BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 dalam pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia adalah individu yang berusia 60 tahun ke atas. Kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh World Health Organization (WHO), usia lanjut diklasifikasikan menjadi 4 yaitu: usia pertengahan (middle age) adalah 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008). Perkembangan pada lansia mencirikan tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses penuaan. Pada masa tersebut, seorang mengalami penurunan dan kemunduran fisik, psikis, dan sosial sedikit demi sedikit sehingga dalam melakukan membutuhkan oranglain. tugas sehari-harinya lansia Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada mahkluk hidup, termasuk jaringan, tubuh dan sel yang mengalami penurunan kapasitas secara fungsional (Desmita, 2005). Lansia psikologis, yang mengalami penurunan kondisi sosial, fisik, sehingga berbagai rentan 8 terhadap penyakit 9 degeneratif seperti penyakit jantung, kanker, hipertensi dan salah satunya Stroke (Papalia, 2009). 2.2 Stroke 2.2.1 Definisi Stroke Stroke atau cidera serebrovaskular (CVA) didefinisikan sebagai kondisi otak kehilangan fungsinya, yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak, sehingga oksigen tidak terpenuhi dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke merupakan suatu gangguan fungsi serebral yang terjadi baik fokal maupun global yang terjadi mendadak dan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam yang disebabkan oleh gangguan pada pembuluh darah (Ginsberg, 2005). Faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke yaitu hipertensi, penyakit kardioavaskular, kolestrol tinggi, obesitas, diabetes, merokok, konsumsi alkohol (Smeltzer & Bare, 2002). 2.2.2 Klasifikasi Stroke Menurut Sustrani, dkk (2003), secara garis besar stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke Hemoragik dan Stroke Non-Hemoragik atau iskemik. Stroke hemoragik merupakan stroke yang terjadi karena pecahnya pembuluh darah di otak sehingga otak mengalami hipoksia karena darah tidak dapat mengalir secara 10 semestinya. Menurut letaknya, stroke hemoragik dibagi menjadi 2 jenis: pertama, hemoragik intraserebral, yaitu perdarahan terjadi dalam jaringan otak. Biasanya mengenai basal ganglia, otak kecil, batang otak, dan otak besar. Pada kasus ini, sebagian besar orang yang mengalaminya bisa menderita lumpuh dan susah diobati. Kedua, hemoragik subaraknoid ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak Sustrani, dkk (2003). Masih dari sumber yang sama, Stroke Non-hemoragik (Iskemik) dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral. Stroke terjadi secara tiba-tiba bisa saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan, akan tetapi terjadi iskemia yang dapat menimbulkan hipoksia serta dapat timbul edema sekunder. Stroke iskemik terjadi pada sel-sel otak, sehingga otak kekurangan oksigen dan nutrisi yang disebabkan penyempitan ataupun penyumbatan pada pembuluh darah (arteriosklerosis). Arteriosklerosis terjadi akibat timbunan lemak pada arteri yang menyebabkan luka pada dinding arteri. Luka ini akan menimbulkan gumpalan darah (trombus) yang mempersempit arteri. Stroke hemoragik terbagi menjadi 3 jenis, yaitu: pertama, 11 stroke trombotik merupakan jenis stroke yang disebabkan terbentuknya trombus yang membuat penggumpalan. Kedua, stroke embolik merupakan jenis stroke yang disebabkan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan. Ketiga, Hipoperfusion sistemik merupakan jenis stroke yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung. 2.2.3 Penyebab Stroke Stroke dapat terjadi bila pasokan darah ke otak mengalami hambatan, sehingga jaringan pada otak tidak dapat memperoleh darah ataupun oksigen. Padahal otak merupakan salah satu organ tubuh yang sangat membutuhkan oksigen. Stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian, menurut Smeltzer dan Bare (2002) penyebab stroke adalah: (1) trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher), (2) embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain), (3) iskemia (penurunan aliran darah ke area otak), dan (4) hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan 12 kehilangan permanen atau sementara gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi. Faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke yaitu hipertensi, penyakit kardioavaskular, kolestrol tinggi, obesitas, diabetes, merokok, konsumsi alkohol (Smeltzer dan Bare, 2002). 