Perspektif Vol. 10 No. 2 /Des 2011. Hlm 51 - 57 ISSN: 1412-8004 Crotalaria juncea L.: TANAMAN SERAT UNTUK PUPUK ORGANIK DAN NEMATISIDA NABATI DJAJADI Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Indonesian Tobacco and Fiber Crops Research Institute Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos 199 Malang 65152 E-mail: [email protected] Diterima : 10 Januari 2011; Disetujui : 30 Agustus 2011 ABSTRAK Sebagian besar lahan pertanian di Indonesia mempunyai kandungan bahan organik yang tergolong sangat rendah (kurang dari 1%). Untuk mendukung pengelolaan lahan yang berkelanjutan, maka tanaman Clotalaria juncea (enceng-enceng) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau. Enceng-enceng merupakan salah satu jenis tanaman serat dan mempunyai beberapa keunggulan sebagai pupuk hijau, yaitu pertumbuhannya cepat, hasil hijauannya tinggi, dan meningkatkan kesuburan tanah. Pembenaman tanaman ini pada saat pengolahan tanah dapat mengkontribusi kadar N total tanah sebesar 52,7 kg N/ha dan menghasilkan tebu sekitar 61 t/ha pada penanaman tahun pertama. Pada lahan pertanian yang didominasi oleh fraksi pasir (86%), penambahan 1,6% enceng-enceng bersama dengan 10% tanah liat dapat memperbaiki sifat fisik tanah (peningkatan stabilitas agregat dan kadar air tanah, penurunan berat isi) sifat kimia tanah (peningkatan unsur hara N, K, dan C organik), serta sifat biologi tanah (berkembangnya populasi bakteri dan jamur tanah). Selain itu tanaman ini juga dapat menekan populasi nematoda patogen dalam tanah. Oleh karena itu pemanfaatan tanaman enceng-enceng sebagai sumber bahan organik dan nematisida nabati dapat menjadi salah satu komponen sarana produksi untuk mendukung pertanian yang bekelanjutan. Kata kunci : C. juncea, pupuk hijau, nematisida, kesuburan tanah, pertanian berkelanjutan ABSTRACT Crotalaria juncea L.: Fiber Crop for Green Manure and Botanical Nematicide Most of Indonesian agricultural land has very low (less than 1% C) soil organic matter content which is unsuitable to support sustainability agricultural system. As a fiber crop, Crotalaria juncea (sun hemp) possesses many characteristics of a green manure, such as growing vigorously to provide good ground coverage, performing symbiosis with rhizobium to fix nitrogen, and being a source of organic matter. Incorporation of green biomass of sun hemp with soil in soil tillage contributed to soil N content of 52.7 kg N/ha and increased cane yield of 61 t/ha at one year planting time. In agricultural soil dominated by sand fraction (86%), addition of 1.6% C. juncea mixed with 10% clay soil, improved soil physical characteristics (increasing aggregate stability, declining bulk density, and increasing soil water content), soil chemical characteristics (increasing soil N, P, and C organic contents), and soil biological characteristics (increasing bacteria and fungi population). Furthermore, sun hemp suppressed population of parasitic soil nematode. The use of sun hemp as a green manure might be an essential component of sustainable agricultural system. Key words: C. juncea, green manure, nematicide, soil fertility, sustainable agriculture. PENDAHULUAN Lahan pertanian di Indonesia mempunyai kandungan bahan organik yang tergolong sangat rendah (kurang dari 1%). Hal ini sebagai akibat dari percepatan proses dekomposisi bahan organik dalam tanah, baik karena suhu daerah tropis yang tinggi maupun oleh intensitas pengolahan tanah. Sebagai contoh, lahan pertanian di Kabupaten Bondowoso mengandung bahan organik antara 0,2-1% (Djajadi et al., 2008) dan di Kabupaten Bojonegoro