FAKTOR PRESIPITASI YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PERILAKU KEKERASAN DI RSKD PROVENSI SULAWESI SELATAN Nengsi Watin Tarra1, Herman2, Abd Rahman3 1STIKES Nani Hasanuddin Makassar Kemenkes Makassar 3Poltekkes Kemenkes Makassar 2Poltekkes (AlamatRespondensi: [email protected]/085256783797) ABSTRAK Perilaku kekerasan adalah salah satu respon marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencenderai orang lain, dan atau merusak lingkungan. Respon tersebut sering muncul karena adanya stressor. Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinyafakotpresipitasi yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. Desain penelitian ini adalah deskriptif non eksperimen dengan pendekatan Kohort. Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 3 Juni sampai dengan 19 Juni 2013 dengan populasi pasien gangguan perilaku kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel dilakukan dengan tekhnik purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang. Pengumpulan data dengan menggunakan lembar obsevarsi,kemudian data diolah dengan menggunakan program komputer SPSS for windows versi 16.0.uji statistik Chi-square. Hasil uji bivariat menunjukan ada pengaruh harga diri rendah dengan terjadinya perilaku kekerasan dengan nilai p = 0,001 lebih kecil dari nilai α = 0,05, ada pengaruh peran keluarga dengan terjadinya perilaku kekerasan dengan nilai p = 0,004 lebih kecil dari nilai α = 0,05, ada pengaruh lingkungan sosial dengan terjadinya perilaku kekerasan dengan nilai p = 0,001 lebih kecil dari nilai α = 0,05. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah, ada pengaruh faktor presipitasi (harga diri rendah, peran keluarga dan lingkungan sosial) dengan terjadinya perilaku kekerasan. Mengingat pada penelitian ini hanya dengan jumlah sampel yang standar diharapkan penelitian selanjutnya dengan sampel yang lebih besar. Kata kunci :Harga diri rendah, Peran keluarga dan lingkungan sosial. PENDAHULUAN Pembangunan disemua bidang, pergeseran pola masyarakat dari masyarakat agrikultur ke masyarakat industri dan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, serta tekanan arus globalisasi/informasi yang diperberat dengan krisis ekonomi, sosial, politik, selain membawa kemajuan dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat, juga telah menimbulkan berbagai masalah. Masalah yang ditimbulkan antara lain, terjadinya pergeseran nilai moral, kesenjangan sosial ekonomi, proporsi penduduk miskin yang makin besar, angka pengangguran yang makin tinggi, serta berbagai masalah sosial lain dan politik, sementara pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup makin sulit dilakukan. Kondisi ini mendukung peningkatan tindak kekerasan, terutama bagi golongan yang dianggap lemah dan rentan yaitu wanita dan anak-anak. Perilaku kekerasan biasa juga disebut dengan perilaku yang bersifat agresif menimbulkan kata-kata yang menggambarkan perilaku permusuhan, dan potensi untuk merusak secara fisik yang dapat menimbulkan kerusakan dan membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Masalah yang ditimbulkan dari perilaku kekerasan ini selain merusak dirinya sendiri, juga merusak orang lain, mencederai orang lain dan memandang tajam orang tersebut seperti memandang musuh terbesarnya, kemudian contoh dari lingkungan, misalnya merusak dan mengotori lingkungan tersebut juga termasuk perilaku kekerasan. WHO Global Campaign For Violence Prevention (2003), menginformasikan bahwa 1,6 juta penduduk dunia kehilangan hidupnya karena tindak kekerasan dan penyebab utama kematian pada mereka yang berusia antara 15 hingga 44 tahun. Empat puluh hingga tujuh puluh persen wanita yang menjadi korban pembunuhan ternyata dilakukan oleh suami atau teman kencan mereka sendiri. Bahkan di beberapa Negara, 69% wanita dilaporkan 335 Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 3 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721 pernah diperlakukan kasar oleh teman kencan laki-lakinya. Data yang menunjukan bahwa hampir 1 dari 4 perempuan melaporkan pernah dianiaya secara seksual oleh teman dekatnya dan hingga sepertiga wanita di dunia diperjualbelikan untuk dijadikan pekerja seksual. Sementara itu, jutaan anak-anak