Pujian untuk BAHAYA IBADAH SEJATI “Buku yang penting. Mark Labberton menawarkan pengingat yang memurnikan bahwa ibadah bukanlah tentang kesejahteraan kita melainkan kesejahteraan dunia. Saya tidak dapat membayangkan pemimpin pujian atau jemaat manapun, tetap memandang ibadah dengan cara yang sama setelah membaca buku ini.” Tim Stafford, penulis senior Christianity Today, dan penulis buku Surprised by Jesus “Ini adalah eksplorasi Alkitabiah, utuh, penuh gairah dan mengandung suara kenabian tentang hubungan antara ibadah yang sesungguhnya dan panggilan Allah untuk melakukan keadilan, memberi dasar pijakan baru bagi panggilan yang sangat dibutuhkan gerejagereja Amerika. Dengan kritik yang mencerahkan dan contoh praktis, buku ini mendorong orang kristen untuk bergerak melampaui perdebatan dalam peperangan konsep ibadah yang seringkali terasa basi dan mencari rasa aman menuju sebuah penemuan kembali akan ibadah yang berpusat pada Allah yang mengubah hidup dan mengubah dunia. Saya sangat menyarankan Anda membaca buku ini.” Rev. Dr. Roberta Hestenes, pendeta pengajar, Gereja Community Presbyterian, California, dan mantan penasehat umum World Vision “Dalam buku Bahaya Ibadah Sejati: Menghidupi Panggilan Allah untuk Menegakkan Keadilan ini, Mark Labberton menyajikan argumen yang meyakinkan tentang kaitan antara orang yang beribadah dan keadilan. Mark mengemasnya dengan banyak contoh hidup para penyembah Allah yang mengusahakan keadilan di dunia ini. Gereja di Amerika Utara harus mampu menangkap kerinduan hati Mark (dan hati Allah) untuk membagikan belas kasihan yang telah kita terima dengan limpah kepada kaum yang terpinggirkan dalam dunia ini, baik di tempat yang dekat maupun jauh.” Andi Park, penulis lagu dan pengarang buku You Know More “Mark Labberton menulis dengan suara kenabian dan hati seorang gembala. Panggilannya tentang keadilan membangun jembatan antara ibadah bersama di hari Minggu dan ibadah pribadi di semua aspek hidup. Tentang injil yang murni terletak pada konteks buku yang muncul dari kegelisahan yang kudus, dan membuat buku ini berbeda dari banyak buku lain yang hanya mengusung isu keadilan. Hasilnya adalah sebuah buku yang memanggil kita melakukan pelayanan yang penuh ketaatan bukan berdasarkan rasa takut atau rasa bersalah, melainkan berdasarkan rasa syukur yang dalam atas anugrah Allah yang melimpah.” John D. Witvliet, direktur, Calvin Institute of Chrsitian Worship “Mengapa gereja-gereja berdebat tentang hal-hal sepele dan mengabaikan isu besar tentang keadilan dan belas kasihan? Dalam buku ini Mark Labberton tidak hanya menolong kita mengajukan pertanyaan ini, tetapi dia juga secara menyeluruh dan menantang kita menggali sumber daya untuk melakukan sesuatu tentang masalah ini. Buku ini penting untuk membangunkan gereja-gereja dari “tidur mereka yang makin lelap” untuk menghidupi injil yang mereka proklamasikan sehingga dengan demikian gereja-gereja mampu mengubah keadaan dunia.” Marva Dawn, pengarang Reaching Out Without Dumbing Down dan Unfettered Hope: A Call to Faithful Living in An Affluent Culture, dan pengajar mata kuliah Spiritual Theology, Regent College, Vancouver “Kita membutuhkan buku ini! Mark Labberton menawarkan wawasan yang mendalam dan bimbingan untuk semua kita yang sangat peduli –atau setidaknya yang seharusnya sangat peduli–tentang bagaimana menegakkan keadilan di dalam dunia yang menderita ini. Dia benar: mengintegrasikan ibadah dan keadilan merupakan hal yang berbahaya. Tapi mengingat karakter Allah yang kita sembah, ibadah semacam ini satu-satunya jenis tindakan yang aman.” Richard J. Mouw, presiden dan profesor, Fuller Theological Seminary “Sangat berbahaya! Seperti yang dikemukakan Mark Labberton, bahwa tidak hanya ibadah sejati yang berbahaya, tetapi buku ini juga berbahaya. Buku ini menggoyang kelesuan kita. Memanggil kita pada pemikiran radikal tentang hidup pemuridan. Buku ini mendorong kita menerobos batasan-batasan teologis maupun batasan-batasan dunia. Ini adalah salah satu buku yang paling menantang di antara buku-buku yang saya baca selama bertahun-tahun.” Stephen A. Hayner, profesor bidang Penginjilan dan Pertumbuhan Gereja, Columbia Theological Seminary “Ini bukan sekedar buku lain yang membahas tema ibadah. Atau keadilan. Ini sebuah panggilan mendesak untuk bangun dan melakukan penemuan mengenai segala sesuatu yang telah tersesat kecuali bila kita kembali melakukan ibadah dan keadilan bersama-sama.” M. Craig Barnes, profesor bidang Pelayanan Pastoral, Pittsburgh Seminary, juga pengarang Yearning dan When God Interrupts “Bagi kita yang terlena dengan ibadah populer yang dipahami secara sempit, Mark Labberton menantang kita untuk bangun dan melihat bahwa ibadah tidak boleh dipahami secara sempit. Ibadah harus menjadi bagian dari bangunan iman kita, terhubung dengan isu yang lebih besar seperti keadilan dan kemiskinan. Meski ia tidak tergoda memasuki perdebatan soal isu-isu sekunder tentang gaya dan pilihan pribadi, kata-kata Mark menyediakan latar belakang Alkitabiah yang pada akhirnya menempatkan isu-isu tersebut pada fokus yang tepat.” Michael Card, pemain musik, penulis lagu, dan pengarang Luke: The Gospel of Amazement dan Better Freedom “Sedikit saja topik yang membangkitkan emosi dan semangat dalam gereja sebagai tempat keadilan dan ibadah. Mark berani membahas keduanya, dan membahasnya dengan sangat baik. Bukan seorang kritikus gereja–berdiri tegak dengan tangan menuding–bukan pula seorang penghibur–berdiri sejajar sambil merangkul–Mark lebih berperan sebagai seorang gembala yang memiliki suara kenabian. Dengan penuh belas kasihan ia mengungkap kehendak Allah dan mengundang kita untuk berjalan bersama dalam jalan Kerajaan Allah. Buku ini membuat kita tidak nyaman. Dan seharusnya memang begitu. Mark memulihkan visi kita akan panggilan mula-mula Allah pada gereja untuk melakukan keadilan, mencintai belas kasihan dan hidup dengan rendah hati. Buku ini membuka jendela sehingga Roh Allah menghembuskan kuasa dan sukacita yang segar ke dalam hidup kita. Ibadah tidak akan menjadi tindakan pemisahan diri dari dunia seminggu sekali, karena Mark menuntun kita ke dalam pemahaman ibadah sebagai keterlibatan setiap hari dengan dunia, keterlibatan yang mengubahkan.” Tim Dearborn, wakil direktur bidang Pengembangan dan Komitmen/ Iman Kristen, World Vision International “Sebuah bunyi lonceng, panggilan kenabian akan ibadah yang Alkitabiah, yang merevolusi cara kita hidup di dunia.” Ronald J. Sider, presiden, Evangelicals for Social Action dan pengarang Skandal Hati Nurani Kaum Injili (diterbitkan Literatur Perkantas Jatim, 2007) “Mark Labberton menggunakan cara terbaik untuk membuat saya tidak nyaman: tidak nyaman dengan kehidupan kecil saya, mimpi kecil saya, dan Allah saya yang kecil. Namun di tengah ketidaknyamanan suci ini, ia membangkitkan harapan, yang memungkinkan membawa kita kembali kepada kehidupan nyata dan penyembahan yang sebenarnya, di mana kita diciptakan untuk tujuan tersebut. “ Andy Crouch, editor, Christianity Today dan pengarang Culture Making (Menciptakan Budaya, diterbitkan Literatur Perkantas Jatim, 2011) BAHAYA IBADAH SEJATI Sebuah Panggilan Memerangi Ketidakadilan Mark Labberton LITERATUR PERKANTAS JAWA TIMUR B ahaya I badah S ejati Sebuah Panggilan Memerangi Ketidakadilan oleh Mark Labberton Originally published by InterVarsity Press as The Dangerous Act of Worship by Mark Labberton Copyright © 2007 by Mark Labberton Translated and printed by permission of InterVarsity Press P.O. Box 1400, Downers Grove, IL 60515-1426, USA Alih Bahasa: Iwan C.Wibowo Editor: Milhan K. Santoso, Nancy P. Poyoh Penata Letak: Milhan K. Santoso Desain Sampul: Meliana S. Dewi, Erine Verdiana Hak cipta terjemahan Indonesia: Literatur Perkantas Jawa Timur Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Telp. (031) 8413047, 8435582; Faks. (031) 8418639 E-mail: [email protected] www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jatim adalah sebuah divisi pelayanan literatur di bawah naungan Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) Jawa Timur. Perkantas Jawa Timur adalah sebuah kegerakan yang melayani siswa, mahasiswa, dan alumni di sekolah dan universitas di Jawa Timur. Perkantas Jatim adalah bagian dari Perkantas Indonesia. Perkantas sendiri adalah anggota dari pergerakan International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan yang ada secara lokal maupun regional di Jawa Timur dapat menghubungi melalui e-mail: [email protected], atau mengunjungi Website Perkantas Jatim di www.perkantasjatim.org Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN: 978-979-1338-31-8 Cetakan Pertama: Maret 2011 Hak cipta di tangan penerbit. Seluruh atau sebagian dari isi buku ini tidak boleh diperbanyak, disimpan dalam bentuk yang dapat dikutip, atau ditransmisi dalam bentuk apa pun seperti elektronik, mekanik, fotokopi, rekaman, dlsb. tanpa izin dari penerbit. DA F TA R I S I Kata Pengantar oleh John Ortberg Ucapan Terima Kasih 1 9 13 Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah 17 2 Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah 27 3 Bahaya-Bahaya Palsu 51 4 Bahaya-Bahaya Sejati 77 5 Bangun terhadap Tempat di mana Kita Tinggal 99 6 Melakukan Keadilan Dimulai dengan Istirahat 121 7 Ketika Ibadah Menegur Kekuasaan 139 8 Hidup dengan Paradigma Keluaran atau Pembuangan? 169 9 Sebuah Khayalan tentang Keadilan 189 10 Hidup yang Terjaga 215 Epilog 241 Penuntun Pemahaman Alkitab 243 Catatan Kaki 253 KATA PENGANTAR T ak seorang pun setelah mendengar peringatan Yesus yang menyerang kemunafikan agamawi mendekati Dia sambil geleng-geleng kepala dan berkata, “Terima-kasih Guru. Itu percakapan yang bagus.” Tak seorang pun mendekati Musa setelah petir, guruh, cahaya berkilauan, dan bunyi terompet yang terdengar keras di kaki Gunung Sinai dan berkata, “Mengapa sekarang kita menggunakan terompet? Apa yang terjadi pada Miriam dan juga lagu yang diiringi musik tamborin yang kita nyanyikan saat menyeberangi Laut Merah itu? Saya suka lagu itu–segar, penuh semangat. Petir dan bunyi-bunyian terompet ini terlalu berat.” Tak seorang pun mendekati Salomo setelah tabut perjanjian dibawa ke Bait Allah yang sedang dinaungi awan kemuliaan dan berkata, “Kamu tahu, awan kemuliaan ini menghalangi para imam menyelesaikan tugasnya. Tidak ada yang memberitahu kami jika ternyata kami turut mengumpulkan dana untuk pembangunan bait Allah yang baru yang ternyata melibatkan kabut atau awan.” Setidaknya, sejauh yang kita baca di Alkitab, tak seorang pun memberikan komentar. Sebaliknya, natur manusia kita seringkali ingin sekali mengetahui lebih banyak detail tentang respons-respons bodoh terhadap ibadah di zaman dahulu. Tentu ada beberapa catatan Alkitab yang memberi detail seperti itu. Ada yang menyebut skandal anak lembu emas sebagai contoh. Di bagian lain, istri Daud merasa 10 B A H A YA I B A D A H S E J A T I suaminya sedikit agak bergaya pantekosta ketika menari-nari dalam ibadah itu. Tetapi kesan umum yang nampak dalam tulisan Kitab Suci adalah ketika Allah muncul, orang merasa tertegur, terpukul. Mereka tersungkur ke tanah, mereka menyembunyikan wajah, mereka bercahaya seperti bola lampu, mereka memohon belas kasihan: “Pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” Mereka “berdiri jauhjauh dan berkata kepada Musa, “Kamu saja yang berbicara kepada kami dan kami akan mendengar, tapi jangan biarkan Allah berbicara kepada kami, nanti kami mati.’” Kesan