8 II. LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Novel Kata novel berasal

advertisement
8
II. LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Novel
Kata novel berasal dari kata latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang
berarti baru. Berdasarkan The American College Dictionary dalam Tarigan,
(1991:164) novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang
tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang
representative dalam suatu alur atau suatu keadan yang agak kacau atau kusut.
H. B. Jassin dalam Suroto, (1989:19) mengatakan bahwa novel ialah suatu
karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan kejadian yang luar biasa
dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), dari kejadian ini terlahir suatu konflik,
suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Wujud novel adalah
konsentrasi, pemusatan, kehidupan dalam satu saat, dalam satu krisis yang
menentukan. Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh
yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib.
Novel sering diartikan sebagai cerita yang menggambarkan tentang bagian
kehidupan seseorang saja. Novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang
panjang dan luas (Sumardjo, 1984:65). Novel adalah karya imajinatif yang
mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa
orang tokoh (Kosasih, 2012: 60). Novel adalah hasil kesusastraan yang berbentuk
9
prosa yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan dari kejadian itu
lahirlah suatu konflik pertikaian yang merubah nasib mereka (Lubis, 1994:161).
Berdasarkan beberapa pengertian novel di atas dapat diambil simpulan mengenai
novel yaitu suatu karya sastra yang menceritakan sebuah kehidupan manusia yang
bersifat imajinatif dan lebih menonjolkan watak dan sifat para pelaku.
2.2 Unsur-unsur Intrinsik Novel
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas yang bersifat artistik. Sebagai sebuah
totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu
dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan (Nurgiyantoro, 1994:
22). Unsur-unsur pembangun sebuah novel secara tradisonal dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik
merupakan unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun karya sastra
(cerita). Unsur-unsur instrinsik novel sebagai berikut.
1. Tema
Tema menurut Stanton dan Kenny dalam (Nurgiyantoro, 1994: 67) adalah makna
yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan makna keseluruhan yang
didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” dibalik cerita yang
mendukungnya.
2. Plot
Plot disebut juga sebagai alur. Plot merupakan penampilan peristiwa demi
peristiwa yang mendasarkan diri pada urutan waktu. Plot adalah jalan cerita yang
memiliki hubungan sebab akibat.
10
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku atau orang yang berperan dalam cerita tersebut. Sedangkan
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.
4. Latar
Latar atau setting disebut sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994: 216).
5. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 1994: 248). Sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat, yang
secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa atau stile (style) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau
bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan
(Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994: 276).
2.3 Pengertian Latar
Secara harfiah, kata latar merupakan sebuah konsep yang tidak dapat dijelaskan
dengan mudah, sehingga banyak ahli sastra yang memiliki pandangan berbeda
11
mengenai konsep latar. Berikut ini akan dijelaskan beberapa pengertian mengenai
latar.
Latar atau setting disebut sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994: 216). Latar adalah
penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa
(Suroto,1993: 94). Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan
suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik,
realitis, dokumenter dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar adalah
lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonomia, metafora, atau ekspresi
tokohnya (Wellek dan Wern dalam Budianta, 2002: 86).
Latar merupakan tempat dan masa terjadinya sebuah cerita, artinya sebuh cerita
harus jelas di mana dan kapan suatu kejadian itu berlangsung (Sumardjo, 1984:
60). Latar atau setting meliputi tempat, waktu, dan budaya yang digunakan dalam
suatu cerita. Latar dalam suatu cerita bia bersifat faktual dan imajiner. Latar
berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap
jalannya suatu cerita (Kosasih, 2012: 67). Latar merupakan tempat dan masa
terjadinya sebuah cerita, artinya sebuh cerita harus jelas di mana dan kapan suatu
kejadian itu berlangsung (Sumardjo, 1984: 60).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, penulis menyimpulkan bahwa latar adalah
sesuatu yang menunjukkan waktu dan tempat di mana suatu cerita tersebut terjadi.
Latar sangat penting dalam sebuah cerita karena latar memiliki fungsi untuk
12
mempertegas atau menunjukkan suatu kejadian di mana peristiwa di dalam cerita
itu terjadi.
2.4 Unsur Latar
Latar merupakan landasan tumpu sebuah cerita, tempat kejadian, daerah penutur
atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita. Latar memberikan pijakan cerita
secara nyata dan jelas. Mengenai unsur latar cerita penulis mengutip pendapat dari
Nurgiantoro (1994:227) yang membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok
yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur ini meskipun masing-masing
menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri,
pada kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan lainnya,
hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.4.1
Latar Tempat
Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat
dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai di dunia nyata.
Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan,
tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
Masing-masing tempat memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya
dengan tempat-tempat yang lain.
Tempat dengan inisial tertentu biasanya berupa huruf awal (kapital) nama suatu
tempat,
juga
menyaran
pada
tempat
tertentu,
tetapi
pembaca
harus
memperkirakannya sendiri. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa
13
penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu. Latar tempat dalam
sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi. Ia akan berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat yang lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh.
Contoh latar tempat adalah sebagai berikut.
Celaka. Benar-benar celaka. Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari
itu ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tetapi benar-benar hingga
malam hari, 24 jam. (Bidadari-Bidadari Surga, 2014: 113)
Latar tempat pada kutipan di atas yaitu di sebuah desa Lembah Lahambay. Kata
“penduduk Lembah Lahambay” menunjukkan bahwa penduduk tersebut tinggal di
desa Lembah Lahambay.
2.4.2
Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dapat berupa jam, tanggal, hari,
bulan, tahun, dan sebagainya.
Contoh latar waktu adalah sebagai berikut.
Pukul 24.00, persis tengah malam, saat Dalimunte sudah lelap tertidur.
Mamak juga sudah tertidur. Kak Laisa mendadak berseru-seru. Panik.
Terbangun, Mamak langsung terbangun. Juga Dalimunte, yang setengah
terkantuk, setengah terjaga mendekat. Lihatlah, tubuh Yashinta
menggelinjang. Kejang. Matanya mendelik, menyisakan putih (BidadariBidadari Surga, 2014: 167)
Latar waktu pada kutipan di atas yaitu pada malam hari. “Pukul 24.00”
menunjukkan bahwa latar waktu tersebut adalah pada saat tengah malam, lebih
tepat pukul 12 malam.
14
2.4.3
Latar Sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara
kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang
cukup kompleks. Hal tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah, atau atas.
Jika untuk mengangkat latar tempat ke dalam karya fiksi pengarang perlu
menguasai medan, hal itu juga berlaku untuk latar sosial. Jadi, ini mencakup unsur
tempat, waktu, dan sosial. Di antara ketiganya, unsur latar sosial memiliki peranan
yang cukup menonjol. Hal ini karena deskripsi latar tempat harus sekaligus
disertai deskripsi latar sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat
yang bersangkutan.
Latar sosial dapat menggambarkan suasana kedaerahan, dan warna setempat
daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Selain itu dapat diperkuat
juga dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Selain
penggunaan bahasa daerah, penamaan tokoh juga berhubungan dengan latar
sosial. Nama-nama seperti Joko, Sri, Suprapti, dan Parmen identik dengan namanama Jawa. Sedangkan nama-nama seperti I gede, Ketut, Desak, Putu, Gede, dan
Gusti merupakan nama-nama untuk orang Bali yang tentunya berlatar sosial Bali
pula.
Contoh latar sosial adalah sebagai berikut sebagai berikut.
15
Yashinta yang masih kecil, malam itu juga menawarkan diri
berhenti, berkata pelan sambil memainkan crayon 12 warnanya,
“Biar Kak Dali saja yang terus sekolah, anak laki-laki kan harus
sekolah. Yash, kan… Yash kan anak perempuan. Biar yash yang
berhenti…” Membuat ruang depan rumah kayu butut itu lengang.
(Bidadari-Bidadari Surga, 2014: 183)
Kutipan di atas menceritakan bahwa keluarga tersebut merupakan keluarga dari
kelas bawah. Karena dengan segala keterbatasan Mamak, Mamak harus mencari
solusi agar anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah tanpa harus ada yang berhenti
sekolah.
2.5 Fungsi Latar
Latar merupakan salah satu unsur intrinsik sastra untuk membentuk sebuah cerita.
Latar berhubungan langsung dan mempengaruhi pengaluran dan penokohan.
Selain sebagai bagian cerita yang tak terpisahkan, latar memiliki fungsi sebagai
pembangkit tanggapan suasana tertentu dalam cerita. Fungsi latar yang dimaksud
adalah fungsi latar sebagai metafora dan latar sebagai atmosfer.
2.5.1
Latar sebagai Metafora
Metafora merupakan cara memandang atau menerima sesuatu melalui sesuatu
yang lain. Fungsi pertama metafora adalah menyampaikan pengertian dan
pemahaman (Lakoff dan Johnson dalam Nurgiyantoro, 1994: 241). Metafora erat
berkaitan dengan pengalaman kehidupan baik bersifat fisik maupun budaya, dan
tentu saja antara budaya bangsa yang satu dengan yang lain yang tidak sama,
sehingga bentuk-bentuk ungkapan akan berbeda walau untuk mengekspresikan
hal-hal yang hampir sama (Lakoff dan Johnson dalam Nurgiyantoro, 1994: 241).
