BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Penyakit TB secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan nekrosis pada jaringan. Sebagian besar kuman TB menyerang paru karena perjalanan kuman TB paru melalui saluran pernafasan, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang ,tahan asam dan dapat bertahan pada tempat lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat sebagai dormant. (American Thoracic Society, 2000; Depkes, 2005) Gejala klinis TB paru di bagi menjadi gejala sistemik dan gejala respirasi. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya timbul pada sore dan malam hari , disertai dengan malaise, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan dan kadang-kadang pada perempuan ditemukan gangguan siklus haid. Gejala respirasi meliputi batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih, sesak nafas disertai nyeri dada apabila telah mengenai jaringan pleura. (American Thoracic Society, 2000; Depkes, 2005) Patogenesis TB paru di bagi menjadi 4 fase. Penularan TB adalah melalui droplet berukuran 1-5µm tersebut akan menembus sistem mukosilier saluran nafas dan akhirnya sampai di bronchioles (fase1). Kuman M.TB akan menghadapi makrofag alveolar dan apabila mampu Universitas Sumatera Utara hidup di dalam makrofag maka kuman ini akan mengalami repikasi setiap 25-32 jam. Kuman TB akan menyebar melalui kelenjar getah bening hilus atau melalui monosit darah tepi menyebar melalui pembuluh darah kapiler (fase 2). Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki endotoksin maupun eksotoksin sehingga tidak ada respon segera terhadap infeksi kuman ini. Kelainan patologis akibat infeksi kuman tuberculosis bukan di sebabkan endotoksin ataupun eksotoksin seperti bakteri pathogen lain tetapi merupakan akibat respon imun terhadap kuman itu. Respon imun selular dapat dideteksi dengan reaksi positif terhadap uji tuberkulin apabila jumlah kuman mencapai 102 -104 (setelah 2-12 minggu). Proliferasi kuman akan terhenti setelah terbentuk respon imun selular atau bila respon imun yang terbentuk tidak cukup maka akan bekembang menjadi penyakit (fase 3). Pada beberapa orang terjadi reaktivasi dari infeksi laten sehingga terjadi nekrosis jaringan, pembentukan kavitas dan proliferasi jaringan (fase 4).(American Thoracic Society,2000;Depkes,2005) Panduan obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Besarnya dosis yang diberikan tergantung dari berat badan.(Aditama TY,2007) Pemberian OAT dibagi menjadi 2 kategori yaitu : • Kategori 1 - Fase intensif (2 bulan) : Rifampisin/ Isoniazid/ Pirazinamid/ Etambutol (RHZE) : 150/75/400/275 mg Universitas Sumatera Utara - Fase lanjutan (4 bulan) : RH (150/150 mg) – pemberian intermiten 3 x seminggu. Tabel 2.1 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 1 Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan Badan (kg) (tiap hari selama 2 (3 kali seminggu selama bulan) 4 bulan) RHZE RH < 38 2 tablet 2 tablet 38-54 3 tablet 3 tablet 55-70 4 tablet 4 tablet ≥ 71 5 tablet 5 tablet • Kategori 2 o Fase intensif (2 bulan) : RHZE (150/75/400/275) + Streptomisin o Fase intensif (1 bulan) : RHZE (150/75/400/275) o Fase lanjutan (5 bulan ) : RH (150/150) + E (400) Tabel 2.2 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2 Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan Streptomisin Badan (setiap hari – ( 3 kali seminggu (2 bulan 3 bulan ) – 5 bulan) diawal tahap RHZE RH + E intensif < 38 2 tablet 2 tablet RH + 2 tablet E 500 mg 38-54 3 tablet 3 tablet RH + 3 tablet E 750 mg 55-70 4 tablet 4 tablet RH + 4 tablet E 1000 mg ≥ 71 5 tablet 5 tablet RH + 5 tablet E 1000 mg Dosis harian berdasarkan berat badan dihitung berdasarkan formula: {(dosis harian fase intensif x hari berobat fase intensif) + (dosis Universitas Sumatera Utara harian fase lanjutan x hari berobat fase lanjutan)} / total hari berobat / BB subjek. 