BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri musik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno mengalami pembatasan dan sulit untuk berkembang. Pidato sang Presiden dalam acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) seakan mempertegas pembatasan perkembangan industri musik. Pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia mengambil sikap untuk melindungi kebudayaan Indonesia dari pengaruh asing dengan mengembangkan kebudayaan nasional. Setelah era pemerintahan Soekarno berakhir, industri musik di Indonesia mulai berkembang. Banyak ditemui karya musik yang diciptakan dan dijual dalam bentuk fisik maupun digital. Musik menjadi salah satu konten utama dalam siaran radio dan televisi. Konser musik yang diadakan di penjuru daerah Indonesia juga tak kalah hebat menyedot antusias masyarakat. Kenyataan yang ada di lapangan tersebut mengungkap fakta bahwa musik menjadi lahan industri yang dapat digunakan untuk meraup keuntungan dalam jumlah besar. Selain itu, lahan lain seperti rekaman, penjualan merchandise, sponsorship, endorsement komersial, ring back tone (nada tunggu), video klip adalah lahan bisnis yang tercipta dari hasil rekaman musik. Musik sebagai salah satu industri kreatif terus berkembang dan membuat institusi bisnis yang bergerak di dalamnya harus mengikuti perkembangan yang terjadi. Perkembangan tidak hanya mencakup selera musik yang berubah-ubah dari masa ke masa, tetapi juga berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam ranah manajemen media, industri kreatif mempunyai keuntungan dibanding dengan industri yang lain. Institusi yang bergerak di dalamnya dapat berinovasi dan berkreasi untuk menarik minat audience atau konsumen. Industri kreatif menuntut persaingan ketat. Bagaikan hukum rimba, siapa yang terkuat dialah yang menguasai, jika tidak maka bersiaplah untuk musnah 1 atau mati. Persaingan yang ketat berimbas pada manajemen media institusi yang bersangkutan. Wajib untuk berbenah, beradaptasi, menemukan inisiatif atau cara baru untuk menarik audience atau konsumen dalam bersaing dengan institusi yang lain. Semakin banyak konsumen atau audience dalam mengakses atau mengkonsumsi produk medianya, maka akan berimbas pada profit yang didapat. Pada dasarnya profit adalah sumber utama institusi media untuk menjalankan aktivitas memproduksi produk media. Idealnya, semua faktor yang tergabung di dalam suatu organisasi yang memproduksi produk media, harus bersinergi, bahu membahu satu sama lain untuk jalannya kehidupan organisasi media yang bersangkutan. Lokananta, perusahaan negara yang bergerak dalam rekaman musik mempunyai sejarah yang mengagumkan. Pada awal berdirinya, Lokananta berstatus sebagai pabrik piringan hitam dengan administrasi jawatan yang langsung di bawah jawatan RRI pusat Jakarta. Lokananta bertugas mencetak piringan hitam transkripsi untuk melayani siaran radio RRI dan tidak dijual kepada umum. Status Lokananta berubah seiring pemerintah memutuskan bahwa Lokananta dapat menjual produksi piringan hitamnya. Putusan tersebut sebagai respon atas tingginya minat masyarakat terhadap konten siaran RRI yang diproduksi oleh Lokananta. Sebagai perusahaan milik negara, Lokananta mengalami dua naungan yaitu berada dalam naungan Departemen Penerangan (Deppen) dan Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI). Pada masa naungan Deppen, Lokananta tercatat sebagai sebagai salah satu pioneer industri musik Indonesia dan pernah menguasai industri musik Indonesia pada dekade 70-80an. Berada dalam naungan Deppen dan mengalami masa jaya tidak semerta-merta Lokananta menuai pujian dari berbagai kalangan. Manajemen yang diterapkan bukan manajemen yang ideal bagi sebuah perusahaan yang bergerak dalam industri rekaman musik mengingat adanya ikut campur dan peran negara dalam perusahaan tersebut sangat kuat. Era naungan Deppen berakhir seiring dengan runtuhnya rezim orde baru. Masa transisi yang dimulai dari tahun 1998 hingga tahun 2001 membuat 2 Lokananta berada dalam situasi yang tidak jelas. Pada tahun 2001, kejelasan mulai terlihat seiring likuidasi dan privatisasi lembaga-lembaga milik negara, tak terkecuali lembaga yang berada dibawah naungan Deppen yang salah satunya adalah Lokananta. Proses likuidasi yang dialami oleh Lokananta menyebabkan Lokananta berpindah naungan ke Perum PNRI. Perpindahan naungan tersebut membuat Lokananta harus memulai dan menata kembali bentuk perusahaan yang telah dibangun. Berada di lingkungan yang baru bukan berarti Lokananta menjadi perusahaan yang lebih baik jika dibandingkan dengan masa naungan Deppen. Keadaan yang dialami oleh Lokananta baik dalam naungan Deppen dan Perum PNRI, seakan menjadi pertanyaan apakah keadaan tersebut tercipta karena disfungsi manajemen atau tekanan dari luar seperti selera musik masyarakat, perkembangan teknologi informasi komunikasi, dan industri hiburan di Indonesia yang terpusat di Jakarta. Di sisi lain, sebagai perusahaan milik negara, cerminan kondisi Lokananta tidak hanya dilihat dari sisi internal perusahaan tersebut, tetapi juga dari sisi eksternal dimana peran dan ikut campur negara dalam perusahaan ini sangat kuat. Penelitian ini akan mendeskripsikan secara mendalam dengan mengambil fokus manajemen media musik rekaman Lokananta pada tahun 1996-2012, masa dimana Lokananta masih berada di bawah naungan Departemen Penerangan dan Perum PNRI. 1.2. Rumusan Masalah Rumusan pokok permasalahan penelitian yang diperoleh dari latar belakang permasalahan di atas adalah sebagai berikut: bagaimana manajemen media musik rekaman milik negara yang diterapkan dalam perusahaan rekaman musik milik negara Lokananta era naungan Deppen dan Perum PNRI pada tahun 1996-2012?. 3 1.3. Tujuan Penelitian Mengetahui manajemen media musik rekaman milik negara yang diterapkan dalam perusahaan rekaman musik milik negara Lokananta era naungan Deppen dan Perum PNRI padatahun 1996-2012. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi kajian ilmu komunikasi dan penelitian tentang manajemen media. Manfaat penelitian ini antara lain: a. Memperkaya kajian komunikasi khususnya studi tentang manajemen media. b. Penelitian ini secara praktis dapat menggambarkan manajemen media musik rekaman dalam lingkup perusahaan rekaman musik milik negara. 1.5. Objek Penelitian Melihat fenomena yang telah digambarkan dalam latar belakang dan rumusan masalah, objek penelitian akan difokuskan pada manajemen media rekaman musik Lokananta. Penelitian ini akan mengambil data dari arsip/dokumen Lokananta, wawancara dengan mantan direktur Lokananta pada masa naungan Deppen, mantan Kepala dan Kepala Lokananta masa naungan Perum PNRI, dan karyawan Lokananta. 1.6. Kerangka Pemikiran 1.6.1. Musik Rekaman sebagai Media Studio rekaman musik merupakan sebuah organisasi yang memproduksi sebuah message yang berupa musik. Menurut De Fleur & Dennis: musik, berita, dan iklan adalah industri-industri utama yang memproduksi content (isi) untuk kebutuhan media massa1. Mc Quail menyatakan bahwa salah satu media massa adalah melalui musik. Relatif sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada musik sebagai media massa dalam teori dan penelitian. Mungkin dikarenakan 1 Abdul Firman Ashaf. Tema-Tema Dominan dalam Musik Populer Indonesia (Bandung, 2003), hlm. 288. 4 dampak yang ditimbulkan musik terhadap masyarakat tidak jelas, juga karena tidak berhentinya kemungkinan yang ditawarkan penerus teknologi rekaman dan reproduksi penyebaran2. Menurut Shuker, karakteristik media massa adalah melibatkan produksi dalam skala besar dengan unit-unit ekonomi yang besar untuk keperluan massa, dan terdapat segmentasi pasar. Media massa merujuk pada bidang cetak, aural, dan komunikasi visual yang diproduksi dalam skala besar. Pers, penerbitan, radio, televisi, film, video, industri rekaman, dan telekomunikasi adalah bentuk media yang telah diproduksi dan disebarluaskan3. Selain sebagai isi media, musik juga dapat dipandang secara institusional. Musik sebagai komoditas utama dalam industri rekaman dianggap sebagai komunikasi massa yang memiliki karakteristik dan fungsi yang sama dengan institusi massa lainnya4. Saat ini, industri rekaman mempunyai peranan dalam keseharian kehidupan manusia. Hampir sebagian besar manusia modern hidup dengan menikmati hasil produksi industri rekaman. Kaitan antara musik yang menjadi konten utama studio dan industri rekaman dalam kehidupan manusia saat ini lebih lanjut dapat dipahami bahwa industri rekaman dapat berfungsi sebagai media massa. Kegiatan utama dari industri rekaman adalah memproduksi dan mendistribusikan konten media ke khalayak agar tersebar luas. Dimana dalam proses pendistribusian tersebut menggunakan kemajuan teknologi. Dalam hal ini, Hull berpendapat, Popular music, the primary content of the recording media, can be partially understood as communication and the recording industry as a mass medium. The main activity of the recording industry is the production and distribution of symbolic content to widely dispersed heterogeneous audiences. It uses several technologies to do this, including digital recording and reproduction, analog recording and reproduction, video recording and reproduction, and the Internet5. 