SKRIPSI - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
1
PENGANGKATAN ANAK
(STUDI TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA
NOMOR : 015/PDT.P/2008/PA.PBG).
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
ARI CAHYO SUDARMADI
EIA006112
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
2
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
SKRIPSI
PENGANGKATAN ANAK
(STUDI TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA
NOMOR : 015/PDT.P/2008/PA.PBG).
Oleh:
ARI CAHYO SUDARMADI
EIA006112
Diterima dan disahkan
Pada Tanggal,
Februari 2011
Menyetujui,
Penguji I/ Pembimbing I
Haedah Faradz, S.H., M.H.
Penguji II/ Pembimbing II
Penguji III
Mukhsinun,S.H.,M.H.
Ujiati, S.H.,M.H.
NIP 19590725 198601 2 001 NIP 19590212 198702 1 001 NIP 19490915 198003 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S.
NIP. 19520603 198003 2 001
2
3
SURAT PERNYATAAN
Bertanda tangan dibawah ini :
Nama
:
ARI CAHYO SUDARMADI
NIM
:
EIA006112
SKS
:
2006
Judul skripsi
: PENGANGKATAN ANAK (STUDI TERHADAP
PENETAPAN PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA
NOMOR : 015/PDT.P/2008/PA.PBG).
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya
sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui
sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila
dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa saya melanggar
ketentuan tersebut, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Purwokerto,
Februari 2011
Yang Membuat Pernyataan,
ARI CAHYO SUDARMADI
NIM.E1A006112
4
MOTO
“Hidup Adalah Perjuangan
Jalani setiap rintangan yang ada dengan penuh kesabaran
Pantang menyerah dan teruslah berusaha
Hidup ini keras, jangan sampai kerasnya hidup melemahkan kita
Hidup akan indah jika kita bisa mengindahkan hidup kita
Tapi, janganlah hidup ini dibuat susah
Keep spirit !”
4
5
ABSTRAK
Salah satu tujuan perkawinan dari perkawinanan adalah memperoleh keturunan,
namun kadang terkendala oleh takdir ilahi sehingga tidak bisa memperoleh keturunan.
Berbagai upaya dilakukan untuk memperoleh keturunan, seperti mengangkat anak.
Pengangkatan Anak secara khusus belum diatur dalam undang-undang, namun
praktik pengangkatan anak telah dikenal luas oleh kalangan masyarakat Indonesia, baik
penduduk asli melalui hukum adatnya, dan penduduk keturunan Tionghoa melalui
Staatsblad 1917 Nomor 129, Sedangkan pengangkatan anak bagi masyarakat muslim
mengacu pada Kompilasi Hukum Islam.
Permohonan Pengangkatan Anak bagi non muslim diajukan kepada Pengadilan
Negeri, dan bagi umat muslim diajukan ke Pengadilan Agama. Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama, telah memberikan kewenangan absolute bagi Pengadilan Agama untuk
menangani permohonan Pengangkatan Anak oleh masyarakat muslim.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan anak angkat menurut
Hukum Islam dalam Penetapan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:
0015/PDT.P/2008/PA.PBG yang mempunyai akibat hukum terhadap perkawinan dan
hukum waris.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan
spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini sumber data yang digunakan
adalah data sekunder berupa Penetapan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:
0015/PDT.P/2008/PA.PBG, Undang-Undang dan buku-buku literatur yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian. Data yang diperoleh disajikan secara sistematis dan
terperinci, dan analisis data dilakukan secara normatif kualitative.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Pemohon telah melangsungkan
pernikahan selama 22 tahun tetapi tidak mempunyai keturunan, sehingga mengajukan
permohonan untuk mengangkat anak. Hakim Pengadilan Agama Purbalingga dalam
Penetapannya mengabulkan permohonan Pemohon, karena sesuai fakta-fakta di
persidangan Pemohon dinyatakan layak untuk mengangkat anak dengan ketentuan tidak
melanggar ketentuan-ketentuan hukum Islam seperti menjadikan anak angkat tersebut
sebagai anak kandung, akan tetapi didorong oleh motivasi beribadah kepada Allah SWT
dengan menanggung nafkah sehari-hari, biaya pendidikan, kesehatan, pemeliharaan ,
kehidupan beragama dan lain-lain. Hubungan nasab anak angkat tetaplah mengacu pada
ayah kandungnya, dan anak angkat tidak boleh menjadi ahli waris orang tua angkatnya,
karena tidak termasuk kelompok ahli waris sebagaimana ketentuan dalam Pasal 174 ayat
1 Kompilasi Hukum Islam. Anak angkat hanya berhak menerima wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga ) dari harta waris sebagaimana ketentuan Pasal 209
ayat 2 Kompilasi Hukum Islam.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak & Akibat Hukum
6
ABSTRACT
One of the purposes of marriage is to obtain the descent, but sometime it is
impeded by the God destiny so it can not obtain the descent. Many of efforts are
conducted to obtain the descent such as by child adoption.
Child adoption actually it has not regulated in ordinance, but practice of child
adoption has known widely by the society of Indonesia, whether the local society through
their common law, and descent society of Tionghoa through Staatsblad 1917 Number
129, and child adoption for the Moslem society
refer to the Moslem Law
Compilation.
Request of Child Adoption for the non Moslem is proposed to Public Court, and
for the Moslem is proposed to the Religion Court. Ordinance Number 50, 2009 as the
alteration for Ordinance Number 3, 2006 about Religion Court have give the absolute
authority to the Religion Court to handle the request of Child Adoption by Moslem
society.
This research aims to find out the position of adopted child according to Moslem
Law in the Decision of Religion Court in Purbalingga Number:
0015/PDT.P/2008/PA.PBG that has the law impact to the marriage and hereditary law.
This research uses the method of normative juridical approach by using research
specification of descriptive analytical. Source of data in this research uses secondary
data from Decision of Religion Court Purbalingga Number: 0015/PDT.P/2008/PA.PBG,
Ordinance and literature books that related with the research problem. Data that has been
obtained then presented systematically and completely, and data analysis was conducted
as normative qualitative.
From the research result is known that the requester has conducted the marriage
for 22 years but they do not have the descent, so they proposes the request to do the
child adoption. The Judge of Religion Court Purbalingga in its Decision accedes the
request of requester, because it based on the facts in the court the requester is stated
disserved to do the child adoption with the certainty they do not break the certainty of
Moslem law such make the child adoption as the legal child that has the blood relation,
but it is supported by motivation of religious service to Allah SWT by giving the daily
needs, education cost, health, preservation, religion life and et cetera. Relation between
the destiny of child adoption must refer to the real father child, and adopted child is not
allowed to become the coheir from the father who has adopted him, because it is not
classified as the coheir as the certainty in Article 174 (1) Compilation of Moslem Law.
Adopted child just has right to accept the wajibah testament at least 1/3 (a third) from the
coheir wealth as certainty Article 209 (2) Compilation of Moslem Law.
Keywords: Adopted Child & Law Impact
6
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul “PENGANGKATAN ANAK (STUDI TERHADAP PENETAPAN
PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA NOMOR :
0015/PDT.P/2008/PA.PBG)”.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Ibu Haedah Faradz, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya skripsi ini.
3. Bapak H. Mukhsinun, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya skripsi ini.
4. Ibu Ujiati, S.H.,M.H., selaku Penguji yang telah memberikan saran-saran untuk
perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Joko Susanto, S.H.,S.U., selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan akademik selama mengikuti kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
8
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
7. Orang Tua dan Keluarga tercinta serta kawan-kawan seperjuangan yang telah
memberikan dukungan baik materiil maupun spiritual kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis dalam penulisan skripsi ini telah berusaha dengan sebaik-baiknya, namun
mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis, maka penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulils dan semua pihak yang membutuhkan.
Purwokerto,
Februari 2011
Penulis
8
9
PERSEMBAHANKU
this creation’s dedicated to:
1. Allah SWT, Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan nikmat
dan karunia Nya, sehingga menjadi penerang hidupku.
2.
Kedua orang tua ku ( Sumarno, S.E, M.S.i / Suryati, S.H., M.H.) yang telah
merawat dan mendidik dengan penuh kasih sayang dan pelajaran hidup yang
begitu berarti.
3. My brother , Doyo Bagus Hartono smoga lancar kuliah dan Band nya.
4. Ayankuww n cintakuww, Nonix Dwi Pramurti yang selalu mengisi hari-harikuw
dengan cinta dan kasih syankmu…
5. Special thanks to:
-
bwat anak2 SAWER, kapan kita ngumpul lagi ??
-
bwat GENG JAWA, Radix, Jamal, Tegar, Adit, Hendra, ayo kita
futsal lagi !!!!
-
bwat teman begadangku, faqih, Jamal, Jarwo, Didit, Zain, jangan
begadang terus ntar dimarahin bang haji…. Terlaluuu !!!!!!!!!
-
bwat temen-temen seperjuanganku, Faqih, Uzi, Vendes, Suci, Zainur,
smoga sukses slalu.
-
bwat anak-anak FH UNSOED ‘06, Anggie, Febri, Gita, Maradona,
Diah K Dewi, Leny, Puji Pandu Dinilah, Widya, Eva, Argha, Fakihta,
10
Zain, NurNaeny, Suci, Jamal, Didit, Aziz, Febri P., Fajar, Okta, Caca,
Dito, M.ari, Iqbal, Radix, Uzi, Diniel, Miko, Mila, Septian, Satya,
Somien Dan semua MahaSiswa Fakultas Hukum lainnya yang tidak
bias dibutkan satu-persatu, Sukses buat kalian semua dan jangan
lupakan pertemanan kita……!!!!!!!
