PEMBERIAN SUSU FORMULA KACANG KEDELAI

advertisement
TESIS
PEMBERIAN SUSU FORMULA KACANG KEDELAI
(Glycine max) MENINGKATKAN KADAR HORMON
ESTROGEN DAN MENURUNKAN KADAR HORMON
TESTOSTERON PADA BAYI TIKUS PUTIH GALUR
WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN
EVELINE MARGO
NIM 1390761005
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
PEMBERIAN SUSU FORMULA KACANG KEDELAI
(Glycine max) MENINGKATKAN KADAR HORMON
ESTROGEN DAN MENURUNKAN KADAR HORMON
TESTOSTERON PADA BAYI TIKUS PUTIH GALUR
WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
EVELINE MARGO
NIM 1390761005
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 09 APRIL 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof.Dr.dr.Wimpie I.Pangkahila,Sp.And.FAACS
NIP. 194612131971071001
Pembimbing II
Prof.dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
NIP.194606191976021001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr.Wimpie I.Pangkahila,Sp.And.FAACS
NIP. 194612131971071001
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 09 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No : 797/UN14.4/HK/2015, Tanggal 12 Maret 2015
Ketua
: Prof. Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And.FAACS
Anggota
:
1. Prof. dr. I. Gusti Made Aman, Sp.FK.
2. Dr.dr.Ida Sri Iswari,Sp.MK.M.Kes.
3. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And.
4. Prof. Dr. dr. A.A. Gede Budhiarta, Sp.PD-KEMD.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: dr. Eveline Margo
NIM
: 1390761005
Program Studi
: Magister Ilmu Biomedik (Anti-Aging Medicine)
Judul
: Pemberian Susu Formula Kacang Kedelai (Glycine max)
Meningkatkan Kadar Hormon Estrogen dan Menurunkan
Kadar Hormon Testosteron pada Bayi Tikus Putih Galur
Wistar (Rattus norvegicus) Jantan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI no.17 tahun 2010
dan Peraturan Perundang – undang yang berlaku.
Denpasar,...........................
Yang membuat pernyataan,
(dr. Eveline Margo)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur yang
sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tulisan ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang telah
dijalankan oleh penulis untuk memperoleh gelar Magister pada program Magister
Studi Ilmu Kedokteran Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan
Anti-Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp.PD. KEMD dan Prof. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) sebagai Direktur
Program Pascasarjana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas
Udayana.
Terima kasih kepada Prof. Dr. dr.Wimpie I. Pangkahila, Sp.And. FAACS.,
selaku pembimbing utama yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
memberikan petunjuk, dorongan, pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan
tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. I
Gusti Made Aman, Sp.FK, selaku pembimbing I yang sudah meluangkan waktu
dan dengan sabar, teliti memberikan arahan, masukan, pengetahuan serta
bimbingan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada
para penguji tesis ini, yaitu Dr.dr.Ida Sri Iswari, Sp.MK.M.Kes, Prof. Dr. dr. J.
vi
Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And., dan Prof. Dr. dr. A.A. Gede Budhiarta, Sp.PDKEMD yang telah dengan sabar memberikan masukan, saran, sanggahan,
bimbingan dan koreksi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. I.B. Putra
Manuaba, M.Phil dari UPT laboratorium Analitik Universitas Udayana, Bukit
Jimbaran, I Gede Wiranatha, S.Si, dari bagian Laboratory Animal Unit
Farmakologi Universitas Udayana, dan Drs. I Ketut Tunas, M.Si yang telah
membantu penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Ilmu
Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas memberikan ilmu pengetahuan selama masa pendidikan
yang sangat bermanfaat untuk masa depan penulis, dan kepada seluruh staf
biomedik untuk bantuan yang diberikan kepada penulis selama studi, serta kepada
semua teman-teman selama perkuliahan yang telah membantu dan mendukung
penulis sepanjang menempuh pendidikan ini.
Akhirnya penulis juga sampaikan terima kasih kepada suamiku tercinta Dr.
Dedy, Sp.An. serta ketiga anak-anakku tercinta Jayden Adriano Chendana, Javier
Edward Chendana dan Jason Marco Chendana, serta kedua orang tua dan saudara
penulis atas doa, pengorbanan dan kesabaran yang luar biasa dalam memberikan
dukungan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
segenap kritik, saran dan masukan sangat diharapkan. Semoga apa yang tertulis
dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
vii
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, senantiasa melimpahkan
berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini .
Denpasar, 4 Maret 2015
Penulis
viii
ABSTRAK
PEMBERIAN SUSU FORMULA KACANG KEDELAI (Glycine max)
MENINGKATKAN KADAR HORMON ESTROGEN DAN
MENURUNKAN KADAR HORMON TESTOSTERON PADA BAYI
TIKUS PUTIH GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN
Sistem kekebalan tubuh anak relatif lebih rendah pada tahun pertama
sehingga pada bayi dengan bakat atopi mudah terjadi sensitisasi dan menjadi
alergi. Idealnya pada bayi baru lahir diberikan air susu ibu (ASI) sebagai makanan
utama pada 6 bulan pertama, tetapi sering kali digantikan dengan susu sapi
formula yang dapat mencetuskan penyakit Alergi Susu Sapi (ASS). Salah satu
pengganti susu tersebut dapat menggunakan susu formula kacang kedelai yang
mengandung fitoestrogen dari klas isoflavon yang dapat bekerja seperti hormon
estrogen. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemberian susu formula kacang
kedelai dapat meningkatkan kadar hormon estrogen dan menurunkan kadar
hormon testosteron pada bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan.
Penelitian ini menggunakan metode post test only control group design.
Sampel terdiri dari 36 ekor bayi tikus putih galur Wistar jantan usia 7 hari, berat
badan 10–15 gr yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol yang
diberi susu sapi formula dan kelompok perlakuan yang diberi susu formula
kacang kedelai dengan dosis masing-masing kelompok 5% BB (gr), diberikan dua
kali sehari per oral selama 21 hari setelah itu, bayi tikus diambil darahnya pada
pagi hari untuk pemeriksaan kadar hormon estrogen dan testosteron. Analisis data
menggunakan uji t-independent.
Hasil analisis data didapatkan kadar estrogen pada kelompok perlakuan lebih
tinggi bermakna (p<0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai
rerata estrogen kelompok kontrol adalah 0,55±0,03pg/ml dan rerata kelompok
perlakuan adalah 0,82±0,01pg/ml, sedangkan kadar testosteron didapatkan lebih
rendah bermakna pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok
kontrol (p<0,05) dengan rerata testosteron kelompok kontrol adalah
3,250,15ng/ml dan rerata kelompok perlakuan adalah 2,360,22ng/ml.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan pemberian susu formula kacang
kedelai dapat meningkatkan kadar hormon estrogen dan menurunkan kadar
hormon testosteron pada bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan.
Kata kunci: susu sapi formula, susu formula kacang kedelai, estrogen, testosteron,
bayi tikus jantan
ix
ABSTRACT
ADMINISTRATION OF SOYMILK FORMULA (Glycine max)
INCREASES ESTROGEN LEVEL AND REDUCES TESTOSTERONE
LEVEL IN INFANT MALE WHITE WISTAR RATS (Rattus norvegicus)
Children’s immunity system is relatively lower on first year of life, causing
atopic babies to be more prone to sensitization, leading to allergy. Ideally,
newborn babies are given breast milk as main food source on the first 6 months,
but often being replaced with cow milk formula which can induce Cow’s Milk
Protein Allergy (CMPA). One of the replacements for that milk is soymilk
formula which contains phytoestrogen from isoflavon class, which works just like
estrogen. This research aimed to determine whether administration of soymilk
formula is capable on increasing estrogen level and reducing testosterone level on
male infant white Wistar rats (Rattus norvegicus).
This research used post test only control group design. Samples were
consisted of 36 infant male white Wistar rats aged 7 days, weighing from 10-15
grams, divided into 2 groups, control group which was given cow’s milk formula
and intervention group which was given soymilk formula. Each group were given
intervention with the dose 5% of BW (grams), given twice-a-day orally for 21
days, and subsequently in the morning their blood samples were taken to examine
the level of estrogen and testosterone hormone. The data was analyzed using tindependent test.
The result of the analysis showed that the level of estrogen on intervention
group was significantly higher (p<0.05) than the control group with mean
estrogen level of 0.55±0.03pg/ml in the control group and 0.82±0.01pg/ml in the
intervention group, while the mean testosterone level was significantly lower on
intervention group compared with control group (p<0.05) with 3.250.15ng/ml on
control group and 2.360.22 ng/ml on intervention group.
From this research it was concluded that the administration of soymilk
formula was able to increase estrogen level and reduce testosterone level on infant
male white Wistar rats (Rattus norvegicus).
Keywords: cow’s milk formula, soymilk formula, estrogen, testosterone, infant
male rats.
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ........................................................................................... i
PERSYARATAN GELAR ................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. vi
ABSTRAK ........................................................................................................ ix
ABSTRACT ...................................................................................................... x
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvii
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ...................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 8
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................................... 8
xi
1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
1.4.1 Manfaat Ilmiah ......................................................................... 8
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................10
2.1 Anti-Aging Medicine (AAM) ............................................................. 10
2.1.1 Konsep Dasar AAM ................................................................. 10
2.1.2 Teori Proses Penuaan ................................................................11
2.1.2.1 Teori Pakai dan Rusak ...................................................... 11
2.1.2.2 Teori Program .................................................................... 11
2.1.3 Faktor yang mempercepat Penuaan ..........................................12
2.2 Fisiologi Sistem Reproduksi pada Laki-laki ..................................... 14
2.2.1 Hormon Seks Steroid pada Laki-laki ....................................... 14
2.2.2 Struktur Testosteron ................................................................ 18
2.2.3 Struktur Estrogen ..................................................................... 18
2.2.4 Kontrol Fungsi Testosteron ...................................................... 19
2.2.5 Pengukuran Hormon Steroid pada laki-laki ............................. 21
2.2.6 Efek dan Fungsi Hormon Seks Steroid pada Laki-laki ........... 23
2.2.6.1 Efek dan Fungsi Testosteron .............................................. 24
2.2.6.2 Efek dan Fungsi Estrogen .................................................. 25
2.2.7 Defisiensi Androgen ................................................................ 26
xii
2.2.8 Reseptor Estrogen .................................................................... 27
2.3 Susu Sapi Formula .............................................................................. 28
2.4 Penyakit Alergi Susu Sapi (ASS) ....................................................... 30
2.5 Kacang Kedelai .................................................................................. 33
2.5.1 Kandungan Isoflavon dalam Kacang Kedelai .......................... 33
2.5.2 Metabolisme dan Bioavailabilitas ............................................ 36
2.5.3 Aktivitas Biologik .................................................................... 36
2.5.4 Cara Kerja Isoflavon ................................................................ 36
2.5.5 Susu Formula Kacang Kedelai ................................................. 40
2.6 Hewan Coba ....................................................................................... 48
2.6.1 Tikus Wistar (Rattus Norvegicus ) ........................................... 49
2.6.2 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium ................... 51
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................. 53
3.2 Konsep Penelitian ............................................................................... 54
3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................ 55
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 56
4.1 Rancangan Penelitian ......................................................................... 56
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 57
4.2.1 Lokasi Penelitian ...................................................................... 57
4.2.2 Waktu Penelitian ...................................................................... 57
xiii
4.3 Penentuan Sumber Data ..................................................................... 57
4.3.1 Variabilitas Populasi ................................................................ 57
4.3.2 Kriteria Subjek ......................................................................... 58
4.4 Besaran Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ........................... 58
4.4.1 Besaran Sampel ........................................................................ 58
4.4.2 Teknik Pengambilan Sampel ................................................... 59
4.5 Variabel Penelitian ............................................................................. 59
4.5.1 Klasifikasi Variabel ................................................................. 59
4.5.2 Hubungan Antar Variabel ....................................................... 60
4.5.3 Definisi Operasional Variabel .................................................. 60
4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian, Hewan Percobaan ........................ 62
4.6.1 Bahan Penelitian ...................................................................... 62
4.6.2 Instrumen Penelitian ................................................................. 63
4.6.3 Hewan Percobaan ..................................................................... 64
4.7 Prosedur Penelitian ............................................................................ 64
4.7.1 Pembuatan Susu ....................................................................... 64
4.7.2 Persiapan Hewan Uji ............................................................... 65
4.7.3 Jalannya Penelitian .................................................................. 65
4.7.4 Proses Pengambilan Darah ...................................................... 66
4.7.5 Analisis Susu Formula Kacang Kedelai .................................. 66
4.7.6 Prosedur Pengukuran Kadar Hormon ..................................... 67
xiv
4.7.6.1 Prosedur Pengukuran Kadar Hormon Estrogen ................ 67
4.7.6.2 Prosedur Pengukuran Kadar Hormon Testosteron ........... 68
4.7.7 Alur Penelitian .......................................................................... 70
4.8 Analisis Data ...................................................................................... 70
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 72
5.1 Subjek Penelitian ................................................................................ 72
5.2 Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian ............................ 72
5.2.1 Uji Normalitas Data ................................................................. 72
5.2.2 Uji Homogenitas Data .............................................................. 73
5.3 Uji Efek Perlakuan ..............................................................................73
5.3.1 Kadar Hormon Estrogen ...........................................................73
5.3.2 Kadar Hormon Testosteron ...................................................... 75
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................80
7.1 Simpulan ............................................................................................ 80
7.2 Saran ................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 82
LAMPIRAN ...................................................................................................... 87
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1
Kadar Hormon Normal pada Laki-laki dewasa ...................................... 22
2.2
Pola Jaringan dari Reseptor Estrogen α (RE α) dan Reseptor Estrogen β
(RE β) pada Tikus Jantan ........................................................................ 28
2.3
Kandungan Isoflavon Kacang Kedelai .................................................... 35
2.4
Indikator Maturasi Seksual dan Gangguan Endokrin pada Hewan
Penggerat yang diberi Preparat Isoflavon ................................................ 48
2.5
Perkembangan dan Kebutuhan Tikus Jantan ........................................... 50
2.6
Kadar Hormon Estrogen dan Testosteron Normal pada Tikus Jantan...... 51
5.1
Hasil Uji Normalitas Data Estrogen dan Testosteron Sesudah Perlakuan
.................................................................................................................. 73
5.2
Homogenitas Data Estrogen dan Testosteron antar Kelompok ............... 73
5.3
Perbedaan Rerata Estrogen antar Kelompok Sesudah Diberikan Susu
Sapi Formula dan Susu Formula Kacang Kedelai ...................................74
5.4
Perbedaan Rerata Testosteron antar Kelompok Sesudah Diberikan Susu
Sapi Formula dan Susu Formula Kacang Kedelai ....................................75
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1
Jalur Biosintesis Androgen dan Estrogen ............................................... 15
2.2
Mekanisme Kerja Androgen ....................................................................17
2.3
Struktur Testosteron ..................................................................................18
2.4
Struktur Estrogen .......................................................................................19
2.5
Aksis Hipothalamus – Hipofise Anterior – Testis . ...................................20
2.6
Kadar Testosteron (T) pada Laki-laki Muda dalam 24 jam .................... 21
2.7
Sumber dan Target Estrogen .................................................................... 26
2.8
Klasifikasi Fitoestrogen ........................................................................... 34
2.9
Kacang Kedelai ........................................................................................ 34
2.10
Struktur Molekul Daidzein dan Genistein .............................................. 35
3.1
Kerangka Konsep ......................................................................................54
4.1
Skema Rancangan Penelitian ....................................................................56
4.2
Hubungan Antar Variabel ........................................................................ 60
4.3
Alur Penelitian ..........................................................................................70
5.1
Perbandingan Estrogen antar Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan
...................................................................................................................74
5.2
Perbandingan Testosteron antar Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan ..................................................................................................76
xvii
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH
AAM
: Anti-Aging Medicine
ASI
: Air Susu Ibu
ASS
: Alergi Susu Sapi
UK
: United Kingdom
Ig
: Imunoglobulin
DNA
: Deoxyribonucleic Acid
GH
: Growth Hormone
IGF-1
: Insulin-like Growth Factor 1
LH
: Luteinizing Hormone
FSH
: Folicel Stimulating Hormone
GnRH
: Gonadotropin-Releasing Hormone
RNA
: Ribonucleic Acid
ABP
: Androgen Binding Protein
SHBG
: Sex Hormone-Binding Globulin
DHT
: Dihidrotestosteron
RE
: Reseptor Estrogen
AA
: Asam Arakhidonat
DHA
: Asam Dokosaheksaenoat
USA
: United State of America
ELISA
: Enzym-Linked Immunosobent Assay
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Ethical Clearance .........................................................................87
Lampiran 2
Hasil Analisis Susu Formula Kacang Kedelai ............................. 88
Lampiran 3
Tabel Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang Dapat
Diberikan pada Berbagai Hewan ..................................................89
Lampiran 4
Foto-Foto Penelitian .....................................................................89
Lampiran 5
Uji Normalitas Data Estrogen dan Testosteron pada Masingmasing Kelompok..........................................................................92
Lampiran 6
Uji t-independent Data Estrogen dan Testosteron antara Kelompok
Kontrol dengan Kelompok Perlakuan ...........................................92
xix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia akan melalui proses kehidupan yang dimulai dari terjadinya
pembuahan, lahir, bayi, balita, remaja, dewasa, menjadi tua dan akhirnya
meninggal. Setiap manusia sebenarnya ingin hidup dengan umur panjang dan
sehat. Bertambahnya umur setiap tahun dan menjadi tua, merupakan sesuatu
proses yang tidak dapat dihindari. Penuaan merupakan suatu kejadian yang pasti
terjadi secara alamiah pada setiap manusia, dan disertai penurunan berbagai fungsi
tubuh. Dalam upaya memperlambat proses tersebut, sebaiknya dilakukan sedini
mungkin, bahkan bisa dari usia dalam kandungan. Untuk menghindari hal
tersebut, maka banyak para ilmuwan terus belajar mencari bebagai cara untuk
memperlambat dan menghambat proses tersebut sehingga mencapai umur panjang
dalam keadaan sehat.
Proses penuaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor eksternal
(berasal dari luar) dan faktor internal (berasal dari dalam tubuh) (Pangkahila,
2011). Faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup yang tidak sehat, diet yang
tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress, dan kemiskinan.
