i PREVALENSI INFEKSI BAKTERI PATOGEN

advertisement
i
PREVALENSI INFEKSI BAKTERI PATOGEN PADA IKAN PATIN
(Pangasius hypophthalmus) DI KAWASAN MINAPOLITAN
KABUPATEN BANJAR
EKA HANDAYANI
B253080031
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFOMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi Infeksi Bakteri
Patogen pada Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) di Kawasan Minapolitan
Kabupaten banjar adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Eka Handayani
NIM B253080031
iii
ABSTRACT
EKA HANDAYANI. Prevalence of pathogenic bacterial infection in Pangasius
hypophthalmus in Minapolitan Area of Banjar District. Under direction of
FACHRIYAN HASMI PASARIBU and USAMAH AFIFF.
Numbers of 160 samples of Pangasius hypophthalmus were taken from
16 groups of fish (Pokdakan) in Minapolitan Area of Banjar District. Fish samples
were taken selectively (which showed clinical symptoms of disease) or taken
randomly if the symptoms of disease did not show. Bacterial isolates were made
from organ of fish samples, and then were identified by the morphology,
physiology and biochemistry test. Measurement of water quality parameters were
also conducted directly in the respective pools/sampling sites. Eight types of
pathogenic bacterial were found in Minapolitan Area of Banjar District with
prevalence of 50.00%. The pathogenic bacterial were Plesiomonas shigelloides
(26.88%), Aeromonas caviae (8.13%), Flavobacterium columnare (5.00%),
Citrobacter freundii (3.13%), Corynebacterium sp (2.50%), Micrococcus sp
(1.88%), Aeromonas hydrophilla (1.88%) and Pasteurella multocida (1.88%).
Prevalence of pathogenic bacterial in West Martapura Subdistrict (52.5%) was
higher than Martapura Subdistrict (42.5%). There were significant correlation
between water turbidity and prevalence of pathogenic bacterial.
Keywords:
Pathogenic
bacterial,
prevalence,
Minapolitan Area of Banjar District
Pangasius
hypophthalmus,
iv
RINGKASAN
EKA HANDAYANI. Prevalensi Infeksi Bakteri Patoegen pada Ikan Patin
(Pangasius
hypophthalmus)
di
Kawasan
Minapolitan
Kabupaten banjar.
Dibimbing oleh FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan USAMAH AFIFF.
Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor andalan di
Kabupaten Banjar dalam rangka peningkatan dan perbaikan ekonomi daerah.
Untuk memadukan sektor perikanan dengan dan sektor-sektor terkait lainnya
agar dapat saling mendukung dan bersinergi dengan pendekatan pembangunan
berbasis kawasan dan komoditas, Kabupaten Banjar menetapkan Kawasan
Minapolitan Cindai Alus sebagai kawasan strategis dan menjadi kawasan
unggulan daerah. Pengembangan kawasan minapolitan Cindai Alus ini
menitikberatkan kegiatan ekonominya pada usaha perikanan budidaya dengan
ikan patin sebagai komoditas utamanya. Sehubungan dengan kebijakan
pengembangan sentra perikanan budidaya menuju industrialisasi perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2011 juga telah menetapkan
beberapa kawasan pengembangan perikanan budidaya dengan 7 komoditas
utama, dimana
Kabupaten Banjar menjadi salah satu simpul
industrialisasi
perikanan untuk pulau Kalimantan dengan Patin sebagai komoditas utama.
Ikan Patin (Pangasius spp) merupakan spesies ikan air tawar dari jenis
Pangasidae yang dapat diproduksi secara massal dan memiliki peluang
pengembangan skala industri. Ikan ini menjadi salah satu komoditas perikanan
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik dalam segmen usaha pembenihan
maupun usaha pembesarannya (Susanto, 2009). Keberhasilan pengembangan
ikan Patin di Kawasan Minapolitan Cindai Alus
tidak terlepas dari upaya
penanganan dan pemberantasan hama dan penyakit ikan terutama hama
penyakit ikan karantina. Bakteri merupakan salah satu agen penyakit ikan yang
dapat merusak kelestarian sumberdaya hayati perikanan dan menurunnya
tingkat kualitas maupun kuantitas produksi perikanan. Salah satu upaya
pencegahan dan pengendalian terjadinya serangan dan penyebaran penyakit
bakterial pada ikan adalah dengan melakukan pemantauan prevalensi penyakit
bakterial dikawasan Minapolitan sebagai upaya deteksi dini untuk pencegahan
serta pemberantasan dan pengendaliannya.
v
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
mengidentifikasi,
menginventarisir serta menentukan prevalensi penyakit bakterial utama pada
Ikan Patin di kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar sebagai upaya
deteksi dini untuk pencegahan, pemberantasan dan pengendaliannya. Manfaat
langsung yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menjadi bahan
informasi dan bahan pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan,
pemberantasan dan pengendalian hama dan penyakit ikan khususnya penyakit
bakterial di Kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar.
Sebanyak 160 sampel ikan Patin diambil dari 16 lokasi kolam budidaya
POKDAKAN di Kawasan Minapolitan kabupaten Banjar. Sampel ikan tersebut
dipilih secara selektif (ikan yang menunjukan gejala klinis terserang penyakit)
atau secara acak jika ikan tidak menunjukan gejala terserang penyakit. Isolat
bakteri diambil dari organ ikan meliputi insang, paru-paru, hati, ginjal dan daging.
Isolat bakteri yang tumbuh selanjutnya identifikasi secara morfologi, fisologi dan
biokimia. Pengukuran parameter kualitas air meliputi pH, suhu, oksigen terlarut,
kecerahan, kadar amoniak, nitrit, nitrat dan besi juga dilakukan pada saat yang
bersamaan dengan pengambilan sampel ikan. Data hasil penelitian dianalisa
dengan menggunakan rumus prevalensi/frekuensi kejadian, uji korelasi dan
regresi.
Beberapa gejala penyakit yang terlihat pada ikan sampel yakni luka pada
permukaan tubuh, gripis pada sirip dan ekor serta pembengkakan pada bagian
perut. Dari hasil penelitian, prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan
Minapolitan Kabupaten Banjar sebesar 50%. Bakteri patogen tersebut meliputi
Plesiomonas shigelloides, Citrobacter freundii, Aeromonas caviae, Aeromonas
hydrophilla, Pasteurella multocida, Flavobacterium columnare, Corynebacterium
sp dan Micrococcus sp.
Prevalensi infeksi bakteri patogen di kecamatan
Martapura Barat (52,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan Martapura
Kota (42,5%).
Prevalensi infeksi bakteri patogen tertinggi di Kawasan Minapolitan adalah
infeksi Plesiomonas shigelloides (26,88%) dan Aeromonas caviae (8,13%). Di
Kecamatan
Martapura
Kota,
prevalensi
bakteri
tertinggi
adalah
infeksi
Plesiomonas shigelloides (25,00%), Aeromonas hydrophilla (7,50%) dan
Citrobacter freundii (5,00%). Untuk Kecamatan Martapura Barat, prevalensi
bakteri tertinggi adalah infeksi Plesiomonas shigelloides (27.50%), Aeromonas
caviae (10,00%) dan Flavobacterium columnare (6,67%). Hasil isolasi bakteri
vi
dari organ sampel, menunjukkan bahwa hanya Plesiomonas shigelloides dan
Aeromonas caviae yang ditemukan dari kelima organ sampel, sedangkan 6
bakteri lainnya diisolasi dari organ tertentu. Terdapat dua jenis bakteri yang
hanya diisolasi dari satu organ meliputi Pasteurella multocida yang diisolasi dari
hati dan Corynebacterium sp yang diisolasi dari ginjal.
Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dan prevalensi infeksi
bakteri patogen di Kawasan Minapolitan menunjukan bahwa terdapat hubungan
korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
di Kawasan Minapolitan. Suhu dan pH memiliki korelasi yang cukup kuat dengan
prevalensi infeksi bakteri patogen.
Peningkatan suhu dan pH dapat
meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Kecerahan air memiliki korelasi
yang sangat
kuat dan signifikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
Kabupaten Banjar. Semakin rendah tingkat kecerahan air dapat meningkatkan
prevalensi infeksi bakteri patogen. Hasil uji korelasi antara umur ikan (ukuran
tubuh ikan) dan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan
menunjukan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara ukuran tubuh ikan
dengan prevalensi infeksi bakteri patogen. Hasil penelitian menunjukkan adanya
penurunan prevalensi infeksi bakteri patogen
seiring dengan bertambahnya
ukuran tubuh ikan
Kata kunci : Bakteri patogen, prevalensi, Pangasius hypophthalmus, Kawasan
Minapolitan Kabupaten Banjar
vii
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
ataumenyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
viii
PREVALENSI INFEKSI BAKTERI PATOGEN PADA IKAN PATIN
(Pangasius hypophthalmus) DI KAWASAN MINAPOLITAN
KABUPATEN BANJAR
EKA HANDAYANI
B253080031
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Mikrobiologi Medis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Drh.Hj.Agustin Indrawati, M.Biomed
x
Judul
: Prevalensi Infeksi Bakteri Patogen pada Ikan Patin (Pangasius
hypophthalmus) di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar
Nama
: drh. Eka Handayani
NRP
: B253080031
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu
drh Usamah Afiff, M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Mikrobiologi Medis
Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu
Tanggal Ujian : 9 Agustus 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Lulus :
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul
Prevalensi Infeksi Bakteri Patogen pada Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)
di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar, sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi/Mayor Mikrobiologi Medis,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.drh. Fachriyan H.Pasaribu
selaku Ketua komisi pembimbing dan drh.Usamah Afiff, M.Sc selaku anggota
komisi pembimbing yang dengan sabar dan tulus memberikan bimbingan,
nasehat danpengorbanan waktu yang diberikan selama masa penelitian sampai
dengan penyelesaian tesis. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih
kepada Kepala Balai Karantina Ikan Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin
beserta Karyawan/Karyawati yang telah banyak membantu penulis selama
melaksanakan penelitian.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh Staf Pengajar
Program Mikrobiologi Medik, rekan seperjuangan MKM angkatan 2008, 2009,
2010, 2011 dan 2012 atas dukungannya. Kepada Papah dan Mamah, adik-adik
tercinta serta seluruh keluarga besar terimakasih atas segala doa restu,
bimbingan, semangat dan didikan dalam keluarga sehingga ananda senantiasa
terpacu menyelesaikan pendidikan S2.
Terimakasih kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar
yang berkenan memberikan izin
sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah.
Terima kasih kepada M.Syahid, S.Pi, MP,
Ir.Sofyan Hadi, Drh.Asep Yusuf
Nugraha, para penyuluh perikanan dan Karyawan/i Dinas Perikanan dan
Kelautan Kab. Banjar yang banyak memberikan dukungan dan bantuan selama
penulis melaksanakan penelitian di lapangan.
Akhirnya dengan penuh rasa cinta penulis menyampaikan tulisan ini
sebagaibekal ilmu selama menjalani kehidupan di masa depan untuk suami
tercinta Rama Prima Syahti Fauzi yang selalu mengisi hari-hari penulis dengan
senyuman, semangat dan motivasi, semoga tulisan ini menjadi berkah bagi kita,
masyarakat dan Negara. Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan
xii
satu persatu diucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. Semoga
segala budi dan jasa yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu
dengan kerendahan hati penulis berharap pembaca dapat memberikan saran
yang bermanfaat demi kesempurnaannya. Semoga karya ini dapat bermanfaat
bagi kemajuan sektor perikanan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bogor,
Agustus 2012
Eka Handayani
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palangkaraya pada tanggal 25 November 1985
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Haderani dan
Ibu Lendang. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Melayu
12 Muara Teweh, Kalimantan Tengah pada tahun 1996 dan pada tahun 1999
penulis menyelesaikan sekolah menengah pertama di SLTPN 1 Muara Teweh.
Selanjutnya penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum tahun 2002 di
SMUN I Muara Teweh, kemudian melanjutkan studi S1 sampai dengan dokter
hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Angkatan 39 dan
lulus pada tahun 2008.
Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 pada Program
Studi Mikrobiologi Medis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada
Januari 2010 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Pelaksana pada Subbag
Program Perikanan, Dinas perikanan dan Kelautan Kabupaten Banjar Provinsi
Kalimantan Selatan.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
xvii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………..
xviii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………..
xix
PENDAHULUAN ………………………………………………………………
1
Latar belakang …………………………………………………………
1
Rumusan Masalah …………………………………………………….
3
Tujuan ………………………………………………………………….
3
Manfaat penelitian …………………………………………………….
3
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………….
4
Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) ……………………………
4
Sistematika dan Morfologi Patin Siam ……………………….
4
Siklus Hidup Ikan Patin …………………………………………
6
Sifat-sifat Biologis ………………………………………………
6
Makanan dan Kebiasaan Makan ……………………………..
7
Kondisi Wilayah Pemantauan ………………………………………..
7
Kondisi Umum …………………………………………………..
7
Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar …………………….
9
Hama Dan Penyakit Ikan ……………………………………………..
11
Penyakit Akibat Infeksi Bakteri ……………………………………….
12
Penyakit bakterial utama pada ikan Patin …………………………..
13
Aeromonas hydrophila…………………………………………..
13
Aeromonas salmonicida………………………………………...
14
Pseudomonas sp ………………………………………………..
14
Edwardsiella tarda. ……………………………………………..
15
Edwardsiella ictaluri …...………………………………………..
16
Flavobacterium columnare ……………………………………
Faktor Lingkungan dan Kualitas Air …………………………………
16
17
xv
METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………………….
21
Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………….
21
Alat dan Bahan …………………………………………………………
21
Cara Kerja ………………………………………………………………
21
Pengumpulan Data ………………………………………………
21
Pengambilan Sampel …………………………………………….
22
Pemeriksaan bakteri ………………………………………..........
24
Preparasi Sampel ………………………………………..
24
Isolasi bakteri ……………………………………………..
24
Identifikasi isolat bakteri …………………………………
24
Identifikasi Bakteri ……………………………………….
25
Pengukuran Parameter Kualitas Air ……………………………
26
Pengolahan Data ………………………………………………….......
26
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………
27
Gejala Klinis pada Ikan Patin yang Terinfeksi Bakteri ……………..
27
Hasil isolasi Bakteri dari lokasi pengambilan sampel ……………...
27
Prevalensi infeksi bakteri patogen …………………………………...
28
Hasil isolasi bakteri patogen dari organ tubuh ikan ………………..
29
Hasil analisa parameter kualitas air ………………………………….
Hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi
bakteri…………………………………………………………………..
Peranan stress lingkungan dengan kejadian infeksi bakteri pada
ikan .................................................................................................
Derajat keasaman (pH) ………………………………………...
30
35
36
38
Suhu ……………………………………………………………...
39
Kecerahan ……………………………………………………….
41
Oksigen terlarut (DO) …………………………………………..
42
Amoniak (NH3) ………………………………………………….
44
Nitrit (NO2) ……………………………………………………….
44
Nitrat (NO3) ………………………………………………………
45
Besi (Fe) …………………………………………………………
45
Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides ……………………….
46
Prevalensi infeksi Aeromonas sp……………………………………..
48
Prevalensi infeksi Citrobacter freundii ……………………………….
51
xvi
Prevalensi infeksi Flavobacterium columnare ………………………
52
Prevalensi infeksi Corynebacterium sp………………………………
53
Prevalensi Infeksi Pasteurella multocida …………………………..
54
Prevalensi Infeksi Micrococcus sp………………………………….
Prevalensi Infeksi bakteri patogen pada ukuran Ikan yang
berbeda…………………………………………………………………
54
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………
58
Kesimpulan ………………………………………………………………
58
Saran ………………………….………………………………………….
58
DAFTAR PUSTAKA …….…….…….…….…….…….…….…….…….……
59
LAMPIRAN …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…….….
63
55
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Luas areal Kawasan Minapolitan dan Pemanfaatannya ……….
2 Perkembangan Kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten
Banjar ………………………………………………………………….
3 Target Produksi Perikanan Budidaya Kabupaten Banjar Tahun
2009-2014 ………………………………………………………..........
4 Penentuan jumlah sampel usaha POKDAKAN Patin ……………
9
10
10
22
5 Penentuan jumlah sampel ikan dengan metode Amos ………..
23
6 Prevalensi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan ……………
28
7 Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan …..
28
8 Jumlah isolat bakteri patogen yang ditemukan dari organ tubuh
ikan ……………………………………………………………………..
9 Hasil analisa parameter kualitas air, prevalensi infeksi bakteri
patogen dan bakteri patogen yang ditemukan di lokasi
pengambilan sampel …………………………………………………
10 Prevalensi masing-masing bakteri patogen di lokasi pengambilan
sampel di Kawasan Minapolitan ……………………………………
11 Kisaran optimum kualitas air untuk budidaya ikan Patin ………..
12 Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi
infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan ………………….
13 Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides dan kualitas air di
lokasi sampel ………………………………………………………….
14 Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi
infeksi Plesiomonas shigelloides di Kawasan Minapolitan……..
15 Prevalensi infeksi Aeromonas caviae dan kualitas air di lokasi
sampel …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…….
16 Prevalensi infeksi Citrobacter freundii dan kualitas air di lokasi
sampel …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…….
17 Prevalensi infeksi Flavobacterium columnare dan kualitas air di
lokasi sampel …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….
18 Prevalensi infeksi Corynebacterium sp dan kualitas air di lokasi
sampel …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…….
19 Prevalensi infeksi bakteri patogen berdasarkan ukuran panjang
ikan …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…….……
20 Prevalensi infeksi bakteri patogen berdasarkan ukuran panjang
ikan ………………………………………………………………………
29
31
33
34
35
46
47
50
51
53
54
56
56
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Kabupaten Banjar sebagai salah satu simpul industrialisasi
perikanan………………………………………………………………….
2
2
Patin Siam (Pangasius hypophthalmus)……………………………….
4
3
Gejala klinis infeksi bakteri pada ikan Patin…………………………...
27
4
Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kecamatan Martapura Barat,
Martapura Kota dan Kawasan Minapolitan ……………………………
29
5
Distribusi bakteri patogen yang ditemukan dari organ……………….
30
6
Korelasi pH dengan prevalensi infeksi bakteri patogen………………
38
7
Korelasi suhu dengan prevalensi infeksi bakteri patogen…………...
40
8
Korelasi kecerahan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen…….
42
9
Korelasi DO dengan prevalensi infeksi bakteri patogen……………..
43
10
Korelasi umur ikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen……..
57
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Data Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Patin di Kawasan
Minapolitan Kab. Banjar…………………………………………………
2
Perhitungan Jumlah Pengambilan Sampel Kelompok Pembudidaya
Ikan dengan Rumus Taro Yamane …………………………………..
3
63
Penentuan
Sampel
per
Desa
Ditentukan
dengan
65
Metode
Proportional Random Sampling ….…………………………………..
66
4
Hasil Pengamatan Morfologi Isolat Bakteri ……………………………
67
5
Hasil Pengamatan Uji Biokimiawi ………………………………………
68
6
Analisis Regresi Linear Sederhana antara pH dan Prevalensi
Bakteri Patogen …………………………………………………………
7
Analisis Regresi Linear Sederhana antara Kadar Oksigen Terlarut
(DO) dan Prevalensi Bakteri Patogen …………………………..........
8
74
Analisis Regresi Linear Sederhana antara Suhu dan Prevalensi
Bakteri Patogen ………………………………………………………….
9
72
Analisis Regresi Linear
Sederhana antara Kecerahan
76
dan
Prevalensi Bakteri Patogen …………………………………………...
78
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi sumber daya
alam hayati cukup besar, diantaranya
sumberdaya hayati perikanan yang
merupakan salah satu modal dasar yang sangat berarti dalam pembangunan
nasional. Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi perikanan
adalah dengan mengembangkan usaha budidaya perikanan, baik budidaya air
tawar dan payau maupun budidaya air laut dengan tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan. Oleh karena itu. sebagai program lima tahun kedepan
Kementerian Kelautan dan Perikanan akan membangun kawasan minapolitan
(kawasan produksi kelautan dan perikanan yang terintegrasi). Minapolitan
merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah
dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip,
integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi.