di dunia dianiaya dan diterlantarkan oleh orang tua mereka atau yang seharusnya mengasuh mereka. Terjadi 57.000 kematian karena tindak kekerasan terhadap anak di bawah usia 15 tahun pada 2000, dan anak berusia 0-4 tahun lebih dari dua kali lebih banyak dari anak berusia 5-14 tahun yang mengalami kematian. Terdapat 4-6% lansia mengalami penganiayaan di rumah (Jenkins 2003 dalam Hamid 2009;156). Data tahun 1993, sebelum krisis moneter saja, telah terjadi 164.577 kasus kekerasan berupa tindakan pencurian, pemerasan, perkosaan, pembunuhan, narkotika, kenakalan remaja, penipuan, penggelapan, pengrusakan, perjudian, dan kebakaran (Roesdihardjo 1994 dalam Hamid 2009;15). Tidak terhitung jumlah korban tindak kekerasan akibat tekanan sosial politik yang terjadi di beberapa daerah tertentu di Indonesia, yang tidak saja meninggalkan beban materi, tetapi juga beban psikososial bahkan rendahnya kualitas kehidupan secara menyeluruh bagi korban dan keluarga serta masyarakat. Menurut Miswanti (2011), faktor presipitasi perilaku kekerasan dapat bersumber dari klien, lingkungan, atau interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Pasien perilaku kekerasan yang dirawat di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Sulawesi selatan pada tahun 2011 dengan jumlah populasi 30 responden, yang ada gangguan fisik dan terjadi perilaku kekerasan sebanyak 20 (66,7%) sedangkan yang berisiko kekerasan sebanyak 2 (6,7%). Dan yang tidak ada gangguan fisik dengan terjadinya perilaku kekerasan sebanyak 4 (13,3%). Berdasarkan medical record yang diperoleh dari RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, klien dengan perilaku kekerasan pada tahun 2010, sebanyak 887 pasien. Tahun 2011 jumlah klien turun menjadi 562 pasien, sedangkan tahun 2012 klien dengan perilaku kekerasan meningkat menjadi 958 pasien. Berdasarkan uraian data yang dikemukakan di atas maka penulis mencoba menfokuskan penelitian ini tentang “ Faktor Presipitasi yang Mempengaruhi Terjadinya Perilaku Kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan”. BAHAN DAN METODE Lokasi, Populasi, dan Sampel Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif non eksperimen, merupakan bagian dari jenis penelitian observasional, yang dilakukan dengan cara pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa ada perlakuan, dengan menggunakan pendekatan Lokasi penelitian ini dilaksanakan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, ruang perawatan Kenari.Jalan Lanto Dg. Pasewang no. 34 kota Makassar. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan gangguan perilaku kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 30 responden Pengumpulan Data 1. Data Primer Teknik pengumpulan data digunakan untuk mendapatkan data yang di harapkan agar dapat menunjang penelitian ini, dengan melakukan observasi langsung pada klien dan untuk pernyataan kepada responden. 2. Data Sekunder Data yang digunakan sebagai data pelengkap dan penunjang data primer yang ada relevasinya untuk keperluan penelitian. Data diperoloeh dari medical record RSKD Propinsi Sulawesi Selatan. Pengolahan Data Adapun langkah – langkah pengolahan data yaitu: 1. Selecting Selecting merupakan pemilihan untuk mengklarifikasikan data menurut kategori. 2. Editing Editing di lakukan untuk meneliti setiap daftar pertanyaan yang sudah di isi, meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan konsistensi dari setiap jawaban. 3. Koding Koding merupakan tahap selanjutnya yaitu dengan memberi kode pada jawaban responden. 4. Tabulasi Data Setelah dilakukan editing dan koding dilanjutkan dengan pengolahan data ke dalam suatu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian. 336 Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 3 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721 Analisis Data 1. Analisis Univariat Dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara mendiskripsikan tiap variabel yang digunakan dalam penelitian dengan melihat distribusi n, mean, median, dan modus. 