yang sebagian besar (78,2%) lahan tembakau berkadar bahan organik yang tergolong sangat rendah (Djajadi et al., 2009a). Peranan bahan organik dalam tanah sangat penting untuk mempertahankan kesuburan fisik, Crotalaria juncea L.: Tanaman Serat Untuk Pupuk Organik dan Nematisida Nabati (DJAJADI) 51 kimia, dan biologi tanah. Kadar bahan organik tanah antara 2,5-3% dipertimbangkan sebagai kadar yang optimal untuk menjaga kesuburan tanah (Bhander et al., 1998). Oleh karena itu mempertahankan bahan organik tanah dengan kadar minimal 2,5% merupakan salah satu strategi pengelolaan lahan pertanian yang berkelanjutan. Salah satu cara untuk menambah bahan organik tanah di lahan pertanian adalah dengan pemanfaatan tanaman Crotalaria juncea L. (Sun hemp atau enceng-enceng). Tanaman enceng-enceng berasal dari India, dan sekarang penanamannya juga menyebar ke daerah sub-tropis (Cook dand White, 1996). Di beberapa negara; seperti India, China, Pakistan, Korea, dan Rusia, tanaman enceng-enceng dibudidayakan untuk dipanen seratnya (Chee dan Chen, 1992 ). Di Amerika, serat tanaman ini sudah dimanfaatkan untuk pembuatan kertas (Cook dan White, 1996). Selain itu dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa enceng-enceng dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik (Bokhtiar et al., 2003; Miyazawa et al., 2010) dan dapat menekan perkembangan populasi nematoda parasit (Barker dan Koenning, 1998; McSorley, 1999; Desaeger dan Rao, 2001). Di Indonesia, enceng-enceng sebagai penghasil serat belum dibudidayakan secara intensif. Pemanfaatan tanaman ini masih terbatas sebagai tanaman penutup tanah pada lahanlahan bera dan sebagai pupuk hijau yang ditambahkan ke lahan. Tujuan tulisan ini menguraikan peranan tanaman enceng-enceng sebagai pupuk organik dan nematisida nabati. Uraian dilengkapi dengan diskripsi tanaman enceng-enceng, kemudian dilanjutkan dengan peranannya sebagai penyubur lahan pertanian dan pengendali populasi nematoda dalam tanah. cm yang ditumbuhi bintil-bintil akar (Cook dan White, 1996). Batang berbentuk silindris dan daun berbentuk runcing sampai lonjong yang tumbuh melingkar di batang, serta bunga berwarna kuning. Bentuk biji tanaman ini menyerupai ginjal dengan ukuran kecil (18.000– 30.000 biji/kg), dan mengandung sekitar 35% protein. Habitus, bunga, percabangan, serta perakarannya disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Habitus, bunga, percabangan, dan akar enceng-enceng Tanaman enceng-enceng merupakan jenis tanaman semusim yang dapat tumbuh pada rentang iklim yang lebar, namun akan tumbuh baik pada daerah dengan suhu 23-30oC dan curah hujan 400 mm/th (Chee dan Chen, 1992). Selain itu tanaman ini tahan terhadap kekeringan dan beradaptasi baik pada daerah panas dan kering, tetapi tidak tahan tumbuh pada tanah yang mudah tergenang dan tanah dengan kadar garam tinggi. ENCENG-ENCENG SEBAGAI TANAMAN PENGHASIL SERAT Diskripsi Tanaman C. juncea Crotalaria juncea L. merupakan salah satu jenis tanaman serat yang tergolong dalam sub ordo Paplionaceae dan ordo Leguminoceae. Tanaman ini tergolong tanaman hari pendek berupa perdu dengan tinggi 1-4 m, dengan bagian vegetatif ditutupi oleh bulu-bulu pendek, serta akar tunjang yang panjang dengan sistem perakaran serabut yang panjangnya sekitar 2,5 52 Sebagai tanaman penghasil serat, encengenceng merupakan spesies tanaman yang paling penting secara ekonomis di antara tanaman yang tergolong dalam genus Crotalaria (Morris dan Kays, 2005). Bahan serat yang dihasilkan tanaman ini banyak terkandung di bagian batang. Setelah melalui proses penyeratan (rating), serat yang dihasilkan banyak digunakan Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 51 - 57 untuk tali kapal laut, jaring ikan, matras, karung, dan kertas (Cook dan White, 1996). Sebagai penghasil serat tanaman yang dibudidayakan, enceng-enceng mempunyai beberapa keunggulan dari kenaf (Hisbiscus cannabinus L.), yaitu sebagai tanaman yang lebih tahan terhadap serangan nematoda dan dapat berfungsi sebagai penyubur tanah melalui simbiose dengan Rhizobium yang dapat mengikat unsur N dari udara. Di Amerika, tanaman serat ini sudah digunakan sebagai bahan pembuat kertas (Atchison, 1992). Namun demikian, tanaman serat yang lebih banyak dibudidayakan di Indonesia adalah kenaf, yute, dan rami, karena hasil seratnya lebih kuat. ENCENG-ENCENG SEBAGAI SUMBER BAHAN ORGANIK Kelebihan dari tanaman enceng-enceng sebagai pupuk hijau adalah pertumbuhannya cepat, dan hasil hijauannya juga tinggi. Selain itu tanaman tersebut digolongkan sebagai pupuk hijau yang berkualitas sangat tinggi karena daunnya mengandung 407 g/kg C, 33,4 g/kg N, 47,8 g/kg lignin, 22,2 g/kg polyphenol, dan C/N ratio sebesar 12,2 (Fonte et al., 2009). Oleh karena itu bila dibenamkan ke dalam tanah pada saat pengolahan tanah, residu yang berkualitas tinggi (termasuk enceng-enceng) dapat memperbaiki kesuburan kimia (C organik, N, dan P), fisik (stabilitas makroagregat tanah), dan biologi tanah (populasi mikroorganisme tanah) (Abbott dan Murphy, 2003; Six et al., 2004). Hasil penelitian beberapa jenis pupuk hijau yang ditanam sebelum penanaman tebu di Bangladesh (Tabel 1) dilaporkan bahwa hasil hijauan kering enceng-enceng dua kali lebih banyak dari Sesbania aculeate (turi), sehingga kontribusinya terhadap kadar N total tanah 25% lebih tinggi, serta hasil tebu pada tahun pertama juga lebih tinggi (Bokhtiar et al., 2003). Tabel 1 menunjukkan bahwa pemanfaatan enceng-enceng sebagai pupuk hijau dapat meningkatkan kadar N total tanah, sehingga dapat mengurangi kebutuhan pupuk N. Hal ini dibuktikan dengan penelitian di lahan sawah di India, yaitu penanaman C. juncea sebelum penanaman padi dilaporkan telah meningkatkan efisiensi pupuk N, sehingga dosis pupuk N yang dihemat sebesar 50%, serta meningkatkan kadar C organik tanah dan hasil tanaman padi (Kolar et al., 1993). Kemampuan tanaman enceng-enceng dalam meningkatkan kadar N tanah tersebut dimungkinkan karena akarnya mengandung bintil-bintil yang bersimbiose dengan Rhizobium sp. yang berfungsi sebagai penambat N udara, yang potensi pengikatannya mencapai 60% (de Resende et al., 2003). Tabel 1. Pengaruh jenis pupuk hijau terhadap hasil hijauan biomasa, kontribusinya terhadap N total tanah dan hasil tebu pada musim tanam 1998-1999 Jenis pupuk hijau C. juncea S. aculeata Hasil kering hijauan biomasa (t/ha) Kontribusi terhadap kadar N tanah (kg/ha) Hasil tebu (t/ha) 3,1 1,4 50,7 40,0 62,1 59,6 Sumber: Bokhtiar et al., 2003 Sebagai sumber bahan organik, penambahan enceng-enceng bersama-sama dengan tanah liat juga telah dilaporkan dapat meningkatkan kesuburan fisik, kimia, dan biologis lahan pertanian yang didominasi oleh fraksi pasir (Djajadi et al., 2009b). Seperti diketahui bahwa lahan pertanian yang didominasi oleh fraksi pasir adalah jenis tanah yang bertesktur ringan, mempunyai kapasitas yang rendah dalam menyimpan air dan unsur hara, dan rentan terhadap erosi (Farrington and Campbell, 1970). Beberapa jenis tanah berpasir diketahui mengandung makro agregat yang rendah (McFarlane dan Carter, 1990). Akibatnya adalah tanah berpasir rentan terhadap erosi dan kehilangan unsur hara yang tinggi (Pathan et al., 