Beberapa faktor internal adalah terbentuknya radikal bebas, hormon yang
berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem
yang
menurun
dan genetik (Pangkahila, 2011).
xx
1
kekebalan tubuh
Faktor – faktor yang
disebutkan diatas, apabila dapat dicegah, diperlambat dan bahkan jika dapat
dihindari, maka proses penuaan dapat diperlambat dan kualitas hidup seseorang
dapat ditingkatkan. Hal ini yang menjadi dasar konsep dari Anti-Aging Medicine
(AAM) (Pangkahila, 2011).
Kebanyakan orang bersikap menerima keadaan menjadi tua seakan-akan
merupakan takdirnya dan tidak dapat dihindari. Seringkali yang terjadi adalah
apabila sudah muncul keluhan atau gangguan semakin berat barulah mencari
pengobatan, padahal alangkah baiknya bila dilakukan tindakan pencegahan
sebelum semua keluhan tersebut muncul sehingga kualitas hidup seseorang dapat
ditingkatkan. Apabila berbagai faktor penyebab proses penuaan dapat dicegah
maka dapat memperlambat proses penuaan tersebut (Pangkahila, 2011).
Salah satu faktor internal penyebab proses penuaan adalah sistem kekebalan
tubuh yang menurun dan adanya faktor genetik. Sistem kekebalan tubuh seorang
anak lebih rentan pada usia tahun pertama, sehingga bila mempunyai keturunan
bakat atopik, maka akan sangat mudah tersensitisasi dan berkembang menjadi
penyakit alergi terhadap alergen tertentu, misalnya pada makanan (Munasir dan
Siregar, 2010; Pangkahila, 2011).
Pada awal kelahiran untuk membentuk sistem kekebalan tubuh anak
dianjurkan dengan pemberian air susu ibu (ASI) yang mengandung berbagai
imunoglobulin (Ig) untuk memberikan proteksi bagi bayi yang baru dilahirkan.
ASI merupakan makanan pertama ideal yang seyoganya diberikan pada bayi-bayi
yang baru lahir terutama dalam 6 bulan pertama. Tetapi ada saat dimana ASI
xxi
tersebut tidak dapat diberikan atau tidak dapat mencukupi kebutuhan bayi, maka
dapat digantikan atau ditambah dengan susu formula (Munasir dan Siregar, 2010).
Protein asing utama yang dikenalkan pertama kali kepada bayi adalah protein
susu sapi, sehingga sering merupakan penyebab penyakit alergi susu sapi (ASS).
Diperkirakan prevalensi ASS sekitar 2-3% di antara keseluruhan bayi. Di antara
bayi usia 1 tahun dengan dermatitis atopik, 30-45% disebabkan oleh penyakit
ASS (Munasir dan Siregar, 2010). Salah satu diagnosis alergi susu sapi dapat
ditegakkan dengan amamnesis riwayat keluarga atopi dan dengan pemeriksaan
IgE spesifik susu sapi. Tatalaksana penyakit ASS mencakup menghindari minum
dan makan makanan yang mengandung susu sapi, karena itu dianjurkan dapat
dengan pemberian susu sapi hipoalergenik dengan terhidrolisis atau susu formuls
asam amino sintetis, bahkan dapat juga dengan pemberian susu formula kacang
kedelai sampai terjadi toleransi terhadap susu sapi. Sekitar 85%, dikatakan ASS
akan menjadi toleran sebelum usia 3 tahun (Merrit dan Jenks, 2004; Munasir dan
Siregar, 2010; Koletzko et al., 2012).
Idealnya dikatakan dapat diberikan susu sapi hipoalergenik dengan
terhidrolisis atau pemberian susu formula asam amino sintetis pada bayi yang
menderita ASS, tetapi dengan harga yang sulit dijangkau, maka sebagai alternatif
dapat digunakan susu formula kacang kedelai sehingga dapat menjangkau seluruh
lapisan masyarakat (Merrit dan Jenks, 2004).
Menurut John Ruhrah, pemberian susu formula kacang kedelai untuk bayi
sudah dilakukan sejak tahun 1909, sudah sejak 100 tahun yang lalu. Kemudian
pada tahun 1929 baru direkomendasikan pemberian susu formula kacang kedelai
xxii
bagi bayi penderita eksema. Awalnya susu formula kacang kedelai berasal dari
tepung kacang kedelai yang juga mengandung karbohidrat dari kacang, serat,
phytates dan protease inhibitors yang pada akhir-akhir ini kandungan tersebut
dihilangkan. Pada tahun 1960an berkembanglah isolat kacang kedelai untuk
menggantikan. Kandungan isolat dari kacang kedelai mengandung paling sedikit
90% protein dengan berat dasar kering dan kemampuan untuk didigesti 97% dan
tinggi konsentrasi asam amino. Pada tahun 1970an banyak diberikan nutrisi
tambahan seperti iodine, methionine, carnitine, taurine, choline dan inositol
(Merrit dan Jenks, 2004; Dinsdale dan Ward, 2010).
Susu formula kacang kedelai dapat digunakan pada keadaan alergi susu, diare
akibat intoleransi laktosa, galaktosemia, pengganti susu sapi pada vegetarian,
terapi gangguan saluran pencernaan seperti kembung, muntah, dan sebagainya
(Bhatia dan Greer, 2008). Menurut Australian College of Pediatrics, terdapat
perbedaan nutrisi bila dibandingkan dengan susu sapi, dimana lebih rendah kadar
protein, vitamin, ion dan mineral serta membutuhkan kalori lebih banyak pada
bayi yang menggunakan susu formula kacang kedelai, tetapi penelitian yang
dilakukan oleh Fomon dan Zeigler di University of Iowa, menyatakan
kebalikannya, tidak terdapat perbedaan, baik yang diberikan susu sapi maupun
yang diberikan susu formula kacang kedelai (Merrit dan Jenks, 2004).
Kacang kedelai (glycine max) termasuk dalam keluarga Leguminosae
(kacang-kacangan).
Kandungan
kacang
kedelai
terdiri
dari
flavonoid,
isoflavonoid, asam phenolic, phytoalexin, phytosterol, protein dan saponin, selain
itu juga mengandung folat, vitamin B2 dan K, magnesium, besi, omega 3,
xxiii
kalsium, mangan, serat dan sebagainya. Kacang kedelai terutama mengandung
isoflavon, yang merupakan salah satu senyawa fitokimia. Isoflavon primer dari
kacang kedelai adalah genistein (paling banyak dijumpai), genistin, daidzein,
sedangkan glycitein, glycoside dan glycitin ada dalam jumlah yang lebih kecil.
Isoflavon mempunyai struktur kimia menyerupai estrogen. Isoflavon dapat
bergabung dengan reseptor estrogen dan mempunyai efek seperti estrogen
(agonis) atau dapat pula bersifat berlawanan (antagonis). Isoflavon mengacu pada
fitoestrogen karena ditemukan dari tumbuhan (fito) dan kemampuannya untuk
bereaksi seperti hormon estrogen pada tubuh manusia (Messina, 2001).
Perubahan hormonal seperti peningkatan kadar estrogen atau penekanan
kadar testosteron terutama pada saat masa fetus akan menyebabkan terjadinya
berbagai kelainan reproduksi, seperti penurunan jumlah sperma, kanker sel
germinal testis, kriptorkismus, hypospadia (Hughes, 2007).
Penelitian yang dilakukan di Iowa, dimana para peserta diberikan susu
formula kacang kedelai dan susu sapi formula kemudian pada usia mencapai 20 –
34 tahun diperiksa maturasi pubertas, menstruasi dan riwayat reproduksi, tinggi
dan berat badannya kemudian dibandingkan antar dua kelompok ini. Hasil
penelitian ini sebagai berikut: pada kelompok yang diberikan susu formula kacang
kedelai didapatkan durasi menstruasi yang lebih panjang dan mempunyai rasa
tidak nyaman atau nyeri selama menstruasi (Strom et al., 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Bernbaum et al.(2008) pada bayi perempuan
usia 6 bulan, diberikan susu formula kacang kedelai dilaporkan terjadi
xxiv
peningkatan maturasi sel vagina sebagai efek dari estrogenik (Dinsdale dan Ward,
2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Adgent (2010) di UK menyatakan pada anak
perempuan yang lebih dini mendapatkan susu formula kacang kedelai
mendapatkan menarche lebih dini dan penelitian lain yang melakukan pemberian
dosis tinggi isoflavon pada anak perempuan, didapatkan hasil perkembangan
payudara yang terlambat (Kim dan Park, 2012).
Tetapi karena penelitian yang menggunakan manusia, memerlukan waktu
pengamatan yang lama, dana yang besar, dipengaruhi oleh lingkungan, dan
mempunyai keterbatasan dalam pengukuran yang bersifat noninvasif, seperti
kadar serum hormon, ukuran dan morfologi organ reproduktif, maka banyak
peneliti yang menggunakan binatang untuk mengetahui lebih jauh efek isoflavon
terhadap manusia (Dinsdale dan Ward, 2010).
Penelitian yang menggunakan tikus betina yang diberikan genistin secara
oral, genistein secara oral dan subkutan, didapatkan hasil ketiga-tiganya terdapat
kenaikan berat basah uterin dan gen menjadi lebih responsif terhadap estrogen dan
laktoferrin. Khusus untuk pemberian genistin secara oral juga didapatkan
peningkatan folikel multioosit pada ovarium, perlambatan pembukaan vaginal,
penurunan kesuburan, keterlambatan nifas (Dinsdale dan Ward, 2010).
Pada penelitian dengan melakukan aromatase knockout pada tikus jantan,
sehingga tikus tersebut tidak dapat mensintesis estrogen endogen, kemudian
diberikan isoflavon, ditemukan tidak terjadi kelainan spermatogenesis pada
xxv
kelompok yang diberikan isoflavon dibandingkan dengan yang tidak diberikan
asupan isoflavon (Robertson et al., 2002).
Kemudian penelitian lain yang juga menggunakan tikus jantan dewasa yang
diberikan isolat isoflavon, didapatkan adanya penurunan kadar hormon
testosteron, penurunan berat testis, penurunan diameter tubulus seminiferus dan
penurunan spermatogenesis. Penelitian lain yang menggunakan bayi tikus jantan
dengan memberikan genistein baik secara oral maupun subkutan, didapatkan hasil
yang tidak konsisten terhadap serum FSH, LH dan testosteron (Dinsdale dan
Ward, 2010).
Akhir-akhir ini, fitoestrogen banyak menarik perhatian masyarakat dan
banyak penelitian yang mempelajari keuntungan dari fitoestrogen yang baik untuk
kesehatan, namun karena mempunyai efek seperti estrogen, maka perlu juga untuk
dipelajari lebih lanjut terutama apabila diberikan sejak sedini mungkin. Penting
untuk mengetahui kapan waktu terpapar memberikan efek pada kesehatan dan
berapa lama pemaparan dapat mempengaruhi perkembangan organ-organ tubuh,
terutama dalam perkembangan organ reproduksi (Dinsdale dan Ward, 2010).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan
menggunakan susu formula kacang kedelai yang banyak dipakai di Indonesia
diberikan pada bayi tikus putih jantan untuk mengetahui efek dari susu formula
tersebut pada kadar hormon estrogen dan testosteron.
xxvi
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah penelitian
sebagai berikut:
1. Apakah pemberian susu formula kacang kedelai meningkatkan kadar hormon
estrogen pada bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan?
2. Apakah pemberian susu formula kacang kedelai menurunkan kadar hormon
testosteron pada bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui efek pemberian susu formula kacang kedelai terhadap
kadar hormonal pada bayi tikus putih galur Wistar jantan.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk membuktikan pemberian susu formula kacang kedelai meningkatkan
kadar hormon estrogen pada bayi tikus putih galur Wistar jantan.
2. Untuk membuktikan pemberian susu formula kacang kedelai menurunkan
kadar hormon testosteron pada bayi tikus putih galur Wistar jantan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Ilmiah
1. Untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai pemberian susu formula kacang
kedelai meningkatkan kadar hormon estrogen pada bayi tikus putih galur
Wistar jantan.
xxvii
2. Untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai pemberian susu formula kacang
kedelai menurunkan kadar hormon testosteron pada bayi tikus putih galur
Wistar jantan.
3. Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut pada manusia.
1.4.2
Manfaat Praktis
Diharapkan dapat menjadi dasar pengkajian ulang bagi masyarakat luas,
apabila diketahui pemberian susu formula kacang kedelai meningkatkan kadar
hormon estrogen dan menurunkan kadar hormon testosteron.
xxviii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANTI-AGING MEDICINE (AAM)
Anti-Aging
Medicine
(AAM)
adalah
bagian
ilmu
kedokteran
yang
menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk
melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan
semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan
penuaan, dengan tujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat
(Pangkahila, 2011).
2.1.1 Konsep Dasar AAM
Ilmu Kedokteran Anti-Aging Medicine (AAM) telah membawa konsep baru
yang menyebabkan perubahan paradigma dalam dunia kedokteran. Pertama,
penuaan dianggap sebagai suatu penyakit, sehingga dapat dicegah, diobati, bahkan
dikembalikan ke keadaan seperti waktu muda. Kedua, manusia bukanlah orang
hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya. Ketiga, manusia mengalami
keluhan atau ada gejala penuaan karena level hormonnya menurun, bukan
sebaliknya, level hormon menurun karena manusia menjadi tua. Bila berbagai
faktor penyebab dapat dihindari, maka proses penuaan dapat dicegah,
diperlambat, bahkan dapat dihambat, sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan
sehingga usia harapan hidup. Dalam upaya memperlambat proses penuaan
tersebut, maka sebaiknya dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin,
xxix
10
sehingga fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan tetap optimal, dengan
demikian kualitas hidup seseorang menjadi lebih baik (Pangkahila, 2011).
2.1.2 Teori Proses Penuaan
Banyak teori yang berusaha menjelaskan proses penuaan dan dalam
perkembangannya timbul berbagai macam teori-teori yang berusaha menjelaskan
hal tersebut (Stuckelberger, 2008).
Pada dasarnya, teori proses penuaan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori
pakai dan rusak (wear and tear theory) dan teori program (Pangkahila, 2011).
2.1.2.1 Teori pakai dan rusak
Prinsipnya teori pakai dan rusak menyatakan tubuh menjadi lemah kemudian
meninggal sebagai akibat dari terlalu sering digunakan dan disalahgunakan.
Penyalahgunaan organ tubuh dapat membuat kerusakan organ lebih cepat dari
waktu sebenarnya. Kerusakan terjadi dalam sel sampai organ. Pada usia muda,
kerusakan yang terjadi dapat diatasi atau dikompensasi karena sistem perbaikan
dan pemeliharan yang masih baik tetapi seiring dengan bertambahnya umur,
tubuh mulai kehilangan kemampuan tersebut Teori ini meyakini dengan
pemberian suplemen dan pengobatan yang tepat dapat membantu mengembalikan
proses penuaan dengan cara merangsang kemampuan tubuh untuk memperbaiki
dan mempertahankan organ tubuh. Teori pakai dan rusak terdiri dari kerusakan
DNA, glikosilasi, dan radikal bebas.
2.1.2.2 Teori Program
Teori ini meyakini dalam tubuh manusia terdapat jam biologik, yang dimulai
dari proses konsepsi sampai kematian sebagai suatu hal yang sudah terprogram.
xxx
Program ini dimulai dari sel sampai embrio, janin, masa bayi, kanak-kanak,
remaja, dewasa dan menjadi tua sampai akhirnya meninggal. Teori ini terdiri dari
teori terbatasnya replikasi sel, proses imun, dan teori hormon.
2.1.3
Faktor yang mempercepat penuaan
Faktor-faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003)
yaitu:
1) Faktor lingkungan
a. Pencemaran lingkungan, misalnya: bahan-bahan polutan dan kimia
sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga akan
mempercepat penuaan.
b. Pencemaran lingkungan dengan suara bising. Ternyata suara bising
mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan mampu menyebabkan
apoptosis di berbagai jaringan tubuh.
c. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih
akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan
kekebalan.
d. Pemakaian obat-obat/jamu yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan
turunnya kadar hormon tubuh baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui mekanisme umpan balik hormonal.
e. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit
dengan cara menghilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit.
xxxi
2) Faktor diet/makanan
Jumlah nutrisi yang cukup, jenis, dan kualitas makanan yang tidak
menggunakan pengawet, pewarna, perasa dari bahan kimia terlarang. Zat
beracun di dalam makanan tersebut dapat menimbulkan kerusakan berbagai
organ tubuh, antara lain organ hati.
3) Faktor genetik
Genetik seseorang sangat ditentukan oleh genetik orang tuanya. Tetapi faktor
genetik ternyata dapat berubah karena infeksi virus, radiasi, dan zat racun
dalam makanan/minuman/kulit yang diserap oleh tubuh.
4) Faktor psikik
Faktor stres mampu memacu proses apoptosis di berbagai organ/jaringan
tubuh.
5) Faktor organik
Secara umum, faktor organik adalah : rendahnya kebugaran/fitness, pola
makan kurang sehat, penurunan GH dan IGF-I, penurunan testosteron,
penurunan melatonin secara konstan setelah usia 30 tahun dan menyebabkan
gangguan circandian clock (ritme harian) selanjutnya kulit dan rambut akan
berkurang pigmentasinya dan terjadi pula gangguan tidur, peningkatan
prolaktin yang sejalan dengan perubahan emosi dan stress, perubahan Follicle
Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH).
xxxii
2.2 FISOLOGI SISTEM REPRODUKSI PADA LAKI-LAKI
2.2.1 Hormon Seks Steroid pada Laki-laki
Hormon-hormon steroid seks yang terpenting dalam reproduksi pada laki-laki
adalah : testosteron, dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Hormon seks pada
laki-laki adalah androgen. Hormon testosteron merupakan hormon androgen
utama. Testosteron merupakan sebuah hormon steroid dari kelompok androgen
yang dapat ditemukan pada mamalia, reptil, burung, dan vertebrata yang lain
(Braunstein, 2011).
Testosteron pada umumnya dikaitkan dengan aspek seksual dan reproduksi
dalam hidup manusia. Meskipun ini benar, tetapi tidak berarti testosteron hanya
berfungsi pada sistem seksual dan reproduksi, selain itu juga pada otak, tulang,
otot, lemak, sistem hematopoesis, dan sistem imun (Sherwood, 2011).
Hormon testosteron 95% dihasilkan oleh sel Leydig dalam testis dan 5%
dihasilkan oleh kortex adrenal pada laki-laki. Hormon seks wanita dalam jumlah
kecil ditemukan juga pada laki-laki dan sebaliknya hormon seks laki-laki dijumpai
dalam jumlah kecil pada wanita (Baziad, 2002; Braunstein, 2011).