2. Analisis Bivariat Dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel bebas secara sendiri dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik Chi- Square, SPSS 16.00. HASIL PENELITIAN 1. Analisis univariat Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Umur n % Tidak Sekolah 4 13,3 SD 12 40,0 SMP 7 23,3 SMA 6 20,0 D3/Sarjana 1 3,4 Total 30 100.0 Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pendidikan responden yang tidak sekolah 4 responden (13,3%), SD sebanyak 12 responden (40,0%), SMP sebanyak 7 responden (23,3%), SMA sebanyak 6 responden (20,0%), dan DIII/Sarjana sebanyak 1 responden (3,4%). Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Umur (Tahun) n % 10-20 2 6,7 21-30 12 40,0 31-40 7 23,3 > 41 9 30,0 Total 31 100.0 Berdasarkan tabel hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa jumlah responden yang berumur 10-20 tahun sebanyak 2 responden (6,7%), umur 21-30 tahun sebanyak 12 responden (40,0%), umur 31-40 tahun sebanyak 7 responden (23,3%), dan yang berumur > 41 tahun sebanyak 9 responden (30,0%). Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Jenis Kelamin n % Laki-Laki 30 100 Total 30 100.0 Berdasarkan data dari tabel penelitian di atas diketahui tingkat jenis kelamin responden adalah laki-laki semua dengan jumlah sebanyak 30 responden (100%). Karena di ruang Kenari adalah ruang perawatan laki-laki. Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Harga Diri Rendah di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Harga Diri n % Rendah Ya 24 80,0 Tidak 6 20,0 Total 30 100.0 Data dari tabel 4 di atas menunjukkan bahwa responden yang mengalami harga diri rendah adalah sebanyak 24 responden (80,0%) dan yang tidak mengalami harga diri rendah sebanyak 6 responden (20,0%). Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Lingkungan Sosial di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Lingkungan n % Sosial Buruk Baik 27 3 90,0 10,0 Total 30 100.0 Data dari tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami lingkungan sosial yang buruk sebanyak 27 responden (90,0%) dan yang lingkungan sosialnya baik sebanyak 3responden (10,0%). Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Peran Keluarga di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Peran Keluarga n % Tidak 26 86,7 Ada 4 13,3 Total 30 100.0 Data dari tabel 6 di atas menunjukkan bahwa responden yang tidak ada peran/dukungan keluarganya adalah sebanyak 26 responden (86,7%) dan yang ada peran keluarganya sebanyak 4 responden (13,3%). Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Perilaku Kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 337 Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 3 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721 Perilaku Kesehatan n % Perilaku Kekerasan Risiko Perilaku Kekerasan 26 4 86,7 13,3 Total 31 100.0 Data dari tabel 7 di atas menunjukkan bahwa ada sebanyak 26 responden (86,7%) yang mengalami perilaku kekerasaan dan yang resiko perilaku kekerasan sebanyak 4 responden (13,3%). 2. Analisis Bivariat Tabel 8 Pengaruh Harga Diri Rendah Terhadap Kejadian Perilaku Kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Harga Diri Rendah Ya Tidak Kejadian Perilaku Kekerasan Total Risiko Perilaku Perilaku kekerasan Kekerasan n % n % n % 24 80,0 0 0 24 100 2 6,7 4 13,3 6 100 p = 0,001 Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui responden yang mengalami harga diri rendah dan mengalami perilaku kekerasaan sebanyak 24 responden (80,0%), sedangkan yang mengalami resiko perilaku kekerasan sebanyak 0 responden (0,0%). Responden yang tidak mengalami harga diri rendah dan mengalami perilaku kekerasan sebanyak 2 responden (6,7%), sedangkan yang mengalami resiko perilaku kekerasan sebanyak 4 responden (13,3%). Hasil uji statistik chi-square yaitu fisher antara variabel tingkat harga diri rendah terhadap kejadian perilaku kekerasaan diperoleh nilai ρ = 0,001 (ρ < 0,05) yang artinya ada pengaruh yang signifikan antara harga diri rendah terhadap kejadian perilaku kekerasan. Tabel 9 Pengaruh Peran Keluarga Terhadap Kejadian Perilaku Kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Peran Keluarga Tidak Ada Kejadian Perilaku Kekerasan Total Risiko Perilaku Perilaku kekerasan Kekerasan n % n % n % 25 83,3 1 3,3 26 100 1 3,3 3 10,0 4 100 p = 0,004 Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui responden yang tidak ada peran keluarganya dan mengalami kejadian perilaku