2002). Salah satu strategi untuk meningkatkan kesuburan tanah berpasir antara lain adalah meningkatkan agregasi tanah (yaitu salah satu parameter esensial dari sifat fisik tanah), meningkatkan kadar unsur hara, serta populasi mikroorganisme tanah. Dari hasil penelitian yang dilakukan di lahan dengan kadar fraksi pasir 86%, penambahan sebanyak 1,6% enceng-enceng bersama dengan 10% tanah liat dapat memperbaiki sifat tanah tersebut (Tabel 2). Perbaikan tersebut diindikasikan dengan meningkatnya Crotalaria juncea L.: Tanaman Serat Untuk Pupuk Organik dan Nematisida Nabati (DJAJADI) 53 stabilitas agregat tanah (sekitar 2 kali lipat), menurunnya berat isi tanah (sekitar 14%), dan meningkatnya kadar air tanah (hampir 3 kali lipat). Penanaman enceng-enceng sebagai bahan organik juga dilaporkan telah meningkatkan stabilitas makroagregat setelah 4 tahun pencampuran hijauannya pada saat pengolahan tanah (Martins et al., 2009). Perbaikan sifat fisik tanah tersebut terjadi karena enceng-enceng dan partikel liat merupakan penyusun utama agregat tanah, sehingga penambahannya dapat meningkatkan stabilitas agregat (Edward dan Bremner, 1967). Mekanisme peningkatan agregasi tanah tersebut diawali dengan kolonisasi mikroorganisme tanah di bahan organik kemudian bersama dengan hasil eksudat maupun hasil dekomposisi mengikat partikel-partikel tanah (liat, pasir, dan debu), sehingga stabilitas agregat meningkat (Golchin et al., 1994; Liu et al., 2005). Oleh karena itu kemampuan tanaman tersebut untuk meningkatkan stabilitas agregat tanah terkait dengan potensinya dalam mening-katkan kadar C-organik dan polisakarida hidrolisis (Martins et al., 2009). Dengan mening-katnya agregat tanah akan terjadi pula peningkatan porositas tanah (diindikasikan dengan menurunnya berat isi tanah), sehingga kemampuan tanah untuk menyimpan air juga meningkat. Tabel 2. Pengaruh penambahan tanah liat dan bahan organik terhadap stabilitas agregat tanah, berat isi dan kadar air tanah 90 hari setelah perlakuan Perlakuan Tanah pasir (kontrol) Tanah pasir + 10% liat + 1,6% encengenceng Stabilitas agregat (cm) Berat Isi (g/cm3) 0,71 1,39 0,10 1,64 1,20 0,29 Kadar air tanah (%) Sumber: Djajadi et al., 2009a Penambahan 1,6% enceng-enceng dan 10% tanah liat juga dapat meningkatkan kesuburan kimia (unsur hara) tanah, yang diekspresikan dengan meningkatnya kadar unsur N (sebesar 1,5 kali lipat), K (sekitar 3 kali lipat) dan kadar Corganik (sekitar 2 kali lipat), dari lahan pada 30 hari setelah perlakuan (Tabel 3). Tanaman ini di 54 Guinea bagian Selatan dapat menghasilkan biomasa sumber C organik mencapai 11 ton per ha (Franke et al., 2003). Tabel 3. Pengaruh penambahan tanah liat dan bahan organik terhadap kadar N dan K tanah 30 hari setelah perlakuan Perlakuan Tanah pasir (kontrol) Tanah pasir + 10% liat + 1,6% encengenceng Kadar N total (%) Kadar K (me/100 g) Kadar C organik (%) 0,06 3,70 0,69 0,09 13,80 1,42 Sumber: Djajadi et al., 2009a Tanaman ini juga berperan sebagai sumber energi bagi perkembangan mikroorganisme dalam tanah. Dengan kemampuannya menghasilkan biomasa yang tinggi yang digunakan sebagai sumber energi mikroorganisme tanah, maka penambahan biomasanya ke dalam tanah menyebabkan aktivitas mikroorganisme tanah juga meningkat, sehingga populasinya juga bertambah (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh penambahan tanah liat dan bahan organik terhadap populasi bakteri dan jamur tanah 1 hari setelah inkubasi Perlakuan Populasi bakteri (cfu) Populasi jamur (cfu) 18,80 43,40 1,30 12,30 Tanah pasir (kontrol) Tanah pasir + 10% liat + 1,6% enceng-enceng