PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MULTIKULTUR TERHADAP PRESTASI BELAJAR DAN EMPATI SOSIAL SISWA SD Riyanto, Diah Aryulina, dan Sukino*) Abstract: This research aimed to prove multicultural teaching model towards primary students’ achievement progress. The method used was quasi-experiment. The subject of the research was the second year students of SDN 11 Bengkulu city which were grouped into experimental and control. The instrument used was learning achievement test. The finding showed that multicultural teaching model significantly influenced students’ learning achievement. Keywords: Multicultural teaching model, learning achievement. Menjelang era globalisasi saat ini, Indonesia menghadapi tantangan perkembangan dunia yang semakin berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, Indonesia juga menghadapi tantangan berat dari dalam negeri yaitu krisis moneter dan ekonomi serta buruknya iklim sosial dan politik yang bermula sejak akhir 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara (Azra, 2003). Kondisi kritis bangsa Indonesia saat ini menuntut upaya sungguh-sungguh dalam memperbaiki segala aspek kehidupan. Salah satu upaya yang krusial adalah dengan mereformasi sistem dan praktik pendidikan. Praktik pendidikan perlu diperbaiki agar produk pendidikan tidak saja menguasai iptek namun juga berkepribadian mulia sehingga sanggup menghadapi tantangan global maupun lokal. Sebagaimana yang dituangkan dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 2003 bahwa pendikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi pesrta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Upaya pembentukan SDM yang menguasai iptek dan berkepribadian mulia dapat dilakukan pada setiap bidang pendidikan, meliputi bahasa, matematika, IPA, dan IPS. Pembentukan SDM yang melek sains dan teknologi dibutuhkan agar Indonesia mampu meningkatkan kemampuan teknologi bangsa (Buchori, 2000). Untuk membentuk manusia yang menguasai ipteks dapat dilakukan melalaui pendidikan. Bahkan pem- bentukan tersebut harus dimulai dari sekolah dasar (SD). Pendidikan SD merupakan fondasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan dasardasar perilaku (iptek dan akhlak) yang selanjutnya berperan dalam mengembangkan sektor industri, meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa yang berbudaya luhur. Peran pendidikan SD yang strategis tersebut berimplikasi pada perlunya pendidikan SD yang bermutu. Kompas (2000) mengutip beberapa ahli pendidikan bahwa menyikapi kondisi masyarakat Indonesia saat ini pendidikan dasar sebagai prioritas utama perbaikan pendidikan di Indonesia. Kenyataannya, saat ini mutu pendidikan berada pada posisi yang tidak menggembirakan. Hasil penilaian Human Development Index (HDI) tahun 2002 menunjukkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya pada tahun 2002 berada pada peringkat 110 dari 173 negara. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan telah mengakibatkan menurunnya kualitas SDM Indonesia. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka diperkirakan akan menurunkan daya saing bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya di dunia (Deni, 2002). Di tingkat ASEAN, Indonesia berada di atas Filipina, namun jauh di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura. Berdasarkan perbandingan internasional, kemampuan anak Indonesia bidang MIPA kurang menggembirakan (TIMSS-R tahun 2003 dalam http:// nces.ed.gov/pubs2005/2005005.pdf). Mutu pendidikan rendah juga ditunjukkan dari rendahnya nilai ujian Nasional di tingkat SLTA, SLTP, dan SD. Hasil belajar siswa SD di Kota Bengkulu *) Riyanto, Diah