Latar sebagai metafora adalah latar yang menghadirkan suasana yang secara tidak
langsung menggambarkan nasib tokoh.
16
Novel sebagai karya kreatif kaya bentuk-bentuk ungkapan metafora, khususnya
sebagai sarana pendayagunaan unsur stile, sesuai budaya bahasa bangsa yang
bersangkutan. Deskripsi latar yang melukiskan sifat, keadaan, atau suasana
tertentu sekaligus berfungsi metafora terhadap suasana internal tokoh. Unsur latar
pada karya tertentu yang mendapat penekanan, biasanya relatif banyak detil
deskripsi latar yang bersifat metafora. Deskripsi latar tersebut khususnya yang
menyangkut hubungan alam, tak hanya mencerminkan suasana internal tokoh,
namun juga menunjukkan suasana kehidupan masyarakat, kondisi spiritual
masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini sering terdapat hubungan timbal
balik, saling mencerminkan antara latar fisik, alam, dengan latar spiritual, sistem
nilai yang berlaku di masyarakat.
Contoh latar sebagai metafor adalah sebagai berikut.
Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam berangkat ke kota
kabupaten. Diantar sopir pangelangan strawberry. Ke rumah sakit. Sempat
pingsan di ruang ICU, karena ia terlalu lemah. Membuat sopir pabrik
pangelangan yang mengantar bingung tujuh keliling, gugup, gemetar
hendak menelepon Dalimunte, tapi pesan Laisa di mobil sebelum mereka
turun membuat mereka takut melakukannya. Dua jam dirawat di ruang
gawat darurat, dengan semangat sembuh yang sungguh mengagumkan,
memaksa seluruh bagian tubuhnya menurut, Laisa mulai membaik.
(Bidadari-Bidadari Surga, 2014: 287).
Kutipan di atas merupakan fungsi latar sebagai metafora karena kutipan tersebut
menceritakan perasaan yang dialami oleh tokoh cerita, yaitu perasaan sopir yang
sangat cemas, bingung, gugup, khawatir karena Laisa sakit dan jatuh pingsan dan
harus dirawat di ruang gawat darurat.
2.5.2
Latar sebagai Atmosfer
Atmosfer dalam cerita merupakan udara yang dihirup oleh pembaca ketika
memasuki dunia rekaan, yaitu berupa deskripsi kondisi latar yang mampu
17
menciptakan suasana tertentu. Misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram,
maut, misteri, dan sebagainya. Suasana yang tercipta itu tidak dideskripsikan
secara langsung. Namun, pembaca umumnya mampu menangkap pesan suasana
yang ingin diciptakan pengarang dengan kemampuan imajinasi dan kepekaan
emosionalnya.
Deskripsi latar yang berupa jalan beraspal yang licin, penuh kendaraan yang lalu
lalang, suara bising mesin, suara klakson, dan pengapnya udara bau bensin
mencerminkan suasana kehidupan di kota. Dalam latar seperti itulah cerita akan
lebih hidup. Dengan membaca deskripsi latar yang menyaran pada suasana
tertentu, pembaca dapat menginterpretasikan suasana dan arah cerita yang akan
ditemuinya.
Latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya berupa lataar penyituasian.Tahap
awal yaitu perkenalan, cerita sebuah novel pada umumnya berisi latar
penyesuaian, meskipun hal itu juga bisa terdapat ditahap yang lain. Namun,
perkembangan cerita menuntut adanya penyituasian yang berbeda. Adanya situasi
tertentu yang mampu menyeret pembaca ke dalam cerita, akan menyebabkan
pembaca terlibat secara emosional. Hal ini sangat penting karena dari sinilah
pembaca akan tertarik, bersimpati, dan berempati, meresapi, dan menghayati
cerita secara intensif. Jadi atmosfer cerita adalah emosi dominan yang merasuki
pembaca dan berfungsi mendukung elemen-elemen cerita yang lain untuk
memperoleh efek yang mempersatukan. Atmosfer dapat ditimbulkan dengan
deskripsi detil-detil, irama, tindakan, tingkat kejelasan, kemasuk akalan berbagai
peristiwa, kualitas dialog, dan bahasa yang digunakan (Nurgiyantoro, 1994:245).
18
Contoh latar sebagai atmosfer adalah sebagai berikut.
Setengah jam berlalu, mobil kedua melesat menuju perkampungan
Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kotakota kabupaten. Kota-kota kecamatan. Pedesaan. Hutan-hutan lebat.
Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan
karet. Padang rumput meranggas. Naik-turun lembah.melingkari bukit
barisan. Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan
monyet yang berani bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi
liar yang nekad menyebrangi jalan aspal. (Bidadari-Bidadari Surga,
2014: 97).
Kutipan di atas menceritakan tentang suasana perjalanan menuju perkampungan
Lembah Lahambay yang dipenuhi oleh pemandangan yang sangat menarik, indah,
dan sejuk.
2.6 Pembelajaran Sastra (Novel) di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Pendidikan di Indonesia selalu mengalami perkembangan atau perubahan, salah
satunya yaitu penggunaan kurikulum pendidikan. Perubahan kurikulum dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kurikulum yaitu sejumlah
rencana isi yang merupakan sejumlah tehapan belajar yang didesain untuk siswa
dengan petunjuk institusi pendidikan yang isinya berupa proses yang statis
ataupun dinamis dan kompetensi yang harus dimiliki. Kurikulum juga merupakan
seluruh pengalaman di bawah bimbingan dan arahan dari institusi pendidikan
yang membawa ke dalam kondisi belajar (Muzamiroh, 2013: 15). Kurikulum
memiliki konsep yaitu sebagai substansi, sistem, dan bidang studi.
Pengajaran sastra memiliki tiga aspek yang menjadi tujuan pengajaran, yaitu
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek tersebut memiliki
perbedaan, namun ketiganya saling berkaitan. Tujuan penyajian sastra dalam
dunia pendidikan adalah untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang
sastra. Karya sastra yang dijadikan sebagai bahan materi diharapkan mengandung
19
nilai-nilai yang dapat mengembangkan kepribadian siswa dan meningkatkan
kemampuan siswa. Menurut Rahmanto, pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila mencakup 4 manfaat, yaitu membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan
cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
Menentukan bahan ajar dan media pembelajaran yang akan diberikan kepada
siswa adalah salah satu tugas guru bidang studi supaya proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik dan menyenangkan. Selain itu, diharapkan agar tujuan dari
pembelajaran yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Dalam pembelajaran sastra, novel dapat dijadikan sebagai salah satu bahan ajar.
Hal tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya novel yang saat ini
sedang
berkembang pesat di masyarakat dan mulai diminati oleh kalangan anak muda
khususnya anak SMA. Namun demikian, tidaklah semua novel dapat dijadikan
sebagai bahan ajar untuk siswa SMA. Terdapat tiga aspek yang harus menjadi
bahan pertimbangan oleh guru dalam memilih novel yang akan dijadikan sebagai
bahan ajar untuk mendukung proses pembelajaran sastra (Rahmanto, 2005: 17)
sebagai berikut.
1. Bahasa
Aspek-aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalahmasalah yang dibahas, melainkan juga faktor-faktor lain seperti cara penulisan
yang digunakan oleh pengarang, bahasa yang digunakan oleh pengarang haruslah
mengarah pada kelompok pembaca tertentu. Hal tersebut dikarenakan penguasaan
suatu bahasa memiliki tahap-tahap tertentu pada tiap individu. Agar pembelajaran
20
dapat berjalan dengan baik, guru harus memilih bahan ajar yang sesuai dengan
tingkat penguasaan bahasa siswa. Dalam segi bacaan, guru pun harus
memerhatikan kosa kata baru, mempertimbangkan ketatabahasaan, serta teknik
yang digunakan oleh pengarang dalam menuangkan ide-idenya dalam sebuah
wacana sehingga pembaca khususnya siswa dapat memahami dan mencerna katakata yang mengandung makna kiasan tertentu.
2. Psikologi
Pemilihan bahan ajar hendaknya disesuaikan dengan psikologi siswa. Hal ini
disebabkan besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam
banyak hal. Oleh karenanya, guru harus menggunakan bahan ajar yang dapat
meningkatkan dan menarik siswa terhadap karya sastra yang akan dijadikan
sebagai bahan ajar.
Siswa SMA berada pada tahap psikologi realistik dan generalisasi. Pada tahap
realistik siswa dapat terlepas pada dunia fantasi. Pada tahap ini siswa akan lebih
cenderung mengetahui serta mengikuti kejadian dan fakta-fakta yang ada. Hal
tersebut dikarenakan mereka telah siap dan berusaha memahami masalah yang
terjadi di kehidupan nyata. Tahap generalisasi merupakan tahap selajutnya yaitu
tahap mereka tidak lagi tertarik pada hal-hal yang praktis saja, tetapi juga
berusaha menemukan konsep-konsep yang bersifat abstrak dengan menganalisis
suatu fenomena yang terjadi. Mereka akan mencoba menemukan penyebab utama
fenomena atau terkadang mengarah pada pemikiran filsafat untuk menemukan
keputusan-keputusan moral. Dengan demikian, jelaslah seorang guru Bahasa
Indonesia harus memilih bahan ajar untuk pembelajaran sastra tingkat SMA
21
dengan mencari novel yang sesuai dengan tahap psikologi siswanya yang berada
pada tahap realistik dan generalisasi.
3. Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya dalam suatu karya sastra meliputi faktor kehidupan
manusia dan lingkungannya. Latar belakang tersebut yaitu geografi, sejarah,
topografi, iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berfikir, nilainilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika, dan lain-lain.
Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar
belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka,
terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan
mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orang-orang di
sekitar mereka. Dengan demikian, secara umum guru hendaknya memilih bahan
pengajarannya dengan menggunakan prinsip mengutamakan karya-karya sastra
yang latar ceritanya dikenal oleh para siswa. Guru hendaknya memahami apa
yang diminati oleh para siswanya sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra
yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan kemampuan
pembayangan yang dimiliki oleh para siswanya (Rahmanto, 1988: 31).
Dahulu banyak siswa yang mempelajari karya sastra dengan latar belakang
budaya yang tidak dikenalnya. Misalnya mereka mempelajari karya sastra dengan
latar budaya asing pada abad ke-18. Tokoh-tokoh dalam karya sastra tersebut
seperti tokoh bangsawan atau putri istana yang pembicaraannya mengenai
kebiasaan-kebiasaan dan kegemaran-kegemaran yang sangat asing bagi siswa
yang membacanya. Oleh karena itu, siswa menjadi enggan untuk belajar sastra.
22
Hal yang demikian menyadarkan kita bahwa karya-karya sastra dengan latar
budaya sendiri sangat perlu dikenal oleh siswa. Sebuah karya sastra hendaknya
menghadirkan sesuatu yang erat hubungannya dengan kehidupan siswa. Siswa
pun hendaknya terlebih dahulu mengenal dan memahami budayanya sebelum
mengetahui budaya lain.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa pendidikan secara keseluruhan tidak
hanya menyangkut masalah lokal saja. Melalui sebuah pendidikan, kita akan
mengenal dunia. Dalam hal ini, sastra merupakan salah satu bidang yang
menawarkan beberapa kemungkinan cara terbaik bagi setiap orang yang ada
dalam satu bagian dunia untuk mengenal bagian dunia orang lain. Berdasarkan hal
tersebut, seorang guru hendaknya memiliki pengalaman yang luas. Guru memiliki
tanggung jawab untuk mengarahkan siswa-siswanya untuk menangkap dan
memahami berbagai pengetahuan sehingga siswanya memiliki wawasan yang luas
untuk memahami berbagai peristiwa kehidupan.
Melalui sebuah karya sastra yang dibacanya, siswa dapat mengenal budaya asing
dibanding dengn budaya mereka sendiri. Hal ini tentu saja bergantung pada
ketepatan seorang guru dalam memilih bahan bacaaan. Guru hendaknya
mengembangkan wawasannya untuk dapat menganalisis pemilihan materi
sehingga dapat menyajikan pembelajaran sastra yang mencakup dunia yang lebih
luas. Pada dasarnya perbedaan latar belakang budaya hanyalah merupakan unsur
„kulit luar‟ karena hampir semua masalah manusia biasanya bersifat universal.
23
Tabel 2.1 Indikator Pemilihan Bahan Ajar Pembelajaran Sastra di SMA
No.
Indikator
Deskriptor
1
Bahasa
1) Mempertimbangkan kosakata baru.
2) Mempertimbangkan ketatabahasaan.
3) Disesuaikan dengan kemampuan
berbahasa siswa pada jenjang pendidikan.
2
Psikologi
1) Mampu menarik minat baca siswa.
2) Memberikan pelajaran hidup bagi siswa.
Latar Belakang Budaya
1) Meningkatkan
pengetahuan
tentang
budaya yang belum siswa ketahui.
2) Menambah wawasan bagi siswa.
3
Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat latar dan fungsinya dalam novel
Padang Bulan karya Andrea Hirata. Selanjutnya peneliti akan menentukan layak
atau tidaknya novel Padang Bulan tersebut untuk dijadikan alternatif bahan
pembelajaran sastra di SMA. Layak atau tidaknya novel tersebut dijadikan sebagai
bahan ajar pembelajaran sastra dilihat berdasarkan indikator pemilihan bahan ajar
pembelajaran sastra yang telah diuraikan di atas.
Download