PENGETAHUAN POLITIK BAGI PERENCANA DALAM PERENCANAAN TATA RUANG PARTISIPATIF oleh: Hendricus Andy Simarmata Bidang Pengembangan Profesi, PN-IAP PENDAHULUAN Salah satu pilar yang terus didorong perannya dalam upaya mewujudkan good governance di Indonesia adalah partisipasi. Tuntutan agar masyarakat menjadi subyek yang aktif dalam perencanaan (planning by, not planning for) dan mitra atau partner pemerintah dalam penataan ruang merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-undang. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 65 ayat 1 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Salah satunya adalah partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang (psl 65 ayat 2 huruf a). Rapat komisi v DPR-RI Proses perencanaan tata ruang partisipatif tersebut harus dapat didesain sedemikian rupa agar menjamin demokratisasi perencanaan dan objektifitas perencanaan itu sendiri. Dengan pendekatan partisipatif, diharapkan tingkat penerimaan produk rencana tata ruang bisa semakin besar sehingga benar-benar akan menjadi pedoman bagi semua stakeholder dalam memanfaatkan ruang. Oleh karena itu, ketika perencanaan tata ruang tersebut sudah berada dalam domain publik dan menjadi instrumen dalam pengambilan keputusan publik, maka sudah sewajarnya apabila pengetahuan politik menjadi sesuatu hal yang sangat diperlukan bagi para perencana dalam menjalankan perannya sebagai mediator atau fasilitator perencanaan. Conyers (1981) berpendapat bahwa pada dasarnya perencanaan tidak lain merupakan sebuah proses politik yang menimbulkan adanya persaingan antar kelompok. Oleh karena itu, kapasitas si perencana harus mampu bersifat dan bertindak obyektif dalam merekomendasikan solusi ketika terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan pemanfaatan ruang. Demokratisasi yang terjadi di Indonesia membawa sebuah perubahan besar dalam paradigma perencanaan di Indonesia dan saat ini reformasi tersebut tengah berlangsung dan belum menemukan arah yang tepat. Tulisan ini mencoba menguraikan pemahaman penulis mengenai perencanaan yang partisipatif dan peran perencana, ilmu politik sebagai pengetahuan, dimensi politik dalam perencanaan, dan kapasitas dan peran perencana di masa yang akan datang. PERENCANAAN PARTISIPATIF Konsepsi partisipasi dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain perspektif sosial, politik, dan kewargaan. Salah satu pengertiannya adalah bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan dalam proses formulasi, pengesahan, dan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang dilakukan secara legal oleh warga perorangan yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan untuk mempengaruhi pilihan pejabat pemerintah dan/atau tindakan mereka. Menurut Solihin (2001), konsep partisipasi telah beralih dari sekedar kepedulian terhadap “penerima bantuan” atau “kaum tersisih” menuju ke suatu kepedulian dengan pelbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, setidaknya ada tiga substansi yang perlu dicermati dalam suatu proses perencanaan partisipatif, yaitu: 1 1. Hak dan tindakan masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah 2. Ruang dan kapasitas masyarakat dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik 3. Kontrol masyarakat terhadap lingkungan dan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Dalam upaya mencapai ketiga substansi tersebut, maka terdapat beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam proses perencanaannya, yaitu antara lain: cakupan (coverage), transparansi (transparency), kesetaraan hak (equal partnership), kesetaraan kewenangan (Equal power ship), kesetaraan tanggung jawab (sharing responsibility), pemberdayaan (empowerment), dan kerja sama (cooperation). Dengan menjalankan prinsip-prinsip tersebut diatas, diharapkan produk perencanaan tata ruang akan lebih aplikatif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, menimbulkan rasa memiliki dan tanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan program-program tersebut nantinya, kegiatan pelaksanaan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat, dan pelaksanaan program lebih terfokus pada kebutuhan masyarakat. Penyerahan bantuan bencana alam PERMASALAHAN PERENCANAAN TATA RUANG PARTISIPATIF Dalam salah satu paparan Dirjen Penataan Ruang tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (permasalahan, tantangan, kebijakan, strategi, dan program strategis)1, ada