pemikiran politik keagamaan hasyim asyari tahun

advertisement
PEMIKIRAN POLITIK KEAGAMAAN HASYIM ASYARI
TAHUN 1926 – 1946 M
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Ono Rusyono
NIM. 107033201841
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433 H / 2012 M
ABSTRAK
Ono Rusyono
Pemikiran Politik Keagamaan Hasyim Asyari Tahun 1926-1946 M
Haysim Asyari merupakan ulama yang tidak saja ahli dalam bidang
keagamaan, tetapi ia juga ahli dalam bidang politik. Pemikiran politiknya, ia sejalan
dengan pemikiran politik sunni, diantaranya yaitu, keluwesan dalam mensikapi
kondisi politik, dan realisme, karena kaum sunni percaya bahwa kegigihan untuk
bertahan bukan hanya sekedar sesat. Itu semua bila nasib umat dipertaruhkan, maka
itu menjadi sia-sia. Begitu juga dengan pemilihan kepala negara dan banyak lagi
dengan hal-hal kenegaraan, ia meyakini, tidak ditentukan diikat dengan satu cara yang
menyempitkan, semua terserah umat di tiap-tiap tempat. Siapapun kepala negaranya,
selagi memberi kedamaian terhadap umat, maka wajib untuk dipertahankan.
Sikap politiknya, ia lebih kepada usaha pertahanan budaya, Seperti dalam
Qaidah Fiqih, Man Tasyabbaha biqoumin fahua minhum, siapa orangnya yang
menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk bagian dari golongannya. Dan
penyatuan umat, sikap politiknya yang sangat krusial bagi kemerdekaan Negara
Republik Indonesia yaitu Resolusi Jihad.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan pencipta alam, pemberi rahmat, ampunan, serta
hidayah kepada makhluk-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah limpahkan
kepada baginda alam, kekasih alam, nabi kita Muhammad Saw, karena atas
perjuangannya, manusia telah menjadi makhluk yang bermoral, berilmu, dan beradab.
Selain itu juga, penulis merasa sangat bersyukur atas perjuangan para Pi’ar Nabi
Muhammad, Sahabat, Tabiin, Waliyullah, serta Ulama. Yang senantiasa membimbing
umat manusia kearah yang benar. Penulis tidak bisa membayangkan jikalau dunia ini
tidak ada pejuang seperti yang barusan penulis sebutkan, tentunya, kehidupan
manusia tidak akan maju dan beradab seperti yang bersama kita lihat sekarang ini.
Penulis meyakini bahwa, apa yang telah dilakukan (menulis skripsi) ini, merupakan
output perjuangan panjang nabi Muhammad Saw, dan para Pi’ar-nya semasa
hidupnya.
Dalam skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak masukan dari sanasini. namun semoga hal itu tidak mengurangi manfaat pembuatan skirpsi ini,
khususnya buat penulis, umumnya kepada pembaca skripsi ini. Walaupun demikian,
penulis menyadari dengan sepenuh hati, bahwa skripsi ini tidak akan selesai jika
tanpa dukungan semua pihak. Karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini
penulis sampaikan banyak terimakasih dan penghargaan yang setingi-tingginya
kepada;
1. Ibunda Hj. Tiah dan Ayahanda H. Kalita (Allahuyarham) yang senantiasa
sabar mengasuh dan mendidik penulis dengan penuh kasih dan sayang
ii
yang tulus ikhlas, hingga penulis bisa menyelesaikan studi di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Semoga kasih dan sayangnya, tulus ikhlasnya,
selalu menyertai penulis dalam aktifitas kehidupan selanjutnya. Begitu
juga dengan kakanda Sri Hayati, Wasniawati, Aeliyah, Halimah, serta
segenap keluarga yang secara terus menerus memotivasi penulis untuk
jangan tinggal belajar.
2. Rektor, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA beserta pembantu rektor, yang
meliputi Pembantu Rektor Bidang Akademik, Pembantu Rektor Bidang
Administrasi
umum,
Pembantu
Rektor
Bidang
Kemahasiswaan,
Pembantu Rektor Bidang Pengembangan Kelembagaan.
3. Dekan, Prof. Dr Bahtiar Effendi beserta para pembantu Dekan, seluruh
Dosen, hususnya Dosen yang membidangi Ilmu Politik, dan juga para
karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
4. Ketua. Dr. Ali Munhanif beserta Sekertaris Jurusan Ilmu Politik yang
telah membantu penulis hingga menyelesaikan belajar di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak M. Zakki Mubarak, M.Si sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktu, pikiran, tenaga, untuk memberikan bimbingan,
pengarahan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Para Dosen yang telah mendidik, mengajar penulis, hingga dapat
menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
7. Kepala TU FISIP, besert seluruh Staf-staf TU, terimakasih atas bantuan
administrasinya.
8. Bapak dan Ibu Pimpinan serta karyawan perpustakaan Utama yang telah
memudahkan penulis mendapatkan bahan-bahan penulisan skripsi.
9. Keluarga Besar Ikatan Mutakharrijin Madrasah Aliyah Negeri (IMMAN)
Jakarta, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu nama-namanya.
10. Keluarga Besar Persatuan Mahasiswa Indramayu (Permai-Ayu) DKI
Jakarta.
11. Keluarga Besar Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD)
Jakarta.
12. Keluarga Besar Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP), Dr.
Phil.
Sahiron
Syamsuddin,
Muhammad,M.H,
Ayatullah,
S.Fil,
Jamaluddin Muhammad, Abdul Rouf, S.Ud, Idris Masudi- Akrom
Halimi, Ashif Shofiyullah, Ibnu Ubaydillah, S.E, yang selalu memotivasi
penulis hingga dapat menyelesaikan studi.
13. Teman-teman satu kelas beserta semua teman-teman kelas lainnya yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal dan jasa baik yang telah diberikan kepada penulis dapat
diterima Allah SWT dan dibalasNya dengan pahala yang berlimpah, Amin.
Dengan segala kelemahan dan kelebihan, kesalahan dan kebenaran yang ada
dalam penulisan ini, perlu untuk dikritik dan diberi saran yang membangun. Hal ini,
sangat penulis harapkan. Penulis meyakini bahwa Al khota min al’amal (keluputan
iv
adalah bagian dari amal), “kalau tidak mau ketabrak, ya, jangan Nyupir”.
Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, dan bagi para pembaca umumnya. Segala Puji bagi Tuhan semesta alam,
Semoga Ia selalu meridloi setiap langkah kita. Amin.
Jakarta, 03 April 2012
Ono Rusvono
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTAK………………………………………………………………………...
i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….
vi
PEDOMAN TRANSLITER…………………………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….
1
B. Tinjauan Pustaka……………………………………………………….
4
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah………………………
7
D. Metodelogi Penelitian…………………………………………………...
7
E. Sistematika Penulisan…………………………………………………...
9
BAB II BERDIRINYA ORGANISASI KEAGAMAAN
A. Kebangkitan Gerakan Islam…………………………………………… 11
B. Munculnya kelompok modernis : Al Irsyad, Persis, Muhammadiyah.
15
C. Berdirinya NU sebagai Organisasi Tradisional………………………
21
D. Modernis dan Tradisionalis……………………………………………
25
BAB III BIOGRAFI SOSIAL DAN KEAGAMAAN KH. HASYIM ASYARI
A. Aktifitas social kehidupan keagamaan dan politik pada massa penjajahan
Belanda dan Jepang……………………………………………………
vi
31
B. Perjalanan Pendidikan Keagamaan………………………………… 33
C. Ahli Hadits……………………………………………………………. 36
D. Kyai para kyai di Jawa………………………………………………. 38
E. Karya-karya keagamaan…………………………………………….. 40
F. NU sebagai kekuatan masyarakat…………………………………… 42
G. Hizbullah………………………………………………………………. 45
BAB IV PEMIKIRAN POLITIK DAN KEAGAMAAN KH. HASYIM ASYARI
A. Pemikiran Politik Hasyim Asyari..…………………………………... 49
B. Resolusi Jihad dan anti kolonialisme Hasyim Asyari………………. 57
C. Persatuan Umat……………………………………………………….. 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 69
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki periode awal abad dua puluhan, gerakan anti kolonial di HindiaBelanda, golongan Islam kembali menjadi gerakan-gerakan nasional. Dimana pada
dekade itu, timbul kesadaran berbangsa dan bernegara.
mengubah perjuangan
Kesadaran
tersebut kemudian,
dari strategi militer ke strategi damai dan terorganisir3.
Tumbuhnya kesadaran tersebut, menyadarkan umat Islam akan pentingnya
mendirikan
organisasi-organisasi politik, diantaranya ditandai dengan berdirinya Serikat
Dagang Islam (SDI) tahun 1909 oleh Raden Mas Tirtoadisuryo dan Ki Haji
Samanhudi, yang tidak lama kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI) di Solo
tahun 1912, Al-Irsyad di Jakarta tahun 1913 oleh Ahmad Sorkati, Muhammadiyah di
Yogyakarta tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan, Persis di Bandung tahun 1923 oleh H.
Zam zam dan Haji Muhammad Yusnus, NU di Surabaya tahun 1926 oleh KH.
Hasyim Asyari. begitu juga dari organisasi yang bukan bercorak Islam Seperti Budi
Utomo tahun 1908 oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Sutomo4.
Pada masa itu, ada dua corak gerakan politik kegamaan yang berkembang, yaitu
Islam modernis dan Islam tradisionalis. Islam Modernis diartikan sebagai gerakan
3
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 4
4
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,. (Jakarta: Rajawali, 1976), h. 230
1
2
yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional dengan disesuaikan pada
aliran-aliran modern dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan5.
Sedangkan Islam Tradisionalis diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta
bertindak yang berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara
turun temurun. Secara etimologis, tradisionalis berarti kecenderungan untuk
melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa
lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan. Tradisionalisme Islam
di Indonesia diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur
tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran keagamaan dan
praktik Islam6.
Di Indonesia, kaum tradisionalis Islam ialah mereka yang konsisten dalam
berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama-ulama terdahulu
dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan
ajaran fiqh scholastik madzhab empat. Islam tradisionalis meyakini bahwa, Syari’ah
sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad
silam, sudah terkristal dalam beberapa mazhab7. Lebih ringkas pengertiannya adalah,
Modernis disebut kalangan muda, sedangkan tradisionalis disebut kalangan tua. Dari
segi teologis atau ketuhanan, tidak ada perbedaan yang mendasar antara kalangan
Islam modernis dan Islam tradisionalis8.
5
Endang Saifuddin Ansharo. Wawasan Islam,. (Jakarta: Rajawali, 1976), h. 230-231
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi (Jakarta: Kompas. 2010), h. 84
7
http://ush.sunan-ampel.ac.id, 7 Juni 2011
8
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, h. 84
6
3
Kedua corak Islam tersebut, mempunyai sudut pandang politik yang berbeda.
Dalam penelitian ini, akan mencoba untuk meneliti salah satu corak tersebut yaitu,
corak politik Islam tradisionalis yang diwakili oleh KH. Hasyim Asyari. Dimana, ia
dalam banyak peneliti dianggap sebagai tokoh dan panutan dalam gerakan Politik
Islam tradisonal. Karena memang, dalam sejarah hidupnya selalu mengalami
kesuksesan seperti, terwujudnya Persatuan Umat, Sebagai Kyainya para kyai, NU
menjadi besar, diangkat menjadi Ketua dewan syuro MIAI sampai Masyumi, dan
masih banyak lagi kesuksesan perjuangan politiknya9.
Dengan demikian, menarik diteliti pemikiran politik keagamaannya semasa
hidupnya, awal abad 20-an.
Dalam mengkajinya, peneliti melakukan penelitian dengan menggunkan disiplin
Ilmu Politik yang tetap mempertimbangkan ketokohannya. Karena penelitiannya
melalui disiplin Imu Politik, maka, yang menjadi fokus penelitiannya adalah
pemikiran politiknya10. Dengan membatasi penelitian tersebut maka, diharapkan
dapat diketahui pemikiran politik keagamaan Hasyim Asyari.
Politik Islam tradisional yang diwakili oleh sosok Hasyim Asyari telah
memunculkan corak yang berbeda. Selain itu, corak tersebut memiliki karakter yang
tinggi terhadap budaya bangsa, dan patut untuk diberikan aspiratif, karena figur yang
komplek yakni sebagai ulama, kyai, dan tokoh politik nasional., berbeda dengan
9
Samsul Maarif, Mutiara-Mtiara dakwah KH. Hasyim Asyari ( Bogor: Kanza khasanah.
2011), hal. xiii
10
Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta. LP3S, 1994), h. 149
4
ulama, kyai dan tokoh politik pada saat itu11. Hasyim Asyari pada saat itu, termasuk
tokoh yang memiliki pengaruh politik yang sangat besar. Keberhasilannya
mendirikan organisasi tradisional yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dengan dibantu oleh
murid dan koleganya telah membuktikan bahwa, Hasyim Asyari salah satu ulama
tradisional yang paling berpengaruh pada saat itu., dan organisasi tersebut masuk
dalam organisasi terbesar pertama di Indonesia bahkan di dunia12.
B. Tinjauan Pustaka
KH. Hasyim Asyari adalah salah satu tokoh politik keagamaan yang penting di
Indonesia. Ia adalah salah satu ulama yang mendapatkan gelar pahlawan nasional. Ia
adalah pendiri organisasi masa Islam Nahdlatul Ulama yang memiliki jumlah masa
terbesar di Indonesia. Karena besarnya ketokohannya, maka sudah banyak yang
mengkaji dan menelitinya, kajian tersebut ada yang berupa disertasi, tesis, sekripsi,
atau berupa buku, artikel. Namun untuk kajian secara khusus yang mengkaji tentang
pemikiran politik keagamaannya sepengetahuan peneliti belum ditemukan. Berikut
beberapa kajian atau penelitian yang sudah peneliti temukan:
1. Muhammad As'ad Shihab, menulis kitab Al Allamah Muhammad hasyim
Asyari Wadlial lstiqlal al Indonesia, diterbitkan di Beirut, Dar al- Shadiq.
Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh KH. Musthafa
Bisri dengan judul Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari: Perintis
Kemerdekaan Indonesia, diterbitkan di Yogyakarta oleh Titian Illahi Press
11
12
Dzofier. Tradisi Pesantren, h. 150
Dzofier, Tradisi Pesantren, h. 149
5
tahun 1994. Isi karya ini adalah membahas mengenai cita-cita perjuangan
pada masa penjajah13.
2. Lathiful Khuluq yang menulis tesis dan dipertahankan di Institute of Islamic
Studies Mc-Gill University berjudul, KH. Hasyim Asyari Religious Thought
and Political Activities, yang diterbitkan oleh LKiS, Fajar Kebangunan
Ulama. KH. Hasyim Asyari14.
3. Muhammad Rifai, menulis tentang Biografi singkat KH. Hasyim Asyari 1871
- 1974. Arruz Media. Yogyakarta. 2010. Hingga cetakan ke dua15.
4. Samsul Maarif dalam disertasinya, kemudian dibukukan, dengan judul
Mutiara-Mutiara dakwah KH. Hasyim. Asyari, diterbitkan oleh Kanza
Hasanah, Bogor. 2011, ia hanya mengkaji dari segi dakwah KH. Hasyim
Asyari semasa hidupnya16.
5. H. Suwendi, dalam tesisnya yang dipertahankan di UIN Jakarta juga menulis
tentang KH. Hasyim Asyari dengan judul, Konsep pendidikan KH. Hasyim
Asyari, kemudian dibukukan dengan tema yang sama, diterbitkan oleh
LeKDiS, Jakarta 2005, ia mengkaji hanya dari segi pendidikan17.
6. Dr.H. Syamsun Niam, M.Ag, menulis buku tentang Wasiat Tarekat Hadratus
13
KH. Musthafa Bisri, Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari: Perintis
Kemerdekaan Indonesia, (Titian Illahi Press. Yogyakarta, 1994).
14
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama ( Yogyakarta: LkiS, 2000)
15
Muhammad Rifai, Biografi singkat KH. Hasyim Asyari 1871-1947. ("Arruz Media.
Yogyakarta. 2010). Cet ke II
16
Samsul Maarif, Mutiara-Mutiara dakwah KH. Hasyim Asyari, (Kanza Hasanah. Bogor,
2011
17
H. Suwendi, Konsep pendidikan KH. Hasyim Asyari, (LeKDiS. Jakarta, 2005)
6
Syaikh Hasyim Asyari, Ia mengkaji tentang Kritikan KH. Hasyim Asyari atas
ajaran dan praktek ketarekatan, juga wasiat-wasiat tarekat Syaikh Hasyim
Asyari. Dan kajian ini merupakan tafsiran dan analisis dari kitab yang tulis
oleh KH. Hasyim Asyari, Yaitu Kitab Ad Darur Al Muntasyirah Fi Masail At
Tisa Asyarah dan Tamyiz Al Haq Min Al Bathil yang ditulis pada tahun 1940.
Di dalam kedua tulisan tersebut KH. Hasyim Asyari telah berhasil
memaparkan sisi-sisi yang dianggap menyimpang dari tradisi-tradisi
kemurnian Islam, padahal realitasnya, tarekat yang merupakan sebuah
institusi dalam praktek keberagaman kebanyakan umat Muslim Indonesia
adalah hal yang sangat ditradisikan oleh Mayarakat Muslim Indonesia waktu
itu18.
7. Zuhairi Misrawi, menulis buku tentang Hadratussyaikh Hasyim Asyari;
Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. Diterbitkan oleh Kompas, Jakarta
201019.
