BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum Perjanjian 2.1.1. Peristilahan. Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut Subekti “Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”.47 Istilah kontrak dipakai dalam praktek bisnis selain istilah perjanjian dan persetujuan. Kerancuan akan istilah kontrak atau perjanjian masih sering diketemukan dalam praktek bisnis. Pelaku bisnis memahami bahwa kedua istilah antara perjanjian dan kontrak mempunyai pengertian yang berbeda.Menurut Muhammad Syaifuddin48 pengertian antara perjanjian dan kontrak adalah sama, jika dilihat dari pengertian yang terdapat dalam KUHPer sebagai produk warisan kolonial Belanda, maka ditemukan istilah “overeenkomst” dan “contract” untuk pengertian yang sama, sebagaimana dicermati dalam Buku III Titel Kedua Tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan, yang dalam bahasa Belanda ditulis “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. 47 48 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hal.1. Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.15. 36 37 Para sarjana seperti Mariam Darus Badrulzaman49, J.Satrio50, dan Purwahid Patrik51 menganut pandangan yang menyatakan bahwa istilah kontrak dan perjanjian mempunyai pengertian yang sama. Agus Yudha Hernoko52 memberikan alasan bahwa kedua istilah tersebut juga digunakan dalam istilah kontrak komersial, misalnya perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha, kontrak kerjasama, perjanjian kerjasama dan kontrak konstruksi. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ricardo Simanjutak, yang menyatakan bahwa; Adapun pengertian kontrak secara tegas dimaksudkan sebagai kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat. Walaupun istilah kontrak merupakan istilah yang telah lama diserap ke dalam bahasa Indonesia, karena secara tegas digunakan dalam KUH Perdata, pengertian kontrak tidak dimaksudkan seluas dari pengertian perjanjian seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pengertian kontrak lebih dipersamakan dengan pengertian dari perikatan ataupun hukum perikatan yang digambarkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata53. Berdasarkan pendapat Ricardo Simanjutak, dapat dilihat bahwa kontrak (dalam bahasa Inggrisnya contract) juga merupakan perjanjian (dalam bahasa Inggrisnya agreement) yang memiliki konsekuensi hukum (legal enforceability) apabila tidak dilaksanakan.54 Para pihak dapat membuat suatu kesepakatankesepakatan atau perjanjian-perjanjian yang tidak mempunyai konsekuensi hukum 49 Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal.89. 50 J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio III), hal.19. 51 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Purwahid Patrik I), hal.19. 52 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.13. 53 Ricardo Simanjutak, Op.Cit, hal.27. 54 Ibid, hal.28. 38 yang mengikat para pihak walaupun perjanjian-perjanjian tersebut adalah bersifat komersial. Ricardo Simanjutak menjelaskan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian, artinya bahwa kontrak adalah juga perjanjian walaupun belum tentu perjanjian adalah kontrak. Dalam pengertian kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat kontrak sama dengan perjanjian. Perjanjian yang tidak memiliki konsekuensi hukum tidak sama dengan kontrak. Dasar untuk menentukan apakah perjanjian mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat ataukah hanya sebagai perjanjian yang mempunyai konsekuensi moral dapat dilihat dari kemauan dasar dari para pihak yang berkontrak55. Menurut pendapat sarjana asing Geoff Monahan dan David Barker mengenai bentuk dari kontrak yang sah bahwa; A valid contract is a contract that the law will enforce and creates legal rights and obligations. A contract valid ab initio (from the beginning) contains all the three essential elements of formation: • agreement (offer and acceptance); • intention (to be bound by the agreement); • consideration (for example, the promise to pay for goods or services received). In addition, a valid contract may have to be in writing to be legally valid (although most contracts may be oral, or a combination of oral and written words)56. (Kontrak yang sah adalah kontrak yang dapat dipaksakan berlakunya secara hukum dan menimbulkan akibat hukum berupa hak-hak dan kewajibankewajiban. Sebuah kontrak sah dari awal jika mengandung tiga elemen yakni persetujuan (penawaran dan penerimaan), maksud untuk terikat dalam perjanjian, adanya prestasi contohnya janji untuk membayar barang-barang 55 Ibid,hal.32. Geoff Monahan and David Barker, 2001, Essential Contract Law, Second Edition, Cavendish Publishing, Sydney, hal.3. 56 39 atau jasa yang diperlukan). Sebagai tambahan, kontrak yang sah dapat berbentuk tulisan agar sah secara hukum (walaupun beberapa kontrak dapat lisan, atau kombinasi dari lisan dan tulisan/ garis bawah dari penulis). Pandangan Geoff Monahan dan David Barker tersebut tidak mensyaratkan bahwa kontrak harus dalam bentuk tulisan, karena dapat saja kontrak berbentuk lisan bahkan gabungan antara lisan dan tulisan. Sarjana asing lainnya yakni T.M Scanlon menyatakan bahwa ada perbedaan antara janji dengan kontrak yakni57 While promises do not, I have argued, presuppose a social institution of agreement-making, the law of contracts obviously is such an institution. Moreover, it is an institution backed by the coercive power of the state, and one that, unlike the morality of promises, is centrally concerned with what is to be done when contracts have not been fulfilled. (Sementara janji-janji tidak memiliki akan hal ini, saya berpendapat bahwa hukum dari kontrak adalah sebuah institusi. Bagaimanapun, ia adalah sebuah institusi yang ada akibat adanya kekuasaan negara, dan berbeda dengan aspek moral dari janji-janji, hukum kontrak menekankan pada apa yang harus dilakukan bila kontrak-kontrak tidak dipenuhi) Berdasarkan pendapat tersebut, maka janji lebih menekankan pada aspek moral sebagai kekuatan mengikatnya, sedangkan pada kontrak ada pada aspek kekuatan memaksa jika tidak ditaati. Muhammad Syaifuddin mengutip pendapat Steven L. Emauel mengenai istilah kontrak bahwa “A “contract” is an agreement that the law will enforce in some way. A contract must contain at least one promise, i.e, a commitment to do something in the future.”(Kontrak adalah suatu persetujuan yang hukum akan 57 T.M. Scanlon, 2001, “Promises and Contracts”, dalam Peter Benson (ed), The Theory of Contract Law, Cambridge University Press, New York, hal.99. 40 menegakkannya dalam berbagai cara. Kontrak harus memuat paling tidak satu janji, yaitu suatu komitmen untuk melakukan sesuatu di masa depan)58. Lebih lanjut, Emanuel menjelaskan bahwa “The term”contract” is often used to refer to a written document which embodies an agreement. But for legal purpose, an agreement may be a binding and enforceable contract in most circumstance even though it is oral,” (Istilah kontrak seringkali digunakan untuk menunjukkan dokumen tertulis yang didalamnya terkandung persetujuan. Namun, untuk tujuan hukum, suatu persetujuan juga merupakan suatu kontrak yang mengikat dan dapat ditegakkan dalam banyak situasi meskipun hanya secara lisan)59. Subekti menganut pandangan bahwa istilah kontrak, memiliki pengertian yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang dibuat secara tertulis, sedangkan suatu perjanjian yang dibuat secara tidak tertulis (lisan) tidak dapat disebut dengan istilah kontrak, melainkan perjanjian atau persetujuan.60 Subekti lebih menekankan perbedaan antara kontrak dengan perjanjian pada unsur bentuknya.61 2.1.2. Pengertian perjanjian. Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPer yang menentukan bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih 58 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.16. Ibid. 60 Subekti I, Op.Cit, hal.1. 61 Dalam penulisan ini, kata persetujuan, perjanjian dan kontrak memiliki arti yang sama. 59 41 mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Dari definisi tersebut beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung beberapa kelemahan. Menurut Abdulkadir Muhammad, rumusan Pasal 1313 KUHPer mengandung kelemahan karena: 62 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua belah pihak saling mengikatkan diri”, dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik. 2. Kata “perbuatan” termasuk di dalamnya konsensus. Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus. Seharusnya digunakan kata persetujuan 3. Pengertian perjanjian terlalu luas Luas lingkupnya juga mencangkup mengenai urusan janji kawin yang termasuk dalam lingkup hukum keluarga, seharusnya yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian yang dimaksudkan di dalam Pasal 1313 KUHPer adalah perjanijan yang berakibat di dalam lapangan harta kekayaan, sehingga 62 hal.78. Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bandung, 42 perjanjian di luar lapangan hukum tersebut bukan merupakan lingkup perjanjian yang dimaksudkan. 4. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 KUHPer tidak mencantumkan tujuan dilaksanakannya suatu perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki kejelasan untuk maksud apa diadakan perjanjian. Pendapat dari Abdul Kadir Muhamad didukung oleh pendapat R. Setiawan. Menurutnya bahwa “Pengertian perjanjian tersebut terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum”.63 Mariam Darus Badrulzaman64, tidak memberikan penjelasan mengenai apa itu perjanjian, namun memberikan kritik pula terhadap definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPer adalah tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja, sedangkan terlalu luas karena mencangkup juga janji kawin yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Menurut pendapat R.M. Suryodiningrat yang dikutip dalam bukunya Muhammad Syaifuddin, mengemukakan pandangan kritis tentang pengertian perjanjian yang dianut oleh Pasal 1313 KUHPer diantaranya; 1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan dan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan; 63 R.Setiawan, 1979, Pokok –Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal.49 64 Mariam Darus Badrulzaman II, Op.Cit, hal.18 43 2. Perkataan dan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal; perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum); 3. Definsi Pasal 1313 BW (KUH Perdata, Pen-) hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi, sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, di mana para pihak saling berprestasi; 4. Pasal 1313 BW (KUH Perdata, Pen-) hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misalnya; perjanjian liberatoir/ membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian).65 Selain itu Purwahid Patrik menguraikan beberapa kelemahan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPer, yaitu; 1. Definisinya hanya menyangkut perjanjian sepihak saja, yang dapat disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedangkan maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “ saling mengikatkan diri”; 2. Kata perbuatan mencangkup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), yang menunjukkan makna “perbuatan” itu luas dan menimbulkan akibat hukum; 3. Rumusannya mempunyai ruang lingkup harta kekayaan (vermogensrecht).66 Pandangan berbeda dianut oleh Ricardo Simanjutak67, bahwa ia tidak setuju dengan pendapat dari Mariam Darus Badrulzaman, yang mengatakan bahwa perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPer hanya merumuskan perjanjian sepihak saja. Alasan yang dikemukakannya adalah jika perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPer merupakan perjanjian sepihak, maka akan secara 65 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.21. Purwahid Patrik, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, (selanjutnya disebut Purwahid Patrik II), hal.45-46. 67 Ricardo Simanjutak, Op.Cit, hal.25. 66 44 otomatis memberikan pengertian bahwa perikatan merupakan perjanjian sepihak pula, karena perikatan berdasarkan Pasal 1233 KUHPer dapat pula berasal dari perjanjian, sehingga perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPer tidak hanya mengenai perjanjian sepihak saja akan tetapi meliputi perjanjian dua belah pihak pula. Ricardo Simanjutak68 memberikan bantahan terhadap pendapat bahwa definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPer terlalu luas dengan pendapat bahwa definisi yang digambarkan dalam pasal tersebut sudah tepat karena memang dimaksudkan sebagai suatu definsi yang bepengertian luas. Cakupan luas dalam Pasal 1313 KUHPer dimaksudkan untuk menggambarkan perjanjian sebagai suatu perbuatan, bukan perbuatan hukum. Pasal 1313 KUHPer menggambarkan tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih yang tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum. Pendapat yang senada dengan pendapat Richard Simanjutak dikemukakan oleh Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa rumusan dalam Pasal 1313 kUHPer menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseroang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti timbul prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi69. Rumusan tersebut 68 Ibid. Gunawan Widjaja, 2007, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.249. 69 45 memberikan konsekuensi bahwa dalam satu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya merupakan phak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Gunawan Widjaja memberikan alasan lain bahwa Pasal 1313 KUHPer tidak berdiri sendiri tetapi dikembangkan dengan Pasal 1314 KUHPer yang menentukan bahwa: Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 1313 KUHPer dikembangkan dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitor dalam perjanjian tersebut dapat meminta dilakukannya kontraprestasi dari lawan pihaknya tersebut.70 Dua rumusan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 dan 1314 KUHPer menentukan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (kedua belah pihak saling berprestasi). Berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan dengan kewajiban yang saling bertimbal balik yakni debitor pada satu sisi menjadi kreditor. Kewajiban yang saling bertimbal balik merupakan karakterisik dari perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang- 70 Ibid. 46 undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitor dan pihak lain yang menjadi kreditor yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitor71. Para sarjana mencoba menguraikan definisi dari perjanjian walaupun terdapat kelemahan definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPer. Subekti berpendapat bahwa”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.72 Sudikno Mertokusumo menguraikan bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. 2.1.3. Unsur-unsur perjanjian. Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui apakah yang dihadapi adalah suatu perjanjian atau bukan, memiliki akibat hukum atau tidak. Unsurunsur yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut;73 1. Ada pihak-pihak. Pihak yang dimaksud adalah subyek perjanjian yang paling sedikit terdiri dari dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan undang-undang. 2. Ada persetujuan. Persetujuan dilakukan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan. 71 Ibid,hal.249-250. Subekti I Op.Cit, hal.1. 73 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.78. 72 47 3. Ada tujuan yang hendak dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak kehendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. 4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat. 6. Ada syarat-syarat tertentu Syarat menurut undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah. Menurut Herlien Budiono, perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPer adalah perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menciptakan, mengisi, mengubah atau menghapuskan perikatan yang menimbulkan hubungan-hubungan hukum di antara para pihak, yang membuat perjanjian di bidang harta kekayaan atas dasar mana satu pihak diwajibkan melaksanakan suatu prestasi, sedangkan 48 pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan prestasi tersebut, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak secara timbal balik. 74 Herlien Budiono memberikan pengertian perjanjian dengan menekankan pada perbuatan hukum yang diuraikan sebagai berikut: Perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, kontrak atau perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah kontrak atau perjanjian, orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak75 Berdasarkan pendapat tersebut maka unsur–unsur perjanjian menurut Herlien Budiono terdiri atas; 1. 2. 3. 4. Kata sepakat dari dua pihak; Kata sepakat yang tercapai harus tergantung kepada para pihak; Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum; Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik; 5. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.76 Herlien Budiono memberikan pula tambahan mengenai bagian-bagian dari perjanjian yang terdiri dari bagian essentialia, bagian naturalia dan bagian accidentalia.77 Bagian essentialia adalah bagian dari perjanjian yang harus ada, apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian itu tidak dapat disebut perjanjian bernama yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain. Bagian naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan terlebih dahulu secara khusus oleh para pihak. Bagian 74 Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien Budiono II), hal.3. 75 Ibid, hal.3. 76 Ibid, hal.5. 77 Ibid, hal.67-72. 49 aksidentalia adalah bagian perjanjian yang berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. 