ibadah seperti inilah yang ingin diperhadapkan Mark Labberton pada kita. Ibadah yang seringkali menghasilkan respons ketakutan, rasa kewalahan, rasa tergerak, dan kadang sangat gembira, terhadap Pribadi yang sangat berpengaruh itu. Ia ingin kita berpikir tentang ibadah bukan sebagai sebuah kebaktian yang secara berkala kita hadiri melainkan sebagai pengakuan yang mengubah hidup bahwa Seseorang telah hadir dan mengubah aturan main yang menurut masyarakat kita mengatur keberadaan manusia. Ibadah, menurutnya, harus menjadi cara baru dalam memandang dan merasakan sehingga terjadi penetapan kembali batasan-batasan, menyambung kembali hubungan-hubungan dan memetakan ulang cara kita mengatur diri kita sendiri. Ibadah seperti ini mengubah cara kita menentukan siapa yang patut diperhitungkan dan siapa yang tidak. Di zaman kita istilah “perang ibadah” menjadi hal yang biasa bagi gereja-gereja tertentu, meski tentu saja ada makna konotatif di balik istilah itu. Ada banyak pandangan tentang peperangan itu dan ada banyak pertanyaan yang terus muncul tentang berbagai aspek gaya ibadah, khususnya seputar musik dan puji-pujian. Saya tidak menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak penting. Profesor dari Yale Nicholas Wolterstorff pernah berkata bahwa setiap kelompok bangsa, setiap generasi, harus bisa mengekspresikan naluri ibadahnya dengan gaya masing-masing, gaya yang bisa menunjukkan ke- Kata Pengantar 11 dalaman jiwa. Dan seraya budaya (atau percampuran budaya) kita terus berubah, semua pertanyaan itu terbukti bukan isu yang bisa dianggap gereja akan segera berlalu. Tetapi Mark Labberton ingin kita memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Karena seandainya pun ada sebuah era di mana setiap orang dalam dunia kekristenan sama-sama menyanyikan lagu Gregorian, itu tidak berarti bahwa tantangan ibadah yang paling besar telah dibereskan. Mark ingin kita memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan yang banyak muncul soal ibadah adalah, bisa dikatakan, telah tertutupi oleh diskusi-diskusi tentang gaya ibadah atau sistem penyajian ibadah. Jadi buku ini merupakan sebuah bel dari menara peringatan. Buku ini adalah sebuah panggilan untuk mempertimbangkan bagaimana kita–tidak hanya orang yang datang ke gereja kita tetapi juga kita yang memimpin mereka–bisa mendengar apa yang dikatakan Roh Kudus di zaman kita. Ini sebuah jam alarm yang memberitahu kita bahwa matahari sudah terbit: “Bangun, wahai para penidur, bangunlah dari kematian, dan Kristus akan bercahaya atasmu.” Dan ibadah adalah sesuatu yang terjadi ketika orang terbangun. Tetapi ibadah tidak boleh menjadi serangkaian tindak komunal liturgis yang menutup diri. Ia harus melekat pada sebuah hari yang penuh aktivitas. Nabi Mikha berkata pada zaman dulu bahwa peraturan ilahi bagi hidup manusia tidaklah rumit: Lakukan keadilan, cintailah belas kasihan, dan hiduplah dengan rendah hati di hadapan Allahmu. Ibadah adalah gaya hidup yang rendah hati. Ia adalah tindakan menekuk lutut, rahang yang terkatup mengakui betapa lebarnya jarak antara ciptaan dan Pencipta, antara yang terbatas dan yang Tak terbatas, antara pendosa dan yang Maha Suci. Ibadah adalah sesuatu yang mengoyakkan hati, suka cita dan syukur yang memulihkan roh orang-orang yang telah mencicipi keajaiban yang katakata seperti penebusan hanya bisa sebatas menggambarkannya saja. Tetapi jika terpisah dari tindakan melakukan keadilan dan men- 12 B A H A YA I B A D A H S E J A T I cintai belas kasihan, ibadah menjadi tak lebih dari sekedar ungkapan “terima kasih” seorang anak kecil, jika disertai sebuah sikap egois yang tidak rela membagikan sesuatu yang disyukurinya. Menegaskan kembali apa yang dikatakan Gloria Steinem, sebuah hasrat untuk beribadah yang muncul bersama dengan sebuah pengabaian terhadap keadilan itu seperti seekor ikan yang naik sepeda. Maka, cukuplah pendahuluan ini. Mark menulis buku ini tak hanya dengan kasih yang penuh kebijaksanaan tetapi juga dengan hikmat seorang praktisi. Sesungguhnya dia selalu menolong orang yang terlibat dalam ibadah. Dia adalah seorang penuntun yang bijak. Bacalah bukunya dan Anda akan berubah. John Ortberg Pendeta Pengajar, Gereja Menlo Park Presbyterian UCAPAN TERIMA KASIH S eperti halnya hidup saya, hadirnya buku ini hanya dimungkinkan oleh anugerah Allah dan kasih dari keluarga dan para sahabat. Pertama-tama dan terutama, saya ingin berterima kasih kepada wanita luar biasa, yakni istri saya, Janet, atas kasih dan dukungannya yang tak ternilai, juga kepada kedua putra kami, Peter dan Sam, atas kesabaran dan dorongan mereka. Orang tua saya, Wells dan Jane merupakan saksi-saksi yang lebih baik dari saya tentang hati Allah, dan saya sungguh berterima kasih kepada mereka, demikian pula kepada saudara saya, Kurt, yang senantiasa menjadi salah satu mentor dan sahabat terbaik saya. Steve Hayner dan Tim Dearborn juga telah menjadi guru dan sahabat yang memulihkan dan memacu pertumbuhan saya; persahabatan tiga serangkai kami sama sekali bukan anugerah yang biasabiasa saja, kami tahu itu. Gary Haugen punya tempat istimewa di hati saya karena kelembutan, dorongan dan harapannya. Hati dan visi global John Stott merefleksikan Injil kepada saya dengan cara yang sangat mendalam dan membebaskan. Bagi pemimpin Kristen yang sesignifikan beliau, makin mengenal dan makin tertarik dengan beliau saja sudah merupakan bukti anugerah Allah buat saya. Saya sangat bersyukur buat keteladanan beliau, pengajaran, dan persahabatan, yang dengan tulus saya wujudkan dalam tema bab-bab buku ini. Umpan balik yang jujur dalam proses penulisan merupakan hal 14 B A H A YA I B A D A H S E J A T I yang sangat berharga. Selain umpan balik dari Janet, Kurt, Steve, Tim dan Gary, saya juga berterima kasih kepada Tom Boyce, Joyce French, Mary Graves, Thomas Kelley, Rick Mayes, Richard Mouw, Zac Niringiye, Tim Stafford, dan Joel Wickre. Kemurahan hati dan bantuan Michael Barram yang luar biasa sungguh sangat berarti. Tentu saja, semua kelemahan dan kekurangan dari hasil akhir buku ini merupakan tanggung jawab saya. Persahabatan yang baik juga telah menjadi faktor yang sangat memengaruhi saya dalam meluaskan beban hati saya terhadap dunia ini. Saya merasa berhutang budi terutama kepada Marc Nikkel, yang dalam hidup dan matinya telah mengarahkan saya, dan banyak Dinka di Sudan, untuk terlibat lebih dalam dengan Allah dan dengan dunia. Saya juga berhutang kepada beberapa orang ini: Dave Anderson, Craig Barnes, Marta Bennett, Assayehen Berhe, Paul Bryant, Andy Crouch, Phillippe Daniel, Brian Morris, Gladys dan Gershon Mwiti, Ng Kam Weng, Tim Teusink, Vinoth Ramachandra, dan Amy Sherman. Karena ini adalah buku pertama saya, para editor IVP harus bersabar terhadap proses belajar yang harus saya lewati. Saya berterima kasih untuk kerja keras dari staf InterVarsity Press dan, terkhusus, buat Al Hsu. Gereja First Presbyterian Berkeley telah menjadi Gereja induk saya selama dua puluh lima tahun terakhir ini. Saya dan Janet merupakan generasi keempat (dalam keluarga Janet) yang berjumpa dan menikah di gereja ini. Jika kasih “menanggung segala sesuatu, percaya segala sesuatu, dan berharap pada segala sesuatu” maka komunitas gereja ini telah mendemonstrasikan dengan sungguh-sungguh kasih yang demikian kepada saya selama tahun-tahun tersebut. Sokongan dan dukungan dari jemaat, dan dari para penatua dan para staf sangat berarti, melampaui apa yang dapat saya katakan. Barbara Allen, Michael Brooks, Tim Buscheck, Bob Russell, Aileen Schier dan Ruth Traylor telah menjadi penyokong-penyokong yang sangat penting. Saya ingin berterima kasih secara khusus kepada Ucapan Terima Kasih 15 rekan-rekan tim hamba Tuhan yang sangat berharga di gereja saya: Mary Ellen Azada, Erik Hanson, Josh McPaul, Tim Shaw, dan Debbie Whaley. Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada Julie Sept, yang merupakan rekan staf yang sangat kompeten dan saleh, yang membuat proses menulis menjadi mungkin bagi saya, dan Patti Nicolson yang, bersama-sama dengan Yesus Kristus, “menanggung segala sesuatu bersama.” A pa yang D ipertaruhkan dalam I badah? S emuanya. Itulah yang dipertaruhkan dalam ibadah. Pesan Alkitab yang mendesak dan mengusik, itulah yang dipertaruhkan dalam ibadah. Ibadah menyatakan hal yang terpenting: manusia dicipta untuk memancarkan kemuliaan Allah dengan mewujudnyatakan sifat Allah dalam hidup yang mengusahakan kebenaran dan melakukan keadilan. Pengertian ibadah yang komprehensif ini mendefinisikan ulang semua hal yang kita anggap biasa selama ini. Ibadah berubah menjadi tindakan berbahaya ketika seseorang bangkit bagi Allah dan bagi maksud-maksud Allah dalam dunia ini, dan menghidupi kehidupan yang sungguh mempraktikkannya. Ibadah juga mengacu pada sesuatu yang amat besar dan amat kecil–kebanyakan berada di antara keduanya. Ibadah bisa menunjuk pada makna dan karya seluruh tatanan ciptaan. Ibadah pun ada dalam tangisan seorang ibu atau sukacita seorang petobat baru. Ibadah bisa berarti persekutuan umat Allah di hari Minggu, tapi ibadah juga termasuk cara kita memperlakukan orang-orang di sekeliling kita, cara kita menggunakan uang, dan kepedulian kita pada mereka yang terhilang dan tertindas. Ibadah mencakup setiap dimensi hidup kita. Ibadah yang benar mencakup kemuliaan dan hormat bagi Allah 18 B A H A YA I B A D A H S E J A T I Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ia juga mencakup penerapan kasih dan keadilan, kebaikan dan belas kasihan Allah dalam dunia. Inilah suatu perjumpaan dan perubahan yang amat bernilai, layaknya mutiara yang sangat mahal harganya, baik bagi kita maupun sesama kita. Di satu sisi, Alkitab menunjukkan bahwa ibadah dimaksudkan untuk menjadi pewujudnyataan kehendak Allah dalam dunia. Di sisi lain, Alkitab juga mengajarkan bahwa realitas penindasan, kemiskinan, dan ketidakadilan merupakan panggilan ibadah kita sekaligus bukti kegagalan kita dalam beribadah. Jelas di sini kita tidak sedang membahas ibadah dalam arti yang sempit, yakni tata laksana ibadah, meski tentu hal itu nanti akan kita pikirkan juga. Kita juga tidak sedang membicarakan bagian yang lebih kecil dari ibadah tersebut, yakni waktu puji-pujian yang diperpanjang (di luar doa dan khotbah), beberapa pihak menyebutnya worship (penyembahan). Ini bukan buku tentang ibadah era postmodern versus era modern. Kami tidak membahas pro dan kontra lagu-lagu kontemporer dan lagu-lagu himne, atau pun perdebatan liturgis tentang penting tidaknya lilin, klip video, boleh tidaknya cafe untuk ibadah, atau penataan lampu khusus dalam ibadah. Isuisu tersebut bukanlah fokus buku ini, meskipun itulah yang sering dipandang penting ketika orang berpikir tentang ibadah. Mengubah pandangan-pandangan seperti inilah salah satu tujuan buku ini. Ketika ibadah merupakan respons kita terhadap Yesus Kristus, yaitu Dia, satu-satunya yang layak menerima ibadah kita—maka hidup kita berada pada jalur terjadinya perubahan dari dalam keluar. Setiap dimensi dari gaya hidup egoistik akan menjadi ancaman ketika kita ingin memberlakukan hati yang mau berkorban seperti Allah. Ibadah memperhadapkan kepuasan kita secara budaya dan rohani dengan dunia yang sarat penderitaan dan ketidakadilan. Dalam Yesus Kristus, kita dipanggil pada suatu cara hidup yang baru. Melalui anugerah beribadah, Allah menghadirkan penawar yang dibutuhkan untuk menetralkan racun keegoisan, yang kita anggap sangat manusiawi. Ibadah membuat kita bebas dari