Bahaya Ibadah Sejati - Perkantas Jawa Timur

advertisement
Pujian untuk BAHAYA IBADAH SEJATI
“Buku yang penting. Mark Labberton menawarkan pengingat yang
memurnikan bahwa ibadah bukanlah tentang kesejahteraan kita
melainkan kesejahteraan dunia. Saya tidak dapat membayangkan pemimpin pujian atau jemaat manapun, tetap memandang ibadah dengan cara yang sama setelah membaca buku ini.”
Tim Stafford, penulis senior Christianity Today, dan penulis buku Surprised by Jesus
“Ini adalah eksplorasi Alkitabiah, utuh, penuh gairah dan mengandung suara kenabian tentang hubungan antara ibadah yang sesungguhnya dan panggilan Allah untuk melakukan keadilan, memberi
dasar pijakan baru bagi panggilan yang sangat dibutuhkan gerejagereja Amerika. Dengan kritik yang mencerahkan dan contoh praktis,
buku ini mendorong orang kristen untuk bergerak melampaui perdebatan dalam peperangan konsep ibadah yang seringkali terasa basi
dan mencari rasa aman menuju sebuah penemuan kembali akan ibadah yang berpusat pada Allah yang mengubah hidup dan mengubah
dunia. Saya sangat menyarankan Anda membaca buku ini.”
Rev. Dr. Roberta Hestenes, pendeta pengajar, Gereja Community Presbyterian, California, dan mantan penasehat umum World Vision
“Dalam buku Bahaya Ibadah Sejati: Menghidupi Panggilan Allah untuk Menegakkan Keadilan ini, Mark Labberton menyajikan argumen
yang meyakinkan tentang kaitan antara orang yang beribadah dan
keadilan. Mark mengemasnya dengan banyak contoh hidup para penyembah Allah yang mengusahakan keadilan di dunia ini. Gereja di
Amerika Utara harus mampu menangkap kerinduan hati Mark (dan
hati Allah) untuk membagikan belas kasihan yang telah kita terima
dengan limpah kepada kaum yang terpinggirkan dalam dunia ini,
baik di tempat yang dekat maupun jauh.”
Andi Park, penulis lagu dan pengarang buku You Know More
“Mark Labberton menulis dengan suara kenabian dan hati seorang
gembala. Panggilannya tentang keadilan membangun jembatan antara ibadah bersama di hari Minggu dan ibadah pribadi di semua aspek hidup. Tentang injil yang murni terletak pada konteks buku yang
muncul dari kegelisahan yang kudus, dan membuat buku ini berbeda
dari banyak buku lain yang hanya mengusung isu keadilan. Hasilnya
adalah sebuah buku yang memanggil kita melakukan pelayanan yang
penuh ketaatan bukan berdasarkan rasa takut atau rasa bersalah, melainkan berdasarkan rasa syukur yang dalam atas anugrah Allah yang
melimpah.”
John D. Witvliet, direktur, Calvin Institute of Chrsitian Worship
“Mengapa gereja-gereja berdebat tentang hal-hal sepele dan mengabaikan isu besar tentang keadilan dan belas kasihan? Dalam buku ini
Mark Labberton tidak hanya menolong kita mengajukan pertanyaan
ini, tetapi dia juga secara menyeluruh dan menantang kita menggali
sumber daya untuk melakukan sesuatu tentang masalah ini. Buku ini
penting untuk membangunkan gereja-gereja dari “tidur mereka yang
makin lelap” untuk menghidupi injil yang mereka proklamasikan
sehingga dengan demikian gereja-gereja mampu mengubah keadaan
dunia.”
Marva Dawn, pengarang Reaching Out Without Dumbing Down dan Unfettered Hope: A Call to Faithful Living in An Affluent Culture, dan pengajar
mata kuliah Spiritual Theology, Regent College, Vancouver
“Kita membutuhkan buku ini! Mark Labberton menawarkan wawasan
yang mendalam dan bimbingan untuk semua kita yang sangat peduli
–atau setidaknya yang seharusnya sangat peduli–tentang bagaimana
menegakkan keadilan di dalam dunia yang menderita ini. Dia benar:
mengintegrasikan ibadah dan keadilan merupakan hal yang berbahaya. Tapi mengingat karakter Allah yang kita sembah, ibadah semacam
ini satu-satunya jenis tindakan yang aman.”
Richard J. Mouw, presiden dan profesor, Fuller Theological Seminary
“Sangat berbahaya! Seperti yang dikemukakan Mark Labberton,
bahwa tidak hanya ibadah sejati yang berbahaya, tetapi buku ini juga
berbahaya. Buku ini menggoyang kelesuan kita. Memanggil kita pada
pemikiran radikal tentang hidup pemuridan. Buku ini mendorong
kita menerobos batasan-batasan teologis maupun batasan-batasan
dunia. Ini adalah salah satu buku yang paling menantang di antara
buku-buku yang saya baca selama bertahun-tahun.”
Stephen A. Hayner, profesor bidang Penginjilan dan Pertumbuhan Gereja, Columbia Theological Seminary
“Ini bukan sekedar buku lain yang membahas tema ibadah. Atau keadilan. Ini sebuah panggilan mendesak untuk bangun dan melakukan penemuan mengenai segala sesuatu yang telah tersesat kecuali
bila kita kembali melakukan ibadah dan keadilan bersama-sama.”
M. Craig Barnes, profesor bidang Pelayanan Pastoral, Pittsburgh Seminary, juga pengarang Yearning dan When God Interrupts
“Bagi kita yang terlena dengan ibadah populer yang dipahami secara
sempit, Mark Labberton menantang kita untuk bangun dan melihat bahwa ibadah tidak boleh dipahami secara sempit. Ibadah harus
menjadi bagian dari bangunan iman kita, terhubung dengan isu yang
lebih besar seperti keadilan dan kemiskinan. Meski ia tidak tergoda
memasuki perdebatan soal isu-isu sekunder tentang gaya dan pilihan
pribadi, kata-kata Mark menyediakan latar belakang Alkitabiah yang
pada akhirnya menempatkan isu-isu tersebut pada fokus yang tepat.”
Michael Card, pemain musik, penulis lagu, dan pengarang Luke: The
Gospel of Amazement dan Better Freedom
“Sedikit saja topik yang membangkitkan emosi dan semangat dalam
gereja sebagai tempat keadilan dan ibadah. Mark berani membahas
keduanya, dan membahasnya dengan sangat baik. Bukan seorang
kritikus gereja–berdiri tegak dengan tangan menuding–bukan pula
seorang penghibur–berdiri sejajar sambil merangkul–Mark lebih
berperan sebagai seorang gembala yang memiliki suara kenabian.
Dengan penuh belas kasihan ia mengungkap kehendak Allah dan
mengundang kita untuk berjalan bersama dalam jalan Kerajaan Allah. Buku ini membuat kita tidak nyaman. Dan seharusnya memang
begitu. Mark memulihkan visi kita akan panggilan mula-mula Allah pada gereja untuk melakukan keadilan, mencintai belas kasihan
dan hidup dengan rendah hati. Buku ini membuka jendela sehingga
Roh Allah menghembuskan kuasa dan sukacita yang segar ke dalam
hidup kita. Ibadah tidak akan menjadi tindakan pemisahan diri dari
dunia seminggu sekali, karena Mark menuntun kita ke dalam pemahaman ibadah sebagai keterlibatan setiap hari dengan dunia, keterlibatan yang mengubahkan.”
Tim Dearborn, wakil direktur bidang Pengembangan dan Komitmen/
Iman Kristen, World Vision International
“Sebuah bunyi lonceng, panggilan kenabian akan ibadah yang Alkitabiah, yang merevolusi cara kita hidup di dunia.”
Ronald J. Sider, presiden, Evangelicals for Social Action dan pengarang
Skandal Hati Nurani Kaum Injili (diterbitkan Literatur Perkantas Jatim,
2007)
“Mark Labberton menggunakan cara terbaik untuk membuat saya tidak nyaman: tidak nyaman dengan kehidupan kecil saya, mimpi kecil
saya, dan Allah saya yang kecil. Namun di tengah ketidaknyamanan
suci ini, ia membangkitkan harapan, yang memungkinkan membawa
kita kembali kepada kehidupan nyata dan penyembahan yang sebenarnya, di mana kita diciptakan untuk tujuan tersebut. “
Andy Crouch, editor, Christianity Today dan pengarang Culture Making
(Menciptakan Budaya, diterbitkan Literatur Perkantas Jatim, 2011)
BAHAYA
IBADAH SEJATI
Sebuah Panggilan
Memerangi Ketidakadilan
Mark Labberton
LITERATUR PERKANTAS JAWA TIMUR
B ahaya I badah S ejati
Sebuah Panggilan Memerangi Ketidakadilan
oleh Mark Labberton
Originally published by InterVarsity Press as
The Dangerous Act of Worship
by Mark Labberton
Copyright © 2007 by Mark Labberton
Translated and printed by permission of InterVarsity Press
P.O. Box 1400, Downers Grove, IL 60515-1426, USA
Alih Bahasa: Iwan C.Wibowo
Editor: Milhan K. Santoso, Nancy P. Poyoh
Penata Letak: Milhan K. Santoso
Desain Sampul: Meliana S. Dewi, Erine Verdiana
Hak cipta terjemahan Indonesia:
Literatur Perkantas Jawa Timur
Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292
Telp. (031) 8413047, 8435582; Faks. (031) 8418639
E-mail: [email protected]
www.perkantasjatim.org
Literatur Perkantas Jatim adalah sebuah divisi pelayanan literatur di bawah naungan Persekutuan
Kristen Antar Universitas (Perkantas) Jawa Timur. Perkantas Jawa Timur adalah sebuah kegerakan
yang melayani siswa, mahasiswa, dan alumni di sekolah dan universitas di Jawa Timur.
Perkantas Jatim adalah bagian dari Perkantas Indonesia. Perkantas sendiri adalah anggota dari
pergerakan International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Untuk informasi lebih lanjut
mengenai kegiatan yang ada secara lokal maupun regional di Jawa Timur dapat menghubungi melalui
e-mail: [email protected], atau mengunjungi Website Perkantas Jatim di www.perkantasjatim.org
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-979-1338-31-8
Cetakan Pertama: Maret 2011
Hak cipta di tangan penerbit. Seluruh atau sebagian dari isi buku ini tidak boleh diperbanyak, disimpan
dalam bentuk yang dapat dikutip, atau ditransmisi dalam bentuk apa pun seperti elektronik, mekanik,
fotokopi, rekaman, dlsb. tanpa izin dari penerbit.
DA F TA R I S I
Kata Pengantar oleh John Ortberg
Ucapan Terima Kasih
1
9
13
Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah
17
2 Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah
27
3 Bahaya-Bahaya Palsu
51
4 Bahaya-Bahaya Sejati
77
5 Bangun terhadap Tempat di mana Kita Tinggal
99
6 Melakukan Keadilan Dimulai dengan Istirahat
121
7 Ketika Ibadah Menegur Kekuasaan
139
8 Hidup dengan Paradigma Keluaran atau Pembuangan? 169
9 Sebuah Khayalan tentang Keadilan
189
10 Hidup yang Terjaga
215
Epilog
241
Penuntun Pemahaman Alkitab
243
Catatan Kaki
253
KATA PENGANTAR
T
ak seorang pun setelah mendengar peringatan
Yesus yang menyerang kemunafikan agamawi mendekati Dia sambil
geleng-geleng kepala dan berkata, “Terima-kasih Guru. Itu percakapan yang bagus.”
Tak seorang pun mendekati Musa setelah petir, guruh, cahaya
berkilauan, dan bunyi terompet yang terdengar keras di kaki Gunung Sinai dan berkata, “Mengapa sekarang kita menggunakan
terompet? Apa yang terjadi pada Miriam dan juga lagu yang diiringi musik tamborin yang kita nyanyikan saat menyeberangi Laut
Merah itu? Saya suka lagu itu–segar, penuh semangat. Petir dan
bunyi-bunyian terompet ini terlalu berat.”
Tak seorang pun mendekati Salomo setelah tabut perjanjian dibawa ke Bait Allah yang sedang dinaungi awan kemuliaan dan berkata,
“Kamu tahu, awan kemuliaan ini menghalangi para imam menyelesaikan tugasnya. Tidak ada yang memberitahu kami jika ternyata kami turut mengumpulkan dana untuk pembangunan bait Allah yang
baru yang ternyata melibatkan kabut atau awan.”
Setidaknya, sejauh yang kita baca di Alkitab, tak seorang pun
memberikan komentar. Sebaliknya, natur manusia kita seringkali ingin sekali mengetahui lebih banyak detail tentang respons-respons
bodoh terhadap ibadah di zaman dahulu. Tentu ada beberapa catatan
Alkitab yang memberi detail seperti itu. Ada yang menyebut skandal
anak lembu emas sebagai contoh. Di bagian lain, istri Daud merasa
10
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
suaminya sedikit agak bergaya pantekosta ketika menari-nari dalam
ibadah itu.
Tetapi kesan umum yang nampak dalam tulisan Kitab Suci adalah
ketika Allah muncul, orang merasa tertegur, terpukul. Mereka tersungkur ke tanah, mereka menyembunyikan wajah, mereka bercahaya seperti bola lampu, mereka memohon belas kasihan: “Pergilah
dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” Mereka “berdiri jauhjauh dan berkata kepada Musa, “Kamu saja yang berbicara kepada
kami dan kami akan mendengar, tapi jangan biarkan Allah berbicara
kepada kami, nanti kami mati.’”
