Wacana Budaya - Universitas Sumatera Utara

advertisement
WACANA DAN KEBUDAYAAN
Mulyadi, M.Hum.
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
1.
Pengantar
Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak hanya berbicara dengan bahasa dan dialek
yang berbeda, tetapi cara berbicaranya juga berbeda. Dalam beberapa masyarakat percakapan
yang normal berisi perdebatan, suara yang meninggi, dan emosi yang menonjol. Dalam
masyarakat yang lain orang justru menghindari perdebatan, berbicara dengan suara yang
lembut dan menjaga perilakunya. Pada beberapa negara di dunia berbicara pada saat orang lain
sedang berbicara dianggap tidak sopan, sedangkan pada beberapa negara lainnya hal ini malah
dianggap sebagai bagian dari kepandaian berbicara.
Refleksi dari perbedaan cara berbicara di antara dua masyarakat yang berbeda ini
secara lebih eksplisit dikemukakan oleh Ho-min Sohn, sebagaimana dikutip oleh Wierzbicka
(1994:1). Ia mengatakan bahwa orang Amerika memperlakukan setiap orang sama dalam
berkomunikasi sementara orang Korea berperilaku sopan pada sebagian orang, tetapi tidak
dengan yang lain. Orang Amerika yang marah cenderung mengeraskan nada sapaan, seperti
menyebut ’John’ untuk ‘Bapak John Smith’ sewaktu menyapa orang yang menjadi sasaran
kemarahannya, sedangkan orang Korea justru melembutkannya. Berbeda dengan orang
Amerika, orang Korea tidak menggunakan pronomina persona kedua bila menyapa pemimpin
masyarakatnya. Kemudian, orang Amerika dewasa umumnya menggunakan nama kecil seperti
‘Bob’ dan ’Liz’, sedangkan orang Korea dewasa sering menggunakan gaya bahasa yang sopan
dalam interaksi sosial sehari-hari.
Menggambarkan dan menjelaskan cara berbicara dalam kebudayaan khusus seperti itu
merupakan tugas kajian wacana dan kebudayaan. Tugas ini bisa diancangi dari berbagai arah
yang berbeda dan dengan menggunakan berbagai metode yang berbeda. Namun, para ahli
umumnya sepakat bahwa terlalu sulit jika pola berbicara dijelaskan dengan istilah yang
berhubungan dengan perilaku seseorang. Masalahnya, ada hubungan antara cara berbicara
khusus dan budaya masyarakatnya. Untuk itu, harus ditentukan lebih dahulu nilai-nilai dan
prioritas budaya dari pola berbicaranya. Buktinya bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti
survei atau wawancara, mengamati kebiasaan anak-anak, melalui pepatah-pepatah, ungkapanungkapan umum kebudayaan, analisis makna terhadap kata kunci kebudayaan, dan analisis
kebudayaan secara lebih luas.
Jelasnya, kajian terhadap perbedaan pola komunikasi dari budaya yang berbeda
memerlukan sebuah kerangka kerja yang tepat, sebuah jaringan universal yang diharapkan
dapat mendeskripsikan pola komunikasi yang alamiah dan memudahkan perbandingan pola
komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi nilai yang
berbeda, tetapi orientasi nilai itu sendiri merupakan kondisi yang diperlukan.
Mengacu pada kemajuan yang dicapai dalam memahami lintas budaya pada
dekade terakhir ini, (khususnya budaya Jepang dan Amerika), Edward Hall (1983:91),
dikutip oleh Wierzbicka (1994:2), menulis berikut ini :
“... there is one element lacking in the cross-cultural field, and that is the existence of
adequate models to enable us to gain more insight into the processes going on inside
people while they are thinking and communicating. We need to know more about how
people think is different cultures...”, ‘ada satu elemen yang kurang dalam bidang lintas
budaya, dan elemen itu adalah mengenai keberadaan model-model yang memadai
untuk memudahkan kita memperoleh wawasan yang lebih baik tentang proses dalam
diri manusia ketika sedang berpikir dan berkomunikasi. Kita perlu mengetahui lebih jauh
bagaimana orang-orang berpikir dalam kebudayaan yang berbeda’.
