VISI (2011) 19 (2) 523-532 PERCEPATAN PEMULIHAN KESEHATAN LAHAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS TANAH DAN MEMBANGUN KEMANDIRIAN PANGAN DI INDONESIA Ferisman Tindaon dan Tualar Simarmata ABSTRACT Based on recent data from the Ministry of Forestry Republic Indonesia, critical land area in 2000 has reached up to 23.2 million hectares (8.1 million ha in forest area and 15.1 million outside the forest area), while in 2006, it has increased sharply up to 77.8 million hectares. The rehabilitation priority was on very critical and critical lands, which is about 30.2 million ha. On the other hand, the rehabilitation through land rehabilitation movement (GNRHL / Gerhan) take place only at 500,000 to 700,000 ha per year, it is not able to catch up with the degradation rate that is relatively high of about 1.08 to 1, 5 million ha per year. Further, Research and Development Center for Agricultural Land Resources at Ministry of Agriculture of Indonesia reported that Indonesia has a potential land resource of about 188.2 million hectares which consist of 148 million ha of dry land (acid soil is about 102.8 million ha of dry land and not acid soil is about 45.3 million ha) and of 40.2 million ha of wetlands (paddy soils is about 7.9 million ha). From the total of 102.8 million ha acid soil, it is only about 55.8 million are eligible for staple food production and plantations, while the rest about 47 million can not be cultivated (soil with slope> 40%, shallow solum, low fertility, stones, and others). This potential land resources can not be used optimally to support plant growth as it relates to soil health problems. An assessment can be conducted by using only 2 soil health indicators i.e soil acidity (pH soil) and organic matter content. In fact, most of dry land or paddy fields in Indonesia are catagorized as “sick soils” As a result the level of soil productivity in Indonesia is very low and likely to continue to decline or stagnate, although they are being fostered by intensive and high inputs (leveling off). The main factors that cause low productivity of crops on dry land are the high soil acidity (pH <5), the high content of exchangeable-Al and the very low organic matter content (<2%), while in paddy fields, the factor is low organic matter content so that the land are categorized as sick soils. The content of organic mattter is at least 3% and ideally about 5%. The description above gives a clear picture that the first step that must be done to improve and increase the productivity is to restore soil health and quality and to eliminate or overcome the problems causes in declining soil health. Without addressing the health problems of land, the provision of high inputs can not give good results, eventhough tends to accelerate the declining of soil productivity. ________ Keywords: soil health, recovery, productivity I. PENDAHULUAN Tekanan pada sumber daya lahan di Indonesia terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan Data terkini dari Direktorat 523 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 PDAS dan Ditjen RLPS (2007), luas areal lahan kritis pada tahun 2000 telah mencapai 23,2 juta hektar (8,1 juta ha di dalam kawasan hutan dan 15,1 juta di luar kawasan hutan) dan pada tahun 2006 luas areal lahan kritis telah meningkatkan dengan tajam dan telah mencapai luasan 77,8 juta hektar (sangat kritis 47,6 juta ha, Kritis 23,3 juta ha dan agak kristis 6,9 juta ha). Upaya rehabilitasi penangan diprioritaskan pada lahan sangat kritis dan kritis, yakni sekitar 30,2 juta ha. Di sisi lain, rehabilitasi lahan melalui gerakan rehabilitasi lahan (GNRHL/Gerhan) hanya berkisar 500.000 – 700.000 ha per tahun sehingga tidak dapat mengimbangi laju degradasi hutan yang relatif tinggi sekitar 1,08 – 1, 5 juta ha per tahun. Program pemerintah untuk mengimbangi laju degradasi lahan tersebut dilakukan melaui 1. Pembuatan hutan tanaman (HTI) seluas 9 juta ha s.d tahun 2014 2. Hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 5,4 juta ha s.d tahun 2016 3. Pembuatan tanaman hutan rakyat (HR) seluas 8 juta ha s.d tahun 2025 4. Pembuatan tanaman Gerhan seluas 5 juta ha s.d tahun 2009 5. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat dengan membangun HKm seluas 2 Juta Ha sampai tahun 2015. 6. Pengembangan pola RHL dengan programatic CDM dan REDD sebagai tindak lanjut Bali Road Map. 7. Pengembangan RHL melalui pengembangan HHBK (sutera alam, bambu, lebah madu, Gaharu, getah). Departemen kehutanan telah mencanangkan bahwa rehabilitasi lahan melalui gerakan rehabilitasi lahan (GNRHL/Gerhan) akan terus ditingkatkan untuk mempercepat pemulihan lahan dan sekaligus memberdayakan masyarakat, Keberhasilan rehabilitasi lahan tersebut sangat tergantung pada kualitas dan kesehatan tanah. Program penanaman tanpa melakukan penyehatan tanah dapat menyebabkan kegagalan total karena tanaman tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Faktor utama yang sering menyebabkan kegagalan dalam program reboisasi atau penaman adalah tanah kiristis umumnya sudah termasuk tanah sakit (sick soils). Oleh karena itu, upaya rehabilitasi harus dipadukan dengan program penyembuhan atau pemulihan kesehatan tanah (Simarmata, 2010). Berdasarkan Balai Besar LITBANG Sumber Daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian RI, Indonesia memiliki potensi sumber daya lahan sekitar 188,2 juta hektar yang terdiri dari 148 juta ha lahan kering (sekitar 102,8 juta ha lahan kering masam atau 69,4% dan sekitar 45,3 juta ha lahan kering tidak masam atau 30,6%) dan 40,2 juta ha lahan basah (lahan sawah sekitar 7,9 juta ha). Dari sekitar 102,8 juta ha lahan kering masam ini hanya sekitar 55,8 juta yang layak untuk pertanian pangan dan perkebunan, sisanya sekitar 47 juta tidak dapat digunakan untuk pertanian (curam > 40%, solum dangkal, kesuburan rendah, banyak batu,dan lain-lainnya) (Anny Mulyani dan Irsal Las. 2008). 524 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 Potensi sumber daya lahan yang besar ini tidak dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena berkaitan dengan masalah kesehatan tanah (soil health). Hasil penilaian dengan hanya menggunakan 2 indikator kesehatan tanah (soil health indicator), yaitu kemasaman tanah (pH tanah) dan kandungan bahan organik, ternyata lahan kering maupun lahan sawah di Indonesia adalah lahan bermasalah dan termasuk kategori tanah sakit (sick soils). Akibatnya tingkat produksivitas tanah Indonesia termasuk rendah dan cenderung terus menurun atau stagnan walaupun sudah dipupuk dengan intensif (levelling off) (Simarmata et al., 2008: 2009; Ingham, 2001) Penyakit utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman pada lahan kering adalah kemasaman tanah (pH < 5), kandungan Al dapat tukar yang tinggi dan kandungan bahan organik yang sangat rendah (<2%), sedangkan penyakit utama pada lahan sawah adalah kandungan bahan organik yang rendah (sekitar 5 juta lahan sawah memiliki kandungan C-organik rendah (<2%) sehingga termasuk kategori lahan sakit. Kandungan bahan organik yang sekurangkurangnya adalah 3% dan idealnya sekitar 5%. Uraian di atas, memberi gambaran yang jelas bahwa langkah pertama yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas adalah dengan pemulihan kesehatan tanah dan kualitas (soil health and soil quality) dengan menghilangkan atau mengatasi masalah penyebab menurunnya kesehatan tanah. Tanpa mengatasi permasalahan kesehatan tanah, maka pemberian input yang besarpun tidak dapat memberikan hasil yang baik, bahkan cenderung mempercepat penurunan produktivitas tanah. II. PEMULIHAN KESEHATAN TANAH DAN