6. Last but not least, semua pihak yang telah hadir dan mengisi hari- hari penulis.
Saat-saat indah bersama kalian akan selalu terekam di memory penulis, keep
smile in every single in your day…
10
11
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………… . i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. ii
SURAT PERNYATAAN ........................……………………………….. iii
MOTTO …………………………………………………………...…...... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
ABSTRACT…………………………………………………………….... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
PERSEMBAHAN ...................................................................................... ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………… 1
B. Perumusan Masalah………………………………………… 9
C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 9
D. Kegunaan Penelitian………………………………………... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan….……………………………………………… 10
1. Perkawinan dan Tujuan Perkawinan…………………… 10
2. Azas-azas Perkawinan….....................…………………. 15
12
B. Pengertian Pengangkatan Anak.............................................. 18
C. Ketentuan Pengangkatan Anak di Indonesia…………….... 23
D. Syarat Pengangkatan Anak……………………………….... 26
E. Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Islam…................ 29
F. Tujuan Pengangkatan Anak……………………………….... 32
G. Akibat Hukum Pengangkatan Anak………………………... 34
1. Akibat Hukum Terhadap
Perkawinan…………………… 34
2. Akibat Hukum Terhadap Hukum
Waris…………..…….. 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan…………………………………...….. 42
B. Spesifikasi Penelitian…………………………………..… 42
C. Lokasi Penelitian……………………………………….... 43
D. Sumber Data………………………………………..……. 43
E. Metode Pengumpulan Data…………………....…….....… 43
F. Metode Penyajian Data…………………………….....….. 44
G. Metode Analisis Data……………………………..…….... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian……………………………………….......
45
12
13
B. Pembahasan.
……………………………………….....…...50
BAB V PENUTUP
Simpulan ................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRA
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak tahun 1974 berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
mengatur tentang perkawinan, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berlaku ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Undang-Undang ini mulai berlaku secara efektif sejak 1 Oktober 1975
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai
peraturan pelaksanaannya. Khusus bagi orang yang beragama Islam berlaku juga
ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyebutkan:
Perkawinan adalah ikatan kahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa .1
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tersebut dapat diketahui, tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dapat diartikan
pula bahwa sebenarnya perkawinan ini diharapkan untuk berlangsung seumur hidup
dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Membentuk keluarga dalam perkawinan
1 Soemiyati, 1982, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Liberty, Yogyakarta, hal : 9
14
15
yang dimaksud adalah terdiri dari bapak, ibu dan idealnya anak. Jadi mempunyai
anak/keturunan adalah salah satu tujuan dari perkawinan.
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusia, namun kadangkadang naluri ini terbentur pada takdir Illahi, dimana kehendak mempunyai anak
tidak terwujud, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memperoleh keturunan
seperti mengangkat anak. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT,
bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan
kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagai amanah Allah harus senantiasa dijaga
dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa
dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di
masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan2.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan
terhadap anak. Walaupun demikian, dipandang masih sangat perlu suatu undangundang yang khusus mengatur perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi
pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab tersebut, yaitu Undang-undang Nomor
2 H.Andi Syamsu, H.M.Fauzan,2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Pena Media,
Jakarta, hal.1
16
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan pengertian anak angkat, yaitu anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.3
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum mengambil anak orang
lain ke dalam
keluarga sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang
mengambil anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan hukum.4
Lembaga pengangkatan anak sejak dulu sudah dikenal oleh bangsa
Indonesia, namun eksistensi pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia sebagai
suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah pengangkatan anak
masih merupakan problema bagi masyarakat terutama dalam masalah yang
menyangkut ketentuan hukumnya. Ketidak sinkronan ini sangat jelas dilihat, kalau
kita mempelajari ketentuan tentang eksistensi lembaga pengangkatan itu sendiri
dalam sumber-sumber yang berlaku di Indonesia baik hukum barat yang bersumber
dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUH Perdata), hukum adat yang merupakan the living law yang berlaku di
masyarakat Indonesia, maupun Hukum Islam yang merupakan konsekuensi logis
3 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di
Indonesia, hal : 378
4 Soedharyo Soimun, 2000, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta,
hal: 38
16
17
dari masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Muderis Zaini mengatakan bahwa:
Dalam KUH Perdata yang kita warisi dari Pemerintah Hindia Belanda tidak
mengenal bahkan tidak memuat peraturan mengenai lembaga pengangkatan
anak. Dalam beberapa pasal hanya menjelaskan, bahwa yang dapat
meneruskan keturunan adalah anak sah dalam arti yang mempunyai
hubungan darah dan hubungan hukum yang sah, namun khusus bagi
golongan Timur Asing Tionghoa, lembaga pengangkatan anak/dopsi
diadakan pengaturanya secara tertulis di dalam Staatsblad 1917 Nomor 129.
Golongan Bumi Putra atau sekarang disebut dengan istilah Warga Negara
Indonesia asli mengenal lembaga pengangkatan anak yang diatur dalam
hukum adat masing-masing yang bercorak pluralisme, seperti yang
dikemukakan oleh Van Vollen Hoven bahwa di Indonesia terdapat 19
lingkaran hukum adat (rechtskring) dimana tiap-tiap rechtskringpun terdiri
dari beberapa kukuban hukum (rechtsgouw). Dengan demikian tentunya
akan terdapat beberapa perbedaan pada masing-masing daerah hukum di
Indonesia, tentang status anak angkat itu.5
Pengangkatan secara khusus belum diatur dalam undang-undang, namun
praktik pengangkatan anak telah dikenal luas oleh kalangan masyarakat Indonesia,
baik penduduk asli melalui hukum adatnya, penduduk keturunan Tionghoa melalui
Staatsblad 1917 Nomor 129, yang mengatur tentang pengangkatan anak pertamatama hanya diberlakukan khusus bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa
saja, tetapi dalam perkembangannya ternyata banyak masyarakat yang ikut
menundukan diri pada Staatsblad tersebut.
Berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung dalam beberapa tahun terakhir
ini bahwa masih ada hakim Pengadilan Negeri yang dalam meriksa dan memutus
permohonan pengangkatan anak, khususnya permohonan pengangkatan anak
Warga Negara Indonesia oleh orang tua Warga Negara Asing, tidak sesuai dengan
5 Muderis Zaini, 2002, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hal: 2
18
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan
Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 yang memberi petunjuk mengenai persyaratan,
bentuk permohonan, tata cara pemeriksaan, dan bentuk putusan, serta anak-anak
korban bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang akan dijadikan anak
angkat, maka keluarlah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005
tentang Pengangkatan Anak, yang
berisi
3 (tiga) arahan kepada para hakim
sebelum memutus penetapan pengangkatan anak, agar memperhatikan dengan
sungguh-sungguh ketentuan-ketentuan antara lain : Pasal 39 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dengan tegas menentukan:
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak;
2. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat, dan
3. Bila asal usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan dengan agama
mayoritas penduduk setempat.6
Praktik pengangkatan anak juga banyak dilakukan oleh masyarakat muslim.
Menurut hukum Islam, pengangkatan anak mengacu pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 h disebutkan, anak angkat adalah
anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan
dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
6 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Op Cit, hal : 389
18
19
Permohonan pengangkatan anak menurut undang-undang diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau domisili calon anak
angkat. Pada umumnya bagi non muslim dilakukan oleh Pengadilan Negeri,
sedangkan bagi umat Islam dilakukan oleh Pengadilan Agama.7 Lahirnya Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 jo Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidak
terdapat lagi perbedaan pendapat di kalangan pakar hukum dan praktisi hukum
mengenai kewenangan Pengadilan Agama yang menangani perkara pengangkatan
anak secara Islam, karena telah diatur dalam Pasal 49 , yang menentukan :
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama
Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Sedekah, dan
i. Ekonomi syariah.8
Kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan sebagaimana diatur
dalam penjelasan Pasal 49 a angka 20 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang kemudian dirubah
lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,
7 Anton Budiarto, 2003, Tata cara Dan Akibat Hukum Adopsi Anak, Majalah Cakrawala Ilmiah
Cakrawala Hukum Fakultas Hukum Unwiku, Purwokerto, Volume 5 Nomor 11, hal : 2
8 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078
20
menentukan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syariah, antara lain:
penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam.9
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 a angka 20 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang
kemudian dirubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama tersebut di atas, pengadilan dalam hal ini Pengadilan Agama
Pubalingga dapat memeriksa permohonan pengangkatan anak. Hakim pengadilan
dapat mengabulkan atau tidak, terlebih dahulu harus memperoleh keputusan
mengenai benar tidaknya permasalahan yang dijadikan sebagai alasan diajukan
permohonan dengan mendasarkan alat bukti. Pengangkatan anak merupakan
perbuatan hukum di lingkungan hukum keluarga, yang akibat hukumnya berkaitan
dengan perkawinan dan hukum waris. Seperti kasus pengangkatan anak dalam
Penetapan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor : 0015/Pdt.P/2008/PA.Pbg, yang
intinya sebagai berikut : Pemohon Asruri bin Madwirja yang sudah 22 tahun
berumah tangga bersama isterinya tetapi tidak mempunyai keturunan, sehingga
mengajukan permohonan untuk mengangkat anak bernama Ati Rahayuningsih binti
Suroso , anak dari suami isteri bernama Suroso dengan Duryati yang telah
diserahkan secara langsung dan suka rela oleh orang tua anak tersebut kepada
pemohon pada tanggal 14 Januari 1991 dan atas penyerahan dimaksud tidak pernah
9 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Ibid
20
21
ada dari pihak manapun menyatakan keberatan, serta pihak pemohon telah
menerimanya dengan senang hati bahkan telah merawat dan mengasuh sampai
sekarang dengan baik. Majelis Hakim pun mengabulkan permohonan pengangkatan
anak tersebut., maka penulis tertarik untuk meneliti tentang pengangkatan anak
dengan judul PENGANGKATAN ANAK (Studi Terhadap Penetapan Pengadilan
Agama Purbalingga Nomor : 0015/Pdt.P/2008/PA.Pbg).
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
suatu permasalahan, yaitu :
Bagaimanakah kedudukan anak angkat menurut Hukum Islam dalam
Penetapan Nomor : 0015/Pdt.P/2008/PA.Pbg?
C. TUJUAN PENELITIAN
Ingin mengetahui kedudukan anak angkat menurut Hukum Islam dalam
Penetapan Nomor : 0015/Pdt.P/2008/PA.Pbg.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
22
bagi peneliti, kalangan akademisi, dan masyarakat, maupun tambahan wacana
referensi mengenai Hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan bidang
pengangkatan anak..