Testis juga mengsekresi sebagian kecil dari DHT yang merupakan androgen
poten dan dehidroepiandrosteron (DHEA) yang merupakan androgen lemah.
Selain itu, sel Leydig juga mengsekresi sebagian kecil dari estradiol, estrone,
pregnenolon, progesteron, 17α-hidroksipregnenolon, dan 17α-hidroksiprogesteron
(Braunstein, 2011).
xxxiii
Gambar 2.1 Jalur Biosintesis Androgen dan Estrogen (Straus III, 2009)
Keterangan gambar :
3βHSD = 3β-hidroksisteroid dehidrogenase;17βHSD =17β- hidroksi streoid
oksidorektase
Dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol bukan hanya dihasilkan dari testis,
tetapi juga dapat dihasilkan dari konversi di jaringan perifer dari androgen dan
prekursor estrogen yang disekresi baik oleh testis maupun adrenal (Braunstein,
2011).
Testosteron yang dihasilkan oleh testis akan disekresikan ke dalam darah,
dimana 98% berikatan dengan protein plasma, yaitu: dengan sex hormone-binding
protein (SHBG) (40%) atau dengan albumin (48%), dan 2% sisanya tidak
berikatan dalam plasma dan bebas untuk masuk dalam sel dan mempunyai efek
metabolik. SHBG disintesis di dalam hepar. Kadarnya dapat meningkat oleh
pengaruh estrogen, tamoxifen, fenitoin, hormon tiroid, keadaan hipertiroidism dan
sirosis, sedangkan kadarnya menurun apabila terdapat pengaruh androgen
xxxiv
eksogen, glukokortikoid, growth hormone (GH), keadaan hipotiroidism,
akromegali, obesitas dan hiperinsulinemia (Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011).
Testis hanya mengsekresikan 25% estradiol. Estradiol terutama dihasilkan
dari konversi perifer dari testosteron dan androstenedione. Estrogen membantu
mengatur sekresi Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) dan LH. Konversi
perifer dari testosteron oleh 5-alfa-reduktase menghasilkan DHT, suatu hormon
androgen yang juga poten, bekerja pada jaringan spesifik. Kebanyakan testosteron
yang tidak terikat pada jaringan, akan diubah terutama oleh hepar menjadi
bermacam-macam metabolit, seperti androsteron dan etiocholanolon, yang setelah
berkonjungasi dengan glukoronid dan sulfat dikeluarkan melalui urin dalam
bentuk 17-ketosteroid. Namun, hanya 20-30% dari 17-ketosteroid urin berasal
dari metabolisme testosteron, sisanya berasal dari metabolisme steroid adrenal,
sehingga hal ini tidak dapat dipakai untuk mengukur sekresi steroid dari testis
(McCance dan Huether, 2006; Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011).
Pada sel target androgen, testosteron secara enzimatik dikonversi menjadi
DHT oleh isoenzim mikrosomal 5α-reduktase-2 pada pH ± 5,5, sedangkan
isoenzim lain 5α-reduktase-1 bekerja pada kulit dengan sekitar pH 8,0, tetapi tidak
aktif pada traktus urogenital. Setelah itu, DHT dan testosteron akan berikatan
dengan reseptor protein spesifik di intraseluler. Gen yang mengkode protein ini
berada pada kromosom X. Ketika testosteron atau DHT berikatan dengan
reseptor, terjadi perubahan sehingga dapat terjadi translokasi ke dalam nukleus
berikatan dengan importins (Rn). Di dalam nukleus, kompleks reseptor androgen
berikatan dengan elemen respon androgen di DNA sehingga mengaktivasi proses
xxxv
transkripsi. Hasil ini kemudian disintesis oleh messenger RNA (mRNA),
kemudian di transport ke sitoplasma, dimana terjadi sintesis protein baru dan
terjadi respon androgen (Braunstein, 2011).
Gambar 2.2 Mekanisme kerja androgen (Braunstein, 2011)
Keterangan Gambar :
DHT = Dehidrotestosteron; m RNA = messenger RNA; Rc, reseptor inaktif; Rn,
resptor nukleus aktif; T = Testosteron
Estrogen pada laki-laki dihasilkan dari aromatisasi testosteron dan oleh sel
Leydig, dan sel germinal. Apabila dibandingkan dengan sel Leydig, maka sel
germinal lebih banyak memproduksi estrogen. Konsentrasi tinggi estrogen berada
dalam cairan testis dan seminal, sebagai hasil dari konversi tetosteron menjadi
estradiol melalui mekanisme aromatisasi sitokrom P450 yang terdapat pada testis,
selain itu juga terdapat dalam jumlah tinggi di sistem limfatik dan darah tepi
sebagai hasil dari sel Leydig dan sel germinal. Pada laki-laki, jumlah kadar
estrogen berada dalam konsentrasi kecil dalam darah tepi sekitar 2 – 180 pg/ml.
Konsentrasi estrogen tinggi pada vena testicular dan pembuluh limfenya, serta
tinggi pada sistem reproduksi, tinggi pada semen dan cairan testis. Ada 3 jenis
xxxvi
estrogen utama di dalam tubuh, yaitu: estron (E4), estradiol (E2), yang merupakan
estrogen paling kuat dan estriol (E3) (Hess, 2003; Pangkahila, 2011).
Pada laki-laki, estrogen bekerja berkoordinasi dengan hormon-hormon
androgen, tetapi dapat juga berfungsi secara independen menghasilkan efek antiandrogenik. Efek fisiologik testosteron merupakan gabungan efek testesteron
dengan estrogen, namun efek androgeniknya lebih dominan karena rasio androgen
dengan estrogen sangat tinggi (250:1). Penurunan rasio androgen : estrogen
plasma akan mengakibatkan timbulnya gejala feminisasi (genikomastia) (Kumar,
2013).
2.2.2 Struktur Testosteron
Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol
dengan nama sistematik (memakai sistem IUPAC) : (8R,9S,10R,13S,14S,17S)17-hydroxy-10,13-dimethyl-1,2,6,7,8,9,11,12,14,15,16,17
dodecahydrocyclopenta[a]phe nanthren-3-one (Braunstein, 2011).
Gambar 2.3 Struktur Testosteron (Braunstein, 2011)
2.2.3 Struktur Estrogen
Estrogen adalah hormon steroid dengan 18 atom C dan dibentuk terutama dari
17-ketosteroid androstenedion. Estrogen dibagi menjadi dua jenis, yaitu estrogen
xxxvii
alamiah dan sintetik. Jenis estrogen alamiah yang terpenting adalah estradiol (E2),
estriol (E3) dan estron (E4). Untuk penghantaran dalam darah estrogen diikat oleh
protein yang khas, yaitu SHBG. Estrogen baru dapat bekerja secara aktif setelah
terlebih dahulu diubah menjadi estradiol (Baziad, 2002).
Gambar 2.4 Struktur Estrogen ( Baziad, 2002)
2.2.4 Kontrol Fungsi Testosteron
Regulasi dari produksi androgen dan spermatogenesis diatur oleh sistem
kompleks mekanisme umpan balik, dimana terlibat sistem saraf pusat
ekstrahipothalamus, hipothalamus, hipofise anterior, testis, dan androgensenstive
ends organs. Terlibatnya sistem saraf pusat ekstrahipothalamus dapat berupa stres
fisiologik dan psikologis. Dalam hipothalamus, neurotransmiter akan meregulasi
sintesis dan pelepasan pulsasi GnRH, yang dilakukan setiap 3 jam masuk dalam
vena portal hipofise. Setelah mencapai hipofise anterior, maka GnRH akan
merangsang sekresi LH dan FSH. LH mempengaruhi sel Leydig yang berikatan
dengan reseptor spesifik membran dan menyebabkan sekresi testosteron. Sebagai
inhibisi, peningkatan kadar androgen akan menghambat sekresi LH dari hipofise
anterior melalui efek langsung pada hipofise dan hipothalamus. Hipothalamus dan
hipofise mempunyai reseptor androgen dan estrogen. Efek inhibisi terutama yang
diperantarai oleh estradiol yang dihasilkan dari aromatisasi testosteron. FSH
berikatan dengan reseptor spesifik pada sel-sel Sertoli di tubulus seminiferus dan
xxxviii
merangsang pembentukan Androgen Binding Protein (ABP). FSH mempengaruhi
tubulus seminiferus sel Sertoli untuk merangsang terjadinya spermatogenesis.
Sekresi FSH dihambat oleh inhibin yang dihasilkan oleh sel Sertoli. Begitu juga
yang terjadi pada LH, sekresi LH akan dihambat oleh inhibin yang dihasilkan oleh
sel Leydig (McCance dan Huether, 2006; Pangkahila, 2011).
Gambar 2.5 Aksis Hipothalamus – Hipofise Anterior – Testis
(Mc.Cance dan Huether, 2006)
Keterangan gambar:
E2 = Estrogen; T = Testosteron
Fungsi testis dikontrol oleh 2 hormon gonadotropik yang disekresikan oleh
hipofisis anterior yaitu: LH dan FSH. Kedua hormon ini bekerja pada bagian testis
yang berbeda. LH bekerja pada sel Leydig (intersisial) untuk mensekresi
xxxix
testosteron, sedangkan FSH bekerja pada tubulus seminiferus sel Sertoli yang
berpengaruh terhadap spermatogenesis (Sherwood, 2011).
2.2.5 Pengukuran Hormon Steroid pada Laki-laki
Semua pengukuran steroid gonadal harus dilakukan dengan pemeriksaan
khusus. Pada individu normal, terjadi peningkatan serum testosteron pada pagi
hari, karena itu sebaiknya pengambilan sampel darah sebaiknya dilakukan tiga
kali dengan interval 20 – 40 menit pada pagi hari. Pada laki-laki, produksi hormon
seks tergantung dari variasi diurnal (Hess, 2003; Braunstein, 2011; Pangkahila,
2011; Sherwood, 2013).
Gambar 2.6 Kadar Testosteron (T) pada Laki-laki Muda dalam 24 jam
(Mc.Cance dan Huether, 2006)
Kadar Testosteron puncak terlihat pada pagi hari, sekitar 20-30% lebih tinggi
kadarnya dari pada malam hari (Kumar, 2013).
Pengukuran immunoassays testosteron dan estrogen mengukur konsentrasi
kadar total serum. Metode yang dipercaya adalah dengan immunoassays spesifik
xl
dikuti ekstraksi dari serum atau gas chromatography (GC) atau dengan liquid
chromatography (LC) digabung dengan spektroskopi (Braunstein, 2011).
Tabel 2.1
Kadar Hormon Normal pada Laki-laki Dewasa (Braunstein, 2011)
Hormon
Testosteron, total
Testosterone, free
Dihidrostenedione
Androstenedione
Estradiol
Estrone
Batas Normal
260 – 1000 ng/dL ( 9,0 – 34,7 nmol/L)
50 – 210 pg/mL ( 173 – 729 pmol/L)
27 – 75 ng/dL ( 0,9 – 2,6 nmol/L)
50 – 250 ng/dL (1,7 – 8,5 nmol/L)
10 – 50 pg/mL (3,67 – 18,35 pmol/L)
15 – 65 pg/mL ( 55,5 – 240 pmol/L)
Nilai normal kadar hormon tetosteron total pada laki-laki berviariasi antara
241 – 827 ng/dl, yang diukur pada pagi hari. Apabila terjadi penurunan dibawah
500 ng/dl sudah menimbulkan gejala defisiensi. Pada anak-anak, baik anak lakilaki maupun anak permpuan kadar testosteron berkisar antara 5 ng/dl, yang akan
meningkat sesuai dengan umurnya. Anak perempuan bila mencapai usia 10 – 15,
kadar testosteronya dapat mencapai kira-kira 15 – 35 ng/dl. Pada saat anak
perempuan berusia mencapai 17 tahun meningkat sedikit menjadi 20 – 38 ng/dl,
dan pada awal usia 20 tahun normal kadar testosteron total terendah antara 6 – 24
ng/dl dan batas tertinggi 47 – 86 ng/dl.
Kadar estrogen pada anak laki-laki berkisar antara 5 – 20 pg/ml, dan laki-laki
pada usia dewasa kadar normalnya berkisar antara 8 – 43 pg/ml. Kadar normal
pada anak perempuan antara 6 – 27 pg/ml. Pada wanita dewasa kadar estrogen
bervariasi tergantung pada fasenya. Pada fase folikular mencapai 13 – 166 pg/ml,
pada fase ovulasi 86 – 498 pg/ml, pada fase luteal 44 – 211 pg/ml. Menjelang
kehamilan, pada saat trisemester pertama mencapai 38 – 3175 pg/ml. Pada
xli
trisemester kedua 678 – 16633 pg/ml dan saat trisemester ketiga mencapai 43 –
33781 pg/ml. Pada saat menopause, kadar estrogen akan menurun <5 – 55 pg/ml
(Ryan, 2007).
2.2.6 Efek dan Fungsi Hormon Seks Steroid pada Laki-laki
Androgen dihasilkan dalam jumlah yang sedikit pada keadaan sebelum
pubertas, kemudian jumlahnya meningkat tinggi pada saat pubertas untuk
perkembangan organ seksual. Pada saat pubertas, androgen akan merangsang
pertumbuhan skrotum, epididimis, vas deferens, vesika semilunaris, prostat, dan
penis (Braunstein, 2011).
Sebelum pubertas, perkembangan dari payudara laki-laki sama dengan
payudara perempuan, tetapi saat pubertas dimana kadar estrogen dan progesteron
yang tidak tinggi menyebabkan payudara laki-laki tidak berkembang lebih jauh.
Normal, payudara laki-laki ukurannya kecil, mempunyai nipple yang tidak
berkembang, strukturnya terdiri dari lemak, jaringan fibrosa dan mempunyai
struktur menyerupai duktus di daerah subareolar. Pada laki-laki gemuk, payudara
bisa menjadi lebih besar disebabkan karena terjadi penumpukan jaringan lemak.
Pada saat pubertas, bila seorang laki-laki mengalami ginekomastia, hal ini bisa
disebabkan karena gangguan fluktuasi hormon, salah satunya peningkatan
estrogen (McCance dan Huether, 2006; Rhen dan Cidlowski, 2009).
xlii
2.2.6.1 Efek dan Fungsi Testosteron
Efek dari testosteron adalah (Sherwood, 2013):
1. Efek sebelum dilahirkan
Sebelum lahir, testosteron mempunyai efek maskulinisasi sistem
reproduktif, dan genitalia ekternal, serta memfasilitasi penurunan testis
masuk dalam skrotum.
2. Efek pada jaringan seks spesifik setelah dilahirkan
Masa pubertas adalah masa di mana terjadi maturasi dari sistem
reproduktif yang sebelumnya non fungsional untuk mencapai puncaknya
dan mempunyai kemampuan untuk bereproduksi. Biasanya dimulai pada
usia 10-14 tahun. Pada masa pubertas, sel Leydig sekali lagi mulai
mensekresi testosteron. Testosteron inilah yang bertanggung jawab untuk
pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem reproduksi laki-laki. Di
bawah pengaruh sekresi testosteron, terjadi pembesaran testis dan
dimulailah produksi sperma untuk pertama kalinya, terjadi pembesaran
glandula seksual aksesoris, dan pembesaran penis serta skrotum. Setelah
masa pubertas, sekresi testosteron dan spermatogenesis terjadi secara
terus-menerus seumur hidup seorang laki-laki, meskipun produksinya akan
berkurang secara bertahap setelah umur 45 atau 50 tahun ke atas.
3. Efek lain yang berkaitan dengan sistem reproduksi
Testosteron membantu perkembangan libido dan mempertahankan libido
pada laki-laki dewasa, namun pada manusia, libido juga dipengaruhi oleh
interaksi sosial dan faktor emosional. Testosteron juga membantu
xliii
mengkontrol sekresi hormon gonadotropin dari hipofise anterior, sebagai
mekanisme umpan balik.
4. Efek pada karakteristik seksual sekunder
Testosteron mempengaruhi pertumbuhan rambut pola laki-laki (contoh:
rambut janggut, dada, perut dan punggung) dan pertambuhan rambut
ambisexual (contoh: pada axilla dan pubis), meningkatkan aktivitas
galndula sebasea, perubahan suara yang lebih rendah akibat dari
pembesaran laring dan penebalan pita suara, dan bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan otot (massa dan kekuatan otot) untuk konfigurasi
tubuh laki-laki.
5. Efek pada aksi non reproduktif
Testosteron mempunyai efek protein anabolik, menstimulasi pertumbuhan
tulang pada saat pubertas, mempunyai peranan dalam mempertahankan
integritas dan densitas tulang, penutupan dasar kartilago epifise setelah
dikonversi membentuk estrogen melalui aromatase, membantu produksi
sel darah merah, meningkatkan energi, dan membantu fungsi kognitif.
2.2.6.2 Efek dan Fungsi Estrogen
Walaupun estrogen dianggap sebagai hormon perempuan, ternyata hormon
ini ada di kedua jenis kelamin. Estrogen pada laki-laki mempunyai peranan dalam
proses fertilitas. Pada testis, estradiol mempunyai peranan membantu fungsi testis.
Estradiol bila bekerja sendiri, tidak mampu menstimulasi steroidogenesis sel
Leydig. Estrogen pada proses perkembangan testis, mempunyai kemampuan
untuk membangun fungsi sel Sertoli dan membantu adesi sel Sertoli dan germinal.
xliv
Selain itu, estradiol bertanggung jawab untuk inisiasi spermatogenesis atau
pembentukan dan maturasi sperma pada laki-laki. Estrogen juga mempunyai
peranan pada duktus efferent yang membawa sperma dari testis ke epididimis.
Duktus efferent mempunyai fungsi utama untuk reabsorpsi lebih dari 90% cairan
testis sehingga terjadi pemekatan sperma untuk memasuki lumen epididimis.
Estrogen juga mempunyai peranan membantu kekuatan tulang, maturasi seksual
dan metabolisme kolesterol (Hess, 2003).