Kesan ibadah seperti inilah yang ingin diperhadapkan Mark
Labberton pada kita. Ibadah yang seringkali menghasilkan respons
ketakutan, rasa kewalahan, rasa tergerak, dan kadang sangat gembira, terhadap Pribadi yang sangat berpengaruh itu. Ia ingin kita berpikir tentang ibadah bukan sebagai sebuah kebaktian yang secara
berkala kita hadiri melainkan sebagai pengakuan yang mengubah
hidup bahwa Seseorang telah hadir dan mengubah aturan main
yang menurut masyarakat kita mengatur keberadaan manusia. Ibadah, menurutnya, harus menjadi cara baru dalam memandang dan
merasakan sehingga terjadi penetapan kembali batasan-batasan,
menyambung kembali hubungan-hubungan dan memetakan ulang
cara kita mengatur diri kita sendiri. Ibadah seperti ini mengubah
cara kita menentukan siapa yang patut diperhitungkan dan siapa
yang tidak.
Di zaman kita istilah “perang ibadah” menjadi hal yang biasa bagi
gereja-gereja tertentu, meski tentu saja ada makna konotatif di balik
istilah itu. Ada banyak pandangan tentang peperangan itu dan ada
banyak pertanyaan yang terus muncul tentang berbagai aspek gaya
ibadah, khususnya seputar musik dan puji-pujian. Saya tidak menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak penting. Profesor dari
Yale Nicholas Wolterstorff pernah berkata bahwa setiap kelompok
bangsa, setiap generasi, harus bisa mengekspresikan naluri ibadahnya dengan gaya masing-masing, gaya yang bisa menunjukkan ke-
Kata Pengantar
11
dalaman jiwa. Dan seraya budaya (atau percampuran budaya) kita
terus berubah, semua pertanyaan itu terbukti bukan isu yang bisa
dianggap gereja akan segera berlalu.
Tetapi Mark Labberton ingin kita memikirkan sesuatu yang lebih
dalam. Karena seandainya pun ada sebuah era di mana setiap orang
dalam dunia kekristenan sama-sama menyanyikan lagu Gregorian,
itu tidak berarti bahwa tantangan ibadah yang paling besar telah
dibereskan. Mark ingin kita memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan yang banyak muncul soal ibadah adalah, bisa dikatakan,
telah tertutupi oleh diskusi-diskusi tentang gaya ibadah atau sistem
penyajian ibadah.
Jadi buku ini merupakan sebuah bel dari menara peringatan. Buku ini adalah sebuah panggilan untuk mempertimbangkan bagaimana kita–tidak hanya orang yang datang ke gereja kita tetapi juga
kita yang memimpin mereka–bisa mendengar apa yang dikatakan
Roh Kudus di zaman kita. Ini sebuah jam alarm yang memberitahu
kita bahwa matahari sudah terbit: “Bangun, wahai para penidur,
bangunlah dari kematian, dan Kristus akan bercahaya atasmu.” Dan
ibadah adalah sesuatu yang terjadi ketika orang terbangun. Tetapi
ibadah tidak boleh menjadi serangkaian tindak komunal liturgis
yang menutup diri. Ia harus melekat pada sebuah hari yang penuh
aktivitas.
Nabi Mikha berkata pada zaman dulu bahwa peraturan ilahi bagi
hidup manusia tidaklah rumit: Lakukan keadilan, cintailah belas
kasihan, dan hiduplah dengan rendah hati di hadapan Allahmu.
Ibadah adalah gaya hidup yang rendah hati. Ia adalah tindakan
menekuk lutut, rahang yang terkatup mengakui betapa lebarnya
jarak antara ciptaan dan Pencipta, antara yang terbatas dan yang
Tak terbatas, antara pendosa dan yang Maha Suci. Ibadah adalah
sesuatu yang mengoyakkan hati, suka cita dan syukur yang memulihkan roh orang-orang yang telah mencicipi keajaiban yang katakata seperti penebusan hanya bisa sebatas menggambarkannya saja.
Tetapi jika terpisah dari tindakan melakukan keadilan dan men-
12
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
cintai belas kasihan, ibadah menjadi tak lebih dari sekedar ungkapan “terima kasih” seorang anak kecil, jika disertai sebuah sikap
egois yang tidak rela membagikan sesuatu yang disyukurinya. Menegaskan kembali apa yang dikatakan Gloria Steinem, sebuah hasrat
untuk beribadah yang muncul bersama dengan sebuah pengabaian
terhadap keadilan itu seperti seekor ikan yang naik sepeda.
Maka, cukuplah pendahuluan ini. Mark menulis buku ini tak
hanya dengan kasih yang penuh kebijaksanaan tetapi juga dengan
hikmat seorang praktisi. Sesungguhnya dia selalu menolong orang
yang terlibat dalam ibadah. Dia adalah seorang penuntun yang bijak. Bacalah bukunya dan Anda akan berubah.
John Ortberg
Pendeta Pengajar, Gereja Menlo Park Presbyterian
UCAPAN TERIMA KASIH
S
eperti halnya hidup saya, hadirnya buku ini hanya dimungkinkan oleh anugerah Allah dan kasih dari keluarga dan
para sahabat. Pertama-tama dan terutama, saya ingin berterima kasih kepada wanita luar biasa, yakni istri saya, Janet, atas kasih dan
dukungannya yang tak ternilai, juga kepada kedua putra kami, Peter dan Sam, atas kesabaran dan dorongan mereka. Orang tua saya,
Wells dan Jane merupakan saksi-saksi yang lebih baik dari saya tentang hati Allah, dan saya sungguh berterima kasih kepada mereka,
demikian pula kepada saudara saya, Kurt, yang senantiasa menjadi
salah satu mentor dan sahabat terbaik saya.
Steve Hayner dan Tim Dearborn juga telah menjadi guru dan sahabat yang memulihkan dan memacu pertumbuhan saya; persahabatan tiga serangkai kami sama sekali bukan anugerah yang biasabiasa saja, kami tahu itu. Gary Haugen punya tempat istimewa di
hati saya karena kelembutan, dorongan dan harapannya.
Hati dan visi global John Stott merefleksikan Injil kepada saya
dengan cara yang sangat mendalam dan membebaskan. Bagi pemimpin Kristen yang sesignifikan beliau, makin mengenal dan makin tertarik dengan beliau saja sudah merupakan bukti anugerah
Allah buat saya. Saya sangat bersyukur buat keteladanan beliau,
pengajaran, dan persahabatan, yang dengan tulus saya wujudkan
dalam tema bab-bab buku ini.
Umpan balik yang jujur dalam proses penulisan merupakan hal
14
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
yang sangat berharga. Selain umpan balik dari Janet, Kurt, Steve,
Tim dan Gary, saya juga berterima kasih kepada Tom Boyce, Joyce
French, Mary Graves, Thomas Kelley, Rick Mayes, Richard Mouw,
Zac Niringiye, Tim Stafford, dan Joel Wickre. Kemurahan hati dan
bantuan Michael Barram yang luar biasa sungguh sangat berarti.
Tentu saja, semua kelemahan dan kekurangan dari hasil akhir buku
ini merupakan tanggung jawab saya.
Persahabatan yang baik juga telah menjadi faktor yang sangat
memengaruhi saya dalam meluaskan beban hati saya terhadap dunia ini. Saya merasa berhutang budi terutama kepada Marc Nikkel, yang dalam hidup dan matinya telah mengarahkan saya, dan
banyak Dinka di Sudan, untuk terlibat lebih dalam dengan Allah
dan dengan dunia. Saya juga berhutang kepada beberapa orang ini:
Dave Anderson, Craig Barnes, Marta Bennett, Assayehen Berhe, Paul
Bryant, Andy Crouch, Phillippe Daniel, Brian Morris, Gladys dan
Gershon Mwiti, Ng Kam Weng, Tim Teusink, Vinoth Ramachandra,
dan Amy Sherman.
Karena ini adalah buku pertama saya, para editor IVP harus bersabar terhadap proses belajar yang harus saya lewati. Saya berterima
kasih untuk kerja keras dari staf InterVarsity Press dan, terkhusus,
buat Al Hsu.
Gereja First Presbyterian Berkeley telah menjadi Gereja induk
saya selama dua puluh lima tahun terakhir ini. Saya dan Janet merupakan generasi keempat (dalam keluarga Janet) yang berjumpa dan
menikah di gereja ini. Jika kasih “menanggung segala sesuatu, percaya segala sesuatu, dan berharap pada segala sesuatu” maka komunitas gereja ini telah mendemonstrasikan dengan sungguh-sungguh
kasih yang demikian kepada saya selama tahun-tahun tersebut.
Sokongan dan dukungan dari jemaat, dan dari para penatua dan
para staf sangat berarti, melampaui apa yang dapat saya katakan.
Barbara Allen, Michael Brooks, Tim Buscheck, Bob Russell, Aileen
Schier dan Ruth Traylor telah menjadi penyokong-penyokong yang
sangat penting. Saya ingin berterima kasih secara khusus kepada
Ucapan Terima Kasih
15
rekan-rekan tim hamba Tuhan yang sangat berharga di gereja saya:
Mary Ellen Azada, Erik Hanson, Josh McPaul, Tim Shaw, dan Debbie Whaley. Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada Julie Sept,
yang merupakan rekan staf yang sangat kompeten dan saleh, yang
membuat proses menulis menjadi mungkin bagi saya, dan Patti
Nicolson yang, bersama-sama dengan Yesus Kristus, “menanggung
segala sesuatu bersama.”
A pa yang D ipertaruhkan dalam I badah?
S
emuanya. Itulah yang dipertaruhkan dalam ibadah. Pesan Alkitab yang mendesak dan mengusik, itulah yang dipertaruhkan dalam ibadah.
Ibadah menyatakan hal yang terpenting: manusia dicipta untuk
memancarkan kemuliaan Allah dengan mewujudnyatakan sifat Allah dalam hidup yang mengusahakan kebenaran dan melakukan
keadilan. Pengertian ibadah yang komprehensif ini mendefinisikan
ulang semua hal yang kita anggap biasa selama ini. Ibadah berubah
menjadi tindakan berbahaya ketika seseorang bangkit bagi Allah
dan bagi maksud-maksud Allah dalam dunia ini, dan menghidupi
kehidupan yang sungguh mempraktikkannya.
Ibadah juga mengacu pada sesuatu yang amat besar dan amat
kecil–kebanyakan berada di antara keduanya. Ibadah bisa menunjuk pada makna dan karya seluruh tatanan ciptaan. Ibadah pun
ada dalam tangisan seorang ibu atau sukacita seorang petobat baru.
Ibadah bisa berarti persekutuan umat Allah di hari Minggu, tapi
ibadah juga termasuk cara kita memperlakukan orang-orang di
sekeliling kita, cara kita menggunakan uang, dan kepedulian kita
pada mereka yang terhilang dan tertindas. Ibadah mencakup setiap
dimensi hidup kita.
Ibadah yang benar mencakup kemuliaan dan hormat bagi Allah
18
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ia juga mencakup penerapan kasih
dan keadilan, kebaikan dan belas kasihan Allah dalam dunia. Inilah suatu perjumpaan dan perubahan yang amat bernilai, layaknya
mutiara yang sangat mahal harganya, baik bagi kita maupun sesama
kita. Di satu sisi, Alkitab menunjukkan bahwa ibadah dimaksudkan untuk menjadi pewujudnyataan kehendak Allah dalam dunia.
Di sisi lain, Alkitab juga mengajarkan bahwa realitas penindasan,
kemiskinan, dan ketidakadilan merupakan panggilan ibadah kita
sekaligus bukti kegagalan kita dalam beribadah.
Jelas di sini kita tidak sedang membahas ibadah dalam arti yang
sempit, yakni tata laksana ibadah, meski tentu hal itu nanti akan kita
pikirkan juga. Kita juga tidak sedang membicarakan bagian yang
lebih kecil dari ibadah tersebut, yakni waktu puji-pujian yang diperpanjang (di luar doa dan khotbah), beberapa pihak menyebutnya
worship (penyembahan). Ini bukan buku tentang ibadah era postmodern versus era modern. Kami tidak membahas pro dan kontra
lagu-lagu kontemporer dan lagu-lagu himne, atau pun perdebatan
liturgis tentang penting tidaknya lilin, klip video, boleh tidaknya
cafe untuk ibadah, atau penataan lampu khusus dalam ibadah. Isuisu tersebut bukanlah fokus buku ini, meskipun itulah yang sering
dipandang penting ketika orang berpikir tentang ibadah. Mengubah
pandangan-pandangan seperti inilah salah satu tujuan buku ini.
Ketika ibadah merupakan respons kita terhadap Yesus Kristus,
yaitu Dia, satu-satunya yang layak menerima ibadah kita—maka
hidup kita berada pada jalur terjadinya perubahan dari dalam keluar. Setiap dimensi dari gaya hidup egoistik akan menjadi ancaman
ketika kita ingin memberlakukan hati yang mau berkorban seperti
Allah. Ibadah memperhadapkan kepuasan kita secara budaya dan
rohani dengan dunia yang sarat penderitaan dan ketidakadilan.
Dalam Yesus Kristus, kita dipanggil pada suatu cara hidup yang
baru. Melalui anugerah beribadah, Allah menghadirkan penawar
yang dibutuhkan untuk menetralkan racun keegoisan, yang kita
anggap sangat manusiawi. Ibadah membuat kita bebas dari diri
Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah?
