14 BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA BERPPIKIR
A. Kajian Teori
1. Media Pembelajaran
a. Pengertian media pembelajaran
Penelitian tentang media pembelajaran telah banyak dilakukan oleh para
ahli pendidikan atau pembelajaran. Karena dengan perkembangan jaman,
penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran dirasa sangat penting. Kata
media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat diartikan
sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju
penerima (dalam Daryanto, 2013:4).
Association for Educational Communications and Technology (AECT)
(dalam Anitah, 2008:1) mendefinisikan media sebagai segala bentuk saluran yang
digunakan untuk menyalurkan informasi. NEA (National Education Assosiation)
memberikan batasan bahwa media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik
tercetak, audio-visual, serta peralatannya (dalam Agung dan Suryani, 2012:135).
Secara lebih spesifik, Gerlach & Ely (dalam Anitah, 2008:2) mengatakan bahwa
media adalah grafik, fotografi, elektronik, atau alat-alat mekanik untuk
menyajikan, memproses, dan menjelaskan informasi lisan atau visual. Senada
dengan itu, Smaldino dkk (2014) mengatakan istilah media merujuk pada apa saja
yang membawa informasi antara sumber dan sebuah penerima. Enam kategori
14
15
media menurut Smaldino adalah teks, audio, visual, video, perekayasa
(manipulative) (benda-benda), dan orang-orang. Sedangkan tujuan dari media
adalah untuk memudahkan komunikasi dan belajar.
Gagne (dalam Agung dan Suryani, 2012:135) mengatakan media adalah
berbagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang dapat merangsang
untuk belajar. Briggs (1985) juga menyatakan hal yang hampir sama, media
adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang peserta
didik untuk belajar (dalam Sadiman, 2014:6).
Rossi dan Breidle (dalam Sanjaya, 2014:58) mengemukakan bahwa media
pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk tujuan
pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah dan sebagainya. Senada
dengan Rossi dan Breidle, Gagne dan Briggs (dalam Arsyad, 2014:4) menyatakan
bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk
menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari buku, tape recorder, kaset,
video kamera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik,
televise, dan komputer. Pengertian lain diberikan oleh Gerlach dan Ely (dalam
Sanjaya, 2014:59), media bukan hanya berupa alat dan bahan saja, akan tetapi halhal yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan. “A medium,
conceived is any person, material or even that establish condition which enable
the learner to acquire knowledge, skill and attitude.” Media meliputi orang,
bahan/peralatan, atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan
siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Agung dan Suryani (2012:136) mengatakan bahwa media pembelajaran
16
adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru
dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima
pesan belajar atau peserta didik. Latuheru (1998) mengatakan bahwa media
pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang digunakan dalam kegiatan
belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi pendidikan
antara guru dan peserta didik dapat dapat berlangsung secara tepat guna dan
berdaya guna. (dalam Agung dan Suryani, 2012:137)
Berdasarkan pengertian-pengertian dari para ahli tersebut, media
pembelajaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang digunakan untuk
menyampaikan isi materi pengajaran dan yang memungkinkan peserta didik
mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai yang diharapkan.
Orang, alat, bahan, atau apa saja yang dapat dimuati pesan pembelajaran maka
dapat dikatakan sebagai media pembelajaran. Meskipun demikian masing-masing
media tersebut memiliki keterbatasan masing-masing dalam menyampaikan pesan
pembelajaran.
b. Fungsi/kegunaan media
Daryanto (2013:5) mengatakan bahwa media mempunyai beberapa
kegunaan, antara lain:
1. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis;
2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra;
3. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara peserta didik
dengan sumber belajar;
4. Memungkinkan peserta didik belajar mandiri sesuai dengan bakat dan
17
kemampuan visual, auditori dan kinestiknya;
5. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan
menimbulkan persepsi yang sama;
6. Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, guru
(komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran, peserta didik
(komunikan), dan tujuan pembelajaran.
Munadi (2013:36-48) membagi fungsi media pembelajaran menjadi lima
(5), yaitu:
1. Fungsi media pembelajaran sebagai sumber belajar;
2. Fungsi sematik (kemampuan media menambah perbendaharaan kata yang
makna atau maksudnya benar-benar dipahami peserta didik);
3. Fungsi manipulatif (untuk mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan
inderawi);
4. Fungsi psikologis (terkait dengan fungsi atensi, afektif, kognitif,
imajinatif, motivasi);
5. Fungsi sosio-kultural (untuk mengatasi hambatan sosio-kultural antar
peserta komunikasi pembelajaran).
Sudjana dan Rivai (dalam Arsyad, 2014:28) mengemukakan manfaat
media pembelajaran dalam proses belajar peserta didik, yaitu:
1. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian peserta didik sehingga dapat
menumbuhkan motivasi belajar;
2. Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat dipahami oleh
peserta didik;
18
3. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak sekedar komunikasi verbal
melalui penuturan kata-kata oleh guru;
4. Peserta didik dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak
hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti
mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan sebagainya.
Kegunaan atau fungsi media pembelajaran seperti yang telah dikemukakan
di atas, menunjukkan bahwa media pembelajaran memiliki peran yang penting
dalam membantu untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari pembawa pesan
kepada peserta didik sebagai penerima pesan. Media pembelajaran yang baik dan
efektif juga akan memudahkan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditentukan sebelumnya oleh guru. Media pembelajaran dalam hal ini
foto jejak kolonialisme akan lebih memudahkan peserta didik untuk memperoleh
pengetahuan
dan
pemahaman
tentang
perkembangan
kolonialisme
dan
imperialisme Barat yang terjadi di eks-karesidenan Besuki. Media pembalajaran
ini juga diharapkan akan membantu untuk meningkatkan keterampilan menulis
peserta didik.
c. Jenis-jenis media
1. Media Visual
Media visual adalah media yang melibatkan indera pengelihatan (Munadi,
2013:81). Anitah (2008:7) membedakan media visual menjadi dua, yaitu:
1. Media visual yang tidak diproyeksikan;
2. Media visual yang diproyeksikan.
Media visual yang tidak diproyeksikan tidak membutuhkan perlengkapan untuk
19
menampilkan media tersebut. Media ini dapat mengubah gagasan yang abstrak
menjadi gagasan yang lebih realistic (Smaldino, 2014:325). Selanjutnya Smaldino
membagi media visual yang tidak diproyeksikan ini menjadi beberapa jenis, yaitu:
gambar diam, gambar (termasuk sketsa dan diagram), bagan, grafik, poster dan
kartun. Secara lebih terperinci, Anitah (2008:7) membagi media visual yang tidak
diproyeksikan menjadi sepuluh jenis, yaitu: gambar diam, ilustrasi, karikatur,
poster, bagan, diagram, grafik, peta datar, realia dan model, serta berbagai jenis
papan.
Heinich, Molenda, dan Russel (dalam Sanjaya, 2014:125) membagi media
yang tidak diproyeksikan menjadi empat jenis, yaitu: pertama realita, benda nyata
yang digunakan sebagai bahan belajar; kedua model, benda tiga dimensi yang
merupakan representasi dari benda sesungguhnya; ketiga grafis, gambar atau
visual yang penampilannya tidak diproyeksikan; keempat display, medium yang
penggunaannya dipasang di tempat tertentu sehingga dapat dilihat informasi dan
pengetahuan di dalamnya.
