program studi ilmu hukum fakultas hukum

advertisement
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 27/PUU-IX/2011 BAGI PEKERJA/BURUH, PENYEDIA
JASA PEKERJA/BURUH DAN PEMBERI PEKERJAAN
SKRIPSI
OLEH
SUHARI
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2012
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 27/PUU-IX/2011 BAGI PEKERJA/BURUH, PENYEDIA
JASA PEKERJA/BURUH DAN PEMBERI PEKERJAAN
SKRIPSI
OLEH
SUHARI
NPM : 28120146
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2012
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 27/PUU-IX/2011 BAGI PEKERJA/BURUH, PENYEDIA
JASA PEKERJA/BURUH DAN PEMBERI PEKERJAAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universtitas Wijaya Putra Surabaya
OLEH
SUHARI
NPM : 28120146
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2012
iii
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 27/PUU-IX/2011 BAGI PEKERJA/BURUH, PENYEDIA
JASA PEKERJA/BURUH DAN PEMBERI PEKERJAAN
NAMA
: SUHARI
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 28120146
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH :
PEMBIMBING
TRI WAHYU ANDAYANI, S.H., C.N., M.H.
iv
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS.
Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat
mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya,
Agustus 2012
Tim Penguji Skripsi :
1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H.
(
)
(
)
: 1. Dr.Sugeng Repowijoyo,S.H., MHum. (
)
(Dekan)
2. Sekretaris : Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H.
(Pembimbing)
3. Anggota
(Dosen Penguji I)
2. Farina Gandriyani, S.H, M.Si.
(Dosen Penguji II)
v
(
)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa
melimpahkan rahmad, taufik, hidayah dan ridhonya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada
Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW dan para sahabat sahabat beliau.
Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tak lepas dari dukungan
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum
pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak
atas bantuan dan dukunganya baik secara moril maupun spirituil, dan pada
khususnya Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada ;
1. Rektor Budi Endarto SH., M.Hum. atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program
pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Wijaya Putra.
2. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H.,C.N.,M.H., selaku dosen pembimbing yang
telah
banyak
memberikan
arahan,
bimbingan,
saran-saran
maupun
konsultasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan
skripsi ini;
3. Bapak Dr.Sugeng Repowijoyo,S.H., MHum. dan Ibu Farina Gandriyani,S.H,
M.Si., Selaku panitia penguji Skripsi atas segala saran dan petunjuknya yang
sangat bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.
vi
4. Para Dosen yang mengajar di
fakultas Hukum jurusan Ilmu Hukum
Universitas Wijaya Putra yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan banyak materi sebagai bahan penyusunan karya tulis ini;
5. Sri Utari (Istri) dan anak-anak tersayang dan tercinta, Bronx Noval
Kurniawan, Tio Salsa Wijaya, Ari Sativa Octavianne dan Akira Devy Kauri
yang telah memberikan doa, semangat dan pengorbanan sebagai motivator
untuk kesuksesan penulis;
6. Sahabat dan teman-teman semua yang telah support dalam penyelesaian
Skripsi ini.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas budi atas bantuan serta bimbingan yang telah
diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang
membacanya.
Surabaya, 3 Agustus 2012
Penyusun
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar............................................................................................... vi
Daftar isi.......................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
2. Rumusan Masalah .................................................................... 6
3. Penjelasan Judul ....................................................................... 6
4. Alasan pemilihan Judul ............................................................. 7
5. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
6. Manfaat penelitian ...................................................................... 8
7. Metode Penelitian ....................................................................... 9
8. Pertanggungjawaban Sistematika Penelitian ............................ 11
BAB II : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH
DI INDONESIA ............................................................................ 13
1. Keadaan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ....................... 13
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing
pasca Putusan Mahkamah Konstitusinomor 27/PUU-IX/2011 ...30
BAB III : KEDUDUKAN HUKUM PERUSAHAAN PENYEDIA JASA
PEKERJA/ BURUH DAN PERUSAHAAN PEMBERI KERJA
DI INDONESIA ........................................................................... 35
1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan ......................................... 35
viii
2. Kedudukan Hukum Perusahaan Pemberi Pekerjaan dan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh Di Indonesia.......... 39
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 44
1. Kesimpulan ............................................................................... 44
2. Saran ........................................................................................ 46
Daftar Bacaan …………………………………………………………………… 48
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Perlindungan hukum bagi Pekerja/Buruh secara mendasar telah
dilindungi oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD
19451 yang menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", Pasal 28D ayat
(2) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja", dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,"Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan".
Selain daripada itu, dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan
dan peningkatan perlindungan tenaga kerja beserta keluarganya sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusian dan untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja/buruh serta menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun dan untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh
beserta
keluarganya
dengan
tetap
memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha2, pemerintah telah menetapkan
Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Namun demikian seiring perjalanan waktu kebijakan pemerintah
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tersebut terus menimbulkan Pro-Kontra antara
1
2
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (yang dipadukan dengan perubahan I,II,II dan IV)
Undang-Undang RI nomor 13 tahun 2003, hal.1.
1
2
Pekerja/Buruh, Pengusaha dan Pemerintah, terutama tentang
pasal yang mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak kerja)
dan perjanjian pemborongan pekerjaan untuk melaksanakan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) yang selama ini dianggap
oleh sebagian besar Pekerja/Buruh telah merampas hak hak konstusional.
Ketentuan dalam undang undang nomor 13 tahun 2003 yang
mengatur tentang hubungan kerja yang berdasarkan pada waktu tertentu
(kontrak kerja) terdapat pada pasal 56,57,58,59 dan 62 sedangkan petunjuk
pelaksanaanya diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : 100/Men/VI/2004. Hubungan kerja
yang mengatur tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dengan cara
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
(outsourcing)
diatur
dalampasal
pelaksanaannya diatur dalam
64,65
dan
66sedangkan
petunjuk
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep. 220/Men/X/2004.Peraturan
tentang hubungan kerja yang mengatur tentang kontrak kerja dan
oursourcing tersebut berakibat pada hilangnya keamanan kerja (job security)
dan melemahnya perlindungan bagi Pekerja/Buruh di Indonesia, karena
1. mengakibatkan
sebagian
besar
Pekerja/Buruh
tidak
lagi
;
menjadi
Pekerja/Buruh tetap, tetapi menjadi Pekerja/Buruh kontrak, berpindah dari
satu perusahaan ke perusahaan lainnya seperti piala bergilir sehingga
Pekerja/Buruh kehilangan jaminan atas kelangsungan kerjanya.
2. Merugikan Pekerja/Buruh karena kehilangan hak yang seharusnya
diterima, seperti ;Hak Cuti tahunan, Tunjangan Masa kerja, dan lain lain
sebagaimana dinikmati oleh Pekerja/Buruh tetap.
