i PREVALENSI INFEKSI BAKTERI PATOGEN PADA IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN BANJAR EKA HANDAYANI B253080031 SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFOMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi Infeksi Bakteri Patogen pada Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) di Kawasan Minapolitan Kabupaten banjar adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2012 Eka Handayani NIM B253080031 iii ABSTRACT EKA HANDAYANI. Prevalence of pathogenic bacterial infection in Pangasius hypophthalmus in Minapolitan Area of Banjar District. Under direction of FACHRIYAN HASMI PASARIBU and USAMAH AFIFF. Numbers of 160 samples of Pangasius hypophthalmus were taken from 16 groups of fish (Pokdakan) in Minapolitan Area of Banjar District. Fish samples were taken selectively (which showed clinical symptoms of disease) or taken randomly if the symptoms of disease did not show. Bacterial isolates were made from organ of fish samples, and then were identified by the morphology, physiology and biochemistry test. Measurement of water quality parameters were also conducted directly in the respective pools/sampling sites. Eight types of pathogenic bacterial were found in Minapolitan Area of Banjar District with prevalence of 50.00%. The pathogenic bacterial were Plesiomonas shigelloides (26.88%), Aeromonas caviae (8.13%), Flavobacterium columnare (5.00%), Citrobacter freundii (3.13%), Corynebacterium sp (2.50%), Micrococcus sp (1.88%), Aeromonas hydrophilla (1.88%) and Pasteurella multocida (1.88%). Prevalence of pathogenic bacterial in West Martapura Subdistrict (52.5%) was higher than Martapura Subdistrict (42.5%). There were significant correlation between water turbidity and prevalence of pathogenic bacterial. Keywords: Pathogenic bacterial, prevalence, Minapolitan Area of Banjar District Pangasius hypophthalmus, iv RINGKASAN EKA HANDAYANI. Prevalensi Infeksi Bakteri Patoegen pada Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) di Kawasan Minapolitan Kabupaten banjar. Dibimbing oleh FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan USAMAH AFIFF. Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor andalan di Kabupaten Banjar dalam rangka peningkatan dan perbaikan ekonomi daerah. Untuk memadukan sektor perikanan dengan dan sektor-sektor terkait lainnya agar dapat saling mendukung dan bersinergi dengan pendekatan pembangunan berbasis kawasan dan komoditas, Kabupaten Banjar menetapkan Kawasan Minapolitan Cindai Alus sebagai kawasan strategis dan menjadi kawasan unggulan daerah. Pengembangan kawasan minapolitan Cindai Alus ini menitikberatkan kegiatan ekonominya pada usaha perikanan budidaya dengan ikan patin sebagai komoditas utamanya. Sehubungan dengan kebijakan pengembangan sentra perikanan budidaya menuju industrialisasi perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2011 juga telah menetapkan beberapa kawasan pengembangan perikanan budidaya dengan 7 komoditas utama, dimana Kabupaten Banjar menjadi salah satu simpul industrialisasi perikanan untuk pulau Kalimantan dengan Patin sebagai komoditas utama. Ikan Patin (Pangasius spp) merupakan spesies ikan air tawar dari jenis Pangasidae yang dapat diproduksi secara massal dan memiliki peluang pengembangan skala industri. Ikan ini menjadi salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik dalam segmen usaha pembenihan maupun usaha pembesarannya (Susanto, 2009). Keberhasilan pengembangan ikan Patin di Kawasan Minapolitan Cindai Alus tidak terlepas dari upaya penanganan dan pemberantasan hama dan penyakit ikan terutama hama penyakit ikan karantina. Bakteri merupakan salah satu agen penyakit ikan yang dapat merusak kelestarian sumberdaya hayati perikanan dan menurunnya tingkat kualitas maupun kuantitas produksi perikanan. Salah satu upaya pencegahan dan pengendalian terjadinya serangan dan penyebaran penyakit bakterial pada ikan adalah dengan melakukan pemantauan prevalensi penyakit bakterial dikawasan Minapolitan sebagai upaya deteksi dini untuk pencegahan serta pemberantasan dan pengendaliannya. v Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi, menginventarisir serta menentukan prevalensi penyakit bakterial utama pada Ikan Patin di kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar sebagai upaya deteksi dini untuk pencegahan, pemberantasan dan pengendaliannya. Manfaat langsung yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menjadi bahan informasi dan bahan pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan, pemberantasan dan pengendalian hama dan penyakit ikan khususnya penyakit bakterial di Kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar. Sebanyak 160 sampel ikan Patin diambil dari 16 lokasi kolam budidaya POKDAKAN di Kawasan Minapolitan kabupaten Banjar. Sampel ikan tersebut dipilih secara selektif (ikan yang menunjukan gejala klinis terserang penyakit) atau secara acak jika ikan tidak menunjukan gejala terserang penyakit. Isolat bakteri diambil dari organ ikan meliputi insang, paru-paru, hati, ginjal dan daging. Isolat bakteri yang tumbuh selanjutnya identifikasi secara morfologi, fisologi dan biokimia. Pengukuran parameter kualitas air meliputi pH, suhu, oksigen terlarut, kecerahan, kadar amoniak, nitrit, nitrat dan besi juga dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pengambilan sampel ikan. Data hasil penelitian dianalisa dengan menggunakan rumus prevalensi/frekuensi kejadian, uji korelasi dan regresi. Beberapa gejala penyakit yang terlihat pada ikan sampel yakni luka pada permukaan tubuh, gripis pada sirip dan ekor serta pembengkakan pada bagian perut. Dari hasil penelitian, prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar sebesar 50%. Bakteri patogen tersebut meliputi Plesiomonas shigelloides, Citrobacter freundii, Aeromonas caviae, Aeromonas hydrophilla, Pasteurella multocida, Flavobacterium columnare, Corynebacterium sp dan Micrococcus sp. Prevalensi infeksi bakteri patogen di kecamatan Martapura Barat (52,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan Martapura Kota (42,5%). Prevalensi infeksi bakteri patogen tertinggi di Kawasan Minapolitan adalah infeksi Plesiomonas shigelloides (26,88%) dan Aeromonas caviae (8,13%). Di Kecamatan Martapura Kota, prevalensi bakteri tertinggi adalah infeksi Plesiomonas shigelloides (25,00%), Aeromonas hydrophilla (7,50%) dan Citrobacter freundii (5,00%). Untuk Kecamatan Martapura Barat, prevalensi bakteri tertinggi adalah infeksi Plesiomonas shigelloides (27.50%), Aeromonas caviae (10,00%) dan Flavobacterium columnare (6,67%). Hasil isolasi bakteri vi dari organ sampel, menunjukkan bahwa hanya Plesiomonas shigelloides dan Aeromonas caviae yang ditemukan dari kelima organ sampel, sedangkan 6 bakteri lainnya diisolasi dari organ tertentu. Terdapat dua jenis bakteri yang hanya diisolasi dari satu organ meliputi Pasteurella multocida yang diisolasi dari hati dan Corynebacterium sp yang diisolasi dari ginjal. Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan menunjukan bahwa terdapat hubungan korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan. Suhu dan pH memiliki korelasi yang cukup kuat dengan prevalensi infeksi bakteri patogen. Peningkatan suhu dan pH dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Kecerahan air memiliki korelasi yang sangat kuat dan signifikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen Kabupaten Banjar. Semakin rendah tingkat kecerahan air dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Hasil uji korelasi antara umur ikan (ukuran tubuh ikan) dan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan menunjukan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara ukuran tubuh ikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan prevalensi infeksi bakteri patogen seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan Kata kunci : Bakteri patogen, prevalensi, Pangasius hypophthalmus, Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar vii ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan ataumenyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. viii PREVALENSI INFEKSI BAKTERI PATOGEN PADA IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN BANJAR EKA HANDAYANI B253080031 Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Medis SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ix Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Drh.Hj.Agustin Indrawati, M.Biomed x Judul : Prevalensi Infeksi Bakteri Patogen pada Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar Nama : drh. Eka Handayani NRP : B253080031 Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu drh Usamah Afiff, M.Sc Ketua Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Mikrobiologi Medis Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu Tanggal Ujian : 9 Agustus 2012 Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Lulus : xi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Prevalensi Infeksi Bakteri Patogen pada Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi/Mayor Mikrobiologi Medis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.drh. Fachriyan H.Pasaribu selaku Ketua komisi pembimbing dan drh.Usamah Afiff, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang dengan sabar dan tulus memberikan bimbingan, nasehat danpengorbanan waktu yang diberikan selama masa penelitian sampai dengan penyelesaian tesis. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Karantina Ikan Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin beserta Karyawan/Karyawati yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan penelitian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh Staf Pengajar Program Mikrobiologi Medik, rekan seperjuangan MKM angkatan 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012 atas dukungannya. Kepada Papah dan Mamah, adik-adik tercinta serta seluruh keluarga besar terimakasih atas segala doa restu, bimbingan, semangat dan didikan dalam keluarga sehingga ananda senantiasa terpacu menyelesaikan pendidikan S2. Terimakasih kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar yang berkenan memberikan izin sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah. Terima kasih kepada M.Syahid, S.Pi, MP, Ir.Sofyan Hadi, Drh.Asep Yusuf Nugraha, para penyuluh perikanan dan Karyawan/i Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar yang banyak memberikan dukungan dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian di lapangan. Akhirnya dengan penuh rasa cinta penulis menyampaikan tulisan ini sebagaibekal ilmu selama menjalani kehidupan di masa depan untuk suami tercinta Rama Prima Syahti Fauzi yang selalu mengisi hari-hari penulis dengan senyuman, semangat dan motivasi, semoga tulisan ini menjadi berkah bagi kita, masyarakat dan Negara. Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan xii satu persatu diucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. Semoga segala budi dan jasa yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis berharap pembaca dapat memberikan saran yang bermanfaat demi kesempurnaannya. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kemajuan sektor perikanan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Bogor, Agustus 2012 Eka Handayani xiii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palangkaraya pada tanggal 25 November 1985 merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Haderani dan Ibu Lendang. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Melayu 12 Muara Teweh, Kalimantan Tengah pada tahun 1996 dan pada tahun 1999 penulis menyelesaikan sekolah menengah pertama di SLTPN 1 Muara Teweh. Selanjutnya penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum tahun 2002 di SMUN I Muara Teweh, kemudian melanjutkan studi S1 sampai dengan dokter hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Angkatan 39 dan lulus pada tahun 2008. Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 pada Program Studi Mikrobiologi Medis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada Januari 2010 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Pelaksana pada Subbag Program Perikanan, Dinas perikanan dan Kelautan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. xiv DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xvii DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. xviii DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….. xix PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 1 Latar belakang ………………………………………………………… 1 Rumusan Masalah ……………………………………………………. 3 Tujuan …………………………………………………………………. 3 Manfaat penelitian ……………………………………………………. 3 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………. 4 Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) …………………………… 4 Sistematika dan Morfologi Patin Siam ………………………. 4 Siklus Hidup Ikan Patin ………………………………………… 6 Sifat-sifat Biologis ……………………………………………… 6 Makanan dan Kebiasaan Makan …………………………….. 7 Kondisi Wilayah Pemantauan ……………………………………….. 7 Kondisi Umum ………………………………………………….. 7 Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar ……………………. 9 Hama Dan Penyakit Ikan …………………………………………….. 11 Penyakit Akibat Infeksi Bakteri ………………………………………. 12 Penyakit bakterial utama pada ikan Patin ………………………….. 13 Aeromonas hydrophila………………………………………….. 13 Aeromonas salmonicida………………………………………... 14 Pseudomonas sp ……………………………………………….. 14 Edwardsiella tarda. …………………………………………….. 15 Edwardsiella ictaluri …...……………………………………….. 16 Flavobacterium columnare …………………………………… Faktor Lingkungan dan Kualitas Air ………………………………… 16 17 xv METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………………. 21 Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………. 21 Alat dan Bahan ………………………………………………………… 21 Cara Kerja ……………………………………………………………… 21 Pengumpulan Data ……………………………………………… 21 Pengambilan Sampel ……………………………………………. 22 Pemeriksaan bakteri ……………………………………….......... 24 Preparasi Sampel ……………………………………….. 24 Isolasi bakteri …………………………………………….. 24 Identifikasi isolat bakteri ………………………………… 24 Identifikasi Bakteri ………………………………………. 25 Pengukuran Parameter Kualitas Air …………………………… 26 Pengolahan Data …………………………………………………....... 26 HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………… 27 Gejala Klinis pada Ikan Patin yang Terinfeksi Bakteri …………….. 27 Hasil isolasi Bakteri dari lokasi pengambilan sampel ……………... 27 Prevalensi infeksi bakteri patogen …………………………………... 28 Hasil isolasi bakteri patogen dari organ tubuh ikan ……………….. 29 Hasil analisa parameter kualitas air …………………………………. Hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi bakteri………………………………………………………………….. Peranan stress lingkungan dengan kejadian infeksi bakteri pada ikan ................................................................................................. Derajat keasaman (pH) ………………………………………... 30 35 36 38 Suhu ……………………………………………………………... 39 Kecerahan ………………………………………………………. 41 Oksigen terlarut (DO) ………………………………………….. 42 Amoniak (NH3) …………………………………………………. 44 Nitrit (NO2) ………………………………………………………. 44 Nitrat (NO3) ……………………………………………………… 45 Besi (Fe) ………………………………………………………… 45 Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides ………………………. 46 Prevalensi infeksi Aeromonas sp…………………………………….. 48 Prevalensi infeksi Citrobacter freundii ………………………………. 51 xvi Prevalensi infeksi Flavobacterium columnare ……………………… 52 Prevalensi infeksi Corynebacterium sp……………………………… 53 Prevalensi Infeksi Pasteurella multocida ………………………….. 54 Prevalensi Infeksi Micrococcus sp…………………………………. Prevalensi Infeksi bakteri patogen pada ukuran Ikan yang berbeda………………………………………………………………… 54 KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………… 58 Kesimpulan ……………………………………………………………… 58 Saran ………………………….…………………………………………. 58 DAFTAR PUSTAKA …….…….…….…….…….…….…….…….…….…… 59 LAMPIRAN …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…. 63 55 xvii DAFTAR TABEL Halaman 1 Luas areal Kawasan Minapolitan dan Pemanfaatannya ………. 2 Perkembangan Kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar …………………………………………………………………. 3 Target Produksi Perikanan Budidaya Kabupaten Banjar Tahun 2009-2014 ……………………………………………………….......... 4 Penentuan jumlah sampel usaha POKDAKAN Patin …………… 9 10 10 22 5 Penentuan jumlah sampel ikan dengan metode Amos ……….. 23 6 Prevalensi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan …………… 28 7 Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan ….. 28 8 Jumlah isolat bakteri patogen yang ditemukan dari organ tubuh ikan …………………………………………………………………….. 9 Hasil analisa parameter kualitas air, prevalensi infeksi bakteri patogen dan bakteri patogen yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel ………………………………………………… 10 Prevalensi masing-masing bakteri patogen di lokasi pengambilan sampel di Kawasan Minapolitan …………………………………… 11 Kisaran optimum kualitas air untuk budidaya ikan Patin ……….. 12 Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan …………………. 13 Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides dan kualitas air di lokasi sampel …………………………………………………………. 14 Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides di Kawasan Minapolitan…….. 15 Prevalensi infeksi Aeromonas caviae dan kualitas air di lokasi sampel …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….……. 16 Prevalensi infeksi Citrobacter freundii dan kualitas air di lokasi sampel …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….……. 17 Prevalensi infeksi Flavobacterium columnare dan kualitas air di lokasi sampel …….…….…….…….…….…….…….…….…….……. 