PEMIKIRAN POLITIK KEAGAMAAN HASYIM ASYARI TAHUN 1926 – 1946 M Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Ono Rusyono NIM. 107033201841 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H / 2012 M ABSTRAK Ono Rusyono Pemikiran Politik Keagamaan Hasyim Asyari Tahun 1926-1946 M Haysim Asyari merupakan ulama yang tidak saja ahli dalam bidang keagamaan, tetapi ia juga ahli dalam bidang politik. Pemikiran politiknya, ia sejalan dengan pemikiran politik sunni, diantaranya yaitu, keluwesan dalam mensikapi kondisi politik, dan realisme, karena kaum sunni percaya bahwa kegigihan untuk bertahan bukan hanya sekedar sesat. Itu semua bila nasib umat dipertaruhkan, maka itu menjadi sia-sia. Begitu juga dengan pemilihan kepala negara dan banyak lagi dengan hal-hal kenegaraan, ia meyakini, tidak ditentukan diikat dengan satu cara yang menyempitkan, semua terserah umat di tiap-tiap tempat. Siapapun kepala negaranya, selagi memberi kedamaian terhadap umat, maka wajib untuk dipertahankan. Sikap politiknya, ia lebih kepada usaha pertahanan budaya, Seperti dalam Qaidah Fiqih, Man Tasyabbaha biqoumin fahua minhum, siapa orangnya yang menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk bagian dari golongannya. Dan penyatuan umat, sikap politiknya yang sangat krusial bagi kemerdekaan Negara Republik Indonesia yaitu Resolusi Jihad. i KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan pencipta alam, pemberi rahmat, ampunan, serta hidayah kepada makhluk-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam, kekasih alam, nabi kita Muhammad Saw, karena atas perjuangannya, manusia telah menjadi makhluk yang bermoral, berilmu, dan beradab. Selain itu juga, penulis merasa sangat bersyukur atas perjuangan para Pi’ar Nabi Muhammad, Sahabat, Tabiin, Waliyullah, serta Ulama. Yang senantiasa membimbing umat manusia kearah yang benar. Penulis tidak bisa membayangkan jikalau dunia ini tidak ada pejuang seperti yang barusan penulis sebutkan, tentunya, kehidupan manusia tidak akan maju dan beradab seperti yang bersama kita lihat sekarang ini. Penulis meyakini bahwa, apa yang telah dilakukan (menulis skripsi) ini, merupakan output perjuangan panjang nabi Muhammad Saw, dan para Pi’ar-nya semasa hidupnya. Dalam skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak masukan dari sanasini. namun semoga hal itu tidak mengurangi manfaat pembuatan skirpsi ini, khususnya buat penulis, umumnya kepada pembaca skripsi ini. Walaupun demikian, penulis menyadari dengan sepenuh hati, bahwa skripsi ini tidak akan selesai jika tanpa dukungan semua pihak. Karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis sampaikan banyak terimakasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada; 1. Ibunda Hj. Tiah dan Ayahanda H. Kalita (Allahuyarham) yang senantiasa sabar mengasuh dan mendidik penulis dengan penuh kasih dan sayang ii yang tulus ikhlas, hingga penulis bisa menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kasih dan sayangnya, tulus ikhlasnya, selalu menyertai penulis dalam aktifitas kehidupan selanjutnya. Begitu juga dengan kakanda Sri Hayati, Wasniawati, Aeliyah, Halimah, serta segenap keluarga yang secara terus menerus memotivasi penulis untuk jangan tinggal belajar. 2. Rektor, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA beserta pembantu rektor, yang meliputi Pembantu Rektor Bidang Akademik, Pembantu Rektor Bidang Administrasi umum, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pembantu Rektor Bidang Pengembangan Kelembagaan. 3. Dekan, Prof. Dr Bahtiar Effendi beserta para pembantu Dekan, seluruh Dosen, hususnya Dosen yang membidangi Ilmu Politik, dan juga para karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 4. Ketua. Dr. Ali Munhanif beserta Sekertaris Jurusan Ilmu Politik yang telah membantu penulis hingga menyelesaikan belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak M. Zakki Mubarak, M.Si sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, tenaga, untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Para Dosen yang telah mendidik, mengajar penulis, hingga dapat menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. iii 7. Kepala TU FISIP, besert seluruh Staf-staf TU, terimakasih atas bantuan administrasinya. 8. Bapak dan Ibu Pimpinan serta karyawan perpustakaan Utama yang telah memudahkan penulis mendapatkan bahan-bahan penulisan skripsi. 9. Keluarga Besar Ikatan Mutakharrijin Madrasah Aliyah Negeri (IMMAN) Jakarta, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu nama-namanya. 10. Keluarga Besar Persatuan Mahasiswa Indramayu (Permai-Ayu) DKI Jakarta. 11. Keluarga Besar Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jakarta. 12. Keluarga Besar Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP), Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, Muhammad,M.H, Ayatullah, S.Fil, Jamaluddin Muhammad, Abdul Rouf, S.Ud, Idris Masudi- Akrom Halimi, Ashif Shofiyullah, Ibnu Ubaydillah, S.E, yang selalu memotivasi penulis hingga dapat menyelesaikan studi. 13. Teman-teman satu kelas beserta semua teman-teman kelas lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga amal dan jasa baik yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima Allah SWT dan dibalasNya dengan pahala yang berlimpah, Amin. Dengan segala kelemahan dan kelebihan, kesalahan dan kebenaran yang ada dalam penulisan ini, perlu untuk dikritik dan diberi saran yang membangun. Hal ini, sangat penulis harapkan. Penulis meyakini bahwa Al khota min al’amal (keluputan iv adalah bagian dari amal), “kalau tidak mau ketabrak, ya, jangan Nyupir”. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi para pembaca umumnya. Segala Puji bagi Tuhan semesta alam, Semoga Ia selalu meridloi setiap langkah kita. Amin. Jakarta, 03 April 2012 Ono Rusvono Penulis v DAFTAR ISI ABSTAK………………………………………………………………………... i KATA PENGANTAR………………………………………………………….. ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………. vi PEDOMAN TRANSLITER…………………………………………………… viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………………. 1 B. Tinjauan Pustaka………………………………………………………. 4 C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah……………………… 7 D. Metodelogi Penelitian…………………………………………………... 7 E. Sistematika Penulisan…………………………………………………... 9 BAB II BERDIRINYA ORGANISASI KEAGAMAAN A. Kebangkitan Gerakan Islam…………………………………………… 11 B. Munculnya kelompok modernis : Al Irsyad, Persis, Muhammadiyah. 15 C. Berdirinya NU sebagai Organisasi Tradisional……………………… 21 D. Modernis dan Tradisionalis…………………………………………… 25 BAB III BIOGRAFI SOSIAL DAN KEAGAMAAN KH. HASYIM ASYARI A. Aktifitas social kehidupan keagamaan dan politik pada massa penjajahan Belanda dan Jepang…………………………………………………… vi 31 B. Perjalanan Pendidikan Keagamaan………………………………… 33 C. Ahli Hadits……………………………………………………………. 36 D. Kyai para kyai di Jawa………………………………………………. 38 E. Karya-karya keagamaan…………………………………………….. 40 F. NU sebagai kekuatan masyarakat…………………………………… 42 G. Hizbullah………………………………………………………………. 45 BAB IV PEMIKIRAN POLITIK DAN KEAGAMAAN KH. HASYIM ASYARI A. Pemikiran Politik Hasyim Asyari..…………………………………... 49 B. Resolusi Jihad dan anti kolonialisme Hasyim Asyari………………. 57 C. Persatuan Umat……………………………………………………….. 63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 69 DAFTAR PUSTAKA Lampiran vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki periode awal abad dua puluhan, gerakan anti kolonial di HindiaBelanda, golongan Islam kembali menjadi gerakan-gerakan nasional. Dimana pada dekade itu, timbul kesadaran berbangsa dan bernegara. mengubah perjuangan Kesadaran tersebut kemudian, dari strategi militer ke strategi damai dan terorganisir3. Tumbuhnya kesadaran tersebut, menyadarkan umat Islam akan pentingnya mendirikan organisasi-organisasi politik, diantaranya ditandai dengan berdirinya Serikat Dagang Islam (SDI) tahun 1909 oleh Raden Mas Tirtoadisuryo dan Ki Haji Samanhudi, yang tidak lama kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI) di Solo tahun 1912, Al-Irsyad di Jakarta tahun 1913 oleh Ahmad Sorkati, Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan, Persis di Bandung tahun 1923 oleh H. Zam zam dan Haji Muhammad Yusnus, NU di Surabaya tahun 1926 oleh KH. Hasyim Asyari. begitu juga dari organisasi yang bukan bercorak Islam Seperti Budi Utomo tahun 1908 oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Sutomo4. Pada masa itu, ada dua corak gerakan politik kegamaan yang berkembang, yaitu Islam modernis dan Islam tradisionalis. Islam Modernis diartikan sebagai gerakan 3 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 4 4 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,. (Jakarta: Rajawali, 1976), h. 230 1 2 yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional dengan disesuaikan pada aliran-aliran modern dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan5. Sedangkan Islam Tradisionalis diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta bertindak yang berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Secara etimologis, tradisionalis berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan. Tradisionalisme Islam di Indonesia diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran keagamaan dan praktik Islam6. Di Indonesia, kaum tradisionalis Islam ialah mereka yang konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama-ulama terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat. Islam tradisionalis meyakini bahwa, Syari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam, sudah terkristal dalam beberapa mazhab7. Lebih ringkas pengertiannya adalah, Modernis disebut kalangan muda, sedangkan tradisionalis disebut kalangan tua. Dari segi teologis atau ketuhanan, tidak ada perbedaan yang mendasar antara kalangan Islam modernis dan Islam tradisionalis8. 5 Endang Saifuddin Ansharo. Wawasan Islam,. (Jakarta: Rajawali, 1976), h. 230-231 Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi (Jakarta: Kompas. 2010), h. 84 7 http://ush.sunan-ampel.ac.id, 7 Juni 2011 8 Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, h. 84 6 3 Kedua corak Islam tersebut, mempunyai sudut pandang politik yang berbeda. Dalam penelitian ini, akan mencoba untuk meneliti salah satu corak tersebut yaitu, corak politik Islam tradisionalis yang diwakili oleh KH. Hasyim Asyari. Dimana, ia dalam banyak peneliti dianggap sebagai tokoh dan panutan dalam gerakan Politik Islam tradisonal. Karena memang, dalam sejarah hidupnya selalu mengalami kesuksesan seperti, terwujudnya Persatuan Umat, Sebagai Kyainya para kyai, NU menjadi besar, diangkat menjadi Ketua dewan syuro MIAI sampai Masyumi, dan masih banyak lagi kesuksesan perjuangan politiknya9. Dengan demikian, menarik diteliti pemikiran politik keagamaannya semasa hidupnya, awal abad 20-an. Dalam mengkajinya, peneliti melakukan penelitian dengan menggunkan disiplin Ilmu Politik yang tetap mempertimbangkan ketokohannya. Karena penelitiannya melalui disiplin Imu Politik, maka, yang menjadi fokus penelitiannya adalah pemikiran politiknya10. Dengan membatasi penelitian tersebut maka, diharapkan dapat diketahui pemikiran politik keagamaan Hasyim Asyari. Politik Islam tradisional yang diwakili oleh sosok Hasyim Asyari telah memunculkan corak yang berbeda. Selain itu, corak tersebut memiliki karakter yang tinggi terhadap budaya bangsa, dan patut untuk diberikan aspiratif, karena figur yang komplek yakni sebagai ulama, kyai, dan tokoh politik nasional., berbeda dengan 9 Samsul Maarif, Mutiara-Mtiara dakwah KH. Hasyim Asyari ( Bogor: Kanza khasanah. 2011), hal. xiii 10 Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta. LP3S, 1994), h. 149 4 ulama, kyai dan tokoh politik pada saat itu11. Hasyim Asyari pada saat itu, termasuk tokoh yang memiliki pengaruh politik yang sangat besar. Keberhasilannya mendirikan organisasi tradisional yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dengan dibantu oleh murid dan koleganya telah membuktikan bahwa, Hasyim Asyari salah satu ulama tradisional yang paling berpengaruh pada saat itu., dan organisasi tersebut masuk dalam organisasi terbesar pertama di Indonesia bahkan di dunia12. B. Tinjauan Pustaka KH. Hasyim Asyari adalah salah satu tokoh politik keagamaan yang penting di Indonesia. Ia adalah salah satu ulama yang mendapatkan gelar pahlawan nasional. Ia adalah pendiri organisasi masa Islam Nahdlatul Ulama yang memiliki jumlah masa terbesar di Indonesia. Karena besarnya ketokohannya, maka sudah banyak yang mengkaji dan menelitinya, kajian tersebut ada yang berupa disertasi, tesis, sekripsi, atau berupa buku, artikel. Namun untuk kajian secara khusus yang mengkaji tentang pemikiran politik keagamaannya sepengetahuan peneliti belum ditemukan. Berikut beberapa kajian atau penelitian yang sudah peneliti temukan: 1. Muhammad As'ad Shihab, menulis kitab Al Allamah Muhammad hasyim Asyari Wadlial lstiqlal al Indonesia, diterbitkan di Beirut, Dar al- Shadiq. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh KH. Musthafa Bisri dengan judul Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari: Perintis Kemerdekaan Indonesia, diterbitkan di Yogyakarta oleh Titian Illahi Press 11 12 Dzofier. Tradisi Pesantren, h. 150 Dzofier, Tradisi Pesantren, h. 149 5 tahun 1994. Isi karya ini adalah membahas mengenai cita-cita perjuangan pada masa penjajah13. 2. Lathiful Khuluq yang menulis tesis dan dipertahankan di Institute of Islamic Studies Mc-Gill University berjudul, KH. Hasyim Asyari Religious Thought and Political Activities, yang diterbitkan oleh LKiS, Fajar Kebangunan Ulama. KH. Hasyim Asyari14. 3. Muhammad Rifai, menulis tentang Biografi singkat KH. Hasyim Asyari 1871 - 1974. Arruz Media. Yogyakarta. 2010. Hingga cetakan ke dua15. 4. Samsul Maarif dalam disertasinya, kemudian dibukukan, dengan judul Mutiara-Mutiara dakwah KH. Hasyim. Asyari, diterbitkan oleh Kanza Hasanah, Bogor. 2011, ia hanya mengkaji dari segi dakwah KH. Hasyim Asyari semasa hidupnya16. 5. H. Suwendi, dalam tesisnya yang dipertahankan di UIN Jakarta juga menulis tentang KH. Hasyim Asyari dengan judul, Konsep pendidikan KH. Hasyim Asyari, kemudian dibukukan dengan tema yang sama, diterbitkan oleh LeKDiS, Jakarta 2005, ia mengkaji hanya dari segi pendidikan17. 6. Dr.H. Syamsun Niam, M.Ag, menulis buku tentang Wasiat Tarekat Hadratus 13 KH. Musthafa Bisri, Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari: Perintis Kemerdekaan Indonesia, (Titian Illahi Press. Yogyakarta, 1994). 14 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama ( Yogyakarta: LkiS, 2000) 15 Muhammad Rifai, Biografi singkat KH. Hasyim Asyari 1871-1947. ("Arruz Media. Yogyakarta. 2010). Cet ke II 16 Samsul Maarif, Mutiara-Mutiara dakwah KH. Hasyim Asyari, (Kanza Hasanah. Bogor, 2011 17 H. Suwendi, Konsep pendidikan KH. Hasyim Asyari, (LeKDiS. Jakarta, 2005) 6 Syaikh Hasyim Asyari, Ia mengkaji tentang Kritikan KH. Hasyim Asyari atas ajaran dan praktek ketarekatan, juga wasiat-wasiat tarekat Syaikh Hasyim Asyari. Dan kajian ini merupakan tafsiran dan analisis dari kitab yang tulis oleh KH. Hasyim Asyari, Yaitu Kitab Ad Darur Al Muntasyirah Fi Masail At Tisa Asyarah dan Tamyiz Al Haq Min Al Bathil yang ditulis pada tahun 1940. Di dalam kedua tulisan tersebut KH. Hasyim Asyari telah berhasil memaparkan sisi-sisi yang dianggap menyimpang dari tradisi-tradisi kemurnian Islam, padahal realitasnya, tarekat yang merupakan sebuah institusi dalam praktek keberagaman kebanyakan umat Muslim Indonesia adalah hal yang sangat ditradisikan oleh Mayarakat Muslim Indonesia waktu itu18. 