persoalan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia hari-hari ini masih tinggal dalam pergulatan yang semakin berat. Persoalanpersoalan dari zaman ke zaman belum benar-benar teratasi kesemuanya, bahkan terus muncul
persoalan baru. Kondisi demikian membawa dampak dan menuntut penyelesaian bagi berbagai
krisis yang dihadapi hampir semua bagian dunia. Dimulai dari krisis ekonomi, lingkungan, krisis
sosial, politik, spiritual, melebar hingga hampir semua segi yang lain dari kehidupan manusia
(Capra, 1982: 21-27). Hal itu terjadi begitu saja tanpa diperkirakan dan dicegah sebelumnya,
seakan semua itu tak terelakkan.
Manusia masih tetap gelisah dan kuatir dalam pencariannya akan pemahaman tentang
realitas dan kebenarannya. Keterpurukan dan persoalan yang dianggap bisa diatasi oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi justru membawa persoalan baru. Perkembangan ilmu pengetahuan
yang begitu pesat hingga ilmu-ilmu menjadi semakin terspesialisasi, terpecah menjadi banyak
cabang spesialisasi ilmu mengakibatkan cara pandang yang sempit dalam memahami realitas
(Capra, 1982: 119; Persijn, 2004:69-70). Pertanyaan yang muncul adalah apakah memang
kenyataan yang dihidupi oleh manusia adalah sebuah proses dialektika sepanjang masa? Ataukah
manusia sudah digariskan untuk mengada dengan sedemikian rupa karena manusia dalam
kemampuannya memahami terbatas dan tidak akan pernah dapat mencengkram realitas dan
dunianya dengan utuh.
Sejak manusia muncul dari bayang-bayang kegelapan asal-usulnya, manusia mulai
mencari tahu dan berusaha untuk mengerti. Lewat mitos pertama kali manusia mengekspresikan
rasa ingin tahunya. Setelah pengejaran rasionalitas, mitos disingkirkan oleh agama dan lalu agama
ditantang oleh pemikiran kritis dan ilmu pengetahuan. Maka kekosongan terjadi, manusia berusaha
menambalnya dengan ideologi yang ternyata juga melahirkan kritik atasnya. Manusia semakin
terperangkap dalam ketegangan antara nihilisme dan pencarian makna (Suseno, 2005:9).
Manusia sejak dulu mempertanyakan hal-hal yang esensial. Oleh karena itu manusia
sungguh-sungguh adalah suatu makhluk penanya. Manusia pun menanyakan dirinya,
keberadaannya dalam kenyataan kehidupannya di dunia. Bertanya menjadi suatu tindakan yang
unik yang membedakannya dengan pengada-pengada lain. Manusia dalam pencariannya
mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan yaitu kemungkinan-kemungkinannya
(Weij, 1988: 8). Pergulatan eksistensi manusia membuatnya seringkali merasa optimis, berhasrat,
sebaliknya menjadi kuatir dan cemas. Keberadaanya tak pernah habis dipahami. Pengetahuan akan
hakikatnya sendiri tidak bersifat ajeg.
Pergulatan pemikiran tentang manusia telah dilakukan sejak sekian lama dan berlangsung
hingga sekarang. Setiap dimensi manusia haruslah dihormati dalam melakukan pengamatan
tentang manusia. Melalui hal itu akan tampak bahwa manusia merupakan makhluk paradoksal,
penuh dengan kontras. Sisi lain manusia pun terbatas, terkondisi dan terbuka bagi kenyataan yang
tidak terbatas (Leahy, 1991:3)
Topik mengenai manusia dan jatidirinya selalu menjadi bahasan penting sepanjang sejarah
filsafat. Untuk memahami seluruh kenyataan seluas kenyataan itu maka titik pertama untuk
mengawalinya adalah dari manusia sendiri. Manusia sebagai jangkar realitas, menangkap gejala
dan fenomena dari realitas yang tercerap dalam dunianya. Lalu memberi makna dan arti bagi
kenyataan yang dihidupinya. Makna hidup manusia dipersoalkan dalam pemikiran filsafat. Hasil
pemikiran
itu
merupakan
pandangan
rasional
yang
mempersatukan
dan
mempertanggungjawabkan fakta-fakta yang muncul dalam hidup. Berpikir secara filsafat tentang
manusia ialah mencari makna hidup yang benar dengan sekaligus menilai secara kritis pandangan
tentang manusia sebelumnya (Huijber, 1986: 10).