Media visual yang diproyeksikan merupakan format media gambar diam
yang diperbesar dan ditampilkan di layar. Proyeksi tersebut diperoleh dengan
mengirimkan gambar dari sebuah komputer atau kamera dokumen ke sebuah
proyektor digital atau monitor televise atau menggunakan sebuah OHP (Smaldino,
2014:334). Termasuk dalam jenis media ini menurut Anitah (2008:29) yaitu:
overhead projector (OHP), slide (film bingkai), filmstrip (film rangkai), dan
opaque projector.
Lebih khusus akan dijelaskan tentang media visual yang tidak
20
diproyeksikan berupa gambar diam atau foto. Gambar diam merupakan
representasi dari fotografis (atau seperti foto) dari orang, tempat, dan benda-benda
(Smaldino, 2014:325). Gerlach dan Ely (1980, dalam Anitah, 2008:7) mengatakan
bahwa gambar tidak hanya bernilai seribu bahasa, tetapi juga seribu tahun atau
seribu mil. Melalui gambar dapat ditunjukkan kepada peserta didik suatu tempat,
orang, dan segala sesuatu dari daerah yang jauh dari jangkauan pengalaman
peserta didik sendiri. Gambar juga dapat memberikan gambaran dari waktu yang
telah lalu atau gambaran masa yang akan datang. Sedangkan Edgar Dale (1963,
dalam Anitah, 2008:8) mengatakan, gambar dapat mengalihkan pengalaman
belajar dari taraf belajar dengan lambang kata-kata ke taraf lebih konkrit
(pengalaman langsung).
Gambar diam atau foto sebagai media pembelajaran memiliki beberapa
kelebihan dan juga kelemahan. Kelebihan dari media gambar diam atau foto,
yaitu:
1. Dapat menghilangkan verbalisme, dengan menggunakan gambar atau foto
dalam pembelajaran, maka persoalan yang dibicarakan akan lebih konkret
dibandingkan dengan hanya menggunakan bahasa verbal;
2. Gambar atau foto dapat mengatasi batasan ruang dan waktu;
3. Gambar atau foto merupakan media yang mudah diperoleh, harganya
murah serta ppenggunaannya tidak perlu menggunakan peralatan khusus;
(Sanjaya, 2014:166)
4. Media gambar atau foto dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita;
(Sadiman, dkk, 2014:31)
21
5. Gambar atau foto dapat dipakai untuk berbagai tingkat pelajaran dan
bidang studi. (Anitah, 2008:8)
Sedangkan kelemahan dari gambar diam atau foto sebagai media
pembelajaran antara lain:
1. Gambar diam atau foto terkadang terlalu kecil untuk digunakan dalam
kelas yang besar;
2. Gambar atau foto merupakan media dua dimensi, untuk menunjukkan
dimensi ketiga harus digunakan satu seri gambar dari objek yang sama
tetapi pengambilan gambarnya dari berbagai sudut yang berlainan
3. Gambar atau foto tidak menunjukkan gerak sebagaimana halnya gambar
hidup, kecuali dibuat suatu rangkaian yang berurutan yang kemudian dapat
menunjukkan suatu rangkaian peristiwa. (Daryanto, 2013:110)
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan
gambar diam atau foto sebagai media pembelajaran, yaitu: harus memadai untuk
tujuan pengajaran; harus memenuhi persyaratan artistik yang bermutu; untuk
tujuan pengajaran harus cukup besar dan jelas; validitas atau kebenaran dari
gambar atau foto harus dapat dipertanggungjawabkan; gambar atau foto harus
dapat menarik perhatian peserta didik (Daryanto, 2013:112). Selain itu juga harus
diperhatikan dari aspek peserta didik yang akan memanfaatkannya sebagai media
pembelajarannya, antara lain hal-hal berikut:
1. Apa yang harus dicari oleh peserta didik dalam gambar atau foto tersebut;
2. Peserta didik harus mengerti bagaimana mempelajari gambar atau foto;
3. Bagaimana pebelajar memberikan kritik terhadap gambar atau foto;
22
4. Bagaimana hubungan gambar tersebut dengan materi pelajaran lain;
5. Bila gambar terlampau luas, berikan dalam seri-seri gambar atau foto yang
mempunyai ukuran logis;
6. Waktu melihat gambar, mungkin tidak semua pebelajar dapat melihat
dengan jelas, maka sesudah pembelajaran berakhir hendaknya gambar
diletakkan ditempat yang dapat dijangkau oleh peserta didik. (Anitah,
2008:10)
Penggunaan media gambar dan foto dalam proses pembelajaran
diantaranya untuk meningkatkan kemampuan menulis cerpen. Media gambar atau
foto dalam konteks pembelajaran sangat efektif sebagai media visual untuk
merangsang kreatifitas imajinasi peserta didik. Kemampuan gambar atau foto
untuk memberikan rangsangan imajinasi tersebut dapat membantu peserta didik
dalam merangkai kata untuk menghasilkan cerpen sesuai dengan gambar atau foto
yang tersedia. Penggunaan media gambar atau foto dalam proses pembelajaran
juga dapat dijadikan sebagai photo story, yaitu bentuk penyajian gambar foto yang
diambil berdasarkan topic atau peristiwa yang dibutuhkan sehingga tersusun dan
setiap gambar foto tersebut dapat bercerita dengan maksud mengambil suatu
makna yang ada pada gambar atau foto tersebut. (Daryanto, 2013:117)
2. Media audio
Media audio berkaitan dengan indera pendengaran, pesan yang
disampaikan dituangkan dalam lambang-lambang auditif, baik verbal maupun non
verbal (Sadiman, dkk., 2011:49). Sanjaya (2014:118) mengemukakan bahwa
media auditif adalah media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang
23
hanya memiliki unsur suara seperti radio, tape recorder, kaset, piringan hitam dan
rekaman suara. Menurut Anitah (2008:37), media audio dibedakan menjadi media
audio tradisional dan media audio digital. Media audio tradisional meliputi audio
kaset, audio siaran, telepon. Media audio digital meliputi media optik, audio
internet, radio internet.
Media audio memiliki kelebihan dan kelemahan dalam penggunaannya,
Munadi (2013:64) mengemukakan kelebihan dari media audio, yaitu:
a. Mampu mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan memungkinkan
menjangkau sasaran yang luas;
b. Mampu mengembangkan daya imajinasi pendengar;
c. Mampu memusatkan perhatian peserta didik;
d. Sangat tepat untuk mengajarkan musik dan bahasa;
e. Mampu mempengaruhi suasana dan perilaku peserta didik melalui musik
latar dan efek suara;
f. Dapat menyajikan program pendalaman materi yang dibawakan oleh guru
atau orang-orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu;
g. Dapat mengerjakan hal-hal tertentu yang sulit dikerjakan oleh guru.
