Deklarasi Alexandria

advertisement
Deklarasi Alexandria
Musdah Mulia
Sebuah perhelatan besar berupa konferensi internasional diadakan oleh Bibliotheca Alexandrina
bekerjasama dengan sejumlah NGO yang konsen pada isu perempuan dan anak, seperti MADA
Foundation, serta NGO berbasis hak asasi manusia. Konferensi ini mengambil tema pokok Menuju
Ijtihad Baru Hak Asasi Perempuan, berlangsung selama dua hari penuh, tanggal 10-11 Maret 2014,
bertempat di Bibliotheca Alexandrina, Alexandria, Mesir. Sebuah perpustakaan tertua dengan
bangunan modern, didirikan sekitar abad ke-3 sebelum Masehi oleh walikota Athena, terletak di
tepi pantai Alexandria, kota terbesar kedua setelah Cairo di Mesir. Tahun 1994 ketika penelitian
disertasi di Cairo, saya sering bolak-balik ke Alexandria dan tampaknya kota ini tidak banyak
berubah, walau terjadi revolusi Arab Spring. Tetap menjadi kota terbersih di Mesir dan selalu dipuja
sebagai kota bercorak Eropa.
Hadir sekitar 200 feminis Muslim, lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Peserta datang dari
berbagai belahan dunia, kebanyakannya datang dari negara-negara Islam di Timur Tengah. Saya
sendirian mewakili Indonesia di forum ini. Sejumlah ulama ternama pun hadir, antara lain mewakili
lembaga fatwa Al-Azhar, Mesir, Saudi Arabia, Tunisia, Nigeria, Marokko, Sudan, Kuwait, Yaman,
Iraq, Emirates, Jordan, Palestina dan Lebanon. Beberapa cendekiawan tercatat, seperti: Dr. Ismail
Serageldin, Dr. Assem Hefny, Dr. Amr al-Wardany (Daar al-Iftaa), Dr. Magdy Ashour (advisor of
Grand Mufti Egypt), Dr. Muhammad Salem (Senior Lecturer of Azhar Univ. Egypt), Dr.
Muhammad Naguib Awadein (Professor of Sharia, Cairo Univ). Peserta lain adalah Dr. Muhammad
Arnaut (Professor at Al-Bayt Univ Jordan; Dr. Ibrahim Al-Bayumi (Egypt); Dr. Suhayla Zain
(Saudi Arabia); Dr. Muhammad Abu Zaid (Azhar University); Dr. Zaki al-Milad (Saudi Arabia).
Secara umum, semua peserta menyerukan perlunya menawarkan ijtihad alternatif, ijtihad baru yang
lebih kondusif bagi upaya memajukan peradaban Islam, khususnya terkait pemenuhan hak asasi
perempuan, relasi gender yang adil dan peningkatan kedudukan perempuan dalam Islam, baik
dalam ranah keluarga maupun dalam ranah publik. Semua sepakat perlunya membuka akses dan
kesempatan bagi perempuan untuk berkiprah secara luas dalam berbagai bidang kehidupan
sebagaimana saudara mereka laki-laki.
Saya yakin, hanya dengan cara itulah kita dapat mengangkat kemuliaan dan kejayaan Islam sebagai
agama yang peduli dan sangat berpihak pada kemaslahatan dan kemanusiaan. Islam adalah agama
yang ramah terhadap perempuan. Semoga hal ini menjadi isyarat kembangkitan kembali peradaban
Islam yang mengedepankan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kemaslahatan untuk semua
manusia, tanpa membedakan gender dan jenis kelamin!
Salah satu tujuan konferensi, merumuskan Deklarasi Iskandariyah (Alexandria) yang akan menjadi
panduan Islami bagi upaya pemenuhan hak asasi perempuan di dunia Islam, membangun kesetaraan
gender dan kerja-kerja pemberdayaan perempuan di semua bidang kehidupan dan upaya-upaya
membangun interpretasi agama yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal
dan sekaligus ramah terhadap perempuan.
1
Saya beruntung hadir di konferensi para feminis Muslim kali ini. Yang berbeda dari berbagai
konferensi sebelumnya adalah jumlah pesertanya kebanyakan laki-laki, pesertanya lebih banyak
ulama dan cendekiawan laki-laki dan berasal dari negara-negara Arab yang selama ini dikenal
tertutup terhadap isu kesetaraan gender dan upaya pemberdayaan perempuan. Selain itu, isu-isu
perempuan yang dibahas pun amat luas menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti, konsepkonsep fundamental tentang posisi perempuan dalam Al-Qur’an, sistem keluarga dan perundangundangannya, perempuan dalam ranah publik mencakup politik, hukum, pendidikan, ekonomi,
teknologi, dan sains, serta isu-isu kontemporer masyarakat Muslim.