Aryulina dan Sukino adalah dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Bengkulu 139 140 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008 kurang baik. Hasil belajar sains yang ditunjukkan oleh rerata nilai UAS mata pelajaran sains adalah 5,88 (Dinas Diknas Kota Bengkulu,2004). Demikian juga, hasil belajar bidang IPA siswa SD di Provinsi Bengkulu tergolong kurang baik, yaitu rerata nilai USBN mata pelajaran IPA adalah 6,10 (Dinas Diknas Provinsi Bengkulu, 2008). Mutu pendidikan yang rendah di Indonesia tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa studi yang dikutip Cahyana (1998) menunjukkan faktor-faktor tersebut antara lain adalah: (1) kurangnya motivasi siswa untuk belajar; (2) kurangnya siswa mempunyai pemahaman yang mendasar tentang konsep-konsep dasar; (3) belum memadainya kualitas guru pada umumnya dari sisi kualifikasi, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya; serta (4) terlalu banyak dan terlalu tingginya materi yang disajikan dibandingkan dengan kemampuan guru, kesiapan siswa, dan peralatan belajar pendukungnya. Menurut laporan Balitbang Depdiknas, hanya sekitar 30 persen dari keseluruhan guru tingkat SD di Indonesia yang mempunyai kualifikasi untuk mengajar. Hal yang sama juga terjadi di satuan pendidikan menengah, terutama di lingkungan madrasah Faqih, Data Departemen Agama (2006) menyebutkan bahwa sekitar 60 persen guru madrasah tidak mempunyai kualifikasi mengajar Faqih, 2007). Karena itu, sekolah perlu dibantu dalam meningkatkan mutu pendidikan. Perbaikan dalam proses pendidikan menurut Buchori (2000) perlu dilakukan dengan merancang pembelajaran agar dapat dicerna oleh setiap siswa dan tidak membuat siswa takut. Pendidikan yang tidak membuat takut siswa berarti bahwa pendidikan perlu mengintegrasikan cara-cara pembelajaran yang dapat mendorong minat belajar siswa. Menurut Tilaar dan Suhaenah dalam Kompas (2006) sekolah sebagai lingkungan kedua anak dalam kehidupan seharihari dapat menjadi tempat pembangunan karakter anak dan watak. Menurut Semiawan (2002) untuk memperbaiki mutu bangsa Indonesia yang dilanda konflik dan bermutu rendah seperti saat ini perlu diterapkan pendidikan multikultur di sekolah. Menurut Sue Kenny (dalam Kompas 20 Maret 2006) multikulturalisme perlu dipertahankan di Indonesia, tidak saja di tingkat nasional tetapi juga di tingkat daerah, karena meskipun homogen tetap ada perbedaan penafsiran maupun akses ekonomi (Ahmad Suaedy dalam Kompas 20 Maret 2006). Salah satu tujuan utama pendidikan multikultur adalah mengubah berbagai pendekatan belajar mengajar, mengubah konseptulisasinya dan organisasinya sehingga setiap indiividu dari berbagai budaya memeroleh kesempatan yang sama (perhatian dan pelayanan penuh) untuk belajar dalam lembaga pendidikan. Berdasarkan pada paparan tersebut, model pembelajaran multikultur merupakan perpaduan dari berbagai ragam metode, media, dan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan latar masing-masing individu. Beberapa metode yang akan diterapkan adalah permainan, belajar kooperatif, tematik dengan memanfaatkan sumber belajar dan memperhatikan pengetahuan awal siswa. Salah satu upaya perbaikan pendidikan di SD adalah dengan memadukan unsur bermain, bekerjasama, keaktifan siswa, sumber belajar, dan pengetahuan awal siswa dalam penyajian materi pelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi dan empati sosial siswa dalam pembelajaran. Bentuk bermain antara lain adalah game. Permainan (game) adalah kegiatan yang pemainnya bermain mengikuti aturan yang sudah ditentukan yang berbeda dengan realita untuk mencapai tujuan permainan (Heinich, Molenda, dan Russel, 1993). Perbedaan antara permainan dan kenyataan keseharian inilah yang membuat game menghibur. Menurut Heinich, Molenda, dan Russel (1993), penerapan game dalam pembelajaran sangat cocok antara lain untuk mendukung pencapaian tujuan kognitif pada kegiatan belajar bahasa, aritmatika, dan sains serta meningkatkan minat siswa karena game merupakan kegiatan yang menyenangkan. Sapari (2000) dan Rieber (1996) mengungkapkan penelitian mengenai pembelajaran yang menyenangkan menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa. Kondisi bermain yang santai dan menyenangkan terutama produktif untuk siswa yang berprestasi rendah yang mendapat kesulitan dari jenis kegiatan belajar yang terstruktur (Heinich, Molenda, dan Russel, 1993). Penggunaan game pada pembelajaran matematika menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih tinggi daripada pembelajaran konvensional (Randel, 1992). Penggunaan game juga membangkitkan minat belajar (Randel, 1992; Rieber, 1996) dan berperan dalam membentuk kecerdasan emosional dan sosial (Elias et.al., 1997). Pembelajaran kooperatif memberikan lingkungan belajar di mana siswa bekerja sama dalam suatu kelompok kecil yang kemampuan- 141 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008 nya berbeda (heterogin) untuk menyelesaikan tugas akademik. Keragaman inilah yang membudayakan siswa untuk saling memahami keunikan, kelebihan, dan kekurangan masingmasing. Jika hal ini berkelanjutan maka dapat menumbuhkan pada diri siswa empati sosial. Menurut Semiawan (2002) pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan mutu dan mencegah konflik. Hasil penelitian Riyanto (1988) bahwa belajar kerjasama dapat meningkatkan hasil belajar praktik mesin di STM. Pengajaran tematik merupakan pengajaran yang didasarkan pada topik penyatu. Menurut (Czerniak, Weber, Sandmann Jr., dan Ahern, 1999), topik penyatu dapat berupa tema sentral, isu, masalah nyata, atau pengalaman siswa. Lederman dan Niess (1997) menyebutkan istilah lain yang sering digunakan untuk tematik yaitu terpadu, interdisipliner, dan terintegrasi. Contoh pengajaran tematik yang menggabungkan beberapa mata pelajaran menurut Barbra (1998) yaitu integrasi sains dengan matematika, Science Technology Society (STS), dan Teaching Reading in The Content Area (TRICA). Pengajaran tematik yang berdasarkan pada tema yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa sesuai dengan proses belajar siswa menurut perspektif konstruktivistik (Czerniak, Weber, Sandmann Jr., dan Ahern, 1999). Siswa belajar dengan mengembangkan pengetahuannya. Belajar akan lebih bermakna jika siswa dapat melihat keterkaitan pengetahuan baru dengan pengetahuan awalnya. Hasil penelitian Riyanto (1997) bahwa belajar terpadu dapat meningkatkan prestasi siswa dalam praktik mesin. Berdasarkan paparan di muka, dapat disimpulkan bahwa belajar yang baik adalah yang melibatkan unsur bermain, kooperatif, tematik dengan memanfaatkan sumber belajar dan memperhatikan pengetahuan awal siswa (budaya lokal). Hasil penelitian Aryulina, Riyanto, dan Bakti Kharyadi (2002) menunjukkan bahwa pengetahuan awal siswa dapat memudahkan siswa memahami konsep baru. Karena itu, dalam penelitian ini akan dikembangkan model pembelajaran multikultur SD agar tujuan pembelajaran SD (UUSPN, 2003) dan empat pilar belajar abad 21 yang dicanangkan oleh Komisi Pendidikan Unesco (Tilaar, 1999) dapat dicapai. Berdasarkan uraian di muka, pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah apakah model pembelajaran multikultur SD dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Hipotesis penelitian ini adalah model pembelajaran multikultur SD dapat meningkatkan prestasi siswa. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan rancangan eksperimen kuasi karena peneliti ingin menyelidiki pengaruh satu variabel bebas dan pengambilan sampel tidak dapat dilakukan secara acak (Sowell dan Cassey, 1987). Disebut rancangan eksperimen kuasi karena penelitian ini tidak dapat mengontrol semua sumber ketidaksahihan internal dan penentuan subjek penelitian tidak dapat dilakukan secara acak (Campbell dan Stanley, 1966; Tuckman, 1988). Penentuan subjek dilakukan dengan intact group, yaitu pemilihan acak terhadap dua kelompok dari setiap sekolah yang telah diorganisasikan ke dalam kelompok tertentu, sehingga sumber bias karena faktor seleksi dapat dikendalikan. Bias seleksi juga ditanggulangi dengan membandingkan nilai beberapa variabel kontrol yang secara potensial berhubungan dengan perlakuan, seperti jenis kelamin, bakat, intelegensi, dan lain-lain (Tuckman, 1988). Data utama diperoleh dengan memberikan tes hasil belajar. Sampel sekolah pada tahap eksperimen kelompok kecil (tahun pertama) dilakukan secara purposive (Gay, 1992) dari sekolah di Kota Bengkulu. Pemilihan SD didasarkan pada SD yang memiliki beragam karakteristik siswa. Pada sekolah yang terpilih, dipilih secara acak dua kelas untuk siswa kelas 2. Seluruh siswa di 2 kelas yang terpilih merupakan sampel penelitian. Berdasarkan hasil survey SD yang memenuhi kriteria di atas adalah SD Negeri 11 karena SDN 11 memiliki 4 kelas paralel siswa kelas 2. Dari 4 kelas yang ada dipilih 2 kelas yang setara dan memiliki beragam karakteristik, yaitu kelas 2C dan 2D. Siswa di Kelas 2C, orang tua mereka berasal dari daerah yang berbeda, yaitu Jawa/ Jakarta, Padang, Palembang, Medan, Pekanbaru/ Riau, Jambi, dan Bengkulu; pendidikannya dari tamat SD sampai sarjana; pekerjaaanya juga beragam, yaitu buruh, pedagang, swasta, nelayan, PNS, dan Polri. Siswa di Kelas 2D, orang tua mereka berasal dari daerah yang berbeda, yaitu Jawa/Jakarta, Padang, Lampung, Medan, Linggau, dan Bengkulu; pendidikannya dari tamat SD sampai sarjana; pekerjaaanya juga beragam, yaitu buruh, pedagang, swasta, nelayan, PNS, dan TNI. Kemampuan kedua kelas 142 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008 tersebut setara, yaitu kelompok sedang. Dipilih kelompok sedang agar hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan ke sekolah lain karena kelompok sedang merupakan kelompok mayoritas. Instrumen yang digunakan adalah Tes Prestasi. Tes prestasi belajar yang digunakan berupa tes pilihan ganda dan uraian. Tes pilihan ganda berjumlah 15 butir, isian singkat 11 butir, dan uraian 7 butir. Butir tes yang digunakan diperoleh dari sumber-sumber sendiri dan ada yang dikembangkan dari buku-buku SD. Butir tes disusun berdasarkan kompe-tensi yang akan dicapai. Untuk butir tes pilihan ganda, setiap butir diberikan nilai 1 jika jawaban betul dan 0 jika jawaban salah. Untuk butir tes uraian, setiap butir diberikan nilai rentang 0—10. Untuk mendapatkan butir tes yang memenuhi syarat, butir tes yang telah disusun divalidasi kepada ahli. Pengukuran validitas untuk tes prestasi adalah validitas isi (content validity). Pelaksanaan validasi butir tes dilakukan oleh 4 orang guru SD, 1 orang ahli psikologi/tes. Rentang penilaiannya dibagi dalam 4 kategori, yaitu baik sekali, baik, cukup, dan kurang. Berdasarkan hasil validasi ahli, seluruh butir tes dinyatakan baik sekali (valid), tetapi ada 3 butir tes yang kalimatnya perlu diperbaiki, yaitu butir nomor, 2, 8, dan 14. Prosedur pengumpulan data ini dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap kegiatan belajarmengajar