Kelemahan dari media audio menurut Anitah (2008:41), diantaranya:
a. Terkadang dapat menimbulkan kebosanan;
b. Tanpa ada penyaji yang bertatap muka langsung dengan peserta didik,
menyebabkan beberapa peserta didik kurang memperhatikan;
c. Pengembangan media audio yang baik akan banyak menyita waktu;
d. Penentuan cara penyampaian informasi dapat menimbulkan kesulitan bila
24
pendengar memiliki latar belakang serta kemampuan mendengar yang
berbeda;
e. Tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya satu jalur
penyampaian informasi.
3. Media Audio-Visual
Media audio-visual adalah hasil perpaduan dari audio (suara) dan visual
(gambar), maka orang tidak hanya dapat melihat saja atau mendengar saja, tetapi
orang dapat
melihat
dan sekaligus juga
mendengarkan sesuatu
yang
divisualisasikan (Anitah, 2008:49). Media audio-visual menurut Munadi
(2013:113) dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) media audio-visual yang dilengkapi
dengan fungsi peralatan suara dan gambar dalam satu unit yang dinamanakan
media audio-visual murni; (2) media audio-visual yang tidak murni yaitu berupa
slide, opaque, OHP dan peralatan visual lainnya bila diberi unsur suara. Terdapat
banyak jenis dari media audio-visual, beberapa diantaranya: slide suara, televisi,
film, dan video.
Slide suara merupakan jenis media visual yang menampilkan sejumlah
slide, dipadukan dalam suatu cerita atau suatu jenis pengetahuan yang
diproyeksikan pada layar dengan iringan suara. Slide suara dibuat berdasarkan
kerjasama dari beberapa komponen, yaitu: (1) graphic artist (ahli seni grafis),
yang akan menyelesaikan bidang karya grafis dalam bentuk tulisan tangan,
gambar, caption, judul, dan lain-lain; (2) photographer yang akan membantu
memindahkan cerita dan ide penulis ke dalam karya fotonya; (3) Narator
(pembaca narasi/kata—kata yang menyertai gambar), yang akan mendramatisasi
25
pesan naskah dengan ilustrasi musik, efek suara, dan lain-lain. (Anitah, 2008:49)
Menurut sasarannya, slide suara dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis, antara lain: (1) program slide untuk promosi; (2) program slide yang berupa
anjuran; (3) program slide untuk penerangan; (4) program slide ilmu pengetahuan
khusus; (5) program slide pengetahuan popular; (6) program slide yang bersifat
dokumenter. (Anitah, 2008:50)
Pengembangan media pembelajaran IPS dalam penelitian ini, seperti telah
dipaparkan sejak awal dalam judul, akan menggunakan media visual berupa foto
jejak kolonialisme di eks-karesidenan Besuki. Media pembelajaran tersebut
diharapkan dapat menjalakan fungsi dan bermanfaat dengan baik dan efektif
dalam pembelajaran IPS yang memiliki tujuan pencapaian aspek kognitif dan
psikomotor.
2. Pembelajaran IPS
a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerjasama antara guru dan
peserta didik dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada, baik
potensi yang bersumber dari dalam diri peserta didik sendiri maupun potensi yang
ada di luar diri peserta didik. Pembelajaran adalah terjemahan dari instruction
yang banyak digunakan dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini
banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-holistik yang menyiratkan
adanya interaksi dan komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik antara
guru dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sudrajat, dalam
26
Agung&Wahyuni, 2013:4).
Menurut Isjoni (2007:12) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran merupakan interaksi terus menerus yang dilakukan individu dengan
lingkungannya, dimana lingkungan tersebut mengalami perubahan. Sedangkan
menurut Achjar Chalil, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (dalam Hosnan,
2014:4).
Pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam perilaku,
atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari
praktik atau atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Schunk mengidentifikasi
tiga kriteria dari pembelajaran itu sendiri, yaitu (1) pembelajaran melibatkan
perilaku: (2) pembelajaran bertahan lama dengan waktu: (3) pembelajaran terjadi
melalui pengalaman (Schunk, 2012:5).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh guru dan peserta
didik dalam memanfaatkan semua komponen atau unsur yang tersedia baik dalam
diri guru dan peserta didik maupun komponen atau unsur di luar diri guru dan
peserta didik untuk mencapai tujuan belajar yang diinginkan.
Langkah-langkah pembelajaran menurut teori kondisioning operan dari
Skiner terdiri dari empat langkah, yaitu:
1. Mempelajari keadaan kelas;
27
2. Membuat daftar penguat positif;
3. Memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis
penguatnya;
4. Membuat program pembelajaran.
Begitu juga dengan Piaget, yang membagi pembelajaran dalam empat langkah
utama, yaitu:
1. Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh peserta didik;
2. Memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik yang telah
ditentukan;
3. Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukan pertanyaan
yang menunjang proses pemecahan masalah;
4. Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan
melakukan revisi. (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009:9-15)
b. Pembelajaran IPS
IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu
tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu,
disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri
dalam Gunawan, 2013:17). Sumantri (dalam Sapriya, 2014:11) mendefinisikan
pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial
dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan
secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang
ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yaitu: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi,
28
politik, hukum, dan budaya. Ilmu pengetahuan sosial dirumuskan atas dasar
realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner
dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial (Susanto, 2014:6). Secara lebih jelas
diungkapkan oleh Susanto (2014:10) pengertian IPS adalah bidang studi yang
mempelajari, menelaah, menganalisis gejala, dan masalah sosial di masyarakat
dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau satu perpaduan.
Pendidikan IPS dalam kurikulum di Indonesia mengalami beberapa kali
perubahan. Undang-undang tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional
menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam sistem kurikulum di
Indonesia. Dalam pasal 37 UU Sisdiknas dikemukakan bahwa mata pelajaran IPS
merupakan muatan wajib yang harus ada dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah. Bahan kajian dari IPS antara lain ilmu bumi, sejarah, ekonomi,
kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan,
pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial
masyarakat (dalam Gunawan, 2013:35).
IPS sebagai sebuah program pendidikan memiliki ciri atau karakteristik
tersendiri. Karakteristik mata pelajaran IPS dapat dikelompokkan menjadi
beberapa aspek, diantaranya (Susanto, 2014:10):
1. Karakteristik dilihat dari aspek tujuan. Karakteristik pembelajaran IPS yang
dilihat dari aspek tujuan yang cenderung mengarah kepada pemberdayaan
intelektual peserta didik, maka dalam pelaksanaannya dapat digabungkan
dengan pendekatan kontekstual, di mana salah satunya adalah dengan
komponen-komponen yang dimiliki pada pendekatan kontekstual tersebut,
29
yaitu: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, permodelan,
dan penilaian sebenarnya. Sejalan dengan itu, Sundawa (2006, dalam Susanto,
2014:12) menyebutkan karakteristik pembelajaran IPS yang dilihat dari aspek
tujuan ini meliputi tiga aspek yang harus dituju dalam pengembangan
pendidikan IPS yaitu: aspek intelektual, kehidupan sosial, dan kehidupan
individual.
