Analisis Praktik Impor paralel dan Pemberian Exclusive Distribution Agreement Antara PT. Modern Photo Tbk dan PT. International Photographic Supplies/PD. Star Photographic Supplies Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha Veroima Sinaga dan Kurnia Toha Fakultas Hukum Universitas indonesia E-mail: [email protected] ABSTRAK Impor paralel dapat dijelaskan sebagai aktivitas penjualan produk bermuatan hak kekayaan intelektual (HKI), tetapi terjadi di luar kontrol dari pemilik HKI-nya, utamanya karena dilakukan dari negara yang berbeda. Praktik impor paralel ini masih diperdebatkan terutama mengenai status kelegalannya. Pelaku impor paralel biasanya akan mendapatkan perlawanan dari distributor resmi dari peroduk yang bersangkutan. Penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian kepustakaan normatif dengan melakukan studi dokumen. Pokok permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah tentang pengaturan impor paralel dan pemberian exclusive distribution agreement berdasarkan Hukum Persaingan Usaha. Berdasarkan analisis dalam penelitian ini tindakan impor paralel tidak dilarang karena exhaustion theori, namun penerapannya masih belum konsisten karena perbedaan pandangan terhadap teori ini. Dan pemberian exclusive distribution agreement walaupun mengandung unsur anti persaingan, tidak secara otomatis melanggar hukum karena menganut prinsip rule of reason. ABSTRACT Parallel imports is reselling products without the consent of the patent holder, of a pathented product marketed in another country either by the patent holder’s consent. The practice of parallel imports is still debated, especially concerning of its legitimate. The comman problem with importer is get dispute with the authorized distributor. This research is classified into normative literature research by documents. The issues of this research is regulation of parallel import and exclusive distribution agreement under the competition law. By virtue analysis in this research, parallel imports are not prohibited according to exhaustion theories, but its practices are still not certainty due to different views on this theory. although exclusive distribution agreement contains elements of anti-competitive, does not automatically violate the law, due to rule of reason principle. Key words : Exclusive distributor, parallel import, distribution agreement, rule of reason. 1. Pendahuluan Dalam menjalanan bisnis perusahaan-perusahaan internasional yang memasarkan produk-produknya secara interasional biasanya bekerjasama dengan perusahaan lokal. Dimana dalam melakukan kerjasama tersebut dilandaskan suatu perjanjian atau kontrak yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Pembuatan perjanjian tersebut biasanya dalam bentuk Distribution Agreement. Pembuatan agreement semacam ini tidak lain adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dan landasan pelaksanaan bisnis. Dan biasanya 1 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 agreement ini untuk mencegah adanya tindakan-tindakan yang dapat merugikan kedua belah pihak. Termasuk memuat suatu klausul bahwa si perusahaan distributor adalah distributor tunggal dalam suatu negara untuk mengurangi persaingan dan bagi perusahan disributor dan bagi produsen akan dintungkan karena adanya kepastian distribusi produknya. Seorang atau sebuah perusahaan distributor adalah perantara yang menyalurkan produk dari pabrikan (manufacturer) ke pengecer (retailer). Dalam kasus PT Modern Photo Tbk dan PT International Photographic/ PD Star Photographic Supllies, dikatakan bahwa pada tahun 2006, Tonny Widharma selaku pimpinan dari PT International Photographic/ PD Star Photographic Supllies mendapat kepercayaan dari Fuji Photo Film Co. Ltd untuk memasarkan produk Fuji di Indonesia, dalam hal ini hanya rol film, dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh PT. Modern Photo Tbk. Perbedaan diantara keduanya adalah PT. Modern Photo Tbk mendistibusikan rol film Fuji yang diimpor langsung dari pabrik Fuji di Jepang sedangkan PD Star Photographic Supplies mendistribusikan rol film Fuji yang diimpor dari Union Camera Ltd. memang telah secara resmi ditunjuk oleh Fuji Photo Film Co. Ltd untuk mengekspor produk rol film Fuji kepada distributor dan pengecer di seluruh dunia dengan harga yang lebih murah dari harga resmi. Hal inilah yang kemudian menimbulkan masalah karena telah terjadi praktik impor paralel rol film Fuji di Indonesia, dengan adanya dua pihak distributor yang keduannya mendapatkan izin resmi dari Fuji Photo Film Co., Ltd untuk mendistribusikan rol film Fuji di Indonesia tetapi dengan harga yang berbeda. Praktik impor paralel ini sendiri masih diperdebatkan. Pada dasarnya, impor paralel tidak diperkenankan dalam kerangka perlindungan HKI di Indonesia karena adanya sejumlah hak yang diberikan negara dan hanya bisa dinikmati oleh pemilik HKI termasuk diantaranya hak importasi. Namun dimungkinkan adanya pengecualian sepanjang impor khusus tersebut dilakukan dengan prosedur yang tidak bertentangan dengan hukum dan memperhatikan kepentingan yang sah dari pemilik atau pemegang HKI. Ini dimungkinkan melalui pemanfaatan ketentuan safeguard dalam Perjanjian TRIPS sendiri.1 1 Persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights = Aspek-aspek Perdagangan yang bertalian dengan Hak Milik Intelektual), merupakan salah satu issue dari 15 issues dalam persetujuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang mengatur masalah hak milik intelektual secara global. Dokumen akhir Putaran Uruguay (GATT) disetujui pada 15 Desember 1993 dan diratifikasi pada 15 April 1998 dari pukul 13.00 sampai pukul 17.30 waktu setempat di Marrakech, 321 km ke arah Barat dari kota Rabai Ibukota Maroko, Afrika Utara. 