18 Prevalensi infeksi Corynebacterium sp dan kualitas air di lokasi sampel …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….……. 19 Prevalensi infeksi bakteri patogen berdasarkan ukuran panjang ikan …….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…….…… 20 Prevalensi infeksi bakteri patogen berdasarkan ukuran panjang ikan ……………………………………………………………………… 29 31 33 34 35 46 47 50 51 53 54 56 56 xviii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kabupaten Banjar sebagai salah satu simpul industrialisasi perikanan…………………………………………………………………. 2 2 Patin Siam (Pangasius hypophthalmus)………………………………. 4 3 Gejala klinis infeksi bakteri pada ikan Patin…………………………... 27 4 Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kecamatan Martapura Barat, Martapura Kota dan Kawasan Minapolitan …………………………… 29 5 Distribusi bakteri patogen yang ditemukan dari organ………………. 30 6 Korelasi pH dengan prevalensi infeksi bakteri patogen……………… 38 7 Korelasi suhu dengan prevalensi infeksi bakteri patogen…………... 40 8 Korelasi kecerahan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen……. 42 9 Korelasi DO dengan prevalensi infeksi bakteri patogen…………….. 43 10 Korelasi umur ikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen…….. 57 xix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Patin di Kawasan Minapolitan Kab. Banjar………………………………………………… 2 Perhitungan Jumlah Pengambilan Sampel Kelompok Pembudidaya Ikan dengan Rumus Taro Yamane ………………………………….. 3 63 Penentuan Sampel per Desa Ditentukan dengan 65 Metode Proportional Random Sampling ….………………………………….. 66 4 Hasil Pengamatan Morfologi Isolat Bakteri …………………………… 67 5 Hasil Pengamatan Uji Biokimiawi ……………………………………… 68 6 Analisis Regresi Linear Sederhana antara pH dan Prevalensi Bakteri Patogen ………………………………………………………… 7 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Kadar Oksigen Terlarut (DO) dan Prevalensi Bakteri Patogen ………………………….......... 8 74 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Suhu dan Prevalensi Bakteri Patogen …………………………………………………………. 9 72 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Kecerahan 76 dan Prevalensi Bakteri Patogen …………………………………………... 78 1 PENDAHULUAN Latar belakang Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi sumber daya alam hayati cukup besar, diantaranya sumberdaya hayati perikanan yang merupakan salah satu modal dasar yang sangat berarti dalam pembangunan nasional. Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi perikanan adalah dengan mengembangkan usaha budidaya perikanan, baik budidaya air tawar dan payau maupun budidaya air laut dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu. sebagai program lima tahun kedepan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan membangun kawasan minapolitan (kawasan produksi kelautan dan perikanan yang terintegrasi). Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip, integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi. Kegiatan perikanan merupakan salah satu sektor andalan di Kabupaten Banjar. Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan diarahkan agar mampu meningkatkan perannya dalam perbaikan ekonomi daerah. Sektor perikanan dan kelautan diharapkan mampu memposisikan diri sebagai salah satu penggerak pembangunan ekonomi daerah dan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk memadukan sektor perikanan dengan dan sektor-sektor terkait lainnya agar dapat saling mendukung dan bersinergi dengan pendekatan pembangunan berbasis kawasan dan komoditas, maka Kabupaten Banjar telah menetapkan Kawasan Minapolitan Cindai Alus sebagai kawasan strategis dan menjadi kawasan unggulan daerah. Pengembangan kawasan minapolitan Cindai Alus ini menitikberatkan kegiatan ekonominya pada usaha perikanan budidaya dengan ikan patin sebagai komoditas utamanya. Legalitas Kawasan Minapolitan Cindai Alus ini selanjutnya ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Banjar Nomor 241 Tahun 2008 tanggal 16 Juni 2008 tentang Penetapan Kawasan Budidaya/Minapolitan dan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 39/MEN/2011 tanggal 21 Juli 2011 perubahan atas Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 32/MEN/2010 tanggal 14 Mei 2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan. 2 Sehubungan dengan kebijakan pengembangan sentra perikanan budidaya menuju industrialisasi perikanan, Pemerintah RI melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah menetapkan beberapa kawasan pengembangan perikanan budidaya dengan 7 komoditas industrialisasi yakni Tuna, Udang, Rumput Laut, Bandeng, Nila, Patin dan Lele. Pengembangan perikanan budidaya tersebut tersebar di seluruh wilayah/kepulauan di Indonesia dengan masing-masing komoditas utama perikanan yang dikembangkan. Telah ditetapkan 15 simpul industrialisasi perikanan di Indonesia dimana Kabupaten Banjar menjadi salah satu simpul untuk pulau Kalimantan dimana patin menjadi komoditas utama. Gambar 1. Kabupaten Banjar sebagai salah satu simpul industrialisasi perikanan Ikan Patin (Pangasius spp) merupakan spesies ikan air tawar dari jenis Pangasidae yang dapat diproduksi secara massal dan memiliki peluang pengembangan skala industri. Ikan ini menjadi salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik dalam segmen usaha pembenihan maupun usaha pembesarannya (Susanto, 2009). Ikan patin berpotensi besar sebagai komoditas ekspor karena memiliki daging berwarna putih yang disukai oleh konsumen di luar negeri seperti Amerika Serikat dan Eropa (Hadinata, 2009). Kendala Indonesia dalam mengekspor patin dikarenakan produksinya yang masih sangat rendah yakni hanya mencapai 100 ton per hari, sedangkan ekspor Indonesia hanya mencapai 700 ton. Harga ikan patin dalam bentuk fillet mencapai 2,6-2,8 dollar AS per kilogram. Konsumen ikan patin di dunia yakni di Eropa yang mencapai 20%, karena komoditas tersebut mampu menggantikan udang yang harganya lebih tinggi (Susanto, 2009). 3 Keberhasilan pengembangan ikan Patin di kawasan minapolitan tidak terlepas dari upaya penanganan dan pemberantasan hama dan penyakit ikan terutama hama penyakit ikan karantina. Bakteri merupakan salah satu agen penyakit ikan yang dapat merusak kelestarian sumberdaya hayati perikanan dan menurunnya tingkat kualitas maupun kuantitas produksi perikanan pada kawasan Minapolitan. Tingkat kematian akibat infeksi bakteri pada populasi ikan dapat mencapai 50 – 100% (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin, 2011). Semakin meningkatnya mobilitas manusia atau barang, menurunnya kualitas lingkungan perairan dan rendahnya efektifitas upaya pencegahan dan pengendalian merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan hama dan penyakit ikan. Salah satu upaya pencegahan dan pengendalian terjadinya serangan dan penyebaran penyakit bakterial pada ikan adalah dengan melakukan pemantauan prevalensi penyakit bakterial dikawasan Minapolitan sebagai upaya deteksi dini untuk pencegahan serta pemberantasan dan pengendaliannya. Rumusan Masalah Bakteri merupakan salah satu agen penyakit ikan yang menjadi ancaman bagi usaha budidaya ikan Patin di Kawasan Minapolitan, Kabupaten Banjar Prov. Kalimantan Selatan. Penjelasan diatas menjadikan dasar pentingnya dilakukan penelitian mengenai prevalensi penyakit bakterial pada ikan Patin dikawasan Minapolitan yang diperlukan sebagai sebagai upaya deteksi dini untuk pencegahan serta pemberantasan dan pengendaliannya. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi, menginventarisir serta menentukan prevalensi penyakit bakterial pada Ikan Patin di kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar, sebagai upaya deteksi dini untuk pencegahan serta pemberantasan dan pengendaliannya. Manfaat penelitian Manfaat langsung yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menjadi bahan informasi dan bahan pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian hama dan penyakit ikan khususnya penyakit bakterial di Kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar. 4 TINJAUAN PUSTAKA Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) Sistematika dan Morfologi Patin Siam Saanin (1984) dan Integrated Taxonomic Information System (2012) mengklasifikasikan ikan patin siam sebagai berikut : Domain : Eukaryota Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Superclass : Osteichthyes Class : Actinopterygii Subclass : Neopterygii Superorder : Ostariophysi Order : Siluriformes Family : Pangasiidae Genus : Pangasius Spesies : Pangasius hypophthalmus Sinonim : Pangasius sutchi Gambar 2. Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) (Sumber : http://bbatjambi.co.id) 5 Ikan patin siam merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan ini bukan ikan lokal tetapi berasal dari Thailand. Pertama kali didatangkan ke Indonesia pada tahun 1972 oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor. Patin siam memiliki pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya merah, popular dikalangan masyarakat. Untuk pasupati memiliki pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya putih, dan sedikit popular di masyarakat (Susanto 2009). Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi dan kandungan protein hewani yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Selain rasa dagingnya yang lezat, ikan patin memiliki beberapa kelebihan lain misalnya ukuran per individunya besar. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40 cm. ikan patin cukup potensial dibudidayakan di berbagai media pemeliharaan yang berbeda, sebagaimana jenis ikan air tawar lainnya seperti mas, tawes, dan lele. Media pemeliharaan kolam, karamba, bahkan jala apung dapat digunakan untuk memelihara ikan patin (Susanto 2009). Patin Siam bertubuh panjang dengan perbandingan panjang dan tinggi sekitar 4 : 1. Bila dipotong secara vertikal, Patin Siam bertubuh pipih dengan perbandingan tinggi dan lebar sekitar 3 : 1. Dengan perbandingan seperti itu Patin Siam bertubuh tipis, atau tidak bulat, seperti ikan lele. Tanda khas lainnya adalah Patin Siam berpugung lurus, mulai dari punggung sampai pangkal ekor. Patin Siam tidak memiliki sisik, sehingga yang nampak hanya kulitnya saja. Warna tubuh Patin Siam seperti terbagi dua, yaitu punggung berwarna hijau, abu-abu gelap, sedangkan bagian perut berwarna putih perak. Pada bagian itu terdapat dua garis, garis pertama memanjang dari kepala sampai ke pangkal ekor, sedangkan garis kedua memanjang dari kepala sampai ke ujung sirip dubur. Tubuh Patin Siam terbagi tiga bagian, yaitu kepala, badan dan ekor. Kepalanya kecil, dan gepeng dengan batok kepala yang keras. Mata yang kecil, hidung yang kecil, mulut yang bercelah lebar dengan dua pasang sungut maksila dan mandibula, atau kumis. Inilah yang menjadi ciri khas catfish (ikan berkumis seperti kucing). Pada rongga mulut mempunyai gigi palatin yang terpisah dari tulang vomer. Tutup insang tidak terlalu besar, menutup bagian kepala. Patin 6 Siam bersirip lima, yaitu sebuah sirip punggung (dorsal fin), sebuah ekor (caudal fin), sebuah sirip dubur (anal fin), sepasang sirip perut (ventral fin) dan sepasang sirip dada ( pectoral fin). Sirip punggung kecil dan pendek, berada tepat di atas perut. Sirip dubur panjang, kurang lebih sepertiga dari panjang tubuhnya, dan berjari-jari sirip 29 – 33. Selain kelima sirip, Patin Siam memiliki sirip yang tidak dimiliki ikan lain, yaitu bersirip lemah (adipose fin) yang letaknya di belakang sirip punggung (Saanin 1984). Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm, suatu ukuran yang cukup besar untuk ukuran ikan air tawar domestik. Kepala patin relatif kecil dengan mulut terletak diujung kepala agak disebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Amri 2007). Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara itu, jari-jari lunak sirip punggung terdapat enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak yang berukuran kecil sekali. Adapun sirip ekornya membentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip duburnya panjang, terdiri dari 30-33 jari-jari lunak, sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal sebagai patil (Amri 2007). Siklus Hidup Ikan Patin Ikan patin dalam menjalani hidupnya mengalami perkembangan atau fase yang akan dijalaninya selama beberapa waktu sampai akhirnya dapat dikonsumsi ataupun dijadikan induk untuk menghasilkan benih-benih yang berkualitas. Menurut Amri (2007) Ikan patin memiliki fase kehidupan yaitu telur, larva, benih (juvenil), dan induk (dewasa). Sifat-sifat Biologis Ikan Patin termasuk ikan yang beraktifitas pada malam hari atau nocturnal. Selain itu, patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya. Ikan ini termasuk ikan demersal atau ikan dasar. Secara fisik memang dari bentuk mulut yang lebar persis seperti ikan domersal lain seperti ikan lele dan ikan gabus. Habitatnya di sungai-sungai besar dan muara-muara 7 sungai yang tersebar di Indonesia, India, dan Myanmar. Tidak hanya itu ikan patin juga sulit memijah di kolam atau wadah pemeliharaan dan termasuk pula ikan yang kawin musiman sehingga pemijahannya dilakukan secara buatan serta hanya memijah sekali setahun pada musim hujan sekitar bulan November-Maret (Amri 2007). Makanan dan Kebiasaan Makan Patin merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung ke arah karnivora. Makanan utama ikan patin di alam berupa udang renik (crustacea), insekta dan moluska. Sementara makanan pelengkap ikan patin berupa rotifera, ikan kecil dan daun-daunan yang ada di perairan Malam hari ia akan keluar dari lubangnya dan mencari makanan renik yang terdiri atas cacing, serangga, udang sungai, jenis–jenis siput dan biji–bijian. Dari sifat makannya ikan ini juga tergolong ikan yang sangat rakus karena jumlah makannya yang besar. Sedangkan untuk larva ikan patin yang dipelihara pada kolam-kolam maupun akuarium dapat diberikan makanan alami seperti artemia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Susanto dan Amri 2002). Kondisi Wilayah Pemantauan Kondisi Umum Kabupaten Banjar terletak di bagian selatan Provinsi Kalimantan Selatan, berada pada 114o 30’ 20’’ dan 115o 33’ 37’’ Bujur Timur serta antara 2o49’55” dan 3o 43’ 38’’ Lintang Selatan. Luas wilayahnya mencapai 4.688,50 km2 atau sekitar 12,20% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Secara administratif terbagi atas 19 kecamatan dengan 277 Desa dan 13 Kelurahan. Posisi geografis Kabupaten Banjar, yang berada di menempatkannya di jalur transportasi antar Propinsi Kalimantan Selatan – Kalimantan Timur. Hal ini sekaligus membuat Kabupaten Banjar memiliki posisi strategis sebagai lintas ekonomi dan sebagai daerah penyangga bagi wilayah sekitarnya. Wilayah tersebut adalah Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala di sebelah barat, Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut di sebelah selatan, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru di sebelah timur dan Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan di sebelah Utara (RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015 2011). 8 Berdasarkan pemantauan Badan Meteorologi dan Geofisika Banjarbaru pada tahun 2010, suhu udara di Kabupaten Banjar rata-rata berkisar antara 22,3o C - 32,8o C. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Mei (32,8o C) dan suhu minimum terjadi pada bulan Juni dan Juli (22,3o C). Selain itu sebagai daerah tropis maka kelembaban udara relatif tinggi dengan rata-rata berkisar 40,0%100,0% dengan kelembaban maksimum pada bulan Februari, Maret, April Oktober, November dan Desember serta minimum pada bulan September. Curah hujan bulanan berkisar antara 54,4 – 554, 3 mm. Curah hujan tertinggi pada bulan Maret yaitu 554,3 mm dan yang terendah pada bulan Mei yaitu 54,4 mm. Tekanan udara berkisar antara 1.008,2 mb – 1.014,8 mb, sedangkan kecepatan angin berkisar antara 2-16 knot. Penyinaran dengan intensitas tertinggi terjadi pada bulan Mei dan September yaitu 4,83% dan terendah pada bulan Desember yaitu sekitar 2,17% (RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015 2011). Secara topografis wilayah Kabupaten Banjar merupakan daratan dan pegunungan yang ketinggiannya berkisar antara 0 s/d 1.878 meter dari permukaan laut. Ketinggian ini merupakan salah satu faktor yang menentukan letak kegiatan penduduk, maka ketinggian juga dipakai sebagai penentuan batas wilayah tanah usaha, dimana 35 % berada di ketinggian 0–7 m dpl, 55,54 % ada pada ketinggian 50–300 m dpl, sisanya 9,45 % lebih dari 300 m dpl. Rendahnya letak Kabupaten Banjar dari permukaan laut menyebabkan aliran air pada permukaan tanah menjadi kurang lancar. Akibatnya sebagian wilayah selalu tergenang (29,93%) sebagian lagi (0,58%) tergenang secara periodik. Bagian barat Kabupaten Banjar merupakan wilayah datar dan pasang surut yang sebagian diperuntukan sebagai lahan pertanian/sawah. Sedangkan bagian timur daerah berbukit, kebanyakan ditumbuhi padang alang-alang, belukar dan hutan primer, dan sebagian juga diperuntukkan sebagai lahan sawah (RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015 2011). Pada umumnya tanah di wilayah ini bertekstur halus (77,62%) yaitu meliputi tanah liat, berlempung, ber-pasir dan berdebu Sementara 14,93 % bertekstur sedang yaitu jenis lempung, berdebu, liat berpasir, sisanya 5,39 % bertekstur kasar yaitu pasir berlempung, pasir berdebu. Kedalaman efektif tanahnya sebagian besar lebih besar dari 90 cm (66,45%) , sementara kedalaman 60-90 cm meliputi 18,77 %, dan 30-60 cm hanya 14,83 %. Menurut peta tanah eksplorasi tahun 1981 skala 1:1.000.000 dari Lembaga Penelitian Bogor di wilayah dijumpai jenis tanah berupa tanah organosol, gleihumus dengan 9 bahan induk bahan aluvial dan fisiografi dataran yang meliputi 3,72%. 