Kegiatan perikanan merupakan salah satu sektor andalan di Kabupaten
Banjar. Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan diarahkan agar mampu
meningkatkan perannya dalam perbaikan ekonomi daerah. Sektor perikanan dan
kelautan diharapkan mampu memposisikan diri sebagai salah satu penggerak
pembangunan ekonomi daerah dan memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk memadukan sektor perikanan
dengan dan sektor-sektor terkait lainnya agar dapat saling mendukung dan
bersinergi dengan pendekatan pembangunan berbasis kawasan dan komoditas,
maka Kabupaten Banjar telah menetapkan Kawasan Minapolitan Cindai Alus
sebagai
kawasan
strategis
dan
menjadi
kawasan
unggulan
daerah.
Pengembangan kawasan minapolitan Cindai Alus ini menitikberatkan kegiatan
ekonominya pada usaha
perikanan budidaya dengan ikan patin sebagai
komoditas utamanya.
Legalitas Kawasan Minapolitan Cindai Alus ini selanjutnya ditetapkan
melalui Surat Keputusan Bupati Banjar Nomor 241 Tahun 2008 tanggal 16 Juni
2008 tentang Penetapan Kawasan Budidaya/Minapolitan dan Surat Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 39/MEN/2011
tanggal 21 Juli 2011 perubahan atas Surat Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 32/MEN/2010 tanggal 14 Mei 2010
tentang Penetapan Kawasan Minapolitan.
2
Sehubungan
dengan
kebijakan
pengembangan
sentra
perikanan
budidaya menuju industrialisasi perikanan, Pemerintah RI melalui Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
juga
telah
menetapkan
beberapa
kawasan
pengembangan perikanan budidaya dengan 7 komoditas industrialisasi yakni
Tuna, Udang, Rumput Laut, Bandeng, Nila, Patin dan Lele. Pengembangan
perikanan budidaya tersebut tersebar di seluruh wilayah/kepulauan di Indonesia
dengan masing-masing komoditas utama perikanan yang dikembangkan. Telah
ditetapkan 15 simpul industrialisasi perikanan di Indonesia dimana Kabupaten
Banjar menjadi salah satu simpul untuk pulau Kalimantan dimana patin menjadi
komoditas utama.
Gambar 1. Kabupaten Banjar sebagai salah satu simpul industrialisasi perikanan
Ikan Patin (Pangasius spp) merupakan spesies ikan air tawar dari jenis
Pangasidae yang dapat diproduksi secara massal dan memiliki peluang
pengembangan skala industri. Ikan ini menjadi salah satu komoditas perikanan
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik dalam segmen usaha pembenihan
maupun usaha pembesarannya (Susanto, 2009). Ikan patin berpotensi besar
sebagai komoditas ekspor karena memiliki daging berwarna putih yang disukai
oleh konsumen di luar negeri seperti Amerika Serikat dan Eropa (Hadinata,
2009). Kendala Indonesia dalam mengekspor patin dikarenakan produksinya
yang masih sangat rendah yakni hanya mencapai 100 ton per hari, sedangkan
ekspor Indonesia hanya mencapai 700 ton. Harga ikan patin dalam bentuk fillet
mencapai 2,6-2,8 dollar AS per kilogram. Konsumen ikan patin di dunia yakni di
Eropa yang mencapai 20%, karena komoditas tersebut mampu menggantikan
udang yang harganya lebih tinggi (Susanto, 2009).
3
Keberhasilan pengembangan ikan Patin di kawasan minapolitan tidak
terlepas dari upaya penanganan dan pemberantasan hama dan penyakit ikan
terutama hama penyakit ikan karantina. Bakteri merupakan salah satu agen
penyakit ikan yang dapat merusak kelestarian sumberdaya hayati perikanan dan
menurunnya tingkat kualitas maupun kuantitas produksi perikanan pada kawasan
Minapolitan. Tingkat kematian akibat infeksi bakteri pada populasi ikan dapat
mencapai 50 – 100% (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II
Syamsudin Noor Banjarmasin, 2011). Semakin meningkatnya mobilitas manusia
atau barang, menurunnya kualitas lingkungan perairan dan rendahnya efektifitas
upaya pencegahan dan pengendalian merupakan faktor-faktor yang dapat
menimbulkan serangan hama dan penyakit ikan. Salah satu upaya pencegahan
dan pengendalian terjadinya serangan dan penyebaran penyakit bakterial pada
ikan adalah dengan melakukan pemantauan prevalensi penyakit bakterial
dikawasan Minapolitan sebagai upaya deteksi dini untuk pencegahan serta
pemberantasan dan pengendaliannya.
Rumusan Masalah
Bakteri merupakan salah satu agen penyakit ikan yang menjadi ancaman
bagi usaha budidaya ikan Patin di Kawasan Minapolitan, Kabupaten Banjar Prov.
Kalimantan Selatan. Penjelasan diatas menjadikan dasar pentingnya dilakukan
penelitian mengenai prevalensi penyakit bakterial pada ikan Patin dikawasan
Minapolitan yang diperlukan sebagai sebagai upaya deteksi dini untuk
pencegahan serta pemberantasan dan pengendaliannya.
Tujuan
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
mengidentifikasi,
menginventarisir serta menentukan prevalensi penyakit bakterial pada Ikan Patin
di kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar, sebagai upaya deteksi
dini untuk pencegahan serta pemberantasan dan pengendaliannya.
Manfaat penelitian
Manfaat langsung yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat
menjadi bahan informasi dan bahan pengambilan keputusan dalam upaya
pengendalian hama dan penyakit ikan khususnya penyakit bakterial di Kawasan
Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Patin Siam (Pangasius hypophthalmus)
Sistematika dan Morfologi Patin Siam
Saanin (1984) dan Integrated Taxonomic Information System (2012)
mengklasifikasikan ikan patin siam sebagai berikut :
Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Superclass
: Osteichthyes
Class
: Actinopterygii
Subclass
: Neopterygii
Superorder
: Ostariophysi
Order
: Siluriformes
Family
: Pangasiidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius hypophthalmus
Sinonim : Pangasius sutchi
Gambar 2. Patin Siam (Pangasius hypophthalmus)
(Sumber : http://bbatjambi.co.id)
5
Ikan patin siam merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan
panjang berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan ini
bukan ikan lokal tetapi berasal dari Thailand. Pertama kali didatangkan ke
Indonesia pada tahun 1972 oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor.
Patin siam memiliki pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna
dagingnya merah, popular dikalangan masyarakat. Untuk pasupati memiliki
pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya putih, dan
sedikit popular di masyarakat (Susanto 2009).
Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena
memiliki harga jual yang tinggi dan kandungan protein hewani yang tinggi. Hal
inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para
pengusaha untuk membudidayakannya. Selain rasa dagingnya yang lezat, ikan
patin memiliki beberapa kelebihan lain misalnya ukuran per individunya besar.
Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang
35-40 cm. ikan patin cukup potensial dibudidayakan di berbagai media
pemeliharaan yang berbeda, sebagaimana jenis ikan air tawar lainnya seperti
mas, tawes, dan lele. Media pemeliharaan kolam, karamba, bahkan jala apung
dapat digunakan untuk memelihara ikan patin (Susanto 2009).
Patin Siam bertubuh panjang dengan perbandingan panjang dan tinggi
sekitar 4 : 1. Bila dipotong secara vertikal, Patin Siam bertubuh pipih dengan
perbandingan tinggi dan lebar sekitar 3 : 1. Dengan perbandingan seperti itu
Patin Siam bertubuh tipis, atau tidak bulat, seperti ikan lele. Tanda khas lainnya
adalah Patin Siam berpugung lurus, mulai dari punggung sampai pangkal ekor.
Patin Siam tidak memiliki sisik, sehingga yang nampak hanya kulitnya saja.
Warna tubuh Patin Siam seperti terbagi dua, yaitu punggung berwarna hijau,
abu-abu gelap, sedangkan bagian perut berwarna putih perak. Pada bagian itu
terdapat dua garis, garis pertama memanjang dari kepala sampai ke pangkal
ekor, sedangkan garis kedua memanjang dari kepala sampai ke ujung sirip
dubur.
Tubuh Patin Siam terbagi tiga bagian, yaitu kepala, badan dan ekor.
Kepalanya kecil, dan gepeng dengan batok kepala yang keras. Mata yang kecil,
hidung yang kecil, mulut yang bercelah lebar dengan dua pasang sungut maksila
dan mandibula, atau kumis. Inilah yang menjadi ciri khas catfish (ikan berkumis
seperti kucing). Pada rongga mulut mempunyai gigi palatin yang terpisah dari
tulang vomer. Tutup insang tidak terlalu besar, menutup bagian kepala. Patin
6
Siam bersirip lima, yaitu sebuah sirip punggung (dorsal fin), sebuah ekor (caudal
fin), sebuah sirip dubur (anal fin), sepasang sirip perut (ventral fin) dan sepasang
sirip dada ( pectoral fin). Sirip punggung kecil dan pendek, berada tepat di atas
perut. Sirip dubur panjang, kurang lebih sepertiga dari panjang tubuhnya, dan
berjari-jari sirip 29 – 33. Selain kelima sirip, Patin Siam memiliki sirip yang tidak
dimiliki ikan lain, yaitu bersirip lemah (adipose fin) yang letaknya di belakang sirip
punggung (Saanin 1984).
Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak
dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 120
cm, suatu ukuran yang cukup besar untuk ukuran ikan air tawar domestik. Kepala
patin relatif kecil dengan mulut terletak diujung kepala agak disebelah bawah. Hal
ini merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua
pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Amri 2007). Sirip
punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang
bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara itu, jari-jari lunak sirip
punggung terdapat enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip
lemak yang berukuran kecil sekali. Adapun sirip ekornya membentuk cagak dan
bentuknya simetris. Sirip duburnya panjang, terdiri dari 30-33 jari-jari lunak,
sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada memiliki 12-13
jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang
dikenal sebagai patil (Amri 2007).
Siklus Hidup Ikan Patin
Ikan patin dalam menjalani hidupnya mengalami perkembangan atau fase
yang akan dijalaninya selama beberapa waktu sampai akhirnya dapat
dikonsumsi ataupun dijadikan induk untuk menghasilkan benih-benih yang
berkualitas. Menurut Amri (2007) Ikan patin memiliki fase kehidupan yaitu telur,
larva, benih (juvenil), dan induk (dewasa).
Sifat-sifat Biologis
Ikan Patin termasuk ikan yang beraktifitas pada malam hari atau
nocturnal. Selain itu, patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai
habitat hidupnya. Ikan ini termasuk ikan demersal atau ikan dasar. Secara fisik
memang dari bentuk mulut yang lebar persis seperti ikan domersal lain seperti
ikan lele dan ikan gabus. Habitatnya di sungai-sungai besar dan muara-muara
7
sungai yang tersebar di Indonesia, India, dan Myanmar. Tidak hanya itu ikan
patin juga sulit memijah di kolam atau wadah pemeliharaan dan termasuk pula
ikan yang kawin musiman sehingga pemijahannya dilakukan secara buatan serta
hanya memijah sekali setahun pada musim hujan sekitar bulan November-Maret
(Amri 2007).
Makanan dan Kebiasaan Makan
Patin merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung ke
arah karnivora. Makanan utama ikan patin di alam berupa udang renik
(crustacea), insekta dan moluska. Sementara makanan pelengkap ikan patin
berupa rotifera, ikan kecil dan daun-daunan yang ada di perairan Malam hari ia
akan keluar dari lubangnya dan mencari makanan renik yang terdiri atas cacing,
serangga, udang sungai, jenis–jenis siput dan biji–bijian. Dari sifat makannya
ikan ini juga tergolong ikan yang sangat rakus karena jumlah makannya yang
besar. Sedangkan untuk larva ikan patin yang dipelihara pada kolam-kolam
maupun akuarium dapat diberikan makanan alami seperti artemia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (Susanto dan Amri 2002).
Kondisi Wilayah Pemantauan
Kondisi Umum
Kabupaten Banjar terletak di bagian selatan Provinsi Kalimantan Selatan,
berada pada 114o 30’ 20’’ dan 115o 33’ 37’’
Bujur Timur serta antara 2o49’55”
dan 3o 43’ 38’’ Lintang Selatan. Luas wilayahnya mencapai 4.688,50 km2 atau
sekitar 12,20% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Secara
administratif terbagi atas 19 kecamatan dengan 277 Desa dan 13 Kelurahan.
Posisi geografis Kabupaten Banjar, yang berada di menempatkannya di jalur
transportasi antar Propinsi Kalimantan Selatan – Kalimantan Timur. Hal ini
sekaligus membuat Kabupaten Banjar memiliki posisi strategis sebagai lintas
ekonomi dan sebagai daerah penyangga bagi wilayah sekitarnya. Wilayah
tersebut adalah Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala di sebelah barat,
Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut di sebelah selatan, Kabupaten
Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru di sebelah timur dan Kabupaten Tapin
dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan di sebelah Utara (RPJMD Kabupaten Banjar
Tahun 2011-2015 2011).
8
Berdasarkan pemantauan Badan Meteorologi dan Geofisika Banjarbaru
pada tahun 2010, suhu udara di Kabupaten Banjar rata-rata berkisar antara 22,3o
C - 32,8o C. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Mei (32,8o C) dan suhu
minimum terjadi pada bulan Juni dan Juli (22,3o C). Selain itu sebagai daerah
tropis maka kelembaban udara relatif tinggi dengan rata-rata berkisar 40,0%100,0% dengan kelembaban maksimum pada bulan Februari, Maret, April Oktober, November dan Desember serta minimum pada bulan September. Curah
hujan bulanan berkisar antara 54,4 – 554, 3 mm. Curah hujan tertinggi pada
bulan Maret yaitu 554,3 mm dan yang terendah pada bulan Mei yaitu 54,4 mm.
Tekanan udara berkisar antara 1.008,2 mb – 1.014,8 mb, sedangkan kecepatan
angin berkisar antara 2-16 knot. Penyinaran dengan intensitas tertinggi terjadi
pada bulan Mei dan September yaitu 4,83% dan terendah pada bulan Desember
yaitu sekitar 2,17% (RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015 2011).
Secara topografis wilayah Kabupaten Banjar merupakan daratan dan
pegunungan yang ketinggiannya berkisar antara 0 s/d 1.878 meter dari
permukaan laut. Ketinggian ini merupakan salah satu faktor yang menentukan
letak kegiatan penduduk, maka ketinggian juga dipakai sebagai penentuan batas
wilayah tanah usaha, dimana 35 % berada di ketinggian 0–7 m dpl, 55,54 % ada
pada ketinggian 50–300 m dpl, sisanya 9,45 % lebih dari 300 m dpl. Rendahnya
letak Kabupaten Banjar dari permukaan laut menyebabkan aliran air pada
permukaan tanah menjadi kurang lancar. Akibatnya sebagian wilayah selalu
tergenang (29,93%) sebagian lagi (0,58%) tergenang secara periodik. Bagian
barat Kabupaten Banjar merupakan wilayah datar dan pasang surut yang
sebagian diperuntukan sebagai lahan pertanian/sawah. Sedangkan bagian timur
daerah berbukit, kebanyakan ditumbuhi padang alang-alang, belukar dan hutan
primer, dan sebagian juga diperuntukkan sebagai lahan sawah (RPJMD
Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015 2011).
Pada umumnya tanah di wilayah ini bertekstur halus (77,62%) yaitu
meliputi tanah liat, berlempung, ber-pasir dan berdebu Sementara 14,93 %
bertekstur sedang yaitu jenis lempung, berdebu, liat berpasir, sisanya 5,39 %
bertekstur kasar yaitu pasir berlempung, pasir berdebu. Kedalaman efektif
tanahnya sebagian besar lebih besar dari 90 cm (66,45%) , sementara
kedalaman 60-90 cm meliputi 18,77 %, dan 30-60 cm hanya 14,83 %. Menurut
peta tanah eksplorasi tahun 1981 skala 1:1.000.000 dari Lembaga Penelitian
Bogor di wilayah dijumpai jenis tanah berupa tanah organosol, gleihumus dengan
9
bahan induk bahan aluvial dan fisiografi dataran yang meliputi 3,72%. 28,57%
dari luas wilayah. Tanah komplek podsolik merah kuning dan laterit dengan
bahan induk batuan baku dengan fisiografi dataran meliputi 14,29%. Tanah
latosol dengan bahan induk batuan beku dan fisiografi instrusi meliputi 24,84%.
Tanah komplek podsolik merah kuning, latosol dengan batu induk endapan dan
metamorf meliputi 28,57% (RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015 2011).
Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan
Pemerintah Kabupaten Banjar telah menetapkan Kecamatan Martapura
Kota dan Martapura Barat sebagai Kawasan Minapolitan. Kegiatan Perikanan di
Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar adalah perikanan budidaya kolam
dengan komoditas Ikan Patin (P.sutchii) dan Ikan Nila (O.Niloticus). Kawasan ini
memiliki lahan seluas 6.406 Ha dengan lahan potensial untuk kolam budidaya
seluas 1.195 Ha (Tabel 1). Sumber air disuplai dari Irigasi teknis riam kanan
seluas 25.900 Ha yang terbentang sepanjang 40 km dari desa Mandikapau, Kec.
Karang Intan hingga Kec. Sungai Tabuk.
Tabel 1. Luas areal Kawasan Minapolitan dan Pemanfaatannya
Kecamatan/
Komoditas
Usaha
Luas Areal Kawasan
Desa
Unggulan
Perikanan
Minapolitan (Ha)
Luas
Potensi Fungsional
Martapura Kota
Patin, Nila
Budidaya
Cindai Alus
300
158
16
Tungkaran
200
127
52
Sungai Sipai
300
90
36
Martapura Barat
Patin, Nila
Budidaya
Sungai Rangas
482
125
18
Hambuku
Sungai Batang
2.275
370
161
Penggalaman
2.849
325
34
Jumlah
6.406
1.195
497
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar Prov. Kalsel Tahun 2011
Produksi seluruh komoditas perikanan Kab. Banjar pada tahun 2011
sebesar 39.689 ton. Khusus untuk Ikan patin, produksi mencapai 11.594 ton,
dimana 11.147 ton (96,15%) merupakan produksi patin Kawasan Minapolitan.
Perkembangan Kawasan Minapolitan Cindai Alus dan target produksi perikanan
budidaya di Kabupaten Banjar tersaji pada Tabel 2 dan 3.
10
Tabel 2. Perkembangan Kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar
Uraian
Tahun
2008
2009
2010
2011
RTP (orang)
195
220
250
290
Kelompok Pembudidaya
9
21
23
27
Ikan (POKDAKAN)
Potensi kolam (Ha)
1,195
1,195
1,195
1,195
Fungsional kolam (Ha)
325
397
452
497
Kebutuhan Benih Patin
3,914,200
4,899,620 13,026,200 12,262,063
(ekor)
Kebutuhan Benih Nila
1,522,770
1,353,900 11,486,925
7,771,905
(ekor)
Kebutuhan Pakan Ikan
5,900
7,572.14
20,131.4
18,950.46
Patin (Ton)
Kebutuhan Pakan Ikan
1,319.73
1,534.42
13,018.52
8,808.16
Nila (Ton)
Produksi ikan Patin (Ton)
3,470.59
4,454.20
11,842
11,147.33
Produksi ikan Nila (Ton)
1,015.18
902.6
7,657.95
5,181.27
Sumber : Data Base Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar Prov. Kalsel
Tahun 2011
Tabel 3. Target Produksi Perikanan Budidaya Kabupaten Banjar Tahun 20092014
Jenis komoditi
Produksi (Ton)
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Patin
7,300 17,100 30,700 52,000
88,700 150,800
Nila
3,800
4,494
6,741 10,111
15,166
22,750
Mas
1,300
3,274
3,929
4,715
5,657
6,789
Gurame
30
36
47
61
79
103
Ikan lainnya:
Jelawat
20
30
35
40
50
Baung
5
10
15
20
25
Lele Dumbo
5
10
20
20
25
Udang windu
2
2
5
5
10
Bandeng
20
30
50
70
100
Jumlah
12,430 24,956 41,499 67,012 109,757 180,652
Sumber : Data Base Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar Prov. Kalsel
Tahun 2011
11
Hama Dan Penyakit Ikan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Karantina Ikan, Hama dan Penyakit Ikan (HPI) adalah semua mikro organisme
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menginfeksi tubuh ikan
sekaligus dapat menimbulkan gangguan kehidupan ikan normal sampai dapat
mengakibatkan kematian. Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) adalah
semua hama dan penyakit ikan yang belum terdapat dan/atau telah terdapat
hanya di area tertentu di wilayah negara Republik Indonesia yang dalam waktu
relatif cepat dapat mewabah dan merugikan sosio ekonomi atau yang
membahayakan kesehatan masyarakat. Hama dan Penyakit Ikan Golongan I
adalah semua hama dan penyakit ikan karantina yang tidak dapat di suci
hamakan dan/atau disembuhkan dari media pembawa karena teknologi
perlakuan belum dikuasai. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II adalah
semua hama dan penyakit ikan karantina yang dapat disucihamakan dan/atau
disembuhkan dari media pembawa karena teknologi pelaksanaannya sudah
dikuasai.
