BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum Perjanjian

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Tinjauan Umum Perjanjian
2.1.1. Peristilahan.
Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari
bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut Subekti “Suatu perjanjian
dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan
sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu
adalah sama artinya”.47
Istilah kontrak dipakai dalam praktek bisnis selain istilah perjanjian dan
persetujuan. Kerancuan akan istilah kontrak atau perjanjian masih sering
diketemukan dalam praktek bisnis. Pelaku bisnis memahami bahwa kedua istilah
antara perjanjian dan kontrak mempunyai pengertian yang berbeda.Menurut
Muhammad Syaifuddin48 pengertian antara perjanjian dan kontrak adalah sama,
jika dilihat dari pengertian yang terdapat dalam KUHPer sebagai produk warisan
kolonial Belanda, maka ditemukan istilah “overeenkomst” dan “contract” untuk
pengertian yang sama, sebagaimana dicermati dalam Buku III Titel Kedua
Tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan, yang
dalam bahasa Belanda ditulis “Van verbintenissen die uit contract of
overeenkomst geboren worden”.
47
48
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hal.1.
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.15.
36
37
Para sarjana seperti Mariam Darus Badrulzaman49, J.Satrio50, dan Purwahid
Patrik51 menganut pandangan yang menyatakan bahwa istilah kontrak dan
perjanjian mempunyai
pengertian
yang sama. Agus Yudha Hernoko52
memberikan alasan bahwa kedua istilah tersebut juga digunakan dalam istilah
kontrak komersial, misalnya perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha,
kontrak kerjasama, perjanjian kerjasama dan kontrak konstruksi.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ricardo Simanjutak, yang menyatakan
bahwa;
Adapun pengertian kontrak secara tegas dimaksudkan sebagai kesepakatan
para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat. Walaupun
istilah kontrak merupakan istilah yang telah lama diserap ke dalam bahasa
Indonesia, karena secara tegas digunakan dalam KUH Perdata, pengertian
kontrak tidak dimaksudkan seluas dari pengertian perjanjian seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pengertian kontrak lebih
dipersamakan dengan pengertian dari perikatan ataupun hukum perikatan yang
digambarkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata53.
Berdasarkan pendapat Ricardo Simanjutak, dapat dilihat bahwa kontrak
(dalam bahasa Inggrisnya contract) juga merupakan perjanjian (dalam bahasa
Inggrisnya agreement) yang memiliki konsekuensi hukum (legal enforceability)
apabila tidak dilaksanakan.54 Para pihak dapat membuat suatu kesepakatankesepakatan atau perjanjian-perjanjian yang tidak mempunyai konsekuensi hukum
49
Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung,
(selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal.89.
50
J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disebut J.Satrio III), hal.19.
51
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju,
Bandung, (selanjutnya disebut Purwahid Patrik I), hal.19.
52
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.13.
53
Ricardo Simanjutak, Op.Cit, hal.27.
54
Ibid, hal.28.
38
yang mengikat para pihak walaupun perjanjian-perjanjian tersebut adalah bersifat
komersial.
Ricardo Simanjutak menjelaskan bahwa kontrak merupakan bagian dari
pengertian perjanjian, artinya bahwa kontrak adalah juga perjanjian walaupun
belum tentu perjanjian adalah kontrak. Dalam pengertian kesepakatan para pihak
yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat kontrak sama dengan
perjanjian. Perjanjian yang tidak memiliki konsekuensi hukum tidak sama dengan
kontrak. Dasar untuk menentukan apakah perjanjian mempunyai konsekuensi
hukum yang mengikat ataukah hanya sebagai perjanjian yang mempunyai
konsekuensi moral dapat dilihat dari kemauan dasar dari para pihak yang
berkontrak55.
Menurut pendapat sarjana asing Geoff Monahan dan David Barker mengenai
bentuk dari kontrak yang sah bahwa;
A valid contract is a contract that the law will enforce and creates legal rights
and obligations. A contract valid ab initio (from the beginning) contains all the
three essential elements of formation:
• agreement (offer and acceptance);
• intention (to be bound by the agreement);
• consideration (for example, the promise to pay for goods or services
received).
In addition, a valid contract may have to be in writing to be legally valid
(although most contracts may be oral, or a combination of oral and written
words)56.
(Kontrak yang sah adalah kontrak yang dapat dipaksakan berlakunya secara
hukum dan menimbulkan akibat hukum berupa hak-hak dan kewajibankewajiban. Sebuah kontrak sah dari awal jika mengandung tiga elemen yakni
persetujuan (penawaran dan penerimaan), maksud untuk terikat dalam
perjanjian, adanya prestasi contohnya janji untuk membayar barang-barang
55
Ibid,hal.32.
Geoff Monahan and David Barker, 2001, Essential Contract Law, Second
Edition, Cavendish Publishing, Sydney, hal.3.
56
39
atau jasa yang diperlukan). Sebagai tambahan, kontrak yang sah dapat
berbentuk tulisan agar sah secara hukum (walaupun beberapa kontrak dapat
lisan, atau kombinasi dari lisan dan tulisan/ garis bawah dari penulis).
Pandangan Geoff Monahan dan David Barker tersebut tidak mensyaratkan bahwa
kontrak harus dalam bentuk tulisan, karena dapat saja kontrak berbentuk lisan
bahkan gabungan antara lisan dan tulisan.
Sarjana asing lainnya yakni T.M Scanlon menyatakan bahwa ada perbedaan
antara janji dengan kontrak yakni57
While promises do not, I have argued, presuppose a social institution of
agreement-making, the law of contracts obviously is such an institution.
Moreover, it is an institution backed by the coercive power of the state, and
one that, unlike the morality of promises, is centrally concerned with what is to
be done when contracts have not been fulfilled.
(Sementara janji-janji tidak memiliki akan hal ini, saya berpendapat bahwa
hukum dari kontrak adalah sebuah institusi. Bagaimanapun, ia adalah sebuah
institusi yang ada akibat adanya kekuasaan negara, dan berbeda dengan aspek
moral dari janji-janji, hukum kontrak menekankan pada apa yang harus
dilakukan bila kontrak-kontrak tidak dipenuhi)
Berdasarkan pendapat tersebut, maka janji lebih menekankan pada aspek moral
sebagai kekuatan mengikatnya, sedangkan pada kontrak ada pada aspek kekuatan
memaksa jika tidak ditaati.
Muhammad Syaifuddin mengutip pendapat Steven L. Emauel mengenai
istilah kontrak bahwa “A “contract” is an agreement that the law will enforce in
some way. A contract must contain at least one promise, i.e, a commitment to do
something in the future.”(Kontrak adalah suatu persetujuan yang hukum akan
57
T.M. Scanlon, 2001, “Promises and Contracts”, dalam Peter Benson (ed),
The Theory of Contract Law, Cambridge University Press, New York, hal.99.
40
menegakkannya dalam berbagai cara. Kontrak harus memuat paling tidak satu
janji, yaitu suatu komitmen untuk melakukan sesuatu di masa depan)58.
Lebih lanjut, Emanuel menjelaskan bahwa “The term”contract” is often
used to refer to a written document which embodies an agreement. But for legal
purpose, an agreement may be a binding and enforceable contract in most
circumstance even though it is oral,” (Istilah kontrak seringkali digunakan untuk
menunjukkan dokumen tertulis yang didalamnya terkandung persetujuan. Namun,
untuk tujuan hukum, suatu persetujuan juga merupakan suatu kontrak yang
mengikat dan dapat ditegakkan dalam banyak situasi meskipun hanya secara
lisan)59.
Subekti menganut pandangan bahwa istilah kontrak, memiliki pengertian
yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang
dibuat secara tertulis, sedangkan suatu perjanjian yang dibuat secara tidak tertulis
(lisan) tidak dapat disebut dengan istilah kontrak, melainkan perjanjian atau
persetujuan.60 Subekti lebih menekankan perbedaan antara kontrak dengan
perjanjian pada unsur bentuknya.61
2.1.2. Pengertian perjanjian.
Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPer yang menentukan
bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
58
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.16.
Ibid.
60
Subekti I, Op.Cit, hal.1.
61
Dalam penulisan ini, kata persetujuan, perjanjian dan kontrak memiliki arti
yang sama.
59
41
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Dari definisi tersebut
beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung beberapa kelemahan.
Menurut
Abdulkadir
Muhammad,
rumusan
Pasal
1313
KUHPer
mengandung kelemahan karena: 62
1. Hanya menyangkut sepihak saja.
Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya sepihak,
sehingga perlu dirumuskan “kedua belah pihak saling mengikatkan diri”,
dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar
meliputi perjanjian timbal balik.
2. Kata “perbuatan” termasuk di dalamnya konsensus.
Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa
kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus.
Seharusnya digunakan kata persetujuan
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Luas lingkupnya juga mencangkup mengenai urusan janji kawin yang
termasuk dalam lingkup hukum keluarga, seharusnya yang diatur adalah
hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.
Perjanjian yang dimaksudkan di dalam Pasal 1313 KUHPer adalah
perjanijan yang berakibat di dalam lapangan harta kekayaan, sehingga
62
hal.78.
Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bandung,
42
perjanjian di luar lapangan hukum tersebut bukan merupakan lingkup
perjanjian yang dimaksudkan.