19
sendiri untuk diarahkan bagi Allah dan tujuan-tujuan-Nya di dunia. Tindakan beribadah yang berbahaya kepada Allah dalam Yesus
Kristus selalu membawa kita ke dalam hati Allah dan mengutus kita
keluar untuk mewujudnyatakan hati Allah, terutama kepada kaum
miskin, orang-orang yang terabaikan, dan yang tertindas. Inilah
semua hal yang paling penting, sekaligus yang paling dipertaruhkan dalam ibadah.
Lalu apa masalahnya? Masalahnya adalah: Gereja sedang tertidur. Tidak mati. Bukan sedang kesulitan bernafas, tapi Gereja sedang terlelap. Hal ini membuat semua yang penting dipertaruhkan,
yaitu: tujuan Allah dalam Gereja dan dunia.
Entah itu diri saya sendiri, atau jemaat-jemaat yang pernah saya
gembalakan, atau Gereja lain di seluruh pelosok negeri bahkan di
seluruh dunia, tampaknya banyak dari antara kita yang tertidur
terhadap hati Allah bagi dunia yang penuh dengan ketidakadilan
ini. Tak heran kita juga tampak tertidur terhadap kerinduan Allah
bahwa dari ibadah kita seharusnya keluar sebuah Gereja yang mencari dan mewujudnyatakan keadilan yang dibutuhkan dunia. Kita
tertidur terhadap hati Allah yang tertuju pada kaum miskin dan tertindas. Kita asyik dengan pergumulan batin kita sendiri, berkutat
dengan mimpi-mimpi dan trauma yang terasa nyata bagi kita, namun tidak dikenali, tidak tampak dan kebanyakan tidak nyata bagi
dunia di sekeliling kita.
Saya memberikan pengamatan ini pertama-tama sebagai sebuah
pengakuan pribadi. Keterlelapan kadang juga menjadi bagian dari
hati dan visi saya terhadap dunia. Sibuk dengan persoalan hidup,
dipadati kegiatan pelayanan, asyik dengan hal-hal yang bersifat pribadi, sempit dan mendesak–mudah sekali bagi saya untuk merasa
tidak sanggup melakukan hal lain yang seharusnya saya lakukan.
Akibatnya, kesadaran untuk berusaha terlibat dalam hal-hal di luar
aspek hidup tersebut bisa dengan mudah saya abaikan. Tertipu oleh
hati saya sendiri, saya bisa merasa sangat puas dengan gelembung
kehidupan kelas menengah Amerika. Terlepas dari kehadiran dan
20
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
kuasa Injil itu sendiri, sedikit dari dunia saya yang akan sungguhsungguh menuntut atau mengharapkan saya melihat melampaui
hal itu. Pada saat pemikiran saya jelas, saya sadar ini adalah sejenis
tidur sambil berjalan (sleeping-walking). Saya menulis sebagai orang
yang baru saja terbangun, namun sangat menginginkan orang lain
bergabung dan meniru orang lain yang sudah benar-benar terjaga.
Di luar pengakuan pribadi saya di atas, pengamatan saya terhadap
orang Kristen dan gereja-gereja, serta tidak adanya bukti kuat yang
membuktikan fakta sebaliknya, telah meyakinkan saya bahwa gereja
pada umumnya memang sedang tertidur–bahkan meski tampaknya
tidak demikian. Sebagai contoh, belum lama ini saya hadir dalam sebuah gereja yang luar biasa: semangat, penuh hikmat, berkomitmen,
aktivitasnya padat, dan kreatif. Ibadah yang saya ikuti saat itu adalah
program hari pertama dari rangkaian program Sekolah Alkitab Liburan (SAL) yang sangat hebat dan penuh tari-tarian. Di tengah gerakan tarian berputar itu saya melihat anak-anak berseragam kaos
kuning menari dan mengikuti irama musik band. Wajah anak-anak
itu juga ditampilkan pada dua layar proyektor yang besar.
Tiba-tiba saya merasa ratusan anak-anak ini sedang ditidurkan
secara rohani – dibuat tertidur terhadap Allah yang bersuara tenang, tidur terhadap Allah yang menderita demi dunia, terhadap Allah yang berkata: “Sangkali dirimu, pikul salibmu dan ikutlah Aku.”
Mohon jangan salah sangka; saya yakin panitia SAL tidak bertujuan
seperti itu. Mereka hanya berusaha menemukan cara terbaik untuk
berkomunikasi dengan anak-anak itu. Tetapi sebaliknya, yang tampak jelas bagi saya adalah bahwa gereja ini, banyak orang mungkin
menganggap sebagai gereja yang tidak tertidur, sebenarnya sedang
mengambil resiko menginvestasikan banyak energi untuk menghasilkan ketertiduran yang lebih lelap. Mengapa? Karena pesan
utama dari bangunan, program-program, dan pelayanannya dengan
gamblang menunjukkan dirinya sebagai gereja yang kaya dan untuk orang kulit putih. Sosiologi sebuah gereja merupakan pesan utama. Kegiatan SAL tadi begitu menonjolkan apa yang bisa dibeli oleh
Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah?
21
uang dan waktu, menjadikannya begitu penting dan utama hingga
Injil terasa tak sebanding dan sangat kecil. Saya seperti merasakan
apa yang dialami Yesus: “hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati
rasanya.” Tentu saja hal ini berat untuk diakui.
Bahkan yang lebih melemahkan, saya harus mengakui bahwa
sangat mungkin dan dengan mudah terjadi juga di gereja penuh semangat yang saya sendiri gembalakan. Budaya gereja saya memang
berbeda, namun tidak benar-benar berbeda dengan dunia. Kami
baru saja menyelesaikan kampanye pembangunan gedung utama
dan telah meningkatkan fasilitas gereja secara signifikan, yang telah
memakan waktu bertahun-tahun dan dana besar. Keuntungan gereja seperti ini adalah kami bisa mengemas isi dan gaya Injil yang
berorientasi pada konsumen kelas menengah ke atas sehingga keselamatan menjadi sekadar sebuah selimut hangat yang memberi
rasa aman bagi budaya sebuah gereja dan orang-orang di dalamnya,
daripada mendorong orang keluar mengikuti hembusan angin yang
mengajarkan pengorbanan rohani. Dalam kehidupan sebuah gereja,
pola seperti ini dengan mudah, walaupun tidak disengaja, mengarahkan gereja hanya pada program konsolidasi dan perluasan kekuasaan,
bukannya mengidentifikasi diri dengan kaum yang tak punya kuasa
dan lemah. Yang pertama lebih seperti sebuah kasur yang nyaman
utnuk tidur daripada yang kedua. Tak heran kita tidak ingin bangun,
apalagi bangun dan beranjak pergi memperjuangkan keadilan.
Agak sulit untuk membicarakan gereja sebagai satu kesatuan besar karena memang tidak seperti itu. Gereja mencakup berbagai denominasi dan jemaat, yang masing-masing memiliki budaya lokal,
kelompok, dan teologinya sendiri. Contoh-contoh yang menunjukkan adanya keterjagaan memang bisa dijumpai–orang Kristen dan
jemaat-jemaat yang sehari-hari memperagakan hati Allah yang mencintai keadilan. Namun, secara umum, gereja-gereja masih tertidur
atau hampir tertidur. Ketika dibutuhkan tindakan untuk merespons
realitas hidup di dunia yang tiba-tiba berteriak meminta perhatian,
kehidupan institusi-institusi Protestan yang luas tampak tidak ber-
22
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
fungsi dan tidak terlibat. Padahal menurut Kitab Suci, mengusahakan keadilan adalah bagian dari ibadah. Tapi menurut kebanyakan budaya gereja, tidak ada kaitan antara ibadah dan keadilan.
Banyak denominasi menurun secara keanggotaan. Denominasi
gereja saya – Gereja Presbiterian Amerika, lebih lagi. Tiap denominasi
punya pergumulannya sendiri atas berbagai isu tentang pergulatan
budaya: Pada satu sisi gereja berusaha tetap setia pada tradisi dan
dogmanya, tetapi pada saat yang sama mencoba merespons situasisituasi sekarang. Pembahasan seputar tradisi dan misi gereja ini umumnya berlangsung secara internal, sering kali penuh gairah, tetapi
juga melukai dan menimbulkan perpecahan bagi mereka yang ada
di dalam gereja namun jauh dan tak dirasakan bagi orang-orang di
luar gereja. Sementara itu, pada tingkat lokal jemaat memerlukan
penggembalaan. Setiap individu dan keluarga dalam gereja punya kebutuhan dan masalahnya masing-masing. Ketika kebutuhan dan krisis dalam kehidupan kita terasa membebani, kita bisa dengan mudah
merasa tak sanggup melihat keluar.
Namun sesungguhnya, ketika kita melihat keluar, kita bisa melihat dengan jelas bahwa hidup keseharian jutaan orang di dunia ini
hampir mengalami keputusasaan yang kronis. Dunia tersiksa oleh
penderitaan yang berat dan dramatis sebagai akibat dari kemiskinan
dan ketidakadilan–dari perdagangan manusia hingga HIV/AIDS, dari
kurang gizi hingga pembantaian etnis. Seperenam populasi dunia
hidup dalam kemiskinan mutlak1, dan hampir satu juta anak tiap tahun dijual sebagai pekerja seks2. Tapi ini bukan sekadar statistik–ini
tentang kehidupan nyata. Orang-orang yang mempunyai nama dan
keluarga itu tiap hari hidup tanpa makanan atau air, dalam kemiskinan atau penindasan. Penderitaan itu terasa dalam tubuh, hati dan
pikiran, bukan dalam tabel-tabel statistik dunia. Padahal mereka
diciptakan dengan harga diri dan nilai yang sama dengan saya dan
Anda. Mereka punya kapasitas dan keinginan yang sama dengan kita.
Namun kondisi mereka tanpa harapan. Setiap hari.
Semua ini terjadi ketika gereja-gereja arus utama dan gereja Injili
Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah?
23
berdebat tentang isu-isu yang mereka anggap penting dalam beribadah: menggunakan gitar atau organ, suasana formal atau informal,
tradisional atau kontemporer, kontemporer atau yang paling baru;
sementara itu denominasi lainnya sibuk berdebat soal isu seperti
pentahbisan gay dan lesbian yang makin banyak terjadi di gereja
mereka dan menggoyang birokrasi sinode nasional mereka yang
makin pudar; dan sesungguhnya, pada saat jemaat dan orang Kristen sama-sama sibuk bergumul dengan kebutuhan mereka sendiri,
pada saat itulah akan tampak orang Kristen atau gereja seperti apa
mereka sesungguhnya.
Ketika banyak orang terpukul oleh polarisasi antara gereja-gereja
liberal dan injili di Amerika, mereka akan lebih terpukul lagi melihat
kesamaan yang dimiliki kebanyakan jemaat kedua gereja itu; mereka
sama-sama tertidur. Sebagian tampak tertidur terhadap Allah. Sebagian tertidur terhadap dunia. Sebagian tertidur di pihak kiri, sebagian
di pihak kanan, bagaimana pun juga mereka sama-sama tertidur. Cara
mereka tertidur, tokoh dalam mimpi-mimpi mereka, bentuk tidurberjalan mereka atau igauan mereka saja yang berbeda. Termasuk
bervariasi pula kata-kata dan suara-suara yang mereka hasilkan, yang
semuanya hanya menyebabkan keresahan, sekadar membuat tidur
mereka tidak tenang: inklusivitas. Keberagaman. Kesetiaan. Proses.
Keadilan. Relevansi. Pemulihan. Penyembuhan. Alkitabiah. Kata-kata
semacam itu memang bisa menggerakkan orang yang sedang tidur,
namun tak punya urgensi yang cukup untuk menimbulkan kebangunan rohani.
Terlalu banyak tidur bisa melemahkan tubuh dan akhirnya, menghentikan pertumbuhan. Sebuah krisis yang menghentak–misalnya
tragedi 11 September atau tsunami di Asia atau badai Katrina–dan
seperti tersentak dari tidur lelap atau dikejutkan oleh mimpi buruk,
gereja-gereja kita menegakkan kepala dan mencoba bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tersebut (jika mereka bisa mengetahui reaksi apa yang harus dilakukan!). Tidak lama kemudian, kegemparan
dari krisis-krisis itu mereda, dan keinginan kita untuk kembali pada
24
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
zona nyaman kebiasaan terdahulu terlalu sulit untuk dilawan. Keterjagaan membutuhkan terlalu banyak energi atau kekuatan yang
tak dapat dikerahkan atau dipertahankan.
Beberapa orang Kristen dan beberapa jemaat tampaknya punya
keterjagaan yang mereka pilih. Bagaimana pun, kita lelah, berbeban
berat, merasa tak aman, secara internal merindukan harapan kita
sendiri (tidak peduli dengan kebutuhan harapan di dunia). Kita tidak
banyak melihat di luar batas-batas tempat tidur kita, entah itu budaya, ekonomi, ras, denominasi atau kelas dalam masyarakat. Kita tahu
dan menyukai tempat tidur kita. Kita yang membuatnya. Kita tidak
tergerak untuk meninggalkannya. Bagaimana pun kita telah identik
dengannya, karena kita memandangnya sebagai berkat Allah.
Sementara itu, mereka yang tak punya tempat tidur–dan tak punya rumah, makanan, keamanan, air, kehangatan atau pengetahuan
tentang kasih Kristus–tidaklah diperhatikan atau diingat atau dijangkau. Fakta yang begitu gambling menunjukan semakin punah
dan sekaratnya rasa kemanusiaan, makin maraknya pelacuran anak,
perbudakan yang mencengkeram, epidemi malaria, HIV/AIDS, dan
harga diri manusia yang ditelanjangi di seluruh dunia, di manakah
bukti yang menunjukkan bahwa ibadah itu mengandung kuasa
yang membuat hati kita diperbarui dan diselaraskan dengan hati
Allah yang peduli terhadap keadilan di dunia ini?
