MULTIKULTURALISME DALAM BAHASA QURAN DAN HADIST DEMI MEMBANGUN KEBERMAKNAAN INDONESIA1 Hasanuddin Fakultas Sastra Universitas Andalas ABSTRACT The nation state of Indonesia is built based on consciousness of multicultural reality of ethnic and subculture supports. Multiculturalism root also grew and exist in live history their community since hundreds in fact even for thousands years ego. That multicultural consciousness reflected on cultural motto “bhinneka tunggal ika”. Likewise, Islam as religion of “fitrah” that professed by majority of Indonesian citizen has given foundation for theological-philosophic of multiculturalism in Al Quran al Karim and implementation provided a model by Muhammad Saw Prophet at fourteen century past. The problems, in the journey of live history of nation of Indonesia have occurred various distortion comprehension and treatment on that nationality multicultural, with the result that multiculturalism not become factor of enrichment of culture but trigger factor for conflicts and troublemaker. Now is a momentum to redefine on Indonesian national culture and re-actual for multicultural values as significant riches. The steps that must be activated are: (1) revitalization of subculture identity and expand local genius values, (2) learning and explain the history of Nusantara multicultural harmony, (3) dialogue inter subcultures and religions to find of finding points not to overstate the differences for conflict, (4) mutual fill up and enrich inter subculture, up to (4) makes the different cultures as a riches for beauty and meaningful of “Indonesian mosaic”. Key words: multiculturalism, Islamic, sub culture identity, harmony 1 Substansi tulisan ini disampaikan pada Dialog Lintas Agama Peningkatan Wawasan Multikultur bagi Guru Agama dan Penyuluh Agama Kabupaten/ Kota se-Bali, Program Peningkatan Kerukunan Umat Beragama Tahun 2009, yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali, pada 07 s.d. 09 Maret 2009 di Hotel Wito, Jl. Kepundung No. 26, Denpasar. Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 ABSTRAK The nation state of Indonesia is built based on consciousness of multicultural reality of ethnic and subculture supports. Multiculturalism root also grew and exist in live history their community since hundreds in fact even for thousands years ego. That multicultural consciousness reflected on cultural motto “bhinneka tunggal ika”. Likewise, Islam as religion of “fitrah” that professed by majority of Indonesian citizen has given foundation for theological-philosophic of multiculturalism in Al Quran al Karim and implementation provided a model by Muhammad Saw Prophet at fourteen century past. The problems, in the journey of live history of nation of Indonesia have occurred various distortion comprehension and treatment on that nationality multicultural, with the result that multiculturalism not become factor of enrichment of culture but trigger factor for conflicts and troublemaker. Now is a momentum to redefine on Indonesian national culture and re-actual for multicultural values as significant riches. The steps that must be activated are: (1) revitalization of subculture identity and expand local genius values, (2) learning and explain the history of Nusantara multicultural harmony, (3) dialogue inter subcultures and religions to find of finding points not to overstate the differences for conflict, (4) mutual fill up and enrich inter subculture, up to (4) makes the different cultures as a riches for beauty and meaningful of “Indonesian mosaic”. Key words: multiculturalism, Islamic, sub culture identity, harmony 1. Pendahuluan Multikulturalisme dianggap sebagai versi paling politis dari posmodernisme Amerika2. Posmodernisme, sebagai antitesis terhadap modernisme, adalah gerakan kebudayaan umumnya yang menentang rasionalisme, totalitarianisme, dan universalisme; serta kecenderungannya ke arah penghargaan atas keanekaragaman, pluralitas, kelimpahruahan, dan fragmentasi, dengan menerima berbagai kontradiksi, banalitas, dan ironi di dalamnya.3 Multikulturalisme muncul sebagai gelombang kedua gerakan hak-hak sipil yang membentuk masyarakat Amerika tahun 1950-1960-an.4 Multikulturalisme menyokong sikap mental posmodernisme, mulai dari feminisme (perjuangan kesetaraan kaum perempuan minoritas), perlawanan atas narasi-narasi besar (yang mengucilkan kelompok-kelompok minoritas dan perspektif-pespektifnya), penolakan atas esensialisme (yang menggeneralisasi ciri individu pada semua 2 3 4 Agger, Ben. 2005. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, (Terj. Nurhadi). (Yogyakarta: Kreasi Wacana.) hlm. 140. Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. (Yogyakarta: Jalasutra, 2004). Rogers dalam George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) h 322-323. 198 Hasanuddin konteks sosial, budaya, dan sejarah kelompok; sebagai dasar penindasan minoritas), mendukung ide desentralisasi (penolakan pemusatan pada kelompokkelompok utama), dan perbedaan (sebagai dasar penghargaan dan toleransi). Benarkah esensi multikulturalisme itu pertama kali muncul di Amerika dan baru ada tahun 1950-an atau 1960-an? Tentu tidak, karena secara normatif dan faktual, pada agama-agama dan kearifan lokal-kearifan lokal Bangsa Timur, multikulturalisme telah diberi pondasi dan dipraktekkan dalam kehidupan sosial. Dalam Islam, multikulturalisme itu telah ditauladankan oleh Rasulullah Saw dalam sistem pemerintahan yang dibangunnya di Madinah, demikian pula di Makkah pada paro awal abad ke-7 M. Demikian pula di Nusantara, akar multikulturalisme itu telah ada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Di Bali, misalnya, kita bisa melihat bagaimana konsep multikulturalisme itu dipraktikkan di Karangasem, di Buleleng, dan lain-lain. Namun akibat bebagai pengaruh global, melalui kolonialisme dan kapitalisme, harmoni kehidupan masyarakat Bali dalam keberagaman multikultural itu dibenturkan, diporakporandakan, dan menjadikan kita tercabik-cabik dalam perbedaan yang didikotomisasi. Apa yang dimaksud dengan multikultural? Tentu kata itu terdiri atas dua kata: “multi” (= banyak, beragam, majemuk) dan “kultur” (= budaya atau tradisi yang diciptakan dan diikuti oleh manusia). Multikultur berarti kemajemukan kultur atau pluralitas budaya yang dicirikan oleh suatu komunitas masyarakat. Multikultural berarti hal-hal yang berkaitan dengan multikultur. Paper kecil ini ingin mendikusikan beberapa segi multikultural dalam perspektif Islam, yang meliputi (1) landasan filosofis-teologis dan konteks historis multikulturalisme Islami, dan (2) beberapa tawaran tindakan. 2. Pembahasan 2.1 Realitas Kemajemukan Indonesia Indonesia adalah negara-bangsa yang majemuk, terdiri dari aneka suku bangsa; bahasa; dan budaya, yang secara arkeologis telah memiliki akar multikulturalisme sejak 2000-2500 tahun yang lalu. Melalui temuan artefaktual, pada periode itu telah terjadi kontak antara masyarakat Nusantara dengan koleganya dari India (Asia Selatan), Vietnam, dan China. Demikian pula melalui perdagangan rempah-rempah, dari abad kesatu sampai abad ke-17, Nusantara telah mendapat pengaruh kebudayaan asing dari India (Hindu Budha), Arab (Islam), dan Eropa (Kristen Katolik dan Protestan). Adaptasi kebudayaankebudayaan asing tersebut ke dalam kebudayaan asli terus berlangsung dan memperkaya kemultikulturan Indonesia.5 Dalam mewujudkan diri sebagai negara-bangsa, realitas kemajemukan Nusantara mendahului kehendak untuk bersatu dalam sebuah NKRI, bhinneka mendahului tunggal ika, tidak sebaliknya.6 Namun manajemen kebangsaan selama ini belum berhasil menempatkan kebhinnekaan sebagai kekayaan, melainkan kebhinnekaan pernah dianggap sebagai ancaman (SARA). Manajemen kebangsaan itu diwarnai oleh corak feodalistik, otoriter, sentralistik 5 6 I Wayan Ardika, “Bukti-Bukti Arkeologi Terbentuknya Akar Multikulturalisme” Dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (Ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik, (Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press, 2004) hlm. 311. Anhar Gonggong, Indonesia, Demokrasi, dan Masa Depan, (Jogjakarta: Komunitas Ombak, 2002a) hlm. 164-165. 199 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 dan diskriminatif, baik yang diwarisi dari kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara maupun warisan kolonialis Belanda. Hal itu mengalahkan tatanan masyarakat merdeka yang hendak diwujudkan, yaitu tatanan masyarakat yang berorientasi ke masa depan, ke kehidupan bersama yang egaliter, sejahtera, dan demokratis.7 Bali dalam peta kebhinnekaan Indonesia adalah sebuah contoh pulau multikultural yang menarik. Sebuah pulau dengan masyarakat hinduis, komunitas minor di tengah komunitas mayor Islam, namun ke dalam membentuk kebhinnekaan dengan akar multikulturalisme yang panjang. Muslim dan Hindu telah hidup berdampingan sejak abad ke XVI ketika kerajaan Bali berpusat di Gelgel (Klungkung), di bawah kepemimpinan Dalem Waturenggong. Wilayah kekuasaannya meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, dan Blambangan8. Di Karangasem, Islam diperkirakan telah masuk sejak tahun 1692 atau 1700 