2001 digitalized by USU digital libary
Dalam semua penelitian lintas budaya, masalah metode yang dikesampingkan adalah
bias etnosentris, yaitu memahami praktik wacana kebudayaan lain melalui prisma kebudayaan
sendiri. Ada kebutuhan untuk menemukan perspektif universal dari bahasa yang mandiri pada
struktur wacana dan nilai-nilai kebudayaannya.
Dalam bab ini akan diselidiki berbagai ancangan yang berbeda dalam kajian wacana dan
kebudayaan kemudian diungkapkan aspek wacana budaya dari lima kebudayaan yang berbeda
(Jepang, Melayu, Polandia, Yankunytjatjara, dan Ewe). Dengan cara ini akan digambarkan
beberapa dimensi utama perbedaan lintas budaya dalam wacana.
1.2. Beberapa Ancangan Wacana dan Kebudayaan
1.2.1 Etnografi Komunikasi
Ancangan yang paling berpengaruh mengenai kajian wacana dan kebudayaan dikenal
sebagai etnografi komunikasi. Ancangan ini ditemukan Dell Hymes (1962) dan dikembangkan
lebih jauh oleh John Gumperz dan para ahli lainnya pada tahun 1970-an. Ketika itu teori
linguistik didominasi oleh konsep gramatika dan kompetensi bahasa Chomsky, yang gagasannya
berfokus pada struktur bahasa daripada penggunaan bahasa. Hymes menekankan bahwa untuk
menjadi pembicara yang berkompeten diperlukan lebih dari sekadar pengetahuan gramatika.
Ini berarti pengetahuan tentang bagaimana berbicara dengan cara yang tepat secara kultural
pada orang yang berbeda, topik yang berbeda, dan latar yang berbeda. Diterapkannya istilah
kompetensi komunikatif (communicatie competentece) untuk membahas semua ini bersama
dengan pengetahuan struktur bahasa.
Dalam mengkaji kompetensi komunikatif, Hymes menyatakan bahwa penelitiannya
berfokus pada peristiwa ujaran dalam kebudayaan yang berbeda. Secara kultural dikenal
beberapa aktivitas yang melibatkan ujaran; misalnya, bahasa gosip, khotbah, wawancara
pekerjaan, atau penilaian sidang di pengadilan. Aktivitas ini sebenarnya tidak hanya berbicara,
semua itu terbentuk melalui berbicara dengan cara dan latar yang tepat pada orang-orang
tertentu. Hymes menerangkan bahwa bagian dari pembicara yang berkompeten adalah
pemahamannya terhadap peristiwa ujaran dalam kebudayaannya. Dia menempatkan sebuah
kerangka dimensi peristiwa komunikatif yang disebut SPEAKING karena huruf-huruf di dalam
kata-kata itu bisa digunakan untuk menghapal, tetapi komponen-komponennya tidak mengikuti
urutan yang penting.
S : setting and scene, latar dan situasi (di mana dan kapan hal itu terjadi)
P : participants, peserta (siapa yang mengambil bagian)
E : ends, akhir (apa yang ingin dicapai peserta)
A : act, tindakan (apa yang dikatakan dan dilakukan)
K : key, kunci (apakah berupa nada emosional; misalnya, serius, sedih, gembira ?)
I : instrumentalities, instrumen (apa jalur yang digunakan; misalnya, lisan, tertulis, dan kode,
seperti bahasa, gaya-gaya ujaran ?)
N : norms of interaction and interpretation, norma interaksi dan interpretasi (mengapa orang
harus bertindak seperti ini ?)
G : genre (apa tipe peristiwa komunikatifnya ?)
Ahli etnografi komunikasi telah membuktikan pola-pola peristiwa ujaran dalam ranah
budaya yang luas. Metode pengumpulan datanya yang paling baik adalah mengamati peserta
dan mewawancarai penutur asli. Mereka sering menemukan perbedaan yang mencolok dari
norma-norma budaya Eropa. Misalnya, bagi orang Wolof di Afrika Barat, bertukar salam
merupakan aktivitas rutin yang berstruktur. Dalam salam pembuka, pujian kepada Tuhan, tanya
jawab tentang kesehatan anggota keluarga, ada asumsi budaya yang kompleks tentang tingkat
sosial dan perilaku yang tepat di antara perilaku yang berbeda. Orang luar tentunya tidak
menyadari hal itu, tetapi setiap ucapan salam menentukan tingkatan-tingkatan relatif peserta.