28,57% dari luas wilayah. Tanah komplek podsolik merah kuning dan laterit dengan bahan induk batuan baku dengan fisiografi dataran meliputi 14,29%. Tanah latosol dengan bahan induk batuan beku dan fisiografi instrusi meliputi 24,84%. Tanah komplek podsolik merah kuning, latosol dengan batu induk endapan dan metamorf meliputi 28,57% (RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015 2011). Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan Pemerintah Kabupaten Banjar telah menetapkan Kecamatan Martapura Kota dan Martapura Barat sebagai Kawasan Minapolitan. Kegiatan Perikanan di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar adalah perikanan budidaya kolam dengan komoditas Ikan Patin (P.sutchii) dan Ikan Nila (O.Niloticus). Kawasan ini memiliki lahan seluas 6.406 Ha dengan lahan potensial untuk kolam budidaya seluas 1.195 Ha (Tabel 1). Sumber air disuplai dari Irigasi teknis riam kanan seluas 25.900 Ha yang terbentang sepanjang 40 km dari desa Mandikapau, Kec. Karang Intan hingga Kec. Sungai Tabuk. Tabel 1. Luas areal Kawasan Minapolitan dan Pemanfaatannya Kecamatan/ Komoditas Usaha Luas Areal Kawasan Desa Unggulan Perikanan Minapolitan (Ha) Luas Potensi Fungsional Martapura Kota Patin, Nila Budidaya Cindai Alus 300 158 16 Tungkaran 200 127 52 Sungai Sipai 300 90 36 Martapura Barat Patin, Nila Budidaya Sungai Rangas 482 125 18 Hambuku Sungai Batang 2.275 370 161 Penggalaman 2.849 325 34 Jumlah 6.406 1.195 497 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar Prov. Kalsel Tahun 2011 Produksi seluruh komoditas perikanan Kab. Banjar pada tahun 2011 sebesar 39.689 ton. Khusus untuk Ikan patin, produksi mencapai 11.594 ton, dimana 11.147 ton (96,15%) merupakan produksi patin Kawasan Minapolitan. Perkembangan Kawasan Minapolitan Cindai Alus dan target produksi perikanan budidaya di Kabupaten Banjar tersaji pada Tabel 2 dan 3. 10 Tabel 2. Perkembangan Kawasan Minapolitan Cindai Alus Kabupaten Banjar Uraian Tahun 2008 2009 2010 2011 RTP (orang) 195 220 250 290 Kelompok Pembudidaya 9 21 23 27 Ikan (POKDAKAN) Potensi kolam (Ha) 1,195 1,195 1,195 1,195 Fungsional kolam (Ha) 325 397 452 497 Kebutuhan Benih Patin 3,914,200 4,899,620 13,026,200 12,262,063 (ekor) Kebutuhan Benih Nila 1,522,770 1,353,900 11,486,925 7,771,905 (ekor) Kebutuhan Pakan Ikan 5,900 7,572.14 20,131.4 18,950.46 Patin (Ton) Kebutuhan Pakan Ikan 1,319.73 1,534.42 13,018.52 8,808.16 Nila (Ton) Produksi ikan Patin (Ton) 3,470.59 4,454.20 11,842 11,147.33 Produksi ikan Nila (Ton) 1,015.18 902.6 7,657.95 5,181.27 Sumber : Data Base Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar Prov. Kalsel Tahun 2011 Tabel 3. Target Produksi Perikanan Budidaya Kabupaten Banjar Tahun 20092014 Jenis komoditi Produksi (Ton) 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Patin 7,300 17,100 30,700 52,000 88,700 150,800 Nila 3,800 4,494 6,741 10,111 15,166 22,750 Mas 1,300 3,274 3,929 4,715 5,657 6,789 Gurame 30 36 47 61 79 103 Ikan lainnya: Jelawat 20 30 35 40 50 Baung 5 10 15 20 25 Lele Dumbo 5 10 20 20 25 Udang windu 2 2 5 5 10 Bandeng 20 30 50 70 100 Jumlah 12,430 24,956 41,499 67,012 109,757 180,652 Sumber : Data Base Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Banjar Prov. Kalsel Tahun 2011 11 Hama Dan Penyakit Ikan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan, Hama dan Penyakit Ikan (HPI) adalah semua mikro organisme yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menginfeksi tubuh ikan sekaligus dapat menimbulkan gangguan kehidupan ikan normal sampai dapat mengakibatkan kematian. Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) adalah semua hama dan penyakit ikan yang belum terdapat dan/atau telah terdapat hanya di area tertentu di wilayah negara Republik Indonesia yang dalam waktu relatif cepat dapat mewabah dan merugikan sosio ekonomi atau yang membahayakan kesehatan masyarakat. Hama dan Penyakit Ikan Golongan I adalah semua hama dan penyakit ikan karantina yang tidak dapat di suci hamakan dan/atau disembuhkan dari media pembawa karena teknologi perlakuan belum dikuasai. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II adalah semua hama dan penyakit ikan karantina yang dapat disucihamakan dan/atau disembuhkan dari media pembawa karena teknologi pelaksanaannya sudah dikuasai. Penyakit didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi dan atau fungsi yang mengalami perubahan dari kondisi normal karena penyebab dari dalam/internal dan dari luar /eksternal (Yuasa et al. 2003). Penyakit Ikan merupakan suatu proses yang mempengaruhi sebagian atau seluruh tubuh yang mengakibatkan keadaan ikan tidak normal dengan penyebab yang belum atau sudah diketahui. Penyakit ikan timbul karena adanya interaksi kompleks antara ikan, agen penyakit dan lingkungan (air). Penyebab penyakit dari internal dan eksternal menurut Yuasa et al. ( 2003 ) adalah sebagai berikut: 1. Penyebab internal meliputi genetik, sekresi internal, imunodefisiensi, saraf dan metabolisme 2. Penyebab eksternal meliputi : - Non Patogen: a. Penyakit Lingkungan, disebabkan suhu dan kualitas air lainnya (pH, kelarutan gas, zat beracun) b. Penyakit nutrisi, disebabkan kekurangan nutrisi, gejala keracunan dalam pakan - Patogen terdiri dari parasit, jamur, bakteri dan virus 12 Penyakit Akibat Infeksi Bakteri Menurut Zonneveld et al. (1991), bakteri adalah mikroorganisme dengan struktur intraselluler yang sederhana, bentuknya berbeda menurut genusnya. Jenis bakteri tertentu biasanya menunjukkan bentuk dan ukuran sesuai dengan keadaan lingkungan, ciri-ciri bakteri itu sendiri adalah dapat tumbuh dan bertambah banyak dalam kelompok, berbentuk rantai atau benang, memiliki koloni yang berwarna dan berkilau atau tidak, halus atau kasar, metabolisme aerob atau anaerob, membutuhkan media tertentu untuk mengkultur disertai dengan menghasilkan asam mengindentifikasi bakteri. dan gas, sifat-sifat ini berguna untuk Penyakit akibat infeksi bakteri di Indonesia dapat menyebabkan kematian sekitar 50 – 100% pada populasi ikan. Bakteri juga merupakan organisme primitif akan tetapi mempunyai susunan sel yang telah berkembang dengan sempurna walaupun tidak memiliki nukleus sebagaimana mahluk-mahluk hidup yang lebih tinggi. Bakteri biasanya mempunyai tingkat reproduksi yang tinggi apabila ketersediaan makanan cukup. Jika makanan tersebut ditemukan pada organisme lain maka hal inilah yang dapat menyebabkan penyakit. Beberapa spesies diantaranya dapat hidup didalam atau diluar organism multiseluler lain tanpa menyebabkan penyakit bahkan diantaranya sangat dibutuhkan oleh inangnya (Axelrod et al. 1995). Suatu penyakit tertentu akibat bakteri biasanya dapat dikenali dari gejalagejala yang ditimbulkannya. Namun untuk menentukan jenis/spesies bakteri penyebab penyakit pada ikan diperlukan pemeriksaan laboratorium. Gejala umum akibat serangan bakteri antara lain gerakan ikan lemah, gerakan abnormal, produksi lendir berkurang setelah ikan yang terinfeksi mengeluarkan lendir yang berlebihan, perubahan warna tubuh menjadi lebih gelap, ikan menjadi kurus, pendarahan dan nekrosa pada tempat infeksi, luka (ulcer) pada tempatrontok pada insang dan kulit, bengkak pada perut dan mengeluarkan cairan kuning darah (dropsy), mata menonjol (exophthalmus), beberapa bakteri mampu menghasilkan tubercle atau granuloma pada bagian tubuh yang terinfeksi (Supriyadi 2005). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 03/MEN/2010), bakteri-bakteri yang termasuk dalam hama dan penyakit ikan karantina adalah Aeromonas salmonicida, Renibacterium salmoninarum, Mycobacterium marinum, Mycobacterium chelonei, Mycobacterium fortuitum, Nocardia seriolae, Nocardia Campachi, Nocardia. Asteroides, Nocardia 13 crassostreae, Edwardsiella tarda, Edwardsiella ictaluri, Streptococcus agalactiae, Pasteurella piscicida (Photobacterium damselae subsp. Piscicida), Yersinia ruckeri, Aerococcus viridans var Homeri, Pseudomonas anguilliseptica dan Streptococcus iniae. Dari kelompok Bateri golongan HPIK tersebut yang ditemukan di Indonesia adalah Aeromonas salmonicida, Mycobacterium marinum, Mycobacterium chelonei, Mycobacterium fortuitum, Edwardsiella tarda, Edwardsiella ictaluri, Streptococcus agalactiae, Pasteurella piscicida (Photobacterium damselae subsp. Piscicida), Yersinia ruckeri, Pseudomonas enguillaseptica dan Streptococcus iniae. Penyakit bakterial utama pada ikan Patin Bakteri utama yang sering menyerang ikan Patin adalah Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp. Ikan yang terserang akan mengalami pendarahan pada bagian tubuh terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip (Khairuman dan Sudenda 2011). Selain itu, Edwardsiella sp dan Flavobacterium sp merupakan bakteri yang menyerang Patin. Aeromonas hydrophila Bakteri Aeromonas hydrophila umumnya hidup di air tawar yang mengandung bahan organik tinggi. Ciri utama bakteri A. hydrophila adalah berbentuk batang, berdiameter 0,3 - 1,0 mikrometer dan panjang 1,0 -3,5 mikrometer, bersifat Gram negatif, hidup pada temperatur optimal 22 - 28°C, gelatinase positif (Holt et al. 1994). Selain itu bakteri ini juga bersifat fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen) yang mengubah karbohidrat menjadi asam dan gas, tidak berspora, bersifat motil (bergerak aktif) karena memiliki flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari salah satu kutubnya. Koloni bakteri ini pada media agar berwarna putih kekuningan, bentuk bulat cembung, oksidase sitokrom dan reaksi katalase positif. Bakteri ini senang hidup di lingkungan perairan bersuhu 15 - 30°C dan pH antara 53-9 (Kordi 2004). Aeromonas hydrophila merupakan bakteri agen penyebab penyakit Bacterial Hemorrhagic Septicemia atau Motil Aeromonas Septicemia. Tandatanda klinis infeksi A. hydrophila bervariasi, tetapi pada umumnya ditunjukkan dengan adanya hemoragi pada kulit, insang, rongga mulut; borok pada kulit yang dapat meluas ke jaringan otot. Selain itu, ikan yang terserang bakteri A. 14 hydrophila juga memperlihatkan gejala-gejala berupa warna tubuh ikan menjadi gelap, kemampuan menonjol, berenang menurun, mata ikan bengkak dan sisik terkuak, seluruh sirip rusak, insang sedikit berwarna merah keputihan, ikan terlihat megap-megap di permukaan air, kulit ikan menjadi kasar (Kordi 2004). Aeromonas salmonicida Aeromonas salmonicida merupakan patogen opportunistik, yang dapat menyerang baik ikan air tawar maupun air laut. A. salmonicida merupakan bakteri berbentuk batang pendek dengan ukuran 1,3-2,0 x 0,8-1,3 µm, tidak motil, bersifat gram negatif, tidak memiliki endospora dan kapsula. A. salmonicida memiliki koloni putih berwarna putih, berukuran kecil, dengan bentuk bulat, cembung dan utuh, anaerob fakultatif, oksidase positif dan memfermentasi glukosa. Aeromonas salmonicida merupakan bakteri penyebab penyakit furuncolosis. Ikan yang terserang penyakit ini menunjukkan gejala kehilangan nafsu makan, kulit melepuh, insang terlihat pucat, mata menonjol, terjadi pendarahan pada kulit dan insang. Pembengkakan biasanya menjadi luka terbuka berisi nanah, darah dan jaringan yang rusak dipuncak luka tersebut yang bentuknya seperti kaldera (Kordi 2004). Gejala perakut pada fingerlings; warna menggelap dan mati cepat tanpa gejala yang jelas. Gejala akut yaitu terjadi anoreksia terjadi 2-3 hari sebelum kematian. Lesi kasar termasuk hemorragi pada hati dan limpa membengkak. Gejala sub akut gejala klinis lebih lambat muncul dengan haemorhagi ptechie pada kulit dan sekitar insang. Ikan berubah warna dibeberapa tempat dan anoreksia dan mati 4 – 6 hari setelah gejala klinis muncul. Secara makroskopik furuncle menciri muncul juga lesi internal seperti pada infeksi akut. Bentuk kronik apabila ikan sembuh dari serangan sub akut dan meninggalkan ciri kesembuhan berupa furuncle dan scarring (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin 2011). Pseudomonas sp Pseudomonas merupakan penyakit infeksi termasuk agen penyakit berbahaya pada ikan khususnya ikan air tawar. Pseudomonas ini merupakan agen penyakit yang berbahaya serta dapat berakibat kematian yang tinggi 15 karena penyakit ini menular dalam waktu cepat bila kondisi perairan memungkinkan. Pseudomonas sp merupakan bakteri gram negatif, non-spora dengan ukuran 3µm x 0,5µm. Bakteri ini bersifat aerobik, motil, memproduksi pigmen fluorescent, dan berkembang biak di tanah dan air. Pseudomonas sp merupakan jenis bakteri perusak sirip, penyebab penyakit cacar dan bisul pada ikan. Ikan yang terserang bakteri ini mengalami kerusakan sirip terutama pada bagian ujungnya sehingga yang tersisa hanya bagian peducle (bagian dekat pangkal ekor). Selain itu bakteri ini juga dapat menyebabkan cacar pada ikan, dimana gejala yang terlihat antara lain ikan terlihat lemah, nafsu makan hilang, mata menonjol hingga lepas dan kulit melepuh yang selanjutnya menjadi borok. Infeksi Pseudomonas fluorescens pada ikan dapat menyebabkan terjadinya bisul padakulit, sirip, rongga perut dan organ dalam. Bakteri ini dapat menyebabkan anemia dan kematian massal (Kordi 2004). Edwarsiella tarda Karakteristik dari Edwardsiella tarda adalah bergerak dengan flagella, lamban motile kurang aktif (tarda), tidak berspora dan tidak berkapsul, batang bengkok, pleomorfik, gram negatif, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna dan suhu optimum 370C, oksidase negatif, H2S positif, Indol positif (dari tryptophan), fakultatif anaerob, lysine dekarboksilase positif, arginin dihidrolase negatif, ornithin positif, gelatin negatif, urea negatif, sitrat negatif, VP negatif, glukosa positif, inositol negatif, sorbitol negatif, rhamnosa negatif, mannitol negatif, arabinosa negatif dan sukrosa negatif. Infeksi Edwarsiella tarda pada kondisi yang sangat buruk dapat mengakibatkan kematian hingga 50%. Gejala klinis pada infeksi ringan hanya menampakkan luka-luka kecil. Sebagai perkembangan penyakit lebih lanjut, luka bernanah berkembang dalam otot rusuk dan lambung. Warna ikan menjadi pucat, perut gembung berisi cairan yang berwarna kekuningan atau kemerahan, pendarahan pada anus dan mata pudar. Pada kasus akut, luka bernanah secara cepat bertambah dengan berbagai ukuran, luka-luka tersebut berisi gas dan terlihat bentuk cembung menyebar ke seluruh tubuh. Jika luka digores, bau busuk H2S tersebar (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin 2011). 16 Edwardsiella ictaluri Karakteristik dari Edwardsiella ictaluri adalah bergerak dengan flagella, tidak berspora dan tidak berkapsul, batang bengkok, pleomorfik, gram negatif, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna dan suhu optimum 370C, oksidase negatif, katalase positif, H2S negatif, indol negatif (dari tryptophan), fermentative, 0/129 resistan, lysin dekarboksilase positif, arginin dihidrolase negatif, ornithin positif, gelatin negatif, urea negatif, sitrat negatif, VP negatif, glukosa positif, inositol negatif, sorbitol negatif, rhamnosa negatif, mannitol negatif, arabinosa negatif, sukrosa negatif, fakultatif anaerob. Gejala eksternal dari serangan ringan Edwarsiella ictaluri adalah luka-luka fokal merah pada bagian kutan berukuran kecil berdiameter 3-5 mm, luka tersebut berada disamping bagian belakang badan (posteriolateral). Pada fase akhir dari manifestasi penyakit adalah luka dibagian kepala (hole in head disease). Luka berkembang dari dalam melewati tengkorak belakang kepala dan memperlihatkan bagian otak. haemorhagi ptechie terlihat pada sekitar mulut, kerongkongan dan bagian dasar dari sirip. Luka berdiameter 2 mm multifokal, lesi kutan hemoragik berkembang menjadi luka tidak berpigmen. Anemia, inflamasi insang tingkat sedang dan eksopthalmia adalah tanda umum. Secara internal hemoragik dan nekrosis fokal tersebar pada hati dan semua organ dalam lainnya (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin 2011). Flavobacterium columnare Flavobacterium columnare merupakan bakteri penyebab penyakit Columnaris/Cotton wall disease. Infeksi bakteri ini ditandai dengan terbentuknya luka di kepala, ekor dan insang. Awalnya luka yang terbentuk cukup kecil, kemudian berwarna keputih-putihan, kemerah-merahan dan akhirnya menjadi borok atau bisul besar. Infeksi bakteri ini dapat terjadi pada kulit kepala, kulit badan bagian belakang, insang, sirip, dan bagian badan lainnya. Insang dan sirip menjadi rontok. Jika menyerang insang dapat menyebabkan kematian massal (Kordi 2004). 