ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PUU-IX/2011 BAGI PEKERJA/BURUH, PENYEDIA JASA PEKERJA/BURUH DAN PEMBERI PEKERJAAN SKRIPSI OLEH SUHARI PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012 ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PUU-IX/2011 BAGI PEKERJA/BURUH, PENYEDIA JASA PEKERJA/BURUH DAN PEMBERI PEKERJAAN SKRIPSI OLEH SUHARI NPM : 28120146 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012 ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PUU-IX/2011 BAGI PEKERJA/BURUH, PENYEDIA JASA PEKERJA/BURUH DAN PEMBERI PEKERJAAN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universtitas Wijaya Putra Surabaya OLEH SUHARI NPM : 28120146 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012 iii ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PUU-IX/2011 BAGI PEKERJA/BURUH, PENYEDIA JASA PEKERJA/BURUH DAN PEMBERI PEKERJAAN NAMA : SUHARI FAKULTAS : HUKUM JURUSAN : ILMU HUKUM NPM : 28120146 DISETUJUI dan DITERIMA OLEH : PEMBIMBING TRI WAHYU ANDAYANI, S.H., C.N., M.H. iv Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Surabaya, Agustus 2012 Tim Penguji Skripsi : 1. Ketua : Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H. ( ) ( ) : 1. Dr.Sugeng Repowijoyo,S.H., MHum. ( ) (Dekan) 2. Sekretaris : Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H. (Pembimbing) 3. Anggota (Dosen Penguji I) 2. Farina Gandriyani, S.H, M.Si. (Dosen Penguji II) v ( ) KATA PENGANTAR Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmad, taufik, hidayah dan ridhonya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW dan para sahabat sahabat beliau. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tak lepas dari dukungan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak atas bantuan dan dukunganya baik secara moril maupun spirituil, dan pada khususnya Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada ; 1. Rektor Budi Endarto SH., M.Hum. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Wijaya Putra. 2. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H.,C.N.,M.H., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, saran-saran maupun konsultasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini; 3. Bapak Dr.Sugeng Repowijoyo,S.H., MHum. dan Ibu Farina Gandriyani,S.H, M.Si., Selaku panitia penguji Skripsi atas segala saran dan petunjuknya yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini. vi 4. Para Dosen yang mengajar di fakultas Hukum jurusan Ilmu Hukum Universitas Wijaya Putra yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak materi sebagai bahan penyusunan karya tulis ini; 5. Sri Utari (Istri) dan anak-anak tersayang dan tercinta, Bronx Noval Kurniawan, Tio Salsa Wijaya, Ari Sativa Octavianne dan Akira Devy Kauri yang telah memberikan doa, semangat dan pengorbanan sebagai motivator untuk kesuksesan penulis; 6. Sahabat dan teman-teman semua yang telah support dalam penyelesaian Skripsi ini. 7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas budi atas bantuan serta bimbingan yang telah diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Surabaya, 3 Agustus 2012 Penyusun vii DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar............................................................................................... vi Daftar isi.......................................................................................................... viii BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 2. Rumusan Masalah .................................................................... 6 3. Penjelasan Judul ....................................................................... 6 4. Alasan pemilihan Judul ............................................................. 7 5. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7 6. Manfaat penelitian ...................................................................... 8 7. Metode Penelitian ....................................................................... 9 8. Pertanggungjawaban Sistematika Penelitian ............................ 11 BAB II : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH DI INDONESIA ............................................................................ 13 1. Keadaan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ....................... 13 2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing pasca Putusan Mahkamah Konstitusinomor 27/PUU-IX/2011 ...30 BAB III : KEDUDUKAN HUKUM PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA/ BURUH DAN PERUSAHAAN PEMBERI KERJA DI INDONESIA ........................................................................... 35 1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan ......................................... 35 viii 2. Kedudukan Hukum Perusahaan Pemberi Pekerjaan dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh Di Indonesia.......... 39 BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 44 1. Kesimpulan ............................................................................... 44 2. Saran ........................................................................................ 46 Daftar Bacaan …………………………………………………………………… 48 ix BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Perlindungan hukum bagi Pekerja/Buruh secara mendasar telah dilindungi oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 19451 yang menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja", dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Selain daripada itu, dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan dan peningkatan perlindungan tenaga kerja beserta keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian dan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh serta menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun dan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha2, pemerintah telah menetapkan Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Namun demikian seiring perjalanan waktu kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut terus menimbulkan Pro-Kontra antara 1 2 Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (yang dipadukan dengan perubahan I,II,II dan IV) Undang-Undang RI nomor 13 tahun 2003, hal.1. 1 2 Pekerja/Buruh, Pengusaha dan Pemerintah, terutama tentang pasal yang mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak kerja) dan perjanjian pemborongan pekerjaan untuk melaksanakan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) yang selama ini dianggap oleh sebagian besar Pekerja/Buruh telah merampas hak hak konstusional. Ketentuan dalam undang undang nomor 13 tahun 2003 yang mengatur tentang hubungan kerja yang berdasarkan pada waktu tertentu (kontrak kerja) terdapat pada pasal 56,57,58,59 dan 62 sedangkan petunjuk pelaksanaanya diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : 100/Men/VI/2004. Hubungan kerja yang mengatur tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dengan cara menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) diatur dalampasal pelaksanaannya diatur dalam 64,65 dan 66sedangkan petunjuk Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep. 220/Men/X/2004.Peraturan tentang hubungan kerja yang mengatur tentang kontrak kerja dan oursourcing tersebut berakibat pada hilangnya keamanan kerja (job security) dan melemahnya perlindungan bagi Pekerja/Buruh di Indonesia, karena 1. mengakibatkan sebagian besar Pekerja/Buruh tidak lagi ; menjadi Pekerja/Buruh tetap, tetapi menjadi Pekerja/Buruh kontrak, berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya seperti piala bergilir sehingga Pekerja/Buruh kehilangan jaminan atas kelangsungan kerjanya. 