Banyak di antara kita ingin tetap tertidur. Para pendeta turut mempertahankan gaya hidup terlelap ini dengan khotbah yang menghindari
teguran dan suara kenabian, menghindari kontroversi dan kompleksitas. Ketika peran khotbah terhadap budaya tidak secara substansial
mengkritisi dan melibatkan diri, ia menjadi bagian dari masalah.
Faktor lainnya adalah hadirnya khotbah yang hanya terkait pada
hidup pribadi jemaat tanpa memberikan tantangan Alkitabiah tentang hidup bermasyarakat. Kalau pun tantangan itu diberikan, ia
disajikan sedikit saja, dalam bentuk sajian makanan yang nikmat:
kentang panggang kasih, mentega anugerah yang meleleh, dengan
daging kukus dan bawang misi secukupnya, sekadar untuk sedikit
Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah?
25
menenangkan hati nurani. Semua ini menjadi obat bius yang manjur bagi gereja.
Saya tumbuh di gereja yang hampir tutup, dan pada waktu itu
saya meyakini bahwa para pendeta adalah orang yang mengelola
sebuah dunia yang berisi hal-hal sangat kecil dengan kepedulian
yang obsesif. Sekarang ketika saya menjadi pendeta, dan bekerja di
antara banyak pendeta, saya mengakui bahwa hal ini sering kali tak
terhindarkan, terasa benar, walaupun mungkin lebih merupakan
akibat kebiasaan daripada keinginan. Proyek-proyek dan padatnya
kegiatan keseharian bisa menjaga saya lebih dari sekadar tetap sibuk. Seperti kebanyakan pendeta lainnya, saya juga ingin menjadi
gembala yang setia. Saya ingin fokus pada panggilan di depan saya.
Itu saja sudah tampak cukup banyak menyita perhatian saya seharihari, tapi ini juga bisa merupakan dunia yang kecil dan kabur. Peran
hamba Tuhan seperti ini turut mengawetkan kondisi tidur-berjalan,
kondisi yang tidak semestinya namun sudah sangat menarik bagi
banyak orang yang kita pimpin.
Yesus, selalu dalam kondisi terjaga, dahulu maupun sekarang.
Itulah yang mengejutkan semua orang yang berjumpa dengan Dia
dalam Injil. Ia datang untuk menghadirkan sebuah dunia berisikan
orang-orang yang terjaga—terjaga terhadap Allah, terhadap sesama,
dan terhadap dunia. Tetap terjaga adalah tindakan ibadah yang berbahaya. Berbahaya karena ibadah dimaksudkan untuk menghasilkan hidup yang penuh perhatian terhadap kenyataan sebagaimana
Allah memandangnya, dan itu lebih dari yang ingin dihadapi oleh
kebanyakan kita. Ya, ibadah sejati selalu mempertanyakan paradigma-paradigma dominan, bahkan yang ada di dalam gereja. Ibadah
sejati menantang kita apakah kita membungkuk di hadapan realitas
atau kepalsuan, di hadapan Allah atau berhala.
Salah satu periode paling dramatis dalam sejarah Israel terjadi
karena kegagalan bangsa ini menghidupi ibadahnya. Teguran Allah pada Israel bahwa bangsa ini mengakui apa yang gagal mereka
hidupi. Bangsa ini berhasil menunjukkan tanda-tanda eksternal
26
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
dari ibadah namun gagal hidup berdasarkan apa yang seharusnya
ditunjukkan oleh ibadah. Nabi Perjanjian Lama, Mikha, menegaskan panggilan Israel pada masa krisis itu:
“Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu:
selain berlaku adil, mencintai kesetiaan,
dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mi. 6:8)
Meski sering dikutip, kata-kata ini dimaksudkan untuk dihidupi.
Dan untuk melakukannya berarti kita harus bangun.
Allah merindukan Gereja-Nya untuk terjaga. Anugerah Allah memahami keterlelapan kita, namun anugerah Allah juga mengejutkan, membuat kita terbangun, dan bertindak. Kerugian paling besar
dari kondisi mengigau kita ialah menyangkali Allah di luar batas,
menyimpang dari kemanusiaan kita, dan merusak misi Allah bagi
dunia. Dalam buku ini kita akan mempertimbangkan mengapa dan
bagaimana ketidaksinambungan antara ibadah dan keadilan bisa
terjadi seperti saat ini, bagaimana teologi ibadah yang lebih berani
dan lebih utuh dapat menolong membangunkan kita, dan bagaimana ibadah yang taat berarti menemukan hidup kita di dalam Allah
dan mempraktikkan hidup itu di dalam dunia, terutama demi kaum
miskin, tertindas, dan terlupakan.
Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah
D
i suatu ibadah yang saya hadiri beberapa tahun
silam, perhatian saya tertuju kepada pemimpin pujiannya yang sangat bersemangat. Ia memulai ibadah dengan doa, meminta Allah
hadir untuk mempersatukan jemaat di hadapan hadirat-Nya. Lalu ia
berbalik membelakangi kami, berdiri tepat di baris terdepan jemaat.
Matanya terpejam, band mulai bermain musiknya. Ia mengangkat
tangannya dan menaikkan pujian yang penuh sukacita kepada Tuhan.
Pada saat itulah saya baru benar-benar memerhatikan, ternyata selama menyanyi dengan semangat itu, ia terus menginjak kaki jemaat
yang ada di belakangnya. Bukan hanya sekali, tetapi berulang kali.
Sepanjang ibadah selama dua jam itu, dia terus saja “menari dalam
roh.” Tidak ada permintaan maaf dan tidak ada tanda-tanda rasa bersalah. Dia benar-benar memuji Tuhan dengan melupakan sesamanya.
Ilustrasi ini secara praktis menggambarkan sebagian besar masalah kita. Saya yakin pemimpin pujian itu akan berkata bahwa apa
yang dilakukannya bukanlah kesengajaan. Ia hanya begitu terbawa
dalam pengalaman ibadahnya sehingga kehadiran orang lain pun
tidak disadarinya. Dalam ibadah, ia kehilangan sesamanya dan itulah letak permasalannya. Permasalahannya adalah semua ekspresi
hasrat akan Allah yang tampak dalam sebagian besar ibadah kita,
ujung-ujungnya adalah tentang kita. Kita mengira bisa menyembah
28
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
Allah dengan cara menemukan Allah, tetapi kehilangan kesadaran
terhadap sesama kita. Namun sesungguhnya itulah pola ibadah bangsa Israel yang menuai penghukuman Allah. Ibadah Alkitabiah yang
mencari Allah haruslah mencari sesamanya juga.
Ironisnya, berbagai perdebatan yang terjadi tentang ibadah hanyalah untuk membicarakan secara tidak langsung tentang diri kita,
bukan tentang Allah. Perdebatan kita akhirnya menjadi tak lebih
dari daftar keinginan tentang bagaimana ibadah akan kita sajikan
setiap minggunya. Ibadah menjadi alat pemenuhan kebutuhan daripada sebuah persembahan kepada Allah; ibadah menjadi ekspresi
selera manusia–bukan sebuah kerinduan merefleksikan kemuliaan
Allah. Semua keprihatinan ini pastinya bukanlah aspek paling penting atau yang paling dipertaruhkan dalam sebuah ibadah.
Ketika para murid berjumpa Yesus, dunia mereka diubah dan
diperluas. Memanggil Yesus “Tuhan” dan menundukkan diri di hadapan-Nya berarti tahu bahwa dunia bagi hati Allah juga termasuk
orang miskin dan orang lumpuh, perempuan yang sakit pendarahan, dan juga orang kusta di pinggir jalan. Jika kita menyembah
Yesus Kristus, maka kita juga harus hidup seperti Yesus:
Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku,
ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan
kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena
Aku, ia akan menyelamatkannya (Luk. 9:23-24).”
Sebagaimana respons semacam itu memperluas hati dan pikiran
para murid, jalan ibadah yang mengandung pengorbanan diri ini
seharusnya berdampak sama dalam hidup kita. Bahkan, Yesus berkata dalam Matius 25:31-46 bahwa ibadah kita akan dinilai Allah
berdasarkan bagaimana kita hidup.
Krisis yang dihadapi gereja saat ini adalah ibadah pribadi maupun komunal tidak menghasilkan buah-buah keadilan dan kebenar-
Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah
29
an yang dicari Allah. Hal ini tampak sebagai krisis iman di mata
Allah dan sebuah krisis tujuan di mata dunia. Kitab Suci menunjukkan bahwa ibadah pribadi dan komunal seharusnya membentuk
visi dan menyalakan tekad kita menjadi murid yang berani, meniru,
dan membagikan kasih Yesus dalam tindakan-tindakan yang menegakkan keadilan dan kebenaran. Lagi pula, Alkitab mengajarkan
bahwa manusia di dunia, entah mereka percaya atau tidak, sedang
menderita dan sekarat menunggu orang-orang dalam gereja untuk
hidup sebagaimana seharusnya umat Allah, yakni menunjukkan ibadah dalam hidup kita (Rm. 8:18-25). Inti dari pertempuran kita terkait dengan ibadah adalah praktik-praktik ibadah yang terpisah dari
panggilan-Nya untuk menegakkan keadilan dan lebih parahnya lagi,
menyuburkan kecenderungan pemuasan diri dalam masyarakat, bukannya memupuk gaya hidup yang berkorban dalam kerajaan Allah.
Kita telah tertidur. Tak ada yang lebih penting untuk kita lakukan
selain bangun dan mempraktikkan tindakan berbahaya dari ibadah,
yakni menghidupi panggilan Allah untuk menegakkan keadilan.
Dari Makro ke Mikro
Saya mengatakan ini sebagai bagian di dalamnya, karena saya juga
tidak berdiri di luar wilayah kritik. Termasuk sebagian besar orang
Kristen yang saya kenal dan jemaat yang saya layani karena sebagai
bagian gereja Amerika, banyak di antara kami juga sibuk dengan
urusan hidup sehari-hari. Terpisah dari berita-berita utama di surat
kabar, tak banyak kebutuhan-kebutuhan internasional yang masuk
dalam hati kami secara mendalam. Ketika kami memberi perhatian,
kami sering mengalami kebanjiran informasi serta kebutuhan dan
keputusasaan yang tak henti ketika mendengar kabar tentang tempat-tempat seperti Timor Timur, Darfur, Afrika bagian Sahara, Banglades, Haiti. Kami mengakui, dalam pemahaman kami yang sangat
minim, bahwa orang memang bisa mengalami penderitaan di dunia ini. Namun suatu bagian dalam kesadaran kami menyimpulkan
bahwa penderitaan “orang-orang itu” bukanlah untuk kami; bahwa
30
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
ancaman kematian akibat kelaparan dalam tenda-tenda pengungsi
di Sudan itu juga merupakan penderitaan yang sama yang dialami
oleh para gelandangan yang kami temui dalam perjalanan ke tempat kerja; sama sekali di luar kemampuan kami untuk merespons
penderitaan dengan efektif di tingkat global. Salah satu penyakit
dalam masyarakat Amerika dan dalam usaha-usaha pemuridan
kami adalah pemikiran rasional yang tragis ini: bahwa di tengah
kebutuhan-kebutuhan dunia ini, jika kita tidak dapat berbuat apaapa, berarti kita memang tidak dapat berbuat apa-apa. Maka lumpuhlah kita, nyaman dengan rasa tak berdaya kita.
Saya juga merasa tak asing dengan perasaan-perasaan seperti itu,
meskipun orang tua saya sudah mendidik dengan kesadaran yang
kuat mengenai kepekaan sosial dan tanggung jawab kepada masyarakat. Saya ingat waktu masih kecil diajak mereka membagikan makanan bahan kebutuhan lain ke pemukiman buruh tani
di ladang dekat rumah atau ke desa-desa di Yakima Nation yang
termasuk wilayah negara bagian Washington. Saya ingat mereka
juga membawa saya ke sebuah gereja Amerika-Afrika yang dinamis
karena mereka ingin menunjukkan dukungan terhadap gerakan
perjuangan hak sipil waktu itu. Keluarga saya biasa membahas isu
kebijakan sosial dan politik internasional di meja makan.
Ketika saya beriman pada Kristus di masa awal kuliah, pekerjaan
Roh Kudus yang tak terlihat tampak lebih nyata bagi saya dibanding implikasi Injil yang lebih luas dalam masyarakat. Kehidupan
terus berjalan secara bertahap; rasa tanggung jawab saya bertumbuh,
dan akhirnya istri dan anak-anak hadir dalam kehidupan saya. Disibukkan dengan diri saya, dunia saya, prioritas-prioritas saya, gereja
saya, dan tujuan-tujuan saya, semuanya merupakan rutinitas saya
setiap hari. Kadang-kadang kondisi seperti itu terasa sangat egois, namun sering kali saya merasa memang itulah yang harus dilakukan.
Lalu, dengan mudah saya juga merasa tak berdaya dengan penderitaan dan kebutuhan di seluruh dunia. Lagipula, siapa saya? Bisa apa
saya? Mudah bagi kita untuk berpikir bahwa kita cukup meneruskan
Hidup yang Terjaga
J
ika kita ingin menjalani hidup yang terbangun
bagi Allah dan tujuan Allah dalam dunia, di mana kita bisa memulainya dan kemudian bagaimana kita melanjutkannya? Itu harus
melibatkan setidaknya empat hal.