Dari beberapa tulisan yang disebutkan di atas, baik berupa buku, sekripsi, tesis dan
disertasi, belum ada yang membahas tentang pemikiran politik keagamaan
Hasyim Asyari. Untuk itu, peneliti tertarik mengkaji pemikiran politik keagamaan
18
Dr. H. Syamsun Niam, Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asyari (Arruz Media.
Yogyakarta,2011)
19
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari; Moderasi, Keumatan, dan
Kebangsaan. (Kompas. Jakarta, 2012)
7
Hasyim Asyari dalam percaturan Politik di Indonesia. Kajian yang akan dibahas
adalah pemikiran politik keagamaannya.
Faktor lain kenapa penelitan ini dibuat, sebagai bukti bahwa Hasyim Asyari
bukan hanya tokoh agama yanga hanya bisa mengaji dan mengajarkan keagamaan,
tetapi tentang perpolitikan juga ia ahli. Sebagai mana disebutkan dalam disertasi
Samsul Maarif, bahwa Hasyim Asyari hanyalah tokoh agama yang hanya mengenal
tentang dakwah keagamaan. Bukti dari itu adalah, Hasyim Asyari mendirikan
Organisasi Masa yaitu Nahdlatul Ulama. Atas dasar tersebut peneliti berkeyakinan
bahwa Hasyim Asyari bukan hanya sebagai tokoh Kyai, Ulama, tetapi juga ia sebagai
tokoh politik yang mesti kita tiru aktivitas dan pemikiran politiknya.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Dalam pembatasan masalah dan perumusan masalah ini, penulis akan
membatasi yang disesuaikan dengan tema, Pemikiran Politik keagamaan Hasyim
Asyari dalam kontelasi politik di Hindia Belanda awal abad 20-an. Kajian ini dibatasi
dengan pembahasan yang bersifat kohesif dan terfokus, sehingga, tidak keluar dari
masalah apa yang telah ditulis di bawah ini. Berikut masalah penelitian ini dibuat:
1. Bagaimana Pemikiran Politik Keagamaan Hasyim Asyari?
2. Bagaimana pemikiran dan sikap Hasyim Asyari tentang perlawanan terhadap
kolonialisme?
8
D. Metodelogi Penelitian
Metodelogi penelitian yang digunakan Peneliti adalah metodelogi Kualitatif,
yaitu salah satu penelitian prosedural yang menghasilkan data deskriptif. Dalam
penelitian ini, pertama yang dilakukan peneliti adalah dengan cara mengumpulkan
data dan informasi, baik berupa buku-buku, tesis, disertasi, sekripsi, surat kabar,
maupun artikel-artikel, yang menyangkut tentang Pemikiran Politik Hasyim Asyari,
kemudian diidentifikasi secara sistematis dan analisis, dengan bantuan berbagai
material yang ada20.
Sedangkan data-data yang diperlukan dan dicari itu dari sumber-sumber
kepustakaan yang bersifat primer dalam arti, data yang langsung diperoleh dari
sumber data yang pertama, yaitu Muqadimah. Qanun Al Asasi Lijami Nahdlatul
Ulama, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Ijtihad Politik Ulama, Teks Pidato
Politik
Hasyim Asyari, dan yang Sekunder yaitu, data yang lebih dahulu
dikumpulkan dan dilaporkan dari sumber-sumber lain yang disebut sumber
pendukung.
1. Teknik Pembahasan
Dalam teknik penelitin ini, penulis menggunakan beberapa teknik,
diantaranya
yaitu: pertama, dengan teknik Deskriptif, yaitu suatu pembahasan yang bermaksud
untuk membuat gambaran mengenai data-data yang ada atau menjawab
20
http://ian43.wordpress.com/2010/05/25/perbedaan-dan-pengertian-penelitian-kualitatifdan-kuantitatif/. Diakses, 03 April 2012
9
pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu sedang berjalan dari pokok
permasalahan atau menuturkan dan menafsirkan data yang berkaitan dengan fakta,
keadaan, variable, dan fenomena yang terjadi pada saat itu21. Kedua, teknik analisis,
yaitu suatu bahasan dengan cara memberikan penafsiran-penafsiran terhadap datadata yang terkumpul dan tersusun. Jadi teknik analisis adalah suatu pembahasan yang
bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah tersusun dan
terkumpul dengan cara memberikan tafsiran terhadap data-data tersebut22.
E. Sistematika Penulisan dan Teknik Penulisan
1. Sistematika Penulisan
Untuk menghindari tumpah tindih pembahasan dan penulisan, demi
konsentrasinya pemikiran serta pemecahan pokok masalah agar tuntas. Penelitian ini
disusun dalam suatu sistematika yang terdiri dari bab-bab yang saling berkaitan dan
saling menunjang antara satu dengan yang lainnya.
Bab I, merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah,
studi kepustakaan, perumusan masalah dan pembatasan masalah, metodelogi
pembahasan, dan sistematika penulisan.
Bab II, Kebangkitan Gerakan Islam, Munculnya kelompok modernis : Al
Irsyad, Persis, Muhammadiyah, Berdirinya NU sebagai Organisasi Tradisional,
Modernis dan Tradisionalis.
21
22
Rameli Agam, Menulis Karya Ilmiah (Yogyakarta: Familia, 2009), h. 90
Pedoman Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. CeQDA, U1N Syahid Jakarta, 2006.
10
Bab III, berisi Biografi Sosial dan Keagamaan; Aktifitas sosial kehidupan
politik dan posisi ada massa penjajahan Belanda dan Jepang, Perjalanan Pendidikan
Keagamaan, Ahli Hadits, Kyai para kyai di Jawa, Karya-karya keagamaan, NU
sebagai kekuatan masyarakat, Hizbullah.
Bab IV, analisi Pemikiran Politik Hasyim Asyari, Resolusi Jihad dan anti
kolonialisme Hasyim Asyari, Persatuan Umat.
Bab V, merupakan bab terakhir yang membahas tentang kesimpulan,
kemudian, dalam akhir penulisan ini diakhiri dengan daftar pustaka.
2. Teknis Penulisan
Adapun teknis penulisan skripsi ini disandarkan pada buku Pedoman Akademik
2011/2012, U1N Syarif Hidayatullah Jakarta23.
23
Pedoman Akademik Program Strata 1 2011/2012. Biro Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) yarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
BERDIRINYA ORGANISASI KEAGAMAAN
A. Kebangkitan Gerakan Islam
Pada dasarnya, gerakan Islam bertujuan kepada tegaknya agama Islam di muka
bumi, agar kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi umat Islam terwujud. Banyak
ideologi atau faham yang melandasi gerakan ini. Ada yang bersifat fillah dan
sabilillah. Fillah adalah gerakan Islam yang berangkat dengan dakwah yang didasari
oleh ilmu. Sedangkan sabilillah adalah gerakan dengan sifat kearah peperangan.
Semua gerakan ini bertujuan sama, akan tetapi gerakan ini harus melihat kapan waktu
yang tepat untuk menggunakan cara fillah dan fisabilillah. Dua metode tersebut
menjadi tolak ukur gerakan Islam di Indonesia22.
Islam di Indonesia, dalam pandangan Said Aqil Siraj (sekarang Ketua Umum
PBNU Periode 2010-2015), Islam bukan hanya dinul al aqidah wa al syari’ah
(Akidah dan Syariah), tetapi Islam juga agama yang memuat dinul ilmi wa al
tsaqafah (Agama Kebudayaan), dinul al adab wal hadarah (Agama Peradaban), dinul
al tacjadum wal madaniyah (Agama Kemajuan), hal ini yang kemudian Islam bisa
diterima dimana-mana seperti Islam di nusantara. Jika Islam hanya Aqidah dan
Syariah maka pasti pengikutnya sedikit, oleh karena disinergikan dengan produk
karya manusia, maka Islam di terima di masyarakat dunia, atau Indonesia hususnya.
22
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_lslam. diakses 17 Januari 2012
11
12
Hal inilah keberadaan Islam di nusantara bisa mengalahkan kerajaan Majapahit,
Sriwijaya, dan Padjadjaran, tanpa mengeluarkan darah sedikitpun23.
Paradigma yang dituliskan di atas sekiranya, bisa memberikan gambaran
mengenai Islam di Indonesia diantaranya, kenapa agama Islam tersebar dengan
mudah, dan juga bisa menjadi spirit perlawanan terhadap penjajah yang kemudian
menghasilkan pergerakan nasional?. Deliar Noer menyebutnya, Identitas Islam telah
menyatu dalam diri bangsa Indonesia, baik di daerah yang berbahasa melayu, jawa,
dan ini merata dari Aceh sampai ke Irian. Bahkan, orang-orang pribumi yang masuk
Kristen karena misi kolonial tidak lagi dianggap sebagai Bumiputra melainkan telah
“menjadi Belanda”, dan kebangsaan tampaknya identik dengan agama24. M. Dawam
Rahardjo juga menyebutnya, Islam di Indonesia masa awal abad 20an, muncul dalam
kesadaran ke-pribumian. Tanda-tanda pribumi yang paling nyata adalah Keislaman,
Kepribumian dan keislaman adalah manunggal25.
Munculnya kebangkitan Islam bisa dianggap sebagai bagian dari kebangkitan
nasional bangsa Indonesia. Tersadar bangsa ini, di saat kolonial Belanda
melaksanakan tanam paksa (cultuur stelsel) terhadap orang-orang pribumi untuk
menanggulangi kerugian setelah perang melawan pribumi, seperti Perang Jawa atau
23
KM. Said Aqil Siraj, dalam acara Dialog Terbuka Forum Kyai Muda. (Pondok Pesantren
Solawat Sidoarjo-Jawa Timur. 20 Oktober 2009)
24
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. (Grafiti. Jakarta 1987), h. 4-5
25
M. Dawam Rahardjo, Intelektual lntelegensia dan Perilaku Politik Bangsa. (Mizan,
Bandung. 1999), h. 218. Cet IV
13
dikenal dengan sebutan perang Diponegoro (182 5-1830)26, dan Perang Aceh (19751903)27.
Pergerakan Islam akhirnya mengalami perubahan, karena menyangkut tentang
kesadaran umat Islam sendiri terhadap kerasnya perilaku politik yang dilakukan
kolonial Belanda setelah perang. Akhirnya,
kaum pribumi terdorong untuk
melakukan perubahan perlawanan dari setrategi militer ke strategi perlawanan damai
dan terorganisir. Sehingga, terbentuklah berbagai organisasi yang bertujuan
meningkatkan kondisi ekonomi, pendidikan, dan sosial masyarakat keseluruhan28.
Pada saat itu, kesadaran Islam telah menjadi pemicu untuk kesatuan dan
persatuan. Dalam arti, Islam telah menjadi kata pemersatu bagi orang Indonesia pada
masa permulaan abad 20 an ketika rasa nasionalisme modern baru tumbuh.
Berdirinya Hulp en Spaarbank de inlandse Bestuur Abtenare 1895 misalkan, (seperti
Bank Perkreditan Rakyat) oleh Patih Purwokerto, Raden Aria Wiraatmaja.
Terbentuknya lembaga ini, betujuan untuk menolong dan memperbaiki kondisi sosial
26
Pangeran Diponegoro (1785 - 1855) adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono III.
Sewaktu kecil bernama R.M. Ontowiryo, hidup bersama neneknya yang bernama Ratu Ageng di
Tegalrejo. Ilmu agama Islam begitu mendalam dipelajari, sehingga membentuk karakter yang
tegas, keras, dan jihad. Perang Diponegoro sering dikenal sebagai Perang Jawa. Karena perang
meluas dari Yogyakarta ke daerah lain seperti Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan,
Madiun, dan Kertosono.
Untuk lebih jelasnya Baca:
http://www.g-exce.ss.com/376I/perlawanan-menentang-penjajah-perang-diponegoro-1825%E2%80%93-1830/. Diakses, 17Januari2012
27
Pada akhirnya, diantaranya karena diakibatkan oleh sistem tanam paksa tersebut, tumbuh
kesadaran sebagai birokrat Belanda “hutang budi” terhadap bumi pertiwi Hindia Belanda, ©leh
karena itu colonial Belanda menerapkan “Politik etis” yang antara lain menyediakan pendidikan
belanda kepada penduduk Pribumi. Meskipun demikian, akses pendidikan tersebut diperuntukan
hanya kepada pegawai tinggi dan bangsawan, sementara sebagian besar masyarakat tertinggal.
Untuk lebih jelasnya baca: http://titikpelangi.wordpress.com/2009/04/29/perang-aceh-1873-1903/.
Diakes, 17 Januari 2012.
28
Lathiful Khuluq,fajar Kebangunan Ulama, h. 4
14
dan ekonomi kaum pribumi, sebagai modal utamanya dari Kas Mesjid. Tindakan
seperti itu telah berhasil menggugah kesadaran pribumi untuk memperbaiki kondisi
sosial dan ekonomi. Tidak sekedar itu, langkah tersebut juga memberi inspiasi bagi
orang lain termasuk kolonial Belanda, yaitu dengan mendirikan Lumbung-Lumbung
Desa29.
Kebangkitan Islam mulai nyata setelah tampil orang yang memiliki kemampuan
vocal, Raden Mas Tirtoadisuryo seorang wartawan, yang dalam penulisannya
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang membawa semangat kemajuan. Selain
aktifitasnya seorang wartawan, ia juga menggerakkan para pedagang dan pengusaha
muslim sehingga terbentuklah Serikat Dagang Islam oleh Raden Mas Tirtiadisuryo
dan Ki Haji Samanhudi di Bogor dan di Jakarta 1909, yang tidak lama kemudian
berganti menjadi Sarikat Islam (Solo, 11 November 1912)30. Kehadirannya kemudian
mengalahkan organisasi sebelumnya yang bersifat nasional seperti Budi Utomo
(1908) dan, Indische Partij (1913), di mana mereka telah gagal memperoleh
sambutan masyarakat pada umumnya. Akhirnya, Indische Partij dibubarkan oleh
pemerintah Hindia-Belanda, dan Budi Utomo tetap menjadi organisasi masa kecil
yang terdiri dari mereka yag berpendidikan barat31. Di lain sisi, awal abad 20 an para
pemuka agama, bukan saja menderikan organisasi-organisasi sosial keagamaan tetapi
29
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensiam Dan Perilaku Politik Bangsa. (Mizan,
Bandung, 1999), h. 217
30
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensiam Dan Perilaku Politik Bangsa, h. 217
31
Deliar Noer. Partai Islam di pentas Nasional 1945-1965, h. 5
15
menghimpun melalui kekuatan pesantren juga, yang pada saatnya nanti menjadi palu
godam ampuh buat mukul penjajah32.
B. Munculnya kelompok modernis : Al Irsyad, Persis, Muhammadiyah
Dalam sejarah perkembangan pemikiran di Indonesia menyebutkan bahwa,
Jama’ah Khoir didirikan oleh Sayyid Muhammad al-Fachir ibn al-Mansur, Sayyid
Idrus, Sayyid Sjehan bin Sjihab (Jakarta, 17 Juli 1905), ia merupakan pelopor
organisasi modernis yang secara manajemen dianggap sangat maju pada saat itu,
seperti adanya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, rapat-rapat berkala,
daftar anggota yang tercatat, dan yang mendirikan suatu sekolah yang berkurikulum,
kelas-kelas, menggunakan bangku-bangku, papan .tulis, dan sebagainya33.
Berdirinya Jamaah Khoir bertujuan untuk menangkal kristenisasi, serta politik
etis, dimana, pendidikan yang diberikan Belanda hanya untuk kaum pegawai dan
bangsawan saja. Pada awalnya, Jama’ah Khoir merupakan lembaga yang husus
menangani masalah pendidikan, yang memang pada saat itu banyak umat Islam yang
terpinggirkan. Pergerakan Jama’ah Khoir mengalami perkembangan, diantaranya
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti cabang di luar Jakarta. Namun,
dalam perjalanannya perkembangan Jamaah Khoir kemudian menjadi suram akibat
32
Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU. (Duta Aksara Mulia. Surabaya,
2010), h. 24. Cet ke II
33
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 72
16
banyaknya kekakuan dan perbedaan antara pengurus-pengurusnya, yang kemudian
terjadi perpecahan34.