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atau
masukan bagi para penegak hukum, masyarakat, dan pihak-pihak terkait
untuk bersama-sama memberikan perlindungan terhadap para pihak, baik
yang mengangkat anak maupun yang diangkat anak.
22
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERKAWINAN
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memberikan definisi sebagai berikut:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha
Esa.10
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 tersebut di atas,
dapat dilihat adanya
unsur-unsur : ikatan lahir batin, antara seorang pria dan seorang wanita, dan
sebagai suami isteri. Adapun yang dimaksud ikatan lahir ialah ikatan yang dapat
dilihat, dimana mengungkapkan adanya suatu hubungan antara seorang pria dan
wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri, atau disebut juga hubungan
formal dan hubungan ini sifatnya nyata. Ikatan batin merupakan hubungan tidak
formil atau merupakan ikatan yang tidak kelihatan dan hanya dapat dirasakan
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi walaupun tidak nyata ikatan itu harus
ada. Hal ini disebabkan tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi
rapuh 11
Unsur antara seorang pria dan seorang wanita, ini mengandung maksud
10 Soemiyati, 1982, Loc Cit, hal: 9
11 Wantjik Saleh, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang. Ghalia Indonesia, hal: 14-15
24
bahwa suatu ikatan perkawinan hanya boleh dilakukan antara seorang pria dengan
seorang wanita saja, dengan demikian hubungan perkawinan selain antara
seorang pria dengan seorang wanita tidak dimungkinkan terjadi.
Unsur sebagai suami isteri, maksudnya ialah dalam perkawinan seorang
pria disebut suami dan seorang wanita disebut isteri. Hal ini karena kedua belah
pihak telah terikat satu sama lain dalam suatu perkawinan yang sah, dan suatu
perkawinan adalah sah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, apabila
dilangsungkan dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
undang-undang, baik syarat intern maupun syarat ekstern.
Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan sebagai
berikut:
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama
ialah KeTuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, akan tetapi unsur
bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak
dan kewajiban orang tua.12
Menurut doktrin pengertian perkawinan bermacam-macam. R. Subekti
berpendapat bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk waktu yang lama13
Menurut R.Soetoyo Prawirohamijoyo pengertian perkawinan adalah suatu
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
12 Soemiyati, 1982, Loc cit, hal: 9
13 R. Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, hal: 23
24
25
dengan kekal yang diakui oleh negara.14
Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan tersebut
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang.
Tujuan perkawinan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Dari tujuan tersebut,
dapat dilihat ada empat (4) unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Membentuk keluarga
Keluarga ialah dalam arti keluarga batih, suatu keluarga yang lengkap terdiri
dari suami, isteri dan anak-anak, atau menurut R.Soetoyo Prawirohamidjojo
yang dimaksud keluarga adalah suatu satuan yang terdiri dari ayah, ibu serta
anak-anaknya yang merupakan sendi susunan masyarakat Indonesia.
15
Sedangkan keluarga menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 52 Tahun
2009 adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau
suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.16
2. Bahagia
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan bahagia, karena kebahagiaan itu relatif, dan merupakan perasaan
bathin yang tidak dapat dilihat dan diukur dengan materi atau hal-hal lainnya
14 R. Soetojo, Prawirohamidjojo, 1988, Pluralisme Dalam Perudang-Undangan Perkawinan Di
Indonesia. Surabaya. Airlangga University Press, hal: 31
15 R. Soetojo, Prawirohamidjojo, 1988, Ibid, hal: 21
16 Undang-Undang 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan
Keluarga, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 161
26
yang bersifat lahiriah semata-mata. Dengan demikian dimungkinkan suatu
keluarga atau rumah tangga dalam status sosial yang sama, rasa bahagianya
akan berbeda. Mengenai maksud bahagia ini adalah sebagai berikut:
Rasa tenteram, aman dan damai. Seseorang akan merasakan
kebahagiaan apabila terpenuhi unsur-unsur tersebut dalam
kehidupannya, sebaliknya apabila sebagian atau salah satu dari yang
disebutkan tadi tidak terpenuhi, maka orang tersebut akan merasa
kecewa, resah dan gelisah. Apabila unsur-unsur tidak terpenuhi
semuanya, maka orang mudah sekali menjadi putus asa, dan
mengambil jalan pintas dengan cara mengakhiri hidupnya 17.
3. Kekal
Kekal adalah perkawinan tersebut dilangsungkan bukan hanya untuk
sementara, atau untuk jangka waktu yang telah ditentukan sebelumnya, akan
tetapi perkawinan
dilangsungkan untuk selama-lamanya dan tidak boleh
diputus begitu saja. Sehubungan dengan pengertian kekal, Amanaun Harahap
mengatakan , bahwa yang dimaksud kekal dalam keluarga ialah kelangsungan
hubungan suami isteri yang selalu diliputi saling kasih sayang, saling
pengertian dan setia, sehingga antara suami isteri itu secara lahiriah tidak
menjadi putus, kecuali salah seorang dari suami isteri itu meninggal dunia,
sedangkan batiniahnya tetap merupakan pasangan yang bahagia dari dunia
sampai akherat.18
4. Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa
Tujuan perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, maksudnya
17 Amanun Harahap, 1993, Buku Pintar Keluarga Muslim, Badan Penasehat Perselisihan dan
Perceraian (BP4), Semarang, hal: 2
18 Amanun Harahap, 1993, Ibid, hal: 3
26
27
ialah bahwa keluarga atau rumah tangga yang dibentuk melalui perkawinan
itu selalu diliputi suasana yang religius, suami dan isteri maupun anak-anak
yang dilahirkan berakhlak baik sesuai tuntunan agama masing-masing dan
keyakinan yang dianut oleh keluarga yang bersangkutan. Indonesia sebagai
negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani mempunyai peranan yang sangat
penting pula .19
2. Asas-asas Perkawinan
a. Asas sukarela
Undang-undang menentukan bahwa perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1). Oleh karena perkawinan
mempunyai maksud agar supaya suami isteri dapat membentuk keluarga yang
kekal dan bahagia dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka suatu
perkawinan harus mendapat persetujuan dari kedua calon suami isteri, tanpa
paksaan dari pihak manapun
b. Partisipasi Keluarga
Perkawinan adalah merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
karena ia akan menginjak dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil
dari keluarga besar bangsa Indonesia yang religius dan sesuai sifat serta
19 Rusli dan R Tama, 1984, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung,
hal: 7
28
kepribadian bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan
partisipasi keluarganya untuk merestui perkawinan itu. Oleh karena itu bagi
yang masih berada di bawah umur 21 tahun (pria dan wanita) diperlukan izin
dari orang tua (Pasal 6 ayat 2).
c. Perceraian dipersulit
Perceraian adalah sesuatu yang amat tidak disenangi oleh isteri, bagaikan pintu
darurat di pesawat udara yang perlu digunakan kecuali dalam keadaan darurat
demi untuk mengatasi suatu krisis. Untuk itu Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasanalasan tertentu serta harus dilaksanakan di depan sidang Pengadilan.
d. Poligami dibatasi secara ketat
Perkawinan menurut undang-undang ini adalah monogami, hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang.
Demikian perkawinan dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputus oleh Pengadilan.
e. Kematangan calon mempelai
Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus telah
matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya
28
29
dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang
baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan anak-anak di
bawah umur. Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan, ternyata batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itu Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 menentukan batas umur kawin, yaitu 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita. Meskipun demikian dalam keadaan yang sangat
memaksa (darurat), perkawinan di bawah umur tersebut dimungkinkan, tetapi
setelah memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas permintaan orang tua
( Pasal 7 ayat 1 dan 2 ).
f. Memperbaiki derajat kaum wanita
Wanita adalah jenis manusia yang paling banyak memerlukan perlindungan.
Pada masa-masa yang lalu, dikala pria mempergunakan hak cerai secara
semena-mena, maka wanitalah yang paling banyak mengalami penderitaan.
Akibat perceraian yang semacam itu bukan saja merupakan suatu pukulan moril
bagi wanita, tetapi juga sangat memberatkan hidupnya. Demikian pula dalam
pelaksanaan poligami wanita yang paling menderita. Hubungan antara isteri
yang dimadu satu sama lain biasanya diliputi suasana tegang, curiga mencurigai
yang kadang-kadang memuncak menjadi panas. Oleh karena itu undang-undang
ini berusaha menghilangkan akibat-akibat negatif tersebut dengan cara sebagai
berikut:
f.1. Dimungkinkan adanya perjanjian dimana pihak wanita dapat ikut
30
menentukan isinya (Pasal 29)
f.2. Pengaturan tentang harta yang diperoleh selama perkawinan dimana isteri
mempunyai hak yang sama dengan suami, dan apabila terjadi perceraian
harta bersama diatur menurut hukum (Pasal 35 sampai dengan 37)
f.3. Suami/bapak tetap bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, sekalipun terjadi perceraian (Pasal 41
b).
f.4.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri
(Pasal 41 c).
f.5. Wanita diberi kedudukan yang seimbang dengan pria dalam menentuk-an
jodohnya (Pasal 6 ayat 1) dan dalam membentuk syarat-syarat perjanjian
yang diingini oleh kedua belah pihak (Pasal 29).
B. PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK
1). Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Di dalam Hukum Adat Indonesia
wajib dibedakan pengertian antara
pengangkatan anak, pemeliharaan anak dan quasi adopsi. Pengangkatan adalah
seorang anak yang bukan anak kandung dari suami isteri, tetapi lahir batin
dianggap sebagai anak kandung sendiri. Anak pemeliharaan ialah seorang anak
yang dipelihara oleh suatu keluarga, hanya dengan dasar kasihan., sedangkan
quasi adopsi ialah seorang anak yang lahirnya sama dengan hari dan wetonnya
30
31
dengan salah satu orang tuanya, maka dalam suatu upacara anak tersebut
diberikan kepada salah seorang keluarga ayah ibunya, tetapi setelah upacara
selesai anak tersebut dikembalikan kepada orang tua kandungnya.20
Menurut Hilman Hadi Kusuma (1983: 23) dalam bukunya Hukum
Perkawinan Adat, mengatakan bahwa
Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh
orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan
tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta
kekayaan rumah tangga.21
Menurut Ahmad Kamil dan H.M Fauzan , bahwa ambil anak, kukut anak,
anak angkat adalah suatu perbuatan hukum dalam kontek hukum adat
kekeluargaan (keturunan).22
Hal ini sejalan dengan pendapat Ter Haar,
sebagaimana dikutip Muderis, mengatakan bahwa:
......dengan jalan suatu perbuatan hukum, dapatlah orang mempengaruhi
pergaulan-pergaulan yang berlaku sebagai ikatan biologis, dan tertentu
dalam kedudukan sosialnya, sebagai contoh dapat disebutkan : kawin
ambil anak atau inlijfhuwelijk. Kedudukan yang dimaksud membawa dua
kemungkinan, yaitu : a. Sebagai anak, sebagai anggota keluarga
melanjutkan keturunan, sebagai ahli waris (yuridis); b. Sebgai anggota
masyarakat (sosial) dan menurut tata cara adat, perbuatan pengangkatan
anak itu parti dilakukan dengan terang dan tunai.23
2). Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Istilah pengangkatan anak berkembang di Indonesia sebagai terjemahan
dari bahasa Inggris adoption, mengangkat seorang anak, yang berrati mengangkat
anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang
20 Woerjanto, 1979, Hukum Adat (Adopsi, Delict dan Tatanegara), Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, hal: 7
21 Hilman Hadi Kusumo, 1983, Hukum Perkawinan Adat, Mandar Maju, Bandung, hal: 23
22 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, OpCit, hal : 31
23Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Ibid, hal: 31-32
32
sama dengan anak kandung.24
Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, pengangkatan
anak telah menjadi tardisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dikenal
dengan istilah tabanni yang berarti mengambil anak angkat. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah
adopsi yang berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah
menjadi anak sendiri. Istilah Tabanni yang berarti seseorang mengangkat anak
orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak tersebut seluruh ketentuan
hukum yang berlaku atas anak kandung orang tua angkat, pengertian demikian
memiliki pengertian yang identik dengan istilah adopsi.25
Dilihat dari aspek perlindungan dan kepentingan anak, lembaga
pengangkatan anak (tabanni) memiliki konsep yang sama dengan pengangkatan
anak (adopsi) yang dikenal dalam hukum sekuler. Perbedaannya terletak pada
aspek mempersamakan anak kandung dengan anak sendiri, menjadikan anak
angkat menjadi anak sendiri, memberikan hak waris sama dengan hak waris anak
kandung.
Selanjutnya pengertian pengangkatan anak adalah sebagai berikut:
a. Ahmad Kamil dan Fauzan , mengatakan bahwa pengangkatan anak (adopsi,
tabanni), yaitu suatu pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Anak
yang diadopsi disebut anak angkat, peristiwa hukumnya disebut pengangkatan
anak. 26
24 Simorangkir JCT, 1987, Kamus Hukum, hal: 4
25 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Op Cit, hal: 96
26 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Ibid, hal: 97
32
33
b. Soedharyo Soimun, mengatakan bahwa : pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan hukum mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri,
sehingga dengan demikian antara orang yang mengambil anak dan yang
diangkat timbul suatu hubungan hukum.27
3). Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan
Dalam Staatblad 1917 Nomor 129 tidak ada satu pasalpun yang
memberikan pengertian tentang pengangkatan anak (adopsi),
namun yang
boleh diangkat hanyalah anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan
dengan tegas Pasal 15 ayat 2 menentukan :
Pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan
cara lain dari pada cara membuat akte autentik adalah batal karena
hukum.28
Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa anak laki-laki itu dianggap oleh
masyarakat Tionghoa untuk melanjutkan keturunan dari pada mereka di
kemudian hari, di samping itu adalah anak laki-lakilah yang dapat memelihara
abu leluhur orang tuanya. Oleh karena itu kebanyakan dari masyarakat
Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang lain, kecuali apabila
keluarga ini merasa tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk kebutuhan
anak-anaknya.
Penjelasan Pasal 47 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, menentukan sebagai berikut:
27 Soedharyo Soimun, 2000, Loc Cit, hal: 38
28 H.Andi Syamsu, H.M.Fauzan,2008, Op Cit, hal: 336
34
Pengangkatan anak ialah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak
dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.29
Menurut Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, mementukan sebagai berikut:
Pengangkatan anak ialah perbuatan hukum untuk mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasan orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan orang tua angkat.30
Pengertian anak angkat
menurut Pasal 1 angka 9 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut:
Anak angkat ialah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan
atau penetapan pengadilan.31
Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, menentukan sebagai berikut:
Anak angkat ialah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan dan membesarkananak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tuaangkatnya berdasarkan keputuaan atau
penetapan pengadilan.32
Menurut Pasal 171 h Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi sebagai
29 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4674
30 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4768
31 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008,loc Cit, hal : 378
32 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Op Cit
34
35
berikut:
Anak angkat , ialah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan.33
C. KETENTUAN PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA
Ketentuan yang mengatur mengenai pengangkatan anak di Indonesia antara
lain :
1. Kaidah hukum tidak tertulis yang hidup di dalam kehidupan masyarakat setempat
2. Kaidah hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan dan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI seperti antara lain:
a. Ketentuan Adopsi S. 1917 No. 129, yang berlaku untuk pengangkatan anak
laki-laki bagi golongan Tionghoa
b. SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung RI ) Nomor 2 Tahun 1979 tentang
Pengesahan dan/ atau Permohonan Pengangkatan Anak.
c. Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHA I/I/2 tanggal 24 Fepuari 1978
d. Surat Edaran dari Menteri Sosial No. Huk. 3-1-58/ 1978 tanggal 7 Desember
1978 tentang Petunjuk Sementara Dalam Pengangkatan Anak (Adopsi)
Internasional.
e. Peraturan Menteri Sosial Nomor 13 tahun 1981 tentang Organisasi Sosial
Yang Dapat Menyelenggarakan Usaha Penyantunan Anak terlantar tanggal 25
Agustus 1981.
33 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Kompilasi Hukum
Islam,hal:82
36
f.
Instruksi Menteri Kehakiman RI No. M.02 BW .09. 1981
g. SEMA No. 6 tahun 1983 tanggal 30 september 1983, Perihal Penyempurnaan
SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengesahan dan/ atau Permohonan
Pengangkatan Anak
h. Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41 / HUK / KEP / VII / 1984
tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Antar Warganegara
Indonesia dan Warganegara Asing (Intercountry Adoption) tanggal 18
september 1984.
i. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan
Anak.
j. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 yang mengatur tentang
cara pengangkatan anak menentukan bahwa untuk mengangkat anak harus
terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan anak
kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan
Anak Warga Negara Indonesia oleh orang tua Warga Negara Asing akibat
bencana gempa bumi dan tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan
Provinsi Sumatra utara, yang mengatur 3 (tiga) arahan kepada para hakim
sebelum memutus penetapan pengangkatan anak, agar memperhatikan dengan
sungguh-sungguh ketentuan-ketentuan antara lain : Pasal 39 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dengan tegas
menentukan:
36
37
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak;
2. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat, dan
3. Bila asal usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan dengan
agama mayoritas penduduk setempat.
k. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak
l.
Kompilasi Hukum Islam
m. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kepen-dudukan.
n. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
D. SYARAT PENGANGKATAN ANAK
Syarat-syarat calon anak angkat dan calon orang tua angkat adalah sebagai
berikut :
1) SEMA Nomor 6 Tahun 1983
Syarat calon anak angkat bagi pengangkatan anak antar Warga Negara
Indonesia, bahwa bagi calon anak angkat dalam asuhan yayasan sosial harus
dilampirkan surat izin berupa:
a. Surat Izin Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan
diizinkan bergerak di bidang pengangkatan anak
38
b. Surat Izin Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa bagi
anak dimaksud dizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
Syarat calon orang tua angkat bagi pengangkatan anak antar Warga Negara
Indonesia, yaitu :
a. Pengangkatan anak langsung dilakukan antara orang tua kandung
dengan orang tua angkat dibolehkan.
b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat
dalam perkawinan sah atau belum menikah dibolehkan.
Syarat calon orang tua angkat bagi pengangkatan anak antar negara, yaitu:
a. Pengangkatan anak harus melalui yayasan sosial yang memiliki izin
dari Departemen Sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan
bergerak
di
bidang
kegiatan
pengangkatan
anak,
sehingga
pengangkatan anak yang lansgung dilakukan antar orang tua
kandung dengan orang tua angkat tidak dibolehkan, demikian pula
dengan pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat yang tidak
terikat dalam perkawinan yang sah atau belum menikah.
b. Untuk calon orang tua Warga Negara Asing, selain syarat tersebut
juga harus berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia minimal 3
(tiga) tahun disertai izin tertulis Menteri Sosial atau Pejabat untuk
dirujuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang Warga
Negra Asing.
2) Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984
38
39
Mengatur syarat-syarat calon orang tua angkat bagi pengangkatan anak
antar Warga Negara Indonesia yang berada dalam organisasi sosial, yaitu:
a. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun.
b. Selisih umur antara orang tua angkat dengan calon anak angkat minimal 20
tahun.
c. Pada saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun,
dengan mengutamakan keadaan:
1. Tidak mungkin mempunyai anak dengan adanya surat keterangan dokter
kebidanan/dokter ahli
2. Belum mempunyai anak
3. Mempunyai anak kandung seorang
4. Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung
d. Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan pejabat
berwenang serendah-rendahnya lurah atau kepala desa setempat.
e. Berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan kepolisian RI.
f. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter
pemerintah.
g. Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk
kepentingan kesejahteraan anak.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Syarat calon anak angkat menurut Pasal 12 ayat 1 dan 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, yaitu:
40
Pasal 12
1. Syarat anak yang akan diangkat meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
2. Usia anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas uta- ma
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan 12 (dua belas) ta-hun sepanjang ada alasan mendesak, dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Syarat calon orang tua angkat menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007, yaitu:
Pasal 13
a. Sehat jasmani dan rokhani
b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh ) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun
c. Beragama sama dengan calon anak angkat
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan
e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun
f. Tidak merupakan pasangan sejenis
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu
orang anak
h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial
i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak
j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan perlindungan anak.