2.1.4. Jenis-jenis perjanjian. Muhammad Syaifuddin membagi bentuk perjanjian berdasarkan beberapa hal yakni78 ; 1. Berdasarkan proses terjadinya/ terbentuknya. Perjanjian menurut proses terjadinya atau terbentuknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis yakni: a. Perjanjian Konsensual Perjanjian yang dianggap sah jika telah terjadi sepakat antara pihak yang membuatnya. Misalnya, perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPer terjadi pada saat timbulnya kesepakatan mengenai barang dan harganya. b. Perjanjian Riil. Perjanjian yang selain terdapat kata sepakat, juga harus disertai dengan suatu penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang menurut Pasal 1741 KUHPer dan perjanjian pinjam meminjam menurut Pasal 1754 KUHPer. c. Perjanjian Formil. Perjanjian yang selain terdapat kata sepakat, tapi juga memiliki bentuk yang ditetapkan oleh umdang-undang. Misalnya, perjanjian fidusia yang harus dibuat dengan bentuk akta notaris berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia. 78 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal 147-156. 50 2. Berdasarkan sifat dan akibat hukumnya. Perjanjian berdasarkan sifat dan akibat hukum yang ditimbulkannya terdiri dari lima jenis yaitu; a. Perjanjian di bidang hukum keluarga. Perkawinan yang merupakan perjanjian sui generis, yang didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang mengandung beberapa aspek, yaitu persetujuan untuk menikah adalah perbuatan hukum, hubungan hukum yang timbul di antara para pihak, peristiwa hukum yang hampir seluruhnya diatur dalam undang-undang dan bersifat memaksa, dan terikatnya para pihak selama dalam ikatan perkawinan. b. Perjanjian kebendaan. Perjanjian yang dibuat dengan mengindahkan peraturan perundangundangan, timbul karena kesepakatan antara dua belah pihak dan ditujukan untuk menimbulkan, beralih, berubah, berakhirnya suatu hak kebendaan, khususnya benda tetap, dan dibuat dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang. c. Perjanjian obligatoir. Perjanjian yang timbul karena kesepakatan dari dua belah pihak atau lebih dengan tujuan timbulnya suatu perikatan untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik. d. Perjanjian mengenai pembuktian. Perjanjian yang timbul karena kesepakatan dari para pihak dengan tujuan membatasi ketentuan mengenai cara atau alat pembuktian atau 51 menghindari pengajuan perlawanan pembuktian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik. Para pihak dapat menyepakati suatu klausula dalam perjanjian bahwa mereka hanya menggunakan satu alat bukti atau menyerahkan beban pembuktian pada salah satu pihak, apabila suatu saat perlu adanya pembuktian. e. Perjanjian bersifat kepublikan. Perjanjian yang timbul dari kesepakatan antara para pihak. yang satu atau kedua belah pihak adalah badan hukum publik yang berwenang membuat perjanjian di bidang hukum privat dan melaksanakan semua hak dan kewenangan yang dimilikinya, kecuali dilarang oleh undang-undang. 3. Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya. Perjanjian menurut hak yang kewajiban dari para pihak yang membuatnya terdiri dari dua jenis yaitu; a. Perjanjian timbal balik. Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPer dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPer. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban adadi kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya. 52 b. Perjanjian sepihak. Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan. 4. Perjanjian berdasarkan penamaan dan sifat pengaturan hukumnya. Perjanjian berdasarkan penamaan dan sifat pengaturan hukumnya terdiri dari dua jenis yaitu; a. Perjanjian bernama (benoemde contract atau nominaatcontract). Perjanjian yang mempunyai nama sendiri yang telah diatur secara khusus dalam KUHPer Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya, perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, hibah, perjanjian tukar-menukar, perjanjian persekutuan perdata, perjanjian untuk melakukan pekerjaan, perjanjian tentang perkumpulan, perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian penanggungan utang, perjanjian bunga tetap, perjanjian untung-untungan dan perjanjian perdamaian. b. Perjanjian tidak bernama (innominaat contract). Perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer tetapi timbul dan berkembang di masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak menurut Pasal 1338 KUHPer. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan 53 nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang membuatnya. Misalnya perjanjian pembiayaan konsumen, perjanjian sewa guna usaha, perjanjian waralaba, perjanjian lisensi dan lain-lain. Perjanjian tidak bernama berdasarkan aspek pengaturan hukumnya dibedakan menjadi tiga jenis yaitu; i. Perjanjian tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan diatur dalam pasal-pasal tersendiri. Misalnya perjanjian production sharing yang diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. ii. Perjanjian tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah, misalnya perjanjian waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. iii. Perjanjian tidak bernama yang belum diatur atau belum ada undangundang yang mengaturnya misalnya kontrak rahim (surrogate mother) 5. Perjanjian menurut keuntungan satu atau lebih pihak dan adanya prestasi pada satu atau lebih pihak lainnya. Perjanjian jenis ini didasarkan pada adanya prestasi atau timbulnya keuntungan, perjanjian ini dibedakan menjadi dua yaitu; a. Perjanjian dengan cuma-cuma. Perjanjian berdasarkan Pasal 1314 kalimat pertama menyatakan “suatu KUHPer yang persetujuan adalah mana pihak yang satu memberikan keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya”. Contoh perjanjian jenis ini adalah perjanjian 54 pinjam pakai, hibah, perjanjian pinjam meminjam tanpa bunga, dan perjanjian penitipan barang tanpa biaya. b. Perjanjian atas beban. Perjanjian atas beban berdasarkan Pasal 1314 kalimat kedua KUHPer yaitu “Suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.” Contoh perjanjian jenis ini adalah perjanjian jual-beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian pinjam meminjam dengan bunga. 6. Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya. Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya berarti jenis-jenis perjanjian yang eksistensinya bersifat mandiri atau tidak mandiri dan fungsinya pokok atau tambahan/bantuan. Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya dibedakan menjadi dua jenis yaitu; a. Perjanjian pokok. Perjanjian yang eksistensi bersifat mandiri atau mempunyai eksistensi mandiri bagi perjanjian itu sendiri. Contohnya, perjanjian kredit yang sifatnya mandiri, yang eksistensi tidak tergantung pada perjanjian lainnya. Perjanjian kredit sebagian dikuasai atau mirip dengan perjanjian pinjam meminjam uang yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPer dan pasal-pasal lainnya yang terkait dan relevan dalam KUHPer, sebagian lainnya tunduk pada undang-undang yang mengatur perbankan. 55 b. Perjanjian bantuan/tambahan. Perjanjian yang eksistensinya tidak mandiri atau perjanjian yang tidak mempunyai kemandirian untuk eksistensinya perjanjian itu sendiri, melainkan tergantung pada perjanjian pokoknya, yang fungsinya menyiapkan para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian pokok tersebut. Fungsi untuk menegaskan, menguatkan, mengatur, mengubah atau menyelesaikan satu perbuatan hukum juga merupakan fungsi dari perjanjian jenis ini. Perjanjian bantuan yang berfungsi menyiapkan disebut juga perjanjian pendahuluan, misalnya perjanjian pengikatan jual beli yang berfungsi membuat dan mengikatkan diri para pihak pada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian jual beli. Perjanjian jaminan, baik jaminan perorangan maupun kebendaan adalah contoh dari perjanjian bantuan/tambahan yang fungsinya memperkuat perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit. Eksistensi perjanjian jaminan sangat tergantung pada perjanjian kredit. Jika perjanjian kredit tidak ada, maka perjanjian jaminan juga tidak ada. Keberadaan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok tidak tergantung pada keberadaan perjanjian jaminan 7. Perjanjian menurut ada atau tidaknya kepastian pelaksanaan prestasinya. Perjanjian menurut ada atau tidaknya kepastian pelaksanaan prestasinya didasarkan pada syarat yang dapat ditentukan atau tidak ditentukan untuk berlakunya perjanjian. Perjanjian jenis ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu: 56 a. Perjanjian dengan imbalan/penggantian Perjanjian yang prestasinya tidak ada hubungan dengan peristiwa kebetulan atau kejadian yang tidak terduga. Misalnya perjanjian jual beli yang prestasinya sudah pasti, yaitu penyerahan benda oleh penjual dan pembayaran harga jual belinya oleh pembeli. b. Perjanjian untung-untungan. Perjanjian yang prestasinya digantungkan pada peristiwa yang belum tentu terjadi. Diatur dalam Pasal 1774 KUHPer yang menyatakan bahwa Persejuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun sebagian pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu misalnya perjanjian pertanggungan. Perbedaan antara perjanjian untung-untungan dengan perjanjian dengan perikatan bersyarat menangguhkan adalah pada pengaitan prestasi pada hal yang belum tentu terjadi atau pada hal yang sekalipun belum tentu terjadi tetap berada dalam kontrol satu pihak. Dalam perjanjian untung-untungan, perikatan yang terjadi adalah murni dan tidak bersyarat (menangguhkan), hanya kewajiban untuk melakukan prestasi bergantung pada kejadian yang belum tentu.79 Abdulkadir Muhammad,80 mengelompokkan perjanjian menjadi lima jenis yang terdiri dari: 79 80 Herlien Budiono II, Op.Cit, hal.38. Abdulkadir Muhammad,Op.Cit, Alumni, Bandung, hal.86. 