3
3. Merugikan Pekerja/Buruh karena kehilangan hak haknya pada saat
Hubungan Kerja berakhir,seperti ; Pemberian Uang Pesangon dan
Penghargaan Masa Kerja serta uang penggantian Hak sebagaimana
diatur dalam pasal 156 undang undang nomor 13 tahun 2003.
4. Merugikan Pekerja/Buruh dalam upaya untuk memperoleh uang pesangon
pensiun sebagaimana dimaksud dalam pasal 167 undang undang nomor
13 tahun 2003.
Sudah berulangkali ribuan aktivis Pekerja/Buruh yang tergabung
dalam
serikat
Pekerja/Buruh,
Federasi
Serikat
Pekerja
/Buruh
dan
Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh beserta aliansi-aliansi perburuhan lainnya
di berbagai tempat di wilayah Republik Indonesia melakukan berbagai cara
untuk menolak adanya Hubungan Kerja yang berdasarkan perjanjian kerja
untuk waktu tertentu (kontrak kerja) dan penyerahan sebagian pekerjaan
kepada perusahaan lain(outsourcing) sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri sebagai
Petunjuk Peraturan Pelaksanaanya.
Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML)
Indonesia, Didik Suprijadi yang merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan
oleh berlakunya undang undang nomor 13 tahun 2003, melalui Kuasa
Hukumnya Dwi Hariyanti, S.H., Advokat dan Penasihat Hukum pada kantor
Advokat dan Penasihat Hukum “Dwi Hariyanti, S.H., & Rekan” telah
mengajukan permohonan uji materi pasal 59 dan pasal 64, 65 dan 66 Undang
Undang nomor 13 tahun 2003 terhadap Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, dan pada
4
tanggal 17 Januari 2012, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perkara
permohonan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.
Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi, untuk menghindari
perusahaan melakukan eksploitasi Pekerja/Buruh hanya untuk kepentingan
keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hakhak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Untuk
meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing,
Mahkamah Konstitusi memutuskan dua model outsourcing, yaitu; Pertama,
dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), melainkan berbentuk Perjanjian
Kerja Waktu TidakTertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan
tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection
of
Employment
atau
TUPE)
yang
bekerja
pada
perusahaan
yang
melaksanakan pekerjaan outsourcing1.
Kalau kita cermati lebih dalam pengertian dari Putusan Mahkamah
Konstitusi ini, dapat diambil kersimpulan bahwa putusan Mahkamah Kontitusi
tersebut semakin melegalkan keberadaan Outsourcing. Artinya outsourcing
adalah konstitusional, karena tidak bermasalah secara konstitusi. Sepanjang
syarat untuk pengalihan hak pekerja/Buruh yang objek kerjanya tetap ada,
dapat dipenuhi. Atau sepanjang hubungan kerja antara pekerja/Buruh dengan
Perusahaan outsourcing berdasarkan pada perjanjian kerja tetap. Lantas
bagaimana mungkin penyedia tenaga kerja Outsourcing dapat terus
memperkerjakan Pekerja/Buruh tersebut dengan tetap membayar gajinya jika
1
Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011, hal.44
5
hubungan kerja antara Penyedia Tenaga Kerja dengan Pemberi Pekerjaan
berakhir. hal ini tentu yang masih merupakan ancaman bagi Pekerja/Buruh.
Dalam hal ini Pekerja/Buruh belum cukup terlindungi dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi ini. Kondisi inilah yang menyebabkan makin
maraknya unjuk rasa dari berbagai unsur serikat Pekerja/Buruh dan dari
beberapa aliansi perburuhan. Berikut ini salah satu contoh kegiatan unjuk rasa
Pekerja/Buruh ; ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh
Menggugat (ABM) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI)
Jatim membawa poster dan spanduk bertuliskan tuntutan penghapusan
outsourcing2. Mereka menggelar aksi unjuk rasa menuntut kepada pemerintah
supaya menghapus tenaga kontrak dan outsourcing di depan Gedung
Grahadi.
Keputusan Mahkamah Konstitusi juga membuat Pekerja/Buruh dan
Pengusaha berbeda paham dalam sudut pandang putusan tersebut. Untuk
menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 melalui Surat
Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012.Namun demikian
kalau kita cermati makna yang terkandung dalam Surat Edaran Kementerian
ini sebenarnya hanya merupakan penegasan kembali atau menguatkan
putusan Mahkamah konstitusi.
2
Fatkhul Alamy, Ratusan Buruh Demo Tuntut Hapus Outsourcing, Sumber;Surya,
TribunJatim.com, 20 Februari 2012.
6
1. Rumusan Masalah
a. Bagaimana
Perlindungan
Hukum
Pekerja/Buruh
pasca
Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011
b. Bagaimana Kedudukan Hukum Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan
Pemberi Pekerjaan, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUUIX/2011
2. Penjelasan Judul
Skripsi ini berjudul ”Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 27/PUU-IX/2011 Bagi Pekerja/Buruh, Penyedia
Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan” merupakan suatu susunan katakata dalam kalimat judul yang mengandung pengertian sebagai berikut:

Analisis yuridis adalah Kajian terhadap suatu keputusan hukum dilihat
menurut hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 27/PUUIX/2011 adalah keputusan hasil rapat permusyawaratan hakim yang
dihadiri para hakim konstitusi untuk mengadili perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara
permohonan Pengujian Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai Frasa “perjanjian Kerja
Waktu Tertentu” dalam pasal 65 ayat 7 dan pasal 66 ayat 2 UU no 13
tahun 2003.

Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
7

Penyedia jasa Pekerja/Buruh adalah perusahaan berbadan hukum yang
dalam
kegiatan
usahanya
menyediakan
jasa
pekerja/buruh
untuk
dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan.

Pemberi Pekerjaan adalah pengusaha, badan hukum atau badan badan
lainnya yang menggunakan jasa tenaga kerja dari penyedia jasa
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lainnya.
3. Alasan Pemilihan Judul
Penulis memilih judul “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 27/PUU-IX/2011 Bagi Pekerja/Buruh, Penyedia
Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan” karena pada Akhir akhir ini
sedang marak diberbagai media, baik media cetak maupun media elektronik
memberitakan tentang demo pekerja/Buruh menuntut tentang penghapusan
outsourcing sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi No.
27/PUU-IX/2011.
4. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas dan persyaratan
mencapai Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya
Putra Surabaya, selain itu dalam penelitian ini Penulis mempunyai tujuan :
1. Untuk mengetahui
hak dan kewajiban pekerja/buruh, penyedia jasa
tenaga kerja dan pengguna jasa tenaga kerja pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011
8
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum Pekerja/Buruh, kedudukan
hukum Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011
3. Untuk mengetahui penyebab timbulnya gejolak pekerja/buruh menuntut
penghapusan outsourcing
5. Manfaat Penelitian
Penulis berharap dalam penulisan skripsi ini, dapat bermanfaat untuk :
1. Menambah literatur dan khasanah dunia kepustakaan yang dapat
digunakan sebagai dasar penulisan selanjutnya.
2. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan
ilmu hukum khususnya mengenai masalah hukum ketenagakerjaan di
Indonesia.
3. Memberikan manfaat kepada pengusaha, pekerja/buruh, praktisi dibidang
hukum, mahasiswa fakultas hukum, dan masyarakat umum yang ingin
mengetahui dan memahami kondisi hukum ketenagakerjaan di Indonesia
khususnya
mengenai
Pekerja/Buruh
outsourcing,
penyedia
jasa
Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan.
4. Menambah pengetahuan bagi penulis untuk lebih memahami tentang
hak-hak pekerja/buruh, perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh
outsourcing dan kedudukan hukum penyedia jasa Pekerja/Buruh serta
kedudukan hukum Pemberi Pekerjaan di Indonesia berdasarkan UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 27/PUU-IX/2011.
9
6. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian hukum yang
bersifat yuridis normatif, disamping itu untuk mempermudah mendapatkan
bahan hukum yang relevan dengan tujuan penelitian. Adapun metode yang
digunakan dalam pengumpulan bahan hukum untuk menyusun skripsi ini
adalah sebagai berikut :
a) Tipe penelitian
Dalam menyusun skripsi ini penulis melakukan penelitian secara yuridis
normatif yaitu berdasarkan pada pendekatan peraturan perundang
undangan yang berlaku khususnya yang berhubungan dengan hukum
ketenagakerjaan yaitu
:

UUD RI tahun 1945

KUHPerdata, buku ketiga Bab 7A tentang Perjanjian Untuk
Melakukan Pekerjaan.

Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 27/PUUIX/2011 tentang putusan dalam perkara permohonan pengujian UU
no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia
Nomor
:
100/Men/VI/2004
tentang
Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor : Kep. 220/Men/X/2004 tentang Syarat Syarat
10
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor : Kep.101/MEN/VI/2004 tentang
Tata Cara
Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang
pelaksanaan putusan mahkamah konstitusiNomor 27/PUU-IX/2011.

Peraturan menteri Tenaga Kerja nomor 4 tahun 1994 tentang
Tunjangan Hari Raya Bagi Pekerja di Perusahaan.
b) Pendekatan penelitian
Dalam menguji kebenaran atas permasalahan yang penulis sajikan,
metode pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
menyusun skripsi ini adalah Case approach yaitu suatu pendekatan yang
dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
bersangkutan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
c) Langkah penelitian
Dalam
penelitian
ini
penulis
menggunakan
langkah-langkah
pengumpulan bahan hukum dari berbagai sumber hukum primer dan
sumber hukum sekunder antara lain:

Bahan hukum primer berupa ketentuan perundang-undangan yang
meliputi
UUD1945,
ketenagakerjaan,
KUHPerdata,
undang-undang
undang-undang
tentang
jamsostek,
tentang
putusan
11
mahkamah konstitusi, peraturan menteri dan keputusan menteri
yang berhubungan dengan judul skripsi.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang ada hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk membantu
menganalisis serta memahami bahan hukum primer, yang meliputi
literatur –literatur baik itu dalam bentuk tercetak, terekam, digital
atau bentuk-bentuk lain.
Dari bahan hukum tersebut penulis mempelajari adanya konsistensi dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang dasar,
undang-undang dengan undang undang lainnya, undang-undang dengan
putusan mahkamah konstitusi, peraturan-peraturan menteri, keputusankeputusan menteri, pendapat-pendapat para praktisi hukum, diskusidiskusi dengan pakar hukum yang relevan dengan judul skripsi ini. Untuk
kemudian hasilnya ditelaah dan dijadikan pedoman dalam suatu
argumen untuk memecahkan isu hukum yang diteliti.
7. Sistematika Pertanggungjawaban Penulisan
Didalam penulisan skripsi ini dikemukakan sistematika agar dapat diperoleh
suatu kesatuan pembahasan yang saling berhubungan erat antara bab satu
dengan bab yang lainnya. Sehingga pada dasarnya uraian tersebut
merupakan satu kebulatan pengertian. Agar mudah dipahami, maka
sistematika ini dibagi dalam empat bab yang masing masing terdiri dari
beberapa sub bab.
Adapun bab-bab yang penulis maksudkan antara lain sebagai berikut:
12
BAB I :
Bab ini menguraikan tentang bab pendahuluan, yang terdiri dari
sub-sub bab yaitu; latar belakang masalah, Rumusan masalah,
Penjelasan Judul, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penelitian,
Manfaat
Penelitian,
Metode
Penelitian
dan
Sistematika
Pertanggungjawaban Penulisan
BABII :
Bab ini menguraikan tentang hak dan kewajiban Pekerja/Buruh,
kesejahteraan Pekerja/Buruh dan perlindungan hukum terhadap
Pekerja/Buruh outsourcing menurut undang undang nomor 13
tahun 2003 dan peraturan pelaksanaanya, pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011
BAB III :
Bab ini menguraikan tentang kedudukan hukum penyedia jasa
Pekerja/Buruh dan kedudukan hukum Pemberi Kerja munurut
undang
undang
nomor
13
tahun
2003
dan
peraturan
pelaksanaanya, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.
27/PUU-IX/2011
BAB IV :
Bab ini merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan
dan saran dari seluruh bab yang disajikan penulis.
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH DI
INDONESIA
1. Keadaan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
Dalam
hukum ketenagakerjaan, Hubungan kerja yang terjadi
antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian
kerja merupakan hak pengusaha dan hak pekerja/buruh, termasuk hak untuk
memulai maupun mengakhiri hubungan kerja sesuai dengan perjanjian.
Sejauh hubungan kerja tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang undangan yang berlaku.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang undang
dan Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian kerja pada umumnya memuat kesepakatan antara
pekerja dengan pengusaha,
dalam hal ini pihak pengusaha diwakili oleh
manajemen atau Direksi perusahaan atau bagian Human Resource
Development (HRD) atau bagian Personalia. sedangkan pihak Pekerja/Buruh
bertindak untuk dan atas nama diri sendiri.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja yaitu
adanya perintah kerja, adanya pelaksanaan pekerjaan dan adanya upah.
Pengertian
perjanjian
menutut
R.
Subekti,
SH
mengemukakan : Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
13
14
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, Perjanjian ini
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Dalam Bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis.1
Di dalam KUHPerdata Pasal 1601a didefinisikan bahwa Perjanjian
kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan
diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan
upah selama waktu yang tertentu. Definisi ini ditegaskan kembali di dalam
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 pasal 1 ayat 14 yang menyatakan bahwa
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak.