beberapa issue strategis serta tantangan dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang relevan dengan topik tulisan ini, yaitu antara lain: terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya, dan belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor tadi. Bahan paparan Dirjen Penataan Ruang dalam Acara Pelatihan Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam Pembangunan Daerah, Jakarta, 29 November 2005 1 2 Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam penataan ruang. Walaupun telah diatur melalui PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata cara Peran Serta Masyarakat yang merupakan derivasi dari UU No.24/1992, dan karenanya telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat sebagai subyek utama dalam penataan ruang wilayah masih belum menemukan bentuk terbaiknya. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa penyaluran hak-hak masyarakat dalam penataan ruang saja belum terjamin sepenuhnya, terlebih pelaksanaan kewajibannya masih jauh dari yang diharapkan. Masih lemahnya kepastian hukum dan koordinasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini terjadi dikarenakan belum efektifnya upaya-upaya pengendalian pemanfaatan ruang, sehingga penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan norma yang seharusnya ditegakkan masih terus berlangsung. Fakta menunjukan besar perubahan alih fungsi peruntukan lahan yang cukup signifikan. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan, Dengan melihat permasalahan tersebut di atas, dapat diartikan bahwa kapasitas para perencana harus dibekali pengetahuan dan ketrampilan dalam menghadapinya, terutama dalam hal bagaimana membangun kesepakatan bagi pihak yang berkonflik, bagaimana mendorong masyarakat menjadi subyek perencanaan, dan bagaimana menciptakan aturan main yang tepat agar terwujud konsistensi antara perencanaan dan perijinan. Hutan lindung tanjung playu yang berada dikota batam PENGETAHUAN POLITIK DALAM PERENCANAAN PARTISIPATIF Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial yang membahas teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisis sistem politik dan perilaku politik. Politik sendiri adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan dalam suatu Negara/daerah. Politik merupakan seni dan ilmu untuk memperoleh kekuasaan baik secara konstitusional maupun non-konstitutisional. 3 Dalam konteks kebijakan publik, politik dapat diartikan sebagai usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dan dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Oleh karena itu, politik sangat erat kaitannya dengan kepentingan (interest) dan keberpengaruhan (influence) dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam satu negara/daerah. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa ada sebagian pandangan yang mengatakan bahwa politik itu kotor sehingga tidak sedikit perencana yang enggan mempelajari dan terlibat dalam dunia politik. Pencitraan politik seperti itu terbangun karena sepak terjang (sebagian) aktor politik yang seringkali berpikir dan bertindak seenaknya sendiri dan rakus sehingga memberikan kesan kotor. Padahal sebenarnya politik sama dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang mestinya mulia dan luhur, namun diselewengkan untuk maksud-maksud yang tidak terpuji. Politik, dalam pandangan Raghavan Iyeh2, tidak hanya bicara soal kekuasaan, tetapi berkaitan sangat erat dengan moralitas, impian, harapan dan ketakutan manusia, bahkan juga menyangkut cara hidup manusia. Jadi, politik berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola, menyusun maupun membuat kesepakatan dalam kerangka kehidupan bersama sebuah masyarakat. Aktifitas politik ditujukan untuk menciptakan dan melaksanakan pranata-pranata sosial dan normatif yang memungkinkan masyarakat manusia hidup dengan tertib, aman, tenteram dan sejahtera. Menurut Sasmita (2009), tidak hanya dibutuhkan sistem dan aturan main politik (konstitusi, undang-undang dan perangkat hukum yang lain) yang baik, tetapi juga dibutuhkan etika politik. Sejarah manusia sudah membuktikan bahwa ketika politik dijalankan tanpa etika, maka yang terjadi bukanlah kemaslahatan masyarakat umum, melainkan krisis keadilan, kemanusiaan dan ketentraman. Ketika perencanaan dipandang sebagai sebuah alat dan metode dalam pengambilan keputusan dan tindakan publik, maka sudah pasti di sana ada muatan politik sehingga proses perencanaan partisipatif selalu sarat dengan aktifitas politik, namun jarang memiliki etika politik. Dominasi kelompok tertentu yang tidak terkontrol dalam proses pengambilan keputusan sering dijumpai dalam setiap pelaksanaan perencanaan. Sehingga tidak jarang, yang terjadi bukanlah kebersamaan, tetapi hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya. Hal inilah yang harus dihindari dan dapat dihindari apabila semua pihak memiliki etika politik. lihat: Anwar Bakat: Reconstruction of political ethics in an Asian perspective, dalam: Srisang, Koson: Perspectives on Political Ethics, an ecumenical enquiry, Switzerland: WCC Publications, 1983, h. 53. 