Sejak saat itulah posisi Jama'ah Khoir menjadi mundur dan posisinya kemudian
diganti oleh Al Irsyad. Al Irsyad (1913), organisasi ini mendapat pengakuan legal
dari pemerintah pada tanggal 11 Agustus 1915, didirikan oleh beberapa tokoh
diantaranya Syaikh Umar Manggus,
Saleh Bin Ubeid Abdad,
Said bin Salim
Masjhabi, Salim Bin Umar Balfas, Abdullah Harharah dan Umar bin Saleh bin
Nahdi. Tokoh yang disegani dan dikenal luas Ilmunya di organisasi ini adalah Ahmad
Sorkati35, ia termasuk tokoh yang membantu modernisasi keagamaan di Indonesia,
para pendiri tersebut merupakan mantan pengurus Jamaah Khoir, dan mereka
kebanyakan adalah pedagang 36 . Perhimpunan baru ini memperoleh dukungan para
pedagang dari kalangan bukan sayid., dan figur yang paling penting ialah Ahmad
Sorkati— pengikut ajaran-ajaran Muhammad Abduh. Al Irsyad sendiri menjuruskan
perhatiannya pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, atau pada
permasalahan yang timbul pada masyarakat Arab, walaupun banyak orang Indonesia
Islam bukan Arab. Sejarah mencatat bahwa, Vitalitas Al Irsyad lebih besar dengan
34
Pepecahannya diantaranya dikarenakan, tidak adanya kesamaan perilaku politik dalam
aktivitas kehidupan organisasi, seperti dibedakannya sayyid (keturunan Hadramaut),dan non
sayyid (bukan keturunan Hadramaut). Suatu kejadian lain yang meningkatkan ketegangan antara
golongan sayyid dengan non sayyid terjadi pula di Jakarta ketika Kapten Arab, Syaikh Umar
Manggus, tidak mencium tangan seorang sayid yang bernama Umar bin Salim Al Atas, ketika
mereka bertemu satu kesempatan. (Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 72)
35
Ahmad Sorkati (1872-1943) dari Sudan, berasal dari keluarga yang taat beragama. Ia
telah banyak mengetahui ayat-ayat Quran ketika masih kecil, ia menghabiskan waktunya dengan
melakukan pengembara keilmuan hingga ke kota madinah dan Makkah (Deliar Noer. Gerakan
Modem Islam 1911-1942, h. 12
36
Abdul Sani, Perkembangan Modern Dalam Islam. (RajaGrafindopersada. Jakarta, 1998),
h. 195-199
17
Jamaah Khoir, ia mendirikan cabang-cabang di luar Jakarta. Ia juga, telah mendirikan
beberapa macam sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang kemudian
menghasilkan lulusan-lulusan yang cukup memberikan peranan yang penting dalam
perkembangan pemikiran pembaharuan37.
Tiga organisasi Islam Modernis seperti Al Irsyad, Muhammadiyah, dan Persis
sama-sama menggunakan pemikiran Muhammad Abduh sebagai ajaran ataupun
pendidikannya. Dalam brosur yang dilakukan Al Irsyad 1938, mereka mencontoh
saran-saran Abduh. Bahwa, dalam mendidik atau pendidikan hendaklah tekanan
diberikan pada tauhid, fiqih, dan sejarah. Lambat laun, Al Irsyad melakukan
kerjasama dengan organisasi Islam modern lain seperti, Muhammadiyah, dan
Persatuan Islam, yang kemudian Organisai Al Irsyad meluaskan pusat perhatian
mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan Islam
umumnya di Indonesia38.
Al Isyad juga turut serta dalam berbagai kongres Al Islam pada tahuni920, dan
bergabung dengan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) ketika federasi ini didirikan
37
Deliar Noer. Gerakan Modem Islam 1911-1942. (LP3ES. Jakarta, 1982), h. 75-77.
Cet ke II
38
Tauhid, akan memungkinkan seseorang untuk mengembangkan jiwa dan harta, tanpa
diiringi keraguan. Fiqih, akan memperbaiki budi pekerti dan batin manusia dari segala noda serta
memberikan pelajaran dalam halal dan haram yag bersandar pada teks al-quran dan al Hadits.
Sedangkan sejarah, dalam rangka menghidupkan kebenara Islam dan kegagahan umat Islam.
Demikianlah, sikap dan Tujuan al Irsyad pada saat itu: A, menjalankan dengan sungguh-sungguh
perintah-perintah dan hokum-hukum agama Islam sebgai yang ditetapkan dalam kitabullah, dan
sebagai yang dipercontohkan oleh rosulullah. B, memajukan hidup akan kehidupan secara Islam
dalam arti kata yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. C, membantu menghidupkan
semangat untuk bekerja bersama-sama di antara lain-lain golongan tas tiap-tiap fasal dan perkara
yang menjadi kepentingan bersama dan yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum dan
perintah-perintah agama Islam dan hukum-hukum kekuasaan negeri. Perumusan ini disahkan pada
kongres Al Irsyad di Pekalongan tanggal 26 Juli 1941. (Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 19111942, h. 99
18
pada tahun 1937 39 . Begitu juga Muhammadiyah, telah mengalami perkembangan
pesat. Bayangkan, di tahun 1925, Muhammadiyah telah berhasil mengoperasikan 55
sekolah dengan jumlah murid 4000. Dua klinik medis besar, sebuah panti asuhan, dan
sebuah rumah miskin40.
Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah rupanya telah menghayati citacita pembaharuan sekembali dari hajinya yang pertama. Ia mulai pula mengorganisir
kawan-kawannya di daerah kauman untuk melakukan pekerjaan suka rela,
memperbaiki daerahnya dengan membersihkan jalan-jalan, dan parit-parit. Perubahan
yang dilakukan Ahmad Dahlan tersebut, memberi kesadaran akan perlunya
membuang kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik, yang menurut pendapatnya tidak
sesuai dengan Islam, ia juga, kira-kira pada waktu bersamaan mulai mengintrodusir
cita-cita itu mulanya dengan merombak arah kiblat di masjid kraton. Namun, usaha
perubahan arah kiblat itu di tolak oleh penghulu Kiai Haji Mohammad Halil, yang
memerentahkan untuk membinasakan langgar tersebut41.
Perjuangan Ahmad Dahlan tidak berhenti disitu, di tahun 1909, Ahmad Dahlan
masuk Budi Utomo. dengan maksud, memberikan pelajaran agama kepada anggotaanggotanya. Oleh karena yang diajarkannya merupakan guru-guru di sekolah-sekolah
dan di kantor-kantor pemerintah, juga di dalam Budi Utomo tersebut ada beberapa
39
Delar Noer, Gerakan Islam Modern 1911-1942, h. 75
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa. (Mizan. Bandung, 2005), h. 241
41
Ahmad Dahlan pada saat itu, benar-benar sakit hati, dan sempat untuk meninggalkan kota
kelahliannya. Untungnya keluarganya menghalanginya, dan akhirnya, keluarga Ahmad Dahlan
membangun Langgar sendiri dengan jaminan bahwa ia (Ahmad Dahlan) dapat mengajarkan dan
mempraktekkan menurut keyakinannya sendiri di situ. (Deliar Noer, Gerakan Islam Modern 19111942. h. 85)
40
19
pendiri Muhammadiyah seperti Hadji Sudjak, Hadji Fachruddin, Hadji Tamim, Hadji
Hisjam, Hadji Sarkawi, dan Hadji Abdul Gani sehingga, memuluskan perjuangannya.
Pelajaran yang diberikan Ahmad Dahlan kelihatannya memenuhi harapan dan
keperluan anggota-anggota Budi Utomo. Sehingga, mereka memberi saran agar
Ahmad Dahlan membuka sekolah sendiri42.
Organisasi Muhammadiyah mulai meluas setelah Budi Utomo mengadakan
kongresnya 1917 di Yogyakarta tepatnya di kediaman Ahmad Dahlan, dan dari situ
kemudian bermunculan dari berbagai daerah yang meginginkan mendirikan cabangcabang Muhammadiyah. Anggaran Dasar Muhammadiyah yang membuasi diri pada
wilayah Yogyakarta dirubah pada tahuni 920 untuk daerah Jawa, dan pada tahun
berikutnya 1921 ke seluruh Indonesia43.
Usaha kaum reformis dan modernis untuk mengembangkan organisasi dan
sekolah-sekolah Islam diperkuat oleh munculnya perhimpunan-perhimpunan lain
yang memiliki tujuan serupa. Di antaranya Persis, pada tahun 1920, pelopor gerakan
ini diantaranya oleh Haji Zamzam (1894-1952), dan Haji Muhammad Junus. Haji
Zamzam pernah menempuh pendidikan di Darul Ulum. Sekembalinya dari makkah,
ia mengajar agama di Darul Muta’allimin Bandung, dan pada tahun 1910 lembaga ini
mempunyai hubungan erat dengan Ahmad Soorkati (Al Irsyad, Jakarta). Persis secara
organisatoris, pada mulanya tidak mencerminkan suatu tatanan konstitusional. Ia
lebih mengutamakan makna cita-cita dan pemikiran. Hal ini dilakukan oleh para
42
43
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 86
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 87
20
tokoh-tokohnya dengan melalui tabligh akbar, sekolah-sekolah, penyebaran bukubuku, majalah, pamflet-pamflet 44 . Adapun latar belakang bedirinya, di antaranya
adanya perpecahan di kalangan Al Irsyad dan Jamaah Khoir, masuknya komunisme
di Serikat Islam (SI) yang menyebabkan perpecahan di SI, begitu juga isi majalah
agama Al Munir dan majalah Al Manar yang intinya, banyak memuat pemikiranpemikiran baru tentang Islam, sehingga membuatnya lebih mencermati secara
mendalam akan kebutuhan umat Islam modern di Indonesia.
Perkembangan Persis dapat dengan cepat pada waktu itu saat didukung oleh
tokoh muda yang militan, diantaranya Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir. Ahmad
Hasan adalah seorang yang berilian dan produktif dalam penulisannya 45, ia pimpinan
kelompok pedagang di Bandung ia juga, menjadi pimpinan tokoh tekstil di Surabaya.
Bahkan di Surabaya, ia sempat memperhatikan perdebatan tentang masalah ibadah
antara kaum Tua dan kaum muda. Kaum tua diprakarsai oleh Abdul Wahab
Chasbullah (salah satu tokoh pendiri NU) sedangkan kaum muda diprakarsai oleh
Faqih Hasjim (penganut wahabi). Masalah tersebut menyebabkan Hasan memikirkan
lebih lanjut, dan lambat laut sampai kepada suatu kesimpulan pikirannya bahwa kaum
mudalah yang sebenarnya benar46.
Persis dalam membuat pengaruhnya lebih kepada polemik dan perdebatanperdebatan, lain halnya Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-
44
Abdul Sani, Perkembangan Modem Islam. Grafindo Persada. Jakarta, 1998, h. 22-23
Abdul Sani, Perkembangan Modern Islam, h. 23
46
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 98-99
45
21
pemikiran baru secara tenang dan damai 47 . Bahkan, Yudi Latif dalam bukunya
“Intelegensia Muslim dan Kuasa” menyebutnya, Organisasi ini (Persis) lebih kaku
dibandingkan dengan kelompok-kelompok pembaharu lainnya. Organisasi ini
mencela apapun yang bernada tahayul, bidah, hurafat, dan menentang ide-ide sekuler,
dengan alasan bahwa hal itu akan memecah belah umat muslim berdasarkan batasbatas politik dan teritorialnya. Selain mendirikan madrasah, kepedulian utama Persis
ialah menyebarkan ide-idenya dengan jalan rapat-rapat umum, khutbah-khutbah, dan
kelompok pengajian, pesantren-pesantren Persis, serta menerbitkan pamflet-pamflet,
majalah-majalah, dan buku-buku. Disamping itu, Persis juga menggalakkan berbagai
polemik dan perdebatan publik dengan dimediasi oleh terbitannya sendiri48.
C. Berdirinya NU sebagai Organisasi Islam Tradisional
Wujud NU sebagai organisasi keagamaan itu hanyalah sekedar penegasan formal
dari mekanisme informal para ulama sepaham, pemegang teguh salah satu madzhab
Syafii, Maliki, Hanafi, dan Hambali, yang sudah ada dan jauh sebelum lahirnya NU.
Asumsi tersebut dibenarkan oleh peristiwa sejarah berkumpulnya para ulama
terkemuka, pada 31 Januari 1926 di kampung Kertopaten-Surabaya. Pertemuan ulama
tersebut, selain bermaksud membahas dan menunjuk delegasi komite Hijaz, dalam
arti utusan yang hendak dikirim untuk menyampaikan pesan kepada Raja Abdul Aziz
Ibnu Saud (Penguasa baru negeri Hijaz, Saudi Arabia). Ketika itu, munculah
47
48
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 103
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa. Mizan, Bandung 2005, h. 242
22
pertanyaan mengenai organisasi apa dan siapa pula yang diberi mandat untuk delegasi
Hijaz. Namun, jawaban yang muncul ketika itu ialah kesepakatan membentuk
Jamiyah NU, wadah baru bagi persatuan dan perjuangan Ulama. Maka, terjadilah
perdebatan sengit mengenai nama yang cocok dengan Jamiyah49.
Dalam forum tersebut terdapat dua usulan. Pertama, dari KH. Abdul Hamid
(sedayu-Gresik), mengusulkan nama Nuhudlul Ulama” (Kebangkitan Ulama) disertai
penjelasan bahwa, para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui perwadahan
formal tersebut. Kedua, dari KH. Mas Alwi bin Abdul Azis. Menurutnya,
kebangkitan ulama bukan lagi mulai atau akan bangkit, melainkan kebangkitan
tersebut sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya komite
Hijaz itu sendiri. Atas dasar itu kemudian, KH. Mas Alwi mengajukan usulan agar
Jamiyah Ulama diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), yang
pengertiannya lebih condong kepada gerakan serentak para ulama dalam suatu
pengarahan atau, gerakan bersama-sama yang terorganisir. Pada akhirnya, usulan KH.
Mas Alwi diterima secara aklamasi. Perdebatanpun berakhir dengan lahirnya Jamiyah
Nahdlatul Ulama, yang biasa disingkat NU, pada 16 Rajab 1344 H./ 31 Januari 1926
M di Surabaya, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Nahdlatul Ulama50.
Ajaran NU, tidak lepas dari ajaran empat madzhab. NU meyakini konsep empat
madzhab itu bahwa, tidak ada kemungkinan lagi bagi umat Islam kecuali dengan cara
menganut dan mengikuti salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan
49
50
Choirul Anam. Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 3-4
Choirul Anam. Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 4-5
23
Hambali).
Dari
konsep praktek
itulah
kemudian
muncul
“tradisionalisme
madzhabiyah”. Tadisionalisme madzhabiyah ini dimaksudkan, keberagaman muslim
sunni yang di dasarkan atas pelajaran Islam sebagaimana dipahami, ditafsirkan, dan
diajarkan oleh ulama Islam dari abad ke abad, yang telah terkristalkan dalam wujud
madzhab-madzhab klasik. Dimana, tiap madzhab mempunyai tradisi sendiri yang
dikembangkan dan dilestarikan melalui mata rantai keulamaan dari generasi ke
generasi, dan direkam dalam kepustakaan masing-masing. Melalui tradisi inilah para
ulama dan tiap-tiap madzhab menyebarkan madzhab mereka kepada umat Islam yaitu
dengan menggunakan sistem pendidikan Islam tradisional yang didasarkan pada
sistem halaqah51.
Sistem tersebut, telah membentuk mata rantai keulaman setiap madzhab melalui
pranata ijazah, setiap murid yang mampu membaca sebuah buku di bawah bimbingan
dan pengamatan gurunya akan memperoleh pengakuan bahwa dia benar-benar
memahami buku tersebut, karena itulah maka, ia (santri) berhak dan mempunyai
otoritas untuk mengajarkan kepada orang lain52.
Di Indonesia misalkan, yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam sunni,
dan mayoritas mereka adalah penganut tradisionalisme madzhabiyah 53. Di Indonesia,
51
Sistem halakah ini seperti sistem pendidikan pesantren salafiyah. Atau halakah dalam
istilah artinya lingkaran. Dalam sistem ini seorang guru biasanya duduk bersandar di dinding, dan
para murid duduk setengah melingkar menghadap ke gurunya. (Djohan Effendi, Pembaruan tanpa
membongkar tradisi. (Kompas. Jakarta, 2010), h. 32
52
Djohan Effendi, Pembaruan tanpa membongkar tradisi. (Kompas. Jakarta,2010), h.32-33
53
Di Nusantara, tepatnya di Indonesia kebanyakan umat Islam sunni menganut Madzhab Al
Imam Al Syafii. Karena apa?, Imam Syafii menjelaskan bahwa, Islam harus berjalan di bawah
naungan konstitusi yang berlaku di tempat itu, yang legitimasinya merupakan puncak dari sebuah
24
penganut tradisional madzhabiyah lebih kultural diantara umat Islam dunia, dengan
sebutan Islam tradisional 54 . Bahkan dalam perspektif ini, Peneliti asal Belanda
“Martin Van Bruinessen menjelaskan,
“Salah satu tradisi agung (“great tradition”) di Indonesia adalah tradisi
pengajaran agama Islam seperti yang muncul dipesantren Jawa serta
semenanjung Malaya. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah
mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab
klasik yang ditulis berabad-abad lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Indonesia
sebagai “Kitab Kuning”. Jumlah teks klasik yang diterima di pesantren sebagai
ortodoks (al-kutub al-mu’tabarahi) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang
bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah;
hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya
baru, namun kandungannya tidak berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah
banyak dikritik baik oleh peneliti asing maupun oleh kaum muslim reformis dan
modernis”55.
Elemen-elemen kunci Islam tradisional Indonesia adalah lembaga pesantren
sendiri, yang terdiri dari, masjid atau langgar, asrama, santri, dan, kyai (ajengan, tuan
guru, dan lain sebagainya tergantung bahasa daerahnya sendiri). Dalam kaitan ini,
ulama, kyai memainkan peranan penting, tidak sekedar ahli agama, tetapi juga
pemimpin umat Islam. Oleh karena itu, ulama atau kyai merupakan elemen yang
sangat esensial dari suatu adanya pesantren, ia seringkali bahkan merupakan
pendirinya, dan juga hubungan antara kyai dan santrinya tidak hanya berlangsung
dalam proses ajar-belajar tetapi juga, dalam keseluruhan kehidupan pesantren.