diri Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah? 19 sendiri untuk diarahkan bagi Allah dan tujuan-tujuan-Nya di dunia. Tindakan beribadah yang berbahaya kepada Allah dalam Yesus Kristus selalu membawa kita ke dalam hati Allah dan mengutus kita keluar untuk mewujudnyatakan hati Allah, terutama kepada kaum miskin, orang-orang yang terabaikan, dan yang tertindas. Inilah semua hal yang paling penting, sekaligus yang paling dipertaruhkan dalam ibadah. Lalu apa masalahnya? Masalahnya adalah: Gereja sedang tertidur. Tidak mati. Bukan sedang kesulitan bernafas, tapi Gereja sedang terlelap. Hal ini membuat semua yang penting dipertaruhkan, yaitu: tujuan Allah dalam Gereja dan dunia. Entah itu diri saya sendiri, atau jemaat-jemaat yang pernah saya gembalakan, atau Gereja lain di seluruh pelosok negeri bahkan di seluruh dunia, tampaknya banyak dari antara kita yang tertidur terhadap hati Allah bagi dunia yang penuh dengan ketidakadilan ini. Tak heran kita juga tampak tertidur terhadap kerinduan Allah bahwa dari ibadah kita seharusnya keluar sebuah Gereja yang mencari dan mewujudnyatakan keadilan yang dibutuhkan dunia. Kita tertidur terhadap hati Allah yang tertuju pada kaum miskin dan tertindas. Kita asyik dengan pergumulan batin kita sendiri, berkutat dengan mimpi-mimpi dan trauma yang terasa nyata bagi kita, namun tidak dikenali, tidak tampak dan kebanyakan tidak nyata bagi dunia di sekeliling kita. Saya memberikan pengamatan ini pertama-tama sebagai sebuah pengakuan pribadi. Keterlelapan kadang juga menjadi bagian dari hati dan visi saya terhadap dunia. Sibuk dengan persoalan hidup, dipadati kegiatan pelayanan, asyik dengan hal-hal yang bersifat pribadi, sempit dan mendesak–mudah sekali bagi saya untuk merasa tidak sanggup melakukan hal lain yang seharusnya saya lakukan. Akibatnya, kesadaran untuk berusaha terlibat dalam hal-hal di luar aspek hidup tersebut bisa dengan mudah saya abaikan. Tertipu oleh hati saya sendiri, saya bisa merasa sangat puas dengan gelembung kehidupan kelas menengah Amerika. Terlepas dari kehadiran dan 20 B A H A YA I B A D A H S E J A T I kuasa Injil itu sendiri, sedikit dari dunia saya yang akan sungguhsungguh menuntut atau mengharapkan saya melihat melampaui hal itu. Pada saat pemikiran saya jelas, saya sadar ini adalah sejenis tidur sambil berjalan (sleeping-walking). Saya menulis sebagai orang yang baru saja terbangun, namun sangat menginginkan orang lain bergabung dan meniru orang lain yang sudah benar-benar terjaga. Di luar pengakuan pribadi saya di atas, pengamatan saya terhadap orang Kristen dan gereja-gereja, serta tidak adanya bukti kuat yang membuktikan fakta sebaliknya, telah meyakinkan saya bahwa gereja pada umumnya memang sedang tertidur–bahkan meski tampaknya tidak demikian. Sebagai contoh, belum lama ini saya hadir dalam sebuah gereja yang luar biasa: semangat, penuh hikmat, berkomitmen, aktivitasnya padat, dan kreatif. Ibadah yang saya ikuti saat itu adalah program hari pertama dari rangkaian program Sekolah Alkitab Liburan (SAL) yang sangat hebat dan penuh tari-tarian. Di tengah gerakan tarian berputar itu saya melihat anak-anak berseragam kaos kuning menari dan mengikuti irama musik band. Wajah anak-anak itu juga ditampilkan pada dua layar proyektor yang besar. Tiba-tiba saya merasa ratusan anak-anak ini sedang ditidurkan secara rohani – dibuat tertidur terhadap Allah yang bersuara tenang, tidur terhadap Allah yang menderita demi dunia, terhadap Allah yang berkata: “Sangkali dirimu, pikul salibmu dan ikutlah Aku.” Mohon jangan salah sangka; saya yakin panitia SAL tidak bertujuan seperti itu. Mereka hanya berusaha menemukan cara terbaik untuk berkomunikasi dengan anak-anak itu. Tetapi sebaliknya, yang tampak jelas bagi saya adalah bahwa gereja ini, banyak orang mungkin menganggap sebagai gereja yang tidak tertidur, sebenarnya sedang mengambil resiko menginvestasikan banyak energi untuk menghasilkan ketertiduran yang lebih lelap. Mengapa? Karena pesan utama dari bangunan, program-program, dan pelayanannya dengan gamblang menunjukkan dirinya sebagai gereja yang kaya dan untuk orang kulit putih. Sosiologi sebuah gereja merupakan pesan utama. Kegiatan SAL tadi begitu menonjolkan apa yang bisa dibeli oleh Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah? 21 uang dan waktu, menjadikannya begitu penting dan utama hingga Injil terasa tak sebanding dan sangat kecil. Saya seperti merasakan apa yang dialami Yesus: “hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” Tentu saja hal ini berat untuk diakui. Bahkan yang lebih melemahkan, saya harus mengakui bahwa sangat mungkin dan dengan mudah terjadi juga di gereja penuh semangat yang saya sendiri gembalakan. Budaya gereja saya memang berbeda, namun tidak benar-benar berbeda dengan dunia. Kami baru saja menyelesaikan kampanye pembangunan gedung utama dan telah meningkatkan fasilitas gereja secara signifikan, yang telah memakan waktu bertahun-tahun dan dana besar. Keuntungan gereja seperti ini adalah kami bisa mengemas isi dan gaya Injil yang berorientasi pada konsumen kelas menengah ke atas sehingga keselamatan menjadi sekadar sebuah selimut hangat yang memberi rasa aman bagi budaya sebuah gereja dan orang-orang di dalamnya, daripada mendorong orang keluar mengikuti hembusan angin yang mengajarkan pengorbanan rohani. Dalam kehidupan sebuah gereja, pola seperti ini dengan mudah, walaupun tidak disengaja, mengarahkan gereja hanya pada program konsolidasi dan perluasan kekuasaan, bukannya mengidentifikasi diri dengan kaum yang tak punya kuasa dan lemah. Yang pertama lebih seperti sebuah kasur yang nyaman utnuk tidur daripada yang kedua. Tak heran kita tidak ingin bangun, apalagi bangun dan beranjak pergi memperjuangkan keadilan. Agak sulit untuk membicarakan gereja sebagai satu kesatuan besar karena memang tidak seperti itu. Gereja mencakup berbagai denominasi dan jemaat, yang masing-masing memiliki budaya lokal, kelompok, dan teologinya sendiri. Contoh-contoh yang menunjukkan adanya keterjagaan memang bisa dijumpai–orang Kristen dan jemaat-jemaat yang sehari-hari memperagakan hati Allah yang mencintai keadilan. Namun, secara umum, gereja-gereja masih tertidur atau hampir tertidur. Ketika dibutuhkan tindakan untuk merespons realitas hidup di dunia yang tiba-tiba berteriak meminta perhatian, kehidupan institusi-institusi Protestan yang luas tampak tidak ber- 22 B A H A YA I B A D A H S E J A T I fungsi dan tidak terlibat. Padahal menurut Kitab Suci, mengusahakan keadilan adalah bagian dari ibadah. Tapi menurut kebanyakan budaya gereja, tidak ada kaitan antara ibadah dan keadilan. Banyak denominasi menurun secara keanggotaan. Denominasi gereja saya – Gereja Presbiterian Amerika, lebih lagi. Tiap denominasi punya pergumulannya sendiri atas berbagai isu tentang pergulatan budaya: Pada satu sisi gereja berusaha tetap setia pada tradisi dan dogmanya, tetapi pada saat yang sama mencoba merespons situasisituasi sekarang. Pembahasan seputar tradisi dan misi gereja ini umumnya berlangsung secara internal, sering kali penuh gairah, tetapi juga melukai dan menimbulkan perpecahan bagi mereka yang ada di dalam gereja namun jauh dan tak dirasakan bagi orang-orang di luar gereja. Sementara itu, pada tingkat lokal jemaat memerlukan penggembalaan. Setiap individu dan keluarga dalam gereja punya kebutuhan dan masalahnya masing-masing. Ketika kebutuhan dan krisis dalam kehidupan kita terasa membebani, kita bisa dengan mudah merasa tak sanggup melihat keluar. Namun sesungguhnya, ketika kita melihat keluar, kita bisa melihat dengan jelas bahwa hidup keseharian jutaan orang di dunia ini hampir mengalami keputusasaan yang kronis. Dunia tersiksa oleh penderitaan yang berat dan dramatis sebagai akibat dari kemiskinan dan ketidakadilan–dari perdagangan manusia hingga HIV/AIDS, dari kurang gizi hingga pembantaian etnis. Seperenam populasi dunia hidup dalam kemiskinan mutlak1, dan hampir satu juta anak tiap tahun dijual sebagai pekerja seks2. Tapi ini bukan sekadar statistik–ini tentang kehidupan nyata. Orang-orang yang mempunyai nama dan keluarga itu tiap hari hidup tanpa makanan atau air, dalam kemiskinan atau penindasan. Penderitaan itu terasa dalam tubuh, hati dan pikiran, bukan dalam tabel-tabel statistik dunia. Padahal mereka diciptakan dengan harga diri dan nilai yang sama dengan saya dan Anda. Mereka punya kapasitas dan keinginan yang sama dengan kita. Namun kondisi mereka tanpa harapan. Setiap hari. Semua ini terjadi ketika gereja-gereja arus utama dan gereja Injili Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah? 23 berdebat tentang isu-isu yang mereka anggap penting dalam beribadah: menggunakan gitar atau organ, suasana formal atau informal, tradisional atau kontemporer, kontemporer atau yang paling baru; sementara itu denominasi lainnya sibuk berdebat soal isu seperti pentahbisan gay dan lesbian yang makin banyak terjadi di gereja mereka dan menggoyang birokrasi sinode nasional mereka yang makin pudar; dan sesungguhnya, pada saat jemaat dan orang Kristen sama-sama sibuk bergumul dengan kebutuhan mereka sendiri, pada saat itulah akan tampak orang Kristen atau gereja seperti apa mereka sesungguhnya. Ketika banyak orang terpukul oleh polarisasi antara gereja-gereja liberal dan injili di Amerika, mereka akan lebih terpukul lagi melihat kesamaan yang dimiliki kebanyakan jemaat kedua gereja itu; mereka sama-sama tertidur. Sebagian tampak tertidur terhadap Allah. Sebagian tertidur terhadap dunia. Sebagian tertidur di pihak kiri, sebagian di pihak kanan, bagaimana pun juga mereka sama-sama tertidur. Cara mereka tertidur, tokoh dalam mimpi-mimpi mereka, bentuk tidurberjalan mereka atau igauan mereka saja yang berbeda. Termasuk bervariasi pula kata-kata dan suara-suara yang mereka hasilkan, yang semuanya hanya menyebabkan keresahan, sekadar membuat tidur mereka tidak tenang: inklusivitas. Keberagaman. Kesetiaan. Proses. Keadilan. Relevansi. Pemulihan. Penyembuhan. Alkitabiah. Kata-kata semacam itu memang bisa menggerakkan orang yang sedang tidur, namun tak punya urgensi yang cukup untuk menimbulkan kebangunan rohani. Terlalu banyak tidur bisa melemahkan tubuh dan akhirnya, menghentikan pertumbuhan. Sebuah krisis yang menghentak–misalnya tragedi 11 September atau tsunami di Asia atau badai Katrina–dan seperti tersentak dari tidur lelap atau dikejutkan oleh mimpi buruk, gereja-gereja kita menegakkan kepala dan mencoba bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tersebut (jika mereka bisa mengetahui reaksi apa yang harus dilakukan!). Tidak lama kemudian, kegemparan dari krisis-krisis itu mereda, dan keinginan kita untuk kembali pada 24 B A H A YA I B A D A H S E J A T I zona nyaman kebiasaan terdahulu terlalu sulit untuk dilawan. Keterjagaan membutuhkan terlalu banyak energi atau kekuatan yang tak dapat dikerahkan atau dipertahankan. Beberapa orang Kristen dan beberapa jemaat tampaknya punya keterjagaan yang mereka pilih. Bagaimana pun, kita lelah, berbeban berat, merasa tak aman, secara internal merindukan harapan kita sendiri (tidak peduli dengan kebutuhan harapan di dunia). Kita tidak banyak melihat di luar batas-batas tempat tidur kita, entah itu budaya, ekonomi, ras, denominasi atau kelas dalam masyarakat. Kita tahu dan menyukai tempat tidur kita. Kita yang membuatnya. Kita tidak tergerak untuk meninggalkannya. Bagaimana pun kita telah identik dengannya, karena kita memandangnya sebagai berkat Allah. Sementara