2.2 Etambutol Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik, larut dalam air, senyawa yang stabil dalam keadaan panas, dijual sebagai garam hidroklorid, struktur dextro-isomer dari ethylene di-imino di-butanol. (Katzung Betram G,1997; Noche RR.Nicolas MG dkk,1987) Gambar 1 :Struktur Kimia Etambutol (Katzung Betram G, 1997) Secara in vitro,banyak strain M Tuberculosis dan mikrobakteria lain dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1-5 μg/ml. Mekanisme kerja obat ini tidak diketahui. Etambutol diabsorbsi dengan baik dari usus. Setelah menelan obat ini 25mg/kg, kadar obat puncak dalam darah berkisar 2-5 μg/ml yang dicapai dalam waktu 2-4 jam. Dosis tunggal 15 m/kgBB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5 µg/ml pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol di dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke Universitas Sumatera Utara dalam plasma. Lebih kurang 20% dari obat ini diekskresikan dalam tinja dan 50% di urin dalam bentuk utuh, 10 % sebagai metabolit,berupa derivate aldehid dan asam karboksilat. Ekskresi obat ini diperlambat pada penyakit gagal ginjal. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak. Etambutol dapat meningen,pada menembus meningitis sawar tuberkulosa, darah otak etambutol bila inflamasi dalam cairan serebrospinalis lebih dari 10-40% dari kadarnya di serum (Katzung Betram G,1997;Zubaidi Y,1995). Resistensi terhadap etambutol timbul segera dengan cepat diantara mikrobakterium bila obat ini digunakan secara tunggal. Efektivitas pada hewan coba sama dengan isoniazid. In vivo ,sukar menciptakan resistensi terhadap etambutol dan timbulnyapun lambat tetapi resistensi ini timbul bila etambutol digunakan tunggal. Karena itu, etambutol selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat antituberkulosis lain. Etambutol hidroklorid 15 mg/kg, biasanya diberikan sebagai dosis tunggal harian yang dikombinasikan dengan INH atau rifampisin. Dosis obat ini sebanyak 25 mg/kg mungkin dapat digunakan. Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi (Katzung,1997), ;Zubaidi,1995). Efek samping yang sering terjadi yaitu ganguan penglihatan biasanya bilateral yang merupakan neuritis retrobular yaitu penurunan ketajaman penglihatan,hilangnya kemampuan membedakan warna merah-hijau terjadi pada beberapa penderita yang diberikan etambutol 25 mg/kg selama beberapa bulan. Kebanyakan perubahan-perubahan tersebut membaik bila etambutol dihentikan. Namun demikian, uji Universitas Sumatera Utara ketajaman mata secara periodik sebaiknya dilakukan selama pengobatan. Bila ada keluhan penglihatan kabur, sebaiknya dilakukan pemeriksaan lengkap. Bila pasien sudah menderita kelainan mata sebelum menggunakan etambutol , perlu dilakukan pemeriksaan cermat sebelum terapi dengan etambutol dimulai. Dengan dosis 15 mg/kg atau kurang, gangguan visual sangat jarang terjadi (Katzung,1997). 