Penyakit didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi dan atau
fungsi yang mengalami perubahan dari kondisi normal karena penyebab dari
dalam/internal dan dari luar /eksternal (Yuasa et al. 2003). Penyakit Ikan
merupakan suatu proses yang mempengaruhi sebagian atau seluruh tubuh yang
mengakibatkan keadaan ikan tidak normal dengan penyebab yang belum atau
sudah diketahui. Penyakit ikan timbul karena adanya interaksi kompleks antara
ikan, agen penyakit dan lingkungan (air). Penyebab penyakit dari internal dan
eksternal menurut Yuasa et al. ( 2003 ) adalah sebagai berikut:
1. Penyebab internal meliputi genetik, sekresi internal, imunodefisiensi, saraf dan
metabolisme
2. Penyebab eksternal meliputi :
- Non Patogen:
a. Penyakit Lingkungan, disebabkan suhu dan kualitas air lainnya (pH,
kelarutan gas, zat beracun)
b. Penyakit nutrisi, disebabkan kekurangan nutrisi, gejala keracunan dalam
pakan
- Patogen terdiri dari parasit, jamur, bakteri dan virus
12
Penyakit Akibat Infeksi Bakteri
Menurut Zonneveld et al. (1991), bakteri adalah mikroorganisme dengan
struktur intraselluler yang sederhana, bentuknya berbeda menurut genusnya.
Jenis bakteri tertentu biasanya menunjukkan bentuk dan ukuran sesuai dengan
keadaan lingkungan, ciri-ciri bakteri itu sendiri adalah dapat tumbuh dan
bertambah banyak dalam kelompok, berbentuk rantai atau benang, memiliki
koloni yang berwarna dan berkilau atau tidak, halus atau kasar, metabolisme
aerob atau anaerob, membutuhkan media tertentu untuk mengkultur disertai
dengan
menghasilkan
asam
mengindentifikasi bakteri.
dan
gas,
sifat-sifat
ini
berguna
untuk
Penyakit akibat infeksi bakteri di Indonesia dapat
menyebabkan kematian sekitar 50 – 100% pada populasi ikan.
Bakteri juga merupakan organisme primitif akan tetapi mempunyai
susunan sel yang telah berkembang dengan sempurna walaupun tidak memiliki
nukleus sebagaimana mahluk-mahluk hidup yang lebih tinggi. Bakteri biasanya
mempunyai tingkat reproduksi yang tinggi apabila ketersediaan makanan cukup.
Jika makanan tersebut ditemukan pada organisme lain maka hal inilah yang
dapat menyebabkan penyakit. Beberapa spesies diantaranya dapat hidup
didalam atau diluar organism multiseluler lain tanpa menyebabkan penyakit
bahkan diantaranya sangat dibutuhkan oleh inangnya (Axelrod et al. 1995).
Suatu penyakit tertentu akibat bakteri biasanya dapat dikenali dari gejalagejala yang ditimbulkannya. Namun untuk menentukan jenis/spesies bakteri
penyebab penyakit pada ikan diperlukan pemeriksaan laboratorium. Gejala
umum akibat serangan bakteri antara lain gerakan ikan lemah, gerakan
abnormal, produksi lendir berkurang setelah ikan yang terinfeksi mengeluarkan
lendir yang berlebihan, perubahan warna tubuh menjadi lebih gelap, ikan menjadi
kurus, pendarahan dan nekrosa pada tempat infeksi, luka (ulcer) pada
tempatrontok pada insang dan kulit, bengkak pada perut dan mengeluarkan
cairan kuning darah (dropsy), mata menonjol (exophthalmus), beberapa bakteri
mampu menghasilkan tubercle atau granuloma pada bagian tubuh yang
terinfeksi (Supriyadi 2005).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.
03/MEN/2010), bakteri-bakteri yang termasuk dalam hama dan penyakit ikan
karantina
adalah
Aeromonas
salmonicida,
Renibacterium
salmoninarum,
Mycobacterium marinum, Mycobacterium chelonei, Mycobacterium fortuitum,
Nocardia seriolae, Nocardia
Campachi, Nocardia. Asteroides, Nocardia
13
crassostreae, Edwardsiella tarda, Edwardsiella ictaluri, Streptococcus agalactiae,
Pasteurella piscicida (Photobacterium damselae subsp. Piscicida), Yersinia
ruckeri, Aerococcus viridans var Homeri, Pseudomonas anguilliseptica dan
Streptococcus iniae.
Dari kelompok Bateri golongan HPIK tersebut yang
ditemukan di Indonesia adalah Aeromonas salmonicida, Mycobacterium
marinum, Mycobacterium chelonei, Mycobacterium fortuitum, Edwardsiella tarda,
Edwardsiella
ictaluri,
Streptococcus
agalactiae,
Pasteurella
piscicida
(Photobacterium damselae subsp. Piscicida), Yersinia ruckeri, Pseudomonas
enguillaseptica dan Streptococcus iniae.
Penyakit bakterial utama pada ikan Patin
Bakteri utama yang sering menyerang ikan Patin adalah Aeromonas sp.
dan Pseudomonas sp. Ikan yang terserang akan mengalami pendarahan pada
bagian tubuh terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip (Khairuman dan
Sudenda 2011). Selain itu, Edwardsiella sp dan Flavobacterium sp merupakan
bakteri yang menyerang Patin.
Aeromonas hydrophila
Bakteri Aeromonas hydrophila umumnya
hidup
di
air
tawar
yang
mengandung bahan organik tinggi. Ciri utama bakteri A. hydrophila adalah
berbentuk batang, berdiameter 0,3 - 1,0 mikrometer dan panjang 1,0 -3,5
mikrometer, bersifat Gram negatif, hidup pada temperatur optimal 22 - 28°C,
gelatinase positif (Holt et al. 1994). Selain itu bakteri ini juga bersifat fakultatif
aerobik
(dapat
hidup
dengan atau
tanpa
oksigen)
yang mengubah
karbohidrat menjadi asam dan gas, tidak berspora, bersifat motil (bergerak
aktif) karena memiliki flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari salah
satu kutubnya. Koloni bakteri ini pada media agar berwarna putih kekuningan,
bentuk bulat cembung, oksidase sitokrom dan reaksi katalase positif. Bakteri ini
senang hidup di lingkungan perairan bersuhu 15 - 30°C dan pH antara 53-9
(Kordi 2004).
Aeromonas
hydrophila merupakan bakteri
agen penyebab
penyakit
Bacterial Hemorrhagic Septicemia atau Motil Aeromonas Septicemia. Tandatanda klinis infeksi A. hydrophila bervariasi, tetapi pada umumnya ditunjukkan
dengan adanya hemoragi pada kulit, insang, rongga mulut; borok pada kulit
yang dapat meluas ke jaringan otot. Selain itu, ikan yang terserang bakteri A.
14
hydrophila juga memperlihatkan gejala-gejala berupa warna tubuh ikan menjadi
gelap,
kemampuan
menonjol,
berenang menurun, mata ikan bengkak dan
sisik terkuak,
seluruh
sirip
rusak,
insang
sedikit
berwarna merah
keputihan, ikan terlihat megap-megap di permukaan air, kulit ikan menjadi
kasar (Kordi 2004).
Aeromonas salmonicida
Aeromonas salmonicida merupakan patogen opportunistik, yang dapat
menyerang baik ikan air tawar maupun air laut. A. salmonicida merupakan
bakteri berbentuk batang pendek dengan ukuran 1,3-2,0 x 0,8-1,3 µm, tidak
motil, bersifat gram negatif, tidak memiliki endospora dan kapsula. A. salmonicida
memiliki koloni putih berwarna putih, berukuran kecil, dengan bentuk bulat,
cembung dan utuh, anaerob fakultatif,
oksidase positif dan memfermentasi
glukosa.
Aeromonas
salmonicida
merupakan
bakteri
penyebab
penyakit
furuncolosis. Ikan yang terserang penyakit ini menunjukkan gejala kehilangan
nafsu makan, kulit melepuh, insang terlihat pucat, mata menonjol, terjadi
pendarahan pada kulit dan insang. Pembengkakan biasanya menjadi luka
terbuka berisi nanah, darah dan jaringan yang rusak dipuncak luka tersebut yang
bentuknya seperti kaldera (Kordi 2004).
Gejala perakut pada fingerlings; warna menggelap dan mati cepat tanpa
gejala yang jelas. Gejala akut yaitu terjadi anoreksia terjadi 2-3 hari sebelum
kematian. Lesi kasar termasuk hemorragi pada hati dan limpa membengkak.
Gejala sub akut gejala klinis lebih lambat muncul dengan haemorhagi ptechie
pada kulit dan sekitar insang. Ikan berubah warna dibeberapa tempat dan
anoreksia dan mati 4 – 6 hari setelah gejala klinis muncul. Secara makroskopik
furuncle menciri muncul juga lesi internal seperti pada infeksi akut. Bentuk kronik
apabila ikan sembuh dari serangan sub akut dan meninggalkan ciri kesembuhan
berupa furuncle dan scarring (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas
II Syamsudin Noor Banjarmasin 2011).
Pseudomonas sp
Pseudomonas merupakan penyakit infeksi termasuk agen penyakit
berbahaya pada ikan khususnya ikan air tawar. Pseudomonas ini merupakan
agen penyakit yang berbahaya serta dapat berakibat kematian yang tinggi
15
karena penyakit ini menular dalam waktu cepat bila kondisi perairan
memungkinkan. Pseudomonas sp merupakan bakteri gram negatif, non-spora
dengan ukuran 3µm x 0,5µm. Bakteri ini bersifat aerobik, motil, memproduksi
pigmen fluorescent, dan berkembang biak di tanah dan air.
Pseudomonas sp merupakan jenis bakteri perusak sirip, penyebab
penyakit cacar dan bisul pada ikan. Ikan yang terserang bakteri ini mengalami
kerusakan sirip terutama pada bagian ujungnya sehingga yang tersisa hanya
bagian peducle (bagian dekat pangkal ekor). Selain itu bakteri ini juga dapat
menyebabkan cacar pada ikan, dimana gejala yang terlihat antara lain ikan
terlihat lemah, nafsu makan hilang, mata menonjol hingga lepas dan kulit
melepuh yang selanjutnya menjadi borok. Infeksi Pseudomonas fluorescens
pada ikan dapat menyebabkan terjadinya bisul padakulit, sirip, rongga perut dan
organ dalam. Bakteri ini dapat menyebabkan anemia dan kematian massal
(Kordi 2004).
Edwarsiella tarda
Karakteristik dari Edwardsiella tarda adalah bergerak dengan flagella,
lamban motile kurang aktif (tarda), tidak berspora dan tidak berkapsul, batang
bengkok, pleomorfik, gram negatif, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna
dan suhu optimum 370C, oksidase negatif, H2S positif, Indol positif (dari
tryptophan), fakultatif anaerob, lysine dekarboksilase positif, arginin dihidrolase
negatif, ornithin positif, gelatin negatif, urea negatif, sitrat negatif, VP negatif,
glukosa positif, inositol negatif, sorbitol negatif, rhamnosa negatif, mannitol
negatif, arabinosa negatif dan sukrosa negatif.
Infeksi Edwarsiella tarda pada kondisi yang sangat buruk dapat
mengakibatkan kematian hingga 50%. Gejala klinis pada infeksi ringan hanya
menampakkan luka-luka kecil. Sebagai perkembangan penyakit lebih lanjut, luka
bernanah berkembang dalam otot rusuk dan lambung. Warna ikan menjadi
pucat, perut gembung berisi cairan yang berwarna kekuningan atau kemerahan,
pendarahan pada anus dan mata pudar. Pada kasus akut, luka bernanah secara
cepat bertambah dengan berbagai ukuran, luka-luka tersebut berisi gas dan
terlihat bentuk cembung menyebar ke seluruh tubuh. Jika luka digores, bau
busuk H2S tersebar (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II
Syamsudin Noor Banjarmasin 2011).
16
Edwardsiella ictaluri
Karakteristik dari Edwardsiella ictaluri adalah bergerak dengan flagella,
tidak berspora dan tidak berkapsul, batang bengkok, pleomorfik, gram negatif,
koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna dan suhu optimum 370C, oksidase
negatif, katalase positif, H2S negatif, indol negatif (dari tryptophan), fermentative,
0/129 resistan, lysin dekarboksilase positif, arginin dihidrolase negatif, ornithin
positif, gelatin negatif, urea negatif, sitrat negatif, VP negatif, glukosa positif,
inositol negatif, sorbitol negatif, rhamnosa negatif, mannitol negatif, arabinosa
negatif, sukrosa negatif, fakultatif anaerob.
Gejala eksternal dari serangan ringan Edwarsiella ictaluri adalah luka-luka
fokal merah pada bagian kutan berukuran kecil berdiameter 3-5 mm, luka
tersebut berada disamping bagian belakang badan (posteriolateral). Pada fase
akhir dari manifestasi penyakit adalah luka dibagian kepala (hole in head
disease). Luka berkembang dari dalam melewati tengkorak belakang kepala dan
memperlihatkan bagian otak. haemorhagi ptechie terlihat pada sekitar mulut,
kerongkongan dan bagian dasar dari sirip. Luka berdiameter 2 mm multifokal, lesi
kutan hemoragik berkembang menjadi luka tidak berpigmen. Anemia, inflamasi
insang tingkat sedang dan eksopthalmia adalah tanda umum. Secara internal
hemoragik dan nekrosis fokal tersebar pada hati dan semua organ dalam lainnya
(Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor
Banjarmasin 2011).
Flavobacterium columnare
Flavobacterium
columnare
merupakan
bakteri
penyebab
penyakit
Columnaris/Cotton wall disease. Infeksi bakteri ini ditandai dengan terbentuknya
luka di kepala, ekor dan insang. Awalnya luka yang terbentuk cukup kecil,
kemudian berwarna keputih-putihan, kemerah-merahan dan akhirnya menjadi
borok atau bisul besar. Infeksi bakteri ini dapat terjadi pada kulit kepala, kulit
badan bagian belakang, insang, sirip, dan bagian badan lainnya. Insang dan sirip
menjadi rontok. Jika menyerang insang dapat menyebabkan kematian massal
(Kordi 2004).
17
Faktor Lingkungan dan Kualitas Air
Faktor lingkungan dapat menimbulkan suatu penyakit pada hewan air
dengan adanya interaksi antara mikroorganisme (patogen, lingkungan dan
inang/ikan), hal ini terjadi apabila kondisi lingkungan berubah diluar batas-batas
tertentu. Menurut Supriyadi (2005), berdasarkan penyebabnya penyakit akibat
lingkungan pada ikan dibedakan menjadi dua golongan yaitu faktor abiotik dan
biotik. Faktor abiotik antara lain : temperatur (suhu), pH, kesadahan dan bahan
pencemar biasanya berasal dari air yang bersumber dari sungai atau perairan
umum yang tercemar limbah domestik atau limbah industri. Faktor biotik yaitu
organisme yang hidup dalam lingkungan yang sama menyebabkan pengaruh
negatif terhadap kesehatan ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Air adalah unsur penunjang terpenting dalam kegiatan budidaya ikan.
Kondisi air yang digunakan harus bersih dari bahan-bahan beracun dan bahanbahan lain yang tidak dibutuhkan oleh ikan (Sitanggang 2001). Lingkungan
perairan meliputi berbagai parameter yang kesemuanya berpengaruh terhadap
keseimbangan fisiologis dari semua alat tubuh yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan dan reproduksi dari ikan. Kualitas air adalah sifat air dan
kandungan mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air. Dalam
pemeliharaan ikan patin, selain pakan faktor lingkungan banyak menentukan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Agar pertumbuhan dan kelangsungan
hidup optimal, maka diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk
kepentingan proses
fisiologis
pertumbuhan (Susanto 2009).
Parameter-
parameter tertentu yang cukup penting untuk kelangsungan ekosistim adalah
suhu, Derajat Keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), kecerahan, salinitas,
Amoniak (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan Besi (Fe) (Laporan Pemantauan
HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin 2011).
Beberapa parameter kualitas air yang di perlukan untuk pembudidayaan
ikan patin adalah:
- Suhu
Menurut Sitanggang (2001), kondisi temperatur harus dijaga agar tetap
konstan. Temperatur mempengaruhi aktifitas metabolisme organisme perairan
dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Suhu
adalah variabel lingkungan penting untuk organisme akuatik
dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan,
metabolisme,
karena suhu
gas (oksigen)
18
terlarut dan proses reproduksi ikan. Kisaran suhu yang optimal untuk
pertumbuhan ikan patin adalah 25-30 ºC (Susanto 2009).
- Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan parameter kualitas air yang berkaitan
dengan konsentrasi ion Hidrogen (Supriyadi 2005). pH adalah indikasi kalau
air bersifat asam, basa (alkali), atau netral. Semakin tinggi konsentrasi ion
Hidrogen maka perairan akan bersifat asam, sebaliknya jika konsentrasi ion
Hidrogen semakin rendah maka perairan akan bersifat asam. Derajat
keasaman air akan mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan menjadi kurang
produktif dan dapat membunuh ikan, Selain itu juga menyebabkan
berkurangnya kandungan oksigen terlarut sehingga konsumsi oksigen
menurun, aktivitas pernafasan naik dan selera makan akan berkurang. Hal
sebaliknya terjadi pada suasana basa (Kordi 2004). Efek langsung dari pH
rendah dan pH yang terlalu tinggi adalah berupa kerusakan sel epitel baik kulit
maupun insang, hal ini akan mengganggu pada proses penyerapan oksigen
(Supriyadi 2005). Kisaran pH optimum yang cocok untuk ikan patin adalah
6,7-8,6 (Susanto 2009).
- Oksigen terlarut (DO)
Kandungan DO diperoleh akibat difusi gas oksigen dari udara ke dalam air
pada saat bergerak atau oleh angin yang berhembus di permukaan,serta hasil
fotosintesa. Oksigen sangat di butuhkan dalam proses fisika,kimia,biologi
pada suatu ekosistem perairan yang berlangsung secara berantai, sehingga
minimnya kandungan oksigen dalam perairan akan menghambat berbagai
aktivitas dalam perairan tersebut, titik krisis pada perairan terjadi pada kisaran
3-5 mg/l. Kandungan oksigen (O2) digunakan oleh ikan untuk pernapasan.
Oksigen yang diserap akan digunakan untuk aktivitas tubuh seperti bergerak,
bertumbuh dan berkembang biak sehingga tidak boleh kekurangan agar
aktivitas terus berlangsung. Kandungan oksigen (O2) optimum 5-6 ppm
(Susanto 2009).
- Kecerahan
Kecerahan merupakan parameter penentu batas pandang/batas visual
penetrasi cahaya matahari ke dalam badan air. Kegunaan parameter ini
adalah untuk menentukan kedalaman lapisan perairan yang produktif (Boyd,
1979 dalam Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin
19
Noor Banjarmasin, 2011). Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan,
dapat diketahui kemungkinan terjadinya proses asimilasi dalam air dan tingkat
kekeruhan air. Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih
dari 45 cm, karena berkaitan dengan batas pandangan ikan dalam
menentukan arah renang dan mencari makan (Kordi 2004).