dan postes. Desain penelitian yang digunakan adalah posttest only control group design karena desain ini merupakan desain yang paling kuat dalam validitas internalnya (Campbell dan Stanley, 1966). Menurut Campbell dan Stanley (1966) tes awal tidak perlu diadakan jika bahan pelajaran yang diajarkan pada siswa adalah bahan pelajaran baru. Tahap kegiatan belajar mengajar satu kelompok (kelas 2D) diajar dengan model pembelajaran multikultur dan satu kelompok (kelas 2C) diajar dengan model konvesional. Pembelajaran dilakukan selama 4 minggu (70 jam pelajaran). Materi pelajaran yang diajarkan kedua kelompok adalah sama dan dalam jangka waktu yang sama pula. Masing-masing kelompok diajar oleh guru yang berbeda, tetapi keduanya memiliki kualifikasi pendidikan dan pengalaman mengajar yang sama. Postes berupa tes prestasi belajar diberikan setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung. Untuk menguji hipotesis peneltian digunakan tes-t. Agar tes-t dapat dilakukan ada empat asumsi yang harus dipenuhi (Tuckman, 1988). Keempat asumsi tersebut adalah (1) subjek yang dijadikan sample dalam penelitian harus diambil secara acak. Pengacakan yang dilakukan dalam rancangan penelitian ini berjenis acak antarkelompok (intack group). Cara ini dapat dianalisis dengan tes t (Moore, 1983); (2) distribusi gejala yang diselidiki dalam masing-masing populasi harus sama normal. Untuk menguji distribusi normal diguanakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov (Sprent, 1991). Analisis uji distribusi normal dengan SPSS 16 menunjukkan hasil sebagai berikut: kelompok model klasikal nilai KSZ = 1,132 dengan p = 0,154 dan kelompok model multikultur nilai KSZ = 0,876 dengan p = 0,427; 3) Varian-varian dari masingmasing populasi tidak berbeda secara signifikan satu dengan yang lain. Untuk menguji kesamaan varian digunakan Levene’test dengan SPSS 16. Hasil analisis menunjukkan bahwa F=0,656 dengan signifikansi 0,422; 4) Distribusi nilai harus linier. Untuk menguji linieritas diguanakn analisis linieritas (Guilfort, 1981). Untuk menghitung analisis linieritas digunakan SPPS 16. Hasil analisis linieritas menunjukkan harga p= 0,33. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah penelitian berakhir, data yang terkumpul ditabulasi. Tabulasi data secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1 dan ringkasannya sebagai berikut. Tabel 1. Kelompok dan Nilai Kelompok Eksprimen Kontrol Nilai Terendah 52 42 Nilai Rata-rata 80,07 74,58 Nilai Tertinggi 94 91 Hasil tabulasi itu menunjukkan bahwa tidak semua siswa yang dikutsertakan dalam eksperimen dapat melaksanakan setiap tahapan eksperimen sepenuhnya, seperti perlakuan dan postes. Untuk mempertahankan kesahihan internal maka semua data yang diambil dari subjek penelitian yang tidak terlibat dalam setiap tahapan eksperimen tidak disertakan dalam analisis statistik. Berdasarkan pada cara yang dipaparkan di muka, maka jumlah subjek penelitian yang diikutsertakan dalam analisis statistik tidak sama dengan jumlah subjek penelitian yang terlibat dalam eksperimen. Data yang memenuhi syarat untuk dianalisis adalah 29 dari 32 subjek untuk kelompok eksperimen. Ketiga siswa tidak me- 143 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008 menuhi syarat untuk dianalisis karena tidak mengikuti tes prestasi. Kelompok kontrol yang memenuhi syarat untuk dianalisis adalah 29 dari 34 subjek. Kelima siswa tidak memenuhi syarat untuk dianalisis karena 5 siswa tidak mengikuti tes prestasi. .Dengan demikian, jumlah subjek pada setiap kelompok yang akan dibandingkan 29 kasus. Menurut Borg (1983) jumlah ini cukup memadai. Untuk menguji