Dunia di mana manusia berada memiliki banyak rahasia. Dunia dan kedinamisannya
menuntut manusia bereksistensi, mengada secara maksimal, sehingga manusia memiliki hubungan
yang khusus dengan dunianya. Terjalin suatu relasi saling membutuhkan dengan pengada-pengada
lain. Hubungan mutual ini menjadi sangat penting karena ada semacam rantai kehidupan yang
terjalin erat. Manusia memiliki kemampuan bereksistensi tinggi oleh sebab kapasitas intelektual
yang lebih besar itu membuatnya berbeda dari pengada lain. Kodrat alamiah itu terberikan
sekaligus menjadi tanggung jawab untuk merawat rantai kehidupan. Manusia menjadi agen utama
pelaksanaan kehidupan di dunia. Ilmu pengetahuan diperlukan dalam pelaksanaan tanggung jawab
tersebut. Terlebih lagi ilmu yang memberi dasar-dasar pemahaman tentang realitas. Filsafat hadir
sebagai upaya pencarian pemahaman akan realitas itu. Filsafat mengkaji tentang segala fenomena
kehidupan secara kritis, menyeluruh hingga ke dasar terdalamnya. Kegiatan berfilsafat manusia
dimulai oleh pemikir-pemikir di peradaban Yunani kuno. Pencarian filsuf mula-mula adalah
hendak menemukan arche atau prinsip pertama realitas, hakikat yang mendasari realitas yang ada
di hadapan manusia. Filsafat memainkan peran utama dalam pergumulan pengejaran rasionalitas
sejak 2500 tahun lalu. Filsafat menjadi medan utama manusia mendiskursuskan keyakinan bahwa
hanya klaim-klaim yang dapat dipertanggungjawabkan berhak mendapat pengakuan. Filsafat dan
perdebatan panjang tentangnya tak kurang sebagai perebutan tentang bagaimana manusia
memahami diri (Suseno, 2005: 9).
Persoalan utama yang tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu adalah memahami manusia
secara utuh dalam banyak segi dan kompleksitasnya. Pertanyaan seputar persoalan manusia
menjadi lebih luas dan dalam mengenai hakikat manusia. Hambatan dalam memperoleh
pengetahuan yang utuh tentang manusia adalah karena manusia sendiri menjadi objek
pengetahuan. Jarak kritis antara subjek dan objek yang diamati sulit untuk ditentukan sehingga
memerlukan cabang kajian khusus serta metodologi tepat. Filsafat manusia sebagai cabang khusus
merupakan sebuah usaha untuk mengamati semua gejala serta fenomena dan juga penyelidikan
atas realitas yang paling hakiki. Tugas utama yaitu mencari dan menjawab hakikat manusia dari
keseluruhan fenomena kesehariannya sehingga bersifat mencangkup semua aspek dan ekspresi
manusia yang kemudian menerobos hingga ke dalam dimensi metafisik. Filsafat manusia dalam
kekhususan ini bertujuan menjelaskan secara intensif inti, struktur dasar, yang melandasi
kenyataan manusia baik yang tampak dalam kehidupan sehari-hari ataupun yang terdapat dalam
data dan teori ilmiah (Abidin, 2000: 13; Bakker, 2000:12).
Perbedaan manusia dengan pengada lain adalah manusia mempunyai ciri istimewa, yaitu
kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya. Manusia
adalah makhluk berkesadaran seperti yang disebut Aristoteles sebagai animale rationale
(Suhartono, 2008: 27). Manusia dalam kemenjadiannya membutuhkan kemampuan berpikir yang
terus meningkat untuk berurusan dengan dunia. Inteligensi menjadi aspek penting yang
memungkinkan manusia mampu berbudaya, membangun ilmu pengetahuan, teknologi dan arah
peradaban manusia sejak sekian lama. Model-model yang dimiliki warga pribumi suatu budaya
ditentukan oleh kedudukan warga itu dalam masyarakat, model itu berguna sebagai pedoman
untuk mengambil tindakan, dan sebagai representasi aspirasi tentang dunia sebagaimana diketahui
sebuah budaya. Pitt River mengatakan bahwa, warga budaya tertentu menyusun klasifikasi
menurut kategori-kategori dalam budaya digunakan untuk memberikan penjelasan tentang dunia
dan untuk memutuskan bagaimana harus bertindak (Kaplan, 1999: 30-31). Model kegiatankegiatan inteligensi manusia berbeda-beda di setiap kebudayaan dan peradaban. Dapat dilihat
bagaimana unsur-unsur yang khusus dari manusia di berbagai belahan dunia yang berbeda
menghasilkan keunikan eksistensi kebudayaannya masing-masing. Penentuan atas modus
mengada manusia yang beragam itu memang ditentukan oleh berbagai macam faktor yang terdapat
di lingkungan masing-masing. Hal itu membawa dampak pada segi politik, ekonomi, sosial,
budaya, seni, keagamaan, hingga ilmu pengetahuan dan pandangan hidup. Bermacam fenomena
yang dihadapi manusia dalam kehidupan berhubungan erat dengan cara mengada, beradaptasi atau
bahkan cara menguasai. Semua tindakan itu sudah mesti dan hampir selalu berdasar atas sebuah
keputusan yang dikehendaki untuk menjadi jawaban dan jalan keluar dari atas problematika
realitas kehidupannya.
