Chapter I - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
ASI eksklusif merupakan pemberian air susu ibu saja kepada bayi selama
6 bulan pertama kehidupannya tanpa memberikan makanan tambahan cairan lain
seperti susu formula, air jeruk, madu, air putih, serta makanan padat seperti pisang,
biskuit, bubur susu, bubur nasi ataupun nasi tim. Pemberian ASI eksklusif pada
dasarnya merupakan kewajiban seorang ibu yang bertujuan untuk kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang bayinya secara optimal. Dalam ASI terkandung zat
kekebalan tubuh sehingga bila semakin sedikit jumlah bayi yang mendapat ASI
eksklusif, maka kesehatan bayi semakin buruk dan dapat mengakibatkan angka
kesakitan dan angka kematian bayi meningkat.
Salah satu sasaran Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015
adalah untuk mengurangi angka kematian anak balita. Target MDGs untuk
menurunkan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita hingga dua per
tiga dalam kurun waktu tahun 1990 sampai tahun 2013 yaitu sebesar 24 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2015. AKB di Indonesia masih tergolong tinggi bila
dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Berdasarkan Human
Development Report tahun 2010, AKB di Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran
hidup. Survey Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007 menunjukkan bahwa
AKB sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan target RPJM Kementerian
1
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan 2014 adalah sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup. Sekitar 40 % kematian
balita berada pada usia bayi baru lahir atau dibawah satu bulan ( Kemenkes RI,
2010).
Hasil penelitian di Ghana yang diterbitkan oleh jurnal pediatriks
menunjukkan bahwa 16% kematian bayi dapat dicegah melalui pemberian ASI pada
bayi sejak hari pertama kelahirannya. Angka ini naik menjadi 22% jika pemberian
ASI dimulai dalam 1 jam pertama setelah kelahirannya. ASI adalah asupan gizi yang
terbaik untuk melindungi bayi dari infeksi pernafasan, diare, alergi, sakit kulit, asma,
obesitas juga membentuk perkembangan intelegensia, rohani, perkembangan
emosional. Hasil telaah dari 42 negara menunjukkan bahwa ASI eksklusif memiliki
dampak terbesar terhadap penurunan an
gka kematian balita, yaitu 13% dibanding
intervensi kesehatan masyarakat lainnya (Roesli, 2010).
Saat ini usaha untuk meningkatkan pemberian ASI telah menjadi tujuan
global. Setiap tahun pada tanggal 1-7 Agustus adalah pekan ASI sedunia dan saat itu
jugalah kegiatan penggunaan ASI di evaluasi. Di Indonesia walaupun sejak tahun
1992 telah dilakukan kegiatan Rumah Sakit Sayang Bayi kemudian ditambah lagi
dengan kegiatan Rumah Sakit Sayang Ibu tahun 1999, situasi menyusuipun belum
seperti yang diharapkan.
Secara nasional, cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi
yaitu pada tahun 2007 turun dari 28,6% menjadi 24,3% pada tahun 2008 dan naik
lagi menjadi 34,3% pada tahun 2009. Cakupan ASI eksklusif yang ditargetkan dalam
Program Pembangunan Nasional dan strategi Nasional saat ini adalah 80%
Universitas Sumatera Utara
(Kemenkes RI, 2010). Sementara hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2010) di
Indonesia pemberian ASI baru mencapai 15,3% dan pemberian susu formula
meningkat tiga kali lipat dari 10,3% menjadi 32,5%.
Cakupan pemberian ASI eksklusif di Tapanuli Utara tahun 2012 sebesar
7,64% sangat rendah dibandingkan tahun 2011 sebesar 70,62%, tahun 2010 sebesar
83,55%, tahun 2009 sebesar 70,66% dan tahun 2008 sebesar 75,35%. Cakupan
pemberian ASI eksklusif di Tapanuli Utara tahun 2012 tertinggi di Kecamatan Pahae
Jae sebesar 24,60% dan terendah di Kecamatan Siatas Barita sebesar 3,54%. Hal ini
ternyata masih jauh di bawah target standar pelayanan minimum yang ditetapkan
secara nasional. Cakupan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal terutama
kurangnya ketersediaan sarana prasarana KIE ASI dan belum optimalnya kelompok
pendukung ASI (Profil Kesehatan Taput, 2012).
Rendahnya cakupan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh perilaku ibu
menyusui dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Menurut teori Green
bahwa perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yang terwujud dalam
pengetahuan, keyakinan dan nilai yang di anut ibu tentang pemberian ASI eksklusif
kepada bayinya. Sedangkan menurut Roesli (2010), fenomena kurangnya pemberian
ASI eksklusif disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pengetahuan ibu yang
kurang, beredarnya mitos yang kurang baik tentang ASI eksklusif, dan kesibukan ibu
bekerja serta singkatnya cuti melahirkan.
