasa dikaitkan
dengan awal karya Maine yang dikenal dengan Ancient
Law (1861) dan Bachofens dalam Das Mutterrecht (1861).
Pengkaitan dimaksud berawal dari pandangan kedua
sarjana tersebut tentang teori-teori evolusionistik tentang
masyarakat dan hukum dalam masyarakat itu sendiri.
Tentu, dapat dibayangkan bahwa hukum yang dianut saat
itu oleh masyarakat tribal adalah hukum sederhana.
Sementara, penekun hukum Eropa tidak menemukan
hukum dimaksud dalam sejarah hukum pada awal atau
permulaan masyarakat mereka dalam rentangan evolusi
panjang. Bahkan, lebih panjang dari waktu yang dikenal
orang Eropa itu sendiri, misalnya hukum Romawi dan
Yunani. Bahkan, hukum yang lebih tua seperti hukum
yang dikenal oleh orang Mesir dalam teks Bibel sekalipun.
Hukum pada masyarakat permulaan merupakan pusat
perhatian munculnya kajian antropologi hukum. Setidaktidaknya, fokus teoretikus adalah bagaimanakah mereka
menyelidiki dengan tepat ke dalam rentangan waktu
dimaksud, misalnya bentuk organisasi sosial dan hukum
yang ada pada saat itu. Hanya pada saat itu, metodologi
dominan yang dilakukan adalah armchair anthropology.
Artinya, suatu karya dikerjakan di atas meja dengan duduk
di depan meja dimana semua bahan didasarkan atas
sumber-sumber tertulis, seperti laporan tertulis yang
diperoleh dari eksplorer, traveller, missionaris dan pejabat
151
sipil dan tentara. Namun demikian, ternyata apa yang
dilakukan mereka berimplikasi pada pemahaman tentang
imperalisme, kolonialisme, etnosentrisme, superiotas
peradaban masyarakat satu terhadap yang lain.
Berangkat dari pemahaman demikian, meskipun
kajian sejenis telah dapat disebut antropologi hukum,
namun demikian ia disebut sebagai antropologi
kontemporer. Sebutan demikian muncul mengingat fokus
kajiannya pada proses perubahan dalam rentangan waktu
panjang sehingga sistem hukum tetap merupakan topik
penelitian menarik. Oleh sebab itu, pertanyaan tentang
hukum pada ratusan tahun lalu tetap menarik, namun
demikian ia berbeda dengan karya antropologi hukum pada
masa kekinian. Perbedaan demikian juga menarik,
terutama dimanakah letak perbedaannya.
VI.2.2.2 Teori Fungsionalisme
Perbedaan dimaksud semakin tampak ketika terjadi
perubahan radikal, terutama munculnya penelitian
lapangan oleh antropolog di tengah-tengah masyarakat
yang mereka kaji. Di antara peneliti demikian ini adalah
Malinowski dan Thurnwald. Mereka, hingga saat ini,
barang kali merupakan sarjana besar yang profesional
dalam penelitian lapangan. Perubahan radikal itu berkaitan
dengan metode dan tentu diikuti dengan teori-teori relevan.
Dengan perubahan dimaksud, ambisi kajian evolusionistik
dan universalistik dikesampingkan, kajian mulai bergeser
kepada fokus masyarakat tunggal atau desa tunggal
tertentu.
152
Deskripsi dan penjelasan tentang masyarakat tunggal
dimaksud menjadi lebih utama. Teori-teori baru
dikembangkan lewat pemilahan-pemilahan masyarakat
menjadi bagian-bagian lebih kecil dan kemudian dianalisis,
terutama fungsi bagian-bagian dimaksud terhadap bagian
lain dalam konteks keseluruhan bagian suatu masyarakat.
Bertitik tolak dari kajian demikian ini, lahir teori
fungsionalisme dan bersamaan dengan itu pula kajiankajian komparatif dan sejarah mulai berkurang pelanpelan.