2 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa (Jakarta, 2011), hlm. 41. 3 Roy Shuker, Understanding Popular Music (London, 2001). hlm. 3 Ashaf. Op. cit. hlm. 288. 5 Geoffrey P. Hull, The Recording Industry; Second Edition. (New York & London, 2004), hlm. 544. 4 5 Musik rekaman sebagai produk industri rekaman tidak memiliki batas waktu penggunaan seperti halnya produk media lainnya yang tidak mengenal batas waktu. Konten media musik rekaman dapat dikonsumsi berulang-ulang dan bahkan semakin lama semakin berharga karena memunculkan added value6. McQuail dalam Hull, menyatakan bahwa industri rekaman sebagai media mempunyai karakteristik sebagai berikut7: a. Adanya beberapa teknologi untuk merekam dan menyebarkan: terdapat teknologi rekaman baik dalam format digital dan analog, dari home recording sampai professional recording. Penyebaran hasil rekaman dapat dilakukan dengan cara melalui email, toko kaset, download, dan ribuan cara lainnya untuk memperoleh hasil rekaman. b. Regulasi yang rendah: pemerintah mengatur industri ini sama dengan industri lainnya, tidak ada lisensi seperti dalam media penyiaran. c. Tingginya internasionalisasi: 5 (lima) perusahaan rekaman besar mengembangkan bisnisnya di beberapa negara dan terdapat perusahaan rekaman lokal di setiap negara. d. Audience yang berusia muda: konsumen terbanyak rata-rata berusia antara 1524 tahun. e. Adanya potensi subversive (gerakan bawah tanah): industri dan seniman sering menjadi subjek dalam serangan dan berkontribusi dalam kenakalan, dorongan untuk menggunakan narkoba, gerakan anti Amerika dan lebih banyak lagi. f. Fragmentasi organisasi: meskipun 5 (lima) perusahaan besar menguasai distribusi, tetapi ada ratusan atau bahkan ribuan dari masing-masing label yang dapat berdiri sendiri. g. Adanya kemungkinan keragaman dalam proses penerimaan: rekaman dapat didengar melalui radio, siaran televisi, kabel, internet, dan satelit. Pernyataan Mc Quail di atas menggambarkan kondisi industri rekaman sebagai media, khususnya di Amerika. Jika mengamati kondisi rekaman di 6 Rahayu., “Ekonomi dan Manajemen Media : Perkembangan Kajian, Otokritik dan Eksplorasi Terhadap Isu Lokalitas,” Potret Manajemen Media di Indonesia, ed. Amir Efendi Siregar, dkk. (Yogyakarta, 2010), hlm. 45. 7 Hull. Op.cit., hlm.18 6 Indonesia, karakteristiknya bisa dipastikan hampir sama. Perjalanan industri rekaman di Indonesia yang awal mulanya dimulai dari beberapa perusahaan rekaman, menghadirkan cerita tersendiri sehingga dapat menjadi sebuah industri yang besar seperti sekarang ini. Sejarah musisi Indonesia dapat bercerita tentang bagaimana pembatasan kebebasan bermusik di Indonesia pada era Soekarno. Musisi dianggap sebagai aktor yang mempunyai potensi subversive, berkontribusi dalam proses penggerogotan budaya bangsa. Hal tersebut dapat dilihat dari strategi politik kebudayaan yang diterapkan oleh Presiden I Republik Indonesia. Soekarno tidak menghendaki jika kedaulatan kepribadian, identitas, dan jati diri budaya bangsa ditindas dan digerogoti oleh keberadaan budaya musik ‘ngak ngik ngok’, musik cengeng yang jelas-jelas dianggap tidak mencerminkan nation character building. Musik sebagai budaya populer merupakan cerminan dari nilai yang terkandung dari masyarakat. Bahkan tinggi rendahnya nilai budaya suatu masyarakat dapat dipelajari dari watak musiknya8. Imbas dari diterapkannya strategi politik tersebut salah satunya dapat dilihat dari pencekalan yang dilakukan terhadap serbuan musik popular yang kental dengan aliran budaya barat alias musik ‘ngak ngik ngok’. Jenis musik ini dianggap sebagai neokolonialisme kebudayaan yang dianggap dapat mengancam dan membahayakan jalannya revolusi yang belum selesai. Pelarangan musik ‘ngak ngik ngok’ dilakukan dengan cara tidak diperbolehkan untuk diputar, dipanggungkan, serta dipertontonkan di hadapan publik. Grup musik yang menjadi korban dari kebijakan ini adalah Koes Bersaudara yang harus mendekam di hotel Prodeo Glodok, selama 100 hari9. Industri musik di Indonesia sekarang ini juga dikuasai oleh major label asing yang menebar jala bisnis musik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Seperti yang dinyatakan McQuail diatas. Fakta bahwa terdapat dominasi 4 (empat) perusahaan besar (the big four) yaitu, Universal Music Groups, Sony 8 Alex Palit, “Budaya Musik dan Politik Kebudayaan (2)”, Tribun News, diakses dari http://www.tribunnews.com/tribunners/2011/01/31/budaya-musik-dan-politik-kebudayaan-2, pada tanggal 26 Mei 2014 9 Alex Palit, loc.cit. 7 BMG Warner Music Group, dan EMI yang menguasai 70% pasar musik di seluruh dunia termasuk Indonesia10. Membicarakan sejarah industri rekaman musik di Indonesia, tentu tidak bisa lepas dari beberapa studio rekaman musik yang menjadi awal mula perkembangan industri rekaman musik Indonesia pada saat ini. Sejarah industri rekaman musik di Indonesia dimulai pada tahun 1954, ketika Suyoso Karsono mendirikan label pertama kali di Indonesia yang diberi nama Irama Records, studio rekaman yang berdiri di Menteng Jakarta itu menggunakan garasi rumahnya sebagai tempat untuk merekam album beberapa grup musik11. Beberapa tahun setelahnya, disusul berdirinya perusahaan rekaman musik milik negara, yaitu Lokananta di Surakarta. Lokananta, perusahaan rekaman yang terletak di kota Solo ini menyimpan banyak bukti sejarah perjalanan musik Indonesia. Walaupun bukan studio rekaman yang pertama kali berdiri di Indonesia, bisa dikatakan studio rekaman Lokananta ini sebagai salah satu pioneer dan titik nol perjalanan industri musik Indonesia. Studio rekaman Lokananta didirikan oleh Maladi, bersama dua rekannya R. Oetojo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerdipoero. Maladi adalah orang yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan selama dua periode (Kabinet Kerja I dan Kabinet Kerja 2) sedangkan R. Oetojo S. dan R. Ngabehi Soegoto masing-masing menjabat sebagai Kepala Studio dan Kepala Teknik Produksi Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta12. Lokananta bagaikan sebuah perpustakaan lagu daerah di Indonesia. Tidak ada studio rekaman lain di Indonesia yang dapat menandingi kelengkapan lagu daerah yang dimiliki Lokananta. Kekayaan sumber daya lagu daerah yang dimiliki oleh Lokananta tak lepas dari peran Radio Republik Indonesia (RRI) pada saat itu. 10 Wendi Putranto, Rolling Stone, Music Biz, Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik (Yogyakarta, 2010), hlm. 58. 11 Ibid. hlm. 106. 12 Ayos Purwoaji, Fakhri Zakaria, “Lokananta: Menyelamatkan Musik Indonesia”, RollingStone Indonesia, diakses dari http://rollingstone.co.id/read/2012/10/27/145255/2073969/1100/lokanantamenyelamatkan-musik-indonesia, pada tanggal 7 April 2013. 8 Lokananta yang berstatus sebagai perusahaan jawatan RRI menjadi tempat penggandaan piringan hitam bagi siaran RRI di seluruh Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan De Fleur dan Dennis dalam Ashaf: sejarah perkembangan industri rekaman musik sangat erat kaitannya dengan media radio. Pada tahun 1920-an, radio selama berjam-jam diisi oleh musik dan lambat laun media massa lainnya menggunakan musik populer dalam isi tayangannya. Tercatat media film mempergunakan musik popular pada tahun 1930-an dan disusul oleh televisi13. Musik popular tersebut tidak lepas dari keberadaan studio rekaman. Nama besar Lokananta dalam industri musik dapat terlihat dalam sejarah yang telah ditorehkan oleh Lokananta. Lagu yang berjudul “Terang Bulan” ciptaan Saiful Basri yang dinyanyikan oleh Orkes Studio Djakarta pernah direkam di RRI Jakarta tahun 1956 dan dipindahkan ke piringan hitam oleh Lokananta pada 16 Maret 1965. Lagu bernuansa keroncong melayu ini menjadi lagu negara Malaysia yang baru merdeka pada saat itu. Lagu itu merupakan hadiah dari Presiden Soekarno kepada Malaysia. Beberapa dekade kemudian, hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali terjadi, tetapi kali ini bukan hubungan yang harmonis. Malaysia menggunakan lagu “Rasa Sayang Eh” dalam iklan pariwisata negara tersebut. Setelah ditelusuri, lagu tersebut adalah lagu tradisional dari daerah Maluku yang tersimpan dalam arsip lagu Lokananta yang berjudul “Rasa Sayange”. Lagu “Rasa Sayange” merupakan lagu yang masuk dalam album kompilasi “Asian Games: Souvenir From Indonesia”, yang dimana album tersebut merupakan buah tangan dari Indonesia bagi negara-negara peserta Asian Games IV di Jakarta pada tahun 1962, dan Malaysia sebagai salah satu negara peserta Asian Games tersebut14. Lokananta juga berperan dalam menyimpan kepingan sejarah perjalanan bangsa ini. Lagu “Indonesia Raya” dalam 3 (tiga) stanza tersimpan di Lokananta. Rekaman pidato Bung Karno pada beberapa acara penting juga dapat ditemukan 13 Ashaf. Op. cit. hlm. 288. 