2.2.4 Dampak Stroke Pasien pasca stroke biasanya mengalami perubahan seperti perubahan fisik, sosial, dan psikologi (Ginsberg, 2005). Menurut Smeltzer dan Bare (2002) stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung pada lokasi lesi dan luasnya kerusakan neuron pada fokal otak ataupun secara global (pembuluh darah yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesoris). Selanjutya, menurut Sustrani (2003) akibat stroke ditentukan oleh bagian otak mana yang cedera, tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah stroke, baik yang mempengaruhi bagian kanan atau kiri otak pada. 13 Dampak stroke umumnya adalah sebagai berikut (Ginsberg, 2005): 1. Gangguan Fisik Gangguan fisik stroke seperti kelumpuhan sebelah sebagian tubuh (hemiplegia) adalah cacat yang paling umum akibat stroke. Stroke yang menyerang bagian kiri otak, terjadi hemiplegia kanan. Kelumpuhan terjadi dari wajah bagian kanan hingga kaki sebelah kanan termasuk tenggorokan dan lidah. Dampaknya lebih ringan, biasanya bagian yang terkena dirasakan tidak bertenaga (hemeparesis kanan). Bila yang terserang adalah bagian kanan otak, yang terjadi adalah hemiplegia kiri dan yang lebih ringan disebut hemiparesis kiri. Pasien stroke hemiplegia kesulitan melaksanakan kegiatan sehari-harinya seperti berjalan, berpakaian, makan, buang air besar atau kecil (Sustrani, 2003). Apabila kerusakan terjadi pada bagian bawah otak (cerebellum), kemampuan seseorang untuk mengkoordinasikan gerak tubuh berkurang. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada kesulitan melakukan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan seharihari, misalnya bangun dari tempat tidur atau duduk, 14 berjalan atau meraih gelas. Ada juga pasien stroke yang mengalami kesulitan untuk makan dan menelan, disebut disfagia (dysphagia), karena bagian otak yang mengendalikan otot-otot yang terkait telah rusak dan tidak berfungsi (Sustrani, 2003). 2. Gangguan komunikasi Paling tidak seperempat dari semua pasien stroke mengalami gangguan komunikasi, yang berhubungan dengan mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan bahkan bahasa isyarat dengan gerak tangan. Menurut Smeltzer & Bare (2002), gangguan komunikasi yang timbul dapat berupa afasia ekspresif (kesulitan untuk menyampaikan kata-kata maupun tulisan, seringkali kata-kata yang terpikir dapat terucapkan tetapi tidak dapat dipahami), afasia reseptif (pasien stroke mengalami kesulitan untuk mengerti bahasa lisan maupun tulisan), afasia global (tidak mampu memahami bahasa sehingga tidak dapat menyampaikan pikirannya), disartia (mampu memahami bahasa verbal, tapi tidak dapat bicara atau bisu) (Sustrani, 2003). 3. Gangguan Emosional Pada saat individu mengalami penyakit kronis seperti stroke, maka individu dan keluarganya akan mengalami 15 guncangan dan ketakutan, hal ini disebabkan sesuatu yang dialami tidak pernah diduga sebelumnya (Sustrani, 2003). Dampak psikologi stroke juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Hama dkk., (2011) mengungkapkan bahwa pasien pasca stroke yang menderita kelumpuhan mengalami kedukaan dan rentan terhadap stres serta depresi. Respon emosional seperti stress dan depresi itu juga mengganggu pemulihan pada pasien selama rehabilitasi. Dalam membantu pemulihan pada pasien pasca stroke memerlukan pendekatan multidisiplin, difokuskan pada emosional dan fisik (rehabilitasi). Ginsberg (2005) menyatakan bahwa penyakit stroke dapat mempengaruhi psikologis penderita pasca stroke, ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh penderita pasca stroke yaitu: 1) Kemarahan Menurut Ginsberg (2005) kebanyakan penderita stroke, mengekspresikan amarahnya bahkan seringkali tidak patuh, melawan perawat, dokter dan ahli terapinya. Selanjutnya, Ginsberg (2005) penderita juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang 16 menyakitkan dan memukul secara fisik. Penderita juga sering memiliki amarah yang meledak-ledak. 2) Isolasi Menurut Ginsberg (2005) penderita kelumpuhan yang diakibatkan oleh stroke dapat mengakibatkan individu melakukan penarikan diri terhadap lingkungan, karena perasaan mereka sering terluka karena sering tidak diperdulikan oleh orang lain. Sering sekali temanteman mereka meninggalkan mereka sendirian karena tidak tahu bagaimana harus bereaksi dengan penderita kelumpuhan tersebut. 