Pemerintah menetapkan Undang Undang nomor 13 tahun 2003
tentang
ketenagakerjaan
dengan
tujuan
untuk
pembangunan
ketenagakerjaan dan peningkatan perlindungan tenaga kerja beserta
keluarganya, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, dan untuk
menjamin
hak-hak
dasar
pekerja/buruh
serta
menjamin
kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun, dan untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya dengan tetap
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Menurut pasal 51 ayat 1 undang undang nomor 13 tahun 2003
dinyatakan bahwa Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan.
1
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT. Intermasa, 2005), hlm.1
15
Dan diatur dalam pasal 54 ayat 1, bahwa Apabila perjanjian
dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai berikut
kerja yang
:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.
syarat -syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e
dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian
kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu
tertentu dan pengusaha bermaksud memperkerjakan karyawan untuk waktu
tertentu (PKWT), perjanjian kerja tidak boleh dibuat secara lisan.2
Jika dalam buku III bab 7A Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
pasal 1320 diatur bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi
4 syarat, yaitu
:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
2
Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK (Jakarta : Visimedia, 2006), hlm.3
16
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
didalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 4 syarat tersebut dipertegas
dalam pasal 52 yaitu ;
1. kesepakatan kedua belah pihak;
2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
4. dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana ketentuan didalam KUH Perdata, didalam undang
undang nomor 13 tahun 2003 juga diatur bahwa suatu Perjanjian kerja yang
tidak memenuhi syarat pada nomor 1 dan 2 diatas dapat dibatalkan,
sedangkan yang tidak memenuhi syarat huruf 3 dan 4 adalah batal demi
hukum.
Biaya yang timbul dalam pembuatan perjanjian kerja dalam Pasal
1601d KUH Perdata dinyatakan bahwa Bila perjanjian kerja diadakan secara
tertulis, maka biaya aktanya dan perongkosan lainnya harus ditanggung
majikan. kemudian ditegaskan kembali dalam undang undang nomor 13
tahun 2003 Pasal 53 yang menyatakan bahwa Segala hal dan/atau biaya
yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Untuk memberi kepastian hukum kepada pekerja/buruh dan
pemberi kerja/pengusaha, dalam pasal 56 ayat 1 undang undang nomor 13
tahun 2003, jangka waktu perjanjian kerja dibagi menjadi 2 jenis yaitu
Perjanjian kerja waktu tertentu (yang selanjutnya disebut PKWT) dan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (yang selanjutnya disebut PKWTT).
17
Ketentuan teknis Pelaksanaan PKWT diatur dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor
KEP.100/MEN/VI/2004. Didalam pasal 1 ayat 1 KEP.100/MEN/VI/2004
dijelaskan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut
PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja
tertentu. Sedangkan pada ayat 2 dijelaskan bahwa Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja
yang bersifat tetap.
Oleh karena PKWT memiliki keterbatasan waktu atau tidak bersifat
berkelanjutan maka untuk melindungi para pekerja/buruh, undang undang
nomor 13 tahun 2003 telah mengatur ketentuan pembatasan PKWT
berdasarkan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan sebagai mana dimaksud
dalam pasal 59 ayat 1 yang menyatakan bahwa Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan
sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produktambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
18
Pembatasan PKWT berdasarkan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan
sebagaimana tersebut diatas secara teknis telah diatur di dalam Kepmenaker
nomor KEP.100/MEN/VI/2004 sebagaimana berikut
:
1. Untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang
penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun diatur dalam Bab II pasal 3,
dengan ketentuan sebagaimana berikut :
1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya
adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya Pekerjaan tertentu.
2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3
(tiga) tahun.
3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat
dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada
saat selesainya pekerjaan.
4. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus
dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
5. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu
namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat
diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
6. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya
perjanjian kerja.
7. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
8. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat
(6) yang dituangkan dalam perjanjian.
2. Untuk pekerjaan yang bersifat musiman diatur dalam Bab III, pasal 4 sampai
dengan pasal 7, sebagaimana berikut :
Dalam pasal 4 menyatakan bahwa
:
1. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang
pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca.
2. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada
musim tertentu.
Pasal 5 menyatakan bahwa :
19
1. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan
atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan
musiman.
2. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan tambahan.
Pasal 6 menyatakan bahwa Pengusaha yang mempekerjaan pekerja/buruh
berdasarkan PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus membuat
daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Pasal 7 menyatakan bahwa PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan pembaharuan.
3. Untuk Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru diatur dalam Bab
IV, pasal 8 dan pasal 9, sebagaimana berikut :
pasal 8 menyatakan bahwa
:
1. PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang
untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
3. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat dilakukan
pembaharuan.
Pasal 9 menyatakan bahwa PKWTsebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan
diluar kegiatan atau diluar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.
4. Perjanjian Kerja Harian/Lepas diatur dalam Bab V, pasal 10 sampai pasal 12,
sebagaimana berikut :
Pasal 10 menyatakan bahwa :
1. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal
waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran,
dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
2. Perjanjian kerjaharian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21
(dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.
20
3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja
harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Pasal 11 menyatakan Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1 dan ayat 2
dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.
Pasal 12 menyatakan bahwa
:
1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian
kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
b. nama/alamat pekerja/buruh.
c. Jenis pekerjaan yang dilakukan.
d. Besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
3. Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawabdi bidang
ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak mempekerjakan pekerja/buruh.
5. Perubahan PKWT menjadi PKWTT diatur dalam Bab VII, pasal 15,
sebagaimana berikut :
1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin
berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 , atau Pasal 5 ayat 2, maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat 2 dan
ayat 3,maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan
penyimpangan.
4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu
30 (tigapuluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan
tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal3 , maka
PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat
PKWT tersebut.
5. Dalam hal
pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 ,ayat 3 dan ayat 4, maka hak-hak
21
pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan
ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.
sesuai
Untuk PKWTT karena sifat perjanjian kerja untuk waktu yang berkelanjutan
dalam undang undang nomor 13 tahun 2003 pasal 60 telah diatur sebagai
berikut:
1. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
2. Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang
berlaku.
Untuk sifat dan jenis pekerjaan tambahan, perjanjian kerja dapat
dilakukan secara langsung antara Pekerja/Buruh dengan Perusahaan Pemberi
Pekerjaan, tetapi dapat juga melalui Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah Perusahaan Outsourcing.
Hubungan kerja antara Pemberi Pekerjaan dengan Penyedia Jasa Tenaga
Kerja dibuat dalam bentuk Perjanjian Pemborongan Pekerjaan.
Syarat dan
ketentuan tentang pemborongan pekerjaan diatur dan ditetapkan berdasarkan
hukum perjanjian, yakni kesepakatan kedua belah pihak. Asas yang berlaku
dalam hukum perjanjian adalah hal-hal yang telah disepakati kedua belah pihak
dalam perjanjian dan berlaku sebagai undang-undang yang mengikat.Ketentuan
tersebut dikenal dengan Asas Kebebasan Berkontrak.3
Pengertian perjanjian pemborongan menurut Pasal 1601 b
KUHPerdata adalah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong,
mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu
3
Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006), hlm 10
22
pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan. Sedangkan menurut F.X.