14 Purwoaji, Zakaria, loc.cit. 9 di Lokananta, salah satunya adalah pidato beliau pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung15. 1.6.2. Lokananta Sebagai Perusahaan Negara Riset manajemen media pada umumnya membahas tentang faktor internal dan cenderung mengesampingkan faktor eksternal pada perusahaan yang bergerak dalam bidang media. Riset manajemen media juga harus melihat bentuk kepemilikan media yang sangat berpengaruh terhadap operasional sebuah perusahaan. Pada perusahaan rekaman musik Lokananta, faktor eksternal dan bentuk kepemilikan merupakan faktor yang sangat kuat mempengaruhi kehidupan perusahaan. Dapat diketahui bentuk kepemilikan media terdiri dari tiga macam bentuk. Pertama, non-for-profit media organization. Media yang dikelola dalam bentuk kepemilikan ini pada umumnya berjalan dan diorganisir atas dasar kepentingan non-profit oleh sebuah kelompok atau komunitas. Sebagai contoh bentuk kepemilikan media non-for-profit media organization adalah radio komunitas, zine, e-zine, dll. Pekerja dalam media ini relatif lebih bebas dan leluasa mengartikulasikan ide-idenya. Kedua, organisasi media yang dimiliki oleh negara atau publik (public/state owned media organizations). Model kepemilikan media seperti ini menyertakan kontrol negara dalam posisi yang penting. Manajemen media dalam model kepemilikan seperti ini memposisikan negara sebagai pihak yang menjadikan media sebagai alat penanam ideologi dan hegemoni. Ketiga, organisasi media yang dimiliki oleh swasta (privately owned media organizations). Model seperti ini mengindikasikan bahwa media dimiliki oleh swasta dan dikontrol oleh individu, keluarga, pemegang saham maupun holding company.16 15 Purwoaji, Zakaria, loc.cit. 16 Eoin Devereux., “Understanding The Media,” Potret Manajemen Media di Indonesia, ed. Amir Efendi Siregar, dkk. (Yogyakarta, 2010), hlm. 186-187. 10 Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang media, Lokananta adalah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh negara (public/state owned media organizations). Pada awal berdiri, Lokananta adalah perusahaan jawatan yang berada dalam naungan Deppen dan mempunyai tugas untuk menyuplai siaran bertujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan patriotisme rakyat indonesia untuk terus mengobarkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, Deppen juga mengemban mengkomunikasikan kebijakan pemerintah kepada masyarakat. tugas untuk 17 Pada masa orde baru, negara mempunyai peran yang sangat kuat terhadap keberlangsungan dan manajemen yang diterapkan pada perusahaan naungan Deppen. Peran tersebut tidak hanya didapati pada proses pendanaan, modal, dan sumber daya manusia. Tetapi juga pemanfaatan perusahaan naungan Deppen sebagai corong pemerintah dalam meredam gejolak serta alat propaganda yang menjaga kenyamanan berkuasa. Terdapat tiga bentuk badan usaha milik negara (BUMN) yang berada dalam naungan Deppen orde baru, yaitu; 1. Perum PNRI, 2. PN. Lokananta, dan 3. Perum Produksi Film dan Negara (PFN). Kegiatan operasional perusahaan tersebut pada umumnya bertugas untuk mensuplai siaran lembaga-lembaga penyiaran yang dimiliki oleh Pemerintah. Perum PFN mensuplai siaran Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan PN. Lokananta yang mensuplai siaran RRI. Hanya Perum PNRI yang terkesan tidak mensuplai siaran bagi instansi manapun. Era Deppen berhenti seiring dengan berakhirnya rezim orde baru yang ditandai dengan berhentinya Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. BUMN yang berada dibawah naungan Deppen mengalami masa transisi dan privatisasi secara penuh. Masa transisi merupakan masa yang tidak pasti bagi sebuah perusahaan negara. Berbagai macam persoalan melanda perusahaan tersebut terutama permasalahan manajemen. Pada masa ini, beberapa perusahaan negara mengalami proses likuidasi dan berganti naungan, tak terkecuali Lokananta. 17 Sejarah Singkat Departemen Penerangan. hlm. 4 11 Pasca reformasi, perusahaan negara berdiri dibawah naungan kementerian Badan Usaha Milik Negara. Pada masa ini campur tangan negara tidak sekuat dibandingkan dengan pada masa rezim orde baru. Perusahaan negara beroperasi layaknya perusahaan swasta pada umumnya yang mempunyai tujuan utama memupuk keuntungan. 1.6.3. Aliran Musik Rekaman dalam Industri Musik Pada awal berdiri, Lokananta merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau transcription service RRI, yang bertugas melaksanakan rekaman audio seni budaya Indonesia yang selanjutnya dicetak dalam bentuk piringan hitam sebagai bahan siaran RRI di seluruh Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 215 Tahun 1961 tentang Pendirian Perusahaan Lokananta merubah status Lokananta menjadi Perusahaan Negara (PN). Lokananta dengan status tersebut tidak hanya memproduksi piringan hitam yang berfungsi sebagai bahan siaran RRI, tetapi juga dapat dijual kepada masyarakat18. Sesuai dengan usaha yang dijalankan Lokananta, perusahaan rekaman adalah entitas bisnis yang meraup keuntungan dengan berjualan album rekaman fisik seperti kaset Compact Disc (CD), piringan hitam, Video Compact Disc (VCD), dan Digital Versatile Disc (DVD), melalui rekaman eceran19. Melihat dari ladang usahanya, Lokananta adalah perusahaan yang bergerak dalam bisnis musik. Menurut James F. Sundah, sebelum ada industri musik, awalnya terjadi bisnis musik. Bisnis musik mempunyai elemen dasar yang terdiri dari rasa, ekspresi dan batas yang kemudian dirancang sedemikian rupa hingga memiliki nilai ekonomi20. Apa yang dimaksud tentang elemen dasar yang terdiri dari rasa, ekspresi yang memiliki nilai ekonomi adalah musik itu sendiri. Musik yang dimainkan tentunya mempunyai batas loudness dan decibel yang kemudian dibantu oleh teknologi. Teknologi 18 Laporan Keuangan Tahun 1998 (Surakarta, 1999), hlm. 6 19 Putranto. Op.Cit., hlm. 106. 20 Purwoaji, Zakaria, loc.cit. amplify membantu 12 mengeraskan suara, teknologi rekaman mampu merekam suara, dan teknologi transmitting mampu memancarkan suara. Musik dapat didengar dan diapresiasi banyak orang dan mendatangkan keuntungan ekonomi dengan bantuan teknologi tersebut. Namun perlu disadari bahwa musik tersebut berasal dari 1 (satu) sumber ekspresi, yaitu artis yang memainkan musik. Berawal dari proses tersebut muncul istilah hak cipta, dimana pembuat musik harus mendapat bagian dari keuntungan ekonomi tersebut21. Musik juga dapat menimbulkan keuntungan ekonomi melalui performing rights, yaitu ketika artis bernyanyi di depan banyak orang dalam sebuah gedung dan terjadilah penjualan tiket. Pembagian royalti dari keuntungan penjualan tiket tersebut dibagi antara penyelenggara dan artis. Performing rights juga dapat terjadi ketika musik memasuki siaran radio, ketika konten musik diputar dan orang mulai mendengar kemudian disisipkanlah iklan. Iklan menghasilkan uang, dan radio membagi keuntungan dari uang yang didapat dari iklan dengan artis pencipta lagunya. Berikutnya, musik juga dapat direkam dan digandakan, hal tersebut dinamakan mechanical rights. Industri selalu berubah karena perkembangan jaman, teknologi, norma, hukum, dan trend baru22. Terdapat 3 (tiga) aliran yang tercipta dari pemanfaatan penjualan karya rekaman musik: Live appearances, Recordings, dan Songwriters23. Masingmasing 3 (tiga) aliran tersebut mempunyai hak hukum dan royalti yang mengikat. Penjelasan tentang 3 (tiga) aliran yang tercipta dalam pemanfaatan penjualan karya musik, akan dijabarkan pada bab selanjutnya. Negara pada awalnya memposisikan Lokananta sebagai pabrik piringan hitam, Lokananta yang mempunyai status Perusahaan Jawatan Radio Kementerian Penenerangan Republik Indonesia. Pendirian Lokananta tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, khususnya peranan RRI pada waktu itu yang ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui siaransiarannya yang bersifat patriotik. Lokananta dalam hal ini sangat berperan dalam 21 Putranto. Op.Cit. Hlm. 143. 