Seperti dalam ungkapan Wolof, 'jika dua orang saling memberi salam, yang satu akan merasa
malu dan yang lain merasa bangga'.
2001 digitalized by USU digital libary
Bagi orang Apache, memberi salam memerlukan bentuk perilaku yang berbeda. Bentuk
yang umum adalah diam dalam waktu yang lama. Perilaku ini merupakan contoh terbaik dari
fakta bahwa bentuk verbal yang sama mungkin memiliki fungsi yang berbeda dalam budaya
yang berbeda. Perilaku ini tampaknya sama dalam setiap bahasa, tetapi interpretasinya berbeda
secara luas.
Contoh lain, di Jepang ada kepercayaan bahwa jika sebuah pengalaman diungkapkan
dengan kata-kata, maka makna riilnya akan hilang. Jadi, kapan pun emosi seseorang mencapai
puncaknya, apakah karena kematian orang tuanya, atau kabar gembira tentang anaknya yang
lulus ujian masuk perguruan tinggi, atau pemandangan yang sangat indah, maka hal-hal yang
demikian tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Perlu dicatat bahwa walaupun karya Hymes telah banyak mengilhami studi wacana dan
kebudayaan, sebenarnya hanya beberapa kerangka SPEAKING yang digunakan untuk
mengorganisasi penjelasannya. Apa yang coba dilakukan oleh Hymes ialah menempatkan
sebuah kerangka kerja dalam mengumpulkan data pada peristiwa ujaran secara lintas budaya
(disebut kerangka etis). Untuk menjelaskan fenomena wacana dalam kebudayaan, komponen
terpenting adalah komponen norma .
Faktanya, sebagian besar studi etnografi komunikasi menghabiskan sebagian waktunya
untuk menjelaskan hal ini. Norma interaksi mengacu pada aturan bagaimana orang-orang
diharapkan berbicara dalam peristiwa ujaran tertentu; sering terjadi ketidaksadaran dan hanya
dapat diliput oleh makna tidak langsung, misalnya, dengan mengamati reaksi bila mereka
terganggu. Semua pengetahuan dari budaya yang lain diperlukan untuk memahami peristiwa
komunikatif yang terjadi berdasarkan norma-norma interpretasi. Kesulitan utama dalam
menggunakan ancangan etnografi komunikasi adalah keterbatasan metode dalam menjelaskan
norma-norma budaya; dalam praktiknya, setiap ahli etnografi kembali pada caranya masingmasing.
1. 2.2 Pragmatik Kontrastif
Di bawah judul ini bisa diidentifikasi beberapa tradisi penelitian untuk memahami polapola percakapan dalam beragam budaya. Sebuah tradisi diusulkan oleh filosof H.P. Grice (1975)
yang mengatakan bahwa semua komunikasi manusia dijembatani oleh prinsip-prinsip universal
yang dikenal sebagai maksim percakapan; misalnya, berani, informatif, relevan, dan jelas.
Ide dasarnya adalah mengubah informasi menjadi fungsi percakapan secara prototipe. Namun,
maksim Grice tidak berlaku pada semua kebudayaan. Pada masyarakat desa di Malagasi,
misalnya, orang tidak diharapkan memuaskan kebutuhan informasi pendengar karena, pertama,
kekurangan informasi menunjukkan tingkat status dan kedua, ada
ketakutan membela
pendapat tertentu karena akan menyebabkan tsiny ('rasa bersalah') pada seseorang dan
keluarganya.
Yang lainnya ialah tulisan Brown dan Levinson (1978) tentang kesopanan universal
(beberapa aplikasinya lihat Gunarwan, 1992, 1994, 1999) Mereka menyatakan semua
kebudayaan memberikan pembicara dua tipe strategi yang luas untuk mengimbangi
gangguan dalam tindak komunikatif : strategi kesopanan positif menarik identitas dan perhatian
umum bersama, sedangkan strategi kesopanan negatif menekankan otonomi dan kemandirian
pembicara dan lawan bicara. Jelas bahwa setiap strategi keuniversalan kesopanan harus
dikaitkan dengan kebudayaan.