7. Zuhairi Misrawi, menulis buku tentang Hadratussyaikh Hasyim Asyari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. Diterbitkan oleh Kompas, Jakarta 201019. Dari beberapa tulisan yang disebutkan di atas, baik berupa buku, sekripsi, tesis dan disertasi, belum ada yang membahas tentang pemikiran politik keagamaan Hasyim Asyari. Untuk itu, peneliti tertarik mengkaji pemikiran politik keagamaan 18 Dr. H. Syamsun Niam, Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asyari (Arruz Media. Yogyakarta,2011) 19 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. (Kompas. Jakarta, 2012) 7 Hasyim Asyari dalam percaturan Politik di Indonesia. Kajian yang akan dibahas adalah pemikiran politik keagamaannya. Faktor lain kenapa penelitan ini dibuat, sebagai bukti bahwa Hasyim Asyari bukan hanya tokoh agama yanga hanya bisa mengaji dan mengajarkan keagamaan, tetapi tentang perpolitikan juga ia ahli. Sebagai mana disebutkan dalam disertasi Samsul Maarif, bahwa Hasyim Asyari hanyalah tokoh agama yang hanya mengenal tentang dakwah keagamaan. Bukti dari itu adalah, Hasyim Asyari mendirikan Organisasi Masa yaitu Nahdlatul Ulama. Atas dasar tersebut peneliti berkeyakinan bahwa Hasyim Asyari bukan hanya sebagai tokoh Kyai, Ulama, tetapi juga ia sebagai tokoh politik yang mesti kita tiru aktivitas dan pemikiran politiknya. C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah Dalam pembatasan masalah dan perumusan masalah ini, penulis akan membatasi yang disesuaikan dengan tema, Pemikiran Politik keagamaan Hasyim Asyari dalam kontelasi politik di Hindia Belanda awal abad 20-an. Kajian ini dibatasi dengan pembahasan yang bersifat kohesif dan terfokus, sehingga, tidak keluar dari masalah apa yang telah ditulis di bawah ini. Berikut masalah penelitian ini dibuat: 1. Bagaimana Pemikiran Politik Keagamaan Hasyim Asyari? 2. Bagaimana pemikiran dan sikap Hasyim Asyari tentang perlawanan terhadap kolonialisme? 8 D. Metodelogi Penelitian Metodelogi penelitian yang digunakan Peneliti adalah metodelogi Kualitatif, yaitu salah satu penelitian prosedural yang menghasilkan data deskriptif. Dalam penelitian ini, pertama yang dilakukan peneliti adalah dengan cara mengumpulkan data dan informasi, baik berupa buku-buku, tesis, disertasi, sekripsi, surat kabar, maupun artikel-artikel, yang menyangkut tentang Pemikiran Politik Hasyim Asyari, kemudian diidentifikasi secara sistematis dan analisis, dengan bantuan berbagai material yang ada20. Sedangkan data-data yang diperlukan dan dicari itu dari sumber-sumber kepustakaan yang bersifat primer dalam arti, data yang langsung diperoleh dari sumber data yang pertama, yaitu Muqadimah. Qanun Al Asasi Lijami Nahdlatul Ulama, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Ijtihad Politik Ulama, Teks Pidato Politik Hasyim Asyari, dan yang Sekunder yaitu, data yang lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan dari sumber-sumber lain yang disebut sumber pendukung. 1. Teknik Pembahasan Dalam teknik penelitin ini, penulis menggunakan beberapa teknik, diantaranya yaitu: pertama, dengan teknik Deskriptif, yaitu suatu pembahasan yang bermaksud untuk membuat gambaran mengenai data-data yang ada atau menjawab 20 http://ian43.wordpress.com/2010/05/25/perbedaan-dan-pengertian-penelitian-kualitatifdan-kuantitatif/. Diakses, 03 April 2012 9 pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu sedang berjalan dari pokok permasalahan atau menuturkan dan menafsirkan data yang berkaitan dengan fakta, keadaan, variable, dan fenomena yang terjadi pada saat itu21. Kedua, teknik analisis, yaitu suatu bahasan dengan cara memberikan penafsiran-penafsiran terhadap datadata yang terkumpul dan tersusun. Jadi teknik analisis adalah suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah tersusun dan terkumpul dengan cara memberikan tafsiran terhadap data-data tersebut22. E. Sistematika Penulisan dan Teknik Penulisan 1. Sistematika Penulisan Untuk menghindari tumpah tindih pembahasan dan penulisan, demi konsentrasinya pemikiran serta pemecahan pokok masalah agar tuntas. Penelitian ini disusun dalam suatu sistematika yang terdiri dari bab-bab yang saling berkaitan dan saling menunjang antara satu dengan yang lainnya. Bab I, merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, studi kepustakaan, perumusan masalah dan pembatasan masalah, metodelogi pembahasan, dan sistematika penulisan. Bab II, Kebangkitan Gerakan Islam, Munculnya kelompok modernis : Al Irsyad, Persis, Muhammadiyah, Berdirinya NU sebagai Organisasi Tradisional, Modernis dan Tradisionalis. 21 22 Rameli Agam, Menulis Karya Ilmiah (Yogyakarta: Familia, 2009), h. 90 Pedoman Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. CeQDA, U1N Syahid Jakarta, 2006. 10 Bab III, berisi Biografi Sosial dan Keagamaan; Aktifitas sosial kehidupan politik dan posisi ada massa penjajahan Belanda dan Jepang, Perjalanan Pendidikan Keagamaan, Ahli Hadits, Kyai para kyai di Jawa, Karya-karya keagamaan, NU sebagai kekuatan masyarakat, Hizbullah. Bab IV, analisi Pemikiran Politik Hasyim Asyari, Resolusi Jihad dan anti kolonialisme Hasyim Asyari, Persatuan Umat. Bab V, merupakan bab terakhir yang membahas tentang kesimpulan, kemudian, dalam akhir penulisan ini diakhiri dengan daftar pustaka. 2. Teknis Penulisan Adapun teknis penulisan skripsi ini disandarkan pada buku Pedoman Akademik 2011/2012, U1N Syarif Hidayatullah Jakarta23. 23 Pedoman Akademik Program Strata 1 2011/2012. Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) yarif Hidayatullah Jakarta BAB II BERDIRINYA ORGANISASI KEAGAMAAN A. Kebangkitan Gerakan Islam Pada dasarnya, gerakan Islam bertujuan kepada tegaknya agama Islam di muka bumi, agar kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi umat Islam terwujud. Banyak ideologi atau faham yang melandasi gerakan ini. Ada yang bersifat fillah dan sabilillah. Fillah adalah gerakan Islam yang berangkat dengan dakwah yang didasari oleh ilmu. Sedangkan sabilillah adalah gerakan dengan sifat kearah peperangan. Semua gerakan ini bertujuan sama, akan tetapi gerakan ini harus melihat kapan waktu yang tepat untuk menggunakan cara fillah dan fisabilillah. Dua metode tersebut menjadi tolak ukur gerakan Islam di Indonesia22. Islam di Indonesia, dalam pandangan Said Aqil Siraj (sekarang Ketua Umum PBNU Periode 2010-2015), Islam bukan hanya dinul al aqidah wa al syari’ah (Akidah dan Syariah), tetapi Islam juga agama yang memuat dinul ilmi wa al tsaqafah (Agama Kebudayaan), dinul al adab wal hadarah (Agama Peradaban), dinul al tacjadum wal madaniyah (Agama Kemajuan), hal ini yang kemudian Islam bisa diterima dimana-mana seperti Islam di nusantara. Jika Islam hanya Aqidah dan Syariah maka pasti pengikutnya sedikit, oleh karena disinergikan dengan produk karya manusia, maka Islam di terima di masyarakat dunia, atau Indonesia hususnya. 22 http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_lslam. diakses 17 Januari 2012 11 12 Hal inilah keberadaan Islam di nusantara bisa mengalahkan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Padjadjaran, tanpa mengeluarkan darah sedikitpun23. Paradigma yang dituliskan di atas sekiranya, bisa memberikan gambaran mengenai Islam di Indonesia diantaranya, kenapa agama Islam tersebar dengan mudah, dan juga bisa menjadi spirit perlawanan terhadap penjajah yang kemudian menghasilkan pergerakan nasional?. Deliar Noer menyebutnya, Identitas Islam telah menyatu dalam diri bangsa Indonesia, baik di daerah yang berbahasa melayu, jawa, dan ini merata dari Aceh sampai ke Irian. Bahkan, orang-orang pribumi yang masuk Kristen karena misi kolonial tidak lagi dianggap sebagai Bumiputra melainkan telah “menjadi Belanda”, dan kebangsaan tampaknya identik dengan agama24. M. Dawam Rahardjo juga menyebutnya, Islam di Indonesia masa awal abad 20an, muncul dalam kesadaran ke-pribumian. Tanda-tanda pribumi yang paling nyata adalah Keislaman, Kepribumian dan keislaman adalah manunggal25. Munculnya kebangkitan Islam bisa dianggap sebagai bagian dari kebangkitan nasional bangsa Indonesia. Tersadar bangsa ini, di saat kolonial Belanda melaksanakan tanam paksa (cultuur stelsel) terhadap orang-orang pribumi untuk menanggulangi kerugian setelah perang melawan pribumi, seperti Perang Jawa atau 23 KM. Said Aqil Siraj, dalam acara Dialog Terbuka Forum Kyai Muda. (Pondok Pesantren Solawat Sidoarjo-Jawa Timur. 20 Oktober 2009) 24 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. (Grafiti. Jakarta 1987), h. 4-5 25 M. Dawam Rahardjo, Intelektual lntelegensia dan Perilaku Politik Bangsa. (Mizan, Bandung. 1999), h. 218. Cet IV 13 dikenal dengan sebutan perang Diponegoro (182 5-1830)26, dan Perang Aceh (19751903)27. Pergerakan Islam akhirnya mengalami perubahan, karena menyangkut tentang kesadaran umat Islam sendiri terhadap kerasnya perilaku politik yang dilakukan kolonial Belanda setelah perang. Akhirnya, kaum pribumi terdorong untuk melakukan perubahan perlawanan dari setrategi militer ke strategi perlawanan damai dan terorganisir. Sehingga, terbentuklah berbagai organisasi yang bertujuan meningkatkan kondisi ekonomi, pendidikan, dan sosial masyarakat keseluruhan28. Pada saat itu, kesadaran Islam telah menjadi pemicu untuk kesatuan dan persatuan. Dalam arti, Islam telah menjadi kata pemersatu bagi orang Indonesia pada masa permulaan abad 20 an ketika rasa nasionalisme modern baru tumbuh. Berdirinya Hulp en Spaarbank de inlandse Bestuur Abtenare 1895 misalkan, (seperti Bank Perkreditan Rakyat) oleh Patih Purwokerto, Raden Aria Wiraatmaja. Terbentuknya lembaga ini, betujuan untuk menolong dan memperbaiki kondisi sosial 26 Pangeran Diponegoro (1785 - 1855) adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono III. Sewaktu kecil bernama R.M. Ontowiryo, hidup bersama neneknya yang bernama Ratu Ageng di Tegalrejo. Ilmu agama Islam begitu mendalam dipelajari, sehingga membentuk karakter yang tegas, keras, dan jihad. Perang Diponegoro sering dikenal sebagai Perang Jawa. Karena perang meluas dari Yogyakarta ke daerah lain seperti Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Madiun, dan Kertosono. Untuk lebih jelasnya Baca: http://www.g-exce.ss.com/376I/perlawanan-menentang-penjajah-perang-diponegoro-1825%E2%80%93-1830/. Diakses, 17Januari2012 27 Pada akhirnya, diantaranya karena diakibatkan oleh sistem tanam paksa tersebut, tumbuh kesadaran sebagai birokrat Belanda “hutang budi” terhadap bumi pertiwi Hindia Belanda, ©leh karena itu colonial Belanda menerapkan “Politik etis” yang antara lain menyediakan pendidikan belanda kepada penduduk Pribumi. Meskipun demikian, akses pendidikan tersebut diperuntukan hanya kepada pegawai tinggi dan bangsawan, sementara sebagian besar masyarakat tertinggal. Untuk lebih jelasnya baca: http://titikpelangi.wordpress.com/2009/04/29/perang-aceh-1873-1903/. Diakes, 17 Januari 2012. 28 Lathiful Khuluq,fajar Kebangunan Ulama, h. 4 14 dan ekonomi kaum pribumi, sebagai modal utamanya dari Kas Mesjid. Tindakan seperti itu telah berhasil menggugah kesadaran pribumi untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi. Tidak sekedar itu, langkah tersebut juga memberi inspiasi bagi orang lain termasuk kolonial Belanda, yaitu dengan mendirikan Lumbung-Lumbung Desa29. Kebangkitan Islam mulai nyata setelah tampil orang yang memiliki kemampuan vocal, Raden Mas Tirtoadisuryo seorang wartawan, yang dalam penulisannya mengatakan bahwa Islam adalah agama yang membawa semangat kemajuan. Selain aktifitasnya seorang wartawan, ia juga menggerakkan para pedagang dan pengusaha muslim sehingga terbentuklah Serikat Dagang Islam oleh Raden Mas Tirtiadisuryo dan Ki Haji Samanhudi di Bogor dan di Jakarta 1909, yang tidak lama kemudian berganti menjadi Sarikat Islam (Solo, 11 November 1912)30. Kehadirannya kemudian mengalahkan organisasi sebelumnya yang bersifat nasional seperti Budi Utomo (1908) dan, Indische Partij (1913), di mana mereka telah gagal memperoleh sambutan masyarakat pada umumnya. Akhirnya, Indische Partij dibubarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dan Budi Utomo tetap menjadi organisasi masa kecil yang terdiri dari mereka yag berpendidikan barat31. Di lain sisi, awal abad 20 an para pemuka agama, bukan saja menderikan organisasi-organisasi sosial keagamaan tetapi 29 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensiam Dan Perilaku Politik Bangsa. (Mizan, Bandung, 1999), h. 217 30 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensiam Dan Perilaku Politik Bangsa, h. 217 31 Deliar Noer. Partai Islam di pentas Nasional 1945-1965, h. 5 15 menghimpun melalui kekuatan pesantren juga, yang pada saatnya nanti menjadi palu godam ampuh buat mukul penjajah32. B. Munculnya kelompok modernis : Al Irsyad, Persis, Muhammadiyah Dalam sejarah perkembangan pemikiran di Indonesia menyebutkan bahwa, Jama’ah Khoir didirikan oleh Sayyid Muhammad al-Fachir ibn al-Mansur, Sayyid Idrus, Sayyid Sjehan bin Sjihab (Jakarta, 17 Juli 1905), ia merupakan pelopor organisasi modernis yang secara manajemen dianggap sangat maju pada saat itu, seperti adanya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, rapat-rapat berkala, daftar anggota yang tercatat, dan yang mendirikan suatu sekolah yang berkurikulum, kelas-kelas, menggunakan bangku-bangku, papan .tulis, dan sebagainya33. Berdirinya Jamaah Khoir bertujuan untuk menangkal kristenisasi, serta politik etis, dimana, pendidikan yang diberikan Belanda hanya untuk kaum pegawai dan bangsawan saja. Pada awalnya, Jama’ah Khoir merupakan lembaga yang husus menangani masalah pendidikan, yang memang pada saat itu banyak umat Islam yang terpinggirkan. Pergerakan Jama’ah Khoir mengalami perkembangan, diantaranya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti cabang di luar Jakarta. Namun, dalam perjalanannya perkembangan Jamaah Khoir kemudian menjadi suram akibat 32 Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU. (Duta Aksara Mulia. Surabaya, 2010), h. 24. Cet ke II 33 Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 72 16 banyaknya kekakuan dan perbedaan antara pengurus-pengurusnya, yang kemudian terjadi perpecahan34. Sejak saat itulah posisi Jama'ah Khoir menjadi mundur dan posisinya kemudian diganti oleh Al Irsyad. Al Irsyad (1913), organisasi ini mendapat pengakuan legal dari pemerintah pada tanggal 11 Agustus 1915, didirikan oleh beberapa tokoh diantaranya Syaikh Umar Manggus, Saleh Bin Ubeid Abdad, Said bin Salim Masjhabi, Salim Bin Umar Balfas, Abdullah Harharah dan Umar bin Saleh bin Nahdi. Tokoh yang disegani dan dikenal luas Ilmunya di organisasi ini adalah Ahmad Sorkati35, ia termasuk tokoh yang membantu modernisasi keagamaan di Indonesia, para pendiri tersebut merupakan mantan pengurus Jamaah Khoir, dan mereka kebanyakan adalah pedagang 36 . Perhimpunan baru ini memperoleh dukungan