Sumber: Djajadi et al., 2009a ENCENG-ENCENG SEBAGAI NEMATISIDA NABATI Parasit nematoda banyak merugikan tanaman pertanian dengan gejala benjolan (puru) pada jaringan tanaman yang terinfeksi (Guirena, 2006). Benjolan jaringan tersebut menahan aliran air dan nutrisi yang dibutuhkan tanaman, sehingga terjadi penghambatan pertumbuhan tanaman dan menyebabkan daun-daun menguning dan layu. Selanjutnya akar tanaman menjadi kasar dan benjol-benjol serta rentan terhadap kerusakan. Kehilangan hasil tanaman akibat serangan nematoda berkisar antara 5 Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 51 - 57 Tabel 5. Ketahanan beberapa spesies Crotalaria terhadap M. javanica dan M. incognita yang diekspresikan dengan tingkat penetrasi dan fase perkembangan nematoda. M. incognita Tanaman C. glaucoides C. comosa C. hyssopifolia C. arenaria C. ochroleuca Lycopersicon esculentum (tomat) Tingkat penetrasi Masa Juvenil ke-2 Masa Juvenil ke-3 dan 4 Betina dewasa Tingkat penetrasi 0,17 0,75 1,33 2,88 7,17 66,7 85,7 76,2 100,0 73,5 33,3 14,3 23,8 0 26,5 0 0 0 0 0 0,58 0,83 3,33 2,42 5,25 1,55 74,2 24,2 97,0 M. javanica Masa Masa Juvenil ke- Juvenil ke2 3 dan 4 57,1 42,9 100,0 0 100,0 0 100,0 0 88,9 11,1 77,0 0,65 86,4 Betina dewasa 0 0 0 0 0 12,9 Sumber: Germani dan Plenchette (2004). sampai 12% setiap tahunnya (Barker dan Koenning, 1998). Namun demikian, khususnya di daerah-daerah sentra produksi tembakau temanggung di Indonesia, serangan nematoda puru akar dapat menyebabkan kematian tanaman lebih dari 80%. Sebagai tanaman penutup tanah dan pupuk organik, tanaman Crotalaria mempunyai beberapa karakteristik yang menguntungkan, yaitu berperan sebagai tanaman bukan inang dari sebagian besar patogen tular tanah, dapat menekan pertumbuhan gulma, sebagai pengikat N udara, dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau (Wang et al., 2002). Kemampuannya sebagai pengendali nematoda di dalam tanah telah menjadi fokus penelitian sejak lama. Sebagian besar nematoda parasit yang dapat ditekan oleh Crotalaria adalah nematoda endoparasit yang menetap, termasuk Meloidogyne sp. (McSorley et al., 1994). Namun demikian sebagian besar populasi nematoda parasit yang bersifat migrasi tidak dapat ditekan oleh Crotalaria, termasuk di dalamnya adalah Helicotylenchus spp., Mesocriconema xenoplax, P. minor, Pratylenchus spp., Radopholus similis, Scutellonema spp., dan X. americanum (Wang et al., 2002). Berdasarkan hasil penelitian bahwa mekanisme penekanan populasi nematoda oleh Crotalaria telah diuraikan oleh Wang et al. (2002) secara rinci. Mekanisme tersebut adalah (1) Crotalaria tidak berperan sebagai tanaman inang atau sebagai tanaman inang yang merugikan, (2) Akar Crotalaria memproduksi alelopati yang bersifat racun atau penghambat perkembangan nematoda, (3) Akar Crotalaria sebagai tempat berlindung bagi flora dan fauna antagonis, dan (4) Crotalaria sebagai perangkap bagi nematoda. Potensi ketahanan beberapa spesies tanaman Crotalaria terhadap nematoda parasit dilaporkan oleh Germani dan Plenchette (2004). Dengan cara menginokulasikan suspensi yang mengandung Meloidogyne javanica dan Meloidogyne incognita pada media tumbuh, mereka memperoleh hasil bahwa tanaman Crotalaria dapat menekan tingkat penetrasi dan perkembangan nematode jauh lebih rendah daripada tanaman tomat yang rentan (Tabel 5). Dari tabel tersebut diketahui bahwa tingkat penetrasi nematoda terhadap akar Crotalaria bervariasi antara 0,17-7,17% dan 0,58-5,25% masing-masing untuk M. javanica dan M. incognita, sedangkan tingkat penetrasi nematoda terhadap akar tanaman tomat mencapai 97 