2. Merugikan Pekerja/Buruh karena kehilangan hak yang seharusnya diterima, seperti ;Hak Cuti tahunan, Tunjangan Masa kerja, dan lain lain sebagaimana dinikmati oleh Pekerja/Buruh tetap. 3 3. Merugikan Pekerja/Buruh karena kehilangan hak haknya pada saat Hubungan Kerja berakhir,seperti ; Pemberian Uang Pesangon dan Penghargaan Masa Kerja serta uang penggantian Hak sebagaimana diatur dalam pasal 156 undang undang nomor 13 tahun 2003. 4. Merugikan Pekerja/Buruh dalam upaya untuk memperoleh uang pesangon pensiun sebagaimana dimaksud dalam pasal 167 undang undang nomor 13 tahun 2003. Sudah berulangkali ribuan aktivis Pekerja/Buruh yang tergabung dalam serikat Pekerja/Buruh, Federasi Serikat Pekerja /Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh beserta aliansi-aliansi perburuhan lainnya di berbagai tempat di wilayah Republik Indonesia melakukan berbagai cara untuk menolak adanya Hubungan Kerja yang berdasarkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu (kontrak kerja) dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain(outsourcing) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri sebagai Petunjuk Peraturan Pelaksanaanya. Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Indonesia, Didik Suprijadi yang merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang undang nomor 13 tahun 2003, melalui Kuasa Hukumnya Dwi Hariyanti, S.H., Advokat dan Penasihat Hukum pada kantor Advokat dan Penasihat Hukum “Dwi Hariyanti, S.H., & Rekan” telah mengajukan permohonan uji materi pasal 59 dan pasal 64, 65 dan 66 Undang Undang nomor 13 tahun 2003 terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, dan pada 4 tanggal 17 Januari 2012, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perkara permohonan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi Pekerja/Buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hakhak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah Konstitusi memutuskan dua model outsourcing, yaitu; Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), melainkan berbentuk Perjanjian Kerja Waktu TidakTertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing1. Kalau kita cermati lebih dalam pengertian dari Putusan Mahkamah Konstitusi ini, dapat diambil kersimpulan bahwa putusan Mahkamah Kontitusi tersebut semakin melegalkan keberadaan Outsourcing. Artinya outsourcing adalah konstitusional, karena tidak bermasalah secara konstitusi. Sepanjang syarat untuk pengalihan hak pekerja/Buruh yang objek kerjanya tetap ada, dapat dipenuhi. Atau sepanjang hubungan kerja antara pekerja/Buruh dengan Perusahaan outsourcing berdasarkan pada perjanjian kerja tetap. Lantas bagaimana mungkin penyedia tenaga kerja Outsourcing dapat terus memperkerjakan Pekerja/Buruh tersebut dengan tetap membayar gajinya jika 1 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011, hal.44 5 hubungan kerja antara Penyedia Tenaga Kerja dengan Pemberi Pekerjaan berakhir. hal ini tentu yang masih merupakan ancaman bagi Pekerja/Buruh. Dalam hal ini Pekerja/Buruh belum cukup terlindungi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ini. Kondisi inilah yang menyebabkan makin maraknya unjuk rasa dari berbagai unsur serikat Pekerja/Buruh dan dari beberapa aliansi perburuhan. Berikut ini salah satu contoh kegiatan unjuk rasa Pekerja/Buruh ; ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jatim membawa poster dan spanduk bertuliskan tuntutan penghapusan outsourcing2. Mereka menggelar aksi unjuk rasa menuntut kepada pemerintah supaya menghapus tenaga kontrak dan outsourcing di depan Gedung Grahadi. Keputusan Mahkamah Konstitusi juga membuat Pekerja/Buruh dan Pengusaha berbeda paham dalam sudut pandang putusan tersebut. Untuk menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 melalui Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012.Namun demikian kalau kita cermati makna yang terkandung dalam Surat Edaran Kementerian ini sebenarnya hanya merupakan penegasan kembali atau menguatkan putusan Mahkamah konstitusi. 2 Fatkhul Alamy, Ratusan Buruh Demo Tuntut Hapus Outsourcing, Sumber;Surya, TribunJatim.com, 20 Februari 2012. 6 1. Rumusan Masalah a. Bagaimana Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 b. Bagaimana Kedudukan Hukum Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUUIX/2011 2. Penjelasan Judul Skripsi ini berjudul ”Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 27/PUU-IX/2011 Bagi Pekerja/Buruh, Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan” merupakan suatu susunan katakata dalam kalimat judul yang mengandung pengertian sebagai berikut: Analisis yuridis adalah Kajian terhadap suatu keputusan hukum dilihat menurut hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 27/PUUIX/2011 adalah keputusan hasil rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri para hakim konstitusi untuk mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai Frasa “perjanjian Kerja Waktu Tertentu” dalam pasal 65 ayat 7 dan pasal 66 ayat 2 UU no 13 tahun 2003. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 7 Penyedia jasa Pekerja/Buruh adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan. Pemberi Pekerjaan adalah pengusaha, badan hukum atau badan badan lainnya yang menggunakan jasa tenaga kerja dari penyedia jasa pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainnya. 3. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 27/PUU-IX/2011 Bagi Pekerja/Buruh, Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan” karena pada Akhir akhir ini sedang marak diberbagai media, baik media cetak maupun media elektronik memberitakan tentang demo pekerja/Buruh menuntut tentang penghapusan outsourcing sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. 4. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan Skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas dan persyaratan mencapai Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya, selain itu dalam penelitian ini Penulis mempunyai tujuan : 1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban pekerja/buruh, penyedia jasa tenaga kerja dan pengguna jasa tenaga kerja pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 8 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum Pekerja/Buruh, kedudukan hukum Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 3. Untuk mengetahui penyebab timbulnya gejolak pekerja/buruh menuntut penghapusan outsourcing 5. Manfaat Penelitian Penulis berharap dalam penulisan skripsi ini, dapat bermanfaat untuk : 1. Menambah literatur dan khasanah dunia kepustakaan yang dapat digunakan sebagai dasar penulisan selanjutnya. 2. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan ilmu hukum khususnya mengenai masalah hukum ketenagakerjaan di Indonesia. 3. Memberikan manfaat kepada pengusaha, pekerja/buruh, praktisi dibidang hukum, mahasiswa fakultas hukum, dan masyarakat umum yang ingin mengetahui dan memahami kondisi hukum ketenagakerjaan di Indonesia khususnya mengenai Pekerja/Buruh outsourcing, penyedia jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan. 4. Menambah pengetahuan bagi penulis untuk lebih memahami tentang hak-hak pekerja/buruh, perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh outsourcing dan kedudukan hukum penyedia jasa Pekerja/Buruh serta kedudukan hukum Pemberi Pekerjaan di Indonesia berdasarkan UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 27/PUU-IX/2011. 9 6. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif, disamping itu untuk mempermudah mendapatkan bahan hukum yang relevan dengan tujuan penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum untuk menyusun skripsi ini adalah sebagai berikut : a) Tipe penelitian Dalam menyusun skripsi ini penulis melakukan penelitian secara yuridis normatif yaitu berdasarkan pada pendekatan peraturan perundang undangan yang berlaku khususnya yang berhubungan dengan hukum ketenagakerjaan yaitu : UUD RI tahun 1945 KUHPerdata, buku ketiga Bab 7A tentang Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan. Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 27/PUUIX/2011 tentang putusan dalam perkara permohonan pengujian UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : 100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep. 220/Men/X/2004 tentang Syarat Syarat 10 Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang pelaksanaan putusan mahkamah konstitusiNomor 27/PUU-IX/2011. Peraturan menteri Tenaga Kerja nomor 4 tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Bagi Pekerja di Perusahaan. b) Pendekatan penelitian Dalam menguji kebenaran atas permasalahan yang penulis sajikan, metode pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Case approach yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang bersangkutan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. c) Langkah penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan langkah-langkah pengumpulan bahan hukum dari berbagai sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder antara lain: Bahan hukum primer berupa ketentuan perundang-undangan yang meliputi UUD1945, ketenagakerjaan, KUHPerdata, undang-undang undang-undang tentang jamsostek, tentang putusan 11 mahkamah konstitusi, peraturan menteri dan keputusan menteri yang berhubungan dengan judul skripsi. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, yang meliputi literatur –literatur baik itu dalam bentuk tercetak, terekam, digital atau bentuk-bentuk lain. Dari bahan hukum tersebut penulis mempelajari adanya konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang dasar, undang-undang dengan undang undang lainnya, undang-undang dengan putusan mahkamah konstitusi, peraturan-peraturan menteri, keputusankeputusan menteri, pendapat-pendapat para praktisi hukum, diskusidiskusi dengan pakar hukum yang relevan dengan judul skripsi ini. Untuk kemudian hasilnya ditelaah dan dijadikan pedoman dalam suatu argumen untuk memecahkan isu hukum yang diteliti. 7. Sistematika Pertanggungjawaban Penulisan Didalam penulisan skripsi ini dikemukakan sistematika agar dapat diperoleh suatu kesatuan pembahasan yang saling berhubungan erat antara bab satu dengan bab yang lainnya. Sehingga pada dasarnya uraian tersebut merupakan satu kebulatan pengertian. Agar mudah dipahami, maka sistematika ini dibagi dalam empat bab yang masing masing terdiri dari beberapa sub bab. Adapun bab-bab yang penulis maksudkan antara lain sebagai berikut: 12 BAB I : Bab ini menguraikan tentang bab pendahuluan, yang terdiri dari sub-sub bab yaitu; latar belakang masalah, Rumusan masalah, Penjelasan Judul, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Pertanggungjawaban Penulisan BABII : Bab ini menguraikan tentang hak dan kewajiban Pekerja/Buruh, kesejahteraan Pekerja/Buruh dan perlindungan hukum terhadap Pekerja/Buruh outsourcing menurut undang undang nomor 13 tahun 2003 dan peraturan pelaksanaanya, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 BAB III : Bab ini menguraikan tentang kedudukan hukum penyedia jasa Pekerja/Buruh dan kedudukan hukum Pemberi Kerja munurut undang undang nomor 13 tahun 2003 dan peraturan pelaksanaanya, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 BAB IV : Bab ini merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari seluruh bab yang disajikan penulis. BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH DI INDONESIA 1. Keadaan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam hukum ketenagakerjaan, Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja merupakan hak pengusaha dan hak pekerja/buruh, termasuk hak untuk memulai maupun mengakhiri hubungan kerja sesuai dengan perjanjian. Sejauh hubungan kerja tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang undang dan Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian kerja pada umumnya memuat kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha, dalam hal ini pihak pengusaha diwakili oleh manajemen atau Direksi perusahaan atau bagian Human Resource Development (HRD) atau bagian Personalia. sedangkan pihak Pekerja/Buruh bertindak untuk dan atas nama diri sendiri. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja yaitu adanya perintah kerja, adanya pelaksanaan pekerjaan dan adanya upah. Pengertian perjanjian menutut R. Subekti, SH mengemukakan : Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling 13 14 berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam Bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.1 Di dalam KUHPerdata Pasal 1601a didefinisikan bahwa Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu. Definisi ini ditegaskan kembali di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 pasal 1 ayat 14 yang menyatakan bahwa Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Pemerintah menetapkan Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dengan tujuan untuk pembangunan ketenagakerjaan dan peningkatan perlindungan tenaga kerja beserta keluarganya, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, dan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh serta menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun, dan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Menurut pasal 51 ayat 1 undang undang nomor 13 tahun 2003 dinyatakan bahwa Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. 