2. Karakteristik dilihat dari aspek ruang lingkup materi. Berdasarkan ruang
lingkup materinya, maka bidang studi IPS memiliki karakteristik sebagai
berikut: (a) menggunakan pendekatan lingkungan yang luas; (b) menggunakan
pendekatan terpadu antarmata pelajaran yang sejenis; (c) berisi materi konsep,
nilai-nilai sosial, kemandirian, dan kerjasama; (d) mampu memotivasi peserta
didik untuk aktif, kreatif, dan inovatif dan sesuai dengan perkembangan anak;
(e) mampu meningkatkan keterampilan peserta didik dalam berpikir dan
memperluas cakrawala budaya.
3. Karakteristik dilihat dari aspek pendekatan pembelajaran. Pendekatan yang
digunakan dalam bidang studi IPS sejak kurikulum tahun 1975 dan 1984
menggunakan pendekatan integratif. Pendekatan lain cenderung bersifat praktik
di masyarakat dan keluarga atau antar teman di sekolah, aspek yang ditonjolkan
adalah aspek perilaku dan sikap sosial serta nilai eksistensi peserta didik dalam
menghadapi suatu nilai kebersamaan kepemilikan hak dan kewajiban sebagai
makhluk sosial. Sementara itu metodologi pembelajaran IPS dewasa ini
terutama dalam kaitannya dengan kurikulum berbasis kometensi (KBK) dan
KTSP dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan alokasi waktu serta
30
penetapan dan pengembangan kompetensi dasar yang mendukung pencapaian
kompetensi lulusan, sedangkan dalam metodologi pembelajaran bersifat
kontekstual.
Pendidikan IPS selain memiliki karakteristik seperti yang telah disebutkan
di atas, pendidikan IPS juga memiliki dimensi-dimensi, yaitu:
1. Dimensi pengetahuan, secara konseptual pengetahuan mencakup tentang
fakta, konsep, dan generalisasi yang dipahami oleh siswa.
2. Dimensi keterampilan, kecakapan mengolah dan menerapkan informasi
merupakan keterampilan yang sangat penting untuk mempersiapkan siswa
menjadi warga negara yang mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan
masyarakat. Terdapat beberapa dimensi keterampilan dalam pembelajaran
IPS,
diantaranya:
keterampilan
meneliti,
keterampilan
berpikir,
keterampilan partisipasi sosial, serta keterampilan berkomunikasi.
3. Dimensi nilai dan sikap, nilai dan sikap yang dimaksud adalah seperangkat
keyakinan atau prinsip perilaku yang telah melekat dalam diri seseorang
dan masyarakat tertentu yang dapat dilihat dari cara berpikir dan cara
bertindaknya.
4. Dimensi tindakan, tindakan sosial merupakan dimensi yang karena
tindakan dapat memungkinkan peserta didik menjadi aktif.
Pembelajaran sendiri menurut Gagne dan Briggs memiliki beberapa
landasan proses. Pertama, pembelajaran bertujuan untuk memberikan bantuan
agar belajar peserta didik menjadi efektif dan efisien. Kedua, pembelajaran
bersifat terprogram, dirancang untuk tujuan jangka pendek, menengah ataupun
31
jangka panjang. Ketiga, pembelajaran dirancang melalui pendekatan sistem.
Keempat, pembelajaran yang dirancang harus sesuai berdasarkan pendekatan
sistem. Kelima, pembelajaran dirancang berdasarkan pengetahuan tentang teori
belajar. Pembelajaran IPS yang berlandaskan pendekatan sistem berorientasi pada
pencapaian tujuan belajar. Pembelajaran IPS merupakan kegiatan mengubah
karakteristik peserta didik sebelum belajar IPS menjadi peserta didik yang
memiliki
karakteristik
yang diinginkan.
Sehingga
dalam
merencanakan
pembelajaran IPS, yang pertama dilakukan adalah menentukan tujuan
pembelajaran tersebut. (Gunawan, 2013:73)
Selanjutnya tujuan dari pendidikan IPS, di tingkat sekolah pada dasarnya
bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang
menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai
(attitudes and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk
memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil
keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar
menjadi warga negara yang baik (Sapriya, 2014:12). Hal tersebut sejalan dengan
dimensi-dimensi yang ada dalam pendidikan IPS.
Susanto (2014:1) mengatakan bahwa pembelajaran pendidikan IPS
memiliki tujuan untuk memahami dan mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap,
keterampilan sosial, kewarganegaraan, fakta, peristiwa, konsep dan generalisasi
serta mampu merefleksikan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan Maryani seperti yang dikutip oleh Susanto (2014:2) mengatakan
bahwa tujuan pembelajaran IPS adalah sebagai berikut: (1) mengembangkan
32
pengetahuan dasar ilmu-ilmu sosial; (2) mengembangkan kemampuan berpikir
inquiry, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial; (3) membangun komitmen
dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan; (4) meningkatkan kemampuan
berkompetensi dan bekerja sama dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam
skala nasional maupun skala internasional.
Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan dalam
kurikulum tahun 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran IPS yaitu:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungan;
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inquiry, pemecahan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial;
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusian;
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan kompetensi dalam
masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global. (Susanto,
2014:31)
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
dari pembelajaran IPS adalah untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, sikap dan nilai
dari peserta didik dalam kehidupan sosialnya di masyarakat sehingga dapat
menjadi warga negara yang baik. Sedangkan pembelajaran IPS adalah
serangkaian
kegiatan
yang
terprogram
dalam
usaha
mengembangkan
33
pengetahuan, keterampilan, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan
berkomunikasi, sikap dan nilai dari peserta didik dalam kehidupan sosialnya di
masyarakat.
c. Pendekatan Konstruktivisme Dalam Pembelajaran IPS
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi
premis
bahwa
dengan
merefleksikan
pengalaman,
kita
membangun,
mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup.
Landasan pemikiran konstruktivisme ialah bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu
yang diberi/didapat begitu saja dari alam karena hasil kontak manusia dengan
alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil bentukan (konstruksi) aktif dari
manusia. (dalam Suyono dan Hariyanto, 2014:105)
Konstruktivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam
penguasaan dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan
(Cobb dan Bowers, 1999). Konstruktivisme berlawanan dengan teori-teori
pengkondisian yang menitikberatkan pengaruh dari lingkungan terhadap orangorang. Konstruktivisme juga bertentangan dengan teori-teori pengolahan
informasi yang menempatkan fokus pembelajaran di dalam benak individu dan
tidak terlalu memerhatikan konteks di mana pembelajaran itu terjadi. Tetapi
konstruktivisme memiliki asumsi yang senada dengan teori kognitif sosial yang
menyatakan bahwa orang, perilaku,dan lingkungan berinteraksi secara timbal
balik (Bandura, 1986, 1997). (dalam Schunk, 2012:323)
Konstruktivisme seperti yang dijelaskan oleh beberapa ahli di atas,
menyebutkan bahwa pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan
34
yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap
objek,
pengalaman,
maupun
lingkungannya.
Pengetahuan
adalah
suatu
pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami
reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. (dalam Budiningsih,
2005:56)
Pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme menurut Matthews
(1994) memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu: (1) orientasi, peserta didik diberi
kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dan
melakukan observasi; (2) elisitasi, peserta didik dibantu untuk mengungkapkan
idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain; (3)
rekonstruksi ide, meliputi klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang
lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen; (4)
penggunaan ide dalam banyak situasi; (5) review, bagaimana ide berubah. (dalam
Rusmono, 2012:17)
3. Keterampilan Menulis Narasi
Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang tidak mudah untuk dilakukan.