Gambar 2.7 Sumber dan Target Estrogen (Hess, 2003)
Keterangan Gambar:
E2=Estradiol; Sel Leydig = LC; Sel Germinal =GC
2.2.7 Defisiensi Androgen
Tanda dan gejala yang timbul apabila terjadi defisiensi androgen sejak usia
kanak-kanak adalah (Kumar, 2013):
1. Berkurangnya pertumbuhan rambut aksila, pubis, fasial dan badan.
2. Rendah atau hilangnya libido.
3. Berkurangnya kekuatan otot ketika dibandingkan dengan orang sebayanya.
4. Kegagalan lonjakan pertumbuhan/ growth spurt pada usia pubertas
5. Suara yang nyaring/ tinggi.
6. Testis, skrotum dan penis yang kecil.
xlv
2.2.8 Reseptor Estrogen (RE)
Beberapa sel atau jaringan tidak sensitif terhadap hormon steroid karena
kurangnya reseptor yang sesuai, sebaliknya beberapa sel atau jaringan yang
mempunyai reseptor dalam jumlah besar menjadi lebih sensitif terhadap hormon
dalam konsentrasi kecil. Sebagai tambahan, respon suatu hormon tergantung dari
regulasi reseptor yang meningkat atau menurun. Efek biologik dari estrogen
awalnya dipercaya diperantarai oleh reseptor tunggal, yaitu: reseptor estrogen α
(RE α) sampai didapatkan adanya reseptor kedua, reseptor estrogen β (RE β). RE
α dan RE β diproduksi oleh gen yang berbeda. Kedua RE ini terdapat pada
beragam jaringan mamalia, namun terdapat perbedaan distribusinya. Efek dari
hormon estrogen diperantarai oleh RE α dan RE β. Kedua reseptor ini mempunyai
peranan dalam signal estrogen dan gen yang mengkode RE α dan RE β akan
diekspresikan pada jaringan yang berbeda. RE α banyak terdapat pada uterus, dan
dalam jumlah sedikit terdeteksi pada ovarium, sel Leydig dari testis, glandula
mammae perempuan, tulang, dan hipotalamus. Ekspresi RE β paling tinggi
dijumpai pada sel granulosa ovarium, traktus gastrointestinal, kemudian dalam
jumlah sedikit sampai sedang pada organ sperma, prostat, epididimis, glandula
mammae perempuan, hipotalamus, dan hipofise (Rhen dan Cidlowski, 2009; Kim
dan Park, 2012).
xlvi
Tabel 2.2
Pola Jaringan dari Reseptor Estrogen α (RE α) dan Reseptor Estrogen β (RE β)
pada Tikus Jantan
(Rhen dan Cidlowski, 2009)
RE α
+++
+
+++
Jaringan
Epididimis
Prostat
Testis
Keterangan
: + = rendah
RE β
+
+++
+
; ++ = sedang; +++ = tinggi
Pada laki-laki, RE terdapat pada jaringan epididimis, epitel duktus efferent,
testis, dan prostat. Pada epididimis yang terbanyak adalah RE α. Pada testis lebih
banyak dijumpai RE β yang ditemukan hampir pada semua tipe sel dari
interstisium dan tubulus seminiferus, sedangkan RE α hanya ditemukan pada
interstisium. Selain pada testis, RE β juga ditemukan duktus efferent, prostat dan
di epididimis. Namun, fungsi dari RE β dalam sistem reproduktif laki-laki sampai
sekarang masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Hess, 2003).
2.3 SUSU SAPI FORMULA
Susu sapi formula adalah sumber protein hewani berbentuk cair, yang
diharapkan dapat dengan mudah dicerna oleh usus. Walaupun ASI dipandang
lebih unggul dibandingkan susu sapi formula, tetapi kenyataannya banyak bayi
mendapatkan susu sapi formula sejak lahir. Pada kondisi tertentu, susu formula
diperlukan untuk mengganti peran ASI pada bayi. Susu formula diberikan bila ibu
dalam keadaan sakit dan tidak dapat menyusui bayinya, atau bila ASI yang di
produksi sangat sedikit hingga tidak mencukupi kebutuhan bayi. Pola perubahan
sosial dan budaya juga ikut berperan mendorong pemberian susu sapi formula.
Beberapa orang menganggap penambahan berat dan kehilangan tonus payudara
xlvii
menjadi tidak menarik lagi sehingga menjadikan susu sapi formula sebagai
alternatif pemberian. Apapun alasan yang ada, sekarang pemberian susu sapi
formula menjadi bahan pertimbangan ( Barness dan Curran, 2000; Kurniasih et
al., 2010; Judarwanto, 2011).
Susu sapi murni atau bentuk modifikasinya merupakan dasar pada
kebanyakan susu sapi formula, walau ada juga terdapat susu lain yang tersedia
bagi bayi yang tidak dapat mentoleransi susu sapi formula tersebut. Sterilisasi dan
pendinginan susu formula sangat mengurangi morbiditas dan mortalitas infeksi
gastrointestinal. Pengelolahan susu, termasuk pemasakan sederhana di rumah
sampai teknik pasteurisasi dapat mengubah kasein menjadi kecil dan bentuk dadih
sehingga
mudah
dicerna
dalam
lambung
sehingga
diharapkan
dapat
menghilangkan penyebab utama protein susu sapi yang tidak mudah dicerna
(Barness dan Curran, 2000).
Susu sapi formula saat ini umumnya memiliki komposisi mikronutrien
(vitamin dan mineral), makronutrien (protein, lemak, karbohidrat) untuk
membantu pertumbuhan, prebiotik serta probiotik untuk mempertahankan fungsi
saluran cerna, asam linolenat dan asam linoleat sebagai asam lemak essential,
phosphatidilkolin yang berperan sebagai bahan penting dalam membran sel.
Setiap 100 gr susu sapi formula mengandung 70,5 kkal dengan protein sebanyak
3,4 gr, lemak 3,7 gr dan mikronutrien (Judarwanto, 2011).
Kebutuhan kalori bayi cukup bulan rata-rata sekitar 45-55 kkal/lb atau 80-120
kkal/kg selama beberapa bulan pertama. Kebutuhan cairan selama masa bayi
tinggi, sekitar 2-3oz/lb/24 jam atau 130-190 ml/kg/24 jam untuk usia 6 bulan
xlviii
pertama dan dapat meningkat apabila cuaca panas. Interval pemberian makanan
bervariasi antar bayi, tetapi umumnya berkisar antara 3-5 jam selama 1 tahun
pertama. Jumlah susu yang dihabiskan setiap minum akan bertambah disesuaikan
dengan kebutuhan pola aktivitas harian (Barness dan Curran, 2000).
Susu sapi formula mengandung komposisi laktosa, minyak nabati, bubuk
whey terdemineralisasi, susu skim, maltodekstrin, konsentrat whey protein yang
diperkaya alfa laktalbumin, lemak susu, AA, DHA, susu butter, natrium kaseinat,
laktulosa, laktoferin, taurin, nukleotida, mineral dan vitamin (Barness dan Curran,
2000).
2.4 PENYAKIT ALERGI SUSU SAPI (ASS)
Penyakit ASS adalah penyakit berdasarkan reaksi imunologis, yang timbul
setelah pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung produk susu sapi,
dan reaksi ini dapat terjadi segera atau lambat (Munasir dan Siregar, 2010).
Prevalensi ASS diperkirakan sekitar 2-3% pada keseluruhan bayi, dimana
pada anak usia 1 tahun dengan dermatitis atopik, 30-45% disebabkan oleh ASS.
Prevalensi ini menurun mencapai <1% pada anak-anak yang mencapai usia 6
tahun atau yang lebih tua (Vandenplas et al., 2007, Munasir dan Siregar, 2010;
Koletzko et al., 2012).
Pada anak-anak, protein susu sapi merupakan alergen tersering yang
menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Kandungan susu sapi terdapat 20
komponen protein yang dapat merangsang pembentukan antibodi anak. βlaktoglobulin merupakan antigen utama yang ada pada susu sapi, tetapi tidak ada
pada ASI. Kurang lebih 3% anak-anak yang diberi susu sapi alergi terhadap
xlix
antigen ini. Antigen ini dapat melewati barier usus dipengaruhi oleh
immunoglobulin (Ig). Pada neonatus terjadi defisiensi sintesis IgA, tetapi IgA
ini dapat diperoleh dari ibu melalui pemberian ASI (Verhasselt, 2010).
Gejala penyakit ASS timbul 28% pada 3 hari setelah minum susu sapi, 41%
setelah 7 hari, dan 68% timbul setelah 1 bulan. Rata-rata pada usia 6 bulan
pertama. Biasanya reaksi timbul dari beberapa menit sampai 2 jam setelah alergen
tercerna, dan biasanya hal ini disebabkan oleh mediator IgE (reaksi tipe cepat) dan
reaksi tipe lambat dapat timbul dalam 48 jam dan mencapai 1 minggu setelah
dicerna. Organ tubuh yang paling sering terkena adalah sistem gastrointestinal (50
– 60%), kulit (50 – 60%), dan saluran pencernaan (20 – 30%). Bila yang terkena ≥
2 sistem organ tubuh, maka kemungkinan besar adalah ASS (Vandenplas et
al.2007; Koletzko et al.,2012).
Reaksi cepat diperantarai oleh IgE biasanya timbul pada sebagian besar anakanak, dengan gejala utama adalah ruam kulit, eritema peroral, angioedema,
urtikaria dan anafilaksis. Reaksi lambat biasanya bukan diperantarai oleh IgE dan
biasa mengenai saluran cerna berupa kolik, muntah dan diare (Vandenplas et al.,
2007; Munasir dan Siregar, 2010; Koletzko et al, 2012).
Diagnosis ASS harus dengan tes Chalenge atau tes eliminasi provokasi.
Penatalaksanaan ASS apabila diagnosis sudah ditegakkan adalah mengeliminasi
susu sapi dan makanan yang mengandung susu sapi selama 6 – 18 bulan,
kemudian mengganti penggunaan susu sapi formula. Bila gejala menghilang,
maka dapat dicoba provokasi setelah eliminasi selama 6 bulan. Bila gejala tidak
l
timbul, artinya sudah toleran. Bila timbul gejala kembali, maka dilanjutkan
eliminasi kembali sampai 1 tahun (Munasir dan Siregar, 2010).
Penatalaksanaan ASS dilaksanakan apabila diagnosis ASS sudah ditegakkan.
Caranya yaitu dengan melakukan diet eliminasi semua produk susu sapi, termasuk
produk olahannya. Penggunaan susu sapi formula digantikan dengan penggunaan
susu kacang kedelai, susu sapi terhidrolisis atau susu asam amino sintetis. Pada
penderita ASS yang diberi susu formula kacang kedelai, dilaporkan juga terjadi
alergi terhadap susu tersebut sekitar 10-14%, dimana angka kejadiannya paling
sering terjadi pada bayi dibawah 6 bulan. Bila terjadi alergi terhadap susu sapi dan
susu formula kacang kedelai, maka dapat diberikan susu sapi terhidrolisis.
Umumnya bayi akan toleran sekitar umur 3 tahun, 50% pada usia 2 tahun, 60%
pada usia 4 tahun dan 80% pada usia 6 tahun (Munasir dan Siregar, 2010).
Meskipun bayi dengan ASS mempunyai kadar IgE meningkat terhadap susu
sapi, tetapi sebaiknya diberikan susu sapi terhidrolisis atau asam amino sintetis
dibandingkan dengan pemberian susu kacang kedelai, walaupun mempunyai
toleransi yang bagus. Seringkali kesalahan terjadi pada setiap anak yang
mengalami tanda dan gejala alergi dianjurkan untuk menggunakan susu
terhidrolisat sebagian seperti NAN HA®, Nutrilon HA® atau EnfaHA®, padahal
susu tersebut hanya dapat digunakan untuk pencegahan bukan untuk penderita
susu sapi. Sensitisasi terhadap susu kedelai juga dapat ditemukan sekitar 10–14%
pada bayi yang alergi susu sapi, walau jarang dijumpai reaksi anafilaksis berat,
terutama pada bayi (Bhatia dan Greer, 2008).
li
Susu formula kacang kedelai secara signifikan lebih murah dibandingkan
dengan susu sapi terhidrolisis atau asam amino sintetis, tetapi penggunaan susu
formula kacang kedelai ini tidak dianjurkan sebagai terapi utama pada bayi
dibawah 6 bulan. Penggunaan susu formula kacang kedelai sebaiknya juga
dipertimbangkan karena kandungannya yang tinggi phytate, aluminium, dan
fitoestrogen (isoflavon). Penggunaan susu formula kacang kedelai menimbulkan
efek kontroversi, khususnya karena ada kandungan fitoestrogen dan penggunaan
transgenik soya dalam susu formula kacang kedelai, selain juga karena masih
didapatkan kemungkinan alergi kacang kedelai. Tetapi penggunaan susu formula
kacang kedelai dapat dipertimbangkan apabila bayi menolak untuk meminum
susu sapi terhidrolisis atau asam amino sintetis, disebabkan karena rasanya yang
cenderung pahit (Vandenplas et al., 2007; Koletzko et al., 2012).
2.5 KACANG KEDELAI
2.5.1 Kandungan Isoflavon dalam Kacang Kedelai
Kacang kedelai (glycine max) termasuk dalam keluarga Leguminosae
(kacang-kacangan). Tanaman yang mempunyai aktivitas estrogenik dinamakan
dengan fitoestrogen. Fitoestrogen adalah senyawa yang diturunkan dari tanaman
non steroid yang memiliki aktivitas estrogen. Fitoestrogen terdiri dari beberapa
grup yang mengandung estrogen non steroid, yang termasuk di dalamnya adalah
golongan isoflavon (Walsh, 2003).
lii
Gambar 2.8 Klasifikasi Fitoestrogen (Kim dan Park, 2012)
Isoflavon banyak dijumpai pada jenis kacang-kacangan dan terbanyak
didapatkan pada kacang kedelai. Bagian tanaman kedelai yang mengandung
senyawa isoflavon lebih tinggi pada biji kedelai, khususnya pada bagian hipokotil
(germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman. Sebagian lagi terdapat pada kotiledon
yang akan menjadi daun pertama dari tanaman (Walsh, 2003; Cao et al.,2009;
Drake, 2009).
Gambar 2.9 Kacang Kedelai
Isoflavon terdiri atas struktur dasar C6-C3-C6, secara alami disintesa oleh
tumbuh-tumbuhan dan senyawa asam amino aromatik fenilalanin atau tirosin.
Biosintesa tersebut berlangsung bertahap, dan berdasarkan hasil biosintesa
tersebut, maka isoflavon digolongkan sebagai senyawa metabolit sekunder.
liii
Gambar 2.10 Struktur Molekul Daidzein dan Genistein
(Kim dan Park, 2012)
Kandungan isoflavon dalam kacang kedelai berkisar 2 – 4 mg/g kedelai.
Senyawa isoflavon itu, pada umumnya berupa senyawa kompleks atau konjungasi
dengan senyawa ikatan glukosida. Dalam kacang kedelai, isoflavon yang dalam
bentuk glukosida berikatan dengan molekul gula. Fermentasi atau digesti dari
kacang kedelai atau produknya, akan menyebabkan lepasnya molekul gula,
menjadi aglikon. Yang termasuk isoflavon glukosida disebut genistin, daidzin dan
glycitin, sementara yang termasuk aglikon disebut genistein, daidzein, dan
glycitein. Kacang kedelai merupakan sumber isoflavon yang sering dikonsumsi
oleh manusia dan konsentrasi tinggi isoflavon dalam kacang kedelai itu adalah
genistein dan daidzein (Walsh, 2003; Cao et al., 2009; Drake, 2009).
Tabel 2.3
Kandungan Isoflavon Kacang Kedelai (Norris, 2011)
Isoflavon
Genistin
Daidzin
Glycitin
Fermentasi
Genistein
Daidzein
Glycitein
% dari Total
~ 40 %
~ 40%
~ 5 – 10 %
Selain ketiga kandungan yang disebutkan diatas, terdapat juga equol, yang
diproduksi dari daidzin oleh bakteri yang terdapat dalam traktus digestivus. Equol
liv
ini dilaporkan mempunyai aktifitas estrogenik yang lebih kuat daripada daidzein
dan genistein (Norris, 2011).
2.5.2 Metabolisme dan Bioavailabilitas
Efek biologi isoflavon dari kacang kedelai tergantung dari metabolisme, hal
ini tergantung dari aktifitas bakteri yang berada dalam usus halus. Begitu dicerna,
isoflavon akan berubah bentuk menjadi aktif dengan melepasnya glukosida
menjadi aglikon. Selain itu perbedaan individu dalam metabolisme isoflavon juga
mempunyai peranan dalam akitivitas biologik isoflavon (Drake, 2009).
Setelah dicerna, konsentrasi genistein dan daidzein mencapai puncak setelah
5,5 dan 7,4 jam didalam darah. Waktu paruh mereka sekitar 8 jam, artinya 50%
akan hilang setelah 8 jam, 75% setelah 16 jam dan 88% setelah 1 hari. Namun,
bila dikonsumsi setiap hari, maka kadarnya akan tetap berada dalam aliran darah
(Norris, 2011).
2.5.3 Aktivitas Biologik
Kacang kedelai mengandung phytic acid, atau yang lebih dikenal phytate,
yang dapat menghambat absorpsi kalsium, zinc, besi dan magnesium. Tetapi
keuntungan dari terdapatnya phytic acid ini, dapat menghambat terjadinya
peroksidasi lipid, oksidasi besi dalam jaringan colorectal, dan pembentukan batu
kalsium di ginjal (Norris, 2011).
2.5.4 Cara Kerja Isoflavon
Isoflavon mempunyai kemiripan struktur kimia dengan estrogen pada
mamalia. Isoflavon dari kacang kedelai dikenal mempunyai efek estrogenik lemah
atau aktivitas seperti hormon. Cincin fenolat pada isoflavon, yang merupakan
lv
struktur penting pada komponen isoflavon berfungsi untuk berikatan dengan RE,
sehingga mempunyai efek sama (agonis) seperti estrogen pada beberapa jaringan
dan antagonis pada jaringan lain. Isoflavon sebagai senyawa yang menyerupai
estrogen, mengawali kerjanya dengan meniru cara kerja estrogen dan juga bersifat
antiandrogenik. Pada saat kadar estrogen menurun, akan terdapat banyak
kelebihan RE yang tidak terikat, sehingga walau afinitasnya rendah, isoflavon
dapat berikatan dengan reseptor tersebut (Kim dan Park, 2012).
Isoflavon berikatan dengan RE di hipofise anterior mensintesis GnRH untuk
menstimulus sekresi FSH dan LH. LH merangsang sel Leydig menyebabkan
peningkatan sekresi testosteron, yang kemudian akan menghambat sekresi LH.