1 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT. Intermasa, 2005), hlm.1 15 Dan diatur dalam pasal 54 ayat 1, bahwa Apabila perjanjian dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai berikut kerja yang : a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat -syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu dan pengusaha bermaksud memperkerjakan karyawan untuk waktu tertentu (PKWT), perjanjian kerja tidak boleh dibuat secara lisan.2 Jika dalam buku III bab 7A Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 diatur bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi 4 syarat, yaitu : 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 2 Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK (Jakarta : Visimedia, 2006), hlm.3 16 4. suatu sebab yang tidak terlarang. didalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 4 syarat tersebut dipertegas dalam pasal 52 yaitu ; 1. kesepakatan kedua belah pihak; 2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; 4. dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana ketentuan didalam KUH Perdata, didalam undang undang nomor 13 tahun 2003 juga diatur bahwa suatu Perjanjian kerja yang tidak memenuhi syarat pada nomor 1 dan 2 diatas dapat dibatalkan, sedangkan yang tidak memenuhi syarat huruf 3 dan 4 adalah batal demi hukum. Biaya yang timbul dalam pembuatan perjanjian kerja dalam Pasal 1601d KUH Perdata dinyatakan bahwa Bila perjanjian kerja diadakan secara tertulis, maka biaya aktanya dan perongkosan lainnya harus ditanggung majikan. kemudian ditegaskan kembali dalam undang undang nomor 13 tahun 2003 Pasal 53 yang menyatakan bahwa Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. Untuk memberi kepastian hukum kepada pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha, dalam pasal 56 ayat 1 undang undang nomor 13 tahun 2003, jangka waktu perjanjian kerja dibagi menjadi 2 jenis yaitu Perjanjian kerja waktu tertentu (yang selanjutnya disebut PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (yang selanjutnya disebut PKWTT). 17 Ketentuan teknis Pelaksanaan PKWT diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor KEP.100/MEN/VI/2004. Didalam pasal 1 ayat 1 KEP.100/MEN/VI/2004 dijelaskan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Sedangkan pada ayat 2 dijelaskan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Oleh karena PKWT memiliki keterbatasan waktu atau tidak bersifat berkelanjutan maka untuk melindungi para pekerja/buruh, undang undang nomor 13 tahun 2003 telah mengatur ketentuan pembatasan PKWT berdasarkan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan sebagai mana dimaksud dalam pasal 59 ayat 1 yang menyatakan bahwa Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; 3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau 4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produktambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 18 Pembatasan PKWT berdasarkan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan sebagaimana tersebut diatas secara teknis telah diatur di dalam Kepmenaker nomor KEP.100/MEN/VI/2004 sebagaimana berikut : 1. Untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun diatur dalam Bab II pasal 3, dengan ketentuan sebagaimana berikut : 1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya Pekerjaan tertentu. 2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. 3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. 4. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. 5. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT. 6. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. 7. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha. 8. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang dituangkan dalam perjanjian. 2. Untuk pekerjaan yang bersifat musiman diatur dalam Bab III, pasal 4 sampai dengan pasal 7, sebagaimana berikut : Dalam pasal 4 menyatakan bahwa : 1. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca. 2. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Pasal 5 menyatakan bahwa : 19 1. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman. 2. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. Pasal 6 menyatakan bahwa Pengusaha yang mempekerjaan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. Pasal 7 menyatakan bahwa PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan pembaharuan. 3. Untuk Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru diatur dalam Bab IV, pasal 8 dan pasal 9, sebagaimana berikut : pasal 8 menyatakan bahwa : 1. PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun. 3. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat dilakukan pembaharuan. Pasal 9 menyatakan bahwa PKWTsebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan diluar kegiatan atau diluar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan. 4. Perjanjian Kerja Harian/Lepas diatur dalam Bab V, pasal 10 sampai pasal 12, sebagaimana berikut : Pasal 10 menyatakan bahwa : 1. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas. 2. Perjanjian kerjaharian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan. 20 3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. Pasal 11 menyatakan Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya. Pasal 12 menyatakan bahwa : 1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh. 2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat: a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja. b. nama/alamat pekerja/buruh. c. Jenis pekerjaan yang dilakukan. d. Besarnya upah dan/atau imbalan lainnya. 3. Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawabdi bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh. 5. Perubahan PKWT menjadi PKWTT diatur dalam Bab VII, pasal 15, sebagaimana berikut : 1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. 2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 , atau Pasal 5 ayat 2, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. 3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3,maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan. 4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal3 , maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut. 5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 ,ayat 3 dan ayat 4, maka hak-hak 21 pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT. sesuai Untuk PKWTT karena sifat perjanjian kerja untuk waktu yang berkelanjutan dalam undang undang nomor 13 tahun 2003 pasal 60 telah diatur sebagai berikut: 1. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. 2. Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Untuk sifat dan jenis pekerjaan tambahan, perjanjian kerja dapat dilakukan secara langsung antara Pekerja/Buruh dengan Perusahaan Pemberi Pekerjaan, tetapi dapat juga melalui Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah Perusahaan Outsourcing. Hubungan kerja antara Pemberi Pekerjaan dengan Penyedia Jasa Tenaga Kerja dibuat dalam bentuk Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Syarat dan ketentuan tentang pemborongan pekerjaan diatur dan ditetapkan berdasarkan hukum perjanjian, yakni kesepakatan kedua belah pihak. Asas yang berlaku dalam hukum perjanjian adalah hal-hal yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian dan berlaku sebagai undang-undang yang mengikat.Ketentuan tersebut dikenal dengan Asas Kebebasan Berkontrak.3 Pengertian perjanjian pemborongan menurut Pasal 1601 b KUHPerdata adalah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu 3 Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006), hlm 10 22 pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan. Sedangkan menurut F.X. Djumialdji,SH memberikan suatu definisi yaitu : “Pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang telah ditentukan”4 Undang undang nomor 13 tahun 2003 juga mengatur tentang penggunaan tenaga kerja sumber luar (outsourcing). Hal tersebut tercantum dalam pasal 64 sampai pasal 66. Dalam Pasal 64 dinyatakan bahwa Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dan pasal 65 mengatur tentang hal hal sebagai berikut : 1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melaluiperjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. 