Masehi.9 Puri menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan dan perkampungan Islam berada di sekelilingnya. Toleransi dan hubungan Raja dan keluarganya dengan umat Islam cukup baik. Raja I Gusti Gde Jelantik memperistri seorang wanita Muslim dari Kampung Dangin–Sema yang kemudian diberi nama Jero Seroja. Hampir semua masjid dibangun oleh Raja dan beberapa orang naik haji ke Mekah atas biaya Raja. Pada hari-hari tertentu, misalnya Hari Raya Islam, Raja menghadiahkan bahan makanan, demikian sebaliknya pada Hari Raya Hindu umat Islam mempersembahkan aneka makanan pula. Demikian pula dalam kegiatan agama di Puri, sering diadakan madikir oleh beberapa orang haji dari kampung Islam.10 Pada abad ke-17 di Singaraja sudah ada desa pakraman multi etnik, yang dihuni oleh etnik Bali, Jawa, Madura, Bugis, Sasak, Tionghoa, dan lain-lain, yang hidup rukun dan harmonis. Jejak pluralisme Bali salah satunya digambarkan Saleh Saidi dalam Lingua Fanca, yaitu dalam bentuk akulturasi Islam dan Hindu di Bali. Akulturasi tersebut terdapat pada penamaan, bahasa dan istilah, dan sastra (geguritan). Akulturasi dalam sastra diindikasikan oleh geguritan yang ditulis dalam aksara Bali tetapi dalam bahasa Melayu, atau mengambil unsur-unsur Melayu namun ditulis dalam bahasa dan aksara Bali.11 Pluralisme Bali juga ditandai oleh masuknya berbagai agama ke Bali, yaitu: Islam, Kristen, Kong Hu Cu dan Budha Teravada. Dalam kehidupan sosial, orang-orang China disebut sebagai nyama kelihan (saudara tua) dan orangorang Islam disebut nyama selam (saudara kita yang beragama Islam). Jejaring hubungan politis itu juga membuahkan hubungan genealogis melalui perkawinan lintas iman. Oleh sebab itu, saudara dan kerabat dari leluhur keluarga Puri Pemecutan (yang Hindu), misalnya, ada di Mamuju, di Minangkabau, di Palembang, di Jawa dan di Sasak; dan mereka itu sebagian besar adalah Muslim. 7 Anhar Gonggong, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, (Jogjakarta: Ombak dan Media Presindo, 2002b) hlm. 158-159 8 Shaleh Saidi & Yahya Anshori (Ed), Sejarah Keberadaan Ummat Islam di Bali, (Denpasar: MUI Bali, 2002). 9 A.A. Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hlm. 30-43. 10 A.A. Gde Putra Agung, Ibid. hlm 141. 11 Saleh Saidi, Lingua Franca, Menelisik Bahasa dan Sastra Melayu di Nusantara, dari Riau Hingga Bali, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2007) hlm. 147. 200 Hasanuddin Persoalannya sekarang adalah bahwa realitas kemajemukan dan kearifan multikultural yang telah berakar dan dikembangkan oleh nenek moyang kini telah terkontaminasi; terciderai; dan bukannya menjadi faktor pemerkaya budaya bangsa melainkan menjadi faktor pemicu konflik dan pemecah belah. 2.2 Konsep Multikulturalisme Pluralisme berbeda dari multikulturalisme. Masyarakat plural (plural society) adalah dasar bagi berkembangnya tatanan masyarakat multikultural (multicultural society). Masyarakat plural memiliki unsur-unsur dengan ciri-ciri budaya yang berbeda satu sama lain, namun masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Hubungan antar berbagai unsur yang berbeda itu juga ditandai oleh corak hubungan yang dominatif, dan karena itu juga diskriminatif, walau wujud diskriminatif itu umumnya sangat tersamar. Masyarakat multikultural ditandai oleh interaksi aktif di antara masyarakat dan budaya yang plural itu, dalam kedudukan yang sejajar dan setara, sehingga dengan demikian tercipta keadilan di antara berbagai unsur budaya atau sub kultur yang berbeda itu.12 Multikulturalisme memandang identitas (seseorang atau suatu kelompok) dan perbedaaan (dengan seseorang atau kelompok lain) bukanlah kategori yang berlawanan, keduanya sama-sama saling memerlukan, secara dialektis saling berhubungan, tidak ada pemahaman diri tanpa pemahaman “yang lain”. Hanya melalui interaksi dengan orang lain seseorang benar-benar mengetahui apa yang berbeda dan khas pada dirinya. Bahkan, semua kebudayaan lahir dari interaksinya dengan “yang lain”.13. Dalam masyarakat multikultur, kelompok-kelompok minoritas seringkali berpikir pada dua pilihan antara “assimilasionisme” (penyatuan) dan “separatisme” (pemisahan). Pilihan mereka adalah “kesamaan” (berusaha untuk tidak bisa dibedakan dengan kaum mayoritas) atau “perbedaan” (berusaha mempertahankan atau mengekalkan apa yang membedakan mereka sebagai kaum minoritas). Akan tetapi sesungguhnya ada alternatif ketiga yakni “interaksionisme”, yaitu suatu pandangan penempatan hubungan diri dengan “yang lain” secara dialektis. Interaksionisme juga sebuah etika, yang memaksa kita untuk tidak mencari