Dimana, kyai memainkan sebagai tokoh sentral. Pertumbuhan suatu pesantren
keputusan (Ijtihad) yang berada di tangan umat. (Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D, ISLAM, Percikan
Sejarah, Filsafat, Hukum, dan Pendidikan. Nawesea Press. Yogyakarta, 2010), h. 7
54
Djohan Effendi, Pembaruan tanpa membongkar tradisi, h. .39-89
55
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, tradisi-tradisi Islam di Indonesia. (Mizan. Bandung,
1999), h. 17. Cet ke III
25
bahkan, semata-mata karena kemampuan pribadi kyainya. Dengan kaitan yang sangat
kuat dengan tradisi pesantren, gelar kyai biasanya dipakai untuk menunjuk para
ulama dari kelompok tradisional. Dari kondisi budaya seperti inilah kemudian
Jamiyah Muslim tradisional terbentuk, dan sampai terlembagakan56.
Berdirinya NU misalkan, merupakan bentuk gerakan serentak yang dilakukan
oleh kyai-kyai yang kebanyakan memiliki pesantren, dan NU merupakan organisasi
ulama tradisional yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kyai—pesantren
sehingga, organisasi Islam NU keberadaannya tidak lepas dari dukungan. Banyak
pesantren yang memainkan peranan penting sebagai lembaga sosial, agama, dan
pendidikan dalam masyarakat santri tradisional57.
D. Modernis dan Tradisionalis
“Wakil dari Islam reformis dan modernis di Indonesia adalah
Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Al Irsyad. Sedangkan wakil dari
ajaran Syafi'i adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), sementara, wakil
dari aliran yang lebih eklektik dalam hal ini tradisional adalah Nahdlatul Ulama
(NU) yang mengaku menganut keempat madzhab fiqih”58.
Pada awal abad dua puluhan, ada dua corak gerakan politik keagamaan yang
berkembang di Indonesia yaitu, modernis dan tradisionalis. Modernis adalah
organisasi masa Islam yang bergerak bertujuan menafsirkan kembali doktrin-doktrin
tradisional dengan disesuaikan pada aliran-aliran modem dalam filsafat, sejarah, dan
56
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang pandangan hidup Kyai. (LP3ES.
Jakarta, 1994), h. 55. Cet ke IV
57
Djohan Effendi, Pembaruan tanpa membongkar tradisi, h. 1
58
Kuntowidjoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. (Mizan. Bandung, 1991), h. 49
26
Ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, modernis menekankan kepada Ijtihadi
(interpretasi yang bebas), pengadopsian pemikiran modern, dan pemurnian akidah
dari masuknya unsur budaya yang menggiring kepada singkretisme agama. Di sisi
lain, gerakan modern sebagai proses aktivitas yang diyakininya akan membawa
kemajuan dengan melakukan perubahan dan perombakan secara asasi susunan dan
corak dalam suatu masyarakat dari statis ke dinamis, dari tradisional ke rasional, yaitu
dengan jalan mengubah cara berfikir masyarakat. Inspirasi dan sumber gerakn
modernis ini berasal dari para reformis timur tengah, seperti Jamaluddin al-Afghani
(1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935). Inti
modernisme Islam adalah keyakinan bahwa peradaban Islam sedang mengalami
kemerosotan yang serius. Dimana, banyak dunia Islam pada saat itu dalam keadaan
terjajah oleh bangsa Eropa kristen. Bagi muslim di manapun, kemerosotan itu dirasa
tidak selaras dengan keyakinan mereka bahwa Islam adalah kepercayaan yang benar,
yang didasarkan atas firman Allah yang paling lengkap dan final. Menurut muslim
modernis, kemunduran Islam disebabkan oleh kemandegan internal yang disebabkan
oleh sikap taklid pada pemikiran abad pertengahan, serta akibat tercemarnya praktek
Islam oleh amalan dan kepercayaan yang tidak bersumber langsung dari Al quran dan
Al hadits. Prinsip dari gerakan ini adalah kembali kepada Al quran dan Sunnah Nabi.
Tafsir-tafsir Al quran dan Hadits dari abad pertengahan tidak lagi dipatuhi tanpa
dipertanyakan59.
59
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama. (LKiS. Yogyakarta, 2009), h. 26. Cet ke IV
27
Gerakan Islam modernis biasanya terdapat di kota-kota yang menekankan
penyerapan kemajuan Barat, sains, dan tetap berusaha memurnikan ajaran yang ada
dalam teks Al Quran maupun Hadits 60 . Islam modernis juga muncul diakibatkan
kehawatiran para pemimpin dan sarjana progresif Indonesia terhadap proses
Islamisasi yang dilihatnya belum sempurna berhasil dalam memfilter Islam dari
unsur-unsur asing terutama, keyakinan dan praktek Hindu-Budha. Kekhawatiran para
sarjana tersebut muncul juga sebagai akibat dari kemampuan mereka dalam
membandingkan dan mengontraskan ilmu keislaman yang mereka peroleh dari luar
negeri seperti, Timur tengah atau Barat, dengan Islam yang dipraktekan oleh muslim
lokal. Ada keyakinan dan praktek muslim lokal yang dinilai tidak sepenuhnya apa
yang mereka ketahui tentang Islam, yang dipahami ketika di Timur tengah atau Barat.
Islam modernis menghawatirkan, apa yang dipraktekan oleh muslim lokal boleh jadi
bukanlah Islam yang sebenarnya melainkan, yang sudah tercampuri ajaran-ajaran
Hindu-Budha. Dalam hal ini Harry J. Benda menegaskan bahwa, Indonesia belum
seutuhnya terislamsasikan61.
Sedangkan Islam tradisional dalam konteks Istilah Islam Indonesia memiliki dua
arti; yang satu bersifat péjoratif, sementara yang lainnya bersifat netral. Pertama,
istilah tradisionalis berkonotatif pejoratif jika dipakai dengan merujuk kepada muslim
model lama yang berasal dari kampung yang tradisional dalam agama, kolot secara
intelektual, oportunis secara politik, dan sinkretis secara cultural. Kedua, pemahaman
60
61
Endang Saufuddin Anshari, Wawasan Islam. (Rajawali Press. Jakarta, 1976), h. 230-231.
Suaidy Asyari, Nalar Politik Nu dan Muhammadiyah, LKiS, Yogyakarta, 2009, h. 31
28
yang lebih umum mengenai muslim tradisionalis menunjuk bahwa mereka
merupakan orang yang percaya bahwa umat Islam yang tidak memiliki keahlian yang
memadai untuk berijtihad harus mengikuti salah satu dari empat madzhab hukum
yang ada, dan memakai pendekatan yang bertahap dan toleran dalam berdakwah
ketika mereka berhadapan dengan tradisi lokal62.
Muslim tradisional berkeyakinan bahwa, mereka adalah penganut agama Islam
sebagaimana diajarkan Nabi Muhammmad dan dipraktekkan para sahabat, yang
kemudian disebut sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah. Menurut para ulama tradisionalajaran Islam telah dikodifikasi dalam madzhah-madzhab mu’tabarah (yaitu. Abu
Hanifah, Malik Ibnu Anas, Asyafi’i, dan Ahmad Ibnu Hambali) yang wajib diikuti
oleh umat Islam, belahnya, pintu ijtihad sudah ditutup. Islam tradisioanlis
berkeyakinan bahwa, tidak ada seorang mujtahid pun dalam arti sepenuhnya setelah
berakhirnya keempat imam tersebut, karena melakukan ijtihad menuntut persayaratan
yang tidak mungkin terpenuhi setelah masa keempat Imam itu63. Satu-satunya cara
bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran Islam adalah bertaklid mengikuti salah
satu dari keempat madzhab/imam tersebut. Ada beberapa alasan Islam tradisional
yang melatar belakangi percayanya mereka untuk melakukan taklid terhadap
madzhab-madzhab yang dipercaya muktabarah tersebut, yaitu:
62
Suaidy Asyari, Nalar Politik Nu dan Muhammadiyah, h. 76
Kalangan ulama tradisional membedakan mnjtahid dalam beberapa tingkatan, (a)
Mujtahid muntashib (mujtahid independent) atau mujtahid mthlaq (mujtahhid mutlak), yakni
ulama yang melakukan ijtihad dengan mempergunakan metode ijtihadnya sendiri seperti para
imam madzhab. (b), mujtahid muntashib atau mujtahid madzhab, yaitu ulama yang melakukan
ijtihad dengan mempergunakan metode ijtihad imam madzhab yang diikuti. (c), mujtahid tarjih
atau mujtahid fatwa, yaitu ulama yang melakukan ijtihad dengan memilih pendapat ulama-ulama
madzhab yang diikutinya, yang ia anggap paling kuat.
63
29
1. Lengkap
terkodifikasi,
baik
metodenya
maupun
rincian
pendapat-
pendapatnya.
2. Telah diterima dan diikuti oleh mayoritas umat Islam sedunia selama berabadabad hingga sekarang.
3. Selama ini cukup kuat menghadapi kritik dan koreksi terbuka.
4. Cukup lentur dalam menghadapi perubahan dan tantangan sejarah sehingga
memungkinkan penganutnya mampu menerapkannnya secara kreatif dan
kontekstual.
5. Metode serta pendapat-pendapatnya didasarkan pada Al Quran dan Al Hadits.
Di samping demikian itu, ada lima kriteria lagi yang menjadi ciri keberagamaan
Muslim tradisional Indonesia yaitu:
1. Dari segi teologi, menganut teologi Ahlussunnah Wal Jamaah, sebagaimana
diajarkan oleh Abu Hasan al Asyari dan Abu Mansur al Maturidi.
2. Berkenaan dengan fiqih, walaupun mereka meyakini kesahan keempat
madzhab, namun mereka bertaklid hanya kepada madzhab Syafii sebagai
tuntunan normative dalam seluru aspek kehidupan mereka.
3. Mereka menerima tasawuf sebagai elemen penting dalam keberagamaan.
4. Mereka melakukan tata cara peribadatan sebagaimana diterima dan
dipraktekkan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari kemuslimannya.
5. Masih melakukan praktik yang dipengaruhi oleh tradisi lokal dan sisa-sisa
agama sebelumnya.
30
Dari sekian banyak umat Islam di Indonesia, kebanyakan masih menganut Islam
tradisionalisme. Hal ini, bisa jadi dikarenakan pendekatan dakwah yang dilakukan
Islam tradisionalis cenderung akomodatif yang tidak menghilangkan tradisi-tradisi
lokal64.
64
Djohan Effendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi, h. 80-81
BAB III
BIOGRAFI SOSIAL DAN KEAGAMAAN KH. HASYIM ASY’ARI
A. Aktifitas sosial kehidupan politik keagamaan dan posisi pada massa
penjajahan Belanda dan Jepang.
Kedatangan Hasyim Asyari selepas menunutut Ilmu di Makkah-Madinah- Arab
Saudi telah merubah wajah tradisionalisme di Indonesia, bukan hanya masalah
pendidikan dan sosial keagamaan saja, tetapi nalar politik kaum tradisional juga telah
berubah. Pada awal karirnya, ia bukanlah seorang yang aktif politik bukan juga
musuh utama Kolonial. Hasyim Asyari ketika itu, belum peduli betul tentang
menyebarkan ide-ide politik dan umumnya tidak, keberatan dengan Kolonial selama,
kolonial tidak mengganggu kegiatan-kegiatan keagamaan. Meskipun demikian,
Hasyim Asyari dapat dianggap sebagai pemimpin spiritual bagi sejumlah tokoh
politik diantaranya, Jenderal Sudirman, Ir. Soekarno, Bung Tomo, dan lain-lain.
Aktivitas politinya ia bersifat low profile. Ia juga, belum pernah bersikap konfrontatif
terhadap Kolonial. Bahkan NU dibawah kepemimpinannya, memusatkan pada
pendidikan Islam, peningkatan kegiatan sosial-keagamaan, dan peningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat65.
65
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h, 89-90
31
32
Pengaruh yang besarnya pada saat itu, yaitu dikalangan Kyai di Jawa Timur dan
di Jawa Tengah, mereka para kyai memberi dukungan yang besar terhadap Organisasi
yang didirikannya yaitu, NU66.
Pada masa kolonial Belanda, Hasyim Asyari berusaha untuk menjauhkan diri
dari pengaruh kolonial dengan mendirikan pendidikan di Pelosok pedesaan, yang
digunakan untuk menjaga budaya dan moral dari penetrasi budaya kolonial 67. Para
santri pada saat itu, terlibat aktif mengajar dan menyebarkan agama Islam kepada
masyarakat, sehingga, keberadaan pesantren menjadi lebih aktif untuk menjaga
penetrasi kolonial. Dari sini, Hasyim Asyari melakukan perlawanan budaya dengan
jalan melarang umat Islam untuk meniru kebiasaan-kebiasaan orang-orang Belanda.
Perlawanan seperti itu kemudian menjalar ke berbagai pelosok daerah agar bisa
menjaga independensi dari kekuasaan Belanda yang berpusat di kota68.
Dalam pandangan Salahuddin Wahid, cucu Hasyim Asyari itu sendiri,
menjelaskan tentang pengaruh aktifitas politiknya bahwa, pengaruh besar politik
Hasyim Asyari tidak hanya atas kecerdasan, kealiman, kedalaman, dan keluasan
ilmunya, tetapi karena atas dasar perilaku atau akhlaknya. Katanya, Hasyim Asyari
bukan saja pandai menulis dan berbicara tentang persoalan pada saat itu, tetapi pandai
66
Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 150
Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai sebuah Subkultur; dalam pesantren
pembaharuan. (LP3ES. Jakarta, 1974), h. 50
68
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h. 91
67
33
menjalankan apa yang dikatakan, satunya kata dengan perbuatan adalah salah satu
kelemahan para pemimpin pada saat ini, termasuk kepada para kyai69.
Atas dasar aktivitas dan perjuangan Hasyim Asyari sesuai yang telah dijelaskan
di atas maka, para kyai dan organisai masa Nahdlatul Ulama memberikan gelar
kepada Hasyim Asyari
Sebagai Tuan Guru Besar, dalam bahasa Arab
Hadratussyaikh. Bagi NU, Hasyim Asyari memiliki peranan yang sangat penting
dalam memperjuangkan harkat dan martabat kemanusiaan, keumatan, dan
kebangsaan. Hal ini, telah dibuktikan dalam sejarah perjuangan Hasyim Asyari yang
telah dijelaskan. Sebagaimana ia seorang Kyai di Pesantren, ribuan santri yang belajar
padanya menjadi kyai dan mayoritas memiliki pesantren, sehingga, pesantren yang
didirikan Hasyim Asyari menjadi model bagi pesantren-pesantren lain., juga tidak
sedikit para kyai dan tokoh politik Nasional meminta nasehat kepadanya, sebut saja
di sini, Ir. Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Sudirman. Di samping itu karya-karya
Hasyim Asyari telah menjadi penjaga dalam kehidupan ke-Nu-an70.
B. Perjalanan Pendidikan Keagamaan
Belajar sama orang tuanya sejak dari kanak-kanak sampai berumur 15 tahun.
Semenjak masi kanak-kanak, Hasyim Asyari dikenal cerdas dan rajin belajar. Bahkan
di saat ia berumur 13 tahun, ia sudah bisa mengajari para santri yang lebih tua
69
K.H. Salahuddin Wahid dalam memberi Kata Pengantar di bukunya Zuhaeri Misrawi,
tentang Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan. (Kompas. Jakarta,
2010), h. xxi-xxii
70
Zamakhsari Dhofie, Tradisi Pesantren. Hal. 98-99
34
daripadanya71. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmuilmu agama semisal, teologi (tauhid), Hukum Islam (fiqih), Tafsir hadits, dan Bahasa
Arab72.
Hasyim Asyari dikenal sebagai tokoh yang haus ilmu pengetahuan Islam.
Untuk mengobati kehausannya itu kemudian, Hasyim asyari berkelana ke berbagai
pesantren yang terkenal di Jawa. Mula-mula ke pondok pesantren Wonokoyo
(Probolinggo), kemudian ia pindah ke pesantren langitan (Tuban), Kemudian ia juga
ke Pesantren Trenggilis, ke Kademangan, Bangkalan-Madura. Setelah itu, Hasyim
Asyari sampai juga di pesantren mashur yaitu, Pesantren Siwalan, Panji-Sidoarjo, di
Pondok asuhan Kyai Ya‟kub. Di situ, ia berhasil mendalami ilmu Tawhid, Fiqih,
Adab, Tafsir, dan Hadits, hingga kemudian setelah belajar 5 tahun, hasyim asyari
diambil menantu73.
Selepas pernikahannya, Perjalanan pendidikan Hasyim Asyari tidak berhenti
disitu, Hasyim Asyari melanjutkan belajarnya di tanah suci (Makkah dan Madinah)
dan disana ia mendapatkan pembelajaran dan bimbingan dari guru-guru yang terkenal
seperti Syekh Ahmad Khotib (Minangkabau), Syekh Nawawi, dan Syekh Mahfudz
at-Termisi. Ketika itu, nama ketiga guru itu tidak kalah harumnya dengan nama-nama
guru yang ada di kawasan Arab terutama Makkah74.
71
Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran Hasyim Asyari tentang Ahlussunah waljama'ah. (Khalista.