4. Tanpa menyebutkan tujuan.
Rumusan
Pasal
1313
KUHPer
tidak
mencantumkan
tujuan
dilaksanakannya suatu perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan
diri tidak memiliki kejelasan untuk maksud apa diadakan perjanjian.
Pendapat dari Abdul Kadir Muhamad didukung oleh pendapat R. Setiawan.
Menurutnya bahwa “Pengertian perjanjian tersebut terlalu luas, karena istilah
perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan
perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum”.63
Mariam Darus Badrulzaman64, tidak memberikan penjelasan mengenai apa
itu perjanjian, namun memberikan kritik pula terhadap definisi perjanjian yang
terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPer adalah tidak lengkap dan terlalu
luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja, sedangkan
terlalu luas karena mencangkup juga janji kawin yaitu perbuatan di dalam hukum
keluarga yang menimbulkan perjanjian juga.
Menurut pendapat R.M. Suryodiningrat yang dikutip dalam bukunya
Muhammad Syaifuddin, mengemukakan pandangan kritis tentang pengertian
perjanjian yang dianut oleh Pasal 1313 KUHPer diantaranya;
1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan dan setiap
sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap
janji adalah persetujuan;
63
R.Setiawan, 1979, Pokok –Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung,
hal.49
64
Mariam Darus Badrulzaman II, Op.Cit, hal.18
43
2. Perkataan dan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan
akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal; perbuatan yang menimbulkan
kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);
3. Definsi Pasal 1313 BW (KUH Perdata, Pen-) hanya mengenai persetujuan
sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi, sedangkan pihak
lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya
persetujuan itu berdimensi dua pihak, di mana para pihak saling berprestasi;
4. Pasal 1313 BW (KUH Perdata, Pen-) hanya mengenai persetujuan obligatoir
(melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi
persetujuan jenis lainnya (misalnya; perjanjian liberatoir/ membebaskan;
perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian
pembuktian).65
Selain itu Purwahid Patrik menguraikan beberapa kelemahan pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPer, yaitu;
1. Definisinya hanya menyangkut perjanjian sepihak saja, yang dapat disimak
dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang
sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak.
Sedangkan maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri,
sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan
rumusan “ saling mengikatkan diri”;
2. Kata perbuatan mencangkup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk
perbuatan mengurus orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad), yang menunjukkan makna “perbuatan” itu
luas dan menimbulkan akibat hukum;
3. Rumusannya mempunyai ruang lingkup harta kekayaan (vermogensrecht).66
Pandangan berbeda dianut oleh Ricardo Simanjutak67, bahwa ia tidak setuju
dengan pendapat dari Mariam Darus Badrulzaman, yang mengatakan bahwa
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPer hanya merumuskan perjanjian
sepihak saja. Alasan yang dikemukakannya adalah jika perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1313 KUHPer merupakan perjanjian sepihak, maka akan secara
65
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.21.
Purwahid Patrik, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung,
(selanjutnya disebut Purwahid Patrik II), hal.45-46.
67
Ricardo Simanjutak, Op.Cit, hal.25.
66
44
otomatis memberikan pengertian bahwa perikatan merupakan perjanjian sepihak
pula, karena perikatan berdasarkan Pasal 1233 KUHPer dapat pula berasal dari
perjanjian, sehingga perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPer tidak
hanya mengenai perjanjian sepihak saja akan tetapi meliputi perjanjian dua belah
pihak pula.
Ricardo Simanjutak68 memberikan bantahan terhadap pendapat bahwa
definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPer terlalu luas dengan pendapat
bahwa definisi yang digambarkan dalam pasal tersebut sudah tepat karena
memang dimaksudkan sebagai suatu definsi yang bepengertian luas. Cakupan luas
dalam Pasal 1313 KUHPer dimaksudkan untuk menggambarkan perjanjian
sebagai suatu perbuatan, bukan perbuatan hukum. Pasal 1313 KUHPer
menggambarkan tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih yang tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum
tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.
Pendapat yang senada dengan pendapat Richard Simanjutak dikemukakan
oleh Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa rumusan dalam Pasal 1313
kUHPer menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseroang mengikatkan
dirinya kepada orang lain. Ini berarti timbul prestasi dari satu atau lebih orang
(pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi
tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi69. Rumusan tersebut
68
Ibid.
Gunawan Widjaja, 2007, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip
Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.249.
69
45
memberikan konsekuensi bahwa dalam satu perjanjian akan selalu ada dua pihak,
dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak
lainnya merupakan phak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).
Gunawan Widjaja memberikan alasan lain bahwa Pasal 1313 KUHPer tidak
berdiri sendiri tetapi dikembangkan dengan Pasal 1314 KUHPer yang menentukan
bahwa:
Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan.
Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu
akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima
imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang
mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu.
Pasal 1313 KUHPer dikembangkan dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang
wajib dilakukan oleh debitor dalam perjanjian tersebut dapat meminta
dilakukannya kontraprestasi dari lawan pihaknya tersebut.70
Dua rumusan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 dan 1314 KUHPer
menentukan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang
bersifat sepihak (dimana satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang
bertimbal balik (kedua belah pihak saling berprestasi). Berdasarkan hal tersebut,
dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan dengan
kewajiban yang saling bertimbal balik yakni debitor pada satu sisi menjadi
kreditor. Kewajiban yang saling bertimbal balik merupakan karakterisik dari
perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-
70
Ibid.
46
undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitor dan pihak lain yang menjadi
kreditor yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitor71.
Para sarjana mencoba menguraikan definisi dari perjanjian walaupun
terdapat kelemahan definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPer. Subekti
berpendapat bahwa”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal”.72 Sudikno Mertokusumo menguraikan bahwa “perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum”.
2.1.3. Unsur-unsur perjanjian.
Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui apakah yang dihadapi
adalah suatu perjanjian atau bukan, memiliki akibat hukum atau tidak. Unsurunsur yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad
sebagai berikut;73
1. Ada pihak-pihak.
Pihak yang dimaksud adalah subyek perjanjian yang paling sedikit terdiri
dari dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum berdasarkan undang-undang.
2. Ada persetujuan.
Persetujuan dilakukan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan
suatu perundingan.
71
Ibid,hal.249-250.
Subekti I Op.Cit, hal.1.
73
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.78.
72
47
3. Ada tujuan yang hendak dicapai.
Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak kehendaknya tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis.
Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya
dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan
bukti yang kuat.
6. Ada syarat-syarat tertentu
Syarat menurut undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi
sah.
Menurut Herlien Budiono, perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313
KUHPer adalah perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menciptakan, mengisi,
mengubah atau menghapuskan perikatan yang menimbulkan hubungan-hubungan
hukum di antara para pihak, yang membuat perjanjian di bidang harta kekayaan
atas dasar mana satu pihak diwajibkan melaksanakan suatu prestasi, sedangkan
48
pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan prestasi tersebut, atau demi
kepentingan dan atas beban kedua belah pihak secara timbal balik. 74
Herlien Budiono memberikan pengertian perjanjian dengan menekankan
pada perbuatan hukum yang diuraikan sebagai berikut:
Perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau
menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, kontrak atau
perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika
suatu perbuatan hukum adalah kontrak atau perjanjian, orang-orang yang
melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak75
Berdasarkan pendapat tersebut maka unsur–unsur perjanjian menurut Herlien
Budiono terdiri atas;
1.
2.
3.
4.
Kata sepakat dari dua pihak;
Kata sepakat yang tercapai harus tergantung kepada para pihak;
Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;
Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain
atau timbal balik;
5. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.76
Herlien Budiono memberikan pula tambahan mengenai bagian-bagian dari
perjanjian yang terdiri dari bagian essentialia, bagian naturalia dan bagian
accidentalia.77 Bagian essentialia adalah bagian dari perjanjian yang harus ada,
apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian itu tidak dapat disebut
perjanjian bernama yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain.
Bagian naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada
tanpa perlu diperjanjikan terlebih dahulu secara khusus oleh para pihak. Bagian
74
Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya
disebut Herlien Budiono II), hal.3.
75
Ibid, hal.3.
76
Ibid, hal.5.
77
Ibid, hal.67-72.
49
aksidentalia adalah bagian perjanjian yang berupa ketentuan yang diperjanjikan
secara khusus oleh para pihak.
2.1.4. Jenis-jenis perjanjian.
Muhammad Syaifuddin membagi bentuk perjanjian berdasarkan beberapa hal
yakni78 ;
1. Berdasarkan proses terjadinya/ terbentuknya.
Perjanjian menurut proses terjadinya atau terbentuknya dapat dibedakan
menjadi tiga jenis yakni:
a. Perjanjian Konsensual
Perjanjian yang dianggap sah jika telah terjadi sepakat antara pihak yang
membuatnya. Misalnya, perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPer
terjadi pada saat timbulnya kesepakatan mengenai barang dan harganya.
b. Perjanjian Riil.
Perjanjian yang selain terdapat kata sepakat, juga harus disertai dengan
suatu penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang menurut
Pasal 1741 KUHPer dan perjanjian pinjam meminjam menurut Pasal
1754 KUHPer.
c. Perjanjian Formil.