kekerasan sebanyak 25 responden (83,3%), sedangkan yang mengalami kejadian resiko perilaku kekerasan sebanyak 1 responden (3,3%). Responden yang ada peran keluarganya dan mengalami kejadian perilaku kekerasan sebanyak 1 responden (3,3%), dan yang mengalami kejadian resiko perilaku kekerasan sebanyak 3 responden (10,0%). Hasil uji statistik chi-square antara variabel peran keluarga terhadap kejadian perilaku kekerasan diperoleh nilai ρ= 0,004 (ρ < 0,005) yang berati ada pengaruh antara peran keluarga dengan kejadian perilaku kekerasan. Tabel 10 Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Kejadian Perilaku Kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2013 Kejadian Perilaku Kekerasan Total Lingkungan Risiko Perilaku Sosial Perilaku kekerasan Kekerasan n % n % n % Buruk 26 86,7 1 3,3 24 100 Baik 0 3,3 3 10 6 100 p = 0,001 Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui responden yang lingkungan sosialnya buruk dan mengalami kejadian perilaku kekerasan sebanyak 26 responden (86,7%) dan yang mengalami kejadian resiko perilaku kekerasan sebanyak 1 responden (3,3%). Responden dengan lingkungan sosial yang baik dan mengalami kejadian perilaku kekerasan sebanyak 0 responden (0%), sedangkan yang mengalami kejadian resiko perilaku kekerasan sebanyak 3 responden (10%). Hasil uji statistik chi-square antara variabel lingkungan sosial terhadap kejadian perilaku kekerasan diperoleh nilai ρ = 0,001 (ρ < 0,05) yang berarti ada pengaruh antara lingkungan sosial terhadap kejadian perilaku kekerasan. PEMBAHASAN 1. Pengaruh harga diri rendah terhadap kejadian perilaku kekerasan. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lebih dari sebagian responden memiliki harga diri rendah 80,0% dan hanya 20% responden yang tidak memiliki harga diri rendah. Sedangkan analisis bivariat menunjukkan bahwa berdasarkan 338 Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 3 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721 hasil uji statistic chi-square. Nilai yang dipakai adalah pada nilai Pearson chisquare . Nilai significancy-nya adalah 0,001, nilai p < 0,05 Dengan demikian dikatakan ada pengaruh antara harga diri rendah dengan perilaku kekerasan sehingga Ha diterima dan Ho ditolak dengan Interpretasi ”bahwa ada pengaruh harga diri rendah dengan kejadian perilaku kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan”. Berdasarkan hasil data penelitian yang didapatkan pasien yang mengalami harga diri rendah disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri akan kemampuan yang dimilikinya. Pasien selalu menganggap dirinya tidak ada gunanya dan selalu merasa pesimis dalam menghadapi suatu masalah. Padahal perilaku kekerasan yang dialami pasien dapat teratasi dengan berusaha menghilangkan sikap harga diri rendah dengan berupaya menyalurkan kemampuan yang dimiliki dan selalu optimis dalam melakukan hal dan mengganggap akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang yang ada disekitarnya. Pada pasien perilaku kekerasan di ruang Kenari RSKD Provinsi Sulawesi Selatan belum bisa mengatasi sikap harga diri rendah yang dapat berdampak pada kejadian perlaku kekerasan. Hal ini dikarenakan masih adanya ketidak mampuan pasien dalam menyalurkan kemampuannya dan selalu merasa tak berguna serta pesimis dalam mengatasi suatu keadaan. Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Rostaria (2011) yang menyatakan bahwa harga diri rendah sangat mempengaruhi tingkat perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan yang biasa dialami oleh seorang pasien dikarenakan rasa stress yang berkelanjutan. Stress sendiri itu muncul saat seseorang merasa tidak sanggup melakukan sesuatu atau menyelesaikan suatu persoalan hidupnya. Saat itulah pasien akan merasakan stress yang berkepanjangan yang pada akhirnya menimbulkan perilaku kekerasan pada dirinya sendiri atau orang-orang yang ada disekitarnya. Menurut Towsend, M.C. (1998), harga diri rendah adalah perilaku negatif terhadap diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif, yang dapat diekspresikan secara langsung maupun tak langsung. Harga diri klien yang rendah menyebabkan klien merasa malu, dianggap tidak berharga dan berguna. Klien kesal kemudian marah dan kemarahan tersebut diekspresikan secara tak konstruktif, seperti memukul orang lain, membanting-banting barang atau mencederai diri sendiri. Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu berada pada situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena gagal menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situsional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis. Harga diri rendah adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart dan Sundeen, 1998 :227). Menurut Townsend (1998:189), harga diri rendah merupakan evaluasi diri dari perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif baik langsung maupun tidak langsung. Pendapat senada dikemukakan oleh Carpenito, L.J (1998:352), bahwa harga diri rendah merupakan keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan diri. Dari pendapat-pendapat di atas dapat dibuat kesimpulan, harga diri rendah adalah suatu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya kepercayaan diri, dan gagal mencapai tujuan yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung, penurunan harga diri ini dapat bersifat situasional maupun kronis atau menahun. 2. Pengaruh peran keluarga terhadap perilaku kekerasan. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lebih dari sebagian responden yang tidak ada peran keluarga 86,7% dan hanya 13,3% responden yang ada peran keluarganya. Sedangkan analisis bivariat menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji statistic chi-square. Nilai yang dipakai adalah pada nilai Pearson chi-square . Nilai significancy-nya adalah 0,004, nilai p < 0,05 Dengan demikian dikatakan ada pengaruh antara peran keluarga dengan perilaku kekerasan sehingga Ha diterima dan Ho ditolak dengan Interpretasi ” bahwa 339 Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 3 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721 ada pengaruh peran keluarga dengan kejadian perilaku kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan”. Dari hasil penelitian yang didapatkan bahwa pasien yang mengalami perilaku kekerasan juga dipengaruhi oleh peran keluarga, pasien tidak dipercaya oleh anggota keluarganya, tidak dihargai dikeluarganya, dan pasien tidak mendapat dukungan dari keluarganya. Sehingga, peran keluarga sangat membantu pasien, karena dengan adanya peran keluarga pasien merasa dihargai dan dianggap ada. Dengan begitu, pasien akan selalu ikut berpatisispasi dalam keluarganya. Selain itu, peran keluarga juga sangat membantu pasien dalam memulihkan perasaan atau keadaanya yang telah mengalami perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan yang dialami pasien mungkin saja akan membuat trauma yang berkepanjangan, sehingga peran keluarga sangat penting dalam proses penyembuhan pasien. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Solihin (2011) menyatakan bahwa beberapa peran keluarga membenarkan penggunaan kekuasan dengan beranggapan bahwa hal tersebut cukup efektif dan tidak berbahaya. Tetapi hal itu bukan berarti bahwa penggunaan kekuasaan dan otoritas itu tidak merugikan penggunaan kekuasan dan otoritas itu akan lebih berbahaya apabila orang tua tidak konsisten. Apabila orang tua merasa bahwa mereka perlu menggunakan otoritas, maka konsistensi di dalam penerapannya akan memberikan kesempatan yang lebih banyak pada seseorang untuk mengenali tingkah laku mana yang baik atau tidak baik, sehingga mengakibatkan seseorang berani berbuat sesuka hatinya seperti perilaku kekerasan. Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan seseorang, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dibuat mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anggota keluarganya. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku seseorang terhadap orang lain dalam masyarakat. Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi seseorang, keluarga juga merupakan tempat seseorang mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan akan kepuasan emosional. Peranan dan tanggung jawab yang harus dimainkan keluarga dalam membina anggota keluarga yang lainnya. Interaksi fungsional dalam hierarki kekuasaan terjadi apabila kekuasaan didistribusikan menurut pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarga atau apabila kekuasaan diterapkan menurut kemampuan dan sumber anggota keluarga sesuai dengan ketentuan kebudayaan keluarga dari hubungan kekuasan keluarga. (Friedman dkk, 2010) Kondisi keluarga atau orang tua dapat diartikan dalam konteks yang luas yakni tidak hanya orang tua di rumah, melainkan juga di luar rumah. Peran orang tua menjadi kunci keberhasilan dalam upaya pencegahan dan penanganan perilaku menyimpang remaja atau pelajar. Keluarga harus menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan sehat remaja, yakni suasana keluarga yang harmonis (sakinah). Sebaliknya keluarga yang tidak baik atau harmonis, maka resiko anak mengalami gangguan kepribadian dan perilaku menyimpang lebih besar, kondisi keluarga yang dimaksud sebagai berikut : broken home, kesibukan orang tua yang melupakan keluarga, hubungan interpersonal yang buruk dan keluarga kurang kasih sayang. (Setiawan. 2012) Lingkungan keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan proses sosialisasi dan sivilisasi pribadi anak. Karena di tengah keluarga anak belajar mengenal makna cinta kasih, simpati, loyalitas, ideologi, bimbingan dan pendidikan. Keluarga memberikan pengaruh menentukan pada pembentukan watak dan kepribadian anak, dan menjadi unit sosial terkecil yang memberikan pondasi primer bagi perkembangan anak. Baik buruknya struktur keluarga memberikan dampak baik atau buruknya perkembangan jiwa dan jasmani anak. (Setiawan. 2012). 3. Pengaruh lingkungan sosial terhadap kejadian perilaku kekerasan. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lebih dari sebagian responden dengan lingkungan sosial buruk 90,0% dan hanya 10,0% responden dengan lingkungan sosial baik. Sedangkan analisis bivariat menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji statistic chi-square. Nilai yang dipakai adalah pada nilai Pearson chisquare . Nilai significancy-nya adalah 0,001, nilai p < 0,05 Dengan demikian dikatakan ada pengaruh antara lingkungan 340 Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 3 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721 sosial dengan perilaku kekerasan sehingga Ha diterima dan Ho ditolak dengan Interpretasi ” bahwa ada pengaruh lingkungan sosial dengan kejadian perilaku kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan”. Dari data penelitian yang dilakukan, pasien perilaku kekerasan dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Pasien yang mempunyai lingkungan sosial yang buruk dengan menganggap orang lain itu sebagai musuh, hidup dengan tetangga yang sering mengejeknya, sering melakukan kekerasan di luar rumah, dan tidak bisa berinterksi dengan orang di sekitarnya. Sehingga, menjadikan seseorang berani melakukan perilaku kekerasan. Lingkungan sosial pasien yang buruk muncul karena interaksi dengan lingkungan sekitarnya kurang terjalin dengan baik atau tidak terjalin sama sekali, memungkinkan seseorang atau pasien mengalami kejadian perilaku kekerasan. Lingkungan sosial yang buruk juga dapat muncul dari cara sehari-hari pasien bergaul dengan orang-orang di sekitarnya. Hasil penelitian ini memiliki persamaan dengan hasil Itriyanti (2010) yang menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi terjadi suatu tindakan perilaku kekerasan. Kekecewaan terhadap dirinya, orang dan lingkungannya menjadikan seseorang merasa ada beban psikologis yang membuat orang tersebut jadi berbuat kasar hingga munculnya perilaku kekerasan. Situasi lingkungan sosial yang tidak sehat atau rawan, cenderung juga akan menimbulkan perilaku menyimpang dan kerawanan sosial seperti halnya perilaku kekerasan tersebut. Adapun lingkungan yang dimaksud adalah hiburan malam, minum-minuman keras dan narkoba, prostitusi, pornografi dan tindakan kekerasan lainnya. Pelajar merupakan generasi muda yang lahir dari keluarga yang tumbuh dan berkembang, serta berinteraksi dalam lingkungan pergaulan masyarakat, akan bereaksi dan memberikan respon terhadap situasi yang terjadi pada lingkungannya. (Kartono, 2010) Menurut Gerungan (1991:82), situasi sosial pada diri sendiri sudah mempunyai pengaruh tertentu terhadap kegiatankegiatan individu dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan yang sama apabila dalam keadaan sendirian; yakni situasi kebersamaan