Hipothalamus dan hipofise mempunyai resptor androgen dan estrogen. Namun
efek inhibisi terutama diperantarai oleh estradiol yang dihasilkan dari aromatisasi
testosteron sehingga menyebabkan sekresi FSH dan sekresi LH menurun. Jika
sekresi LH terhambat, maka pertumbuhan dan pematangan sel Leydig terganggu
sehingga jumlah kadar testosteron akan berkurang. Penurunan sekresi FSH akan
menyebabkan
gangguan
sprematogenesis,
selain
itu
karena
kekurangan
testosteron, maka akan terjadi gangguan pematangan spermatozoa. Seperti yang
diketahui, testosteron berasal dari derivat kolesterol yang akan membentuk
pregnenolon dan asam isocarpoat, dimana pemecahan ini selain dibantu oleh
enzim 20β-hidroksilasi dan 22β-hidroksilasi, juga dibantu oleh LH untuk
meningkatkan aktivitas enzim tersebut. Dengan demikian, jika LH menurun, maka
pemecahan rantai samping menjadi pregnenolon dan asam isocarpoat akan
terganggu dan hasil akhirnya testosteron tidak terbentuk. Selain itu, isoflavon
lvi
menghambat kerja enzim 17-β-hidroksisteroidoksidorektase yang dibutuhkan
untuk sintesis testosteron, sehingga walaupun pregnenolon terbentuk tetapi tidak
dapat dikonversi menjadi testosteron (Drake, 2009; Braunstein, 2011).
Struktur dan fungsi dari genistein dan daidzein menyerupai 17β-estradiol.
Umumnya 17β-estradiol berikatan dengan RE kemudian menyebabkan terjadinya
ekspresi gen dan sintesis protein spesifik, tetapi genistein dan daidzein juga dapat
berikatan dengan RE sehingga dapat mengganggu proses tersebut. Di dalam
serum isoflavon mempunyai kemampuan lebih besar berikatan dengan RE bila
bersaingan dengan estradiol, karena estradiol dapat dengan mudah berikatan
dengan protein serum, seperti α-fetoprotein, sedangkan isoflavon tidak dapat
(Adgent, 2010).
Aktivitas isoflavon tergantung dari konsentrasi estradiol endogen. Di
lingkungan dengan tinggi kadar estradiol menyebabkan isoflavon bereaksi sebagai
estrogen antagonis (inhibitor aktivitas estrogen), pada keadaan sebaliknya, dimana
kadar estrogen yang rendah, isoflavon dapat bekerja sebagai estrogen agonis
(menyerupai estrogen). Afinitas isoflavon dengan RE lebih rendah daripada
dibanding estrogen endogen sel epitel dari jaringan reproduksi seperti: kelenjar
mamae, ovarii, testis (Robertson, 2002; Adgent, 2010).
RE α banyak terdapat pada uterus, dan dalam jumlah sedikit terdeteksi pada
ovarium, sel Leydig dari testis, glandula mammae perempuan, tulang, dan
hipotalamus. Ekspresi RE β paling tinggi dijumpai pada sel granulosa ovarium,
traktus gastrointestinal, kemudian dalam jumlah sedikit sampai sedang pada organ
lvii
sperma, prostat, epididimis, glandula mammae perempuan, hipotalamus, dan
hipofise (Rhen dan Cidlowski, 2009; Kim dan Park, 2012).
Pada laki-laki, RE terdapat pada jaringan epididimis, epitel duktus efferent,
testis, dan prostat. Pada epididimis yang terbanyak adalah RE α. Pada testis lebih
banyak dijumpai RE β yang ditemukan hampir pada semua tipe sel dari
interstisium dan tubulus seminiferus, sedangkan RE α hanya ditemukan pada
interstisium. Selain pada testis, RE β juga ditemukan duktus efferent, prostat dan
di epididimis. Namun, fungsi dari RE β dalam sistem reproduktif laki-laki sampai
sekarang masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Hess, 2003).
Genistein dan daidzein dapat berikatan dengan kedua RE. Afinitas pengikatan
genistein untuk RE β adalah 87%, sementara dengan RE α adalah 4%, sedangkan
untuk afinitas pengikatan daidzein untuk RE α dan RE β adalah 0,5% dan 0,1%.
Walaupun genistein mempunyai potensi lebih rendah daripada estradiol, tetapi
konsentrasi tinggi makanan kacang kedelai merupakan sumber pengganti estrogen
pada wanita perimenopause (Cao et al., 2009; Kim dan Park, 2012).
Genistein selain dapat berikatan dengan RE, juga dapat berikatan secara aktif
dengan SHBG, hampir sama kekuatannya seperti estradiol. Akibat berikatan
dengan SHBG, genistein dapat dibawa masuk kedalam plasma dan meningkatkan
konsentrasi estradiol bebas (Chen dan Rogan, 2004).
Isoflavon juga dapat bekerja melalui mekanisme non-hormonal, yaitu:
melalui inhibisi tirosin kinase yang berperan dalam proliferasi sel sehingga
menyebabkan pertumbuhan terhambat dan terjadi apoptosis, sebagai tambahan
lviii
isoflavon juga mempunyai efek sebagai antioksidan (Chen dan Rogan, 2004;
Drake, 2009).
Perubahan hormonal seperti peningkatan kadar estrogen atau penekanan
kadar testosteron terutama pada saat masa fetus akan menyebabkan terjadinya
berbagai kelainan reproduksi, seperti penurunan jumlah sperma, kanker sel
germinal testis, kriptorkismus, hypospadia (Hughes, 2007; Diamanti-Kandarakis,
2009).
Pada beberapa studi yang dilakukan pada manusia, pemberian diet
mengandung protein kacang kedelai secara signifikan memberikan efek pada
siklus menstruasi, berupa perpanjangan masa siklus menstruasi dan menurunkan
resiko terjadinya kanker payudara (Diamanti-Kandarakis, 2009).
2.5.5 Susu Formula Kacang Kedelai
Susu formula kacang kedelai adalah susu formula bebas laktosa yang
menggunakan isolat kacang kedelai yang digunakan untuk bayi dan anak. Susu
formula kacang kedelai sudah digunakan diseluruh dunia lebih dari 100 tahun.
Susu ini dapat digunakan untuk alternatif bagi bayi yang mengalami alergi susu
sapi yang dimediasi oleh kadar alergi IgE, diare pasca infeksi, intoleransi laktosa,
galaktosemia, pada bayi yang orang tuanya lebih memilih diet vegetarian (Bhatia
dan Greer, 2008; Dinsdale dan Ward, 2010).
Pada mulanya, susu formula kacang kedelai dibuat dari tepung kacang
kedelai, kemudian pada tahun 1960an dibuatlah dari isolat kacang kedelai yang
kemudian lebih lanjut dimodifikasi dengan penambahan methionine, iodine,
carnitine, taurine, choline dan inositol. Susu formula kacang kedelai
lix
menggunakan isolat protein kedelai sebagai bahan dasar. Isolat protein kedelai
tersebut memiliki kandungan protein tinggi yang setara dengan susu sapi.
Karbohidrat pada susu formula ini adalah maltodextrin, yaitu sejenis karbohidrat
yang dapat ditoleransi oleh sistem pencernaan bayi yang mengalami diare atau
yang alergi susu sapi. Nutrisinya kurang lebih sama dengan susu sapi terhirolisis,
tetapi harganya lebih murah dan rasanya lebih familier (Merrit dan Jenks, 2004;
Dinsdale dan Ward, 2010).
Pemberian susu formula kacang kedelai mempunyai efek nutrisi yang sama
bila dibandingkan dengan susu sapi dan demikian juga sama efeknya terhadap
mineralisasi tulang bila dibandingkan dengan susu sapi dan pemberian ASI.
Seperti halnya pada ASI, kalsium dan fosfor pada susu formula ini memiliki
perbandingan 2:1 untuk menunjang pembentukan tulang dan gigi. Susu ini juga
mengandung asam lemak esensial, yaitu omega 6 dan omega 3 dengan rasio yang
tepat sebagai bahan dasar pembentukan AA dan DHA untuk tumbuh kembang
otak yang optimal. Begitu juga efeknya terhadap perilaku neurobehavior dan
sistem imun, hanya pada awal tahun 1990 dilaporkan terjadi goiter pada bayi yang
diberikan susu formula kacang kedelai sebelum ada iodine terfortifikasi dalam
susu (Strom et al., 2001; Merrit dan Jenks, 2004).
Susu formula kacang kedelai mengandung maltodekstrin, minyak nabati,
isolat protein kedelai, AA, DHA, lesitin kedelai, sistin, metionin, taurin,
nukleotida, karnitin, mineral dan vitamin.
Pemberian susu pada bayi perlu mendapatkan perhatian, terutama dari usia
0–6 bulan, yang hanya mendapatkan ASI atau susu formula saja. Dari data
lx
Amerika Utara, didapatkan rata-rata bayi (37,2% - 43,8%) diberikan susu formula
dari usia 3–6 bulan (Dinsdale dan Ward, 2010).
Susu formula kacang kedelai mengandung fitoestrogen dari klas isoflavon
dengan potensi aktivitas seperti hormon estrogen, karena mempunyai cincin
fenolat yang dapat berikatan dengan RE. Kandungan susu formula ini mempunyai
2 (dua) tipe isoflavon kacang kedelai yang dominan, yaitu: genistein (67,1% dari
total kadar isoflavon) dan daidzein (28,7% dari total isoflavon), yang dapat
berikatan dengan RE α dan RE β ( Dinsdale dan Ward, 2010).
Orang dewasa jarang melebihi 25% dari total kalori yang mereka dapatkan
dari protein kacang kedelai, sedangkan pada bayi yang menggunakan susu
formula kacang kedelai mendapatkan 100% dari total kalori. Pada bayi intake
harian susu formula kacang kedelai sekitar 4 mg/kgBB – 11 mg/kgBB. Rata-rata
pemberian susu formula kacang kedelai pada bayi sama dengan jumlah makanan
kacang kedelai yang dikomsumsi oleh orang dewasa, namun konsentrasi isoflavon
di dalam plasma lebih besar pada bayi dibandingkan orang dewasa. Data klinis
menyebutkan 0 – 3% fitoestrogen yang berada dalam plasma pada bayi yang
mengkonsumsi susu formula kacang kedelai adalah dalam bentuk aktif (Cao et al.,
2009; Leung dan Otley, 2009).
Walaupun isoflavon kacang kedelai mempunyai efek estrogenik lemah,
dimana kira-kira 102 – 103 kali kurang poten daripada estrogen endogen, tetapi
bayi yang mengkonsumsi susu formula kacang kedelai mempunyai kadar serum
isoflavon tinggi. Konsentrasi total kadar isoflavon dari susu formula kacang
kedelai yang disediakan untuk bayi sekitar 32 – 47 mg/L, sementara konsentrasi
lxi
isofalvon dalam ASI hanya rata-rata 5,6 µg/L. Karena itu, bayi yang diberi susu
formula kacang kedelai terpapar 5,7 – 11, 9 mg isoflavon/kg BB atau 22 – 45 mg
isoflavon per hari selama 4 bulan pertama, sementara yang diberi ASI kadar
tersebut dapat diacuhkan (<0,01 mg/L). Apabila dibandingkan dengan orang
dewasa yang mengkonsumsi makanan kaya kacang kedelai yang diperkirakan
jumlahnya sekitar 0,71 mg/kg BB, maka pada bayi yang diberi dengan susu
formula ini terpapar 6 – 11 kali lebih tinggi kadar isoflavon dibandingkan dengan
orang dewasa. Konsentrasi isoflavon dalam plasma pada bayi usia 4 bulan yang
diberikan susu formula kacang kedelai sekitar 654 – 1775 µg/L, lebih tinggi
daripada yang diberikan ASI atau yang diberikan susu sapi. Konsentrasi isoflavon
yang beredar pada bayi yang diberikan susu formula kacang kedelai 13.000 –
22.000 kali lipat lebih tinggi daripada kadar 17β-estradiol yang berada dalam
sirkulasi
pada awal
kehidupan, namun
kadar isoflavon plasma
tidak
menggambarkan status estrogen pada bayi. Walaupun isoflavon mempunyai
aktivitas estrogen yang lemah bila dibandingkan dengan estradiol, tetapi sampai
sekarang tidak diketahui efek konsentrasi yang tinggi dari isoflavon berhubungan
dengan ikatan protein serum ( Cao et al., 2009; Dinsdale dan Ward, 2010 ).
Isoflavon genistein, daidzein, dan glikosida ditemukan dalam konsentrasi
tinggi pada kacang kedelai dan makanan kacang kedelai, hal ini mungkin
memiliki efek yang menguntungkan dalam pencegahan atau pengobatan penyakit
yang tergantung pada hormon, tetapi efek samping dapat terjadi pada bayi yang
diberi susu formula kacang kedelai (Cao et al., 2009).
lxii
Penelitian fitoestrogen telah berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun
terakhir ini karena penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diet kaya kacang
kedelai berkaitan dengan manfaat kesehatan, tetapi terdapat kekurangan data
tentang efek endokrin fitokimia kacang kedelai selama masa bayi yang merupakan
masa paling sensitif untuk induksi toksisitas. Keamanan isoflavon dalam susu
formula dipertanyakan karena kemungkinan laporan efek hormonal. Isoflavon
dalam susu formula kacang kedelai merupakan estrogen yang relatif lemah,
sekitar 1/1000 sampai 1/10.000 dari potensi estradiol dalam uji uterotrophic tikus,
namun jumlahnya yang relatif besar dalam susu formula kacang kedelai.
Akibatnya, timbul kekhawatiran bahwa isoflavon dapat meniru tindakan estradiol
atau mengubah metabolisme estradiol dan akibatnya memodifikasi proses yang
dipengaruhi oleh estradiol. Ada beberapa kekhawatiran isoflavon mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh, tiroid dan sistem reproduksi. Terhadap perkembangan
reproduksi,
dapat
mempengaruhi
gonadal
steroid
berhubungan
dengan
fitoestrogen dapat mempengaruhi estrogen atau reseptor modulator estrogen
selektif (Strom et al., 2001).
Kadar testosteron pada bayi laki-laki selama beberapa bulan pertama tinggi,
mungkin setinggi pada seorang pria dewasa. Selama periode ini, bayi tersebut
diprogram untuk mengekspresikan karakteristik pria setelah pubertas, tidak hanya
dalam perkembangan organ seksual dan ciri-ciri fisik maskulin, tetapi juga
pengaturan pola di otak supaya sesuai karakteristik perilaku laki-laki. Beberapa
dokter anak memperhatikan jumlah yang lebih besar pada anak laki-laki yang
fisik pematangannya tertunda atau tidak terjadi sama sekali, termasuk kurang
lxiii
berkembangnya organ seksual dan ketidakmampuan untuk belajar. Hal ini
dikatakan sudah mencapai proporsi epidemi (Judarwanto, 2014).
Strom et al. (2001) melakukan sebuah studi dengan melibatkan dewasa muda
baik pria maupun wanita yang diberikan susu formula kacang kedelai dan susu
sapi yang diberikan seperti bayi dan ditemukan tidak ada perbedaan dalam
antropometrik, sistem non reproduktif dan reproduktif, tidak ada perbedaan
menarche, sebaliknya yang diberikan susu sapi mengalami nyeri haid dan
menstruasi lebih lama (Strom et al., 2001; Merrit dan Jenks, 2004; Chen dan
Rogan, 2004).
Penelitian yang melibatkan 2.884 anak perempuan dilakukan oleh Adgent,
2010 menyatakan terjadi menarche dini pada kelompok anak perempuan yang
mendapatkan susu formula kacang kedelai.
Sebuah penelitian lain melaporkan terjadi peningkatan maturasi sel vagina
pada bayi perempuan yang diberikan susu formula kacang kedelai dari awal
kelahiran sampai 6 bulan. Penelitian lain yang dilakukan di Arkansas Children’s
Nutrition Centre, menyatakan terdapat perbesaran volume ovarium, peningkatan
kista ovarium per ovarii, dan penurunan volume testis, walaupun penemuan ini
juga terjadi pada 32% bayi yang tidak diberikan langsung susu formula kacang
kedelai sampai 4 – 8 minggu umur mereka. Karena waktu pemaparan mungkin
berperan penting dalam kesehatan nantinya, maka diperlukan penelitian yang
lebih lanjut (Dinsdale dan Ward, 2010).
Penelitian cross-sectional yang dilakukan pada anak perempuan Puerto Rico
dari usia 6 bulan sampai 8 tahun didapatkan perkembangan payudara lebih cepat
lxiv
pada anak yang diberi susu formula kacang kedelai, sedangkan penelitian yang
dilakukan pada anak laki-laki memberikan efek yang bervariasi (Kim dan Park,
2012).
Bayi yang diberikan susu formula kacang kedelai dapat mengabsorpsi dan
mengekskresikan estrogenik isoflavon. Penelitian yang dilakukan Cao et al.
(2009) dikatakan konsentrasi genistein dan daidzein di urin 500 kali lebih besar
pada infant yang diberi susu formula kacang kedelai dibandingkan yang diberi
susu sapi dan lebih besar 6 – 10 kali dibandingkan dengan ASI, yang diikuti
dengan peninggian konsentrasi genistein dan daidzein dalam darah dan terakhir
saliva. Walaupun studi menunjukkan susu formula kacang kedelai dapat
menurunkan insidens penyakit ASS dengan riwayat keluarga alergi dibandingkan
dengan penggunaan susu sapi, tetapi studi lanjut gagal menemukan keuntungan
susu formula kacang kedelai sebagai profilaksis penyakit alergi (Chen dan Rogan,
2004; Cao et al., 2009).
Sampai sekarang, masih terjadi perdebatan apakah perlu diberi peringatan
tentang penggunaan susu formula kacang kedelai bila diberikan kepada bayi. Di
negara-negara maju, seperti Canada, USA, UK, menyatakan paling baik dengan
pemberian ASI kepada bayi baru lahir, penggunaan susu formula kacang kedelai
hanya digunakan atas pertimbangan kesehatan, atau alasan budaya dan agama,
bahkan di negara-negara Eropa, susu formula kacang kedelai ini hanya bisa
diperoleh dengan persetujuan dan pengawasan dokter (Dinsdale dan Ward, 2010).
Hanya satu penelitian yang melaporkan adanya gangguan reproduksi pada
masa remaja, hal ini bisa disebabkan diperlukan pengamatan yang lama, sehingga
lxv
kurang data lengkap pada manusia, sehingga diperlukan penelitian dengan
menggunakan binatang sebagai model penelitian untuk mengetahui efeknya pada
manusia (Dinsdale dan Ward, 2010).
Penelitian dengan melakukan aromatase knockout pada tikus jantan sehingga
tikus tersebut tidak dapat mensintesa estrogen endogen, kemudian diberikan
isoflavon, ditemukan tidak terjadi kelainan spermatogenesis pada kelompok yang
diberikan isoflavon dibandingkan dengan yang tidak diberikan asupan isoflavon
(Robertson et al., 2002).