22 Ibid. 23 Hull. Op. Cit., hlm. 17. 13 mengisi bahan-bahan siaran RRI dalam bentuk produk piringan hitam dengan materi-materi perjuangan dan kesenian tradisional24. Banyaknya antusias masyarakat terhadap Lokananta, membuat Lokananta memperbanyak lagu yang dimiliki dan menjualnya kepada khalayak luas. Diantara ribuan master lagu yang dimiliki oleh Lokananta, tercatat beberapa musisi legenda Indonesia pernah merekam jejak karya mereka di Lokananta. Sebut saja salah satu dari 10 (sepuluh) besar pianis jazz dunia, Bubi Chen yang pernah merekam karyanya di Lokananta. Bersama grup-nya, Bubi Chen Kwartet, yang salah satu anggotanya adalah Jack Lesmana merekam 8 (delapan) buah lagu di Lokananta. Lagu yang direkam diantaranya berjudul “Buaian Asmara” dan “Semalam”.25 Selain Bubi Chen, musisi legenda lain seperti Waljinah, Gesang, Sam Saimun, Bing Slamet, Idris Sardi juga pernah merekam karya mereka di Lokananta26. Nama besar yang disandang Lokananta sebagai perusahaan rekaman musik milik negara yang menguasai industri musik Indonesia pada era 70-80an menjadi perhatian tersendiri. Nasib Lokananta sekarang berbanding terbalik dengan keadaan terdahulu, sulit untuk berkembang. Keadaan tersebut mengundang simpati para musisi dan masyarakat untuk menyuarakan kembali Lokananta agar kembali bergema di khalayak luas. Berbagai gerakan dicanangkan oleh para musisi dan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, baik melalui langkah konkrit di dunia nyata maupun dunia maya. Gleen Fredly sebagai salah satu musisi pria di Indonesia pada saat ini merasa prihatin dengan keadaan Lokananta sekarang. Gleen yang menyebut Lokananta sebagai Rumah Musik Indonesia merasa tersentuh ketika mengetahui kondisi Lokananta terkini, keadaan yang serba memprihatinkan. Kejayaan Lokananta dalam industri musik Indonesia hanya masa lalu bagi Lokananta. Gleen Fredly sebagai musisi merasa harus kembali ke rumah untuk 24 Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan Tahun 1998 (Surakarta, 1997), hlm. 1 25 Purwoaji, Zakaria, loc.cit. 26 Wendi Putranto, “Blogs: Glenn Fredly dan Jasmerah LOKANANTA”, RollingStone Indonesia, diakses dari http://rollingstone.co.id/read/2012/10/12/173338/2061416/1291/blogs-glenn-fredlydan-jasmerah-lokananta, pada tanggal 5 April 2013. 14 ikut andil dalam menyelamatkan Lokananta. Bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam grup The Batuucakar, Gleen merilis paket DVD dan CD yang berisi 12 lagu dan diberi judul Gleen Fredly and The Bakuucakar Live At Lokananta. Selain merilis paket DVD dan CD bersama The Bakuucakar, Glenn juga menyelenggarakan konser untuk memperkenalkan kembali Lokananta kepada masyarakat secara luas, konser tersebut berjudul Lokananta Rumah Musik Indonesia, dan disiarkan disalah satu stasiun televisi swasta. Nama lain yang ikut andil dalam menggemakan kembali Lokananta adalah Pandai Besi. Dapat ditarik benang merah antara Pandai Besi dengan grup musik Efek Rumah Kaca (ERK), ada 2 (dua) personil Efek Rumah Kaca yang menjadi pioneer terbentuknya Pandai Besi, sedangkan personil lainnya adalah additional player tetap saat berada di panggung dalam memainkan lagu karya Pandai Besi. Pandai Besi terbentuk karena kebosanan personil Efek Rumah Kaca dalam memainkan repertoar lagu yang sama secara terus menerus. Panggung Joyland 2012 adalah sebuah titik dimana kemudian memunculkan ide untuk membuat konsep baru, konsep yang bernama Pandai Besi27. Proses rekaman lagu karya mereka direkam di studio rekaman musik milik Lokananta. Pada awalnya rekaman dengan menggunakan studio musik Lokananta bukan karena ingin memperkenalkan kembali Lokananta ke khalayak luas, bukan terkobar karena semangat ‘menyelamatkan Lokananta’, tetapi lebih karena studio Lokananta cocok dengan kebutuhan rekaman Pandai Besi, yaitu proses rekaman secara live dengan jumlah personil yang besar. Faktor itulah yang membuat Pandai Besi memilih Lokananta sebagai tempat yang cocok untuk kebutuhan merekam karya mereka28. Proses rekaman yang menggunakan studio musik Lokananta secara tidak langsung juga ikut mempromosikan Lokananta. Jika mengamati kembali, proses pembuatan album Pandai Besi ini didanai dengan cara pendanaan crowdfunding. Pendanaan yang dibiayai oleh khalayak yang diwujudkan di bawah community 27 M. Hilmi Khoirul Umam, “Di Antara Sisi-Sisi Pandai Besi”, Jakartabeat, diakses dari http://jakartabeat.net/resensi/konten/di-antara-sisi-sisi-pandai-besi, pada tanggal 4 April 2013. 28 Ibid. 15 label29. Tentu saja, kebanyakan khalayak yang mendanai album tersebut adalah fans Efek Rumah Kaca. Pandai Besi menawarkan paket-paket yang telah mereka siapkan dalam program crowdfunding. Paket-paket yang ditawarkan tersebut menggunakan gambar dan desain bertemakan Lokananta pada cover album CD dan merchandise kaos. Pandai Besi dengan cara tersebut ‘menempa’ nama Lokananta di hati para fans-nya yang sebagian besar anak muda. Lain halnya dengan White Shoes and The Couples Company, grup musik yang terdiri dari 6 (enam) personil ini juga ikut menggemakan kembali Lokananta. Mereka merilis album dengan format CD dan Piringan Hitam. Format piringan hitam yang digunakan adalah priringan hitam 7 (tujuh) inci yang berisikan 4 (empat) buah lagu. Pemilihan Lokananta sebagai tempat rekaman karena mempunyai nilai sejarah, lagu-lagu daerah banyak dirilis oleh perusahaan rekaman dan studio legendaris yang didirikan pada tahun 1956 tersebut. Lokananta merupakan studio yang paling megah pada zamannya namun kini terbengkalai dan nyaris bangkrut30. Fakta yang berbicara bahwa Lokananta sedang menuju colaps secara finansial, membuat Lokananta mengalami kesulitan dalam memelihara arsip musik berharga yang dipunyai. Selain itu, tidak ada lagi band yang berminat untuk merekam musik di studio rekaman Lokananta. Melalui rilisan mini album yang dikeluarkan, White Shoes and The Couples Company berharap dapat sedikit membantu memperkenalkan lagi Lokananta kepada generasi baru dan mengabarkan bahwa studio Lokananta adalah studio yang layak untuk dicoba oleh berbagai musisi untuk merekam beraneka ragam jenis musik31. 29 “CROWDFUNDING: Pandai Besi Rekaman di Lokananta”, Efek Rumah Kaca, diakses dari http://www.efekrumahkaca.net/en/crowdfunding-pandai-besi#.VLzDGiusVZ8, pada tanggal 4 April 2013. 30 Reno Nismara, “White Shoes and the Couples Company Akan Rekam Ulang Lagu Daerah di Studio Lokananta”, RollingStone Indonesia, diakses dari http://rollingstone.co.id/read/2012/10/10/195320/2059664/1093/white-shoes-and-the-couplescompany-akan-rekam-ulang-lagu-daerah-di-studio-lokananta, pada tanggal 4 April 2013. 31 Fakhri Zakaria, “Pengarsipan Musik Indonesia Payah”, jakartabeat, diakses dari http://www.jakartabeat.net/wawancara/konten/pengarsipan-musik-indonesia-parah, pada tanggal 4 April 2013. 16 White Shoes and The Couples Company juga berharap bahwa Lokananta tidak menjadi museum. Lokananta dengan koleksi lagu yang banyak, diharapkan dapat membuat arsip lagu yang mereka punyai. Selain itu Lokananta dapat aktif lagi sebagai perusahaan rekaman (label) dan meningkatkan kualitas studio rekamannya agar banyak yang berminat untuk merekam karya mereka di studio rekaman Lokananta32. Selain hati para musisi yang tergerak untuk menggemakan kembali Lokananta ke khalayak luas, muncul gerakan dari masyarakat untuk ikut serta mengangkat kembali pamor Lokananta. Gerakan tersebut diberi nama #Sahabat Lokananta yang diawali oleh beberapa individu melalui sosial media. Keberadaan sosial media yang ada seperti sekarang ini (twitter, facebook, dll) membuat masyarakat dapat terkoneksi satu sama lain dengan mudah dan cepat. Sosial media dengan berbagai karakteristiknya dapat menjadi alternatif untuk menyuarakan keadaan tertentu kepada khalayak luas. Melalui akun twitter @badutromantis, Intan sang pemilik akun bersama rekannya, membuat hastag #SahabatLokananta dan berbagi informasi ke khalayak luas tentang Lokananta melalui sosial media. Informasi yang berkembang secara luas tersebut memperoleh perhatian dari masyarakat dan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Gerakan yang diawali dari sosial media tersebut terwujud menjadi gerakan nyata yang ditandai dengan diadakannya kegiatankegiatan yang menarik khalayak terutama kalangan anak muda untuk lebih peduli terhadap Lokananta. Banyak hal yang telah dilakukan oleh para Sahabat Lokananta ini, mulai dari membuat aplikasi gamelan untuk perangkat mobile, konser amal untuk Lokananta, hingga akhirnya Festival Lokananta yang diadakan di Studio Lokananta itu sendiri. Acara yang digelar selama 2 (dua) hari ini menjadi salah satu acara akbar dari sebuah upaya menghidupkan kembali Lokananta. Berbagai macam musisi dari Indonesia datang sebagai pengisi acara Festival Lokananta, sebutlah Samalona, Homogenic, The Working Class Symphony, Down For Life, 32 Zakaria, loc.cit. 17 dan Seringai menjadi line up Festival Lokananta33. Selain itu, Sahabat Lokananta juga mempunyai kegiatan: membersihkan Lokananta secara rutin, pengarsipan, diskusi musik, kolaborasi seniman, belajar sejarah musik dan belajar bersamasama mempelajari isi dari Lokananta34. 