itu, mereka yang tak punya tempat tidur–dan tak punya rumah, makanan, keamanan, air, kehangatan atau pengetahuan tentang kasih Kristus–tidaklah diperhatikan atau diingat atau dijangkau. Fakta yang begitu gambling menunjukan semakin punah dan sekaratnya rasa kemanusiaan, makin maraknya pelacuran anak, perbudakan yang mencengkeram, epidemi malaria, HIV/AIDS, dan harga diri manusia yang ditelanjangi di seluruh dunia, di manakah bukti yang menunjukkan bahwa ibadah itu mengandung kuasa yang membuat hati kita diperbarui dan diselaraskan dengan hati Allah yang peduli terhadap keadilan di dunia ini? Banyak di antara kita ingin tetap tertidur. Para pendeta turut mempertahankan gaya hidup terlelap ini dengan khotbah yang menghindari teguran dan suara kenabian, menghindari kontroversi dan kompleksitas. Ketika peran khotbah terhadap budaya tidak secara substansial mengkritisi dan melibatkan diri, ia menjadi bagian dari masalah. Faktor lainnya adalah hadirnya khotbah yang hanya terkait pada hidup pribadi jemaat tanpa memberikan tantangan Alkitabiah tentang hidup bermasyarakat. Kalau pun tantangan itu diberikan, ia disajikan sedikit saja, dalam bentuk sajian makanan yang nikmat: kentang panggang kasih, mentega anugerah yang meleleh, dengan daging kukus dan bawang misi secukupnya, sekadar untuk sedikit Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah? 25 menenangkan hati nurani. Semua ini menjadi obat bius yang manjur bagi gereja. Saya tumbuh di gereja yang hampir tutup, dan pada waktu itu saya meyakini bahwa para pendeta adalah orang yang mengelola sebuah dunia yang berisi hal-hal sangat kecil dengan kepedulian yang obsesif. Sekarang ketika saya menjadi pendeta, dan bekerja di antara banyak pendeta, saya mengakui bahwa hal ini sering kali tak terhindarkan, terasa benar, walaupun mungkin lebih merupakan akibat kebiasaan daripada keinginan. Proyek-proyek dan padatnya kegiatan keseharian bisa menjaga saya lebih dari sekadar tetap sibuk. Seperti kebanyakan pendeta lainnya, saya juga ingin menjadi gembala yang setia. Saya ingin fokus pada panggilan di depan saya. Itu saja sudah tampak cukup banyak menyita perhatian saya seharihari, tapi ini juga bisa merupakan dunia yang kecil dan kabur. Peran hamba Tuhan seperti ini turut mengawetkan kondisi tidur-berjalan, kondisi yang tidak semestinya namun sudah sangat menarik bagi banyak orang yang kita pimpin. Yesus, selalu dalam kondisi terjaga, dahulu maupun sekarang. Itulah yang mengejutkan semua orang yang berjumpa dengan Dia dalam Injil. Ia datang untuk menghadirkan sebuah dunia berisikan orang-orang yang terjaga—terjaga terhadap Allah, terhadap sesama, dan terhadap dunia. Tetap terjaga adalah tindakan ibadah yang berbahaya. Berbahaya karena ibadah dimaksudkan untuk menghasilkan hidup yang penuh perhatian terhadap kenyataan sebagaimana Allah memandangnya, dan itu lebih dari yang ingin dihadapi oleh kebanyakan kita. Ya, ibadah sejati selalu mempertanyakan paradigma-paradigma dominan, bahkan yang ada di dalam gereja. Ibadah sejati menantang kita apakah kita membungkuk di hadapan realitas atau kepalsuan, di hadapan Allah atau berhala. Salah satu periode paling dramatis dalam sejarah Israel terjadi karena kegagalan bangsa ini menghidupi ibadahnya. Teguran Allah pada Israel bahwa bangsa ini mengakui apa yang gagal mereka hidupi. Bangsa ini berhasil menunjukkan tanda-tanda eksternal 26 B A H A YA I B A D A H S E J A T I dari ibadah namun gagal hidup berdasarkan apa yang seharusnya ditunjukkan oleh ibadah. Nabi Perjanjian Lama, Mikha, menegaskan panggilan Israel pada masa krisis itu: “Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mi. 6:8) Meski sering dikutip, kata-kata ini dimaksudkan untuk dihidupi. Dan untuk melakukannya berarti kita harus bangun. Allah merindukan Gereja-Nya untuk terjaga. Anugerah Allah memahami keterlelapan kita, namun anugerah Allah juga mengejutkan, membuat kita terbangun, dan bertindak. Kerugian paling besar dari kondisi mengigau kita ialah menyangkali Allah di luar batas, menyimpang dari kemanusiaan kita, dan merusak misi Allah bagi dunia. Dalam buku ini kita akan mempertimbangkan mengapa dan bagaimana ketidaksinambungan antara ibadah dan keadilan bisa terjadi seperti saat ini, bagaimana teologi ibadah yang lebih berani dan lebih utuh dapat menolong membangunkan kita, dan bagaimana ibadah yang taat berarti menemukan hidup kita di dalam Allah dan mempraktikkan hidup itu di dalam dunia, terutama demi kaum miskin, tertindas, dan terlupakan. Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah D i suatu ibadah yang saya hadiri beberapa tahun silam, perhatian saya tertuju kepada pemimpin pujiannya yang sangat bersemangat. Ia memulai ibadah dengan doa, meminta Allah hadir untuk mempersatukan jemaat di hadapan hadirat-Nya. Lalu ia berbalik membelakangi kami, berdiri tepat di baris terdepan jemaat. Matanya terpejam, band mulai bermain musiknya. Ia mengangkat tangannya dan menaikkan pujian yang penuh sukacita kepada Tuhan. Pada saat itulah saya baru benar-benar memerhatikan, ternyata selama menyanyi dengan semangat itu, ia terus menginjak kaki jemaat yang ada di belakangnya. Bukan hanya sekali, tetapi berulang kali. Sepanjang ibadah selama dua jam itu, dia terus saja “menari dalam roh.” Tidak ada permintaan maaf dan tidak ada tanda-tanda rasa bersalah. Dia benar-benar memuji Tuhan dengan melupakan sesamanya. Ilustrasi ini secara praktis menggambarkan sebagian besar masalah kita. Saya yakin pemimpin pujian itu akan berkata bahwa apa yang dilakukannya bukanlah kesengajaan. Ia hanya begitu terbawa dalam pengalaman ibadahnya sehingga kehadiran orang lain pun tidak disadarinya. Dalam ibadah, ia kehilangan sesamanya dan itulah letak permasalannya. Permasalahannya adalah semua ekspresi hasrat akan Allah yang tampak dalam sebagian besar ibadah kita, ujung-ujungnya adalah tentang kita. Kita mengira bisa menyembah 28 B A H A YA I B A D A H S E J A T I Allah dengan cara menemukan Allah, tetapi kehilangan kesadaran terhadap sesama kita. Namun sesungguhnya itulah pola ibadah bangsa Israel yang menuai penghukuman Allah. Ibadah Alkitabiah yang mencari Allah haruslah mencari sesamanya juga. Ironisnya, berbagai perdebatan yang terjadi tentang ibadah hanyalah untuk membicarakan secara tidak langsung tentang diri kita, bukan tentang Allah. Perdebatan kita akhirnya menjadi tak lebih dari daftar keinginan tentang bagaimana ibadah akan kita sajikan setiap minggunya. Ibadah menjadi alat pemenuhan kebutuhan daripada sebuah persembahan kepada Allah; ibadah menjadi ekspresi selera manusia–bukan sebuah kerinduan merefleksikan kemuliaan Allah. Semua keprihatinan ini pastinya bukanlah aspek paling penting atau yang paling dipertaruhkan dalam sebuah ibadah. Ketika para murid berjumpa Yesus, dunia mereka diubah dan diperluas. Memanggil Yesus “Tuhan” dan menundukkan diri di hadapan-Nya berarti tahu bahwa dunia bagi hati Allah juga termasuk orang miskin dan orang lumpuh, perempuan yang sakit pendarahan, dan juga orang kusta di pinggir jalan. Jika kita menyembah Yesus Kristus, maka kita juga harus hidup seperti Yesus: Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya (Luk. 9:23-24).” Sebagaimana respons semacam itu memperluas hati dan pikiran para murid, jalan ibadah yang mengandung pengorbanan diri ini seharusnya berdampak sama dalam hidup kita. Bahkan, Yesus berkata dalam Matius 25:31-46 bahwa ibadah kita akan dinilai Allah berdasarkan bagaimana kita hidup. Krisis yang dihadapi gereja saat ini adalah ibadah pribadi maupun komunal tidak menghasilkan buah-buah keadilan dan kebenar- Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah 29 an yang dicari Allah. Hal ini tampak sebagai krisis iman di mata Allah dan sebuah krisis tujuan di mata dunia. Kitab Suci menunjukkan bahwa ibadah pribadi dan komunal seharusnya membentuk visi dan menyalakan tekad kita menjadi murid yang berani, meniru, dan membagikan kasih Yesus dalam tindakan-tindakan yang menegakkan keadilan dan kebenaran. Lagi pula, Alkitab mengajarkan bahwa manusia di dunia, entah mereka percaya atau tidak, sedang menderita dan sekarat menunggu orang-orang dalam gereja untuk hidup sebagaimana seharusnya umat Allah, yakni menunjukkan ibadah dalam hidup kita (Rm. 8:18-25). Inti dari pertempuran kita terkait dengan ibadah adalah praktik-praktik ibadah yang terpisah dari panggilan-Nya untuk menegakkan keadilan dan lebih parahnya lagi, menyuburkan kecenderungan pemuasan diri dalam masyarakat, bukannya memupuk gaya hidup yang berkorban dalam kerajaan Allah. Kita telah tertidur. Tak ada yang lebih penting untuk kita lakukan selain bangun dan mempraktikkan tindakan berbahaya dari ibadah, yakni menghidupi panggilan Allah untuk menegakkan keadilan. Dari Makro ke Mikro Saya mengatakan ini sebagai bagian di dalamnya, karena saya juga tidak berdiri di luar wilayah kritik. Termasuk sebagian besar orang Kristen yang saya kenal dan jemaat yang saya layani karena sebagai bagian gereja Amerika, banyak di antara kami juga sibuk dengan urusan hidup sehari-hari. Terpisah dari berita-berita utama di surat kabar, tak banyak kebutuhan-kebutuhan internasional yang masuk dalam hati kami secara mendalam. Ketika kami memberi perhatian, kami sering mengalami kebanjiran informasi serta kebutuhan dan keputusasaan yang tak henti ketika mendengar kabar tentang tempat-tempat seperti Timor Timur, Darfur, Afrika bagian Sahara, Banglades, Haiti. Kami mengakui, dalam pemahaman kami yang sangat minim, bahwa orang memang bisa mengalami penderitaan di dunia ini. Namun suatu bagian dalam kesadaran kami menyimpulkan bahwa penderitaan “orang-orang itu” bukanlah untuk kami; bahwa 30 B A H A YA I B A D A H S E J A T I ancaman kematian akibat kelaparan dalam tenda-tenda pengungsi di Sudan itu juga merupakan penderitaan yang sama yang dialami oleh para gelandangan yang kami temui dalam perjalanan ke tempat kerja; sama sekali di luar kemampuan kami untuk merespons penderitaan dengan efektif di tingkat global. Salah satu penyakit dalam masyarakat Amerika dan dalam usaha-usaha pemuridan kami adalah pemikiran rasional yang tragis ini: bahwa di tengah kebutuhan-kebutuhan dunia ini, jika kita tidak dapat berbuat apaapa, berarti kita memang tidak dapat berbuat apa-apa. Maka lumpuhlah kita, nyaman dengan rasa tak berdaya kita. Saya juga merasa tak asing dengan perasaan-perasaan seperti itu, meskipun orang tua saya sudah mendidik dengan kesadaran yang kuat mengenai kepekaan sosial dan tanggung jawab kepada masyarakat. Saya ingat waktu masih kecil diajak mereka membagikan makanan bahan kebutuhan lain ke pemukiman buruh tani di ladang dekat rumah atau ke desa-desa di Yakima Nation yang termasuk wilayah negara bagian Washington. Saya ingat mereka juga membawa saya ke sebuah gereja Amerika-Afrika yang dinamis karena mereka ingin menunjukkan dukungan terhadap gerakan perjuangan hak sipil waktu itu. Keluarga saya biasa membahas isu kebijakan sosial dan politik internasional di meja makan. Ketika saya beriman pada Kristus di masa awal kuliah, pekerjaan Roh Kudus yang tak terlihat tampak lebih nyata bagi saya dibanding implikasi Injil yang lebih luas dalam masyarakat. Kehidupan terus berjalan secara bertahap; rasa tanggung jawab saya bertumbuh, dan akhirnya istri dan anak-anak hadir dalam kehidupan saya. Disibukkan dengan diri saya, dunia saya, prioritas-prioritas saya, gereja saya, dan tujuan-tujuan saya, semuanya merupakan rutinitas saya setiap hari. Kadang-kadang kondisi seperti