Surabaya, 2010). Hal. 74
72
Chirul Anam, Pembaharuan dan Pertumbuhan NU, h. 64
73
Chirul Anam. Pembaharuan dan Pertumbuhan NU. h. 65
74
Chirul Anam. Pembaharuan dan Pertumbuhan NU. h. 65
35
Hasyim asyari bukan hanya belajar pada tiga tokoh tersebut, hasyim asyari juga
belajar pada ulama-ulama terkenal di Makkah yaitu, Syekh Muhammad Amin Al
Attas, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan Al Attas, Syekh Sa’id
Maliki, Sayyid Abdullah Al Zawawi, Syekh Salih Bafadal, dan Syekh Sultan Hasyim
Dagastani, Syekh Suayb bin Abd al Rahman, Syekh Ibrahim, Syekh Rahmatullah,
Sayyid Alwi Al Saqqaf, Sayyid Abu Bakar Shata Al Dimyati, dan juga Sayyid Husen
Al Habsyi. Dari banyaknya guru Hasyim Asyari, yang mempengaruhi banyak
pemikiran sekaligus pembentukan intelektual Hasyim Asyari adalah, Syekh Khatib
Minangkabaui, Syekh Nawawi Al Banteni, dan Syekh Mahfudz Al Termisi, tiga
tokoh tersebut merupakan Guru besar di Makkah75. Diantara tiga guru besar yang
paling mempengaruhi Hasyim Asyari adalah Syekh Mahfudz Al Termisi, berasal dari
Termas, Jawa Timur. Syekh Mahfudz Al Termisi yang juga dikenal sebagai guru
besar terkenal di Masjidi Haram, dikenal juga sebagai „Isnad‟ dalam pengajianpengajian kitab hadits bukhari. Syekh Mahfudz Al Termisi memiliki hak untuk
memberikan ijazah kepada muridnya,yang berhasil menguasai kitab Soheh Bukhari.
Ijazah tersebut berasal dari Syekh Imam Bukhari, yang ditulis sekitar seribu tahun
yang lalu. Hasyim Asyari merupakan murid kesayangan Syekh Muhammad Al
Termisi, dan mendapat ijazah sebagai pengajar kitab Hadits Bukhori setelah belajar
beberapa tahun disana, Hasyim Asyari pulang ke Indonesia yang kemudian ia
membantu orang tuanya mengajar dipondoknya, hingga kemudian Hasyim Asyari
75
Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran Hasyim Asyari tentang Ahlussunah waljamaah, h. 76
36
memutuskan untuk membuat pondok sendiri di Jombang yang diberi nama Pesantren
Tebu Ireng76.
C. Ahli Hadits
Ahli Hadits merupakan gelar akademisi yang diterima oleh Hasyim Asyari saat
mempelajari Ilmu Hadits di Makkah. Hasyim Asyari diberi Ijazah dari gurunya Syekh
Mahfudz Al Termisi karena, Hasyim Asayri telah berhasil menguasai Kitab Hadits
Bukhari 77 , sehingga berhak untuk mengajarkan hadits Bukhori kepada muridmuridnya78.
Hasyim Asyari di Makkah, mula-mula belajar di bawah bimbingan Syekh
Mahfudz (dari Termas, wafat, 1920), ulama Indonesia pertama yang mengajar Sahih
Bukhari di Makkah. Syekh Mahfudz al Termisi dikenal sebagai Ahli hadits.
76
Choirul Anam, Pembaharuan dan Pertumbuhan NU, h. 65
Kitab Hadits al Bukhari, sebuah kitab kumpulan hadits nabi yang paling terkenal sekali.
Kumpulan itu berisi 7275 buah hadits yang sahih. Penyusunnya bernama Abu Abdullah
Muhammad bi Ismail, lahir pada 13 syawal 194 atau 21 Juli 810 di Bukhara. Neneknya seorang
pujangga yang terkenal, Bardizbah. Sejak anak-ana ia telah yatim, menhafal ak quran dan berpuluh
ribu hadits sebelum ia menginjak usia dewasa. Ia mengunjungi kota khurasan, Baghdad, dan
Naisabur, terus ke Irak, Hijaz, dan Mesir untk mempelajari hadits yang terkenal dengan nama al
Jam‟iyah as-Shahih atau lebih dikenal dengan Kitab Al Bukhari, ditulisnya sejak ia berusia 16
Tahun. Sebanyak 7275 bah hadits yang dihimpunnya itu merupakan pilihan dari hasil
pengecekannya terhadap 1800 orang yang dianggap guru-guru Ilmu Hadits. Tidap kali menulis
satu hadits, ia tetap dalam keadaan suei badan dan masih berwudlu, lalu sholat sunnah dua rokaat
untuk memohon hidayah dan ridlo Allah, demikian pernah ia katakana sendiri pada bulan
Ramadhan, seteah sembahyang tarawih, ia menjalankan sholat sunnah untuk menghafalkan
sepertiga isi Al Quran setiap malamnya. Seluruh dunia Islam, sejak dulu hingga sekarang,
memandang Kitab al Bukhari sebagai kitab hadits yang otentik di antara kitab-kitab hadits lain
yang termashur di kalangan dunia Islam.( Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari pesantren.
LKiS, Yogyakarta, 2008), h. 151
78
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 65
77
37
Mendengar berita itu kemudian, Hasyim Asyari sangat tertarik belajar, dan berminat
dengan Ilmu hadits tersebut79.
Kegemaran
dan
kesungguhan
Hasyim
Asyari
dalam
menuntut
ilmu
membuahkan hasil yang manis, la ditunjuk sebagai salah satu guru di Masjidil Haram
bersama para ulama di lndonesia seperti, Syekh Nawawi al Bantani, dan Syekh
Khatib al Minangkabaui. Selama mengajar di masjidil haram, kyai Hasyim
mempunyai sejumlah murid, antara lain Syekh sa’dullah al-Maimani (mufiti India),
Syekh Umar Hamdan (ahli hadits di makkah), al Syihab Ahmad bin Abdullah
(Suriyah), KH. Wahab Khasbullah (Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), K.H. Dahlan
(Kudus), K.H. Bisri Syansuri (Jombang), dan K.H. Saleh (Tayu). Hal ini,
menunjukkan bahwa ulama asal Indonesia pada masa lalu bukan hanya sekedar
“murid” para ulama di timur tengah dan dunia Islam lainnya, tetapi mereka juga
sebagai “guru”, yang karena kedaleman ilmunya mendapatkan reputasi yang baik80.
Setelah kembali ke Indonesia, Hasyim Asyari mendirikan pesantren yang
terkenal dalam pengajaran Hadits. Hasyim Asyari juga mendapat ijazah untuk
mengajar Soheh Bukhari dari Syekh Mahf'udz al Termisi, pewaris terakhir dari
pertalian penerima (dalam bahasa ilmu hadits (isnad) hadits dari 23 generasi penerima
karya ini81. Pesantren yang didirikannya kemudian semakin besar, terutama karena
dua keilmuan itu, “al quran dan Hadits”. Dimana, pesantren-pesantren lain
79
Zuhari Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan,
80
Zuhari Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan.
h. 49
Hal. 49
81
Lathuful khuluq, Fajar kebangkitan ulama. Hal. 30
38
belum memiliki apa yang dimiliki oleh pesantren Hasyim Asyari. Sehingga, dengan
mengajarkan dua Ilmu tersebut, Hasyim Asyari dapat dipandang sebagai pembaru di
kalangan ulama tradisionalis82. Memang, di pesantren manapun dan kyai siapapun
bisa saja membaca kitab ini. Akan tetapi, apabila Hasyim Asyari membaca Kitab Al
Bukhari, maka berduyun-duyunlah kyai-kyai dan santri-santri dari luar daerah untuk
mondok di Tebu Ireng. Bahkan, orang yang pernah mengikuti dan melihat sendiri
cara Hasyim Asyari membaca Al Bukhari mengatakan bahwa Hasyim Asyari
sebenarnya telah hafal seluruh kitab yang terkenal itu. Seolah-olah sedang membaca
kitab karangannya sendiri83.
Pesantren Tebu Ireng yang menjadi tempat mengajinya kemudian menjadi
wadah pembelajaran tingkat tinggi, dimana murid-muridnya dari para kalangan kyai
dan ulama di Jawa belajar dan mesantren di pondok Tebu Ireng. Bahkan bukan hanya
murid, dan koleganya saja yang belajar Ilmu hadits pada Hasyim Asyari, tetapi Guru
Hasyim Asyari KH. Khalil dari bangkalan Madura juga ikut serta menjadi murid
dalam pengajian hadits tersebut84.
D. Kyai para kyai di Jawa
Setelah wafatnya KH. Ahmad Khalil Bangkalan-Madura, maka posisi
kepimpimpinan spiritual atas para kyai dilimpahkan kepada Hasyim Asyari. Hal ini
82
Lathful khuluk. Fajar Kebangkitan Ulama. Hal 40.
Saefuddin zuhri, Guruku Orang-orang dari pesantren. Hal 151-152
84
Zuhairi misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan,
83
h. 53
39
bisa dilihat ketika KH. Khalil Bangkalan mengikuti pengajian-pengajian pada bulanbulan ramadhan (istilah pesantren; ngaji pasaran) yang dilakukan oleh Hasyim
Asyari, di sini menandakan bahwa, KH. Khalil bangkalan telah menaruh hormat
kepada Hasyim Asyari. Sehingga, mendorong para kyai di Jawa yang lain
menganggap K.H. Hasyim Asyari sebagai gurunya. Kejadian ini, diperkuat dengan
adanya dua peristiwa yang terjadi menjelang 1926, tahun kelahiran organisasi
tradisionalis muslim Nahdlatul Ulama85.
Ketika itu, Kyai Khalil mengutus muridnya Asad Syamsul Arifin kepada
Hasyim Asyari untuk memberikan sebuah tasbih dan ucapan surat Taha, ayat 17-23,
yang menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya. Peristiwa semacam ini
kemudian terulang lagi setahun kemudian ketika Kyai Khalil mengirim Asad kepada
Hasyim Asyari dengan mengucapkan ya Jabbaru, Ya Qahhar (Wahai Tuhan Yang
Maha Perkasa dan Maha Memaksa). Kedua peristwa tersebut dianggap sebagai
persetujuan Kyai Khalil atas berdirinya Nahdlatul Ulama dan pemilihan Hasyim
Asyari sebagai pemimpin spiritual masyarakat pesantren. Bahkan, faktor kebesaran
pesantrennya (Tebu Ireng) tidak bisa dipisahkan dengan kebesaran pendiri sekaligus
pengasuhnya, Hasyim Asyari86.
Dengan demikian bahwa, tidak diragukan lagi Hasyim Asyari mempunyai
wibawa atau hibah serta pengaruh yang besar sekali di kalangan para kyai Jawa
Timur hususnya, dan di seluruh Indonesia pada umumnya sebagai Kyai besar.
85
86
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama, h 22
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama, h. 22-23.
40
Bahkan, kebesarannya bukan saja dikalangan Nahdlatul Ulama tetapi juga dikalangan
golongan Islam yang lainnya termasuk kolonial Jepang yang memberikan ia sebagai
ketua Shumubu atau Masyumi. Sehingga, Pesantren yang didirikannya (Tebu Ireng),
memliki daya tarik yang kuat sekali. Ada kecenderungan dikalangan para santri dan
bahkan kyai-kyai pesantren yang lain untuk bisa merasa dekat dengan Tebu Ireng.
Bukan sekedar pribadi Hasyim Asyari, tetapi terutama karena Hasyim Asyari
dirasakan tepat sekali untuk menduduki tempat sebagai bapak ulama Indonesia87.
E. Karya-karya keagamaan
Pada zamannya, tepatnya, sejak permulaan tahun 1900-an hingga paruh akhir
1940-an. KH. Hasyim Asyari termasuk salah satu intelektual Muslim Jawa yang
cukup produktif. Karya-karya tersebut kebanyakan ditulis dengan bahasa arab atau
jawa dengan menggunakan tulisan arab Pegon88. Ia banyak sekali menulis buku baik
itu tulisan lepas atau tulisan yang muncul sebagai reaksi atas tata cara peribadatan dan
sikap masyarakat dalam bidang sosial keagamaan89. Walaupun begitu, ide-ide yang
ditulis oleh Hasyim Asyari masih berada pada ruang lingkup kepesantrenan. Hal ini
dimungkinkan karena bahasa yang ditulis oleh hasyim asyari menggunakan bahasa
Arab, sehingga kaum yang diluar Pesantren cenderung tidak empati untuk membaca
87
Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari pesantren, h. 150
Dalam hal ini banyak sekali tokoh Islam tradisional yang menulis karya-karya
monumentalnya, misalnya Syeikh Ihsan al-Jampesi dengan Siraj al Thalibin, Syekh Yasin alFadani dengan Fawaidah al-Janiyah, Syekh Mahsum dengan Amstilati al-Tasrif, dan banyak lagi
tokoh Islam tradisional pada jamannya yang melahirkan karyanya, begitu juga dengan pengasuh
Pondok Kebon Jambu, babakan-ciwaringin Cirebon, KH. Muhammad, ia mengarang kitab AlWashiat, Yang kemudian menjadi kitab wajib bagi santri yang belajar di pondok tersebut.
89
Samsul Maarif, Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asyari. (Kanza. Bogor, 2011), h.
93
88
41
karya-karyanya. Mengenai data dan Jumlah yang peneliti temukan tentang karyakarya Intelektual Hasyim Asyari adalah:
Pertama, Adab al-Alim wa Mutaalim fi ma yahtaju ilaihi al mutaalim fi ma
yatawaqqafu alaihi al Mualim fi Maqamat al Muallim. Karya ini termasuk karya
yang paling popular di dunia pendidikan. Dimana, karya ini membahas tentang etika
dalam belajar mengajar.
Kedua, Tadzkirat al Sami wa al Mutaalim. Karya ini membahas mengenai teori
pendidikan secara substansial bukan secara teoritis. Dalam tulisan ini, Hasyim Asyari
membahas mengenai pendidikan dalam delapan bab. Pertama, membahas tentang
keutamaan ilmu dan menjadi ilmuan.
Kedua, etika peserta didik ketika belajar.
Ketiga, etika peserta didik dengan pendidik. Keempat, etika peserta didik dengan
pelajaran dan teman setingkatan dalam belajar. Kelima, etika yang hendaknya
diperhatikan oleh pendidik terhadap anak didik. Dan yang terakhr, etika pendidik
terhadap sumber yang layak untuk diajarkan dan digunakan dalam mendidik
Ketiga, al Risalah al Jamiah. Dalam karya ini Hasyim Asyari menjelaskan
mengenai keadaan kematian dan tanda-tanda kiamat disertai dengan pembahasan dari
sudut sunnah dan bidah.
Keempat, al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin. Kitab ini
membahas tentang keimanan kepada Nabi Muhammad Saw.
Kelima, Hasyiyah ala Fath al Rahman. Karya ini berbentuk syarah atas
penjelasan tentang kitab Risalah al Wali Ruslan karya Syaikh Zakariya al Anshari.
42
Keenam, Yasna al Munkarat, karya ini merupakan penjelasan sebagai respon
atas praktek maulid Nabi yang dianggap melanggar Syara.
Ketujuh, Mugaddimah Qanun al Asasi li Jam iyah Nadlatul Ulama, dan al
Mawaizh al-Arbain. Dua karya ini adalah tulisan yang dibuat sebagai pedoman untuk
kalangan Nadlatul Ulama.
Kedelapan, Ad durrar al Muntasyirah fi Masail At tisa Asyarah dan Tamyiz Al
Haq Min Al Bathil, Karya ini telah dinobatkan sebagai keberhasilan Hasyim Asyari
dalam menjawab tuduhan-tuduhan tentang penyimpangan dari tradisi-tradisi
kemurnian Islam.
Masih banyak lagi karya-karya Hasyim Asyari, terutama dalam masalah sosial
keagamaan. Karya-karya tersebut sudah diedarkan secara luas, dan yang mengedit
karya tersebut adalah cucunya sendiri yaitu KH. Isham Hadziq90. Lain halnya tentang
ide-ide pemikiran politik Hayim Asyari, ide-ide tersebut kebanyakan hanya
disampaikan pada saat memberikan pidato di Muktamar NU, walau begitu, pengaruh
pemikiran politiknya sangat kuat terutama terhadap warga NU sendiri91.
F. NU sebagai kekuatan masyarakat
NU adalah organisasi terbesar, basis masa NU tersebar di seluruh plosok tanah
air, mengakar kuat di lingkungan masyarakat Indonesia, terutama di pondok-pondok,
pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan surau-surau di pedesaan. Setelah
90
Untuk Lebih jelasnya tentang karya-karya Hasyim Asyari, bisa dilihat di Kitab lrsyadu al
Syari, Kumpulan Karya KH. Hasyim Asyari. Yang diterbitkan di Tebu Ireng-Jombang.
91
Lathiful Khuluq, fajar Kebangunan Ulama, h. 85
43
perjuangan komite Hijaz (yang menghasilkan; Raja Sa‟ud memberi kebebasan untuk
tetap melakukan tradisi peribadatan sesuai tradisi bagi umat Islam di Arab Saudi) para
kalangan ulama pesantren terus mencari peluang untuk didirikannya cabang di
luar Jawa., yang pada saat terbentuknya, NU hanya di wilayah Jawa-Madura saja92.
NU sebagai kekuatan masyarakat, karena ia lahir dari Masyarakat,
kehadirannya tidak terlepas daripada keberadaan para kyai atau ulama. Dalam kata
lain masyarakat Indonesia, hususnya di Jawa sangat patuh pada kyai atau ulama
(sami'na watho ’na). pada masa itu, kehidupan dalam tekanan kolonial Belanda dan
Jepang sehingga, menggerakkan Ulama atau kyai untuk membela masyarakat agar,
masyarakat tidak terbelakang. Sehingga para ulama atau kyai pada masa pra
kemerdekaan merasa perlu untuk membuat wadah perjuangan, yang pada akhirnya
berdirilah NU93.