Penelitian lain yang juga menggunakan tikus jantan dewasa yang diberikan
isolat isoflavon, didapatkan adanya penurunan kadar hormon testosteron,
penurunan berat testis, penurunan diameter tubulus seminiferus dan penurunan
spermatogenesis. Salah satu penelitian lagi yang menggunakan bayi tikus jantan
dengan memberikan genistein baik secara oral maupun subkutan, didapatkan hasil
yang tidak konsisten terhadap serum FSH, LH dan testosteron (Dinsdale dan
Ward, 2010).
lxvi
Tabel 2.4
Indikator Maturasi Seksual dan Gangguan Endokrin pada Hewan Pengerat yang
diberi Preparat Isoflavon (Dinsdale dan Ward, 2010)
Maturasi Seksual
Perpisahan Preputial
Pembukaan Vagina
Gangguan Endokrin
Jarak Anogenital
Histologi Organ
Seksual
Berat Organ Seksual
Hormon Serum
Aktivitas Reseptor
Estrogen
Siklus Estrogen
Lordosis Quotient
Perpisahan kulit penis dari glan, perpisahan preputial
merupakan tanda awal langkah pubertas
Tanda ini muncul akibat sirkulasi estrogen, yang merupakan
tanda/ onset pubertas dan terjadinya ovulasi pertama sebagai
tanda mulainya siklus estrogen
Perbedaan jarak antara anus dengan protuberance genital pada
hewan penggerat baru lahir, termasuk tikus dan kucing
merupakan petanda perbedaan jenis kelamin (lebih panjang pada
jantan dibandingkan yang betina) dan dapat digunakan untuk
menentukan apakah gangguan endokrin telah muncul. Bila
terjadi under-masculinization maka jarak anogenital menjadi
lebih pendek daripada kontrol.
Perubahan morfologi kelenjar mammae, ovari, uterus, tetis
merupakan indikator efek estrogen yang dapat meningkatkan
atau mengurangi fertilitas.
Bertambah berat uterus, ovarium, testis, prostat merupakan
indikator efek estrogen akibat penambahan proliferasi sel.
Diukur hormon seks steroid (LH, FSH, GnRH, estradiol,
progesteron, testosteron) menunjukkan efek estrogenik pada
sistem endokrin
Peningkatan transkripsi β-reseptor estrogen atau α-reseptor
estrogen
Waktu setiap fase siklus estrogen menjadi lebih panjang dan
dapat digunakan sebagai petanda fertilitas, jika di hewan
didapatkan perpanjangan, maka terjadi penurunan fertilitas
Pengukuran untuk kelakuan seksual dan diukur melalui
pembagian jumlah dari lordosisnya (posisi lengkung ke dalam
dari colum vertebra)
2.6 HEWAN COBA
Pada penelitian obat atau alat baru terdapat tahap dimana zat atau alat baru
tersebut harus diujikan terlebih dahulu pada hewan coba sebelum diujikan pada
manusia. Hewan coba yang banyak digunakan adalah mencit dan tikus putih,
karena mudah didapat dalam jumlah banyak, berespon cepat, dapat memberikan
lxvii
gambaran ilmiah yang mungkin terjadi pada manusia dan harganya relatif murah
(Sihombing dan Raflizar, 2010).
2.6.1 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)
Penelitian dengan menggunakan tikus galur Wistar (Rattus norvegicus) lebih
banyak dilakukan oleh peneliti karena banyak yang menganggap aspek perilaku
dan fisiologis tikus lebih relevan dengan manusia dan lebih mudah diamati,
mudah dipelihara bila dibandingkan dengan mencit. Pemeliharaan dan makanan
tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi tikus dapat berbiak sebaik mencit.
Hewan ini juga lebih besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam
percobaan, tikus lebih menguntungkan. Terdapat beberapa galur tikus yang dapat
digunakan untuk percobaan, antara lain: Wistar albino, Long-Evans, Sprague
Dawley, namun yang sering digunakan luas berasal dari tikus Wistar albino
(Widiartini et al., 2013).
Tikus galur Wistar (Rattus norvegicus) lebih besar daripada famili tikus pada
umumnya, dimana tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai
ujung ekor dengan berat 140 – 500 gram. Tikus betina biasanya mempunyai
ukuran yang lebih kecil daripada tikus jantan dan memiliki kematangan seksual
pada umur 4 bulan dan dapat hidup selama 4 tahun (Kusumawati, 2004).
lxviii
Tabel 2.5
Perkembangan dan Kebutuhan Tikus Jantan (Anonim, 2010)
Bobot
Kelahiran
: 5 – 6 gram
Menyapih
: 30 – 55 gram
Pubertas
: 150 – 200 gram
Pada usia 12 minggu jantan : 200 – 400 gram
Dewasa laki-laki
: 300 – 800 gram
Usia penyapihan
: 20 – 21 hari (setelah 2 geraham tumbuh)
Masa pubertas jantan
: 39 – 47 hari
Kedewasaan
: 160 – 180 hari (5 – 6 bulan)
Konsumsi makanan
Konsumsi makanan sehari-hari: 5 gr/100 gr BB/hari
Konsumsi air sehari-hari
: 8 – 11 ml/100 gr BB/hari
Menurut International Wildlife Rehabilitation Council and the National
Wildlife Rehabilitator Association, bayi tikus memerlukan intake susu sebesar 5%
dari berat badan (gr) yang dianggap sama dengan ml setiap kali pemberian.
Kelebihan pemberian dapat menyebabkan perut kembung, diare, kerusakan fisik
dan akhirnya kematian, tetapi sebaliknya bila kekurangan pemberian dapat
menyebabkan dehidrasi, gangguan perkembangan tulang, penambahan berat
badan yang lambat dan kesulitan-kesulitan perkembangan yang lain. Penggunaan
susu pengganti bagi bayi tikus bisa berbagai macam jenis susu, bisa berupa susu
kambing segar, susu khusus untuk kucing atau anjing, bahkan dapat digunakan
susu untuk manusia, seperti Enfamil® atau Soyalac® (Robbins, 1998).
Tikus menyusu untuk 21 hari pertama kehidupan, dengan demikian
pemaparan isoflavon harus berlangsung selama masa menyusui untuk meniru
tahap perkembangan dimana bayi manusia dapat diberi makan tetapi tikus
mencapai kematangan seksual lebih pendek, yaitu pada usia 6 minggu, sedangkan
manusia lebih memakan waktu panjang. Idealnya pemberian pemaparan isoflavon
lxix
harus diberikan secara oral untuk melewati tahap melalui traktus digestivus dan
pemaparan dimulai dari hari pertama, selama menyusui dan terpapar lebih dari
satu kali dalam satu hari (Dinsdale dan Ward, 2010).
Tabel 2.6
Kadar Hormon Estrogen dan Testosteron Normal pada Tikus Jantan
(Hess dan Carnes, 2004; ALPCO, 2013)
Darah Vena
Estradiol
Testosteron
Kadar
2,48 – 2,94 pg/ml
0,66 – 5,4 ng/ml
Tikus memasuki masa pubertas pada 50-60 hari setelah kelahiran. Usia
pubertas pada hewan betina ditandai dengan pembukaan liang vagina (vaginal
opening) dan pada hewan jantan ditandai dengan adanya penurunan testis dari
abdominal ke skrotum (Kusumawati, 2004).
2.6.2 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium
Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium antara lain (Ngatidjan, 2006) :
1. Kandang tikus sebaiknya dari bahan yang kuat, tidak mudah rusak, mudah
dibersihkan (satu kali seminggu), tidak berkarat, mudah dipasang lagi,
hewan tidak mudah lepas. Ukuran kandang harus diperhatikan, agar tikus
bisa bergerak bebas tanpa ada ketegangan yang diakibatkan oleh kandang
yang terlalu sempit.
2. Alas tidur harus dapat menyerap air kemih supaya kandang tetap kering.
Syarat bahan alas tidur adalah dapat menghisap air, tidak melukai hewan
coba, tidak menarik untuk dimakan, tidak berbau dan tidak mengandung
zat yang dapat mengganggu kesehatan hewan coba. Umumnya dipakai
sekam padi atau serbuk gergaji.
lxx
3. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan
fisiologi tikus (suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara yang
ekstrim harus dihindari).
4. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang.
lxxi
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Sistem imum seorang anak relatif masih rentan pada usia tahun pertama
kehidupan. Bila salah satu atau kedua orang tuanya mempunyai penyakit alergi,
maka anak tersebut dapat mempunyai bakat atopik yang akan mudah tersensitisasi
dan berkembang menjadi penyakit alergi. Biasanya protein susu sapi yang
pertama kali diperkenalkan kepada seorang bayi dan penyebab dari penyakit ASS.
Tatalaksana penyakit ASS dengan menghindari susu sapi dan produknya dan
diberikan susu sapi hipoalergenik dengan hidrolisis, susu formula asam amino
atau susu formula kacang kedelai sampai terjadi toleransi terhadap susu sapi.
Kadar hormon estrogen dan testosteron dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor internal yang mempengaruhi antara lain berupa: faktor
genetik, metabolisme, usia, jenis kelamin, hormonal, sedangkan yang termasuk
faktor eksternal adalah diet makanan dan gaya hidup.
Kacang kedelai (Glycine max) termasuk dalam keluarga Leguminosae
(kacang-kacangan) yang mempunyai esterogenik karena kandungan isoflavonnya.
Isoflavon ini termasuk golongan fitoestrogen (berasal dari tumbuh-tumbuhan) dan
mempunyai kemampuan untuk bereaksi seperti hormon estrogen didalam tubuh.
Kandungan utama isoflavon yang terdapat di kacang kedelai adalah genistein,
daidzein, dan sedikit glycitein.
lxxii
53
Susu formula kacang kedelai yang diperuntukan bagi bayi dibuat dari
komponen kacang kedelai dan digunakan untuk menggantikan atau sebagai
tambahan ASI atau pengganti susu sapi.
Struktur kimia isoflavon yang menyerupai estrogen dan cincin fenolat dalam
isoflavon berfungsi untuk berikatan dengan RE. Isoflavon dapat bersifat agonis
dan antagonis terhadap RE. Ketika kadar estrogen menurun, maka akan bekerja
sebagai estrogen agonis, sehingga dapat menstimulasi respon estrogen. Sekresi
FSH dan LH juga akan menurun akhirnya produksi testosteron juga menurun.
3.2 Konsep Penelitian
Faktor Internal
-
Susu formula kacang
kedelai
Genetik
Metabolisme
Usia
Jenis kelamin
Hormonal
Faktor Eksternal
-
Bayi tikus jantan


Kadar
estrogen
Kadar
testosteron
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
lxxiii
Diet
makanan
Gaya hidup
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep penelitian di atas, maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Pemberian susu formula kacang kedelai meningkatkan kadar hormon
estrogen pada bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan.
2. Pemberian susu formula kacang kedelai menurunkan kadar hormon
testosteron pada bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan.
lxxiv
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan post
test only control group design (Marczyk et al., 2005). Skema rancangan penelitian
adalah sebagai berikut:
R
P
P0
O1
S
P1
O2
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian
Keterangan:
P
= Populasi
S
= Sampel
R
= Randomisasi
P0
= Perlakuan pada kelompok kontrol dengan menggunakan susu sapi
formula dengan dosis 5% dari berat badan (gr) tiap kali pemberian
(Robbin, 1998).
P1
= Perlakuan pada kelompok perlakuan dengan menggunakan susu formula
kacang kedelai dosis 5% dari berat badan (gr) tiap kali pemberian.
lxxv
56
O1
= Observasi kadar estrogen dan kadar testosteron pada kelompok kontrol
(P0)
O2
= Observasi kadar estrogen dan kadar testosteron pada kelompok
perlakuan (P1)
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Pengambilan darah
dilakukan pada pagi hari dan pemeriksaan kadar estrogen dan testosteron
dilakukan Laboratorium Patologi Klinik Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana. Pemeriksaan kadar estrogen dan testosteron dilakukan di
Laboratorium Analitik Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 21 hari, dimulai dari tanggal 22 November
2014 sampai 06 Februari 2015. Pengambilan darah dilakukan pada pagi hari,
tanggal 07 Februari 2015.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Variabilitas Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah bayi tikus putih galur Wistar (Rattus
norvegicus) jantan yang jumlahnya sesuai dengan sampel yang telah ditentukan
dalam penelitian. Bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan ini
diperoleh dari Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
lxxvi
4.3.2 Kriteria Subjek
Sampel penelitian ini adalah bayi tikus yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
Kriteria Inklusi :
1. Bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) sehat.
2. Jenis kelamin jantan.
3. Umur bayi tikus 7 hari.
4. Berat badan 10 – 15 gr.
Kriteria Drop Out :
Bayi tikus mati saat penelitian sedang berlangsung.
4.4 Besaran Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
4.4.1 Besaran Sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Federer (2011):
( n-1) ( t-1) ≥ 15
( n-1) ( 2-1) ≥ 15
( n-1) ≥ 15
n ≥ 16
Keterangan :
n
= Banyaknya sampel setiap perlakuan
t
= Banyaknya perlakuan
Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas, maka diperoleh n = 16. Pada
penelitian ini terdapat dua kelompok, maka jumlah sampel seluruhnya adalah 32.
lxxvii
Sampel ditambah 10% untuk menjaga kemungkinan drop out, sehingga jumlah
keseluruhan sampel menjadi 36.
4.4.2 Teknik Pengambilan Sampel
Semua sampel yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam sampel
penelitian. Bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan dibagi
menjadi dua kelompok secara random. Satu kelompok merupakan kelompok
kontrol dan satu kelompok lagi merupakan kelompok perlakuan. Kelompok
kontrol diberikan susu sapi formula, sedangkan pada kelompok perlakuan diberi
susu formula kacang kedelai. Kedua kelompok ini diberikan selama 21 hari
(sesuai dengan masa sapih) (Widiartini et al., 2013).
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Klasifikasi Variabel
1. Variabel bebas adalah variabel yang akan mempengaruhi hasil penelitian secara
langsung, yaitu: susu formula kacang kedelai.
2. Variabel tergantung adalah variabel yang merupakan hasil perlakuan variabel
bebas, yaitu kadar hormon estrogen dan testosteron.
3. Variabel kendali adalah variabel yang dapat dikendalikan, antara lain: jenis
tikus, umur, sehat, jenis kelamin yang sama, berat badan, makanan dan
minuman, temperatur, tempat tinggal.
lxxviii
4.5.2 Hubungan Antar Variabel
Variabel Tergantung:
Variabel Bebas :


Susu formula kacang
kedelai
Estrogen
Testosteron
Variabel Kendali :
-
Umur tikus
Jenis tikus
Jenis kelamin
Berat badan
Makanan & Minuman
Temperatur
Tempat tinggal
Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel
4.5.3 Definisi Operasional Variabel
Pemeriksaan darah dilakukan setelah pemberian susu formula dengan
prosedur pemberian sebagai berikut:
1. Susu formula kacang kedelai adalah susu bubuk bebas laktosa yang terbuat
dari isolat kacang kedelai dengan merek Morinaga BMT Soya® tahap 1
untuk bayi usia 0–6 bulan. Dosis yang diberikan adalah 5% dikalikan
dengan berat badan (gr) setiap kali pemberian. Pemberian susu dilakukan
dua kali sehari, pada pagi dan sore hari. Berat badan bayi tikus diukur
setiap pagi dalam keadaan perut kosong. Hasil analisis susu formula
kacang kedelai merek Morinaga BMT soya® tahap 1, didapatkan kadar
lxxix
isoflavon 12,09 mg/100gr, sehingga 1 gr susu kedelai mengandung 0,12
mg isoflavon (lampiran 2).
2. Susu sapi formula adalah susu bubuk yang dibuat dari sumber protein
hewani, yang diharapkan dapat dengan mudah di cerna oleh usus. Susu
sapi yang digunakan adalah merek Morinaga BMT® tahap 1 untuk bayi
usia 0–6 bulan, diberikan dengan dosis 5% dikalikan dengan berat badan
(gr) setiap kali pemberian dengan dua kali pemberian dalam sehari, pada
pagi dan sore hari. Berat badan bayi tikus diukur setiap pagi dalam
keadaan perut kosong.
3. Estrogen adalah konsentrasi estradiol bebas dalam darah yang merupakan
estrogen alami yang paling kuat secara biologis. Pemeriksaan estrogen
merupakan pengukuran kadar hormon estradiol yang dilakukan dengan
metode Enzym-linked Immunosobent Assay (ELISA) dengan alat
spektrofotometer 450 nm. Pengambilan darah tikus sebanyak 0,5 cc
dilakukan pada bagian medial kantus sinus orbitalis kanan dan diambil
pada hari ke 21 perlakuan.
4. Testosteron adalah konsentrasi testosteron total yang terikat pada protein
plasma dan yang beredar bebas dalam darah tikus. Pemeriksaan dilakukan
dengan
metode
ELISA
dengan
alat
spektrofotometer
450
nm.
Pengambilan darah tikus sebanyak 0,5 cc dilakukan pada bagian medial
kantus sinus orbitalis kanan dan diambil pada hari ke 21 perlakuan.
lxxx
5. Tikus yang digunakan adalah bayi tikus putih galur Wistar (Rattus
norvegicus) dengan jenis kelamin jantan, sehat, berusia 7 hari dengan berat
badan 10 – 15 gr.
6. Umur tikus ditentukan dengan melihat tanggal kelahiran yang dicatat oleh
Dokter Hewan pada kandang hewan percobaan.
7. Berat badan adalah berat bayi tikus galur Wistar jantan yang diukur
dengan timbangan khusus merk Tanita yang tersedia di Laboratory Animal
Unit bagian Farmakologi Universitas Udayana.
8. Kondisi kandang adalah ruangan dengan ukuran 40 x 30 x 20 cm terbuat
dari besi, disertai lampu dengan temperatur antara 240C – 320C dengan
kelembaban berkisar 50%. Satu kandang dihuni maksimal oleh 5 ekor bayi
tikus disertai oleh indukannya. Kandang harus cukup kuat, tidak mudah
rusak, tahan gigitan, dan hewan harus tampak jelas dari luar.
9. Makanan yang diberikan sesuai dengan penelitian, yaitu pada kelompok
kontrol diberi susu sapi formula dan pada kelompok perlakuan diberi susu
formula kacang kedelai yang disesuaikan dengan dosis kebutuhan.