57 1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak. Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. Kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Perbedaan perjanjian jenis ini dirasakan penting pada saat pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal 1266 KUHPer karena hanya perjanjian timbal balik yang dapat dimintakan pembatalan ke depan hakim. 2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani. Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, mtetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Contohnya adalah A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahkan 58 suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatanperbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata). 3. Perjanjian bernama dan tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. 4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak. 59 5. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPer). 2.1.5. Syarat sahnya perjanjian. Perjanjian agar dapat dikatakan sah dan memiliki akibat hukum haruslah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian agar dapat dikatakan sah, harus dipenuhi 4 (empat) syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer yakni; 1. Kata sepakat Kata sepakat harus bebas dari unsur paksaan, khilaf, penipuan (Pasal 1321 KUHPer). Suatu perjanjian agar dapat dilahirkan maka pihak-pihak harus bersepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian. Dalam perjanjian sewa menyewa maka harus disepakati terlebih dahulu harga sewa dan jangka waktu. R.Wirjono Projodikoro memberikan pendapatnya mengenai kesepakatan yakni; Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiasekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang secara timbal balik; si penjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu barang dari penjual81. 81 R.Wirjono Projodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, hal.9. 60 Sepakat mengandung arti persesuaian kehendak di antara pihak-pihak yang mengikatkan diri ke dalam perjanjian. Undang-undang menghendaki ada persesuaian kehendak secara timbal balik, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPer. Sepakat atinya pernyataan kehendak beberapa orang. Menurut Herlien Budiono, sepakat artinya “perjanjian hanya dapat timbul dengan kerjasama dari dua orang atau lebih atau perjanian “dibangun” oleh perbuatan dari beberapa orang sehingga perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda.”82 Perkataan dibangun dengan dua orang atau lebih adalah bermakna dua pihak atau lebih karena bisa saja satu orang mewakili kepentingan lebih dari satu orang. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang dinyatakan tidak cakap diantaranya orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (Pasal 1330 KUHPer). Orang yang tidak cakap adalah orang yang tidak mampu membuat perjanjian dan menanggung akibat hukum yang timbul dari perjanjian tersebut. 3. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu memiliki arti sebagai obyek perjanjian/pokok perikatan/ prestasi atau kadang juga diartikan sebagai pokok prestasi. Suatu hal tertentu adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor. Menurut Asser-Rutten sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono bahwa 82 Herlien Budiono II, Op.Cit, hal 5. 61 “suatu hal tertentu sebagai obyek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.”83 Tuntutan dari undang-undang bahwa obyek perjanjian haruslah tertentu. Tujuan dari perjanjian adalah untuk timbul, berubah atau berakhirnya suatu perikatan. Prestasi yang dimaksud bisa berupa tindakan yang mewajibkan kepada para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Kewajiban tersebut harus dapat ditentukan. Ketentuan Pasal 1332 KUHPer menyebutkan “hanya barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan.” Arti dari ketentuan ini bahwa barang yang dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian adalah dapat dinilai dengan uang atau memiliki nilai ekonomis, sehingga jika terjadi perselisihan dapat dengan mudah ditentukan nilainya. Berdasarkan tradisi84, kriteria penilaian suatu obyek perjanjian dapat dipakai beberapa indikator diantaranya obyek itu dapat ditentukan atau dapat diperdagangkan (diperbolehkan untuk diperdagangkan), mungkin dilakukan dan dapat dinilai dengan uang. Obyek perjanjian bisa berupa barang, tetapi bisa pula bukan barang, seperti pada perjanjian kerja. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang menjadi pokok perjanjian (Pasal 1332 KUHPer). Barang-barang yang dalam prakteknya bisa diperjualbelikan dan dapat dinilai secara ekonomis. 83 84 Ibid, hal.107. Ibid. 62 4. Suatu sebab yang halal. Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Kententuan Pasal 1335 KUHPer menyatakan bahwa “Suatu persetujuan tanpa sebab atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Arti dari pasal ini adalah perjanjian itu menjadi, batal demi hukum. Pasal 1337 KUHPer juga memberikan batas-batas kausa yang halal, dengan menentukan bahwa”Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”. Pasal ini memberikan dasar bahwa selain aturan tertulis juga norma-norma tidak tertulis diakui dalam memberikan dasar bahwa suatu sebab itu terlarang atau tidak. Kata “ketertiban umum” mengacu pada asas-asas pokok fundamental dari tatanan masyarakat. Perbedaan antara nilai kesusilaan dengan ketertiban umum, dilihat dari titik tolak penilaiannya. Titik tolak nilai kesusilaan adalah pada hubungan intern perorangan, sedangkan pada nilai ketertiban umum yang menjadi titik tolak penilaiannya adalah elemen kekuasaan. Syarat pertama dan kedua bersifat subyektif, yang mana jika syarat itu tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh para pihaknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif, yang jika syarat itu tidak dipenuhi, maka perjanjian akan batal demi hukum, atau perjanjian dianggap tidak pernah ada. 63 2.1.6. Asas-asas perjanjian. Sebelum membahas mengenai asas-asas perjanjian, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian tentang asas berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana. Beberapa sarjana mencoba menguraikan arti dan pengertian dari asas yang dimaksud. Sudikno berpendapat bahwa85 Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem sebagaimana diuraikan oleh Niewenhuis: Asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem karena asas-asas itu bukan hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga di dalam banyak keadaan menciptakan suatu sistem. Jadi suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asasasas. Lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem “check and balance”, artinya asas-asas itu akan saling tarik menarik menuju proses keseimbangan.” 86 Asas hukum dapat memberikan arah sesuai pendapat dari Bachsan Mustafa dikutip oleh Agus Yudha Hernoko bahwa “Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung nilainilai dan tuntutan etis.” 87 Di dalam KUHPer dikenal beberapa asas penting, diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut; a. asas konsensualisme; 85 Sudikno, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,, hal.7. 86 87 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.25. Ibid, hal.23. 64 b. asas kebebasan berkontrak; c. asas pacta sunt servada (asas kepastian hukum); d. asas itikad baik. Guna lebih memperjelas maksud dan pengertian dari asas-asas tersebut maka dapat dijelaskan satu persatu yakni; Ad.a.Asas konsensualisme. Asas konsensualisme berasal dari kata latin ”consensus” yang artinya sepakat. Para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan. Apabila dikaitkan dengan kalimat pertama Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa ”Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “sesuai dengan undang-undang” berarti bahwa pembuatan perjanjian yang sesuai dengan undangundang/hukum adalah mengikat. Sesuai dengan undang-undang berarti memenuhi keempat syarat yang terkandung di dalam Pasal 1320 KUHPer. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan dirinya dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Setiap perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah tercapai kata sepakat mengenai prestasi atau hal pokok dari suatu perjanjian.88 Menurut Munir Fuady, bahwa syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu perjanjian,berkaitan dengan asas kesepakatan, karena jika sudah sepakat dan syarat syarat sahnya perjanjian terpenuhi (Pasal 1320 KUHPer), pada prinsipnya perjanjian sudah mengikat dan mempunyai akibat hukum. Perkecualian terhadap 88 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.77. 