Memilih Menghidupi Ibadah Kita
Tidak ada seorang pun yang bisa beribadah mewakili kita. Kita
harus memutuskan secara pribadi untuk beribadah dengan setia
dan sepenuhnya. Kita harus membuka hati dan pikiran terhadap
realitas, secara spesifik terhadap realitas Allah dalam Yesus Kristus.
Baru kemudian kita memutuskan untuk benar-benar menghidupi
realitas Allah itu setiap hari, di dalam keadaan yang paling biasa
maupun paling luar biasa.
Ini artinya menghidupi visi kehidupan yang di dalamnya kita tidak menjadi pusat. Allahlah pusatnya. Ini artinya kita berbalik dari
visi yang selama ini berfokus pada diri kita dan masalah-masalah
kita. Allahlah fokus utamanya. Dalam sebuah kehidupan ibadah yang
setia, hidup kita bukanlah tentang diri kita melainkan tentang Allah.
Kebangunan rohani yang radikal ini tidak terjadi dalam satu
malam. Perlu waktu panjang. Ini pekerjaan seumur hidup dan hanya akan teralami sepenuhnya di dalam kekekalan. Ini merupakan
216
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
penyingkapan bertahap tentang apa yang benar, sehingga kita tidak
diperlengkapi untuk bergerak ke sana hanya dengan satu langkah.
Kita akan bergerak maju mundur berkali-kali. Bukan berarti kita
membuang kesenangan-kesenangan, kepribadian, dan pilihan-pilihan
kita. Apa yang secara bertahap diubahkan adalah kekuatan yang
mendesak atas diri kita di mana hal-hal tersebut selama ini selalu terasa penting dan tidak pernah kita ragukan. Oleh kuasa Roh
Kudus, kita memilih tinggal setiap hari bersandar pada hidup yang
baru dalam Kristus dan mempraktikkan pola pikir dan tingkah laku
yang menempatkan Allah sebagai pusat. Hidup semacam ini merupakan buah pekerjaan Roh Kudus.
Inti proses ini adalah persektuan yang tidak hanya dengan Bapa,
Anak, dan Roh Kudus tetapi juga dengan komunitas umat Allah.
Ketika orang lain dalam Tubuh Kristus kita pandang sebagai guru
dan rekan dalam hal bersekutu dengan Allah Tritunggal dan dengan
anggota Tubuh Kristus, maka proses untuk bangun dan berjaga-jaga
akan membuka langkah yang lebih luas. Bagi saya, persahabatan dengan mereka yang tinggal dan melayani dalam konteks yang penuh
ancaman atau penuh bahaya, sarat kekerasan dan penderitaan, merupakan hal yang sangat penting. Mengenal mereka yang hidup dalam
Kristus demi kepentingan orang lain walaupun menghadapi situasi
yang menekan di sekitar mereka benar-benar mengubahkan hidup
saya. Di atas saya telah menceritakan kisah-kisah beberapa orang ini.
Mengenal teman-teman ini, yang berani membahayakan hidup
mereka setiap kali mereka menyatakan Injil membuat saya mengubah
cara pandang terhadap bahaya-bahaya dalam hidup saya. Karena
keberanian seorang teman di Asia Tenggara yang dengan senang hati
siap menerima kemungkinan dipenjarakan lagi di masa yang akan
datang hanya karena mau menjadi pemimpin Kristen, saya disanggupkan melihat secara berbeda bahaya-bahaya yang lebih ringan
yang saya hadapi. Saya tidak berjumpa dengan situasi keseharian yang
sama, namun mengetahui sesuatu dari realitas yang dihadapi saudara-saudara di dalam Kristus ini berarti bahwa saya sedang mengi-
Hidup yang Terjaga
217
kuti ibadah bersama, doa pribadi, dan kehidupan bermasyarakat
dengan bekal lebih banyak lagi akan hati Allah dan kuasa Allah
dibanding dengan yang bisa saya dapatkan dengan cara yang lain.
Saya jarang beribadah tanpa memikirkan teman-teman di berbagai
tempat di seluruh dunia yang menghadapi tantangan yang sama.
Mengetahui bahwa kita sama-sama berada dalam satu komunitas
baru telah mengubahkan gaya hidup saya, yang juga telah mengubah gaya hidup keluarga saya bahkan gaya hidup jemaat saya.
Saya telah melihat mereka berlatih bahwa menemukan rasa aman
di dalam Kristus bisa hidup secara berbeda dibanding orang-orang
yang menemukan rasa aman mereka di dalam kesibukan atau uang
atau kesendirian. Mereka berjalan dalam kebebasan di mana pun
mereka berada. Mereka tidak menutup mata terhadap realitas bahaya, tetapi mereka tidak dikendalikan oleh kondisi-kondisi semacam
itu. Orang-orang yang mengerti bahasa jalanan dan semua implikasi maknanya kita sebut penunjuk jalan (streetwise). Orang-orang
yang sedang saya bicarakan di sini adalah penunjuk Allah (Godwise) karena mereka hidup di jalan-jalan, melayani di tempat-tempat
penuh bahaya, mengenal seperti apa itu pengalaman penderitaan,
dan melakukannya dengan kebebasan dan sukacita. Teman saya di
Malaysia bukan orang bodoh, tetapi ia hidup dalam kebebasan rohani karena ia mengerti bahwa hidupnya bukanlah miliknya sendiri, melainkan milik Allah. Ia berjaga-jaga terhadap Allah di tengah
kegelapan. Mengenal orang seperti dia membangunkan saya dan
membuat saya berjaga-jaga.
Bukan berarti saya hidup dengan sikap seakan-akan saya mengalami sendiri pengalaman-pengalaman hidup yang diteladankan temanteman ini. Namun teladan mereka telah memanggil saya kepada
risiko dan keberanian yang lebih besar di tempat saya tinggal. Saya
ingat hari di mana saya sebagai murid Kristus yang masih muda
mulai memahami bahwa sejak saya menjadi milik Kristus, saya
menjadi bagian dari gereja dan gereja menjadi bagian hidup saya.
Saya teringat kerapuhan yang saya rasakan sebagai petobat baru
218
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
yang kuliah di lingkungan skeptis dan sekular. Ada orang-orang di
sekitar yang ingin saya kasihi namun ternyata mengintimidasi dan
menekan saya. Hal itu mengejutkan dan membuat saya sadar bahwa
panggilan ini tidak harus saya kerjakan sendirian. Gagasan Allah
adalah ini merupakan pekerjaan bersama komunitas umat Allah.
Mengasihi orang-orang di sekitar saya merupakan hal yang bisa dilakukan bersama orang lain. Ini juga mengubah kemampuan saya
dalam merespons tantangan-tantangan yang lebih ringan.
Saya butuh komunitas Kristen di sekitar saya, bukan demi kepentingan saya sendiri, tetapi juga demi kepentingan sesama. Komunitas itu akan menolong saya, dan ketika terjadi demikian, saya percaya itu juga akan mendorong dan menolong saya mengasihi orang
lain. Seringkali seperti itulah yang terjadi. Tentu saja tidak selalu,
namun itu juga merupakan bagian dari tantangan yang akan terus
ada ketika kita menjalani hidup sebagai murid Kristus. Selama waktu itulah saya mulai menyadari bahwa jatuh-bangunnya kesaksian
bersama umat Allah sangat tergantung pada apakah kita sungguhsungguh menghidupi identitas kita.
Menghidupi identitas dalam Kristus, cukup aneh juga, ternyata
melibatkan tindakan-tindakan mematikan diri secara sederhana,
tindakan melepaskan nyawa untuk mendapatkannya (Luk. 9:24).
Kita harus mati terhadap hal-hal yang membuat kita terus tertidur.
Ini berarti melangkah ke dalam gaya hidup Filipi 2: “Hendaklah
kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan
yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa
Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik
yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, … Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu
salib” (Filipi 2:5-8).
Kita harus berlatih mengesampingkan sikap tak bisa diganggu
dalam mengejar kepuasan, hiburan, kesenangan atau rutinitas agar
bisa mengejar Allah dan agar bisa meminta Dia menata ulang pri-
Hidup yang Terjaga
219
oritas dan keinginan kita. Kita harus berlatih mematikan diri untuk
menekan selera-selera yang telah dirangsang oleh budaya kita setiap
hari dan agar bisa semakin dirangsang oleh anugerah juga imajinasi
Allah dan agar bisa menginginkan apa yang ada di hati Allah begitu
juga ada di hati kita.
Disiplin sabat yang diterapkan bisa melepaskan kita dari hidup
yang didikte oleh selera dan hasil sebagaimana dipopulerkan budaya kita. Disiplin sabat menolong untuk menemukan kebebasan
berkata tidak. Menempatkan diri dengan istirahat Allah dalam tiap
minggunya bisa mengembangkan sumber daya rohani dan emosi
yang dibutuhkan untuk melihat dan merasakan sesuatu melampaui
diri kita sendiri. Beristirahat satu hari penuh setiap minggu dan
kembali mengisi hidup kita dengan kasih Allah benar-benar sebuah
karunia yang menata ulang prioritas kita! Sikap “tidak” terhadap
kesibukan. “Tidak” terhadap pemakaian yang tidak perlu. “Tidak”
terhadap budaya produktif 24 jam 7 hari. “Tidak” terhadap media.
Ya terhadap Allah. Ya terhadap ibadah. Ya terhadap komunitas. Ya
terhadap keadilan.
Disiplin rohani harian juga menambah bagian penting dalam
memperdalam proses menghidupi identitas sejati. Doa dan PA merupakan sarana yang Allah gunakan untuk mengubah kita melalui
pembaharuan akal budi. Ini berarti tidak sekedar membaca Kitab
Suci melainkan mengejar hati Allah dalam Kitab Suci. Jika pemuridan kita sebagian besar dibentuk oleh bagian-bagian Alkitab
tertentu yang populer saja, mungkin inilah saatnya untuk mulai
merenungkan bagian-bagian lain dari “seluruh rencana Allah” (Kis.
20:27). Visi Alkitabiah dan teologis kita dimaksudkan untuk mempertajam pengamatan kita. Hal penting dalam kehidupan Kristen
adalah visi yang terus bertumbuh tentang Allah sebagaimana Alkitab ungkapkan. Kita tidak hanya sekedar melihat Alkitab (membacanya) melainkan melihatnya melalui cara pandang Alkitab. Tentu saja ini berarti kita harus bertumbuh dalam pengetahuan kita
akan Kitab Suci supaya kita bisa mengenakan kaca mata Alkitab itu.
220
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
Sebagai contoh, berkaitan dengan isu ibadah dan keadilan, Anda
bisa menghabiskan setahun ke depan untuk fokus mempelajari Kitab
Yesaya, Yeremia, atau Amos. Anda bisa menggunakan beberapa petunjuk pelajaran untuk menolong Anda memahami teks tersebut.
Namun, yang paling penting, cobalah meminta Allah untuk memberi Anda pencerahan ke dalam hati-Nya sebagaimana dibukakan
melalui nabi-nabi ini, dan untuk menolong Anda bertumbuh dalam
mencerminkan hati Allah. Apakah Anda memahami kasih Allah
dalam teks-teks ini? Apakah beban-beban itu mengganggu Anda
juga? Jika Anda melakukan hal ini dan kemudian memakai kasih
Allah itu terhadap orang-orang yang terhilang, yang terlupakan,
yang membutuhkan, dan yang miskin, Anda akan menemukan melalui anugerah Allah bahwa ibadah dan keadilan merupakan satu
paket. Dan hidup Anda akan menjadi semakin terjaga.
Kepemimpinan pastoral merupakan kunci untuk menolong sebuah gereja melangkah maju ke arah bahaya sejati dari ibadah. Para
pendeta perlu dengan jujur dan terbuka bergumul dengan dimensi
panggilan Alkitab ini dan menggumulkan cara-cara mentaatinya
bersama jemaat mereka. Pemimpin gereja harus dilibatkan. Ini bukanlah panggilan untuk mempolitisir mimbar atau pelayanan gereja. Ini adalah panggilan untuk mendengar perkataan Kitab Suci tentang pemuridan terhadap masyarakat dan mengijinkan perkataanperkataan semacam itu terus memperbaharui visi kita tentang Allah
dan tentang tindakan-tindakan kita dalam dunia. Sebagaimana telah
kita bahas sebelumnya, ibadah perlu menyuarakan isu kekuasaan.
Setiap musim panas saya menawarkan rencana khotbah selama
setahun dalam konteks visi lima tahun dari bahan-bahan Alkitab
yang akan kami coba pelajari bersama. Beberapa gereja mendapat
manfaat dari khotbah berdasarkan daftar leksionari, namun tradisi
kami adalah melakukan serangkaian khotbah ekspositori yang diambil dari berbagai kitab atau bagian-bagian Alkitab, dengan beberapa seri topikal juga. Saya berusaha menggunakan secara teratur
baik teks-teks Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Kita mem-
Hidup yang Terjaga
221
butuhkan seluruh rencana Allah untuk menumbuhkan visi yang
menyeluruh tentang pemuridan, baik terhadap pribadi-pribadi
maupun terhadap masyarakat.
Sasaran saya adalah mengkhotbahkan teks itu dan membiarkan
teks itu membuat aplikasinya sendiri. Saya menoba untuk tidak
berkhotbah secara ideologis atau preskriptif (memberi penjelasan).