17 Faktor Lingkungan dan Kualitas Air Faktor lingkungan dapat menimbulkan suatu penyakit pada hewan air dengan adanya interaksi antara mikroorganisme (patogen, lingkungan dan inang/ikan), hal ini terjadi apabila kondisi lingkungan berubah diluar batas-batas tertentu. Menurut Supriyadi (2005), berdasarkan penyebabnya penyakit akibat lingkungan pada ikan dibedakan menjadi dua golongan yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain : temperatur (suhu), pH, kesadahan dan bahan pencemar biasanya berasal dari air yang bersumber dari sungai atau perairan umum yang tercemar limbah domestik atau limbah industri. Faktor biotik yaitu organisme yang hidup dalam lingkungan yang sama menyebabkan pengaruh negatif terhadap kesehatan ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Air adalah unsur penunjang terpenting dalam kegiatan budidaya ikan. Kondisi air yang digunakan harus bersih dari bahan-bahan beracun dan bahanbahan lain yang tidak dibutuhkan oleh ikan (Sitanggang 2001). Lingkungan perairan meliputi berbagai parameter yang kesemuanya berpengaruh terhadap keseimbangan fisiologis dari semua alat tubuh yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi dari ikan. Kualitas air adalah sifat air dan kandungan mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air. Dalam pemeliharaan ikan patin, selain pakan faktor lingkungan banyak menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal, maka diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses fisiologis pertumbuhan (Susanto 2009). Parameter- parameter tertentu yang cukup penting untuk kelangsungan ekosistim adalah suhu, Derajat Keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), kecerahan, salinitas, Amoniak (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan Besi (Fe) (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin 2011). Beberapa parameter kualitas air yang di perlukan untuk pembudidayaan ikan patin adalah: - Suhu Menurut Sitanggang (2001), kondisi temperatur harus dijaga agar tetap konstan. Temperatur mempengaruhi aktifitas metabolisme organisme perairan dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Suhu adalah variabel lingkungan penting untuk organisme akuatik dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan, metabolisme, karena suhu gas (oksigen) 18 terlarut dan proses reproduksi ikan. Kisaran suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan patin adalah 25-30 ºC (Susanto 2009). - Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan parameter kualitas air yang berkaitan dengan konsentrasi ion Hidrogen (Supriyadi 2005). pH adalah indikasi kalau air bersifat asam, basa (alkali), atau netral. Semakin tinggi konsentrasi ion Hidrogen maka perairan akan bersifat asam, sebaliknya jika konsentrasi ion Hidrogen semakin rendah maka perairan akan bersifat asam. Derajat keasaman air akan mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan menjadi kurang produktif dan dapat membunuh ikan, Selain itu juga menyebabkan berkurangnya kandungan oksigen terlarut sehingga konsumsi oksigen menurun, aktivitas pernafasan naik dan selera makan akan berkurang. Hal sebaliknya terjadi pada suasana basa (Kordi 2004). Efek langsung dari pH rendah dan pH yang terlalu tinggi adalah berupa kerusakan sel epitel baik kulit maupun insang, hal ini akan mengganggu pada proses penyerapan oksigen (Supriyadi 2005). Kisaran pH optimum yang cocok untuk ikan patin adalah 6,7-8,6 (Susanto 2009). - Oksigen terlarut (DO) Kandungan DO diperoleh akibat difusi gas oksigen dari udara ke dalam air pada saat bergerak atau oleh angin yang berhembus di permukaan,serta hasil fotosintesa. Oksigen sangat di butuhkan dalam proses fisika,kimia,biologi pada suatu ekosistem perairan yang berlangsung secara berantai, sehingga minimnya kandungan oksigen dalam perairan akan menghambat berbagai aktivitas dalam perairan tersebut, titik krisis pada perairan terjadi pada kisaran 3-5 mg/l. Kandungan oksigen (O2) digunakan oleh ikan untuk pernapasan. Oksigen yang diserap akan digunakan untuk aktivitas tubuh seperti bergerak, bertumbuh dan berkembang biak sehingga tidak boleh kekurangan agar aktivitas terus berlangsung. Kandungan oksigen (O2) optimum 5-6 ppm (Susanto 2009). - Kecerahan Kecerahan merupakan parameter penentu batas pandang/batas visual penetrasi cahaya matahari ke dalam badan air. Kegunaan parameter ini adalah untuk menentukan kedalaman lapisan perairan yang produktif (Boyd, 1979 dalam Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin 19 Noor Banjarmasin, 2011). Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, dapat diketahui kemungkinan terjadinya proses asimilasi dalam air dan tingkat kekeruhan air. Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm, karena berkaitan dengan batas pandangan ikan dalam menentukan arah renang dan mencari makan (Kordi 2004). - Amoniak (NH3) Amoniak (NH3)terbentuk dari hasil perombakan bahan organik dan pengeluaran hasil metabolism ikan melalui ginjal dan jaringan insang. Amonia juga dapat terbentuk sebagai hasil proses dekomposisi protein yang berasal sisa pakan atau plankton yang mati (Kordi 2004). Konsentrasi amoniak yang masih dapat di tolerir oleh mikroorganisme perairan adalah <0,5 mg/l,pada konsentrasi amoniak 0,5-0,9 mg/l kondisi perairan dikategorikan tercemar ringan,konsentrsi 1,0-3,0 mg/l kondisi perairan di kategorikan tercemar sedang, sedangkan konsentrasi >3,0 mg/l perairan di kategorikan tercemar berat (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin 2011). - Nitrit (NO2) Sumber nitrit menurut berasal dari reduksi nitrat secara an aerob oleh bakteri dalam lumpur dan air. Apabila nitrit di absorbsi ikan,maka akan bereaksi dengan hemoglobin dan akan membentuk methamoglobin. Karena methamoglobin tidak efektif mengangkut oksigen, maka absorbsi yang kontinyu dari nitrit akan berakibat pada hypoxia dan cyanosis. Darah yang mengandung methamoglobin berwarna coklat dan menyebabkan keracunan pada ikan yang biasa dinyatakan sebagai penyakit “brown blood diseases”. Kandungan nitrit yang ideal berdasarkan PP no.82 tahun 2001 adalah <0,06 mg/l untuk kelas I,II,III (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin 2011). - Nitrat (NO3) Nitrat adalah ion-ion an organik alami yang merupakan bagian dari siklus nitrogen. Nitrit dapat dengan mudah di oksidasikan menjadi nitrat, maka nitrat adalah senyawa yang paling sering di temukan di dalam air bawah tanah maupun air permukaan.Senyawa ini terdapat dalam tiga bentuk,yaitu : ion nitrat (ion NO3),Kalium nitrat (KNO3),dan Nitrogen nitrast (NO3-N).Penggunaan pupuk nitrogen secara berlebihan sering menyebabkan pencemaran nitrat pada badan air. Nitrat yang berlebihan di perairan dapat mengakibatkan 20 keracunan pada ikan/tumbuhan air, serta mengganggu siklus alami nitrogen. Dalam basa normal nitrat berguna pada proses sintesa protein pada hewan dan untuk pertumbuhan tanaman air. Konsentrasi ideal nitrat adalah ≤ 80 mg/l untuk budidaya ikan air tawar (Aquaculture 1999). - Besi (Fe) Besi (Fe) dalam perairan yang sering menimbulkan masalah adalah bentuk ferro (Fe²+) yang menyebabkan keracunan bagi biota air.Kadar Fe²+ pada kolam tanah sulfat asam yang digenangi selama dua minggu meningkat dari umumnya antara 9-18 mol.m-3 (500-1000 ppm) menjadi 90 mol.m-3 (5000 ppm),tetapi kemudian cenderung menurun pada penggenangan lebih dari dua minggu.Kadar Fe2+ pada kolam mempunyai kisaran sangat lebar antara 0,076.600 ppm.Kadar Fe2+ ini di pengaruhi oleh pH,bahan organik,kadar Fe3+,serta reaktivitas Fe3+ (Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011 BKI Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin, 2011). Kadar Fe2+ optimal untuk budidaya ikan ≤ 1,0 ppm (Aquaculture 1999). 21 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2012 di Kawasan Minapolitan, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan dan Laboratorium Balai Karantina Ikan Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin. Pengambilan sampel dilakukan di Kawasan Minapolitan meliputi 6 lokasi/desa yakni Desa Sungai Sipai, Desa Tungkaran dan Desa Cindai Alus di Kecamatan Martapura; dan Desa Sungai Batang, Desa Sungai Rangas, Desa Penjambuan dan Desa Penggalaman di Kecamatan Martapura Barat. Sedangkan identifikasi bakteri dilaksanakan di Laboratorium Balai Karantina Ikan Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin. Alat dan Bahan Alat pengambilan sampel meliputi box untuk membawa peralatan dan bahan, alat bedah (dissecting set), alat pengukur kualitas air, kantong plastik sampel, karet gelang, tabung oksigen, box sterofoam. Alat pemeriksaan laboratorium meliputi peralatan laboratorium bakteri meliputi glassware, laminary air flow, mikroskop, timbangan, pengukur pH, autoclave, bunsen, ose. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi sampel ikan Patin, Alkohol 70 %, Alkohol 95%, KOH 3% , H202 3%, reagen oksidase, Aquadest, Media TSA, kristal violet, lugol, aseton, safranin, bahan uji biokimia meliputi media O/F, LIA, TSIA, MIO, Sitrat, Urea. Cara Kerja Pengumpulan Data a. Data primer adalah data penyakit bakterial dari hasil penelitian dengan melakukan pemeriksaan terhadap ikan-ikan sampel yang dilengkapi dengan data dukung berupa data deskripsi lingkungan. b. Data sekunder adalah data penyakit bakterial yang diperoleh dari instansi pemerintah maupun swasta. 22 Pengambilan Sampel Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel ikan dari usaha budidaya kolam adalah dengan metode purposive sampling, yaitu metode pemilihan sampel berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya, metode ini digunakan untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Sampel ikan Patin diambil dari kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) Patin di Kawasan Minapolitan (Lampiran 1. Data Pokdakan Patin Kawasan Minapolitan Kab. Banjar). Penentuan jumlah pengambilan sampel kelompok pembudidaya ditentukan dengan menggunakan rumus Taro Yamane : N n= Nd2 + 1 Keterangan : n = Jumlah sampel yang diambil N = Jumlah populasi d = Presisi yang ditetapkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan) yaitu 10 persen. Dari perhitungan dengan menggunakan Rumus Taro Yamane diperoleh jumlah sampel yang diambil sebesar 16 sampel POKDAKAN dari populasi 19 POKDAKAN. Selanjutnya penentuan sampel per desa ditentukan dengan metode proportional random sampling (Tabel 4). Tabel 4. Penentuan jumlah sampel usaha POKDAKAN Patin Lokasi Desa Tungkaran Desa Cindai Alus Desa Sei Batang Desa Sei Sipai Desa Sei Rangas Hambuku Desa Penggalaman Jumlah Populasi (N) Sampel (n) 1 2 12 1 1 2 19 1 2 9 1 1 2 16 23 Sedangkan penentuan jumlah sampel ikan yang diambil di tiap sampel kolam budidaya patin ditentukan dengan menggunakan metode Amos 1985. Pada penelitian ini sampel ikan yang diambil sebanyak 10 ekor/lokasi, dengan asumsi prevalensi sebesar 20 % (Tabel 5). Tabel 5. Penentuan jumlah sampel ikan dengan metode Amos (1985) dalam Lightner (1996) Ukuran populasi Jumlah sampel ikan yang diperlukan pada asumsi prevalensi 2% 5% 10% 20% 30% 40% 50% 50 50 35 20 10 7 5 2 100 75 45 23 11 9 7 6 250 110 50 25 10 9 8 7 500 130 55 26 10 9 8 7 1,000 140 55 27 10 9 9 8 1,500 140 55 27 10 9 9 8 2,000 145 60 27 10 9 9 8 4,000 145 60 27 10 9 9 8 10,000 145 60 27 10 9 9 8 >/=100,000 150 60 30 10 9 9 8 Sampel ikan yang diambil untuk penelitian diambil secara selektif (ikanikan yang menunjukkan gejala/tanda-tanda klinis terserang penyakit), dan jika tidak menunjukkan tanda-tanda terserang penyakit dapat diambil secara acak Terkait dengan pemeriksaan laboratoris penyakit ikan, jika ikan berukuran kecil diambil keseluruhan organ, sedangkan ikan yang sedang/besar dapat dinekropsi dan hanya diambil organ-organ yang makroskopis menujukkan lesi sebagai specimen. Untuk ikan-ikan sakit yang tidak menunjukan adanya perubahan patologis, untuk sampel digunakan organ yang diduga mengandung lesi yang diambil sebagai spesimen pemeriksaan. 24 Pemeriksaan bakteri Preparasi Sampel Untuk pemeriksaaan sampel dilakukan anamnesa terlebih dahulu. Selanjutnya ikan dinekropsi dan dilakukan pengamatan patologi anatomi yang terdiri dari pemeriksaan eksternal (sirip, sisik, lendir, kulit, insang) dan pemeriksaan internal (ginjal, limpa, hati). Selanjutnya bagian tubuh eksternal maupun internal yang mengalami perubahan patologi dijadikan sampel untuk isolasi bakteri. Isolasi bakteri Isolat bakteri dari sampel ditumbuhkan pada media agar cawan TSA, diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Koloni bakteri yang tumbuh terpisah dan tampak berbeda selanjutnya dibuat menjadi kultur isolat murni. Identifikasi isolat bakteri Uji gram (KOH 3%). Bakteri diambil menggunakan ose kemudian diletakkan pada gelas objek. Selanjutnya larutan KOH 3% diteteskan pada bakteri kemudian diamati perubahan yang terjadi. Pewarnaan gram. Gelas objek dibersihkan dengan alkohol 70% dan diberi aquades, kemudian dipanaskan di atas nyala api. Selanjutnya 1 ose biakan bakteri diratakan pada gelas objek dan difiksasi di atas nyala api. Gelas objek ditetesi dengan larutan kristal violet dan didiamkan selama 1 menit, setelah itu dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Selanjutnya gelas objek ditetesi dengan larutan lugol dan dibiarkan selama 1 menit, kemudian dicuci kembali dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian gelas objek dicuci dengan larutan pemucat/aseton alkohol selama 10 detik, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Selanjutnya larutan safranin atau zat penutup diteteskan pada gelas objek dan didiamkan selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Uji O/F. Isolat murni bakteri diinokulasikan ke Media O/F dengan cara ditusukkan. Satu tabung diisi dengan parafin cair steril setinggi 1 cm diatas permukaan Media OF, sedang tabung lainnya tanpa parafin cair. Diamati perubahan warna yang terjadi pada tabung yang diisi parafin cair. 25 Uji Oksidase. Kertas saring dibasahi dengan pereaksi oksidasi, kemudian satu loop isolat bakteri digoreskan pada kertas saring selanjutnya ditetesi 1-2 tetes reagen oksidase. Diamati reaksi oksidasi pada goresan di kertas saring setelah 10-15 detik. Uji Katalase. Gelas objek ditetesi larutan H202 3% sebanyak 1-2 tetes. Kemudian satu loop isolat bakteri dimasukkan pada genangan H202 3%. Diamati reaksi katalase setelah 10-15 detik. Uji MIO. Isolat bakteri diinokulasi ke dalam medium MIO pada tabung reaksi secara aseptik, diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam. Amati rekasi yang terjadi. Untuk pengujian indol, media MIO ditetesi dengan 10 tetes reagen Kovac’s. Uji TSIA. Isolat bakteri diinokulasi ke dalam medium TSIA dalam tabung reaksi secara vertikal pada bagian buut dan secara streak pada bagian slant. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan diamati perubahan yang terjadi pada medium. Uji LIA. Isolat murni bakteri diinokulasikan ke media LIA dengan cara ditusuk dan kemudian di strep. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam, kemudian diamati dan diamati perubahan yang terjadi pada medium. Uji Sitrat. Isolat diinokulasi pada medium Simmon’s Citrate agar dalam tabung reaksi secara vertikal, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 2448 jam dan diamati perubahan yang terjadi. Uji Urease. Isolat diinokulasikan pada media urease dengan cara jikzak ke atas. Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan diamati perubahan yang terjadi. Identifikasi Bakteri Karakter bakteri berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pengujian sifat fisiologis maupun sifat biokimia disusun dalam bentuk tabel, kemudian dicocokkan dengan karakter bakteri sesuai dengan panduan: Bacteria From Fish and Other Aquatic Animals: A Practical Identification Manual (Buller 2004) dan Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild Fish (Austin and Austin 2007). 26 Pengukuran Parameter Kualitas Air Pengukuran parameter kualitas air dilakukan langsung di masing-masing kolam/lokasi pengambilan sampel. Parameter yang diukur adalah parameter fisika meliputi temperatur, salinitas dan Oksigen terlarut (DO) dan kecerahan; dan parameter kimia meliputi Amoniak (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan Besi (Fe). Temperatur diukur dengan pH-meter, salinitas diukur dengan Refraktometer, Oksigen terlarut (DO) diukur dengan DO meter dan kecerahan diukur dengan ‘Secchi disc’, sedangkan Amoniak (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan Besi (Fe) diukur dengan test kit. Pengolahan Data Data hasil penelitian prevalensi/frekuensi kejadian. dianalisa dengan menggunakan rumus Menurut (Fernando et al. dalam Jahja 2009) Tingkat prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : n Prev = x 100 % N Keterangan : Prev = Prevalensi (%) N = Jumlah ikan yang terinfeksi (ekor) n = Jumlah ikan sampel yang diperiksa (ekor) Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan analisis regresi linier sederhana dan korelasi linier sederhana. 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala klinis pada Ikan patin yang terinfeksi bakteri Beberapa gejala penyakit yang terlihat pada ikan sampel yakni luka pada permukaan tubuh, gripis pada sirip dan ekor serta pembengkakan pada bagian perut (Gambar 3). Menurut Supriyadi (2005) beberapa gejala umum akibat serangan bakteri antara lain gerakan ikan lemah, gerakan abnormal, produksi lendir berkurang setelah ikan yang terinfeksi mengeluarkan lendir yang berlebihan, perubahan warna tubuh menjadi lebih gelap, ikan menjadi kurus, pendarahan dan nekrosa pada tempat infeksi, luka (ulcer) pada sirip, insang dan kulit. Gambar 3 Gejala klinis infeksi bakteri patogen pada ikan Patin Hasil isolasi Bakteri dari lokasi pengambilan sampel Dari dua lokasi pengambilan sampel yakni Kecamatan Martapura Barat dan martapura Kota diperoleh 160 isolat bakteri. Dari hasil karakterisasi dan identifikasi terhadap 160 isolat bakteri tersebut, ditemukan 15 jenis bakteri yakni Plesiomonas shigelloides, Citrobacter freundii, Aeromonas caviae, Aeromonas hydrophilla, Pasteurella multocida, Pasteurella haemolytica, Pseudomonas maltophilia, Flavobacterium columnare, Corynebacterium sp, Micrococcus sp, Moraxella sp, Actinobaciluus sp, Bacillus sp, Klebsiella sp dan Staphylococcus sp. (Lampiran 1 dan 2). Dari 15 bakteri tersebut, yang merupakan bakteri patogen adalah Plesiomonas shigelloides, Citrobacter freundii, Aeromonas caviae, Aeromonas hydrophila, Pasteurella multocida, Flavobacterium columnare, Corynebacterium sp dan Micrococcus sp (Frerichs dan Millar 1993, Buller 2004). 