2 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 Penertiban soal impor paralel ini misalnya dapat disandarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.2 Ketentuan ini mensyaratkan adanya pendaftaran perjanjian-perjanjian lisensi Merek. Bidang Hak Cipta mensyaratkan hal yang sama dalam menertibkan perjanjian lisensi melalui Pasal 47 ayat (2) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.3 Bagi negara berkembang aturan impor paralel menjadi penting diperhatikan karena tingkat perkembangan ekonomi dan posisi relatifnya dalam persaingan internasional. Contohnya di Indonesia merujuk pasal 135 huruf a Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, impor paralel atas produk farmasi yang dilindungi paten dapat dianggap sebagai perbuatan yang legal dengan pembatasan tertentu. Pasal ini merupakan salah satu bentuk pembatasan hak monopoli dari pemilik HKI dalam singgungannya dengan kepentingan umum (public order). Adanya kebutuhan akan obat murah dan terjangkau, dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, maka impor paralel kemudian diperkenankan sepanjang dilakukan dengan prosedur yang sah dan adanya pembuktian bahwa target impor paralel bersangkutan harganya relatif mahal dibandingkan dengan produk yang sama di pasar internasional. Tentunya contoh obat yang dipatenkan dan dipasarkan di negara lain tersebut di atas, berbeda dengan impor paralel yang terjadi dalam kaitan dengan black market atau produk “BM”. Objeknya sudah tentu bukan barang palsu tetapi issue pelanggaran HKI yang mengemuka adalah tidak adanya izin mengimpor yang sah dari pemilik merek yang sah ataupun dari pemberi atau penerima lisensi. Sejauh mana si pemilik asal HKI ini berhak mengatur dan mempersoalkan pendistribusian barang dengan muatan HKI-nya masih menimbulkan perdebatan terutama dalam singgungannya dengan pasar bebas dan ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, penulis ingin mengananalisis bagaimanakah praktik impor paralel dan pemberian exclusive distribution agreement ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha. Sehingga penulis tertarik membuat skripsi dengan judul “Analisis Praktik Impor paralel dan Pemberian Exclusive Distribution Agreement Antara PT. 2 Indonesia (1), Undang-undang tentang Merek, UU No. 15 Tahun 2001, LN. No. 110 Tahun 2001, TLN. No. 4131, Ps. 43. 3 Indonesia (1), Undang-undang tentang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, LN. No. 85 Tahun 2002, TLN. No. 4220, Ps. 47. 3 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 Modern Photo Tbk dan PT. International Photographic Supplies/PD. Star Photographic Supplies Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha”. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat dikemukakan dua pokok permasalahan yang dibahas, yakni : 1. Bagaimana perjanjian pemberian Exclusive Distribution Agreement dikaitkan dengan adanya distributor tunggal ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha? 2. Bagaimanakah praktik impor paralel ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha? 2. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data Dalam menyususn skripsi ini, peneliti mengunakan metode yuridis normatif dimana dalam penulisan ini pengolahan data pada hakikatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada.4 Dalam penelitian yuridis normatif ini, penelitian mengacu pada Undang-undang Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tipe perencanaan penulisan yang digunakan adalah studi kasus dengan cara menganalisa kasus. Hal inilah yang menjadi permasalahan utama dalam skripsi ini dan kemudian penulis akan mengadakan analisis dari permasalahan tersebut. 3. Pembahasan 3.1. Impor Paralel Dalam istilah perdagangan, pengimporan terhadap produk yang telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh pemegangnya yang sah disebut import paralel. Dilihat dari tujuannya, import paralel sangat bermanfaat untuk menghindari penyalahgunaan hak monolpoli yang dimiliki oleh inventor5 atau pemegang paten yang memperoleh haknya melalui perjanjian lisensi6. 4 Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ( Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 68. 5 Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau bebera orang yang secara bersama-sama melaksanaan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi pasal 1 angka 3 UU No. 14 Tahun 2001 tenang Paten). Sedangkan invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemeahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (pasal 1 angka 2 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten). 6 Indonesia Australia Speciaised Tainin Project - Phase II, Intellectual Property Rights (Elementary) 2002, ( AusAID: Asian Law Group Pty. Ltd, 2002), hlm. 293. 4 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 Menurut Correa7, impor paralel adalah megimpor dan menjual kembali ke dalam suatu negara tanpa izin atau persetujuan dari pemegang paten suatu produk yang masih dilindungi paten dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar negara pengekspor oleh pemegang paten atau pihak yang memperoleh hak dari pemegang paten. Impor paralel hanya dibenarkan untuk produk yang sah atau asli, bukan produk tiruan (copy product), dengan kualitas yang sama dengan produk aslinya8. Dalam bukunya Duhan memaparkan bahwa “ Parallel imports exist when an unauthorized distributor procures genuine branded products from an authorized distributor and then resells them to customers in a second market without the permission of the owner of their intellectual property rights (copyright, patent, or trademark) for that market. That is, these traders engage in “parallel importation” or “parallel distribution channels,” and compete directly with authorized distribution channels in the second market”. 