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan se-jak izin
pengasuhan diberikan; dan
m. Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
E. PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN HUKUM ISLAM
Hukum Islam pada dasarnya tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti
40
41
adopsi (pengertian aslinya, yaitu mengangkat anak sehingga terputus sama sekali
hubungan darah si anak dengan orang tua yang melahirkannya) bahkan melarangnya.
Hal ini berarti, bahwa sekalipun agama Islam dianut oleh sebagian terbesar dari
penduduk Indonesia , tetapi larangan seperti itu paling tidak untuk sebagian besar
wilayah Indonesia tidak direseptir oleh Hukum Adat.
Pengangkatan
anak
dalam pengertian
tersebut jelas secara prinsip
bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam alqur`an surat Al Ahzab ayat 4 dan
5 yang artinya:
...... dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan yang benar.
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapakbapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka) sebagai saudarasaudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.34
Berdasarkan hal tersebut sudah jelas bahwa yang dilarang adalah
pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal. Di sini terlihat titik
persilangan ketentuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia, yang
menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tua
kandungnya sendiri. Hal ini bersifat prinsip dalam lembaga adopsi, karena ketentuan
yang menghilangkan hak-hak ayah kandung dan dapat merombak ketentuan
mengenai waris.
Agama Islam mendorong seorang muslim untuk memelihara anak orang lain
34 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Op Cit, hal: 112
42
yang tidak mampu, miskin, terlantar dan lain-lain, tetapi tidak dibolehkan
memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan
itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata, sesuai dengan anjuran Allah..35
Dengan demikian, yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak
(adopsi) dengan memberikan status yang sama dengan anak kandungnya sendiri,
sedangkan kalau yang dimaksud dengan pengangkatan anak dalam pengertian yang
terbatas, maka kedudukan hukumnya diperbolehkan saja bahkan dianjurkan. Di sini
tekanan pengangkatan adalah hanya perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan
diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas Muderis Zaini, mengatakan bahwa
menurut Hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
biologis dan keluarga;
b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan
tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat
tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkat;
c. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung kecuali sekadar sebagai tanda pengenal/alamat;
d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap
anak angkatnya.36
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip
pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan
tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan
35 Muderis Zaeni, 2002, Op Cit, hal: 52
36 Muderis Zaeni, 2002, Ibid, hal : 54
42
43
dan perkembangannya.
F. TUJUAN PENGANGKATAN ANAK
Tujuan pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129 adalah
Tujuan pengangkatan anak bagi orang Tionghoa menurut Staatblad 1917
Nomor 129 adalah untuk meneruskan keturunan laki-laki. Hukum keluarga
adat golongan Tionghoa menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal)
karena itu nama keluarga (she atau fam, seperti tan oei, lim, dan lain-lain)
diturunkan melalui keturunan laki-laki. Apabila tidak ada keturunan laki-laki
untuk meneruskan nama keluarga37
Tujuan dari lembaga pengangkatan anak menurut hukum adat adalah untuk
meneruskan keturunan, manakala di dalam suatu perkawinan tidak memperoleh
keturunan. Hal ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan , salah satu jalan
keluar dan alternatif yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang
anak dalam pelukan keluarga, setelah bertahun-tahun belum dikaruniai seorang
anakpun.38
Tujuan pengangkatan menurut Hukum Islam, yaitu untuk kepentingan terbaik
bagi anak agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Pengangkatan anak sebagai wujud menolong
orang lain. Hal ini berdasarkan Alqur`an Surat Almaidah ayat 2, yang artinya::
Dan tolong menolonglah kamu (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan, dan
janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran
Pengangkatan anak pada dasarnya tidak terlepas dari upaya mengatasi
37 Mustofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2008, hal.23.
38 Muderis Zaini, 2002, Op Cit, hal.7.
44
permasalahan anak, oleh karena itu tujuan utama dilakukannya pengangkatan anak
adalah kepentingan perlindungan atau kesejahteraan anak itu sendiri, sehingga
diharapkan setelah anak tersebut menjadi anak angkat, keadaan, nasib dan masa
depannya akan lebih baik, lebih terjamin, lebih sehat dan lebih sejahtera baik dari
segi fisik, jasmani, mental, spiritual, ekonomi maupun sosial, dibandingkan ketika
sebelum menjadi anak angkat. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 ayat 1 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 jo Pasal 39 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002,
yang menjelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.39
Ada juga pengangkatan anak yang dilakukan untuk mendapatkan tunjangan
anak dalam gaji pegawai negeri sipil. Permohonan demikian juga untuk kesejahteraan
dan kepentingan anak. Permohonan itu diajukan berdasarkan Pasal 16 ayat 2 dan ayat
3 Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri
Sipil yang menyebutkan sebagai berikut:
(2).Kepada Pegawai Negeri sipil yang mempunyai anak atau anak angkat
yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun, belum pernah kawin,
tidak mempunyai penghasilan sendiri, dan nyata menjadi tanggungannya,
diberikan tunjangan anak sebesar 2% (dua persen) dari gaji pokok untuk
tiap-tiap anak.
(3).Tunjangan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diberikan sebanyakbanyak untuk 3 (tiga) orang termasuk 1 (satu) orang anak angkat.40
39 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Loc Cit, hal : 389
40 Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3098.
44
45
G. AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANGKAT
Pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum di lingkungan hukum
keluarga, yang akibat hukumnya berkaitan dengan perkawinan dan hukum waris.
1). Akibat Hukum Terhadap Perkawinan
a. Perwalian
Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar waliya, wilayah
atau walayah , yang mempunyai makna etimologis lebih dari satu, yaitu
pertolongan, cinta, kekuasaan atau kemampuan ,
yang artinya kepemimpinan
seseorang terhadap sesuatu. Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa perwalian ialah suatu bentuk perlindungan dengan
otoritas penuh atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan
pertolongan atas ketidak mampuan seseorang dalam melakukan perbuatanperbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya.41
Literatur-literatur fikih klasik dan kontemporer , kata al wilayah digunakan
sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang
yang belum cakap bertindak hukum, juga berarti hak untuk menikahkan seorang
wanita. Hak ini dipegang oleh wali nikah.42
Menurut Soemiyati bahwa:
Perwalian menurut Fiqh ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama
kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.
Selanjutnya beliau berpendapat bahwa secara garis besarnya perwalian
dapat dibagi atas :
1). Perwalian atas orang
2). Perwalian atas barang
41 Achmad Kamil dan H.M.Fauzan, 2008, Op Cit, hal: 175
42 Achmad Kamil dan H.M.Fauzan, 2008, Ibid. Hal: 176
46
3). Perwalian atas orang dalam perkawinannya. Orang yang diberi kekuasaan disebut wali.43
Perwalian dalam masalah orang atau jiwa, yaitu melakukan pengayoman
terhadap pribadi orang yang di bawah perwaliannya, seperti mendidik, mengobati
apabila sakit, mencarikannya kerja, dan mengawinkan mereka. Perwalian dalam
masalah harta, yaitu pengelolaan terhadap harta orang yang berada di bawah
pengampuannya, baik memelihara, mengembangkan dan melakukan tindakan
hukum yang berkaitan dengan harta orang-orang yang berada di bawah
pengampuannya.44 Perwalian dalam perkawinan tergolong perwalian yang
berhubungan dengan masalah-masalah kekeluargaan, seperti perkawinan terutama
perkawinan dari orang yang belum mukallaf, dan wali dalam perkawinan
merupakan rukun, artinya harus ada dalam perkawinan, tanpa adanya wali
perkawinan dianggap tidak sah.45
Dalam hukum Islam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh
Pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali terbatas terhadap diri, harta,
tindakan hukum dan tidak termasuk wali nikahnya jika anak angkat ini perempuan
(wali nikah tetap berada pada orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya). Hal
ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 171 h yang menyebutkan bahwa
anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
43 Soemiyati, Op.Cit. Hal: 41
44 Achmad Kamil dan H.M.Fauzan, Ibid. Hal: 177
45 Soemiyati, Op Cit. Hal: 42
46
47
b. Dalam hubungan keluarga
Menurut hukum Islam, pengangkatan anak tidak memutus hubungan nasab
dengan nasab orang tua kandung dan saudara-saudaranya. Nasab anak angkat
tetaplah mengacu pada ayah kandungnya, dalam arti anak angkat dalam Islam
tetaplah dinisbatkan kepada ayah kandungnya, tidak boleh menggunakan nama
ayah angkatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alqur`an Surat AlAhzab ayat 5, yang artinya : Panggilah mereka (anak-anak angkat) menurut (nama)
bapaknya, hal itu lebih adil pada sisi Allah SWT. Kalau kamu tiada mengetahui
bapaknya, mereka menjadi saudara kamu dalam agama dan maula (pengabdi)
kamu. Dan tiada dosa atasmu apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha penyayang.46
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1, tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua kandungnya.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka yang beralih dari anak angkat terhadap
orang tua angkatnya hanyalah tanggungjawab kewajiban pemeliharaan, nafkah,
pendidikan dan lain-lain. Anak angkat tetap dipanggil dengan BIN/BINTI orang tua
kandung. Kemudian anak angkat boleh dinikahkan dengan orang tua angkatnya,
juga boleh dinikahkan dengan anak kandung atau anak angkat lain dari orang tua
46 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008,Op Cit, hal: 112
48
angkatnya.. 47
2). Akibat Hukum Terhadap Hukum Waris
Dalam Hukum Islam, dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan
seseorang saling waris mewaris, yaitu
a. Hubungan nasab atau kerabat atau keturunan, yaitu hubungan
kekeluargaan antara pewaris dan ahli waris seperti ayah, ibu, anak,
cucu, saudara-saudara kandung, seayah, seibu dan sebagainya.
b. Hubungan perkawinan atau mushoharoh, yaitu suami isteri,
meskipun belum pernah berkumpul, atau telah bercerai, tetapi
masih dalam masa iddah talak raj`i.
c. Hubungan walak, yaitu hubungan antara bekas budak dan orang
yang memerdekakannya apabila bekas budak itu tidak mempunyai
ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh harta warisan
(hanya terdapat dalam wacana saja, karena perbudakan sudah tidak
ada lagi).
d. Tujuan Islam, yaitu baitul mal (perbendaharaan negara) yang
menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli
waris sama sekali dengan sebab tersebut di atas.48
Pasal 174 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa, kelompokkelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah:
47 H. Andi Syamsu Alam dan H.M Fauzan, 2008, Op Cit, hal :16
48 Mawardi Muzamil, 1985, Hukum Waris Islam, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, hal: 32
48
49
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek;
- golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dan nenek;
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.49
Pasal 191 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa:
Apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya
tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan
Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama
Islam dan kesejahteraan umum.50
Hukum Islam tidak mengenal lembaga pengangkatan anak atau yang
dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang
tua asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya, melainkan
mengakui mengangkat anak orang lain dalam arti pemeliharaan. Dengan kata lain si
anak angkat tetap mempunyai hubungan kerabat dengan orang tua asalnya dan tetap
berada di luar lingkaran kekerabatan orang tua angkatnya dalam segala akibat
hukumnya termasuk mewaris.