65 beberapa jenis perjanjian disyaratkan harus dibuat dalam bentuk tertulis atau bahkan harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat tertentu sehingga disebut dengan kontrak formal. Hal ini adalah merupakan perkecualian dari prinsip umum tentang asas konsensual tersebut.89Asas konsensual merupakan inti dari suatu perjanjian, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan kesepakatan yang sesungguhnya disebabkan karena adanya cacat kehendak karena kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog) atau paksaan (dwang) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Menurut Muhammad Syaifuddin bahwa asas konsensualisme tidak hanya terdapat pada periode pra perjanjian, namun juga terdapat pada pelaksanaan dan pemutusan perjanjian. Hal ini dapat dilihat dari apa yang terkandung dalam kalimat kedua Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa “Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang.undang.” Berdasarkan bunyi kalimat kedua Pasal 1338 KUHPer mengandung sifat kekuatan memaksa. Sifat kekuatan memaksa artinya jika salah satu pihak ingin menarik kembali (memutuskan) perjanjian, maka harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya sebagai wujud adanya kesepakatan dari para pihak dalam pemutusan perjanjian tersebut. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, sehingga menimbulkan sengketa dalam arti berbeda pendapat atau penafsiran tentang hukum dan faktanya, maka sengketanya akan diselesaikan oleh pengadilan atau arbitrse jika diperjanjikan terlebih dahulu. Dengan demikan asas 89 Munir Fuady II, Op.Cit, hal.30-31. 66 konsensualisme ini tidak harus ada pada saat pembuatan perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPer), tetapi juga harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, bahkan harus pula ada pada saat pemutusan perjanjian.90 Ad.b..Asas kebebasan berkontrak. Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup;91 1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian 2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. 3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya. 4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian. 5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian. 6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend optional). Asas kebebasan berkontrak, tidak berdiri sendiri, berada dalam satu sistem utuh dan terkait dengan pasal lainnya di dalam KUHPer diantaranya:92 1) Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sahnya perjanjian. 2) Pasal 1335 KUHPer yang melarang dibuatnya kontrak tanpa kausa atau dibuat berdasarkan kausa palsu/terlarang. 3) Pasal 1337 KUHPer suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh 90 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.81. Ibid, hal.110-111. 92 Ibid, hal.117-118. 91 67 undandg-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. 4) Kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer, perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. 5) Pasal 1339 KUHPer, terikatnya perjanjian pada sifat, kepatutan, kebiasan dan undang-undang. 6) Pasal 1347 KUHPer mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak. Ad.c.Asas pacta sunt servada (kekuatan mengikat perjanjian). Menurut Herlien Budiono93, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual. Suatu kesepakatan harus dipenuhi dianggap sudah terberi dan tidak dipertanyakan kembali. Keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri. Gunawan Widjaja memberikan pendapatnya berkaitan dengan pelaksanaan dari asas pacta sunt servada yang diuraikan sebagai berikut: Pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan dari perjanjian berkaitan dengan asas ini hanya dapat dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian terhadap pihak pihak lainnya dalam perjanjian, artinya setiap pihak, sebagai kreditor yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitor, dapat atau berhak memaksakan pelaksanaannya dengan meminta bantuan pada pejabat negara yang berwenang yang akan memutuskan dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan masih dapat dilaksanakan, semuanya dengan jaminan harta kekayaan debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPer.94 93 94 Herlien Budiono II, Op.Cit, hal.30-31. Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.281-282. 68 Niewenhuis, menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada para pihak, pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi oleh dua hal yakni itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPer) dan adanya overmacht atau force majeure.95 Hukum perjanjian menganut sistem terbuka dalam buku III KUHPer berdasarkan Pasal 1338 kalimat pertama menentukan “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal 1339 KUHPer memperluas kekuatan mengikat ini dengan menentukan “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.” Istilah “pacta sunt servada” adalah merupakan suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak, mengikat para pihak secara penuh sesuai dengan isi perjanjian. Mengikat secara penuh artinya kekuatannya sama dengan undang-undang, sehingga apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan dituangkan dalam perjanjian, maka oleh hukum disediakan sarana ganti rugi atau dapat dipaksakan berlakunya. Ad.d.Asas itikad baik. Asas itikad baik tertuang dalam kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa ”Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bahwa perjanjian harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Itikad baik 95 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.129. 69 meliputi segala tahapan hubungan perjanjian, baik dari fase pra perjanjian, fase perjanjian, dan fase pasca perjanjian. Dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggaran oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), itikad baik diartikan sebagai: 1) Kejujuran pada waktu membuat perjanjian; 2) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, para pihak dianggap bertikad baik. 3) Sebagai kepatutuan dalam tahap pelaksanaan.96 Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional antara lain :97 a. Asas kepercayaan. Mengandung arti bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang akan ada dikemudian harinya. b. Asas persamaan hukum. Yang dimaksud dengan asas ini adalah subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras. c. Asas keseimbangan. Asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan 96 Ibid, hal.141. Salim, 2011, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.13. 97 70 prestasi melalui kekayaan debitur, dan berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Asas keseimbangan menekankan pada persamaan/ kesetaraan kedudukan para pihak dalam pembuatan perjanjian terutama dalam pembuatan perjanjian dimana salah satu pihak berada dalam kedudukan yang lemah dibandingkan dengan pihak lainnya. d. Asas kepastian hukum. Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undangundang bagi yang membuatnya. e. Asas moralitas. Asas moralitas ini terikat dalam perikatan yang wajar, pada perbuatan sukarela seseorang tidak dapat menuntut hak untuk menggugat prestasi dari pihak debitur, untuk melakukan perbuatan sukarela (moral), yang berdasarkan kesusilaan (moral). f. Asas kepatutan. Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya. g. Asas kebiasaan. Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian, hanya mengikat untuk secara tegas diatur, menurut kebiasaan lazim diikuti. 71 h. Asas perlindungan. Asas ini menekankan bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Asas perlindungan menekankan pada perlindungan para pihak dalam pembuatan perjanjian melalui kewenangan dari Pengadilan sebagai alat untuk memaksakan berlakunya perjanjian. 2.2. Tinjauan Umum Tentang Perikatan 2.2.1. Pengertian perikatan. Perlunya dibahas mengenai perikatan adalah karena perikatan merupakan hal yang timbul akibat adanya perjanjian. Perikatan yang membuat orang terikat untuk melaksanakan suatu perjanjian. Istilah perikatan dengan perjanjian memiliki pengertian yang tidak selalu sama dengan perjanjian. Di Indonesia perjanjian diatur dalam Buku III KUHPer, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang. KUHPerdata tidak memberikan definisi yang tegas dari perikatan, namun Pasal 1313 KUHPer memberikan definsi dari perjanjian sebagai berikut “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Definisi dari perikatan tidak secara tegas diatur dalam KUHPer, akan tetapi dalam Pasal 1233 KUHPer ditegaskan bahwa “Perikatan selain dapat dilahirkan dari undang-undang, dapat juga dilahirkan dari perjanjian”. Berdasarkan Pasal 72 1233 KUHPer, maka terlihat bahwa perjanjian dapat meliputi pengertian dari perikatan, karena perikatan lahir dari perjanjian itu sendiri. Subekti membedakan pengertian dari perikatan dengan perjanjian, yaitu “Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”98, sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai “Suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.”99 Berdasarkan kedua definisi tersebut, perbedaan antara perikatan dan perjanjian adalah pada perikatan masing-masing pihak memiliki hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya, sedangkan pada perjanjian tidak ditegaskan. Yang ditekankan dalam perjanjian adalah timbulnya suatu prestasi. J.Satrio, menyatakan pendapatnya bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban. Adapun dalam hal tidak terpenuhinya suatu prestasi perikatan dapat dilakukan dengan ganti rugi dalam sejumlah uang tertentu yang pemenuhannya dapat dituntut di depan hakim.”100 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menyebut perikatan dengan kata “perutangan” dan memberikan definisi dari perutangan sebagai “hubungan hukum 98 Subekti I, Op.Cit, hal.1. Ibid. 100 J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio IV), hal.5. 