Djumialdji,SH memberikan suatu definisi yaitu : “Pemborongan pekerjaan
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong,
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak
yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga
yang telah ditentukan”4
Undang undang nomor 13 tahun 2003 juga mengatur tentang
penggunaan tenaga kerja sumber luar (outsourcing). Hal tersebut tercantum
dalam pasal 64 sampai pasal 66. Dalam Pasal 64 dinyatakan bahwa Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dan pasal 65 mengatur tentang hal hal
sebagai berikut
:
1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melaluiperjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalamayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
dantidak menghambat proses produksi secara langsung.
3. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
4. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lainsebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
sama dengan perlindungankerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai denganperaturan perundang-undangan yang
berlaku.
5. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2)diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
6. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diaturdalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan
lain dan pekerja/buruh yangdipekerjakannya.
4
Djumadi, Hukum Perburuhan perjanjian Kerja (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 34
23
7. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan
atas perjanjiankerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu
apabila memenuhi persyaratansebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
8. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
tidak terpenuhi,maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerimapemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberipekerjaan.
9. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimanadimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pemberi pekerjaansesuai dengan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7).
Dan pasal 66 menyatakan bahwa
:
1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan olehpemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubunganlangsung dengan proses produksi, kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatanyang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi.
2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidakberhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memilikiizin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
4. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a,
huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
Sebagai petunjuk pelaksanaan Pasal 65 ayat 5 Undang-undang
Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi
mengeluarkan keputusan dengan nomor KEP.220/MEN/X/2004. Keputusan
24
Menteri ini mengatur tentang perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perusahaan yang selanjutnya disebut perusahaan pemberi pekerjaan adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalambentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
2. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan lain yang
menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan
pemberi pekerjaan.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Pada Pasal 2 mengatur tentang
:
1. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundan g- undangan yang berlaku.
2. Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.
Pada Pasal 3 mengatur tentang
:
1. Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan akan menyerahkan sebagian
pelaksanakan pekerjaan kepada perusahaan pemborong pekerjaan harus
diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum
2. Ketentuan mengenai berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dikecuali bagi :
a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan
barang;
b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa
pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultansi yang dalam
melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang
dari 10 (sepuluh) orang.
3. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari
perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan
kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum
4. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibannya
25
memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan
yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung
jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut.
Dalam pasal 4 mengatur tentang :
1. Dalam hal di satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan
yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborong pekerjaan
berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk dapat
melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan,
maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan pada
perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum.
2. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan
hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab
memenuhi hak-hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubungan kerja antara
perusahaan
yang
bukan
berbadan
hukum
tersebut
dengan
pekerjaan/buruhnya.
3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dituangkan
dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemberi
pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan.
Pasal 5 mengatur tentang Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib
memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam
hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 6 mengatur tentang :
1. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen
maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan ;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang
cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan,
artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan
memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan
kerja perusahaan pemberi pekerjaan.
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung artinya kegiatan
tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak
dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan
pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya.
2. Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian
pelaksanan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib
membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan.
26
3. Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan
jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan
ayat (1) serta melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan setempat.
Penggunaan Tenaga Kerja outsourcing dalam beberapa tahun
setelah
terbitnya
Undang-undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan telah menimbulkan Pro kontra antara Pekerja/Buruh dan
Pengusaha, terutama hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang
dikeluarkan Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja.
dasarnya praktek outsourcing tidak dapat dihindari
Namun demikian, pada
pekerja/Buruh karena
dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha telah mendapat legalisasi
dalam memberlakukan praktek outsourcing terlebih lagi dengan adanya putusan
mahkamah konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011.
Putusan mahkamah konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011 merupakan
jawaban atas permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (pekerja kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
(outsourcing) terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Didik Supriyadi yang
dalam permohonannya bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi
Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Indonesia melalui Kuasa
Hukumnya DwiHariyanti,S.H., Advokat dan Penasihat Hukum pada kantor Advokat
dan Penasihat
Hukum “DwiHariyanti,S.H., &Rekan”, y a n g beralamat diJalan
Karangrejo VIII Nomor 20.
27
Adapun yang menjadi pokok Permohonan Didik supriyadi dalam
mengajukan Permohonan Uji Materi adalah sebagai berikut :
1. Pemohon mengajukan permohonan pengujian (constitusional review)
ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat
2, Pasal 28 Dayat 2 dan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945;
2. Bahwa
menurut
Pemohon
ketentuan
Pasal
59
dan
Pasal
64
Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
(outsourcing),
maka buruh/pekerja dilihat semata mata sebagai komoditas atau barang
dagangan disebuah pasar tenaga kerja, selain itu
buruh/pekerja
ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah
dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak
dibutuhkan lagi, yang pada gilirannya komponen upah dapat ditekan
seminimal mungkin;
3. Bahwa outsourcing adalah suatu bentuk pemaksaan kerja antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya
tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu
adanya perintah,
pekerjaan dan upah, maka hal ini menunjukkan bahwa pekerja hanya
dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum;
4. Karena itu menurut Pemohon, Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang dengan sendirinya juga terkait dengan ketentuan
Pasal 65 dan Pasal 66, dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27
ayat 2, Pasal 28D ayat 2 dan Pasal 3 ayat 1 UUD1945.
Atas permohonan uji materi tersebut Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar
28
putusan nomor 27/PUU-IX/2011 yang isinya Menyatakan:
 Frasa“…perjanjian kerja waktu tertentu ”dalam Pasal 65 ayat (7) dan
frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2)
huruf
b
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279) bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak
disyaratkan
adanya
pekerja/buruh
pergantian
pengalihan
perlindungan
hak-hak
bagi
yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi
perusahaan
yang
melaksanakan
sebagian
pekerjaan
borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
 Frasa“…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan
frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2)
huruf
b
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam
perjanjian
kerja
tersebut
tidak
disyaratkan
adanya
pengalihan
perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada,
walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
Atas dasar pertimbangan hukum dan amar putusan mahkamah konstitusi
29
Nomor 27/PUU-IX/2011 tersebut, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengeluarkan surat edaran nomor
B.31/PHIJSK/I/2012
tentang
pelaksanaan
putusan
mahkamah
konstitusi
Nomor27/PUU-IX/2011.
Pada intinya Surat Edaran tersebut menegaskan bahwa
:
1. Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam pasal
59 undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tetap
berlaku.
2. Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa Pekerja/Buruh sebagaimana
diatur dalam pasal 64, pasal65 dan pasal 66 undang undang nomor 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka ;
a. Apabila
dalam
pemborongan
perjanjian
pekerjaan
kerja
antara
perusahaan
atau
perusahaan
penerima
penyedia
jasa
pekerja/buruh dengan pekerja /buruhnya tidak memuat syarat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi Pekerja/Buruh yang objek
kerjanya
tetap
ada
(sama),
kepada
perusahaan
penerima
pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/Buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan
penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus didasarkan pada
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
b. Apabila
dalam
pemborongan
perjanjian
pekerjaan
kerja
antara
perusahaan
atau
perusahaan
penerima
penerima
jasa
30
pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek
kerjanya
tetap
ada(sama),
kepada
perusahaan
penerima
pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh lain,
maka hubungan kerja antara perusahaan
penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011
Ketentuan dan syarat-syarat tentang penggunaan tenaga kerja
outsourcing telah diatur diatur di dalam Pasal 64 dan Pasal 66 Undang
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan secara teknis
diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. KEP.101/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
Dengan adanya uji materi terhadap Pasal 59 dan Pasal 64 undang
undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan terhadap UUD 1945,
dan menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011,
tertanggal 17 Januari 2012, yang selanjutnya dipertegas dengan terbitnya
Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor:
B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-IX/2011.
31
Berdasarkan Surat Edaran tersebut, hubungan kerja antara
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dengan Pekerja/Buruh dapat
dilakukan dengan menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) atau menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Apabila sifat hubungan kerja yang diperjanjikan adalah PKWT, maka
Pekerja/Buruh harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai
Pekerja/Buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan
bagi
Pekerja/Buruh,
apabila
terjadi
pergantian
perusahaan
pemberi
Pekerjaan atau perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya Nomor 27/PUU-IX/2011 dan Penjelasan Pasal 66 ayat 2 huruf c
undang undang nomor 13 tahun 2003, Pekerja/Buruh yang bekerja pada
perusahaan outsourcing sesuai
dengan
Perjanjian
Kerja,
Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, memperoleh hak yang sama
atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul, dengan Pekerja/Buruh di Perusahaan Pemberi
Kerja.
Dengan demikian, Pekerja/Buruh yang bekerja di Perusahaan
Pemberi Pekerjaan melalui Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, baik
dengan dalam hubungan PKWTT maupun PKWT, berhak mendapatkan upah
dan kesejahteraan yang sama seperti Pekerja/Buruh yang bekerja pada
Perusahaan Pemberi Pekerjaan
Perlindungan upah dan kesejahteraan Pekerja/Buruh harus
dinyatakan dalam klausul perjanjian kerja antara Pekerja/Buruh dengan
Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja. Apabila dalam perjanjian kerja
tidak diperjanjikan, maka perlindungan Pekerja/Buruh berpedoman pada
32
Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Jika
dalam PP atau PKB juga tidak diatur, maka harus berdasar pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Nurimansyah Haribuan mengatakan : “Upah adalah segala macam
bentuk penghasilan (carning), yang diterima buruh/pegawai (tenaga kerja)
baik berupa uang ataupun barang dalam jangka waktu tertentu pada suatu
kegiatan ekonomi.5
Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat 3 undang undang nomor 13
tahun 2003, perlindungan terhadap upah pekerja/buruh meliputi ; upah
minimum,
upah
kerja
lembur, upah
tidak
masuk
kerja
karena
berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya dan upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Pekerja/Buruh
Outsourcing selain berhak mendapatkan upah yang biasa diterima sesuai
Perjanjian Kerja, juga berhak atas upah kerja lembur dan upah-upah lain
sebagaimana tersebut di atas.
Upah lembur adalah hak yang diterima pekerja/buruh yang telah
bekerja
melebihi
waktu
kerja
normatif,
dan
perhitungannya
berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.102/MEN/VI/ 2004 yang mengatur tentang Waktu Kerja Lembur dan
Upah Kerja Lembur.
Kewajiban pengusaha untuk membayar upah kerja lembur bagi
pekerja/buruh yang dipekerjakan melebihi waktu kerja diatur dalam Pasal 78
ayat
5
2
Undang-Undang
nomor
13
tahun
2003 yang
menyatakan
Hasibuan Nurimansyah, Upah Tenaga Kerja dan Konsentrasi pada Sektor Industri, (Prisma, No. 5
Th. X Mei 1981), hlm. 3.
33
bahwa Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib membayar upah kerja
lembur.
Selain hak atas pembayaran upah, Pekerja/Buruh outsourcing
yang bekerja pada perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang atau
lebih, berhak untuk didaftarkan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK) . sebagaimana diatur dalam undang undang Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Peraturan Pemerintah No. 14
Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja , yang telah beberapa kali diubah, dan terakhir dengan Peraturan
Pemerintah No. 84 Tahun 2010. Program Jaminan Sosial tenaga Kerja yang
dimaksud adalah Jaminan Kecelakaan kerja, Jaminan Kematian, Jaminan
Hari Tua dan J aminan Pemeliharaan Kesehatan.
Pekerja/Buruh yang terikat dalam hubungan kerja PKWT yang
diputus hubungan kerjanya oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan atau
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh sebelum masa kerja yang
diperjanjikan berakhir, tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam pasal
156 undang undang nomor 13 tahun 2003 tetapi berhak untuk mendapatkan
ganti rugi sebesar upah sampai masa kerja yang diperjanjikan berakhir. dan
sebaliknya apabila Pekerja/Buruh yang mengakhiri hubungan kerja, maka
Pekerja/Buruh tersebut tersebut yang mempunyai kewajiban memberikan
ganti rugi kepada Pemberi pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 undang undang nomor 13 tahun
2003.
34
Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing yang telah mempunyai masa kerja
3 bulan atau lebih secara terus menerus tetapi kurang dari 1 tahun, berhak
untuk mendapatkan Tunjangan Hari Raya
(THR) secara proposional,
sedangkan Pekerja/Buruh Outsourcing yang telah mempunyai masa kerja 1
tahun atau lebih berhak untuk mendapatkan THR sebesar 1 bulan upah,
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor PER4//MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Bagi Pekerja di Perusahaan.
Dalam Peraturan Menteri ini juga diatur bahwa Pekerja/Buruh yang hubungan
kerjanya berakhir kurang 30 hari sebelum hari raya keagamaan maka
Pekerja/Buruh tersebut berhak untuk mendapatkan THR.
BAB III
KEDUDUKAN HUKUM PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA/
BURUH DAN PERUSAHAAN PEMBERI PEKERJAAN DI INDONESIA
1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Penyerahan
sebagian
Pelaksanaan
Pekerjaan
kepada
perusahaan lain melalui perjanjian Pemborongan Pekerjaan (outsourcing)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 undang undang nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan, juga telah diatur didalam KUH Perdata Buku
III Bab 7a Pasal 1601b KUH Perdata yang mendefinisikan bahwa Perjanjian
pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu
pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi
pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan.