para pedagang dari kalangan bukan sayid., dan figur yang paling penting ialah Ahmad Sorkati— pengikut ajaran-ajaran Muhammad Abduh. Al Irsyad sendiri menjuruskan perhatiannya pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, atau pada permasalahan yang timbul pada masyarakat Arab, walaupun banyak orang Indonesia Islam bukan Arab. Sejarah mencatat bahwa, Vitalitas Al Irsyad lebih besar dengan 34 Pepecahannya diantaranya dikarenakan, tidak adanya kesamaan perilaku politik dalam aktivitas kehidupan organisasi, seperti dibedakannya sayyid (keturunan Hadramaut),dan non sayyid (bukan keturunan Hadramaut). Suatu kejadian lain yang meningkatkan ketegangan antara golongan sayyid dengan non sayyid terjadi pula di Jakarta ketika Kapten Arab, Syaikh Umar Manggus, tidak mencium tangan seorang sayid yang bernama Umar bin Salim Al Atas, ketika mereka bertemu satu kesempatan. (Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 72) 35 Ahmad Sorkati (1872-1943) dari Sudan, berasal dari keluarga yang taat beragama. Ia telah banyak mengetahui ayat-ayat Quran ketika masih kecil, ia menghabiskan waktunya dengan melakukan pengembara keilmuan hingga ke kota madinah dan Makkah (Deliar Noer. Gerakan Modem Islam 1911-1942, h. 12 36 Abdul Sani, Perkembangan Modern Dalam Islam. (RajaGrafindopersada. Jakarta, 1998), h. 195-199 17 Jamaah Khoir, ia mendirikan cabang-cabang di luar Jakarta. Ia juga, telah mendirikan beberapa macam sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang kemudian menghasilkan lulusan-lulusan yang cukup memberikan peranan yang penting dalam perkembangan pemikiran pembaharuan37. Tiga organisasi Islam Modernis seperti Al Irsyad, Muhammadiyah, dan Persis sama-sama menggunakan pemikiran Muhammad Abduh sebagai ajaran ataupun pendidikannya. Dalam brosur yang dilakukan Al Irsyad 1938, mereka mencontoh saran-saran Abduh. Bahwa, dalam mendidik atau pendidikan hendaklah tekanan diberikan pada tauhid, fiqih, dan sejarah. Lambat laun, Al Irsyad melakukan kerjasama dengan organisasi Islam modern lain seperti, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam, yang kemudian Organisai Al Irsyad meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia38. Al Isyad juga turut serta dalam berbagai kongres Al Islam pada tahuni920, dan bergabung dengan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) ketika federasi ini didirikan 37 Deliar Noer. Gerakan Modem Islam 1911-1942. (LP3ES. Jakarta, 1982), h. 75-77. Cet ke II 38 Tauhid, akan memungkinkan seseorang untuk mengembangkan jiwa dan harta, tanpa diiringi keraguan. Fiqih, akan memperbaiki budi pekerti dan batin manusia dari segala noda serta memberikan pelajaran dalam halal dan haram yag bersandar pada teks al-quran dan al Hadits. Sedangkan sejarah, dalam rangka menghidupkan kebenara Islam dan kegagahan umat Islam. Demikianlah, sikap dan Tujuan al Irsyad pada saat itu: A, menjalankan dengan sungguh-sungguh perintah-perintah dan hokum-hukum agama Islam sebgai yang ditetapkan dalam kitabullah, dan sebagai yang dipercontohkan oleh rosulullah. B, memajukan hidup akan kehidupan secara Islam dalam arti kata yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. C, membantu menghidupkan semangat untuk bekerja bersama-sama di antara lain-lain golongan tas tiap-tiap fasal dan perkara yang menjadi kepentingan bersama dan yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum dan perintah-perintah agama Islam dan hukum-hukum kekuasaan negeri. Perumusan ini disahkan pada kongres Al Irsyad di Pekalongan tanggal 26 Juli 1941. (Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 19111942, h. 99 18 pada tahun 1937 39 . Begitu juga Muhammadiyah, telah mengalami perkembangan pesat. Bayangkan, di tahun 1925, Muhammadiyah telah berhasil mengoperasikan 55 sekolah dengan jumlah murid 4000. Dua klinik medis besar, sebuah panti asuhan, dan sebuah rumah miskin40. Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah rupanya telah menghayati citacita pembaharuan sekembali dari hajinya yang pertama. Ia mulai pula mengorganisir kawan-kawannya di daerah kauman untuk melakukan pekerjaan suka rela, memperbaiki daerahnya dengan membersihkan jalan-jalan, dan parit-parit. Perubahan yang dilakukan Ahmad Dahlan tersebut, memberi kesadaran akan perlunya membuang kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik, yang menurut pendapatnya tidak sesuai dengan Islam, ia juga, kira-kira pada waktu bersamaan mulai mengintrodusir cita-cita itu mulanya dengan merombak arah kiblat di masjid kraton. Namun, usaha perubahan arah kiblat itu di tolak oleh penghulu Kiai Haji Mohammad Halil, yang memerentahkan untuk membinasakan langgar tersebut41. Perjuangan Ahmad Dahlan tidak berhenti disitu, di tahun 1909, Ahmad Dahlan masuk Budi Utomo. dengan maksud, memberikan pelajaran agama kepada anggotaanggotanya. Oleh karena yang diajarkannya merupakan guru-guru di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor pemerintah, juga di dalam Budi Utomo tersebut ada beberapa 39 Delar Noer, Gerakan Islam Modern 1911-1942, h. 75 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa. (Mizan. Bandung, 2005), h. 241 41 Ahmad Dahlan pada saat itu, benar-benar sakit hati, dan sempat untuk meninggalkan kota kelahliannya. Untungnya keluarganya menghalanginya, dan akhirnya, keluarga Ahmad Dahlan membangun Langgar sendiri dengan jaminan bahwa ia (Ahmad Dahlan) dapat mengajarkan dan mempraktekkan menurut keyakinannya sendiri di situ. (Deliar Noer, Gerakan Islam Modern 19111942. h. 85) 40 19 pendiri Muhammadiyah seperti Hadji Sudjak, Hadji Fachruddin, Hadji Tamim, Hadji Hisjam, Hadji Sarkawi, dan Hadji Abdul Gani sehingga, memuluskan perjuangannya. Pelajaran yang diberikan Ahmad Dahlan kelihatannya memenuhi harapan dan keperluan anggota-anggota Budi Utomo. Sehingga, mereka memberi saran agar Ahmad Dahlan membuka sekolah sendiri42. Organisasi Muhammadiyah mulai meluas setelah Budi Utomo mengadakan kongresnya 1917 di Yogyakarta tepatnya di kediaman Ahmad Dahlan, dan dari situ kemudian bermunculan dari berbagai daerah yang meginginkan mendirikan cabangcabang Muhammadiyah. Anggaran Dasar Muhammadiyah yang membuasi diri pada wilayah Yogyakarta dirubah pada tahuni 920 untuk daerah Jawa, dan pada tahun berikutnya 1921 ke seluruh Indonesia43. Usaha kaum reformis dan modernis untuk mengembangkan organisasi dan sekolah-sekolah Islam diperkuat oleh munculnya perhimpunan-perhimpunan lain yang memiliki tujuan serupa. Di antaranya Persis, pada tahun 1920, pelopor gerakan ini diantaranya oleh Haji Zamzam (1894-1952), dan Haji Muhammad Junus. Haji Zamzam pernah menempuh pendidikan di Darul Ulum. Sekembalinya dari makkah, ia mengajar agama di Darul Muta’allimin Bandung, dan pada tahun 1910 lembaga ini mempunyai hubungan erat dengan Ahmad Soorkati (Al Irsyad, Jakarta). Persis secara organisatoris, pada mulanya tidak mencerminkan suatu tatanan konstitusional. Ia lebih mengutamakan makna cita-cita dan pemikiran. Hal ini dilakukan oleh para 42 43 Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 86 Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 87 20 tokoh-tokohnya dengan melalui tabligh akbar, sekolah-sekolah, penyebaran bukubuku, majalah, pamflet-pamflet 44 . Adapun latar belakang bedirinya, di antaranya adanya perpecahan di kalangan Al Irsyad dan Jamaah Khoir, masuknya komunisme di Serikat Islam (SI) yang menyebabkan perpecahan di SI, begitu juga isi majalah agama Al Munir dan majalah Al Manar yang intinya, banyak memuat pemikiranpemikiran baru tentang Islam, sehingga membuatnya lebih mencermati secara mendalam akan kebutuhan umat Islam modern di Indonesia. Perkembangan Persis dapat dengan cepat pada waktu itu saat didukung oleh tokoh muda yang militan, diantaranya Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir. Ahmad Hasan adalah seorang yang berilian dan produktif dalam penulisannya 45, ia pimpinan kelompok pedagang di Bandung ia juga, menjadi pimpinan tokoh tekstil di Surabaya. Bahkan di Surabaya, ia sempat memperhatikan perdebatan tentang masalah ibadah antara kaum Tua dan kaum muda. Kaum tua diprakarsai oleh Abdul Wahab Chasbullah (salah satu tokoh pendiri NU) sedangkan kaum muda diprakarsai oleh Faqih Hasjim (penganut wahabi). Masalah tersebut menyebabkan Hasan memikirkan lebih lanjut, dan lambat laut sampai kepada suatu kesimpulan pikirannya bahwa kaum mudalah yang sebenarnya benar46. Persis dalam membuat pengaruhnya lebih kepada polemik dan perdebatanperdebatan, lain halnya Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran- 44 Abdul Sani, Perkembangan Modem Islam. Grafindo Persada. Jakarta, 1998, h. 22-23 Abdul Sani, Perkembangan Modern Islam, h. 23 46 Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 98-99 45 21 pemikiran baru secara tenang dan damai 47 . Bahkan, Yudi Latif dalam bukunya “Intelegensia Muslim dan Kuasa” menyebutnya, Organisasi ini (Persis) lebih kaku dibandingkan dengan kelompok-kelompok pembaharu lainnya. Organisasi ini mencela apapun yang bernada tahayul, bidah, hurafat, dan menentang ide-ide sekuler, dengan alasan bahwa hal itu akan memecah belah umat muslim berdasarkan batasbatas politik dan teritorialnya. Selain mendirikan madrasah, kepedulian utama Persis ialah menyebarkan ide-idenya dengan jalan rapat-rapat umum, khutbah-khutbah, dan kelompok pengajian, pesantren-pesantren Persis, serta menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah, dan buku-buku. Disamping itu, Persis juga menggalakkan berbagai polemik dan perdebatan publik dengan dimediasi oleh terbitannya sendiri48. C. Berdirinya NU sebagai Organisasi Islam Tradisional Wujud NU sebagai organisasi keagamaan itu hanyalah sekedar penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham, pemegang teguh salah satu madzhab Syafii, Maliki, Hanafi, dan Hambali, yang sudah ada dan jauh sebelum lahirnya NU. Asumsi tersebut dibenarkan oleh peristiwa sejarah berkumpulnya para ulama terkemuka, pada 31 Januari 1926 di kampung Kertopaten-Surabaya. Pertemuan ulama tersebut, selain bermaksud membahas dan menunjuk delegasi komite Hijaz, dalam arti utusan yang hendak dikirim untuk menyampaikan pesan kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Saud (Penguasa baru negeri Hijaz, Saudi Arabia). Ketika itu, munculah 47 48 Deliar Noer. Gerakan Modern Islam 1911-1942, h. 103 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa. Mizan, Bandung 2005, h. 242 22 pertanyaan mengenai organisasi apa dan siapa pula yang diberi mandat untuk delegasi Hijaz. Namun, jawaban yang muncul ketika itu ialah kesepakatan membentuk Jamiyah NU, wadah baru bagi persatuan dan perjuangan Ulama. Maka, terjadilah perdebatan sengit mengenai nama yang cocok dengan Jamiyah49. Dalam forum tersebut terdapat dua usulan. Pertama, dari KH. Abdul Hamid (sedayu-Gresik), mengusulkan nama Nuhudlul Ulama” (Kebangkitan Ulama) disertai penjelasan bahwa, para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Kedua, dari KH. Mas Alwi bin Abdul Azis. Menurutnya, kebangkitan ulama bukan lagi mulai atau akan bangkit, melainkan kebangkitan tersebut sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya komite Hijaz itu sendiri. Atas dasar itu kemudian, KH. Mas Alwi mengajukan usulan agar Jamiyah Ulama diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), yang pengertiannya lebih condong kepada gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan atau, gerakan bersama-sama yang terorganisir. Pada akhirnya, usulan KH. Mas Alwi diterima secara aklamasi. Perdebatanpun berakhir dengan lahirnya Jamiyah Nahdlatul Ulama, yang biasa disingkat NU, pada 16 Rajab 1344 H./ 31 Januari 1926 M di Surabaya, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Nahdlatul Ulama50. Ajaran NU, tidak lepas dari ajaran empat madzhab. NU meyakini konsep empat madzhab itu bahwa, tidak ada kemungkinan lagi bagi umat Islam kecuali dengan cara menganut dan mengikuti salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan 49 50 Choirul Anam. Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 3-4 Choirul Anam. Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 4-5 23 Hambali). Dari konsep praktek itulah kemudian muncul “tradisionalisme madzhabiyah”. Tadisionalisme madzhabiyah ini dimaksudkan, keberagaman muslim sunni yang di dasarkan atas pelajaran Islam sebagaimana dipahami, ditafsirkan, dan diajarkan oleh ulama Islam dari abad ke abad, yang telah terkristalkan dalam wujud madzhab-madzhab klasik. Dimana, tiap madzhab mempunyai tradisi sendiri yang dikembangkan dan dilestarikan melalui mata rantai keulamaan dari generasi ke generasi, dan direkam dalam kepustakaan masing-masing. Melalui tradisi inilah para ulama dan tiap-tiap madzhab menyebarkan madzhab mereka kepada umat Islam yaitu dengan menggunakan sistem pendidikan Islam tradisional yang didasarkan pada sistem halaqah51. Sistem tersebut, telah membentuk mata rantai keulaman setiap madzhab melalui pranata ijazah, setiap murid yang mampu membaca sebuah buku di bawah bimbingan dan pengamatan gurunya akan memperoleh pengakuan bahwa dia benar-benar memahami buku tersebut, karena itulah maka, ia (santri) berhak dan mempunyai otoritas untuk mengajarkan kepada orang lain52. Di Indonesia misalkan, yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam sunni, dan mayoritas mereka adalah penganut tradisionalisme madzhabiyah 53. Di Indonesia, 51 Sistem halakah ini seperti sistem pendidikan pesantren salafiyah. Atau halakah dalam istilah artinya lingkaran. Dalam sistem ini seorang guru biasanya duduk bersandar di dinding, dan para murid duduk setengah melingkar menghadap ke gurunya. (Djohan Effendi, Pembaruan tanpa membongkar tradisi. (Kompas. Jakarta, 2010), h. 32 52 Djohan Effendi, Pembaruan tanpa membongkar tradisi. (Kompas. Jakarta,2010), h.32-33 53 Di Nusantara, tepatnya di Indonesia kebanyakan umat Islam sunni menganut Madzhab Al Imam Al Syafii. Karena apa?, Imam Syafii menjelaskan bahwa, Islam harus berjalan di bawah naungan konstitusi yang berlaku di tempat itu, yang legitimasinya merupakan puncak dari sebuah 24 penganut tradisional madzhabiyah lebih kultural diantara umat Islam dunia, dengan sebutan Islam tradisional 54 . Bahkan dalam perspektif ini, Peneliti asal Belanda “Martin Van Bruinessen menjelaskan, “Salah satu tradisi agung (“great tradition”) di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul dipesantren Jawa serta semenanjung Malaya. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Indonesia sebagai “Kitab Kuning”. Jumlah teks klasik yang diterima di pesantren sebagai ortodoks (al-kutub al-mu’tabarahi) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah; hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya tidak berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banyak dikritik baik oleh peneliti asing maupun oleh kaum muslim reformis dan modernis”55. Elemen-elemen kunci Islam tradisional Indonesia adalah lembaga pesantren sendiri, yang terdiri dari, masjid atau langgar, asrama, santri, dan, kyai (ajengan, tuan guru, dan lain sebagainya tergantung bahasa daerahnya sendiri). Dalam kaitan ini, ulama, kyai memainkan peranan penting, tidak sekedar ahli agama, tetapi juga pemimpin umat Islam. Oleh karena itu, ulama atau kyai merupakan elemen yang sangat esensial dari suatu adanya pesantren, ia seringkali bahkan merupakan pendirinya, dan juga hubungan antara kyai dan santrinya tidak hanya berlangsung dalam proses ajar-belajar tetapi juga, dalam keseluruhan kehidupan pesantren. Dimana, kyai memainkan sebagai tokoh sentral. Pertumbuhan suatu pesantren keputusan (Ijtihad) yang berada di tangan umat. (Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D, ISLAM, Percikan Sejarah, Filsafat, Hukum, dan Pendidikan. Nawesea Press. Yogyakarta, 2010), h. 7 54 Djohan Effendi, Pembaruan tanpa membongkar tradisi, h. .39-89 55 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, tradisi-tradisi Islam di Indonesia. (Mizan. Bandung, 1999), h. 17. Cet ke III 25 bahkan, semata-mata karena kemampuan pribadi kyainya. Dengan kaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren, gelar kyai biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok tradisional. Dari kondisi budaya seperti inilah kemudian Jamiyah Muslim tradisional terbentuk, dan sampai terlembagakan56. Berdirinya NU misalkan, merupakan bentuk gerakan serentak yang dilakukan oleh kyai-kyai yang kebanyakan memiliki pesantren, dan NU merupakan organisasi ulama tradisional yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kyai—pesantren sehingga, organisasi Islam NU keberadaannya tidak lepas dari dukungan. Banyak pesantren yang memainkan peranan penting sebagai lembaga sosial, agama, dan pendidikan dalam masyarakat santri tradisional57. D. Modernis dan Tradisionalis “Wakil dari Islam reformis dan modernis di Indonesia adalah Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Al Irsyad. Sedangkan wakil dari ajaran Syafi'i adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), sementara, wakil dari aliran yang lebih eklektik dalam hal ini tradisional adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang mengaku menganut keempat madzhab fiqih”58. Pada awal abad dua puluhan, ada dua corak gerakan politik keagamaan yang berkembang di Indonesia yaitu, modernis dan tradisionalis. Modernis adalah organisasi masa Islam yang bergerak bertujuan menafsirkan kembali doktrin-doktrin tradisional dengan disesuaikan pada aliran-aliran modem dalam filsafat, sejarah, dan 56 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang pandangan hidup Kyai. (LP3ES. Jakarta, 1994), h. 55. Cet ke IV 57 Djohan Effendi, Pembaruan tanpa membongkar tradisi, h. 1 58 Kuntowidjoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. (Mizan. Bandung, 1991), h. 49 26 Ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, modernis menekankan kepada Ijtihadi (interpretasi yang bebas), pengadopsian pemikiran modern, dan pemurnian akidah dari masuknya unsur budaya yang menggiring kepada singkretisme agama. Di sisi lain, gerakan modern sebagai proses aktivitas yang diyakininya akan membawa kemajuan dengan melakukan perubahan dan perombakan secara asasi susunan dan corak dalam suatu masyarakat dari statis ke dinamis, dari tradisional ke rasional, yaitu dengan jalan mengubah cara berfikir masyarakat. Inspirasi dan sumber gerakn modernis ini berasal dari para reformis timur tengah, seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935). Inti modernisme Islam adalah keyakinan bahwa peradaban Islam sedang mengalami kemerosotan yang serius. Dimana, banyak dunia Islam pada saat itu dalam keadaan terjajah oleh bangsa Eropa kristen. Bagi muslim di manapun, kemerosotan itu dirasa tidak selaras dengan keyakinan mereka bahwa Islam adalah kepercayaan yang benar, yang didasarkan atas firman Allah yang paling lengkap dan final. Menurut muslim modernis, kemunduran Islam disebabkan oleh kemandegan internal yang disebabkan oleh sikap taklid pada pemikiran abad pertengahan, serta akibat tercemarnya praktek Islam oleh amalan dan kepercayaan yang tidak bersumber langsung dari Al quran dan Al hadits. Prinsip dari gerakan ini adalah kembali kepada Al quran dan Sunnah Nabi. Tafsir-tafsir Al quran dan Hadits dari abad pertengahan tidak lagi dipatuhi tanpa dipertanyakan59. 59 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama. (LKiS. Yogyakarta, 2009), h. 26. Cet ke IV 27 Gerakan Islam modernis biasanya terdapat di kota-kota yang menekankan penyerapan kemajuan Barat, sains, dan tetap berusaha memurnikan ajaran yang ada dalam teks Al Quran maupun Hadits 60 . Islam modernis juga muncul diakibatkan kehawatiran para pemimpin dan sarjana progresif Indonesia terhadap proses Islamisasi yang dilihatnya belum sempurna berhasil dalam memfilter Islam dari unsur-unsur asing terutama, keyakinan dan praktek Hindu-Budha. Kekhawatiran para sarjana tersebut muncul juga sebagai akibat dari kemampuan mereka dalam membandingkan dan mengontraskan ilmu keislaman yang mereka peroleh dari luar negeri seperti, Timur tengah atau Barat, dengan Islam yang dipraktekan oleh muslim lokal. Ada keyakinan dan praktek muslim lokal yang dinilai tidak sepenuhnya apa yang mereka ketahui tentang Islam, yang dipahami ketika di Timur tengah atau Barat. Islam modernis menghawatirkan, apa yang dipraktekan oleh muslim lokal boleh jadi bukanlah Islam yang sebenarnya melainkan, yang sudah tercampuri ajaran-ajaran Hindu-Budha. Dalam hal ini Harry J. Benda menegaskan bahwa, Indonesia belum seutuhnya terislamsasikan61. Sedangkan Islam tradisional dalam konteks Istilah Islam Indonesia memiliki dua arti; yang satu bersifat péjoratif, sementara yang lainnya bersifat netral. Pertama, istilah tradisionalis berkonotatif pejoratif jika dipakai dengan merujuk kepada muslim model lama yang berasal dari kampung yang tradisional dalam agama, kolot secara intelektual, oportunis secara politik, dan sinkretis secara cultural. Kedua, pemahaman 60 61 Endang Saufuddin Anshari, Wawasan Islam. (Rajawali Press. Jakarta, 1976), h. 230-231. Suaidy Asyari, Nalar Politik Nu dan Muhammadiyah, LKiS, Yogyakarta, 2009, h. 31 28 yang lebih umum mengenai muslim tradisionalis menunjuk bahwa mereka merupakan orang yang percaya bahwa umat Islam yang tidak memiliki keahlian yang memadai untuk berijtihad harus mengikuti salah satu dari empat madzhab hukum yang ada, dan memakai pendekatan yang bertahap dan toleran dalam berdakwah ketika mereka berhadapan dengan tradisi lokal62. Muslim tradisional berkeyakinan bahwa, mereka adalah penganut agama Islam sebagaimana diajarkan Nabi Muhammmad dan dipraktekkan para sahabat, yang kemudian disebut sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah. Menurut para ulama tradisionalajaran Islam telah dikodifikasi dalam madzhah-madzhab mu’tabarah (yaitu. Abu Hanifah, Malik Ibnu Anas, Asyafi’i, dan Ahmad Ibnu Hambali) yang wajib diikuti oleh umat Islam, belahnya, pintu ijtihad sudah ditutup. Islam tradisioanlis berkeyakinan bahwa, tidak ada seorang mujtahid pun dalam arti sepenuhnya setelah berakhirnya keempat imam tersebut, karena melakukan ijtihad menuntut persayaratan yang tidak mungkin terpenuhi setelah masa keempat Imam itu63. Satu-satunya cara bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran Islam adalah bertaklid mengikuti salah satu dari keempat madzhab/imam tersebut. Ada beberapa alasan Islam tradisional yang melatar belakangi percayanya mereka untuk melakukan taklid terhadap madzhab-madzhab yang dipercaya muktabarah tersebut, yaitu: 62 Suaidy Asyari, Nalar Politik Nu dan Muhammadiyah, h. 76 Kalangan ulama tradisional membedakan mnjtahid dalam beberapa tingkatan, (a) Mujtahid muntashib (mujtahid independent) atau mujtahid mthlaq (mujtahhid mutlak), yakni ulama yang melakukan ijtihad dengan mempergunakan metode ijtihadnya sendiri seperti para imam madzhab. (b), mujtahid muntashib atau mujtahid madzhab, yaitu ulama yang melakukan ijtihad dengan mempergunakan metode ijtihad imam madzhab yang diikuti. (c), mujtahid tarjih atau mujtahid fatwa, yaitu ulama yang melakukan ijtihad dengan memilih pendapat ulama-ulama madzhab yang diikutinya, yang ia anggap paling kuat. 63 29 1. Lengkap terkodifikasi, baik metodenya maupun rincian pendapat- pendapatnya. 2. Telah diterima dan diikuti oleh mayoritas umat Islam sedunia selama berabadabad hingga sekarang. 3. Selama ini cukup kuat menghadapi kritik dan koreksi terbuka. 4. Cukup lentur dalam menghadapi perubahan dan tantangan sejarah sehingga memungkinkan penganutnya mampu menerapkannnya secara kreatif dan kontekstual. 5. Metode serta pendapat-pendapatnya didasarkan pada Al Quran dan Al Hadits. Di samping demikian itu, ada lima kriteria lagi yang menjadi ciri keberagamaan Muslim tradisional Indonesia yaitu: 1. Dari segi teologi, menganut teologi Ahlussunnah Wal Jamaah, sebagaimana diajarkan oleh Abu Hasan al Asyari dan Abu Mansur al Maturidi. 2. Berkenaan dengan fiqih, walaupun mereka meyakini kesahan keempat madzhab, namun mereka bertaklid hanya kepada madzhab Syafii sebagai tuntunan normative dalam seluru aspek kehidupan mereka. 3. Mereka menerima tasawuf sebagai elemen penting dalam keberagamaan. 4. Mereka melakukan tata cara peribadatan sebagaimana diterima dan dipraktekkan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari kemuslimannya. 5. Masih melakukan praktik yang dipengaruhi oleh tradisi lokal dan sisa-sisa agama sebelumnya. 30 Dari sekian banyak umat Islam di Indonesia, kebanyakan masih menganut Islam tradisionalisme. Hal ini, bisa jadi dikarenakan pendekatan dakwah yang dilakukan Islam tradisionalis cenderung akomodatif yang tidak menghilangkan tradisi-tradisi lokal64. 64 Djohan Effendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi, h. 80-81 BAB III BIOGRAFI SOSIAL DAN KEAGAMAAN KH. HASYIM ASY’ARI A. Aktifitas sosial kehidupan politik keagamaan dan posisi pada massa penjajahan Belanda dan Jepang. Kedatangan Hasyim Asyari selepas menunutut Ilmu di Makkah-Madinah- Arab Saudi telah merubah wajah tradisionalisme di Indonesia, bukan hanya masalah pendidikan dan sosial keagamaan saja, tetapi nalar politik kaum tradisional juga telah berubah. Pada awal karirnya, ia bukanlah seorang yang aktif politik bukan juga musuh utama Kolonial. Hasyim Asyari ketika itu, belum peduli betul tentang menyebarkan ide-ide politik dan umumnya tidak, keberatan dengan Kolonial selama, kolonial tidak mengganggu kegiatan-kegiatan keagamaan. Meskipun demikian, Hasyim Asyari dapat dianggap sebagai pemimpin spiritual bagi sejumlah tokoh politik diantaranya, Jenderal Sudirman, Ir. Soekarno, Bung Tomo, dan lain-lain. Aktivitas politinya ia bersifat low profile. Ia juga, belum pernah bersikap konfrontatif terhadap Kolonial. Bahkan NU dibawah kepemimpinannya, memusatkan pada pendidikan Islam, peningkatan kegiatan sosial-keagamaan, dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat65. 65 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h, 89-90 31 32 Pengaruh yang besarnya pada saat itu, yaitu dikalangan Kyai di Jawa Timur dan di Jawa Tengah, mereka para kyai memberi dukungan yang besar terhadap Organisasi yang didirikannya yaitu, NU66. Pada masa kolonial Belanda, Hasyim Asyari berusaha untuk menjauhkan diri dari pengaruh kolonial dengan mendirikan pendidikan di Pelosok pedesaan, yang digunakan untuk menjaga budaya dan moral dari penetrasi budaya kolonial 67. Para santri pada saat itu, terlibat aktif mengajar dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat, sehingga, keberadaan pesantren menjadi lebih aktif untuk menjaga penetrasi kolonial. Dari sini, Hasyim Asyari melakukan perlawanan budaya dengan jalan melarang umat Islam untuk meniru kebiasaan-kebiasaan orang-orang Belanda. Perlawanan seperti itu kemudian menjalar ke berbagai pelosok daerah agar bisa menjaga independensi dari kekuasaan Belanda yang berpusat di kota68. Dalam pandangan Salahuddin Wahid, cucu Hasyim Asyari itu sendiri, menjelaskan tentang pengaruh aktifitas politiknya bahwa, pengaruh besar politik Hasyim Asyari tidak hanya atas kecerdasan, kealiman, kedalaman, dan keluasan ilmunya, tetapi karena atas dasar perilaku atau akhlaknya. Katanya, Hasyim Asyari bukan saja pandai menulis dan berbicara tentang persoalan pada saat itu, tetapi pandai 66 Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 150 Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai sebuah Subkultur; dalam pesantren pembaharuan. (LP3ES. Jakarta, 1974), h. 50 68 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h. 91 67 33 menjalankan apa yang dikatakan, satunya kata dengan perbuatan adalah salah satu kelemahan para pemimpin pada saat ini, termasuk kepada para kyai69. Atas dasar aktivitas dan perjuangan Hasyim Asyari sesuai yang telah dijelaskan di atas maka, para kyai dan organisai masa Nahdlatul Ulama memberikan gelar kepada Hasyim Asyari Sebagai Tuan Guru Besar, dalam bahasa Arab Hadratussyaikh. Bagi NU, Hasyim Asyari memiliki peranan yang sangat penting dalam memperjuangkan harkat dan martabat kemanusiaan, keumatan, dan kebangsaan. Hal ini, telah dibuktikan dalam sejarah perjuangan Hasyim Asyari yang telah dijelaskan. Sebagaimana ia seorang Kyai di Pesantren, ribuan santri yang belajar padanya menjadi kyai dan mayoritas memiliki pesantren, sehingga, pesantren yang didirikan Hasyim Asyari menjadi model bagi pesantren-pesantren lain., juga tidak sedikit para kyai dan tokoh politik Nasional meminta nasehat kepadanya, sebut saja di sini, Ir. Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Sudirman. Di samping itu karya-karya Hasyim Asyari telah menjadi penjaga dalam kehidupan ke-Nu-an70. B. Perjalanan Pendidikan Keagamaan Belajar sama orang tuanya sejak dari kanak-kanak sampai berumur 15 tahun. Semenjak masi kanak-kanak, Hasyim Asyari dikenal cerdas dan rajin belajar. Bahkan di saat ia berumur 13 tahun, ia sudah bisa mengajari para santri yang lebih tua 69 K.H. Salahuddin Wahid dalam memberi Kata Pengantar di bukunya Zuhaeri Misrawi, tentang Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan. (Kompas. Jakarta, 2010), h. xxi-xxii 70 Zamakhsari Dhofie, Tradisi Pesantren. Hal. 98-99 34 daripadanya71. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmuilmu agama semisal, teologi (tauhid), Hukum Islam (fiqih), Tafsir hadits, dan Bahasa Arab72. Hasyim Asyari dikenal sebagai tokoh yang haus ilmu pengetahuan Islam. Untuk mengobati kehausannya itu kemudian, Hasyim asyari berkelana ke berbagai pesantren yang terkenal di Jawa. Mula-mula ke pondok pesantren Wonokoyo (Probolinggo), kemudian ia pindah ke pesantren langitan (Tuban), Kemudian ia juga ke Pesantren Trenggilis, ke Kademangan, Bangkalan-Madura. Setelah itu, Hasyim Asyari sampai juga di pesantren mashur yaitu, Pesantren Siwalan, Panji-Sidoarjo, di Pondok asuhan Kyai Ya‟kub. Di situ, ia berhasil mendalami ilmu Tawhid, Fiqih, Adab, Tafsir, dan Hadits, hingga kemudian setelah belajar 5 tahun, hasyim asyari diambil menantu73. Selepas pernikahannya, Perjalanan pendidikan Hasyim Asyari tidak berhenti disitu, Hasyim Asyari melanjutkan belajarnya di tanah suci (Makkah dan Madinah) dan disana ia mendapatkan pembelajaran dan bimbingan dari guru-guru yang terkenal seperti Syekh Ahmad Khotib (Minangkabau), Syekh Nawawi, dan Syekh Mahfudz at-Termisi. Ketika itu, nama ketiga guru itu tidak kalah harumnya dengan nama-nama guru yang ada di kawasan Arab terutama Makkah74. 