Para Ulama Fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang
praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi seperti pengangkatan anak
yang dikenal oleh hukum Barat dan praktik masyarakat jahiliyah, yaitu
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak
angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandung, anak angkat memiliki
hak waris sama dengan hak waris anak kandung karena pewarisan dalam hukum
barat didasarkan pada undang-undang dan wasiat atau testament. Hukum Islam
hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk
49 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Op Cit, hal: 83
50 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Op Cit, hal :88
50
memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara dan lain-lain, dalam kontek
ibadah kepada Allah SWT51 Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan
hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan
antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas, dan sama sekali tidak
menciptakan hubungan nasab. Akibat yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam
hanyalah terciptanya hubungan kasih dan sayang, dan hubungan tanggung jawab
sebagai sesama manusia . Karena tidak adanya hubungan nasab, maka konsekuensi
yuridisnya ialah antara orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga
mahram, dan karena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat
melangsungkan perkawinan. Karena tidak ada hubungan nasab, maka anak angkat
tidak boleh menjadi ahli waris orang tua angkatnya., melainkan anak angkat dapat
menerima wasiat wajibah sebagaimana ketentuan Pasal 209 Kompilasi Hukum
Islam yang menyebutkan bahwa:
a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal
176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan
terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
anak angkatnya.
b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta orang
tua angkatnya.52
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim
sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi
orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan
51 H. Andi Syamsu Alam dan H.M Fauzan, 2008, Op Cit, hal: 44
52 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Op Cit, hal:94
50
51
tertentu.53
Muderis Zaeni, mengatakan bahwa menurut Hukum Islam pengangkatan
anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga
Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli pewaris dari
orang tua angkat, melainkan tetap sebagai ahli pewaris dari
orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak
berkedudukan sebagai ahli pewaris dari anak angkat
Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua
angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda
pengenal/alamat
Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam
perkawinan terhadap anak angkatnya.54
53 Musthofa Sy, 2008, Op Cit, hal: 131
54 Muderis Zaeni, 2002, Op Cit, hal :54
52
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif,
yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat
sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada
di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem
lainnya.55
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis, deskriptif
maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau
gejala dari objek penelitian tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan secara
umum, untuk kemudian akan dilakukan analisa terhadap berbagai aspek yang diteliti
dengan teori-teori, kaedah hukum serta berbagai pengertian yang terkait dengan
penelitian ini.
3. Lokasi Penelitian
55 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang : Banyumedia
Publishing), hal: 57.
52
53
Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal
Soedirman, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
4. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder, yang berupa bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang dibentuk dan/atau
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan
pemerintahan, yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pengangkatan anak, dan Penetapan No: 0015/Pdt.P/2008/ PA.Pbg
b. Bahan hukum sekunder yaitu seluruh informasi tentang hukum yang
berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Bahan hukum yang
terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang
berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, yang
berkaitan dengan pengangkatan anak.
5. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan terhadap data
primer dan sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian, kemudian dikaji
sebagai satu kesatuan yang utuh.
6. Metode Penyajian Data
Data dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara pemilihan data yang
54
sesuai dengan obyek penelitian, kemudian merangkum dan memfokuskannya pada
hal-hal yang pokok, untuk kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. Dan
selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis.
7. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis normatif
kualitatif, yaitu suatu cara menginterpretasikan hasil penelitian dengan mendasarkan
pada norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin yang berkaitan dengan
pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian
dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang ada dalam putusan
Nomor 0015/Pdt.P/2008/PA.Pbg ditempatkan sebagai premis minor dan melalui
proses silogisme akan diperoleh kesimpulan terhadap permasalahan yang menjadi
obyek penelitian.
54
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang di peroleh berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama
Purbalingga Nomor: 0015/Pdt.P/2008/PA.Pbg, tentang Penetapan Pengangkatan
anak adalah sebagai berikut:
1. Subyek Hukum
Asruri bin Madwirja umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan buruh, tempat
tinggal Desa Gandasuli Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga,
selanjutnya disebut sebagai pemohon.
2. Peristiwa Hukum
Pemohon berdasarkan surat permohonan tertanggal 18 Nopember 2008 yang
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Purbalingga Register Nomor
0015/Pdt.P/2008/PA.Pbg. tertanggal 18 Nopember 2008, telah mengajukan
hal-hal sebagai berikut :
a). Bahwa Pemohon bermaksud untuk mengangkat anak bernama Ati
Rahayuningsih bin Suroso, lahir tanggal 5 Desember 1990 seorang anak
dari pasangan suami istri Suroso dengan Duryati yang menikah di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga tanggal 2
Agustus 1986.
b). Bahwa orang tua Ati Rahayuningsih telah menyerahkan kepada Pemohon
56
tanggal 14 Januari 1991 dengan suka rela dan tanpa adanya paksaan dari
pihak manapun.
c). Bahwa Pemohon dengan istri Pemohon sudah menikah 22 (dua puluh dua)
tahun lamanya tetapi tidak mempunyai keturunan sehingga mampu untuk
merawat dan mengasuh anak tersebut.
d). Bahwa selama dalam pemeliharaan dan pengasuhan Pemohon anak dimaksud hidup sejahtera lahir batin dan tidak ada pihak lain baik keluarga
orang tua anak atau keluarga Pemohon maupun pihak lain yang
mempermasalahkan.
e). Bahwa Pemohon sanggup untuk membayar seluruh biaya yang ditimbulkan dari perkara ini.
3. Petitum
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka Pemohon mohon agar Ketua
Pengadilan Agama Purbalingga berkenan memeriksa dan selanjutnya
menjatuhkan putusan sebagai berikut :
a). Mengabulkan permohonan Pemohon.
b). Menetapkan anak yang bernama Ati Rahayuningsih binti Suroso sebagai
anak angkat dari Pemohon.
c). Membebankan seluruh biaya menurut hukum.
56
57
4. Pertimbangan Hukum Hakim
a. Sesuai pasal 49 beserta penjelasan pasal 49 huruf (a) poin ke 20 UndangUndang Nomor: 3 Tahun 2006 perkara ini menjadi kewenangan absolut
Pengadilan Agama dan dalam hal ini Pengadilan Agama Purbalingga.
b.
Pemohon telah mengajukan bukti surat-surat dalam persidangan terdiri
dari :
1. Kartu Tanda Penduduk atas nama Suroso dikeluarkan oleh Bupati
Purbalingga Nomor: 0631/03213/092001 tanggal 28 Januari 2004, bukti
P.I.
2. Kutipan Akta Nikah dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Bobotsari
Nomor: 340/25/11/1998 tanggal 15 Pebruari 1998, bukti P.2.
3. Kartu Keluarga dikeluarkan oleh Kepala Kantor Kependudukan dan
Catatan Sipil Kabupaten Purbalingga Nomor: 3303092703070005
tanggal 26 Maret 2007, bukti P.3.
4. Kutipan Akta Kelahiran atas nama Ati Rahayuningsih dikeluarkan oleh
Kepala
Kantor
Catatan
Sipil
Kabupaten
Purbalingga
Nomor:
7285/TP/1999 tanggal 16 Desember 1949, bukti P.4.
c. Setelah memeriksa dan mempertimbangkan bukti-bukti yang dilakukan
Pemohon tersebut patut dinyatakan anak yang bernama Ati Rahayuningsih
lahir pada tanggal 5 Desember 1990 di Desa Gandasuli Kecamatan
Bobotsari Kabupaten Purbalingga adalah anak kandung dari suami istri
Suroso dengan Duryati.
58
d. Anak tersebut telah diserahkan secara langsung dan suka rela oleh kedua
orang tua kepada Pemohon tanggal 14 Januari 1991 dan atas penyerahan
dimaksud tidak pernah ada dari pihak manapun menyatakan keberatan dan
pihak Pemohon telah menyatakan menerimanya dengan senang hati bahkan
telah merawat dan mengasuh sampai sekarang secara baik.
e.
Pemohon telah 22 (dua puluh dua) tahun menikah akan tetapi belum
dikaruniai keturunan dan dari segi ekonomi mempunyai kemampuan untuk
membiayai kebutuhan hidup dari anak tersebut, dan mempunyai kecakapan
untuk bertindak sebagai orang tua angkat.
f. Patut dinyatakan Pemohon layak untuk mengangkat anak tersebut de-ngan
ketentuan tidak melanggar ketentuan-ketentuan Hukum Islam seperti
menjadikan anak angkat tersebut sebagai anak kandung orang tua angkat
akan tetapi didorong oleh motifasi beribadah kepada Allah swt. Dengan
menanggung nafkah sehari-hari, biaya pendidikan, kesehatan, pemeliharaan,
kehidupan beragama dan lain-lain.
g. Hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarga anak
angkat tetap seperti semula sebelum dilakukan pengangkatan anak
dimaksud, tidak mempengaruhi hubungan mahram dan kewarisan.
h.
Kedudukan dan hubungan nasab anak angkat dengan kedua orang tua
kandung tetap seperti semula dan tidak putus maupun berubah dan tidak
mengakibatkan hak kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab
keturunan.