1.6.4. Manajemen Media Musik Rekaman Para peneliti komunikasi banyak yang meneliti tentang beragam pesan, teks media, ataupun meneliti tentang penelitian yang lebih menjual, seperti brand image maupun riset pemasaran, tetapi banyak yang melupakan bahwa beragam teks, pesan dan yang lain-lainnya tersebut adalah hasil interaksi para pekerja media yang terorganisasi. Menurut Devereux, kajian manajemen media menjadi penting karena beragam teks media yang dikonsumsi oleh khalayak adalah hasil dari interaksi sejumlah besar pekerja media yang bekerja dalam organisasi spesifik. Misalnya pembuatan halaman depan sebuah majalah/koran, proses tersebut melibatkan editor, jurnalis, sub-editor, copywriters iklan, fotografer dan percetakan35. Begitu juga dalam karya sebuah musik yang dijual ke masyarakat. Sebuah karya musik yang sampai ke telinga masyarakat, tentunya tidak hanya sang pencipta lagu yang berperan, tetapi seluruh anggota yang bekerja dan berinteraksi mempunyai andil agar karya musik tersebut sampai ke telinga masyarakat. Riset manajemen media dapat membantu untuk mengatahui bahwa pesan media yang dikonsumsi oleh khalayak tidak hanya berasal dari keterampilan memproduksi dan menyebarkan pesan saja, tetapi berasal dari aspek keseluruhan media yang beroperasi. Manajemen media adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana pengelolaan media dengan prinsip-prinsip dan seluruh proses manajemennya dilakukan. Manajemen media mempelajari media sebagai industri yang bersifat 33 Denan Bagus, Haryorachmantyo Wijowarastro, “Festival Lokananta”, jogjastage.blogspot.com, diakses dari http://jogjastage.blogspot.com/2012/12/festival-lokananta.html, pada tanggal 5 April 2013 34 Intan Anggita Pratiwi Minharyanto, “Program #SahabatLokananta”, scribd, diakses dari www.scribd.com/doc/109275301/SahabatLokananta, pada tanggal 5 April 2013. 35 Eoin Devereux., “Understanding The Media,” Kajian dan Posisi Manajemen Media Serta Peta Media di Indonesia, ed. Amir Efendi Siregar (Yogyakarta, 2010), hlm. 91. 18 komersial maupun sosial, serta media sebagai institusi komersial maupun sebagai institusi sosial. Manajemen media mempelajari media secara secara lengkap mulai dari karakteristik, posisi, peranannya dalam lingkungan, sistem ekonomi, sosial, politik, dan juga perkembangan teknologi yang mempengaruhi dan harus diantisipasi. Manajemen media juga mempelajari pengelolaan media yang meliputi aspek-aspek filosofis, metodologis dan praktis, baik sebagai institusi komersial maupun sosial36. Posisi dan batas manajemen media dalam ilmu komunikasi dapat diketahui bahwa manajemen media merupakan bagian dari manajemen komunikasi dan bagian dari studi media. Sementara itu, manajemen komunikasi adalah turunan dari ilmu komunikasi37. Menurut Kung dalam Rahayu, manajemen media membahas tentang strategi perusahaan media mengelola bisnis media38. Manajemen media mengkaji sejumlah persoalan yang menyangkut fungsi manajemen, leadership, produksi content, marketing, sumber daya manusia, teknologi, budaya organisasi, dan sebagainya39. Sementara itu, manajemen media juga identik dengan faktor ketidakpastian. Hal itu dipengaruhi oleh perubahan regulasi, depresi ekonomi, sistem permodalan, perkembangan teknologi, meningkatknya tuntutan dan kesadaran publik, keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas, serta pergeseran minat konsumen media40. Manajemen media memberikan pengetahuan tentang pengelolaan media, prinsip-prinsip manajemen dengan seluruh proses manajemennya secara utuh yang meliputi berbagai fungsi manajemen, yaitu planning, organizing, influencing, budgeting, dan controlling. Lebih khusus, perkembangan teknologi perlu dipelajari secara intensif, khususnya yang mempengaruhi perkembangan 36 Amir Effendi Siregar, “Kajian dan Posisi Manajemen Media Serta Peta Media di Indonesia,” Potret Manajemen Media di Indonesia (Yogyakarta, 2010), hlm. 5 37 Ibid. 38 Lucy Kung, “Strategic Management in The Media: From Theory to Practice,” Kajian dan Posisi Manajemen Media Serta Peta Media di Indonesia, ed. Amir Efendi Siregar (Yogyakarta, 2010), hlm. 35 39 Rahayu, Op.Cit., hlm. 35. 40 Rahayu, “Manajemen Media Massa,” Potret Manajemen Media Indonesia, ed. Amir Effendi Siregar (Yogyakarta,2010), hlm. vii 19 media. Perkembangan ini perlu diantisipasi oleh manajemen media dan melakukan penyesuaian sesuai dengan perkembangan yang ada. Secara lebih komprehensif, manajemen media mempelajari media sebagai institusi sosial dan komersial. Keberadaan media dalam konteks komersial memberi gambaran bahwa media tersebut ditujukan untuk kepentingan pasar. Media dikelola sesuai dengan peranan dan fungsinya untuk kepentingan komersial. Media dalam konteks sosial mempunyai tugas sosial yang berguna bagi masyarakat 41. Robbins dan Coulter mendefinisikan manajemen sebagai proses mengkoordinasikan kegiatan kerja agar dapat selesai secara efektif dan efisien dengan atau melalui orang lain. Efisien mengacu kepada tujuan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari jumlah sumber daya yang sedikit, sedangkan efektif sering digambarkan sebagai ‘melakukan hal yang benar’, yaitu kegiatan kerja yang akan membantu organisasi mencapai tujuannya42. Perusahaan musik rekaman sebagai sebuah perusahaan juga harus menggunakan manajemen dalam menjalankan kegiatan operasional sehari-hari. Hal tersebut berujuan untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah dicanangkan. Perusahaan musik rekaman harus mampu menjalankan fungsi manajemen dalam mengatur sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya pesan/musik, teknologi yang dimiliki, serta sumber daya manusia. Menurut Pringles, Jennings dan Longenecker, manajemen adalah proses memperoleh dan mengkombinasikan manusia, keuangan, informasi, dan aset fisik untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara memproduksi sebuah produk atau jasa yang diinginkan oleh beberapa segmen masyarakat43. Terdapat 3 (tiga) alasan mengapa manajemen dibutuhkan oleh sebuah perusahaan44: 41 Siregar. Op.Cit. hlm. 5-6. 42 Stephen P. Robbins, Mary Coulter, Management (activebook) (New Jersey; Inc.A Pearson Education Company, 2002), hlm. 11. 43 Pringle, Peter K, Michael F.Starr, Electronic Media Management 5th edition (USA: Elsevier, 2006), hlm.3. 44 Morissan, Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi (Jakarta, 2008), hlm. 128. 20 a. Mencapai tujuan: manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi. b. Menjaga keseimbangan: manajemen dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan yang saling bertentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam organisasi. c. Mencapai efisiensi dan efektivitas: suatu kerja organisasi dapat diukur dengan banyak cara yang berbeda, salah satu cara yang umum dan banyak digunakan adalah dengan menggunakan patokan efisiensi dan efektivitas. Dewasa ini, perkembangan industri musik berkembang dengan pesat. Tidak hanya perubahan selera musik yang terus berevolusi dari waktu ke waktu untuk memenuhi selera masyarakat, tetapi juga adanya perkembangan teknologi yang memaksa seluruh aspek dari industri musik untuk berubah. Perusahaan yang bergerak dalam rekaman bidang musik sangat kental berhubungan dengan faktor seni, teknologi, inovasi, dan kreatifitas. Menurut Flew, industri musik merupakan salah satu industri kreatif. Tidak semua media bergerak dalam industri kreatif. Jenis-jenis media yang mempunyai karakter untuk masuk ke dalam industri kreatif yaitu: advertising, architecture, art, crafts, design, fashion, film, music, performing arts, publishing, R&D (research and development), software, toys & games, televisión & radio, video games45. Industri kreatif juga mempunyai ciri-ciri46: a. The shift of economic activities towards more knowledge-intensive sectors, particulary those involving extensive application of information and communication technology. b. Changing patterns of investment, with growing emphasis upon investment in “intangibles”, such as research adn development, organisational restructuring, and information communication technology. c. A general “upskilling” of the workforce across all economic sectors. d. Growth in exports of high technology products. 