Pada muktamar NU ke 13, tahun 1935 misalkan, para ulama NU mengeluarkan
sebuah resolusi yang dikenal dengan Mabadi Khayr al Ummah yang artinya, prinsipprinsip untuk membangun masyarakat yang unggul. Para ulama terasa perlu untuk
menggarisbawahi pentingnya nilai kejujuran (al-Shidiq), akuntabilitas publik (alamaanah wal wafau bi al ahd) dan kerjasama (al-ta’awun). Yang kemudian, pada
munas Alim Ulama di Bandar Lampung ditambah dua prinsip lagi, yaitu keadilan (al-
92
Laode Ida, Anatomi Konflik; NU, Elit Islam dan Negara. (Sinar Harapan. Jakarta, 1996),
h. 10-11
93
h. 285
Zuhari Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan,
44
adalah), dan konsisten (al-istiqomah)
94
. Para ulama atau kyai pada masa
prakemerdekaan brusaha menyatukan dan merapatkan barisan untuk membela
masyarakat setidaknya ada tiga hal: pertama, pembebasan masyarakat--bangsa dari
penjajah. Karena itu, keterlibatannya untuk mempercepar proklamasi kemerdekaan
merupakan sejarah yang tidak terlupakan. Kedua, pembebasan dari keterbelakangan.
Yang pada umumnya warga NU tersebar di pedesaan. Karena itu sejak awal, NU
mempunyai visi untuk membangkitkan umat dari keterbelakangan. Ketiga,
meneguhkan paham Ahlussunah wal Jamaah kepada masyarakat di tengah
menguatnya revivalisme Islam di berbagai dunia95.
Dalam hal lain, Choirul Anam memaparkan tentang pilar kekuatan-kekuatan
NU yang menjadi keberhasilan NU dalam sejarahnya, baik ketika menjadi Organisasi
keagamaan maupun menjadi Partai Politik. Diantaranya Pertama, Basis masa
(Struktur Sosial), dalam hal ini yaitu pesantren. Pesantren bagi NU adalah basis masa
yang memiliki kekuatan, dan pesantrenlah yang memiliki kedekatan dengan
masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Mahrus Irsyam
96
, pesantren dan
masyarakat merupakan satu kesatuan. Kedua, basis Ulama-Politisi (struktur
kepemimpinan). Ulama yang dimaksud di sini adalah kyai (dalam istilah Jawa) yaitu,
gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang ahli dalam bidang agama
Islam, memiliki atau menjadi pemimpin pesantren, dan mengajarkan kitab-kitab
94
Ibid, h. 294
Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan Kebangsaan, h.286-287
96
Mahrus Irsyam adalah pengamat politik dari Universitas Indonesia, lahir di Salatiga, 28
Februari 1944, menyelesaikan pendidikan strata-satunya di Urusan Ilmu Politik UI. Pada 2 Januari
2004. Mahrus ditunjuk sebagai Kepala Departemen Politik Fakultal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP UI)
95
45
klasik pada para santri. Sedangkan Politisi dalam hal ini yaitu, sejumlah orang yang
melibatkan dirinya kepada politik praktis, atau sejumlah orang yang secara praktis
menjadi aktifis atau pejabat politik. Ketiga, tradisi dan nasab (hubungan kekerabatan
dan kekeluargaan). Yang dimaksud tradisi dalam pembahasan ini adalah tingkah laku
atau kebiasaan atau aturan-aturan tidak tertulis. Yang dipegang tegung oleh para kyai,
baik dalam soal organisasi maupun masyarakat. Tradisi semacam ini sangat
memungkinkan terjadinya kekompakan, keutuhan, dan terhindar dari perpecahan
akibat kedudukan. Sedangkan nasab, jaringan keturunan atau jaringan kekeluargaan,
baik yang lahir langsung atau melalui perjodohan yang diprakarsai oleh para kyai.
Dengan demikian bahwa tiga pilar tersebut telah menjadi kekuatan yang solid di
tubuh NU97.
G. Hizbullah
Terbentuknya Laskar Hizbullah bermula dari permintaan dari Saikoo Sikikan
berhubung dengan serangan-serangan sekutu, yang disampaikan oleh Abdul hamid
Ono kepada KH. Wahid Hasyim. Abdul hamid Ono mengatakan bahwa, Jepang
meminta padaku agar pemuda-pemuda Islam memasuki Heiho (serdadu cadangan
untuk dikirim ke medan perang) ? Dijawab oleh beberapa pendiri NU, diantaranya
97
Chirul Anam, Pertumbuhan Dan Perkembangan NU, h. 373-378. (untuk lebih jelasnya
mengenai penjelasan tiga pilar tersebut, baca Dzamaksaro Dhofier, Tradisi Pesantren)
46
Wahid Hasyim dan kolega-koleganya, akan lebih baik apabila pemuda-pemuda santri
dilatih kemiliteran untuk pertahanan di dalam negeri98.
Kemudian, segeralah membincangkan mengenai rencana pembentukan tentara
Hizbullah. Diantaranya yaitu Wahid Hasyim, Zainul Arifin, Wahab Chasbullah,
Saefuddin Zuhri, dan kolega-koleganya. Dari perbincangan itu kemudian Zainul
Arifin ditunjuk untuk memimpin tentara Hizbullah, di bawah komando spiritual
Hasyim Asyari99.
Tentara Hizbullah, berdiri pada 4 Desember 1944 di Singosari-Malang. Laskar
ini merupakan tentara santri yang terdiri dari para pemuda muslim yang taat, yang
berusia antara 18-21 tahun. Kelompok ini pada awalnya berada di bawah Masyumi,
dan termasuk tentara yang penting bagi Masyumi pada awal-awal kemerdekaan.
Anggota-anggota laskar ini, datang dari berbagai organisasi atau kelompok Islam.
Namun dalam hal ini, pemuda pesantren dan Anggota Ansor Nahdlatul Ulama
(ANU)-lah pemasok paling besar dalam keanggotaan Hizbullah100. Pemuda-pemuda
98
Mempertahanan sejengkal tanah air di dalam negeri akan lebih menggugah semangat
pemuda-pemuda kita, dari pada bertempur di daerah yang sangat jauh. Musuh yang sudah berada
di kampung halaman kita, lebih kita dahulukan pengusirannya daripada yang masih jauh di luar
tanah air. Lebih baik pemuda-pemuda santri dibentuk tentara Hizbullah seperti halnya dengan
PETA. Hizbullah bertugas untuk mempertahankan Tanah Air Indonesia, dengan alasan,
menghadapi tentara sekutu di medan perang harus dengan tentara yang sudah terlatih, seperti
tentara Dai Nippon. Pemuda-pemuda kita yang baru dilatih kemiliteran mungkin akan menyulitkan
tentara yang professional itu. Lain halnya kalau pertahanan dalam negeri diserahkan pemudapemuda kita. Dengan demikian, serahkan pertahanan di dalam negeri kepada putera-putera tanah
air sendiri.sedang serdadu-serdadu Jepang yang ada disini bisa dikirim ke medan perang
menghadap tentara sekutu. Pada saat itu Abdul Hamid Ono menerima asalkkan. diberi rencananya
secara terperinci. Dan aku jawab, aku sanggupi, beberapa hari ini saya akan menyerahkan rencana
yang dimaksud! (Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren), h. 300-301
99
Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, h. 302
100
ANU Sekarang dikenal dengan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) yang menjadi badan
otonom di bawah NU. GP Ansor sendiri telah melakukan pergantian nama, dari nahdlatu Syubhan
47
itu kemudian dididik selama enam bulan di Jakarta. Tiap kabupaten diharuskan
mengirim lima pemuda-pemuda dari pesantren. Selesai menjalani pendidikan militer,
mereka diwajibkan melatih pemuda-pemuda di daerahnya. Bahkan bukan hanya para
santri yang mendapatkan pendidikan militer, tetapi para kyai juga mendapatkan
pendidikan militer101.
Laskar rakyat yang penting dan terkuat pada saat itu terdapat tiga jenis, Pertama,
Pasindo (pemuda Sosialis Indonesia) yang dibentuk dan sangat dekat dengan Amir
Syarifuddin, menteri pertahanan saat itu yang condong kepada Idiologi Komunis.
Kedua, Barisan Banteng dan Barisan Pelopor, yang erat hubungannya dengan Partai
Nasionalis Indonesia (PNI). Ketiga, Hizbullah (Laskar Santri) dan Sabilillah (Laskar
Kyai atau Ulama), yang mempunyai kedekatan dengan Masyumi (Majlis Syuro
Muslim Indonesia)102.
Laskar Hizbulah dan Laskar Sabilillah ini didirikan menjelang akhir
pemerintahan kolonial Jepang. Laskar Hizbullah dibawah komando spiritual Hasyim
Asyari, dan secara militer dipimpin oleh Zaenal Arifin. Sedangkan laskar Sabilillah
dipimpin oleh KH. Maskur. Peran kyai dalam perang kemerdekaan ternyata, tidak
hanya dalam laskar Hizbulllah-Sabilillah saja, tetapi banyak diantara mereka yang
(1930), Pemuda NU (PPNU) 1931, kemudian menjadi ANU 1934, dan berganti menjadi Gerakan
Pemuda Ansor (GP Ansor) tahun 1949. (Choirul anam, Gerak langkah pemuda Ansor. Surabaya,
Aula, 1990), h. 17
101
Saefuddin Zuhri. Guku orang-orang dari pesantren, hal. 33‫م‬. Lantas kenapa pada saat itu
dunia pesantren; kyai, santri, sangat menarik tertarik dan berani memasuki medan perang fisik?
Jawabannya adalah karena pesantren bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu
pencak silat, ilmu beladiri, kanuragan, juga diajarkan, hingga sekarang. Lihat kegiatan
ekstrakurikuler yang diadakan pondok pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Girebon.
102
Gugun El Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i. (LKiS, Yogyakarta, 2010), h. 40
48
menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air), dan sebagaimana tentara kita
sekarang (TNI) berasal dari tentara PETA103.
103
Ali Maschan Musa, Nasionalisme kyai. (LKiS. Yogyakarta, 2007), h. 117
BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK DAN KEAGAMAAN HASYIM ASYARI
A. Pemikiran Politik Hasyim Asyari
Untuk mendiskripsikan pemikiran politik keagamaan Hasyim Asyari tidak akan
lepas dari politik sunni. Di mana, politik sunni tersebut kemudian menjadi
yurisprudensi Islam Nahdlatul Ulama di Indonesia. Imam Madzhab empat menjadi
patokan dalam mengeksplorasi keilmuan ahlussunnah wal jamaah. Said Aqil Siroj
mengenai Ahlussunnah wal Jamaah menjelasakan bahwa, pengertian yang selama ini
masi dibatasi pada mazhab-mazhab tertentu. Misalnya, dalam perkara akidah
mengikuti salah satu dari aliran Imam Abu Al Hasan Al-Asyari (w.324) atau aliran
Imam Abu Al Mansur Al Maturidi (w.333 H), dalam soal-soal ubudiyyah mengikuti
salah satu dari Imam Mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah (W. 150 H), Malik ibn
Anas (W. 179 H), Muhammad ibn Idris Asy-Syafi‟i (w.204 H), dan Ahamd ibn
Hambal (W.230 H), dalam bertasawuf mengikuti salah satu dari dua imam besar sufi,
yakni Abu Al Qasim Al Junaidi Al Baghdadi (W.297 H) dan Abu Hamid Al Ghazali
(w.505 H)104.
Bagi Said Aqil, pengertian tersebut merupakan suatu definisi atau ta’rif yang
praktis dan memang kondusif pada masa NU di didirikan oleh Hasyim Asyari. Pada
saat itu, orang lebih mengerti dengan contoh konkrit. Secara logika (manthiqi)
104
Said Aqil Siroj. TASAWUF: Sebagai Kritik Sosial. (Yayasan Khas. Ciganjur, Jakarta
Selatan, 2010), h. 411. Cet. Ke III
49
50
definisi tersebut tidaklah memenuhi kaidah umum dalam peristilahan. Soalnya,
ketentuan antara al-jins (genus) dan al fashl (pembeda, sparasi) yang dipersyaratkan
dalam Ilmu manthiq belumlah terpenuhi dalam definisi itu. Jika demikian berarti
tidak masuk akal. Misalnya ada ketentuan yang mengatakan “la yunalu attashawwur
illa bilhad wa la yashihu alhad illa idza kanajami‟an wa manian”. Artinya, sebuah
definisi tidak akan bisa terbentuk sempurna dari batasan-batasan, Dan sebuah definisi
hanya sah apabila mencakup unsur-unsur yang dikandungnya, dan mengeluarkan yang
bukan isi atau esensi105.
Bahkan, Said Aqil Siraj menjelaskan tentang Islam di Indonesia hususnya
bahwa. Islam bukan hanya dinul al aqidah wa al syariah (Akidah dan Syariah), tetapi
Islam juga agama yang memuat dinul ilmi wa al tsaqafah (Agama Kebudayaan),
dinul al adab wal hadarah (Agama Peradaban) , dinul al taqadum wal madaniyah (Agama Kemajuan), hal ini yang kemudian Islam bisa diterima dimana-mana seperti
Islam di nusantara, tetapi jika Islam hanya Aqidah dan syariah maka pasti
pengikutnya sedikit, tetapi karena disinergikan dengan prodak karya manusia maka
Islam di terima di masyarakat dunia. Hal inilah keberadaan Islam di nusantara bisa
mengalahkan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Padjadjaran, tanpa mengeluarkan
darah sedikitpun106.
Yudian Wahyudi dalam bukunya menambahkan, di Nusantara, tepatnya di
Indonesia kebanyakan umat Islam sunni menganut Madzhab Al Imam Al Syafii.
105
Said Aqil Siroj. TASAWUF: Sebagai Kritik Sosial, h. 412.
KH. Said Aqil Siraj dalam acara Dialog Terbuka Forum Kyai Muda. (Pondok Pesantren
Solawat Sidoarjo-Jawa Timur. 20 Oktober 2009).
106
51
Karena apa?, Imam Syafii menjelaskan bahwa, Islam harus berjalan di bawah
naungan konstitusi yang berlaku ditempat itu, yang legitimasinya merupakan puncak
dari sebuah keputusan (ijtihad) yang berada di tangan umat107.
Dalam perkembangannya, politik sunni sudah 5 abad, diawali pada abad ke 9 M
oleh ulama fiqih. Pada saat itu, masalah-masalah yang terus-menerus menyita
perhatian para ahli fiqih (seperti, al-Baqilani 910-1013, al-baghdadi. Wafat,1037, alMawardi 974-1058, al Gazali l058-1111, Ibnu Taimiyah. Wafat, 1328, dan Ibnu
Khaldun. wafat. 1406). adalah runtuhnya kekuasaan Abbasiyah, yang dimulai dengan
perpecahan para panglima perang dan kaum bangsawan yang berkuasa di daerahdaerah tersebut yang berhasil merebut kekuasaan militer 108 . Dinasti Abassiyah
terpaksa meyerahkan kekuasaan ibu kotanya, Baghdad kepada para penguasa
Buwaihiyah dari aliran Syiah, yang 60 tahun kemudian digantikan oleh dinasti Saljuk.
Akhirnya, bangsa Mongolia merebut kota Baghdad pada 1258 dan para Khalifah
Abasiyah hanya sebagai boneka rezim Mamluk di Kairo109.
Peristiwa-peristiwa demikian telah memunculkan dilema bagi para ahli fiqih,
apakah mereka menegakkan kekuasaan mutlak khalifah yaitu Abasiyah yang berarti
menentang tuntutan-tuntutan panglima perang atau menyesuaikan diri dengan
penguasa baru. Jika pilihan pertama dipilih maka akan beresiko, diantaranya akan
107
Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D, ISLAM, Percikan Sejarah, Filsafat, Hukum, dan
Pendidikan. (Nawesea Press. Yogyakarta, 2010), h. 7
108
Menurut teori politik Islam pada awalnya, khalifah adalah pengganti utusan Allah. Dan
dengan demikian ia juga merupakan pemimpin spiritual tertinggi sementara bagi umat Islam. Akan
tetapi mulai pada abad IX kekuasaan politik Khalifah mulai terpecah belah, karena para panglima
perang dan kaum bangsawan yang berkuasa di daerah masing-masing berhasil merebut kekuasaan
militer, Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama. Hal.. 60
109
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama. (LKiS. Yogyakarta, 2009), h 60. Cet ke IV
52
tumbuh kekecauan sosial dan akan menempatkan umat Islam pada posisi rawan
terhadap kekejaman aksi balas dendam dari kekuatan militer yang menang,
sedangkan pilihan terakhir menuntut adanya kompromi atas gagasan politik
keagamaan Islam yang asli. Sebagian besar ahli fiqih memilih bekerja sama dengan
penguasa baru. Karena mereka beralasan bahwa, tanggungjawab mereka adalah
menyelamatkan Islam dan para pemeluknya. Untuk itu, mereka berusaha agar
ketentraman dan kestabilan masyarakat dapat terjaga, karena hal itu menjadi syarat
terciptanya ketaatan dan kerukunan umat. Hanya di dalam masyarakat tertib, perintah
Allah dapat ditegakkan, dan umat Islam dapat melakukan ibadahnya dengan baik110.
Ada beberapa karakteristik mengenai pemikiran politik sunni yaitu, Keluwesan
dalam mensikapi kondisi politik. Aspek-aspek yang bersifat menentukan sengaja
dibiarkan kabur, agar lebih mudah disesuaikan dengan sosial-politik yang baru.