hipotesis, data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan tes t, sedangkan untuk menguji hipotesis 2 digunakan deskriptif persentase karena data hipotesis 2 berupa nominal. Penghitungan tes t dilakukan dengan bantuan SPSS 16. Ringkasan hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Ringkasan Hasil Analisis Pretasi Belajar df t Taraf Sgonifikan 56 2,009 0,049 Berdasarkan análisis diatas, diperoleh hasil bahwa ada perbedaan nilai rata-rata antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan taraf signifikan 0,05 untuk dua ekor (p= 0,049). Dengan hasil analisis ini, hipotesis nol ditolak secara signifikan. Nilai rata-rata siswa kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Karena itu, dapat diartikan bahwa model pembelajaran multikultur dapat meningkatkan prestasi siswa. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dapat dikatakan bahwa model pembelajaran multikultur dalam mengajarkan pokok bahasan bertema lingkungan berpengaruh terhadap prestasi siswa. Dengan demikian, prestasi belajar siswa meningkat. Temuan-temuan tersebut dijadikan titik tolak dalam melakukan kajian lebih lanjut tentang keungggulan model pembelajaran multikultur. Temuan menunjukkan bahwa model multikultur efektif untuk meningkatkan prestasi siswa. Keefektifan model multikultur terhadap prestasi siswa dapat dijelaskan sebagai berikut. Perbedaan utama kedua model pembelajaran adalah pada model pembelajaran multikultur siswa belajar secara kooperatif dan pada model konvensional siswa belajar secara klasikal. Dengan belajar kooperatif siswa yang kurang pandai dapat belajar dengan siswa yang pandai. Selain itu, siswa lebih berani bertanya kepada temannya sampai paham, sehingga penjelasan siswa kepada temannya lebih mudah dipahami daripada pen- jelasan guru. Hal ini mudah dipahami karena siswa berani bertanya berkali-kali sampai paham kepada temannya. Berbeda dengan guru, pada umumnya siswa segan bertanya terus. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Wincent dalam Nasir (1985) bahwa kelompok diajar oleh tutor sebaya lebih baik daripada kelompok diajar oleh guru. Hal ini mungkin disebabkan oleh rasayaman berinteraksi dalam kelompok, sehingga mereka lebih mudah dalam mengembangkan pertumbuhan kognitif dan keterampilan. Selain itu, tutorial sebaya dapat memerbaiki keterampilan sosial, meningkatkan percaya diri, dan memerbaiki keterampilan mereka (TRIPS, 1997--2008). Penelitian yang dilakukan Cohen, Kulik, dan Kulik, 1982; Hedin, 1987; Goodlad dan Hirst, 1989; Greenwood, Delquadri, dan Hall, 1989; Bernard, 1990; Swengel, 1991 yang dikutip oleh Gartner dan Riessman, 1993 menunjukkkan bahwa kelompok yang diajar oleh tutor sebaya sebih baik daripada kelompk yang diajar oleh guru. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif. Dalam pembelajaran kooperatif siswa dituntut tidak hanya bertanggung jawab pada diri sendiri tetapi juga bertanggung jawab terhadap kelompoknya. Dalam pembelajaran kooperatif siswa dilatih keterampilan-keterampilan khusus seperti memahami konsep, kemampuan bekerjasama, kemampuan berfikir kritis dan sifat toleran kepada siswa lain. Penggunaan model kooperatif diharapkan tidak saja dapat meningkatkan aktivitas dan kemampuan siswa dalam memahami konsep-konsep, tetapi juga dapat meningkatkan kemapuan kerjasama dan empati sosial siswa. Hasil penelitian Riyanto (1988 dan 1997) menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan metode bekerjasama lebih baik daripada siswa yang belajar individu. Komponen kedua model pembelajaran yang lain, seperti tematik, bermain, bernyayi juga sangat mendukung keberhasilan siswa. Terbukti