2.3 Patogenesis Toksisitas Etambutol Efek toksik etambutol telah dibuktikan secara in vivo dan in vitro pada tikus, dimana terjadi kematian sel-sel ganglion retina akibat jalur eksotoksik glutamate yang diinduksi etambutol .Etambutol dapat mengikat Cu dan Zn di sel-sel ganglion retina dan serabut-serabut saraf optik. Metabolit etambutol ,asam ethylenediiminodibutyric adalah pengikat Cu dan Zn yang kuat. Cuprum dan Zn diperlukan sebagai kofaktor sitokrom c oksidase, enzim utama untuk rantai transport dan untuk metabolism oksidase selular di dalam mitokondria. Selain mengurangi kadar Cu dan Zn yang berguna untuk sitokrom oksidase, etambutol juga mengurangi energy yang diperlukan untuk transport aksonal di sekitar saraf optik. Insufisiensi mitokondria di serabut nervus optikus dapat menyebabkan kerusakan transport di dalam nervus optikus sehingga terjadi neuropati optik. (Chung dkk, 2009) Etambutol bersifat toksik pada saraf retina terutama akson sel ganglion retina. Toksisitas akan akan lebih tampak dan makin memberat pada individu yang mempunyai kadar ion Zinc serum yang rendah . Hal ini Universitas Sumatera Utara karena kemampuan Etambutol dalam mengikat ion Zinc intraseluer menyebabkan konsentrasi ion tersebut di serum menurun. Penelitian Hence ,penurunan konsentrasi ion Zinc menimbulkan terjadinya atrofi optik toksik yang selektif . Sebaliknya, Heng melakukan penelitian pada kultur retina tikus didapatkan glutamate neurotoksik sebagai mekanisme selular dari etambutol yang menyebabkan kematian saraf ganglion ( Schield HS,Fox BC,1991) Gambaran hilangnya sel (khususnya sel ganglion retina) akibat toksisitas etambutol menyerupai kerusakan yang diperantarai glumat. Penelitian pada sistem saraf pusat menemukan bahwa kerusakan saraf akibat iskemik atau traumatik diperantarai oleh kadar eksitatory asam amino yang berlebihan, khususnya glutamat. Lucas dan Newhouse melaporkan efek toksik glutamat pada mata golongan mamalia ,dengan melakukan injeksi glutamat sehingga menyebabkan kerusakan yang berat pada lapisan dalam retina . Penelitian Lipton menyatakan bahwa bentuk predominan eksitotoksisk dari sel ganglion retina di perantarai oleh stimulasi yang berlebihan reseptor glutamat yang dapat menimbulkan kadar berlebihan dari Ca inraseluler ( Schield HS,Fox BC,1991) Universitas Sumatera Utara Gambar 2: Skema Patogenesis Toksisitas Etambutol (Kahana LM, 1990) 2.4 Manifestasi Klinis Onset dari timbulnya gejala pada mata biasanya terlambat dan mungkin terjadi dalam beberapa bulan setelah terapi dimulai. Meskipun jarang, kasus toksisitas beberapa hari setelah terapi inisiasi pernah dilaporkan, satu pasien diresepkan dengan standar dosis 15 mg/kg per hari, dan pasien lain diresepkan 25 mg/kg per hari. Tidak ada penelitian yang melaporkan onset timbul setelah penghentian penggunaan etambutol ( Su-Ann lim,2006; Zafar,Aftab,2008). Gejala klinis pada mata bervariasi pada setiap individu. Pasien mungkin mengeluhkan pandangan kabur yang progresif pada kedua mata atau menurunnya persepsi warna. Penglihatan sentral merupakan merupakan gangguan yang paling sering terkena. Beberapa individu asimtomatik dengan abnormalitas dan terdeteksi hanya saat tes penglihatan (Schield HS,Fox BC,1991;Sivakumaran P,1998). Universitas Sumatera Utara Diskromatopsia (abnormalitas persepsi warna) biasanya menjadi tanda toksisitas yang paling awal, secara klasik ditunjukkan dengan penurunan persepsi warna merah-hijau yang dinilai dengan kartu ishiara. Berlawanan dengan ini, polak dkk melaporkan bahwa defek biru-kuning adalah defek awal yang paling umum pada pasien tanpa gejala gangguan peglihatan. Namun defek biru kuning hanya dapat dideteksi menggunakan panel desaturasi Lantony yang jarang tersedia, bukan menggunakan ishiara. Pada pemeriksaan funduskopi biasanya tidak ditemukan kelainan.Untuk melihat perubahan nerve fiber layer menggunakan OCT (Optical Coherence Tomografy). ( Zafar,Aftab,2008) Gangguan penglihatan jarang terjadi sampai pasien berobat selama 2 bulan. Umumnya gejala timbul antara 