Saya tidak mengambil atau menyarankan posisi politis tertentu
dalam khotbah saya karena saya akan bersalah menggunakan mimbar untuk menggertak dan juga karena saya sangat menghargai kebijaksanaan dan keragaman jemaat saya. Sebaliknya, saya mencoba
menyediakan kesempatan-kesempatan lain bagi terjadinya diskusi di
antara jemaat mengenai isu-isu dan implikasi dari khotbah-khotbah
saya. Kondisi yang terpisah dari khotbah adalah tempat yang lebih tepat bagi saya untuk mengekspresikan pandangan politik saya pribadi,
di mana saling menerima dan memberi sangat dimungkinkan.
Di gereja kami, perencanaan ibadah dilakukan oleh pendeta dan
para pemimpin musik. Kami mencoba menggabungkan praktik-praktik ibadah yang mendorong setiap orang untuk terlibat dan berpartisipasi. Tiga kebaktian Minggu kami mengambil bentuk ibadah
tradisional hingga kontemporer, namun kami bekerja keras untuk
menjaga bentuk-bentuk ibadah tersebut sekedar menjadi sebuah
kemasan rutin belaka yang tidak berkembang. Kami ingin menghormati prinsip-prinsip utama dari nilai-nilai teologi dan liturgi sambil
tetap terbuka dan fleksibel tentang bagaimana prinsip-prinsip utama itu diekspresikan dalam model kebaktian apa pun. Kami mencoba menciptakan praktik-praktik ibadah yang membuka pintu bagi
Roh Allah bebas berkarya di mana kontrol kami dalam ibadah tidak
bersifat mendominasi. Jelas kami belum berhasil, namun kami terus
membuat kemajuan.
Elemen musik dalam ibadah sangat penting. Musik yang ada di
gereja kami sedikit kurang lengkap sebagaimana yang kami harapkan untuk mendukung tema-tema keadilan. Karenanya, kami menjadi lebih beragam lagi dalam pilihan-pilihan musikal kami. Kami
222
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
juga sangat diuntungkan oleh kreativitas staf gereja maupun anggota gereja, yang menggunakan komposisi ciptaan mereka sendiri
dalam mengiringi sepanjang tema-tema dan rangkaian khotbah.
Banyak di antara musik-musik ini bersifat percobaan namun bisa
diterima dengan baik dan turut berperan dalam kemajuan gaya ibadah yang ingin kami kembangkan.
Kami telah menyadari bahwa gerakan fisik dalam model kebaktian apa pun bisa menjadi elemen yang sangat penting dalam mengkomunikasikan bahwa ibadah adalah sebuah respons dan seperangkat tindakan. Praktik-praktik ibadah yang melibatkan gerakan individual yang dipadukan dengan saat-saat di mana seluruh jemaat bertindak dan beraksi bersama merupakan bagian yang berharga untuk
menyatakan iman kami dengan tindakan. Kemudian kami bangun
di atasnya dengan mengekspresikan bagaimana aksi yang sama ini
membawa kami keluar dan masuk dalam dunia untuk hidup sebagai murid-murid Kristus–dalam persembahan kami, dalam kebaktian kami, dalam sentuhan kami, dalam pengakuan dosa kami, dan
dalam pengharapan kami.
Ibadah yang terjaga dan yang setia mengarahkan seluruh hidup
kita. Ini bukanlah aktivitas yang memberi kebebasan untuk memilih. Ini bukanlah sebuah anggukan pada Allah sebagai tugas
agamawi, tidak juga diukur berdasarkan ketulusan kita. Sebelum
doa syuur di akhir kebaktian kami, seringkali saya berkata seperti
ini: “Ukuran keberhasilan ibadah hari ini adalah buah roh dalam
bentuk karakter dan tindakan yang makin nampak seperti karakter
dan tindakan Allah. Mari kita hidup seperti mereka yang telah menyembah Tuhan kita Yesus Kristus.”
Memilih untuk Melihat
Salah satu realitas menjadi manusia adalah hidup dengan visi yang
terbatas. Kita adalah ciptaan yang terbatas dan telah jatuh dalam
dosa. Kita tidak dapat melihat dengan sempurna atau dengan utuh
atau dengan jujur atau dengan tulus. Kita melihat sebagai orang ter-
Hidup yang Terjaga
223
batas sebagaimana adanya kita. Kita juga melihat dalam cara-cara
yang terdistorsi sebagai sebuah tanda minat kita terhadap diri sendiri. Ini artinya kita melihat secara selektif, berprasangka, dan secara tidak seimbang. Pandangan terbaik manusia pun tidak selalu
bagus. Namun itu semua sudah cukup untuk melakukan tindakan
kasih dan keadilan yang dipersembahkan dengan kerendahan hati.
Kita bisa memilih untuk menjadi orang yang melihat dengan
lebih baik. Itu bisa nampak jelas, namun ini adalah sebuah langkah
besar. Artinya memutuskan untuk hidup dengan mata terbuka lebar terhadap Allah dan terhadap tujuan-tujuan Allah di dalam dunia. Ini juga berarti hidup dengan mata yang ingin melihat hal-hal
yang sesungguhnya, entah itu menarik, menghibur, terasa enak atau
nyaman atau tidak. Kita dengan sengaja menumbuhkan visi pilihan
karena di dalam bias pribadi dan budaya kita, kita hanya ingin melihat beberapa hal dan dengan tegas tidak ingin melihat yang lainnya.
Sungguh-sungguh melihat bisa terasa aneh dan terasa mengganggu.
Seharusnya memang seperti itu.
Tak ada seorang pun yang melihat tanpa prasangka. Setiap orang
melihat melalui suatu kombinasi lensa kaca mata. Kitab Suci diberikan secara spesifik untuk menolong manusia melihat Allah dan
dirinya sendiri dengan lebih jelas. Jika realitas menjadi ada melalui
inisiatif Pencipta yang berpribadi dan penuh kasih, maka melihat
dunia dan sesama kita dari sudut pandang Allah (yang memang
merupakan tujuan Kitab Suci) berarti kita bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda dan lebih baik.
Tindakan melihat orang miskin, yang terlupakan, terpenjara, dan
seterusnya bisa berarti berusaha melihat di tempat-tempat yang biasanya tidak kita lihat. Mission trip singkat bisa menolong memberi
kita visi yang baru. Ketika kita melakukan petualangan seperti itu,
kita akan belajar melihat dengan setiap indra dan belajar meminta
Allah menolong kita melihat dengan hati dan kebijaksanaan Yesus.
Ketika saya mendapat kehormatan melakukan perjalanan semacam
itu, saya dengan tulus berdoa supaya Allah berkenan memakai pe-
224
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
ngalaman itu untuk membakar mata hati saya dengan gambar-gambar orang dan kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi tertentu
sehingga saya tidak akan pernah lupa dan tidak akan melihat dengan cara-cara sebelumnya.
Pada suatu perjalanan, saya berdiri di atas beranda yang rusak
dari sebuah rumah besar bergaya Viktorian yang pernah berjaya di
masa lalu, yang terletak di Hooghly River di kota Dhaka, Bangladesh. Selama bertahun-tahun rumah besar itu telah ditinggali oleh
penghuni ilegal. Prodip, teman saya orang Bangladesh berdiri bersama saya di beranda. Saat kami memandangi sungai, butuh beberapa
saat sebelum mata saya bisa melihat menembus udara malam berkabut itu dan mulai menyadari apa yang terpampang di hadapan saya.
Ternyata kami sedang berhadapan dengan barisan panjang gubukgubuk yang berjejer di sebuah tempat yang dahulunya merupakan
taman indah yang terbentang di sepanjang tepian sungai. Sekarang
komunitas termiskin di Dhaka susah payah berjuang untuk bertahan di tempat itu. Prodip sendiri sangat miskin. Ia hidup di Dhaka
seumur hidupnya, tetapi ia tidak pernah naik becak hingga hari itu
ketika bersama saya, karena ongkos lima puluh sen terlalu mahal
baginya. Situasi dia jauh lebih baik dibanding pemandangan yang
sedang kami lihat saat itu. Prodip berkata, “Orang tinggal di sini
karena mereka sudah mati namun belum bisa mati.” Saya melihat
dunia dengan cara yang berbeda berkat visi Prodip.
Kunci untuk perjalanan-perjalanan misi jangka pendek adalah
mereka memang seperti itu: jangka pendek. Banyak manfaat dari
perjalanan misi jangka pendek, seperti membuka pengalaman yang
meningkatkan kepekaan dan kesadaran. Seringkali dampaknya juga
dramatis. Ada banyak kisah yang membenarkan pentingnya perjalanan seperti itu. Tetapi kita perlu hati-hati terhadap bahayanya, yakni
menjadi turis misi yang melihat dan merasakan namun tidak mengambil bagian (entah di sini atau di sana) dalam merespons panggilan dan menjawab kebutuhan. Perjalanan seperti itu bisa membuat
kita merasa lebih terlibat, tetapi kelambanan kita merespons jelas ti-
Hidup yang Terjaga
225
dak selaras dengan sikap kita yang menganggap perjalanan itu penting. Seorang perawat di Rwanda yang mengurus pasien HIV/AIDS
berkata pada saya, “Saya sering mengantar orang berkeliling klinik
ini. Tetapi saya ingin memberi tahu satu hal, kami tidak butuh Anda
datang dan melihat semua kebutuhan di sini jika Anda akan pulang
dan melupakan kami. Kami butuh Anda mengingat kami dan bertindak selaras dengan apa yang Anda telah lihat di sini.”
Inilah sebabnya penting bagi kita untuk menyediakan sebanyak
mungkin waktu bersama orang-orang Kristen di komunitas lokal untuk melakukan perjalanan seperti itu. Cobalah melihat dan merasakan
dunia mereka sebanyak yang Anda bisa. Saya mencoba hidup dan bertindak di wilayah teluk dengan cara-cara seolah saya melihat dengan
sudut pandang orang-orang yang saya kenal di India, Uganda, Afrika
Selatan, Rwanda, Kenya, China, Bangladesh, Sri Lanka, dan Mexico.
Cara lain supaya visi kita bisa bertumbuh adalah dengan memilih fokus pada isu ketidakadilan spesifik di bagian-bagian dunia yang
atasnya Allah menaruh beban itu di hati kita, kemudian berkomitmen menjaga beban itu setiap saat. Layanan berita internet bisa bermanfaat karena kita bisa mendapat kisah-kisah yang relevan dengan
beban kita. Menemukan orang lain yang bisa diajak berbagi beban
ini dan mau berdoa bersama juga merupakan langkah yang penting. Poinnya adalah untuk mengembangkan mata yang makin bisa
melihat kebutuhan dan melihat Allah berkaitan dengan kebutuhan tersebut. Sambil Anda melakukan hal ini, berdoalah memohon
kepekaan tentang bagaimana Anda harus merespons. Kepada siapa
Anda bisa berkirim surat atau surat elektronik? Di mana Anda bisa
menyalurkan bantuan? Tindakan konkrit apa yang bisa Anda lakukan untuk membuat sebuah perubahan? Pelayanan atau organisasi
apa yang mungkin bisa menolong menjembatani langkah-langkah
Anda? Siapa yang bisa Anda ajak mengambil bagian bersama Anda?
Melihat bukanlah urusan yang gampang. Ini menuntut banyak
hal. Ini bisa melelahkan dan kadang-kadang membuat tidak nyaman.
Ini berarti membawa dalam pikiran kita kepedihan dan kebutuhan
226
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
yang belum terjawab. Ini berarti meninggalkan tempat persembunyian yang selama ini mungkin kita nyaman di dalamnya. Kita tidak akan bisa tidur terlalu nyenyak. Hal-hal yang selama ini kita
pandang penting akan terasa tidak terlalu penting lagi. Tidak mudah
untuk hidup seperti orang dalam pembuangan–Yesus berkata kita
bisa berharap banyak dalam kondisi seperti itu. Inilah yang menggerakan kita untuk kembali, kembali pada kebutuhan melihat Allah
dengan cara yang segar, pada kebutuhan untuk bertumbuh dalam
kapasitas kita untuk “menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat
juga dalam Kristus Yesus” (Flp. 2:5).
Memilih untuk Terlibat
Ibrani 13:3 memberi kita nasehat tegas tentang keterlibatan: “Ingatlah akan orang-orang hukuman, karena kamu sendiri juga adalah
orang-orang hukuman. Dan ingatlah akan orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, karena kamu sendiri juga masih hidup
di dunia ini.” Perintah tertulis ini memang merupakan karakter Injil.
Perintah ini menunjukkan apa artinya empati yang sesungguhnya.
Namun, untuk menghidupinya berarti mempraktikan kehidupan
konteks pembuangan kita dan bersandar pada wilayah asing–situasi
orang lain. Itulah premis dasar panggilan inkarnasional kita. Ini tentang memasuki, melibatkan diri, bertindak mewakili realitas orang
lain seolah-olah itu adalah realitas kita sendiri. Di dalam Kristus itu
memang menjadi realitas kita sendiri. Itulah kedalaman panggilan
Alkitabiah kita terhadap keadilan.
Memiliki sikap peduli, meski penting, tidaklah sama dengan memeragakan belas kasihan. Mampu mengenali kebutuhan juga merupakan sebuah kunci. Tapi itu tidak sama dengan melakukan sesuatu.
Buku ini tidak hanya tentang membangkitkan kesadaran dan hati kita.
Ini tentang peran yang seharusnya dimainkan ibadah dalam membangunkan kita sehingga kita sungguh-sungguh hidup secara berbeda.
Ini adalah panggilan kepada ibadah yang melakukan keadilan.