- Amoniak (NH3)
Amoniak
(NH3)terbentuk
dari hasil perombakan
bahan organik
dan
pengeluaran hasil metabolism ikan melalui ginjal dan jaringan insang. Amonia
juga dapat terbentuk sebagai hasil proses dekomposisi protein yang berasal
sisa pakan atau plankton yang mati (Kordi 2004). Konsentrasi amoniak yang
masih dapat di tolerir oleh mikroorganisme perairan adalah <0,5 mg/l,pada
konsentrasi amoniak 0,5-0,9 mg/l kondisi perairan dikategorikan tercemar
ringan,konsentrsi 1,0-3,0 mg/l kondisi perairan di kategorikan tercemar
sedang, sedangkan konsentrasi >3,0 mg/l perairan di kategorikan tercemar
berat (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor
Banjarmasin 2011).
- Nitrit (NO2)
Sumber nitrit menurut berasal dari reduksi nitrat secara an aerob oleh bakteri
dalam lumpur dan air. Apabila nitrit di absorbsi ikan,maka akan bereaksi
dengan
hemoglobin
dan
akan
membentuk
methamoglobin.
Karena
methamoglobin tidak efektif mengangkut oksigen, maka absorbsi yang
kontinyu dari nitrit akan berakibat pada hypoxia dan cyanosis. Darah yang
mengandung methamoglobin berwarna coklat dan menyebabkan keracunan
pada ikan yang biasa dinyatakan sebagai penyakit “brown blood diseases”.
Kandungan nitrit yang ideal berdasarkan PP no.82 tahun 2001 adalah <0,06
mg/l untuk kelas I,II,III (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II
Syamsudin Noor Banjarmasin 2011).
- Nitrat (NO3)
Nitrat adalah ion-ion an organik alami yang merupakan bagian dari siklus
nitrogen. Nitrit dapat dengan mudah di oksidasikan menjadi nitrat, maka nitrat
adalah senyawa yang paling sering di temukan di dalam air bawah tanah
maupun air permukaan.Senyawa ini terdapat dalam tiga bentuk,yaitu : ion
nitrat (ion NO3),Kalium nitrat (KNO3),dan Nitrogen nitrast (NO3-N).Penggunaan
pupuk nitrogen secara berlebihan sering menyebabkan pencemaran nitrat
pada badan air. Nitrat yang berlebihan di perairan dapat mengakibatkan
20
keracunan pada ikan/tumbuhan air, serta mengganggu siklus alami nitrogen.
Dalam basa normal nitrat berguna pada proses sintesa protein pada hewan
dan untuk pertumbuhan tanaman air. Konsentrasi ideal nitrat adalah ≤ 80 mg/l
untuk budidaya ikan air tawar (Aquaculture 1999).
- Besi (Fe)
Besi (Fe) dalam perairan yang sering menimbulkan masalah adalah bentuk
ferro (Fe²+) yang menyebabkan keracunan bagi biota air.Kadar Fe²+ pada
kolam tanah sulfat asam yang digenangi selama dua minggu meningkat dari
umumnya antara 9-18 mol.m-3 (500-1000 ppm) menjadi 90 mol.m-3 (5000
ppm),tetapi kemudian cenderung menurun pada penggenangan lebih dari dua
minggu.Kadar Fe2+ pada kolam mempunyai kisaran sangat lebar antara 0,076.600 ppm.Kadar Fe2+ ini di pengaruhi oleh pH,bahan organik,kadar Fe3+,serta
reaktivitas Fe3+ (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II
Syamsudin Noor Banjarmasin, 2011). Kadar Fe2+ optimal untuk budidaya ikan
≤ 1,0 ppm (Aquaculture 1999).
21
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2012 di Kawasan
Minapolitan, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan dan Laboratorium
Balai Karantina Ikan Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin. Pengambilan sampel
dilakukan di Kawasan Minapolitan meliputi 6 lokasi/desa yakni Desa Sungai
Sipai, Desa Tungkaran dan Desa Cindai Alus di Kecamatan Martapura; dan
Desa Sungai Batang, Desa Sungai Rangas, Desa Penjambuan dan Desa
Penggalaman di Kecamatan Martapura Barat. Sedangkan identifikasi bakteri
dilaksanakan di Laboratorium Balai Karantina Ikan Kelas II Syamsudin Noor
Banjarmasin.
Alat dan Bahan
Alat pengambilan sampel meliputi box untuk membawa peralatan dan
bahan, alat bedah (dissecting set), alat pengukur kualitas air, kantong plastik
sampel, karet gelang, tabung oksigen, box sterofoam. Alat pemeriksaan
laboratorium meliputi peralatan laboratorium bakteri meliputi glassware, laminary
air flow, mikroskop, timbangan, pengukur pH, autoclave, bunsen, ose.
Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi sampel ikan Patin,
Alkohol 70 %, Alkohol 95%, KOH 3% , H202 3%, reagen oksidase, Aquadest,
Media TSA, kristal violet, lugol, aseton, safranin, bahan uji biokimia meliputi
media O/F, LIA, TSIA, MIO, Sitrat, Urea.
Cara Kerja
Pengumpulan Data
a. Data primer adalah data penyakit bakterial dari hasil penelitian dengan
melakukan pemeriksaan terhadap ikan-ikan sampel yang dilengkapi dengan
data dukung berupa data deskripsi lingkungan.
b. Data sekunder adalah data penyakit bakterial yang diperoleh dari instansi
pemerintah maupun swasta.
22
Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel ikan dari usaha
budidaya kolam adalah dengan metode purposive sampling, yaitu metode
pemilihan sampel berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya, metode ini digunakan untuk mencapai tujuan tertentu
sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Sampel ikan Patin diambil dari
kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) Patin di Kawasan Minapolitan
(Lampiran 1. Data Pokdakan Patin Kawasan Minapolitan Kab. Banjar).
Penentuan
jumlah
pengambilan
sampel
kelompok
pembudidaya
ditentukan dengan menggunakan rumus Taro Yamane :
N
n=
Nd2 + 1
Keterangan :
n
= Jumlah sampel yang diambil
N
= Jumlah populasi
d
= Presisi yang ditetapkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena
kesalahan pengambilan
sampel yang masih dapat ditolerir atau
diinginkan) yaitu 10 persen.
Dari perhitungan dengan menggunakan Rumus Taro Yamane diperoleh
jumlah sampel yang diambil sebesar 16 sampel POKDAKAN dari populasi 19
POKDAKAN. Selanjutnya penentuan sampel per desa ditentukan dengan
metode proportional random sampling (Tabel 4).
Tabel 4. Penentuan jumlah sampel usaha POKDAKAN Patin
Lokasi
Desa Tungkaran
Desa Cindai Alus
Desa Sei Batang
Desa Sei Sipai
Desa Sei Rangas Hambuku
Desa Penggalaman
Jumlah
Populasi (N)
Sampel (n)
1
2
12
1
1
2
19
1
2
9
1
1
2
16
23
Sedangkan penentuan jumlah sampel ikan yang diambil di tiap sampel
kolam budidaya patin ditentukan dengan menggunakan metode Amos 1985.
Pada penelitian ini sampel ikan yang diambil sebanyak 10 ekor/lokasi, dengan
asumsi prevalensi sebesar 20 % (Tabel 5).
Tabel 5. Penentuan jumlah sampel ikan dengan metode Amos (1985) dalam
Lightner (1996)
Ukuran
populasi
Jumlah sampel ikan yang diperlukan pada asumsi
prevalensi
2%
5%
10%
20%
30%
40%
50%
50
50
35
20
10
7
5
2
100
75
45
23
11
9
7
6
250
110
50
25
10
9
8
7
500
130
55
26
10
9
8
7
1,000
140
55
27
10
9
9
8
1,500
140
55
27
10
9
9
8
2,000
145
60
27
10
9
9
8
4,000
145
60
27
10
9
9
8
10,000
145
60
27
10
9
9
8
>/=100,000
150
60
30
10
9
9
8
Sampel ikan yang diambil untuk penelitian diambil secara selektif (ikanikan yang menunjukkan gejala/tanda-tanda klinis terserang penyakit), dan jika
tidak menunjukkan tanda-tanda terserang penyakit dapat diambil secara acak
Terkait dengan pemeriksaan laboratoris penyakit ikan, jika ikan berukuran kecil
diambil keseluruhan organ, sedangkan ikan yang sedang/besar dapat dinekropsi
dan hanya diambil organ-organ yang makroskopis menujukkan lesi sebagai
specimen. Untuk ikan-ikan sakit yang tidak menunjukan adanya perubahan
patologis, untuk sampel digunakan organ yang diduga mengandung lesi yang
diambil sebagai spesimen pemeriksaan.
24
Pemeriksaan bakteri
Preparasi Sampel
Untuk pemeriksaaan sampel dilakukan anamnesa terlebih dahulu.
Selanjutnya ikan dinekropsi dan dilakukan pengamatan patologi anatomi yang
terdiri dari pemeriksaan eksternal (sirip, sisik, lendir, kulit, insang) dan
pemeriksaan internal (ginjal, limpa, hati). Selanjutnya bagian tubuh eksternal
maupun internal yang mengalami perubahan patologi dijadikan sampel untuk
isolasi bakteri.
Isolasi bakteri
Isolat bakteri dari sampel ditumbuhkan pada media agar cawan TSA,
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Koloni bakteri yang tumbuh terpisah
dan tampak berbeda selanjutnya dibuat menjadi kultur isolat murni.
Identifikasi isolat bakteri
Uji gram (KOH 3%). Bakteri diambil menggunakan ose kemudian
diletakkan pada gelas objek. Selanjutnya larutan KOH 3% diteteskan pada
bakteri kemudian diamati perubahan yang terjadi.
Pewarnaan gram. Gelas objek dibersihkan dengan alkohol 70% dan
diberi aquades, kemudian dipanaskan di atas nyala api. Selanjutnya 1 ose biakan
bakteri diratakan pada gelas objek dan difiksasi di atas nyala api. Gelas objek
ditetesi dengan larutan kristal violet dan didiamkan selama 1 menit, setelah itu
dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Selanjutnya gelas objek ditetesi
dengan larutan lugol dan dibiarkan selama 1 menit, kemudian dicuci kembali
dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian gelas objek dicuci dengan
larutan pemucat/aseton alkohol selama 10 detik, dicuci dengan air mengalir dan
dikeringkan. Selanjutnya larutan safranin atau zat penutup diteteskan pada gelas
objek dan didiamkan selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan
dikeringkan.
Uji O/F. Isolat murni bakteri diinokulasikan ke Media O/F dengan cara
ditusukkan. Satu tabung diisi dengan parafin cair steril setinggi 1 cm diatas
permukaan Media OF, sedang tabung lainnya tanpa parafin cair. Diamati
perubahan warna yang terjadi pada tabung yang diisi parafin cair.
25
Uji Oksidase. Kertas saring dibasahi dengan pereaksi oksidasi, kemudian
satu loop isolat bakteri digoreskan pada kertas saring selanjutnya ditetesi 1-2
tetes reagen oksidase. Diamati reaksi oksidasi pada goresan di kertas saring
setelah 10-15 detik.
Uji Katalase. Gelas objek ditetesi larutan H202 3% sebanyak 1-2 tetes.
Kemudian satu loop isolat bakteri dimasukkan pada genangan H202 3%. Diamati
reaksi katalase setelah 10-15 detik.
Uji MIO. Isolat bakteri diinokulasi ke dalam medium MIO pada tabung
reaksi secara aseptik, diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam. Amati
rekasi yang terjadi. Untuk pengujian indol, media MIO ditetesi dengan 10 tetes
reagen Kovac’s.
Uji TSIA. Isolat bakteri diinokulasi ke dalam medium TSIA dalam tabung
reaksi secara vertikal pada bagian buut dan secara streak pada bagian slant.
Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan diamati perubahan yang
terjadi pada medium.
Uji LIA. Isolat murni bakteri diinokulasikan ke media LIA dengan cara
ditusuk dan kemudian di strep. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam,
kemudian diamati dan diamati perubahan yang terjadi pada medium.
Uji Sitrat. Isolat diinokulasi pada medium Simmon’s Citrate agar dalam
tabung reaksi secara vertikal, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 2448 jam dan diamati perubahan yang terjadi.
Uji Urease. Isolat diinokulasikan pada media urease dengan cara jikzak
ke atas. Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan diamati
perubahan yang terjadi.
Identifikasi Bakteri
Karakter bakteri berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pengujian
sifat fisiologis maupun sifat biokimia disusun dalam bentuk tabel, kemudian
dicocokkan dengan karakter bakteri sesuai dengan panduan: Bacteria From Fish
and Other Aquatic Animals: A Practical Identification Manual (Buller 2004) dan
Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild Fish (Austin and Austin
2007).
26
Pengukuran Parameter Kualitas Air
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan langsung di masing-masing
kolam/lokasi pengambilan sampel. Parameter yang diukur adalah parameter
fisika meliputi temperatur, salinitas dan Oksigen terlarut (DO) dan kecerahan;
dan parameter kimia meliputi Amoniak (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan Besi
(Fe).
Temperatur
diukur
dengan
pH-meter,
salinitas
diukur
dengan
Refraktometer, Oksigen terlarut (DO) diukur dengan DO meter dan kecerahan
diukur dengan ‘Secchi disc’, sedangkan Amoniak (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3)
dan Besi (Fe) diukur dengan test kit.
Pengolahan Data
Data
hasil
penelitian
prevalensi/frekuensi kejadian.
dianalisa
dengan
menggunakan
rumus
Menurut (Fernando et al. dalam Jahja 2009)
Tingkat prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
n
Prev =
x 100 %
N
Keterangan :
Prev
= Prevalensi (%)
N
= Jumlah ikan yang terinfeksi (ekor)
n
= Jumlah ikan sampel yang diperiksa (ekor)
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan analisis regresi
linier sederhana dan korelasi linier sederhana.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala klinis pada Ikan patin yang terinfeksi bakteri
Beberapa gejala penyakit yang terlihat pada ikan sampel yakni luka pada
permukaan tubuh, gripis pada sirip dan ekor serta pembengkakan pada bagian
perut (Gambar 3). Menurut Supriyadi (2005) beberapa gejala umum akibat
serangan bakteri antara lain gerakan ikan lemah, gerakan abnormal, produksi
lendir berkurang setelah ikan yang terinfeksi mengeluarkan lendir yang
berlebihan, perubahan warna tubuh menjadi lebih gelap, ikan menjadi kurus,
pendarahan dan nekrosa pada tempat infeksi, luka (ulcer) pada sirip, insang dan
kulit.
Gambar 3 Gejala klinis infeksi bakteri patogen pada ikan Patin
Hasil isolasi Bakteri dari lokasi pengambilan sampel
Dari dua lokasi pengambilan sampel yakni Kecamatan Martapura Barat
dan martapura Kota diperoleh 160 isolat bakteri. Dari hasil karakterisasi dan
identifikasi terhadap 160 isolat bakteri tersebut, ditemukan 15 jenis bakteri yakni
Plesiomonas shigelloides, Citrobacter freundii, Aeromonas caviae, Aeromonas
hydrophilla, Pasteurella multocida, Pasteurella haemolytica, Pseudomonas
maltophilia, Flavobacterium columnare, Corynebacterium sp, Micrococcus sp,
Moraxella sp, Actinobaciluus sp, Bacillus sp, Klebsiella sp dan Staphylococcus
sp. (Lampiran 1 dan 2). Dari 15 bakteri tersebut, yang merupakan bakteri
patogen adalah Plesiomonas shigelloides, Citrobacter freundii, Aeromonas
caviae,
Aeromonas
hydrophila,
Pasteurella
multocida,
Flavobacterium
columnare, Corynebacterium sp dan Micrococcus sp (Frerichs dan Millar 1993,
Buller 2004).
28
Prevalensi infeksi bakteri patogen
Prevalensi infeksi bakteri patogen pada ikan Patin di Kawasan Minapolitan
sebesar 50%, dimana prevalensi infeksi bakteri patogen di kecamatan Martapura
Barat lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan Martapura Kota (Tabel 6).
Tabel 6. Prevalensi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan
Lokasi
Jumlah ikan
terinfeksi/total sampel
Martapura Kota
17/40
Martapura Barat
63/120
Jumlah
80/160
Prevalensi (%)
42.5
52.5
50.0
Prevalensi infeksi bakteri patogen tertinggi di Kawasan Minapolitan
adalah prevalensi Plesiomonas shigelloides (26,88%) dan Aeromonas caviae
(8,13%). Di Kecamatan Martapura Kota, prevalensi bakteri tertinggi adalah
infeksi Plesiomonas shigelloides (25,00%), Aeromonas hydrophilla (7,50%) dan
Citrobacter freundii (5,00%). Untuk Kecamatan Martapura Barat, prevalensi
bakteri tertinggi adalah infeksi Plesiomonas shigelloides (27.50%), Aeromonas
caviae (10,00%) dan Flavobacterium columnare (6,67%). Prevalensi infeksi
bakteri patogen di Kawasan Minapolitan disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 4.
Tabel 7 Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan
Prevalensi infeksi bakteri pathogen
Bakteri
Martapura
Martapura
Kawasan
Kota
Barat
Minapolitan
Plesiomonas shigelloides
25.00
27.50
26.88
Aeromonas caviae
2.50
10.00
8.13
Flavobacterium columnare
0.00
6.67
5.00
Citrobacter freundii
5.00
2.50
3.13
Corynebacterium sp
2.50
2.50
2.50
Micrococcus sp
0.00
2.50
1.88
Aeromonas hydrophila
7.50
0.00
1.88
Pasteurella multocida
0.00
0.83
0.63
Jumlah
42.50
52.50
50.00
29
60
Prevalensi (%)
50
40
30
20
10
0
Martapura Kota
Martapura Barat
Kawasan Minapolitan
Gambar 4 Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kecamatan Martapura Barat,
Martapura Kota dan Kawasan Minapolitan
Hasil isolasi bakteri patogen dari organ tubuh ikan
Hasil isolasi bakteri dari organ sampel, menunjukkan bahwa hanya
Plesiomonas shigelloides dan Aeromonas caviae yang ditemukan dari kelima
organ sampel, sedangkan 6 bakteri lainnya diisolasi dari organ tertentu. Terdapat
dua jenis bakteri yang hanya diisolasi dari satu organ; meliputi Pasteurella
multocida yang diisolasi dari hati dan Corynebacterium sp yang diisolasi dari
ginjal (Tabel 8 dan Gambar 5).
Tabel 8 Jumlah isolat bakteri patogen yang ditemukan dari organ tubuh ikan
Bakteri
Insang Daging Limfa Ginjal Hati Jumlah
%
Plesiomonas
shigelloides
9
7
6
9
12
43
53.75
Aeromonas
caviae
2
6
3
1
1
13
16.25
Flavobacterium
columnare
2
4
0
0
2
8
10.00
Citrobacter
freundii
1
1
2
0
1
5
6.25
Corynebacterium
sp
0
0
0
0
4
4
5.00
Micrococcus sp
0
1
1
1
0
3
3.75
Aeromonas
hydrophila
1
1
1
3
3.75
Pasteurella
multocida
1
0
0
0
0
1
1.25
Jumlah
16
19
12
12
21
80 100.00
30
60,00%
12
50,00%
10
40,00%
8
30,00%
6
20,00%
4
Prosentasi Bakteri Patogen
Frekuensii
Frekuensi
Bakteri Bakteri
PatogenPatogen
14
10,00%
2
0
0,00%
Gambar 5 Distribusi bakteri patogen yang ditemukan dari organ.
Hasil analisa parameter kualitas air
Hasil analisa kualitas air dan prevalensi infeksi bakteri batogen pada
sampel ikan di Kawasan Minapolitan disajikan Tabel 9 dan Tabel 10.