Semenjak itu, salah satu karakter baru dalam kajian
antropologi pada pengkhususan pada bidang hukum. Hal
terjadi mengingat kaum fungsionalis mulai memilah-milah
bidang kajian, salah bidang kajian dimaksud adalah hukum
sehingga mucul kajian antropologi hukum. Hanya saja saat
itu, kajian masih mengarah pada wilayah proses sengketa,
penyelesaian konflik, ajukasi, dan sejenisnya. Dengan
demikian, antropologi hukum saat itu menjadi antropologi
penyelesaian sengketa.
VI.2.2.3 Teori Realisme
Dalam perkembangan waktu berikutnya, sebuah era
monografi klasik dimulai, terutama setelah muncul karya
Max Gluckmann tentang masyarakat Barotse atau Lozi,
Bohannan tentang masyarakat Tiv, Gulliver tentang
masyarakat Arusha dan Ngendeuli, Faller tentang
masyarakat Soga, Pospisil tentang masyarakat Kapauku
Papuan. Sejumlah monografi karya sarjana-sarjana tersebut
mulai memperdebatkan tentang konsep hukum, dimana
153
hukum difokuskan tidak saja pada proses-proses
sebagaimana disebut sarjana-sarjana sebelumnya, tetapi
mereka mulai mengartikan lain. Oleh mereka hukum
diartikan sebagai aturan-aturan yang diberi sanksi dalam
sebuah prosedur yang terorganisasi rapi.
Perkembangan
dimaksud
telah
memperoleh
masukan-masukan baru dari berbagai pemerhati hukum
lain. Masukan dimaksud menjadikan sarjana-sarjana di atas
merasa perlu membedakan hukum dari tujuan-tujuan
deskriptif dan analitik sebagaimana dilakukan ilmuwan
dengan hukum untuk tujuan-tujuan pragmatis. Hal ini
semakin menjadi perlu ketika segenap pemerhati hukum
pragmatis seperti mereka yang berprofesi sebagai
pengacara, hakim, dan administrator di daerah-daerah
Koloni. Mereka di daerah-daerah dimaksud dihadapkan
pada persoalan keberlakuan nilai-nilai tradisionalitas atau
hukum adat masyarakat sederhana setempat dan
komunitas-komunitas desa.
Di sana, mereka diberi tugas untuk menerapkan
hukum kebiasasan-kebiasaan masyarakat tempatan. Oleh
sebab tugas itu, saat itu mereka dihadapkan pada upaya
pendefinisian hukum kebiasaan dan bagaimana metode
tepat untuk menemukannya. Berkaitan dengan tugas itu
pula, mereka berupaya keras memadankan definisi-definisi
yang tentu dipengaruhi oleh teori-teori yang berkembang
di Amerika. Misalnya, teori realisme hukum yang ditokohi
oleh pemikir seperti Holmes, Gray, Llewellyn. Tentu,
teori-teori dimaksud mempunyai pengaruh kuat pada
154
Antropologi Hukum Anglo-Amerika dan Ilmu Hukum
Adat di Negeri Hindia Belanda.
VI.2.3 Dalam Ilmu Hukum Adat
VI.2.3.1 Teori Hukum Tidak Tertulis
Ketika antropologi hukum mulai berkembang di Indonesia
1990-an tidak sedikit sarjana hukum Indonesia yang
memberi komentar bahwa antropologi hukum bukan
hukum, selain itu dikatakan pula bahwa antropologi hukum
sama dengan ilmu hukum adat. Komentar itu tentu tidak
benar seluruhnya dan sebaliknya sebagian menunjukkan
kesamaan. Betapa tidak, ilmu hukum adat lahir dari ilmu
hukum pada awal abad ke-20. Ia terbit berkaitan dengan
beberapa tulisan seperti tulisan C. Snouck Hurgronje dan
Cornellis van Vollenhoven yang berisi kritikan terhadap
kebijakan pemerintahan jajahan Belanda di Indonesia.
Pada awalnya, kritik itu ditujukan kepada mereka
selama membina hukum di negeri jajahan dimaksud
mengira bahwa hukum adat Indonesia adalah sama dengan
hukum Islam ditambah beberapa adat. Ilmu hukum adat
Indonesia mula bergerak mantap ketika setelah perang
Dunia I terbit tiga buku karya van Vollenhoven berjudul
Het Adatrecht van Nederlandsch Indie (1918-23). Pada
umumnya, hukum adat tidak ditulis kalaupun tertulis
berupa deskripsi tentang hukum adat berbagai masyarakat
etnik Indonesia. Deskripsi itu mirip dengan etnografi
dalam antropologi sehingga batas-batas hukum adat
dengan adat begitu tipis.