PENINGKATAN PRODUKSI Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa lahan andalan Indonesia untuk memproduksi berbagai produk pertanian sudah termasuk kategori bermasalah dan sakit parah. Oleh karena itu, harus dilakukan penyehatan tanah atau pemulihan kesehatan tanah secara terpadu untuk menciptakan lingkungan tumbuh yang optimal bagi tanaman dan mendukung peningkatan produktivitas dalam membangun kemandirian pangan. Secara` garis besar program penyehatan lahan meliputi dua ekosistem, yaitu ekosistem lahan kering dan lahan basah (sawah). a. Pemulihan Ekosistem Lahan Kering Prinsip dasar pemulihan kesehatan tanah adalah dengan menghilangkan atau mengatasi penyebab tanah sakit tersebut yaitu dengan memanfaatkan indicator fisik, kimia dan biologi tanah. Secara garis besar upaya pemulihan kesehatan tanah pada lahan kering dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan organik (pupuk organik) untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan bahan pemulih kemasaman tanah untuk meningkatkan pH tanah. Bahan pemulih pH kemasaman tanah yang umum digunakan adalah berbentuk padat, yaitu kaptan dan dolomit dengan dosis 1 – 2 ton per hektar. Kendala utamanya adalah berkaitan 525 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 dengan pengadaan dan biaya transport yang relative besar. Sejalan dengan kemajuan teknologi saat ini tersedia pemulih kemasaman tanah berbentuk larutan. Penggunaan Larutan Pemulih Kemasaman Tanah (LPKT) dengan dosis rendah, yakni 3 - 6 L mampu menaikkan pH dengan signifikan dalam waktu singkat, meningkatkan kandungan humus dan aktivitas mikroba tanah menguntungkan dalam tanah (beneficial microbes). Teknik aplikasi LPKT disajikan pada Tabel 1. Dengan demikian sangat praktis dengan biaya transportasi yang relative rendah. Pemanfaatan Dekomposer dalam pengomposan limbah organik (pertanian) selain mempercepat pengomposan, juga meningkatkan kulitas kompos (kandungan nutrisi, KTK dan bebas pathogen). Integrasi pemulih kemasaman tanah dengan penambahan bahan organik (memanfaatkan dekomposer dalam pengomposan) dan pemanfaatan pupuk Bio atau pupuk Hayati (penambat N,pelarut P dan penghasil fitohormon) merupakan solusi yang tepat untuk memperbaiki kesehatan tanah, mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan meningkatkan produktivitas lahan kering secara berkelanjutan. Sumber bahan organik pada lahan kering dapat menggunakan sisa-sisa tanaman (panen), rerumputan dan berbagai bahan organik yang tersedia disekitar lahan. Tabel 1. Dosis dan teknik aplikasi larutan pemulih kesaman tanah pada tanaman pangan, sayuran, perkebunan dan hutan tanaman industri Kelompok Tanaman Pangan (Jagung, Kedelai, Padi gogo, dll) Konsentrasi (cc/L) 2-3 Sayuran (Cabai, Tomat, Bawang, Kubis, kentang, dan dll) 3-4 Pembibitan Tanaman Tahunan (kelapa sawit, kakao, kopi, tanaman hias, dan HTI) Penanaman Bibit di Lapang (Sawit, Kopi, Kakao, Sengon, Akasia, dll) - Tanaman Tahunan di Lapang (sawit, kakao, kopi, HTI, dll) 2-3 3–4 Teknik Aplikasi Larutkan dalam air dengan konsentrasi 2 – 3 cc/L dan disiramkan pada lahan dengan menggunakan emrat sebelum tanah (2 – 3 hari) sebelum tanam Larutkan dalam air dengan konsentrasi 3 – 4 cc/L dan disiramkan pada bedengan atau larikan tanam dengan menggunakan emrat sebelum tanah (2 – 3 hari) sebelum tanam Larutkan dengan konsentrasi 3 – 4 cc/L dan disiramkan pada media persemian dalam polibeg dengan menggunakan emrat sebelum tanah (2 – 3 hari) sebelum tanam Larutkan dalam air dengan konsentrasi 2 – 3 cc/L dan disiramkan pada dalam lubang tanah dengan menggunakan emrat sebelum tanah (2 – 3 hari) sebelum tanam atau transplanting Dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 3 – 4 cc/L dan disiramkan pada perakaran tanaman (piringan) secara merata dengan menggunakan emrat. Aplikasi 