9 Menurut TRIPS, impor paralel salah satu fleksibilitas yang dapat dilakukan dan erat kaitannya dengan lisensi wajib. Praktek ini digunakan untuk mencegah diskiminasi harga diantara pasar, dalam kasus ini produk tersedia dalam harga yang lebih rendah pada suatu negara dibandingkan dengan negara lain. Dalam impor paralel menurut TRIPS ditekankan bahwa pemegang hak tetap menerima konpensasi dari negara dimana produk mereka pertama kali dijual. Praktek impor paralel diperbolekan berdasarkan TRIPS pasal 8.1.10 Menurut WHO, impor paralel didefinisikan sebagi berikut: Import Paralleltation is importation, without the consent of the patent holder, of a pathented product marketed in another country either by the patent holder’s consent. Impor paraleltation enables promotion of competition for the pathented product marketed at lower prices in other countries. If the importing countrys patent regime provides that the patent holder right has been exhausted, when the patented product has been placed on the market in another country by or with the consent of the patentholder, the patent holder cannot use his patent right in the importing country to prevent mpor paralleltation. 11 7 Carlos Correa, Integrating Public Health Concerns into Patent Legislation In Developing Countries, (Geneva: South Centre 2000, 2001), hlm. 71-72. 8 Chicago Journal of Interational Law PRELUDE TO COMPATIBILITY BETWEE HUMAN RIGHTS AND INTELLECTUALPROPERTY Summer 2008, hlm. 36. 9 Duhan DF, Sheffet MJ, Gray markets and the legal status of parallel importation, 1988 Journal of Marketing 52(3), hlm. 75. 10 University of Pennsylvania Journal of International Law. THE CASE AGAINST TRIPSPLUS PROTECTION IN DEVELOPING COUNTRIES FACING AIDS EPIDEMICS Spring 2008, hlm. 30. 11 “Paralel Importation”, www.who.com, diunduh 25 November 2013. 5 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 Impor paralel merupakan salah satu doktrin di bidang HKI yaitu Exhaustion of Right. Artinya, jika seseorang pemilik merek memproduksi dan memasarkan barang miliknya, maka tidak dapat lagi pemilik merek itu mencegah distribusi produk yang beredar dipasaran, dan pembeli produk tidak perlu mengetahui dari mana asal barang tersebut maupun keabsahannya. Berdasarkan teori ini, praktik impor paralel dibenakan karena distribusi tunggal dinilai dapat menghambat perdagangan, selain itu praktik ini juga dinilai baik untuk menjaga kualitas barang12. Dari keseluruhan undang-undang yang mengatur hukum tentang hak kekayaan intelektual di Indonesia, ketentuan impor paralel hanya terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang paten yaitu sebagaimana diatur dalam BAB XV tentang ketentuan pidana dalam pasal 135 huruf (a) sebagai pengecualian dari ketentuan pidana yang terdapat dalam bab tersebut. Berdasarkan UU Paten, impor paralel terdapat adalah sebagai hal yang tidak dikategorikan sebagai tindak pidana, karena impor paralel yang dimaksudkan dalam UU paten berkaitan dengan kepentingan kesehatan masyarakat.13 Pada dasarnya impor paralel belum ada pengaturan secara tegas melarang dalam kerangka perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia karena adanya sejumlah hak yang diberikan negara dan hanya bisa dinikmati oleh pemilik Hak Kekayaan Intelektual termasuk diantaranya hak importasi. Namun dimungkinkan adanya pengecualian, sepanjang impor khusus tersebut dilakukan dengan prosedur yang tidak bertentangan dengan hukum dan memperhatikan kepentingan yang sah dari pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual. Penertiban soal impor paralel ini misalnya dapat disandarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Ketentuan ini mensyaratkan adanya pendaftaran perjanjian-perjanjian lisensi Merek. Bidang Hak Cipta mensyaratkan hal yang sama dalam menertibkan perjanjian lisensi melalui Pasal 47 ayat (2) Undnag-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Walaupun pada dasarnya Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia melarang impor paralel namun pada kenyataanya dalam praktek hukum di Indonesia ini tidak konsisten mengatur mengenai impor paralel ini. Ada beberapa putusan pengadilan yang memperbolehkan namun ada juga yang melarang. Hal ini karena regulasi mengenai impor 12 “Exhaustion of intellectual Property Rights And International Trade”, http://www.bepres.com.cgi/, diunggah pada 26 Oktober 2013. 13 Lihat penjelasan Umum Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, angka 2 huruf f. 6 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 paralel ini sendiri belum tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu teori exhausted sendiri belum jelas mengenai sejauh mana si pemilik paten mengawasi pendistribusian barangnya. Beberapa negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Singapura sudah memiliki aturan yang tegas mengenai praktik impor paralel ini. Di Jepang berdasarkan kasus FRED PERRY, mengimpor paralel produk asli dianggap tidak melanggar hukum merek apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut14: 1. Merek yang terdapat dalam produk impor paralel tersebut merupakan merek yang dibuat oleh pemilik merek, baik dari negara pengekspor maupun yang melalui lisensi. 2. Pemilik merek di negara pengekspor dan di Jepang adalah pihak yang sama, sehingga merek yang terdapat dalam impor paralel dianggap sama dengan produk asli terdaftar di Jepang (yaitu tidak ada kerusakan fungsi asli merek tersebut). 3. Barang-barang dan produk impor paralel yang menyandang merek terdaftar di Jepang tidak dianggap berbeda secara substansial kualitasnya (yaitu adanya jaminan kualitas produk sama). Di Amerika Serikat telah mengatur mengenai impor paralel dengan menerapkan mekanisme pengaturan sebagai berikut15: 1. Tariffs Act 526. Undang-undang ini melarang impor paralel produk yang mengandung merek yang dimiliki oleh warga Amerika dan telah terdaftar. Namun jika ada hubungan anak perusahaan antara perusahaan luar negeri dan distributor di Amerika maka Undang-undang ini tidak dapat digunakan menghentikan impor paralel tersebut. Namun jika merek adalah milik distributor resmi dan terdaftar maka distributor tersebut berhak untuk mencegah impor paralel walaupun produk asli dari perusahaan luar negeri.16 2. Lanham Act 42. Undang-undang ini menegaskan bahwa selama konsumen bisa mengenali bahwa produk impor paralel tersebut bukan dari Amerika maka diperbolehkan. Undang-undang ini tidak melarang impor paralel produk asli, namun melarang produk tiruan atau palsu17. Dalam kasus Lever Brother18 terdapat barang 14 Suwarn Rajan, Advocate & Patent Agent, Managing Partner,”CARE INTELLECT, NEW DELHI, Parallel Import: A Conundrum”, hlm. 9, melalui www.lawyersclubindia .com/articles/ print_ this_page.asp?article_id=515, diunduh pada 18 November 2013. 