2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalamayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dantidak menghambat proses produksi secara langsung. 3. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. 4. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lainsebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungankerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. 6. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diaturdalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yangdipekerjakannya. 4 Djumadi, Hukum Perburuhan perjanjian Kerja (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 34 23 7. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjiankerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratansebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. 8. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi,maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerimapemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberipekerjaan. 9. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimanadimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaansesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Dan pasal 66 menyatakan bahwa : 1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan olehpemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubunganlangsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatanyang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. 2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidakberhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memilikiizin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 4. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Sebagai petunjuk pelaksanaan Pasal 65 ayat 5 Undang-undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan keputusan dengan nomor KEP.220/MEN/X/2004. Keputusan 24 Menteri ini mengatur tentang perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Perusahaan yang selanjutnya disebut perusahaan pemberi pekerjaan adalah: a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalambentuk lain; b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 2. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan lain yang menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan. 3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pada Pasal 2 mengatur tentang : 1. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundan g- undangan yang berlaku. 2. Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu. Pada Pasal 3 mengatur tentang : 1. Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan akan menyerahkan sebagian pelaksanakan pekerjaan kepada perusahaan pemborong pekerjaan harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum 2. Ketentuan mengenai berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecuali bagi : a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang; b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultansi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang. 3. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum 4. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibannya 25 memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut. Dalam pasal 4 mengatur tentang : 1. Dalam hal di satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk dapat melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan pada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. 2. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab memenuhi hak-hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang bukan berbadan hukum tersebut dengan pekerjaan/buruhnya. 3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan. Pasal 5 mengatur tentang Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 6 mengatur tentang : 1. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan ; b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan; c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan. d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung artinya kegiatan tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya. 2. Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan. 26 3. Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1) serta melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Penggunaan Tenaga Kerja outsourcing dalam beberapa tahun setelah terbitnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menimbulkan Pro kontra antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha, terutama hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. dasarnya praktek outsourcing tidak dapat dihindari Namun demikian, pada pekerja/Buruh karena dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha telah mendapat legalisasi dalam memberlakukan praktek outsourcing terlebih lagi dengan adanya putusan mahkamah konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011. Putusan mahkamah konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011 merupakan jawaban atas permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing) terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Didik Supriyadi yang dalam permohonannya bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Indonesia melalui Kuasa Hukumnya DwiHariyanti,S.H., Advokat dan Penasihat Hukum pada kantor Advokat dan Penasihat Hukum “DwiHariyanti,S.H., &Rekan”, y a n g beralamat diJalan Karangrejo VIII Nomor 20. 27 Adapun yang menjadi pokok Permohonan Didik supriyadi dalam mengajukan Permohonan Uji Materi adalah sebagai berikut : 1. Pemohon mengajukan permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat 2, Pasal 28 Dayat 2 dan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945; 2. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing), maka buruh/pekerja dilihat semata mata sebagai komoditas atau barang dagangan disebuah pasar tenaga kerja, selain itu buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi, yang pada gilirannya komponen upah dapat ditekan seminimal mungkin; 3. Bahwa outsourcing adalah suatu bentuk pemaksaan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka hal ini menunjukkan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum; 4. Karena itu menurut Pemohon, Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang dengan sendirinya juga terkait dengan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66, dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat 2, Pasal 28D ayat 2 dan Pasal 3 ayat 1 UUD1945. Atas permohonan uji materi tersebut Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar 28 putusan nomor 27/PUU-IX/2011 yang isinya Menyatakan: Frasa“…perjanjian kerja waktu tertentu ”dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pekerja/buruh pergantian pengalihan perlindungan hak-hak bagi yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; Frasa“…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; Atas dasar pertimbangan hukum dan amar putusan mahkamah konstitusi 29 Nomor 27/PUU-IX/2011 tersebut, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengeluarkan surat edaran nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi Nomor27/PUU-IX/2011. Pada intinya Surat Edaran tersebut menegaskan bahwa : 1. Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam pasal 59 undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tetap berlaku. 2. Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa Pekerja/Buruh sebagaimana diatur dalam pasal 64, pasal65 dan pasal 66 undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka ; a. Apabila dalam pemborongan perjanjian pekerjaan kerja antara perusahaan atau perusahaan penerima penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja /buruhnya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi Pekerja/Buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/Buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus didasarkan pada perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). b. Apabila dalam pemborongan perjanjian pekerjaan kerja antara perusahaan atau perusahaan penerima penerima jasa 30 pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada(sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). 2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011 Ketentuan dan syarat-syarat tentang penggunaan tenaga kerja outsourcing telah diatur diatur di dalam Pasal 64 dan Pasal 66 Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan secara teknis diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.101/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Dengan adanya uji materi terhadap Pasal 59 dan Pasal 64 undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, dan menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, tertanggal 17 Januari 2012, yang selanjutnya dipertegas dengan terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. 31 Berdasarkan Surat Edaran tersebut, hubungan kerja antara Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dengan Pekerja/Buruh dapat dilakukan dengan menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Apabila sifat hubungan kerja yang diperjanjikan adalah PKWT, maka Pekerja/Buruh harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai Pekerja/Buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi Pekerja/Buruh, apabila terjadi pergantian perusahaan pemberi Pekerjaan atau perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 27/PUU-IX/2011 dan Penjelasan Pasal 66 ayat 2 huruf c undang undang nomor 13 tahun 2003, Pekerja/Buruh yang bekerja pada perusahaan outsourcing sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, memperoleh hak yang sama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul, dengan Pekerja/Buruh di Perusahaan Pemberi Kerja. Dengan demikian, Pekerja/Buruh yang bekerja di Perusahaan Pemberi Pekerjaan melalui Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, baik dengan dalam hubungan PKWTT maupun PKWT, berhak mendapatkan upah dan kesejahteraan yang sama seperti Pekerja/Buruh yang bekerja pada Perusahaan Pemberi Pekerjaan Perlindungan upah dan kesejahteraan Pekerja/Buruh harus dinyatakan dalam klausul perjanjian kerja antara Pekerja/Buruh dengan Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja. Apabila dalam perjanjian kerja tidak diperjanjikan, maka perlindungan Pekerja/Buruh berpedoman pada 32 Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Jika dalam PP atau PKB juga tidak diatur, maka harus berdasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nurimansyah Haribuan mengatakan : “Upah adalah segala macam bentuk penghasilan (carning), yang diterima buruh/pegawai (tenaga kerja) baik berupa uang ataupun barang dalam jangka waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi.5 Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat 3 undang undang nomor 13 tahun 2003, perlindungan terhadap upah pekerja/buruh meliputi ; upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya dan upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Pekerja/Buruh Outsourcing selain berhak mendapatkan upah yang biasa diterima sesuai Perjanjian Kerja, juga berhak atas upah kerja lembur dan upah-upah lain sebagaimana tersebut di atas. Upah lembur adalah hak yang diterima pekerja/buruh yang telah bekerja melebihi waktu kerja normatif, dan perhitungannya berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/ 2004 yang mengatur tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Kewajiban pengusaha untuk membayar upah kerja lembur bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan melebihi waktu kerja diatur dalam Pasal 78 ayat 5 2 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 yang menyatakan Hasibuan Nurimansyah, Upah Tenaga Kerja dan Konsentrasi pada Sektor Industri, (Prisma, No. 5 Th. X Mei 1981), hlm. 3. 33 bahwa Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib membayar upah kerja lembur. Selain hak atas pembayaran upah, Pekerja/Buruh outsourcing yang bekerja pada perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang atau lebih, berhak untuk didaftarkan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) . sebagaimana diatur dalam undang undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja , yang telah beberapa kali diubah, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2010. Program Jaminan Sosial tenaga Kerja yang dimaksud adalah Jaminan Kecelakaan kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan J aminan Pemeliharaan Kesehatan. Pekerja/Buruh yang terikat dalam hubungan kerja PKWT yang diputus hubungan kerjanya oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan atau Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh sebelum masa kerja yang diperjanjikan berakhir, tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 undang undang nomor 13 tahun 2003 tetapi berhak untuk mendapatkan ganti rugi sebesar upah sampai masa kerja yang diperjanjikan berakhir. dan sebaliknya apabila Pekerja/Buruh yang mengakhiri hubungan kerja, maka Pekerja/Buruh tersebut tersebut yang mempunyai kewajiban memberikan ganti rugi kepada Pemberi pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh, sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 undang undang nomor 13 tahun 2003. 