Menarik dijelaskan, peserta perempuan dalam forum dunia ini meski diadakan di negara Islam dan
juga mengambil tema tentang perempuan Muslim, tidak semuanya memakai tutup kepala. Yang
memakai tutup kepala pun, bentuk dan modelnya amat beragam, sebagian menutupnya dengan
kerudung ketat sehingga tidak tampak sehelaipun rambutnya. Beberapa menutup kepala dengan
topi yang modis, bagian telinga dan leher tetap terbuka sehingga terlihat anting-anting dan syal
melilit di leher. Sebagian lagi hanya menutup bagian belakang kepala, sementara bagian depan
terlihat rambutnya menyembul. Busana pun sangat bervariasi, sebagian mengenakan blus dan rok
setengah lutut yang dipadu dengan sepatu boots panjang dan berhak tinggi. Sebagian lagi memakai
celana jins ketat dengan blus pendek sehingga bagian pinggul terlihat jelas lekuknya. Sebagian lagi
memakai abaya longgar khas Arab. Tidak sedikit yang memilih busana terbuka, berbentuk blus dan
rok atau celana panjang tanpa tutup kepala. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai di pundak.
Keberagaman busana bukan hanya milik perempuan, busana peserta laki-laki pun cukup bervariasi.
Sebagian memakai stelan jas lengkap dengan dasinya, sementara dari Iran tidak suka pakai dasi.
Ulama dari Mesir umumnya memakai baju panjang lengkap dengan topi khas Mesir. Ada juga yang
hanya memakai celana jins dan kaos tebal. Peserta dari Saudi semua memakai tutup kepala lengkap
berupa sorban warna putih dan mahkota segi empat. Jadi, yang menutup kepala itu bukan hanya
perempuan.
Saya memilih blus panjang dan rok panjang dari batik atau tenun ikat sebagai ciri khas Indonesia
dipadu dengan kerudung warna cerah sesuai iklim tropis Indonesia. Saya bangga memperkenalkan
diri sebagai Muslimah Indonesia dengan keunikannya, baik dari aspek busana, maupun dari aspek
pemahaman keislaman, khususnya dalam konsep relasi gender.
Saya perhatikan, semua peserta berbaur jadi satu, baik dalam forum maupun di luar forum, seperti
ketika makan dan istirahat, tanpa mempersoalkan busana, gender dan bangsa. Para ulama laki-laki
tidak terlihat enggan duduk berdampingan dengan perempuan yang berpakaian terbuka tanpa tutup
kepala. Laki-laki dan perempuan berbaur jadi satu, tanpa sekat dan pemisahan seperti di masjid atau
di aula kampus UI. Ada rasa saling menghormati dan mengapresiasi sesama peserta. Inilah
hakikinya konsep kesatuan umat dalam Islam. Yang utama adalah semua sepakat tentang rukun
iman dan rukun Islam. Meski dalam implementasinya selalu dijumpai riak-riak perbedaan antara
satu kelompok dan kelompok lain. Perbedaan itu muncul karena hasil ijtihad. Namun, semua masih
mengakui Islam, berbeda interpretasi atau pemahaman tidak harus membawa seseorang keluar dari
Islam.
Hal menarik lainnya dari forum ini adalah kehadiran sejumlah pemuda calon ulama dari Al-Azhar,
Cairo. Mereka mengenakan pakaian seragam kebesaran ulama berupa baju abaya hitam dipadu
dengan topi khas Mesir berwarna putih dengan pinggiran warna merah. Ide menghadirkan calon
ulama ini perlu diapresiasi karena hal itu sangat penting untuk membuka mind set dan wawasan
2
mereka sehingga kelak menjadi ulama yang mampu merespon isu-isu kontemporer di dunia Islam,
terutama terkait kesetaraan gender. Hanya dengan cara itulah Islam akan fungsional sebagai hudan
wa rahmatan dalam hidup umat Islam.
Oh ya, perlu juga saya informasikan, di forum ini beberapa peserta dan panitia perempuan
beragama Kristen Koptik dan berjilbab ketat. Sepintas sulit membedakan mereka dengan
perempuan Muslim karena model busana dan jilbabnya serupa. Saya pun mengetahui setelah
berbincang panjang dengan mereka. Subhanallah, Maha suci Allah, begitu beragamnya manusia
dan hanya Dialah berhak memutuskan siapa di antara hamba-Nya yg benar. Tugas kita sebagai
hamba hanyalah berfastabiqul khairat, berkompetisi melakukan amal-amal shalih sesuai dengan
keyakinan masing-masing, jangan saling mengganggu, apalagi menghakimi sesama. Namun,
berusahalah untuk saling membantu dan bekerjasama merajut perdamaian, kebaikan dan
kemaslahatan bagi orang banyak.