mempunyai pengaruh menyama-ratakan pendapat-pendapat orang yang ada di dalamnya. Jadi situasi sosial seseorang akan mempengaruhi proses yang berlangsung dalam diri individu, baik dalam keputusan, perilaku maupun tindakan yang dilakukan. Sejak individu itu dilahirkan di dunia, ia selalu berinteraksi dengan individuindividu yang lain di dalam kelompoknya, sehingga dapat membentuk individu menjadi person dan mengubah sifat-sifat aslinya menjadi sifat-sifat kemanusiaan. Hal-hal tersebut terjadi pada suku-suku yang masih sederhana maupun orangorang modern yang hadir di kota-kota besar selalu berinteraksi diantara teman pergaulan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pergaulan merupakan suatu hubungan yang mempengaruhi tingkah laku individu. (Kartono, 2010) Menurut Sherif dan Sherik (1991:94), pergaulan adalah suatu unit sosial terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu yang khas bagi kelompok itu. Pergaulan bila disorot secara khusus akan memberikan gambaran yang berbeda-beda. Akan terlihat adanya pergaulan yang hanya bersifat sementara, menengah sampai dalam jangka waktu yang cukup panjang. Demikian pula sifat pergaulan yang tidak selalu sama, ada pergaulan yang menggambarkan hubungan reaktif saja, seolah-olah hubungan antara dua individu atau lebih hanya terjalin hubungan yang bersifat aksi dan reaksi saja. Namun menurut Singgih (1977:35), ada pula pergaulan dimana individu-individu yang bersangkutan aktif dan kreatif menciptakan hubungan dimana masing-masing memajukan taraf kehidupannya dan saling menyempurnakan martabatnya. Di samping itu pula ada pergaulan yang bentuknya cenderung bersifat ekspresif, artinya pergaulan yang terjadi karena keinginan untuk mengekspresikan jiwa muda seseorang, yang dalam hal ini kecenderungannya kurang positif, misalnya hura-hura. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor presipitasi yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013, dapat disimpulkan bahwa: 341 Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 3 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721 1. Ada pengaruh harga diri rendah perilaku kekerasan di RSKD Sulawesi Selatan. 2. Ada pengaruh peran keluarga perilaku kekerasan di RSKD Sulawesi Selatan. 3. Ada pengaruh lingkungan sosial perilaku kekerasan di RSKD Sulawesi Selatan. terhadap Provinsi terhadap Provinsi SARAN Diharapkan bagi pihak rumah sakit agar meningkatkan penanganan pada pasien perilaku kekerasan, dalam hal deteksi dini penyebab terjadinya perilaku kekerasan. terhadap Provinsi DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, 2011.Tugas Psikologi Lingkungan, (online). (http://Devianggraeni90.Word 2011/02/26/Tugas-Psikologi-Lingkunga) Diakses 26 April 2011. press.com/ Dalami dkk, 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa dengan masalah Psikososial. CV. Trans Info Media. Jakarta Direja, 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika. Yogyakarta. Hamid, 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa Kesehatan Jiwa. Cetak 1. Penerbit kedokteran,EGC, Jakarta Hidayat, 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Healt Books Publishing. Surabaya. Iyus, 2011. Keperawat Jiwa. PT. Refika Aditama. Bandung. Keliat dkk, 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN(Basic Course). EGC, Jakarta Kusumawati, 2012. Buku ajar Keperawatan Jiwa. Salemba Medika. Jakarta. Mirawanti. Faktor Presipitasi yang Berhubungan Dengan Perilaku Kekerasan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. 2011. Nanang, 2010. Metode Penelitian Kuantutatif. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Notoatmodjoko, 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta Nursalam, 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. Payapo Suliswati, Tjie Anita, Murahawa Jeremia, Sumijatun, 2012. Konsep Dasar Keperawatn Kesehatan Jiwa.Buku Kedokteran,EGC. Jakarta. Setiawan. Asuhan Keperawatan Keluarga. Edisi 2. Trans Info Media. Jakarta. Setyowati. Asuhan Keperawatan Keluarga. Mitra Cendika Press. Jogjakarta. Sulolipu, 2012. Sejarah Dan Pendekatan Kesehatan Masyarakat. FKM Universitas Muslim Indonesia. Makassar. 342 Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 3 Tahun 2014 ● ISSN : 2302-1721