Kebutuhan mencari solusi atas segala permasalahan kehidupan bisa dimulai dari upaya
memahami manusia dan hakikatnya. Secara khusus pemahaman tentang kemampuan, keunikan,
dan perbedaannya dengan pengada-pengada lain. Kegiatan yang dianggap paling sentral di
antaranya adalah mengerti dan mau. Pengertian dan penghendakan itu meresapi hampir semua
kegiatan dan ekspresi manusia. Terutama memberi arti dan isi yang sungguh manusiawi (Bakker,
200:163). Inteligensi atau kemampuan intelektual manusia menjadi penting untuk diteliti karena
di situlah terletak potensi sebagai titik hubung kenyataan manusia dan dunia. Bagaimana manusia
menangkap realita, mengolah, menimbang, memutuskan, membangkitkan, memahaminya kembali
secara terstruktur. Fase-fase mengolah fenomena yang didapat dari dunia di mana manusia
berurusan menghasilkan pengetahuan dan pemahaman lebih yang nantinya memampukan manusia
membangun sebuah proyeksi akan hari esok sebagai masa depan yang disongsong dengan
kesediaan dan kesiapan yang diidealkan.
Hampir tak dapat dimungkiri lagi kenyataan bahwa kehidupan umat manusia penuh dengan
misteri. Masa depan akan hadir dalam kausalitas, sebagai lanjutan historisitas yang dinamis, dan
sebagai konsekuensi lanjutan peristiwa dalam runtun waktu. Masa depannya itu bagai suatu ruang
gelap yang mau tak mau harus dimasuki tanpa tahu ada apa di dalamnya. Masa depan de facto
tidak dapat dipastikan dan diramalkan karena unsur kebebasan manusia sendiri. Masa depan
sebagai orientasi menuju sesuatu yang lebih baik mengikat manusia dalam suatu panggilan etis
untuk bagaimana seharusnya berkembang (Snijder, 2004: 192-193). Keputusan akan masa depan
itu mengandaikan totalitas inteligensi dan sebuah landasan episteme yang tepat. Oleh karena itu
pentinglah mengamati konsep inteligensi manusia dalam pemikiran Fritjof Capra. Refleksi
filsafatnya menunjukkan kesejajaran kemampuan intuisi dan rasionalitas yang ada di dalam
mistisisme Timur dan pemikiran Barat. Capra juga merumuskan sebuah gagasan dan cara pandang
baru dalam memahami hakikat dan kenyataan dunia yang bersifat harmonis.
Dunia yang dipandang Capra sebagai jaringan kehidupan membutuhkan kerja-sama antara
sesama manusia juga dengan entitas lain. Ini menjadi sebuah keharusan bagi semua entitas
khususnya manusia untuk berkorelasi, berhubungan, bertindak dalam kesadaran saling
membutuhkan demi menjaga jalinan erat jaring kehidupan. Di situlah pokok pemahaman tentang
dinamika kehidupan dalam proses menjadi. Pemahaman itu akan membantu manusia menghadapi
perubahan. Masa depan tak lagi gelap dan terlalu misterius sebab lewat inteligensi manusia
ditemukan terang pemahaman yang menjadi pegangan. Berdasarkan pemahaman ini maka penulis
berpikir perlu ada sebuah kajian dalam memahami dimensi inteligensi manusia terlebih dahulu
sebelum sampai pada sebuah model epistemologi atau bahkan paradigma.
Download