1. pendahuluan - IPB Repository

advertisement
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah
bagian utara Jakarta yang dewasa ini mendapat perhatian khusus dalam hal
kebijakan maupun perencanaan pengelolaan wilayah pesisirnya. Kepulauan Seribu
mempunyai potensi yang besar untuk dikelola yang berasal dari sumberdaya
perairannya sebagai pusat aktivitas dan jasa-jasa lingkungan meliputi: sektor
perdagangan, transportasi, perikanan, dan pariwisata (Estradivari et al. 2007).
Pulau Pramuka termasuk ke dalam salah satu pulau berpenghuni di Kepulauan
Seribu yang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi karena dijadikan
sebagai Pusat Administrasi Pemerintah Kabupaten (kawasan percontohan)
Kepulauan Seribu (Departemen Kehutanan 2008). Hal tersebut memicu aktivitas
masyarakat yang juga berpotensi berdampak negatif secara langsung maupun tidak
langsung terhadap kondisi pesisir pulau tersebut. Kerusakan tersebut umumnya
disebabkan oleh aktivitas manusia di wilayah pesisir seperti kegiatan penambangan
pasir dan karang, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta
pembuangan limbah ke perairan (Estradivari et al. 2007).
Pada Pulau Pramuka terdapat tiga habitat utama wilayah pesisir yaitu
mangrove, lamun dan terumbu karang. Ketiga habitat tersebut saling berinteraksi
satu sama lain. Interaksi tersebut dapat membentuk suatu konektivitas ekologis
untuk menciptakan efek stabilitas pada lingkungan dalam mendukung komunitas
biota di dalamnya (Amesbury & Francis 1988). Pada ketiga habitat tersebut terdapat
proses-proses ekologi, dimana terjadi interaksi antara komponen biotik dan abiotik.
Salah satu dari komponen biotik tersebut adalah makrozoobentos.
Makrozoobentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan, baik
membenamkan diri di dasar perairan maupun hidup di permukaan dasar perairan
(Nybakken 1988). Ukuran dari makrozoobentos berkisar antara 0,5 mm – 5 cm
(Gray & Elliott 2009). Makrozoobentos tersebut memiliki peranan penting dalam
rantai makanan dan proses ekologi yang terjadi di beberapa ekosistem tersebut.
Selain memiliki nilai ekologi, beberapa spesies makrozoobentos juga mempunyai
1
2
nilai ekonomis penting untuk memenuhi kebutuhan manusia, misalnya adalah dari
kelas Krustasea dan Bivalvia (Fitriana 2006).
Melihat berbagai peranan yang dimiliki makrozoobentos, maka penelitian
mengenai makrozoobentos sebagai indikator konektivitas ekologi pada tiga habitat
utama kawasan pesisir terkait dengan kualitas perairan perlu dilakukan. Penelitian
interaksi antar ekosistem (ecological connectivity) di perairan pesisir masih terbatas.
Informasi penelitian dengan pendekatan tersebut belum diketahui pernah dilakukan
di Kepulauan Seribu, khususnya Pulau Pramuka. Penelitian yang telah dilakukan
umumnya lebih bersifat interaksi habitat tertentu pada jenis biota tertentu, seperti
penelitian yang dilakukan oleh Aziz (2010) mengenai asosiasi makrozoobentos
dengan lamun di Pulau Pramuka atau Fitriana (2006) mengenai asosiasi
makrozoobentos dengan hutan mangrove hasil rehabilitasi di Ngurah Rai Bali.
Unsworth (2008) melakukan penelitian mengenai tingkat konektivitas antara
komunitas ikan di lamun dengan habitat mangrove dan terumbu karang di perairan
Taman Nasional Laut Wakatobi yang menunjukkan bahwa terdapat konektivitas
ekologis antara komunitas ikan terhadap ketiga habitat tersebut dilihat dari
parameter keragaman spesies dan kelimpahan ikan. Maka melalui penelitian ini akan
diperoleh informasi ilmiah dilihat dari struktur komunitas makrozoobentos, yang
berguna untuk pengelolaan ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang secara
berkelanjutan di Pulau Pramuka. Sehingga diharapkan dapat dijadikan masukan
dalam menentukan perencanaan pengelolaan lingkungan di wilayah Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu.