58
59
i. Antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak terdapat hubungan
kewarisan akan tetapi terdapat hubungan keperdataan berupa wasiyat
wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta waris bila di kemudian
hari almarhum tidak meninggalkan wasiyat sesuai pasal 209 ayat 2
Kompilasi Hukum Islam.
j.
Anak angkat tersebut tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya,
antara ibu angkat dan anak angkat tidak mempunyai hubungan darah,
keduanya dapat tinggal serumah akan tetapi harus menjaga ketentuan
mahram dalam Hukum Islam antara lain jika anak angkat telah dewasa tidak
dibolehkan melihat aurat maupun berkhalwat dengan lain jenis antara anak
angkat dengan orang tua angkat.
k. Berdasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka
permohonan Pemohon dapat dikabulkan.
l.
Sesuai pasal 81 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 biaya perkara dibebankan
kepada Pemohon .
5. Penetapan:
a) Mengabulkan Permohonan Pemohon.
b) Menetapkan sah anak yang bernama Ati Rahayuningsih bin Suroso sebagai
anak angkat dari Pemohon Asruri bin Madwirja sejak tanggal 14 Januari
1991.
c) Membebankan kepada Pemohon untuk membayar seluruh biaya yang timbul
60
dalam perkara ini sebesar Rp. 116.000,- (seratus enam belas ribu rupiah).
B. PEMBAHASAN
Pengertian perkawinan telah dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga )
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa .
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974
tersebut dapat diketahui, tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dapat
diartikan pula bahwa sebenarnya perkawinan ini diharapkan untuk berlangsung
seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Membentuk keluarga dalam
perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari bapak, ibu dan anak. Adanya
anak/keturunan merupakan salah satu tujuan dari perkawinan.
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusia , namun kadangkadang naluri ini terbentur pada takdir Illahi, dimana kehendak mempunyai anak
tidak terwujud, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memperoleh keturunan
seperti mengangkat anak.
Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan pengertian anak angkat, yaitu anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
60
61
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.56
Berkaitan dengan hal tersebut di atas Sudikno Mertokusumo, mengatakan
sebagai berikut:
Mengenai pengangkatan anak merupakan suatu hal yang penting bagi
pasangan suami isteri yang tidak dikaruniai keturunan, sehingga
pengangkatan anak ini harus dilakukan secara sah menurut hukum yang
berlaku, oleh karena akan menimbulkan akibat hukum atas pengangkatan
anak tersebut.57
Surat
Edaran
Mahkamah
Agung
Nomor:
6
Tahun
1983
tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Nomor: 2 Tahun 1979 yang memberi petunjuk
mengenai persyaratan, bentuk permohonan, tata cara pemeriksaan, dan bentuk
putusan, serta anak-anak korban bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang
akan dijadikan anak angkat, maka keluarlah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, yang berisi 3 (tiga) arahan kepada para
hakim sebelum memutus penetapan pengangkatan anak, agar memperhatikan dengan
sungguh-sungguh ketentuan-ketentuan antara lain : Pasal 39 Undang-undang Nomor:
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dengan tegas menentukan:
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak;
2. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat, dan
56 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Loc Cit, hal : 378
57 Soedikno Mertokusumo, 1998, Pengantar Hukum Acara Perdata Indonesia, UGM Press,
Yogyakarta, hal.8
62
3. Bila asal usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan dengan agama
mayoritas penduduk setempat.58
Praktik pengangkatan anak juga banyak dilakukan oleh masyarakat muslim.
Menurut hukum Islam, pengangkatan anak mengacu pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Permohonan pengangkatan anak menurut undang-undang diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau domisili calon anak
angkat.
Pada umumnya bagi non muslim dilakukan oleh Pengadilan Negeri,
sedangkan bagi umat Islam dilakukan oleh Pengadilan Agama. Lahirnya Undangundang Nomor: 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang Nomor: 3 Tahun
2006 jo Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak
terdapat lagi perbedaan pendapat di kalangan pakar hukum dan praktisi hukum
mengenai kewenangan Pengadilan Agama yang menangani perkara pengangkatan
anak secara Islam, karena telah diatur dalam Pasal 49 , yang menentukan :
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama
Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Sedekah, dan
i. Ekonomi syariah.
58 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Loc Cit, hal : 389
62
63
Kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan sebagaimana diatur
dalam penjelasan Pasal 49 a angka 20 Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 tentang
perubahan Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989, yang kemudian dirubah lagi
dengan Undang-undang Nomor: 50 Tahun 2009, menentukan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syariah antara lain, penetapan asal usul seorang anak dan
penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, ada satu penambahan kewenangan sub
bidang perkawinan, yaitu penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam
seperti disebutkan dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf a angka 20. Ketentuan undangundang ini menegaskan tentang asas personalitas keislaman . Asas personalitas
keislaman diukur dari pihak pemohon. Apabila orang yang beragama Islam akan
melakukan pengangkatan anak, maka menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Umum alinea kesatu dan kedua jo
Pasal 49 Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor :50 Tahun
2009, penetapan asas personalitas keislaman terhadap suatu perkara, baik secara
alternatif atau kumulatif didasarkan pada:
a. Pihak-pihak yang berperkara beragama Islam
b. Perkara adalah perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama, yaitu di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, infaq, sedekah dan ekonomi
syariah.
c. Hubungan hukum yang melandasi dilakukan berdasarkan Hukum Islam.59
59 Yahya Harahap, 1989, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini,
Jakarta, hal: 38
64
Berdasarkan hasil penelitian data point 1 tentang subyek hukum dapat
dijelaskan bahwa Asruri bin Madwirja umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan buruh,
tempat tinggal Desa Gandasuli Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga,
selanjutnya disebut sebagai pemohon. Jika dihubungkan dengan pertimbangan
hukum hakim data point 4.a mengengai kewenangan Pengadilan Agama bahwa
perkara pengangkatan anak pada kasus tersebut memang merupakan kewenangan
absolut Pengadilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama Purbalingga, dan subyek
hukum yang berperkara beragama Islam. Pengangkatan anak merupakan bagian dari
hukum perkawinan, sehingga sepanjang pengangkatan anak itu dilakukan oleh
mereka yang beragama Islam atau memenuhi asas personalitas keislaman, maka
pengangkatan anak itu menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Kebutuhan hukum
orang-orang beragama Islam untuk melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak
sesuai dengan pandangan dan kesadaran hukumnya, yaitu berdasarkan Hukum Islam.
Pasal 39-41 Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, menentukan sebagai berikut:
Pasal 39
(1).
(2).
(3).
(4).
(5).
Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua kandungnya.
Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat
Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir
Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
64
65
Pasal 40
(1). Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(2). Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandung sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan.
Pasal 41
(1).
Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
(2). Ketentan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah pengangkatan anak dengan
tidak menjadikan anak angkat sebagai anak kandung, tidak memutuskan hubungan
antara anak angkat dengan orang tua kandung.60 Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum
Islam menyebutkan pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah:
Anak angkat ialah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Pengangkatan anak yang diakui menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
pengangkatan anak yang dibuktikan dengan penetapan pengadilan.
Berdasarkan hasil penelitian data point 2.a, 2.b ,2.c, 2.d,dan
2.e dapat
dijelaskan bahwa pada tanggal 2 Agustus 1986 telah terjadi pernikahan antara Suroso
dengan Duryati. Dari pernikahan tersebut telah dilahirkan seorang anak perempuan
sebagai anak bernama Ati Rahayuningsih binti Suroso.
60 H.Andi Syamsu, H.M.Fauzan,2008, Op Cit, hal: 7
Pada tanggal 14 Januari
66
1991 kedua orang tua Ati Rahayuningsih binti Suroso dengan suka rela dan tanpa
paksaan, menyerahkan anak dimaksud kepada pemohon. Pemohon dengan isteri
pemohon telah melangsungkan pernikahan selama 22 tahun, tetapi tidak mempunyai
keturunan, sehingga mampu untuk merawat dan mengasuh anak tersebut. Selama
dalam pemeliharaan dan pengasuhan pemohon, anak tersebut hidup sejahtera lahir
batin dan tidak ada pihak lain baik keluarga orang tua anak atau keluarga pemohon
maupun pihak lain yang mempermasalahkan, oleh karena itu pemohon bermaksud
untuk mengangkat anak tersebut. Jika dihubungkan dengan pertimbangan hukum
hakim data point 4.e, 4.f dapat dijelaskan bahwa pemohon mengangkat anak dengan
alasan pemohon telah Pemohon telah 22 (dua puluh dua) tahun menikah akan tetapi
belum dikaruniai keturunan dan dari segi ekonomi mempunyai kemampuan untuk
membiayai kebutuhan hidup dari anak tersebut, dan mempunyai kecakapan untuk
bertindak sebagai orang tua angkat. Selain itu sesuai dengan fakta-fakta
dipersidangan yang dikuatkan oleh saksi bahwa pemohon sanggup dan mampu
merawat anak yang diangkatnya dan patut dinyatakan pemohon layak untuk
mengangkat anak tersebut dengan ketentuan tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Hukum Islam seperti menjadikan anak angkat tersebut sebagai anak kandung orang
tua angkat akan tetapi didorong oleh motifasi beribadah kepada Allah SWT.
Kesungguhan pemohon ini telah dibuktikan dengan telah merawat dan mengasuh
anak tersebut sejak tanggal 14 Januari 1991, dimana anak tersebut telah diserahkan
secara langsung dan suka rela oleh kedua orang tua kepada pemohon.sampai
sekarang.Berdasarkan fakta tersebut dapat diketahui bahwa pemohon telah benar-
66
67
benar mempunyai kemampuan untuk mengangkat seorang anak, sehingga
permohonan pengangkatan anak dapat dikabulkan.
Pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum di lingkungan hukum
keluarga, yang akibat hukumnya berkaitan dengan perkawinan dan hukum waris.
1). Akibat Hukum Terhadap Perkawinan
a. Perwalian
Menurut Soemiyati bahwa:
Perwalian menurut Fiqh ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama
kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.