Isu hangat dalam forum ini adalah ketika Dr. Nevin Reda, Profesor dalam bidang studi keislaman di
Universitas Toronto, Canada menyampaikan paparannya tentang ijma kontemporer tentang ayatayat poligami. Dengan bahasa Arab yang fasih dia menjelaskan pemaknaan baru sejumlah kosa kata
dalam Al-Qur’an, dia berargumen betapa ayat-ayat terkait poligami mengandung makna yang amat
mendorong umat Islam agar memperhatikan prinsip keadilan dan terjalinnya hubungan cinta kasih
yang intens di antara seluruh anggota keluarga karena itu poligami menjadi suatu yang tidak relevan
dalam kondisi masyarakat modern. Tentu saja sejumlah peserta, khususnya laki-laki mendebat dia
dengan sengit, tetapi dengan cara yang lembut memukau dia mampu membuat para penantangnya
terdiam tak berkutik.
Isu lain yang menghangat adalah terkait isu undang-undang keluarga. Faktanya, sejumlah negara
Islam sedang melakukan upaya reformasi undang-undang perkawinan atau keluarga. Negara
Marokko dan Tunisia dianggap berhasil dalam reformasi undang-undang keluarganya sehingga
menjadi ikon undang-undang yang progres di negara Islam. Kedua negara tersebut sangat
memerhatikan hak-hak perempuan dan anak dalam undang-undang keluarga. Di antara pasal yang
progres dalam undang-undang perkawinan Tunisia adalah larangan poligami, dan jika seseorang
berpoligami maka dia dituntut oleh pengadilan dengan hukum denda berupa uang sebanyak 240.000
malin dan hukuman penjara minimal 5 tahun. Seluruh peserta sepakat perlunya mendorong upaya
reformasi dengan melahirkan ijtihad baru terkait relasi suami-isteri, serta hak dan kewajiban
keduanya dalam kehidupan keluarga.
Saya diminta menjelaskan pengalaman mengusung counter legal draft dari Kompilasi Hukum Islam
(1991). Sebagaimana diketahui, tahun 2004 tim kami merumuskan suatu draft alternatif hukum
perkawinan dengan paradigma kesetaraan gender. Draft undang-undang perkawinan yang kami
tawarkan tersebut dibangun di atas lima prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan
perkawinan Islam. Pertama, prinsip mitsaqan galiza, komitmen kuat untuk membentuk keluarga;
kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang yang tak bertepi); ketiga, prinsip
musawah, kesetaraan, saling melengkapi dan melindungi; keempat, prinsip mu`asyarah bil ma`ruf
(pergaulan yang sopan dan penuh nilai-nilai keadaban), baik dalam relasi seksual maupun dalam
relasi sosial; dan kelima, prinsip monogami.
Peserta sangat mengapresiasi ijtihad yang kami lakukan dan berharap agar draft kami dapat
dijadikan acuan reformasi undang-undang perkawinan di berbagai negara Islam. Mereka pun
mengatakan, upaya ijtihad yang kami lakukan itu berpahala. Sebab, dalam hadis Nabi saw
3
disebutkan, barang siapa berijtihad mendapatkan dua pahala jika ijtihadnya benar, tapi jika
ijtihadnya salah tetap mendapatkan satu pahala. Jadi, berijtihad itu tidak pernah sia-sia, pasti ada
pahalanya karena telah mengerahkan tenaga untuk berpikir keras dan melakukan kerja-kerja
intelektual dengan sungguh-sungguh. Yang perlu diperhatikan adalah tujuannya. Tujuan ijtihad
semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah swt. Hasil ijtihad itu diharapkan membawa
kemashlahatan bagi umat manusia. Bukan untuk mendapatkan popularitas, penghargaan, apalagi
mendapatkan keuntungan material.
Konferensi ini akhirnya memproklamasikan sebuah deklarasi yang disebut Deklarasi Alexandria.
Isinya menjelaskan prinsip-prinsip Islam tentang hak asasi manusia, khususnya hak asasi
perempuan, kesetaraan gender dalam semua bidang kehidupan: baik di ranah keluarga maupun
ranah masyarakat, dan mencakup berbagai aspek, seperti, sains, teknologi, ekonomi, politik, hukum
dan pendidikan. Diharapkan agar deklarasi ini menjadi landasan pijak bagi kerja-kerja feminis
Muslim di seluruh dunia, demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender yang merupakan basis
kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.
4
Download