dan 77%. Selain itu dari tingkat masa perkembangannya diketahui bahwa nematoda yang terdapat di akar Crotalaria adalah pada fase juvenile, terutama pada tingkat ke-2, serta tidak dijumpai nematoda dewasa betina yang menginfeksi akar Crotalaria. Sebaliknya, nematoda yang terdapat di akar tanaman tomat umumnya sudah pada fase pra dewasa dan dewasa betina. Oleh karena kemampuannya yang antagonistik terhadap nematoda tersebut, tanaman enceng-enceng dapat digunakan sebagai nematisida nabati. KESIMPULAN Sebagai tanaman serat, C. juncea biasa dimanfaatkan sebagai pupuk hijau karena mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan Crotalaria juncea L.: Tanaman Serat Untuk Pupuk Organik dan Nematisida Nabati (DJAJADI) 55 sebagai sumber bahan organik, yaitu pertumbuhannya cepat, menghasilkan biomasa hijauan tinggi, dan mampu meningkatkan kesuburan fisik, kimia serta biologi tanah. Pembenaman tanaman ini pada saat pengolahan lahan, dapat memberikan kontribusi pada kadar N total sebesar 52,7 kg N/ha dan hasil tebu sekitar 61 ton/ha. Pada lahan dengan kandungan pasir 86%, penambahan sebanyak 1,6% encengenceng bersama dengan 10% tanah liat dapat memperbaiki sifat fisik tanah (peningkatan stabilitas agregat, penurunan berat isi, dan kadar air tanah), sifat kimia tanah (peningkatan kadar N, K, dan C organik), serta sifat biologi tanah (berkembangnya populasi bakteri dan jamur tanah). Selain itu, tanaman ini mampu menekan perkembangan nematoda parasit, sehingga dapat digunakan sebagai nematisida nabati. DAFTAR PUSTAKA Abbott, L.K. and D.V. Murphy. 2003. What is soil biological fertility? In: Abbott, L.K. and D.V. Murphy (Eds.) A key to Sustainable Land Use in Agriculture: pp 1-15. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands. Atchison, J.E. 1992. Pulp and Paper. Agriculture Journals, 66 (9) p.139. Barker, K.R. and S.R. Koenning. 1998. Developing Sustainable Systems for Nematode. Annu. Rev. Phytopathol, 36:165–205. Bhander, P.K., M.S.U. Bhuiya, and M.A. Salam. 1998. Effect of Sesbania restrata biomass and nitrogen fertilizer on the yield and yield attributes of transplant Amam rice. Progressive Agriculture 9, p.89-93 Bokhtiar, M., M.A. Gafur, and A.B.M.M. Rahman. 2003. Effects of Crotalaria and Sesbania aculeata green manures and N fertilizer on soil fertility and the productivity of sugarcane. Journal of Agricultural Science, 140: 305–309. Chee Y.K. and C.P. Chen. 1992. Crotalaria juncea L., p.98-100. In L.’t Mannetje and R.M. Jones (Eds.). Plant Resources of SouthEast Asia. 4. Forages. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen, The Netherlands, 56 Cook, C.G. and G.A. White. 1996. Crotalaria juncea: A potential multi-purpose fiber crop. p. 389-394. In: J. Janick (Ed.), Progress in new crops. ASHS Press, Arlington, VA. de Resende, A.S., P.X. Rogerio., D.M. Queseda, S. Urquiaga, B.J.R. Alves, and R.M. Boddey. 2003. Use of green manures in increasing inputs of biologically fixed nitrogen to sugar cane. Biol. Fertil. Soils, 37: 215–220 Desaeger, J. and M.R. Rao. 2001. The potential of mixed covers of Sesbania, Tephrosia, and Crotalaria to minimize nematode problems on subsequent crops. Field Crops Research, 70: 111 – 125. Djajadi, A.S. Murdiyati, Sudarto, Djumali, dan S. Tirtosuprobo. 2008. Identifikasi Sumber Daya Lahan untuk Pengembangan Tembakau di Kabupaten Bondowoso. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. 112 pp. (Tidak Dipublikasikan). Djajadi, A.S. Murdiyati, Sudarto, Djumali, dan S. Tirtosuprobo. 2009a. Identifikasi Sebaran Lahan dan Usahatani Tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, 124 pp. (Tidak Dipublikasikan). Djajadi, Djumali, dan N. Hidayah. 