identitas baru di luar perbedaan-perbedaan sosial kultural, tetapi “di dalam”-nya. Pertukaran kultural maupun sosial tidak harus menyebabkan penghapusan perbedaan (seperti pada assimilasionisme) ataupun pelestariannya (seperti pada separatisme), tetapi melakukan tantangan diri, pembelajaran dan pertumbuhan yang terus menerus.14 Persamaan dan perbedaan, dalam perjumpaan antara diri dengan “yang lain”, pilihannya bukanlah saling mangadopsi satu sama lain melainkan mempertahankannya pada titik ketegangan yang dinamis. Konsep rekruitabilitas, berupa “kapasitas seseorang untuk mendapatkan perhatian orang lain dan kapasitas dirinya untuk memperhatikan orang lain,” agaknya cukup pas, karena mengaktualisasikan tiga manfaat, yaitu: (1) meningkatkan kemungkinan komunikasi dialogis (menyimak dan merespon orang lain), (2) meningkatkan 12 Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006) hlm. 166. 13 Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002) hlm.338-341 14 Brian Fay, ibid. hlm 345. 201 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 pemahaman diri sendiri melalui apresiasi terhadap orang lain, dan (3) mengembangkan imajinasi moral dalam hal mengetahui kekhasan sendiri dan menyadari kesalingterhubungannya dengan orang lain15 Dalam dinamika hubungan dialektik itu, menurut Brian Fay, diperlukan “sikap hormat atas perbedaan.” Sikap hormat atas perbedaan itu bukan dalam arti “penerimaan”, sebab pengertian itu menekankan pada toleransi yang kadangkala berhasil dan kadangkala tidak. Hal itu disebabkan karena hal-hal yang dihargai dapat mengeras menjadi perbedaan, menjadi “orang lain” yang permanen, perbedaan absolut yang tidak dapat didamaikan, yang kemudian justru akan mengarah kepada intoleransi. “Penerimaan perbedaan” juga menghalangi interaksi, dialog, dan pembelajaran bersama. Oleh karena itu, “rasa hormat” seyogianya juga dipahami dalam arti kemauan untuk mendengar, keterbukaan pada kemungkinan untuk belajar, merespon, bahkan mengeritik bila perlu.16 Konsep yang tepat untuk pengertian “sikap hormat”, menurut Brian Fay, adalah engagement (pelibatan). Konsep engagement tercurah pada pemahaman sifat-sifat perbedaan tersebut. Pemahaman perbedaan dimulai dari upaya mempelajari dan menjelaskan perbedaan: mengapa berbeda, bagaimana perbedaan itu berkembang, dan bagaimana hubungannya dengan kita? Mempelajari dan menjelaskan perbedaan membuka kemungkinan untuk mengetahui keterbatasan atau kekurangan masing-masing dan menuntun agar saling menghargai kelebihan satu sama lain. Dengan begitu, terlibat, mempertanyakan, dan mempelajari lebih mampu menangkap sifat sinergis interaksi multikultural murni.17 2.3 Multikulturalisme Dalam Bahasa Quran Dan Hadist a. Multikulturalitas adalah Sunnatullah Seluruh manusia dan seluruh makhluk adalah ciptaan Allah Swt, yang tidak luput dari pengawasanNya. Sudah menjadi fitrah (hukum, ketentuan, dan aturanaturan Allah) manusia pula ada di dunia ini dalam kemajemukan,. Dengan kata lain, kemajemukan atau multikulturalitas adalah sunnatullah (hukum alam— kejadian dan sebagainya—yang berjalan secara tetap dan otomatis). Hal itu dijelaskan dalam Al Quran sebagai berikut. 1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS.004: 001). 2. ... Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami beri aturan dan jalan. Sekiranya dikehendaki Allah tentulah kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi (dibagibagi-Nya kamu kepada beberapa golongan) untuk mengujimu mengenai apa yang telah diberikan-Nya kepadamu maka berlomba-lombalah berbuat 15 Brian Fay, ibid. hlm 345-351. Brian Fay, ibid. hlm 353-355. 17 Brian Fay, ibid. hlm 355-356. 16 202 Hasanuddin kebaikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semua maka diberitahukanNya kepadamu apa yang kamu perbantahkan itu (QS. 005:048). 3. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (QS. 030: 022). 4. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 049: 013). 5. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda (QS. 092: 004). 6. Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini dan serulah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus (QS. 22: 67). 7. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. 002: 148). (Kiblat disini juga diartikan sebagai way of life) 8. Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepadaNya bertasbih apa yang ada di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (QS. 024: 041). 9. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda (QS. 072: 011). Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia telah digariskan untuk banyak orang, jamak, majemuk, atau beragam. Keberagaman itu ditandai oleh perbedaan ras (warna kulit), bahasa, bangsa, suku, dan usaha; dan demikian pula perbedaan syariat, kiblat atau pandangan hidup (way of life), cara tasbih dan sembahyang, cara berbuat, dan jalan yang ditempuh oleh manusia satu dengan yang lain. Walaupun demikian, sesungguhnya semuanya yang beragam itu berasal dari “diri yang satu”. Itulah landasan filosofis-teologis multikultural dalam Islam. 203 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 b. Perintah Kerukunan Bila kemajemukan adalah sunnatullah, maka Allah juga mengatur bagaimana hubungan di antara orang dan kelompok yang berbeda dapat saling berinteraksi, bersilaturrahmi, dan saling memuliakan; sebaliknya dilarang untuk saling mengolok atau menghina satu sama lain. Sebagaimana dijelaskan dalam ayatayat di atas, berbeda adalah untuk saling taaruf ‘kenal mengenal’ (QS. 049: 013), saling meminta satu sama lain, saling memelihara hubungan silaturahmi (QS. 004: 001), saling berlomba dalam berbuat kebaikan (QS. 002: 148), dan juga ujian konsistensi keyakinan (QS. 005: 048). Berikut ini beberapa perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw dalam hal pemeliharaan hubungan baik dengan sesama manusia. 1. Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (QS. 004: 036). (Tetangga yang dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan non muslim). 2. Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan balasan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu (QS. 004: 086). (Penghormatan dalam Islam ialah mengucapkan Assalamu'alaikum). 3. Siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka (1) muliakan tamu, (2) muliakan tetangga, (3) hubungkan silaturrahmi, dan (4) berkatalah yang baik kalau tidak hendaklah diam (al Hadits). 4. Tidak beriman seseorang apabila tetangganya belum aman dari perilakunya. (Al Hadits). ”Tidak ada seorang pun diantaramu yang beriman sampai dia mendoakan saudaranya seperti ia mendoakan dirinya sendiri” (HR Bukhari)18 (Kata “mendoakan” dalam riwayat lain adalah “mencintai”). 5. Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok (merendahkan atau menghina) kepada kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang diolok-olokkan lebih baik (di sisi Allah) daripada mereka yang 18 Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, Jr. Mengutip hadits Rasulullah Saw tersebut saat memberikan sambutan pada National Prayer Breakfast di Hotel Hilton, Washington DC, Kamis pagi (5/2) atau Rabu dinihari WIB (6/2). Dengan mengutip hadist itu Obama hendak menegaskan kembali keyakinannya bahwa “Tidak ada satu agama pun yang menjadikan kebencian sebagai inti dari ajarannya. Setiap agama memiliki hukum emas (Golden Rule) yang mengajak para pemeluknya untuk mencintai dan menghargai sesama manusia.” 204 Hasanuddin mengolok-olokkan dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokkan lebih baik (di sisi Allah) daripada wanita-wanita yang mengolok-olokkan, dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk nama ialah nama yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat maka mereka itulah orang-orang yang lalim (QS. 049: 011). (Menurut tafsir Jalalain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari Bani Tamim, sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin, seperti Ammar bin Yasir dan Shuhaib Ar-Rumi. Frase “Janganlah kalian mencela diri kalian sendiri” merupakan akibat dari perbuatan “mencela” karena pihak yang dicela akan balas mencela. Demikian pula larangan memanggil orang lain dengan nama julukan yang tidak disukainya, antara lain seperti, hai orang fasik, atau hai pincang, dan sebagainya. 6. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS. 006: 108). Allah Swt juga mengingatkan bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi, serta Maha Kuasa mengumpulkan semuanya kelak (di akhirat) dan meminta pertanggungjawaban manusia atas apa yang dilakukannya di dunia berkaitan dengan pelaksanaan perintahNya dan penjauhan laranganNya. c. Politik Multikultural Rasulullah Saw Rasulullah Saw telah memberikan tauladan politik multikultural pada dekade kedua kerasulannya atau pada tahun-tahun awal hijrahnya ke Madinah (kira-kira tahun 623 M.). Waktu itu Madinah adalah kota plural, didiami oleh Muslimin kabilah Muhajirin dan Anshar, suku-suku Banu Al-Haris; Banu Sa’idah; Banu Jusyam; Banu an-Najjar; Banu Amr bin Auf; dan Banu an-Nabit; Banu Sa’labah; Jafnah dan Banu Syutaibah, kabilah Aus dan Khazraj, dan kabilah-kabilah Yahudi (terdiri atas