1.2. Perumusan Masalah
Kawasan pesisir memiliki ekosistem yang sangat dinamis, karena banyak
dipengaruhi oleh daratan dan lautan. Lamun bersama dengan mangrove dan terumbu
karang merupakan pusat kekayaan nutfah dan keanekaragaman hayati di IndoPasifik Barat (Dahuri 2003). Sebagian besar organisme akuatik hidup dan
memanfaatkan habitat tersebut tidak hanya sebagai tempat berlindung, namun juga
menjadi tempat untuk mencari makan, pembesaran, pemijahan, dan kegiatan lainnya
yang dapat menunjang kehidupan. Untuk lebih jelasnya, rumusan masalah dapat
dilihat pada diagram alir seperti pada Gambar 1.
2
3
Interaksi :
Habitat Terumbu
karang
Habitat Mangrove
Habitat Lamun
BIOTA YANG
BERASOSIASI
KONDISI/ STATUS
EKOSISTEM
PARAMETER
LINGKUNGAN PERAIRAN
1. Persen penutupan lamun
2. Persen penutupan karang
3. Jumlah anakan mangrove
Plankton
1. Suhu
2. Kedalaman
3. Kecerahan
4. Salinitas
5. pH
6. DO
7. Nitrat
8. Orthophosphat
Bentos
Nekton
SUBSTRAT DASAR
1. Tekstur
2. Kandungan C– Organik
Organisme lainnya
MAKROZOOBENTOS
1. Jumlah jenis
2. Kepadatan
3. Biomassa
4. Keanekaragaman
TINGKAT KONEKTIVITAS HABITAT DENGAN BIOTA MAKROZOOBENTOS
Keterangan :
= Di luar lingkup penelitian
Gambar 1. Diagram alir perumusan masalah penelitian. Diagram bagian atas
dimodifikasi dari UNESCO (1983)
3
4
Berdasarkan diagram alir bagian atas perumusan masalah penelitian pada
Gambar 1, dapat dilihat bahwa ada berbagai interaksi antara habitat mangrove,
lamun dan terumbu karang. Interaksi tersebut antara lain adalah interaksi fisik
(arus, gelombang, kedalaman, kecerahan), bahan organik terlarut (nutrien dan
DOM), bahan organik partikel (POM), migrasi fauna (dewasa, juvenile, plankton),
dan dampak manusia (UNESCO 1983). Interaksi antara organisme dan
lingkungannya saling mendukung satu sama lain membentuk suatu konektivitas
dalam proses keseimbangan ekologi.
Adanya interaksi berimplikasi terhadap kondisi biota dalam hal ini
makrozoobentos yang terdapat di ketiga habitat tersebut. Apabila kualitas habitat
tersebut menurun, maka akan dapat berdampak langsung maupun tidak langsung
terhadap organisme ini. Dengan melihat berbagai parameter lingkungan, substrat
dasar perairan, serta kondisi atau status ketiga habitat saat itu dengan organisme
yang berasosiasi, akan dapat diketahui tingkat konektivitas antara habitat dengan
makrozoobentos.
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Mengetahui struktur komunitas makrozoobentos yang berasosiasi dengan
habitat mangrove, lamun, dan terumbu karang di Pulau Pramuka secara
temporal;
2) Mengetahui konektivitas ekologis antara habitat mangrove, lamun dan
terumbu karang dengan komunitas makrozoobentos di Pulau Pramuka.
1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan informasi
ilmiah yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove, lamun dan terumbu karang di Pulau Pramuka terkait status
makrozoobentos sebagai salah satu indikator kualitas lingkungan perairan pesisir.
4
Download