3) Kelabilan Emosi Menurut Ginsberg (2005) penderita stroke memiliki reaksi-reaksi Kelabilan emosional emosi yang merupakan membingungkan. gejala yang aneh terkadang penderita stroke tertawa atau menangis tanpa alasan yang jelas. 4) Kecemasan yang Berlebihan Menurut Ginsberg (2005) sebagian penderita mungkin memperlihatkan rasa ketakutannya ketika keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena mereka merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya. 17 Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan pada kemampuan bicara dan kelumpuhannya. 5) Depresi Menurut Ginsberg (2005) depresi adalah perasaan marah yang berlangsung di dalam batin, beberapa depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi penderita kelumpuhan pasca stroke akan bereaksi terhadap semua kehilangannya dan merasa putus asa. Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitkan dengan stroke. 2.3 Sumber Stressor Secara umum keadaan yang dapat menimbulkan stres adalah stressor. Menurut Maramis (1999) dalam Jaya (2015) stresor adalah keadaan atau kejadian yang menimbulkan stres sehingga memunculkan reaksi stres seperti ketakutan, kecemasan, dan kemarahan. Sumber stres dapat di timbulkan dari lingkungan sekitar misalnya keluarga, penyakit kronis dan lain-lain yang di sebut stresor psikososial. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan pada individu, sehingga individu perlu mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya (Hawari, 2008). Apabila seseorang yang 18 menerima stresor ini tidak dapat melakukan adaptasi dan mengatasi stresor tersebut, akan timbul berbagai keluhan, yaitu stres. Berikut adalah jenis stresor psikososial Hawari (2008): 1. Problem orangtua: Menjadi orangtua pada zaman sekarang ini tidak semudah seperti zaman dahulu. Hal ini disebabkan tatanan sosial dan ekonomi sudah jauh berbeda. 2. Hubungan interpersonal (antarpribadi): Hubungan antarsesama (perorangan atau individual) yang tidak baik dapat merupakan sumber stres seperti hubungan yang tidak serasi atau harmonis, tidak baik atau buruk, dengan teman atau sesama rekan, atasan dan bawahan, pengkhianat dan lainnya. Berinteraksi dengan lingkungan baru, bertemu macam-macam orang seringkali membuat seseorang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun apabila gagal dalam menyesuaikan dengan lingkungan yang baru hanya akan membuat seseorang tertekan dan menimbulkan stress bahkan depresi. 3. Pekerjaan: tidak bekerja ataupun kehilangan pekerjaan karena di PHK, akan berdampak pada gangguan kesehatan bahkan bisa sampai pada kematian. Ataupun 19 juga seseorang yang terbiasa bekerja apabila tiba-tiba kehilangan pekerjaan biasanya mengalami kejenuhan dan ketidak berdayaan, merasa tidak berguna terhadap dirinya, sehingga dapat menumbulkan stres. 4. Lingkungan hidup: Kondisi lingkungan hidup yang buruk, akan berpengaruh besar bagi kesehatan seseorang dimana seseorang yang baru tinggal dilingkungan baru perlu menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga jika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya bisa membuat orang menjadi stres sehingga berpengaruh terhafdap kondisi kesehatannya. 5. Keuangan: Masalah keuangan salah satu masalah utama karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari orang membutuhkan uang. Apabila kebutuhan fundamental seperti kesehatan tidak dapat terpenuhi karena keterbatasan untuk memperoleh uang seseorang cenderung melakukan hal-hal negative seperti keingingan untuk bunuh diri. Stres inilah yang pada akhirnya memunculkan perilaku-perilaku yang destruktif seperti tersebut di atas. Misalnya pendapatan lebih kecil dari pengeluaran, terlibat utang, kebangkrutan usaha, dan lain sebagainya. 20 6. Perkembangan: Yang dimaksud disini adalah tahapan perkembangan baik fisik maupun mental seseorang (siklus kehidupan). Misalnya menopause, masa remaja, masa dewasa, masa dewasa, usia lanjut dan lain sebagainya. 7. Penyakit fisik dan cidera: Berbagai penyakit fisik terutama yang kronis atau cedera dapat menyebabkan stres bahkan depresi pada diri seseorang, sebagai contoh misalnya penyakit jantung, paru-paru, stroke, kanker, HIV atau AIDS, dan lain sebagainya. Stres bisa memperparah penyakit yang derita, karena penyakit yang tak kunjung sembuh, pengobatan yang mahal, atau pikiran bahwa semakin hari sakit yang diderita semakin merepotkan diri dan keluarga. Stres pun muncul, akibatnya penyakit semakin parah. Stres bisa menjadi penyebab sekaligus akibat bagi penyakit. 