Dalam penelitian yang berorientasi universal terdapat pragmatik kontrastif yang
terpusat pada realisasi kebudayaan dari tindak ujar. Salah satu studi terbesarnya adalah Proyek
Realisasi Tindak Ujar Lintas Budaya (Cross Cultural Speech Act Realisation Project), yang
membedakan cara meminta dan memaafkan dalam bahasa Argentina, Spanyol, Australia,
Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, dan Ibrani Israel (Blum-Kulka, House dan Kaspar, 1989).
Sejumlah studi penting dalam masalah ini telah diuji secara pragmatik antarbahasa, yaitu
wacana bukan penutur asli pada bahasa kedua dan beberapa studi lain mengkaji orang-orang
dari latar budaya dan bahasa berbeda yang berinteraksi dalam sebuah bahasa pengantar.
2001 digitalized by USU digital libary
Penelitian pragmatik kontrastif menggunakan metode yang berbeda
dibandingkan
dengan etnografi komunikasi, seperti kuesioner, survei, dan komplesi wacana. Teknik elisitasi
data memberi kemungkinan untuk analisis statistik walaupun yang direpresentasikan ujaran asli
yang spontan.
1.2.3 Kajian Kebudayaan
Dua ancangan yang lebih mendalam untuk mempelajari aspek kebudayaan dalam
wacana adalah linguistik antropologi dan studi komunikasi antarbudaya. Linguistik antropologi
mengarah pada disiplin antropologi. Studi ini bertujuan memahami penggunaan bahasa yang
tepat dan mengangkatnya dalam kebudayaan yang lebih luas. Studi ini sering tampak pada
praktik kebudayaan yang mendetail.
Studi antarkebudayaan biasanya berfokus pada masyarakat tingkat nasional, seperti
Jepang atau Cina, dengan membandingkannya dengan kebudayaan Anglo-Amerika. Tujuannya
adalah untuk mengurangi kesalahpahaman dalam bisnis atau relasi internasional. Yang terbaik
dari studi ini adalah adanya wawasan yang penting pada kajian wacana dan kebudayaan, yang
sering dijumpai dalam bentuk anekdot.
1.2.4 Wacana Kebudayaan
Meskipun ancangan yang digambarkan sejauh ini membuktikan pentingnya hubungan
wacana-kebudayaan, bidang tersebut secara menyeluruh berlanjut pada beberapa masalah
yang rumit, seperti bagaimana aturan kebudayaan (norma, strategi, dll.) dalam wacana
seharusnya dikemukakan. Biasanya digunakan label teknis (atau semiteknis), seperti langsung
lawan tak langsung, formal lawan informal, sebagaimana metabahasa deskriptif, tetapi istilah
ini digunakan dengan makna berbeda oleh penulis yang berbeda. Misalnya, kalau pola ujaran
bahasa Jepang dipertentangkan dengan pola ujaran bahasa Inggris, maka pola ujaran bahasa
Jepang digambarkan tak langsung, sedangkan pola ujaran bahasa Inggris langsung. Namun,
jika bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Ibrani, maka pola ujaran bahasa Inggris
menjadi tak langsung dan bahasa Ibrani menjadi langsung. Perbedaan ini tidak bersifat
kuantitatif, tetapi kualitatif. Kebudayaannya berbeda dengan apa yang disebut tak langsung,
bagaimana menjadi tak langsung, dan yang terpenting, mengapa menjadi tak langsung.
Masalah yang lain ialah jika metabahasa untuk perbandingan lintas budaya terdiri atas
istilah, seperti kelangsungan, penghormatan, wajah, kesopanan, hierarki, dan sebagainya,
analisis yang dilakukan dengan mudah memasukkan etnosentris karena konsep yang relevan
tidak ditemukan dalam kebudayaan yang digambarkan dan bahkan biasanya tidak dapat
diterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa yang bersangkutan. Studi etnografi berupaya
mengatasi hal ini dengan memasukkan istilah asli (mis. tsiny dalam bahasa Malagasi, enryo
'pengekangan' dalam bahasa Jepang, kunta 'malu' dalam bahasa Yankunytjatjara) dalam
deskripsinya. Namun, kesulitan dalam terjemahan muncul. Tanpa metode analisis semantik
leksikal, ahli etnografi jarang berhasil menjelaskan kandungan konseptual dalam istilah asli.