Perjanjian yang selain terdapat kata sepakat, tapi juga memiliki bentuk
yang ditetapkan oleh umdang-undang. Misalnya, perjanjian fidusia yang
harus dibuat dengan bentuk akta notaris berdasarkan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia.
78
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal 147-156.
50
2. Berdasarkan sifat dan akibat hukumnya.
Perjanjian berdasarkan sifat dan akibat hukum yang ditimbulkannya terdiri
dari lima jenis yaitu;
a. Perjanjian di bidang hukum keluarga.
Perkawinan yang merupakan perjanjian sui generis, yang didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai yang mengandung beberapa aspek,
yaitu persetujuan untuk menikah adalah perbuatan hukum, hubungan
hukum yang timbul di antara para pihak, peristiwa hukum yang hampir
seluruhnya diatur dalam undang-undang dan bersifat memaksa, dan
terikatnya para pihak selama dalam ikatan perkawinan.
b. Perjanjian kebendaan.
Perjanjian yang dibuat dengan mengindahkan peraturan perundangundangan, timbul karena kesepakatan antara dua belah pihak dan
ditujukan untuk menimbulkan, beralih, berubah, berakhirnya suatu hak
kebendaan, khususnya benda tetap, dan dibuat dalam bentuk yang
ditetapkan oleh undang-undang.
c. Perjanjian obligatoir.
Perjanjian yang timbul karena kesepakatan dari dua belah pihak atau
lebih dengan tujuan timbulnya suatu perikatan untuk kepentingan yang
satu atas beban yang lain atau timbal balik.
d. Perjanjian mengenai pembuktian.
Perjanjian yang timbul karena kesepakatan dari para pihak dengan tujuan
membatasi ketentuan mengenai cara atau alat pembuktian atau
51
menghindari pengajuan perlawanan pembuktian, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan
yang baik. Para pihak
dapat menyepakati suatu klausula dalam
perjanjian bahwa mereka hanya menggunakan satu alat bukti atau
menyerahkan beban pembuktian pada salah satu pihak, apabila suatu saat
perlu adanya pembuktian.
e. Perjanjian bersifat kepublikan.
Perjanjian yang timbul dari kesepakatan antara para pihak. yang satu atau
kedua belah pihak adalah badan hukum publik yang berwenang membuat
perjanjian di bidang hukum privat dan melaksanakan semua hak dan
kewenangan yang dimilikinya, kecuali dilarang oleh undang-undang.
3. Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya.
Perjanjian menurut hak yang kewajiban dari para pihak yang membuatnya
terdiri dari dua jenis yaitu;
a. Perjanjian timbal balik.
Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada
kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli
Pasal 1457 KUHPer dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPer.
Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban adadi kedua belah pihak.
Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak
mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan
hak menerima barangnya.
52
b. Perjanjian sepihak.
Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu
pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya
ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang
dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban
apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan
tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
4. Perjanjian berdasarkan penamaan dan sifat pengaturan hukumnya.
Perjanjian berdasarkan penamaan dan sifat pengaturan hukumnya terdiri
dari dua jenis yaitu;
a. Perjanjian bernama (benoemde contract atau nominaatcontract).
Perjanjian yang mempunyai nama sendiri yang telah diatur secara khusus
dalam KUHPer Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya, perjanjian
jual beli, perjanjian sewa-menyewa, hibah, perjanjian tukar-menukar,
perjanjian persekutuan perdata, perjanjian untuk melakukan pekerjaan,
perjanjian tentang perkumpulan, perjanjian penitipan barang, perjanjian
pinjam pakai, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian pemberian kuasa,
perjanjian penanggungan utang, perjanjian bunga tetap, perjanjian
untung-untungan dan perjanjian perdamaian.
b. Perjanjian tidak bernama (innominaat contract).
Perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer tetapi timbul
dan berkembang di masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak
menurut Pasal 1338 KUHPer. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan
53
nama
yang
disesuaikan
dengan
kebutuhan
pihak-pihak
yang
membuatnya. Misalnya perjanjian pembiayaan konsumen, perjanjian
sewa guna usaha, perjanjian waralaba, perjanjian lisensi dan lain-lain.
Perjanjian tidak bernama berdasarkan aspek pengaturan hukumnya
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu;
i.
Perjanjian tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan
dalam bentuk undang-undang dan diatur dalam pasal-pasal tersendiri.
Misalnya perjanjian production sharing yang diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
ii.
Perjanjian tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah,
misalnya perjanjian waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.
iii.
Perjanjian tidak bernama yang belum diatur atau belum ada undangundang yang mengaturnya misalnya kontrak rahim (surrogate mother)
5. Perjanjian menurut keuntungan satu atau lebih pihak dan adanya prestasi
pada satu atau lebih pihak lainnya.
Perjanjian jenis ini didasarkan pada adanya prestasi atau timbulnya keuntungan,
perjanjian ini dibedakan menjadi dua yaitu;
a. Perjanjian dengan cuma-cuma.
Perjanjian berdasarkan Pasal 1314 kalimat pertama
menyatakan “suatu
KUHPer yang
persetujuan adalah mana pihak
yang satu
memberikan keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya”. Contoh perjanjian jenis ini adalah perjanjian
54
pinjam pakai, hibah, perjanjian pinjam meminjam tanpa bunga, dan
perjanjian penitipan barang tanpa biaya.
b. Perjanjian atas beban.
Perjanjian atas beban berdasarkan Pasal 1314 kalimat kedua KUHPer
yaitu “Suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.”
Contoh perjanjian jenis ini adalah perjanjian jual-beli, perjanjian sewa
menyewa, perjanjian pinjam meminjam dengan bunga.
6. Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya.
Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya berarti jenis-jenis perjanjian
yang eksistensinya bersifat mandiri atau tidak mandiri dan fungsinya pokok atau
tambahan/bantuan. Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya dibedakan
menjadi dua jenis yaitu;
a. Perjanjian pokok.
Perjanjian yang eksistensi bersifat mandiri atau mempunyai eksistensi
mandiri bagi perjanjian itu sendiri. Contohnya, perjanjian kredit yang
sifatnya mandiri, yang eksistensi tidak tergantung pada perjanjian
lainnya. Perjanjian kredit sebagian dikuasai atau mirip dengan perjanjian
pinjam meminjam uang yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPer dan
pasal-pasal lainnya yang terkait dan relevan dalam KUHPer, sebagian
lainnya tunduk pada undang-undang yang mengatur perbankan.
55
b. Perjanjian bantuan/tambahan.
Perjanjian yang eksistensinya tidak mandiri atau perjanjian yang tidak
mempunyai kemandirian untuk eksistensinya perjanjian itu sendiri,
melainkan tergantung pada perjanjian pokoknya, yang fungsinya
menyiapkan para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian pokok
tersebut. Fungsi untuk menegaskan, menguatkan, mengatur, mengubah
atau menyelesaikan satu perbuatan hukum juga merupakan fungsi dari
perjanjian jenis ini.
Perjanjian bantuan yang berfungsi menyiapkan disebut juga perjanjian
pendahuluan, misalnya perjanjian pengikatan jual beli yang berfungsi
membuat dan mengikatkan diri para pihak pada perjanjian pokoknya,
yaitu perjanjian jual beli.
Perjanjian jaminan, baik jaminan perorangan maupun kebendaan adalah
contoh dari perjanjian bantuan/tambahan yang fungsinya memperkuat
perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit. Eksistensi perjanjian jaminan
sangat tergantung pada perjanjian kredit. Jika perjanjian kredit tidak ada,
maka perjanjian jaminan juga tidak ada. Keberadaan perjanjian kredit
sebagai perjanjian pokok tidak tergantung pada keberadaan perjanjian
jaminan
7. Perjanjian menurut ada atau tidaknya kepastian pelaksanaan prestasinya.
Perjanjian menurut ada atau tidaknya kepastian pelaksanaan prestasinya
didasarkan pada syarat yang dapat ditentukan atau tidak ditentukan untuk
berlakunya perjanjian. Perjanjian jenis ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
56
a. Perjanjian dengan imbalan/penggantian
Perjanjian yang prestasinya tidak ada hubungan dengan peristiwa
kebetulan atau kejadian yang tidak terduga. Misalnya perjanjian jual beli
yang prestasinya sudah pasti, yaitu penyerahan benda oleh penjual dan
pembayaran harga jual belinya oleh pembeli.
b. Perjanjian untung-untungan.
Perjanjian yang prestasinya digantungkan pada peristiwa yang belum
tentu terjadi. Diatur dalam Pasal 1774 KUHPer yang menyatakan bahwa
Persejuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya
mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun sebagian
pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu misalnya
perjanjian pertanggungan.
Perbedaan antara perjanjian untung-untungan dengan perjanjian dengan
perikatan bersyarat menangguhkan adalah pada pengaitan prestasi pada hal yang
belum tentu terjadi atau pada hal yang sekalipun belum tentu terjadi tetap berada
dalam kontrol satu pihak. Dalam perjanjian untung-untungan, perikatan yang
terjadi adalah murni dan tidak bersyarat (menangguhkan), hanya kewajiban untuk
melakukan prestasi bergantung pada kejadian yang belum tentu.79
Abdulkadir Muhammad,80 mengelompokkan perjanjian menjadi lima jenis
yang terdiri dari:
79
80
Herlien Budiono II, Op.Cit, hal.38.