Minuman yang diberikan adalah aquadest ad libitum.
4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian, Hewan Percobaan
4.6.1 Bahan Penelitian
Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
1. Susu formula kacang kedelai dengan merek Morinaga BMT soya® tahap 1
untuk bayi usia 0–6 bulan.
lxxxi
2. Susu sapi formula dengan merek Morinaga BMT® tahap 1 untuk bayi usia
0–6 bulan.
3. Aquadest.
4. Kit untuk pemeriksaan hormon estrogen dan testosteron.
4.6.2 Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Kandang tikus yang berukuran 40 x 30 x 20 cm berisi 5 ekor tikus, yang
terbuat dari besi yang didalamnya terdapat sekam untuk alas dan botol
minuman.
2. Kandang diberi lampu, ditempatkan pada ruangan dengan ventilasi baik,
cukup cahaya, tidak bising, temperatur antara 240C – 320C dengan
kelembaban berkisar 50%. Kandang dibersihkan tiap 3 hari sekali.
3. Spuit dengan jarum ukuran 22 atau 24, tumpul.
4. Gelas ukur.
5. Timbangan digital merek Tanita.
6. Buku tabel untuk mencatat.
7. Kapas dan alkohol 70%.
8. Spuit 1 cc dan 3 cc.
9. Sarung tangan.
10. Kamera digital.
11. Sentrifuge merek Kitman.
12. Pipet kapiler hematokrit.
13. Tabung EDTA.
lxxxii
14. Ependorf.
15. Spektrofotometer 450 nm merek Biotek Instruments.
4.6.3 Hewan Percobaan
Dalam penelitian ini, digunakan bayi tikus putih galur Wistar (Rattus
norvegicus) jantan berusia 7 hari. Sebelumnya induk tikus diberi pakan ayam
standar 594® dari PT Pokphand dengan komposisi protein 20-25%, lemak 5%,
pati 45-50%, serat kasar kira-kira 5%, dan abu 4-5 %, serta diberi minum ad
libitum (Smith dan Mongkoewidjojo, 1988). Setelah lahir, bayi tikus diadaptasi
selama 7 hari dengan diberi minum susu dari indukan. Setelah berusia 7 hari, bayi
tikus dipilih secara random. Bayi tikus yang dipilih harus tikus jantan, sehat,
dengan berat badan 10 – 15 gr, diberi susu sesuai kebutuhan selama 21 hari. Bayi
tikus diperoleh dan dipelihara di Laboratorium Animal Unit Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar dengan prasyaratan sesuai
dengan penelitian eksperimental.
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Pembuatan Susu
1. Susu formula kacang kedelai merek Morinaga BMT soya® tahap 1 untuk
bayi usia 0–6 bulan dengan dosis 5% dikalikan dengan berat badan (gr)
yang diencerkan dengan aquadest. Untuk 500 mg susu formula kacang
kedelai diencerkan dengan menggunakan 2 cc aquadest.
2. Susu sapi formula merek Morinaga BMT® tahap 1 untuk bayi usia 0–6
bulan dengan dosis 5% dikalikan dengan berat badan (gr) yang diencerkan
lxxxiii
dengan aquadest. Untuk 500 mg susu sapi formula diperlukan aquadest
sebanyak 2 cc.
4.7.2 Persiapan Hewan Uji
1. Sebanyak 20 ekor indukan diberi pakan ayam standar 594® dari PT
Pokphand, masing-masing indukan menempati satu kandang tersendiri.
2. Setelah habis melahirkan, bayi tikus putih galur Wistar jantan sebanyak 36
ekor diadaptasi selama 7 hari dengan diberikan susu indukannya.
3. Setelah 7 hari, secara random bayi tikus putih galur Wistar jantan dibagi
menjadi dua kelompok, dimana kelompok P0 adalah kelompok kontrol
yang diberi susu sapi formula merek Morinaga BMT® tahap 1 untuk bayi
usia 0–6 bulan sedangkan kelompok P1 adalah kelompok perlakuan yang
diberi susu formula kacang kedelai merek Morinaga BMT soya® tahap 1
untuk bayi usia 0–6 bulan.
4.7.3 Jalannya Penelitian
1. Bayi tikus putih galur Wistar jantan sebanyak 36 ekor, sehat, berusia 7 hari
dengan berat badan 10 – 15 gr.
2. Bayi tikus dibagi menjadi 2 kelompok secara random.
3. Bayi tikus dipelihara di kandang yang berukuran 40 x 30 x 20 cm dengan
pada ruangan dengan ventilasi baik, cukup cahaya, tidak bising,
temperatur antara 240C – 320C dengan kelembaban berkisar 50%.
Kenyamanan kandang dijaga dan bayi tikus diperlakukan dengan kasih
sayang.
lxxxiv
4. Setelah itu diberi perlakuan:
P0 = perlakuan terhadap kelompok kontrol yang diberi susu sapi formula
merek Morinaga BMT ® tahap 1 dengan dosis 5% dari BB (gr) setiap
kali pemberian dan diberikan menggunakan sonde. Pemberian
dilakukan dua kali, pada pagi dan sore hari.
P1 = perlakuan terhadap kelompok perlakuan yang diberi susu formula
kacang kedelai merek Morinaga BMT soya® tahap 1 dengan dosis
5% dari BB (gr) tiap kali pemberian dan dilakukan dua kali, pada
pagi dan sore hari menggunakan sonde.
5. Setelah 21 hari penelitian, kedua kelompok tersebut diambil darah.
Pengambilan darah dilakukan pada bagian medial kantus sinus orbitalis
mata kanan sebanyak 0,5 cc untuk pemeriksaan kadar hormon estrogen
dan testosteron dengan menggunakan metode ELISA.
4.7.4 Proses Pengambilan Darah
1. Pengambilan sampel darah dilakukan pada semua bayi tikus putih galur
Wistar jantan di bagian medial kantus sinus orbitalis mata kanan.
2. Darah yang diambil sebanyak 0,5 cc pada hari ke 21.
3. Pengambilan darah dilakukan pada pagi hari.
4.7.5 Analisis Susu Formula Kacang Kedelai
Analisis susu formula kacang kedelai merek Morinaga BMT soya® tahap 1
untuk bayi usia 0–6 bulan dilakukan pada UPT Lab. Analitik Universitas
Udayana, Kampus Bukit Jimbaran pada tanggal 20 Oktober 2014 dengan hasil
lxxxv
12,09 mg isoflavon/100 gr susu, sehingga 1 gr susu mengandung 0,12mg
isoflavon (lampiran 2).
4.7.6
Prosedur Pengukuran Kadar Hormon
Pemeriksaan kadar estrogen dan testosteron dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan alat spektrofotometer 450 nm dengan metode ELISA. Sampel darah
tikus diambil pada hari ke 21 untuk dilakukan pemeriksaan post test. Darah tikus
diambil sebanyak 0,5 cc dari medial kantus sinus orbitalis mata kanan, sebelum
pengambilan darah dilakukan tindakan asepsis dan antiseptik dengan pengusapan
alkohol sekitar daerah yang akan diambil darahnya. Darah yang diambil kemudian
dimasukkan ke dalam serum separator tube, diendapkan selama 2 jam pada
temperatur kamar, kemudian disentrifuge selama 15 menit kecepatan 3000 rpm.
Kemudian serum diambil dan dimasukkan ke dalam ependorf, disimpan pada
suhu - 21° C
dan dilakukan pemeriksaan dengan spektrofotometer 450 nm
dengan metode ELISA.
4.7.6.1 Prosedur Pengukuran Kadar Hormon Estrogen
Pemeriksaan dengan metode ELISA untuk estrogen yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Reagen diletakkan di suhu ruang 30 menit sebelum digunakan.
2. Dilakukan pengambilan 50 µl standar, sampel, dan quality control dengan
menggunakan pipet, kemudian dimasukkan ke dalam well.
3. Ditambahkan 200 µl enzim konjugat kemudian dilakukan pengocokkan,
setelah itu diinkubasi pada suhu ruang (370C) selama 120 menit, tanpa
menutup plate.
lxxxvi
4. Cairan dibuang dan dicuci sebanyak 3x dengan larutan wash buffer
sebanyak 400 µl, ditambahkan lagi 100 µl substrat solution, diinkubasikan
kembali pada suhu ruang selama 15 menit, kemudian ditambahkan
kembali 50 µl stopping solution.
5. Pembacaan dilakukan pada spektrofotometer pada panjang gelombang
450nm, maksimum dilakukan dalam 10 menit.
6. Hasil kadar estrogen dalam satuan pg/ml.
4.7.6.2 Prosedur Pengukuran Kadar Hormon Testosteron
Pemeriksaan dengan metode ELISA untuk testosteron yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Reagen diletakkan di suhu ruang 30 menit sebelum digunakan.
2. Dilakukan pengambilan 50 µl standar, sampel, dan quality control dengan
menggunakan pipet, kemudian dimasukkan ke dalam well.
3. Dilakukan penambahkan 100 µl Testosterone-HRP Conjugate ke masingmasing well kecuali pada well quality control dan standar, kemudian
dikocok selama 1-2 menit dan diinkubasi pada suhu ruang (37ᵒC) selama
60 menit.
4. Cairan dibuang dan dicuci sebanyak 5x dengan larutan wash buffer
sebanyak 250µL, kemudian balik plate dan residu cairan dikeringkan
dengan paper towel. Setelah itu dilakukan penambahan 100 µL TMB
substrate solution kedalam masing-masing well. Plate diinkubasi pada
suhu ruang (37 ᵒC) selama 20 menit.
lxxxvii
5. Dilakukan penambahkan 50 µL stopping solution ke dalam masing-masing
well dan larutan dihomogenkan selama 30 menit, yang terlihat dari
perubahan warna larutan dari biru menjadi kuning.
6. Kemudian microwell dibaca dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 450nm. Hasil dari pembacaan tersebut berupa mean
absorbance value dari masing-masing set standar, sampel dan kontrol.
7. Hasil mean absorbance value tersebut kemudian diplot pada kurva standar
untuk mendapatkan hasil kadar testosteron dalam satuan ng/ml.
lxxxviii
4.7.7
Alur Penelitian
36 ekor bayi tikus putih galur Wistar baru lahir, sehat, jantan
Diberi susu indukannya
Adaptasi 7 hari
Randomisasi
Kontrol
18 ekor
Perlakuan
18 ekor
Perlakuan selama 21
hari  diberi susu
formula kacang
kedelai dosis 5%
dikalikan BB (gr) tiap
kali pemberian,
diberikan 2 kali sehari
Perlakuan selama 21
hari diberi susu
sapi formula dengan
dosis 5% dikalikan
BB (gr) tiap kali
pemberian, diberikan
2 kali sehari
Pemeriksaan
Post test
Pemeriksaan kadar hormon estrogen dan testosteron
Analisis
Gambar 4.3 Alur Penelitian
4.8 Analisis Data
Seluruh data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program
SPSS for window versi 16.0.
Analisis data meliputi (Dahlan, 2012):
1. Analisis deskriptif.
lxxxix
2. Analisis normalitas data.
Uji normalitas data tiap kelompok dilakukan dengan Shapiro-Wilk test
oleh karena data kurang dari 50. Distribusi kadar estrogen dan testosteron
sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok berdistribusi normal
(p >0,05).
3. Analisis homogenitas.
Uji homogenitas varian antar kelompok dengan Levene’s test. Varian data
kadar estrogen dan testosteron sesudah perlakuan pada masing-masing
kelompok homogen (p>0,05).
4. Analisis komparasi.
Karena data berdistribusi normal dan homogen, maka uji kemaknaan
menggunakan uji t-independent.
xc
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Subyek Penelitian
Penelitian eksperimental dengan Post Test Only Control Group Design,
menggunakan 36 ekor bayi tikus jantan galur Wistar (Rattus norvegicus) berusia 7
hari, sehat dengan berat badan 10 – 15 gram sebagai sampel. Penelitian ini dibagi
dua kelompok, yaitu: kelompok kontrol (P0) yang diberi susu sapi formula dan
kelompok perlakuan (P1) yang diberi susu formula kacang kedelai dengan dosis
masing-masing kelompok 5% dari berat badan (gr). Hasil analisis susu formula
kacang kedelai didapatkan kadar isoflavon 12,09 mg/100gr, sehingga 1 gr susu
kedelai mengandung 0,12 mg isoflavon (lampiran 2). Pemberian dilakukan dua
kali dalam sehari selama 21 hari (sesuai dengan masa sapih).
Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, dan
uji efek perlakuan.
5.2 Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian
Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, data hasil penelitian estrogen dan
testosteron dilakukan uji distribusi dan variannya.
5.2.1 Uji Normalitas Data
Data estrogen dan testosteron sesudah perlakuan pada masing-masing
kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya
menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1 berikut.
xci
72
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Estrogen dan Testosteron Sesudah Perlakuan
Kelompok Subjek
Estrogen Kontrol
Estrogen Perlakuan
Testosteron Kontrol
Testosteron Perlakuan
n
18
18
18
18
p
0,106
0,051
0,616
0,073
Ket.
normal
normal
normal
normal
Berdasarkan hasil analisis di atas, didapatkan bahwa masing-masing
kelompok berdistribusi normal (p>0,05).
5.2.2 Uji Homogenitas Data
Data kadar hormon estrogen dan testosteron diuji homogenitasnya dengan
Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada
Tabel 5.2 berikut.
Tabel 5.2
Homogenitas Data Estrogen dan Testosteron antar Kelompok
Variabel
Estrogen
Testosteron
F
1,310
0,719
p
0,346
0,402
Keterangan
Homogen
Homogen
Berdasarkan hasil analisis di atas, didapatkan varian data masing-masing
kelompok homogen (p>0,05).
5.3 Uji Efek Perlakuan
5.3.1 Kadar Hormon Estrogen
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata estrogen antar kelompok
sesudah diberikan perlakuan berupa susu sapi dan susu formula kacang kedelai.
Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.3
berikut.
xcii
Tabel 5.3
Perbedaan Rerata Estrogen antar Kelompok Sesudah Diberikan Susu Sapi
Formula dan Susu Formula Kacang Kedelai
Kelompok Subjek
Kontrol
Perlakuan
n
Rerata Estrogen
( pg/ml)
SB
t
p
18
18
0,55
0,82
0,03
0,01
35,76
0,001
Berdasarkan Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata estrogen kelompok
kontrol adalah 0,550,03 dan rerata kelompok perlakuan adalah 0,820,01.
Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t =
35,76 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata estrogen pada kedua
kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05).
p = 0,001
Gambar 5.1 Perbandingan Estrogen antara Kelompok Kontrol dengan
Kelompok Perlakuan
xciii
5.3.2 Kadar Hormon Testosteron
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata testosteron antar
kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa susu sapi dan susu formula kacang
kedelai. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel
5.4 berikut.
Tabel 5.4
Perbedaan Rerata Testosteron antar Kelompok Sesudah Diberikan Susu
Sapi Formula dan Susu Formula Kacang Kedelai
Kelompok Subjek
Kontrol
Perlakuan
n
Rerata Testosteron
( ng/ml )
SB
t
p
18
18
3,25
2,36
0,15
0,22
14,32
0,001
Berdasarkan Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata testosteron
kelompok kontrol adalah
3,250,15 dan rerata kelompok perlakuan adalah
2,360,22. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa
nilai t = 14,32 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata testosteron pada
kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
xciv
p = 0,001
Gambar 5.2 Perbandingan Testosteron antara Kelompok Kontrol dengan
Kelompok Perlakuan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa pada kelompok
perlakuan terjadi peningkatan estrogen sebesar 48,09% dan terjadi penurunan
testosteron sebesar 27,44% dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini
disebabkan karena kelompok kontrol yang diberi susu sapi formula tidak
mengandung isoflavon sehingga tidak terjadi kenaikan estrogen dan penurunan
testosteron.
Susu formula kacang kedelai merek Morinaga BMT soya® tahap 1 untuk usia
0–6 bulan dilakukan analisis di UPT Lab. Analitik Universitas Udayana, Kampus
Bukit Jimbaran dan didapatkan hasil 12,09 mg isoflavon/100 gr susu sehingga 1
gr susu mengandung 0,12 mg isoflavon (lampiran 2).
Susu formula kacang kedelai mengandung isoflavon yang merupakan
senyawa fitoestrogen sehingga memiliki aktivitas estrogen. Isoflavon mempunyai
struktur menyerupai struktur kimia estrogen dan dapat berkerja seperti hormon
xcv
(hormone like activity). Cincin fenolat pada isoflavon berfungsi untuk berikatan
dengan reseptor estrogen (RE) sehingga dapat mempunyai efek yang sama seperti
estrogen (agonis). RE α dan RE β dapat ditemukan di hipotalamus dan pada
jaringan epididimis, prostat dan testis, sedangkan pada hipofise hanya ditemukan
RE β. Genistein dan daidzein dapat berikatan dengan kedua RE (Hess, 2003; Cao
et al., 2009; Kim dan Park, 2012).
Isoflavon berikatan dengan RE di hipofise anterior sehingga merangsang
sekresi FSH dan LH. Sekresi LH yang meningkat mengakibatkan peningkatan
sekresi sel Leydig dan sel germinal, sehingga mengakibatkan tingginya kadar
testosteron dan estrogen. Kadar estrogen yang meningkat menyebabkan terjadinya
feed back mechanism yang menyebabkan penurunan kadar testosteron (Kim dan
Park, 2012).
Testosteron berasal dari prekursor kolesterol, sehingga gangguan sekresi LH
juga menyebabkan gangguan pada enzim 20β-hidroksilasi dan 22β-hidroksilasi
akibatnya pemecahan rantai samping menjadi pregnenolon dan asam isocarpoat
akan terganggu dan hasil akhirnya testosteron tidak terbentuk. Isoflavon juga
menghambat kerja enzim 17-β-hidroksisteroidoksidorektase yang dibutuhkan
untuk sintesis testosteron, sehingga walaupun pregnenolon terbentuk tetapi tidak
dapat dikonversi menjadi testosteron (Drake, 2009; Braunstein, 2011).