1 – 2 kali dalam setahun 526 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 b. Pemulihan Ekosistem Lahan Sawah Pada dasarnya, pemulihan kesehatan tanah, pengurangan penggunaan pupuk anorganik dan peningkatkan produktivitas lahan sawah relatif lebih mudah dan murah. Sebenarnya, hasil utama bertanam padi adalah pupuk organik dalam bentuk jerami. Untuk setiap hektar dihasilkan sekitar 8 – 12 ton jerami (sekitar 1,2 – 1,5 x hasil gabah) per musim Potensi jerami sebagai pupuk untuk mensubsitusi pupuk anorganik disajikan pada Tabel 2. Program BIO-DEKOMPOSER, yaitu pemanfaatan Dekomposer (mikroba perombak bahan organik) untuk mempercepat pengomposan jerami langsung di lahan (in situ), meningkatkan kualitas kompos jerami (kandungan hara utama N, P, K , Si dan hara mikro, KTK) dan menekan pathogen dalam jerami dan aplikasi inokulan pupuk Bio (hayati), yaitu untuk meningkatkan ketersediaan hara terutama N dan P pada persemaian maupun di pertanaman. Pengomposan jerami langsung di lahan sangat praktis dan murah. Tumpukan jerami diinokulasi dengan inokulan Dekomposer sekitar 1 – 2 minggu sebelum pengolahan lahan. Selanjutnya kompos jerami disebar merata dan dilanjutkan dengan pengolahan tanah sekaligus inkorporasi jerami dengan tanah. Pada saat tanam, yakni sekitar 1 – 2 minggu setelah pengolahan C/N ratio kompos jerami sudah < 20 (Simarmata, et al. 2010). Kandungan kompos jerami mengandung 1,5 – 1,8 %, N, 0,2 % P, 3 – 4 % K2O atau meningkat sekitar 2 kali dibandingkan dengan jerami. Selain kompos jerami dapat juga diaplikasikan sekitar 18 - 21 hari setelah tanam (HST). Kompos jerami dibenamkan diantara baris tanam setelah penyiangan pertama dengan grendel (caplak) bersamaan dengan penyiangan gulma yang masih tersisa secara manual. Tabel 2. Potensi jerami dalam mensubstitusi pupuk anorganik dan mengurangi subsidi pupuk di Indonesia Nutrient Content kg/ton Equivalent in 5 t (%) Straw kg kg/ha C-Org 40-43% N 0.5 - 0.8 6.5 14.13 70.7 Urea P 0.07-0.12 1.0 2.64 13.2 SP-36 K 1,2 - 1,7 14.5 24.17 120.8 KCL Ca 0.6 6 Mg 0.2 2 Si 4,0 - 7,0 55 S 0,10 1 Prod Padi 2008 = 57,2 Juta ton atau 80,2 jt ton Jerami Setara dengan : RP 1,133.26 Jt ton Urea 4,079,739,130,435 211.64 Jt ton SP-36 846,555,555,556 527 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 Penggunaan Biodekomposer, yatiu sekitar 200 gram inokulan Dekomposer untuk menghasilkan kompos jerami sekitar 2 – 4 ton/ ha dan 200 gram inokulan pupuk BIO (penambat N,pelarut P dan penghasil fitohormon) dapat memulihkan kesehatan tanah, meningkatkan hasil dengan signifikan (menghasilkan sekitar 8 – 10 ton gabah/ha) dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sekitar 25 – 50%. Upaya Pemulihan lahan dan peningkatan produksi tanaman padi tersebut dapat dilakukan secara terintegrasi dan terencana melalui : “PROGRAM PEMULIHAN KESEHATAN LAHAN (PPKL) & PENINGKATAN PRODUKSI PADI TERPADU (P4T) DENGAN TEKNOLOGI INTENSIFIKASI PADI AEROB TERKENDALI BERBASIS ORGANIK (IPAT-BO)” III. IPAT-BO DAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI TERPADU (P4-T) a. Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) Teknologi IPAT-BO (Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik) merupakan sistem produksi yang holistik (terpadu)) dengan menitikberatkan pemanfaatan kekuatan biologis tanah (soil biological power), managemen tanaman, pemupukan (spesifik lokalita) dan tata air secara terpadu dan terencana untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran padi dengan optimal. Oleh karena itu, Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) adalah sistem produksi yang hemat air, bibit dan pupuk anorganik dengan menitikberatkan pemanfaatan kekuatan biologis tanah (pupuk hayati, agen hayati, sistem perakaran), manajemen tanaman (seleksi benih, jarak tanam, teknik penanaman dan