Selanjutnya beliau berpendapat bahwa secara garis besarnya perwalian
dapat dibagi atas :
1). Perwalian atas orang
2). Perwalian atas barang
3). Perwalian atas orang dalam perkawinannya. Orang yang diberi kekuasaan disebut wali.61
Dalam hukum Islam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh
Pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali terbatas terhadap diri, harta,
tindakan hukum dan tidak termasuk wali nikahnya jika anak angkat ini perempuan
(wali nikah tetap berada pada orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya). Hal
ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 171 h yang menyebutkan bahwa
anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
61 Soemiyati, Op.Cit. Hal: 41
68
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
b. Dalam hubungan keluarga
Menurut hukum Islam, pengangkatan anak tidak memutus hubungan nasab
dengan nasab orang tua kandung dan saudara-saudaranya. Nasab anak angkat
tetaplah mengacu pada ayah kandungnya, dalam arti anak angkat dalam Islam
tetaplah dinisbatkan kepada ayah kandungnya, tidak boleh menggunakan nama
ayah angkatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alqur`an Surat AlAhzab ayat 5, yang artinya : Panggilah mereka (anak-anak angkat) menurut (nama)
bapaknya, hal itu lebih adil pada sisi Allah SWT. Kalau kamu tiada mengetahui
bapaknya, mereka menjadi saudara kamu dalam agama dan maula (pengabdi)
kamu. Dan tiada dosa atasmu apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha penyayang.62
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1, tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua kandungnya.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka yang beralih dari anak angkat terhadap
orang tua angkatnya hanyalah tanggungjawab kewajiban pemeliharaan, nafkah,
pendidikan dan lain-lain. Anak angkat tetap dipanggil dengan BIN/BINTI orang tua
62 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, 2008, Op Cit, hal: 112
68
69
kandung. Kemudian anak angkat boleh dinikahkan dengan orang tua angkatnya,
juga boleh dinikahkan dengan anak kandung atau anak angkat lain dari orang tua
angkatnya. 63
2). Akibat Hukum Terhadap Hukum Waris
Dalam Hukum Islam, dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan
seseorang saling waris mewaris, yaitu
e. Hubungan nasab atau kerabat atau keturunan, yaitu hubungan
kekeluargaan antara pewaris dan ahli waris seperti ayah, ibu, anak,
cucu, saudara-saudara kandung, seayah, seibu dan sebagainya.
f. Hubungan perkawinan atau mushoharoh, yaitu suami isteri,
meskipun belum pernah berkumpul, atau telah bercerai, tetapi
masih dalam masa iddah talak raj`i.
g. Hubungan walak, yaitu hubungan antara bekas budak dan orang
yang memerdekakannya apabila bekas budak itu tidak mempunyai
ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh harta warisan
(hanya terdapat dalam wacana saja, karena perbudakan sudah tidak
ada lagi).
h. Tujuan Islam, yaitu baitul mal (perbendaharaan negara) yang
menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli
waris sama sekali dengan sebab tersebut di atas.64
Pasal 174 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa, kelompokkelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek;
- golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek;
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.65
63 H. Andi Syamsu Alam dan H.M Fauzan, 2008, Op Cit, hal :16
64 Mawardi Muzamil, 1985, Loc Cit, hal: 32
65 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Op Cit, hal: 83
70
Pasal 191 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa:
Apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk
kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.66
Hukum Islam tidak mengenal lembaga pengangkatan anak atau yang
dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang
tua asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya, melainkan
mengakui mengangkat anak orang lain dalam arti pemeliharaan. Dengan kata lain si
anak angkat tetap mempunyai hubungan kerabat dengan orang tua asalnya dan tetap
berada di luar lingkaran kekerabatan orang tua angkatnya dalam segala akibat
hukumnya termasuk mewaris.
Para Ulama Fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang
praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi seperti pengangkatan anak
yang dikenal oleh hukum Barat dan praktik masyarakat jahiliyah, yaitu
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak
angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandung, anak angkat memiliki
hak waris sama dengan hak waris anak kandung karena pewarisan dalam hukum
barat didasarkan pada undang-undang dan wasiat atau testament. Hukum Islam
hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk
memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara dan lain-lain, dalam kontek
ibadah kepada Allah SWT67 Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan
66 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Op Cit, hal :88
67 H. Andi Syamsu Alam dan H.M Fauzan, 2008, Op Cit, hal: 44
70
71
hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan
antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas, dan sama sekali tidak
menciptakan hubungan nasab. Akibat yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam
hanyalah terciptanya hubungan kasih dan sayang, dan hubungan tanggung jawab
sebagai sesama manusia . Karena tidak adanya hubungan nasab, maka konsekuensi
yuridisnya ialah antara orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga
mahram, dan karena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat
melangsungkan perkawinan. Karena tidak ada hubungan nasab, maka anak angkat
tidak boleh menjadi ahli waris orang tua angkatnya., melainkan anak angkat dapat
menerima wasiat wajibah sebagaimana ketentuan Pasal 209 Kompilasi Hukum
Islam yang menyebutkan bahwa:
c. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal
176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan
terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
anak angkatnya.
d. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta orang
tua angkatnya.68
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim
sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi
orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu.69
Muderis Zaeni, mengatakan bahwa menurut Hukum Islam pengangkatan
anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai
68 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Op Cit, hal:94
69 Musthofa Sy, 2008, Op Cit, hal: 131
72
berikut:
-
-
Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga
Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli pewaris dari
orang tua angkat, melainkan tetap sebagai ahli pewaris dari
orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak
berkedudukan sebagai ahli pewaris dari anak angkat
Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua
angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda
pengenal/alamat
Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam
perkawinan terhadap anak angkatnya.70
Berdasarkan hasil penelitian data point 4.f, 4.g, 4.h, 4,i dan 4.j tentang
pertimbangan hukum hakim dapat dijelaskan bahwa pemohon
layak untuk
mengangkat anak tersebut dengan ketentuan tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Hukum Islam seperti menjadikan anak angkat tersebut sebagai anak kandung orang
tua angkat, akan tetapi didorong oleh motivasi beribadah kepada Allah SWT dengan
menanggung nafkah sehari-hari, biaya pendidikan, kesehatan, pemeliharaan ,
kehidupan beragama danlain-lain. Hubungan antara anak angkat dengan orang tua
angkat dan keluarga anak angkat tetap seperti semula sebelum dilakukan
pengangkatan anak dimaksud, tidak mempengaruhi hubungan mahram dan
kewarisan. Kedudukan dan hubungan nasab anak angkat dengan kedua orang tua
kandung tetap seperti semula dan tidak putus maupun berubah dan tidak
mengakibatkan hak kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan..
Antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak terdapat hubungan kewarisan,
akan tetapi terdapat hubungan keperdataan berupa wasiat wajibah sebanyak-
70 Muderis Zaeni, 2002, Op Cit, hal :54
72
73
banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta waris apabila di kemudian hari almarhum tidak
meninggalkan wasiyat sesuai dengan Pasal 209 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Anak
angkat tersebut tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya, antara ibu angkat
dan anak angkat tidak mempunyai hubungan darah, keduanya dapat tinggal serumah
akan tetapi harus menjaga ketentuan mahram dalam Hukum Islam antara lain jika
anak angkat telah dewasa tidak dibolehkan melihat aurat maupun berkhalwat.
74
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Kedudukan anak angkat menurut Hukum Islam dalam Penetapan Nomor :
0015/Pdt.P/2008/PA.Pbg dalam bidang perwalian orang tua angkat tidak menjadi
wali nikah, dalam hubungan nasab anak angkat tetaplah mengacu pada ayah
kandungnya. Artinya anak angkat tetap dinisbatkan pada ayah kandungnya dan tidak
boleh menggunakan nama ayah angkatnya, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam Alqur`an Surat Al-Ahzab ayat 5 yang menyebutkan bahwa anak angkat di
panggil menurut nama bapaknya dan Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan pengangkatan anak tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya. Anak angkat tidak boleh menjadi ahli waris orang tua angkatnya, karena
tidak termasuk kelompok ahli waris sebagaimana ketentuan dalam Pasal 174 ayat 1
Kompilasi Hukum Islam. Anak angkat hanya berhak menerima wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta waris sebagaimana ketentuan Pasal
209 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam.
74
75
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Budiarto, Anton, 2003, Tata cara Dan Akibat Hukum Adopsi Anak. Majalah Cakrawala
Ilmiah Cakrawala Hukum Fakultas Hukum Unwiku. Purwokerto
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Kompilasi Hukum
Islam
Hadi Kusumo, Hilman, 1983, Hukum Perkawinan Adat, Mandar Maju, Bandung
Harahap, Amanun, 1993, Buku Pintar Keluarga Muslim, Badan Penasehat Perselisihan
dan Perceraian (BP4), Semarang
Harahap, Yahya, 1989, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka
Kartini, Jakarta
Ibrahim, Jhonny. 2008. Teori dan Metodologin Penelitian Hukum Normatif. Cetakan
Ketiga. Malang : Bayumedia Publishing.
Kamil, Ahmad dan H.M Fauzan, 2008, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak
Di Indonesia. Rajagrafindo. Jakarta
Mertokusumo, Soedikno, 1998, Pengantar Hukum Acara Perdata Indonesia, UGM Press,
Yogyakarta
Musthafa Sy, 2008, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana
Predana Media Group, Jakarta.
Muzamil, Mawardi, 1985, Hukum Waris Islam, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang
Prawirohamidjojo, Soetojo. 1988. Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan
Di Indonesia, Airlangga,. University Press. Surabaya
R Tama, Rusli, 1984, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung
Saleh, Wantjik, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia. Semarang.
Simorangkir JCT, 1987, Kamus Hukum
Soemiyati, 1982, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Liberty, Yogyakarta
76
Soimun, Soedharyo. 2000. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika,
Jakarta.
Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa. Jakarta
Syamsu, Andi dan Fauzan H.M, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.
Pena. Jakarta.
Woerjanto, 1979. Hukum Adat ( Adopsi, Delict, Dan Tatanegara). Semarang. Badan
Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Zaini, Muderis. 2002. Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta. Sinar
Grafika.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4674
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5078
Undang-Undang 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan
Pembangunan Keluarga, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 161
Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3098.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 123, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4768
Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 /HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak
Sumber lain:
Al Qur`an
76
77
78
78
Download