suku-suku Banu Kainuka, Banu Quraizah, Banu an Nazir, dan Yahudi Khaibar). Di antara kabilah-kabilah Aus, Khazraj, dan Yahudi terdapat hubungan yang kurang harmonis dengan sejarah permusuhan yang cukup dalam. Nabi Muhammad Saw mempersaudarakan orang-orang dari dua suku dan golongan yang berbeda (Muhajirin Mekah dan Anshar Madinah), dan meletakkan dasar sistem politik melalui persetujuan-persetujuan atas dasar kebebasan dan persekutuan yang kuat di antara suku-suku yang ada, sehingga setiap warga memperoleh perlindungan dan dapat merasakan kedamaian yang didambakan. Sistem politik multikulturalis Rasulullah Saw itu terangkum dalam sebuah dokumen politik “Piagam Madinah” yang intinya berisi penetapan kebebasan beragama menurut adat kebiasaan yang berlaku di masing-masing suku; kebebasan menyatakan pendapat; jaminan atas keselamatan harta benda, suruhan untuk saling menolong dan berkerjasama bahu membahu menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu, dan nasihat menasihati untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan perbuatan dosa, larangan melakukan kejahatan serta sanksi hukum atas pelanggarannya. Sistem itu menjadikan 205 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 Madinah (Yastrib) menjadi kota terhormat bagi seluruh penduduknya, setiap warga mempertahankan kota dan mengusir segala bentuk serangan dari luar, namun lebih menyambut ajakan perdamaian. Berkaitan dengan Piagam Madinah itu, Muhammad Husain Haekal menulis sebagai berikut. “Bagi Muslim, Yahudi, dan Nasrani masing-masing punya kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan yang sama menyatakan pendapat, dan kebebasan yang sama pula dalam menjalankan dakwah agama. Hanya kebebasanlah yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan terhormat. Setiap tindakan menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia. Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati nurani manusia dengan alam semesta, dari awal sampai akhir zaman, suatu hubungan yang menjalin rasa kasih sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran.”19 Demikian pula ketika Muhammad membebaskan kota Mekah dengan 10.000 bala tentara tanpa pertumpahan darah, delapan tahun setelah hijrah. Khutbah pertama Muhammad di hadapan umat di dalam Masjidilharam ketika itu merefleksikan multikulturalisme Islami yang hakiki. Sebagai realisasi multikulturalisme Islami itu, Muhammad memberikan amnesti umum dan menghapus dendam sejarah (yang begitu pilu) kepada kaum Qurays, yang selama lebih kurang 20 tahun kerasulannya selalu mengganggu, menghina, mengolok, menyakiti, menganiaya, bahkan berkomplot dalam usaha pembunuhan, mengusirnya dari Mekah, kemudian memeranginya di Badr; Uhud; dan Parit. Musuh besar yang sekarang takluk di genggaman pasukannya itu tak berdaya, dan itulah saat yang paling tepat untuk melakukan pembalasan dendam, justru yang dilakukan Muhammad adalah pemberian pengampunan umum tanpa syarat, bahkan terhadap orang-orang yang telah divonis mati sekalipun. Muhammad memerintahkan kepada pengikut dan tentaranya untuk menjaga agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah. Muhammad Saw berkhutbah di hadapan penduduk Makkah dengan membacakan firman Allah Swt QS. 049:013 di atas.20. 2.4 Perayaan Multikulturalitas Indonesia Pemahaman atas definisi kebudayaan Indonesia selama ini adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah, yang memenuhi rasa identitas, kebanggan, dan solidaritas kebangsaan. Pertanyaannya adalah, apakah yang bermakna pada semua sub kultur itu hanyalah puncak? Apakah kriteria puncak itu, fisik; sistem; perilaku; atau nilainya? Bagaimana dengan akar dan batangnya? Dengan segenap keberadaannya, tidak dapatkah setiap sub kultur itu memenuhi rasa identitas dan solidaritas kebangsaan kita yang menjunjung prinsip kebhinnekaan? Dimana esensi kebhinnekaan kita? Bukankah pengkategorian seperti itu tidak mengarah kepada penyeragaman, dominasi mayoritas, dan diskriminasi minoritas? Tidakkah yang menguatirkan para peneliti 19 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Penerjemah Ali Audah), (Jakarta: Litera AntarNusa, 2006; cet. ke 32) hlm. 197-198. 20 Muhammad Husain Haekal Ibid, hlm 471-477. 