34 Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan atau lebih secara terus menerus tetapi kurang dari 1 tahun, berhak untuk mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) secara proposional, sedangkan Pekerja/Buruh Outsourcing yang telah mempunyai masa kerja 1 tahun atau lebih berhak untuk mendapatkan THR sebesar 1 bulan upah, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor PER4//MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Bagi Pekerja di Perusahaan. Dalam Peraturan Menteri ini juga diatur bahwa Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berakhir kurang 30 hari sebelum hari raya keagamaan maka Pekerja/Buruh tersebut berhak untuk mendapatkan THR. BAB III KEDUDUKAN HUKUM PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA/ BURUH DAN PERUSAHAAN PEMBERI PEKERJAAN DI INDONESIA 1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian Pemborongan Pekerjaan (outsourcing) sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, juga telah diatur didalam KUH Perdata Buku III Bab 7a Pasal 1601b KUH Perdata yang mendefinisikan bahwa Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan. Berdasarkan undang undang nomor 13 tahun 2003, pasal 66 ayat 3 menyatakan bahwa Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut dalam pelaksanaan teknis dipertegas dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, khususnya dalam pasal 2 dan pasal 3, bahwa untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib memiliki izin operasional dari instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai domisil perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan. Ijin operasional tersebut berlaku diseluruh Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. 35 36 Untuk mendapatkan izin operasional dimaksud, perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menyampaikan permohonan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut : a. Copy pengesahan (Akta Pendirian dan Pengesahaannya) sebagai badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. b. Copy Anggaran Dasar (articles of association) yang didalamnya memuat kegiatan usaha Penyedia Jasa Pekerja/buruh. c. Copy SIUP (Surat Ijin Usaha Perseroan). d. Copy bukti Wajib Lapor Ketenagakarjaan di Perusahaan (sesuai dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 1981). Selain pekerja/buruh, juga Ijin Operasional, harus Perusahaan memiliki tanda daftar penyedia jasa perusahaan (TDP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 undang undang nomor 3 tahun 1982 yang menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib didaftarakan dalam Daftar Perusahaan. Dan dalam pasal 22 menyatakan bahwa Kepada Perusahaan yang telah disahkan pendaftarannya dalam Daftar Perusahaan diberikan Tanda Daftar Perusahaan yang berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal dikeluarkannya dan yang wajib diperbaharui sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan sebelum tanggal berlakunya berakhir. Pengakuan tentang badan hukum juga terdapat Pasal 1653 KUH Perdata yang menyatakan bahwa Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang 37 diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Dan pengakuan mengenai melakukan perbuatan perbuatan perdata hak suatu badan hukum untuk terdapat pada pasal 1654 KUH Perdata yang menyatakan bahwa Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatanperbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkannya kepada tata cara tertentu. Sedangkan pengakuan tentang hak pengurus badan hukum untuk melakukan perbuatan atas nama badan hukum diatur dalam Pasal 1655 KUH Perdata yang menyatakan bahwa Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain dalam akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum itu, untuk mengikatkan badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya, dan untuk bertindak dalam sidang Pengadilan baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Sampai sekarang ini belum ada peraturan yang mengatur mengenai penentuan bidang-bidang apa saja yang termasuk Pekerjaan Pokok (core business) dan Pekerjaan Penunjang. Bahkan dalam Pasal 4 Kepmenakertrans nomor KEP.101/MEN/VI/2004 memberi kebebasan kepada Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Perusahaan Pemberi Pekerjaan untuk menentukan jenis pekerjaan yang akan dilakukan, dalam sebuah perjanjian tertulis yang sekurang kurangnya memuat : 38 a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa; b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; c. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Dalam Pasal 5 Kepmenaker nomor KEP 101/MEN/2004 mengatur tentang pendaftaran perjanjian antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Setelah perjanjian antara Perusahaan Penyedia dan Perusahaan Pemberi Kerja dibuat, perjanjian tersebut didaftarkan kepada instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota tempat Perusahaan Penyedia bekerja. Bila Perusahaan Penyedia bekerja pada Perusahaan Pemberi Kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu Kabupaten/Kota dalam satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada instansi ketenagaerjaan provinsi. Kemudian, bila Perusahaan Penyedia bekerja pada Perusahaan Pemberi Kerja yang berada dalam wilayah lebih 39 dari satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. Sanksi bagi Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang tidak mendaftarkan perjanjian tersebut, menurut Pasal 7 Kepmenaker nomor KEP 101/MEN/2004, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat akan mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Wilayah. Dalam hal ijin operasional dicabut, hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan. Dengan proses pendaftaran Perjanjian tersebut dapat diketahui bahwa pihak Pemerintah melalui pejabat instansi ketenagakerjaan memiliki kewenangan menentukan sah atau tidak suatu jenis pekerjaan yang dilakukan dengan sistem outsourcing. 1. Kedudukan Hukum Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Perusahaan Pemberi Pekerjaan Di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- IX/2011 tidaklah mencabut sistem kerja Outsourcing sebagaimana diatur dalam pasal 64 undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. meskipun setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut masih terdapat perbedaan pandangan antara pekerja/Buruh dan pengusaha. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tersebut ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 40 17 Januari 2012. Dalam Surat Edaran tersebut dijabarkan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUIX/2011 yang isinya sebagai berikut: 1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap berlaku. 2. Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka : a. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 41 b. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 3. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUIX/2011 tanggal 12 mempertimbangkan Januari keberadaan 2012 tersebut, perjanjian serta kerja dengan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelum diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka PKWT yang saat ini masih berlangsung pada perusahaan pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. Memahami ketentuan tersebut di atas tampak jelas bahwa dalam penerapan outsourcing saat ini, antara perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh dengan pekerja/buruhnya harus dibuat perjanjian kerja dalam bentuk PKWTT, jika perjanjian kerjanya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada penyedia jasa Pekerja/buruh lain. 42 Sebaliknya, jika perjanjian kerjanya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada penyedia jasa pekerja/buruh lain, perjanjian kerjanya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). apabila terjadi pergantian penyedia jasa pekerja/buruh kepada penyedia jasa pekerja/buruh lain sedangkan PKWT tersebut masih berlangsung atau belum habis jangka waktunya, maka PKWT tersebut tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. Dan perlindungan hak-hak pekerja/buruh dialihkan kepada penyedia jasa pekerja/buruh yang baru. yang menjadi polemik adalah apakah penyedia jasa pekerja/buruh itu mau menanggung hak pekerja/buruh yang telah bekerja di penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya. Karena dilihat dari dari sudut pandang bisnis hal ini tidak mungkin dilaksanakan. Karena perusahaan outsourcing yang baru tentu secara finansial belum cukup kuat untuk mempersiapkan pesangon bagi pekerja/buruh yang sudah ada. Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh diatur dalam Pasal 66, undang undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh Pemberi Pekerjaan untuk melaksanakan kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, 43 pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business). Kegiatan tersebut antara lain; usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/Buruh. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Sebagaimana diuraikan dalam bab bab terdahulu dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Perlindungan Hukum terhadap Pekerja/Buruh pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, tertanggal 17 Januari 2012 sebagaimana berikut : a. Untuk menghindari Eksploitasi Pekerja/Buruh, Mahkamah Konstitusi menawarkan 2(dua) model Outsourcing yaitu : Pertama, hubungan kerja antara Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dengan Pekerja/Buruh tidak berbentuk Perjanjian kerja Waktu (PKWT) tertentu tetapi dengan dengan menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Kedua, Apabila sifat hubungan kerja yang diperjanjikan adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), maka Pekerja/Buruh harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai Pekerja/Buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi Pekerja/Buruh, apabila terjadi pergantian perusahaan Pemberi Pekerjaan atau perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. b. Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengisyaratkan bahwa setiap pekerja outsourcing terjamin perlindungan hak-haknya dalam perusahaan Pemberi Pekerjaan karena perjanjian kerjanya bersifat PKWTT (Pekerja/Buruh tetap) atau jika bersifat PKWT (Pekerja/Buruh Kontrak) 44 45 a. diatur mengenai pengalihan perlindungan hak dari Penyedia Jasa Pekerja/Buruh terdahulu Kepada Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang lain. 1. Kedudukan Hukum Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Pemberi Pekerjaan, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 sebagaimana berikut : a. Outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hakhaknya yang dilindungi konstitusi. b. Hubungan kerja antara Pekerja/Buruh dengan Penyedia Jasa Pekerja /Buruh dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWTT) secara tertulis. c. Pada dasarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 tidak menghapus outsourcing itu sendiri; karena apa yang diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi telah diberlakukan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hanya ketentuan mengenai kewajiban mempekerjakan pekerja outsourcing sebagai pekerja tetap (PKWTT) atau jika sebagai pekerja kontrak (PKWT) harus menerapkan Pekerja/Buruh. prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi 46 1. Saran Berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku, secara hukum Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian Pemborongan Pekerjaan (outsourcing) tidak mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jika hal tersebut ada dan terjadi dalam praktik outsourcing, hal itu merupakan kreasi dunia kerja dan bukan karena regulasi dari pemerintah. Oleh Karena itu, yang perlu ditingkatkan adalah pemahaman terhadap ruang peningkatan lingkup outsourcing, manfaat bisnis outsourcing, serta pengawasan pelaksanaan regulasi dari pemerintah terhadap praktik outsourcing. Terutama pengawasan tentang perlindungan upah dan kesejahteraan Pekerja/Buruh outsourcing. Pada kenyataanya bisnis outsourcing bukan hanya bermanfaat bagi dunia kerja swasta saja, melainkan juga dapat diterapkan untuk badanbadan pemerintah. Dengan demikian dapat merampingkan tubuh birokrasi Pemerintahan dan tentunya berujung pada penghematan anggaran birokrasi. Dengan praktik Outsourcing bukan hanya Perusahaan Swasta saja yang bisa berkonsentrasi pada bisnis pokok (core business) tetapi badan badan pemerintah juga dapat memfokuskan diri pada Pelayanan pokok sesuai pembidangan masing-masing. Untuk mencegah timbulnya beda penafsiran yang menyebabkan penyimpangan pelaksanaan regulasi pemerintah terhadap perlindungan Pekerja/Buruh Outsorcing, seperti penggunaan pekerja/buruh outsourcing pada pekerjaan inti (core bisnis), perlakuan terhadap pekerja/buruh outsourcing secara diskriminatif, tidak adanya jaminan pengalihan perlindungan hak hak 47 pekerja/buruh outsourcing, maka perlu peningkatan sosialisasi secara menyeluruh dan berkelanjutan terhadap semua instansi Perusahaan baik Perusahaan Pemberi Pekerjaan maupun Perusahaan Penyedia Bekerja/Buruh. Sosialisasi dapat dilakukan oleh Dinas Tenaga maupun dari Asosiasi Pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh. jasa kerja terkait 48 DAFTAR BACAAN R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT. Intermasa, 2005) Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK (Jakarta : Visimedia, 2006 Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006) Djumadi, Hukum Perburuhan perjanjian Kerja (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004) Hasibuan Nurimansyah, Upah Tenaga Kerja dan Konsentrasi pada Sektor Industri, (Prisma, No. 5 Th. X Mei 1981) Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial, Departemen Tenaga Kerja RI Direktorat Jendral Binawas Direktorat Jendral Pengupahan dan Jaminan Sosial tahun 1999/2000. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 ( yang dipadukan dengan perubahan I,II,III dan IV ). Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan KUH Perdata Buku III Tentang Perikatan. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.27/PUU-IX/2011. Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial tenaga Kerja. Peraturan Pemerintah RI No.84 Tahun 2010 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial tenaga Kerja. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.4 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Bagi Pekerja di Perusahaan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.Kep.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.220/MEN/X/2004 Tentang Syarat Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. 49 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Hukum Online.com TribunJatim.com, hari Senin 20 Februari 2012 Browsing Internet ”Google”