Masalah ini ternyata dapat diatasi dengan menggunakan makna alamiah metabahasa
(Natural Semantic Metalanguage, NSM), yang dikembangkan oleh Anna Wierzbicka dan rekanrekannya selama bertahun-tahun dalam penelitian semantik lintas bahasa. Metabahasa ini terdiri
atas sekelompok kecil makna sederhana yang terbukti dapat diungkapkan dengan kata-kata
atau kelompok morfem dalam semua bahasa. Misalnya, ORANG, SESEORANG, SESUATU, INI,
MENGATAKAN, MEMIKIRKAN, INGIN, MENGETAHUI, BAIK, BURUK, TIDAK. Kata-kata ini
merupakan leksikon universal; maknanya dapat diterjemahkan dengan tepat pada semua
bahasa. Kata-kata itu bergabung sesuai dengan kelompok kecil pola gramatika universal, terdiri
atas bahasa mini yang merupakan alat yang ideal untuk semantik lintas bahasa. Bagian
terbesar dari penelitian semantik empiris dirancang dengan ancangan NSM, yang banyak
berfokus pada kata kunci kebudayaan, tindak ujar, dan partikel wacana--semua elemen bahasa
yang berkaitan dengan wacana dan kebudayaan.
Metabahasa leksikon universal digunakan tidak hanya untuk analisis makna, tetapi
juga merumuskan aturan kebudayaan dalam berbicara yang dikenal sebagai wacana
2001 digitalized by USU digital libary
kebudayaan (cultural script). Wacana itu meliputi sikap budaya tertentu, asumsi-asumsi, dan
norma-norma yang tepat dalam istilah kebudayaan yang mandiri. Ambil sebuah contoh
sederhana. Wacana di bawah ini meliputi norma khusus budaya Jepang.
jika sesuatu yang buruk terjadi pada seseorang karena saya
saya akan mengatakan sesuatu seperti ini pada orang ini :
saya merasakan sesuatu yang buruk karena ini
Contoh ini menggambarkan kecenderungan yang terkenal dalam bahasa Jepang
untuk apologise 'minta maaf' dalam ranah situasi yang luas, tetapi apologise tidak diandalkan
sebagai verba tindak ujar dalam bahasa Inggris. Jika digunakan, akan menjadi etnosentris
dan menyesatkan. Konsep ikatan budaya seperti apology kurang tepat sebagai alat deskriptif
dan analitis dalam lintas budaya. Istilah bahasa Inggris juga menyesatkan dalam komponen
makna, seperti ‘Saya melakukan sesuatu yang buruk pada Anda’. Yang disebut dengan
apology bahasa Jepang tidak mensyaratkan komponen itu. Orang diharapkan melakukan hal
itu jika tindakannya menyebabkan orang lain menderita atau merasa tidak enak meskipun
tindakannya dilakukan secara tak langsung. Oleh karenanya, wacana di atas lebih akurat bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
Jelaslah bahwa ancangan wacana kebudayaan melengkapi tradisi lain dalam studi
wacana dan kebudayaan dengan menyediakan metode yang lebih baik untuk menerangkan
aturan berbicara (rules of speaking). Ancangan ini sangat cocok untuk penelitian strategi
wacana
(pragmatik kontrastif) dan kebudayaan khusus (etnografi komunikasi dan studi
antarbudaya). Ancangan ini juga sesuai dengan teknik pengumpulan data dalam berbagai tipe.
WACANA DALAM KEBUDAYAAN
2.1 Pengantar
Pada bagian ini akan ditelaah lima fenomena wacana yang terdapat dalam masyarakat,
budaya, dan geografi yang berbeda. Di antara fenomena wacana tersebut akan diperlihatkan
pilihan kata yang berbeda dalam hubungannya dengan keinginan, pendapat, dan perasaan,
konvensi yang berbeda sewaktu berpartisipasi
dalam
percakapan, gaya ujaran khusus,
kebiasaan dan genre budaya-khusus.