2 4 PENGETAHUAN POLITIK BAGI PERENCANA John Friedman (1991) berpendapat bahwa dalam memahami relasi perencanaan dan politik dalam konteks sebuah teori, ada gejala ambivalensi perencana terhadap posisi power. Keberadaan dimensi politik dalam perencanaan dapat dilihat sebagai sebuah realita yang harus diterima atau sebuah error yang harus dihindari. Namun, menurut Gede Budi Suprayoga (2008), ada beberapa alasan yang mendukung pendapat bahwa perencanaan (tata ruang) tidak dapat dilepaskan dari politik, yaitu: perencanaan melibatkan banyak aktor yang memiliki kepentingan yang beragam dan rencana memerlukan proses legislasi untuk mengesahkannya. Apabila kita lihat kembali melihat persoalan penataan ruang seperti yang diungkapkan oleh Dirjen Penataan Ruang sebelumnya, maka bekal pengetahuan politik bagi para perencana mutlak dibutuhkan agar dalam proses perencanaan, perencana dapat berpikir dan bertindak sebagai pihak yang netral. Sebagai contoh, perencana harus dapat memetakan para stakeholder yang terlibat (stakeholder mapping) dengan jeli, mana yang paling berpengaruh (influence) dan mana yang paling memiliki kepentingan (interest), sehingga sebelum terjadi pengambilan keputusan, perencana dapat melakukan aktifitas politik (lobbying, contacting, dll) kepada pihakpihak yang berkonflik untuk membuat suatu kesepakatan bersama sesuai dengan etika politiknya. Bekal ilmu politik ini juga akan memudahkan perencana dalam melihat perannya (positioning) dengan stakeholder yang lain, khususnya dalam memberikan akses yang luas bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam proses perencanaan dan kemudian menjadi wasit yang mengerti aturan main (rule of the game) ketika proses tersebut berlangsung. Oleh karena itu, para perencana hendaknya perlu melihat pengetahuan politik sebagai cara pandang yang baik (positive thinking) untuk mencapai tujuan penatan ruang: 1. Pemahaman bahwa politik kekuasaan (power) sebagai anugerah Tuhan. Politik kekuasaan bukan sesuatu yang buruk dan harus dipergunakan untuk kebaikan masyarakat. Dengan demikian peran perencana dapat dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan kepada Tuhan. 2. Pemahaman untuk lebih berpihak kepada yang lemah (pro poor). Kelompok masyarakat ini adalah masyarakat bependapatan rendah dan seringkali termarjinalkan, bahkan menjadi korban ketidak-adilan pembangunan. Keberpihakan kepada mereka tidak boleh dilandasi oleh sentimen-sentimen yang bersifat primordial (suku, ras atau agama) dan harus sesuai dengan koridor hukum. 3. Mendorong perubahan proses perencanaan yang demokratis Reformasi dan Desentralisasi pembangunan di Indonesia telah membuka ruang demokrasi yang luas sehingga tuntutan untuk lebih melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan semakin besar. Perencana harus mampu mengelaborasi pendekatan perencanaan teknoratis yang rasional dengan pendekatan politik yang terkadang irasional. PENUTUP Perencana sebagai salah satu aktor dalam penataan ruang akan selalu melakukan aktifitas politik baik disadari maupun tidak disadari dalam setiap proses perencanaan tata ruang partisipatif. Political rationality merupakan logika kepentingan yang selalu mengedepankan pemeliharaan kebijakan dan institusi yang terkait dengan penataan ruang itu sendiri. Peran perencana dalam konteks penentuan terhadap pilihan-pilihan (decisionmaking), penyelesaian masalah (problem solving), arah perencanaan (future oriented), dan optimalisasi sumber daya (resource allocation) harus berlandaskan pengetahuan politik yang sesuai dengan kode etik yang ada. Oleh karena itu, penting agar dalam pendidikan perencanaan menyertakan ilmu politik sebagai salah satu bahan ajaran untuk memperkaya khazanah para perencana dalam melaksanakan proses perencanaan tata ruang partisipatif. 5