71 Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran Hasyim Asyari tentang Ahlussunah waljama'ah. (Khalista. Surabaya, 2010). Hal. 74 72 Chirul Anam, Pembaharuan dan Pertumbuhan NU, h. 64 73 Chirul Anam. Pembaharuan dan Pertumbuhan NU. h. 65 74 Chirul Anam. Pembaharuan dan Pertumbuhan NU. h. 65 35 Hasyim asyari bukan hanya belajar pada tiga tokoh tersebut, hasyim asyari juga belajar pada ulama-ulama terkenal di Makkah yaitu, Syekh Muhammad Amin Al Attas, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan Al Attas, Syekh Sa’id Maliki, Sayyid Abdullah Al Zawawi, Syekh Salih Bafadal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani, Syekh Suayb bin Abd al Rahman, Syekh Ibrahim, Syekh Rahmatullah, Sayyid Alwi Al Saqqaf, Sayyid Abu Bakar Shata Al Dimyati, dan juga Sayyid Husen Al Habsyi. Dari banyaknya guru Hasyim Asyari, yang mempengaruhi banyak pemikiran sekaligus pembentukan intelektual Hasyim Asyari adalah, Syekh Khatib Minangkabaui, Syekh Nawawi Al Banteni, dan Syekh Mahfudz Al Termisi, tiga tokoh tersebut merupakan Guru besar di Makkah75. Diantara tiga guru besar yang paling mempengaruhi Hasyim Asyari adalah Syekh Mahfudz Al Termisi, berasal dari Termas, Jawa Timur. Syekh Mahfudz Al Termisi yang juga dikenal sebagai guru besar terkenal di Masjidi Haram, dikenal juga sebagai „Isnad‟ dalam pengajianpengajian kitab hadits bukhari. Syekh Mahfudz Al Termisi memiliki hak untuk memberikan ijazah kepada muridnya,yang berhasil menguasai kitab Soheh Bukhari. Ijazah tersebut berasal dari Syekh Imam Bukhari, yang ditulis sekitar seribu tahun yang lalu. Hasyim Asyari merupakan murid kesayangan Syekh Muhammad Al Termisi, dan mendapat ijazah sebagai pengajar kitab Hadits Bukhori setelah belajar beberapa tahun disana, Hasyim Asyari pulang ke Indonesia yang kemudian ia membantu orang tuanya mengajar dipondoknya, hingga kemudian Hasyim Asyari 75 Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran Hasyim Asyari tentang Ahlussunah waljamaah, h. 76 36 memutuskan untuk membuat pondok sendiri di Jombang yang diberi nama Pesantren Tebu Ireng76. C. Ahli Hadits Ahli Hadits merupakan gelar akademisi yang diterima oleh Hasyim Asyari saat mempelajari Ilmu Hadits di Makkah. Hasyim Asyari diberi Ijazah dari gurunya Syekh Mahfudz Al Termisi karena, Hasyim Asayri telah berhasil menguasai Kitab Hadits Bukhari 77 , sehingga berhak untuk mengajarkan hadits Bukhori kepada muridmuridnya78. Hasyim Asyari di Makkah, mula-mula belajar di bawah bimbingan Syekh Mahfudz (dari Termas, wafat, 1920), ulama Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhari di Makkah. Syekh Mahfudz al Termisi dikenal sebagai Ahli hadits. 76 Choirul Anam, Pembaharuan dan Pertumbuhan NU, h. 65 Kitab Hadits al Bukhari, sebuah kitab kumpulan hadits nabi yang paling terkenal sekali. Kumpulan itu berisi 7275 buah hadits yang sahih. Penyusunnya bernama Abu Abdullah Muhammad bi Ismail, lahir pada 13 syawal 194 atau 21 Juli 810 di Bukhara. Neneknya seorang pujangga yang terkenal, Bardizbah. Sejak anak-ana ia telah yatim, menhafal ak quran dan berpuluh ribu hadits sebelum ia menginjak usia dewasa. Ia mengunjungi kota khurasan, Baghdad, dan Naisabur, terus ke Irak, Hijaz, dan Mesir untk mempelajari hadits yang terkenal dengan nama al Jam‟iyah as-Shahih atau lebih dikenal dengan Kitab Al Bukhari, ditulisnya sejak ia berusia 16 Tahun. Sebanyak 7275 bah hadits yang dihimpunnya itu merupakan pilihan dari hasil pengecekannya terhadap 1800 orang yang dianggap guru-guru Ilmu Hadits. Tidap kali menulis satu hadits, ia tetap dalam keadaan suei badan dan masih berwudlu, lalu sholat sunnah dua rokaat untuk memohon hidayah dan ridlo Allah, demikian pernah ia katakana sendiri pada bulan Ramadhan, seteah sembahyang tarawih, ia menjalankan sholat sunnah untuk menghafalkan sepertiga isi Al Quran setiap malamnya. Seluruh dunia Islam, sejak dulu hingga sekarang, memandang Kitab al Bukhari sebagai kitab hadits yang otentik di antara kitab-kitab hadits lain yang termashur di kalangan dunia Islam.( Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari pesantren. LKiS, Yogyakarta, 2008), h. 151 78 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 65 77 37 Mendengar berita itu kemudian, Hasyim Asyari sangat tertarik belajar, dan berminat dengan Ilmu hadits tersebut79. Kegemaran dan kesungguhan Hasyim Asyari dalam menuntut ilmu membuahkan hasil yang manis, la ditunjuk sebagai salah satu guru di Masjidil Haram bersama para ulama di lndonesia seperti, Syekh Nawawi al Bantani, dan Syekh Khatib al Minangkabaui. Selama mengajar di masjidil haram, kyai Hasyim mempunyai sejumlah murid, antara lain Syekh sa’dullah al-Maimani (mufiti India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadits di makkah), al Syihab Ahmad bin Abdullah (Suriyah), KH. Wahab Khasbullah (Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), K.H. Dahlan (Kudus), K.H. Bisri Syansuri (Jombang), dan K.H. Saleh (Tayu). Hal ini, menunjukkan bahwa ulama asal Indonesia pada masa lalu bukan hanya sekedar “murid” para ulama di timur tengah dan dunia Islam lainnya, tetapi mereka juga sebagai “guru”, yang karena kedaleman ilmunya mendapatkan reputasi yang baik80. Setelah kembali ke Indonesia, Hasyim Asyari mendirikan pesantren yang terkenal dalam pengajaran Hadits. Hasyim Asyari juga mendapat ijazah untuk mengajar Soheh Bukhari dari Syekh Mahf'udz al Termisi, pewaris terakhir dari pertalian penerima (dalam bahasa ilmu hadits (isnad) hadits dari 23 generasi penerima karya ini81. Pesantren yang didirikannya kemudian semakin besar, terutama karena dua keilmuan itu, “al quran dan Hadits”. Dimana, pesantren-pesantren lain 79 Zuhari Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan, 80 Zuhari Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan. h. 49 Hal. 49 81 Lathuful khuluq, Fajar kebangkitan ulama. Hal. 30 38 belum memiliki apa yang dimiliki oleh pesantren Hasyim Asyari. Sehingga, dengan mengajarkan dua Ilmu tersebut, Hasyim Asyari dapat dipandang sebagai pembaru di kalangan ulama tradisionalis82. Memang, di pesantren manapun dan kyai siapapun bisa saja membaca kitab ini. Akan tetapi, apabila Hasyim Asyari membaca Kitab Al Bukhari, maka berduyun-duyunlah kyai-kyai dan santri-santri dari luar daerah untuk mondok di Tebu Ireng. Bahkan, orang yang pernah mengikuti dan melihat sendiri cara Hasyim Asyari membaca Al Bukhari mengatakan bahwa Hasyim Asyari sebenarnya telah hafal seluruh kitab yang terkenal itu. Seolah-olah sedang membaca kitab karangannya sendiri83. Pesantren Tebu Ireng yang menjadi tempat mengajinya kemudian menjadi wadah pembelajaran tingkat tinggi, dimana murid-muridnya dari para kalangan kyai dan ulama di Jawa belajar dan mesantren di pondok Tebu Ireng. Bahkan bukan hanya murid, dan koleganya saja yang belajar Ilmu hadits pada Hasyim Asyari, tetapi Guru Hasyim Asyari KH. Khalil dari bangkalan Madura juga ikut serta menjadi murid dalam pengajian hadits tersebut84. D. Kyai para kyai di Jawa Setelah wafatnya KH. Ahmad Khalil Bangkalan-Madura, maka posisi kepimpimpinan spiritual atas para kyai dilimpahkan kepada Hasyim Asyari. Hal ini 82 Lathful khuluk. Fajar Kebangkitan Ulama. Hal 40. Saefuddin zuhri, Guruku Orang-orang dari pesantren. Hal 151-152 84 Zuhairi misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan, 83 h. 53 39 bisa dilihat ketika KH. Khalil Bangkalan mengikuti pengajian-pengajian pada bulanbulan ramadhan (istilah pesantren; ngaji pasaran) yang dilakukan oleh Hasyim Asyari, di sini menandakan bahwa, KH. Khalil bangkalan telah menaruh hormat kepada Hasyim Asyari. Sehingga, mendorong para kyai di Jawa yang lain menganggap K.H. Hasyim Asyari sebagai gurunya. Kejadian ini, diperkuat dengan adanya dua peristiwa yang terjadi menjelang 1926, tahun kelahiran organisasi tradisionalis muslim Nahdlatul Ulama85. Ketika itu, Kyai Khalil mengutus muridnya Asad Syamsul Arifin kepada Hasyim Asyari untuk memberikan sebuah tasbih dan ucapan surat Taha, ayat 17-23, yang menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya. Peristiwa semacam ini kemudian terulang lagi setahun kemudian ketika Kyai Khalil mengirim Asad kepada Hasyim Asyari dengan mengucapkan ya Jabbaru, Ya Qahhar (Wahai Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Memaksa). Kedua peristwa tersebut dianggap sebagai persetujuan Kyai Khalil atas berdirinya Nahdlatul Ulama dan pemilihan Hasyim Asyari sebagai pemimpin spiritual masyarakat pesantren. Bahkan, faktor kebesaran pesantrennya (Tebu Ireng) tidak bisa dipisahkan dengan kebesaran pendiri sekaligus pengasuhnya, Hasyim Asyari86. Dengan demikian bahwa, tidak diragukan lagi Hasyim Asyari mempunyai wibawa atau hibah serta pengaruh yang besar sekali di kalangan para kyai Jawa Timur hususnya, dan di seluruh Indonesia pada umumnya sebagai Kyai besar. 85 86 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama, h 22 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama, h. 22-23. 40 Bahkan, kebesarannya bukan saja dikalangan Nahdlatul Ulama tetapi juga dikalangan golongan Islam yang lainnya termasuk kolonial Jepang yang memberikan ia sebagai ketua Shumubu atau Masyumi. Sehingga, Pesantren yang didirikannya (Tebu Ireng), memliki daya tarik yang kuat sekali. Ada kecenderungan dikalangan para santri dan bahkan kyai-kyai pesantren yang lain untuk bisa merasa dekat dengan Tebu Ireng. Bukan sekedar pribadi Hasyim Asyari, tetapi terutama karena Hasyim Asyari dirasakan tepat sekali untuk menduduki tempat sebagai bapak ulama Indonesia87. E. Karya-karya keagamaan Pada zamannya, tepatnya, sejak permulaan tahun 1900-an hingga paruh akhir 1940-an. KH. Hasyim Asyari termasuk salah satu intelektual Muslim Jawa yang cukup produktif. Karya-karya tersebut kebanyakan ditulis dengan bahasa arab atau jawa dengan menggunakan tulisan arab Pegon88. Ia banyak sekali menulis buku baik itu tulisan lepas atau tulisan yang muncul sebagai reaksi atas tata cara peribadatan dan sikap masyarakat dalam bidang sosial keagamaan89. Walaupun begitu, ide-ide yang ditulis oleh Hasyim Asyari masih berada pada ruang lingkup kepesantrenan. Hal ini dimungkinkan karena bahasa yang ditulis oleh hasyim asyari menggunakan bahasa Arab, sehingga kaum yang diluar Pesantren cenderung tidak empati untuk membaca 87 Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari pesantren, h. 150 Dalam hal ini banyak sekali tokoh Islam tradisional yang menulis karya-karya monumentalnya, misalnya Syeikh Ihsan al-Jampesi dengan Siraj al Thalibin, Syekh Yasin alFadani dengan Fawaidah al-Janiyah, Syekh Mahsum dengan Amstilati al-Tasrif, dan banyak lagi tokoh Islam tradisional pada jamannya yang melahirkan karyanya, begitu juga dengan pengasuh Pondok Kebon Jambu, babakan-ciwaringin Cirebon, KH. Muhammad, ia mengarang kitab AlWashiat, Yang kemudian menjadi kitab wajib bagi santri yang belajar di pondok tersebut. 89 Samsul Maarif, Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asyari. (Kanza. Bogor, 2011), h. 93 88 41 karya-karyanya. Mengenai data dan Jumlah yang peneliti temukan tentang karyakarya Intelektual Hasyim Asyari adalah: Pertama, Adab al-Alim wa Mutaalim fi ma yahtaju ilaihi al mutaalim fi ma yatawaqqafu alaihi al Mualim fi Maqamat al Muallim. Karya ini termasuk karya yang paling popular di dunia pendidikan. Dimana, karya ini membahas tentang etika dalam belajar mengajar. Kedua, Tadzkirat al Sami wa al Mutaalim. Karya ini membahas mengenai teori pendidikan secara substansial bukan secara teoritis. Dalam tulisan ini, Hasyim Asyari membahas mengenai pendidikan dalam delapan bab. Pertama, membahas tentang keutamaan ilmu dan menjadi ilmuan. Kedua, etika peserta didik ketika belajar. Ketiga, etika peserta didik dengan pendidik. Keempat, etika peserta didik dengan pelajaran dan teman setingkatan dalam belajar. Kelima, etika yang hendaknya diperhatikan oleh pendidik terhadap anak didik. Dan yang terakhr, etika pendidik terhadap sumber yang layak untuk diajarkan dan digunakan dalam mendidik Ketiga, al Risalah al Jamiah. Dalam karya ini Hasyim Asyari menjelaskan mengenai keadaan kematian dan tanda-tanda kiamat disertai dengan pembahasan dari sudut sunnah dan bidah. Keempat, al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin. Kitab ini membahas tentang keimanan kepada Nabi Muhammad Saw. Kelima, Hasyiyah ala Fath al Rahman. Karya ini berbentuk syarah atas penjelasan tentang kitab Risalah al Wali Ruslan karya Syaikh Zakariya al Anshari. 42 Keenam, Yasna al Munkarat, karya ini merupakan penjelasan sebagai respon atas praktek maulid Nabi yang dianggap melanggar Syara. Ketujuh, Mugaddimah Qanun al Asasi li Jam iyah Nadlatul Ulama, dan al Mawaizh al-Arbain. Dua karya ini adalah tulisan yang dibuat sebagai pedoman untuk kalangan Nadlatul Ulama. Kedelapan, Ad durrar al Muntasyirah fi Masail At tisa Asyarah dan Tamyiz Al Haq Min Al Bathil, Karya ini telah dinobatkan sebagai keberhasilan Hasyim Asyari dalam menjawab tuduhan-tuduhan tentang penyimpangan dari tradisi-tradisi kemurnian Islam. Masih banyak lagi karya-karya Hasyim Asyari, terutama dalam masalah sosial keagamaan. Karya-karya tersebut sudah diedarkan secara luas, dan yang mengedit karya tersebut adalah cucunya sendiri yaitu KH. Isham Hadziq90. Lain halnya tentang ide-ide pemikiran politik Hayim Asyari, ide-ide tersebut kebanyakan hanya disampaikan pada saat memberikan pidato di Muktamar NU, walau begitu, pengaruh pemikiran politiknya sangat kuat terutama terhadap warga NU sendiri91. F. NU sebagai kekuatan masyarakat NU adalah organisasi terbesar, basis masa NU tersebar di seluruh plosok tanah air, mengakar kuat di lingkungan masyarakat Indonesia, terutama di pondok-pondok, pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan surau-surau di pedesaan. Setelah 90 Untuk Lebih jelasnya tentang karya-karya Hasyim Asyari, bisa dilihat di Kitab lrsyadu al Syari, Kumpulan Karya KH. Hasyim Asyari. Yang diterbitkan di Tebu Ireng-Jombang. 