45 Terry Flew, New Media: An Introduction. Second Edition (Oxford, 2005), Hlm.132 46 Ibid. hlm. 124 21 Menurut Flew di atas, industri musik termasuk industri kreatif, perubahan demi perubahan yang ada dalam industri musik menyebabkan semua entitas bisnis yang ada dalam industri tersebut beradaptasi menyesuaikan perubahan. Robbins dan Coulter memaparkan ada 3 (tiga) perubahan dalam sebuah perusahaan dalam menghadapi dinamika industri, tak terkecuali perusahaan rekaman musik. Perubahan tersebut dimanakan sebagai organizational change. Perubahan dalam ranah organisasi menurut Robbins dan Coulter merujuk pada perubahan dalam struktur, teknologi, dan sumber daya manusia47. Perubahan pada struktur menyangkut perubahan tentang struktur komponen dan struktur desain, sedangkan perubahan pada teknologi menyangkut tentang proses kerja, metode, dan perlengkapan, sedangkan sumber daya manusia menyangkut tentang sikap, harapan, tanggapan, dan perilaku baik invidu maupun kelompok48. Fungsi manajemen menurut Robbins dan Coulter dapat dilihat melalui 4 (empat) macam, yaitu: planning, organizing, leading, dan controlling49. a. Perencanaan (Planning) Perencanaan terkait dengan tujuan organisasi. Dimana organisasi menetapkan strategi untuk mencapai tujuan dengan mengembangkan rencana untuk diintegrasikan dan dikoordinasikan dengan kegiatan kerja50. Perencanaan adalah proses untuk menentukan tujuan organisasi, diikuti dengan rencana atau strategi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Melalui sebuah perencanaan, tujuan organisasi yang hendak dicapai dapat diidentifikasi51. Tujuan dalam sebuah organisasi dapat dikategorikan sebagai berikut52: 1) Ekonomi: tujuan yang berkaitan dengan keuangan organisasi, yang berfokus pada pendapatan, beban, dan laba. 47 Stephen P. Robbins, Mary Coulter, Management. Eleventh Edition (New Jersey, 2012), hlm. 155. 48 Ibid. 49 Ibid., hlm. 9. 50 Ibid., hlm. 205. 51 Peter K, Starr, Op. Cit., hlm. 14. 52 Ibid. 22 2) Layanan: diprogram untuk menarik khalayak dan merespon kepentingan dan kebutuhan mereka. Layanan lebih mengutamakan kontribusi organisasi kepada masyarakat. 3) Personal: tujuan individu yang bekerja pada sebuah organisasi. Merancang sebuah perencanaan, terlebih dulu perusahaan harus memiliki misi atau tujuan unik perusahaan. Pernyataan misi menurut Morissan berfungsi memberikan sinyal bagaimana sebuah perusahaan mengukur tingkat keberhasilannya. Sedangkan tujuan organisasi atau biasa disebut visi, merupakan pernyataan tentang keadaan yang diinginkan oleh perusahaan, atau situasi yang tidak terdapat sekarang tetapi dimaksudkan untuk dicapai di waktu yang akan datang melalui kegiatan-kegiatan organisasi atau perusahaan53. b. Pengorganisasian (Organizing) Pengorganisasian adalah proses dimana sumber daya manusia dan sumber daya fisik disusun dalam struktur formal dan bertanggung jawab secara spesifik baik dalam bentuk unit, posisi, dan personil. Hal ini memerlukan konsentrasi, koordinasi kegiatan, dan manajemen pengendalian sebagai upaya untuk mencapai tujuan dalam sebuah organisasi54. Menurut Robbins dan Coulter, pengorganisasian sebagai proses untuk mengatur dan penataan kerja untuk mencapai tujuan organisasi55. Pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya yang dimiliki, dan lingkungan yang melingkupinya. Aspek dalam pengorganisasian adalah departementalisasi dan pembagian kerja. Departementalisasi merupakan pengelompokkan kegiatankegiatan kerja agar kegiatan-kegiatan sejenis dan saling berhubungan dapat dikerjakan bersama, hal ini tercermin dalam struktur formal organisasi. Sedangkan 53 Morissan, Op. Cit., hlm. 132. 54 Peter K, Starr, Op. Cit., hlm. 15. 55 Robbins, Coulter. (2012). Op. Cit., hlm. 265. 23 pembagian kerja merupakan pemerincian tugas agar tiap indiviu bertanggung jawab dan melaksanakan kegiatan tersebut56. Salah satu proses pengorganisasian adalah merancang struktur organisasi. Struktur organisasi adalah susunan formal pekerjaan dalam sebuah organisasi. Struktur yang dirancang dapat ditampilkan secara visual dalam sebuah bagan organisasi. Ketika pimpinan merancang atau mengubah struktur organisasi, pada dasarnya mereka terlibat dalam sebuah desain organisasi. Mendesain sebuah struktur organisasi pada dasarnya mempertimbangkan tentang 6 (enam) elemen: spasialisasi kerja, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi & desentralisasi, dan formalisasi57. Robbins dan Coulter juga memetakan perubahan dalam ranah organisasi. Pemetaan tersebut dijelaskan dengan cara membedakan antara traditional organization dengan new organization58. Traditional Organization New Organization a. b. c. d. Stable Inflexible Job-focused Work is defined by job positions a. b. c. d. e. f. g. h. Individual-oriented Permanent jobs Command-oriented Managers always make decisions Rule-oriented Relatively homogeneus workforce Workdays defined as 9 to 5 Hierarchial relationships e. f. g. h. i. j. k. l. m. Work at organizational facility during specific hours i. j. k. l. m. Dynamic Flexible Skills-focused Work is defined in terms of tasks to be done Team-oriented Temporary jobs Involvement-oriented Employees participate in decision making Customer-oriented Diverse workforce Workdays have no time boundaries Lateral and networked relationships Work anywhere, anytime Tabel 1.1 Perbedaan Traditional dan New Organization menurut Robbins dan Coulter 56 Morissan, Op. Cit. hlm. 142. 57 Ibid. hlm. 265. 58 Stephen P. Robbins & Mary Coulter, Management (New York, 2002), hlm. 11. 24 c. Memimpin (Leading) Leading adalah fungsi manajemen yang bekerja dengan cara melibatkan orang-orang untuk mencapai tujuan organisasi. Setiap organisasi mempunyai seorang pemimpin, tugas pemimpin dalam sebuah fungsi leading ini adalah memotivasi bawahan, membantu menyelesaikan, mempengaruhi individu atau tim pada saat mereka bekerja, memilih saluran komunikasi yang paling efektif, dan berurusan dengan masalah dan perilaku karyawan. Leading pada dasarnya adalah fungsi untuk memotivasi, memimpin, dan tindakan lainnya yang terlibat dalam berurusan dengan orang-orang59. Fungsi leading dalam literatur lainnya identik dengan dengan directing (mengatur). Fungsi directing yakni pemberian stimulasi pada karyawan untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dengan antusias dan efektif. Fungsi ini melibatkan proses motivasi, komunikasi, pelatihan dan pengaruh personal60. d. Pengawasan (Controlling) Setelah beberapa tahapan dan fungsi manajemen yang dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, dan memimpin, proses selanjutnya adalah pengawasan. Menurut Morissan, fungsi pengawasan merupakan proses untuk mengetahui apakah tujuan perusahaan sudah tercapai atau belum. Kegiatan pengawasan secara periodik terhadap masing-masing individu dan departemen memungkinkan pengelola perusahaan untuk membandingkan kinerja sebenarnya dengan yang telah direncanakan61. Pengawasan merupakan proses pemantauan pelaksanaan dari sebuah rencana dan pengambilan tindakan untuk memperbaiki kesalahan dan kelemahan serta mencegah terulangnya kesalahan dan kelemahan tersebut 62. Pengawasan dilakukan secara berkala, dengan tujuan untuk mengevaluasi para pekerja secara individu atau mengawasi perusahaan secara keseluruhan. Pengawasan dilakukan 59 Ibid. hlm. 9. 60 Peter K, Starr, Op. Cit., hlm. 17. 61 Morissan, Op. Cit., hlm. 159. 62 Peter K, Starr, Op. Cit., hlm. 14. 25 untuk membandingkan kinerja aktual sebuah perusahaan dengan kinerja yang direncanakan, jika tidak sesuai dengan perencanaan, maka diperlukan sebuah tindakan korektif63. Robbins dan Coulter juga berpendapat bahwa dalam sebuah proses manajemen harus ada beberapa tindakan evaluasi apakah semuanya berjalan seperti yang direncanakan. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa tujuan perusahaan terpenuhi dan pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sebagaimana mestinya. Pimpinan perusahaan harus memonitor dan mengevaluasi kinerja. Kinerja aktual harus dibandikan dengan tujuan yang ditetapkan. Jika tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat tercapai, maka tugas pimpinan adalah mengembalikan kinerja yang sedang dilakukan untuk kembali ke jalur yang telah ditetapkan. Fungsi manajemen controlling terealisasi dalam kegiatan monitoring, membandingkan, dan mengkoreksi64. Fungsi controlling kinerja dapat diukur dengan nilai. Contohnya, dalam sebuah station televisi, sebuah tayangan acara dapat diukur dengan besaran rating. Rating menunjukkan besaran penonton yang tertarik ke program tertentu, jika tidak sesuai dengan proyeksi, maka diperlukan solusi untuk menarik penonton dalam sebuah tayangan tersebut. Solusi tersebut bisa berupa perubahan dalam rencana untuk mencapai tujuan awalnya65. Kinerja dalam institusi media lainnya dapat diukur dari pendapatan penjualan. Pendapatan yang besar menunjukkan kinerja sebuah perusahaan berjalan efektif, sesuai dengan perencanaan yang dicanangkan. 