Abdulkadir Muhammad,Op.Cit, Alumni, Bandung, hal.86.
57
1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang
memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal
balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar
menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban
kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah,
hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi
obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang
diberikan itu. Kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi
kedua belah pihak atau salah satu pihak. Perbedaan perjanjian jenis ini
dirasakan penting pada saat pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal 1266
KUHPer karena hanya perjanjian timbal balik yang dapat dimintakan
pembatalan ke depan hakim.
2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan
pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana
terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari
pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain,
mtetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Contohnya adalah
A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahkan
58
suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting
dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatanperbuatan
yang merugikan para kreditur
(perhatikan Pasal
1341
KUHPerdata).
3. Perjanjian bernama dan tidak bernama.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya
terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama
tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik
dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan
perjanjian
obligatoir.
Perjanjian
obligatoir
adalah
perjanjian
yang
menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan
kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang,
penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar
harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan
ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan
(levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut
hukum atau tidak.
59
5. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan
kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping
ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas
barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam
pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPer).
2.1.5. Syarat sahnya perjanjian.
Perjanjian agar dapat dikatakan sah dan memiliki akibat hukum haruslah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian agar dapat
dikatakan sah, harus dipenuhi 4 (empat) syarat yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPer yakni;
1. Kata sepakat
Kata sepakat harus bebas dari unsur paksaan, khilaf, penipuan (Pasal 1321
KUHPer). Suatu perjanjian agar dapat dilahirkan maka pihak-pihak harus
bersepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian. Dalam perjanjian sewa
menyewa maka harus disepakati terlebih dahulu harga sewa dan jangka waktu.
R.Wirjono Projodikoro memberikan pendapatnya mengenai kesepakatan
yakni;
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiasekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
Mereka menghendaki sesuatu yang secara timbal balik; si penjual mengingini
sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu barang dari penjual81.
81
R.Wirjono Projodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur
Bandung, Jakarta, hal.9.
60
Sepakat mengandung arti persesuaian kehendak di antara pihak-pihak yang
mengikatkan diri ke dalam perjanjian. Undang-undang menghendaki ada
persesuaian kehendak secara timbal balik, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan
penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPer.
Sepakat atinya pernyataan kehendak beberapa orang. Menurut Herlien
Budiono, sepakat artinya “perjanjian hanya dapat timbul dengan kerjasama dari
dua orang atau lebih atau perjanian “dibangun” oleh perbuatan dari beberapa
orang sehingga perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda.”82
Perkataan dibangun dengan dua orang atau lebih adalah bermakna dua pihak atau
lebih karena bisa saja satu orang mewakili kepentingan lebih dari satu orang.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang dinyatakan tidak
cakap diantaranya orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan (Pasal 1330 KUHPer). Orang yang tidak cakap adalah orang yang
tidak mampu membuat perjanjian dan menanggung akibat hukum yang timbul
dari perjanjian tersebut.
3. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu memiliki arti sebagai obyek perjanjian/pokok perikatan/
prestasi atau kadang juga diartikan sebagai pokok prestasi. Suatu hal tertentu
adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari
kreditor. Menurut Asser-Rutten sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono bahwa
82
Herlien Budiono II, Op.Cit, hal 5.
61
“suatu hal tertentu sebagai obyek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan
hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.”83
Tuntutan dari undang-undang bahwa obyek perjanjian haruslah tertentu.
Tujuan dari perjanjian adalah untuk timbul, berubah atau berakhirnya suatu
perikatan. Prestasi yang dimaksud bisa berupa tindakan yang mewajibkan kepada
para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
Kewajiban tersebut harus dapat ditentukan. Ketentuan Pasal 1332 KUHPer
menyebutkan “hanya barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi
pokok persetujuan.” Arti dari ketentuan ini bahwa barang yang dapat dijadikan
sebagai obyek perjanjian adalah dapat dinilai dengan uang atau memiliki nilai
ekonomis, sehingga jika terjadi perselisihan dapat dengan mudah ditentukan
nilainya.
Berdasarkan tradisi84, kriteria penilaian suatu obyek perjanjian dapat dipakai
beberapa indikator diantaranya obyek itu dapat ditentukan atau dapat
diperdagangkan (diperbolehkan untuk diperdagangkan), mungkin dilakukan dan
dapat dinilai dengan uang. Obyek perjanjian bisa berupa barang, tetapi bisa pula
bukan barang, seperti pada perjanjian kerja. Hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja yang menjadi pokok perjanjian (Pasal 1332 KUHPer).
Barang-barang yang dalam prakteknya bisa diperjualbelikan dan dapat dinilai
secara ekonomis.
83
84
Ibid, hal.107.
Ibid.
62
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal
atau kausa yang halal. Kententuan Pasal 1335 KUHPer menyatakan bahwa “Suatu
persetujuan tanpa sebab atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Arti dari pasal ini adalah perjanjian itu
menjadi, batal demi hukum.
Pasal 1337 KUHPer juga memberikan batas-batas kausa yang halal, dengan
menentukan bahwa”Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh
undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum”. Pasal ini memberikan dasar bahwa selain aturan tertulis juga
norma-norma tidak tertulis diakui dalam memberikan dasar bahwa suatu sebab itu
terlarang atau tidak.
Kata “ketertiban umum” mengacu pada asas-asas pokok fundamental dari
tatanan masyarakat. Perbedaan antara nilai kesusilaan dengan ketertiban umum,
dilihat dari titik tolak penilaiannya. Titik tolak nilai kesusilaan adalah pada
hubungan intern perorangan, sedangkan pada nilai ketertiban umum yang menjadi
titik tolak penilaiannya adalah elemen kekuasaan.
Syarat pertama dan kedua bersifat subyektif, yang mana jika syarat itu tidak
dipenuhi maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh para
pihaknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif, yang jika
syarat itu tidak dipenuhi, maka perjanjian akan batal demi hukum, atau perjanjian
dianggap tidak pernah ada.
63
2.1.6. Asas-asas perjanjian.
Sebelum membahas mengenai asas-asas perjanjian, maka terlebih dahulu
dikemukakan pengertian tentang asas berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana.
Beberapa sarjana mencoba menguraikan arti dan pengertian dari asas yang
dimaksud. Sudikno berpendapat bahwa85
Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, asas hukum merupakan pikiran
dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit
yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang
umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem sebagaimana diuraikan
oleh Niewenhuis:
Asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem karena asas-asas itu bukan
hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga di dalam banyak keadaan
menciptakan suatu sistem. Jadi suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asasasas. Lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem “check and
balance”, artinya asas-asas itu akan saling tarik menarik menuju proses
keseimbangan.” 86
Asas hukum dapat memberikan arah sesuai pendapat dari Bachsan Mustafa
dikutip oleh Agus Yudha Hernoko bahwa “Asas hukum berfungsi sebagai pondasi
yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung nilainilai dan tuntutan etis.” 87
Di dalam KUHPer dikenal beberapa asas penting, diantaranya dapat
disebutkan sebagai berikut;
a. asas konsensualisme;
85
Sudikno, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,,
hal.7.
86
87
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.25.
Ibid, hal.23.
64
b. asas kebebasan berkontrak;
c. asas pacta sunt servada (asas kepastian hukum);
d. asas itikad baik.
Guna lebih memperjelas maksud dan pengertian dari asas-asas tersebut maka
dapat dijelaskan satu persatu yakni;
Ad.a.Asas konsensualisme.
Asas konsensualisme berasal dari kata latin ”consensus” yang artinya
sepakat. Para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan.
Apabila dikaitkan dengan kalimat pertama Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan
bahwa ”Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “sesuai dengan
undang-undang” berarti bahwa pembuatan perjanjian yang sesuai dengan undangundang/hukum adalah mengikat. Sesuai dengan undang-undang berarti memenuhi
keempat syarat yang terkandung di dalam Pasal 1320 KUHPer.
Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan
dirinya dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan
perjanjian. Setiap perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah
tercapai kata sepakat mengenai prestasi atau hal pokok dari suatu perjanjian.88
Menurut Munir Fuady, bahwa syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu
perjanjian,berkaitan dengan asas kesepakatan, karena jika sudah sepakat dan
syarat syarat sahnya perjanjian terpenuhi (Pasal 1320 KUHPer), pada prinsipnya
perjanjian sudah mengikat dan mempunyai akibat hukum. Perkecualian terhadap
88
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.77.
65
beberapa jenis perjanjian disyaratkan harus dibuat dalam bentuk tertulis atau
bahkan harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat tertentu sehingga disebut dengan
kontrak formal. Hal ini adalah merupakan perkecualian dari prinsip umum tentang
asas konsensual tersebut.89Asas konsensual merupakan inti dari suatu perjanjian,
namun
demikian pada situasi
tertentu terdapat
perjanjian
yang tidak
mencerminkan kesepakatan yang sesungguhnya disebabkan karena adanya cacat
kehendak karena kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog) atau paksaan (dwang)
yang mempengaruhi timbulnya perjanjian.