Beberapa istilah yang muncul sebagai penguat tentang teori politik sunni yang telah
disebutkan diatas adalah :
1. Kejeniusan kelompok sunni untuk beradaptasi dengan masyarakat.
2. Realisme, maka sikap memilih diam sebagai output dari realism itu sendiri.
Karena kaum sunni percaya bahwa kegigihan untuk bertahan bukan hanya
sekedar sesat, itu semua, bila nasib umat dipertaruhkan, maka itu menjadi
sia-sia111.
110
111
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 61.
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 63-64.
53
Atas dasar itu kemudian, pemikiran politik keagamaan Hasyim Asyari
umumnya sejalan dengan politik sunni, sebagaimana yang dikembangkan oleh ahli
fiqih diatas. Karena pada dasarnya, doktrin politik sunni tersebut yaitu akomodatif
terhadap penguasa. Maka, Hasyim Asyari beserta dengan kolega dan murid-muridnya
juga akomodatif terhadap penguasa baik yang muslim maupun non muslim. Namun,
Hasyim Asyari punya ketegasan dalam menentukan sikap politiknya. Hal ini, bisa
dibuktikan ketika, Hasyim Asyari, murid dan koleganya membuat keputusan tentang
Jihad melawan Penjajah atau biasa dikenal Revolusi Jihad112.
Bagi Hasyim Asyari yang terpenting adalah ajakan beliau kepada seluruh umat
Islam untuk bersatu dalam aksi bersama. Sesuai dengan pidato Hasyim Asyari pada
1936 Muktamar NU ke 11 di Banjarmasin, KH. Hasyim Asyari telah mendorong dan
mencoba untuk mendamaikan perselisihan antara kaum modernis dan kaum
tradisionalis. Dimana, pada masa itu, konflik antara dua kubu tersebut sama-sama
keras, saling menuduh keluar dari Islam. Dalam pidato Muktamar tersbeut Hasyim
asyari menyampaikan:
"Manusia harus bersatu, agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan agar
terhindar dari kehancuran dan bahaya. Jadi, kesamaan dan keserasian
pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat
terciptanya kemakmuran. Ini juga akan dapat mengokohkan kasih sayang.
Adanya kesatuan dan persatuan telah menghasilkan kebijakan dan
keberhasilan. Persatuan juga telah mendorong kesejahteraan Negara,
peningkatan status rakyat, kekutan dan kemajuan pemerintah, dan telah
terbukti sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan. Satu dari banyak tujuan
112
KH. Salahuddin Wahid dalam memberi Kata Pengantar di bukunya Zuhaeri Misrawi,
tentang Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan Kebangsaan. ( Kompas, Jakarta.
2010), .xiv
54
persatuan adalah bersemainya kebajikan yng akan menjadi sebab terlaksanya
berbagai ide”113.
Di sisi lain, Hasyim Asyari dalam pidato-pidatonya tidak terlepas dari ayatayat suci Al-Quran dan Al Hadits, serta Qiyas, Ijma, sebagai penguat tentang
statemen politiknya. Hasyim Asyari berusaha untuk menganjurkan agar umat Islam
menyatukan diri sendiri. Hal ini karena Hasyim Asyari melihat perpecahan ditubuh
umat muslim sebelumnya, bahwa masyarakt muslim telah gagal bersatu sejak Nabi
Muhammad wafat, dimana, telah timbul perpecahan, persoalan kesukuan mulai lagi
muncul diantaranya, kubu Abu Bakar dan Kubu Ali, kedua kubu tersebut bersih
kukuh untuk mendapatkan penerus ke Khalifahan nabi. Dan dalam situasi lain, masi
dalam masa khalifah Abu Bakar, kaum muhajirin atau disebut dengan imigran Mekah
dan Anshar disebut dengan kaum Muslim madinah, berebut supremasi politik. Begitu
juga situasi di Indonesia pasca kemerdekaan, golongan tradisionalis dan modernis114.
Ajakan persatuan, Hasyim Asyari sampaikan kembali setelah deklarasi
kemerdekaan Indonesia dengan menyatakan bahwa, persaudaraan Muslim sepertinya
telah mengikis atau bahkan hilang dari kehidupan masyarakat. Buktinya, walaupun
banyak sesama saudara (seagama) dalam kelaparan tidak ada yang tergerak untuk
membantu115.
113
http://yogaprakosonugroho.wordpress.com/2011/01/17/sang-maha-guru-keulamaan-danperuangannya/#more-175. Diakses, tanggal 27 Oktober 2011
114
Tamim Ansary, Sejarah Duni Versi Islam. (Zaman, Jakarta, 2010), h. 84
115
http://yogaprakosonugroho.wordpress.com/tag/pejuang/. tanggal 27 oktober 2011
55
Hasyim Asyari dalam pidatonya tersebut, menyampaikan komentar tentang
politik umat Islam. Selama masa awal kemerdekaan Indonesia beberapa orang yang
berpengaruh, berusaha menggunakan Islam sebagai alat untuk mencapai tujuantujuan politik mereka. Hasyim Asyari menyampaikan dalam pidato tersebut:
“Kita menemukan bahwa peran masyarakat muslim dalam arena politik
ini sangat tidak penting. Pengaruh agama dalam arena politik di Indonesia
sangat lemah, bahkan mati. Bahkan ada bahaya yang lebih besar lagi yaitu
Islam telah digunakan oleh sebagian orang sebagai kendaraan untuk mencapai
tujuan dan harapan mereka, baik dalam bidang politik maupun pribadi.
Sangatlah berbahaya jika masyarakat memandang mereka tindakannya tidak
sesuai dengan ajaran agama sebagai muslim”116.
Hasyim Asyari dalam memberikan penjelasannya, tidak pernah luput dari apa
yang namanya perbandingan situasi politik pada masa awal kemunculan Islam.
Hasyim Asyari meyakini bahwa, pemerintahan Islam yang telah diletakkan oleh nabi
Muhammad, Abu Bakar dan Umar Bin Khatab memiliki tiga tujuan, diantaranya
yaitu:
1. Menetapkan hak yang sama bagi umat muslim
2. Melayani kepentingan rakyat dengan jalan perundingan.
3. Menjaga keadilan umat manusia.
Maka, dengan begitu keserasian atau keseimbangan antar umat beragama
tercipta dengan baik dan damai117.
116
Hasyim Asyari, Pidato pembukaan dalam Muktamar NU ke 17 di Madiun.
http://yogaprakosonugroho.wordpress.eom/tag/pejuang/http://yogaprakosonugroho.wordpressxom/
tag/ pejuang/, tanggal 27 oktober 2011
117
Idiologi Politik Islam, Pidato KH. Hasyim Asyari dalam Muktamar Masyumi di Solo
(Menara, 23 Februari 1946)
56
Hasyim Asyari menjelaskan lebih lanjut mengenai pemikiran politik pada masa
awal Islam Yaitu,
"Bentuk pemerintahan Islam, tidak ditentukan. Ketika Junjungan Besar
kita, Nabi Muhammad s. a. w akan berpulang kerahmatullah Beliau tidak
meninggalkan apa-apa tentang cara pemilihan Kepala Negara. Jikalau beliau
menentukan satu cara tentu menjadi aturan yang yang tetap berlaku selamalamanya, dengan tidak boleh diubah-ubah. Lalu Sahabat Abu bakar dipilih
secara umum . waktu S. Abu bakar akan berpulang kerahmatullah maka
ditunjuklah S. Umar untuk menjadi penggantinya. Dan waktu Umar akan
berpulang menurung bentuk komisi 6 orang, untuk memilih pengganti beliau
sebagai pengganti kepala Negara. Jadi tentang pemilihan kepala Negara, dan
banyak lagi hal-hal kenegaraan tidak ditentukan diikat dengan satu cara yang
menyempitkan, semua terserah kepada umat Islam ditiap-tiap tempa”118.
Hasyim Asyari mengemukakan bahwa, tidak akan berjalan dengan baik jika,
umat Islam terpecah-pecah.. Dan ini adalah inti ajaran Islam. Dalam Qanun Asasi
karangan Hasyim Asyari sendiri menjelaskan:
“Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan, dan kegagala, di
sepanjang zaman. Bahkan, pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber
keruntuhan, dan kebinasaan. Betapa banyak keuarga besar, semula hidup
dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai suatu
ketika kalajengking perpecahan marayapi mereka, bisanya menjalar, meracuni
mereka, dan setan-pun melakukan peranannya. Mereka kocar-kacir tidak
karuan. Dan rumah mereka runtuh berantakan”119.
Hasyim Asyari menyimpulkan mengenai fungsi agama dalam kehidupan sosialpolitik Islam di Indonesia, adalah pelaksanaan atau pratek ajaran-ajaran Islam dalam
segala aspek kehidupan, bukan hanya formalitas saja. Jadi, ia menyatakan, kita
118
Idiologi Politik Islam, Pidato K.H. Hasyim Asyari dalam Muktamar Masyumi di Solo
(Menara, 23 Februari 1946)
119
Hasyim Asyari, dalam Qanun Asasi.
57
masyarakat Islam tidak mesti untuk merebut posisi kepemimpinan, kita hanya
berkeinginan yang melaksanakan kepemimpinan di negeri ini melaksanakan nilai dan
ajaran Islam120.
B. Resolusi Jihad dan anti kolonialisme Hasyim Asyari
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akibat di bom atomnya
kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki., Indonesia sebagai bekas jajahan Jepang
seperti barang inventaris Jepang bagi sekutu, dan Menjadi sasaran sekutu untuk
menjajah Indonesia. Namun, para pejunag Indonesia menyadari betul bahwa, sejarah
negeri ini belum usai. Akhirnya, para pejuang kemerdekaan menculik Soekarno dan
Hatta, agar sesegera mungkin memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamirkan merdeka. Tidak lama setelah
kemerdekaan diproklamirkan, tentara sekutu datang. Datangnya tentara sekutu,
mengundang perlawanan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Bentrokkan
fisik antara rakat Indoensia dengan sisa-sisa Nippon, Belanda, maupun sekutu
(Inggris) terjadi di mana-mana. Bahkan pada bulan September 1945, ketika orangorang Belanda baru saja mendarat di Surabaya dengan kapal perang Inggris, arekarek Surabaya segera menyambut mereka dengan bentrokan fisik. Situasi menjadi
genting, dimana-mana terjadi bentrokan. Melihat situasi itu, dari Jakarta Presiden
Soekarno mengutus orang untuk menghadap seorang kyai terkemuka di Jawa Timur
Hasyim Asyari. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Hasyim Asyari, Apa
120
Lathiful Khuluq, fajar Kebangunan Ulama, h. 85
58
hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam, atau membela
Al Quran. Sekali lagi, membela tanah air?”121.
Pada saat itu, untuk merespon situasi yang membahayakan kedaulatan tanah air,
PBNU kemudian membuat undangan kepada para konsul NU di seluruh Jawa dan
Madura. Hasyim asyari pada saat itu langsung memanggil KH. Wahab Chasbullah,
Kyai Bisri Syamsuri dan para kyai lainnya untuk mengumpulkan para kyai se Jawa
dan Madura. Sehingga terjadilah pertemuan di Bubutan-Surabaya, tepatnya di kantor
PB Ansor Nahdlatul Ulama (ANO) pada tanggal 21-22 Oktober 1945 itu, yang
dipimpin langsung oleh Hasyim Asyari, yang berhasil mengeluarkan resolusi Jihad fi
Sabilillah yang sangat penting bagi sejarah kemerdekaan 1945. Setalah rapat darurat
tersebut menemukan titik temu, pada 23 Oktober, Hasyim Asyari atas nama Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi Sabililah yang
belakangan dikenal sebagai resolusi Jihad122.
Isi Resolusi Jihad itu:
1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945
wajib dipertahankan.
2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib
dibela dan diselamatkan, meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa.
3. Musuh-musuh republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan
memboneeng tugas-tugas tentara sekutu (Amerika- Inggris) dalam hal
121
122
Gugun El Gyanie, Jihad Paling Syar‟i. (Pustaka Pesantren. Yogyakarta, 2010), h. 73
Gugun El Gyanie, Jihad Paling Syar‟i, h. 74
59
tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan
politik dan militer untuk kembali menjajah indonesia.
4. Islam,
terutama
warga
NU
wajib
mengangkat
senjata
melawan
Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
5. Kewajiban tersebut adalah Jihad yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap
orang Islam (Fardlu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km. adapun bagi
mereka yang berada di luar jarak tersebut, berkewajiban membantu saudarasaudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut, dan hukumnya fardlu
kifayah.
Resolusi Jihad itu kemudian bergema di seluruh Jawa dan Madura terutama di
Surabaya. Semangat Jihad melawan sekutu dan NICA 123 membara di mana-manaPondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas Hizbullah dan Sabilillah.
Suasana gegap gempita mewarnai kehidupan masyarakat yang pada dasarnya tinggal
menunggu komando. Karena itu resolusi jihad NU telah memberikan semangat bagi
berkorbarnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang kini dikenal sebagai
hari Pahlawan124.
Resolusi ini pun kemudian dipertegas oleh Muktamar Umat Islam Indonesia di
Yogyakarta, 7-8 November 1945, ini merupakan Muktamar bersejarah bagi lahirnya
123
NICA disingkat, The Netherland East Indis Civil Administration ( Pemerintahan Sipil
Hindia-Belanda yang dibentuk di Australia pada akhir 1944 oleh pemerintahan colonial di
pengasingan, yang hendak kembali menggantikan kedudukan Jepang.
124
Choirul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan NU, h. 131
60
Partai Islam Masyumi
125
, yang menghasilkan resolusi perang sabil melawan
imperialisme. Bahwa, setiap bentuk penjajahan adalan suatu kedhaliman dan haram
menurut Islam. Karena itu, wajib bagi setiap muslim berjuang dengan jiwa raganya
membasmi imprealisme tersebut guna kemerdekaan agama, bangsa, dan Negara 126.
Sebulan setelah Muktamar Masyumi, markas tertingi Hizbullah dan Sabilillah
menyususn Program pertempuran selama satu tahun (Desember 1945-Desember
1946). Program itu terdiri empat pokok sasaran yang harus segera dilaksanaan oleh
setiap markas daerah dan kabupaten. Keempat pokok itu, pertama, memperkuat
tentara Islam. Kedua, Menghimpun dana untuk keperluan Jihad fi Sabilillah. Ketiga,
pemusatan tenaga alim ulama dan kyai sakti. Keempat, pembentukan dewan
Pimpinan Pertempuran terdiri dari wakil-wakil markas: Sabilillah, Hizbullah, Ulama,
TRI, Partai Masyumi dan GPU (Gerakan Pemuda Islam Indonesia)127.
Resolusi Jihad ini, kemudian dipertegas pada keputusan Muktamar NU ke 16 di
Purwokerto, maret 1946. Keputusan muktamar ini muncul setelah Resolusi Jihad NU
yang membangkitkan peristiwa 10 November di Surabaya. Keputusan ini tampaknya
merupakan penegasan kembali kewajiban Jihad mengusir penjajah yang masih ingin
menjajah tanah air. Di muktamar NU ke 16, muncul pertanyaaan dari Jombang yaitu:
Bagaimana hukumnya kita berperang untuk menolak musuh yang sudah
menginjakkan kakinya di tanah air kita sebagaimana yang telah terjadi sekarang ini?
125
Di Partai Islam Masyumi, yang termasuk keanggotaan Istimewa adalah NU,
Muhammadiyah. Di Partai ini, duduk tokoh-tokoh dan politikus dari semua partai dan organisasi
umat Islam yang telah ada di dalam partai baru ini. Ketua majelis Syuro badan hukum Agama
Islam dipercayakan kepada Hasyim Asyari. (Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari
Pesantren, h. 351)
126
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 131
127
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 131
61
Pada Mutamar ke 16 di Purwokerto kemudian memutuskan: pertama,
berperang menolak penjajah dan para pembantunya adalah fardlu ain atas tiap-tiap
jiwa, baik laki-laki atau perempuan, dan anak-anak juga yang sama berada di tempat
yang dimasuki oleh merekaitu (penjajah atau pembantunya). Kedua, Fardlu ain pula
atas tiap-tiap jiwa yang berada di dalam tempat-tempat yang jaraknya kurang dari 94
Km. terhitung dari tempat mereka itu (musuh). Ketiga, Fardlu kifayah atas segenap
orang-orang yang berada di tempat-tempat yang jaraknya ada 94 Km, tersebut.
Keempat, Jikalau jiwa-jiwa yang tersebut dalam nomor 1 dan 2 di sebutkan diatas
tidak mencukupi untuk menolaknya maka jiwa yang tersebut di dalam nomor 3 wajib
membantu sampai cukup. Keputusan Muktamar ini didasarkan pada keteranganketerangan yang ada dalam kitab Bujairimi Fathul Wahab Jilid 4, halaman 151, Kitab
Asnal Mathalib Syarah Ar Raudh Juz IV, halaman 178, serta Kitab Fathul Qarib,
halaman 58128.
Percikan Perjuangan Ulama, dalam hal ini Hasyim Asyari, yang kemudian
mencapai puncaknya terjadi padaio November 1945 yang dinamakan resolusi Jihad
tidak terlepas dari sikap-sikap anti kolonialisme Hasyim Asyari. Karena pada masa
itu kebencian penjajah sebagaimana dimanifestasikan oleh Belanda dan kaki
tangannya ditanggapi oleh sikap kebencian pesantren kepada Belanda. Benci dilawan
benci, dan kecurigaan dilawan kecurigaan pula. Sebagaimana contoh yang
dikemukakan dengan sikap ulama-ulama mengharamkan dasi dan pantalon. Al
128
Keputusan Muktamar, Munas, dan konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010. (Khalista dan LTN
PBNU, Surabaya, 2011), h. 270
62
Hukmu Yaduru ma'al illah, wujudan wa „adaman. Artinya, kepastian hukum sesuatu
tergantung factor penyebabnya, bila ternyata ada sebab, maka tetaplah hukum,
sebaliknya jika tidak terjumpai sebab, maka tidak jatuhlah hukum129.