Berdasarkan tekstur bahasa, perbedaan yang selalu ada mencakup frekuensi imperatif
dan pertanyaan, bentuk panggilan dan vokatif, bentuk-bentuk khusus untuk mengacu pada
diri
sendiri, keberterimaan negasi yang jelas, eksklamasi dan partikel
wacana, dan
penggunaan kosakata yang bermarkah dalam berbagai cara.
2.2 Gaya Wacana : Jepang, Melayu, dan Polandia
Pada beberapa tingkatan dimungkinkan berbicara tentang gaya wacana (discourse
style) yang lebih disukai dari sebuah kebudayaan, paling tidak jika dibatasi pada bidang yang
umum, yaitu situasi di mana para peserta tidak mengenal satu sama lain dengan baik dan
kemudian diamati peserta lainnya ketika mereka sedang berbicara. Umumnya dalam literatur
ditemukan istilah, seperti ketaklangsungan (inderectiness) dan pengendalian (restraint) yang
diterapkan pada seluruh kebudayaan. Pada bagian ini akan dibandingkan dua kebudayaan
yang tidak berhubungan (Jepang dan Melayu). Bagaimanakah persamaan kedua kebudayaan
itu ? Adakah logika kebudayaan dalam pilihan wacananya ? Setelah itu, akan ditunjukkan
kebudayaan Polandia yang secara aktif mendorong kelangsungan ekspresi, setidak-tidaknya
dalam hal-hal tertentu.
2.2.1 Bahasa Jepang
Kebudayaan Jepang sering dicirikan dengan penindasan atau tidak percaya dengan
kata-kata. Contohnya, Doi (1988:33) mencatat bahwa tradisi Barat menekankan pentingnya
kata-kata. Di Jepang tradisi ini tidak ada. Saya tidak bermaksud memberi kesan bahwa
2001 digitalized by USU digital libary
budaya Jepang meremehkan kata-kata, tetapi terdapat kesadaran tentang kata-kata yang
tidak terungkap. Penulis lainnya menunjukkan bahwa penganut Budha menekankan inutility
dari komunikasi bahasa dan pilihan budaya Jepang untuk komunikasi nonverbal dalam
pendidikan tradisional dan dalam interaksi antara ibu dan anaknya.
Salah satu sumber budaya penting pengendalian verbal adalah budaya enryo, yang
biasanya diterjemahkan dengan restraint ‘pengendalian’ atau reserve ‘sikap hati-hati’. Enryo
menghalangi pembicara Jepang untuk menyampaikan keinginannya secara langsung. Juga,
secara kultural dianggap kurang sopan meminta langsung pada orang lain apa yang
diinginkan. Mitzutani dan Mitzutani (1987:49) menjelaskan bahwa "kecuali dengan keluarga
dan teman dekat, pada orang lain akan tidak sopan jika dikatakan *Nani-o-tabetai-desu-ka
'Apakah Anda ingin makan ?' dan *Nani-ga-hosii-desu-ka 'Apa yang ingin Anda miliki ?'
Seorang tamu di Jepang tidak terus-menerus ditawarkan pilihan oleh tuan rumah yang penuh
perhatian, seperti di Amerika Serikat. Tuan rumah bertanggung jawab dalam mengantisipasi apa
yang menyenangkan tamunya dan secara sederhana menyajikan makanan dan minuman,
kemudian mendesak mereka untuk memakannya; dalam frase standar, 'tanpa enryo'.
Kendala budaya yang sama mencegah orang-orang di Jepang untuk menyatakan
pilihan dengan jelas, bahkan dalam menanggapi pertanyaan langsung. Orang Jepang, ketika
ditanya hal-hal yang menyenangkan, menghindari jawaban dengan ungkapan, seperti (1a).
Fenomena yang terkait adalah sengaja menggunakan ungkapan numerikal yang tidak tepat.
Misalnya, ketika ingin membeli tiga buah apel, orang Jepang akan lebih menyukai ungkapan
about three ‘sekitar tiga’, seperti (1b). Ketika memberi saran, ungkapan open-ended, seperti
demo dan nado lebih disukai, seperti (1c).
1. a. Itsu-demo kekkoo-desu. 'Kapan pun akan dilakukan'
Doko-demo kamaimasen. 'Di mana pun baik untuk saya'.