Menurut Muhammad Syaifuddin bahwa asas konsensualisme tidak hanya
terdapat pada periode pra perjanjian, namun juga terdapat pada pelaksanaan dan
pemutusan perjanjian. Hal ini dapat dilihat dari apa yang terkandung dalam
kalimat kedua Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa “Persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang.undang.”
Berdasarkan bunyi kalimat kedua Pasal 1338 KUHPer mengandung sifat
kekuatan memaksa. Sifat kekuatan memaksa artinya jika salah satu pihak ingin
menarik kembali (memutuskan) perjanjian, maka harus memperoleh persetujuan
dari pihak lainnya sebagai wujud adanya kesepakatan dari para pihak dalam
pemutusan perjanjian tersebut. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan,
sehingga menimbulkan sengketa dalam arti berbeda pendapat atau penafsiran
tentang hukum dan faktanya, maka sengketanya akan diselesaikan oleh
pengadilan atau arbitrse jika diperjanjikan terlebih dahulu. Dengan demikan asas
89
Munir Fuady II, Op.Cit, hal.30-31.
66
konsensualisme ini tidak harus ada pada saat pembuatan perjanjian (vide Pasal
1320 KUHPer), tetapi juga harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, bahkan
harus pula ada pada saat pemutusan perjanjian.90
Ad.b..Asas kebebasan berkontrak.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum
perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup;91
1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian.
3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang
akan dibuatnya.
4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend optional).
Asas kebebasan berkontrak, tidak berdiri sendiri, berada dalam satu sistem
utuh dan terkait dengan pasal lainnya di dalam KUHPer diantaranya:92
1) Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sahnya perjanjian.
2) Pasal 1335 KUHPer yang melarang dibuatnya kontrak tanpa kausa atau
dibuat berdasarkan kausa palsu/terlarang.
3) Pasal 1337 KUHPer suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh
90
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.81.
Ibid, hal.110-111.
92
Ibid, hal.117-118.
91
67
undandg-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.
4) Kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer, perjanjian dilaksanakan dengan
itikad baik.
5) Pasal 1339 KUHPer, terikatnya perjanjian pada sifat, kepatutan, kebiasan
dan undang-undang.
6) Pasal 1347 KUHPer mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak.
Ad.c.Asas pacta sunt servada (kekuatan mengikat perjanjian).
Menurut Herlien Budiono93, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu
perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak
terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual. Suatu kesepakatan harus
dipenuhi dianggap sudah terberi dan tidak dipertanyakan kembali. Keterikatan
suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri.
Gunawan Widjaja memberikan pendapatnya berkaitan dengan pelaksanaan
dari asas pacta sunt servada yang diuraikan sebagai berikut:
Pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan dari perjanjian berkaitan dengan asas
ini hanya dapat dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian
terhadap pihak pihak lainnya dalam perjanjian, artinya setiap pihak, sebagai
kreditor yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitor, dapat
atau berhak memaksakan pelaksanaannya dengan meminta bantuan pada
pejabat negara yang berwenang yang akan memutuskan dan menentukan
sampai seberapa jauh suatu prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau
tidak sama sekali dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan masih dapat dilaksanakan, semuanya dengan jaminan harta
kekayaan debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPer.94
93
94
Herlien Budiono II, Op.Cit, hal.30-31.
Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.281-282.
68
Niewenhuis, menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian yang
muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan
dan kemandirian kepada para pihak, pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi
oleh dua hal yakni itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPer) dan adanya
overmacht atau force majeure.95
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka dalam buku III KUHPer
berdasarkan Pasal 1338 kalimat pertama menentukan “Semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Pasal 1339 KUHPer memperluas kekuatan mengikat ini dengan
menentukan “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan
di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan
dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”
Istilah “pacta sunt servada” adalah merupakan suatu perjanjian yang telah
dibuat secara sah oleh para pihak, mengikat para pihak secara penuh sesuai
dengan isi perjanjian. Mengikat secara penuh artinya kekuatannya sama dengan
undang-undang, sehingga apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban
yang telah disepakati dan dituangkan dalam perjanjian, maka oleh hukum
disediakan sarana ganti rugi atau dapat dipaksakan berlakunya.
Ad.d.Asas itikad baik.
Asas itikad baik tertuang dalam kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer yang
menyatakan bahwa ”Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya
bahwa perjanjian harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Itikad baik
95
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.129.
69
meliputi segala tahapan hubungan perjanjian, baik dari fase pra perjanjian, fase
perjanjian, dan fase pasca perjanjian.
Dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggaran oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), itikad baik diartikan sebagai:
1) Kejujuran pada waktu membuat perjanjian;
2) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat dihadapan
pejabat yang berwenang, para pihak dianggap bertikad baik.
3) Sebagai kepatutuan dalam tahap pelaksanaan.96
Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh BPHN,
Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 telah berhasil
dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional antara lain :97
a. Asas kepercayaan.
Mengandung arti bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian
akan memenuhi setiap prestasi yang akan ada dikemudian harinya.
b. Asas persamaan hukum.
Yang dimaksud dengan asas ini adalah subjek hukum yang mengadakan
perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam
hukum, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
c. Asas keseimbangan.
Asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan
96
Ibid, hal.141.
Salim, 2011, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, hal.13.
97
70
prestasi melalui kekayaan debitur, dan berkewajiban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik. Asas keseimbangan menekankan pada
persamaan/ kesetaraan kedudukan para pihak dalam pembuatan perjanjian
terutama dalam pembuatan perjanjian dimana salah satu pihak berada dalam
kedudukan yang lemah dibandingkan dengan pihak lainnya.
d. Asas kepastian hukum.
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian
ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undangundang bagi yang membuatnya.
e. Asas moralitas.
Asas moralitas ini terikat dalam perikatan yang wajar, pada perbuatan
sukarela seseorang tidak dapat menuntut hak untuk menggugat prestasi dari
pihak debitur, untuk melakukan perbuatan sukarela (moral), yang
berdasarkan kesusilaan (moral).
f. Asas kepatutan.
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan
berdasarkan sifat perjanjiannya.
g. Asas kebiasaan.
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian, hanya mengikat untuk
secara tegas diatur, menurut kebiasaan lazim diikuti.
71
h. Asas perlindungan.
Asas ini menekankan bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi
oleh hukum. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak
dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan
hukum sehari-hari. Asas perlindungan menekankan pada perlindungan para
pihak dalam pembuatan perjanjian melalui kewenangan dari Pengadilan
sebagai alat untuk memaksakan berlakunya perjanjian.
2.2. Tinjauan Umum Tentang Perikatan
2.2.1. Pengertian perikatan.
Perlunya dibahas mengenai perikatan adalah karena perikatan merupakan hal
yang timbul akibat adanya perjanjian. Perikatan yang membuat orang terikat
untuk melaksanakan suatu perjanjian. Istilah perikatan dengan perjanjian memiliki
pengertian yang tidak selalu sama dengan perjanjian. Di Indonesia perjanjian
diatur dalam Buku III KUHPer, di samping mengatur mengenai perikatan yang
timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang.
KUHPerdata tidak memberikan definisi yang tegas dari perikatan, namun Pasal
1313 KUHPer memberikan definsi dari perjanjian sebagai berikut “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Definisi dari perikatan tidak secara tegas diatur dalam KUHPer, akan tetapi
dalam Pasal 1233 KUHPer ditegaskan bahwa “Perikatan selain dapat dilahirkan
dari undang-undang, dapat juga dilahirkan dari perjanjian”. Berdasarkan Pasal
72
1233 KUHPer, maka terlihat bahwa perjanjian dapat meliputi pengertian dari
perikatan, karena perikatan lahir dari perjanjian itu sendiri.
Subekti membedakan pengertian dari perikatan dengan perjanjian, yaitu
“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”98,
sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai “Suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.”99 Berdasarkan kedua definisi tersebut, perbedaan antara
perikatan dan perjanjian adalah pada perikatan masing-masing pihak memiliki hak
hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya, sedangkan pada
perjanjian tidak ditegaskan. Yang ditekankan dalam perjanjian adalah timbulnya
suatu prestasi.
J.Satrio, menyatakan pendapatnya bahwa “Perikatan adalah hubungan
hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, di satu pihak ada hak
dan di lain pihak ada kewajiban. Adapun dalam hal tidak terpenuhinya suatu
prestasi perikatan dapat dilakukan dengan ganti rugi dalam sejumlah uang tertentu
yang pemenuhannya dapat dituntut di depan hakim.”100
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menyebut perikatan dengan kata
“perutangan” dan memberikan definisi dari perutangan sebagai “hubungan hukum
98
Subekti I, Op.Cit, hal.1.
Ibid.
100
J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan Perikatan yang Lahir dari Perjanjian
Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio IV), hal.5.