4 bulan sampai 1 tahun setelah pengobatan. Efek samping dapat lebih cepat jika pasien menderita penyakit ginjal karena berkurangnya ekskresi obat sehingga level serum obat meningkat. Oleh karena itu dosis yang tepat pada pasien dengan kerusakan ginjal sangatlah penting. Toksisitas obat ini tergantung pada dosis, pasien yang menerima dosis 25 mg/kgBB/hari atau lebih paling rentan terhadap kehilangan penglihatan. Namun, kasus gangguan penglihatan dengan dosis yang jauh lebih rendah telah dilaporkan. Perbaikan tajam penglihatan pada pengguna etambutol umumnya terjadi pada periode beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah obat dihentikan. Beberapa pasien dapat menerima etambutol hidroklorida kembali setelah penyembuhan tanpa rekurensi dari penurunan tajam Universitas Sumatera Utara penglihatan. Follow up tajam penglihatan berkala tetap diperlukan pada setiap pengguna etambutol ( Schield HS,Fox BC,1991). 2.5 Optical Coherence Tomography (OCT) OCT adalah pemeriksaan dengan modalitas gambar resolusi tinggi yang pada awalnya dirancang untuk menilai retina dan ketebalan RNFL tapi dengan software yang baru dapat meningkatkan analisis terhadap ONH. Secara umum telah dikenal mesin OCT yang dikelompokkan menjadi 2 tipe yaitu OCT tipe Stratus (2D atau disebut Time Domain OCT) dan OCT tipe Cirrus (3D atau Spectral/Fourier Domain OCT). (Dennis S.L.,Yasuo T., Robert R., Srinivas K., 2008; Agustiawan R. 2011 ) Gambar 3. Stratus OCT™ Scanning time = 1.97 Sec (Dennis Yasuo T., Robert R., Srinivas K., Glaucoma Diagnostic, 2008) OCT dapat digunakan untuk melihat perubahan nerve fiber layer pada pasien neuropati optik seperti pada neuropati akibat etambutol. Oleh karena itu OCT dapat digunakan sebagai tambahan pemeriksaan objektif untuk memonitor pasien pengguna etambutol ( Zafar,Aftab,2008). Universitas Sumatera Utara 2.6 Tuberkulosis Okuli Beberapa jenis kelainan choroidal yang disebabkan oleh tuberkolosis seperti koroiditis,abses subretina,tuberkel dan tuberkulomas. Yellowish subretinal abses dapat terjadi nekrosis dalam granuloma tubercular. Vitritis dan perdarahan retina sering di jumpai berhubungan dengan abses. Progresifitas terjadi sejalan dengan waktu dimana abses dapat rupture masuk ke vitreous dan menyebabkan endophtalmitis. Pemberian terapi antituberkulosis yang sesuai dapat mereabsorbsi abses dan meninggalkan skar. Tuberkel koroidal adalah putih keabuan kecil sampai nodul kuning lebih kecil dari keempat diameter disk dan berbatas tidak tegas. Beberapa nodul dapat dijumpai pada satu atau kedua mata. Tuberkel dapat tumbuh lebih besar seperti massa tumor sampai 14 mm disebut tuberkuloma khoroidal. (Shirodkar A,Albini T,Miami,2010) Gambar 4. Fundus photography (A dan B) dan fluorescein angiography (C dan D) pada pasien dengan riwayat tuberkulosis paru (Shirodkar A,Thomas A,2010 ) Universitas Sumatera Utara 2.7 Penatalaksanaan Pemeriksaan mata dianjurkan setiap bulan untuk pemberian etambutol dosis 15 mg/kgBB/hari. Belum ada aturan perawatan yang standar berapa kali pasien harus di kontrol dan di periksa pada pasien dengan dosis besar dari 15 mg/kgBB/hari, maka di rekomendasikan ( Rick FW,Fritz FT,2009) : 1. Berikan inform consent pada pasien bahwa pemberian etambutol dapat menyebabkan neuropati optik walaupun telah dilakukan pemeriksaan mata regular dan hilangnya penglihatan dapat memberat dan irreversible. 2. Lakukan pemeriksaan dasar termasuk pemeriksaan lapang pandangan, ,penglihatan warna dan fundus dengan pupil dilatasi untuk pemeriksaan nervus optikus dan tajam penglihatan. 3. Jika gejala penglihatan terjadi dan pasien putus obat maka harus dilihat oleh ahli oftalmologi. 