pemeliharaan), pemupukan (pupuk organik, pupuk bio, anorganik dan teknik pemupukan) dan tata air secara terpadu dan terencana (by design) untuk mendukung dan memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi secara optimum dalam kondisi aerob. Pada awal tahun 2007, Tim peneliti dari Fakultas Pertanian Unpad bersama Asisten Deputi Kementerian RISTEK Urusan Ilmu Hayati membentuk Forum Grup Diskusi (FGD) untuk mengembangkan dan mempercepat difusi IPAT-BO. Kemudian pada tanggal 21 Mei 2007, dilakukan Seminar dan Lokakarya Ilmiah di Fakultas pertanian Unpad dan dilanjutkan penanaman secara simbolis pada Pusat Demplot IPAT-BO di SPLPP Fakultas Pertanian Unpad (panen raya dilakukan oleh Bapak Menristek, Menteri Pertanian dan Bapak Rektor Unpad pada tanggal 7 September 2007). Teknologi IPAT-BO menitikberatkan penggunaan kompos jerami dengan dosis 1 – 4 ton/ha dikombinasikan dengan penggunaan pupuk Bio dan pupuk anorganik. Hasil pengujian pada pengomposan jerami, inokulasi dengan dekomposer mampu menurunkan C/N ratio dari 40 – 60 menjadi sekitar 12 – 20 dalam waktu 2 minggu (Simarmata, et al., 2009). Tumpukan jerami di lahan tersebut terlebih dahulu diinokulasi dengan dekomposer atau mikroba pengurai 528 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 dari kelompok sellulolitik. Selanjutnya, tumpukan jerami disiram dengan inokulan dekomposer, ,kemudian disiram dengan air, hingga basah, kemudian ditutup dengan terpal plastik atau karung bekas. Selanjutnya setelah 2 minggu jerami disebar di lahan dan dilanjutkan dengan pengolahan tanah (pengomposan langsung di lahan). Hasilnya cukup menggembirakan dan mampu menaikkan hasil padi dengan signifikan. Hasil kaji terap intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) dengan berbagai jenis varitas padi pada beberapa lokasi Jawa Barat (kab. Bandung, Sumedang, Garut, Karawang dan kab. lainnya), Jawa Tengah (kab. Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Purworejo, Magelang, Semarang dan kab. Lainnya) Jawa Timur (kab. Tulung Agung, Blitar, Mojokerto, Jombang, Madiun, Ponorogo, dll), Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur (kab. Kupang, Rote Ndao, dan kab. Bajawa) dan Sumatera Utara (kab. Serdang Bedagai, Deli Serdang dan kab. lainnya) ternyata mampu menghasilkan padi 8 – 12 t/ha (peningkatan hasil ratarata berkisar 50 – 150% dibandingkan dengan sistem anaerob). Hasil terbaru diperoleh di Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi (Balitpa) pada pekan padi Nasional ke III (PPN). Padi dengan teknologi IPAT-BO mampu menghasilkan 9,5 ton/ha (varietas Ciherang) dan 7,5 ton/ha (varietas Sintanur) (Panen 8 Agustus 2008), dan hasil pengujian di 8 lokasi di kabupaten Gowa menghasilkan 7,5 – 9,6 ton/ha berbagai varietas padi (Panen tanggal 7 Agustus 2008). Pada lahan sawah yang relatif baik (produksi 6 – 8 t/ha) kenaikan produksi berkisar 50 – 100% sedangkan pada lahan yang kurang subur (produksi 3 – 5 t/ha) kenaikan produksi mencapai 100 – 200%. Kenaikan hasil tersebut berkaitan langsung dengan meningkatnya zona perakaran hingga 4 – 10 kali, jumlah anakan bermalai hingga 60 – 80 malai/rumpun, panjang malai 25 – 35 cm dan jumlah gabah 150 – 250 butir/malai serta meningkatnya keanekaragaman biota tanah (biodiversity) yang menguntungkan (beneficial organism in soils) dalam kondisi aerob. Keunggulan lain dari IPAT-BO adalah hemat air (hanya 25% dari sawah konvensional), hemat bibit (20 - 25%) dan hemat pupuk anorganik, hemat pestisida (masalah hama keong dapat dikendalikan dengan mudah) dan panen lebih awal sekitar 7 – 10 hari. Selain itu, IPAT-BO sebagai sistem produksi yang holistik dapat mengadopsi berbagai teknik penanaman padi seperti tanam benih langsung (Tabela), Jajar Legowo dan lain-lainnya. Penggunaan pupuk organik dan pengendalian tata udara tanah agar berada