Kadar testosteron yang menurun menyebabkan aromatisasi estrogen endogen
juga ikut menurun, sehingga menyebabkan isoflavon bekerja sebagai estrogen
agonis (menyerupai estrogen) akibatnya bekerja dengan meniru cara kerja
estrogen dan berikatan dengan RE. Kandungan isoflavon yaitu, genistein dan
xcvi
daidzein dapat berikatan dengan kedua RE α dan RE β pada jaringan epididimis,
prostat dan testis sehingga dapat merangsang peningkatan sekresi estrogen,
dimana sel Leydig dan sel germinal akan meingkatkan kadar estrogen dalam
sistem limfatik dan perifer. Pemberian isoflavon yang terjadi terus menerus dapat
meningkatkan jumlah RE sehingga lebih banyak lagi isoflavon yang dapat
berikatan dengan RE. Peningkatan jumlah estrogen akan mengakibatkan
penurunan sekresi testosteron akibat dari inhibisi LH (Hess, 2003; Cao et al.,
2009; Kim dan Park, 2012).
Genistein selain dapat berikatan dengan RE, juga dapat berikatan secara aktif
dengan SHBG, hampir sama kekuatannya seperti estradiol. Akibat berikatan
dengan SHBG, genistein dapat dibawa masuk kedalam plasma dan meningkatkan
konsentrasi estradiol bebas (Chen dan Rogan, 2004).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Strom et al.
(2001), dimana diperoleh hasil pada kelompok yang diberikan susu formula
kacang kedelai didapatkan durasi menstruasi yang lebih panjang dan mempunyai
rasa tidak nyaman atau nyeri selama menstruasi. Penelitian yang dilakukan oleh
Bernbaum et al. (2008) pada bayi perempuan usia 6 bulan, diberikan susu formula
kacang kedelai dilaporkan terjadi peningkatan maturasi sel vagina sebagai efek
dari estrogenik, sedangkan pada penelitian yang menggunakan tikus jantan
dewasa yang diberi isolat isoflavon, didapatkan hasil penurunan kadar hormon
testosteron, penurunan berat testis, penurunan diameter tubulus seminiferus dan
gangguan spermatogenesis (Dinsdale dan Ward, 2010).
xcvii
Hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan dan sekaligus kekhawatiran
mengenai kemungkinan terjadi hambatan perkembangan organ reproduksi pada
bayi laki-laki dan pada bayi perempuan ditakutkan terjadi precox puberty apabila
diberikan susu formula kacang kedelai pada manusia, khususnya anak-anak.
Diperlukan penelitian pada anak yang mengalami hambatan perkembangan organ
reproduksi dalam kaitannya dengan pemberian susu ini. Berdasarkan hasil
penelitian ini, perlu dipertimbangkan penggunaan susu formula kacang kedelai
yang dimodifikasi sedemikian rupa dengan menghilangkan komponen isoflavon
sehingga tidak mempengaruhi kadar hormon.
xcviii
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pemberian susu formula kacang kedelai
didapatkan simpulan sebagai berikut:
1. Pemberian susu formula kacang kedelai (Glycine max) meningkatkan
kadar estrogen pada bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus)
jantan sebesar 48,09%.
2. Pemberian susu formula kacang kedelai (Glycine max) menurunkan kadar
testosteron pada bayi tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan
sebesar 27,44%.
7.2 Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang efek lanjut pemberian susu
formula kacang kedelai pada perkembangan organ reproduksi.
2. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pemberian susu
formula kacang kedelai pada hormon endokrin lainnya, seperti FSH, LH.
3. Melakukan penelitian pada anak laki-laki yang mengalami hambatan
perkembangan organ genital dengan kaitannya terhadap pemberian susu
formula kacang kedelai.
xcix 80
4. Apabila terbukti pada manusia, maka pemberian susu formula kacang
kedelai perlu dipertimbangkan lebih lanjut terutama bila diberikan pada
bayi, khususnya pada bayi yang mengalami penyakit ASS.
5. Perlu dipertimbangkan susu formula kacang kedelai yang dimodifikasi
sedemikian rupa dengan menghilangkan komponen isoflavon sehingga
tidak mempengaruhi kadar hormon.
c
DAFTAR PUSTAKA
Adgent, M.A. 2010. Early Life Soy Exposure and Child Development : an
assessment of language acquisition, play behavior and time-to-menarche.
Available
from
http://dc.lib.unc.edu/cdm/ref/collection/etd/id/3971.
th
Accessed: March 4 , 2014.
Adgent, M.A., Daniels, J.L., Edwards, L.J., Siega-Riz, A.M., Rogan, W.J. 2011.
Early-Life Soy Exposure and Gender-Role Play Behavior in Children.
Environ Health Perspect. Vol : 119(12). p.1811 – 16.
Anonim. 2010. Tikus: Berbagi Tak Pernah Rugi. Available
http://isroi.com/category/tikus/. Accessed: October 27th, 2014.
at
Barness, L.A. and Curran, J.S. 2000. Nutrisi. In : Wahab, A.S., editor. Nelson:
Ilmu Kesehatan Anak. 15thed. Jakarta: EGC. Vol : 1 . hal: 197 – 205.
Baziad, A. 2002. Kontrasepsi hormonal. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 1-10.
Bhatia, J. and Greer, F. 2008. Use of Soy Protein-Based Formulas in Infant
Feeding. Pediatrics. Vol: 121. p. 1062 – 68.
Bo, Y.S. and Hyun, P.K. 2005. Inhibition of Naturally-Occuring Flavonoids. Arch
Pharm Res. Vol: 28, No. 10. p. 1152 – 55.
Braunstein, G.D. 2011. Testes. In: Gardner, D.G., and Shoback, D., editors.
Greenspan’s: Basic & Clinical Endocrinology. 9thed. McGraw-Hill. p. 395401.
Cao, Y., Calafat, A.M., Doerge, D.R., Umbach, D.M., Bernbaum, J.C., Twaddle,
N.C., Ye, X., Rogan, W.J. 2009. Isoflavone in Urine, Saliva, and Blood of
Infants: Data from a Pilot Study on the Estrogenic Activity of Soy Formula.
JES. Vol: 19. p.223-34.
Chen, A. and Rogan, W.J. 2004. Isoflavones in Soy Infant Formula: A Review of
Evidence for Endocrine and Other Activity in Infants. Annu. Rev. Nutr. Vol:
24.p.33 – 54.
Dahlan, M.S. 2012. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika. hal:1-80.
Diamanti-Kandarakis, E., Bourguignon, J., Giudice, L.C., Hauser, R., Prins, G.S.,
Soto, A.M., Zoeller, R.T., Gore, A.C. 2009. Endocrine-Disrupting
Chemicals: An Endocrine Society Scientific Statement. Endocrine Reviews.
Vol: 30(4).p. 293-342.
ci 82
Dinsdale, E.C.and Ward, W.E. 2010. Early Exposure to Soy Isoflavones and
Effects on Reproductive Health: A Review of Human and Animal Studies.
Nutrients. Vol:2.p.1156 – 87.
Drake, V.J. 2009. Isoflavones. Linus Pauling Institute. Oregon State University.
Avaliable from http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/ phytochemicals /soyiso
/#. Accessed: August 30th, 2014.
Federer, W.T. 2011. Statistical Design and Analysis for Intercropping
Experiments. New York: Springer. p 30 – 33.
Hees, R.A. and Carnes, K. 2004. The Role of Estrogen in Testis and the Male
Reproductive Tract: a review and species comparison. Anim. Reprod. Vol:
1.p 5 – 30.
Hess, R.A. 2003. Estrogen in the Adult Male Reproductive Tract: A Review.
Reproductive Biology and Endocrinology. Reproductive Biology and
Endocrinology. Vol:1(52).p.1-14.
Hughes, I. 2007. Variability and Uncertainty inToxicology of Chemicals in Food,
Consumer Products and the Environment. Committee on Toxicity. London.
Food Standars Agency.p.83-92.
Judarwanto, W. 2011. Inilah Susu Formula Terbaik Bagi Anak. Indonesia
Medicine. Available from http://growupclinic.com/. Accessed: Maret 17th,
2015.
Judarwanto, W. 2014. Keamanan Penggunaan Susu Formula Kedelai (Soya) dan
Kontroversinya.
Indonesia
Medicine.
Available
from
st
http://allergycliniconline.com/. Accessed: January 31 , 2015.
Kim, S.H. and Park, M.J. 2012. Effects of Phytoestrogen on Sexual Development.
Korean J Pediatr. Vol: 55(8).p.265 – 71.
Koletzko, S., Niggemann, B., Arato,A., Dias, J.A., Heuschkel, R., Mearin, M.L.,
Papadopoulou, A., Ruemmele, F.M., Staiano, A., Schäppi, M.G.,
Vandenplas, Y. 2012. Diagnostic Approach and Management of Cow’s
Milk Protein Allergy in Infants and Children: ESPGHAN GI Committee
Practical Guidelines. JPGN. Vol: 55.p. 221 – 29.
Konkle, A.T.M. and McCarthy, M.M. 2011. Development Time Course of
Estradiol, Testosterone, and Dihydrotestosterone Levels in Discrete Regions
of Male and Female Rat Brain. J.Endocrinology. Vol:52(1).p.223 – 35.
Kumar, R. 2013. Testis. In: Tunru, I.S.A., editor. Dasar-dasar Patofisiologi
Penyakit. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher. hal: 462 – 468.
cii
Kurniasih, D., Hilmansyah, H., Astuti, M.P., Imam, S. 2010. Sehat & Bugar
Berkat Gizi Seimbang. In : Soekirman, Afriansyah, N., Erikania, J., editors.
Jakarta: PT Penerbitan Sarana Bobo Kompas Gramedia. hal : 7 – 120.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Leung, A. and Otley, A. 2009. Concerns for the Use of Soy-Based Formulas in
Infant Nutrition. Peadiatr Child Health. Vol: 14 (3).p. 109 – 13.
Marczyk., Geoffrey, R., Dematteo, D., Festinger, D. 2005. Experimental Design.
In: Dematteo, D., David., editors. Essential of Research Design and
Methodology. 1stedition. New Jersey: John-Wiley.p. 48 – 56.
McCance, K.L. and Huether, S.E. 2006. Pathophysiology. The Biologic Basis for
Disease in Adults and Children. 5thed. Elsevier. p.755 – 59.
Merritt, R.J. and Jenks, B. H. 2004. Safety of Soy-Based Formulas Cointaning
Isoflavones: The Clinical Evidence. J.Nutr. Vol: 134. p. 1220S – 24S.
Messina,
M.
2001.
Soy
&
Health.
Available
from
http://extension.agron.iastate.edu/soybean/uses_isoflavones.htm/Isoflavone
FactSheet USB.pdf. Accessed : January 1st, 2014.
Munasir, Z. and Siregar, S.P. 2010. Alergi Susu Sapi. Alergi-Imunologi Anak.
Edisi II. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. hal: 284 – 93.
Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Yogyakarta: Bagian
Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM. hal : 68 – 81.
Norris,
J.
2011.
Soy:
What’s
the
Harm?
Available
from
http://www.veganhealth.org/articles/soy_wth. Accessed : Oktober 17th,
2014.
Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging Tetap Muda dan Sehat. Jakarta: Kompas Media
Nusantara. hal: 11 – 43.
Rhen, T. and Cidlowski, J.A. 2009. Steroid Hormones Action. In : Thomas, S.J.,
and McGonigal, C., editors. Yen and Jaffe’s Reproductive Endocrinology:
Physiology, Pathophysiology, and Clinical Management. 6thed.
Philadelphia. Elsevier. p.108 – 23.
Robbins, K. 1998. Caring for Rat & Mouse Orphans. Available from
http://www.afrma.org/orphanrm.htm. Accessed: 27th October, 2014.
ciii
Robertson, K.M., O’Donnell, L., Simpson, E.R., Jones, M.E. 2002. The
Phenotype of Aromatase Knockout Mouse Reveals Dietary Phytoestrogens
Impact Significantly on Testis Function. Endrocrinology. Vol : 143(8)p.
2913 – 21.
Ryan, R. 2007. Dialed in The Health and Fitness Program That will Change Your
Life. Available from http://books.google.co.id. Accessed: 17th Maret 2015.
Santoso, M.I.E. 2011. Buku Ajar Etika Penelitian Kesehatan. Malang: Universitas
Brawijaya Press (UB Press). Hal 1 – 270.
Setchell, K.D.R., Brown, N.M., Lyedeking-Olsen, E. 2002. The Clinical
Importance of the Metabolic Equol – A Clue to the Effectiveness of Soy and
Its Isoflavones. J. Nutr. Vol: 132. p. 3577 – 74.
Sherwood, L. 2013. The Reproductive System. In : Intoduction to Human
Physiology. 8thed. Nelson Education, Ltd. Canada. p.781 – 789.
Sihombing, M. and Raflizar. 2010. Status Gizi dan Fungsi Hati Mencit (Galur
CBS-Swiss) dan Tikus Putih (Galur Wistar) di Laboratorium Hewan
Percobaan PUSLITBANG Biomedis dan Farmasi. Media Litbang
Kesehatan. Vol. XX.p. 33 – 40.
Smith, J.B. and Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia. hal 1 – 276.
Strauss III, J.F. 2009. The Synthesis and Metabolism of Steroid Hormones. In :
Thomas, S.J., and McGonigal, C., editors. Yen and Jaffe’s Reproductive
Endocrinology: Physiology, Pathophysiology, and Clinical Management.
6thed. Philadelphia. Elsevier. p.82 – 107.
Strom, B. L., Schinnar, R., Zieger, E.E., Barnhart, K.T., Sammel, M.D., Macones,
G.A., Stallings, V.A., Drulis, J. M., Nelson, S.E., Hanson, S.A. 2001.
Exposure to Soy-based Formula in Infancy and Endocrinological and
Reproductive Outcomes in Young Adulthood. JAMA. Vol:286(7). p. 807 –
14.
Stuckrlberger, A. 2008. Anti-Ageing Medicine: Myths and Chances. vdf
Hochschulverlag. Die Deuthsche Nationalbibliothek. p.30 – 34.
Suhardjono, D. 1995. Percobaan Hewan Laboratorium. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. p. 207.
civ
Vandenplas, Y., Brueton, M., Dupont, C., Hill, D., Isolauri, E., Koletzko, S.,
Oranje, A. P., Staiano, A. 2007. Guidelines for the Diagnosis and
Management of Cow’s Milk Protein allergy in Infants.Arch Dis Child. Vol:
92.p.902 – 8.
Verhasselt, V. 2010. Oral Tolerance in Neonates: From Basics to Potential
Prevention of Allergic Disease. Mucosal Immunology. Vol: 3(4). p.326 – 33.
Walsh, K.R., Yu, C.Z.,Vodovotz, Y., Schwartz, S. J., Failla, M. L. 2003. Stability
and Bioaccessibility of Isoflavones from Soy Bread during In Vitro
Digestion. J. Agric. Food Chem. Vol: 51.p.4603 – 9.
Wibowo, 2003. The Concepts of Anti Aging and How To Make Without Disorder.
Jakarta:FKUI.p.11-17.
Widiartini, W., Siswati, E., Setiyawati, A., Rohmah, I.M., Prastyo, E. 2013.
Pengembangan Usaha Produksi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tersertifikasi Dalam Upaya Memenuhi Kebutuhan Hewan Laboratorium.
Available from http://artikel.dikti.go.id/index.php/PKMK/article/ download
/149/150. Accessed : September 1st, 2014.
cv
Lampiran 1
cvi
Lampiran 2
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS UDAYANA
UPT. LAB. ANALITIK
Kampus Bukit Jimbaran, Telp. 0361701954, HP.081803134550
Nomor
Hal
: 249/UN.14.24/UPTLA/2014
: Hasil Laboratorium
KEPADA YTH:
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS.
di
Denpasar
Jumlah sampel: 2 sampel
No
PARAMETER
1 Sampel 1
(Nutribaby soya)
2 Sampel 2
(BMT soya)
SATUAN
FITOESTROGEN
(TOTAL ISOFLAVON)
METODE
mg/100 g
11,25
HPLC
mg/100 g
12,09
HPLC
Bukit Jimbaran, 20 Oktober 2014
Kepala UPT Laboratorium Analitik
Universitas Udayana
(Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, M.Phil)
cvii
Lampiran 3. Tabel Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang
Dapat Diberikan pada Berbagai Hewan
Lampiran 4 Foto-foto Penelitian
Kandang tikus
Kandang tikus
Indukan & Bayi tikus
Indukan & Bayi tikus
cviii
Pemberian susu melalui sonde
P
Pemberian susu melalui sonde
Kit pengambilan darah
Anestesi Lokal
Pengambilan darah
Pengambilan darah
cix
Susu sapi Formula Morinaga
BMT tahap 1
Komposisi susu sapi formula
Morinaga BMT tahap 1
Susu formula kacang kedelai
Morinaga BMT soya tahap 1
Komposisi susu formula kacang
kedelai Morinaga BMT soya
tahap 1
cx
Lampiran 5
Uji Normalitas Data Estrogen dan Testosteron pada Masing-masing
Kelompok
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Kelompok
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Estrogen
Susu Sapi
.206
18
.041
.915
18
.106
.173
18
.164
.897
18
.051
Testosteron
Susu kedelai
Susu Sapi
.129
18
*
.961
18
.616
Susu kedelai
.179
18
.130
.906
18
.073
.200
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 6
Uji t-independent data Estrogen dan Testosteron antara Kelompok Kontrol
dengan Kelompok Perlakuan
Group Statistics
Kelompok
Estrogen
Testosteron
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Susu Sapi
18
.5511
.02784
.00656
Susu kedelai
18
.8161
.01461
.00344
Susu Sapi
18
3.2472
.14966
.03527
Susu kedelai
18
2.3561
.21745
.05125
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
F
Estrog Equal variances
en
assumed
1.310
Equal variances
not assumed
Testos Equal variances
teron assumed
Equal variances
not assumed
Sig.
t-test for Equality of Means
t
df
.346 -35.759
Sig.
Std. 95% Confidence
Interval of the
(2- Mean Error
Difference
taile Differe Differe
d)
nce
nce
Lower Upper
34 .000 -.26500 .00741 -.28006 -.24994
-35.759 25.70 .000 -.26500 .00741 -.28024 -.24976
.719
.402 14.322
34 .000 .89111 .06222 .76467 1.01756
14.322 30.15 .000 .89111 .06222 .76407 1.01815
cxi
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
F
Estrog Equal variances
en
assumed
1.310
Equal variances
not assumed
Testos Equal variances
teron assumed
Sig.
t-test for Equality of Means
t
df
.346 -35.759
Sig.
Std. 95% Confidence
Interval of the
(2- Mean Error
Difference
taile Differe Differe
d)
nce
nce
Lower Upper
34 .000 -.26500 .00741 -.28006 -.24994
-35.759 25.70 .000 -.26500 .00741 -.28024 -.24976
.719
.402 14.322
cxii
34 .000 .89111 .06222 .76467 1.01756
cxiii
Download