155
VI.2.3.2Teori Keputusan
Menurut cacatan, dalam dasawarsa 1930-an mulai ada
pendekatan baru terhadap metode deskripsi suatu sisitem
hukum adat, khususnya hukum perdata tak tertulis.
Pendekatan baru dimaksud dimulai oleh B. Ter Haar
sebagaimana
tampak
pada
karangannya
yang
mendeskripsikan hukum adat dalam kebudayaan tertentu.
Dengan mengambil keputusan-keputusan hakim atau tokoh
pemimpin adat yang berkuasa dalam pengadilan adat
sebagai sumber pokok deskripsi sistem hukum adat dalam
suatu masyarakat Indonesia.
Pendekatan Ter Haar terhadap deskripsi hukum adat
di Indonesia dimaksud merupakan awal upaya ahli hukum
untuk menentukan secara tajam norma-norma tata
kehidupan sosial yang disebut hukum adat dan yang
mempunyai perasaan hukum (rechtsgevolgen), akibatakibat hukum dari tata hukum kehidupan sosial berupa
adat istiadat. Dalam kaitan ini, Ter Haar mencari
perbedaan hukum dari adat-istiadat di Pengadilan Adat,
berupa keputusan-keputusan hakim atau para tokoh
pemimpin adat yang kemudian lahir apa yang disebut teori
keputusan. Ia mencari apa yang disebut wibawa (gezag),
wewenang, dan kekuasaan. Ketiga hal tersebut merupakan
ciri paling menonjol dari norma-norma atau hukum
kehidupan sosial yang disebut hukum.
156
VI.3 Dalam Ilmu Ekonomi (Teori Investasi)
VI.3.1 Teori Kindleberger
Sebagaimana disebut oleh Pramono58 bahwa Kindleberger
menyebutkan bahwa aspek yang paling sensitif dalam
perekonomian internasional kini adalah aspek investasi
langsung atau direct investment. Amerika Serikat dan
Inggris berusaha membatasi investasi langsung oleh
perusahaan-perusahaan yang berdomisili di dalam batasbatas kedua negara ini untuk membatasi tekanan pada
neraca pembayaran mereka. Larangan-larangan dan
pembatasan-pembatasan ditentukan terhadap investasi
dalam garis-garis kegiatan tertentu yang dianggap
memboroskan, seperti sumber-sumber daya alam,
perbankan, surat-surat kabar, perdagangan eceran, dan
minuman ringan. Ditentukan persyaratan-persyaratan
bahwa harus ada partisipasi dari pihak dalam negeri, valuta
asing harus dibawa masuk, latihan harus diberikan, suku
cadang harus dibeli setempat, riset dalam negeri, ekspor,
dan sebaginya. Di samping itu, masih saja terdapat
kecenderungan untuk internasionalisasi perusahaan.
Teori mengenai investasi langsung mempunyai banyak
implikasi, yaitu:
58
Seperti diketahui bahwa prasyarat investasi adalah security,
kepastian hukum, kelancaran birokrasi, one stop service, insentif pajak,
repatriasi, transfer pricing, dan sebagainya serta adanya UndangUndang Investasi yang baik. Lihat, Nindyo Pramono, 2006. Bunga
Rampai Hukum Bisnis Aktual. FHUGM:. hlm. 190.
157
a. Investasi langsung tidak akan terjadi dalam industri di
mana ada persaingan murni.
b. Perusahaan penanam modal tidak berkepentingan
untuk mengadakan usaha bersama atau joint venture
dengan pengusaha setempat karena akan berusaha
untuk memiliki sendiri selruh keuntungan dan pada
saat bersamaan para penanam modal setempat tentu
tidak akan mau membeli saham-saham dari perusahaan
induk serta penghasilan atas keseluruhan penanam
modal menjadi kabur atau samar-samar dibandingkan
dengan keadaan setempat yang dapat membawa
banyak keuntungan, sebagaimana mereka lihat.
c. Investasi langsung terjadi menurut dua arah industri
yang sama. Hal ini tidak akan terjadi apabila kegiatan
didasarkan atas tingkat-tingkat laba umum. Hal ini
untuk sebagian merupakan kejadian yang khas dalam
persaingan oligopoli, yaitu setiap perusahaan harus
bertindak seperti dilakukan perusahaan-perusahaan
yang lain untuk menghindarkan agar perusahaan lain
tidak mendapatkan laba secara tidak terduga.