Nan-demo kamaimasen. 'Apa pun akan cocok untuk saya'.
b. Mitsu-hodo/gurai/bakari kudasai. 'Tolong, berikan saya tiga'.
c. Eiga-demo mimashoo-ka ? 'Bagaimana kalau menonton bioskop atau yang lain ?'
Seperti halnya keinginan seseorang, demikian pula pikiran dan perasaannya. Bukan
hanya pertanyaan kapan mengekspresikannya, tetapi apakah orang harus mengekspresikan
semuanya, sebuah kenyataan yang menyebabkan beberapa pengamat menggambarkan orangorang Jepang sebagai pengawal dirinya sendiri (guarded self). Perbedaan
yang sangat
mencolok antara orang Jepang dan orang Amerika tidak hanya menyangkut ranah topik
yang mereka siapkan untuk dibicarakan, tetapi juga ranah orang, yaitu kepada siapa mereka
berbicara untuk menyampaikan pikiran dan maksudnya. Jika seseorang berbicara, maka
dihindari menyatakan
sesuatu yang dapat menyakiti atau menghina seseorang
atau
memalukan pembicara sendiri.
Semua pengamatan ini mengisyaratkan wacana kebudayaan Jepang.
2. sering tidak baik mengatakan apa pun pada orang lain
3. tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang lain :
"Saya ingin ini", "Saya tidak ingin ini"
"Saya kira ini", "Saya kira bukan ini"
jika saya mengatakan sesuatu seperti ini, seseorang akan merasakan sesuatu yang buruk
4. sebelum saya mengatakan sesuatu pada seseorang
adalah baik memikirkan sesuatu seperti ini :
saya tidak dapat mengatakan semua yang saya pikirkan
jika saya lakukan, seseorang akan merasakan sesuatu yang buruk
Budaya Jepang lain yang relevan dengan pilihan wacananya adalah omoiyari, yang
diperkenalkan oleh beberapa penanggap kebudayaan sebagai salah satu kunci sifat orang
Jepang. Lebra (1976:38) menggambarkannya seperti di bawah ini.
“Omoiyari refers to the ability and willingness to feel what others are feeling, to
vicariously experience the pleasure or pain that they are undergoing, and to help them
2001 digitalized by USU digital libary
satisy their wishes ... without being told verbally”, ‘omoiyari mengacu pada kemampuan
dan kesediaan merasakan
apa yang
dirasakan
oleh orang lain, seolah-olah
mengalami sendiri kesenangan atau kesedihan yang mereka alami dan membantu
mereka memenuhi keinginannya ... tanpa disampaikan secara verbal.’
Tentu saja tidak sulit menemukan bukti untuk mendukung gambaran Lebra tentang
kebudayaan Jepang, seperti budaya omoiyari. Misalnya, pada kolom pembaca di surat kabar
Shikoku Shimbun, tempat pembaca menempatkan foto anak-anaknya dan menyatakan harapan
dan keinginan mereka, salah satu yang paling umum adalah Omoiyari no aru hitoni nattene
'Silakan menjadi orang bersama omoiyari'. Pada buku pedoman pendidikan untuk guru, yang
pertama adalah Omoiyari no kokoro o taisetsuni shimashoo 'Marilah
memperkaya
pikiran/hati dengan omoiyari'. Dalam hubungan sempai/koohai 'senior/junior' di perusahanperusahaan
Jepang, omoiyari berperan penting : sempai diharapkan bisa mengantisipasi
kebutuhan koohai dan memuaskannya, kepadanya akan diberi kesetiaan yang mutlak.
Orang Jepang bersikap tegas dalam mengungkapkan perasaan. Orang Jepang yang
tidak bisa mengendalikan emosinya dianggap belum dewasa. Ini tidak hanya diterapkan pada
emosi negatif, seperti marah, takut, muak, dan sedih, tetapi juga pada ekspresi gembira.
Sikap saling mengimbangi ini tampak pada wacana di bawah. Pada (5a) dan (5b),
sikap budaya Jepang menghindari orang dalam menyatakan perasaannya, tetapi pada saat
yang
sama
mendorong kepekaan emosi melalui orang lain. Wacana terakhir melarang
pembicara Jepang menghindari perselisihan yang terbuka dan mengekspresikan persetujuan
yang positif.