31
Tabel 9
Hasil analisa parameter kualitas air, prevalensi infeksi bakteri patogen dan bakteri patogen yang ditemukan di lokasi
pengambilan sampel
Lokasi
Parameter Kualitas Air
PreBakteri Patogen yang
Pengambilan
valensi
ditemukan
pH
DO
Suhu
KeceraBesi
Nitrit
Nitrat
Amoniak
o
Sampel/
(%)
(mg/l)
( C)
han (cm)
(mg/l)
(mg/l)
(mg/l)
(mg/l)
POKDAKAN
Kecamatan Martapura Kota :
Citra Betasa
7.0
2.0
31
20
1
< 0.3
12.5
1.5
70.00 Plesiomonas shigelloides,
Citrobacter freundii,
Corynebacterium sp
Kisman
7.7
5.0
33
30
0.1
< 0.3
12.5
0
90.00 Plesiomonas shigelloides,
Aeromonas hydrophila,
Aeromonas caviae,
Citrobacter freundii
Sejahtera
7.1
5.0
29
60
0.25
< 0.3
12.5
0.25
0.00 Sumber Mina
6.9
8.0
30
45
0.1
< 0.3
12.5
0
10.00 Plesiomonas shigelloides
Kecamatan Martapura Barat :
Lempayu
7.2
5.0
30
25
0.1
< 0.3
12.5
0
50.00 Aeromonas caviae
Patin Raya
7.2
8.0
32
15
0.25
< 0.3
12.5
0
80.00 Plesiomonas shigelloides,
Aeromonas caviae
Bina Bersama
7.2
2.0
31
17
0.1
< 0.3
12.5
0
90.00 Plesiomonas shigelloides,
Citrobacter freundii
Bina Usaha
7.1
2.0
30
10
70.00 Plesiomonas shigelloides,
0.5
< 0.3
12.5
1.5
Citrobacter freundii
Mina Mulya
7.3
8.0
33
11
1
< 0.3
12.5
3
50.00 Flavobacterium columnare
Benua Mandiri
7.4
5.0
33
29
0.1
< 0.3
12.5
1.5
60.00 Plesiomonas shigelloides,
Aeromonas caviae
32
Lokasi
Pengambilan
Sampel/
POKDAKAN
Usaha Bersama
pH
Parameter Kualitas Air
KeceraBesi
Nitrit
han (cm)
(mg/l)
(mg/l)
DO
(mg/l)
Suhu
(o C)
Nitrat
(mg/l)
Amoniak
(mg/l)
7.3
8.0
33
12
1
< 0.3
12.5
0.25
Mina Sejahtera
7.5
8.0
32
14
0.25
< 0.3
12.5
5
Mina Musti
7.4
8.0
32
19
0.1
< 0.3
12.5
0.25
Amanah
7.4
5.0
33
16
0.25
< 0.3
12.5
0.25
Mina
Membangun
Kencana Sutera
6.9
2.0
31
35
1
< 0.3
12.5
1.5
7.2
5.0
32
40
1
< 0.3
12.5
3
Prevalensi
(%)
Bakteri Patogen yang
ditemukan
50.00 Pasteurella multocida,
Plesiomonas shigelloides,
Corynebacterium sp
60.00 Plesiomonas shigelloides,
Aeromonas caviae
30.00 Plesiomonas shigelloides,
Corynebacterium sp
40.00 Micrococcus sp,
Plesiomonas shigelloides
30.00 Flavobacterium columnare
20.00 Plesiomonas shigelloides
33
Tabel 10 Prevalensi masing-masing bakteri patogen di lokasi pengambilan sampel di Kawasan Minapolitan
Lokasi Sampel
Prevalensi (%)
PlesioAeroFlavoCitrobacter
CoryneAeroMicrococcus
monas
monas
bacterium
freundii
bacterium sp
monas
sp
shigelloides
caviae
columnare
hydrophila
Citra Betasa
50.00
10.00
10.00
Kisman
40.00
10.00
10.00
30.00
Sejahtera
Sumber Mina
10.00
Lempayu
50.00
Patin Raya
70.00
10.00
Bina Bersama
80.00
10.00
Bina Usaha
50.00
20.00
Mina Mulya
50.00
Benua Mandiri
40.00
20.00
Usaha Bersama
20.00
20.00
Mina Sejahtera
20.00
40.00
Mina Musti
20.00
10.00
Amanah
10.00
30.00
Mina
30.00
Membangun
Kencana Sutera
20.00
-
Pasteurella
multocida
10.00
-
34
Air adalah unsur penunjang terpenting dalam kegiatan budidaya ikan.
(Sitanggang 2001). Agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal, maka
diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses fisiologis
pertumbuhan (Susanto 2009). Kualitas air yang optimum sangat diperlukan untuk
keberhasilan budidaya ikan Patin (Tabel
Tabel 11 Kisaran optimum kualitas air untuk budidaya ikan Patin
Parameter
Satuan
Kisaran Optimum
o
Suhu
C
25 – 30
pH
6,5 – 8,5
Kecerahan
Cm
25 – 80
Oksigen terlarut
mg/l
>4
Amoniak (NH3)
mg/l
< 0,01
Sumber : SNI 01-6483.5-2002 Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus)
Selain beberapa parameter diatas, kadar nitrit, nitrat dan besi juga
mempengaruhi
kualitas
perairan
untuk
usaha
budidaya
ikan.
Menurut
Aquaculture (2003) kandungan nitrit yang dapat ditolerir untuk perikanan
budidaya adalah < 0,3 mg/l, nitrat sebesar 0,2-10 mg/l dan besi sebesar 0.05 –
0.5 mg/l.
Dari hasil analisa kualitas air di Kawasan Minapolitan diperoleh kisaran
nilai pH sebesar 6,9-7,7 dimana nilai pH tersebut masih merupakan kisaran
optimum untuk budidaya ikan Patin. Untuk kadar oksigen terlarut (DO) sebesar
2-8 mg/l, 4 dari 16 lokasi sampel memiliki kadar DO sebesar 2 mg/l. Nilai ini
berada dibawah nilai optimum. Untuk parameter suhu diperoleh nilai 29-33oC,
dimana 12 dari 16 lokasi pengampilan sampel memiliki nilai suhu diatas nilai
optimum (>30oC). Untuk paremeter kecerahan diperoleh 11-60 cm, dimana 8
dari 16 lokasi pengampilan sampel memiliki nilai kecerahan dibawah nilai
optimum (< 25 cm).
Dari hasil analisa kadar besi, diperoleh nilai 0,25-1 mg/l; dimana 5 dari 16
lokasi pengambilan sampel memiliki kadar besi melebihi batas (> 0,5 mg/l).
Untuk kadar nitrit, diperoleh nilai < 0,3 mg/l di semua lokasi pengambilan sampel.
Kadar nitrit ini masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh ikan. Untuk kadar
nitrat diperoleh nilai 12,5 mg/l di semua lokasi pengambilan sampel. Jika
dibandingkan dengan standar yang ditetapkan Aquaculture (2003), nilai ini
melebihi batas yang dapat ditolerir. Untuk kadar amoniak, diperoleh kisaran nilai
sebesar 0-3 mg/l; 11 dari 16 lokasi sampel memiliki kadar amoniak melebihi nilai
optimum (> 0,01 mg/l).
35
Hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi bakteri
Hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi bakteri
patogen di Kawasan Minapolitan dianalisis dengan menggunakan uji korelasi
linier berganda (Tabel 12).
Tabel 12
Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi
infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan
Uji korelasi
Prevalensi infeksi bakteri patogen
ph
Pearson Correlation
0.41
Sig. (2-tailed)
0.114
N
16
Suhu
Pearson Correlation
0.36
Sig. (2-tailed)
0.176
N
16
Kecerahan
Pearson Correlation
-0.67**
Sig. (2-tailed)
0.004
N
16
DO
Pearson Correlation
-0.24
Sig. (2-tailed)
0.362
N
16
** Korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 99%
Hubungan pH dengan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai
korelasi sebesar 0,41. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi cukup kuat antara
keduanya dengan hubungan korelasi positif (searah). Peningkatan pH dapat
meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen.
Hubungan suhu dengan
prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai korelasi sebesar 0,36. Hal ini
menunjukkan terdapat korelasi cukup kuat antara keduanya dengan hubungan
korelasi positif (searah). Peningkatan suhu dapat meningkatkan prevalensi
infeksi bakteri patogen.
Untuk hubungan kecerahan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
mempunyai nilai korelasi sebesar 0,67 dan signifikan pada tingkat kepercayaan
99%. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antara
keduanya dengan hubungan korelasi negatif (terbalik). Semakin rendah tingkat
kecerahan air dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Hubungan
DO dengan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai korelasi sebesar
0,24. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi yang sangat lemah antara keduanya.
36
Peranan stress lingkungan dengan kejadian infeksi bakteri pada ikan
Infeksi bakteri memegang peranan penting atas tingginya angka kematian
akibat penyakit pada ikan. Tekanan fisiologis, stres dan cedera fisik berkontribusi
utama terhadap kejadian penyakit ikan dan kematian dalam kegiatan budidaya.
Bakteri
yang
oppurtunistik
menginfeksi
yang
ada
ikan
di
umumnya
lingkungan.
merupakan
Pada
kondisi
bakteri
patogen
dimana
terdapat
keseimbangan yang baik antara lingkungan, inang/ikan dan bakteri, bakteri
patogen oppurtunistik tidak akan menyebabkan penyakit pada ikan. Namun
sebaliknya jika terjadi perubahan keseimbangan antara lingkungan, inang/ikan
dan bakteri dapat menyebabkan penyakit hingga kematian (Rottmann et al.
1992).
Banyak agen penyakit ikan potensial yang terdapat di tanah, air, udara
ataupun pada ikan itu sendiri. Di alam, ikan mungkin resistan terhadap bakteri
tersebut
karena
mampu
mencari
lingkungan
hidup
yang
baik
untuk
kehidupannya. Sementara pada lingkungan budidaya, keterbatasan bahan
makanan sehingga kebutuhan nutrisi tidak tercukupi, faktor stress seperti jumlah
populasi yang padat, kualitas air yang buruk, cedera fisik akibat proses
penanganan yang kurang tepat (penangkapan, penyortiran dan transportasi),
dan sanitasi yang buruk dapat dapat mengakibatkan
kerentanan atau
melemahnya pertahanan ikan yang berpotensi mempermudah masuk dan
menyebarnya bakteri dan agen penyakit lainnya ke tubuh ikan.
Faktor stres merupakan salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan
dalam kegiatan budidaya ikan secara intensif. Keadaan stress ini merupakan
salah satu faktor penting terkait dengan infeksi bakteri pada ikan (Rottmann et al.
1992). Stres merupakan respon fisiologis yang terjadi untukmempertahankan
kondisi tubuh terhadap perubahan/ketidakseimbangan dalam tubuhnya atau
lingkungan (Subyakto 2000). Namun pada saat yang bersamaan kondisi stress
juga dapat melumpuhkan respon pertahanan tubuh dan kekebalan tubuh pada
ikan
Stres dan luka awalnya akan memicu reaksi tanggap kebal tubuh yang
akan menghasilkan beberapa perubahan pada tubuh ikan. Terjadi peningkatan
sekresi hormon kortisol oleh kelenjar adrenal. Regulasi level kortisol berperan
penting dalam adaptasi ikan dan sebagai indikator saat ikan berada pada kondisi
stres. Kortisol adalah suatu hormon jenis glukokortikoid yang berperan dalam
proses glukoneogenesis. Glikogen hati akan dimetabolisme oleh hormon tersebut
37
sehingga meningkatkan kadar gula dalam darah. Proses metabolisme ini akan
menghasilkan sejumlah besar energi yang dipersiapkan untuk menghadapi
situsasi darurat/stressor (Rottmann et al. 1992).
Salah satu indikator yang sering terlihat dari efek metabolik akibat stres
adalah meningkatnya kadar glukosa di dalam plasma (Evans dan Claiborne
2006). Kubilay dan Ulukoy (2002) menyebutkan bahwa pengaruh fisiologis dari
stres akut seperti (transportasi, penanganan, penjaringan, dan pengurungan)
pada sistem budi daya dapat meningkatkan kadar kortisol dan glukosa dalam
plasma. Kadar kortisol pada ikan rainbow trout yang mengalami stres akut ratarata sebesar 45,16 µg/dl sedangkan pada ikan yang tidak mengalami stres lebih
rendah yaitu rata-rata 31,50 µg/dl. Kadar glukosa dalam plasma ikan rainbow
trout yang stres rata-rata sebesar 58,53 mg/dl dan pada ikan yang tidak stres
rata-rata sebesar 26,23 mg/dl. Syawal dan Yusni (2010) juga menyatakan
adanya peningkatan kadar glukosa plasma darah pada ikan Patin Siam yang
sedang dalam keadaan stress. Ikan mampu beradaptasi terhadap stres untuk
periode waktu dan dapat terlihat normal. Namun, setelah energi cadangan habis
dan dan ketidakseimbangan hormon terjadi, sistem kekebalan tubuh akan
ditekan sehingga meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.
Namun disisi lain, hormon yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal dapat
menekan respon peradangan /inflamasi yang merupakan bagian dari sistem
menghadapi serangan benda asing/agen penyakit. Keseimbangan air atau
osmoregulasi pada ikan ikan juga juga dapat terganggu akibat perubahan dalam
metabolisme mineral. Dalam keadaan ini, ikan menyerap air dalam jumlah yang
berlebihan dari lingkungan (overhidrasi); sehingga ikan akan kehilangan kadar
garam (dehidrasi). Gangguan ini akan menyebabkan peningkatan kebutuhan
energi untuk osmoregulasi, peningkatan respirasi dan tekanan darah serta
dilepasnya cadangan merah sel darah ke dalam aliran darah (Rottmann et al.
1992).
Selain kortisol, hormon katekolamin pada Ikan yang mengalami stres
akan mengalami peningkatan. Kedua hormon tersebut pada kadar tinggi
berpengaruh negatif terhadap sistem imunitas ikan, karena meningkatnya kortisol
dalam plasma akan menghambat pembentukan interlukin I dan II. Akibatnya ikan
akan menurun kekebalannya dan mudah terinfeksi patogen, dengan demikian,
dapat menyebabkan tingginya angka kematian (Syawal dan Yusni 2010).
38
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan parameter kualitas air yang berkaitan
dengan konsentrasi ion Hidrogen.Bila nilai pH rendah (bersifat asam) berarti air
mengandung banyak ion H yang dapat mematikan makhluk hidup dalam air. Ikan
mempunyai titik mati asam (pH 4)dan titik mati basa (pH 11) (Boyd
dalam
Mangalik 2001). Bagi kebanyakan ikan yang hidup di perairan tawar,angka pH
yang di anggap sesuai untuk kehidupan ikan berkisar antara 6,5-8,4 (Brook et al.
1989). Kadar pH yang ekstrim di bawah atau di atas pH optimum akan
mengakibatkan gangguan pada kesehatan ikan. Efek langsung dari pH rendah
dan pH yang terlalu tinggi adalah berupa kerusakan sel epitel baik kulit maupun
insang, hal ini akan mengganggu pada proses penyerapan oksigen (Supriyadi
2005).
Dari hasil analisa kualitas air di Kawasan Minapolitan diperoleh kisaran
nilai pH sebesar 6,9-7,7 dimana nilai pH tersebut masih merupakan kisaran
optimum untuk budidaya ikan Patin (6,5 – 8,5). Meskipun masih dalam kisaran
normal, namun dari hasil uji korelasi antara pH dengan prevalensi infeksi bakteri
patogen pada ikan Patin, menunjukan bahwa terdapat korelasi cukup kuat
meskipun tidak
signifikan antara keduanya dengan persamaan regresi
Y=51.613x-323.55 dan koefisien determinasi sebesar 0,1689. Ini menunjukkan
bahwa hanya 16,89% prevalensi infeksi bakteri patogen yang dapat dijelaskan
oleh faktor pH air. Peningkatan pH air Peningkatan suhu dapat meningkatkan
prevalensi infeksi bakteri patogen (Gambar 6).
100
90
80
y = 51,61x - 323,5
R² = 0,168
Prevalensi (%)
70
60
50
40
30
20
10
0
6,8
7
7,2
Bakteri patogen
pH
7,4
7,6
Linear (Bakteri patogen)
Gambar 6 Korelasi pH dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
7,8
39
Suhu
Suhu berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme bagi
semua makhluk hidup. Suhu sangat
berpengaruh
terhadap
aktifitas
metabolisme, pertumbuhan dan kehidupan organisme di perairan. Suhu
merupakan parameter yang penting bagi organisme perairan (Sitanggang 2001).
Suhu memiliki pengaruh langsung terhadap kebutuhan oksigen, kebutuhan
pakan dan efisiensi konversi pakan. Suhu akan mempengaruhi semua proses
kimia dan biologi pada tubuh ikan (Aquaculture 2003). Secara umum kecepatan
reaksi kimia dan biologi akan meningkat 2 kali lipat untuk setiap kenaikan suhu
10ºC (Sitanggang 2001) . Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan
kebutuhan ikan terhadap pakan dan oksigen sehingga proses metabolisme ikan
juga semakin cepat (Aquaculture 2003).
Masing-masing
ikan
memiliki
kisaran
suhu
optimum
untuk
pertumbuhannya. Suhu air di luar batas nilai optimum dapat mempengaruhi
pertumbuhan ikan
(Aquaculture 2003). Ikan mempunyai daya toleransi yang
rendah terhadap perubahan suhu yang mendadak, perubahan suhu kurang lebih
5ºC secara mendadak dapat mengakibatkan ikan stres dan mati (Boyd 1979).
Kondisi stress pada ikan juga dapat meningkatkan kerentanan ikan terhadap
penyakit.
Bakteri memiliki batasan suhu minimum optimum dan maksimum untuk
pertumbuhannya.
menyebabkan
Suhu
kerusakan
yang
sel
terlalu
rendah
sehingga
atau
pertumbuhan
terlalu
tinggi
bakteri
dapat
terhambat,
sedangkan pada suhu optimum, bakteri akan tumbuh dengan baik (Middelbeek
et al. 1992). Bagi keberadaan bakteri, suhu lingkungan yang tinggi dari suhu
yang dapat ditoleransi akan menyebabkan denaturasi protein dan komponen sel
esensial lainnya sehingga sel akan mati. Demikian pula bila suhu lingkungannya
berada di bawah batas toleransi, membran sitoplasma tidak akan berwujud cair
sehingga transportasi nutrisi akan terhambat dan proses kehidupan sel akan
terhenti (Madigan et al. 2009).
Langdon (1988) menyatakan jika suhu air meningkat secara fluktuatif
maka terdapat kecenderungan peningkatan kecepatan multiplikasi patogen
terutama bakteri. Ini menunjukan bahwa suhu memiliki pengaruh yang kuat
terhadap jumlah kejadian penyakit bakterial pada ikan. Dari delapan jenis bakteri
yang ditemukan, terlihat bahwa bakteri-bakteri tersebut merupakan golongan
bakteri psikrofil (kisaran suhu pertumbuhannya 10-30 oC) dan bakteri mesofil
40
(kisaran suhu pertumbuhannya 25-40oC). Jika dihubungkan dengan hasil
pengukuran parameter suhu air, dimana diperoleh kisaran suhu air sebesar 2933oC. Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu dimana bakteri dapat
tumbuh dan berkembang biak dengan baik, sehingga jumlah bakteri akan
meningkat. Sementara jika dihubungkan dengan pertumbuhan optimum ikan
Patin, suhu air diatas 30 oC merupakan suhu yang melebihi batas optimum untuk
budidaya ikan Patin. Peningkatan suhu melebihi batas optimum ini dapat menjadi
stressor bagi ikan yang selanjutnya dapat meningkatan kerentanan ikan terhadap
penyakit.
Hasil uji korelasi antara suhu dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
menunjukkan terdapat korelasi cukup kuat antara keduanya dengan persamaan
regresi Y=7.3253x-181.2 dan koefisien determinasi sebesar 0,1265. Ini
menunjukkan bahwa hanya 12,65% prevalensi infeksi bakteri patogen yang
dapat dijelaskan oleh faktor suhu air. Peningkatan suhu dapat meningkatkan
prevalensi infeksi bakteri patogen (Gambar 7).
100
90
80
Prevalensi (%)
70
y = 7,325x - 181,2
R² = 0,126
60
50
40
30
20
10
0
28
29
30
31
Suhu (C)
Bakteri patogen
32
33
Linear (Bakteri patogen)
Gambar 7 Korelasi suhu dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
34
41
Kecerahan
Kecerahan merupakan parameter penentu batas pandang/batas visual
penetrasi cahaya matahari ke dalam badan air. Kegunaan parameter ini adalah
untuk menentukan kedalaman lapisan perairan yang produktif (Boyd 1979). Pada
perairan alami kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktifitas
fotosintesis,disamping itu bagi sebagian besar
ikan dalam menentukan arah
renang dan mencari makan memerlukan kadar kecerahan tertentu (Parson dan
stricklam dalam Iriadenta 2000).