dalam kondisi aerob, ternyata mampu meningkatkan keanekaragaman hayati biota tanah dan memacu pertumbuhan sistem perakaran (Simarmata, 2007). Paparan di atas memperlihatkan bahwa peluang untuk meningkatkan produktivitas padi secara nasional menjadi 6 – 8 t/ha dengan menerapkan IPATBO cukup besar. Hal ini berarti kita memasuki era baru revolusi hijau berbasis organik. Terlebih lagi bila penerapan IPAT-BO tersebut dilakukan secara terencana melalui program peningkatan produksi padi terpadu (P4-T) 529 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 b. Program Peningkatan Produksi Padi Terpadu (P4-T) Program Peningkatan Produksi Padi Terpadu (P4T) merupakan program untuk pemulihan kesehatan lahan, peningkatan produktivitas padi dan pendapatan petani secara terencana (by design) melalui penerapan teknologi andalan disertai penadampingan alih teknologi dan jaminan pemasaran. Oleh karena itu, program ini merupakan kerjasama penghasil teknologi atau akademisi (perguruan tinggi, lembaga penelitian), para pelaku bisnis (industri hulu maupun hilir dalam bidang pertanian) dan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator. Program ini dikenal juga sebagai program ABG (Akademisi, Pebisnis dan Government). Dalam konteks ini swasta dapat berperan ganda untuk mempercepat penerapan suatu teknologi dan memfasilitasi permodalan dan pemasaran produk atau pengolahan produk yang dihasilkan. Secara garis besar P4T dimasudkan untuk:: 1. Pemulihan kesehatan lahan (Pemulihan lahan sakit), peningkatan produktivitas dan pendapatan petani dengan menerapkan teknologi IPATBO dan PTT – IPAT-BO (pengelolaan tanaman terpadu dengan teknologi IPAT-BO) untuk mendorong pertanian berkelanjutan dengan konsep LEISA (low external input sustainable agriculture) 2. Pemanfaatan potensi jerami sebagai pupuk organik dan pemulih kesehatan tanah dengan bantuan Dekomposer (mikroba perombak bahan organik) untuk mempercepat pengomposan jerami dan meningkatkan kualitas kompos dan pemanfaatan potensi pupuk BIO untuk meningkatkan ketersediaan hara (N dan P), dikenal sebagai program BIODEKOMPOSER. 3. Integrasi pemanfaatan Pemulih Kemasaman Tanah (Padat & Larutan) dengan pupuk organik dan pupuk BIO pada lahan kering untuk memulihkan kesehatan tanah dan meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan. 4. Mengurangi beban pemerintah atas subsidi pupuk dengan meningkatkan efisiensi pemupukan dan pemanfaatan potensi lokal (kompos jerami dengan bantuan Dekomoser), pupuk Bio dan Nutrisi dan Estrak Organik Vitafarm. Pengurangan penggunaan pupuk anorganik (Urea, SP-36 dan KCl) setidak-tidaknya 25%. 5. Mempercepat alih teknologi dan meningkatkan kualitas petani melalui program pelatihan dan pendampingan teknologi secara professional 6. Memfaslitasi sumber permodalan dan berbagai program sosial untuk meringankan beban produksi petani 7. Memberikan bantuan paket sarana produksi bagi petani kecil untuk meningkatkan produksi padi 8. Memfaslitasi pemasaran produksi melalui program kemitraan yang saling menguntungkan IV. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 530 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 1) 2) 3) 4) 5) Pemulihan kesehatan tanah mutlak diperlukan untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah. Pemulihan kesehatan lahan kering dapat dilakukan pemberian bahan organik (pupuk organik, kompos, dll) dan pemulih kemasaman tanah baik yang berbentuk padat maupun yang berbentuk larutan Keberhasilan peningkatan produktivitas untuk membangun kemandirian pangan sangat tergantung pada pemulihan kehatan tanah karena sebagian besar sumber daya lahan kering dan lahan sawah sudah termasuk kategori sakit (Sick soils). Lahan kering umumnya memiliki pH masam dan kandungan bahan organik yang rendah – sangat rendah sedangkan lahan sawah memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Luas areal lahan kritis pada tahun 2006 telah mencapai 77,8 juta hektar (sangat kritis 47,6 juta ha, Kritis 23,3 juta ha dan agak kristis 6,9 juta ha). Upaya rehabilitasi penangan diprioritaskan pada lahan sangat kritis dan kritis, yakni sekitar 30,2 juta ha. Rehabilitasi lahan melalui gerakan rehabilitasi lahan (GNRHL/Gerhan) hanya berkisar 500.000 – 700.000 ha per tahun sehingga tidak dapat mengimbangi laju degradasi hutan yang relatif tinggi sekitar 1,08 – 1, 5 juta ha per tahun. Sumber daya lahan untuk pertanian Indonesia baik lahan kering maupun lahan sawah didominasi oleh lahan sakit atau bermasalah. Dari sekitar 148 juta ha lahan kering, sekitar 102,8 juta ha merupakan lahan kering masam (69,4%) dan yang layak untuk pertanian sekitar 55,8 juta ha. Sedangkan dari sekitar 7,9 juta ha lahan sawah, sekitar 5 juta ha merupakan lahan sakit karena memiliki bahan organik yang rendah. Peningkatan produksi padi dan penghasilan petani dapat dicapai melalui Program Peningkatan Produksi Padi Terpadu (P4T) dengan teknologi IPAT-BO DAFTAR PUSTAKA Anny Mulyani dan Irsal Las. 2008. Potensi sumber daya lahan dan optimalisasi pengembangan komoditas penghasil bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 27(1), 2008 31 Anny Mulyani. 2006. Perkembangan Potensi Lahan www.pustaka-deptan.go.id/inovasi/kl060517.pdf Kering Masam. Dobermann. A and T.H. Fairhurst. 2002. Rice Straw Management. Better Crops International. Vol. 16, Special Supplement, May 2002 Ditjen RLPS, 2007. Resume Data dan Informasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2007. Ingham ER. (2001). The food web and soil health. Soil Biology Primer [online]. www.statlab.iastate.edu/survey/SQI/soil_biology_primer.htm 531 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 Simarmata T. 2002. Integrated ecological farming system for a sustainable agricultural practices in Indonesia. In T. Sembiring and D. Prinz.(eds). Sustainable Resources Development & Management .LIPI, Bandung Simarmata, T. 2007 – 2010. Makalah Pada Rangkaian Seminar Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) Melipatgandakan Produksi Padi: Semiloka Peningkatan Produksi Padi Tanggal 17 Juli 2007 Di Splpp Fak. Pertanian Unpad, Bandung. Simarmata, T. 2008. Teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPATBO) Untuk Melipatgandakan Produksi Padi, Mempercepat Kemandirian Dan Ketahanan Pangan Di Indonesia. Makalah pada Pengukuhan Guru Besar Pada Tanggal 2 Mei 2008. Simarmata, T. 2009. Less water for better soil biological activity and growth of paddy rice in system of organic based aerobic rice intensification. Presented Paper on Internasional Seminar of Sustainable Resources Development: Management of Water and Land Resources from October 6th – 8th 2009 in Central KalimantaN Simarmata, T. and Yuyun Yuwahriah. 2009. Water Saving And Reducing Inorganic Fertilizers Technology For Increasing The Soil Biological Activity And Rice Productivity In System Of Organic Based Aerobic Rice Intensification (Sobari). Prosiding of Internasional Conference & Seminar: Agriculture on Crossroad, November 25 – 26th, 2009 in Padjadjaran University, Bandung Indonesia Simarmata, 2010. Program pemulihan kesehatan lahan & peningkatan produksi padi terpadu (P4T) dengan teknologi intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) untuk membangun kedaulatan pangan di Indonesia. Makalah Diskusi di Bogor tanggal 28 Maret 2010 532 _____________ ISSN 0853-0203 VISI (2011) 19 (2) 523-532 1)Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen, Jalan Sutomo No. 4A Medan 20234 (email: [email protected]) 2) Guru Besar pada Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (e-mail [email protected] ) - Jl.Raya Bandung Sumedang km 21 – Jatinangor 533 _____________ ISSN 0853-0203