bahwa baik kelompok yang menggunakan model multikultur maupun kelompok yang menggunakan model konvensional mencapai nilai rata-rata yang memuaskan, yaitu kelompok multikultur 80,07 sedangkan kelompok konvensional 74,58. Nilai sebesar itu, biasanya sulit diperoleh karena kelas 2C dan 2D. Saat awal mengajar diawali dengan bernyayi. Dengan bernyayi membuat para siswa 144 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008 senang. Mereka merasakan seperti di rumah sendiri. Pembelajaran disajikan secara tematik dengan metode permainan. Melalui pembelajaran tematik siswa mengetahui saling kait antara satu matapelajaran dengan matapelajaran yang lain. Melalui metode permainan mereka merasakan seperti tidak belajar sehingga memudahkan siswa menerima pelajaran. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa model multikultur berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar siswa. Nilai rata-rata kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran multikultur lebih tinggi daripada kelompok yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran multi-kultur lebih efektif daripada model pembelajaran konvensional. Saran Berdasarkan atas simpulan yang telah dikemukakan untuk mengkaji lebih lanjut hasil penelitian ini, dikemukakan beberapa saran berikut (1) model pembelajaran digunakan oleh guru, yaitu model pembelajaran klasikal khususnya dalam mengajarkan materi tematik di kelas 2 SD sebaiknya diganti dengan model pembelajaran multikultur; (2) dalam melakukan penelitian lanjut, waktu pelaksanaan eksperimen perlu ditambah, sehingga siswa sikap empati social siswa semakin mantap; (3) dalam melakukan penelitian lanjut, jumlah SD yang dilibatkan perlu ditambah dengan karakter yang beragam agar hasil penelitian yang diperoleh dapat digeneralisasikan ke SD yang se karakteristik; (4) perlu dilakukan penelitian tentang pengamatan selama proses belajar/masa perlakuan secara terus menerus. Selama proses belajar (masa perlakuan) diduga ada perbedaan kesulitan belajar antara subjek yang diajar dengan menggunakan model multikultur dan subjek yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional (klasikal); dan (5) instrumen empati sosial perlu diperbaiki. DAFTAR RUJUKAN Aryulina, Riyanto, dan Karyadi. 2004. Identifi- kasi pengetahuan awal siswa sebagai dasar pengembangan buku ajar IPA tematik konstruktivisme untuk siswa SMP. Forum Kependidikan. 24(1). Azra, Azyumardi. 2003. Pendidikan Multikultur (membangun kembali Indonesia Bhineka Tunggal ika). Kompas, 3 September 2003. Barbra, R.H. 1998. Science in the Multicultural Classroom. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon. Borg, W., & Gall, M. D. (1983). Educational research, an introduction. New York: Longman. Buchori, M. 14 September 2000. Meningkatkan Kemampuan Teknologi Bangsa. Kompas. Cahyana, A. 1998. Tujuan pendidikan untuk pembangunan: Mencari alternatif reformasi pembangunan pendidikan. Kajian Dikbud, 014 (IV): September 1998. Campbell, D.T. dan Stanley, J.C. 1966. Experimental and quai-expermental design for research. Chicago: Rand McNally and Company. Czerniak, C.M., W.B. Weber, A. Sandmann Jr., dan J. Ahern. 1999. A Literature Review Of Science And Mathematics Integration. School Science & Mathematics, 99(8): 421-430. Deni Ruchyat. 2002. Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang Dalam Rangka Menanggulangi Kemiskinan Disampaikan dalam Seminar Nasional Pemberdayaan masyarakat Bagi Penanggulangan Kemiskinan: Sebuah Tantangan dalam Pembangunan Wilayah dan Kota. 21 September 2002. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Dinas Diknas Prop. Bengkulu. 