Kecerahan juga mempengaruhi ketersediaan cahaya untuk kegiatan
fotosintes bagi phytoplankton. Jika tingkat kekeruhan terlalu tinggi, kegiatan
fotosintesis akan terhambat dan secara signifikan akan menurunkan kandungan
oksigen terlarut di perairan. Peluang untuk mendapatkan masalah kekurangan
oksigen akan besar apabila bacaan Sechi disc kurang dari 30 cm. Pada bacaan
alat sechi dish 10-20 cm, kadar oksigen terlarut menjadi semakin rendah
sehingga mengakibatkan strees pada ikan (Boyd dan Lichtkopper 1970).
Penurunan tingkat kecerahan disebabkan oleh kekeruhan pada air.
Kekeruhan dapat terjadi karena plankton, humus dan suspensi lumpur serta
suspensi hidroksida besi. Kekeruhan perairan dapat menghambat pertumbuhan
ikan budidaya baik langsung maupun tidak langsung. Air yang sangat keruh tidak
dapat digunakan untuk kegiatan budi daya ikan, karena air yang keruh dapat
menyebabkan rendahnya kemampuan daya ikat oksigen, berkurangnya batas
pandang ikan, selera makan ikan berkurang, sehingga efisiensi pakan rendah;
serta ikan sulit bernafas karena insangnya tertutup oleh partikel- partikel lumpur
(Gusrina 2008). Kekeruhan air juga akan menghalangi ikan dalam mencari
makanan, menyebabkan kerusakan insang dan stress pada ikan.
Dari hasil analisa kualitas air, Untuk parameter kecerahan diperoleh 1160 cm, dimana 8 dari 16 lokasi pengampilan sampel memiliki nilai kecerahan
dibawah nilai optimum kecerahan untuk budidaya ikan Patin (< 25 cm).
Kecerahan dan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai korelasi yang
kuat dan signifikan, dengan persamaan regresi Y=-1.29x+82.089 dengan
koefisien determinasi sebesar 0.455 atau 45.50%
prevalensi infeksi bakteri
patogen dapat dijelaskan oleh faktor kecerahan air. Semakin rendah tingkat
kecerahan air dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen (Gambar
8).
42
100
90
80
Prevalensi (%)
70
60
50
40
30
y = -1,29x + 82,08
R² = 0,455
20
10
0
0
10
20
30
40
50
60
Kecerahan (cm)
Bakteri patogen
Linear (Bakteri patogen)
70
Gambar 8 Korelasi kecerahan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut menempati urutan teratas untuk kegiatan budidaya ikan.
Oksigen merupakan faktor terpenting bagi kehidupan ikan. Kadar oksigen di
perairan/lingkungan budidaya dipengaruhi oleh suhu air, tingkat penyebaran
spesies di perairan, salinitas dan jumlah vegetasi perairan dan populasi ikan di
kolam. Kandungan DO diperoleh akibat difusi gas oksigen dari udara ke dalam
air, proses aerasi oleh angin yang berhembus di permukaan serta hasil
fotosintesa tumbuhan perairan (Aquaculture 2003). Oksigen sangat di butuhkan
dalam
proses
fisika,kimia,biologi
pada
suatu
ekosistim
perairan
yang
berlangsung secara berantai,sehingga minimnya kandungan oksigen dalam
perairan akan menghambat berbagai aktivitas dalam perairan tersebut.
Rendahnya kandungan oksigen terlarut di perairan dapat membahayakan
spesies perairan. Efeknya antara lain stress pada ikan, peningkatan kerentanan
terhadap penyakit, efisiensi pakan yang rendah, gangguan pertumbuhan ikan
hingga kematian.
Boyd dan Lichtkopper (1979) memberikan kisaran konsentrasi oksigen
dan pengaruhnya terhadap kehidupan ikan sebagai berikut :
- <0,4 mg/l,ikan kecil hanya bertahan hidup dalam waktu singkat.
- 0,3-1,0 mg/l,mematikan ikan besar jika terlalu lama.
43
- >1,0-5,0 mg/l, ikan dapat bertahan hidup tetapi pertumbuhannya menjadi
lambat jika di biarkan
- >5,0 mg/l, kondisi yang diinginkan.
Kisaran optimum untuk budidaya ikan Patin >4,0 mg/l. Hasil analisa
kualitas air menunjukan kadar oksigen terlarut (DO) di Kawasan
Minapolitan berkisar antara
pengambilan sampel yang
2-8 mg/l. Terdapat 4 dari 16 lokasi
memiliki kadar DO dibawah nilai optimum
yaitu sebesar 2 mg/l. Hubungan antara DO dengan prevalensi infeksi bakteri
patogen mempunyai korelasi yang sangat lemah, dengan persamaan regresi 2.735x + 64.701 dan koefisien determinasi sebesar 0.0597 atau hanya 5,97%
prevalensi infeksi bakteri patogen dapat dijelaskan oleh faktor DO air. Meskipun
nilai DO sebesar 2 mg/l dibawah nilai optimum untuk budidaya ikan Patin, namun
terlihat bahwa ikan Patin masih dapat mentolerir rendahnya nilai DO tersebut.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa prevalensi infeksi batogen dapat terjadi pada
lokasi dengan kadar oksigen tinggi maupun rendah (Gambar 9).
100
90
80
Prevalensi (%)
70
60
50
40
y = -2,735x + 64,70
R² = 0,059
30
20
10
0
0
2
4
6
Oksigen terlarut (mg/l)
Bakteri patogen
8
10
Linear (Bakteri patogen)
Gambar 9 Korelasi oksigen terlarut dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
44
Amoniak (NH3)
Amoniak
(NH3)
terbentuk
dari
hasil
penguraian
bahan
organik
mengandung nitrogen dan merupakan racun bagi organisme perairan.Sumber
amoniak di perairan berasal dari perubahan senyawa organik dan hasil ekskresi
hewan akuatik (Cholik et al. 1986). Konsentrasi amoniak yang masih dapat di
tolerir oleh mikroorganisme perairan adalah <0,5 mg/l,pada konsentrasi amoniak
0,5-0,9 mg/l kondisi perairan dikategorikan tercemar ringan,konsentrasi 1,0-3,0
mg/l kondisi perairan di kategorikan tercemar sedang,sedangkan konsentrasi
>3,0 mg/l perairan di kategorikan tercemar berat.
Konsentrasi amoniak yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi pH dalam darah ikan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan insang,
mengurangi kemapuan darah untuk mengangkut oksigen, meningkatkan
kebutuhan oksigen pada jaringan, kerusakan sel darah merah dan jaringanjaringan yang memproduksinya serta mempengaruhi osmoregulasi. Pengaruh
amoniak dapat memicu infeksi bakteri pada insang. Racun ini memyebabkan
terjadinya iritasi/luka pada insang, insang menjadi berwarna merah abnormal dan
terlepas dari bawah penutup insang. Hal inilah yang memicu serangan bakteri
terhadap insang yang luka. Tucker (1991) menyatakan bahwa ikan Lele yang
hidup pada perairan dengan kadar amoniak diatas 0,05 ppm (0.5 mg/l) akan
menyebabkan pertumbuhannya menjadi lebih lambat dan lebih rentan terhadap
penyakit menular (Tucker 1991).
Untuk kadar amoniak, diperoleh kisaran nilai sebesar 0-3 mg/l; 11 dari 16
lokasi sampel memiliki kadar amoniak melebihi nilai optimum (> 0.01 mg/l).
Dengan adanya kadar aminiak perairan melebihi batas nilai optimum untuk
budidaya ikan Patin, keberadaan amoniak dapat menggangu aktivitas,
pertumbuhan ikan serta kerentanan ikan terhadap infeksi patogen
Nitrit (NO2)
Menurut Hillerman dan Boyd dalam Mangalik (2001), sumber nitrit berasal
dari reduksi nitrat secara an aerob oleh bakteri dalam lumpur dan air. Apabila
nitrit di absorbsi ikan, maka akan bereaksi dengan hemoglobin dan akan
membentuk methamoglobin.Karena methamoglobin tidak efektif mengangkut
oksigen, maka absorbsi yang kontinyu dari nitrit akan berakibat pada hipoksia
dan sianosis. Darah yang mengandung methamoglobin berwarna coklat dan
menyebabkan keracunan pada ikan yang biasa dinyatakan sebagai penyakit
45
“brown blood diseases”. Kadar nitrit yang tinggi dapat menyebabkan stress bagi
ikan yang selanjutnya dapat menyebabkan kerentanan ikan terhdap penyakit.
Dari hasil analisa kadar besi, diperoleh nilai 0.25-1 mg/l; dimana 5 dari 16 lokasi
pengambilan sampel memiliki kadar besi melebihi batas (> 0,5 mg/l).
Untuk
kadar nitrit, diperoleh nilai < 0,3 mg/l di semua lokasi pengambilan sampel.
Kadar nitrit ini masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh ikan.
Nitrat (NO3)
Nitrat adalah ion-ion an organik alami yang merupakan bagian dari siklus
nitrogen. Nitrit dapat dengan mudah di oksidasikan menjadi nitrat,maka nitrat
adalah senyawa yang paling sering di temukan di dalam air bawah tanah
maupun air permukaan.Senyawa ini terdapat dalam tiga bentuk,yaitu : ion nitrat
(ion NO3),Kalium nitrat (KNO3),dan Nitrogen nitrast (NO3-N).Penggunaan pupuk
nitrogen secara berlebihan sering menyebabkan pencemaran nitrat pada badan
air. Nitrat yang berlebihan di perairan dapat mengakibatkan keracunan pada
ikan/tumbuhan air,serta mengganggu siklus alami nitrogen.Dalam basa normal
nitrat berguna pada proses sintesa protein pada hewan dan untuk pertumbuhan
tanaman air (Aquaculture 1999). Untuk kadar nitrat diperoleh nilai 12,5 mg/l di
semua lokasi pengambilan sampel. Jika dibandingkan dengan standar yang
ditetapkan Aquaculture (2003), nilai ini melebihi batas yang dapat ditolerir.
Besi (Fe)
Besi (Fe) dalam perairan yang sering menimbulkan masalah adalah
bentuk ferro (Fe²+) yang menyebabkan keracunan bagi biota air.Kadar Fe²+ pada
kolam tanah sulfat masam yang digenangi selama dua minggu meningkat dari
umumnya antara 9-18 mol.m-3 (500-1000 ppm) menjadi 90 mol.m-3 (5000
ppm),tetapi kemudian cenderung menurun pada penggenangan lebih dari dua
minggu.Kadar Fe2+ pada kolam mempunyai kisaran sangat lebar antara 0,076.600 ppm.Kadar Fe2+ ini di pengaruhi oleh pH,bahan organik,kadar Fe3+,serta
reaktivitas Fe3+ (Ponnamperuma1977). Kadar Fe2+ optimal untuk budidaya ikan
0.05 – 0.5 mg (Aquaculture 2003). Pada perairan dengan konsentrasi besi yang
tinngi menutup jalan insang, menyebabkan stress hingga kematian (Lawson
1995). Dari hasil analisa kadar besi, diperoleh nilai 0.25-1 mg/l; dimana 5 dari 16
lokasi pengambilan sampel memiliki kadar besi melebihi batas (> 0,5 mg/l).
46
Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides
Plesiomonas shigelloides merupakan bakteri anaerob fakultatif, Gram
negatif, berbentuk batang, oksidase positif, non spora, motil dan memiliki
lophotrichous dan peritrichous flagella (Inoue et al. dalam Jagger 2002).
Pleisomonas sp. tumbuh pada suhu optimum 30 ° C dan memiliki kisaran 29-41
°C (Hudson et al. 2005). Plesiomonas shigelloides merupakan bakteri patogen
oportunistik, dapat menyebabkan terjadinya petechial haemorrhagic pada usus
(Buller, 2004). Pada kondisi normal, bakteri ini dapat ditemukan pada saluran
gastro-intestinal ikan air hangat (Vandepitte et al. dalam Hudson et al. 2005).
Infeksi Plesiomonas shigelloides ditemukan di 12 dari 16 lokasi
pengambilan sampel dengan kisaran nilai pH sebesar 6,9-7,2; suhu sebesar 3033° C, kecerahan 10-60 cm dan kadar oksigen 2-8 mg/l (Tabel 13). Dari hasil
analisa kualitas air tersebut
terlihat bahwa nilai pH masih berada kisaran
optimum untuk pertumbuhan ikan Patin. Meskipun suhu di beberapa lokasi
melebihi suhu optimum untuk budidaya ikan patin (>30 ° C), nampaknya hal ini
tidak mempengaruhi infeksi Plesiomonas shigelloides.
Keragaman nilai
parameter kecerahan dan kadar oksigen terlarut di lokasi pengambilan sampel
terlihat sangat jelas
Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides dan kualitas air di
lokasi sampel
Lokasi Sampel
pH
DO
Suhu
Kecerahan
Prevalensi
(mg/l)
(oC)
(cm)
Plesiomonas
shigelloides (%)
Citra Betasa
7.0
2.0
31
20
50.00
Kisman
7.7
5.0
33
30
40.00
Sumber Mina
6.9
8.0
30
45
10.00
Patin Raya
7.2
8.0
32
15
70.00
Bina Bersama
7.2
2.0
31
17
80.00
Bina Usaha
7.1
2.0
30
10
50.00
Benua Mandiri
7.4
5.0
33
29
40.00
Usaha Bersama
7.3
8.0
33
12
20.00
Mina Sejahtera
7.5
8.0
32
14
20.00
Mina Musti
7.4
8.0
32
19
20.00
Amanah
7.4
5.0
33
16
10.00
Kencana Sutera
7.2
5.0
32
40
20.00
Tabel 13
47
Uji korelasi menunjukkan bahwa korelasi yang kuat terjadi antara kadar
oksigen terlarut dan prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides, dengan nilai
korelasi sebesar -0,53 dan hubungan korelasi negative (terbalik). Penurunan
kadar oksigen terlarut dapat meningkatkan prevalensi infeksi Plesiomonas
shigelloides. Uji korelasi antara kecerahan dan prevalensi infeksi Plesiomonas
shigelloides menghasilkan nilai korelasi sebesar -0,34, yang menunjukan bahwa
terdapat korelasi yang cukup kuat antara keduanya dengan hubungan korelasi
negative (terbalik). Penurunan tingkat kecerahan air
dapat meningkatkan
prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides. Uji korelasi antara pH dan suhu
dengan prevalensi Plesiomonas shigelloides menunjukkan hubungan korelasi
yang sangat lemah, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing -0,15 dan 0,24 (Tabel 14).
Tabel 14
ph
suhu
kecerahan
DO
Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi
infeksi Plesiomonas shigelloides di Kawasan Minapolitan
Uji Korelasi
Prevalensi infeksi
Plesiomonas shigelloides
Pearson Correlation
-0.15
Sig. (2-tailed)
0.651
N
12
Pearson Correlation
-0.24
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
0.451
12
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
0.273
12
-0.53
0.079
12
-0.34
. Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa ada kecenderungan peningkatan
prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides seiring dengan menurunnya tingkat
kecerahan air dan kandungan oksigen terlarut. Meningkatnya kekeruhan air dan
menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan merupakan salah satu stressor
bagi ikan yang dapat menyebabkan ikan menjadi stress dan mempengaruhi
kerentanan ikan terhadap infeksi Plesiomonas shigelloides.
48
Prevalensi infeksi Aeromonas sp
Bakteri Aeromonas sp berbentuk batang, bersifat gram negatif, motil dan
dapat hidup pada lingkungan aerob maupun anaerob.
Motil
aeromonads
mampu beradaptasi pada lingkungan dengan berbagai kisaran konduktivitas,
kekeruhan, pH, salinitas, dan suhu yang (Hazen et al. 1978). Suhu optimum
pertumbuhan tergantung pada strain tertentu, tetapi umumnya berkisar dari 25oC
hingga 35°C. Bakteri ini tersebar luas di lingkungan perairan.
Infeksi bakteri yang disebabkan oleh motil-aeromonas merupakan infeksi
yang umum terjadi dan menjadi penyebab meningkatnya penyakit ikan di kolam.
Stres pada ikan akan meningkatkan kepekaan terhadap infeksi bakteri ini. Infeksi
motil aeromonas telah diketahui selama bertahun-tahun dengan berbagai nama
diantaranya motil aeromonas septikemia (MAS), motil eromonad infeksi (MAI),
hemorrhagi septikemia, red pest (hama merah) dan red sore (penyakit merah).
Infeksi Aeromonasdikenal dengan aeromonads. Bebarapa dapat menyebabkan
penyakit antara lain Aeromonas hydrophila, A. sobria, A. caviae dan beberapa
jenis Aeromonas sp lainnya.
Faktor penyebab wabah penyakit motil aeromonads adalah karena
bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling banyak ditemukan
lingkungan perairan tawar. Aeromonads merupakan bakteri fakultatif, yang
mampu memanfaatkan nutrisi ketika berada di lingkungan dan dapat bertahan
hidup dalam waktu yang lama tanpa keberadaan inang.
Bakteri ini akan
melimpah jumlahnya pada perairan yang kaya bahan organik, seperti di kolam
dan sistem budidaya lainnya. Bakteri ini dapat diisolasi dari kulit dan saluran
usus ikan sehat, lumpur dari kolam, tumbuhan air dan beberapa protozoa. Hal ini
menyebabkan bakteri ini sulit dieliminasi dari lingkungan perairan.
Tanda-tanda klinis atau gejala penyakit yang berhubungan dengan Infeksi
Aeromonas bersifat non-spesifik yang sulit dibedakan dengan infeksi penyakit
lainnya. Infeksi penyakit ini sangat bervariasi, dapat terlihat di bagian kulit atau
hanya terjadi pada organ sistemik internal (septicaemia) atau kombinasi
keduanya. Wabah dapat berjalan kronis (jangka panjang) dan mempengaruhi
hanya sejumlah kecil ikan atau dapat menghasilkan infeksi akut (waktu yang
cepat dan singkat) dengan peningkatan infeksi yang cepat dan angka kematian
yang tinggi.
49
Aeromonads
dianggap
sebagai
patogen
oportunistik,
yang
dapat
menimbulkan penyakit ketika daya tahan tubuh ikan di populasi melemah atau
sebagai infeksi sekunder yang menyertai penyakit ikan lainnya. Aeromonas sp,
terkadang dihubungkan dengan infestasi ektoparasit seperti Epistylis sp. Faktor
stress lingkungan, terutama kualitas air yang buruk dapat meningkatkan
perkembangan penyakit. Faktor-faktor
lingkungan tersebut berupa
suhu air
yang tinggi , kadar amonia dan nitrit yang tinggi, gangguan pH dan rendahnya
kadar oksigen terlarut. Pada bererapa kejadian, Infeksi Aeromonas lebih umum
terjadi di perairan yang hangat dibandingkan dengan perairan yang dingin.
Infeksi ini dapat terjadi pada berbagai jenis umur ikan, tetapi kerugian paling
parah jika terjadi pada benih dan ikan yang masih berukuran kecil (small
fingerlings).
Kejadian infeksi Aeromonas dapat ditemukan setiap bulan
sepanjang tahun.
Aeromonas caviae bersifat kurang virulen dibandingkan beberapa jenis
motil Aeromonas yang bersifat patogen lainnya. Namun bakteri ini
dapat
menyebabkan terjadinya septicaemia dan kematian jika dalam menfinfeksi dalam
jumlah yang besar (Buller 2004). A. hydrophila
penyebab
penyakit
Bacterial
Hemorrhagic
merupakan bakteri
agen
Septicemia (BAS) atau Motil
Aeromonas Septicemia (MAS). Aeromonas hydrophila menyebabkan lesio pada
kulit dan pembusukan sirip, haemorrhagic septicaemia, hingga kematian (Camus
1998).