VI.3.2 The Product Cycle Theory atau Teori Siklus
Produk
Teori ini paling cocok diterapkan pada investasi asing
secara langsung (foreign-direct investment) dalam bidang
manufacturing. Biasanya merupakan usaha ekspansi awal
dari perusahaan-perusahaan negara maju seperti Amerika
dengan mendirikan pabrik-pabrik untuk membuat barangbarang yang sama atau sejenis di negara lain termasuk
158
negara-negara berkembang. Hubungan antara induk
perusahaan dan pabrik-pabrik sejenisnya di negara lain
tersebut disebut “hirozontaly integrated”. Teori ini
mengatakan bahwa setiap teknologi atau proses produksi
biasanya dikerjakan melalui tiga fase:
Pertama, fase permulaan atau inovasi;
Kedua, fase perkembangan proses; dan
Ketiga, fase pematangan atau fase standardisasi.
Dalam setiap fase tersebut, berbagai tipe perekonomian
negara mempunyai keunggulan komparatif atau a
comparative advantage di dalam memproduksi barangbarang atau komponen-komponen produksinya. Fase
pertama cenderung bertempat di negara atau negara-negara
industri paling maju, seperti Inggris pada abad ke-19,
Amerika Serikat pada awal pasca perang dunia sekitar
tahun 1942, dan Jepang pada akhir abad ke-20. sekitar
tahun 1942, dan Jepang pada akhir abad ke-20.Perusahaanperusahaan tersebut biasanya memagang posisi oligopoli di
negaranya
masing-masing
yang
mengakibatkan
mempunyai
keunggulan
komparatif
di
dalam
mengembangkan produk-produk baru dan proses-proses
industrinya karena adanya permintaan pasar dalam negeri
yang besar dan banyaknya persediaan sumber produksi
sampai diperolehnya hasil produksi yang layak untuk
dipasarkan. Biasanya negara-negara majulah yang
mempunyai cukup dana dalam fase inovasi ini.
Pada fase awal ini, perusahaan-perusahaan di negara
maju seperti Amerika Serikat mempunyai suatu posisi
159
monopoli karena kemampuan teknologi yang belum
tersaingi. Oleh karena permintaan pasar dari luar negeri
terhadap produk mereka meningkat, perusahaanperusahaan itu kemudian meningkatkan ekspor produknya
ke pasar luar negeri. Dampak dari penyebaran produk
tersebut di luar negeri, sudah barang tentu akan terjadi
penyebaran teknologi ke negara-negara lain termasuk
negara berkembang. Akibatnya, lama-kelamaan muncul
pesaing-pesaing luar negeri yang cukup potensial. Pesaingpesaing ini kemudian mampu membuat rintanganrintangan dagang atau trade barrier yang kemudian dapat
”memaksa” perusahaan negara-negara maju tersebut
memproduksi barang-barang yang sama di luar negeri.
Berarti mereka mau tidak mau harus mendirikan
pabrik atau cabang perusahaan di negara lain atau di luar
negeri termasuk di negara-negara berkembang. Akibat
selanjutnya, proses manufacturing dan tempat produksi
cenderung berkembang di luar negeri yang semula
kemasukan aliran modal asing tersebut. Akhirnya, dalam
fase ketiga, dibuatlah standardisasi proses manufacturing
yang memungkinkan peralihan lokasi-lokasi produksi ke
negara-negara yang sedang berkembang, terutama negaranegara industri baru (Newly Industrializing Countries),
yang mempunyai keunggulan komparatif berupa tingkat
upah yang rendah.