8. Faktor keluarga: Sikap dan perilaku yang keluarga tunjukkan yang dapat menimbulkan stres atau tekanan pada seseorang seperti sikap acuh tak acuh, tidak perhatian, sering marah, kurang komunikasi dan lainlain. 21 9. Trauma: Seseorang yang mengalami bencana alam, pemerkosaan, kebakaran, peperangan, kekerasan, perampokan dan lain sebagainya. 2.4 Konsep Koping 2.4.1 Mekanisme Koping Mekanisme dalam koping menghadapi setiap masalah individu yang berbeda-beda dihadapi dalam hidupnya. Mekanisme koping diartikan menurut Keliat (1999, dalam Jaya, 2015), mekanisme Koping yaitu cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, dalam menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam. Pengertian mekanisme koping lainnya adalah usaha individu dalam mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres. Apabila mekanisme koping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut. Mekanisme koping dapat berupa positif ataupun negatif. Mekanisme koping positif memungkinkan perubahan diri saat lansia merenungkan pengalaman hidup dan pengetahuan yang sudah dia peroleh selama bertahun-tahun. Mekanisme koping negatif 22 memperlihatkan bahwa mereka berfokus pada kehilangan dan dalam pikiran mereka terbenam dalam masa lalu (Jaya, 2015). 2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi koping Setiap individu mempunyai cara masing-masing dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1995, dalam Jaya, 2015) dalam mengahadapi masalah mengidentifikasikan menolong manusia ataupun sumber koping yang untuk beradaptasi terhadap stres menyesuaikan diri dengan perubahan situasi/kondisi, sumber koping tersebut meliputi: 1) Kesehatan fisik: kesehatan merupakan hal yang penting, karena dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar. 2) Keyakinan positif: keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting untuk seseorang tetap optimis atau yakin. 3) Keterampilan memecahkan masalah: keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisis keadaan dan masalah dengan tujuan untuk menghasilkan tindakan, kemudian mempertimbangkan cara tindakan untuik mencapai tujuan dengan menghasilkan rencana yang tepat 23 4) Keterampilan Sosial: keterampilan yang terkait dengan komunikasi serta bertindak melalui cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. 5) Dukungan sosial: dukungan ini meliputi pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan keluarga, saudara, teman dan lingkungan sekitar tempat tinggal. 6) Materi: materi biasanya berkaitan dengan barang, uang atau layanan. 2.4.3 Jenis Koping Menurut Lazzarus & Folkman (1995, dalam Jaya, 2015) ada dua jenis coping yaitu: 2.4.3.1 Emotion-Focused Coping yaitu coping yang digunakan dalam mengontrol respon emosional dari masalah yang dihadapi. Koping ini biasanya dilakukan melalui pendekatan perilaku atau kognitif. Strategi koping ini biasanya digunakan ketika seseorang yakin bahwa mereka tidak mampu untuk merubah lingkungan. Biasanya strategi koping ini digunakan untuk penghindaran masalah. Yang termasuk dalam emotion-focused coping yaitu: 24 1. Seeking emotional support (mencari dukungan emosional): Untuk mendapatkan kenyamanan emosional, moral, seseorang simpati, mencari dukungan pengertian dengan mengungkapkan perasaannya kepada orang lain untuk mambangkitkan empati dan mencari teman untuk bicara. 2. Positive reinterpretation (menginterpretasikan kembali secara positif): menginterpretasikan situasi stres dengan pandangan positif dan berusaha mencari makna positif atau melibatkan diri pada hal-hal yang religius dalam menghadapi masalah dengan terfokus pada pengembangan diri. 3. Acceptance (penerimaan): usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapi dan berusaha membuat semua menjadi lebih baik dengan menerimanya dengan tulus. 4. Seeking meaning (mencari arti): mencoba mencari segi-segi yang menurutnya penting dalam hidupnya ketika mengalami kegagalan. 25 ketika mengalami kegagalan individu mencari pelajaran atau hikmah yang positif. 