Pada ikan jenis catfish, gejala yang muncul berupa kemerahan dan luka
pada sirip disertai dengan depigmentasi kulit yang tidak beraturan, dengan
berbagai ukuran di seluruh permukaan tubuh. Kulit tubuh menjadi terkelupas,
sehingga otot dapat terlihat. Luka yang terbentuk dapat muncul di superficial atau
meluas ke dalam otot hingga tulang. Ulkus/luka ini dibatasi oleh garis putih di
lokasi zona haemorragi. Pada catfish, infeksi Aeromonas juga dapat disertai
dengan gejala eksternal berupa exophthalmia, distensi perut, (pembengkakan
perut) dan insang yang berwarna pucat. Lesi kulit yang disebabkan
oleh aeromonads juga dapat disertai infeksi jamur atau bakteri columnaris.
Tingkat kematian Aeromonas umumnya
tidak mencapai 50%, namun
tingkat mortalitas yang tinggi dapat terjadi pada populasi ikan dengan daya tahan
tubuh rendah, tingkat stres yang tinggi dan virulensi dari strain bakteri yang
menginfeksi ikan. Kematian dapat mencapai 100% pada benih dan ikan
berukuran kecil.
50
Aeromonas caviae
Infeksi Aeromonas caviae ditemukan di 5 dari 16 lokasi pengambilan
sampel dengan kisaran nilai pH sebesar 7,2-7,7; suhu 30-33° C, kecerahan 1430 cm dan kadar oksigen 5-8 mg/l. Dari hasil analisa kualitas air menunjukan
suhu yang relatif tinggi di lokasi sampel yang diduga mempengaruhi prevalensi
infeksi Aeromonas caviae di lokasi sampel (Tabel 15).
Prevalensi infeksi Aeromonas caviae dan kualitas air di lokasi
sampel
Lokasi Sampel pH
DO
Suhu
Kecerahan
Prevalensi
o
(mg/l)
( C)
(cm)
Aeromonas caviae (%)
Kisman
7.7
5.0
33
30
10.00
Lempayu
7.2
5.0
30
25
50.00
Patin Raya
7.2
8.0
32
15
10.00
Benua Mandiri 7.4
5.0
33
29
20.00
Mina Sejahtera 7.5
8.0
32
14
40.00
Tabel 15
Aeromonas hydrophila
Infeksi Aeromonas hydrophila hanya ditemukan di 1 dari 16 lokasi
pengambilan sampel dengan prevalensi sebesar 30%. Analisa kualitas air lokasi
pengambilan sampel menunjukan nilai pH sebesar 7,7; DO sebesar 5 mg/l, suhu
33° C dan kecerahan 30 cm. Nilai pH, DO dan kecerahan berada pada kisaran
optimum untuk budidaya ikan Patin maupun untuk pertumbuhan bakteri.
Sedangkan suhu relatif tinggi dan melebihi nilai optimum budidaya ikan Patin.
Bakteri Aeromonas hydrophila umumnya
hidup
di
air
tawar
yang
mengandung bahan organik tinggi. Bakteri ini merupakan bakteri mesofil yaitu
bakteri yang dapat tumbuh dengan kisaran suhu 15°-55°C. Holt et al. (1994)
menyebutkan bahwa Aeromonas hydrophila dapat tumbuh pada
optimal
temperatur
22-28°C. Palumbo dan Buchanan (1985) menyatakan bahwa
Aeromonas hydrophila dapat tumbuh pada temperatur optimal 20-35°C. Jika
dihubungkan dengan nilai yang baik untuk pH, kecerahan dan DO ini
mengindikasikan bahwa bahan organik di lokasi tinggi, sehingga pertumbuhan
Aeromonas hydrophila. Suhu yang tinggi juga menjadi faktor yang mendukung
terjadinya pertumbuhan optimum Aeromonas hydrophila, sedangkan bagi ikan
tingginya suhu perairan dapat menjadi stressor bagi ikan. Ketika ikan mengalami
stress semantara Aeromonas hydrophila tumbuh optimum, hal ini menyebabkan
kerentanan ikan terhadap infeksi Aeromonas hydrophila.
51
Prevalensi infeksi Citrobacter freundii
Citrobacter freundii merupakan bakteri aerob, gram negatif dan berbentuk
batang, dikelilingi oleh flagela yang digunakan untuk bergerak, namun beberapa
diantaranya bersifat non-motil. Habitatnya meliputi lingkungan (tanah, air,
pembuangan limbah), makanan, dan saluran usus hewan dan manusia. Bakteri
ini merupakan patogen oportunistik.
Gejala eskternal dari infeksi Citrobacter freundii antara lain berupa
peningkatan lendir kulit dan insang, erosi dan luka pada kulit, pendarahan difus
pada kulit dan sirip, exophthalmus bilateral dan pendarahan di mata. tercatat di
semua spesimen. Pendarahan diffuse juga terjadi di bagian ventral abdomen.
Lubang anal berdarah. Insang pucat karena anemia, perdarahan petechial, dan
adalah pembengkakan dan dengan nekrosis ujung filamen insang. Citrobacter
freundii dapat menyebabkan lesio pada kulit, sirip, insang dan organ internal
serta haemorrhagic septicaemia (Svetlana et al. 2003).
Svetlana et al. (2003) menyebutkan bahwa infeksi Citrobacter freundii
pada benih ikan Rainbow-troat ditandai dengan gastroenteritis dan kematian
semakin tinggi, tanpa menunjukkan gejala klinik. Sedangkan infeksi pada ikan
NIla menunjukkan gejala haemorrhagi septikemia akut. Dari hasil pemeriksaan
patologi ditemukan adanya inflamasi di saluran usus ikan Rainbow-troat,
sedangkan pada organ internal ikan Nila terlihat adanya inflamasi hingga
nekrosis jaringan.
Infeksi Citrobacter freundii ditemukan di 4 dari 16 lokasi pengambilan
sampel. Hasil analisa kualitas air menunjukan kisaran pH sebesar 7-7,7; DO
berkisar antara 2-5 mg/l, kisaran suhu 30-33oC dan kecerahan 10-30 cm di
keempat lokasi (Tabel 16).
Prevalensi infeksi Citrobacter freundii dan kualitas air di lokasi
sampel
Lokasi
pH
DO
Suhu Kecerahan
Prevalensi
o
Sampel
Citrobacter freundii
(mg/l)
( C)
(cm)
(%)
Citra Betasa
7.0
2.0
31
20
10.00
Kisman
7.7
5.0
33
30
10.00
Bina Bersama
7.2
2.0
31
17
10.00
Bina Usaha
7.1
2.0
30
10
20.00
Tabel 16
52
Prevalensi infeksi Flavobacterium columnare
Flavobacterium columnare merupakan bakteri gram negatif, aerob,
berbentuk batang dengan ukuran panjang 12 µm dengan lebar 0,5 µm,
motil. Bakteri ini tersebar luas di lingkungan perairan dan menyukai perairan
yang
bersuhu
relatif
tinggi
(Kordi 2004).
Flavobacterium
columnare
merupakan salah satu penyakit bakteri penting bagi spesies ikan air tawar.
Penyakit ini sering berakhir pada kematian, yang menyebabkan kerugian
ekonomi yang besar dalam industri budidaya ikan (Zhu et al. 2012).
Flavobacterium
columnare
merupakan
bakteri
penyebab
penyakit
Columnaris/Cotton wall disease (Kordi 2004). Infeksi bakteri ini ditandai pigmen
coklat kekuningan hingga terbentuknya luka di kepala, permukaan tubuh ikan,
insang, sirip dan ekor (Durborow 1998). Bakteri menempel pada insang
permukaan, tumbuh menyebar hingga menutupi filament insang hingga
mengakibatkan kematian sel (Zhu et al. 2012). Jika bakteri ini menyerang insang
pada sejumlah ikan di populasi dapat menyebabkan kematian massal (Kordi
2004).
Infeksi bakteri ini sering berkaitan stress lingkungan, terutama
temperatur lingkungan meningkat terlalu tinggi. Kondisi stress yang dapat
memicu infeksi bakteri ini adalah rendahnya kadar oksigen terlarut,
tingginya suhu, kadar amoniak dan nitrit, penanganan ikan secara kasar,
luka mekanis hingga kepadatan populasi. Infeksi bakteri ini dapat menyebar
cepat dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Flavobacterium sp
juga dapat memicu infeksi sekunder pada ikan (Zhu et al. 2012).
Infeksi Flavobacterium columnare ditemukan di 2 dari 16 lokasi
pengambilan sampel, dengan hasil analisa kualitas air menunjukkan nilai pH
sebesar 6,9 dan 7,2; DO sebesar 2 dan 8 mg/l, suhu 32 dan 33°C dan kecerahan
11 dan 35 cm (Tabel 17). Faktor suhu yang tinggi terlihat sangat mempengaruhi
Infeksi Flavobacterium columnare pada ikan Patin. Hal ini sesuai dengan
Holt et al. (1975) yang menyatakan bahwa kejadian columnaris disease
dipengaruhi oleh suhu yang tinggi. Decostere et al. (1999) menyatakan bahwa
pada suhu yang tinggi, kemampuan Flavobacterium columnare untuk melekat
dan menyerang epitel insang menjadi lebih besar.
53
Prevalensi infeksi Flavobacterium columnare dan kualitas air di
lokasi sampel
Lokasi Sampel
pH
DO
Suhu
Kecerahan
Prevalensi
o
(mg/l)
( C)
(cm)
Flavobacterium
columnare (%)
Mina Mulya
7.3
8.0
33
11
50.00
Tabel 17
Mina
Membangun
6.9
2.0
31
35
30.00
Prevalensi infeksi Corynebacterium sp
Corynebacterium sp merupakan bakteri Gram-positif, berbentuk batang,
non motil, berukuran panjang 2-6 µm dan diameter 0,5 µm. Bakteri ini bersifat
aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, non spora dan tidak tahan
asam. Corynebacterium sp dapat ditemukan di lingkungan, tanah dan perairan.
Corynebacterium sp merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan
Corynebacterial Disease. Pada ikan Rainbow Trout dan ikan Salmon
merah, bakteri ini dapat menyebabkan lesi yang menimbulkan gangguan
pada ginjal. Infeksi bakteri ini dapat bersifat kronis maupun akut yang
dapat menyebabkan kematian (Bullock et al. 1974). Gejala klinis lainnya
berupa benjolan di bagian samping tubuh ikan, dan pendarahan pada pangkal
sirip dada (Kordi 2004). Infeksi campuran antara Corynebacterium sp dan
Flavobacterium columnare dapat menyebabkan kematian pada ikan (Marks et al.
1980).
Infeksi Corynebacterium sp ditemukan di 3 dari 16 lokasi pengambilan
sampel. Hasil analisa kualitas air menunjukan kisaran pH sebesar 7-7,4; DO
sebesar 2-8 mg/l, suhu 31-33oC dan kecerahan 12-20 cm di lokasi pengambilan
sampel (Tabel 18). Dari hasil pengamatan tersebut, terlihat bahwa suhu dan nilai
kecerahan yang berada diluar batas optimum pertumbuhan ikan patin sangat
mempengaruhi infeksi Corynebacterium sp pada ikan Patin. Buruknya kualitas air
menjadi stressor bagi ikan yang selanjutnya mempengaruhi daya tahan tubuh
ikan terhadap infeksi Corynebacterium sp.
54
Prevalensi infeksi Corynebacterium sp dan kualitas air di lokasi
sampel
Lokasi
pH
DO
Suhu
Kecerahan
Prevalensi
o
Sampel
(mg/l)
( C)
(cm)
Corynebacterium sp
(%)
Citra Betasa
7.0
2.0
31
20
10.00
Usaha
7.3
8.0
33
12
20.00
Bersama
Mina Musti
7.4
8.0
32
19
10.00
Tabel 18
Prevalensi Infeksi Pasteurella multocida
Pasteurella multocida merupakan bakteri gram negatif, nonmotil, non
spora, berbentuk coccobacillus. Bakteri ini umumnya merupakan bakteri patogen
pada unggas, dan jarang dilaporkan terjadi pada ikan. Wabah Pasteurella
multocida pernah dilaporkan terjadi pada ikan NIla Hibrida pada kolam budidaya
di Israel. Infeksi Pasteurella multocida pada Nila Hibrida menyebabkan terjadinya
nodul/granuloma berwarna putih dengan ukuran yang bervariasi dalam semua
organ visceral ikan Infeksi Pasteurella multocida pada populasi ikan tersebut
diduga berasal dari kotoran unggas yang digunakan sebagai pupuk di kolam
budidaya (Nizan dan Hammerschlag 1993).
Pada penelitian ini, infeksi Pasteurella multocida hanya ditemukan pada
satu lokasi, dengan prevalensi 10%. Bakteri ini diisolasi dari insang ikan Patin.
Hasil analisa kualitas air pada lokasi menunjukan nilai pH sebesar 7,3, DO
sebesar 8 mg/l, suhu 33OC dan kecerahan 12 cm. Faktor stressor lingkungan
(kualitas air) berupa suhu air yang tinggi dan kecerahan yang rendah diduga
menjadi faktor utama infeksi bakteri ini pada ikan patin di lokasi ini.
Prevalensi Infeksi Micrococcus sp
Micrococcus sp merupakan bakteri Gram positif. Bakteri ini
bersifat non motil, aerob, positif pada uji katalase dan negatif pada uji
oksidase, tidak mampu mengoksidasi maupun memfermentasi glukosa.
Micrococcus luteus merupakan salah satu spesies dari genus ini yang dapat
ditemukan pada ikan air tawar. Micrococcus luteus merupakan mikrofolora
normal pada saluran usus ikan air tawar, namun dapat menjadi bakteri patogen
pada ikan (Austin dan Austin 2007).
55
Micrococcus luteus menyebabkan infeksi kronis-sporadis pada benih
hingga ikan dewasa. Tingkat morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada ikan
stadium larva/benih yang terinfeksi dibandingkan dengan ikan dewasa. Hal ini
dikarenakan pada ikan stadia larva masih belum memiliki organ tubuh yang
sempurna. Ikan yang dipelihara di dalam kolam tanah juga dilaporkan lebih tahan
terhadap Micrococcus luteus dibandingkan dengan ikan yang diperihara pada
kolam beton (Scoot 1993).
Usia ikan dan virulensi dari strain bakteri yang
berbeda dapat mempengaruhi keparahan dan derajat infeksi.
Infeksi Micrococcus luteus menyebabkan infeksi peradangan pada jenis
ikan rainbow trout (Aydin et al. 2005). Haemorrhages pada mata yang mengalami
exopthalmia terlihat pada ikan yang terinfeksi (Austin dan Stobie
1992).
Efek
dari patogenitas Micrococcus luteus yang menyebabkan pendarahan pada organ
tubuh bagian tertentu seperti pada hati, limfa, dan ginjal ikan (Austin dan Austin
2007).
Micrococcus
Micrococcus
luteus
disamping
dapat
menyebabkan
penurunan jumlah leukosit ternyata juga menyebabkan penurunan jumlah sel
darah yang lainnya seperti eritrosit, trombosit, hematokrit dan hemoglobin.
Pada penelitian ini, infeksi Micrococcus sp hanya ditemukan pada satu
lokasi dengan prevalensi 30%. Hasil analisa kualitas air pada lokasi menunjukan
nilai pH sebesar 7,4; DO sebesar 5 mg/l, suhu 33OC dan kecerahan 16 cm.
Faktor stressor lingkungan (kualitas air) berupa suhu air yang tinggi dan
kecerahan yang rendah diduga menjadi faktor utama infeksi bakteri ini pada ikan
patin di lokasi ini.
Prevalensi Infeksi Bakteri Patogen pada Ukuran Ikan yang Berbeda
Untuk mengetahui kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang
dan berat tubuh ikan. Dari 160 sampel ikan diperoleh ukuran panjang minimum
yaitu 6 cm dan panjang maksimum yaitu 36 cm dengan berat terendah 1,3 g dan
berat tertinggi 550 g. Ukuran panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam
6 kelompok berdasarkan rata-rata panjang tubuh ikan dan umur ikan. Ukuran <
10 cm untuk umur 1 bulan, 10 - 15 cm untuk umur 2 bulan, 16 - 20 cm untuk
umur 3 bulan, 21-30 cm untuk umur 4 bulan, 30- 35 cm untuk umur 5 bulan dan
36-40 cm untuk umur 6 bulan.
56
Dari 160 sampel yang diamati, 80 sampel terinfeksi bakteri patogen
(50,00%). Prevalensi infeksi bakteri patogen dari setiap kelompok ukuran sampel
relatif tinggi. Hasil pengamatan prevalensi infeksi bakteri patogen berdasarkan
ukuran tubuh ikan disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Prevalensi infeksi bakteri patogen berdasarkan ukuran tubuh ikan
Ukuran Tubuh
Jumlah Sampel
Jumlah Sampel
Prevalensi (%)
yang diamati
yang terinfeksi
< 10 cm
20
11
55.00
10 - 15 cm
16
9
56.00
16 - 20 cm
18
9
50.00
21 - 30 cm
83
41
49.00
30 - 35 cm
19
8
42.00
36 - 40 cm
4
2
50.00
160
80
50.00
Tabel 20 Hasil uji korelasi antara prevalensi infeksi bakteri patogen dan ukuran
tubuh ikan
Uji Korelasi
Ukuran tubuh ikan
Prevalensi
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
-0.726
0.102
6
Hasil uji korelasi statistik menghasilkan koefisien korelasi sebesar -0,726
yang menunjukan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara ukuran tubuh
ikan dengan prevalensi infeksi bakteri pathogen, dengan persamaan regresi
y= -1,942x + 57,13 dan koefisien determinasi sebesar 0,527. Ini menunjukkan
bahwa 52,70% prevalensi infeksi bakteri patogen yang dapat dijelaskan oleh
faktor umur ikan. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan prevalensi
infeksi bakteri patogen seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan (Tabel
20 dan Gambar 10). Beberapa penelitian mengenai infeksi bakteri pada ikan
juga menyatakan hal yang sama bahwa prevalensi infeksi bakteri patogen akan
berkurang seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Morbiditas dan mortalitas
pada larva/benih lebih tinggi dibandingkan dengan ikan dewasa (Camus 1998,
Nizan 1993).
57
60
y = -1,942x + 57,13
R² = 0,527
Prevalensi infeksi (%)
50
40
Infeksi Bakteri
Patogen
30
20
Linear ( Infeksi
Bakteri Patogen)
10
0
0
2
4
Umur ikan (bulan)
6
8
Gambar 10 Korelasi umur ikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen
58
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Prevalensi infeksi bakteri patogen yang
ditemukan di Kawasan
Minapolitan Kabupaten Banjar sebesar 50%. Hasil uji korelasi antara parameter
kualitas air dan prevalensi infeksi bakteri patogen menunjukan bahwa terdapat
hubungan korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi bakteri
patogen di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar. Suhu dan pH memiliki
korelasi
yang
cukup
kuat
dengan
prevalensi
infeksi
bakteri
patogen.
Peningkatan suhu dan pH dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri
patogen.
Kecerahan air memiliki korelasi yang sangat
kuat dan signifikan
dengan prevalensi infeksi bakteri patogen Kabupaten Banjar. Semakin rendah
tingkat kecerahan air dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen.
Hasil uji korelasi antara umur ikan (ukuran tubuh ikan) dan prevalensi infeksi
bakteri patogen di Kawasan Minapolitan menunjukan bahwa terdapat korelasi
yang sangat kuat antara ukuran tubuh ikan dengan prevalensi infeksi bakteri
patogen. Hasil penelitian menunjukkan adanya
penurunan prevalensi infeksi
bakteri patogen seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan (umur ikan).
Saran
1. Diperlukan
monitoring
hama
penyakit
ikan
secara
rutin
dan
berkesinambungan untuk memantau penyebaran hama penyakit ikan
terutama hama penyakit ikan karantina di Kabupaten Banjar khususnya di
Kawasan Minapolitan.
2. Diperlukan pengelolaan lingkungan kolam budidaya yang baik untuk
meminimalisir dan mengendalikan infeksi bakteri patogen di di Kabupaten
Banjar khususnya di Kawasan Minapolitan.
59
DAFTAR PUSTAKA
Amri K. 2007. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Austin B, Austin DA. 2007. Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and
Wild Fish. Fourth Edition. Springer. USA.