Bagi ibu yang aktif bekerja, upaya pemberian ASI eksklusif sering menjadi
hambatan karena singkatnya masa cuti hamil dan melahirkan. Ibu bekerja seharusnya
Universitas Sumatera Utara
tetap memberikan ASI kepada bayinya. Jika memungkinkan bayi di bawa ke tempat
ibu bekerja. Namun hal tersebut sulit dilaksanakan apabila di tempat bekerja atau
sekitarnya tidak tersedia sarana penitipan bayi atau pojok laktasi. Ibu bekerja bisa
menyusui bayinya sebelum berangkat bekerja dan setelah kembali pulang
kerumahnya ataupun memeras atau memompa ASI dan menyimpannya di lemari es
(Maryunani, 2012).
Banyak ibu mengatakan bahwa bekerja akan mengganggu proses menyusui.
Hal ini tidaklah benar karena ibu dapat mengambil cuti paling kurang selama enam
minggu sesudah melahirkan. Masa itu diperlakukan untuk menciptakan suasana
menyusui yang tenang dan hubungan yang dekat antara ibu dan anak. Bila ibu sudah
kembali bekerja, ASI dapat di tampung dan di simpan dalam botol dan diberikan
kepada bayi oleh anggota keluarga ketika ibu bekerja. Penampungan ASI dapat
dilakukan di rumah atau di tempat bekerja (Almatsier, 2011).
Pekerjaan ataupun kegiatan ibu sehari-hari sering dijadikan sebagai alasan
untuk memberikan bayinya susu formula. Penggunaan susu formula meningkat tiga
kali lipat. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya
ASI eksklusif dipengaruhi oleh produk-produk makanan tambahan dan formula.
Kemajuan teknologi dan canggihnya komunikasi serta gencarnya promosi susu
formula sebagai pengganti ASI membuat masyarakat kurang mempercayai
keunggulan ASI sehingga akhirnya memilih susu formula (Prasetyono, 2012).
Hikmawati, dkk (2008) memaparkan bahwa status pekerjaan ibu dan tingkat
pendidikan rendah merupakan faktor risiko kegagalan pemberian ASI. Hasil
Universitas Sumatera Utara
penelitian Fitria, dkk (2013) mengatakan umur <20 tahun masih belum matang secara
fisik, mental, maupun psikologi dalam pemberian ASI eksklusif pada bayinya.
Penelitian Hafni, dkk (2013) memaparkan bahwa pengetahuan dan paritas,
memberikan kontribusi terhadap pemberian ASI eksklusif. Sedangkan Penelitian
Rohani (2007) menunjukkan bahwa faktor pengetahuan mempunyai pengaruh
terhadap pemberian ASI eksklusif, hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi
peningkatan pemberian ASI eksklusif jika disertai dengan peningkatan pengetahuan
ibu tentang ASI eksklusif.
Subur, dkk (2012) terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dan
pengetahuan ibu. Semakin rendah pendidikan, maka semakin rendah kemampuan
dasar seseorang dalam berfikir untuk pengambilan keputusan khususnya dalam
pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0-6 bulan. Untuk mengatasi hal tersebut
sangat dibutuhkan dukungan keluarga dan peran petugas kesehatan dalam
memberikan informasi yang baik. Dukungan keluarga seperti suami, orang tua, dan
mertua merupakan faktor eksternal yang paling besar pengaruhnya terhadap
pemberian ASI eksklusif karena berhubungan dengan rasa percaya diri ibu.
Peran petugas kesehatan terhadap pemberian ASI eksklusif ini juga sangat
penting tidak hanya bagi bayi tetapi juga bagi ibu yang menyusui. Petugas kesehatan
yang terlibat pada perawatan selama kehamilan sampai bayi lahir biasanya adalah
seorang dokter dan bidan. Bidan merupakan ujung tombak kesehatan masyarakat.
Peran petugas kesehatan adalah promosi melalui pendidikan kesehatan. Petugas
kesehatan harus dapat menginformasikan kepada ibu agar memberikan ASI eksklusif
Universitas Sumatera Utara
kepada bayinya dengan menjelaskan manfaat dan komposisi ASI dibandingkan
dengan susu formula dan tidak memfasilitasi bayi baru lahir dengan susu formula.
Pemberian ASI diharapkan bisa membantu perekonomian Indonesia yang sedang
mengalami krisis ekonomi, sedangkan bagi perusahaan tempat ibu bekerja, pemberian
ASI dapat menghemat biaya pengobatan, meningkatkan produktivitas kerja dan
meningkatkan citra perusahaan sekaligus dapat meningkatkan kesehatan ibu dan bayi.
Hasil penelitian Isroni (2010) terdapat hubungan yang signifikan antara
peranan petugas kesehatan terhadap pemberian ASI eksklusif. Dari hasil analisis
didapatkan nilai OR=9,450 artinya ibu yang mendapat peran dari petugas kesehatan
berpeluang memberikan ASI eksklusif sebanyak 9,45 kali dibandingkan ibu yang
tidak mendapat peran dari petugas kesehatan. Menurut hasil penelitian Suryaningsih
(2013), ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu post partum
tentang ASI eksklusif dengan p value 0,000.