Keterampilan menulis dianggap paling sulit dan membosankan dibandingkan
dengan keterampilan berbahasa yang lain. Oleh karena itu menulis memerlukan
proses belajar yang panjang dan terus menerus dilatih untuk kemudian dapat
menulis dengan baik. Abdul Hadi (dalam Sukino, 2012:7) menyatakan bahwa
hanya lima persen faktor bakat yang mempengaruhi seseorang sukses menjadi
penulis, sembilan puluh persen kerja keras, dan lima persen keberuntungan.
35
Namun demikian dibalik proses yang tidak mudah tersebut, menulis memiliki
beberapa manfaat bagi proses belajar seseorang.
Suparno (dalam Jauhari, 2013:14) menyebutkan empat manfaat dari
menulis bagi seseorang, yaitu:
1. Untuk peningkatan kecerdasan;
2. Untuk pengembangan daya inisiatif dan kreativitas;
3. Untuk penumbuhan keberanian;
4. Untuk pendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.
Akhadiah (1993, dalam Sukino, 2012:8) juga menyebutkan beberapa
keuntungan dari keterampilan menulis, diantaranya:
1. Mengenali kemampuan dan potensi diri;
2. Mengembangkan berbagai gagasan;
3. Memaksa kita menyerap, mencari, dan menguasai informasi;
4. Mengorganisasikan gagasan sistematis serta mengungkapkan secara
tersurat;
5. Meninjau serta menilai gagasan kita secara obyektif;
6. Memecahkan masalah secara konkret;
7. Mendorong kita belajar secara aktif;
8. Membiasakan berpikir dan berbahasa secara tertib.
Keterampilan menulis adalah keterampilan proses karena hampir semua
orang yang membuat tulisan, baik karya ilmiah, non-ilmiah, maupun hanya
catatan pribadi, jarang yang melakukannya secara spontan dan langsung jadi.
Untuk membuat tulisan sederhana pun membutuhkan sebuah perencanaan dan
36
juga perbaikan. Menuangkan ide, pikiran, gagasan, serta merangkai kata pun
sudah merupakan proses. (Jauhari, 2013:16)
Keterampilan menulis perlu ditunjang oleh keterampilan lain, salah
satunya yaitu membaca. Dengan membaca maka akan menambah pengetahuan,
dan paling tidak akan menambah kosa kata seseorang sehingga akan cukup
membantu pemilihan dan penggunaan kosa kata dalam menulis. Membaca dan
menulis saling berhubungan, namun demikian tidak semua orang suka membaca
atau tidak semua orang suka menulis. Dua kemampuan tersebut hendaknya perlu
dimiliki oleh seseorang, terlebih dalam konteks atau iklim akademis. Belum
banyak masyarakat Indonesia yang memiliki dua kemampuan tersebut secara
terpadu, terutama yang kurang adalah kemampuan menulis karena memang tidak
terbiasa untuk melakukannya. Kleden (1999, dalam Kusmana, 2014:144)
mengelompokkan masyarakat Indonesia menjadi tiga, yaitu: (1) dapat membaca
dan menulis jika diminta; (2) dapat membaca dan menulis terkait pekerjaan; (3)
dapat membaca dan menulis sebagai budaya.
Jenis ketiga dalam pengelompokkan Kleden ini yang memang harus mulai
dilakukan sejak dini pada anak-anak Indonesia agar kemudian masyarakat
Indonesia secara umum memiliki budaya membaca dan menulis. Dalam penelitian
ini, akan digunakan media foto untuk membantu peserta didik memiliki budaya
membaca dan menulis. Dengan membaca penjelasan terkait dengan foto yang ada
dan dengan “membaca” foto tersebut maka diharapkan menumbuhkan serta
membelajarkan pada peserta didik keterampilan menulis.
Terwujudnya budaya membaca dan menulis pada peserta didik tentu saja
37
tidak dapat lepas juga dari peran guru. Seorang guru harus secara
berkesinambungan dan terus menerus memberikan dorongan pada peserta didik
untuk terus membaca dan menulis. Menurut Aritonang (2013:93) motivasi sangat
penting dilakukan oleh guru untuk mendorong, mengarahkan, dan menggerakkan
peserta didik agar memiliki kemauan untuk menulis.
a. Narasi
Narasi berasal dari bahasa Inggris yaitu narration, yang berarti cerita, dan
kata narrative yang berarti menceritakan. Karangan narasi adalah karangan yang
menceritakan atau menyampaikan serangkaian peristiwa atau kronologi, sehingga
terkait dengan waktu, tempat, dan peristiwa (Jauhari, 2013:48). Sukino (2012:57)
menyebutkan bahwa narasi merupakan suatu cerita, cerita yang menuturkan atau
menyajikan hal, kejadian, atau peristiwa secara berurutan dengan menonjolkan
tokoh.
Narasi menurut Keraf (1991:136) merupakan suatu bentuk wacana yang
sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi
sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Pengertian lain
menurut
Keraf,
narasi
adalah
suatu
bentuk
wacana
yang
berusaha
menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang
telah terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
narasi adalah sebuah cerita yang menggambarkan secara jelas tentang suatu
peristiwa atau kejadian secara berurutan atau kronologis dalam suatu kesatuan
waktu tertentu. Karangan narasi menurut Jauhari (2013:49) terkait dengan
38
pertanyaan: “apa yang terjadi, kapan terjadi, dan di mana terjadinya?”.
Narasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu pertama narasi
ekspositoris dan kedua narasi sugestif. Pertama narasi ekspositoris, narasi ini
bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang
dikisahkan. Narasi ekspositoris mempersoalkan tahap-tahap kejadian, rangkaianrangkaian perbuatan kepada para pembaca atau pendengar. Urutan kejadian yang
disajikan dimaksudkan untuk memberikan informasi untuk memperluas
pengetahuan seseorang, baik itu disampaikan secara tertulis ataupun secara lisan.
Kedua narasi sugestif, narasi ini bertujuan untuk memberi makna pada suatu
kejadian sebagai suatu pengalaman. Maka dari itu, narasi sugestif selalu
melibatkan daya khayal atau imajinasi seseorang untuk dapat memperoleh makna
dari suatu kejadian. Melalui narasi sugetif, pembaca menarik suatu makna baru di
luar apa yang diungkapkan secara eksplisit. (Keraf, 1991:138)
Pengertian tentang narasi
ekspositoris dan
narasi
sugestif juga
disampaikan oleh Jauhari (2013:49), yaitu: pertama narasi ekspositoris adalah
narasi yang bermaksud memberitahukan suatu informasi faktual dan rasional
kepada pembaca. Maksud dari faktual dan rasional adalah informasi yang
berdasarkan fakta dan masuk akal. Kedua narasi sugestif adalah narasi yang
didasarkan pada daya imajinasi penulis berupa khayalan. Narasi sugestif biasa
digunakan dalam karangan non-ilmiah atau karangan sastra seperti prosa (novel
dan cerpen) dan drama.