91 Lathiful Khuluq, fajar Kebangunan Ulama, h. 85 43 perjuangan komite Hijaz (yang menghasilkan; Raja Sa‟ud memberi kebebasan untuk tetap melakukan tradisi peribadatan sesuai tradisi bagi umat Islam di Arab Saudi) para kalangan ulama pesantren terus mencari peluang untuk didirikannya cabang di luar Jawa., yang pada saat terbentuknya, NU hanya di wilayah Jawa-Madura saja92. NU sebagai kekuatan masyarakat, karena ia lahir dari Masyarakat, kehadirannya tidak terlepas daripada keberadaan para kyai atau ulama. Dalam kata lain masyarakat Indonesia, hususnya di Jawa sangat patuh pada kyai atau ulama (sami'na watho ’na). pada masa itu, kehidupan dalam tekanan kolonial Belanda dan Jepang sehingga, menggerakkan Ulama atau kyai untuk membela masyarakat agar, masyarakat tidak terbelakang. Sehingga para ulama atau kyai pada masa pra kemerdekaan merasa perlu untuk membuat wadah perjuangan, yang pada akhirnya berdirilah NU93. Pada muktamar NU ke 13, tahun 1935 misalkan, para ulama NU mengeluarkan sebuah resolusi yang dikenal dengan Mabadi Khayr al Ummah yang artinya, prinsipprinsip untuk membangun masyarakat yang unggul. Para ulama terasa perlu untuk menggarisbawahi pentingnya nilai kejujuran (al-Shidiq), akuntabilitas publik (alamaanah wal wafau bi al ahd) dan kerjasama (al-ta’awun). Yang kemudian, pada munas Alim Ulama di Bandar Lampung ditambah dua prinsip lagi, yaitu keadilan (al- 92 Laode Ida, Anatomi Konflik; NU, Elit Islam dan Negara. (Sinar Harapan. Jakarta, 1996), h. 10-11 93 h. 285 Zuhari Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan, 44 adalah), dan konsisten (al-istiqomah) 94 . Para ulama atau kyai pada masa prakemerdekaan brusaha menyatukan dan merapatkan barisan untuk membela masyarakat setidaknya ada tiga hal: pertama, pembebasan masyarakat--bangsa dari penjajah. Karena itu, keterlibatannya untuk mempercepar proklamasi kemerdekaan merupakan sejarah yang tidak terlupakan. Kedua, pembebasan dari keterbelakangan. Yang pada umumnya warga NU tersebar di pedesaan. Karena itu sejak awal, NU mempunyai visi untuk membangkitkan umat dari keterbelakangan. Ketiga, meneguhkan paham Ahlussunah wal Jamaah kepada masyarakat di tengah menguatnya revivalisme Islam di berbagai dunia95. Dalam hal lain, Choirul Anam memaparkan tentang pilar kekuatan-kekuatan NU yang menjadi keberhasilan NU dalam sejarahnya, baik ketika menjadi Organisasi keagamaan maupun menjadi Partai Politik. Diantaranya Pertama, Basis masa (Struktur Sosial), dalam hal ini yaitu pesantren. Pesantren bagi NU adalah basis masa yang memiliki kekuatan, dan pesantrenlah yang memiliki kedekatan dengan masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Mahrus Irsyam 96 , pesantren dan masyarakat merupakan satu kesatuan. Kedua, basis Ulama-Politisi (struktur kepemimpinan). Ulama yang dimaksud di sini adalah kyai (dalam istilah Jawa) yaitu, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang ahli dalam bidang agama Islam, memiliki atau menjadi pemimpin pesantren, dan mengajarkan kitab-kitab 94 Ibid, h. 294 Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan Kebangsaan, h.286-287 96 Mahrus Irsyam adalah pengamat politik dari Universitas Indonesia, lahir di Salatiga, 28 Februari 1944, menyelesaikan pendidikan strata-satunya di Urusan Ilmu Politik UI. Pada 2 Januari 2004. Mahrus ditunjuk sebagai Kepala Departemen Politik Fakultal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP UI) 95 45 klasik pada para santri. Sedangkan Politisi dalam hal ini yaitu, sejumlah orang yang melibatkan dirinya kepada politik praktis, atau sejumlah orang yang secara praktis menjadi aktifis atau pejabat politik. Ketiga, tradisi dan nasab (hubungan kekerabatan dan kekeluargaan). Yang dimaksud tradisi dalam pembahasan ini adalah tingkah laku atau kebiasaan atau aturan-aturan tidak tertulis. Yang dipegang tegung oleh para kyai, baik dalam soal organisasi maupun masyarakat. Tradisi semacam ini sangat memungkinkan terjadinya kekompakan, keutuhan, dan terhindar dari perpecahan akibat kedudukan. Sedangkan nasab, jaringan keturunan atau jaringan kekeluargaan, baik yang lahir langsung atau melalui perjodohan yang diprakarsai oleh para kyai. Dengan demikian bahwa tiga pilar tersebut telah menjadi kekuatan yang solid di tubuh NU97. G. Hizbullah Terbentuknya Laskar Hizbullah bermula dari permintaan dari Saikoo Sikikan berhubung dengan serangan-serangan sekutu, yang disampaikan oleh Abdul hamid Ono kepada KH. Wahid Hasyim. Abdul hamid Ono mengatakan bahwa, Jepang meminta padaku agar pemuda-pemuda Islam memasuki Heiho (serdadu cadangan untuk dikirim ke medan perang) ? Dijawab oleh beberapa pendiri NU, diantaranya 97 Chirul Anam, Pertumbuhan Dan Perkembangan NU, h. 373-378. (untuk lebih jelasnya mengenai penjelasan tiga pilar tersebut, baca Dzamaksaro Dhofier, Tradisi Pesantren) 46 Wahid Hasyim dan kolega-koleganya, akan lebih baik apabila pemuda-pemuda santri dilatih kemiliteran untuk pertahanan di dalam negeri98. Kemudian, segeralah membincangkan mengenai rencana pembentukan tentara Hizbullah. Diantaranya yaitu Wahid Hasyim, Zainul Arifin, Wahab Chasbullah, Saefuddin Zuhri, dan kolega-koleganya. Dari perbincangan itu kemudian Zainul Arifin ditunjuk untuk memimpin tentara Hizbullah, di bawah komando spiritual Hasyim Asyari99. Tentara Hizbullah, berdiri pada 4 Desember 1944 di Singosari-Malang. Laskar ini merupakan tentara santri yang terdiri dari para pemuda muslim yang taat, yang berusia antara 18-21 tahun. Kelompok ini pada awalnya berada di bawah Masyumi, dan termasuk tentara yang penting bagi Masyumi pada awal-awal kemerdekaan. Anggota-anggota laskar ini, datang dari berbagai organisasi atau kelompok Islam. Namun dalam hal ini, pemuda pesantren dan Anggota Ansor Nahdlatul Ulama (ANU)-lah pemasok paling besar dalam keanggotaan Hizbullah100. Pemuda-pemuda 98 Mempertahanan sejengkal tanah air di dalam negeri akan lebih menggugah semangat pemuda-pemuda kita, dari pada bertempur di daerah yang sangat jauh. Musuh yang sudah berada di kampung halaman kita, lebih kita dahulukan pengusirannya daripada yang masih jauh di luar tanah air. Lebih baik pemuda-pemuda santri dibentuk tentara Hizbullah seperti halnya dengan PETA. Hizbullah bertugas untuk mempertahankan Tanah Air Indonesia, dengan alasan, menghadapi tentara sekutu di medan perang harus dengan tentara yang sudah terlatih, seperti tentara Dai Nippon. Pemuda-pemuda kita yang baru dilatih kemiliteran mungkin akan menyulitkan tentara yang professional itu. Lain halnya kalau pertahanan dalam negeri diserahkan pemudapemuda kita. Dengan demikian, serahkan pertahanan di dalam negeri kepada putera-putera tanah air sendiri.sedang serdadu-serdadu Jepang yang ada disini bisa dikirim ke medan perang menghadap tentara sekutu. Pada saat itu Abdul Hamid Ono menerima asalkkan. diberi rencananya secara terperinci. Dan aku jawab, aku sanggupi, beberapa hari ini saya akan menyerahkan rencana yang dimaksud! (Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren), h. 300-301 99 Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, h. 302 100 ANU Sekarang dikenal dengan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) yang menjadi badan otonom di bawah NU. GP Ansor sendiri telah melakukan pergantian nama, dari nahdlatu Syubhan 47 itu kemudian dididik selama enam bulan di Jakarta. Tiap kabupaten diharuskan mengirim lima pemuda-pemuda dari pesantren. Selesai menjalani pendidikan militer, mereka diwajibkan melatih pemuda-pemuda di daerahnya. Bahkan bukan hanya para santri yang mendapatkan pendidikan militer, tetapi para kyai juga mendapatkan pendidikan militer101. Laskar rakyat yang penting dan terkuat pada saat itu terdapat tiga jenis, Pertama, Pasindo (pemuda Sosialis Indonesia) yang dibentuk dan sangat dekat dengan Amir Syarifuddin, menteri pertahanan saat itu yang condong kepada Idiologi Komunis. Kedua, Barisan Banteng dan Barisan Pelopor, yang erat hubungannya dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Ketiga, Hizbullah (Laskar Santri) dan Sabilillah (Laskar Kyai atau Ulama), yang mempunyai kedekatan dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslim Indonesia)102. Laskar Hizbulah dan Laskar Sabilillah ini didirikan menjelang akhir pemerintahan kolonial Jepang. Laskar Hizbullah dibawah komando spiritual Hasyim Asyari, dan secara militer dipimpin oleh Zaenal Arifin. Sedangkan laskar Sabilillah dipimpin oleh KH. Maskur. Peran kyai dalam perang kemerdekaan ternyata, tidak hanya dalam laskar Hizbulllah-Sabilillah saja, tetapi banyak diantara mereka yang (1930), Pemuda NU (PPNU) 1931, kemudian menjadi ANU 1934, dan berganti menjadi Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) tahun 1949. (Choirul anam, Gerak langkah pemuda Ansor. Surabaya, Aula, 1990), h. 17 101 Saefuddin Zuhri. Guku orang-orang dari pesantren, hal. 33م. Lantas kenapa pada saat itu dunia pesantren; kyai, santri, sangat menarik tertarik dan berani memasuki medan perang fisik? Jawabannya adalah karena pesantren bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu pencak silat, ilmu beladiri, kanuragan, juga diajarkan, hingga sekarang. Lihat kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan pondok pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Girebon. 102 Gugun El Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i. (LKiS, Yogyakarta, 2010), h. 40 48 menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air), dan sebagaimana tentara kita sekarang (TNI) berasal dari tentara PETA103. 103 Ali Maschan Musa, Nasionalisme kyai. (LKiS. Yogyakarta, 2007), h. 117 BAB IV PEMIKIRAN POLITIK DAN KEAGAMAAN HASYIM ASYARI A. Pemikiran Politik Hasyim Asyari Untuk mendiskripsikan pemikiran politik keagamaan Hasyim Asyari tidak akan lepas dari politik sunni. Di mana, politik sunni tersebut kemudian menjadi yurisprudensi Islam Nahdlatul Ulama di Indonesia. Imam Madzhab empat menjadi patokan dalam mengeksplorasi keilmuan ahlussunnah wal jamaah. Said Aqil Siroj mengenai Ahlussunnah wal Jamaah menjelasakan bahwa, pengertian yang selama ini masi dibatasi pada mazhab-mazhab tertentu. Misalnya, dalam perkara akidah mengikuti salah satu dari aliran Imam Abu Al Hasan Al-Asyari (w.324) atau aliran Imam Abu Al Mansur Al Maturidi (w.333 H), dalam soal-soal ubudiyyah mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah (W. 150 H), Malik ibn Anas (W. 179 H), Muhammad ibn Idris Asy-Syafi‟i (w.204 H), dan Ahamd ibn Hambal (W.230 H), dalam bertasawuf mengikuti salah satu dari dua imam besar sufi, yakni Abu Al Qasim Al Junaidi Al Baghdadi (W.297 H) dan Abu Hamid Al Ghazali (w.505 H)104. Bagi Said Aqil, pengertian tersebut merupakan suatu definisi atau ta’rif yang praktis dan memang kondusif pada masa NU di didirikan oleh Hasyim Asyari. Pada saat itu, orang lebih mengerti dengan contoh konkrit. Secara logika (manthiqi) 104 Said Aqil Siroj. TASAWUF: Sebagai Kritik Sosial. (Yayasan Khas. Ciganjur, Jakarta Selatan, 2010), h. 411. Cet. Ke III 49 50 definisi tersebut tidaklah memenuhi kaidah umum dalam peristilahan. Soalnya, ketentuan antara al-jins (genus) dan al fashl (pembeda, sparasi) yang dipersyaratkan dalam Ilmu manthiq belumlah terpenuhi dalam definisi itu. Jika demikian berarti tidak masuk akal. Misalnya ada ketentuan yang mengatakan “la yunalu attashawwur illa bilhad wa la yashihu alhad illa idza kanajami‟an wa manian”. Artinya, sebuah definisi tidak akan bisa terbentuk sempurna dari batasan-batasan, Dan sebuah definisi hanya sah apabila mencakup unsur-unsur yang dikandungnya, dan mengeluarkan yang bukan isi atau esensi105. Bahkan, Said Aqil Siraj menjelaskan tentang Islam di Indonesia hususnya bahwa. Islam bukan hanya dinul al aqidah wa al syariah (Akidah dan Syariah), tetapi Islam juga agama yang memuat dinul ilmi wa al tsaqafah (Agama Kebudayaan), dinul al adab wal hadarah (Agama Peradaban) , dinul al taqadum wal madaniyah (Agama Kemajuan), hal ini yang kemudian Islam bisa diterima dimana-mana seperti Islam di nusantara, tetapi jika Islam hanya Aqidah dan syariah maka pasti pengikutnya sedikit, tetapi karena disinergikan dengan prodak karya manusia maka Islam di terima di masyarakat dunia. Hal inilah keberadaan Islam di nusantara bisa mengalahkan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Padjadjaran, tanpa mengeluarkan darah sedikitpun106. Yudian Wahyudi dalam bukunya menambahkan, di Nusantara, tepatnya di Indonesia kebanyakan umat Islam sunni menganut Madzhab Al Imam Al Syafii. 105 Said Aqil Siroj. TASAWUF: Sebagai Kritik Sosial, h. 412. KH. Said Aqil Siraj dalam acara Dialog Terbuka Forum Kyai Muda. (Pondok Pesantren Solawat Sidoarjo-Jawa Timur. 20 Oktober 2009). 106 51 Karena apa?, Imam Syafii menjelaskan bahwa, Islam harus berjalan di bawah naungan konstitusi yang berlaku ditempat itu, yang legitimasinya merupakan puncak dari sebuah keputusan (ijtihad) yang berada di tangan umat107. Dalam perkembangannya, politik sunni sudah 5 abad, diawali pada abad ke 9 M oleh ulama fiqih. Pada saat itu, masalah-masalah yang terus-menerus menyita perhatian para ahli fiqih (seperti, al-Baqilani 910-1013, al-baghdadi. Wafat,1037, alMawardi 974-1058, al Gazali l058-1111, Ibnu Taimiyah. Wafat, 1328, dan Ibnu Khaldun. wafat. 1406). adalah runtuhnya kekuasaan Abbasiyah, yang dimulai dengan perpecahan para panglima perang dan kaum bangsawan yang berkuasa di daerahdaerah tersebut yang berhasil merebut kekuasaan militer 108 . Dinasti Abassiyah terpaksa meyerahkan kekuasaan ibu kotanya, Baghdad kepada para penguasa Buwaihiyah dari aliran Syiah, yang 60 tahun kemudian digantikan oleh dinasti Saljuk. Akhirnya, bangsa Mongolia merebut kota Baghdad pada 1258 dan para Khalifah Abasiyah hanya sebagai boneka rezim Mamluk di Kairo109. Peristiwa-peristiwa demikian telah memunculkan dilema bagi para ahli fiqih, apakah mereka menegakkan kekuasaan mutlak khalifah yaitu Abasiyah yang berarti menentang tuntutan-tuntutan panglima perang atau menyesuaikan diri dengan penguasa baru. Jika pilihan pertama dipilih maka akan beresiko, diantaranya akan 107 Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D, ISLAM, Percikan Sejarah, Filsafat, Hukum, dan Pendidikan. (Nawesea Press. Yogyakarta, 2010), h. 7 108 Menurut teori politik Islam pada awalnya, khalifah adalah pengganti utusan Allah. Dan dengan demikian ia juga merupakan pemimpin spiritual tertinggi sementara bagi umat Islam. Akan tetapi mulai pada abad IX kekuasaan politik Khalifah mulai terpecah belah, karena para panglima perang dan kaum bangsawan yang berkuasa di daerah masing-masing berhasil merebut kekuasaan militer, Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama. Hal.. 60 109 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama. (LKiS. Yogyakarta, 2009), h 60. Cet ke IV 52 tumbuh kekecauan sosial dan akan menempatkan umat Islam pada posisi rawan terhadap kekejaman aksi balas dendam dari kekuatan militer yang menang, sedangkan pilihan terakhir menuntut adanya kompromi atas gagasan politik keagamaan Islam yang asli. Sebagian besar ahli fiqih memilih bekerja sama dengan penguasa baru. Karena mereka beralasan bahwa, tanggungjawab mereka adalah menyelamatkan Islam dan para pemeluknya. Untuk itu, mereka berusaha agar ketentraman dan kestabilan masyarakat dapat terjaga, karena hal itu menjadi syarat terciptanya ketaatan dan kerukunan umat. Hanya di dalam masyarakat tertib, perintah Allah dapat ditegakkan, dan umat Islam dapat melakukan ibadahnya dengan baik110. Ada beberapa karakteristik mengenai pemikiran politik sunni yaitu, Keluwesan dalam mensikapi kondisi politik. Aspek-aspek yang bersifat menentukan sengaja dibiarkan kabur, agar lebih mudah disesuaikan dengan sosial-politik yang baru. Beberapa istilah yang muncul sebagai penguat tentang teori politik sunni yang telah disebutkan diatas adalah : 1. Kejeniusan kelompok sunni untuk beradaptasi dengan masyarakat. 2. Realisme, maka sikap memilih diam sebagai output dari realism itu sendiri. Karena kaum sunni percaya bahwa kegigihan untuk bertahan bukan hanya sekedar sesat, itu semua, bila nasib umat dipertaruhkan, maka itu menjadi sia-sia111. 110 111 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 61. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 63-64. 