Namun, di Indonesia masih banyak petugas kesehatan maupun pelayanan
kesehatan (termasuk Rumah Sakit) yang belum mendukung pemberian ASI eksklusif.
Faktor lain dari petugas kesehatan yang mempengaruhi keberlangsungan pemberian
ASI eksklusif dan lama menyusui adalah pelaksanaan inisiasi menyusu dini oleh
penolong persalinan. Inisiasi menyusu dini merupakan permulaan kegiatan menyusui
dalam satu jam pertama setelah bayi lahir yang akan membantu keberhasilan
menyusui selanjutnya. Penelitian di Jakarta menunjukkan bayi yang diberi
kesempatan menyusu dini, hasilnya delapan kali lebih berhasil dalam pemberian ASI
eksklusif (Roesli, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Tanggal 1 Maret 2012 dikeluarkanlah PP Nomor 33 Tahun 2012 tentang
pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif yang ditandatangani oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Peraturan ini melaksanakan ketentuan pasal 129 ayat (2) UU
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Dalam rangka melindungi, mendukung,
dan mempromosikan pemberian ASI eksklusif perlu dilakukan upaya untuk
meningkatkan dukungan dari pemerintah, pemerintah daerah, fasilitas pelayanan
kesehatan dan tenaga kesehatan, masyarakat serta keluarga agar ibu dapat
memberikan ASI eksklusif pada bayinya (Kemenkes RI, 2012).
Rendahnya pemberian ASI merupakan ancaman bagi tumbuh kembang anak.
Bayi yang tidak diberi ASI setidaknya hingga usia 6 bulan, lebih rentan mengalami
kekurangan nutrisi. Berdasarkan data riset kesehatan dasar 2010 menunjukkan bahwa
pemberian ASI di Indonesia saat ini masih memprihatinkan. Persentase bayi yang
menyusu eksklusif sampai dengan 6 bulan hanya 15,3 %. Hal ini disebabkan
kesadaran masyarakat dalam mendorong peningkatan pemberian ASI masih relatif
rendah dan kurangnya pengetahuan. Banyak ibu yang tidak mendapat informasi atau
tidak tahu apa yang dilakukan saat pertama bayi lahir. Apalagi pihak rumah sakit
tidak mendukung dalam melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam
pertama kelahiran sebagai langkah awal dalam keberhasilan pemberian ASI Eksklusif
(Maryunani, 2012).
Hasil penelitian Siswanto, dkk (2010) tentang hubungan inisiasi menyusu
dini dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Kedungkandang Kota Malang didapatkan hasil bahwa bayi yang
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan ASI eksklusif 90 % mendapat IMD, sedangkan yang tidak mendapat
ASI eksklusif 70 % tidak mendapat IMD (p= <0,001; OR= 21).
Peneliti melakukan survei awal dengan mewawancarai 6 informan yang
memiliki bayi berumur kurang dari 12 bulan dan diperoleh jawaban bahwa saat bayi
baru lahir langsung diberi susu botol karena air susu ibu belum keluar; bayi sudah
lapar, maka harus cepat diberi susu formula agar bayi kenyang dan tidak rewel.
Informan juga mengatakan bahwa susu formula biasanya sudah dipersiapkan oleh
keluarga setelah bayi lahir ataupun bidan selaku penolong persalinan langsung
menganjurkan keluarga untuk membelinya.
Berdasarkan fenomena di atas, perlu dilakukan penelitian tentang “Hubungan
Karakteristik Ibu (Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Paritas, Pengetahuan), Dukungan
Keluarga, dan Peran Petugas Kesehatan dengan Pemberian ASI Eksklusif di
Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2014”.
1.2
Permasalahan
Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif dapat disebabkan karena
kurangnya pengetahuan dan kesadaran ibu tentang manfaat pentingnya pemberian
ASI eksklusif di dalam pertumbuhan dan perkembangan bayinya secara optimal.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian, bagaimana hubungan karakteristik ibu (umur,
pendidikan, pekerjaan, paritas, pengetahuan), dukungan keluarga, dan peran petugas
kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif di Kecamatan Siatas Barita Kabupaten
Tapanuli Utara Tahun 2014 ?
Universitas Sumatera Utara
1.3
Tujuan Penelitian
Menganalisis hubungan karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan,
paritas, pengetahuan), dukungan keluarga, dan peran petugas kesehatan dengan
pemberian ASI eksklusif di Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara
Tahun 2014.
1.4
Hipotesis
Ada hubungan karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, paritas,
pengetahuan), dukungan keluarga, dan peran petugas kesehatan dengan pemberian
ASI eksklusif di Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2014.
1.5
Manfaat Penelitian
1.
Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara sebagai bahan masukan
dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menyukseskan
pemberian ASI Eksklusif.
2.
Bagi Ibu yang memiliki bayi sebagai bahan masukan untuk menambah
wawasan tentang pentingnya manfaat pemberian ASI eksklusif pada bayi
berumur 0 sampai 6 bulan.
Universitas Sumatera Utara
Download