b. Narasi dalam Sejarah
Suatu yang tidak dapat dihindari adalah pendapat yang cenderung
39
menghubungkan istilah naratif (narrative) dengan hasil akhir karya sejarawan,
yaitu presentasi hasil-hasil karyanya kepada pembaca; menafsirkan naratif hanya
sebagai sebuah cerita (story) atau sebuah anekdot sejarah. Jan Pamorski
mengatakan titik berangkat dari filsafat naratif sejarah adalah menerima premis
bahwa problema-problema narasi sejarah tidak hanya dapat, tetapi harus dianalisis
secara independen dari investigasi sejarah itu sendiri. Pamorski juga mengakui
kenyataan bahwa di kalangan pendukung narativisme kategori narasi sejarah
diartikan dan dianalisis dari berbagai perspektif, yaitu: (1) semacam wacana,
menyingkap tujuan-tujuan komunikatif, ekspresif dan persuasive dari pengarang
(sejarawan); (2) seperangkat kode-kode komunikatif; (3) ungkapan historis yang
puitis; (4) ungkapan bahasa kiasan dan retoris, yang secara a priori mengendalikan
penyajian sejarah; (5) sebuah struktur makna-makna dalam pengertian semiotic
struktural (Topolski,ed.1990:43). (Sjamsuddin, 2012:268)
Menurut Kuntowijoyo (2008:147) Sejarah naratif adalah menulis sejarah
secara deskriptif, tetapi bukan sekedar menjejerkan fakta. Terdapat tiga syarat
cara menulis sejarah naratif, yaitu colligation, plot, dan struktur sejarah. Pertama
colligation (dikemukakan oleh W.H. Walsh dalam Philosophy of History: An
Introduction) yaitu menulis sejarah itu adalah mencari inner connection
(hubungan
dalam)
antar
peristiwa
sejarah.
Kedua
plot,
yaitu
cara
mengorganisasikan fakta-fakta menajadi satu keutuhan dan merupakan sebuah
interpretasi dan eksplanasi. Ketiga struktur sejarah sebagai rekonstruksi yang
akurat (dikemukakan oleh Michael Stanford dalam Nature of Historical
Knowledge).
40
4. Desain Pengembangan
Desain pembelajaran merupakan proses sistematis pengembangan paket
pembelajaran menggunakan teori belajar dan teori pembelajaran untuk menjamin
terwujudnya pembelajaran yang berkualitas. Desain pembelajaran merupakan
praktik pembuatan alat dan isi materi pembelajaran agar proses belajar
berlangsung seefektif mungkin. Sedangkan model desain pembelajaran adalah
representasi visual dalam bentuk diagram, bagan, gambar yang menggambarkan
langkah-langkah, proses atau prosedur penyusunan desain pembelajaran (Gafur,
2012:2).
Terdapat beberapa jenis model desain pembelajaran yang dapat digunakan
untuk mengembangkan media pembelajaran, diantaranya model Kemp, model
ADDIE, dan model ASSURE.
a. Model Kemp
Pada awalnya model Kemp berbentuk bagan atau diagram linear, namun
kemudian pada tahun 1994 model kemp berubah menjadi bentuk lingkaran tidak
linear (circular not linear). Model circular ini memiliki sebelas langkah
pengembangan, yaitu:
1. Identifikasi masalah atau kebutuhan dan prioritas belajar, dan menentukan
tujuan pembelajaran;
2. Mengkaji karakteristik siswa yang perlu mendapatkan perhatian dalam
penyusunan rencana pembelajaran;
3. Identifikasi materi pelajaran, dan analisis komponen tugas yang harus
dipelajari yang relevan dengan maksud dan tujuan pembelajaran;
41
4. Merumuskan tujuan pembelajaran khusus yang diharapkan dicapai peserta
didik;
5. Menyusun materi pelajaran menjadi urutan topik yang logis untuk
dipelajari peserta didik;
6. Merencanakan strategi pembelajaran sedemikian rupa sehingga setiap
peserta didik dapat menguasai tujuan pembelajaran khusus;
7. Merencanakan penyampaian pesan/materi pembelajaran;
8. Mengembangkan instrumen evaluasi untuk menilai pencapaian tujuan
pembelajaran khusus;
9. Memilih sumber bahan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar;
10. Melaksanakan evaluasi formatif maupun sumatif;
11. Mengadakan revisi dengan menggunakan hasil evaluasi formatif sebagai
umpan balik. (Gafur, 2012:35)
b. Model ASSURE
Model desain pembelajaran ini dikembangkan oleh Molenda, dkk. (2008, dalam
Gafur, 2012:36). Terdapat enam langkah desain pembelajaran dalam model ini,
yaitu:
1. Analisis pebelajar (analysis of learner), menganalisis
karakteristik
pebelajar yang sesuai dengan hasil belajar sebagai panduan dalam
merancang pembelajaran;
2. Menentukan tujuan pembelajaran khusus (state objectives), tujuan yang
dinyatakan dengan baik maka akan memperjelas tujuan, perilaku yang
harus ditampilkan, kinerja yang diamati dan tingkat kemampuan atau
42
pengetahuan baru yang harus dikuasai peserta didik;
3. Memilih media dan paket pembelajaran (selection of media and
materials), setelah menganalisis pebelajar dan menentukan tujuan, maka
selanjutnya adalah memilih strategi pengajaran, teknologi, serta media
yang sesuai dengan kedua hal tersebut dan sesuai dengan materi yang akan
dipelajari;
4. Memanfaatkan
materi
pembelajaran
(utilization
of
instructional
materials), dalam tahap ini ada lima hal yang harus dilakukan, yaitu
mengulas teknologi, media dan material; menyiapkan teknologi ,media,
dan material; menyiapkan lingkungan belajar; menyiapkan pebelajar;
memberikan pengalaman belajar;
5. Meminta respon peserta didik (require learner’s response), pengajaran
sebaiknya meminta keterlibatan aktif mental dari pebelajar agar
pembelajaran efektif;
6. Evaluasi (evaluation), tahap akhir adalah melakukan evaluasi secara
keseluruhan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan terhadap
pebelajar. (Smaldino,dkk. 2014:110)
c. Model ADDIE
Dalam model ADDIE terdiri dari lima langkah pengembangan desain
pembelajaran, yaitu:
1. Analisis (Analysis), dilakukan untuk menentukan kebutuhan belajar, apa
yang akan diajarkan, kompetensi apa yang harus dikuasai oleh peserta
didik;
43
2. Desain (Design), dalam tahap ini yang dilakukan adalah merumuskan
kompetensi, menentukan materi pembelajaran, strategi, media, evaluasi,
dan sumber;
3. Pengembangan (Develop), yang dilakukan adalah membuat spesifikasi
pembelajaran yang telah ditentukan dalam tahap desain;
4. Implementasi (Implementation), yang dilakukan adalah menggunakan
paket pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran;
5. Evaluasi (Evaluation), meliputi evaluasi internal dan eksternal. Evalusi
internal (evaluasi formatif) untuk mengetahui efektifitas dan kualitas
pembalajaran; evalusi eksternal (evaluasi sumatif) untuk mengetahui
tingkat penguasaan materi yang telah diajarkan pada peserta didik. (Gafur,
2012:39)
Penelitian tentang media pembelajaran ini akan menggunakan model
ADDIE
untuk
mengembangkan
produk
media
pembelajaran
dengan
menggunakan kumpulan foto-foto jejak kolonialisme. Model ADDIE dipilih
karena model tersebut memiliki tahapan yang sederhana dan lebih mudah untuk
digunakan dalam pengembangan media pembelajaran IPS berbasis foto jejak
kolonialisme. Meskipun model ADDIE tersebut memiliki tahapan yang
sederhana, tetapi tetap dapat menghasilkan media pembelajaran yang baik.