4. Dilakukan pemeriksaan setiap bulan untuk dosis lebih dari 15 mg/kgBB/hari. Meskipun demikian, pemeriksaan setiap bulan pada pasien yang mendapat terapi dosis rendah menjadi penting apabila mempunyai resiko tini terjadinya toksisitas : Diabetes mellitus Gagal ginjal kronik Peminum alkohol Orang tua Anak-anak Universitas Sumatera Utara Gangguan mata lain Ethambutol -induced peripheral neuropathy Dosis besar dari 15 mg/kgBB/hari Etambutol dihentikan setelah dijumpai tanda-tanda hilangnya tajam penglihatan, penglihatan warna atau defek lapang pandangan. (Rick FW,Fritz FT,2009) Etambutol harus segera dihentikan ketika toksisitas okuler yang diinduksi etambutol mulai diketahui dan pasien langsung dirujuk ke oftalmologis untuk evaluasi lebih lanjut. Penghentian terapi merupakan manajemen yang paling efektif yang dapat mencegah kehilangan penglihatan yang progresif dan sekaligus untuk proses penyembuhan. Ketika terjadi toksisitas okuler yang berat, dipertimbangkan pemberian agen antituberkulosis lain ( Rick FW,Fritz FT,2009). 2.8 Pencegahan Rekomendasi dari “Preventive measure against drug induced ocular toxicity during antituberculosis treatment” [dari Annual Report (suppl) 2002, pelayanan tuberkulosis dan paru,Departemen kesehatan ,Hongkong] Berdasarkan informasi klinis yang berlaku ,panduan internasional dan pengalaman dari ahli setempat ,standart berikut di rekomendasikan untuk pencegahan dari toksisitas okular selama pengobatan anti TB : ( Department of health Hongkong, 2002) Universitas Sumatera Utara a) Selama pelaksanaan dipertimbangkan untuk pengobatan anti kemungkinan dan TB, pasien harus kontraindikasi dalam penggunaan EMB. Pada keadaan tertentu dimana terjadi peningkatan resiko toksisitas okular. Keuntungan pemakaian EMB harus diseimbangkan dengan resikonya secara hati-hati. Ketersediaan, kegunaan dan toksisitas dari obat-obatan alternatif perlu diperhitungkan dalam memilih regimen pengobatan yang efektif. EMB dapat menjadi kontraindikasi ataupun penurunan dosis menjadi indikasi dalam beberapa keadaan: (i) Gangguan penglihatan dasar dapat membuat pengawasan terhadap tajam penglihatan menjadi sulit. Bagaimanapun,pada keadaan seperti kelainan refraksi dan katarak ringan yang tidak mempengaruhi perubahan penglihatan dengan cepa,harus diawasi visusnya selama pengobatan EMB. EMB sebaiknya dihindari pada pasien dengan visus yang sudah menurun dengan signifikan. (ii) Pasien yang sulit mengatakan atau melaporkan gejala pada penglihatan dan perubahan dalam penglihatan, seperti pada anak-anak atau pasien yang sulit berbicara akan mempersulit pengawasan tajam penglihatan. (iii) Gangguan fungsi ginjal bisa memicu perkembangan dari toksisitas okular yang berhubungan dengan EMB. Oleh karena itu,fungsi ginjal harus diperiksa terlebih dahulu dan selama pengobatan anti TB dijalankan. Anjuran dosis EMB pada kasus Universitas Sumatera Utara gangguan fungsi ginjal seperti ini telah ada pada panduan pengobatan TB masing-masing daerah. b) Untuk pasien yang sedang menjalankan pengobatan anti TB termasuk EMB,pendidikan kesehatan harus diberikan pada mereka yaitu mengenai efek samping obat dan harus sangat berhati-hati terhadap efek samping yang potensial yang dapat terjadi selama pengobatan. Pasien harus diingatkan apabila gejala penglihatan bertambah,obat harus dihentikan dan mereka harus segera melaporkannya pada staf kesehatan. Anjuran pada pasien seharusnaya dicatat pada laporan medis pasien tersebut. Pada kasus dimana perlu diberikannya EMB pada anak-anak atau pasien yang kesulitan berbicara, peringatan