99
73
yang atas dasar itu seseorang dapat mengharapkan suatu prestasi dari seseroang
yang lain, jika perlu dengan perantaraan hakim.”101 Beliau menambahkan bahwa
perutangan-perutangan yang diatur dalam buku ketiga KUHPer adalah tertuju
pada suatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui pengadilan, selama tidak diatur
secara khusus di tempat lain, baik di dalam KUHPer maupun di undang-undang
yang lain.102
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa ciri perbedaan antara
hak atas suatu benda dan hak yang timbul dari perutangan ialah bahwa hak atas
benda itu lebih bersifat tetap, sedangkan tujuan dari perutangan adalah pemenuhan
prestasi, yang akan menyebabkan hapusnya perutangan. Perbedaan kedua adalah
jika jumlah hal-hal kebendaan terbatas, maka jumlah perutangan-perutangan
terutama perutangan yang timbul dari perjanjian adalah tak terbatas.103
2.2.2. Unsur-unsur perikatan.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menguraikan hal-hal pokok dari perikatan
adalah sebagai berikut;
1. Dalam hubungan hukum yang diwujudkan terdapat sekurang-kurangnya 2
(dua) orang. Dua orang diantara kreditur (yang berpiutang) dan debitur
(yang berutang), tetapi dapat juga ada lebih dari seorang kreditur dan atau
debitur. Debitur harus selalu dapat diketahui, berlainan dengan kreditur,ia
101
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata Hukum
Perutangan Bagian A, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, hal.1.
102
Ibid, hal 2.
103
Ibid, hal.3.
74
tidak hanya secara sepihak (tanpa turut sertanya debitur) dapat diganti
(dengan jalan cessie piutang);
2. Debitur wajib untuk suatu prestasi, yang dapat berupa memberi, berbuat,
atau tidak berbuat;
3. Prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan;
4. Prestasi harus mungkin dan dapat dilaksanakan;
5. Prestasi dapat berupa perbuatan satu kali, contohnya levering atau serentetan
perbuatan-perbuatan sehingga sifatnya terus menerus misalnya dalam
perjanjian sewa atau perjanjian kerja. Prestasi juga dapat berupa tindakan
yang pasif tidak berbuat;
6. Perikatan dapat tidak berdiri sendiri, melainkan bersama-sama dengan
perikatan lain yang sifatnya berlainan secara timbal balik merupakan suatu
hubungan hukum yang dipandang sebagai suatu keseluruhan. Contoh dalam
perjanjian jual beli timbul berbagai perikatan, diantaranya penjual wajib melever (Pasal 1474 KUHPer), pembeli wajib untuk membayar (Pasal 1513
KUHPer), kedua belah pihak masing-masing sebagai kreditur dan debitur;
7. Dalam rangka pemenuhan perikatan si debitur bertanggung-gugat dengan
seluruh harta kekayaannya (Pasal 1131 dan 1132 KUHPer).104
Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi “Perikatan adalah
hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta
kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib
104
Ibid, hal.3-5.
75
memenuhi prestasi itu”
105
. Dari rumusan tersebut tampak bahwa unsur-unsur
perikatan ada 4 (empat) yakni;
1. Hubungan hukum;
2. Dalamapangan harta kekayaan;
3. Adanya pihak-pihak (hubungan hukum antara kreditur dan debitur);
4. Prestasi sebagai isi perikatan.
Untuk lebih jelasnya, maka unsur-unsur itu dapat diuraikan satu persatu
sebagai berikut;
Ad 1. Hubungan hukum
Hubungan hukum yang dimaksud berlainan pada hak kebendaan, namun
merupakan hubungan antara dua pihak, antara orang dengan orang mengenai
benda. Pada perikatan jika debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela
maka kreditur dapat meminta bantuan hukum untuk pelaksanaanya.
Khusus mengenai hubungan hukum perlu ditambahkan penjelasan dari
Gunawan Widjaja menyatakan bahwa hubungan hukum menunjuk pada dua hal
yakni pertama menunjuk pada keadaan yang wajib harus dipenuhi oleh pihak yang
berkewajiban, kedua berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut yang
dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut.106 Berdasarkan
pemikiran ini bahwa setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh
terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang
105
106
Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, hal.3.
Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.313.
76
berkewajiban tidak masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan dari
perikatan.
Ad.2. Dalam lapangan harta kekayaan.
Menurut J.Satrio, Perikatan yang dinilai dengan nilai uang atau paling tidak
dapat dijabarkan dalam sejumlah uang atau nilai ekonomis tertentu jika debitur
wanprestasi maka kreditur harus dapat mengemukakan adanya kerugian financial,
agar ia dapat menuntut debitur berdasarkan buku III KUHPer.107 Pengganti dari
prestasi yang terhutang adalah ganti rugi, yang pada umumnya diwujudkan dalam
sejumlah uang tertentu. Jika prestasinya tidak dapat diukur dengan uang, maka
prestasi itu dianggap bukan berada dalam lapangan hukum perikatan, karena tidak
berada dalam lapangan harta kekayaan dan tidak dapat dituntut ganti rugi.
Ad 3. Adanya pihak-pihak (hubungan antara kreditur dan debitur)
Perikatan sebagai hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu segi aktiva
dan segi passiva. Segi aktiva di dalamnya ada hak-haknya yang berupa tagihan
yang kalau dihubungkan dengan subyeknya ada pada kreditur. Segi passiva yang
di dalamnya ada kewajiban berupa hutang dihubungkan dengan subyeknya ada
pada debitur.108
Pada bagian segi passiva, terdapat pembedaan antara schuld dan haftung109.
Schuld adalah kewajiban berprestasinya, yang dipersoalkan adalah siapa yang
berkewajiban untuk menjalankan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah
pemenuhan kewajiban dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban wajib
107
J.Satrio I, Op.Cit, hal.15.
Ibid, hal.20.
109
Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.314.
108
77
dipenuhi (kreditur). Haftung berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan
kewajiban tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk
memenuhinya.
Kedua hal ini (schuld dan haftung) tampak pada debitur dalam pemenuhan
prestasinya sebagai pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan.
Misalnya dalam perjanjian jual beli, pembeli yang berkewajiban untuk
menyerahkan uang sebagai harga pembayaran barang yang dibeli, dapa
dimintakan pertanggungjawabannya oleh penjual untuk memenuhi kewajibannya.
Ad 4. Prestasi sebagai isi perikatan.
Prestasi harus tertentu atau paling tidak dapat ditentukan ditujukan agar
dapat menilai apakah debitur telah memenuhi kewajibannya atau tidak. Prestasi
bisa berupa kewajiban untuk menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu.
2.2.3. Jenis-jenis perikatan.
Undang-undang dalam buku III Bab I KUHPer, membedakan jenis perikatan
menjadi 6 (enam), yakni;110
1. Perikatan untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat
sesuatu;
2. Perikatan bersyarat;
3. Perikatan dengan ketetapan waktu;
4. Perikatan mana suka;
5. Perikatan tanggung menanggung
110
Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, hal.7.
78
6. Perikatan dengan ancaman hukuman
R.Setiawan mengemukakan pembagian perikatan yang lebih terperinci
dengan membagi perikatan berdasarkan dari: 111
1. Isi daripada prestasinya.
Berdasarkan isi daripada prestasinya maka perikatan dapat dibedakan
menjadi 6 (enam) yakni;
a. Perikatan positif dan negatif.
Perikatan positif adalah perikatan yang perstasinya berupa perbuatan
nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu, sedangkan pada perikatan
negatif prestasinya tidak berbuat sesuatu.
b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.
Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang prestasinya hanya perlu
dilakukan dalam waktu yang singkat dan dalam satu kali perbuatan,
misalnya perikatan dalam jual beli obyek bergerak. Perikatan
berkelanjutan adalah perikatan yang prestasinya besifat terus menerus
dalam jangka waktu tertentu, misalnya perikatan yang timbul dari sewa
menyewa atau perjanjian kerja.
c. Perikatan alternatif.
Perikatan alternatif adalah suatu perikatan, dimana debitur berkewajiban
melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik menurut
pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa
pelaksanaan prestasi yang dipilih itu mengakhiri perikatan.
111
R.Setiawan, Op.Cit, hal 34-48.
79
d. Perikatan fakultatif.
Perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa
satu prestasi, dimana debitur dapat menggantikannya dengan prestasi
lain. Dalam perikatan fakultatif, jika terdapat keadaan memaksa prestasi
primairnya tidak lagi merupakan obyek perikatan, maka perikatannya
menjadi hapus. Berbeda dengan perikatan alterntif, jika salah satu
prestasinya tidak lagi dapat dipenuhi akibat adanya keadaan memaksa,
maka perikatannya menjadi murni.
e. Perikatan generik dan spesifik.
Perikatan generik adalah perikatan di mana obyeknya ditentukan menurut
jenis dan jumlahnya sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang
obyeknya ditentukan secara terperinci.
f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada prestasinya, apakah
dapat dibagi atau tidak. Prestasi yang tidak dapat dibagi dibedakan
menurut sifatnya dan tujuannya. Tidak dapat dibagi menurut sifatnya
jika obyek daripada perikatan tidak dapat dibagi-bagi atau perbuatan
pelaksanannya tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata maupun secara
perhitungan. Tidak dapat dibagi menurut tujuannya jika berdasarkan
maksud dari para pihak pelaksanaan prestasi harus dilaksanakan
sepenuhnya walaupun perikatan itu sebenarnya dapat dibagi-bagi.
80
2. Berdasarkan subyeknya.
Perikatan berdasarkan subyeknya dapat dibagi menjadi dua jenis,
diantaranya adalah;
a. Perikatan solider atau tanggung renteng.
Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng, jika berdasarkan
kehendak dari para pihak atau ketentuan undang-undang. Perikatan
solider atau tanggung renteng dapat dibedakan menjadi dua yakni
tanggung renteng aktif dan tanggung renteng pasif.
i.
Tanggung renteng aktif adalah jika setiap kreditur dari dua atau
lebih dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur, dengan
pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan
debitur dari kreditur-kreditur lainnya;
ii.
Tanggung renteng pasif adalah jika setiap debitur dari dua atau
lebih berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan prestasi,
dengan pengertian pemenuhan prestasi oleh salah seorang debitur,
membebaskan debitur-debitur lainnya.
b. Perikatan pokok (principle) atau accesoire
Perikatan pokok atau accesoire terjadi apabila seorang debitur atau lebih
terikat sedemikan rupa, hingga perikatan yang satu sampai batas tertentu
tergantung pada perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama
disebut perikatan pokok sedangkan yang lainnya perikatan accesoire.
Misalnya perikatan utang dan borg.
81
3. Berdasarkan mulai berlaku dan berakhirnya perikatan.
Berdasarkan mulai berlaku dan berakhirnya perikatan, maka perikatan
dibedakan menjadi 2 (dua) yakni;
a. Perikatan bersyarat.
Perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 KUHPerdata yang berbunyi
“Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang
masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara
menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”. Perikatan
bersyarat dilawankan dengan perikatan murni, yaitu perikatan yang tidak
mengandung suatu syarat. Suatu syarat yang harus secara tegas
dicantumkan dalam perikatan. Perikatan bersyarat diatur dalam Buku III,
Bab I, Bagian 5, yang meliputi Pasal 1253-1267 KUHPer. Menurut
ketentuan Pasal 1253 KUHPer bahwa perikatan bersyarat dapat
dibedakan menjadi dua yakni;
i.
Perikatan bersyarat yang menangguhkan.
Pada perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan berlaku
setelah syaratnya dipenuhi. Selama syaratnya belum dipenuhi,
kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan dan debitur tidak wajib
memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi sebelum syarat
dipenuhi, maka terjadi pembayaran yang tidak terutang dan debitur
dapat menuntut pengembaliannya.
82
ii.
Perikatan bersyarat yang menghapuskan.
Pada perikatan bersyarat yang menghapuskan, perikatan hapus jika
syaratnya dipenuhi. Jika syaratnya telah dilaksanakan seluruhnya
atau sebagian, maka dengan dipenuhinya syarat perikatan, maka
keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak terjadi
perikatan atau hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya.
b. Perikatan dengan ketentuan waktu.
Perikatan dengan ketentuan waktu diatur dalam buku III, bab I, bagian 6
meliputi Pasal 1268-1271 KUHPer. Perikatan dengan ketentuan waktu
adalah perikatan yagn berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu
atau peristiwa yang akan terjadi dan pasti terjadi. Pada umumnya jika
peristiwanya belum tentu terjadi maka termasuk dalam perikatan
bersyarat. Dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau
ketentuan waktu, dengan melihat maksud dari para pihak. Perikatan
dengan ketentuan waktu dapat dibagi menjadi:
i.
Ketentuan waktu yang menangguhkan.
Perikatan dengan ketentuan waktu yang menangguhkan diatur
secara umum dalam Pasal 1268-1271 KUHPer. Ketentuan waktu
yang menangguhkan artinya menunda perikatan sampai saat yang
ditentukan terjadi.
ii.
Ketentuan waktu yang menghapuskan.
Perikatan dengan ketentuan waktu yang menghapuskan artinya
dengan dipenuhinya ketentuan waktu maka perikatan menjadi
83
hapus. Perikatan jenis ini tidak berlaku surut artinya jika waktunya
telah dipenuhi maka debitur tidak lagi terikat, akan tetapi
prestasinya pada waktu yang lalu tidak dikembalikan.
2.3. Tinjauan Umum Tentang Kebatalan dalam Perjanjian
Kebatalan menyangkut suatu persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya
suatu perjanjian yang berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, terdiri dari empat
syarat yakni syarat pertama yakni adanya kesepakatan kedua belah pihak, syarat
kedua adanya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, syarat ketiga adanya
obyek tertentu dan syarat keempat yakni adanya kausa yang halal.
Menurut Subekti keempat syarat tersebut di bagi menjadi dua kategori, yaitu
syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat
subyektif, tidak terpenuhinya salah satu atau kedua-dua unsur tersebut
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan/dapat dimintakan pembatalan oleh
salah satu pihak. Perjanjian yang tidak dimintakan pembatalan dianggap tetap
berlaku, sehingga penekanan terhadap pembatalan ada pada inisiatif para pihak.
Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif suatu perjanjian,
dengan konsekuensi tidak terpenuhinya salah satu atau keduanya menyebabkan
perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak
pernah ada dan tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian tersebut untuk
melahirkan suatu perikatan hukum dianggap telah gagal, sehingga tidak ada dasar
bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim, disebut null and
84
void.112 Batal demi hukum tidak mensyaratkan inisiatif para pihak, karena
perjanjian oleh hukum dianggap tidak pernah ada. Dalam konteks hukum
perjanjian Indonesia, menurut KUHPer, terdapat beberapa alasan untuk
membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima)
kategori sebagai berikut:113
1. Perjanjian dapat dibatalkan;
2. Perjanjian batal demi hukum;
3. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian bersyarat;
4. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;
5. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan
undang-undang.
Dari kelima alasan untuk membatalkan perjanjian, diantaranya adalah
terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian bersyarat. Menurut Munir Fuady,
perjanjian bersyarat (conditional contract) merupakan suatu perjanjian yang
pelaksanaanya atau pemberhentian pelaksanaannya bergantung pada suatu faktor
tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa akan datang.114
Syarat batal dalam suatu perjanjian, adalah berlaku surut. Subekti
berpendapat bahwa;
Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut
hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang
apabila terpenuhi akan menghentikan perjanjiannya, dan membawa segala
sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu
112
Subekti I, Op.Cit, hal 19.
Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang
Kebatalan Perjanjian, National Legal Reform Program, Jakarta, hal.5.
114
Munir Fuady II, Op.Cit, hal.103.
113
85
perjanjian, seperti yang diatur dalam Pasal 1265 KUHPer. Syarat ini tidak
menangguhkan pemenuhan perikatan, ia hanya lah mewajibkan si berpiutang
mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksudkan terjadi.115
Sifat dari pembatalan perjanjian yang berlaku surut, maka perlu kiranya
ditetapkan beberapa hal yang membatasi pembatalan itu, diantaranya terdapat
keseimbangan kedudukan dari para pihak itu sendiri. Herlien Budiono
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut alasn pembatalan terjadi jika telah
memenuhi syarat-syarat batalnya perjanjian, selain itu terjadi jika salah satu pihak
telah diberikan kewenangan untuk membatalkan perjanjian dengan mengeluarkan
suatu pernyataan timbulnya suatu fakta atau keadaan tertentu terjadi.116 Penekanan
pendapat Herlien Budiono adalah kewenangan para pihak untuk membatalkan
suatu perjanjian baik sebagian atau seluruhya dilandaskan pada asas
keseimbangan.
Pembatalan lebih mengarah pada suatu pengembalian pada posisi semula,
sebagaimana halnya sebelum penutupan perjanjian. Misalnya dalam suatu
perjanjian sewa menyewa yang dibatalkan, harga sewa yang telah dibayarkan
harus dikembalikan kepada pihak penyewa dan penyewa mengembalikan obyek
sewa seperti saat belum disewa. Pendapat ini didukung oleh Jaap Hijma, yang
menjelaskan konsep pembatalan dengan mengacu pada New BW, bahwa
pembatalan memiliki efek retroaktif hingga ke waktu perjanjian itu disepakati
115
116
Ibid, hal.82.
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Op.Cit, hal.83.
86
atau terjadi (Pasal 3:53 ayat 1), oleh karena itu, konsekuensi dari suatu
pembatalan identik dengan konsekuensi dari ketidakabsahan awal.117
Gunawan Wijaja118, menguraikan mengenai keabsahan suatu perjanjian yang
dibuat, baik keabsahan yang dipertanyakan oleh salah satu pihak karena
kurangnya kapasitas atau karena tidak adanya kesepakatan bebas, maupun yang
digugat oleh pihak ketiga karena perjanjian tersebut merugikan kepentingannya
yang harus dilindungi oleh hukum. Dalam hal ini pembatalan masuk dalam
lapangan hukum perjanjian, karena masalah pembatalan ini tidak mengenai
masalah pelaksanaan prestasi, pemenuhan kewajiban atau pembayaran utang,
Alasan yang dikemukakan oleh Gunawan Widjaja adalah karena
sesungguhnya prestasi tidak pernah ada dari awal, yang mana pembatalannya
hanya dapat dilakukan oleh pengadilan dan berpendapat bahwa jika suatu
pembatalan disepakati lebih dahulu di awal perjanjian, merupakan suatu hal yang
tidak layak, karena yang dinamakan pembatalan adalah mengembalikan segala
sesuatu seperti keadaan semula, seperti pada saat perjanjian pertama kali
disepakati dan hal tersebut tidak mungkin sama sekali ketika sudah ada usaha dari
salah satu pihak untuk melaksanakan kewajibannya.