Tahapan model tersebut dimulai dengan melakukan analisis kebutuhan peserta
didik dan guru sampai pada tahap pengembangan media, kumpulan foto-foto
tersebut kemudian dijadikan satu dalam bentuk buku, setelah melalui tahap
pengembangan kemudian digunakan dalam pembelajaran IPS di kelas.
44
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan ini diantaranya adalah penelitian dari Jean
Gelman Taylor tentang “Aceh: Narasi foto, 1873-1930”, hasil penelitian ini
dimuat dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia karya Nordholt,
dkk. pada halaman 313. Jean Gelman Taylor melakukan penelitiannya tentang
Aceh dengan menggunakan foto sebagai sumbernya. Foto-foto yang digunakan
dasar untuk kajiannya ini tersimpan di pusat dokumentasi Koninklijk Instituut
voor Taal- Land- en Volkenkunde (KITLV). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Jean Gelman Taylor tentang Aceh melalui kajian foto-foto, dapat
dilihat bahwa ternyata foto dapat digunakan sebagai sumber bahan penelitian
sejarah. Foto menampilkan keadaan apa adanya pada suatu tempat dan waktu
tertentu sesuai dengan diambilnya foto tersebut, meskipun ada unsur campur
tangan orang yang mengambil foto tersebut dalam hal ide atau keinginannya
mengambil foto. Dalam penelitian Taylor ini, arsip visual dapat dijadikan alat
penting untuk memahami kedudukan Aceh dalam sejarah Indonesia; arsip foto
menawarkan ide-ide untuk menulis sejarah sosial untuk mengimbangi sejarah
politik yang sudah ada.
Berikutnya adalah penelitian dari Henk Schulte Nordholt dan Fridus
Steijlen tentang “Don’t forget to remember me: Arsip audiovisual kehidupan
sehari-hari di Indonesia pada abad ke 21”, hasil penelitian ini juga dimuat dalam
buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia karya Nordholt, dkk. Nordholt
dan Steijlen mengatakan bahwa proyek ambisius yang dilakukan ini bertepatan
dengan semakin besarnya minat terhadap sejarah kehidupan sehari-hari dan upaya
45
sejarawan menekankan relevansi data visual. Pada tahun 2004 Program Sephis
(South-South Exchange Programme for Research on the History of Development)
mengadakan lokakarya “Visual Sources as Alternative History” dan pada tahun
2005 Institute for Historycal Studies dari University of Michigan, menghasilkan
program “History and the Visual” untuk menggali hakikat dan peran gambar
dalam pemahaman sejarah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
ada kesadaran bersama pentingnya gambar dalam sejarah, terutama dalam kaitan
dengan upaya menangkap kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian berikutnya yang termuat dalam buku “Bahasa dan Sastra
Dalam Berbagai Perspektif” yang ditulis oleh Sri Handayani, M.Hum. berjudul:
Peningkatan Keterampilan Menulis dengan Metode Kooperatif Jigsaw pada Siswa
SMPN 2 Tanon-Sragen. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa (1)
penggunaan metode kooperatif jigsaw dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam
pembelajaran menulis siswa; (2) penggunaan metode jigsaw dapat meningkatkan
hasil tes keterampilan menulis siswa. Sedangkan Arief Bahari dalam tulisannya
“Multimedia Interaktif Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Untuk SMP”,
mengungkapkan bahwa perkembangan teknologi, komputer tablet dan smartphone
yang saat ini sedang berkembang pesat dan digemari oleh peserta didik di SMP
menjadi peluang untuk mengembangkan multimedia interaktif sebagai media
pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah.
Penelitian tentang “Pengaruh Pemanfaatan Media Pembelajaran Film
Animasi Terhadap Hasil Belajar” dilakukan oleh Muhammad Rahmattullah. Hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh penggunaan media
46
pembelajaran film animasi terhadap hasil belajar peserta didik ketika sebelum
menggunakan media dan setelah menggunakan media. Perbedaan pengaruh
terhadap hasil belajar juga dapat terlihat dari kelas yang menggunakan media dan
kelas yang tidak menggunakan media tersebut.
Tulisan A.A. Padi, dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang berjudul: Mengaktifkan Pengajaran
Sejarah Melalui Media. Dalam hasil tulisannya, dikatakan bahwa media sangat
penting dalam buku pelajaran sejarah dan tentu saja dalam pengajaran sejarah
sebagai alat bantu untuk menghidupkan kembali peristiwa masa lampau. Maka
sangat dianjurkan bagi para penulis buku sejarah untuk melengkapi bukunya
dengan jenis-jenis media tertentu, dan kepada guru sejarah untuk selalu
menggunakan media dalam pengajarannya.
Tejo Nurseto dalam tulisannya “Membuat Media Pembelajaran Yang
Menarik” pada bulan April 2011, mengatakan bahwa pengembangan media
pembelajaran hendaknya memenuhi prinsip visuals (visible, interesting, simple,
useful, accurate, legitimate, structured) dalam perencanaan sistematik untuk
penggunaan media. Penelitian lain dilakukan oleh Rustono WS dengan judul
“Pemanfaatan Media Alam sekitar Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Pendidikan IPS” yang dimuat dalam jurnal UPI pada bulan April 2011. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan media alam dalam
pembelajaran IPS dapat meningkatkan kegiatan belajar mengajar dan juga dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa.
Pemilihan dan Penggunaan Media Pembelajaran Yang Efektif, ditulis oleh
47
Onasanya pada Juni 2004. Onasanya memaparkan beberapa hal, diantarannya
pertama pemilihan media pembelajaran mempengaruhi keefektifan pembelajaran
di kelas, sebagai contoh: penambahan gambar atau foto, garis bawah pada tugas
siswa hal tersebut dapat membantu guru lebih mudah dalam menyampaikan
materi. Guru harus dapat menguasai prosedur media pembelajaran dalam kelas
agar kegiatan pembelajaran menajadi efektif. Kedua dijelaskan oleh Onasanya
tentang tipe-tipe media pembelajaran dan pengapliklasiannya.
Rancangan Media Pembelajaran Dan Teknologi Professional Untuk
Pendidikan Yang Lebih Baik: Identifikasi Pengetahuan Dan Skill Menggunakan
Multimedia Studi Kasus Siswa di Delphi, yang ditulis oleh William Sugar, dkk.
pada tahun 2011. William mengatakan bahwa dengan mengkombinasikan antara
rancangan media pembelajaran yang benar dan penguasaan teknologi ternyata
mampu meningkatkan pengetahuan siswa tentang penggunaan media untuk
pembelajaran.