Dalam hal lain juga qaidah fiqih menjelaskan, Man tasyabaha biqaumin fahua
minhum, artinya, siapa yang menyerupai mereka maka dia termasuk golongannya.
Sebabnya, Hasyim Asyari mengharamkan menggunakan dasi dan pentalon, lantaran
menyerupai Belanda. Untuk itu pakailah peci bilamana memakai dasi, karena pada
umumnya tidak ada Belanda memakai peci. Dalam hal lain juga, ulama
mengharamkan juga berbahasa belanda karena akan menyerupai belanda. Seperti
dalam Qaidah Fiqih menjelaskan, Man arafa lughati qaumin amina min syarrihim,
siapa yang paham bahasa-bahasa asing maka ia termasuk golongannya, tetapi
kemudian, bilamana belajar bahasa Belanda untuk kewaspadaan terhadap tipu
muslihat Belanda, maka hukumnya boleh130. Perlawanan Hasyim Asyari selanjutnya
adalah menolak medali kehormatan yang terbuat dari perak dan emas dari penjajah
Belanda, sebagai upaya menarik simpati Hasyim Asyari. Bahkan, melebihi itu,
Hasyim Asyari dengan berani mengeluarkan fatwa haram bagi masyarakat Indonesia
melakukan ibadah Haji jika, memakai fasilitas atau dimodali oleh penjajah
Belanda131.
129
Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 129
Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 129
131
Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asyari, Sejarah Singkat 1871-1947. (Arruz Media Group.
Yogyakarta, 2010), h. 81
130
63
Begitu juga ketika masa kolonial Jepang, panglima besar tentara Jepang di
Jakarta, Saikoo Sikikan, mengharuskan masyarakat Indonesia untuk melakukan
Saikere132. Hal ini, menimbulkan kegemparan di kalangan ulama dan dunia pesantren
di seluruh tanah air, yang kemudian para Ulama mengharamkan saikere tersebut
karena menyerupai ruku dalam sholat orang Islam, yang hanya diperuntukkan
menyembah Allah SWT133.
Sehingga, atas perlawanan tersebut, kemudian Hasyim Asyari di tangkap dan
dimasukkan ke penjara selama empat bulan oleh Kolonial Jepang. Hasyim Asyari
dituduh mengadakan aksi menentang kekuasaan Jepang di Indonesia. Peristiwa inilah
yang kemudian memancing reaksi para ulama untuk protes kepada kolonial Jepang
dengan menyatakan rela dipenjara bersama-sama dengan beliau, kalau beliau tidak
dibebaskan134.
C. Persatuan Umat
Seruan Persatun pada tahun-tahun 1930 an bermunculan, kesadaran ini
dibangun atas dasar Surat Al Imron ayat 103 yang berbunyi: “Berpegang teguhlah
pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. Sehingga, mengenai persoalan
khilafiyah dan furu’ yang terjadi pada tahun 1920an mulai mereda karena, disadari
hanya akan melemahkan perjuangan umat Islam. Upaya persatuan umat Islam ini
132
Saikere disebut sebagai tradisi jepang untk menghormati raja jepang, dengan cara,
membungkukan badan hingga 90 derajat, pada pagi hari pukul 07.00.
133
Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 264
134
Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asyari, Sejarah Singkat 1871-1947, h. 82
64
terus dibunyikan oleh ulama-ulama tradisional dalam hal ini Rois Akbar NU Hasyim
Asyari di tahun 1935 di kesempatan kongres Nahdlatul Ulama di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan, mengeluarkan sebuah sirkuler yang menyeru semua ulama, para
undangan, peserta kongres untuk mengesampingkan semua pertikaian, membuang
perasaan ta'assub (fanatik) dalam berpendapat, melupakan segala cacian dan celaan,
terhadap sesama serta menegakkan persatuan 135 . Usaha persatuan ini, kemudian
langsung disambut oleh kaum Islam modernis yang mendambakan adanya persatuan
antar umat Islam, dan Muslim modernis juga telah bosan dengan pertikaian-pertikaian
mengenai khilafah dan furu’ yang tidak berujung akan adanya persatuan136.
Karena ada kemauan dan semangat untuk bersatu antar umat Islam maka, pada
tanggal 18-21 september 1937, berapatlah empat tokoh Islam di Pondok Kebondalem,
Surabaya. Mereka adalah KH. Wahab Chasbullah, KH. Achmad Dahlan (keduanya
dari NU), Kiai Mas Mansur (Perwakilan dari Muhammadiyah), dan W.
Wondoamiseno (perwakilan SI). Dalam pertemuan itu, diputuskan untuk membentuk
badan federasi bernama MIAI (Majeis Islam Ala Indonesia) atau dengan bahasa
Majelis Tinggi Islam Indonesia. Adapun tujuannya adalah untuk membicarakan dan
memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama
Islam, yang keputusannya harus dipegang teguh dan dilakukan bersam-sama oleh
segenap perhimpunan yang menjadi anggotanya. Umumnya, pembentukan MIAI ini
135
136
Deliar Noer, Gerakan Islam Moderen di Indonesia 1900-1942, h. 261
Deliar Noer, Gerakan Islam Moderen di Indonesia 1900-1942, h. 51
65
disambut baik oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Jumlah anggotanya pun
bertambah, dari tujuh pada tahun 1937 menjadi dua puluh satu pada tahun 1941137.
Setelah terbentuknya MIAI, pada kongres pertama, membahas berbagai masalah
penting untuk memajukan Islam dan umat Islam. Beberapa masalah yang dianggap
penting antara lain, meminta kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk mengusut
pelaku penghinaan terhadap agama Islam, Al Quran dan Nabi Muhammad, Saw;
menolak juga pemindahan urusan waris dari 'Raad Agama ke tangan Hakim Lund
Raad oleh pemerintah Hindia-Belanda; dan juga mengusahakan perbaikan masalah
perjalanan haji; dan mengadakan propaganda Islam pada kolonisten dan berusaha
membantu meringankan beban umat Islam Palestina138.
Puncak dari perjuangan MIAI terlihat ketika Kongres muslim Indonesia ketiga
tanggal 5-8 Juli 1941 di Solo. Kongres ini didahului masalah penting. Pertama,
perubahan tatanegara. Kedua, Soal milisi. Ketiga, tentang Boodtransfoesie
(pemindahan/transfusi darah) 139 . Apa yang menjadi tuntutan MIAI dipertegas pula
pada Muktamar NU ke 15, tanggal 15-21 Juni 1940 di Surabaya. Beberapa hal yang
menjadi tuntutannya adalah mendesak pemerintah Hindia-Belanda melakukan
perbaikan-perbaikan seperti memberikan pertolongan kepada jamaah haji Indonesia
yang terperangkap di Makkah akibat perang antara Jerman-Belanda, mencabut
Ordonansi Guru 1925, guna melepas ikatan pengajaran Islam dari penyempitan
peraturan pemerintah, menindak tegas para penghina Islam, memohon agar Belanda
137
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 262
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 104
139
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 106
138
66
tidak menyalahi prinsip sentral terhadap agama, dan satu keputusan yang penting
lainnya, menyangkut siapa yang menjadi presiden pada masa mendatang, setelah
Indonesia merdeka nanti. Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa, MIAI telah
menempatkan diri sebagai satu-satunya badan federasi umat Islam yang utuh. Dan ia
betul-betul bergerak maju membawa aspirasi umat Islam dalam segala hal, terutama
dalam perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan hakiki140.
Namun, sebelum tuntutan-tuntutan itu dikabulkan Belanda, sebuah perubahan
besar telah terjadi. Pasukan Jepang berhasil menundukkan Belanda dan menggantikan
kedudukannya di Indonesia. Pada saat itu Jepang mulai turut campur lebih dalam
terhadap urusan-urusan yang berkaitan dengan Islam. Pada masa Jepang, Hasyim
Asyari bersifat lunak, sehingga ia diangkat menjadi kepala Shumubu, yang tugas
kesehariannya dilakukan putranya KH. Wahid Hasyim. Pada masa itu, untuk
menghindari pandangan bahwa organisasi yang dibentuk itu merupakan reaksi anti
kolonial, Jepang mengganti nama MIAI menjadi Masyumi, pada 1943. Bentuknya
sama federasi141.
Selepas Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, di tubuh
Masyumi yang pertama kali menjadi anggota adalah, NU, Muhammadiyah, Persatuan
Umat Islam,Perserikatan Ulama Islam, dan pada tahun-tahun berikutnya ditambah
140
141
Choirul Anam. Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 106
Kacung Marijan. Quo Vadis NU; Setelah kembali ke Khittah 1926, h. 57
67
organisasi Islam lain juga bergabung seperti, Al Irsyad, Al Jamiyatul Wasliyah, Persis,
dan beberapa ormas Islam yang lain142.
Dalam muktamar Masyumi di Solo, Hasyim Asyari menyerukan lebih jauh tentang
persatuan umat Islam di Indonesia bahwa:
“Syarikat Islam tidak akan berjalan sempurna apabila kepentingan umat
Islam berjalan sendiri-sendiri lepas dari ikatan yang tertentu. Dengan ini,
Sahabat Umar ra berkata, Islam tidak akan sempurna jalannya, melainkan
dengan ikatan persatuan. Dan persatuan tidak akan berarti melainkan dengan
pemerintahan”143.
Dalam karyanya sendiri, Qanun Asasi juga menjelaskan lebih jelas mengenai
persatuan
umat
Islam,
diantaranya
yang
menarik
dikumandangkan
untuk
mempertegas pentingnya persaudaraan dan persatuan yaitu:
“Amma ba'du. Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal persatuan dan
kekompakan adalah merupakan yang tidak seorangpun yang tidak mengetahui
manfaatnya.
Rosulullah bersabda, Tangan Allah bersama jamaah, Apabila diantar
jamaaah itu ada yang memencil sendiri maka, syetan pun akan menerkamnya
seperti halnya serigala menerkam kambing.
Suatu umat bagaikan jasad lainnya. Orang-orangnya ibarat anggota
tubuhnya. Setiap anggota punya tugas dan perananya.
Seperti dimaklumi, manusia tidak dapat bermasyarakat bercampur dengan
yang lain. Sebab, tidak seorangpun bisa sendirian memenuhi segala kebutuhankebutuhan. Dia mau tidak mau dipaksa bermasyarakat, berkumpul yang
membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak kebutuhan dan ancaman
bahaya dari padanya.
Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lainnya saling bantu
menangani satu perkara dan seia sekata adalah merupakan penyebab
kebahagiaan yang terpenting dan factor paling kuat bagi menciptakan
persaudaraan dan kasih sayang.
142
Kacung Marijan. Quo Vadis NU; Setelah kembali ke Khittah 1926, h. 68
Idiologi Politik Islam, Pidato Politik Hasyim Asyari dalam Muktamar Masyumi di Solo,
Menara. 23 Februari 1946.
143
68
Berapa banyak Negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba
menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan merata, negeri-negeri
menjadi maju, pemerintah ditegakkan, jala-jaan menjadi lancer, perhubungan
menjadi ramai, dan masih banyak lagi manfaat-manfaat lain dari hasil
persatuan yang merupakan keutamaan paling besar dan merupakan sebab dan
sarana paling ampuh.
Sayyidina Ali berkata;
Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan, juga
kebathilan sebaliknya, dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan”
Penjelasan diatas merupakan salah satu bagian dalam karya monumental
Hasyim Asyari bagi umat Nahdlatul Ulama. Sehingga, karya ini menjadi sandaran
husus bagi aktifitas Jamiyah Nahdlatul Ulama terutama tentang persatuan umat Islam,
hususnya di NU umumnya di Indonesia144.
144
Hasyim Asyari. Dalam karyanya Qanun Asasi.
Daftar Pustaka
Agam, Rameli, Menulis Karya Ilmiah (Yogyakarta: Familia, 2009)
Anam, Choirul, Pertumbuhan & Perkembangan NU. (Surabaya: Duta Aksara Mulia,
2010).
Ansary, Tamim, Sejarah Duni Versi Islam. (Jakarta: Zaman, 2010).
Anshari, Endang Saufuddin, Wawasan Islam. (Jakarta: Rajawali Press, 1976)
Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan islam. (Jakarta: Rajawali, 1976)
Asyari, KH. Hasyim, Irsyadu Al Syari. (Tebu Ireng-Jombang: Wawasan Islam)
Asyari, KH. Hasyim, Qanun Asasi.
Asyari, Suaidy, Nalar Politik Nu dan Muhammadiyah (Yogyakarta: LKiS, 2009)
Dhofier, Zamaksari, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S, 1994)
Effendi, Djohan, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi (Jakarta: Kompas, 2010)
El Guyanie, Gugun. Resolusi Jihad Paling Syar’i. (Yogyakarta: LKiS, 2010)
Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama. (Yogyakarta: LKiS, 2009)
Ida, Laode, Anatomi Konflik; NU, Elit Islam dan Negara. (Jakarta: S‫؛‬nar Harapan,
1996).
Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangkitan Ulama. ( Yogyakarta: LkiS, 2000)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. (Bandung: Mizan, 1991)
Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa. (Bandung: Mizan, 2005).
Maarif, Syamsul, Mutiara-Mutiara dakwah KH. Hasyim Asyari ( Bogor: Kanza
khasanah, 2011)
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU; Setelah kembali ke Khittah 1926. (Jakarta:
Erlangga, 1992)
71
Noer, Deliar Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. (Jakarta: Grafiti, 1987)
Anam, Choirul, Gerak langkah pemuda Ansor. (Surabaya: Aula, 1990)
Musa, Ali Maschan, Nasionalisme Kyai. (Yogyakarta: LKiS, 2007)
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa.
(Bandung: Mizan, 1999)
Rifai, Muhammad, KH. Hasyim Asyari, Sejarah Singkat 1871-1947. (Yogyakarta:
Arruz Media Group, 2010)
Sani, Abdul, Perkembangan Modern Dalam Islam. (Jakarta: Raja Grafindo persada,
1998).
Siroj, Said Aqil. Tasawuf; Sebagai Kritik Sosial. (Ciganjur-Jakarta Selatan: Yayasan
Khas, 2010).
Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning; tradisi-tradisi Islam di Indonesia. (Bandung:
Mizan, 1999)
Wahid, Abdurrahman„ Pesantren Sebagai sebuah Subkultur; dalam pesantren
pembaharuan. (Jakarta: LP3ES, 1974).
Wahyudi, K. Yudian , ISLAM, Percikan Sejarah, Filsafat, Hukum, dan Pendidikan.
(Yogyakarta: Nawesea Press, 2010).
Zuhaeri Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari; moderasi, keumatan, dan
kebangsaan. (Jakarta: Kompas, 2010).
Zuhri, Ahmad Muhibbin, Pemikiran Hasyim Asyari tentang Ahlussunah waljama'ah.
(Surabaya: Khalista, 2010).
Zuhri, Saefuddin, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. (Yogyakarta: LKiS. 2007)
Keputusan Muktamar, Munas, dan konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010. (Surabaya:
Khalista dan LTN PBNU, 2011)
Pedoman Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. (Jakarta: CeQDA UIN Syahid,
2006).
Pedoman Akademik Program Strata 1 2011-2012. (UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta,
2009).
72
KH. Said Aqil Siraj, dalam acara Dialog Terbuka Forum Kyai Muda. (Pondok
Pesantren Solawat Sidoarjo-Jawa Timur, 20 Oktober 2009).
Media Masa
Pidato Politik Hasyim Asyari dalam Muktamar Masyumi di Solo, Idiologi Politik
Islam. (Koran Menara. 23 Februari 1946)
Internet
http://yogaprakosonugroho.wordpress.com/2011/01/17/sang-maha-guru-keulamaandan-perjuangannya/#more-175. Diakses pada tanggal, 27 Oktober 2011
http://yogaprakosonugroho.wordpress.com/tag/pejuang/. Diakses pada tanggal, 27
oktober 2011.
http://yogaprakosonugroho.wordpress.eom/tag/pejuang/http://yogaprakosonugroho.w
ordpress.com/tag/pejuang/. Diakses pada tanggal, 27 oktober 2011
http://ush.sunan-ampel.ac.id. Diakses pada tanggal, 25 Oktober 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/GerakanJslam. diakses 17 Januari 2012
http://www.g-excess.com/3761/perlawanan-menentang-penjajah-perang-diponegoro
1825-%E2%80%93-1830/. Diakses, 17 Januari 2012
http://titikpelangi.wordpress.com/2009/04/29/perang-aceh-1873-1903/.
Diakes, 17 Januari 2012.
http://ian43.wordpress.com/2010/05/25/perbedaan-dan-pengertian-penelitiankualitatif-dan-kuantitatif/. Diakses, 03 April 2012
73
Surat Pernyataan Publikasi
Dengan ini saya;
Nama Mahasiswa : Ono Rusyono
NIM
Prodi
: 107033201841
: Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
penulis Skripsi “PEMIKIRAN POLITIK KEAGAMAAN HASYIM ASYARI 1926-1946 M”,
menyatakan untuk bersedia di publikasi skripsinya jika dianggap perlu oleh pihak Kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikianlah surat pernyataan ini kami buat, dengan tidak ada paksaan.
Ciputat, 25 Juli 2012
Penulis
Ono Rusyono
Download