15 Sneha Jaint, “Parallel Imports and Trademark Law”, Journal of Intellectual Property Rights VOL 14 (july 2008-January 2009), hlm. 16. 16 “Premier Dental Production Company v Darby Dental Supply Company 794 F.2d 850”. 17 Olympus Corporation v US 792 F.2d 315. 18 17 Lever Brothers Co v United States of America, et al., 877 F.2d 101 (D.C. Cir. 1989). 7 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 yang diimpor dari luar negeri dimana memiliki merek yang sama dengan merek yang ada di Amerika namun ada perbedaan dalam secara fisik dalam produknya. Hal tersebut menimbulkan kebingungan karena pada kenyataannya perusahaan pengimpor memiliki hubungan dengan principalnya di luar negeri. Pengadilan Tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri dan menyatakan bahwa meskipun pengimpor memiliki afiliasi dengan principal di luar negeri namun apabila secara material dan fisik berbeda hal tersebut tidak dapat dikatakan asli. Sementara yang dapat diimpor adalah barang-barang asli. Sehingga berdasarkan putusan LAVER ini pengecualian afiliasi untuk melakukan impor paralel tetaplah harus barang yang sama persis dengan barang yang terdaftar di Amerika. Apabila barangnya berbeda maka akan dilarang. importation and is phisically and materially different from authorized product.” Di Singapura, hingga saat ini masih banyak yang menolak praktik impor paralel ini. Dalam peraturan perundang-undangan Singapura sendiri tidak ada ketentuan yang secara tegas menolak atau memperbolehkan praktik impor paralel ini. Di Singapura karena kebijakan pemerintah mendukung perdagangan bebas maka impor paralel diperbolehkan. Menurut Copyright Act (Amandemen) 199419, impor paralel diperbolehkan asalkan barang telah diproduksi dengan persetujuan dari pemilik hak cipta di negara produsen. Bila tidak ada pemilik hak cipta di negara produsen, barang hanya dapat diimpor dengan persetujuan dari pemilik hak cipta lokal. Ini akan mencegah impor barang palsu atau bajakan. Ketentuan ini mengadopsi doktrin exhaustion. Setelah pemilik hak cipta (produsen) telah menempatkan hak cipta baik ke pasar dan menerima harga untuk itu, pemilik hak cipta dianggap telah menerima manfaat hak eksklusifnya, sehingga hak-haknya telah ‘exhaust’. The Singapore Paten Act 1994 juga menganut doktrin exhaustion dan menyatakan bahwa mengimpor produk yang mengandung hak paten tidak merupakan pelanggaran jika produk telah diproduksi oleh atau dengan persetujuan pemilik paten atau lisensinya. 3.2. Distributor Tunggal Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan efekif pada suatu 19 Untuk latar belakang dilakuknnya amandemen Copyright Act, lihat Erin Soen Yi Goh-Low, “Parallel Imports of Copyright Goods in Singapore – The Role of Government and Public Policy” October 1996 -30 Journal of World Trade 5 at pp 165 – 176. Lihat juga “New law ensures continued import of cheaper goods” Brendan Pereira, The Straits Times, August 28, 1994. 8 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 pasar tertentu, yang mendorong pelaku usaha meakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan pesaingnya. Berkaitan dengan hal itu maka keberadaan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau Undang-undang Antimonopoli yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia20. Distributor tunggal merupakan perjanjian antara principal dengan perusahaan distributor dimana si distributor diberikan kuasa dan hak untuk menjual, memasarkan atau mendistribusikan produk dalam wilayah dan bersifat eksklusif, dan selama perjanjian pihak principal tidak mengangkat orang atau badan lain untuk bertindak sebagai distributor dalam wiayah yang sama. Perjanjian distributor tunggal ini mengandung beberapa unsur anti persaingan yaitu merupakan Exclusive distribution agreements yang diatur di pasal 15 ayat (1) Undang-undang No 15 Tahun 1999 yang isinya : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. Ketentuan yang mengatur mengenai exclusive distribution agreement walaupun dirumuskan secara per se, namun karena mempunyai dampak positif dalam menangani kasus perjanjian tertutup juga dipakai prinsip rule of reason21. Pendekatan rule of reason menyatakan perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibat terhadap proses persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya. Sehingga perjanjian yang memenuhi unsur-unsur exclusive distribution agreement tidak secara otomatis melanggar hukum anti persaingan. Pembuktian melalui akibat dari perjanjian itu sendiri apakah mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Monopoli yang dilarang menurut Pasal 17 ini jika monopoli tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai berikut22: 13. hlm.118. 20 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 21 Andi Fahmi Lubis et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:-,2009), 22 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 7. 9 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 1. Melakukan kegiatan penguasaan atas produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu, 2. Melakukan kegiatan penguasaan atas pemasaran produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu, 3. penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli, 4. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat apabila23: a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Biasanya exclusive distribution agreement dibuat oleh pelaku usaha manufaktur yang memiliki beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap harga produk yang mereka pasok ke dalam pasar, dan agar harga produk mereka tetap stabil, maka pihak manufaktur membuat perjanjian dengan distributor-distributornya untuk membagi konsumen dan wilayah pasokan agar tidak terjadi bentrokan di sesama distributor atau tidak terjadi persaingan intrabrand. Dengan berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat distributor membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi lebih mahal, sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih dari biasanya untuk mendapatkan produk yang didistribusikan oleh distributor tersebut. Karena dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja dapat juga mengakibatkan pihak distributor menyalahgunakan kedudukan eksklusif yang dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi terhadap produk yang didistribusikannya kepada konsumen pihak dan wilayah tertentu yang menjadi bagiannya tersebut. Pada prinsipnya perjanjian diantara pelaku usaha untuk membagi wilayah pemasaran pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap konsumen, dimana konsumen tidak mempunyai pilihan yang cukup baik dari segi barang maupun harga. Namun 23 Indonesia (3), Undang-undang Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No.5 Tahun 1999, LN. No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817. psl. 17. 10 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 kembali lagi ke pembuktiannya yaitu rule of reason. Apalagi mengingat undang-undang di Indonesia khususya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 11/MDAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa, diperbolehkan adanya distributor tunggal maupun agen tunggal dalam pendistribusian barang dan/atau jasa di wilayah Indonesia. Sehingga batasan larangan untuk exclusive distribution agreement dan pembagian wilayah yang merupakan perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5 tahun 1999 masih kurang jelas dan membuktikan pembuktian lebih lanjut dalam menangani kasusnya. 3.3. Analisa Dalam skripsi ini menganalisis sebuah kasus dalam putusan. Kasus posisinya adalah sebagai berikut: Fuji Photo Film Co.Ltd, merupakan perusahaan Jepang yang memproduksi film fotografi, kertas cetak, dryplate dan materi fotografi lainnya. Pada saat ini Fuji telah memiliki lebih dari 233 cabang di seluruh dunia untuk riset, produksi dan distribusi produk. Pabrikpabrik milik Fuji terebar di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1971, Fuji Photo Flm Co., Ltd Jepang mengadakan perjanjian distributor dengan PT. Modern Photo Tbk yaitu sebagai distributor tunggal Fuji di Indonesia diberikan izin untuk menggunakan, mendistribusikan, memasarkan, mengedarkan, menjual dan atau memperdagangkan dan melakukan jasa perbaikan atas peralatan fotografi, produk peka cahaya lainnya dan produkproduk lain dari Fuji. Seorang pengusaha bernama Tonny Widarma yaitu General Manager PD. Star Photographic Supplies di Bandung pada November 2006 sampai bulan Agustus 2007 melakukan impor barang berupa film foto Asa 200/36 dan Asa 400/36, tanpa kemasan dari Union Camera Limited Hongkong melalui PT. International Photographics Supplies. Union camera Limited adalah sebuah badan pembelian global berbasis di Hongkong yang dibentuk pada tahun 1989. Perusahaan ini bergerak khusus di bidang ekspor dan distribusi global bagi produk-produk bermerek terkenal dan hanya mengekspor dan mendistribusikan produk asli dan baru. Alamat Union Camera Limited adalah RM 1812 Wu Sang Hause 655 Nathan RD Kowloon Hongkong. Fungsi utama dari perusahaan ini adalah untuk menyediakan (diutamakan ditujukan kepada importer dan penjual Wholesale) produk-produk dengan harga yang lebih kompetitif dari harga koresponden distributor lokal. Setelah diimpor ke Indonesia Tonny membuat kardus/kemasan packing merek Fuji Film dan memasarkannya ke beberapa wilayah di Indonesia. 11 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 Pada tanggal 22 Agustus 2007 sekira jam 11.00 Wib, Penyidik Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan di PD. Star Photographic Supplies cabang Jakarta, yang berkedudukan di Ruko Plaza Kelapa Gading Blok G No. 66, Jl. Boulevard Barat, Kelapa Gading, Jakarta Utara dan didapati 4160 roll Asa 200/36 Film Fhoto merk Fuji Film dan 2930 roll Asa 400/36 Film Fhoto merk Fuji Film, yang dikemas dan diedarkan oleh PD. Star Photographics Supplies . 3.3.1. Analisis Terhadap Putusan Mengenai Impor Paralel Dan Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Kasus ini telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap semenjak diputus di Mahkamah Agung. Yang menjadi dakwaannya adalah bahwa si Terdakwa yaitu Tonny Widarma Pimpinan PD. Star Photographic Supplies terbukti melanggar pasal 91 Undangundang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu : “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan”. Apabila ditinjau dari hukum merek di Indonesia, terdapat aturan yang menyatakan bahwa pemilik merek memiliki hak untuk membatasi orang lain untuk membuat, menggunakan atau menjual mereknya tersebut. Namun hak yang dimiliki oleh pemilik tersebut bukanlah hak mutlak. Karena hak memonopoli yang terdapat dalam hukum merek dibatasi oleh hukum persaingan usaha. Dalam Hukum Persaingan Usaha, HKI maupun waralaba sering dianggap bersifat paradoks karena memberikan hak untuk memonopoli secara eksklusif yang bahkan dilindungi pula oleh undang-undang. Sementara itu undangundang Hukum Persaingan berupaya mengatur agar monopoli yang diijinkan haruslah seimbang dan tidak dieksploitasi. Prinsip dasarnya adalah HKI bertujuan untuk peningkatan kualitas kehidupan manusia dan untuk mendapatkannya