Apa saja yang termasuk keterlibatan? Ini melibatkan waktu, talen-
Hidup yang Terjaga
227
ta, uang, usaha, imajinasi, kebebasan, dan hak-hak kita. Keterlibatan
bergerak melampaui sekedar memiliki belas kasihan dan mengumpulkan informasi. Keterlibatan adalah tindakan-tindakan yang
bisa dilaksanakan. Di sini keputusan untuk menjalani hidup yang
terjaga akan menjadi keputusan yang menggerakan kita ke dalam
relasi, ke dalam partisipasi yang merupakan hak istimewa sekaligus
harga yang harus dibayar ketika melakukan keadilan. Kita perlu
mengambil langkah pribadi dan khusus, dan kita juga perlu mengambil langkah-langkah bersama dan tersistematis. Orang-orang di
dalam Tubuh Kristus harus mendemonstrasikan kedua langkah
itu dengan tindakan. Jika kita cenderung menerima respons yang
mengandalkan satu orang terhadap isu-isu ketidakadilan dan bukannya melalui pendekatan yang mengandalkan sistem, berarti kita
tidak cukup serius menanggapi apa artinya mengakui “Yesus adalah
Tuhan.” Tindakan dibutuhkan dalam kedua level itu, dan anggotaanggota yang berbeda dalam Tubuh Kristus dibutuhkan untuk
mengekspresikan masing-masing level itu.
Pada level pribadi, Anda bisa mulai dengan mendata dengan
seksama situasi-situasi yang dihadapai orang-orang yang sudah ada
dalam hidup Anda. Mungkin di antara orang-orang itu ada yang
pernah memberi Anda informasi tentang kebutuhan mereka yang
bisa Anda respons. Tempat pertama untuk didata bisa tetangga atau
kolega atau teman dekat Anda.
Atau Anda bisa mulai dengan menelepon gereja atau instansi lokal
untuk mencari tahu apa yang bisa Anda lakukan untuk menolong
orang-orang di kota Anda. Langkah ini mungkin akan mengarahkan
Anda pada sebuah rapat, atau bisa melibatkan tanda tangan Anda
yang menyatakan kesediaan bertanggung jawab terhadap sesuatu. Ini
bisa berarti pergi lagi setiap minggu dan melakukan hal yang sama.
Atau ini bisa melibatkan satu musim yang membutuhkan energi dan
komitmen secara khusus. Dan kemudian, sebagai hasil dari langkah
pertama ini, Anda bisa mengambil langkah berikutnya.
Kita tidak dipanggil untuk melakukan tindakan yang bergan-
PENUNTUN PEMAHAMAN ALKITAB
P
enuntun diskusi ini bisa digunakan unuk memfasilitasi sebuah kelompok kecil atau kelas sekolah minggu berdasarkan buku Bahaya Ibadah Sejati. Jika semua anggota kelompok telah
membaca buku ini, maka sebagai tambahan di luar pertanyaanpertanyaan diskusi di bawah, pemimpin bisa juga menanyakan pertanyaan seperti, “Bagian mana dalam bab ini yang paling menegur
Anda? Apakah Anda menggaris-bawahi atau memberi warna pada
kalimat-kalimat yang secara khusus punya makna bagimu? Mengapa?” Pertanyaan ini bisa juga digunakan secara pribadi untuk
menolong memahami dan menerapkan konsep buku ini.
Bab Satu: Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah?
1. Apa yang muncul di pikiran Andaketika mendengar kata ibadah?
Gambaran atau kesan apa yang ditimbulkan oleh kata ini? Mengapa?
2. Bagaimana ibadah dijelaskan dalam bab ini?
3. Bagaimana definisi tentang ibadah ini, sama atau berbeda dari
definisi ibadah yang biasanya ada dalam pikiran Anda ketika
Anda menggunakan kata itu?
4. Jika Allah melihat ibadah dalam cara yang menyeluruh, tanda apa
yang Anda lihat bahwa banyak orang di dalam gereja yang tertidur bukannya terjaga terhadap tujuan Allah bagi ibadah?
5. Apa yag dikatakan Yesus dan para nabi tentang apa yang diper-
244
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
tatuhkan jika umat Allah tertidur bukannya terjaga terhadap
tujuan-tujuan Allah?
6. Akan seperti apa gereja bila ia benar-benar tersadar terhadap
tujuan-tujuan Allah melalui ibadah?
7. Dengan cara bagaimana Anda bergumul untuk sadar dan menghidupi ibadah semacam ini?
8. Perubahan apa yang Anda butuhkan untuk hidup dan beribadah dengan lebih terjaga?
Bab Dua: Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah
1. Pilihan-pilihan tentang ibadah seringkali bisa menyatukan atau
memecah-belah tubuh Kristus. Contoh seperti apa yang pernah
Anda lihat?
2. Isu ibadah seperti apa yang paling membuat jengkel orang lain?
Menurut Anda mengapa itu bisa terjadi?
3. Menurut bab ini, tentang apa sesungguhnya inti pertempuran
manusia tentang ibadah itu? Bagaimana ini bertentangan dengan banyak pandangan kita tentang ibadah?
4. Jika ibadah merupakan undangan dari apa yang seharusnya menjadi dua kasih kita yang besar, kepada Allah dan kepada sesama,
mengapa dan dengan cara apa keduanya itu tidak terpisahkan?
Tetapi mengapa kita melupakan atau memisahkannya?
5. Perhatikan Yesaya 1:12-17. Bagaimana ibadah kita memenuhi
standar ini?
6. Bagimana ibadah diharapkan menata ulang hidup kita?
7. Pendekatan ibadah seperti apa yang akan dilakukan supaya ibadah berdampak dalam hidup Anda? Hal utama apa yang perlu
diubah dalam hidup Anda?
8. Bagaimana Anda termotivasi dalam menghadapi dan merespons
peperangan yang sesungguhnya tentang ibadah? Apa yang rela
Anda lakukan untuk hal tersebut? Siapa lagi yang mau ber-
Penuntun Pemahaman Alkitab
245
gabung dengan Anda dalam melakukan hal itu?
Bab Tiga: Bahaya-Bahaya Palsu
1. Pengalaman apa yang Anda miliki tentang rasa takut terhadap sesuatu yang ternyata bukan bahaya yang sesungguhnya?
Bagaimana Anda akhirnya menyadari hal itu?
2. Apa yang dimaksud bab ini dengan istilah “bahaya-bahaya palsu”
terkait dengan ibadah? Apa yang membuat bahaya-bahaya tersebut
palsu?
3. Apa konsekuensi pemuridan dan misi Kristen dalam dunia jika
kita begitu asyik dengan ketakutan-ketakutan terhadap bahaya
yang palsu? Contoh apa yang pernah Anda lihat?
4. Perhatikan setiap bahaya palsu dalam bab ini satu per satu dan
ringkaslah prinsip-prinsip apa yang terdapat dalam bahaya palsu
tersebut ? Pilihlah satu atau dua di antaranya untuk didiskusikan:
a. Bagaimana Anda melihat bukti dari setiap kepalsuan itu?
b. Bagian mana yang paling relevan dengan hidup Anda?
c. Bagian mana yang paling berdampak pada kehidupan
jemaat Anda? Mengapa?
5. Apa yang harus dilakukan pada ibadah Anda supaya kepalsuan
bahaya-bahaya ini tersingkap–secara pribadi buat Anda? Juga
buat kelompok kecil Anda? Buat jemaat Anda?
6. Menata ulang hidup ibadah kita dan mengungkap bahwa bahaya-bahaya palsu ini merupakan masalah inti bagi iman kita
supaya menjadi dewasa. Ini sungguh perubahan rohani, tidak
sekedar perubahan mekanis atau liturgis belaka. Bagaimana
komitmen Anda untuk berdoa bagi terjadinya perubahan dalam
diri Anda sendiri dan bagi jemaat Anda?
7. Siapa lagi yang bisa bergabung dengan Anda dalam doa syafaat
ini? Tutuplah kebersamaan Anda dengan mendoakan isu-isu ini.
246
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
Bab Empat: Bahaya-Bahaya Sejati
1. Apa saja bahaya nyata yang menurut Anda bisa menjadi alasan
bagus untuk menjadi takut? mengapa?
2. Peran apa yang dimiliki rasa takut dalam pengenalan atau pengalaman Anda tentang Allah?
3. Apa yang dimaksud dalam bab ini dengan “bahaya-bahaya sejati” terkait dengan ibadah? Apa yang membuat bahaya-bahaya
itu nyata?
4. Dalam arti seperti apakah ibadah kepada Allah yang hidup itu berbahaya? Dengan cara bagaimana Alkitab memberi kesaksian tentang kenyataan tersebut? (Apa kaitannya dengan anugerah Allah?)
5. Pengalaman tentang Allah seperti apa yang Anda miliki dan
yang menurut Anda berbahaya (misalnya, menegur atau mengubah Anda, relasi-relasi Anda atau prioritas-prioritas Anda
dengan cara-cara yang menuntut Anda menjadi ciptaan baru di
dalam Kristus)?
6. Pertimbangkan setiap bahaya nyata dalam bab ini satu-persatu
dan ringkaslah prinsi-prinsip apa yang terdapat dalam tiap bahaya
tersebut. Pilihlah satu atau dua di antaranya untuk didiskusikan:
a. Bagaimana Anda melihat (atau gagal melihat) bukti-bukti setiap bahaya nyata itu?
b. Bagian mana saja yang paling relevan dengan hidup Anda?
c. Bagian mana yang paling berdampak pada kehidupan jemaat
Anda? Mengapa?
d. Apa saja yang Anda inginkan untuk lebih utuh lagi terjadi pada
persekutuan Anda dengan Allah atau persekutuan dengan gereja Anda? Bagaimanakah caranya supaya itu bisa terjadi?
7. Dengan cara-cara bagaimana Anda mencoba mencocokkan
(mengecilkan) Allah demi kenyamanan Anda?
8. Bagaimana bisa berkat-berkat yang baik dari persekutuan dengan Allah yang hidup dan berbahaya itu menolong Anda lebih
Penuntun Pemahaman Alkitab
247
bersemangat lagi untuk terlibat dengan hidup yang melakukan
keadilan dan kebenaran?
9. Apa yang bisa menolong Anda bertumbuh dalam visi Anda tentang Allah? Langkah apa yang rela Anda ambil?
Bab Lima: Bangun terhadap Tempat di mana Kita Tinggal
1. Kapan Anda pernah mengalami sebuah kemajuan besar? Perasaan-perasaan apa saja yang dialami selama masa penyesuaian? Mengapa Anda merasa sseperti itu?
2. Menurut Anda apa maksud penulis dengan berkata “Injil itu
mengkontekstualisasi-ulang tempat di mana kita tinggal” (hal….)?
3. Dengan cara bagaimana berada “di dalam Kristus” memberi
kita alamat baru di dalam dunia?
4. Cobalah menulis “alamat” Anda. Kata-kata sifat atau penjelas
apa (alamat rumah, ras, pendidikan, pekerjaan, kekuasaan, dll.)
yang menunjukan pada orang lain dan pada diri Anda sendiri
hal yang paling penting tentang “di mana” Anda tinggal?
5. Sekarang letakkan kata-kata tersebut ke dalam urutan sesuai
prioritas. Jika Anda seorang pengikut Yesus, bagaimana urutan
prioritas ini jika dikaitkan dengan keberadaan Anda saat ini “di
dalam Kristus”?
6. Bagaimanakah tinggal di dalam hidup Allah Tritunggal menciptakan lingkungan yang baru dalam hidup kita?
7. Apakah praktik-praktik ibadah Anda (baik ibadah pribadi maupun bersama) menolong menyadarkan Anda terhadap di mana
Allah sekarang ingin Anda tinggal? Mengapa? Bagaimana itu
mengubah “lingkungan” Anda?
8. Bagaimana Anda bisa pindah dari hidup Anda ke dalam Allah
lebih dalam lagi?
9. Bagaimana hal ini bisa menolong Anda lebih mengenal sesama
dengan lebih baik lagi? Bagaimana hal itu bisa menjadi sebuah
248
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
tindakan ibadah? Langkah apa yang bisa Anda ambil supaya bisa
mengasihi sesama itu seperti mengasihi diri sendiri?
Bab Enam: Melakukan Keadilan Dimulai dengan Istirahat
1. Apa yang Anda lakukan bila ingin istirahat secara maksimal?
Apa yang paling memperbarui Anda?
2. Jika melakukan keadilan itu melibatkan tindakan, bagaimana
dan mengapa melakukan keadilan itu dimulai dengan istirahat?
3. Bagaimana sabat yang Alkitabiah itu berkaitan dengan keadilan?
4. Apa artinya istirahat di dalam Allah bagi Anda? Bagaimana itu
terkait dengan ibadah Anda kepada Allah? Bagaimana itu terkait dengan usaha Anda melakukan keadilan di dalam dunia?
5. Punyakah Anda praktik-praktik sabat dalam hidup Anda? Jika
ya, apa saja itu? Mengapa Anda menganggap praktik-praktik itu
perlu?
6. Apakah praktik-praktik ini melepaskan atau memperbarui hidup ibadah Anda sepanjang minggu? Mengapa?
7. Sebagai pengikut Yesus, apakah Anda hidup dengan mengetahui dan mempraktikkan kebebasan untuk berkata ya dan berkata tidak? Mana yang lebih mudah atau yang lebih sulit bagi
Anda? Mengapa?