itu terasa sangat egois, namun sering kali saya merasa memang itulah yang harus dilakukan. Lalu, dengan mudah saya juga merasa tak berdaya dengan penderitaan dan kebutuhan di seluruh dunia. Lagipula, siapa saya? Bisa apa saya? Mudah bagi kita untuk berpikir bahwa kita cukup meneruskan Hidup yang Terjaga J ika kita ingin menjalani hidup yang terbangun bagi Allah dan tujuan Allah dalam dunia, di mana kita bisa memulainya dan kemudian bagaimana kita melanjutkannya? Itu harus melibatkan setidaknya empat hal. Memilih Menghidupi Ibadah Kita Tidak ada seorang pun yang bisa beribadah mewakili kita. Kita harus memutuskan secara pribadi untuk beribadah dengan setia dan sepenuhnya. Kita harus membuka hati dan pikiran terhadap realitas, secara spesifik terhadap realitas Allah dalam Yesus Kristus. Baru kemudian kita memutuskan untuk benar-benar menghidupi realitas Allah itu setiap hari, di dalam keadaan yang paling biasa maupun paling luar biasa. Ini artinya menghidupi visi kehidupan yang di dalamnya kita tidak menjadi pusat. Allahlah pusatnya. Ini artinya kita berbalik dari visi yang selama ini berfokus pada diri kita dan masalah-masalah kita. Allahlah fokus utamanya. Dalam sebuah kehidupan ibadah yang setia, hidup kita bukanlah tentang diri kita melainkan tentang Allah. Kebangunan rohani yang radikal ini tidak terjadi dalam satu malam. Perlu waktu panjang. Ini pekerjaan seumur hidup dan hanya akan teralami sepenuhnya di dalam kekekalan. Ini merupakan 216 B A H A YA I B A D A H S E J A T I penyingkapan bertahap tentang apa yang benar, sehingga kita tidak diperlengkapi untuk bergerak ke sana hanya dengan satu langkah. Kita akan bergerak maju mundur berkali-kali. Bukan berarti kita membuang kesenangan-kesenangan, kepribadian, dan pilihan-pilihan kita. Apa yang secara bertahap diubahkan adalah kekuatan yang mendesak atas diri kita di mana hal-hal tersebut selama ini selalu terasa penting dan tidak pernah kita ragukan. Oleh kuasa Roh Kudus, kita memilih tinggal setiap hari bersandar pada hidup yang baru dalam Kristus dan mempraktikkan pola pikir dan tingkah laku yang menempatkan Allah sebagai pusat. Hidup semacam ini merupakan buah pekerjaan Roh Kudus. Inti proses ini adalah persektuan yang tidak hanya dengan Bapa, Anak, dan Roh Kudus tetapi juga dengan komunitas umat Allah. Ketika orang lain dalam Tubuh Kristus kita pandang sebagai guru dan rekan dalam hal bersekutu dengan Allah Tritunggal dan dengan anggota Tubuh Kristus, maka proses untuk bangun dan berjaga-jaga akan membuka langkah yang lebih luas. Bagi saya, persahabatan dengan mereka yang tinggal dan melayani dalam konteks yang penuh ancaman atau penuh bahaya, sarat kekerasan dan penderitaan, merupakan hal yang sangat penting. Mengenal mereka yang hidup dalam Kristus demi kepentingan orang lain walaupun menghadapi situasi yang menekan di sekitar mereka benar-benar mengubahkan hidup saya. Di atas saya telah menceritakan kisah-kisah beberapa orang ini. Mengenal teman-teman ini, yang berani membahayakan hidup mereka setiap kali mereka menyatakan Injil membuat saya mengubah cara pandang terhadap bahaya-bahaya dalam hidup saya. Karena keberanian seorang teman di Asia Tenggara yang dengan senang hati siap menerima kemungkinan dipenjarakan lagi di masa yang akan datang hanya karena mau menjadi pemimpin Kristen, saya disanggupkan melihat secara berbeda bahaya-bahaya yang lebih ringan yang saya hadapi. Saya tidak berjumpa dengan situasi keseharian yang sama, namun mengetahui sesuatu dari realitas yang dihadapi saudara-saudara di dalam Kristus ini berarti bahwa saya sedang mengi- Hidup yang Terjaga 217 kuti ibadah bersama, doa pribadi, dan kehidupan bermasyarakat dengan bekal lebih banyak lagi akan hati Allah dan kuasa Allah dibanding dengan yang bisa saya dapatkan dengan cara yang lain. Saya jarang beribadah tanpa memikirkan teman-teman di berbagai tempat di seluruh dunia yang menghadapi tantangan yang sama. Mengetahui bahwa kita sama-sama berada dalam satu komunitas baru telah mengubahkan gaya hidup saya, yang juga telah mengubah gaya hidup keluarga saya bahkan gaya hidup jemaat saya. Saya telah melihat mereka berlatih bahwa menemukan rasa aman di dalam Kristus bisa hidup secara berbeda dibanding orang-orang yang menemukan rasa aman mereka di dalam kesibukan atau uang atau kesendirian. Mereka berjalan dalam kebebasan di mana pun mereka berada. Mereka tidak menutup mata terhadap realitas bahaya, tetapi mereka tidak dikendalikan oleh kondisi-kondisi semacam itu. Orang-orang yang mengerti bahasa jalanan dan semua implikasi maknanya kita sebut penunjuk jalan (streetwise). Orang-orang yang sedang saya bicarakan di sini adalah penunjuk Allah (Godwise) karena mereka hidup di jalan-jalan, melayani di tempat-tempat penuh bahaya, mengenal seperti apa itu pengalaman penderitaan, dan melakukannya dengan kebebasan dan sukacita. Teman saya di Malaysia bukan orang bodoh, tetapi ia hidup dalam kebebasan rohani karena ia mengerti bahwa hidupnya bukanlah miliknya sendiri, melainkan milik Allah. Ia berjaga-jaga terhadap Allah di tengah kegelapan. Mengenal orang seperti dia membangunkan saya dan membuat saya berjaga-jaga. Bukan berarti saya hidup dengan sikap seakan-akan saya mengalami sendiri pengalaman-pengalaman hidup yang diteladankan temanteman ini. Namun teladan mereka telah memanggil saya kepada risiko dan keberanian yang lebih besar di tempat saya tinggal. Saya ingat hari di mana saya sebagai murid Kristus yang masih muda mulai memahami bahwa sejak saya menjadi milik Kristus, saya menjadi bagian dari gereja dan gereja menjadi bagian hidup saya. Saya teringat kerapuhan yang saya rasakan sebagai petobat baru 218 B A H A YA I B A D A H S E J A T I yang kuliah di lingkungan skeptis dan sekular. Ada orang-orang di sekitar yang ingin saya kasihi namun ternyata mengintimidasi dan menekan saya. Hal itu mengejutkan dan membuat saya sadar bahwa panggilan ini tidak harus saya kerjakan sendirian. Gagasan Allah adalah ini merupakan pekerjaan bersama komunitas umat Allah. Mengasihi orang-orang di sekitar saya merupakan hal yang bisa dilakukan bersama orang lain. Ini juga mengubah kemampuan saya dalam merespons tantangan-tantangan yang lebih ringan. Saya butuh komunitas Kristen di sekitar saya, bukan demi kepentingan saya sendiri, tetapi juga demi kepentingan sesama. Komunitas itu akan menolong saya, dan ketika terjadi demikian, saya percaya itu juga akan mendorong dan menolong saya mengasihi orang lain. Seringkali seperti itulah yang terjadi. Tentu saja tidak selalu, namun itu juga merupakan bagian dari tantangan yang akan terus ada ketika kita menjalani hidup sebagai murid Kristus. Selama waktu itulah saya mulai menyadari bahwa jatuh-bangunnya kesaksian bersama umat Allah sangat tergantung pada apakah kita sungguhsungguh menghidupi identitas kita. Menghidupi identitas dalam Kristus, cukup aneh juga, ternyata melibatkan tindakan-tindakan mematikan diri secara sederhana, tindakan melepaskan nyawa untuk mendapatkannya (Luk. 9:24). Kita harus mati terhadap hal-hal yang membuat kita terus tertidur. Ini berarti melangkah ke dalam gaya hidup Filipi 2: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, … Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:5-8). Kita harus berlatih mengesampingkan sikap tak bisa diganggu dalam mengejar kepuasan, hiburan, kesenangan atau rutinitas agar bisa mengejar Allah dan agar bisa meminta Dia menata ulang pri- Hidup yang Terjaga 219 oritas dan keinginan kita. Kita harus berlatih mematikan diri untuk menekan selera-selera yang telah dirangsang oleh budaya kita setiap hari dan agar bisa semakin dirangsang oleh anugerah juga imajinasi Allah dan agar bisa menginginkan apa yang ada di hati Allah begitu juga ada di hati kita. Disiplin sabat yang diterapkan bisa melepaskan kita dari hidup yang didikte oleh selera dan hasil sebagaimana dipopulerkan budaya kita. Disiplin sabat menolong untuk menemukan kebebasan berkata tidak. Menempatkan diri dengan istirahat Allah dalam tiap minggunya bisa mengembangkan sumber daya rohani dan emosi yang dibutuhkan untuk melihat dan merasakan sesuatu melampaui diri kita sendiri. Beristirahat satu hari penuh setiap minggu dan kembali mengisi hidup kita dengan kasih Allah benar-benar sebuah karunia yang menata ulang prioritas kita! Sikap “tidak” terhadap kesibukan. “Tidak” terhadap pemakaian yang tidak perlu. “Tidak” terhadap budaya produktif 24 jam 7 hari. “Tidak” terhadap media. Ya terhadap Allah. Ya terhadap ibadah. Ya terhadap komunitas. Ya terhadap keadilan. Disiplin rohani harian juga menambah bagian penting dalam memperdalam proses menghidupi identitas sejati. Doa dan PA merupakan sarana yang Allah gunakan untuk mengubah kita melalui pembaharuan akal budi. Ini berarti tidak sekedar membaca Kitab Suci melainkan mengejar hati Allah dalam Kitab Suci. Jika pemuridan kita sebagian besar dibentuk oleh bagian-bagian Alkitab tertentu yang populer saja, mungkin inilah saatnya untuk mulai merenungkan bagian-bagian lain dari “seluruh rencana Allah” (Kis. 20:27). Visi Alkitabiah dan teologis kita dimaksudkan untuk mempertajam pengamatan kita. Hal penting dalam kehidupan Kristen adalah visi yang terus bertumbuh tentang Allah sebagaimana Alkitab ungkapkan. Kita tidak hanya sekedar melihat Alkitab (membacanya) melainkan melihatnya melalui cara pandang Alkitab. Tentu saja ini berarti kita harus bertumbuh dalam pengetahuan kita akan Kitab Suci supaya kita bisa mengenakan kaca mata Alkitab itu. 220 B A H A YA I B A D A H S E J A T I Sebagai contoh, berkaitan dengan isu ibadah dan keadilan, Anda bisa menghabiskan setahun ke depan untuk fokus mempelajari Kitab Yesaya, Yeremia, atau Amos. Anda bisa menggunakan beberapa petunjuk pelajaran untuk menolong Anda memahami teks tersebut. Namun, yang paling penting, cobalah meminta Allah untuk memberi Anda pencerahan ke dalam hati-Nya sebagaimana dibukakan melalui nabi-nabi ini, dan untuk menolong Anda bertumbuh dalam mencerminkan hati Allah. Apakah Anda memahami kasih Allah dalam teks-teks ini? Apakah beban-beban itu mengganggu Anda juga? Jika Anda melakukan hal ini dan kemudian memakai kasih Allah itu terhadap orang-orang yang terhilang, yang terlupakan, yang membutuhkan, dan yang miskin, Anda akan menemukan melalui anugerah Allah bahwa ibadah dan keadilan merupakan satu paket. Dan hidup Anda akan menjadi semakin terjaga. Kepemimpinan pastoral merupakan kunci untuk menolong sebuah gereja melangkah maju ke arah bahaya sejati dari ibadah. Para pendeta perlu dengan jujur dan terbuka bergumul dengan dimensi panggilan Alkitab ini dan menggumulkan cara-cara mentaatinya bersama jemaat mereka. Pemimpin gereja harus dilibatkan. Ini bukanlah panggilan untuk mempolitisir mimbar atau pelayanan gereja. Ini adalah panggilan untuk mendengar perkataan Kitab Suci tentang pemuridan terhadap masyarakat dan mengijinkan perkataanperkataan semacam itu terus memperbaharui visi kita tentang Allah dan tentang tindakan-tindakan kita dalam dunia. Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, ibadah perlu menyuarakan isu kekuasaan. Setiap musim panas saya menawarkan rencana khotbah selama setahun dalam konteks visi lima tahun dari bahan-bahan Alkitab yang akan kami coba pelajari bersama. Beberapa gereja mendapat manfaat dari khotbah berdasarkan daftar leksionari, namun tradisi kami adalah melakukan serangkaian khotbah ekspositori yang diambil dari berbagai kitab atau bagian-bagian Alkitab, dengan beberapa seri topikal juga. Saya berusaha menggunakan secara teratur baik teks-teks Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Kita mem- Hidup yang Terjaga 221 butuhkan seluruh rencana Allah untuk menumbuhkan visi yang menyeluruh tentang pemuridan, baik terhadap pribadi-pribadi maupun terhadap masyarakat. Sasaran saya adalah mengkhotbahkan teks itu dan membiarkan teks itu membuat aplikasinya sendiri. Saya menoba untuk tidak berkhotbah secara ideologis atau preskriptif (memberi penjelasan). Saya tidak mengambil atau menyarankan posisi politis tertentu dalam khotbah saya karena saya akan bersalah menggunakan mimbar untuk menggertak dan juga karena saya sangat menghargai kebijaksanaan dan keragaman jemaat saya. Sebaliknya, saya mencoba menyediakan kesempatan-kesempatan lain bagi terjadinya diskusi di antara jemaat mengenai isu-isu dan implikasi dari khotbah-khotbah saya. Kondisi yang terpisah dari khotbah adalah tempat yang lebih tepat bagi saya untuk mengekspresikan pandangan politik saya pribadi, di mana saling menerima dan memberi sangat dimungkinkan. Di gereja kami, perencanaan ibadah dilakukan oleh pendeta dan para pemimpin musik. Kami mencoba menggabungkan praktik-praktik ibadah yang mendorong setiap orang untuk terlibat dan berpartisipasi. Tiga kebaktian Minggu kami mengambil bentuk ibadah tradisional hingga kontemporer, namun kami bekerja keras untuk menjaga bentuk-bentuk ibadah tersebut sekedar menjadi sebuah kemasan rutin belaka yang tidak berkembang. Kami ingin menghormati prinsip-prinsip utama dari nilai-nilai teologi dan liturgi sambil tetap terbuka dan fleksibel tentang bagaimana prinsip-prinsip utama itu diekspresikan dalam model kebaktian apa pun. Kami mencoba menciptakan praktik-praktik ibadah yang membuka pintu bagi Roh Allah bebas berkarya di mana kontrol kami dalam ibadah tidak bersifat mendominasi. Jelas kami belum berhasil, namun kami terus membuat kemajuan. Elemen musik dalam ibadah sangat penting. Musik yang ada di gereja kami sedikit kurang lengkap sebagaimana yang kami harapkan untuk mendukung tema-tema keadilan. Karenanya, kami menjadi lebih beragam lagi dalam pilihan-pilihan musikal kami. Kami 222 B A H A YA I B A D A H S E J A T I juga sangat diuntungkan oleh kreativitas staf gereja maupun anggota gereja, yang menggunakan komposisi ciptaan mereka sendiri dalam mengiringi sepanjang tema-tema dan rangkaian khotbah. Banyak di antara musik-musik ini bersifat percobaan namun bisa diterima dengan baik dan turut berperan dalam kemajuan gaya ibadah yang ingin kami kembangkan. Kami telah menyadari bahwa gerakan fisik dalam model kebaktian apa pun bisa menjadi elemen yang sangat penting dalam mengkomunikasikan bahwa ibadah adalah sebuah respons dan seperangkat tindakan. Praktik-praktik ibadah yang melibatkan gerakan individual yang dipadukan dengan saat-saat di mana seluruh jemaat bertindak dan beraksi bersama merupakan bagian yang berharga untuk menyatakan iman kami dengan tindakan. Kemudian kami bangun di atasnya dengan mengekspresikan bagaimana aksi yang sama ini membawa kami keluar dan masuk dalam dunia untuk hidup sebagai murid-murid Kristus–dalam persembahan kami, dalam kebaktian kami, dalam sentuhan kami, dalam pengakuan dosa kami, dan dalam pengharapan kami. Ibadah yang terjaga dan yang setia mengarahkan seluruh hidup kita. Ini bukanlah aktivitas yang memberi kebebasan untuk memilih. Ini bukanlah sebuah anggukan pada Allah sebagai tugas agamawi, tidak juga diukur berdasarkan ketulusan kita. Sebelum doa syuur di akhir kebaktian kami, seringkali saya berkata seperti ini: “Ukuran keberhasilan ibadah hari ini adalah buah roh dalam bentuk karakter dan tindakan yang makin nampak seperti karakter dan tindakan Allah. Mari kita hidup seperti mereka yang telah menyembah Tuhan kita Yesus Kristus.” Memilih untuk Melihat Salah satu realitas menjadi manusia adalah hidup dengan visi yang terbatas. Kita adalah ciptaan yang terbatas dan telah jatuh dalam dosa. Kita tidak dapat melihat dengan sempurna atau dengan utuh atau dengan jujur atau dengan tulus. Kita melihat sebagai orang ter- Hidup yang Terjaga 223 batas sebagaimana adanya kita. Kita juga melihat dalam cara-cara yang terdistorsi sebagai sebuah tanda minat kita terhadap diri sendiri. Ini artinya kita melihat secara selektif, berprasangka, dan secara tidak seimbang. Pandangan terbaik manusia pun tidak selalu bagus. Namun itu semua sudah cukup untuk melakukan tindakan kasih dan keadilan yang dipersembahkan dengan kerendahan hati. Kita bisa memilih untuk menjadi orang yang melihat dengan lebih baik. Itu bisa nampak jelas, namun ini adalah sebuah langkah besar. Artinya memutuskan untuk hidup dengan mata terbuka lebar terhadap Allah dan terhadap tujuan-tujuan Allah di dalam dunia. Ini juga berarti hidup dengan mata yang ingin melihat hal-hal yang sesungguhnya, entah itu menarik, menghibur, terasa enak atau nyaman atau tidak. Kita dengan sengaja menumbuhkan visi pilihan karena di dalam bias pribadi dan budaya kita, kita hanya ingin melihat beberapa hal dan dengan tegas tidak ingin melihat yang lainnya. Sungguh-sungguh melihat bisa terasa aneh dan terasa mengganggu. Seharusnya memang seperti itu. Tak ada seorang pun yang melihat tanpa prasangka. Setiap orang melihat melalui suatu kombinasi lensa kaca mata. Kitab Suci diberikan secara spesifik untuk menolong manusia melihat Allah dan dirinya sendiri dengan lebih jelas. Jika realitas menjadi ada melalui inisiatif Pencipta yang berpribadi dan penuh kasih, maka melihat dunia dan sesama kita dari sudut pandang Allah (yang memang merupakan tujuan Kitab Suci) berarti kita bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda dan lebih baik. Tindakan melihat orang miskin, yang terlupakan, terpenjara, dan seterusnya bisa berarti berusaha melihat di tempat-tempat yang biasanya tidak kita lihat. Mission trip singkat bisa menolong memberi kita visi yang baru. Ketika kita melakukan petualangan seperti itu, kita akan belajar melihat dengan setiap indra dan belajar meminta Allah menolong kita melihat dengan hati dan kebijaksanaan Yesus. Ketika saya mendapat kehormatan melakukan perjalanan semacam itu, saya dengan tulus berdoa supaya Allah berkenan memakai pe- 224 B A H A YA I B A D A H S E J A T I ngalaman itu untuk membakar mata hati saya dengan gambar-gambar orang dan kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi tertentu sehingga saya tidak akan pernah lupa dan tidak akan melihat dengan cara-cara sebelumnya. Pada suatu perjalanan, saya berdiri di atas beranda yang rusak dari sebuah rumah besar bergaya Viktorian yang pernah berjaya di masa lalu, yang terletak di Hooghly River di kota Dhaka, Bangladesh. Selama bertahun-tahun rumah besar itu telah ditinggali oleh penghuni ilegal. Prodip, teman saya orang Bangladesh berdiri bersama saya di beranda. Saat kami memandangi sungai, butuh beberapa saat sebelum mata saya bisa melihat menembus udara malam berkabut itu dan mulai menyadari apa yang terpampang di hadapan saya. Ternyata kami sedang berhadapan dengan barisan panjang gubukgubuk yang berjejer di sebuah tempat yang dahulunya merupakan taman indah yang terbentang di sepanjang tepian sungai. Sekarang komunitas termiskin di Dhaka susah payah berjuang untuk bertahan di tempat itu. Prodip sendiri sangat miskin. Ia hidup di Dhaka seumur hidupnya, tetapi ia tidak pernah naik becak hingga hari itu ketika bersama saya, karena ongkos lima puluh sen terlalu mahal baginya. Situasi dia jauh lebih baik dibanding pemandangan yang sedang kami lihat saat itu. Prodip berkata, “Orang tinggal di sini karena mereka sudah mati namun belum bisa mati.” Saya melihat dunia dengan cara yang berbeda berkat visi Prodip. Kunci untuk perjalanan-perjalanan misi jangka pendek adalah mereka memang seperti itu: jangka pendek. Banyak manfaat dari perjalanan misi jangka pendek, seperti membuka pengalaman yang meningkatkan kepekaan dan kesadaran. Seringkali dampaknya juga dramatis. Ada banyak kisah yang membenarkan pentingnya perjalanan seperti itu. Tetapi kita perlu hati-hati terhadap bahayanya, yakni menjadi turis misi yang melihat dan merasakan namun tidak mengambil bagian (entah di sini atau di sana) dalam merespons panggilan dan menjawab kebutuhan. Perjalanan seperti itu bisa membuat kita merasa lebih terlibat, tetapi kelambanan kita merespons jelas ti- Hidup yang Terjaga 225 dak selaras dengan sikap kita yang menganggap perjalanan itu penting. Seorang perawat di Rwanda yang mengurus pasien HIV/AIDS berkata pada saya, “Saya sering mengantar orang berkeliling klinik ini. Tetapi saya ingin memberi tahu satu hal, kami tidak butuh Anda datang dan melihat semua kebutuhan di sini jika Anda akan pulang dan melupakan kami. Kami butuh Anda mengingat kami dan bertindak selaras dengan apa yang Anda telah lihat di sini.” Inilah sebabnya penting bagi kita untuk menyediakan sebanyak mungkin waktu bersama orang-orang Kristen di komunitas lokal untuk melakukan perjalanan seperti itu. Cobalah melihat dan merasakan dunia mereka sebanyak yang Anda bisa. Saya mencoba hidup dan bertindak di wilayah teluk dengan cara-cara seolah saya melihat dengan sudut pandang orang-orang yang saya kenal di India, Uganda, Afrika Selatan, Rwanda, Kenya, China, Bangladesh, Sri Lanka, dan Mexico. Cara lain supaya visi kita bisa bertumbuh adalah dengan memilih fokus pada isu ketidakadilan spesifik di bagian-bagian dunia yang atasnya Allah menaruh beban itu di hati kita, kemudian berkomitmen menjaga beban itu setiap saat. Layanan berita internet bisa bermanfaat karena kita bisa mendapat kisah-kisah yang relevan dengan beban kita. Menemukan orang lain yang bisa diajak berbagi beban ini dan mau berdoa bersama juga merupakan langkah yang penting. Poinnya adalah untuk mengembangkan mata yang makin bisa melihat kebutuhan dan melihat Allah berkaitan dengan kebutuhan tersebut. Sambil Anda melakukan hal ini, berdoalah memohon kepekaan tentang bagaimana Anda harus merespons. Kepada siapa Anda bisa berkirim surat atau surat elektronik? Di mana Anda bisa menyalurkan bantuan? Tindakan konkrit apa yang bisa Anda lakukan untuk membuat sebuah perubahan? Pelayanan atau organisasi apa yang mungkin bisa menolong menjembatani langkah-langkah Anda? Siapa yang bisa Anda ajak mengambil bagian bersama Anda? Melihat bukanlah urusan yang gampang. Ini menuntut banyak hal. Ini bisa melelahkan dan kadang-kadang membuat tidak nyaman. Ini berarti membawa dalam pikiran kita kepedihan dan kebutuhan 226 B A H A YA I B A D A H S E J A T I yang belum terjawab. Ini berarti meninggalkan tempat persembunyian yang selama ini mungkin kita nyaman di dalamnya. Kita tidak akan bisa tidur terlalu nyenyak. Hal-hal yang selama ini kita pandang penting akan terasa tidak terlalu penting lagi. Tidak mudah untuk hidup seperti orang dalam pembuangan–Yesus berkata kita bisa berharap banyak dalam kondisi seperti itu. Inilah yang menggerakan kita untuk kembali, kembali pada kebutuhan melihat Allah dengan cara yang segar, pada kebutuhan untuk bertumbuh dalam kapasitas kita untuk “menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp. 2:5). Memilih untuk Terlibat Ibrani 13:3 memberi kita nasehat tegas tentang keterlibatan: “Ingatlah akan orang-orang hukuman, karena kamu sendiri juga adalah orang-orang hukuman. Dan ingatlah akan orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, karena kamu sendiri juga masih hidup di dunia ini.” Perintah tertulis ini memang merupakan karakter Injil. Perintah ini menunjukkan apa artinya