53 Atas dasar itu kemudian, pemikiran politik keagamaan Hasyim Asyari umumnya sejalan dengan politik sunni, sebagaimana yang dikembangkan oleh ahli fiqih diatas. Karena pada dasarnya, doktrin politik sunni tersebut yaitu akomodatif terhadap penguasa. Maka, Hasyim Asyari beserta dengan kolega dan murid-muridnya juga akomodatif terhadap penguasa baik yang muslim maupun non muslim. Namun, Hasyim Asyari punya ketegasan dalam menentukan sikap politiknya. Hal ini, bisa dibuktikan ketika, Hasyim Asyari, murid dan koleganya membuat keputusan tentang Jihad melawan Penjajah atau biasa dikenal Revolusi Jihad112. Bagi Hasyim Asyari yang terpenting adalah ajakan beliau kepada seluruh umat Islam untuk bersatu dalam aksi bersama. Sesuai dengan pidato Hasyim Asyari pada 1936 Muktamar NU ke 11 di Banjarmasin, KH. Hasyim Asyari telah mendorong dan mencoba untuk mendamaikan perselisihan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis. Dimana, pada masa itu, konflik antara dua kubu tersebut sama-sama keras, saling menuduh keluar dari Islam. Dalam pidato Muktamar tersbeut Hasyim asyari menyampaikan: "Manusia harus bersatu, agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan agar terhindar dari kehancuran dan bahaya. Jadi, kesamaan dan keserasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat terciptanya kemakmuran. Ini juga akan dapat mengokohkan kasih sayang. Adanya kesatuan dan persatuan telah menghasilkan kebijakan dan keberhasilan. Persatuan juga telah mendorong kesejahteraan Negara, peningkatan status rakyat, kekutan dan kemajuan pemerintah, dan telah terbukti sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan. Satu dari banyak tujuan 112 KH. Salahuddin Wahid dalam memberi Kata Pengantar di bukunya Zuhaeri Misrawi, tentang Hadratussyaikh Hasyim Asyari: moderasi, keumatan, dan Kebangsaan. ( Kompas, Jakarta. 2010), .xiv 54 persatuan adalah bersemainya kebajikan yng akan menjadi sebab terlaksanya berbagai ide”113. Di sisi lain, Hasyim Asyari dalam pidato-pidatonya tidak terlepas dari ayatayat suci Al-Quran dan Al Hadits, serta Qiyas, Ijma, sebagai penguat tentang statemen politiknya. Hasyim Asyari berusaha untuk menganjurkan agar umat Islam menyatukan diri sendiri. Hal ini karena Hasyim Asyari melihat perpecahan ditubuh umat muslim sebelumnya, bahwa masyarakt muslim telah gagal bersatu sejak Nabi Muhammad wafat, dimana, telah timbul perpecahan, persoalan kesukuan mulai lagi muncul diantaranya, kubu Abu Bakar dan Kubu Ali, kedua kubu tersebut bersih kukuh untuk mendapatkan penerus ke Khalifahan nabi. Dan dalam situasi lain, masi dalam masa khalifah Abu Bakar, kaum muhajirin atau disebut dengan imigran Mekah dan Anshar disebut dengan kaum Muslim madinah, berebut supremasi politik. Begitu juga situasi di Indonesia pasca kemerdekaan, golongan tradisionalis dan modernis114. Ajakan persatuan, Hasyim Asyari sampaikan kembali setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia dengan menyatakan bahwa, persaudaraan Muslim sepertinya telah mengikis atau bahkan hilang dari kehidupan masyarakat. Buktinya, walaupun banyak sesama saudara (seagama) dalam kelaparan tidak ada yang tergerak untuk membantu115. 113 http://yogaprakosonugroho.wordpress.com/2011/01/17/sang-maha-guru-keulamaan-danperuangannya/#more-175. Diakses, tanggal 27 Oktober 2011 114 Tamim Ansary, Sejarah Duni Versi Islam. (Zaman, Jakarta, 2010), h. 84 115 http://yogaprakosonugroho.wordpress.com/tag/pejuang/. tanggal 27 oktober 2011 55 Hasyim Asyari dalam pidatonya tersebut, menyampaikan komentar tentang politik umat Islam. Selama masa awal kemerdekaan Indonesia beberapa orang yang berpengaruh, berusaha menggunakan Islam sebagai alat untuk mencapai tujuantujuan politik mereka. Hasyim Asyari menyampaikan dalam pidato tersebut: “Kita menemukan bahwa peran masyarakat muslim dalam arena politik ini sangat tidak penting. Pengaruh agama dalam arena politik di Indonesia sangat lemah, bahkan mati. Bahkan ada bahaya yang lebih besar lagi yaitu Islam telah digunakan oleh sebagian orang sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan dan harapan mereka, baik dalam bidang politik maupun pribadi. Sangatlah berbahaya jika masyarakat memandang mereka tindakannya tidak sesuai dengan ajaran agama sebagai muslim”116. Hasyim Asyari dalam memberikan penjelasannya, tidak pernah luput dari apa yang namanya perbandingan situasi politik pada masa awal kemunculan Islam. Hasyim Asyari meyakini bahwa, pemerintahan Islam yang telah diletakkan oleh nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar Bin Khatab memiliki tiga tujuan, diantaranya yaitu: 1. Menetapkan hak yang sama bagi umat muslim 2. Melayani kepentingan rakyat dengan jalan perundingan. 3. Menjaga keadilan umat manusia. Maka, dengan begitu keserasian atau keseimbangan antar umat beragama tercipta dengan baik dan damai117. 116 Hasyim Asyari, Pidato pembukaan dalam Muktamar NU ke 17 di Madiun. http://yogaprakosonugroho.wordpress.eom/tag/pejuang/http://yogaprakosonugroho.wordpressxom/ tag/ pejuang/, tanggal 27 oktober 2011 117 Idiologi Politik Islam, Pidato KH. Hasyim Asyari dalam Muktamar Masyumi di Solo (Menara, 23 Februari 1946) 56 Hasyim Asyari menjelaskan lebih lanjut mengenai pemikiran politik pada masa awal Islam Yaitu, "Bentuk pemerintahan Islam, tidak ditentukan. Ketika Junjungan Besar kita, Nabi Muhammad s. a. w akan berpulang kerahmatullah Beliau tidak meninggalkan apa-apa tentang cara pemilihan Kepala Negara. Jikalau beliau menentukan satu cara tentu menjadi aturan yang yang tetap berlaku selamalamanya, dengan tidak boleh diubah-ubah. Lalu Sahabat Abu bakar dipilih secara umum . waktu S. Abu bakar akan berpulang kerahmatullah maka ditunjuklah S. Umar untuk menjadi penggantinya. Dan waktu Umar akan berpulang menurung bentuk komisi 6 orang, untuk memilih pengganti beliau sebagai pengganti kepala Negara. Jadi tentang pemilihan kepala Negara, dan banyak lagi hal-hal kenegaraan tidak ditentukan diikat dengan satu cara yang menyempitkan, semua terserah kepada umat Islam ditiap-tiap tempa”118. Hasyim Asyari mengemukakan bahwa, tidak akan berjalan dengan baik jika, umat Islam terpecah-pecah.. Dan ini adalah inti ajaran Islam. Dalam Qanun Asasi karangan Hasyim Asyari sendiri menjelaskan: “Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan, dan kegagala, di sepanjang zaman. Bahkan, pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan, dan kebinasaan. Betapa banyak keuarga besar, semula hidup dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai suatu ketika kalajengking perpecahan marayapi mereka, bisanya menjalar, meracuni mereka, dan setan-pun melakukan peranannya. Mereka kocar-kacir tidak karuan. Dan rumah mereka runtuh berantakan”119. Hasyim Asyari menyimpulkan mengenai fungsi agama dalam kehidupan sosialpolitik Islam di Indonesia, adalah pelaksanaan atau pratek ajaran-ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, bukan hanya formalitas saja. Jadi, ia menyatakan, kita 118 Idiologi Politik Islam, Pidato K.H. Hasyim Asyari dalam Muktamar Masyumi di Solo (Menara, 23 Februari 1946) 119 Hasyim Asyari, dalam Qanun Asasi. 57 masyarakat Islam tidak mesti untuk merebut posisi kepemimpinan, kita hanya berkeinginan yang melaksanakan kepemimpinan di negeri ini melaksanakan nilai dan ajaran Islam120. B. Resolusi Jihad dan anti kolonialisme Hasyim Asyari Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akibat di bom atomnya kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki., Indonesia sebagai bekas jajahan Jepang seperti barang inventaris Jepang bagi sekutu, dan Menjadi sasaran sekutu untuk menjajah Indonesia. Namun, para pejunag Indonesia menyadari betul bahwa, sejarah negeri ini belum usai. Akhirnya, para pejuang kemerdekaan menculik Soekarno dan Hatta, agar sesegera mungkin memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamirkan merdeka. Tidak lama setelah kemerdekaan diproklamirkan, tentara sekutu datang. Datangnya tentara sekutu, mengundang perlawanan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Bentrokkan fisik antara rakat Indoensia dengan sisa-sisa Nippon, Belanda, maupun sekutu (Inggris) terjadi di mana-mana. Bahkan pada bulan September 1945, ketika orangorang Belanda baru saja mendarat di Surabaya dengan kapal perang Inggris, arekarek Surabaya segera menyambut mereka dengan bentrokan fisik. Situasi menjadi genting, dimana-mana terjadi bentrokan. Melihat situasi itu, dari Jakarta Presiden Soekarno mengutus orang untuk menghadap seorang kyai terkemuka di Jawa Timur Hasyim Asyari. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Hasyim Asyari, Apa 120 Lathiful Khuluq, fajar Kebangunan Ulama, h. 85 58 hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Al Quran. Sekali lagi, membela tanah air?”121. Pada saat itu, untuk merespon situasi yang membahayakan kedaulatan tanah air, PBNU kemudian membuat undangan kepada para konsul NU di seluruh Jawa dan Madura. Hasyim asyari pada saat itu langsung memanggil KH. Wahab Chasbullah, Kyai Bisri Syamsuri dan para kyai lainnya untuk mengumpulkan para kyai se Jawa dan Madura. Sehingga terjadilah pertemuan di Bubutan-Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatul Ulama (ANO) pada tanggal 21-22 Oktober 1945 itu, yang dipimpin langsung oleh Hasyim Asyari, yang berhasil mengeluarkan resolusi Jihad fi Sabilillah yang sangat penting bagi sejarah kemerdekaan 1945. Setalah rapat darurat tersebut menemukan titik temu, pada 23 Oktober, Hasyim Asyari atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi Sabililah yang belakangan dikenal sebagai resolusi Jihad122. Isi Resolusi Jihad itu: 1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. 2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan, meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa. 3. Musuh-musuh republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan memboneeng tugas-tugas tentara sekutu (Amerika- Inggris) dalam hal 121 122 Gugun El Gyanie, Jihad Paling Syar‟i. (Pustaka Pesantren. Yogyakarta, 2010), h. 73 Gugun El Gyanie, Jihad Paling Syar‟i, h. 74 59 tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah indonesia. 4. Islam, terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. 5. Kewajiban tersebut adalah Jihad yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (Fardlu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km. adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, berkewajiban membantu saudarasaudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut, dan hukumnya fardlu kifayah. Resolusi Jihad itu kemudian bergema di seluruh Jawa dan Madura terutama di Surabaya. Semangat Jihad melawan sekutu dan NICA 123 membara di mana-manaPondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas Hizbullah dan Sabilillah. Suasana gegap gempita mewarnai kehidupan masyarakat yang pada dasarnya tinggal menunggu komando. Karena itu resolusi jihad NU telah memberikan semangat bagi berkorbarnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang kini dikenal sebagai hari Pahlawan124. Resolusi ini pun kemudian dipertegas oleh Muktamar Umat Islam Indonesia di Yogyakarta, 7-8 November 1945, ini merupakan Muktamar bersejarah bagi lahirnya 123 NICA disingkat, The Netherland East Indis Civil Administration ( Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda yang dibentuk di Australia pada akhir 1944 oleh pemerintahan colonial di pengasingan, yang hendak kembali menggantikan kedudukan Jepang. 124 Choirul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan NU, h. 131 60 Partai Islam Masyumi 125 , yang menghasilkan resolusi perang sabil melawan imperialisme. Bahwa, setiap bentuk penjajahan adalan suatu kedhaliman dan haram menurut Islam. Karena itu, wajib bagi setiap muslim berjuang dengan jiwa raganya membasmi imprealisme tersebut guna kemerdekaan agama, bangsa, dan Negara 126. Sebulan setelah Muktamar Masyumi, markas tertingi Hizbullah dan Sabilillah menyususn Program pertempuran selama satu tahun (Desember 1945-Desember 1946). Program itu terdiri empat pokok sasaran yang harus segera dilaksanaan oleh setiap markas daerah dan kabupaten. Keempat pokok itu, pertama, memperkuat tentara Islam. Kedua, Menghimpun dana untuk keperluan Jihad fi Sabilillah. Ketiga, pemusatan tenaga alim ulama dan kyai sakti. Keempat, pembentukan dewan Pimpinan Pertempuran terdiri dari wakil-wakil markas: Sabilillah, Hizbullah, Ulama, TRI, Partai Masyumi dan GPU (Gerakan Pemuda Islam Indonesia)127. Resolusi Jihad ini, kemudian dipertegas pada keputusan Muktamar NU ke 16 di Purwokerto, maret 1946. Keputusan muktamar ini muncul setelah Resolusi Jihad NU yang membangkitkan peristiwa 10 November di Surabaya. Keputusan ini tampaknya merupakan penegasan kembali kewajiban Jihad mengusir penjajah yang masih ingin menjajah tanah air. Di muktamar NU ke 16, muncul pertanyaaan dari Jombang yaitu: Bagaimana hukumnya kita berperang untuk menolak musuh yang sudah menginjakkan kakinya di tanah air kita sebagaimana yang telah terjadi sekarang ini? 125 Di Partai Islam Masyumi, yang termasuk keanggotaan Istimewa adalah NU, Muhammadiyah. Di Partai ini, duduk tokoh-tokoh dan politikus dari semua partai dan organisasi umat Islam yang telah ada di dalam partai baru ini. Ketua majelis Syuro badan hukum Agama Islam dipercayakan kepada Hasyim Asyari. (Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 351) 126 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 131 127 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 131 61 Pada Mutamar ke 16 di Purwokerto kemudian memutuskan: pertama, berperang menolak penjajah dan para pembantunya adalah fardlu ain atas tiap-tiap jiwa, baik laki-laki atau perempuan, dan anak-anak juga yang sama berada di tempat yang dimasuki oleh merekaitu (penjajah atau pembantunya). Kedua, Fardlu ain pula atas tiap-tiap jiwa yang berada di dalam tempat-tempat yang jaraknya kurang dari 94 Km. terhitung dari tempat mereka itu (musuh). Ketiga, Fardlu kifayah atas segenap orang-orang yang berada di tempat-tempat yang jaraknya ada 94 Km, tersebut. Keempat, Jikalau jiwa-jiwa yang tersebut dalam nomor 1 dan 2 di sebutkan diatas tidak mencukupi untuk menolaknya maka jiwa yang tersebut di dalam nomor 3 wajib membantu sampai cukup. Keputusan Muktamar ini didasarkan pada keteranganketerangan yang ada dalam kitab Bujairimi Fathul Wahab Jilid 4, halaman 151, Kitab Asnal Mathalib Syarah Ar Raudh Juz IV, halaman 178, serta Kitab Fathul Qarib, halaman 58128. Percikan Perjuangan Ulama, dalam hal ini Hasyim Asyari, yang kemudian mencapai puncaknya terjadi padaio November 1945 yang dinamakan resolusi Jihad tidak terlepas dari sikap-sikap anti kolonialisme Hasyim Asyari. Karena pada masa itu kebencian penjajah sebagaimana dimanifestasikan oleh Belanda dan kaki tangannya ditanggapi oleh sikap kebencian pesantren kepada Belanda. Benci dilawan benci, dan kecurigaan dilawan kecurigaan pula. Sebagaimana contoh yang dikemukakan dengan sikap ulama-ulama mengharamkan dasi dan pantalon. Al 128 Keputusan Muktamar, Munas, dan konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010. (Khalista dan LTN PBNU, Surabaya, 2011), h. 270 62 Hukmu Yaduru ma'al illah, wujudan wa „adaman. Artinya, kepastian hukum sesuatu tergantung factor penyebabnya, bila ternyata ada sebab, maka tetaplah hukum, sebaliknya jika tidak terjumpai sebab, maka tidak jatuhlah hukum129. Dalam hal lain juga qaidah fiqih menjelaskan, Man tasyabaha biqaumin fahua minhum, artinya, siapa yang menyerupai mereka maka dia termasuk golongannya. Sebabnya, Hasyim Asyari mengharamkan menggunakan dasi dan pentalon, lantaran menyerupai Belanda. Untuk itu pakailah peci bilamana memakai dasi, karena pada umumnya tidak ada Belanda memakai peci. Dalam hal lain juga, ulama mengharamkan juga berbahasa belanda karena akan menyerupai belanda. Seperti dalam Qaidah Fiqih menjelaskan, Man arafa lughati qaumin amina min syarrihim, siapa yang paham bahasa-bahasa asing maka ia termasuk golongannya, tetapi kemudian, bilamana belajar bahasa Belanda untuk kewaspadaan terhadap tipu muslihat Belanda, maka hukumnya boleh130. Perlawanan Hasyim Asyari selanjutnya adalah menolak medali kehormatan yang terbuat dari perak dan emas dari penjajah Belanda, sebagai upaya menarik simpati Hasyim Asyari. Bahkan, melebihi itu, Hasyim Asyari dengan berani mengeluarkan fatwa haram bagi masyarakat Indonesia melakukan ibadah Haji jika, memakai fasilitas atau dimodali oleh penjajah Belanda131. 