99 73 yang atas dasar itu seseorang dapat mengharapkan suatu prestasi dari seseroang yang lain, jika perlu dengan perantaraan hakim.”101 Beliau menambahkan bahwa perutangan-perutangan yang diatur dalam buku ketiga KUHPer adalah tertuju pada suatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui pengadilan, selama tidak diatur secara khusus di tempat lain, baik di dalam KUHPer maupun di undang-undang yang lain.102 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa ciri perbedaan antara hak atas suatu benda dan hak yang timbul dari perutangan ialah bahwa hak atas benda itu lebih bersifat tetap, sedangkan tujuan dari perutangan adalah pemenuhan prestasi, yang akan menyebabkan hapusnya perutangan. Perbedaan kedua adalah jika jumlah hal-hal kebendaan terbatas, maka jumlah perutangan-perutangan terutama perutangan yang timbul dari perjanjian adalah tak terbatas.103 2.2.2. Unsur-unsur perikatan. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menguraikan hal-hal pokok dari perikatan adalah sebagai berikut; 1. Dalam hubungan hukum yang diwujudkan terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. Dua orang diantara kreditur (yang berpiutang) dan debitur (yang berutang), tetapi dapat juga ada lebih dari seorang kreditur dan atau debitur. Debitur harus selalu dapat diketahui, berlainan dengan kreditur,ia 101 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata Hukum Perutangan Bagian A, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal.1. 102 Ibid, hal 2. 103 Ibid, hal.3. 74 tidak hanya secara sepihak (tanpa turut sertanya debitur) dapat diganti (dengan jalan cessie piutang); 2. Debitur wajib untuk suatu prestasi, yang dapat berupa memberi, berbuat, atau tidak berbuat; 3. Prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan; 4. Prestasi harus mungkin dan dapat dilaksanakan; 5. Prestasi dapat berupa perbuatan satu kali, contohnya levering atau serentetan perbuatan-perbuatan sehingga sifatnya terus menerus misalnya dalam perjanjian sewa atau perjanjian kerja. Prestasi juga dapat berupa tindakan yang pasif tidak berbuat; 6. Perikatan dapat tidak berdiri sendiri, melainkan bersama-sama dengan perikatan lain yang sifatnya berlainan secara timbal balik merupakan suatu hubungan hukum yang dipandang sebagai suatu keseluruhan. Contoh dalam perjanjian jual beli timbul berbagai perikatan, diantaranya penjual wajib melever (Pasal 1474 KUHPer), pembeli wajib untuk membayar (Pasal 1513 KUHPer), kedua belah pihak masing-masing sebagai kreditur dan debitur; 7. Dalam rangka pemenuhan perikatan si debitur bertanggung-gugat dengan seluruh harta kekayaannya (Pasal 1131 dan 1132 KUHPer).104 Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi “Perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib 104 Ibid, hal.3-5. 75 memenuhi prestasi itu” 105 . Dari rumusan tersebut tampak bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yakni; 1. Hubungan hukum; 2. Dalamapangan harta kekayaan; 3. Adanya pihak-pihak (hubungan hukum antara kreditur dan debitur); 4. Prestasi sebagai isi perikatan. Untuk lebih jelasnya, maka unsur-unsur itu dapat diuraikan satu persatu sebagai berikut; Ad 1. Hubungan hukum Hubungan hukum yang dimaksud berlainan pada hak kebendaan, namun merupakan hubungan antara dua pihak, antara orang dengan orang mengenai benda. Pada perikatan jika debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela maka kreditur dapat meminta bantuan hukum untuk pelaksanaanya. Khusus mengenai hubungan hukum perlu ditambahkan penjelasan dari Gunawan Widjaja menyatakan bahwa hubungan hukum menunjuk pada dua hal yakni pertama menunjuk pada keadaan yang wajib harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban, kedua berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut yang dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut.106 Berdasarkan pemikiran ini bahwa setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang 105 106 Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, hal.3. Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.313. 76 berkewajiban tidak masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan dari perikatan. Ad.2. Dalam lapangan harta kekayaan. Menurut J.Satrio, Perikatan yang dinilai dengan nilai uang atau paling tidak dapat dijabarkan dalam sejumlah uang atau nilai ekonomis tertentu jika debitur wanprestasi maka kreditur harus dapat mengemukakan adanya kerugian financial, agar ia dapat menuntut debitur berdasarkan buku III KUHPer.107 Pengganti dari prestasi yang terhutang adalah ganti rugi, yang pada umumnya diwujudkan dalam sejumlah uang tertentu. Jika prestasinya tidak dapat diukur dengan uang, maka prestasi itu dianggap bukan berada dalam lapangan hukum perikatan, karena tidak berada dalam lapangan harta kekayaan dan tidak dapat dituntut ganti rugi. Ad 3. Adanya pihak-pihak (hubungan antara kreditur dan debitur) Perikatan sebagai hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu segi aktiva dan segi passiva. Segi aktiva di dalamnya ada hak-haknya yang berupa tagihan yang kalau dihubungkan dengan subyeknya ada pada kreditur. Segi passiva yang di dalamnya ada kewajiban berupa hutang dihubungkan dengan subyeknya ada pada debitur.108 Pada bagian segi passiva, terdapat pembedaan antara schuld dan haftung109. Schuld adalah kewajiban berprestasinya, yang dipersoalkan adalah siapa yang berkewajiban untuk menjalankan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah pemenuhan kewajiban dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban wajib 107 J.Satrio I, Op.Cit, hal.15. Ibid, hal.20. 109 Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.314. 108 77 dipenuhi (kreditur). Haftung berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk memenuhinya. Kedua hal ini (schuld dan haftung) tampak pada debitur dalam pemenuhan prestasinya sebagai pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan. Misalnya dalam perjanjian jual beli, pembeli yang berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga pembayaran barang yang dibeli, dapa dimintakan pertanggungjawabannya oleh penjual untuk memenuhi kewajibannya. Ad 4. Prestasi sebagai isi perikatan. Prestasi harus tertentu atau paling tidak dapat ditentukan ditujukan agar dapat menilai apakah debitur telah memenuhi kewajibannya atau tidak. Prestasi bisa berupa kewajiban untuk menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 2.2.3. Jenis-jenis perikatan. Undang-undang dalam buku III Bab I KUHPer, membedakan jenis perikatan menjadi 6 (enam), yakni;110 1. Perikatan untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu; 2. Perikatan bersyarat; 3. Perikatan dengan ketetapan waktu; 4. Perikatan mana suka; 5. Perikatan tanggung menanggung 110 Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, hal.7. 78 6. Perikatan dengan ancaman hukuman R.Setiawan mengemukakan pembagian perikatan yang lebih terperinci dengan membagi perikatan berdasarkan dari: 111 1. Isi daripada prestasinya. Berdasarkan isi daripada prestasinya maka perikatan dapat dibedakan menjadi 6 (enam) yakni; a. Perikatan positif dan negatif. Perikatan positif adalah perikatan yang perstasinya berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu, sedangkan pada perikatan negatif prestasinya tidak berbuat sesuatu. b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan. Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang prestasinya hanya perlu dilakukan dalam waktu yang singkat dan dalam satu kali perbuatan, misalnya perikatan dalam jual beli obyek bergerak. Perikatan berkelanjutan adalah perikatan yang prestasinya besifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu, misalnya perikatan yang timbul dari sewa menyewa atau perjanjian kerja. c. Perikatan alternatif. Perikatan alternatif adalah suatu perikatan, dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan prestasi yang dipilih itu mengakhiri perikatan. 111 R.Setiawan, Op.Cit, hal 34-48. 