1.6.5. Sumber Daya Perusahaan Musik Rekaman Berdasarkan pengertian di atas, manajemen adalah proses mengkoordinasikan manusia, keuangan, informasi, dan aset fisik untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara memproduksi sebuah produk atau jasa secara efektif 63 Ibid. 19 64 Robbins, Coulter. (2012). Op. Cit., hlm. 9. 65 Peter K, Starr, Op. Cit., hlm. 19. 26 dan efisien untuk menghasilkan jumlah yang maksimal sesuai dengan yang diinginkan oleh beberapa segmen masyarakat. Manajemen merupakan proses mengkoordinasikan sumber daya sebuah perusahaan. Sumber daya dan koordinasi yang ditekankan adalah proses penggabungan manusia, keuangan, informasi, dan aset fisik untuk mencapai tujuan utama organisasi66. Dapat dimengerti bahwa sumber daya perusahaan musik rekaman adalah manusia, keuancan, informasi (musik rekaman), dan aset fisik (teknologi). Sub bab ini akan mendekripsikan tentang sumber daya perusahaan musik rekaman yang terdiri dari, manusia, dana, musik rekaman, dan teknologi. a. Sumber Daya Manusia Sumber daya yang paling utama dalam sebuah perusahaan atau organisasi adalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia merupakan modal dan kekayaan yang terpenting dari setiap kegiatan manusia. Manusia sebagai unsur terpenting mutlak dianalisis dan dikembangkan dengan cara tersebut. Waktu, tenaga, dan kemampuannya dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan organisasi, maupun individu67. Kegiatan operasional perusahaan musik rekaman, sumber daya manusialah yang mengatur dan menjalankan sumber daya musik, teknologi, dan modal atau dana. Teknologi tinggi yang dimiliki oleh perusahaan seakan tidak berguna jika tidak ditunjang oleh adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sumber daya manusia juga menjadi indikator utama berkualitasnya sebuah perusahaan atau organisasi. Pentingnya sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan berhubungan dengan keseluruhan penentuan dan pelaksanaan berbagai aktivitas, kebijakan, dan program yang bertujuan untuk pengembangan dan pemeliharaan yang terkait 66 Ibid. Hlm. 3. 67 Abdurrahmat Fahoni, Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta, 2006), hlm. 8. 27 dengan usaha meningkatkan dukungan terhadap peningkatan efektivitas perusahaan68. b. Teknologi Industri media sangat terkait dengan perkembangan teknologi. Teknologi dalam kajian manajemen media cenderung ditempatkan pada konten. Perkembangan dan perubahan teknologi menjadi tantangan dalam manajemen media. Perusahaan yang bergerak dibidang media perlu menginvestasikan dananya dalam bidang teknologi. Menyesuaikan perlengkapan teknologi terkini yang sesuai dengan kebutuhan pasar berguna untuk tetap kompetitif dan beradapatasi memenuhi selera pasar. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat mengadopsi teknologi media yang terbaru dapat mendatangkan pendapatan baru dengan menarik segmen audiens baru atau meningkatkan loyalitas konsumen. Teknologi terbaru juga memerlukan biaya untuk mengadopsinya. Bahkan, karena adanya ketidakpastian pengembalian modal untuk pengadaan teknologi baru, perusahaan mungkin lebih memilih untuk tidak mengadopsi teknologi baru tersebut jika harganya terlalu mahal69. c. Musik Rekaman Tertulis di atas pada sub bab sebelumnya, dijelaskan bahwa musik adalah salah satu media massa. Dapat dipahami bahwa musik sebagai sarana untuk menyuarakan sebuah pesan kepada audience. Selain sebagai sebuah message, musik juga merupakan produk media. Musik yang berhubungan dan dijual kepada khalayak luas dapat disebut juga sebagai ‘information goods’. Reca dalam hal ini berpendapat tentang produk media yang berfungsi sebagai information goods70: 68 Marihot Tua Efendi Hariandja, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta, 2002), hlm. 3 Chan-Olmsted, Sylvia M, “Issues in Media Management and Technology,” Handbook of Media Management and Economic, ed. Allan B. Albarran, Sylvia. M. Chan-Olmsted, Michael O Wirth (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), hlm. 266. 69 Reca Arrese Angel, “Issues in Media Product Management,” Handbook of Media Management and Economic, ed. Allan B. Albarran, Sylvia. M. Chan-Olmsted, Michael O Wirth (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), hlm. 181. 70 28 Information goods as “anything that can be digitized”. From that point of view, Varian asserts that information goods carry three key properties: they are experience goods, they are subject to economies of scale, and they display features that resemble those of public goods. Musik diproduksi pada awal abad ke-17 dimana negara Inggris dan Amerika serikat menjual sheet music, yaitu secarik kertas yang berisi tulisan sebuah lagu yang berharga 25 hingga 60 sen. Dapat dipahami bahwa institusi industri musik diawali dengan berdirinya publisher, penerbit musik. Sheet music yang dirintis oleh Thomas Cross sekitar tahun 1695 berakhir setelah Thomas Alva Edison menemukan silinder berlapis timah yang berhasil merekam suara manusia71. Evolusi menikmati musik berkembang hingga saat ini, pada tahun 1877 Thomas A. Edison menciptakan Silinder Fonograf untuk menikmati musik, kemudian pada tahun 1894 diciptakannya piringan hitam oleh Emile Berliner. Selanjutnya, proses menikmati musik berkembang dengan menggunakan kaset pada tahun 1963, kaset pada awalnya didesain hanya untuk merekam suara, dan tidak cocok untuk merekam musik. Pada tahun 1982, perusahaan Philips dan Sony mengembangkan media penyimpanan rekaman musik digital yang bernama Cakram Padat atau CD. Proses menikmati musik semakin lama semakin canggih dan lebih mudah, pada tahun 1993 teknologi pengompresan musik dapat ditemui dalam bentuk data audio digital yang disebut MP3 (MPEG-1 atau MPEG-2 Audio Layer 3), setelah itu proses menikmati musik dapat dilakukan dengan menggunakan USB Flash Drive72. d. Dana Selain sumber daya manusia, teknologi, dan pesan, sumber daya lain yang tak kalah pentingnya adalah sumber daya dana atau modal. Dana dibutuhkan untuk menggerakkan kegiatan operasional perusahaan, seperti penggajian 71 Theodore KS, Rock ‘n Roll Industri Musik Indonesia Dari Analog ke Digital (Jakarta, 2013), hlm. 5. 72 “Evolusi Cara Menikmati Musik,” Koran Tempo, Januari, 2012, hlm. A8. 29 karyawan, pembelian bahan baku, teknologi, fasilitas, dan peralatan, serta keperluan perusahaan sehari-hari. Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat membawa dampak berubahnya persaingan pasar media serta memaksa perusahaan yang bergerak dalam bidang media dituntut untuk mengikutinya. Bagaikan pisau bermata dua, jika tidak beradaptasi dengan baik, maka akan tertinggal dengan kompetitor lainnya. Kegiatan operasional sebuah perusahaan harus didukung dengan modal / dana yang memadai untuk mengejar target yang telah ditetapkan. 1.7. Metodologi Penelitian 1.7.1. Pendekatan Sebuah penelitian tentunya berangkat dari adanya fenomena yang terjadi, dimana fenomena tersebut membutuhkan metode penelitian untuk diteliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Studi kasus adalah metode penelitian dimana dalam pelaksanaannya dilakukan pemeriksaan longitudinal, membandingkan perubahan subjek penelitian setelah periode waktu tertentu yang mendalam terhadap suatu kasus dengan menggunakan cara-cara yang sistematis dalam melakukan pengamatan, pengumpulan data, análisis informasi, maupun pelaporan hasilnya. Sebagai hasilnya, akan diperoleh pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat menjadi dasar bagi riset selanjutnya73. Menurut Yin, studi kasus adalah metode yang dianjurkan untuk digunakan apabila: (1) pertanyaan yang diajukan adalah ‘bagaimana’ atau ‘mengapa’; (2) penyidik memiliki sedikit kontrol atas kejadian yang diteliti; dan (3) fokus pada fenomena kontemporer pada kehidupan nyata74. Menurut Stake dalam Lincoln dan Dezin, penelitian sebuah studi kasus biasanya mencari sesuatu yang umum dan khusus dari sebuah kasus, namun hasil akhirnya sering kali memberikan sesuatu yang unik dan menarik. Keunikan 73 Putri Andriani Dinita, Critical Research Methodology (CREAME); Epistemologi (Jakarta, 2010), hlm. 41. 74 Robert K. Yin, Case study research: design and methods, (Beverly hills, 2009), hlm. 2. 