129 Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 129 Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 129 131 Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asyari, Sejarah Singkat 1871-1947. (Arruz Media Group. Yogyakarta, 2010), h. 81 130 63 Begitu juga ketika masa kolonial Jepang, panglima besar tentara Jepang di Jakarta, Saikoo Sikikan, mengharuskan masyarakat Indonesia untuk melakukan Saikere132. Hal ini, menimbulkan kegemparan di kalangan ulama dan dunia pesantren di seluruh tanah air, yang kemudian para Ulama mengharamkan saikere tersebut karena menyerupai ruku dalam sholat orang Islam, yang hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT133. Sehingga, atas perlawanan tersebut, kemudian Hasyim Asyari di tangkap dan dimasukkan ke penjara selama empat bulan oleh Kolonial Jepang. Hasyim Asyari dituduh mengadakan aksi menentang kekuasaan Jepang di Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian memancing reaksi para ulama untuk protes kepada kolonial Jepang dengan menyatakan rela dipenjara bersama-sama dengan beliau, kalau beliau tidak dibebaskan134. C. Persatuan Umat Seruan Persatun pada tahun-tahun 1930 an bermunculan, kesadaran ini dibangun atas dasar Surat Al Imron ayat 103 yang berbunyi: “Berpegang teguhlah pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. Sehingga, mengenai persoalan khilafiyah dan furu’ yang terjadi pada tahun 1920an mulai mereda karena, disadari hanya akan melemahkan perjuangan umat Islam. Upaya persatuan umat Islam ini 132 Saikere disebut sebagai tradisi jepang untk menghormati raja jepang, dengan cara, membungkukan badan hingga 90 derajat, pada pagi hari pukul 07.00. 133 Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, h. 264 134 Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asyari, Sejarah Singkat 1871-1947, h. 82 64 terus dibunyikan oleh ulama-ulama tradisional dalam hal ini Rois Akbar NU Hasyim Asyari di tahun 1935 di kesempatan kongres Nahdlatul Ulama di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mengeluarkan sebuah sirkuler yang menyeru semua ulama, para undangan, peserta kongres untuk mengesampingkan semua pertikaian, membuang perasaan ta'assub (fanatik) dalam berpendapat, melupakan segala cacian dan celaan, terhadap sesama serta menegakkan persatuan 135 . Usaha persatuan ini, kemudian langsung disambut oleh kaum Islam modernis yang mendambakan adanya persatuan antar umat Islam, dan Muslim modernis juga telah bosan dengan pertikaian-pertikaian mengenai khilafah dan furu’ yang tidak berujung akan adanya persatuan136. Karena ada kemauan dan semangat untuk bersatu antar umat Islam maka, pada tanggal 18-21 september 1937, berapatlah empat tokoh Islam di Pondok Kebondalem, Surabaya. Mereka adalah KH. Wahab Chasbullah, KH. Achmad Dahlan (keduanya dari NU), Kiai Mas Mansur (Perwakilan dari Muhammadiyah), dan W. Wondoamiseno (perwakilan SI). Dalam pertemuan itu, diputuskan untuk membentuk badan federasi bernama MIAI (Majeis Islam Ala Indonesia) atau dengan bahasa Majelis Tinggi Islam Indonesia. Adapun tujuannya adalah untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam, yang keputusannya harus dipegang teguh dan dilakukan bersam-sama oleh segenap perhimpunan yang menjadi anggotanya. Umumnya, pembentukan MIAI ini 135 136 Deliar Noer, Gerakan Islam Moderen di Indonesia 1900-1942, h. 261 Deliar Noer, Gerakan Islam Moderen di Indonesia 1900-1942, h. 51 65 disambut baik oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Jumlah anggotanya pun bertambah, dari tujuh pada tahun 1937 menjadi dua puluh satu pada tahun 1941137. Setelah terbentuknya MIAI, pada kongres pertama, membahas berbagai masalah penting untuk memajukan Islam dan umat Islam. Beberapa masalah yang dianggap penting antara lain, meminta kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk mengusut pelaku penghinaan terhadap agama Islam, Al Quran dan Nabi Muhammad, Saw; menolak juga pemindahan urusan waris dari 'Raad Agama ke tangan Hakim Lund Raad oleh pemerintah Hindia-Belanda; dan juga mengusahakan perbaikan masalah perjalanan haji; dan mengadakan propaganda Islam pada kolonisten dan berusaha membantu meringankan beban umat Islam Palestina138. Puncak dari perjuangan MIAI terlihat ketika Kongres muslim Indonesia ketiga tanggal 5-8 Juli 1941 di Solo. Kongres ini didahului masalah penting. Pertama, perubahan tatanegara. Kedua, Soal milisi. Ketiga, tentang Boodtransfoesie (pemindahan/transfusi darah) 139 . Apa yang menjadi tuntutan MIAI dipertegas pula pada Muktamar NU ke 15, tanggal 15-21 Juni 1940 di Surabaya. Beberapa hal yang menjadi tuntutannya adalah mendesak pemerintah Hindia-Belanda melakukan perbaikan-perbaikan seperti memberikan pertolongan kepada jamaah haji Indonesia yang terperangkap di Makkah akibat perang antara Jerman-Belanda, mencabut Ordonansi Guru 1925, guna melepas ikatan pengajaran Islam dari penyempitan peraturan pemerintah, menindak tegas para penghina Islam, memohon agar Belanda 137 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 262 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 104 139 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 106 138 66 tidak menyalahi prinsip sentral terhadap agama, dan satu keputusan yang penting lainnya, menyangkut siapa yang menjadi presiden pada masa mendatang, setelah Indonesia merdeka nanti. Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa, MIAI telah menempatkan diri sebagai satu-satunya badan federasi umat Islam yang utuh. Dan ia betul-betul bergerak maju membawa aspirasi umat Islam dalam segala hal, terutama dalam perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan hakiki140. Namun, sebelum tuntutan-tuntutan itu dikabulkan Belanda, sebuah perubahan besar telah terjadi. Pasukan Jepang berhasil menundukkan Belanda dan menggantikan kedudukannya di Indonesia. Pada saat itu Jepang mulai turut campur lebih dalam terhadap urusan-urusan yang berkaitan dengan Islam. Pada masa Jepang, Hasyim Asyari bersifat lunak, sehingga ia diangkat menjadi kepala Shumubu, yang tugas kesehariannya dilakukan putranya KH. Wahid Hasyim. Pada masa itu, untuk menghindari pandangan bahwa organisasi yang dibentuk itu merupakan reaksi anti kolonial, Jepang mengganti nama MIAI menjadi Masyumi, pada 1943. Bentuknya sama federasi141. Selepas Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, di tubuh Masyumi yang pertama kali menjadi anggota adalah, NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam,Perserikatan Ulama Islam, dan pada tahun-tahun berikutnya ditambah 140 141 Choirul Anam. Pertumbuhan dan Perkembangan NU, h. 106 Kacung Marijan. Quo Vadis NU; Setelah kembali ke Khittah 1926, h. 57 67 organisasi Islam lain juga bergabung seperti, Al Irsyad, Al Jamiyatul Wasliyah, Persis, dan beberapa ormas Islam yang lain142. Dalam muktamar Masyumi di Solo, Hasyim Asyari menyerukan lebih jauh tentang persatuan umat Islam di Indonesia bahwa: “Syarikat Islam tidak akan berjalan sempurna apabila kepentingan umat Islam berjalan sendiri-sendiri lepas dari ikatan yang tertentu. Dengan ini, Sahabat Umar ra berkata, Islam tidak akan sempurna jalannya, melainkan dengan ikatan persatuan. Dan persatuan tidak akan berarti melainkan dengan pemerintahan”143. Dalam karyanya sendiri, Qanun Asasi juga menjelaskan lebih jelas mengenai persatuan umat Islam, diantaranya yang menarik dikumandangkan untuk mempertegas pentingnya persaudaraan dan persatuan yaitu: “Amma ba'du. Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal persatuan dan kekompakan adalah merupakan yang tidak seorangpun yang tidak mengetahui manfaatnya. Rosulullah bersabda, Tangan Allah bersama jamaah, Apabila diantar jamaaah itu ada yang memencil sendiri maka, syetan pun akan menerkamnya seperti halnya serigala menerkam kambing. Suatu umat bagaikan jasad lainnya. Orang-orangnya ibarat anggota tubuhnya. Setiap anggota punya tugas dan perananya. Seperti dimaklumi, manusia tidak dapat bermasyarakat bercampur dengan yang lain. Sebab, tidak seorangpun bisa sendirian memenuhi segala kebutuhankebutuhan. Dia mau tidak mau dipaksa bermasyarakat, berkumpul yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak kebutuhan dan ancaman bahaya dari padanya. Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lainnya saling bantu menangani satu perkara dan seia sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan factor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang. 142 Kacung Marijan. Quo Vadis NU; Setelah kembali ke Khittah 1926, h. 68 Idiologi Politik Islam, Pidato Politik Hasyim Asyari dalam Muktamar Masyumi di Solo, Menara. 23 Februari 1946. 143 68 Berapa banyak Negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan merata, negeri-negeri menjadi maju, pemerintah ditegakkan, jala-jaan menjadi lancer, perhubungan menjadi ramai, dan masih banyak lagi manfaat-manfaat lain dari hasil persatuan yang merupakan keutamaan paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh. Sayyidina Ali berkata; Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan, juga kebathilan sebaliknya, dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan” Penjelasan diatas merupakan salah satu bagian dalam karya monumental Hasyim Asyari bagi umat Nahdlatul Ulama. Sehingga, karya ini menjadi sandaran husus bagi aktifitas Jamiyah Nahdlatul Ulama terutama tentang persatuan umat Islam, hususnya di NU umumnya di Indonesia144. 144 Hasyim Asyari. Dalam karyanya Qanun Asasi. Daftar Pustaka Agam, Rameli, Menulis Karya Ilmiah (Yogyakarta: Familia, 2009) Anam, Choirul, Pertumbuhan & Perkembangan NU. (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010). Ansary, Tamim, Sejarah Duni Versi Islam. (Jakarta: Zaman, 2010). Anshari, Endang Saufuddin, Wawasan Islam. (Jakarta: Rajawali Press, 1976) Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan islam. (Jakarta: Rajawali, 1976) Asyari, KH. Hasyim, Irsyadu Al Syari. (Tebu Ireng-Jombang: Wawasan Islam) Asyari, KH. Hasyim, Qanun Asasi. Asyari, Suaidy, Nalar Politik Nu dan Muhammadiyah (Yogyakarta: LKiS, 2009) Dhofier, Zamaksari, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S, 1994) Effendi, Djohan, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi (Jakarta: Kompas, 2010) El Guyanie, Gugun. Resolusi Jihad Paling Syar’i. (Yogyakarta: LKiS, 2010) Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama. (Yogyakarta: LKiS, 2009) Ida, Laode, Anatomi Konflik; NU, Elit Islam dan Negara. (Jakarta: S؛nar Harapan, 1996). Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangkitan Ulama. ( Yogyakarta: LkiS, 2000) Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. (Bandung: Mizan, 1991) Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa. (Bandung: Mizan, 2005). Maarif, Syamsul, Mutiara-Mutiara dakwah KH. Hasyim Asyari ( Bogor: Kanza khasanah, 2011) Marijan, Kacung, Quo Vadis NU; Setelah kembali ke Khittah 1926. (Jakarta: Erlangga, 1992) 71 Noer, Deliar Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. (Jakarta: Grafiti, 1987) Anam, Choirul, Gerak langkah pemuda Ansor. (Surabaya: Aula, 1990) Musa, Ali Maschan, Nasionalisme Kyai. (Yogyakarta: LKiS, 2007) Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa. (Bandung: Mizan, 1999) Rifai, Muhammad, KH. Hasyim Asyari, Sejarah Singkat 1871-1947. (Yogyakarta: Arruz Media Group, 2010) Sani, Abdul, Perkembangan Modern Dalam Islam. (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1998). Siroj, Said Aqil. Tasawuf; Sebagai Kritik Sosial. (Ciganjur-Jakarta Selatan: Yayasan Khas, 2010). Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning; tradisi-tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1999) Wahid, Abdurrahman„ Pesantren Sebagai sebuah Subkultur; dalam pesantren pembaharuan. (Jakarta: LP3ES, 1974). Wahyudi, K. Yudian , ISLAM, Percikan Sejarah, Filsafat, Hukum, dan Pendidikan. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2010). Zuhaeri Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asyari; moderasi, keumatan, dan kebangsaan. (Jakarta: Kompas, 2010). Zuhri, Ahmad Muhibbin, Pemikiran Hasyim Asyari tentang Ahlussunah waljama'ah. (Surabaya: Khalista, 2010). Zuhri, Saefuddin, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. (Yogyakarta: LKiS. 2007) Keputusan Muktamar, Munas, dan konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010. (Surabaya: Khalista dan LTN PBNU, 2011) Pedoman Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. (Jakarta: CeQDA UIN Syahid, 2006). Pedoman Akademik Program Strata 1 2011-2012. (UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta, 2009). 72 KH. Said Aqil Siraj, dalam acara Dialog Terbuka Forum Kyai Muda. (Pondok Pesantren Solawat Sidoarjo-Jawa Timur, 20 Oktober 2009). Media Masa Pidato Politik Hasyim Asyari dalam Muktamar Masyumi di Solo, Idiologi Politik Islam. (Koran Menara. 23 Februari 1946) Internet http://yogaprakosonugroho.wordpress.com/2011/01/17/sang-maha-guru-keulamaandan-perjuangannya/#more-175. Diakses pada tanggal, 27 Oktober 2011 http://yogaprakosonugroho.wordpress.com/tag/pejuang/. Diakses pada tanggal, 27 oktober 2011. http://yogaprakosonugroho.wordpress.eom/tag/pejuang/http://yogaprakosonugroho.w ordpress.com/tag/pejuang/. Diakses pada tanggal, 27 oktober 2011 http://ush.sunan-ampel.ac.id. Diakses pada tanggal, 25 Oktober 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/GerakanJslam. diakses 17 Januari 2012 http://www.g-excess.com/3761/perlawanan-menentang-penjajah-perang-diponegoro 1825-%E2%80%93-1830/. Diakses, 17 Januari 2012 http://titikpelangi.wordpress.com/2009/04/29/perang-aceh-1873-1903/. Diakes, 17 Januari 2012. http://ian43.wordpress.com/2010/05/25/perbedaan-dan-pengertian-penelitiankualitatif-dan-kuantitatif/. Diakses, 03 April 2012 73 Surat Pernyataan Publikasi Dengan ini saya; Nama Mahasiswa : Ono Rusyono NIM Prodi : 107033201841 : Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penulis Skripsi “PEMIKIRAN POLITIK KEAGAMAAN HASYIM ASYARI 1926-1946 M”, menyatakan untuk bersedia di publikasi skripsinya jika dianggap perlu oleh pihak Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikianlah surat pernyataan ini kami buat, dengan tidak ada paksaan. Ciputat, 25 Juli 2012 Penulis Ono Rusyono