79 d. Perikatan fakultatif. Perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa satu prestasi, dimana debitur dapat menggantikannya dengan prestasi lain. Dalam perikatan fakultatif, jika terdapat keadaan memaksa prestasi primairnya tidak lagi merupakan obyek perikatan, maka perikatannya menjadi hapus. Berbeda dengan perikatan alterntif, jika salah satu prestasinya tidak lagi dapat dipenuhi akibat adanya keadaan memaksa, maka perikatannya menjadi murni. e. Perikatan generik dan spesifik. Perikatan generik adalah perikatan di mana obyeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang obyeknya ditentukan secara terperinci. f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. Perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada prestasinya, apakah dapat dibagi atau tidak. Prestasi yang tidak dapat dibagi dibedakan menurut sifatnya dan tujuannya. Tidak dapat dibagi menurut sifatnya jika obyek daripada perikatan tidak dapat dibagi-bagi atau perbuatan pelaksanannya tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata maupun secara perhitungan. Tidak dapat dibagi menurut tujuannya jika berdasarkan maksud dari para pihak pelaksanaan prestasi harus dilaksanakan sepenuhnya walaupun perikatan itu sebenarnya dapat dibagi-bagi. 80 2. Berdasarkan subyeknya. Perikatan berdasarkan subyeknya dapat dibagi menjadi dua jenis, diantaranya adalah; a. Perikatan solider atau tanggung renteng. Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng, jika berdasarkan kehendak dari para pihak atau ketentuan undang-undang. Perikatan solider atau tanggung renteng dapat dibedakan menjadi dua yakni tanggung renteng aktif dan tanggung renteng pasif. i. Tanggung renteng aktif adalah jika setiap kreditur dari dua atau lebih dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur, dengan pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya; ii. Tanggung renteng pasif adalah jika setiap debitur dari dua atau lebih berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan prestasi, dengan pengertian pemenuhan prestasi oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur lainnya. b. Perikatan pokok (principle) atau accesoire Perikatan pokok atau accesoire terjadi apabila seorang debitur atau lebih terikat sedemikan rupa, hingga perikatan yang satu sampai batas tertentu tergantung pada perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama disebut perikatan pokok sedangkan yang lainnya perikatan accesoire. Misalnya perikatan utang dan borg. 81 3. Berdasarkan mulai berlaku dan berakhirnya perikatan. Berdasarkan mulai berlaku dan berakhirnya perikatan, maka perikatan dibedakan menjadi 2 (dua) yakni; a. Perikatan bersyarat. Perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 KUHPerdata yang berbunyi “Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”. Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan murni, yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat. Suatu syarat yang harus secara tegas dicantumkan dalam perikatan. Perikatan bersyarat diatur dalam Buku III, Bab I, Bagian 5, yang meliputi Pasal 1253-1267 KUHPer. Menurut ketentuan Pasal 1253 KUHPer bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan menjadi dua yakni; i. Perikatan bersyarat yang menangguhkan. Pada perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan berlaku setelah syaratnya dipenuhi. Selama syaratnya belum dipenuhi, kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan dan debitur tidak wajib memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi sebelum syarat dipenuhi, maka terjadi pembayaran yang tidak terutang dan debitur dapat menuntut pengembaliannya. 82 ii. Perikatan bersyarat yang menghapuskan. Pada perikatan bersyarat yang menghapuskan, perikatan hapus jika syaratnya dipenuhi. Jika syaratnya telah dilaksanakan seluruhnya atau sebagian, maka dengan dipenuhinya syarat perikatan, maka keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak terjadi perikatan atau hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya. b. Perikatan dengan ketentuan waktu. Perikatan dengan ketentuan waktu diatur dalam buku III, bab I, bagian 6 meliputi Pasal 1268-1271 KUHPer. Perikatan dengan ketentuan waktu adalah perikatan yagn berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu atau peristiwa yang akan terjadi dan pasti terjadi. Pada umumnya jika peristiwanya belum tentu terjadi maka termasuk dalam perikatan bersyarat. Dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau ketentuan waktu, dengan melihat maksud dari para pihak. Perikatan dengan ketentuan waktu dapat dibagi menjadi: i. Ketentuan waktu yang menangguhkan. Perikatan dengan ketentuan waktu yang menangguhkan diatur secara umum dalam Pasal 1268-1271 KUHPer. Ketentuan waktu yang menangguhkan artinya menunda perikatan sampai saat yang ditentukan terjadi. ii. Ketentuan waktu yang menghapuskan. Perikatan dengan ketentuan waktu yang menghapuskan artinya dengan dipenuhinya ketentuan waktu maka perikatan menjadi 83 hapus. Perikatan jenis ini tidak berlaku surut artinya jika waktunya telah dipenuhi maka debitur tidak lagi terikat, akan tetapi prestasinya pada waktu yang lalu tidak dikembalikan. 2.3. Tinjauan Umum Tentang Kebatalan dalam Perjanjian Kebatalan menyangkut suatu persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian yang berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, terdiri dari empat syarat yakni syarat pertama yakni adanya kesepakatan kedua belah pihak, syarat kedua adanya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, syarat ketiga adanya obyek tertentu dan syarat keempat yakni adanya kausa yang halal. Menurut Subekti keempat syarat tersebut di bagi menjadi dua kategori, yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, tidak terpenuhinya salah satu atau kedua-dua unsur tersebut mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan/dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Perjanjian yang tidak dimintakan pembatalan dianggap tetap berlaku, sehingga penekanan terhadap pembatalan ada pada inisiatif para pihak. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif suatu perjanjian, dengan konsekuensi tidak terpenuhinya salah satu atau keduanya menyebabkan perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum dianggap telah gagal, sehingga tidak ada dasar bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim, disebut null and 84 void.112 Batal demi hukum tidak mensyaratkan inisiatif para pihak, karena perjanjian oleh hukum dianggap tidak pernah ada. Dalam konteks hukum perjanjian Indonesia, menurut KUHPer, terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kategori sebagai berikut:113 1. Perjanjian dapat dibatalkan; 2. Perjanjian batal demi hukum; 3. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian bersyarat; 4. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana; 5. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang-undang. Dari kelima alasan untuk membatalkan perjanjian, diantaranya adalah terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian bersyarat. Menurut Munir Fuady, perjanjian bersyarat (conditional contract) merupakan suatu perjanjian yang pelaksanaanya atau pemberhentian pelaksanaannya bergantung pada suatu faktor tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa akan datang.114 Syarat batal dalam suatu perjanjian, adalah berlaku surut. Subekti berpendapat bahwa; Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi akan menghentikan perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu 112 Subekti I, Op.Cit, hal 19. Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, National Legal Reform Program, Jakarta, hal.5. 114 Munir Fuady II, Op.Cit, hal.103. 113 85 perjanjian, seperti yang diatur dalam Pasal 1265 KUHPer. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, ia hanya lah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.115 Sifat dari pembatalan perjanjian yang berlaku surut, maka perlu kiranya ditetapkan beberapa hal yang membatasi pembatalan itu, diantaranya terdapat keseimbangan kedudukan dari para pihak itu sendiri. Herlien Budiono mengemukakan pendapatnya sebagai berikut alasn pembatalan terjadi jika telah memenuhi syarat-syarat batalnya perjanjian, selain itu terjadi jika salah satu pihak telah diberikan kewenangan untuk membatalkan perjanjian dengan mengeluarkan suatu pernyataan timbulnya suatu fakta atau keadaan tertentu terjadi.116 Penekanan pendapat Herlien Budiono adalah kewenangan para pihak untuk membatalkan suatu perjanjian baik sebagian atau seluruhya dilandaskan pada asas keseimbangan. Pembatalan lebih mengarah pada suatu pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan perjanjian. Misalnya dalam suatu perjanjian sewa menyewa yang dibatalkan, harga sewa yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pihak penyewa dan penyewa mengembalikan obyek sewa seperti saat belum disewa. Pendapat ini didukung oleh Jaap Hijma, yang menjelaskan konsep pembatalan dengan mengacu pada New BW, bahwa pembatalan memiliki efek retroaktif hingga ke waktu perjanjian itu disepakati 115 116 Ibid, hal.82. Elly Erawati dan Herlien Budiono, Op.Cit, hal.83. 