Pembatalan dalam konteks ini berbeda dengan pembatalan yang telah
dipenuhi dalam syarat batal pada perikatan bersyarat. Pembatalan dalam periaktan
bersyarat berada dalam lapangan hukum perikatan bukan perjanjian. Hukum
117
Rosa Agustina.et.al, 2012, Hukum Perikatan (Law of Obligations) Seri
Unsur-unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Pustaka Larasan, Denpasar,
hal.149.
118
Gunawan Wijaja, Op.Cit, hal.305-307.
87
perjanjian bersifat terbuka sebatas pada saat pembentukan perjanjian berdasarkan
kesepakatan bebas, mengenai suatu hal dalam lapangan harta kekayaan, serta
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum,
namun segera setelah perjanjian itu dibentuk, para pihak tidak lagi bebas untuk
menentukan
kehendaknya,
bahkan
untuk
membatalkannya,
para
pihak
memerlukan bantuan hakim pengadilan.119 Perjanjian yang batal demi hukum
memiliki karakteristik perjanjian dianggap tidak pernah ada dan mengembalikan
ke keadaan posisi semula sebelum perjanjian dibuat.
Elly Erawati dan Herlien Budiono berpendapat bahwa batal demi hukum
merupakan frasa di bidang hukum yang bermakna sesuatu menjadi tidak berlaku
atau tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit berdasarkan
peraturan perundang-undangan) memang begitulah adanya. Batal demi hukum
menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut terjadi
seketika, spontan, otomatis dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau
keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.120
Akibat hukum perjanjian yang sah adalah mengikat para pihaknya dan
berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Jika ada yang
melanggar perjanjian itu, maka terhadapnya dianggap sama dengan sama dengan
melanggar undang-undang, yang akan memiliki sanksi hukum. Perjanjian yang
sah tidak dapat dihentikan secara sepihak. Jika salah satu pihak berkeinginan
membatalkan maka haruslah mendapatkan persetujuan dari pihak lainnya.
119
120
Ibid.
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Op.Cit, hal.4.
88
Perkecualian diberikan oleh undang-undang terhadap pemutusan sepihak
yakni apabila ada alasan yang cukup yang berdasarkan undang-undang maka
perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak. Pada intinya sepanjang perjanjian itu
tidak melanggar unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, maka
perjanjian dianggap mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
2.4. Tinjauan Umum Tentang Prestasi dan Wanprestasi dalam Perjanjian
Timbal Balik
2.4.1. Jenis prestasi dalam perjanjian timbal balik.
Menurut Munir Fuady, prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga
dengan istilah “performance” dimaksudkan sebagai “suatu pelaksanaan hal-hal
yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk
itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan”.121 Jenis prestasi berdasarkan Pasal
1234 KUHPer diantaranya berupa memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; tidak
berbuat sesuatu.
Prestasi yang merupakan pelaksanaan dari perikatan, sering juga disebut
dengan kontra prestasi, tergantung dari sudut mana pelaksanaan prestasi itu
dipandang. Dipandang dari sudut pelaksana, maka pelaksanaan perikatan disebut
juga prestasi, tetapi dari sudut lawan pelaksanaan suatu perikatan dapat
121
Munir Fuady II, Op.Cit, hal.87.
89
merupakan kontra prestasi baginya bila pihak lawan itu juga melaksanakan
perikatan.122
Dalam hukum perjanjian, prestasi atau kontra prestasi dapat merupakan
kewajiban atau syarat atau kewajiban dan syarat. Masing-masing prestasi dapat
diuraikan sebagai berikut;
a. Kewajiban (obligation/duty).
Prestasi atau kontra prestasi adalah merupakan kewajiban bila pelaksanaan
membuat suatu janji (promise) untuk pemenuhan prestasi (kontra prestasi)
itu.
b. Syarat (condition).
Prestasi atau kontra prestasi adalah syarat bila pihak yang melakukan
prestasi tidak berjanji untuk melaksanakannya, melainkan hanyalah
merupakan syarat (tangguh) atau condition precedent yaitu merupakan suatu
prestasi yang harus dilakukan terlebih dahulu agar menimbulkan kewajiban
untuk memenuhi kontra prestasi dari pihak lawannya. Prestasi (kontra
prestasi) jenis ini tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya secara hukum bila
tidak dilakukan.
c. Kewajiban dan syarat (promissory condition).
Prestasi atau kontra prestasi merupakan suatu kewajiban dan sekaligus
sebagai syarat maka pihak yang harus melakukan prestasi (kontra prestasi)
122
Hardijan Rusli,1993, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.32.
90
adalah merupakan debitur dan kewajibannya ini harus dilaksanakan terlebih
dahulu dari pelaksanaan kontra prestasi pihak lawannya. 123
2.4.2. Penentuan wanprestasi dalam perjanjian timbal balik.
Untuk menentukan terjadinya wanprestasi dalam suatu perjanjian timbal
balik maka terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian wanprestasi, modelmodel wanprestasi, penentuan terjadinya wanprestasi dan doktrin yang berkaitan
dengan pelaksanaan prestasi.
a. Pengertian wanprestasi.
Wanprestasi menurut kamus hukum, berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji,
tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian124. Menurut Munir Fuady,
wanprestasi, atau disebut juga dengan istilah breach of contract yang
dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana
mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti
yang disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan.125 J.Satrio merumuskan
wanprestasi sebagai “Suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah
memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur
salah atasnya.”126
b. Model-model wanprestasi.
Tindakan wanprestasi dapat dibedakan dari berbagai bentuk. Beberapa
sarjana mencoba memberikan uraian berbagai bentuk/model tindakan wanprestasi.
123
Ibid, hal.32-33.
R.Subekti dan Tjitrosoedibio, 1992, Kamus Hukum, Pradnya Paramitha,
Jakarta, hal.110.
125
Munir Fuady II, Op.Cit, hal.87.
126
J.Satrio II, Op.Cit, hal.3.
124
91
Model-model dari wanprestasi menurut Mariam Darus Badrulzaman terdiri dari
tiga wujud yakni127debitur samasekali tidak memenuhi perikatan; debitur
terlambat memenuhi perikatan; debitur keliru atau tidak pantas memenuhi
perikatan. Muhammad Syaifuddin berpendapat selain ketiga model wanprestasi
tersebut terdapat satu wujud lagi yakni melakukan perbuatan yang dilarang dalam
perjanjian128.
c.Penentuan wanprestasi.
Dalam kenyataanya sulit untuk menentukan kapan seseorang dikatakan telah
memenuhi prestasinya atau tidak. Prestasi sebagaimana dikelompokkan menjadi
tiga ada yang berupa kewajiban (janji) dan ada pula yang syarat (condition).
Untuk lebih jelasnya diilustrasikan dalam contoh berikut misalkan seorang tukang
atap yang mempunyai prestasi memperbaiki atap yang bocor. Tukang atap itu
sudah memeriksa atap dan memperbaiki atap yang bocor namun ternyata masih
ada rembesan air/ bocor, apakah dalam hal hal ini tukang tersebut dikatakan
belum atau telah memenuhi prestasinya?
Untuk dapat menjawab permasalahan di atas, maka prestasi tukang itu dapat
sebagai kewajiban atau dapat pula sebagai syarat, dan hal ini akan membawa
akibat hukum yang berbeda ke dalam hal belum terpenuhinya prestasi tukang
tersebut. Dalam hal prestasi tukang itu adalah sebagai kewajiban maka tukang itu
dapat dituntut untuk memenuhi kewajibannya tersebut baik dengan atau tanpa
127
Mariam Darus Badrulzaman et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan
Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.18-19.
128
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.338.
92
ganti rugi, atau kreditur dapat membatalkan perjanjian sehingga tukang itu tidak
dapat menuntut pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukannya berdasarkan
adanya perjanjian.
Dilihat dari sisi yang lain, bila prestasi tukang itu adalah syarat maka tukang
itu tidak dapat menuntut pembayaran bila dianggap belum terpenuhinya prestasi
dari tukang tersebut. Kenyataannya perbuatan tukang itu yang telah banyak
melakukan prestasi walaupun masih sedikit ada kekurangan, akan dirasakan tidak
adil bila tukang tersebut dikatakan wanprestasi. Sebaliknya, yang lebih dikatakan
adil adalah apabila tukang itu telah dianggap memenuhi prestasinya, karena
kenyataannya
tukang
itu
telah
melakukan
banyak
(substantial)
dan
kekurangannya hanyalah sedikit (minor breach).
d. Keadaan pelaksanaan prestasi.
Penentuan suatu prestasi sebagai sebuah prestasi yang substansial atau tidak,
dapat digunakan beberapa doktrin pelaksanaan prestasi, yakni doktrin pemenuhan
prestasi substansial dan dokrin pemenuhan prestasi penuh. Doktrin pemenuhan
prestasi penuh diartikan sebagai suatu doktrin yang pelaksanaan prestasinya harus
dilakukan sepenuhnya, misalnya dalam jual beli tanah. Menurut Munir Fuady,
pemenuhan prestasi substansial adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa
sungguhpun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi
jika dia telah melasanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain
harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna129.
129
Munir Fuady II, Op.Cit, hal.89-90.
Download