empati yang sesungguhnya. Namun, untuk menghidupinya berarti mempraktikan kehidupan konteks pembuangan kita dan bersandar pada wilayah asing–situasi orang lain. Itulah premis dasar panggilan inkarnasional kita. Ini tentang memasuki, melibatkan diri, bertindak mewakili realitas orang lain seolah-olah itu adalah realitas kita sendiri. Di dalam Kristus itu memang menjadi realitas kita sendiri. Itulah kedalaman panggilan Alkitabiah kita terhadap keadilan. Memiliki sikap peduli, meski penting, tidaklah sama dengan memeragakan belas kasihan. Mampu mengenali kebutuhan juga merupakan sebuah kunci. Tapi itu tidak sama dengan melakukan sesuatu. Buku ini tidak hanya tentang membangkitkan kesadaran dan hati kita. Ini tentang peran yang seharusnya dimainkan ibadah dalam membangunkan kita sehingga kita sungguh-sungguh hidup secara berbeda. Ini adalah panggilan kepada ibadah yang melakukan keadilan. Apa saja yang termasuk keterlibatan? Ini melibatkan waktu, talen- Hidup yang Terjaga 227 ta, uang, usaha, imajinasi, kebebasan, dan hak-hak kita. Keterlibatan bergerak melampaui sekedar memiliki belas kasihan dan mengumpulkan informasi. Keterlibatan adalah tindakan-tindakan yang bisa dilaksanakan. Di sini keputusan untuk menjalani hidup yang terjaga akan menjadi keputusan yang menggerakan kita ke dalam relasi, ke dalam partisipasi yang merupakan hak istimewa sekaligus harga yang harus dibayar ketika melakukan keadilan. Kita perlu mengambil langkah pribadi dan khusus, dan kita juga perlu mengambil langkah-langkah bersama dan tersistematis. Orang-orang di dalam Tubuh Kristus harus mendemonstrasikan kedua langkah itu dengan tindakan. Jika kita cenderung menerima respons yang mengandalkan satu orang terhadap isu-isu ketidakadilan dan bukannya melalui pendekatan yang mengandalkan sistem, berarti kita tidak cukup serius menanggapi apa artinya mengakui “Yesus adalah Tuhan.” Tindakan dibutuhkan dalam kedua level itu, dan anggotaanggota yang berbeda dalam Tubuh Kristus dibutuhkan untuk mengekspresikan masing-masing level itu. Pada level pribadi, Anda bisa mulai dengan mendata dengan seksama situasi-situasi yang dihadapai orang-orang yang sudah ada dalam hidup Anda. Mungkin di antara orang-orang itu ada yang pernah memberi Anda informasi tentang kebutuhan mereka yang bisa Anda respons. Tempat pertama untuk didata bisa tetangga atau kolega atau teman dekat Anda. Atau Anda bisa mulai dengan menelepon gereja atau instansi lokal untuk mencari tahu apa yang bisa Anda lakukan untuk menolong orang-orang di kota Anda. Langkah ini mungkin akan mengarahkan Anda pada sebuah rapat, atau bisa melibatkan tanda tangan Anda yang menyatakan kesediaan bertanggung jawab terhadap sesuatu. Ini bisa berarti pergi lagi setiap minggu dan melakukan hal yang sama. Atau ini bisa melibatkan satu musim yang membutuhkan energi dan komitmen secara khusus. Dan kemudian, sebagai hasil dari langkah pertama ini, Anda bisa mengambil langkah berikutnya. Kita tidak dipanggil untuk melakukan tindakan yang bergan- PENUNTUN PEMAHAMAN ALKITAB P enuntun diskusi ini bisa digunakan unuk memfasilitasi sebuah kelompok kecil atau kelas sekolah minggu berdasarkan buku Bahaya Ibadah Sejati. Jika semua anggota kelompok telah membaca buku ini, maka sebagai tambahan di luar pertanyaanpertanyaan diskusi di bawah, pemimpin bisa juga menanyakan pertanyaan seperti, “Bagian mana dalam bab ini yang paling menegur Anda? Apakah Anda menggaris-bawahi atau memberi warna pada kalimat-kalimat yang secara khusus punya makna bagimu? Mengapa?” Pertanyaan ini bisa juga digunakan secara pribadi untuk menolong memahami dan menerapkan konsep buku ini. Bab Satu: Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah? 1. Apa yang muncul di pikiran Andaketika mendengar kata ibadah? Gambaran atau kesan apa yang ditimbulkan oleh kata ini? Mengapa? 2. Bagaimana ibadah dijelaskan dalam bab ini? 3. Bagaimana definisi tentang ibadah ini, sama atau berbeda dari definisi ibadah yang biasanya ada dalam pikiran Anda ketika Anda menggunakan kata itu? 4. Jika Allah melihat ibadah dalam cara yang menyeluruh, tanda apa yang Anda lihat bahwa banyak orang di dalam gereja yang tertidur bukannya terjaga terhadap tujuan Allah bagi ibadah? 5. Apa yag dikatakan Yesus dan para nabi tentang apa yang diper- 244 B A H A YA I B A D A H S E J A T I tatuhkan jika umat Allah tertidur bukannya terjaga terhadap tujuan-tujuan Allah? 6. Akan seperti apa gereja bila ia benar-benar tersadar terhadap tujuan-tujuan Allah melalui ibadah? 7. Dengan cara bagaimana Anda bergumul untuk sadar dan menghidupi ibadah semacam ini? 8. Perubahan apa yang Anda butuhkan untuk hidup dan beribadah dengan lebih terjaga? Bab Dua: Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah 1. Pilihan-pilihan tentang ibadah seringkali bisa menyatukan atau memecah-belah tubuh Kristus. Contoh seperti apa yang pernah Anda lihat? 2. Isu ibadah seperti apa yang paling membuat jengkel orang lain? Menurut Anda mengapa itu bisa terjadi? 3. Menurut bab ini, tentang apa sesungguhnya inti pertempuran manusia tentang ibadah itu? Bagaimana ini bertentangan dengan banyak pandangan kita tentang ibadah? 4. Jika ibadah merupakan undangan dari apa yang seharusnya menjadi dua kasih kita yang besar, kepada Allah dan kepada sesama, mengapa dan dengan cara apa keduanya itu tidak terpisahkan? Tetapi mengapa kita melupakan atau memisahkannya? 5. Perhatikan Yesaya 1:12-17. Bagaimana ibadah kita memenuhi standar ini? 6. Bagimana ibadah diharapkan menata ulang hidup kita? 7. Pendekatan ibadah seperti apa yang akan dilakukan supaya ibadah berdampak dalam hidup Anda? Hal utama apa yang perlu diubah dalam hidup Anda? 8. Bagaimana Anda termotivasi dalam menghadapi dan merespons peperangan yang sesungguhnya tentang ibadah? Apa yang rela Anda lakukan untuk hal tersebut? Siapa lagi yang mau ber- Penuntun Pemahaman Alkitab 245 gabung dengan Anda dalam melakukan hal itu? Bab Tiga: Bahaya-Bahaya Palsu 1. Pengalaman apa yang Anda miliki tentang rasa takut terhadap sesuatu yang ternyata bukan bahaya yang sesungguhnya? Bagaimana Anda akhirnya menyadari hal itu? 2. Apa yang dimaksud bab ini dengan istilah “bahaya-bahaya palsu” terkait dengan ibadah? Apa yang membuat bahaya-bahaya tersebut palsu? 3. Apa konsekuensi pemuridan dan misi Kristen dalam dunia jika kita begitu asyik dengan ketakutan-ketakutan terhadap bahaya yang palsu? Contoh apa yang pernah Anda lihat? 4. Perhatikan setiap bahaya palsu dalam bab ini satu per satu dan ringkaslah prinsip-prinsip apa yang terdapat dalam bahaya palsu tersebut ? Pilihlah satu atau dua di antaranya untuk didiskusikan: a. Bagaimana Anda melihat bukti dari setiap kepalsuan itu? b. Bagian mana yang paling relevan dengan hidup Anda? c. Bagian mana yang paling berdampak pada kehidupan jemaat Anda? Mengapa? 5. Apa yang harus dilakukan pada ibadah Anda supaya kepalsuan bahaya-bahaya ini tersingkap–secara pribadi buat Anda? Juga buat kelompok kecil Anda? Buat jemaat Anda? 6. Menata ulang hidup ibadah kita dan mengungkap bahwa bahaya-bahaya palsu ini merupakan masalah inti bagi iman kita supaya menjadi dewasa. Ini sungguh perubahan rohani, tidak sekedar perubahan mekanis atau liturgis belaka. Bagaimana komitmen Anda untuk berdoa bagi terjadinya perubahan dalam diri Anda sendiri dan bagi jemaat Anda? 7. Siapa lagi yang bisa bergabung dengan Anda dalam doa syafaat ini? Tutuplah kebersamaan Anda dengan mendoakan isu-isu ini. 246 B A H A YA I B A D A H S E J A T I Bab Empat: Bahaya-Bahaya Sejati 1. Apa saja bahaya nyata yang menurut Anda bisa menjadi alasan bagus untuk menjadi takut? mengapa? 2. Peran apa yang dimiliki rasa takut dalam pengenalan atau pengalaman Anda tentang Allah? 3. Apa yang dimaksud dalam bab ini dengan “bahaya-bahaya sejati” terkait dengan ibadah? Apa yang membuat bahaya-bahaya itu nyata? 4. Dalam arti seperti apakah ibadah kepada Allah yang hidup itu berbahaya? Dengan cara bagaimana Alkitab memberi kesaksian tentang kenyataan tersebut? (Apa kaitannya dengan anugerah Allah?) 5. Pengalaman tentang Allah seperti apa yang Anda miliki dan yang menurut Anda berbahaya (misalnya, menegur atau mengubah Anda, relasi-relasi Anda atau prioritas-prioritas Anda dengan cara-cara yang menuntut Anda menjadi ciptaan baru di dalam Kristus)? 6. Pertimbangkan setiap bahaya nyata dalam bab ini satu-persatu dan ringkaslah prinsi-prinsip apa yang terdapat dalam tiap bahaya tersebut. Pilihlah satu atau dua di antaranya untuk didiskusikan: a. Bagaimana Anda melihat (atau gagal melihat) bukti-bukti setiap bahaya nyata itu? b. Bagian mana saja yang paling relevan dengan hidup Anda? c. Bagian mana yang paling berdampak pada kehidupan jemaat Anda? Mengapa? d. Apa saja yang Anda inginkan untuk lebih utuh lagi terjadi pada persekutuan Anda dengan Allah atau persekutuan dengan gereja Anda? Bagaimanakah caranya supaya itu bisa terjadi? 7. Dengan cara-cara bagaimana Anda mencoba mencocokkan (mengecilkan) Allah demi kenyamanan Anda? 8. Bagaimana bisa berkat-berkat yang baik dari persekutuan dengan Allah yang hidup dan berbahaya itu menolong Anda lebih Penuntun Pemahaman Alkitab 247 bersemangat lagi untuk terlibat dengan hidup yang melakukan keadilan dan kebenaran? 9. Apa yang bisa menolong Anda bertumbuh dalam visi Anda tentang Allah? Langkah apa yang rela Anda ambil? Bab Lima: Bangun terhadap Tempat di mana Kita Tinggal 1. Kapan Anda pernah mengalami sebuah kemajuan besar? Perasaan-perasaan apa saja yang dialami selama masa penyesuaian? Mengapa Anda merasa sseperti itu? 2. Menurut Anda apa maksud penulis dengan berkata “Injil itu mengkontekstualisasi-ulang tempat di mana kita tinggal” (hal….)? 3. Dengan cara bagaimana berada “di dalam Kristus” memberi kita alamat baru di dalam dunia? 4. Cobalah menulis “alamat” Anda. Kata-kata sifat atau penjelas apa (alamat rumah, ras, pendidikan, pekerjaan, kekuasaan, dll.) yang menunjukan pada orang lain dan pada diri Anda sendiri hal yang paling penting tentang “di mana” Anda tinggal? 5. Sekarang letakkan kata-kata tersebut ke dalam urutan sesuai prioritas. Jika Anda seorang pengikut Yesus, bagaimana urutan prioritas ini jika dikaitkan dengan keberadaan Anda saat ini “di dalam Kristus”? 6. Bagaimanakah tinggal di dalam hidup Allah Tritunggal menciptakan lingkungan yang baru dalam hidup kita? 7. Apakah praktik-praktik ibadah Anda (baik ibadah pribadi maupun bersama) menolong menyadarkan Anda terhadap di mana Allah sekarang ingin Anda tinggal? Mengapa? Bagaimana itu mengubah “lingkungan” Anda? 8. Bagaimana Anda bisa pindah dari hidup Anda ke dalam Allah lebih dalam lagi? 9. Bagaimana hal ini bisa menolong Anda lebih mengenal sesama dengan lebih baik lagi? Bagaimana hal itu bisa menjadi sebuah 248 B A H A YA I B A D A H S E J A T I tindakan ibadah? Langkah apa yang bisa Anda ambil supaya bisa mengasihi sesama itu seperti mengasihi diri sendiri? Bab Enam: Melakukan Keadilan Dimulai dengan Istirahat 1. Apa yang Anda lakukan bila ingin istirahat secara maksimal? Apa yang paling memperbarui Anda? 2. Jika melakukan keadilan itu melibatkan tindakan, bagaimana dan mengapa melakukan keadilan itu dimulai dengan istirahat? 3. Bagaimana sabat yang Alkitabiah itu berkaitan dengan keadilan? 4. Apa artinya istirahat di dalam Allah bagi Anda? Bagaimana itu terkait dengan ibadah Anda kepada Allah? Bagaimana itu terkait dengan usaha Anda melakukan keadilan di dalam dunia? 5. Punyakah Anda praktik-praktik sabat dalam hidup Anda? Jika ya, apa saja itu? Mengapa Anda menganggap praktik-praktik itu perlu? 