2004. Laporan peringkat SLTP, MTs, SMU, MA, dan SMK berdasarkan nilai ujian akhir nasional tahun pelajaran 2003/2004 Propinsi Bengkulu. Tidak diterbitkan. Depdiknas. 2002. Rerata NEM Nasional, Provinsi, dan Kota Kabupaten. http:// ebtanas.org/nemkota/nemkotaatas.danhttp: //www.websamba.com/infoebtanas Elias, M. J. et al. 1997. Promoting Social and Emotional learning: Guidelines for educator. Alexandria, Virginia: Association for 145 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008 Supervision and Curriculum development (ASCD). Faqih, Abdullah. 2007. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan. Apr 29, '07 12:29 PM Bloger Abdullah Faqih. http://abdullah faqih.multiply.com/journal/item/. Diunduh 27 April 2009. Gartner, Audrey dan Riesddman, Frank 1993. Peer-Tutoring: Toward a New Model. ERIC Digests. Hhttp://www.ericfasility .net/databases/ERJC digests. Gay, L.R. 1992. Educational Research: Compencies for Analysis and Application. New York: Merrill. Heinich, R., M. Molenda, dan J.D. Russel. 1993. Instructional Media and the New Technologies of Instruction. New York: Macmillan Publishing Company. Kompas 20 Maret 2006. Multikulturalisme juga diperlukan di Daerah. Kompas, 8 Maret 2006. Bangun Karakter lewat Penciptaan Kultur Sekolah. Kompas. 9 Desember 2000. Soal rendahnya penguasaan matematika dan IPA, disinyalir ada faktor politis. Kompas. 24 Agustus 2000. Sejak dini anak perlu dilatih mengelola konflik. Karaliotas, Y. 1999. The element of play in learning. Makalah dipresentasikan pada MA in Open & Distance Education at OU, UK September 1999. Lederman, N. G., & Niess, M. L. 1997. Integrated, interdisciplinary, or thematic instruction? Is this a question or is it questionable semantics? School Science and Mathematics, 97(2),57-69. Moore, G. W. 1983. Developing and evaluating eduacational research. London: scott, Foresman and Company. Randel, J.M., et.al. 1992. The effectiveness of games for educational purposes: a review of the research. Simulation and Gaming. 25, 261-276. Rieber, L. P. 1996. Seriously considering play: Designing interactive learning environments based on the blending of microworlds, simulations, and games. Educational Technology Research & Development, 44 (2), 43-58. Riyanto. 1988. Pengaruh Metode mengajar terhadap hasil belajar praktik kerja mesin siswa jurusan mesin produksi STM Negeri Malang. Tesis. Malang. Tidak diterbitkan. Riyanto. 1999. The development of integrated mechanical skill instructional of model in the STM for the improvement of midle level skilled worker. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jidid 6, Edisi Khusus, hal. 441--451. Sapari, A. 2000. Pembelajaran yang menyenangkan. Kompas. 20 September 2000. Semiawan, C. 2002. Menuju Pendidikan Multikultur. Dalam Peluang Dan Tantangan Riset Dan Teknologi Menuju Demokrasi Dan Integrasi Nasional, Perspektif Sosial Budaya. Jakarta. Dewan riset Nasional, Forum kerja sosial budaya. Sowell, E.J. dan Cassey, R.J. 1987. Analyzing eduactional research. Belmont, CA: Wadsworth. Sprent, P. 1991. Terjemahan Erwin R. Osman. Metode statistik non parametrik terapan. Jakarta: UI Press. Tilaar, H.A.R. 1999. Tantangan pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas di daerah tingkat II memasuki era globalisasi. Dalam Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21, 396- 409. Magelang: Tera Indonesia. TRIPS. 1997—2008. Peer tutoring in writing: A school systems approach. http://www. standards.dfes.gov.uk/research/themes/ass essment_for_learning/peer_tutoring_writin g/what is peer tut. Tuckman, B.W. 1988. Conducting educational research. New York: Harcourt Brace Jovanovic.