Aquaculture. 1999. Water Quality. http://www.en.wikipedia.org/wiki/water quality.
Aquaaculture SA. 2003. Water quality in freshwater aquaculture ponds. Fact
Sheet 60:01. www.pir.sa.gov.au/factsheets.
Austin B, Stobie M. 1992. Recovery of Micrococcus luteus and Presumptive
Planococcus from Moribund Fish During Outbreaks of Rainbow Trout
(Oncorhynchus mykiss Walbaum) Fry Syndrome (RTFS) in England.
Journal of Fish Disease 15:203-206.
Aydin S, et al. 2005. Clinical, Pathological and Haematological Effects of
Micrococcus luteus Infections in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss
Walbaum). Journal of Animal and Veterinary Advances 4(2):167174.
Axelrod HR, et al. 1995. Dr. Axelrod’s Mini Atlas of Freshwater Aquarium Fishes.
Mini Edition. 1995 Edition. TFH. Publications Inc. United States.
Balai Karantina Ikan Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin. 2011. Laporan
Pemantauan HPIK Tahun 2011. Banjarmasin.
Buller NB. 2004. Bacteria from Fish and Other Aquatic Animals A Practical
Identification Manual. CABI Publishing. USA.
Bullock GL, et al. 1974. Corynebacterial Kidney Disease of Salmonids: Growth
and Serological Studies on the Causative Bacterium. Applied Microbiology
5 (28) : 811-814.
Boyd CE. 1979. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Auburn University
Agricultural Experiment Station.
Boyd CE, F Lichtkopper. 1979. Water Quality Management in Pond Fish Culture.
Research
Development
Series
No
22
International
Center
Aquaculture. Agriculture Experiment. Auburn University. Alabama.
for
60
Brook KN, et al. 1989. Hydrology and the Management of Water Shid. Ohio
University. Press Colombus. USA
Camus AC, et al. 1998. Aeromonas Bacterial Infections - Motile Aeromonas
Septicemia. SRAC Publication 478.
Cholik F, et al. 1986. Pengelolaam Kulaitas Air Kolam Ikan. Dirjen Perikanan dan
International Development Research Center. Jakarta.
Decostere A, et al. 1999. Influence of Water Quality and Temperature on
Adhesion of High and Low Virulence Flavobacterium columnare Strains
To Isolated Gill Arches. Journal of Fish Disease 22 : 1-11.
Durborow, et al. 1998.
Columnaris Disease A Bacterial Infection Caused by
Flavobacterium columnare. SRAC Publication 479.
Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition. Taylor
and Francis. New York.
Frerichs GN, et al. 1993. Isolation and Identification of Fish Bacterial Pathogens.
Pisces Press Stirling. Scotland.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid I. PT Macanan jaya cemerlang. Jakarta.
Hazen TC, et al. C. 1978. Prevalence and distribution of Aeromonas hydrophila
in the USA. Journal of. Applied and Environmental Microbiology. 36: 731 738.
Holt JG, et al. 1994. Bergey’s Manual of Determinative bacteriology. 9th Ed.
Williams & Wilkins. Baltimore.
Hudson, et al. 2005. Survey of Specific Fish Pathogens in Free-Ranging Fish
from Devils Lake, North Dakota.Bozeman Fish Health Center Technical
Report 05-2.
Integrated Taxonomic Information System. 2012. Pangasius hypophthalmus.
Taxonomic Serial No: 639954. http://www.itis.gov/info.html. 8 Maret 2011.
Iriandenta. 2000. Inventarisasi Kondisi Lingkungan Fisik, Kimia dan Biologi
Perairan pada Tapak Proyek Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
Batu Licin, Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan. Fakultas Perikanan
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
61
Jagger TD. 2000. Plesiomonas shigelloides - a veterinary perspective. Infect Dis
Rev 2(4):199-210.
Jahja F. 2009. Tingkat Serangan Parasit pada Larva Kepiting Bakau (Scylla
serrata) Stadia Zoea-megalopa yang Diberi Glukosa Terlarut. [Skripsi].
Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin Makassar.
Khairuman,
Sudenda D.
2011. Budidaya Patin Secara intensif. Penebar
Swadaya. Jakarta
Kordi MGH. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta.
Jakarta.
Kubilay A, Ulukoy G. 2002. The effects of acute stress on rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss). Turk J Zool 26: 249 – 254.
Langdon JS.1988. History and Causes of Fish Kill. Fish Diseases. Refresher
Course for Veterinarians. Proceeding 106. Post Graduate Committee in
Veterinary Science. University of Sydney.
Lightner DV. 1996. A Hand Book of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures
for Diseases of Penaeid Shrimp. World Aquaculture Society. USA.
Madigan MT, et al. 2009. Brock Biology of Microorganisms. 12th ed. Pearson
Education. Inc. USA.
Mangalik A. 2001. Water Quality Management. Bahan Kuliah Manajemen
Kualitas Air. Program Studi PSDA. Universitas Lambung Mangkurat.
Marks JE, et al. 1980. Mixed Infection in Columnaris Disease of Fish. J Am Vet
Med Assoc 177(9):811-814.
Middelbeek EJ, Drijver JS - de Haas. 1992. Environmental Factors Influencing
Growth.
In: Cartledge TG, editor. In Vitro Cultivation of Microorganisms.
Oxford: Butterworth - Heinemann.
Nizan S, Hammerschlag E. 1993. First Report of Pasteurellosis in Freshwater
Hybrid Tilapia (Oreochromis aureus x O. niloticus) in Israel. Bull. Eur. Ass.
Fish Pathol 13:179–180.
Palumbo dan Buchanan. 1985. Influence of Temperature, Na0l and pH on The
Growth of Aeromonas hydrophilla. Journal of Food Science 50:1420.
62
Pemerintah Kabupaten Banjar. 2011. RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 20112015. Peraturan Daerah No.5 Tahun 2011.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 Tentang
Karantina Ikan. 23 April 2002.
Ponnamperuma PN. 1977. Spesific Soil Chemical Characteristics for Rice
Production in Asia. IRRI Res.Paper Series.
Rottmann RW, et al. 1992. The Role of Stress in Fish Disease. SRAC Publication
474.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Jakarta.
Scott P. 1993. Therapy in Aquaculture. Aquaculture for Veterinarian. L Brown
(Ed). Pergamon Press. New York.
Sitanggang M. 2001. Mengatasi Penyakit dan Hama pada Ikan Hias. Agro Media
Pustaka. Jakarta.
Subyakto S. 2000. Pengaruh kadar 1- ascorbyl-2-phosphate-magnesium (APM)
pakan terhadap kadar vitamin C hati, asam lemak n-6 dan n-3 dan rasio
hydroksiprolin/prolin tubuh dan kinerja pertumbuhan serta respon stres
juvenil
ikan kerapu tikus
(Cromileples
altivelis).
Tesis.
Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Supriyadi H. 2005. Penyakit infeksi dan non infeksi. Pelatihan Dasar Karantina
Ikan. Bogor
Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Kep.03/MEN/2010.
Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Kep.39/MEN/2011.
Susanto H dan Amri K. 2002. Budi Daya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Susanto H. 2009.
Pembenihan dan Pembesaran Patin. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Svetlana J, et al. 2003. Citrobacter freundii as a cause of disease in fish. Acta
Veterinaria (Beograd) 53(5-6):399-410.
63
Syawal H dan Yusni I. 2011. Respon Fisiologis Ikan Jambal Siam (Pangasius
hypopthalamus) pada Suhu Pemeliharaan yang Berbeda. Berkala
Perikanan Terubuk 39 (1) : 51-57.
Tucker CS. 1991. Water Quantity and Quality Requirements for Channel Catfish
Hatcheries. SRAC Publication 461.
Yuasa KN, et al. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan, Teknik Diagnosa
Penyakit Ikan Budidaya Air Tawar di Indonesia. Balai Budidaya Air Tawar.
Jambi.
Zooneveld N, et al. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Zhu W, et al. 2012. Generation of Biotechnology-Derived Flavobacterium
columnare Ghosts by PhiX174 Gene E-Mediated Inactivation and the
Potential as Vaccine Candidates against Infection in Grass Carp. Journal
of Biomedicine and Biotechnology.
64
LAMPIRAN
65
Lampiran 1 Data Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Patin di Kawasan Minapolitan Kab. Banjar
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nama Pokdakan
Martapura Kota
Sejahtera,
Jl. Keramat Desa Tungkaran
Citra Betasa,
Desa Cindai Alus
Minamaju Lestari,
Desa Cindai Alus
Sumber Mina,
Desa Sungai Sipai
Martapura Barat
Mina Mulya,
UPT Riam Kanan SP II Desa Sungai
Batang
MinaSejahtera,
UPT Riam Kanan SP II Desa Sungai
Batang
Usaha Bersama,
UPT Riam Kanan SP II Desa Sungai
Batang
Berkat Bersatu,
Desa Sungai Batang Ilir RT. 01
Mas Bersinar,
Tran UPT Riam Kanan III Desa Sungai
Batang
Mulya Sejahtera,
Desa Sungai Batang Ilir RT. 01
Jumlah Anggota
(orang)
Kolam
(Ha)
Jumlah Kolam
(buah)
Luas Lahan
(Ha)
Komoditas
10
2.2
20
5.2
Patin
10
2.5
20
5.3
Patin
5
4.75
42
7.22
Patin
22
2.51
167
5.94
Patin
10
1.18
37
2.54
Patin
10
1.31
46
3
Patin
13
2.4
79
5.42
Patin
8
2.69
49
5.96
Patin
10
1.86
54
3.5
Patin
10
7.15
88
8.71
Patin
66
No.
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Nama Pokdakan
Patin Raya,
Tran UPT Riam Kanan II Desa Sungai
Batang
Mina Musti,
Tran UPT Riam Kanan II Desa Sungai
Batang
Lempayu,
Tran UPT Riam Kanan II Desa Sungai
Batang
Kencana Permai
Jl. Pintu BGT. 5
Ds. Sungai Batang Ilir
Banua Mandiri
Ds. Sungai Batang Ilir
Bina Bersama
UPT Riam Kanan Irigasi II
Desa Sungai Batang
Kencana Sutera,
Desa Sei Rangas Hambuku
Mina Membangun,
Desa Penggalaman Rt. 02
Amanah
Desa Penggalaman
Jumlah Anggota
(orang)
10
Kolam
(Ha)
5.75
Jumlah Kolam
(buah)
54
Luas Lahan
(Ha)
18.5
Komoditas
10
3.36
32
7.75
Patin
10
1.05
43
2.5
Patin
10
1.44
-
10
Patin
10
1.27
11
Patin
10
1.01
27
Patin
11
1.19
30
9.1
Patin
8
1.14
26
6.2
Patin
10
0,5
33
-
Patin
Patin
67
Lampiran 2 Perhitungan Jumlah pengambilan sampel kelompok pembudidaya ikan dengan rumus Taro Yamane
N
n=
Nd2 + 1
19
n=
19 (0,1)2 + 1
19
n=
1.19
n=
16
Keterangan :
n
= Jumlah sampel yang diambil
N
= Jumlah populasi
d
= Presisi yang ditetapkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir
atau diinginkan) yaitu 10 persen.
Jumlah sampel pembudidaya ikan sebanyak 16 Pokdakan
68
Lampiran 3 Penentuan sampel per desa ditentukan dengan metode proportional random sampling
Jumlah populasi kelompok/desa
Jumlah sampel/desa =
x Jumlah sampel keseluruhan
Jumlah populasi keseluruhan
Lokasi
Desa Tungkaran
Desa Cindai Alus
Desa Sei Batang
Desa Sei Sipai
Desa Sei Rangas Hambuku
Desa Penggalaman
Jumlah
Populasi (N)
1
2
12
1
1
2
19
Perhitungan jumlah sampel (n)
=1/19*16 = 0,84
=2/19*16= 1,68
=9/19*16= 10,11
=1/19*16= 0,84
=1/19*16= 0,84
=2/19*16= 1,68
Jumlah Sampel
1
2
10
1
1
2
16
69
Lampiran 4 Hasil Pengamatan Morfologi Isolat Bakteri
Bakteri Patogen
Warna Koloni
Bentuk Koloni
Elevasi
Tepi
Bentuk
Gram
Plesiomonas shigelloides
Krem
Circular
Convex
Entire
Batang
Negatif
Aeromonas caviae
Krem
Circular
Convex
Entire
Batang
Negatif
Kuning
Circular
Convex
Entire
Batang
Negatif
Citrobacter freundii
Krem
Circular
Convex
Entire
Batang
Negatif
Corynebacterium sp
Krem
Circular
Effuse
Entire
Batang
Positif
Micrococcus sp
Krem
Circular
Convex
Entire
Bulat
Positif
Aeromonas hydrophila
Krem
Circular
Convex
Entire
Batang
Negatif
Pasteurella multocida
Kuning
Circular
Convex
Entire
Batang
Negatif
Flavobacterium columnare
70
Lampiran 5 Hasil Pengamatan Uji Biokimiawi
Bakteri
Katalase
Oksidase
Motilitas
Uji
TSIA
TSIA
O/F
Slant
Butt
Gas
H2S
Lisin
Lisin
Deaminase
Dekarboksilase
Plesiomonas shigelloides
+
+
+
F
A
A
-
-
-
+
Aeromonas caviae
+
+
+
F
A
A
-
-
-
-
Flavobacterium columnare
+
+
-
O
K
K
-
+
-
-
Citrobacter freundii
+
-
+
F
A
A
+
-
-
-
Corynebacterium sp
+
-
-
F
K
K
-
-
-
+
Micrococcus sp
+
+
-
O
K
K
-
+
-
-
Aeromonas hydrophila
+
+
+
F
A
A
+
-
-
+
Pasteurella multocida
+
+
-
F
A
A
-
-
-
-
71
Lampiran 5 (Lanjutan)
Bakteri
Indol
Ornithin
Sitrat
Urea
Glukosa
Laktosa
Sukrosa
Plesiomonas shigelloides
+
+
-
-
+
+
+
Aeromonas caviae
+
-
-
-
+
+
+
Flavobacterium columnare
-
-
-
-
-
-
-
Citrobacter freundii
-
-
+
-
+
+
+
Corynebacterium sp
-
-
+
-
+
+
+
Micrococcus sp
-
-
+
-
-
-
-
Aeromonas hydrophila
-
+
+
-
+
+
+
Pasteurella multocida
+
-
+
-
+
+
+
72
Lampiran 6 Analisis Regresi Linear Sederhana antara pH dan Prevalensi Bakteri Patogen
Descriptive Statistics
Mean
pH
Prevalensi
Std. Deviation
7.2375
50.0000
N
.21564
27.08013
16
16
Correlations
ph
Pearson Correlation
pH
Prevalensi
pH
Sig. (1-tailed)
1.000
.411
.
.057
16
16
Prevalensi
pH
Prevalensi
N
Prevalensi
.411
1.000
.057
.
16
16
Variables Entered/Removedb
Model
1
Variables Entered
Prevalensi
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: pH
a
Variables Removed
Method
. Enter
73
Model Summaryb
Model
R
R Square
a
1
.411
.169
a. Predictors: (Constant), Prevalensi
b. Dependent Variable: pH
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.110
.20348
ANOVAb
Model
1 Regression
Residual
Total
a. Predictors: (Constant), Prevalensi
b. Dependent Variable: pH
Sum of Squares
df
.118
.580
.698
Mean Square
1
14
15
F
.118
.041
2.845
Sig.
.114a
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Model
B
Std. Error
1 (Constant)
7.074
.110
Prevalensi
.003
.002
a. Dependent Variable: pH
Standardized Coefficients
Beta
.411
t
Sig.
64.580 .000
1.687 .114
95% Confidence
Interval for B
Lower Bound
Upper Bound
6.839
7.309
.000
.007
74
Lampiran 7 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Kadar Oksigen Terlarut (DO) dan Prevalensi Bakteri Patogen
Descriptive Statistics
Mean
DO
Prevalensi
Std. Deviation
N
5.3750
50.0000
2.41868
27.08013
16
16
Correlations
DO
Pearson Correlation
DO
Prevalensi
DO
Prevalensi
DO
Prevalensi
Sig. (1-tailed)
N
Model
Prevalensi
1.000
-.244
.
.181
16
16
Variables Entered/Removedb
Variables Entered
Variables Removed
1
Prevalensia
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: DO
-.244
1.000
.181
.
16
16
Method
. Enter
75
Model
Model Summaryb
R Square
Adjusted R Square
R
1
.244a
a. Predictors: (Constant), Prevalensi
b. Dependent Variable: DO
Model
Regression
Residual
Total
a. Predictors: (Constant), Prevalensi
b. Dependent Variable: DO
Model
.060
Unstandardized Coefficients
B
Std. Error
1 (Constant)
6.466
1.307
Prevalensi
-.022
.023
a. Dependent Variable: DO
-.007
ANOVAb
df
Sum of Squares
1
Std. Error of the Estimate
5.236
82.514
87.750
Mean Square
1
14
15
5.236
5.894
Coefficientsa
Standardized Coefficients
Beta
t
Sig.
4.948 .000
-.244 -.943 .362
2.42772
F
Sig.
.888
.362a
95% Confidence Interval for B
Lower Bound
Upper Bound
3.663
9.269
-.071
.028
76
Lampiran 8 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Suhu dan Prevalensi Bakteri Patogen
Descriptive Statistics
Mean
Suhu
Prevalensi
Std. Deviation
31.5625
50.0000
N
1.31498
27.08013
16
16
Correlations
Suhu
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
Model
1
Prevalensia
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Suhu
Suhu
Prevalensi
Suhu
Prevalensi
Suhu
Prevalensi
Prevalensi
1.000
.356
.
.088
16
16
.356
1.000
.088
.
16
16
Variables Entered/Removedb
Variables Entered
Variables Removed
Method
.
Enter
77
Model
Model Summaryb
R Square
Adjusted R Square
R
1
.356a
a. Predictors: (Constant), Prevalensi
b. Dependent Variable: Suhu
Model
Regression
Residual
Total
a. Predictors: (Constant), Prevalensi
b. Dependent Variable: Suhu
Model
.127
Sum of Squares
1
Unstandardized Coefficients
B
Std. Error
1 (Constant)
30.699
.685
Prevalensi
.017
.012
a. Dependent Variable: Suhu
Std. Error of the Estimate
3.282
22.656
25.938
.064
ANOVAb
df
Mean Square
1
14
15
3.282
1.618
Coefficientsa
Standardized Coefficients
Beta
.356
t
Sig.
44.830 .000
1.424 .176
1.27211
F
Sig.
2.028
.176a
95% Confidence Interval for B
Lower Bound
Upper Bound
29.230
32.168
-.009
.043
78
Lampiran 9 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Kecerahan dan Prevalensi Bakteri Patogen
Descriptive Statistics
Mean
Std. Deviation
N
Kecerahan
24.8750
14.16039
16
Prevalensi
50.0000
27.08013
16
Correlations
kecerahan
Prevalensi
Pearson Correlation
Kecerahan
1.000
-.675
-.675
1.000
Sig. (1-tailed)
Prevalensi
Kecerahan
.
.002
.002
.
N
Prevalensi
Kecerahan
16
16
Prevalensi
16
16
Variables Entered/Removedb
Model
1
Variables Entered
Prevalensia
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: kecerahan
Variables Removed
Method
. Enter
79
Model Summaryb
Model
R
1
R Square
Adjusted R Square
a
.675
.455
Std. Error of the Estimate
.416
10.82051
a. Predictors: (Constant), Prevalensi
b. Dependent Variable: kecerahan
ANOVAb
Model
1
Sum of Squares
Regression
1 (Constant)
42.511
Prevalensi
-.353
a. Dependent Variable: kecerahan
1
14
15
Std. Error
F
1368.582
117.083
Coefficientsa
Standardized Coefficients
Unstandardized Coefficients
B
Mean Square
1368.582
1639.168
3007.750
Residual
Total
a. Predictors: (Constant), Prevalensi
b. Dependent Variable: kecerahan
Model
df
t
Sig.
11.689
Sig.
Beta
5.825
.103
-.675
7.298
-3.419
.000
.004
.004a
95% Confidence
Interval for B
Lower
Upper
Bound
Bound
30.019
55.004
-.574
-.131
80
Download