30 berpeluang menyebar rata hingga mencakup: ciri khas atau hakikat dari sebuah studi kasus, latar belakang sejarah sebuah kasus, konteks atau setting sebuah kasus, konteks lain mencakup ekonomi, politik, hukum dan estetika, dan juga para informannya75. Menurut Yin ada 3 (tiga) tipe jenis penelitian studi kasus, yaitu: studi kasus eksplanatori, deskriptif, dan eksploratori76. Penelitian ini akan lebih menggunakan pendekatan deskriptif, dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendeskripsikan secara lengkap sebuah fenomena dalam konteks nyata. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis, mengintepretasikan, mencatat kondisi apa adanya yang terjadi dilapangan. Fenomena yang terjadi di perusahaan rekaman musik Lokananta menarik perhatian penulis. Ada bebarapa alasan mengapa penulis tertarik untuk mengungkapnya. Pertama, Lokananta adalah perusahaan rekaman musik legendaris milik negara, memiliki nama besar sebagai salah satu pioneer industri musik tanah air. Pada sub bab kerangka pemikiran di atas, Lokananta berdiri setelah beberapa tahun berdirinya perusahaan rekaman pertama di Indonesia, yaitu perusahaan rekaman Irama Record. Kedua, Lokananta adalah perusahaan musik dimana manajemen media rekaman musik dikelola oleh negara. Banyak pertanyaan yang bermunculan ketika manajemen media musik rekaman Lokananta berada dalam pengelolaan negara. Apakah mempunyai daya adaptif terhadap perkembangan industri musik saat ini, atau masih memegang teguh model manajemen lama?. Ketiga, manajemen media musik rekaman yang dilakukan di Lokananta sampai saat ini mengalami 2 (dua) perubahan naungan, yaitu dalam naungan Deppen dan Perum PNRI. 1.7.2. Desain Penelitian Penelitian tentang perusahaan rekaman musik Lokananta ini akan mendeksripsikan manajemen media rekaman musik yang terjadi dalam rentang waktu tahun 1996-2012. Menurut peneliti, dalam rentang waktu tersebut dapat 75 Lincoln YS, Denzin NK, Handbook of Qualitative Research, (Yogyakarta, 2009), hlm. 302. 76 Robert K. Yin, Op. Cit., hlm. 21. 31 menggambarkan manajemen media rekaman musik Lokananta baik dalam masa naungan Deppen dan Perum PNRI. Penelitian ini akan lebih banyak mendeskripsikan Lokananta pada masa naungan Perum PNRI dibandingkan dengan Deppen. Hal tersebut terkait dengan periodesasi waktu yang dipilih serta data yang diperoleh peneliti. Naungan Deppen dalam penelitian ini hanya berlangsung kurang lebih selama 2 tahun (1996-1998), masa transisi (1998-2004), dan Perum PNRI pada tahun 2004-2012. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian dimana peneliti memegang peranan penting dalam penelitian. Data yang diperoleh ditentukan oleh hubungan peneliti dengan narasumber yang diteliti. Peneliti dalam hal ini, harus menguasai teori dan alat penelitian yang sesuai dengan fenomena yang diteliti, peneliti juga harus mengetahui tentang informan yang akan dijadikan narasumber. Oleh karena itu, peneliti akan terlibat secara langsung untuk berinteraksi dengan sumbernya. Penelitian dengan menggunakan studi kasus tidak hanya tertuju atau terfokus pada objek utamanya saja, tetapi juga harus mengetahui fenomenafenomena yang terjadi di sekitar lingkup objek utama penelitian, dengan penjelasan itulah penelitian ini dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan rumusan masalah. 1.7.3. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperoleh untuk studi kasus bisa didapat dari dokumentasi, wawancara, dan observasi. Peneliti akan menggali data dengan menggunakan ketiga teknik pengumpulan data tersebut. a. Dokumentasi Peneliti mencari data atau informasi sebagai referensi dan acuan penelitian. Data diperoleh dari arsip-arsip data perusahaan rekaman Lokananta. Referensi diperoleh dari buku, internet, dokumen, majalah, koran, dan jurnal-jurnal yang terkait dengan fenomena penelitian. 32 b. Wawancara Peneliti bertatap muka secara langsung dengan informan dan mengajukan pertanyaan sehingga peneliti dapat mengetahui respon langsung dari informan, informan yang akan diwawancarai adalah informan utama dan informan pendukung. Teknik pengumpulan data dengan wawancara diharapkan akan memperoleh data yang valid. c. Observasi Kegiatan ini dilakukan dengan secara langsung mengamati keadaan objek penelitian di lapangan, yaitu di perusahaan musik rekaman Lokananta. Observasi dilakukan dengan cara melihat proses produksi dan penggandaan rekaman musik yang dilakukan di Lokananta, koleksi rekaman yang dimiliki oleh Lokananta, studio rekaman musik Lokananta, serta kegiatan kerja para karyawan Lokananta. d. Studi Pustaka Penelitian ini memerlukan berbagai macam data dan teori dari berbagai pustaka. Maka dari itu peneliti mengumpulkan teknik studi pustaka untuk melengkapi data dan teori yang berkaitan dengan penelitian. 1.7.4. Teknik Analisis data Menurut Robert K. Yin, dalam studi kasus ada 5 (lima) teknik untuk menganalisis: pattern matching, explanation building, time-series analysis, logic models, dan cross-case systhesis77. Penelitian ini akan menggunakan teknik analisis time-series, dimana peneliti di sini akan mengumpulkan informasi atau data mengenai perubahan gejala dari objek penelitian. Penelitian ini akan dianalisis dengan komponen analisis data menurut Miles dan Huberman, yang terdiri dari: a. Data reduction (reduksi data) Kesemestaan potensi yang dimiliki oleh data disederhanakan dalam sebuah mekanisme antisipatoris. Hal ini dilakukan ketika peneliti menentukan 77 Robert K. Yin, Case study research: design and methods, (Beverly hills, 2003), hlm. 2. 33 kerangka kerja konseptual (conceptual framework), pertanyaan penelitian, kasus, dan instrument penelitian yang digunakan. Jika hasil catatan lapangan, wawancara, rekaman, dan data lain telah tersedia, tahap seleksi data berikutnya adalah perangkuman data (data summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan (clustering) dan penyajian cerita secara tertulis. b. Data display (penyajian data) Konstruk informasi yang padat terstruktur yang memungkinkan pengambilan kesimpulan dan penerapan aksi. Penyajian data merupakan bagian kedua dari tahap analisis. Hal ini diperlukan untuk mengkaji proses reduksi data sebagai dasar pemaknaan. Penyajian data yang lebih terfokus meliputi ringkasan terstruktur (structured summaries) dan sinopsis78. c. Verifikasi (penarikan kesimpulan) Melakukan pengecekan bias-bias yang paling umum dan paling samar yang dapat masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan79. Proses ini dilakukan selama penelitian berlangsung, sejak awal penelitian, pengumpulan data dan proses penyusunan hasil penelitian. 1.7.5. Lokasi Penelitian Proses wawancara, observasi, dan dokumentasi dilakukan oleh peneliti di perusahaan musik rekaman Lokananta Surakarta yang teletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 379 Surakarta, mantan Kepala Lokananta di Jalan Kaliurang Km. 12.5, Ngaglik Sleman, serta mantan Direktur Lokananta era Deppen di Banyuanyar Surakarta. 1.7.6. Informan Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dimana pemilihan informan berdasar pada karakteristik tertentu yang mempunyai hubungan dengan penelitian. Informan yang terkait dalam objek penelitian ini mencakup informan yang pernah dan aktif dalam perusahaan 78 Lincoln, Denzin, Op. Cit., hlm. 592. 79 Ibid, hlm. 604. 34 rekaman musik Lokananta serta pemilik label rekaman lain. Informan dari Lokananta adalah pimpinan (informan utama) sebagai pengambil kebijkan, yaitu Pendi Haryadi dan Ruktiningsih sebagai kepala pada masa naungan Perum PNRI, serta Robertus Walidi yang pernah menjabat pada jajaran direktur pada masa naungan Departemen Penerangan. Selain itu penulis juga menggali informasi dari karyawan perusahaan rekaman musik Lokananta yaitu Titik Sugiyarti yang menjabat sebagai koordinator pemasaran Lokananta, Bembi yang menjabat sebagai koordinator produksi, Rumbay Rahmawati yang menjabat pada bagian keuangan dan SDM Lokananta. Informan lain adalah pemilik label rekaman lain yaitu Indra Menus sebagai pemilik perusahaan rekaman Doggyhouse Record yang berada di Yogyakarta. 1.7.7. Limitasi Penelitian Penelitian ini membahas tetang manajemen media musik rekaman perusahaan musik rekaman milik negara, Lokananta Surakarta. Fokus penelitian dibatasi sebatas manajemen media yang diterapkan di Lokananta pada masa naungan Departemen Penerangan dan Perum PNRI pada tahun 1996-2012. Penelitian ini juga membahas lingkungan eksternal perusahaan rekaman musik Lokananta Surakarta dimana lingkungan eksternal adalah peran negara dalam perusahaan rekaman Lokananta baik pada masa naungan Deppen dan Perum PNRI. 35