6. Apakah praktik-praktik ini melepaskan atau memperbarui hidup ibadah Anda sepanjang minggu? Mengapa? 7. Sebagai pengikut Yesus, apakah Anda hidup dengan mengetahui dan mempraktikkan kebebasan untuk berkata ya dan berkata tidak? Mana yang lebih mudah atau yang lebih sulit bagi Anda? Mengapa? 8. Bagaimana Anda membutuhkan dorongan untuk mempraktikkan dua kata ini, ya dan tidak? Bab Tujuh: Ketika Ibadah Menegur Kekuasaan 1. Kapan terakhir kali Anda melihat diri Anda atau orang lain berhadapan dengan suatu bentuk kekuasaan dengan cara mempertanyakan kekuasaan tersebut? Cara-cara apa yang biasanya dipakai untu melakukan hal itu? 2. Menurut argumen bab ini, bagaimana ibadah mendefinisikan dan menentang kekuasaan? Penuntun Pemahaman Alkitab 249 3. Jika “Yesus adalah Tuhan,” bagaimana itu menjelaskan pemahaman orang Kristen tentang kekuasaan di dalam dunia? 4. Cobalah meringkas inti dari masalah-masalah yang terkait dengan kekuasaan di dunia. Jendela apa saja yang Alkitab beri sehingga Anda memahami natur penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan? 5. Bagaimana cara supaya praktik ibadah dapat menolong kita sebagai pengikut Yesus untuk melihat kekuasaan diterapkan dalam hidup kita? 6. Ketika Anda melihat dengan teliti daftar elemen-elemen klasik dari susunan liturgi kebaktian, bagian mana yang paling memberkati Anda? 7. Bagian mana yang paling Anda butuhkan untuk menghadapi isu-isu kekuasaan dalam hidup dan situasi Anda? 8. Apakah pengalaman ibadah bersama Anda, seperti apa pun liturginya, menolong Anda memiliki pemahaman yang lebih Alkitabiah tentang isu-isu kekuasaan di dalam hidup Anda dan di dalam dunia? 9. Bagaimana Anda bisa mendorong dan mempraktikkannya lebih lagi di dalam hidup Anda sendiri? Di dalam komunitas iman Anda? Bab Delapan: Hidup dengan Paradigma Keluaran atau Pembuangan? 1. Kapan terakhir kali Anda “jauh dari rumah”? Bagaimana rasanya? Apa yang ingin Anda lakukan pada saat-saat seperti itu? Mengapa? 2. Bab ini mempertimbangkan dua musim dalam kehidupan bangsa Israel ketika mereka tidak sedang di rumah: periode mereka di Mesir pada kitab Keluaran, dan periode mereka di Babel ketika Allah mengirim Israel ke dalam pembuangan. Dalam terang bab ini, bagaimana Anda mendefinisikan “kehidupan di Mesir”? 3. Apa pemahaman Perjanjian Baru tentang kebutuhan kita yang 250 B A H A YA I B A D A H S E J A T I terus-menerus mengenai penyelamatan–akan sebuah keluaran –dari apa dan untuk tujuan apa? 4. Bagaimana paradigma keluaran nampak dalam budaya Anda? 5. Bagaimana keluaran muncul dalam pengalaman Anda tentang gereja? Bagaimana paradigma ini menolong atau menghambat respons gereja terhadap ketidakadilan? 6. Bagaimana Anda mendefinisikan “kehidupan di pembuangan”? 7. Apa pemahaman Perjanjian Baru tentang kebutuhan kita yang terus-menerus untuk mengakui bahwa kita “pendatang dan orang asing”? 8. Bagaimana paradigma pembuangan nampak atau tidak nampak dalam masyarakat? dalam pengalaman Anda dengan gereja? 9. Tema pembuangan apa yang mendesak Anda untuk mempertimbangkan atau bersikap berbeda terhadap isu-isu keadilan? 10. Bagaimana pengalaman ibadah menolong Anda hidup sebagai orang buangan yang setia mengikut Yesus? Bagaimana itu menolong Anda dalam mengusahakan keadilan bagi orang lain? 11. Apa yang akan menolong respons Anda terhadap kedewasaan dan mengekspresikannya lebih lagi? Bab Sembilan: Sebuah Khayalan tentang Keadilan 1. Hal-hal apa yang paling memancing imajinasi Anda? Mengapa? 2. Sebelum membaca bab ini, bagaimana Anda menjelaskan relasi antara ibadah, keadilan, dan imajinasi? 3. Menurut bab ini, apa yang membuat imajinasi begitu penting berkaitan dengan ibadah dan keadilan? 4. Bagaimana pengalaman ibadah Anda memancing imajinasi Anda bagi Allah atau hal-hal tentang Allah? Mengapa? 5. Bagaimana hal ini berdampak dalam hidup Anda sebagai seorang murid yang terus mencari dan melakukan keadilan? Penuntun Pemahaman Alkitab 251 6. Bagaimana imajinasi Anda dipicu oleh ibadah pribadi atau kelompok untuk merespons kebutuhan orang miskin, yang tertindas atau yang butuh pertolongan? Mengapa? 7. Bagaimana hal itu menggusarkan Anda? Seberapa aktif Anda mengijinkan diri Anda melangkah ke dalam kepedihan dan kebutuhan orang lain? 8. Bagaimana Anda bisa mempertahankan imajinasi Anda bertumbuh untuk Allah dan hati Allah terhadap keadilan? 9. Apa yang akan membantu Anda melakukan hal itu? Bagaimana praktik-praktik ibadah pribadi, kelompok kecil, atau berjemaat menolong Anda? Bab Sepuluh: Hidup yang Terjaga 1. Hidup terjaga terhadap Allah dan terhadap dunia bisa terdengar seperti panggilan Allah, tapi kita semua tergoda untuk tetap tertidur terhadap perjumpapan-perjumpaan dengan hidup yang penuh tantangan semacam itu. Mengapa Anda tetap tergoda untuk “tidur” bukannya sadar sepenuhnya dan terlibat dalam ibadah yang melakukan keadilan? 2. Bab ini menawarkan serangkaian pilihan: pilihan untuk menghidupi ibadah kita, untuk melihat, untuk terlibat, dan pilihan untuk mengasihi. Apa maksud masing-masing pilihan itu? Bagian mana saja yang sudah Anda pahami dan Anda coba menghidupinya? Bagian mana saja yang belum Anda lakukan? 3. Pilihan-pilihan mana yang orang lain berkata bahwa mereka telah melihat Anda menghidupinya? Bagaimana Anda menghidupi pilihan itu? 4. Jika Anda harus menggambarkan setahun ke depan bagaimana Anda telah hidup terjaga bagi Allah dan bagi keprihatinan Allah atas ibadah yang melakukan keadilan, apa yang ingin bisa Anda ceritakan atau tunjukkan? 252 B A H A YA I B A D A H S E J A T I 5. Apa yang diperlukan supaya hal-hal tersebut bisa benar-benar terjadi? 6. Siapa yang akan Anda ajak bergabung dalam membuat perubahan-perubahan ini? 7. Bagaimana supaya orang lain bisa bersama Anda mendoakan hal-hal ini dan bagaimana Anda bisa melakukan hal yang sama untuk mereka? 8. Latihan menyimpulkan: atur alarm pada jam Anda atau buatlah sebuah janji pertemuan dalam buku agenda harian Anda selama setahun ke depan dan rencanakanlah untuk bertemu dengan beberapa teman untuk melihat bagaimana hidup Anda telah terjaga saat itu. Segalanya harus dipertaruhkan. Ini sangat penting. Beribadahlah dengan cara hidup Anda. CATATAN KAKI Bab 1: Apa yang Dipertaruhkan dalam Ibadah? 1 Sekretaris Jendral PBB, The Millennium Project. 2 Menurut data The State of the World’s Children 2006: Excluded and Invisible (New York: Unicef, 2005), hal. 50, 1.2 juta anak diperdagangkan dalam seks internasional tiap tahun. Bab 2: Pertempuran yang Sesungguhnya dalam Ibadah 1 Hukum itu menetapkan sabat dan tahun yobel (Imamat 25) sebagai cara pembatasan terhadap hal-hal yang bila dibiarkan akan membawa (dan telah membawa) generasi demi generasi ke dalam kemiskinan dan penderitaan. Bab 3: Bahaya-Bahaya Palsu Lihat khususnya kitab Imamat 2 “Christian ‘Idol’ Show Set for Trinity,” Billboard, 18 Juni 2004. 1 Bab 4: Bahaya-Bahaya Sejati John Calvin, Institutes of the Christian Religion 1.13.1. 2 Annie Dillard, Teaching a Stone to Talk: Expeditions and Encounters (New York: Harper Collins, 1982), hal. 40. 1 Bab 5: Bangun terhadap Tempat di mana Kita Tinggal Paul Willis, “Children Scapegoated as Witches in Fallout from Congo’s Civil War,” The San Francisco Chronicle, 9 Juli 2006. 2 C. S. Lewis, The Weight of Glory (New York: Harper Collins, 1949), hal. 9. 1 Bab 6: Melakukan Keadilan Dimulai dengan Istirahat Bunda Teresa dari Kalkuta, A Gift for God: Prayers and Meditations 1 254 B A H A YA I B A D A H S E J A T I (New York: Harper and Row, 1975), hal. 40. Bab 7: Ketika Ibadah Menegur Kekuasaan 1 Richard Re, “A Persisting Evil: The Global Problem of Slavery,” Harvard International Review, musim dingin 2002. 2 Joint Monitoring Programme for Water Supply and Sanitation (WHO dan UNICEF), Millennium Development Goals Assessment Report, 2006. 3 “Life Expectancy,” Global Burden of Disease and Risk Factors (WHO), 2002. 4 “With Pension System a Mess, China Calls Cato,” The Washington Post, 21 Augustus 2001. Bab 8: Hidup dengan Paradigma Keluaran atau Pembuangan? Istilah ini mengacu pada apa yang sering disebut dengan Dunia Ketiga. Istilah “dunia mayoritas” mencerminkan bahwa kita mengacu pada mayoritas populasi dunia, yang hidup dalam kemiskinan yang parah dan sangat membutuhkan pertolongan. Yang terpinggirkan sesungguhnya adalah kelompok mayoritas. 1 Bab 9: Sebuah Khayalan tentang Keadilan Lihat website of International Justice Mission (ijm.org) untuk melihat banyak bahan berharga yang disediakan IJM untuk PA dan refleksi pribadi, kelompok kecil tentang pandangan dan tindakan Kristen terhadap keadilan. 2 Lagi, bahan-bahan kreatif dari IJM (ijm.org) bisa sangat menolong dalam merangsang imajinasi kita bagi keadilan. 3 The Heidelberg Catechism, respons terhadap pertanyaan no. 1. 1 Bab 10: Hidup yang Terjaga Bunda Teresa dari Kalkuta, A Gift for God: Prayers and Meditations (New York: Harper and Row, 1975), hal. 40. 2 Blaise Pascal, Pensées, Pensee #919, di Christianity for Modern Pagans: Pascal’sPensées, ed. Peter Kreeft (San Francisco: Ignatius Press,1992), hal. 330. 1 The Radical Disciple (Murid yang Radikal) Beberapa Aspek yang Sering Diabaikan Orang Kristen John Stott Apa artinya mengikut Yesus? Melalui buku Murid yang Radikal, John Stott menyampaikan pesan perpisahan di akhir pelayanannya ke gereja-gereja di seluruh dunia yang pernah mengenal teladannya. Dia membukakan bagi kita, sampai ke akar-akarnya, apa artinya mengikut Yesus, melalui eksplorasi 8 ASPEK PENTING yang sering diabaikan oleh orang-orang Kristen. Mengikut Yesus berarti membiarkan Dia mengarahkan agenda hidup kita. Kita tidak boleh menetapkan batasanbatasan ke-Tuhanan-Nya atau menghindarkan diri dari harga yang harus dibayar karena komitmen kita. Dia memanggil. Kita mengikut-Nya. Buku Terakhir & Perpisahan Seorang Raksasa Iman Abad ke-20 Info lengkapnya kunjungi: www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: [email protected], www.perkantasjatim.org Skandal Hati Nurani Kaum Injili Mengapa Hidup Orang-Orang Kristen Ronald J. Sider 2006 Christianity Book Award Winner Pada dasarnya buku ini merupakan tangisan penulis dari buku ini terhadap kondisi kekristenan Injili di Amerika Serikat. Kekristenan Injili mengklaim dirinya sebagai aliran kekristenan yang setia mengajarkan pemahaman doktrin Firman Tuhan yang sejati, ironisnya, hidup orang-orang Kristen Injili tidak ada bedanya dengan hidup orang-orang dunia. Dalam analisisnya, Sider menemukan bahwa selain alasan praktis, alasan teologis juga turut berperan menciptakan kesenjangan antara idealisme Injili dengan perilakunya. Menurutnya orang-orang Kristen sekarang ini sudah mereduksi makna keselamatan sekadar persoalan terlepas dari hukuman neraka, mendapat hidup kekal, menganggap bahwa sebuah pribadi manusia sekadar terdiri dari jiwa saja. Selain itu, ia juga melihat bahwa arti keselamatan begitu disempitkan sekadar mengucapkan seperangkat kalimat syahadat Kristen, meskipun tanpa pemahaman dan otomatis memperoleh asuransi keselamatan jiwa kekal. Melalui buku ini Sider menghadirkan analisis menawarkan konsep-konsep Alkitabiah yang diharapkan dapat mengubah pola pikir orang-orang Kristen sesuai dengan firman Tuhan dan berharap budaya Kristen di Indonesia tidak dengan mudah meniru budaya kekristenan Amerika. Literatur Perkantas Jawa Timur Jl. Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Tlp. (031) 8435582, 8413047; Faks.(031) 8418639 E-mail: [email protected], www.perkantasjatim.org