yang sama juga harus diberitahukan pada orangtua atau anggota keluarga yang lain. Instruksi yang tertulis akan berguna di kemudian hari. c) Pemeriksaan visus dasar yaitu tajam penglihatan dan persepsi warna merah hijau (menggunakan snellen chart & kartu ishihara) harus dilakukan sebelum terapi pengobatan dimulai. Ada kontroversial tentang pemeriksaan visus apakah perlu diberikan hanya untuk pasien yang memiliki faktor resiko, terutama pada pasien yang menggunakan dosis tinggi (25 mg/kgBB/hari) atau pada pasien yang pengobatan diperpanjang. d) Pasien dengan fungsi ginjal yang normal, dosis EMB yang dianjurkan adalah 15 mg/kgBB/hari diluar dari pengobatan TB. Bagaimanapun ,dosis yang lebih tinggi dari 25 mg/kgBB/hari dipertimbangkan pada berbagai kondisi tertentu seperti kasus TB yang berat, pasien yang Universitas Sumatera Utara resisten terhadap obat TB dan pasien dengan pengobatan berulang. Dosis yang tinggi ini tidak boleh diberikan lebih dari 2 bulan . Berat badan ideal harus dihitung pada pasien obesitas. e) Selama konsultasi medikal pada pasien yang menjalani pengobatan anti TB termasuk EMB, mereka harus menjelaskan gangguan penglihatan yang mereka alami, dianjurkan dilakukan setiap bulannya. f) Directly Observed Treatment (DOT) memungkinkan staf kesehatan bisa mengawasi perkembangan gejala pasien. g) Pasien yang menjalani dugaan toksisitas okular oleh karena obat harus diperiksa dengan pemeriksaan tajam penglihatan (menggunakan kartu snellen atau kartu ishihara). Pada penderita yang toksik, EMB harus dihentikan dan pasien dirujuk pada ahli mata untuk pengobatan lebih lanjut. Pemeriksaan ophtalmologi lebih lanjut seperti pemeriksaan funduskopi, tajam penglihatan, pemeriksaan lapang pandangan (perimetri) dan persepsi warna. Bila gangguan visus terjadi oleh karena alasan lain seperti katarak. EMB dapat dilanjutkan dengan mempertimbangkan kegunaan dan prokontra obat alternatif. Bila gangguan penglihatan terjadi karena berhubungan dengan pengobatan anti TB maka EMB harus dipertimbangkan. Pada kasus demikian, perencanaan pengobatan yang baru perlu dibuat lagi untuk menghilangkan faktor resiko misalnya pemeriksaan fungsi ginjal untuk setiap gangguan yang baru timbul. Universitas Sumatera Utara h) Jika terjadi neuritis optikus ,maka harus dihentikan. Piridoxine dosis tinggi (50-100 mg/hari) dipertimbangkan terutama untuk pasien dengan faktor resiko seperti malnutrisi ,alkoholik dan pasien usia lanjut. 2.9 Kerangka Konsep Pasien TB Sebelum pemberian terapi etambutol ( dosis 275 mg/tablet) Setelah 2 bulan pemberian terapi etambutol - Snellen chart - Ishiara chart -Farnsworth munsell 28 hue test - Funduskopi -OCT - OCT - OCT -Snellen chart -Ishiara chart -Farnsworth Munsell 28 hue test -Funduskopi -OCT -OCT -OCT Gangguan visus,Gangguan warna, RNFL thickness 2.10 Defenisi Operasional • Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular kronis yang di sebabkan oleh kuman mycobacterium tuberkulosis. • Etambutol adalah obat anti tuberkulosis • Snellen Chart adalah alat pemeriksa tajam penglihatan • Kartu Ishiara adalah alat pemeriksa buta warna. Universitas Sumatera Utara • Fansworth munsell test adalah alat pemeriksa gangguan persepsi warna. • Tajam penglihatan adalah fungsi penglihatan setiap mata • Gangguan persepsi warna adalah tidak bisa membedakan warna pada pembacaan kartu ishiara dan Farnsworth munsell 28 hue test (merah ,hijau, biru). • Rnfl thickness adalah ketebalan dari lapisan saraf retina • Optik Neuritis adalah peradangan pada saraf optic • OCT adalah alat untuk memeriksa nerve fiber layer. Universitas Sumatera Utara