206 Hasanuddin bahasa, kesenian, dan budaya kita adalah kepunahan suatu sub kultur, dan karena itu perlu penggalian, pendokumentasian, pelestarian atau revitalisasi? Dengan demikian, tidaklah mengada-ada kalau pengertian kebudayaan Indonesia itu perlu diredefinisi. Kebudayaan nasional Indonesia mesti dipahami sebagai keseluruhan sistem perilaku dan karyacipta segenap warganya, yang multikultural, yang merefleksikan sistem nilai yang menjadi akar budaya masyarakat Indonesia itu. Sistem perilaku dan karyacipta yang terputus dari akar kultural Indonesia tentulah bukan budaya Indonesia. Pengakuan dan perlakuan yang memadai atas kepemilikan budaya yang multikultural itu oleh bangsa ini jelas adalah kewajiban negara dan segenap warganya. Apabila kewajiban tersebut telah ditunaikan, tentu bangsa Indonesia tidak lagi kecolongan dengan klaim kepemilikan negara lain atas unsur dari subkultur kita. 2.5 Peneguhan identitas subkultur Kunci kebhinnekaan adalah perbedaan. Perbedaan ditunjukkan oleh identitas-identitas subkultur yang khas pada dirinya dan berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk merayakan perbedaan diperlukan langkah-langkah peneguhan identitas subkultur-subkultur yang ada. Subkultur-subkultur tersebut tentu memiliki akar kultural dan kearifan-kearifan lokal yang khas, yang menjadi rujukan pola perilaku masyarakat pendukungnya. Semua itu seyogianya menjadi landasan bagi pengembangan budaya dan peradaban masyarakat bersangkutan. Semangat peneguhan identitas subkultur perlu dipupuk, akan tetapi bukan dalam arti menumbuhkan sikap primordialisme. Budaya primordial adalah pondasi berdirinya sebuah bangsa besar yang disebut Indonesia. Politik kebudayaan yang seyogianya disuburkan adalah peneguhan akar, penguatan batang, peningkatan kualitas bunga dan buah bagi seluruh subkultur yang diarahkan untuk terbangunnya dengan kokoh “taman kebangsaan” yang indah dan bermakna. Taman yang indah adalah sebuah mozaik, kebermaknaannya adalah pada aneka warna bukan pada kesewarnaan, yang dinamis dan berkualitas. 2.6 Silaturrahmi lintas budaya Dalam dinamika perbedaan masing-masing diuji kekukuhan dan kekuatannnya (QS. 005: 048) dalam perlombaan menuju kebaikan (QS. 002: 148). Walaupun demikian, perbedaan dalam perlombaan mesti diikat oleh nilainilai silaturrahmi, saling taaruf ‘kenal mengenal’ (QS. 049: 013), dan saling membantu satu sama lain (QS. 004: 001). Demikianlah beberapa nilai yang menjadi esensi dinamika multikulturalisme islami, yang jelas menolak sikap primordialisme sempit. Dalam kaitan itu, sebagai kesatuan multikultural yang kaya Indonesia perlu dibangun atas dasar kesadaran dan etik multikulturalisme islami. Etik itu dapat dirumuskan ke dalam tiga sub-nilai, yaitu: (a) peneguhan identitas subkultur, (b) penghormatan dan penumbuhan minat dan kesadaran untuk memahami dan belajar tentang (dan dari) kebudayaan-kebudayaan “yang lain”, 207 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 dan (c) penumbuhan kesadaran bahwa keberagaman budaya adalah potensi dan khasanah yang patut disyukuri, dihargai, dan dipelihara21. Kata kunci interaksi multikultural yang harmoni menurut Islam adalah silaturrahmi. Silaturrahmi itu dimulai dengan taaruf, yaitu saling mengenali. Dalam proses taaruf, dialog-dialog interaktif dilakukan untuk saling mengenali dan memahami. Dialog bukan untuk membuat kesamaan pandangan atau keseragaman, melainkan untuk memahami apa yang khas dan berbeda di antara sub-sub kultur yang ada, membangun hubungan saling pengertian dan toleransi satu sama lain, dan mencari titik temu-titik temu untuk bersinergi dalam membangun kebersamaan. Dengan dialog-dialog itu diharapkan akan terjadi proses saling memperkaya antar budaya yang ada. Tahap berikut dari silaturrahmi adalah taawun, yaitu tolong menolong. Tolong menolong tidak mengenal batas-batas etnik dan keyakinan agama. Tolong menolong tidak hanya berbasis pada nilai dan norma sosial melainkan juga pada ranah spiritual: bukankah manusia semuanya adalah makhluk Allah Swt? Tolong menolong hanya dibatasi pada hal-hal kebaikan dan ketakwaan, sebaliknya Allah Swt melarang tolong menolong dalam berbuat dosa atau maksiat dan permusuhan, sebagaimana dimaksudkan oleh Allah Swt dalam Al Quran al Karim sebagai berikut. “Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan tapi janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah amat berat (QS. 005: 002). Untuk mewujudkan kebermaknaan hidup dalam multikulturalitas Indonesia tersebut, implementasinya perlu dikawal dengan sistem hukum yang adil dan beradab. Sistem hukum yang adil dan beradab akan terlahir dari kebijakan pemerintah yang berbasis pada partisipasi politik seluruh komponen masyarakat sub kultur. Dengan begitu, esensi multikultural yang bebas dari etnosentrisme, yang menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya, dan menjunjung emansipasi budaya-budaya kecil dan minoritas dalam tataran “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”, akan dapat diwujudkan. Tanpa sistem hukum yang adil dan beradab, sulit dibayangkan harmoni multikultural itu dapat direalisasikan.22 3. Penutup 3.1 Simpulan Multikulturalisme berbicara tentang identitas dan perbedaan, yaitu kesadaran akan sesuatu yang khas pada “diri kita” dan membedakannya dengan 21 Baca juga I Gusti Ngurah Bagus. “Hidup Bersama dan Etik Multikultural: Peluang dan Tantangannya dalam Hidup Berbangsa”. Dalam Martono, dkk (Peny.) Hidup Berbangsa & Etika Multikultural. (Universitas Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur, 2003) hlm. 24-36. Lawrence A. Blum, “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai Yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multukultural” Dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong (Peny.) Etika Terapan I, Sebuah Pendekatan Multikultural (Terj), (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001) h. 1525. 22 Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasi dan Etnis. 208 Hasanuddin “yang lain”. Islam memiliki landasan spiritual dan sosial dalam memberi arti bagi multikulturalitas itu. Secara spiritual, Islam berangkat dari pemahaman bahwa manusia pada asal muasalnya adalah satu, kemudian diperkembangkan oleh Allah menjadi banyak dan beragam. Jadi, keberagaman adalah fitrah kemanusiaan dan sunnatullah. Di samping itu, secara sosial Islam memerintahkan untuk saling taaruf (kenal mengenal), saling bersilaturrahmi, saling taawun (tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, tapi bukan dalam maksiat dan permusuhan), saling menyayangi, dan larangan untuk saling mengolok atau menghina satu sama lain. Indonesia telah memiliki akar dan mengembangkan multikulturalisme secara arif dan bijak sejak berbabad-abad yang lalu, namun berbagai faktor baik internal maupun ekternal, (di antaranya kolonialisme, kapitalisme, dan globalisme) telah memudarkan potensi itu. Hal itu patut dipelajari kembali dan direaktualisasi, serta ditauladankan dalam perilaku aktual hari ini dan esok. 3.2 Saran Untuk mewujudkan harmoni Indonesia yang multikultural secara berkelanjutan, perlu (1) merevitalisasi identitas subkultur dan mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki, (2) mempelajari dan memahamkan sejarah harmoni multikultural Nusantara, (2) dialog antar sub kultur dan agama untuk mencari titik temu-titik temu, tidak mencari dan membesar-besarkan perbedaan untuk mempertentangkannya, (3) saling mengisi dan memperkaya antar sub kultur, sehingga mampu (4) menjadikan kultur-kultur yang berbeda itu sebagai khasanah (kekayaan) bagi “mozaik Indonesia” yang indah dan bermakna. *** 209 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 DAFTAR PUSTAKA Agger, Ben. 2005. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, (Terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Agung, A.A. Gde Putra. 2006. Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ardika, I Wayan. 2004. “Bukti-Bukti Arkeologi Terbentuknya Akar Multikulturalisme” Dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (Ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press. Bagus, I Gusti Ngurah. 2003. “Hidup Bersama dan Etik Multikultural: Peluang dan Tantangannya dalam Hidup Berbangsa”. Dalam Martono, dkk (Peny.) Hidup Berbangsa & Etika Multikultural. Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur. Blum, Lawrence A. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas AntarRas: Tiga Nilai Yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multukultural” Dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong (Peny.) Etika Terapan I, Sebuah Pendekatan Multikultural (Terj). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jendela. Gonggong, Anhar. 2002a. Indonesia, Demokrasi, dan Masa Depan. Jogjakarta: Komunitas Ombak. Gonggong, Anhar. 2002b. Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia. Jogjakarta: Ombak dan Media Presindo. Haekal, Muhammad Husain. 2006. Sejarah Hidup Muhammad (Penerjemah Ali Audah). Jakarta: Litera AntarNusa. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan.. Yogyakarta: Jalasutra. Ritzer, George. 2005. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana). Saidi, Saleh. 2007. Lingua Franca, Menelisik Bahasa dan Sastra Melayu di Nusantara, dari Riau Hingga Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Saidi, Shaleh & Yahya Anshori (Ed), 2002. Sejarah Keberadaan Ummat Islam di Bali. Denpasar: MUI Bali, 2002. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern, Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. 210