5. Distancing: usaha untuk tidak terlibat dengan suatu masalah, seperti menciptakan pandangan positif dengan menganggap bahwa tidak ada permasalahan yang dihadapi seperti menganggap masalah tidak begitu berat. 6. Denial (pengingkaran): Denial (pengingkaran): penolakan untuk percaya adanya stresor atau berusaha untuk bertindak seolah-olah stresor tidak nyata. 7. Self-blame (menyalahkan diri sendiri): merupakan strategi yang bersifat pasif yang lebih diarahkan ke dalam, daripada usaha untuk keluar dari masalah atau ketidakberdayaan atas masalah yang dihadapi dengan menyalahkan diri sendiri tanpa evaluasi diri secara optimal 8. Wishfull thinking: larut dalam kesedihan yang mendalam karena ideal diri yang terlalu tinggi sehingga sulit untuk menerima perubahan pada dirinya. 26 2.4.3.2 Problem-Focused Coping yaitu koping bertujuan untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya. Biasanya digunakan ketika seseorang yakin bahwa tuntutan atau sumber yang ada bisa diubah. Yang termasuk dalam problem-focused coping, 1. Active coping (koping aktif) mencakup memulai tindakan secara langsung, dalam meningkatkan usaha seseorang untuk mengatasi stres. 2. Seeking sosial support for instrumental reason (membutuhkan dukungan untuk peran): meliputi mendapatkan nasihat/saran, bantuan dan informasi ketika berhadapan dengan stres yang dialami. Tindakan individu yang diarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung, serta menyusun langkah yang akan dilakukannya. 3. Planning menghasilkan (merencanakan): strategi-strategi mencakup tindakan, memikirkan langkah apa yang mau diambil dan cara terbaik untuk mengatasi masalah. 27 4. Confrontative coping: melakukan tindakan secara agresif untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan, dengan ingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko. 5. Behavioral disengagement ketidakpedulian): acuh tak (perilaku acuh dengan keadaan cenderung pasrah tanpa ada usaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dan berdalih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obatobatan. 2.4.4 Penggolongan Mekanisme Koping Menurut Lazarus & Folkman (1984, dalam Jaya, 2015), mekanisme koping dapat digolongkan menjadi dua yaitu : 2.4.4.1 Mekanisme koping Adaptif Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme koping yang mendukung pertumbuhan, fungsu integrasi, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, untuk memecahkan masalah dengan cara yang efektif, teknik relaksasi dan aktivitas konstruktif yaitu menerima, berhubungan dengan orang lain, 28 melakukan aktivitas sehari-hari dan terpenuhi kebutuhan fisik. Menurut Lazarus & Folkman (2006) ada 8 strategi coping adaptif yaitu: Active coping (coping aktif), seeking emotional support (mencari dukungan emosional), seeking sosial support for instrumental untuk reason peran), (membutuhkan positive (menginterpretasikan kembali dukungan reinterpretation secara positif), planning (merencanakan), distancing, acceptance (penerimaan, seeking meaning (mencari arti). 2.4.4.2 Mekanisme Koping Maladaptif Mekanisme mekanisme koping coping yang maladaptif adalah menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya makan, adalah bekerja makan berlebihan, berlebihan/tidak menghindar dan aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi) ataupun koping tidak efektif yang menyebabkan marahmarah, menyendiri, merasa tidak berguna, sedih. 29 Menurut Gillen (2006) ada beberapa strategi koping maladaptif yaitu: Denial (pengingkaran), behavioral disengagement (perilaku ketidakpedulian), self-blame (menyalahkan dirisendiri), wishfull thinking, confrontative coping. 30 2.5 Kerangka Teori Lansia: Mengalami kemunduran kondisi fisik, sosial, dan psikologis Penyakit Degeneratif Stroke Stroke Hemoragik Stroke NonHemoragik Dampak: Gangguan komunikasi, emosional, dan fisik Emotion Focused Coping Seeking emotional focused Positive reinterpretation Acceptance Seeking meaning Distancing Denial Self-blame Wishfull thinking Adaptif Active Coping. Seeking Emotional Support. Seeking Sosial Support For Instrumental Reason. Positive Reinterpretation. Planning Distancing, Acceptance Seeking Meaning Problem Focused Coping Active Coping Seeking social support Planning Confrontative coping Behavioral disangagement Maldaptif Denial Behavioral Disengagement Self-Blame Wishfull Thinking, Confrontative Coping. Ket: - - - (garis putus-putus): Fokus penelitian GAMBAR 2.5 Kerangka Teori