Berdasarkan undang undang nomor 13 tahun 2003, pasal 66 ayat
3 menyatakan bahwa Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha
yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut dalam pelaksanaan teknis
dipertegas dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep-101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja/Buruh, khususnya dalam pasal 2 dan pasal 3, bahwa untuk
dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib memiliki izin
operasional dari instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan
di Kabupaten/Kota sesuai domisil perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang bersangkutan. Ijin operasional tersebut berlaku diseluruh Indonesia untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang
sama.
35
36
Untuk
mendapatkan izin
operasional dimaksud,
perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh menyampaikan permohonan kepada Dinas
Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan persyaratan-persyaratan
sebagai berikut :
a. Copy pengesahan (Akta Pendirian dan Pengesahaannya) sebagai
badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
b. Copy Anggaran Dasar (articles of association) yang didalamnya
memuat kegiatan usaha Penyedia Jasa Pekerja/buruh.
c. Copy SIUP (Surat Ijin Usaha Perseroan).
d. Copy bukti Wajib Lapor Ketenagakarjaan di Perusahaan (sesuai
dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 1981).
Selain
pekerja/buruh,
juga
Ijin
Operasional,
harus
Perusahaan
memiliki tanda
daftar
penyedia
jasa
perusahaan (TDP)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 undang undang nomor 3 tahun
1982 yang menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib didaftarakan dalam
Daftar Perusahaan. Dan dalam pasal 22 menyatakan bahwa Kepada
Perusahaan yang telah disahkan pendaftarannya dalam Daftar Perusahaan
diberikan Tanda Daftar Perusahaan yang berlaku untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak tanggal dikeluarkannya dan yang wajib diperbaharui sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan sebelum tanggal berlakunya berakhir.
Pengakuan tentang badan hukum juga terdapat Pasal 1653 KUH
Perdata
yang
menyatakan bahwa
Selain
perseroan perdata
sejati,
perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang,
entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya
sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang
37
diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Dan pengakuan mengenai
melakukan perbuatan perbuatan perdata
hak suatu badan hukum untuk
terdapat pada pasal 1654 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa Semua badan hukum yang berdiri dengan
sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatanperbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah
kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkannya kepada tata cara
tertentu.
Sedangkan pengakuan tentang hak pengurus badan hukum untuk
melakukan perbuatan atas nama badan hukum diatur dalam Pasal 1655 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa Para pengurus badan hukum, bila tidak
ditentukan lain dalam akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam
reglemen berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum itu,
untuk mengikatkan badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya,
dan untuk bertindak dalam sidang Pengadilan baik sebagai penggugat
maupun sebagai tergugat.
Sampai sekarang ini belum ada peraturan yang mengatur
mengenai penentuan bidang-bidang apa saja yang termasuk Pekerjaan
Pokok (core business) dan Pekerjaan Penunjang. Bahkan dalam Pasal 4
Kepmenakertrans nomor KEP.101/MEN/VI/2004 memberi kebebasan kepada
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Perusahaan Pemberi
Pekerjaan untuk menentukan jenis pekerjaan yang akan dilakukan, dalam
sebuah perjanjian tertulis yang sekurang kurangnya memuat :
38
a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa;
b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana
dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara
perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan
perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
c. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia
menerima
pekerja/buruh
dari
perusahaan
penyedia
jasa
pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus
menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dalam Pasal 5 Kepmenaker nomor KEP 101/MEN/2004
mengatur tentang pendaftaran perjanjian antara Perusahaan Pemberi Kerja
dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Setelah perjanjian antara
Perusahaan Penyedia dan Perusahaan Pemberi Kerja dibuat, perjanjian
tersebut didaftarkan kepada instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota
tempat Perusahaan Penyedia bekerja. Bila Perusahaan Penyedia bekerja
pada Perusahaan Pemberi Kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu
Kabupaten/Kota dalam satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada
instansi ketenagaerjaan provinsi. Kemudian, bila Perusahaan Penyedia
bekerja pada Perusahaan Pemberi Kerja yang berada dalam wilayah lebih
39
dari satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial.
Sanksi bagi Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang tidak
mendaftarkan perjanjian tersebut, menurut Pasal 7 Kepmenaker nomor KEP
101/MEN/2004, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat akan mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Wilayah. Dalam hal ijin
operasional dicabut, hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.
Dengan proses pendaftaran Perjanjian tersebut dapat diketahui
bahwa pihak Pemerintah melalui pejabat instansi ketenagakerjaan memiliki
kewenangan menentukan sah atau tidak suatu jenis pekerjaan yang
dilakukan dengan sistem outsourcing.
1. Kedudukan Hukum Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan
Perusahaan Pemberi Pekerjaan Di Indonesia.
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
27/PUU-
IX/2011 tidaklah mencabut sistem kerja Outsourcing sebagaimana diatur
dalam
pasal
64
undang
undang
nomor
13
tahun
2003
tentang
ketenagakerjaan. meskipun setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah
Konstitusi
tersebut
masih
terdapat
perbedaan pandangan
antara
pekerja/Buruh dan pengusaha.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tersebut
ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang
Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal
40
17 Januari 2012. Dalam Surat Edaran tersebut dijabarkan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUIX/2011 yang isinya sebagai berikut:
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang diatur
dalam
Pasal
59 UU
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan tetap berlaku.
2. Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka :
a. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat syarat
adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh
yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan
penerima
pemborongan
pekerjaan
lain
atau
perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara
perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus
didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT).
41
b. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang
obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan
penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
3. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUIX/2011
tanggal
12
mempertimbangkan
Januari
keberadaan
2012
tersebut,
perjanjian
serta
kerja
dengan
yang
telah
disepakati oleh kedua belah pihak sebelum diterbitkannya putusan
Mahkamah Konstitusi ini, maka PKWT
yang saat ini masih
berlangsung pada perusahaan pemborongan pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Memahami ketentuan tersebut di atas tampak jelas bahwa
dalam penerapan outsourcing saat ini, antara perusahaan penyedia jasa
Pekerja/Buruh dengan pekerja/buruhnya harus dibuat perjanjian kerja dalam
bentuk PKWTT, jika perjanjian kerjanya tidak memuat syarat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap
ada (sama), kepada penyedia jasa Pekerja/buruh lain.
42
Sebaliknya, jika perjanjian kerjanya memuat syarat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap
ada (sama), kepada penyedia jasa pekerja/buruh lain, perjanjian kerjanya
dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). apabila
terjadi pergantian penyedia jasa pekerja/buruh kepada penyedia jasa
pekerja/buruh lain sedangkan PKWT tersebut masih berlangsung atau belum
habis jangka waktunya, maka PKWT tersebut tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. Dan perlindungan hak-hak
pekerja/buruh dialihkan kepada penyedia jasa pekerja/buruh yang baru. yang
menjadi polemik adalah apakah penyedia jasa pekerja/buruh itu mau
menanggung hak pekerja/buruh yang telah bekerja di penyedia jasa
pekerja/buruh sebelumnya. Karena dilihat dari dari sudut pandang bisnis hal
ini tidak mungkin dilaksanakan. Karena perusahaan outsourcing yang baru
tentu secara finansial belum cukup kuat untuk mempersiapkan pesangon
bagi pekerja/buruh yang sudah ada.
Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
penyedia jasa Pekerja/Buruh diatur dalam Pasal 66, undang undang Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan bahwa
Pekerja/buruh
dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh Pemberi
Pekerjaan untuk melaksanakan kegiatan pokok (core business) atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi.
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
43
pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan
perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar
usaha pokok (core business).
Kegiatan tersebut antara lain; usaha pelayanan kebersihan
(cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering),
usaha
tenaga
pengaman (security/satuan
pengamanan),
usaha
jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/Buruh.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Sebagaimana diuraikan dalam bab bab terdahulu dapat diambil kesimpulan
bahwa
:
1. Perlindungan Hukum terhadap Pekerja/Buruh pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, tertanggal 17 Januari 2012 sebagaimana
berikut :
a. Untuk menghindari Eksploitasi Pekerja/Buruh, Mahkamah Konstitusi
menawarkan 2(dua) model Outsourcing yaitu :
Pertama,
hubungan
kerja
antara
Perusahaan
Penyedia
Jasa
Pekerja/Buruh dengan Pekerja/Buruh tidak berbentuk Perjanjian kerja
Waktu (PKWT) tertentu tetapi dengan dengan menggunakan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Kedua, Apabila sifat hubungan kerja yang diperjanjikan adalah Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT), maka Pekerja/Buruh harus tetap
mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai Pekerja/Buruh dengan
menerapkan
prinsip
pengalihan
tindakan
perlindungan
bagi
Pekerja/Buruh, apabila terjadi pergantian perusahaan Pemberi Pekerjaan
atau perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
b. Putusan
Mahkamah
Konstitusi
ini
mengisyaratkan
bahwa
setiap
pekerja outsourcing terjamin perlindungan hak-haknya dalam perusahaan
Pemberi
Pekerjaan
karena
perjanjian
kerjanya
bersifat
PKWTT
(Pekerja/Buruh tetap) atau jika bersifat PKWT (Pekerja/Buruh Kontrak)
44
45
a. diatur mengenai pengalihan perlindungan hak dari Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh terdahulu Kepada Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang lain.
1. Kedudukan Hukum Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan,
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 sebagaimana
berikut :
a. Outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan
dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan
pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hakhaknya yang dilindungi konstitusi.
b. Hubungan kerja antara Pekerja/Buruh dengan Penyedia Jasa Pekerja
/Buruh
dianggap
konstitusional
sepanjang
dilakukan
berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWTT) secara tertulis.
c. Pada dasarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 tidak
menghapus outsourcing itu sendiri; karena apa yang diatur dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi telah diberlakukan oleh Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hanya ketentuan
mengenai kewajiban mempekerjakan pekerja outsourcing sebagai
pekerja tetap (PKWTT) atau jika sebagai pekerja kontrak (PKWT) harus
menerapkan
Pekerja/Buruh.
prinsip
pengalihan
tindakan
perlindungan
bagi
46
1. Saran
Berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku, secara
hukum Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada perusahaan lain
melalui perjanjian Pemborongan Pekerjaan (outsourcing) tidak mengabaikan
perlindungan hak-hak buruh. Jika hal tersebut ada dan terjadi dalam praktik
outsourcing, hal itu merupakan kreasi dunia kerja dan bukan karena regulasi dari
pemerintah. Oleh Karena itu, yang perlu ditingkatkan adalah pemahaman
terhadap
ruang
peningkatan
lingkup
outsourcing,
manfaat
bisnis outsourcing, serta
pengawasan pelaksanaan regulasi dari pemerintah terhadap
praktik outsourcing. Terutama pengawasan tentang perlindungan upah dan
kesejahteraan Pekerja/Buruh outsourcing.
Pada kenyataanya bisnis outsourcing bukan hanya bermanfaat
bagi dunia kerja swasta saja, melainkan juga dapat diterapkan untuk badanbadan pemerintah. Dengan demikian dapat merampingkan tubuh birokrasi
Pemerintahan dan tentunya berujung pada penghematan anggaran birokrasi.
Dengan praktik Outsourcing bukan hanya Perusahaan Swasta saja yang bisa
berkonsentrasi pada bisnis pokok (core business) tetapi badan badan
pemerintah juga dapat memfokuskan diri pada Pelayanan pokok
sesuai
pembidangan masing-masing.
Untuk mencegah timbulnya beda penafsiran yang menyebabkan
penyimpangan
pelaksanaan
regulasi
pemerintah
terhadap
perlindungan
Pekerja/Buruh Outsorcing, seperti penggunaan pekerja/buruh outsourcing pada
pekerjaan inti (core bisnis), perlakuan terhadap pekerja/buruh outsourcing secara
diskriminatif,
tidak
adanya
jaminan
pengalihan
perlindungan
hak
hak
47
pekerja/buruh
outsourcing,
maka
perlu
peningkatan
sosialisasi
secara
menyeluruh dan berkelanjutan terhadap semua instansi Perusahaan baik
Perusahaan
Pemberi
Pekerjaan
maupun
Perusahaan
Penyedia
Bekerja/Buruh. Sosialisasi dapat dilakukan oleh Dinas Tenaga
maupun dari Asosiasi Pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh.
jasa
kerja terkait
48
DAFTAR BACAAN
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT. Intermasa, 2005)
Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK (Jakarta : Visimedia, 2006
Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006)
Djumadi, Hukum Perburuhan perjanjian Kerja (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2004)
Hasibuan Nurimansyah, Upah Tenaga Kerja dan Konsentrasi pada Sektor
Industri, (Prisma, No. 5 Th. X Mei 1981)
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Pengupahan dan Jaminan
Sosial, Departemen Tenaga Kerja RI Direktorat Jendral Binawas
Direktorat Jendral Pengupahan dan Jaminan Sosial tahun 1999/2000.
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 ( yang dipadukan dengan perubahan
I,II,III dan IV ).
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
KUH Perdata Buku III Tentang Perikatan.
Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan.
Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.27/PUU-IX/2011.
Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial tenaga Kerja.
Peraturan Pemerintah RI No.84 Tahun 2010 Tentang Perubahan Ketujuh Atas
Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial tenaga Kerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.4 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari
Raya Bagi Pekerja di Perusahaan.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.Kep.100/MEN/VI/2004
tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.220/MEN/X/2004
Tentang Syarat Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain.
49
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.101/MEN/VI/2004
tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.102/MEN/VI/2004
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja No. B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.
Hukum Online.com
TribunJatim.com, hari Senin 20 Februari 2012
Browsing Internet ”Google”
Download