86 atau terjadi (Pasal 3:53 ayat 1), oleh karena itu, konsekuensi dari suatu pembatalan identik dengan konsekuensi dari ketidakabsahan awal.117 Gunawan Wijaja118, menguraikan mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat, baik keabsahan yang dipertanyakan oleh salah satu pihak karena kurangnya kapasitas atau karena tidak adanya kesepakatan bebas, maupun yang digugat oleh pihak ketiga karena perjanjian tersebut merugikan kepentingannya yang harus dilindungi oleh hukum. Dalam hal ini pembatalan masuk dalam lapangan hukum perjanjian, karena masalah pembatalan ini tidak mengenai masalah pelaksanaan prestasi, pemenuhan kewajiban atau pembayaran utang, Alasan yang dikemukakan oleh Gunawan Widjaja adalah karena sesungguhnya prestasi tidak pernah ada dari awal, yang mana pembatalannya hanya dapat dilakukan oleh pengadilan dan berpendapat bahwa jika suatu pembatalan disepakati lebih dahulu di awal perjanjian, merupakan suatu hal yang tidak layak, karena yang dinamakan pembatalan adalah mengembalikan segala sesuatu seperti keadaan semula, seperti pada saat perjanjian pertama kali disepakati dan hal tersebut tidak mungkin sama sekali ketika sudah ada usaha dari salah satu pihak untuk melaksanakan kewajibannya. Pembatalan dalam konteks ini berbeda dengan pembatalan yang telah dipenuhi dalam syarat batal pada perikatan bersyarat. Pembatalan dalam periaktan bersyarat berada dalam lapangan hukum perikatan bukan perjanjian. Hukum 117 Rosa Agustina.et.al, 2012, Hukum Perikatan (Law of Obligations) Seri Unsur-unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Pustaka Larasan, Denpasar, hal.149. 118 Gunawan Wijaja, Op.Cit, hal.305-307. 87 perjanjian bersifat terbuka sebatas pada saat pembentukan perjanjian berdasarkan kesepakatan bebas, mengenai suatu hal dalam lapangan harta kekayaan, serta tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, namun segera setelah perjanjian itu dibentuk, para pihak tidak lagi bebas untuk menentukan kehendaknya, bahkan untuk membatalkannya, para pihak memerlukan bantuan hakim pengadilan.119 Perjanjian yang batal demi hukum memiliki karakteristik perjanjian dianggap tidak pernah ada dan mengembalikan ke keadaan posisi semula sebelum perjanjian dibuat. Elly Erawati dan Herlien Budiono berpendapat bahwa batal demi hukum merupakan frasa di bidang hukum yang bermakna sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit berdasarkan peraturan perundang-undangan) memang begitulah adanya. Batal demi hukum menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut terjadi seketika, spontan, otomatis dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.120 Akibat hukum perjanjian yang sah adalah mengikat para pihaknya dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Jika ada yang melanggar perjanjian itu, maka terhadapnya dianggap sama dengan sama dengan melanggar undang-undang, yang akan memiliki sanksi hukum. Perjanjian yang sah tidak dapat dihentikan secara sepihak. Jika salah satu pihak berkeinginan membatalkan maka haruslah mendapatkan persetujuan dari pihak lainnya. 119 120 Ibid. Elly Erawati dan Herlien Budiono, Op.Cit, hal.4. 88 Perkecualian diberikan oleh undang-undang terhadap pemutusan sepihak yakni apabila ada alasan yang cukup yang berdasarkan undang-undang maka perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak. Pada intinya sepanjang perjanjian itu tidak melanggar unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, maka perjanjian dianggap mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2.4. Tinjauan Umum Tentang Prestasi dan Wanprestasi dalam Perjanjian Timbal Balik 2.4.1. Jenis prestasi dalam perjanjian timbal balik. Menurut Munir Fuady, prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dimaksudkan sebagai “suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan”.121 Jenis prestasi berdasarkan Pasal 1234 KUHPer diantaranya berupa memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; tidak berbuat sesuatu. Prestasi yang merupakan pelaksanaan dari perikatan, sering juga disebut dengan kontra prestasi, tergantung dari sudut mana pelaksanaan prestasi itu dipandang. Dipandang dari sudut pelaksana, maka pelaksanaan perikatan disebut juga prestasi, tetapi dari sudut lawan pelaksanaan suatu perikatan dapat 121 Munir Fuady II, Op.Cit, hal.87. 89 merupakan kontra prestasi baginya bila pihak lawan itu juga melaksanakan perikatan.122 Dalam hukum perjanjian, prestasi atau kontra prestasi dapat merupakan kewajiban atau syarat atau kewajiban dan syarat. Masing-masing prestasi dapat diuraikan sebagai berikut; a. Kewajiban (obligation/duty). Prestasi atau kontra prestasi adalah merupakan kewajiban bila pelaksanaan membuat suatu janji (promise) untuk pemenuhan prestasi (kontra prestasi) itu. b. Syarat (condition). Prestasi atau kontra prestasi adalah syarat bila pihak yang melakukan prestasi tidak berjanji untuk melaksanakannya, melainkan hanyalah merupakan syarat (tangguh) atau condition precedent yaitu merupakan suatu prestasi yang harus dilakukan terlebih dahulu agar menimbulkan kewajiban untuk memenuhi kontra prestasi dari pihak lawannya. Prestasi (kontra prestasi) jenis ini tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya secara hukum bila tidak dilakukan. c. Kewajiban dan syarat (promissory condition). Prestasi atau kontra prestasi merupakan suatu kewajiban dan sekaligus sebagai syarat maka pihak yang harus melakukan prestasi (kontra prestasi) 122 Hardijan Rusli,1993, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.32. 90 adalah merupakan debitur dan kewajibannya ini harus dilaksanakan terlebih dahulu dari pelaksanaan kontra prestasi pihak lawannya. 123 2.4.2. Penentuan wanprestasi dalam perjanjian timbal balik. Untuk menentukan terjadinya wanprestasi dalam suatu perjanjian timbal balik maka terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian wanprestasi, modelmodel wanprestasi, penentuan terjadinya wanprestasi dan doktrin yang berkaitan dengan pelaksanaan prestasi. a. Pengertian wanprestasi. Wanprestasi menurut kamus hukum, berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian124. Menurut Munir Fuady, wanprestasi, atau disebut juga dengan istilah breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan.125 J.Satrio merumuskan wanprestasi sebagai “Suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya.”126 b. Model-model wanprestasi. Tindakan wanprestasi dapat dibedakan dari berbagai bentuk. Beberapa sarjana mencoba memberikan uraian berbagai bentuk/model tindakan wanprestasi. 123 Ibid, hal.32-33. R.Subekti dan Tjitrosoedibio, 1992, Kamus Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, hal.110. 125 Munir Fuady II, Op.Cit, hal.87. 126 J.Satrio II, Op.Cit, hal.3. 124 91 Model-model dari wanprestasi menurut Mariam Darus Badrulzaman terdiri dari tiga wujud yakni127debitur samasekali tidak memenuhi perikatan; debitur terlambat memenuhi perikatan; debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan. Muhammad Syaifuddin berpendapat selain ketiga model wanprestasi tersebut terdapat satu wujud lagi yakni melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian128. c.Penentuan wanprestasi. Dalam kenyataanya sulit untuk menentukan kapan seseorang dikatakan telah memenuhi prestasinya atau tidak. Prestasi sebagaimana dikelompokkan menjadi tiga ada yang berupa kewajiban (janji) dan ada pula yang syarat (condition). Untuk lebih jelasnya diilustrasikan dalam contoh berikut misalkan seorang tukang atap yang mempunyai prestasi memperbaiki atap yang bocor. Tukang atap itu sudah memeriksa atap dan memperbaiki atap yang bocor namun ternyata masih ada rembesan air/ bocor, apakah dalam hal hal ini tukang tersebut dikatakan belum atau telah memenuhi prestasinya? Untuk dapat menjawab permasalahan di atas, maka prestasi tukang itu dapat sebagai kewajiban atau dapat pula sebagai syarat, dan hal ini akan membawa akibat hukum yang berbeda ke dalam hal belum terpenuhinya prestasi tukang tersebut. Dalam hal prestasi tukang itu adalah sebagai kewajiban maka tukang itu dapat dituntut untuk memenuhi kewajibannya tersebut baik dengan atau tanpa 127 Mariam Darus Badrulzaman et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.18-19. 128 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.338. 92 ganti rugi, atau kreditur dapat membatalkan perjanjian sehingga tukang itu tidak dapat menuntut pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukannya berdasarkan adanya perjanjian. Dilihat dari sisi yang lain, bila prestasi tukang itu adalah syarat maka tukang itu tidak dapat menuntut pembayaran bila dianggap belum terpenuhinya prestasi dari tukang tersebut. Kenyataannya perbuatan tukang itu yang telah banyak melakukan prestasi walaupun masih sedikit ada kekurangan, akan dirasakan tidak adil bila tukang tersebut dikatakan wanprestasi. Sebaliknya, yang lebih dikatakan adil adalah apabila tukang itu telah dianggap memenuhi prestasinya, karena kenyataannya tukang itu telah melakukan banyak (substantial) dan kekurangannya hanyalah sedikit (minor breach). d. Keadaan pelaksanaan prestasi. Penentuan suatu prestasi sebagai sebuah prestasi yang substansial atau tidak, dapat digunakan beberapa doktrin pelaksanaan prestasi, yakni doktrin pemenuhan prestasi substansial dan dokrin pemenuhan prestasi penuh. Doktrin pemenuhan prestasi penuh diartikan sebagai suatu doktrin yang pelaksanaan prestasinya harus dilakukan sepenuhnya, misalnya dalam jual beli tanah. Menurut Munir Fuady, pemenuhan prestasi substansial adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melasanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna129. 129 Munir Fuady II, Op.Cit, hal.89-90.