2009b. Pengaruh Tanah Liat dan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Pertumbuhan Jarak Pagar. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, 18 pp. (Tidak Dipublikasikan). Edward, A.P. and J.M. Bremner. 1967. Microaggregates in soils. Journal of Soil Science, 18: 64-73. Farrington, P. and N.A. Campbell. 1970. Properties of deep sandy soils and the growth of Lovegrass, Eragrostis curvula (Schrad.) Nees. Australian Journal of Soil Research, 8: 123–132. Franke, A.C., S. Schulz, B. Oyewolw, M.A. Husaini, and L. Tobe. 2003. The potential of Crotalaria juncea to provide mulch and facilitate conservation tillage in the northern Guinea savanna. African Crop Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 51 - 57 Science Conference Proceedings, 6:508513. Fonte, S.J., E.Y.P.O.G.W. Quansah, B. Vanlauwe, and J. Six. 2009. Fertilizer and residue quality effects on organic matter stabilization in soil aggregates. Soil Sci. Soc. Am. J. 73: 961-966. Germani, G. and C. Plenchette. 2004. Potential of Crotalaria spesies as green manure crops for the management of pathogenis nematodes and beneficial mycorrhizal fungi. Plant and Soil, 266: 333-342. Golchin, A., J.M. Oades, J.O. Skjemtad, and P. Clarke. 1994. Soil structure and carbon cycling. Australian Journal Soil Research. 32: 1043-1068. Guirena, M. 2006. Nematodes: Alternative Controls. National Sustainable Agriculture Service. 18 pp Kolar, J.S., H.S. Greival, and B. Singh. 1993. Nitrogen substituion and higher productivity of a rice wheat cropping system through green manuring. Tropical Agriculture, 70(4): 301-304. Liu, A., B.L. Ma, and A.A. Bomke. 2005. Effect of cover crops on soil aggregate stability, total organic carbon, and polysaccharides. Soil Sci. Soc. Am. J. 69:20412048. Martins, M.D.R., J.E. Cora, R.F. Jorge, and A.V. Marcelo. 2009. Crop type influences soil aggregation and organic matter under no-tillage. Soil and Tillage Research, 104: 22-29 McFarlane, D.J. and D.J. Carter. 1990. The effect of erosion on soil productivity in south- western Australia. In: Working papersErosion productivity and erosion prediction workshop. 5th Australian Soil Conservation Conference, Perth, March 1990, p. 3-14. McSorley, R., D.W. Dickson, and J.A. de Brito. 1994. Host status of selected tropical rotation crops to four populations of rootknot nematodes. Nematropica, 24: 45–53. McSorley, R. 1999. Host Suitability of Potential Cover Crops for Root-knot Nematodes. Supplement to the Journal of Nematology, 31(4S):619–623. Miyazawa, K., T. Murakami, M. Takeda, and T. Murayama. 2010. Intercropping green manure crops-effects on rooting patterns. Plant Soil, 331:231–239. Morris, J.B. and S.E. Kays. 2005. Total Dietary Fiber Variability in a Cross Section of Crotalaria juncea Genetic Resources. Crop Science, 45: 1826 - 1829. Pathan, S.M., L.A.G. Aylmore, and T.D. Colmer. 2002. Reduced leaching of nitrate, ammonium, and phosphorus in a sandy soil by fly ash amendment. Australian Journal of Soil Research, 40:1201-1211. Six, J., H. Bossuyt, S. Degryze, and K. Denef. 2004. A history of research on the link between (micro) aggregates, soil biota, and soil organic matter dynamics. Soil and Tillage Research, 79: 7-31. Wang, K.H., R. McSorley, and R.N. Gallaher. 2003. Effect of Crotalaria juncea amendment on nematode communities in soils with different agricultural histories. Journal of Nematodes, 35 (3): 294-301. Crotalaria juncea L.: Tanaman Serat Untuk Pupuk Organik dan Nematisida Nabati (DJAJADI) 57