Produk-produk dari negara-negara berkembang ini
pun kemudian diekspor ke pasaran global. Singkatnya, the
product cycle theory ingin membantu menjelaskan bahwa
160
perusahaan multinasional dan persaingan oligopoli,
perkembangan, dan penyebaran teknologi industri
merupakan unsur-unsur penentu utama terjadinya
perdagangan dan penempatan lokasi-lokasi aktivitas
ekonomi secara global melalui investasi dan timbulnya
strategi
perusahaan
yang
mengimplementasikan
perdagangan dan produksi di luar negeri.
161
Keluar
an
0
0
0
MODEL SIKLUS PRODUK (VERNON, 1966)
PRODUK YG
PRODUK
PRODUK BARU
MENJADI DEWASA
DISTANDARDISASI
MEMPRODUKSI DI LUAR NEGERI
MEMPRODUKSI DI
DLM NEGERI
a. Oleh cabang (FDI)
b. Dengan perlisensian
EKSPOR
Tahap 1
IMPOR
Tahap 2
Kelua
ran
Berdasarkan
INOVASI
0
Tahap 3
MODEL BARU (VERNON, 1977)
OLIGOPOLI
OLIGOPOLI
DEWASA
MENUA
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
162
VI.3.3The Industrial Organization Theory Vertical
Integration atau Teori Organisasi Industri Integrasi
Vertikal
Teori ini banyak diterapkan pada new multinationalism
country atau negara multinasionalisme baru dan pada
investasi yang terintegrasi secara vertikal, yakni produksi
barang-barang di beberapa pabrik menjadi input bagi
pabrik-pabrik lain dari suatu perusahaan yang sejenis.
Teori ini berawal dari pemahaman bahwa biaya-biaya
untuk melakukan bisnis di luar negeri dengan investasi,
baik direct maupun indirect harus memperhitungkan
mencakup biaya-biaya lain yang harus dipikul oleh
perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan itu harus memiliki
beberapa ”keunggulan kompensasi” atau ”compensating
advantages” atau ”keunggulan yang spesifik bagi
perusahaan”, seperti keahlian teknis manajerial, keadaan
perekonomian yang memungkinkan perolehan sewa secara
monopoli untuk operasi perusahaannya di negara-negara
lain.
Menurut teori ini, investasi dapat dilakukan dengan
cara integrasi secara vertikal, yaitu dengan menempatkan
beberapa tahapan produksi di beberapa lokasi yang
berbeda di seluruh dunia. Motivasi utamanya adalah untuk
mendapatkan keuntungan berupa biaya produksi yang
rendah, memanfaatkan kebijaksanaan pajak lokal juga
untuk membuat ”rintangan perdagangan” bagi perusahaan
yang lain.
163
Banyak faktor yang menentukan tingkat aliran
modal, skill, teknologi, dan keahlian negara maju atau
pemodal asing ke negara penerima modal atau negara
berkembang, antara lain:
 Iklim penanaman modal di negara penerima modal;
 Prospek perkembangan usaha di negara penerima
modal;
 Tingkat perkembangan ekonomi di negara penerima
modal;
 Stabilitas politik di negara penerima modal;
 Tersedianya prasarana dan sarana yang diperlukan oleh
si pemodal;
 Aliran modal cenderung mengalir kepada negara
dengan tingkat pendapatan nasional per kapita yang
tinggi;
 Tersedianya bahan baku, tenaga kerja yang relatif
murah dan potensi pasar dalam negara penerima modal
tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar
Modal
Menimbang:
c. bahwa agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan
adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih
menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang
melakukan kegiatan di Pasar Modal serta melindungi
kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang
merugikan;
164
Pasal 4
Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh Bapepam
dengan tujuan mewujudkan terciptanya kegiatan Pasar
Modal yang teratur, wajar, dan efisien serta melindungi
kepentingan pemodal dan masyarakat.
165
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, 1998. Perubahan Masyarakat, Perubahan
Hukum dan Penemuan Hukum. Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press.
_______, 1990. Mengembara di Beberapa Hukum. Ujung
Pandang: Hasanuddin University Press.
Bambang Sutiyoso dkk, 2005. Aspek-Aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta:
UTJ Press.
Bambang Waluyo. 1996. Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Black, Donald. 1976. The Behaviour of Law. New York:
Academic Press.
Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A Social
Science Perspective. New York: Russell Sage
Foundation.
Friedmann, Wolfgang. 1967. Legal Theory. New York:
Columbia University Press.
H.Ahmad Koesnoel dkk, 2004. Kaedah-kaedah Hukum
Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media.
Hari Chand, 1994. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur:
International Law Book Services.
166
J.Johansyah, 2001. Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Gramedia.
Jan Gijsels mark van Hoeke, 1982. Wat is rechsteorie
(terjemahan B. Arief Sidharta) Bandung:
Universitas katolik Parahyangan.
Tripati, Bijai Narain Mani, 1984. Jurisprudence (legal
Theory). Delhi: Allahabad Law Agency.
Jazim Haimidi, Teori Penemuan Hukum Baru dengan
Intreprestasi Teks. Yogyakarta: UII Press.
John Z. LODGE, 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir
dan Fakta. Jakarta: Bina Aksara.
Kelsen, Hans, 2008. Dasar- Dasar Hukum Normatif
(terjemahan:
Nurulita
Yusron).
Bandung:
Nusamedia.
Kelsen, Hans, 2008. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar
Ilmu Hukum Normatif (terjemahan: Raisul
Muttaqien). Bandung: Nusamedia.
Koesnoe, Moch. 2006. Dasar dan Metode Ilmu Hukum
Positif. Surabaya: Ubhara.
Meuwissen, 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum (terjemahan: B.
Arief Sidharta). Bandung: Refika Aditama
Moh. Taufik Makarao, 2004. Pokok-pokok Hukum Acara
Perdata. Jakarta: Rineka Cipta.
167
Munir Fuady, 2003. Aliran Hukum Kritis Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
R.Subekti, 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: Pradnya Paramitha.
Riduan Syahrani, 2004. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum.
Bandung: Citra Aditiya Bakti.
Satjipto Raharjo, 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni
Soejono dkk, 1997. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto, 2001. Pokok-pokok Sosiologi Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto, 1984. Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Sudikno, Mertokusumo dan Pitlo. Bab-bab tentang
Penemuan hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
______, 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan
Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni.
168
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Lembaran Negara RI tahun 2009
Nomor 157
169
Penulis lahir di Klaten, 02/12/1957, Pendidikan Sarjana
Hukum 1984 dari Universitas Gadjah Mada, Magister legal
Anthropology 1995 Sandwich Program Universiteit te Leiden dan
Universitas Indonesia, dan Doktor Ilmu Budaya 2002 diperoleh
dari Fakultas Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Guru Besar Ilmu Hukum diperoleh dari Fakultas Hukum
Universitas Andalas pada 1 Maret 2006, sejak 2012 sebagai Staf
Ahli Hukum Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
dan Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, selain itu mengajar dan sebagai Dekan
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.
Dengan bekal pengalaman transendensialisasi ilmu dan
pengetahuan secara lintas bidang ilmu menjadikan penulis amat
mengetahui, mengerti, dan memahami dan menghayati secara
mendalam tentang hukum baik dari sudut ilmu sosial, budaya,
filsafat maupun ilmu hukum sendiri. Oleh sebab ini pula, penulis
dipercaya memegang mata kuliah Perbandingan Budaya Hukum,
Filsafat Hukum, Metodologi Penelitian Hukum, Hukum dan
Kearifan Lokal oleh Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Universitas Pancasila Jakarta, Universitas Andalas
Padang, dan Program Pascasarjana Universitas ternama lainnya.
Selain buku Awal Pemahaman Hukum Teori Hukum &
Filsafat Hukum ini, penulis juga menulis buku: Hukum dan
Kearifan Lokal (2010), Metodologi Penelitian Hukum Empiris
Murni (2009), dan Budaya Hukum (2012). Penulis juga aktif
sebagai nara sumber seminar nasional dan internasional, sebagai
nara sumber dialog-dialog aktual stasiun televisi nasional,
memiliki pengalaman sebagai saksi ahli dalam perkara tindak
kejahatan Sumber Daya Alam, sebagai asesor BAN-PT sejak
2004, pernah sebagai detaser Pengelolaan Perguruan Tinggi
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI 20072008.
Download