28 Prevalensi infeksi bakteri patogen Prevalensi infeksi bakteri patogen pada ikan Patin di Kawasan Minapolitan sebesar 50%, dimana prevalensi infeksi bakteri patogen di kecamatan Martapura Barat lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan Martapura Kota (Tabel 6). Tabel 6. Prevalensi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan Lokasi Jumlah ikan terinfeksi/total sampel Martapura Kota 17/40 Martapura Barat 63/120 Jumlah 80/160 Prevalensi (%) 42.5 52.5 50.0 Prevalensi infeksi bakteri patogen tertinggi di Kawasan Minapolitan adalah prevalensi Plesiomonas shigelloides (26,88%) dan Aeromonas caviae (8,13%). Di Kecamatan Martapura Kota, prevalensi bakteri tertinggi adalah infeksi Plesiomonas shigelloides (25,00%), Aeromonas hydrophilla (7,50%) dan Citrobacter freundii (5,00%). Untuk Kecamatan Martapura Barat, prevalensi bakteri tertinggi adalah infeksi Plesiomonas shigelloides (27.50%), Aeromonas caviae (10,00%) dan Flavobacterium columnare (6,67%). Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 4. Tabel 7 Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan Prevalensi infeksi bakteri pathogen Bakteri Martapura Martapura Kawasan Kota Barat Minapolitan Plesiomonas shigelloides 25.00 27.50 26.88 Aeromonas caviae 2.50 10.00 8.13 Flavobacterium columnare 0.00 6.67 5.00 Citrobacter freundii 5.00 2.50 3.13 Corynebacterium sp 2.50 2.50 2.50 Micrococcus sp 0.00 2.50 1.88 Aeromonas hydrophila 7.50 0.00 1.88 Pasteurella multocida 0.00 0.83 0.63 Jumlah 42.50 52.50 50.00 29 60 Prevalensi (%) 50 40 30 20 10 0 Martapura Kota Martapura Barat Kawasan Minapolitan Gambar 4 Prevalensi infeksi bakteri patogen di Kecamatan Martapura Barat, Martapura Kota dan Kawasan Minapolitan Hasil isolasi bakteri patogen dari organ tubuh ikan Hasil isolasi bakteri dari organ sampel, menunjukkan bahwa hanya Plesiomonas shigelloides dan Aeromonas caviae yang ditemukan dari kelima organ sampel, sedangkan 6 bakteri lainnya diisolasi dari organ tertentu. Terdapat dua jenis bakteri yang hanya diisolasi dari satu organ; meliputi Pasteurella multocida yang diisolasi dari hati dan Corynebacterium sp yang diisolasi dari ginjal (Tabel 8 dan Gambar 5). Tabel 8 Jumlah isolat bakteri patogen yang ditemukan dari organ tubuh ikan Bakteri Insang Daging Limfa Ginjal Hati Jumlah % Plesiomonas shigelloides 9 7 6 9 12 43 53.75 Aeromonas caviae 2 6 3 1 1 13 16.25 Flavobacterium columnare 2 4 0 0 2 8 10.00 Citrobacter freundii 1 1 2 0 1 5 6.25 Corynebacterium sp 0 0 0 0 4 4 5.00 Micrococcus sp 0 1 1 1 0 3 3.75 Aeromonas hydrophila 1 1 1 3 3.75 Pasteurella multocida 1 0 0 0 0 1 1.25 Jumlah 16 19 12 12 21 80 100.00 30 60,00% 12 50,00% 10 40,00% 8 30,00% 6 20,00% 4 Prosentasi Bakteri Patogen Frekuensii Frekuensi Bakteri Bakteri PatogenPatogen 14 10,00% 2 0 0,00% Gambar 5 Distribusi bakteri patogen yang ditemukan dari organ. Hasil analisa parameter kualitas air Hasil analisa kualitas air dan prevalensi infeksi bakteri batogen pada sampel ikan di Kawasan Minapolitan disajikan Tabel 9 dan Tabel 10. 31 Tabel 9 Hasil analisa parameter kualitas air, prevalensi infeksi bakteri patogen dan bakteri patogen yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel Lokasi Parameter Kualitas Air PreBakteri Patogen yang Pengambilan valensi ditemukan pH DO Suhu KeceraBesi Nitrit Nitrat Amoniak o Sampel/ (%) (mg/l) ( C) han (cm) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) POKDAKAN Kecamatan Martapura Kota : Citra Betasa 7.0 2.0 31 20 1 < 0.3 12.5 1.5 70.00 Plesiomonas shigelloides, Citrobacter freundii, Corynebacterium sp Kisman 7.7 5.0 33 30 0.1 < 0.3 12.5 0 90.00 Plesiomonas shigelloides, Aeromonas hydrophila, Aeromonas caviae, Citrobacter freundii Sejahtera 7.1 5.0 29 60 0.25 < 0.3 12.5 0.25 0.00 Sumber Mina 6.9 8.0 30 45 0.1 < 0.3 12.5 0 10.00 Plesiomonas shigelloides Kecamatan Martapura Barat : Lempayu 7.2 5.0 30 25 0.1 < 0.3 12.5 0 50.00 Aeromonas caviae Patin Raya 7.2 8.0 32 15 0.25 < 0.3 12.5 0 80.00 Plesiomonas shigelloides, Aeromonas caviae Bina Bersama 7.2 2.0 31 17 0.1 < 0.3 12.5 0 90.00 Plesiomonas shigelloides, Citrobacter freundii Bina Usaha 7.1 2.0 30 10 70.00 Plesiomonas shigelloides, 0.5 < 0.3 12.5 1.5 Citrobacter freundii Mina Mulya 7.3 8.0 33 11 1 < 0.3 12.5 3 50.00 Flavobacterium columnare Benua Mandiri 7.4 5.0 33 29 0.1 < 0.3 12.5 1.5 60.00 Plesiomonas shigelloides, Aeromonas caviae 32 Lokasi Pengambilan Sampel/ POKDAKAN Usaha Bersama pH Parameter Kualitas Air KeceraBesi Nitrit han (cm) (mg/l) (mg/l) DO (mg/l) Suhu (o C) Nitrat (mg/l) Amoniak (mg/l) 7.3 8.0 33 12 1 < 0.3 12.5 0.25 Mina Sejahtera 7.5 8.0 32 14 0.25 < 0.3 12.5 5 Mina Musti 7.4 8.0 32 19 0.1 < 0.3 12.5 0.25 Amanah 7.4 5.0 33 16 0.25 < 0.3 12.5 0.25 Mina Membangun Kencana Sutera 6.9 2.0 31 35 1 < 0.3 12.5 1.5 7.2 5.0 32 40 1 < 0.3 12.5 3 Prevalensi (%) Bakteri Patogen yang ditemukan 50.00 Pasteurella multocida, Plesiomonas shigelloides, Corynebacterium sp 60.00 Plesiomonas shigelloides, Aeromonas caviae 30.00 Plesiomonas shigelloides, Corynebacterium sp 40.00 Micrococcus sp, Plesiomonas shigelloides 30.00 Flavobacterium columnare 20.00 Plesiomonas shigelloides 33 Tabel 10 Prevalensi masing-masing bakteri patogen di lokasi pengambilan sampel di Kawasan Minapolitan Lokasi Sampel Prevalensi (%) PlesioAeroFlavoCitrobacter CoryneAeroMicrococcus monas monas bacterium freundii bacterium sp monas sp shigelloides caviae columnare hydrophila Citra Betasa 50.00 10.00 10.00 Kisman 40.00 10.00 10.00 30.00 Sejahtera Sumber Mina 10.00 Lempayu 50.00 Patin Raya 70.00 10.00 Bina Bersama 80.00 10.00 Bina Usaha 50.00 20.00 Mina Mulya 50.00 Benua Mandiri 40.00 20.00 Usaha Bersama 20.00 20.00 Mina Sejahtera 20.00 40.00 Mina Musti 20.00 10.00 Amanah 10.00 30.00 Mina 30.00 Membangun Kencana Sutera 20.00 - Pasteurella multocida 10.00 - 34 Air adalah unsur penunjang terpenting dalam kegiatan budidaya ikan. (Sitanggang 2001). Agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal, maka diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses fisiologis pertumbuhan (Susanto 2009). Kualitas air yang optimum sangat diperlukan untuk keberhasilan budidaya ikan Patin (Tabel Tabel 11 Kisaran optimum kualitas air untuk budidaya ikan Patin Parameter Satuan Kisaran Optimum o Suhu C 25 – 30 pH 6,5 – 8,5 Kecerahan Cm 25 – 80 Oksigen terlarut mg/l >4 Amoniak (NH3) mg/l < 0,01 Sumber : SNI 01-6483.5-2002 Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) Selain beberapa parameter diatas, kadar nitrit, nitrat dan besi juga mempengaruhi kualitas perairan untuk usaha budidaya ikan. Menurut Aquaculture (2003) kandungan nitrit yang dapat ditolerir untuk perikanan budidaya adalah < 0,3 mg/l, nitrat sebesar 0,2-10 mg/l dan besi sebesar 0.05 – 0.5 mg/l. Dari hasil analisa kualitas air di Kawasan Minapolitan diperoleh kisaran nilai pH sebesar 6,9-7,7 dimana nilai pH tersebut masih merupakan kisaran optimum untuk budidaya ikan Patin. Untuk kadar oksigen terlarut (DO) sebesar 2-8 mg/l, 4 dari 16 lokasi sampel memiliki kadar DO sebesar 2 mg/l. Nilai ini berada dibawah nilai optimum. Untuk parameter suhu diperoleh nilai 29-33oC, dimana 12 dari 16 lokasi pengampilan sampel memiliki nilai suhu diatas nilai optimum (>30oC). Untuk paremeter kecerahan diperoleh 11-60 cm, dimana 8 dari 16 lokasi pengampilan sampel memiliki nilai kecerahan dibawah nilai optimum (< 25 cm). Dari hasil analisa kadar besi, diperoleh nilai 0,25-1 mg/l; dimana 5 dari 16 lokasi pengambilan sampel memiliki kadar besi melebihi batas (> 0,5 mg/l). Untuk kadar nitrit, diperoleh nilai < 0,3 mg/l di semua lokasi pengambilan sampel. Kadar nitrit ini masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh ikan. Untuk kadar nitrat diperoleh nilai 12,5 mg/l di semua lokasi pengambilan sampel. Jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan Aquaculture (2003), nilai ini melebihi batas yang dapat ditolerir. Untuk kadar amoniak, diperoleh kisaran nilai sebesar 0-3 mg/l; 11 dari 16 lokasi sampel memiliki kadar amoniak melebihi nilai optimum (> 0,01 mg/l). 35 Hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi bakteri Hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan dianalisis dengan menggunakan uji korelasi linier berganda (Tabel 12). Tabel 12 Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan Uji korelasi Prevalensi infeksi bakteri patogen ph Pearson Correlation 0.41 Sig. (2-tailed) 0.114 N 16 Suhu Pearson Correlation 0.36 Sig. (2-tailed) 0.176 N 16 Kecerahan Pearson Correlation -0.67** Sig. (2-tailed) 0.004 N 16 DO Pearson Correlation -0.24 Sig. (2-tailed) 0.362 N 16 ** Korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 99% Hubungan pH dengan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai korelasi sebesar 0,41. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi cukup kuat antara keduanya dengan hubungan korelasi positif (searah). Peningkatan pH dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Hubungan suhu dengan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai korelasi sebesar 0,36. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi cukup kuat antara keduanya dengan hubungan korelasi positif (searah). Peningkatan suhu dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Untuk hubungan kecerahan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai korelasi sebesar 0,67 dan signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antara keduanya dengan hubungan korelasi negatif (terbalik). Semakin rendah tingkat kecerahan air dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Hubungan DO dengan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai korelasi sebesar 0,24. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi yang sangat lemah antara keduanya. 36 Peranan stress lingkungan dengan kejadian infeksi bakteri pada ikan Infeksi bakteri memegang peranan penting atas tingginya angka kematian akibat penyakit pada ikan. Tekanan fisiologis, stres dan cedera fisik berkontribusi utama terhadap kejadian penyakit ikan dan kematian dalam kegiatan budidaya. Bakteri yang oppurtunistik menginfeksi yang ada ikan di umumnya lingkungan. merupakan Pada kondisi bakteri patogen dimana terdapat keseimbangan yang baik antara lingkungan, inang/ikan dan bakteri, bakteri patogen oppurtunistik tidak akan menyebabkan penyakit pada ikan. Namun sebaliknya jika terjadi perubahan keseimbangan antara lingkungan, inang/ikan dan bakteri dapat menyebabkan penyakit hingga kematian (Rottmann et al. 1992). Banyak agen penyakit ikan potensial yang terdapat di tanah, air, udara ataupun pada ikan itu sendiri. Di alam, ikan mungkin resistan terhadap bakteri tersebut karena mampu mencari lingkungan hidup yang baik untuk kehidupannya. Sementara pada lingkungan budidaya, keterbatasan bahan makanan sehingga kebutuhan nutrisi tidak tercukupi, faktor stress seperti jumlah populasi yang padat, kualitas air yang buruk, cedera fisik akibat proses penanganan yang kurang tepat (penangkapan, penyortiran dan transportasi), dan sanitasi yang buruk dapat dapat mengakibatkan kerentanan atau melemahnya pertahanan ikan yang berpotensi mempermudah masuk dan menyebarnya bakteri dan agen penyakit lainnya ke tubuh ikan. Faktor stres merupakan salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam kegiatan budidaya ikan secara intensif. Keadaan stress ini merupakan salah satu faktor penting terkait dengan infeksi bakteri pada ikan (Rottmann et al. 1992). Stres merupakan respon fisiologis yang terjadi untukmempertahankan kondisi tubuh terhadap perubahan/ketidakseimbangan dalam tubuhnya atau lingkungan (Subyakto 2000). Namun pada saat yang bersamaan kondisi stress juga dapat melumpuhkan respon pertahanan tubuh dan kekebalan tubuh pada ikan Stres dan luka awalnya akan memicu reaksi tanggap kebal tubuh yang akan menghasilkan beberapa perubahan pada tubuh ikan. Terjadi peningkatan sekresi hormon kortisol oleh kelenjar adrenal. Regulasi level kortisol berperan penting dalam adaptasi ikan dan sebagai indikator saat ikan berada pada kondisi stres. Kortisol adalah suatu hormon jenis glukokortikoid yang berperan dalam proses glukoneogenesis. Glikogen hati akan dimetabolisme oleh hormon tersebut 37 sehingga meningkatkan kadar gula dalam darah. Proses metabolisme ini akan menghasilkan sejumlah besar energi yang dipersiapkan untuk menghadapi situsasi darurat/stressor (Rottmann et al. 1992). Salah satu indikator yang sering terlihat dari efek metabolik akibat stres adalah meningkatnya kadar glukosa di dalam plasma (Evans dan Claiborne 2006). Kubilay dan Ulukoy (2002) menyebutkan bahwa pengaruh fisiologis dari stres akut seperti (transportasi, penanganan, penjaringan, dan pengurungan) pada sistem budi daya dapat meningkatkan kadar kortisol dan glukosa dalam plasma. Kadar kortisol pada ikan rainbow trout yang mengalami stres akut ratarata sebesar 45,16 µg/dl sedangkan pada ikan yang tidak mengalami stres lebih rendah yaitu rata-rata 31,50 µg/dl. Kadar glukosa dalam plasma ikan rainbow trout yang stres rata-rata sebesar 58,53 mg/dl dan pada ikan yang tidak stres rata-rata sebesar 26,23 mg/dl. Syawal dan Yusni (2010) juga menyatakan adanya peningkatan kadar glukosa plasma darah pada ikan Patin Siam yang sedang dalam keadaan stress. Ikan mampu beradaptasi terhadap stres untuk periode waktu dan dapat terlihat normal. Namun, setelah energi cadangan habis dan dan ketidakseimbangan hormon terjadi, sistem kekebalan tubuh akan ditekan sehingga meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Namun disisi lain, hormon yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal dapat menekan respon peradangan /inflamasi yang merupakan bagian dari sistem menghadapi serangan benda asing/agen penyakit. Keseimbangan air atau osmoregulasi pada ikan ikan juga juga dapat terganggu akibat perubahan dalam metabolisme mineral. Dalam keadaan ini, ikan menyerap air dalam jumlah yang berlebihan dari lingkungan (overhidrasi); sehingga ikan akan kehilangan kadar garam (dehidrasi). Gangguan ini akan menyebabkan peningkatan kebutuhan energi untuk osmoregulasi, peningkatan respirasi dan tekanan darah serta dilepasnya cadangan merah sel darah ke dalam aliran darah (Rottmann et al. 1992). Selain kortisol, hormon katekolamin pada Ikan yang mengalami stres akan mengalami peningkatan. Kedua hormon tersebut pada kadar tinggi berpengaruh negatif terhadap sistem imunitas ikan, karena meningkatnya kortisol dalam plasma akan menghambat pembentukan interlukin I dan II. Akibatnya ikan akan menurun kekebalannya dan mudah terinfeksi patogen, dengan demikian, dapat menyebabkan tingginya angka kematian (Syawal dan Yusni 2010). 38 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan parameter kualitas air yang berkaitan dengan konsentrasi ion Hidrogen.Bila nilai pH rendah (bersifat asam) berarti air mengandung banyak ion H yang dapat mematikan makhluk hidup dalam air. Ikan mempunyai titik mati asam (pH 4)dan titik mati basa (pH 11) (Boyd dalam Mangalik 2001). Bagi kebanyakan ikan yang hidup di perairan tawar,angka pH yang di anggap sesuai untuk kehidupan ikan berkisar antara 6,5-8,4 (Brook et al. 1989). Kadar pH yang ekstrim di bawah atau di atas pH optimum akan mengakibatkan gangguan pada kesehatan ikan. Efek langsung dari pH rendah dan pH yang terlalu tinggi adalah berupa kerusakan sel epitel baik kulit maupun insang, hal ini akan mengganggu pada proses penyerapan oksigen (Supriyadi 2005). Dari hasil analisa kualitas air di Kawasan Minapolitan diperoleh kisaran nilai pH sebesar 6,9-7,7 dimana nilai pH tersebut masih merupakan kisaran optimum untuk budidaya ikan Patin (6,5 – 8,5). Meskipun masih dalam kisaran normal, namun dari hasil uji korelasi antara pH dengan prevalensi infeksi bakteri patogen pada ikan Patin, menunjukan bahwa terdapat korelasi cukup kuat meskipun tidak signifikan antara keduanya dengan persamaan regresi Y=51.613x-323.55 dan koefisien determinasi sebesar 0,1689. Ini menunjukkan bahwa hanya 16,89% prevalensi infeksi bakteri patogen yang dapat dijelaskan oleh faktor pH air. Peningkatan pH air Peningkatan suhu dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen (Gambar 6). 100 90 80 y = 51,61x - 323,5 R² = 0,168 Prevalensi (%) 70 60 50 40 30 20 10 0 6,8 7 7,2 Bakteri patogen pH 7,4 7,6 Linear (Bakteri patogen) Gambar 6 Korelasi pH dengan prevalensi infeksi bakteri patogen 7,8 39 Suhu Suhu berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme bagi semua makhluk hidup. Suhu sangat berpengaruh terhadap aktifitas metabolisme, pertumbuhan dan kehidupan organisme di perairan. Suhu merupakan parameter yang penting bagi organisme perairan (Sitanggang 2001). Suhu memiliki pengaruh langsung terhadap kebutuhan oksigen, kebutuhan pakan dan efisiensi konversi pakan. Suhu akan mempengaruhi semua proses kimia dan biologi pada tubuh ikan (Aquaculture 2003). Secara umum kecepatan reaksi kimia dan biologi akan meningkat 2 kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10ºC (Sitanggang 2001) . Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan kebutuhan ikan terhadap pakan dan oksigen sehingga proses metabolisme ikan juga semakin cepat (Aquaculture 2003). Masing-masing ikan memiliki kisaran suhu optimum untuk pertumbuhannya. Suhu air di luar batas nilai optimum dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan (Aquaculture 2003). Ikan mempunyai daya toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu yang mendadak, perubahan suhu kurang lebih 5ºC secara mendadak dapat mengakibatkan ikan stres dan mati (Boyd 1979). Kondisi stress pada ikan juga dapat meningkatkan kerentanan ikan terhadap penyakit. Bakteri memiliki batasan suhu minimum optimum dan maksimum untuk pertumbuhannya. menyebabkan Suhu kerusakan yang sel terlalu rendah sehingga atau pertumbuhan terlalu tinggi bakteri dapat terhambat, sedangkan pada suhu optimum, bakteri akan tumbuh dengan baik (Middelbeek et al. 1992). Bagi keberadaan bakteri, suhu lingkungan yang tinggi dari suhu yang dapat ditoleransi akan menyebabkan denaturasi protein dan komponen sel esensial lainnya sehingga sel akan mati. Demikian pula bila suhu lingkungannya berada di bawah batas toleransi, membran sitoplasma tidak akan berwujud cair sehingga transportasi nutrisi akan terhambat dan proses kehidupan sel akan terhenti (Madigan et al. 2009). Langdon (1988) menyatakan jika suhu air meningkat secara fluktuatif maka terdapat kecenderungan peningkatan kecepatan multiplikasi patogen terutama bakteri. Ini menunjukan bahwa suhu memiliki pengaruh yang kuat terhadap jumlah kejadian penyakit bakterial pada ikan. Dari delapan jenis bakteri yang ditemukan, terlihat bahwa bakteri-bakteri tersebut merupakan golongan bakteri psikrofil (kisaran suhu pertumbuhannya 10-30 oC) dan bakteri mesofil 40 (kisaran suhu pertumbuhannya 25-40oC). Jika dihubungkan dengan hasil pengukuran parameter suhu air, dimana diperoleh kisaran suhu air sebesar 2933oC. Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu dimana bakteri dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik, sehingga jumlah bakteri akan meningkat. Sementara jika dihubungkan dengan pertumbuhan optimum ikan Patin, suhu air diatas 30 oC merupakan suhu yang melebihi batas optimum untuk budidaya ikan Patin. Peningkatan suhu melebihi batas optimum ini dapat menjadi stressor bagi ikan yang selanjutnya dapat meningkatan kerentanan ikan terhadap penyakit. Hasil uji korelasi antara suhu dengan prevalensi infeksi bakteri patogen menunjukkan terdapat korelasi cukup kuat antara keduanya dengan persamaan regresi Y=7.3253x-181.2 dan koefisien determinasi sebesar 0,1265. Ini menunjukkan bahwa hanya 12,65% prevalensi infeksi bakteri patogen yang dapat dijelaskan oleh faktor suhu air. Peningkatan suhu dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen (Gambar 7). 100 90 80 Prevalensi (%) 70 y = 7,325x - 181,2 R² = 0,126 60 50 40 30 20 10 0 28 29 30 31 Suhu (C) Bakteri patogen 32 33 Linear (Bakteri patogen) Gambar 7 Korelasi suhu dengan prevalensi infeksi bakteri patogen 34 41 Kecerahan Kecerahan merupakan parameter penentu batas pandang/batas visual penetrasi cahaya matahari ke dalam badan air. Kegunaan parameter ini adalah untuk menentukan kedalaman lapisan perairan yang produktif (Boyd 1979). Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktifitas fotosintesis,disamping itu bagi sebagian besar ikan dalam menentukan arah renang dan mencari makan memerlukan kadar kecerahan tertentu (Parson dan stricklam dalam Iriadenta 2000). Kecerahan juga mempengaruhi ketersediaan cahaya untuk kegiatan fotosintes bagi phytoplankton. Jika tingkat kekeruhan terlalu tinggi, kegiatan fotosintesis akan terhambat dan secara signifikan akan menurunkan kandungan oksigen terlarut di perairan. Peluang untuk mendapatkan masalah kekurangan oksigen akan besar apabila bacaan Sechi disc kurang dari 30 cm. Pada bacaan alat sechi dish 10-20 cm, kadar oksigen terlarut menjadi semakin rendah sehingga mengakibatkan strees pada ikan (Boyd dan Lichtkopper 1970). Penurunan tingkat kecerahan disebabkan oleh kekeruhan pada air. Kekeruhan dapat terjadi karena plankton, humus dan suspensi lumpur serta suspensi hidroksida besi. Kekeruhan perairan dapat menghambat pertumbuhan ikan budidaya baik langsung maupun tidak langsung. Air yang sangat keruh tidak dapat digunakan untuk kegiatan budi daya ikan, karena air yang keruh dapat menyebabkan rendahnya kemampuan daya ikat oksigen, berkurangnya batas pandang ikan, selera makan ikan berkurang, sehingga efisiensi pakan rendah; serta ikan sulit bernafas karena insangnya tertutup oleh partikel- partikel lumpur (Gusrina 2008). Kekeruhan air juga akan menghalangi ikan dalam mencari makanan, menyebabkan kerusakan insang dan stress pada ikan. Dari hasil analisa kualitas air, Untuk parameter kecerahan diperoleh 1160 cm, dimana 8 dari 16 lokasi pengampilan sampel memiliki nilai kecerahan dibawah nilai optimum kecerahan untuk budidaya ikan Patin (< 25 cm). Kecerahan dan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai nilai korelasi yang kuat dan signifikan, dengan persamaan regresi Y=-1.29x+82.089 dengan koefisien determinasi sebesar 0.455 atau 45.50% prevalensi infeksi bakteri patogen dapat dijelaskan oleh faktor kecerahan air. Semakin rendah tingkat kecerahan air dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen (Gambar 8). 42 100 90 80 Prevalensi (%) 70 60 50 40 30 y = -1,29x + 82,08 R² = 0,455 20 10 0 0 10 20 30 40 50 60 Kecerahan (cm) Bakteri patogen Linear (Bakteri patogen) 70 Gambar 8 Korelasi kecerahan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut menempati urutan teratas untuk kegiatan budidaya ikan. Oksigen merupakan faktor terpenting bagi kehidupan ikan. Kadar oksigen di perairan/lingkungan budidaya dipengaruhi oleh suhu air, tingkat penyebaran spesies di perairan, salinitas dan jumlah vegetasi perairan dan populasi ikan di kolam. Kandungan DO diperoleh akibat difusi gas oksigen dari udara ke dalam air, proses aerasi oleh angin yang berhembus di permukaan serta hasil fotosintesa tumbuhan perairan (Aquaculture 2003). Oksigen sangat di butuhkan dalam proses fisika,kimia,biologi pada suatu ekosistim perairan yang berlangsung secara berantai,sehingga minimnya kandungan oksigen dalam perairan akan menghambat berbagai aktivitas dalam perairan tersebut. Rendahnya kandungan oksigen terlarut di perairan dapat membahayakan spesies perairan. Efeknya antara lain stress pada ikan, peningkatan kerentanan terhadap penyakit, efisiensi pakan yang rendah, gangguan pertumbuhan ikan hingga kematian. Boyd dan Lichtkopper (1979) memberikan kisaran konsentrasi oksigen dan pengaruhnya terhadap kehidupan ikan sebagai berikut : - <0,4 mg/l,ikan kecil hanya bertahan hidup dalam waktu singkat. - 0,3-1,0 mg/l,mematikan ikan besar jika terlalu lama. 43 - >1,0-5,0 mg/l, ikan dapat bertahan hidup tetapi pertumbuhannya menjadi lambat jika di biarkan - >5,0 mg/l, kondisi yang diinginkan. Kisaran optimum untuk budidaya ikan Patin >4,0 mg/l. Hasil analisa kualitas air menunjukan kadar oksigen terlarut (DO) di Kawasan Minapolitan berkisar antara pengambilan sampel yang 2-8 mg/l. Terdapat 4 dari 16 lokasi memiliki kadar DO dibawah nilai optimum yaitu sebesar 2 mg/l. Hubungan antara DO dengan prevalensi infeksi bakteri patogen mempunyai korelasi yang sangat lemah, dengan persamaan regresi 2.735x + 64.701 dan koefisien determinasi sebesar 0.0597 atau hanya 5,97% prevalensi infeksi bakteri patogen dapat dijelaskan oleh faktor DO air. Meskipun nilai DO sebesar 2 mg/l dibawah nilai optimum untuk budidaya ikan Patin, namun terlihat bahwa ikan Patin masih dapat mentolerir rendahnya nilai DO tersebut. Dari hasil penelitian terlihat bahwa prevalensi infeksi batogen dapat terjadi pada lokasi dengan kadar oksigen tinggi maupun rendah (Gambar 9). 100 90 80 Prevalensi (%) 70 60 50 40 y = -2,735x + 64,70 R² = 0,059 30 20 10 0 0 2 4 6 Oksigen terlarut (mg/l) Bakteri patogen 8 10 Linear (Bakteri patogen) Gambar 9 Korelasi oksigen terlarut dengan prevalensi infeksi bakteri patogen 44 Amoniak (NH3) Amoniak (NH3) terbentuk dari hasil penguraian bahan organik mengandung nitrogen dan merupakan racun bagi organisme perairan.Sumber amoniak di perairan berasal dari perubahan senyawa organik dan hasil ekskresi hewan akuatik (Cholik et al. 1986). Konsentrasi amoniak yang masih dapat di tolerir oleh mikroorganisme perairan adalah <0,5 mg/l,pada konsentrasi amoniak 0,5-0,9 mg/l kondisi perairan dikategorikan tercemar ringan,konsentrasi 1,0-3,0 mg/l kondisi perairan di kategorikan tercemar sedang,sedangkan konsentrasi >3,0 mg/l perairan di kategorikan tercemar berat. Konsentrasi amoniak yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi pH dalam darah ikan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan insang, mengurangi kemapuan darah untuk mengangkut oksigen, meningkatkan kebutuhan oksigen pada jaringan, kerusakan sel darah merah dan jaringanjaringan yang memproduksinya serta mempengaruhi osmoregulasi. Pengaruh amoniak dapat memicu infeksi bakteri pada insang. Racun ini memyebabkan terjadinya iritasi/luka pada insang, insang menjadi berwarna merah abnormal dan terlepas dari bawah penutup insang. Hal inilah yang memicu serangan bakteri terhadap insang yang luka. Tucker (1991) menyatakan bahwa ikan Lele yang hidup pada perairan dengan kadar amoniak diatas 0,05 ppm (0.5 mg/l) akan menyebabkan pertumbuhannya menjadi lebih lambat dan lebih rentan terhadap penyakit menular (Tucker 1991). Untuk kadar amoniak, diperoleh kisaran nilai sebesar 0-3 mg/l; 11 dari 16 lokasi sampel memiliki kadar amoniak melebihi nilai optimum (> 0.01 mg/l). Dengan adanya kadar aminiak perairan melebihi batas nilai optimum untuk budidaya ikan Patin, keberadaan amoniak dapat menggangu aktivitas, pertumbuhan ikan serta kerentanan ikan terhadap infeksi patogen Nitrit (NO2) Menurut Hillerman dan Boyd dalam Mangalik (2001), sumber nitrit berasal dari reduksi nitrat secara an aerob oleh bakteri dalam lumpur dan air. Apabila nitrit di absorbsi ikan, maka akan bereaksi dengan hemoglobin dan akan membentuk methamoglobin.Karena methamoglobin tidak efektif mengangkut oksigen, maka absorbsi yang kontinyu dari nitrit akan berakibat pada hipoksia dan sianosis. Darah yang mengandung methamoglobin berwarna coklat dan menyebabkan keracunan pada ikan yang biasa dinyatakan sebagai penyakit 45 “brown blood diseases”. Kadar nitrit yang tinggi dapat menyebabkan stress bagi ikan yang selanjutnya dapat menyebabkan kerentanan ikan terhdap penyakit. Dari hasil analisa kadar besi, diperoleh nilai 0.25-1 mg/l; dimana 5 dari 16 lokasi pengambilan sampel memiliki kadar besi melebihi batas (> 0,5 mg/l). Untuk kadar nitrit, diperoleh nilai < 0,3 mg/l di semua lokasi pengambilan sampel. Kadar nitrit ini masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh ikan. Nitrat (NO3) Nitrat adalah ion-ion an organik alami yang merupakan bagian dari siklus nitrogen. Nitrit dapat dengan mudah di oksidasikan menjadi nitrat,maka nitrat adalah senyawa yang paling sering di temukan di dalam air bawah tanah maupun air permukaan.Senyawa ini terdapat dalam tiga bentuk,yaitu : ion nitrat (ion NO3),Kalium nitrat (KNO3),dan Nitrogen nitrast (NO3-N).Penggunaan pupuk nitrogen secara berlebihan sering menyebabkan pencemaran nitrat pada badan air. Nitrat yang berlebihan di perairan dapat mengakibatkan keracunan pada ikan/tumbuhan air,serta mengganggu siklus alami nitrogen.Dalam basa normal nitrat berguna pada proses sintesa protein pada hewan dan untuk pertumbuhan tanaman air (Aquaculture 1999). Untuk kadar nitrat diperoleh nilai 12,5 mg/l di semua lokasi pengambilan sampel. Jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan Aquaculture (2003), nilai ini melebihi batas yang dapat ditolerir. Besi (Fe) Besi (Fe) dalam perairan yang sering menimbulkan masalah adalah bentuk ferro (Fe²+) yang menyebabkan keracunan bagi biota air.Kadar Fe²+ pada kolam tanah sulfat masam yang digenangi selama dua minggu meningkat dari umumnya antara 9-18 mol.m-3 (500-1000 ppm) menjadi 90 mol.m-3 (5000 ppm),tetapi kemudian cenderung menurun pada penggenangan lebih dari dua minggu.Kadar Fe2+ pada kolam mempunyai kisaran sangat lebar antara 0,076.600 ppm.Kadar Fe2+ ini di pengaruhi oleh pH,bahan organik,kadar Fe3+,serta reaktivitas Fe3+ (Ponnamperuma1977). Kadar Fe2+ optimal untuk budidaya ikan 0.05 – 0.5 mg (Aquaculture 2003). Pada perairan dengan konsentrasi besi yang tinngi menutup jalan insang, menyebabkan stress hingga kematian (Lawson 1995). Dari hasil analisa kadar besi, diperoleh nilai 0.25-1 mg/l; dimana 5 dari 16 lokasi pengambilan sampel memiliki kadar besi melebihi batas (> 0,5 mg/l). 46 Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides Plesiomonas shigelloides merupakan bakteri anaerob fakultatif, Gram negatif, berbentuk batang, oksidase positif, non spora, motil dan memiliki lophotrichous dan peritrichous flagella (Inoue et al. dalam Jagger 2002). Pleisomonas sp. tumbuh pada suhu optimum 30 ° C dan memiliki kisaran 29-41 °C (Hudson et al. 2005). Plesiomonas shigelloides merupakan bakteri patogen oportunistik, dapat menyebabkan terjadinya petechial haemorrhagic pada usus (Buller, 2004). Pada kondisi normal, bakteri ini dapat ditemukan pada saluran gastro-intestinal ikan air hangat (Vandepitte et al. dalam Hudson et al. 2005). Infeksi Plesiomonas shigelloides ditemukan di 12 dari 16 lokasi pengambilan sampel dengan kisaran nilai pH sebesar 6,9-7,2; suhu sebesar 3033° C, kecerahan 10-60 cm dan kadar oksigen 2-8 mg/l (Tabel 13). Dari hasil analisa kualitas air tersebut terlihat bahwa nilai pH masih berada kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan Patin. Meskipun suhu di beberapa lokasi melebihi suhu optimum untuk budidaya ikan patin (>30 ° C), nampaknya hal ini tidak mempengaruhi infeksi Plesiomonas shigelloides. Keragaman nilai parameter kecerahan dan kadar oksigen terlarut di lokasi pengambilan sampel terlihat sangat jelas Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides dan kualitas air di lokasi sampel Lokasi Sampel pH DO Suhu Kecerahan Prevalensi (mg/l) (oC) (cm) Plesiomonas shigelloides (%) Citra Betasa 7.0 2.0 31 20 50.00 Kisman 7.7 5.0 33 30 40.00 Sumber Mina 6.9 8.0 30 45 10.00 Patin Raya 7.2 8.0 32 15 70.00 Bina Bersama 7.2 2.0 31 17 80.00 Bina Usaha 7.1 2.0 30 10 50.00 Benua Mandiri 7.4 5.0 33 29 40.00 Usaha Bersama 7.3 8.0 33 12 20.00 Mina Sejahtera 7.5 8.0 32 14 20.00 Mina Musti 7.4 8.0 32 19 20.00 Amanah 7.4 5.0 33 16 10.00 Kencana Sutera 7.2 5.0 32 40 20.00 Tabel 13 47 Uji korelasi menunjukkan bahwa korelasi yang kuat terjadi antara kadar oksigen terlarut dan prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides, dengan nilai korelasi sebesar -0,53 dan hubungan korelasi negative (terbalik). Penurunan kadar oksigen terlarut dapat meningkatkan prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides. Uji korelasi antara kecerahan dan prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides menghasilkan nilai korelasi sebesar -0,34, yang menunjukan bahwa terdapat korelasi yang cukup kuat antara keduanya dengan hubungan korelasi negative (terbalik). Penurunan tingkat kecerahan air dapat meningkatkan prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides. Uji korelasi antara pH dan suhu dengan prevalensi Plesiomonas shigelloides menunjukkan hubungan korelasi yang sangat lemah, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing -0,15 dan 0,24 (Tabel 14). Tabel 14 ph suhu kecerahan DO Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides di Kawasan Minapolitan Uji Korelasi Prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides Pearson Correlation -0.15 Sig. (2-tailed) 0.651 N 12 Pearson Correlation -0.24 Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation 0.451 12 Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 0.273 12 -0.53 0.079 12 -0.34 . Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa ada kecenderungan peningkatan prevalensi infeksi Plesiomonas shigelloides seiring dengan menurunnya tingkat kecerahan air dan kandungan oksigen terlarut. Meningkatnya kekeruhan air dan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan merupakan salah satu stressor bagi ikan yang dapat menyebabkan ikan menjadi stress dan mempengaruhi kerentanan ikan terhadap infeksi Plesiomonas shigelloides. 48 Prevalensi infeksi Aeromonas sp Bakteri Aeromonas sp berbentuk batang, bersifat gram negatif, motil dan dapat hidup pada lingkungan aerob maupun anaerob. Motil aeromonads mampu beradaptasi pada lingkungan dengan berbagai kisaran konduktivitas, kekeruhan, pH, salinitas, dan suhu yang (Hazen et al. 1978). Suhu optimum pertumbuhan tergantung pada strain tertentu, tetapi umumnya berkisar dari 25oC hingga 35°C. Bakteri ini tersebar luas di lingkungan perairan. Infeksi bakteri yang disebabkan oleh motil-aeromonas merupakan infeksi yang umum terjadi dan menjadi penyebab meningkatnya penyakit ikan di kolam. Stres pada ikan akan meningkatkan kepekaan terhadap infeksi bakteri ini. Infeksi motil aeromonas telah diketahui selama bertahun-tahun dengan berbagai nama diantaranya motil aeromonas septikemia (MAS), motil eromonad infeksi (MAI), hemorrhagi septikemia, red pest (hama merah) dan red sore (penyakit merah). Infeksi Aeromonasdikenal dengan aeromonads. Bebarapa dapat menyebabkan penyakit antara lain Aeromonas hydrophila, A. sobria, A. caviae dan beberapa jenis Aeromonas sp lainnya. Faktor penyebab wabah penyakit motil aeromonads adalah karena bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling banyak ditemukan lingkungan perairan tawar. Aeromonads merupakan bakteri fakultatif, yang mampu memanfaatkan nutrisi ketika berada di lingkungan dan dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama tanpa keberadaan inang. Bakteri ini akan melimpah jumlahnya pada perairan yang kaya bahan organik, seperti di kolam dan sistem budidaya lainnya. Bakteri ini dapat diisolasi dari kulit dan saluran usus ikan sehat, lumpur dari kolam, tumbuhan air dan beberapa protozoa. Hal ini menyebabkan bakteri ini sulit dieliminasi dari lingkungan perairan. Tanda-tanda klinis atau gejala penyakit yang berhubungan dengan Infeksi Aeromonas bersifat non-spesifik yang sulit dibedakan dengan infeksi penyakit lainnya. Infeksi penyakit ini sangat bervariasi, dapat terlihat di bagian kulit atau hanya terjadi pada organ sistemik internal (septicaemia) atau kombinasi keduanya. Wabah dapat berjalan kronis (jangka panjang) dan mempengaruhi hanya sejumlah kecil ikan atau dapat menghasilkan infeksi akut (waktu yang cepat dan singkat) dengan peningkatan infeksi yang cepat dan angka kematian yang tinggi. 