8. Bagaimana Anda membutuhkan dorongan untuk mempraktikkan dua kata ini, ya dan tidak?
Bab Tujuh: Ketika Ibadah Menegur Kekuasaan
1. Kapan terakhir kali Anda melihat diri Anda atau orang lain berhadapan dengan suatu bentuk kekuasaan dengan cara mempertanyakan kekuasaan tersebut? Cara-cara apa yang biasanya
dipakai untu melakukan hal itu?
2. Menurut argumen bab ini, bagaimana ibadah mendefinisikan
dan menentang kekuasaan?
Penuntun Pemahaman Alkitab
249
3. Jika “Yesus adalah Tuhan,” bagaimana itu menjelaskan pemahaman orang Kristen tentang kekuasaan di dalam dunia?
4. Cobalah meringkas inti dari masalah-masalah yang terkait dengan kekuasaan di dunia. Jendela apa saja yang Alkitab beri sehingga Anda memahami natur penyalahgunaan kekuasaan dan
ketidakadilan?
5. Bagaimana cara supaya praktik ibadah dapat menolong kita
sebagai pengikut Yesus untuk melihat kekuasaan diterapkan
dalam hidup kita?
6. Ketika Anda melihat dengan teliti daftar elemen-elemen klasik
dari susunan liturgi kebaktian, bagian mana yang paling memberkati Anda?
7. Bagian mana yang paling Anda butuhkan untuk menghadapi
isu-isu kekuasaan dalam hidup dan situasi Anda?
8. Apakah pengalaman ibadah bersama Anda, seperti apa pun
liturginya, menolong Anda memiliki pemahaman yang lebih
Alkitabiah tentang isu-isu kekuasaan di dalam hidup Anda dan
di dalam dunia?
9. Bagaimana Anda bisa mendorong dan mempraktikkannya lebih lagi di dalam hidup Anda sendiri? Di dalam komunitas
iman Anda?
Bab Delapan: Hidup dengan Paradigma Keluaran atau Pembuangan?
1. Kapan terakhir kali Anda “jauh dari rumah”? Bagaimana rasanya?
Apa yang ingin Anda lakukan pada saat-saat seperti itu? Mengapa?
2. Bab ini mempertimbangkan dua musim dalam kehidupan bangsa Israel ketika mereka tidak sedang di rumah: periode mereka di
Mesir pada kitab Keluaran, dan periode mereka di Babel ketika
Allah mengirim Israel ke dalam pembuangan. Dalam terang bab
ini, bagaimana Anda mendefinisikan “kehidupan di Mesir”?
3. Apa pemahaman Perjanjian Baru tentang kebutuhan kita yang
250
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
terus-menerus mengenai penyelamatan–akan sebuah keluaran
–dari apa dan untuk tujuan apa?
4. Bagaimana paradigma keluaran nampak dalam budaya Anda?
5. Bagaimana keluaran muncul dalam pengalaman Anda tentang
gereja? Bagaimana paradigma ini menolong atau menghambat
respons gereja terhadap ketidakadilan?
6. Bagaimana Anda mendefinisikan “kehidupan di pembuangan”?
7. Apa pemahaman Perjanjian Baru tentang kebutuhan kita yang
terus-menerus untuk mengakui bahwa kita “pendatang dan
orang asing”?
8. Bagaimana paradigma pembuangan nampak atau tidak nampak
dalam masyarakat? dalam pengalaman Anda dengan gereja?
9. Tema pembuangan apa yang mendesak Anda untuk mempertimbangkan atau bersikap berbeda terhadap isu-isu keadilan?
10. Bagaimana pengalaman ibadah menolong Anda hidup sebagai
orang buangan yang setia mengikut Yesus? Bagaimana itu menolong Anda dalam mengusahakan keadilan bagi orang lain?
11. Apa yang akan menolong respons Anda terhadap kedewasaan
dan mengekspresikannya lebih lagi?
Bab Sembilan: Sebuah Khayalan tentang Keadilan
1. Hal-hal apa yang paling memancing imajinasi Anda? Mengapa?
2. Sebelum membaca bab ini, bagaimana Anda menjelaskan relasi
antara ibadah, keadilan, dan imajinasi?
3. Menurut bab ini, apa yang membuat imajinasi begitu penting
berkaitan dengan ibadah dan keadilan?
4. Bagaimana pengalaman ibadah Anda memancing imajinasi
Anda bagi Allah atau hal-hal tentang Allah? Mengapa?
5. Bagaimana hal ini berdampak dalam hidup Anda sebagai
seorang murid yang terus mencari dan melakukan keadilan?
Penuntun Pemahaman Alkitab
251
6. Bagaimana imajinasi Anda dipicu oleh ibadah pribadi atau kelompok untuk merespons kebutuhan orang miskin, yang tertindas atau yang butuh pertolongan? Mengapa?
7. Bagaimana hal itu menggusarkan Anda? Seberapa aktif Anda
mengijinkan diri Anda melangkah ke dalam kepedihan dan kebutuhan orang lain?
8. Bagaimana Anda bisa mempertahankan imajinasi Anda bertumbuh untuk Allah dan hati Allah terhadap keadilan?
9. Apa yang akan membantu Anda melakukan hal itu? Bagaimana
praktik-praktik ibadah pribadi, kelompok kecil, atau berjemaat
menolong Anda?
Bab Sepuluh: Hidup yang Terjaga
1. Hidup terjaga terhadap Allah dan terhadap dunia bisa terdengar seperti panggilan Allah, tapi kita semua tergoda untuk
tetap tertidur terhadap perjumpapan-perjumpaan dengan hidup yang penuh tantangan semacam itu. Mengapa Anda tetap
tergoda untuk “tidur” bukannya sadar sepenuhnya dan terlibat
dalam ibadah yang melakukan keadilan?
2. Bab ini menawarkan serangkaian pilihan: pilihan untuk menghidupi ibadah kita, untuk melihat, untuk terlibat, dan pilihan
untuk mengasihi. Apa maksud masing-masing pilihan itu? Bagian mana saja yang sudah Anda pahami dan Anda coba menghidupinya? Bagian mana saja yang belum Anda lakukan?
3. Pilihan-pilihan mana yang orang lain berkata bahwa mereka
telah melihat Anda menghidupinya? Bagaimana Anda menghidupi pilihan itu?
4. Jika Anda harus menggambarkan setahun ke depan bagaimana
Anda telah hidup terjaga bagi Allah dan bagi keprihatinan Allah
atas ibadah yang melakukan keadilan, apa yang ingin bisa Anda
ceritakan atau tunjukkan?
252
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
5. Apa yang diperlukan supaya hal-hal tersebut bisa benar-benar
terjadi?
6. Siapa yang akan Anda ajak bergabung dalam membuat perubahan-perubahan ini?
7. Bagaimana supaya orang lain bisa bersama Anda mendoakan
hal-hal ini dan bagaimana Anda bisa melakukan hal yang sama
untuk mereka?
8. Latihan menyimpulkan: atur alarm pada jam Anda atau buatlah sebuah janji pertemuan dalam buku agenda harian Anda
selama setahun ke depan dan rencanakanlah untuk bertemu
dengan beberapa teman untuk melihat bagaimana hidup Anda
telah terjaga saat itu.
Segalanya harus dipertaruhkan. Ini sangat penting. Beribadahlah
dengan cara hidup Anda.
CATATAN KAKI
Bab 1: Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah?
1
Sekretaris Jendral PBB, The Millennium Project.
2
Menurut data The State of the World’s Children 2006: Excluded and Invisible (New York: Unicef, 2005), hal. 50, 1.2 juta anak diperdagangkan
dalam seks internasional tiap tahun.
Bab 2: Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah
1
Hukum itu menetapkan sabat dan tahun yobel (Imamat 25) sebagai
cara pembatasan terhadap hal-hal yang bila dibiarkan akan membawa
(dan telah membawa) generasi demi generasi ke dalam kemiskinan dan
penderitaan.
Bab 3: Bahaya-Bahaya Palsu
Lihat khususnya kitab Imamat
2
“Christian ‘Idol’ Show Set for Trinity,” Billboard, 18 Juni 2004.
1
Bab 4: Bahaya-Bahaya Sejati
John Calvin, Institutes of the Christian Religion 1.13.1.
2
Annie Dillard, Teaching a Stone to Talk: Expeditions and Encounters
(New York: Harper Collins, 1982), hal. 40.
1
Bab 5: Bangun terhadap Tempat di mana Kita Tinggal
Paul Willis, “Children Scapegoated as Witches in Fallout from Congo’s
Civil War,” The San Francisco Chronicle, 9 Juli 2006.
2
C. S. Lewis, The Weight of Glory (New York: Harper Collins, 1949), hal. 9.
1
Bab 6: Melakukan Keadilan Dimulai dengan Istirahat
Bunda Teresa dari Kalkuta, A Gift for God: Prayers and Meditations
1
254
B A H A YA I B A D A H S E J A T I
(New York: Harper and Row, 1975), hal. 40.
Bab 7: Ketika Ibadah Menegur Kekuasaan
1
Richard Re, “A Persisting Evil: The Global Problem of Slavery,” Harvard
International Review, musim dingin 2002.
2
Joint Monitoring Programme for Water Supply and Sanitation (WHO dan
UNICEF), Millennium Development Goals Assessment Report, 2006.
3
“Life Expectancy,” Global Burden of Disease and Risk Factors (WHO), 2002.
4
“With Pension System a Mess, China Calls Cato,” The Washington Post,
21 Augustus 2001.
Bab 8: Hidup dengan Paradigma Keluaran atau Pembuangan?
Istilah ini mengacu pada apa yang sering disebut dengan Dunia Ketiga.
Istilah “dunia mayoritas” mencerminkan bahwa kita mengacu pada
mayoritas populasi dunia, yang hidup dalam kemiskinan yang parah
dan sangat membutuhkan pertolongan. Yang terpinggirkan sesungguhnya adalah kelompok mayoritas.
1
Bab 9: Sebuah Khayalan tentang Keadilan
Lihat website of International Justice Mission (ijm.org) untuk melihat
banyak bahan berharga yang disediakan IJM untuk PA dan refleksi
pribadi, kelompok kecil tentang pandangan dan tindakan Kristen terhadap keadilan.
2
Lagi, bahan-bahan kreatif dari IJM (ijm.org) bisa sangat menolong
dalam merangsang imajinasi kita bagi keadilan.
3
The Heidelberg Catechism, respons terhadap pertanyaan no. 1.
1
Bab 10: Hidup yang Terjaga
Bunda Teresa dari Kalkuta, A Gift for God: Prayers and Meditations
(New York: Harper and Row, 1975), hal. 40.
2
Blaise Pascal, Pensées, Pensee #919, di Christianity for Modern Pagans:
Pascal’sPensées, ed. Peter Kreeft (San Francisco: Ignatius Press,1992), hal. 330.
1
The Radical Disciple
(Murid yang Radikal)
Beberapa Aspek yang Sering Diabaikan Orang Kristen
John Stott
Apa artinya mengikut Yesus?
Melalui buku Murid yang Radikal,
John Stott menyampaikan pesan
perpisahan di akhir pelayanannya ke
gereja-gereja di seluruh dunia yang
pernah mengenal teladannya. Dia
membukakan bagi kita, sampai ke
akar-akarnya, apa artinya mengikut
Yesus, melalui eksplorasi 8 ASPEK
PENTING yang sering diabaikan
oleh orang-orang Kristen.
Mengikut Yesus berarti membiarkan
Dia mengarahkan agenda hidup kita.
Kita tidak boleh menetapkan batasanbatasan ke-Tuhanan-Nya atau menghindarkan diri dari harga yang harus dibayar karena komitmen kita.
Dia memanggil. Kita mengikut-Nya.
Buku Terakhir & Perpisahan
Seorang Raksasa Iman Abad ke-20
Info lengkapnya kunjungi: www.perkantasjatim.org
Literatur Perkantas Jawa Timur
Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292
Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639
E-mail: [email protected], www.perkantasjatim.org
Skandal Hati Nurani Kaum Injili
Mengapa Hidup Orang-Orang Kristen
Ronald J. Sider
2006 Christianity Book Award Winner
Pada dasarnya buku ini merupakan tangisan
penulis dari buku ini terhadap kondisi kekristenan Injili di Amerika Serikat. Kekristenan
Injili mengklaim dirinya sebagai aliran kekristenan yang setia mengajarkan pemahaman
doktrin Firman Tuhan yang sejati, ironisnya,
hidup orang-orang Kristen Injili tidak ada
bedanya dengan hidup orang-orang dunia.
Dalam analisisnya, Sider menemukan bahwa selain alasan praktis, alasan teologis juga turut berperan menciptakan kesenjangan antara
idealisme Injili dengan perilakunya. Menurutnya orang-orang Kristen sekarang ini sudah
mereduksi makna keselamatan sekadar persoalan terlepas dari hukuman neraka, mendapat
hidup kekal, menganggap bahwa sebuah pribadi manusia sekadar terdiri dari
jiwa saja. Selain itu, ia juga melihat bahwa arti keselamatan begitu disempitkan sekadar mengucapkan seperangkat kalimat syahadat Kristen, meskipun
tanpa pemahaman dan otomatis memperoleh asuransi keselamatan jiwa kekal.
Melalui buku ini Sider menghadirkan analisis menawarkan konsep-konsep Alkitabiah yang diharapkan dapat mengubah pola pikir orang-orang
Kristen sesuai dengan firman Tuhan dan berharap budaya Kristen di Indonesia tidak dengan mudah meniru budaya kekristenan Amerika.
Literatur Perkantas Jawa Timur
Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292
Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639
E-mail: [email protected], www.perkantasjatim.org
Download