harus melalui penelitian, waktu dan biaya yang tidak murah. Sehingga wajar memberikan insentif untuk menikmati hasil temuannya dan mendapatkan keuntungan secara ekonomi melalui pemberian monopoli dalam kurun waktu tertentu sebelum menjadi milik publik (public domain). Pada intinya HKI mengatur tentang penghargaan atas karya orang lain yang berguna bagi masyarakat banyak. Ini merupakan titik awal dari pengembangan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan inovasi, kreasi, desain dan berbagai bentuk karya intelektual lainnya. HKI bersifat privat, namun HKI hanya akan bermakna jika diwujudkan dalam bentuk produk di pasaran, digunakan dalam siklus permintaan, penawaran dan sesudahnya barulah akan berperan 12 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 penting dalam ekonomi yang memberikan insentif kepada pelaku usaha yang mewujudkannya untuk menikmati hasilnya.24 Isu yang terdapat dalam kasus ini bukanlah hanya persoalan sederhana mengenai permasalahan hukum merek saja. Permasalahan yang terdapat dalam kasus ini juga berkaitan dengan hukum persaingan usaha dan praktik impor paralel yang selama ini terdapat dalam praktik perdagangan internasional. Dalam kasus tersebut disebutkan bahwa PT International Supllies melakukan pendistribusian terhadap produk merek Fuji dimana merek tersebut pada saat yang sama sudah didistribusikan oleh PT Modern Photo yang ditunjuk sebagai distributor tunggal di wilayah Indonesia oleh pemilik merek Fuji. Dalam hal ini yang ada beberapa isu yang menarik yaitu : 1. Tindakan PT International Photographic Supplies yang melakukan penjualan produk Fuji sementara sudah ada distributor tunggal yang ditunjuk Fuji di Indonesia. 2. PT International Supllies tidak memiliki ijin resmi dari pemilik merek untuk melakukan penjualan atau distribusi tersebut. 3. PT International Photographic Supplies mendapatkan produk tersebut dari dan berdasarkan penunjukan salah satu lembaga pembelian global yaitu Union Camera Limited yang berkedudukan di Hongkong yang pada faktanya merupakan lembaga yang kompeten melakukan penjualan ke seluruh penjuru dunia. Sehingga dapat dilihat bahwa Fuji Film kurang konsistensi dalam hal sistem perdagangan produk Fuji Film miliknya. Sehingga berdasarkan isu-isu di atas maka dapat terlihat adanya kegiatan impor paralel. Yaitu kegiatan mengimpor suatu barang secara tidak langsung dari pemilik merek. Dalam hal ini barang yang menjadi objeknya adalah produk asli, yaitu rol film Fuji. Apabila dikaitkan dengan teori exhaustion of right yang terdapat dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual, kegiatan impor paralel adalah diperbolehkan. Dimana berdasarkan teori ini seorang pemilik HKI telah kehilangan hak ekonomi atas produknnya tersebut setelah penjualan pertama dan tidak bertanggung jawab atas pendistribusian selanjutnya. Dimana ketika Fuji Film menjual produknya ke Union Camera Limited maka Fuji Film tidak lagi berhak untuk mengelola pendistribusian selanjutnya atau exhaust Dan teori ini mengganggap bahwa kegiatan distribusi tunggal dapat menghambat perdagangan. Selain itu berdasarkan putusan pengadilan negeri Jakarta Utara, dalam pasal 2.04 distributor agreement antara pihak PT. Modern Photo Tbk dan pihak Fuji film Photo Film 24 Zen Umar Purba, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2000), hlm.1. 13 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 Co., Ltd.Co., Ltd tidak dapat menyebutkan secara khusus pihak mana saja yang dapat dikategorikan sebagai badan pembelian global. Hal ini menimbulkan akibat bahwa sepanjang perdagangan yang dilakukan oleh pihak Fuji Jepang tersebut dilakukan secara benar dan barang diperoleh secara sah, maka barang tersebut dapat diperdagangkan kembali ke seluruh dunia. Walaupun pihak Fuji Film menyatakan tidak mengenal Union Camera Limited, namun berdasarkan fakta yang ada dimana keduanya melakukan perdagangan maka pernyataan tersebut tidak mempengaruhi kegiatan yang dilakukan oleh kedua pihak tersebut. Sehingga berdasarkan fakta-fakta tersebut Union Camera Limited memiliki kompetensi untuk melakukan penjualan ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Sehingga hak eksklusif yang dimiliki oleh PT. Modern Photo Tbk sebagai distributor tunggal produk merek Fuji tidaklah bersifat penuh atau mutlak. Sehingga dapat dilihat perdagangan dan penjualan yang dilakukan oleh PT International Photographic Supplies adalah dianggap sah, karena barang diperoleh dari jaringan perdagangan yang kompeten. Dalam hukum persaingan usaha hal ini dibenarkan karena selama kegiatan pelaku usaha itu terbukti tidak melanggar hukum, tidak mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah diperbolehkan. Peraturan Menteri Perdagangan No 11 Tahun 2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distrubutor Barang dan/atau jasa yang memperbolehkan adanya distributor tunggal. 3.3.2. Analisis Terhadap Exclusive Distribution Agreement Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha Undang-undang nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Salah satunya Exclusive distribution agreements, yaitu perjanjian dimana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan/atau tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur. Biasanya exclusive distribution agreement dibuat oleh pelaku usaha manufaktur yang memiliki beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap harga produk yang mereka pasok ke dalam pasar, dan agar harga produk mereka tetap stabil, maka pihak manufaktur membuat perjanjian dengan distributor-distributornya 14 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 untuk membagi konsumen dan wilayah pasokan agar tidak terjadi bentrokan di sesama distributor atau tidak terjadi persaingan intrabrand. Dengan berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat distributor membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi lebih mahal, sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih dari biasanya untuk mendapatkan produk yang didistribusikan oleh distributor tersebut. Karena dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja dapat juga mengakibatkan pihak distributor menyalahgunakan kedudukan eksklusif yang dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi terhadap produk yang didistribusikannya kepada konsumen pihak dan wilayah tertentu yang menjadi bagiannya tersebut. Perjanjian distributor tunggal terlihat bertentangan dengan prinsip dalam hukum persaingan usaha, misanya antara principal dapat membuat perjajian dengan hanya satu agen tunggal atau distrbutor tunggal untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama dar suatu merek di wilayah pemasaran tertentu untuk jangka waktu tertentu (pembagian wilayah dan produk). Namun karena pembuktiannya menggunakan prinsip rule of reason maka perlu pembuktian mengenai dampak dari perjanjian ini, apakah mengakibatkan monopoli dan persaingan sehat. Apabila dikaitkan dengan exclusive distribution agreement antara Fuji Photo Film Co. Ltd dengan PT Modern Photo Tbk dimana pihak PT Modern Photo diberikan kuasa sebagai distributor yang berhak untuk menjual, memasarkan atau mendistribusikan produk dalam wilayah Indonesia yang bersifat eksklusif, dan selama masa perjanjian tersebut pihak FUJI tidak mengangkat orang atau badan lain untuk bertindak dalam satu wilayah yang sama. Sebelumnya perlu dibuktikan dahulu, apakah perjanjian ini memenuhi unsur perjanjian yang dilarang yaitu exclusive distribution agreement dalam pasal 15 ayat 1 Undang-undang No 5 Tahun 1999. Unsur-unsurnya adalah : 1) Pelaku usaha. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam hal ini yang menjadi pelaku usahanya adalah Photo Film Co. Ltd dan PT Modern Photo Tbk. Fuji adalah badan hukum yang melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. 2) membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam hal ini 15 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 perjanjiannya adalah perjanjian distribusi yang isinya tentang pemberian ijin untuk menjual, memasarkan atau mendistribusikan dan melakukan jasa perbaikan atas peralatan fotografi, produk peka cahaya lainnya dan produk-produk lain dari Fuji untuk wilayah Indonesia. 3) memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. Dalam hal ini yang memasok barang adalah pihak Fuji Film, sementara yang menerima barang dan atau jasa adalah pihak PT Modern Photo. Pasokan barang ini adalah dalam kegiatan jual beli barang. Berdasarkan kasus, si distributor dalam hal ini PT Modern Photo memang tidak hanya memasok kepada pihak tertentu melainkan hanya kepada wilayah tertentu yaitu Indonesia. Dan si principal berkewajiban untuk tidak menunjuk pihak lain melakukan distribusi di wilayah itu. Sehingga unsur-unsur pasal terpenuhi. Maka perjanjian distributor tunggal sebenarnya dilarang. Akan tetapi karena pembuktian pasal 15 ayat (1), ini menggunakan prinsip rule of reason maka perlu dibuktikan terlebih dahulu akibat dari perjanjian ini apakah mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Yang dimaksud praktek monopoli menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah: pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sedangkan yang dimaksud persaingan usaha tidak sehat menurut Pasal 1 angka 6 Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 adalah: persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat apabila25: a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya. Barang yang menjadi objek perkara dalam kasus ini adalah film foto Asa 200/36 dan Asa 400/36. Setelah melakukan penelitian singkat melalui internet dan beberapa toko kamera, 25 Indonesia (3), psl. 17. 16 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 penulis menemukan ternyata ada banyak merek film foto yang beredar. Diantaranya adalah merek Kodak, Lucky, Fujifilm, Ilford, Polaroid, Agfa dan lain-lain. b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama. Karena PT Modern Photo telah ditunjuk sebagai distributor tunggal oleh Fuji dan karena perjanjian distribusi ini telah didaftarkan di kementerian perdagangan, maka tidak ada distributor lain yang ditunjuk Fuji bisa masuk ke wilayah Indonesia. Namun hal itu bukan berarti mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha yang sama. Pelaku usaha tetap memiliki pilihan melalui membeli dari PT Modern Photo ataupun pelaku usaha dapat masuk ke pasar dengan menjual produk yang sama dengan merek berbeda, atau membuat permohonan langsung ke pihak Fuji untuk menjadi distributor. Sehingga unsur ini tidak terpenuhi. c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Penulis memang belum melakukan penelitian mendalam dan mencari data mengenai jumlah produk film kamera Fuji di bandingkan produk lainnya di pasar. Namun dengan banyaknya produk lain yang sejenis di pasar, Fuji tidak menguasai lebih dari 50% pangsa pasar. Sedangkan unsur menjalankan kegiatan usaha dengan tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha juga tidak terpenuhi mengingat perjanjian distributor tunggal antara Fuji dan PT Modern Photo tidak mengandung unsur perbuatan curang dan melawan hukum. Sehingga perjanjian ini tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Apalagi mengingat hukum di Indonesia khususnya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa, diperbolehkan adanya distributor tunggal maupun agen tunggal dalam pendistribusian barang dan/atau jasa di wilayah Indonesia. Sehingga batasan larangan untuk exclusive distribution agreement dan pembagian wilayah yang merupakan perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5 tahun 1999 masih kurang jelas dan membuktikan pembuktian lebih lanjut dalam menangani kasusnya. 4. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan materi dan analisa kasus dalam bab sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 17 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 1. Kasus impor paralel yang dilakukan oleh PT International Photographic Supllies tersebut tidak melanggar hukum. Karena PT International Photographic Supllies mengimpor produk bermerek Fuji ke Indonesia, melalui Union Camera Limited yaitu badan pembelian global yang sudah sah. Permasalahan timbul karena pihak Fuji memberikan ijin distributor tunggal kepada pihak PT Modern Photo namun dalam waktu yang sama memberikan ijin distribusi kepada badan pembelian global. 2. Perjanjian distributor tunggal antara Fuji dan PT Modern Photo mengandung unsur yang bertentangan dengan prinsip dalam hukum persaingan usaha, yaitu antara principal dapat membuat perjanjian dengan hanya satu agen tunggal atau distrbutor tunggal untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama dari suatu merek di wilayah pemasaran tertentu untuk jangka waktu tertentu (pembagian wilayah dan produk). Sehingga termasuk ke dalam Exclusive Distribution Agreement yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 5 tahun 1999. Tindakan distributor tunggal ini tidak akan otomatis melanggar hukum, tetapi menggunakan prinsip rule of reason, sehingga perlu dianalisa alasan dan dampak dilakukannya perjanjian distributor tunggal tersebut. Melalui penelitian dalam skripsi ini, perjanjian distributor tunggal ini bertujuan untuk efisiensi usaha yakni mempermudah distribusi. Dengan adanya distributor tunggal yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan principal, maka akan lebih efisien. Siapapun yang ingin menjual produk Fuji tidak perlu lagi berhubungan langsung dengan principal melainkan melalui distributor saja. Selain itu perjanjian ini tidak mengakibatkan persaingan tidak sehat karena alasan-alasan berikut ini. Pertama, memiliki terdapat cukup banyak barang subsitusi di pasaran. Kedua, perjanjian distributor tunggal ini tidak terbukti mengakibatkan pelaku usaha lain sulit masuk ke pasar, karena jika seseorang ingin menjadi distributor bisa melalui PT Modern Photo atau membuat permohonan kepada Fuji secara langsung, atau menjadi distributor barang sejenis dengan merek lain . Ketiga, baik Fuji maupun PT. Modern Photo tidak terbukti menguasai lebih dari 50% pangsa pasar barang sejenis film poto. Hal ini dilihat dari banyaknya produk sejenis dengan merek yang berbeda-beda yang dengan mudah diperoleh dipasaran. 5. Saran 1. Sebaiknya aturan mengenai impor paralel ini segera dibuat mengingat perdagangan internasional yang berkembang pesat dan batas-batas negara sudah bukan menjadi 18 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 masalah. Untuk mengurangi kebimbangan di dalam masyarakat mengenai status kelegalan praktik impor paralel ini maka sudah seharusnya hal ini diatur secara tegas. 2. Dalam membuat perjanjian distribusi sebaiknya principal produsen membuat dengan jelas siapa saja yang termasuk dalam distributor dan lembaga pembelian global, dan sebatas mana kewengan mereka dalam mendistribusikan barang. Sehingga tidak terjadi lagi kasus distributor ganda seperti yang dihadapi oleh PT International Photographi Supplies. 6. Daftar Pustaka Mamudji, Sri et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Indonesia Australia Speciaised Tainin Project - Phase II, Intellectual Property Rights (Elementary). AusAID: Asian Law Group Pty. Ltd, 2002. Chicago Journal of Interational Law PRELUDE TO COMPATIBILITY BETWEE HUMAN RIGHTS AND INTELLECTUALPROPERTY Summer 2008. DF, Duhan dan Sheffet MJ, Gray markets and the legal status of parallel importation, Journal of Marketing 52(3). 1988. Goh-Low, Erin Soen Yi. “Parallel Imports of Copyright Goods in Singapore – of Government and Public Policy” October 1996 -30 Journal of pp 165 – 176. Pereira, Brendan. “New law ensures continued The Role World Trade 5 at import of cheaper goods” The Straits Times, August 28, 1994. University of Pennsylvania Journal of International Law. THE CASE AGAINST TRIPSPLUS PROTECTION IN DEVELOPING COUNTRIES FACING AIDS EPIDEMICS Spring 2008. Purba, Achmad Zen Umar. Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu Strategis. Bandung: PT. Alumni, 2011. Purba, Zen Umar. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2000. Jaint, Sneha. “Parallel Imports and Trademark Law”. Journal of Intellectual Property Rights VOL 14. July 2008-January 2009. Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008. Lubis, Andi Fahmi et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta: -, 2009. 19 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014 Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2004. Jaint, Sneha. “Parallel Imports and Trademark Law”. Journal of Intellectual Property Rights VOL 14. July 2008-January 2009. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-undang tentang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002. LN. No. 85 Tahun 2002. TLN. No. 4220. Indonesia, Undang-undang Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU No.5 Tahun 1999. LN. No. 33 Tahun 1999. TLN No. 3817. Indonesia, Undang-undang tentang Merek. UU No. 15 Tahun 2001. LN. No. 110 Tahun 2001. TLN. No. 4131. Indonesia, Undang-undang tentang Paten. UU No. 14 Tahun 2001. LN. No. 109 Tahun 2001. TLN. No. 4130. Lanham Act 42. Menteri Perdagangan, Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distrubutor Barang dan/atau jasa. Permen No. 11 Tahun 2006. Singaporean Trade Marks Act 1998. Tariffs Act 526. The Trade Mark Act 1999. Internet “Exhaustion of intellectual Property Rights And International Trade”, http://www.bepres.com.cgi/. “Paralel Importation”, www.who.com. Koentjoro, Ardianti. “Apakah Impor Paralel Dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia?”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1656/apakah- imporparalel-dikenal-dalam-sistem-hukum-indonesia. 20 Analisis praktik..., Veroima Sinaga, FH UI, 2014