49 Aeromonads dianggap sebagai patogen oportunistik, yang dapat menimbulkan penyakit ketika daya tahan tubuh ikan di populasi melemah atau sebagai infeksi sekunder yang menyertai penyakit ikan lainnya. Aeromonas sp, terkadang dihubungkan dengan infestasi ektoparasit seperti Epistylis sp. Faktor stress lingkungan, terutama kualitas air yang buruk dapat meningkatkan perkembangan penyakit. Faktor-faktor lingkungan tersebut berupa suhu air yang tinggi , kadar amonia dan nitrit yang tinggi, gangguan pH dan rendahnya kadar oksigen terlarut. Pada bererapa kejadian, Infeksi Aeromonas lebih umum terjadi di perairan yang hangat dibandingkan dengan perairan yang dingin. Infeksi ini dapat terjadi pada berbagai jenis umur ikan, tetapi kerugian paling parah jika terjadi pada benih dan ikan yang masih berukuran kecil (small fingerlings). Kejadian infeksi Aeromonas dapat ditemukan setiap bulan sepanjang tahun. Aeromonas caviae bersifat kurang virulen dibandingkan beberapa jenis motil Aeromonas yang bersifat patogen lainnya. Namun bakteri ini dapat menyebabkan terjadinya septicaemia dan kematian jika dalam menfinfeksi dalam jumlah yang besar (Buller 2004). A. hydrophila penyebab penyakit Bacterial Hemorrhagic merupakan bakteri agen Septicemia (BAS) atau Motil Aeromonas Septicemia (MAS). Aeromonas hydrophila menyebabkan lesio pada kulit dan pembusukan sirip, haemorrhagic septicaemia, hingga kematian (Camus 1998). Pada ikan jenis catfish, gejala yang muncul berupa kemerahan dan luka pada sirip disertai dengan depigmentasi kulit yang tidak beraturan, dengan berbagai ukuran di seluruh permukaan tubuh. Kulit tubuh menjadi terkelupas, sehingga otot dapat terlihat. Luka yang terbentuk dapat muncul di superficial atau meluas ke dalam otot hingga tulang. Ulkus/luka ini dibatasi oleh garis putih di lokasi zona haemorragi. Pada catfish, infeksi Aeromonas juga dapat disertai dengan gejala eksternal berupa exophthalmia, distensi perut, (pembengkakan perut) dan insang yang berwarna pucat. Lesi kulit yang disebabkan oleh aeromonads juga dapat disertai infeksi jamur atau bakteri columnaris. Tingkat kematian Aeromonas umumnya tidak mencapai 50%, namun tingkat mortalitas yang tinggi dapat terjadi pada populasi ikan dengan daya tahan tubuh rendah, tingkat stres yang tinggi dan virulensi dari strain bakteri yang menginfeksi ikan. Kematian dapat mencapai 100% pada benih dan ikan berukuran kecil. 50 Aeromonas caviae Infeksi Aeromonas caviae ditemukan di 5 dari 16 lokasi pengambilan sampel dengan kisaran nilai pH sebesar 7,2-7,7; suhu 30-33° C, kecerahan 1430 cm dan kadar oksigen 5-8 mg/l. Dari hasil analisa kualitas air menunjukan suhu yang relatif tinggi di lokasi sampel yang diduga mempengaruhi prevalensi infeksi Aeromonas caviae di lokasi sampel (Tabel 15). Prevalensi infeksi Aeromonas caviae dan kualitas air di lokasi sampel Lokasi Sampel pH DO Suhu Kecerahan Prevalensi o (mg/l) ( C) (cm) Aeromonas caviae (%) Kisman 7.7 5.0 33 30 10.00 Lempayu 7.2 5.0 30 25 50.00 Patin Raya 7.2 8.0 32 15 10.00 Benua Mandiri 7.4 5.0 33 29 20.00 Mina Sejahtera 7.5 8.0 32 14 40.00 Tabel 15 Aeromonas hydrophila Infeksi Aeromonas hydrophila hanya ditemukan di 1 dari 16 lokasi pengambilan sampel dengan prevalensi sebesar 30%. Analisa kualitas air lokasi pengambilan sampel menunjukan nilai pH sebesar 7,7; DO sebesar 5 mg/l, suhu 33° C dan kecerahan 30 cm. Nilai pH, DO dan kecerahan berada pada kisaran optimum untuk budidaya ikan Patin maupun untuk pertumbuhan bakteri. Sedangkan suhu relatif tinggi dan melebihi nilai optimum budidaya ikan Patin. Bakteri Aeromonas hydrophila umumnya hidup di air tawar yang mengandung bahan organik tinggi. Bakteri ini merupakan bakteri mesofil yaitu bakteri yang dapat tumbuh dengan kisaran suhu 15°-55°C. Holt et al. (1994) menyebutkan bahwa Aeromonas hydrophila dapat tumbuh pada optimal temperatur 22-28°C. Palumbo dan Buchanan (1985) menyatakan bahwa Aeromonas hydrophila dapat tumbuh pada temperatur optimal 20-35°C. Jika dihubungkan dengan nilai yang baik untuk pH, kecerahan dan DO ini mengindikasikan bahwa bahan organik di lokasi tinggi, sehingga pertumbuhan Aeromonas hydrophila. Suhu yang tinggi juga menjadi faktor yang mendukung terjadinya pertumbuhan optimum Aeromonas hydrophila, sedangkan bagi ikan tingginya suhu perairan dapat menjadi stressor bagi ikan. Ketika ikan mengalami stress semantara Aeromonas hydrophila tumbuh optimum, hal ini menyebabkan kerentanan ikan terhadap infeksi Aeromonas hydrophila. 51 Prevalensi infeksi Citrobacter freundii Citrobacter freundii merupakan bakteri aerob, gram negatif dan berbentuk batang, dikelilingi oleh flagela yang digunakan untuk bergerak, namun beberapa diantaranya bersifat non-motil. Habitatnya meliputi lingkungan (tanah, air, pembuangan limbah), makanan, dan saluran usus hewan dan manusia. Bakteri ini merupakan patogen oportunistik. Gejala eskternal dari infeksi Citrobacter freundii antara lain berupa peningkatan lendir kulit dan insang, erosi dan luka pada kulit, pendarahan difus pada kulit dan sirip, exophthalmus bilateral dan pendarahan di mata. tercatat di semua spesimen. Pendarahan diffuse juga terjadi di bagian ventral abdomen. Lubang anal berdarah. Insang pucat karena anemia, perdarahan petechial, dan adalah pembengkakan dan dengan nekrosis ujung filamen insang. Citrobacter freundii dapat menyebabkan lesio pada kulit, sirip, insang dan organ internal serta haemorrhagic septicaemia (Svetlana et al. 2003). Svetlana et al. (2003) menyebutkan bahwa infeksi Citrobacter freundii pada benih ikan Rainbow-troat ditandai dengan gastroenteritis dan kematian semakin tinggi, tanpa menunjukkan gejala klinik. Sedangkan infeksi pada ikan NIla menunjukkan gejala haemorrhagi septikemia akut. Dari hasil pemeriksaan patologi ditemukan adanya inflamasi di saluran usus ikan Rainbow-troat, sedangkan pada organ internal ikan Nila terlihat adanya inflamasi hingga nekrosis jaringan. Infeksi Citrobacter freundii ditemukan di 4 dari 16 lokasi pengambilan sampel. Hasil analisa kualitas air menunjukan kisaran pH sebesar 7-7,7; DO berkisar antara 2-5 mg/l, kisaran suhu 30-33oC dan kecerahan 10-30 cm di keempat lokasi (Tabel 16). Prevalensi infeksi Citrobacter freundii dan kualitas air di lokasi sampel Lokasi pH DO Suhu Kecerahan Prevalensi o Sampel Citrobacter freundii (mg/l) ( C) (cm) (%) Citra Betasa 7.0 2.0 31 20 10.00 Kisman 7.7 5.0 33 30 10.00 Bina Bersama 7.2 2.0 31 17 10.00 Bina Usaha 7.1 2.0 30 10 20.00 Tabel 16 52 Prevalensi infeksi Flavobacterium columnare Flavobacterium columnare merupakan bakteri gram negatif, aerob, berbentuk batang dengan ukuran panjang 12 µm dengan lebar 0,5 µm, motil. Bakteri ini tersebar luas di lingkungan perairan dan menyukai perairan yang bersuhu relatif tinggi (Kordi 2004). Flavobacterium columnare merupakan salah satu penyakit bakteri penting bagi spesies ikan air tawar. Penyakit ini sering berakhir pada kematian, yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dalam industri budidaya ikan (Zhu et al. 2012). Flavobacterium columnare merupakan bakteri penyebab penyakit Columnaris/Cotton wall disease (Kordi 2004). Infeksi bakteri ini ditandai pigmen coklat kekuningan hingga terbentuknya luka di kepala, permukaan tubuh ikan, insang, sirip dan ekor (Durborow 1998). Bakteri menempel pada insang permukaan, tumbuh menyebar hingga menutupi filament insang hingga mengakibatkan kematian sel (Zhu et al. 2012). Jika bakteri ini menyerang insang pada sejumlah ikan di populasi dapat menyebabkan kematian massal (Kordi 2004). Infeksi bakteri ini sering berkaitan stress lingkungan, terutama temperatur lingkungan meningkat terlalu tinggi. Kondisi stress yang dapat memicu infeksi bakteri ini adalah rendahnya kadar oksigen terlarut, tingginya suhu, kadar amoniak dan nitrit, penanganan ikan secara kasar, luka mekanis hingga kepadatan populasi. Infeksi bakteri ini dapat menyebar cepat dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Flavobacterium sp juga dapat memicu infeksi sekunder pada ikan (Zhu et al. 2012). Infeksi Flavobacterium columnare ditemukan di 2 dari 16 lokasi pengambilan sampel, dengan hasil analisa kualitas air menunjukkan nilai pH sebesar 6,9 dan 7,2; DO sebesar 2 dan 8 mg/l, suhu 32 dan 33°C dan kecerahan 11 dan 35 cm (Tabel 17). Faktor suhu yang tinggi terlihat sangat mempengaruhi Infeksi Flavobacterium columnare pada ikan Patin. Hal ini sesuai dengan Holt et al. (1975) yang menyatakan bahwa kejadian columnaris disease dipengaruhi oleh suhu yang tinggi. Decostere et al. (1999) menyatakan bahwa pada suhu yang tinggi, kemampuan Flavobacterium columnare untuk melekat dan menyerang epitel insang menjadi lebih besar. 53 Prevalensi infeksi Flavobacterium columnare dan kualitas air di lokasi sampel Lokasi Sampel pH DO Suhu Kecerahan Prevalensi o (mg/l) ( C) (cm) Flavobacterium columnare (%) Mina Mulya 7.3 8.0 33 11 50.00 Tabel 17 Mina Membangun 6.9 2.0 31 35 30.00 Prevalensi infeksi Corynebacterium sp Corynebacterium sp merupakan bakteri Gram-positif, berbentuk batang, non motil, berukuran panjang 2-6 µm dan diameter 0,5 µm. Bakteri ini bersifat aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, non spora dan tidak tahan asam. Corynebacterium sp dapat ditemukan di lingkungan, tanah dan perairan. Corynebacterium sp merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan Corynebacterial Disease. Pada ikan Rainbow Trout dan ikan Salmon merah, bakteri ini dapat menyebabkan lesi yang menimbulkan gangguan pada ginjal. Infeksi bakteri ini dapat bersifat kronis maupun akut yang dapat menyebabkan kematian (Bullock et al. 1974). Gejala klinis lainnya berupa benjolan di bagian samping tubuh ikan, dan pendarahan pada pangkal sirip dada (Kordi 2004). Infeksi campuran antara Corynebacterium sp dan Flavobacterium columnare dapat menyebabkan kematian pada ikan (Marks et al. 1980). Infeksi Corynebacterium sp ditemukan di 3 dari 16 lokasi pengambilan sampel. Hasil analisa kualitas air menunjukan kisaran pH sebesar 7-7,4; DO sebesar 2-8 mg/l, suhu 31-33oC dan kecerahan 12-20 cm di lokasi pengambilan sampel (Tabel 18). Dari hasil pengamatan tersebut, terlihat bahwa suhu dan nilai kecerahan yang berada diluar batas optimum pertumbuhan ikan patin sangat mempengaruhi infeksi Corynebacterium sp pada ikan Patin. Buruknya kualitas air menjadi stressor bagi ikan yang selanjutnya mempengaruhi daya tahan tubuh ikan terhadap infeksi Corynebacterium sp. 54 Prevalensi infeksi Corynebacterium sp dan kualitas air di lokasi sampel Lokasi pH DO Suhu Kecerahan Prevalensi o Sampel (mg/l) ( C) (cm) Corynebacterium sp (%) Citra Betasa 7.0 2.0 31 20 10.00 Usaha 7.3 8.0 33 12 20.00 Bersama Mina Musti 7.4 8.0 32 19 10.00 Tabel 18 Prevalensi Infeksi Pasteurella multocida Pasteurella multocida merupakan bakteri gram negatif, nonmotil, non spora, berbentuk coccobacillus. Bakteri ini umumnya merupakan bakteri patogen pada unggas, dan jarang dilaporkan terjadi pada ikan. Wabah Pasteurella multocida pernah dilaporkan terjadi pada ikan NIla Hibrida pada kolam budidaya di Israel. Infeksi Pasteurella multocida pada Nila Hibrida menyebabkan terjadinya nodul/granuloma berwarna putih dengan ukuran yang bervariasi dalam semua organ visceral ikan Infeksi Pasteurella multocida pada populasi ikan tersebut diduga berasal dari kotoran unggas yang digunakan sebagai pupuk di kolam budidaya (Nizan dan Hammerschlag 1993). Pada penelitian ini, infeksi Pasteurella multocida hanya ditemukan pada satu lokasi, dengan prevalensi 10%. Bakteri ini diisolasi dari insang ikan Patin. Hasil analisa kualitas air pada lokasi menunjukan nilai pH sebesar 7,3, DO sebesar 8 mg/l, suhu 33OC dan kecerahan 12 cm. Faktor stressor lingkungan (kualitas air) berupa suhu air yang tinggi dan kecerahan yang rendah diduga menjadi faktor utama infeksi bakteri ini pada ikan patin di lokasi ini. Prevalensi Infeksi Micrococcus sp Micrococcus sp merupakan bakteri Gram positif. Bakteri ini bersifat non motil, aerob, positif pada uji katalase dan negatif pada uji oksidase, tidak mampu mengoksidasi maupun memfermentasi glukosa. Micrococcus luteus merupakan salah satu spesies dari genus ini yang dapat ditemukan pada ikan air tawar. Micrococcus luteus merupakan mikrofolora normal pada saluran usus ikan air tawar, namun dapat menjadi bakteri patogen pada ikan (Austin dan Austin 2007). 55 Micrococcus luteus menyebabkan infeksi kronis-sporadis pada benih hingga ikan dewasa. Tingkat morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada ikan stadium larva/benih yang terinfeksi dibandingkan dengan ikan dewasa. Hal ini dikarenakan pada ikan stadia larva masih belum memiliki organ tubuh yang sempurna. Ikan yang dipelihara di dalam kolam tanah juga dilaporkan lebih tahan terhadap Micrococcus luteus dibandingkan dengan ikan yang diperihara pada kolam beton (Scoot 1993). Usia ikan dan virulensi dari strain bakteri yang berbeda dapat mempengaruhi keparahan dan derajat infeksi. Infeksi Micrococcus luteus menyebabkan infeksi peradangan pada jenis ikan rainbow trout (Aydin et al. 2005). Haemorrhages pada mata yang mengalami exopthalmia terlihat pada ikan yang terinfeksi (Austin dan Stobie 1992). Efek dari patogenitas Micrococcus luteus yang menyebabkan pendarahan pada organ tubuh bagian tertentu seperti pada hati, limfa, dan ginjal ikan (Austin dan Austin 2007). Micrococcus Micrococcus luteus disamping dapat menyebabkan penurunan jumlah leukosit ternyata juga menyebabkan penurunan jumlah sel darah yang lainnya seperti eritrosit, trombosit, hematokrit dan hemoglobin. Pada penelitian ini, infeksi Micrococcus sp hanya ditemukan pada satu lokasi dengan prevalensi 30%. Hasil analisa kualitas air pada lokasi menunjukan nilai pH sebesar 7,4; DO sebesar 5 mg/l, suhu 33OC dan kecerahan 16 cm. Faktor stressor lingkungan (kualitas air) berupa suhu air yang tinggi dan kecerahan yang rendah diduga menjadi faktor utama infeksi bakteri ini pada ikan patin di lokasi ini. Prevalensi Infeksi Bakteri Patogen pada Ukuran Ikan yang Berbeda Untuk mengetahui kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang dan berat tubuh ikan. Dari 160 sampel ikan diperoleh ukuran panjang minimum yaitu 6 cm dan panjang maksimum yaitu 36 cm dengan berat terendah 1,3 g dan berat tertinggi 550 g. Ukuran panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam 6 kelompok berdasarkan rata-rata panjang tubuh ikan dan umur ikan. Ukuran < 10 cm untuk umur 1 bulan, 10 - 15 cm untuk umur 2 bulan, 16 - 20 cm untuk umur 3 bulan, 21-30 cm untuk umur 4 bulan, 30- 35 cm untuk umur 5 bulan dan 36-40 cm untuk umur 6 bulan. 56 Dari 160 sampel yang diamati, 80 sampel terinfeksi bakteri patogen (50,00%). Prevalensi infeksi bakteri patogen dari setiap kelompok ukuran sampel relatif tinggi. Hasil pengamatan prevalensi infeksi bakteri patogen berdasarkan ukuran tubuh ikan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Prevalensi infeksi bakteri patogen berdasarkan ukuran tubuh ikan Ukuran Tubuh Jumlah Sampel Jumlah Sampel Prevalensi (%) yang diamati yang terinfeksi < 10 cm 20 11 55.00 10 - 15 cm 16 9 56.00 16 - 20 cm 18 9 50.00 21 - 30 cm 83 41 49.00 30 - 35 cm 19 8 42.00 36 - 40 cm 4 2 50.00 160 80 50.00 Tabel 20 Hasil uji korelasi antara prevalensi infeksi bakteri patogen dan ukuran tubuh ikan Uji Korelasi Ukuran tubuh ikan Prevalensi Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N -0.726 0.102 6 Hasil uji korelasi statistik menghasilkan koefisien korelasi sebesar -0,726 yang menunjukan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara ukuran tubuh ikan dengan prevalensi infeksi bakteri pathogen, dengan persamaan regresi y= -1,942x + 57,13 dan koefisien determinasi sebesar 0,527. Ini menunjukkan bahwa 52,70% prevalensi infeksi bakteri patogen yang dapat dijelaskan oleh faktor umur ikan. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan prevalensi infeksi bakteri patogen seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan (Tabel 20 dan Gambar 10). Beberapa penelitian mengenai infeksi bakteri pada ikan juga menyatakan hal yang sama bahwa prevalensi infeksi bakteri patogen akan berkurang seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Morbiditas dan mortalitas pada larva/benih lebih tinggi dibandingkan dengan ikan dewasa (Camus 1998, Nizan 1993). 57 60 y = -1,942x + 57,13 R² = 0,527 Prevalensi infeksi (%) 50 40 Infeksi Bakteri Patogen 30 20 Linear ( Infeksi Bakteri Patogen) 10 0 0 2 4 Umur ikan (bulan) 6 8 Gambar 10 Korelasi umur ikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen 58 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Prevalensi infeksi bakteri patogen yang ditemukan di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar sebesar 50%. Hasil uji korelasi antara parameter kualitas air dan prevalensi infeksi bakteri patogen menunjukan bahwa terdapat hubungan korelasi antara parameter kualitas air dengan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan Kabupaten Banjar. Suhu dan pH memiliki korelasi yang cukup kuat dengan prevalensi infeksi bakteri patogen. Peningkatan suhu dan pH dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Kecerahan air memiliki korelasi yang sangat kuat dan signifikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen Kabupaten Banjar. Semakin rendah tingkat kecerahan air dapat meningkatkan prevalensi infeksi bakteri patogen. Hasil uji korelasi antara umur ikan (ukuran tubuh ikan) dan prevalensi infeksi bakteri patogen di Kawasan Minapolitan menunjukan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara ukuran tubuh ikan dengan prevalensi infeksi bakteri patogen. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan prevalensi infeksi bakteri patogen seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan (umur ikan). Saran 1. Diperlukan monitoring hama penyakit ikan secara rutin dan berkesinambungan untuk memantau penyebaran hama penyakit ikan terutama hama penyakit ikan karantina di Kabupaten Banjar khususnya di Kawasan Minapolitan. 2. Diperlukan pengelolaan lingkungan kolam budidaya yang baik untuk meminimalisir dan mengendalikan infeksi bakteri patogen di di Kabupaten Banjar khususnya di Kawasan Minapolitan. 59 DAFTAR PUSTAKA Amri K. 2007. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Austin B, Austin DA. 2007. Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild Fish. Fourth Edition. Springer. USA. Aquaculture. 1999. Water Quality. http://www.en.wikipedia.org/wiki/water quality. Aquaaculture SA. 2003. Water quality in freshwater aquaculture ponds. Fact Sheet 60:01. www.pir.sa.gov.au/factsheets. Austin B, Stobie M. 1992. Recovery of Micrococcus luteus and Presumptive Planococcus from Moribund Fish During Outbreaks of Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss Walbaum) Fry Syndrome (RTFS) in England. Journal of Fish Disease 15:203-206. Aydin S, et al. 2005. Clinical, Pathological and Haematological Effects of Micrococcus luteus Infections in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss Walbaum). Journal of Animal and Veterinary Advances 4(2):167174. Axelrod HR, et al. 1995. Dr. Axelrod’s Mini Atlas of Freshwater Aquarium Fishes. Mini Edition. 1995 Edition. TFH. Publications Inc. United States. Balai Karantina Ikan Kelas II Syamsudin Noor Banjarmasin. 2011. Laporan Pemantauan HPIK Tahun 2011. Banjarmasin. Buller NB. 2004. Bacteria from Fish and Other Aquatic Animals A Practical Identification Manual. CABI Publishing. USA. Bullock GL, et al. 1974. Corynebacterial Kidney Disease of Salmonids: Growth and Serological Studies on the Causative Bacterium. Applied Microbiology 5 (28) : 811-814. Boyd CE. 1979. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Auburn University Agricultural Experiment Station. Boyd CE, F Lichtkopper. 1979. Water Quality Management in Pond Fish Culture. Research Development Series No 22 International Center Aquaculture. Agriculture Experiment. Auburn University. Alabama. for 60 Brook KN, et al. 1989. Hydrology and the Management of Water Shid. Ohio University. Press Colombus. USA Camus AC, et al. 1998. Aeromonas Bacterial Infections - Motile Aeromonas Septicemia. SRAC Publication 478. Cholik F, et al. 1986. Pengelolaam Kulaitas Air Kolam Ikan. Dirjen Perikanan dan International Development Research Center. Jakarta. Decostere A, et al. 1999. Influence of Water Quality and Temperature on Adhesion of High and Low Virulence Flavobacterium columnare Strains To Isolated Gill Arches. Journal of Fish Disease 22 : 1-11. Durborow, et al. 1998. Columnaris Disease A Bacterial Infection Caused by Flavobacterium columnare. SRAC Publication 479. Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition. Taylor and Francis. New York. Frerichs GN, et al. 1993. Isolation and Identification of Fish Bacterial Pathogens. Pisces Press Stirling. Scotland. Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid I. PT Macanan jaya cemerlang. Jakarta. Hazen TC, et al. C. 1978. Prevalence and distribution of Aeromonas hydrophila in the USA. Journal of. Applied and Environmental Microbiology. 36: 731 738. Holt JG, et al. 1994. Bergey’s Manual of Determinative bacteriology. 9th Ed. Williams & Wilkins. Baltimore. Hudson, et al. 2005. Survey of Specific Fish Pathogens in Free-Ranging Fish from Devils Lake, North Dakota.Bozeman Fish Health Center Technical Report 05-2. Integrated Taxonomic Information System. 2012. Pangasius hypophthalmus. Taxonomic Serial No: 639954. http://www.itis.gov/info.html. 8 Maret 2011. Iriandenta. 2000. Inventarisasi Kondisi Lingkungan Fisik, Kimia dan Biologi Perairan pada Tapak Proyek Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Batu Licin, Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. 61 Jagger TD. 2000. Plesiomonas shigelloides - a veterinary perspective. Infect Dis Rev 2(4):199-210. Jahja F. 2009. Tingkat Serangan Parasit pada Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia Zoea-megalopa yang Diberi Glukosa Terlarut. [Skripsi]. Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin Makassar. Khairuman, Sudenda D. 2011. Budidaya Patin Secara intensif. Penebar Swadaya. Jakarta Kordi MGH. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta. Jakarta. Kubilay A, Ulukoy G. 2002. The effects of acute stress on rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J Zool 26: 249 – 254. Langdon JS.1988. History and Causes of Fish Kill. Fish Diseases. Refresher Course for Veterinarians. Proceeding 106. Post Graduate Committee in Veterinary Science. University of Sydney. Lightner DV. 1996. A Hand Book of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures for Diseases of Penaeid Shrimp. World Aquaculture Society. USA. Madigan MT, et al. 2009. Brock Biology of Microorganisms. 12th ed. Pearson Education. Inc. USA. Mangalik A. 2001. Water Quality Management. Bahan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Program Studi PSDA. Universitas Lambung Mangkurat. Marks JE, et al. 1980. Mixed Infection in Columnaris Disease of Fish. J Am Vet Med Assoc 177(9):811-814. Middelbeek EJ, Drijver JS - de Haas. 1992. Environmental Factors Influencing Growth. In: Cartledge TG, editor. In Vitro Cultivation of Microorganisms. Oxford: Butterworth - Heinemann. Nizan S, Hammerschlag E. 1993. First Report of Pasteurellosis in Freshwater Hybrid Tilapia (Oreochromis aureus x O. niloticus) in Israel. Bull. Eur. Ass. Fish Pathol 13:179–180. Palumbo dan Buchanan. 1985. Influence of Temperature, Na0l and pH on The Growth of Aeromonas hydrophilla. Journal of Food Science 50:1420. 62 Pemerintah Kabupaten Banjar. 2011. RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 20112015. Peraturan Daerah No.5 Tahun 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Karantina Ikan. 23 April 2002. Ponnamperuma PN. 1977. Spesific Soil Chemical Characteristics for Rice Production in Asia. IRRI Res.Paper Series. Rottmann RW, et al. 1992. The Role of Stress in Fish Disease. SRAC Publication 474. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Jakarta. Scott P. 1993. Therapy in Aquaculture. Aquaculture for Veterinarian. L Brown (Ed). Pergamon Press. New York. Sitanggang M. 2001. Mengatasi Penyakit dan Hama pada Ikan Hias. Agro Media Pustaka. Jakarta. Subyakto S. 2000. Pengaruh kadar 1- ascorbyl-2-phosphate-magnesium (APM) pakan terhadap kadar vitamin C hati, asam lemak n-6 dan n-3 dan rasio hydroksiprolin/prolin tubuh dan kinerja pertumbuhan serta respon stres juvenil ikan kerapu tikus (Cromileples altivelis). Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Supriyadi H. 2005. Penyakit infeksi dan non infeksi. Pelatihan Dasar Karantina Ikan. Bogor Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.03/MEN/2010. Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.39/MEN/2011. Susanto H dan Amri K. 2002. Budi Daya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Susanto H. 2009. Pembenihan dan Pembesaran Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Svetlana J, et al. 2003. Citrobacter freundii as a cause of disease in fish. Acta Veterinaria (Beograd) 53(5-6):399-410. 63 Syawal H dan Yusni I. 2011. Respon Fisiologis Ikan Jambal Siam (Pangasius hypopthalamus) pada Suhu Pemeliharaan yang Berbeda. Berkala Perikanan Terubuk 39 (1) : 51-57. Tucker CS. 1991. Water Quantity and Quality Requirements for Channel Catfish Hatcheries. SRAC Publication 461. Yuasa KN, et al. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan, Teknik Diagnosa Penyakit Ikan Budidaya Air Tawar di Indonesia. Balai Budidaya Air Tawar. Jambi. Zooneveld N, et al. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Zhu W, et al. 2012. Generation of Biotechnology-Derived Flavobacterium columnare Ghosts by PhiX174 Gene E-Mediated Inactivation and the Potential as Vaccine Candidates against Infection in Grass Carp. Journal of Biomedicine and Biotechnology. 64 LAMPIRAN 65 Lampiran 1 Data Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Patin di Kawasan Minapolitan Kab. Banjar No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Pokdakan Martapura Kota Sejahtera, Jl. Keramat Desa Tungkaran Citra Betasa, Desa Cindai Alus Minamaju Lestari, Desa Cindai Alus Sumber Mina, Desa Sungai Sipai Martapura Barat Mina Mulya, UPT Riam Kanan SP II Desa Sungai Batang MinaSejahtera, UPT Riam Kanan SP II Desa Sungai Batang Usaha Bersama, UPT Riam Kanan SP II Desa Sungai Batang Berkat Bersatu, Desa Sungai Batang Ilir RT. 01 Mas Bersinar, Tran UPT Riam Kanan III Desa Sungai Batang Mulya Sejahtera, Desa Sungai Batang Ilir RT. 01 Jumlah Anggota (orang) Kolam (Ha) Jumlah Kolam (buah) Luas Lahan (Ha) Komoditas 10 2.2 20 5.2 Patin 10 2.5 20 5.3 Patin 5 4.75 42 7.22 Patin 22 2.51 167 5.94 Patin 10 1.18 37 2.54 Patin 10 1.31 46 3 Patin 13 2.4 79 5.42 Patin 8 2.69 49 5.96 Patin 10 1.86 54 3.5 Patin 10 7.15 88 8.71 Patin 66 No. 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Nama Pokdakan Patin Raya, Tran UPT Riam Kanan II Desa Sungai Batang Mina Musti, Tran UPT Riam Kanan II Desa Sungai Batang Lempayu, Tran UPT Riam Kanan II Desa Sungai Batang Kencana Permai Jl. Pintu BGT. 5 Ds. Sungai Batang Ilir Banua Mandiri Ds. Sungai Batang Ilir Bina Bersama UPT Riam Kanan Irigasi II Desa Sungai Batang Kencana Sutera, Desa Sei Rangas Hambuku Mina Membangun, Desa Penggalaman Rt. 02 Amanah Desa Penggalaman Jumlah Anggota (orang) 10 Kolam (Ha) 5.75 Jumlah Kolam (buah) 54 Luas Lahan (Ha) 18.5 Komoditas 10 3.36 32 7.75 Patin 10 1.05 43 2.5 Patin 10 1.44 - 10 Patin 10 1.27 11 Patin 10 1.01 27 Patin 11 1.19 30 9.1 Patin 8 1.14 26 6.2 Patin 10 0,5 33 - Patin Patin 67 Lampiran 2 Perhitungan Jumlah pengambilan sampel kelompok pembudidaya ikan dengan rumus Taro Yamane N n= Nd2 + 1 19 n= 19 (0,1)2 + 1 19 n= 1.19 n= 16 Keterangan : n = Jumlah sampel yang diambil N = Jumlah populasi d = Presisi yang ditetapkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan) yaitu 10 persen. Jumlah sampel pembudidaya ikan sebanyak 16 Pokdakan 68 Lampiran 3 Penentuan sampel per desa ditentukan dengan metode proportional random sampling Jumlah populasi kelompok/desa Jumlah sampel/desa = x Jumlah sampel keseluruhan Jumlah populasi keseluruhan Lokasi Desa Tungkaran Desa Cindai Alus Desa Sei Batang Desa Sei Sipai Desa Sei Rangas Hambuku Desa Penggalaman Jumlah Populasi (N) 1 2 12 1 1 2 19 Perhitungan jumlah sampel (n) =1/19*16 = 0,84 =2/19*16= 1,68 =9/19*16= 10,11 =1/19*16= 0,84 =1/19*16= 0,84 =2/19*16= 1,68 Jumlah Sampel 1 2 10 1 1 2 16 69 Lampiran 4 Hasil Pengamatan Morfologi Isolat Bakteri Bakteri Patogen Warna Koloni Bentuk Koloni Elevasi Tepi Bentuk Gram Plesiomonas shigelloides Krem Circular Convex Entire Batang Negatif Aeromonas caviae Krem Circular Convex Entire Batang Negatif Kuning Circular Convex Entire Batang Negatif Citrobacter freundii Krem Circular Convex Entire Batang Negatif Corynebacterium sp Krem Circular Effuse Entire Batang Positif Micrococcus sp Krem Circular Convex Entire Bulat Positif Aeromonas hydrophila Krem Circular Convex Entire Batang Negatif Pasteurella multocida Kuning Circular Convex Entire Batang Negatif Flavobacterium columnare 70 Lampiran 5 Hasil Pengamatan Uji Biokimiawi Bakteri Katalase Oksidase Motilitas Uji TSIA TSIA O/F Slant Butt Gas H2S Lisin Lisin Deaminase Dekarboksilase Plesiomonas shigelloides + + + F A A - - - + Aeromonas caviae + + + F A A - - - - Flavobacterium columnare + + - O K K - + - - Citrobacter freundii + - + F A A + - - - Corynebacterium sp + - - F K K - - - + Micrococcus sp + + - O K K - + - - Aeromonas hydrophila + + + F A A + - - + Pasteurella multocida + + - F A A - - - - 71 Lampiran 5 (Lanjutan) Bakteri Indol Ornithin Sitrat Urea Glukosa Laktosa Sukrosa Plesiomonas shigelloides + + - - + + + Aeromonas caviae + - - - + + + Flavobacterium columnare - - - - - - - Citrobacter freundii - - + - + + + Corynebacterium sp - - + - + + + Micrococcus sp - - + - - - - Aeromonas hydrophila - + + - + + + Pasteurella multocida + - + - + + + 72 Lampiran 6 Analisis Regresi Linear Sederhana antara pH dan Prevalensi Bakteri Patogen Descriptive Statistics Mean pH Prevalensi Std. Deviation 7.2375 50.0000 N .21564 27.08013 16 16 Correlations ph Pearson Correlation pH Prevalensi pH Sig. (1-tailed) 1.000 .411 . .057 16 16 Prevalensi pH Prevalensi N Prevalensi .411 1.000 .057 . 16 16 Variables Entered/Removedb Model 1 Variables Entered Prevalensi a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: pH a Variables Removed Method . Enter 73 Model Summaryb Model R R Square a 1 .411 .169 a. Predictors: (Constant), Prevalensi b. Dependent Variable: pH Adjusted R Square Std. Error of the Estimate .110 .20348 ANOVAb Model 1 Regression Residual Total a. Predictors: (Constant), Prevalensi b. Dependent Variable: pH Sum of Squares df .118 .580 .698 Mean Square 1 14 15 F .118 .041 2.845 Sig. .114a Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model B Std. Error 1 (Constant) 7.074 .110 Prevalensi .003 .002 a. Dependent Variable: pH Standardized Coefficients Beta .411 t Sig. 64.580 .000 1.687 .114 95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound 6.839 7.309 .000 .007 74 Lampiran 7 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Kadar Oksigen Terlarut (DO) dan Prevalensi Bakteri Patogen Descriptive Statistics Mean DO Prevalensi Std. Deviation N 5.3750 50.0000 2.41868 27.08013 16 16 Correlations DO Pearson Correlation DO Prevalensi DO Prevalensi DO Prevalensi Sig. (1-tailed) N Model Prevalensi 1.000 -.244 . .181 16 16 Variables Entered/Removedb Variables Entered Variables Removed 1 Prevalensia a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: DO -.244 1.000 .181 . 16 16 Method . Enter 75 Model Model Summaryb R Square Adjusted R Square R 1 .244a a. Predictors: (Constant), Prevalensi b. Dependent Variable: DO Model Regression Residual Total a. Predictors: (Constant), Prevalensi b. Dependent Variable: DO Model .060 Unstandardized Coefficients B Std. Error 1 (Constant) 6.466 1.307 Prevalensi -.022 .023 a. Dependent Variable: DO -.007 ANOVAb df Sum of Squares 1 Std. Error of the Estimate 5.236 82.514 87.750 Mean Square 1 14 15 5.236 5.894 Coefficientsa Standardized Coefficients Beta t Sig. 4.948 .000 -.244 -.943 .362 2.42772 F Sig. .888 .362a 95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound 3.663 9.269 -.071 .028 76 Lampiran 8 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Suhu dan Prevalensi Bakteri Patogen Descriptive Statistics Mean Suhu Prevalensi Std. Deviation 31.5625 50.0000 N 1.31498 27.08013 16 16 Correlations Suhu Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Model 1 Prevalensia a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Suhu Suhu Prevalensi Suhu Prevalensi Suhu Prevalensi Prevalensi 1.000 .356 . .088 16 16 .356 1.000 .088 . 16 16 Variables Entered/Removedb Variables Entered Variables Removed Method . Enter 77 Model Model Summaryb R Square Adjusted R Square R 1 .356a a. Predictors: (Constant), Prevalensi b. Dependent Variable: Suhu Model Regression Residual Total a. Predictors: (Constant), Prevalensi b. Dependent Variable: Suhu Model .127 Sum of Squares 1 Unstandardized Coefficients B Std. Error 1 (Constant) 30.699 .685 Prevalensi .017 .012 a. Dependent Variable: Suhu Std. Error of the Estimate 3.282 22.656 25.938 .064 ANOVAb df Mean Square 1 14 15 3.282 1.618 Coefficientsa Standardized Coefficients Beta .356 t Sig. 44.830 .000 1.424 .176 1.27211 F Sig. 2.028 .176a 95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound 29.230 32.168 -.009 .043 78 Lampiran 9 Analisis Regresi Linear Sederhana antara Kecerahan dan Prevalensi Bakteri Patogen Descriptive Statistics Mean Std. Deviation N Kecerahan 24.8750 14.16039 16 Prevalensi 50.0000 27.08013 16 Correlations kecerahan Prevalensi Pearson Correlation Kecerahan 1.000 -.675 -.675 1.000 Sig. (1-tailed) Prevalensi Kecerahan . .002 .002 . N Prevalensi Kecerahan 16 16 Prevalensi 16 16 Variables Entered/Removedb Model 1 Variables Entered Prevalensia a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: kecerahan Variables Removed Method . Enter 79 Model Summaryb Model R 1 R Square Adjusted R Square a .675 .455 Std. Error of the Estimate .416 10.82051 a. Predictors: (Constant), Prevalensi b. Dependent Variable: kecerahan ANOVAb Model 1 Sum of Squares Regression 1 (Constant) 42.511 Prevalensi -.353 a. Dependent Variable: kecerahan 1 14 15 Std. Error F 1368.582 117.083 Coefficientsa Standardized Coefficients Unstandardized Coefficients B Mean Square 1368.582 1639.168 3007.750 Residual Total a. Predictors: (Constant), Prevalensi b. Dependent Variable: kecerahan Model df t Sig. 11.689 Sig. Beta 5.825 .103 -.675 7.298 -3.419 .000 .004 .004a 95% Confidence Interval for B Lower Upper Bound Bound 30.019 55.004 -.574 -.131 80