Kristien Marquez-Zenkov dan James A. Harmon menulis tentang
“Menggunakan Fotografi Untuk Memberikan Atau Memudakan Pemahaman
Siswa Agar Memahami Bahasa Atau Kultur di Kota” penelitian dilakukan di
Inggris pada tahun 2007. Dalam kegiatan tersebut peserta didik diminta untuk
memotret beberapa hal yang berada di lingkungan sekitar dan menuangkan hasil
fotografi tersebut dalam bentuk narasi untuk kemudian hasil tulisan tersebut
berguna bagi guru dalam memberikan pemahaman pembelajaran pada masingmasing peserta didik sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Produksi Foto Berseri Sebagai Media Pembelajaran Dengan Kemasan Seni
48
Yang Baik Untuk Siswa SMP Di Ilorin, Nigeria. Penelitian yang dilakukan oleh
Olanrewaju dan Olatayo Solomon menunjukkan bahwa gambar atau foto yang
didesain dengan menarik ternyata mampu meningkatkan motivasi dan
memberikan pengaruh belajar mandiri pada peserta didik. Oleh karenanya
perancangan media pembelajaran yang baik dan menarik menggunakan fotografi
atau foto harus dipersiapkan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas memaparkan tentang:
penggunaan media pembelajaran di sekolah secara umum; penggunaan media foto
untuk menjelaskan suatu peristiwa masa lampau; penggunaan media pembelajaran
dengan memanfaatkan gambar atau foto untuk motivasi belajar peserta didik dan
untuk meningkatkan kemampuan tertentu yang dimiliki oleh peserta didik; serta
penggunaan berbagai macam media pembelajaran dalam pembelajaran sejarah.
Sedangkan penelitian yang dilakukan saat ini oleh peneliti lebih difokuskan pada
penggunaan media foto jejak kolonialisme untuk meningkatkan keterampilan
menulis pada peserta didik di SMP. Media pembelajaran foto jejak kolonialisme
digunakan untuk membantu peserta didik berimajinasi tentang kolonialisme yang
pernah terjadi disekitar peserta didik.
C. Kerangka Berpikir
Kerangka pemikiran penelitian ini diawali dengan menganalisis kebutuhan
dari peserta didik dan juga guru IPS di SMP. Selanjutnya melihat tujuan
pembelajaran IPS, mata pelajaran IPS pada tingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP) salah satunya bertujuan agar peserta didik mengenal konsep-konsep yang
49
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Dalam silabus
terdapat materi sejarah pada standar kompetensi (SK) 2: Memahami proses
kebangkitan Nasional, kompetensi dasar (KD) 2.1: Menjelaskan proses
perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat serta pengaruh yang
ditimbulkannya
diberbagai
daerah.
Maka
dengan
menggunakan
media
pembelajaran berbasis foto jejak kolonialisme akan dipaparkan kepada peserta
didik tentang kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kolonial secara lebih spesifik
di daerah eks karesidenan Besuki serta dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat
dari penerapan kebijakan tersebut. Materi tentang kolonialisme yang pernah
terjadi di eks-karesidenan Besuki tersebut ditampilkan dalam bentuk kumpulan
foto-foto yang terkait dengan terjadinya praktek kolonialisme tersebut. Kemudian
melalui penggunaan media pembelajaran berbasis foto jejak kolonialisme ini,
diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis dalam diri peserta didik,
selain untuk membantu belajarnya atau pemahaman peserta didik, memudahkan
peserta didik untuk berimajinasi tentang kolonialisme dengan demikian akan
memunculkan ide-ide atau gagasan untuk dituangkan dalam bentuk tulisan,
dengan demikian juga diharapakan kegiatan menulis sebagai budaya baru bagi
peserta didik.
50
Peninggalan
kolonialisme di
daerah eks
karesidenan Besuki
Memotret
Pengembangan media
foto
Menghasilkan
Analisis kebutuhan:
Media pembelajaran IPS
terbatas dan kemampuan
menulis siswa kurang
Foto
Foto
Menghasilkan
CL
Pendekatan
Konstruktivisme
CTL
Media pembelajaran IPS
Berbasis foto jejak
kolonialisme
Tujuan media
pembelajaran
IPS berbasis
foto
Sumber belajar
pendukung bagi
peserta didik
Manfaat media pembelajaran
Peserta didik memahami
tentang kolonialisme dan
meningkatkan
keterampilan menulis
dalam diri peserta didik
Gambar 2.1: Kerangka Berpikir
51
D. Model Hipotetik
Berdasarkan kajian teori dan observasi lapangan yang dilakukan, model
hipotetik penelitian dan pengembangan media pembelajaran IPS berbasis foto
jejak kolonialisme di eks-karesidenan Besuki ini menggunakan model ADDIE
yang terdiri dari lima langkah, yaitu:
1. Analisis
Tahap analisis yang dilakukan adalah analisis kebutuhan terhadap peserta
didik serta guru untuk mengetahui kemampuan atau hasil belajar peserta didik dan
apa yang dibutuhkan oleh guru untuk menunjang tujuan pembelajaran. Maka akan
tampak permasalahan apa yang dihadapi oleh peserta didik dan guru di kelas.
Selain itu juga dilakukan studi pustaka untuk membantu menemukan solusi yang
dianggap dapat menyelesaikan masalah pembelajaran yang terjadi di kelas.
2. Desain
Tahap desain ini merupakan tahap untuk membuat rancangan atau draf
media yang akan dikembangkan sesuai dengan hasil analisis kebutuhan. Langkahlangkah yang dilakukan dalam tahap desain diantaranya menentukan materi yang
akan digunakan sebagai dasar mengembangkan media, menyusun perangkat
pembelajaran, menentukan foto-foto yang akan digunakan sebagai media
pembelajaran sehingga menghasilkan desain awal dari media yang akan
dikembangkan.
3. Pengembangan
Tahap pengembangan ini dilakukan dengan melakukan validasi ahli
terhadap draf atau desain awal media yang telah dibuat. Validasi dilakukan oleh
52
ahli media dan juga ahli materi atau isi, hasil validasi dan revisi kemudian
dilakukan uji coba terbatas media pembelajaran yang dikembangkan tersebut.
4. Implementasi
Tahap implementasi dilakukan dengan mempersiapkan semua perangkat
pembelajaran yang dibutuhkan termasuk juga mempersiapkan peserta didik.
Setelah semua persiapan selesai maka media pembelajaran yang dikembangkan
dapat diimplementasikan di kelas.
5. Evaluasi
Tahap evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah media yang
dikembangkan telah sesuai tujuan, dan melakukan uji efektivitas media yang
dikembangkan untuk mengetahui apakah media tersebut efektif untuk digunakan.
53
Analisis kebutuhan:
Siswa dan guru; studi
pustaka
Menentukan materi:
Perkembangan
kolonialisme
Desain media:
Draf media &
revisi
Foto-foto:
Peninggalan
kolonialisme
Validasi
ahli & revisi
Pengembangan
media
Uji coba &
revisi
CTL
Implementasi
& revisi
Evaluasi & uji
efektifitas
Pembelajaran
kooperatif
Media Pembelajaran IPS Berbasis
Foto Jejak Kolonialisme di EksKaresidenan Besuki
Gambar 2.2: Model Hipotetik
Download