5. a. jika saya merasakan sesuatu
tidak baik mengatakan sesuatu tentang hal itu pada orang lain
jika saya lakukan, orang ini dapat merasakan sesuatu yang buruk
saya tidak dapat mengatakan apa yang saya rasakan
b. rasanya baik jika saya dapat mengetahui apa yang dirasakan orang lain
orang ini tidak mengatakan sesuatu pada saya
6. jika seseorang mengatakan sesuatu pada saya tentang sesuatu
saya tidak dapat mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya pikir tidak sama"
rasanya baik mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya akan mengatakan hal yang sama"
Aspek lain dari gaya wacana bahasa Jepang juga dapat dimengerti dari wacana
kebudayaan ini. Misalnya, ganti bicara (turn-taking)
mengikuti pola yang berbeda dari
masyarakat Anglo-Amerika. Percakapan bahasa Jepang diharapkan menjadi suatu karya kolektif
dari interlokutor dan ketergantungan pada kata-kata balasan yang dalam bahasa Jepang
disebut aizuchi. Istilah ini dapat dijelaskan sebagai berikut : ai bermakna 'melakukan sesuatu
bersama-sama dan tsuchi bermakna 'sebuah palu'. Jadi, dua orang yang sedang berbicara dan
saling bertukar kata-kata disamakan dengan dua palu di atas mata pisau.
Penutur bahasa Jepang
selalu
membiarkan kalimatnya belum lengkap supaya
pendengar dapat melengkapinya : 'melengkapi kalimat seseorang terkesan seperti orang yang
menolak partisipasi orang lain (Mizutani dan Mizutani, 1987:27).
Akhirnya, ada peranti, seperti partikel ne, yang menurut Cook (1992) mengundang
teman bicara menjadi pembicara yang aktif dan bersemangat. Misalnya, ne muncul empat kali
dalam pesan singkat berikut, kadang-kadang di tengah kalimat berkombinasi dengan bentuk
verba nonfinit -te. Penutur ini sedang membicarakan pengalamannya pada keluarganya
sewaktu bepergian ke Amerika Serikat.
7. Boku wa sono inu o ne. Eeto nan dakke ?
I, that dog NE
Well, what (am I) talking about ?
Omae shigoto suru katte kikarete ne. Nan no shigoto ka wakannai to omotte ne
(I) was asked if I would work and NE (I) thought (I) would not know what work it would be
and NE
so-soto ittara ne
Sono inu no sooji ya arawhen (I) went out-outside NE cleaning of that dog and wash2001 digitalized by USU digital libary
Makna harfiah ne bisa direpresentasikan sebagai "Saya kira Anda akan mengatakan hal
yang sama". Diusulkan parafrase berikut.
ne-I think you would say the same.
'Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama'.
Perhatikan contoh lain dari penggunaan partikel ne.
8. Oishii
keeki
desu
ne.
enak
kue
kopula (sopan) PT
‘Kue ini enak (bukan) ?’
9. Mainichi
yoku
furimasu ne.
setiap hari banyak hujan
PT
‘Setiap hari hujan sering turun (bukan) ?’
Kalimat tentang kue dan hujan di atas bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
sebagai berikut.
10. a. This cake is delicious; I think you would say the same.
'Kue ini enak; Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama'.
b. It rains a lot everyday; I think you would say the same.
‘Setiap hari hujan sering turun; Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama'.
Untuk memahami pesan "Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama" pada
konteks lain, terutama perannya di tengah kalimat, orang bisa melihat ne dalam konteks
struktur khusus percakapan bahasa Jepang secara umum dan dengan memahami konsep
aizuchi secara khusus.
Jelasnya, pesan ‘Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama’ yang
direalisasikan pada partikel ne berguna dalam percakapan tempaan menurut norma budaya
tersebut. Itulah sebabnya ne tidak hanya meluas dalam percakapan bahasa Jepang, tetapi
secara praktis sangat diperlukan.
Penyelidikan jenis ini dengan kuat mengisyaratkan kehadiran norma budaya Jepang
yang dapat dinyatakan sebagai berikut.
11. Jika saya mengatakan sesuatu pada seseorang,
Rasanya baik mengatakan sesuatu seperti ini pada waktu yang sama :
“Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama”.
Cook (1992) mengatakan bahwa “ne sebagai pemarkah dari sikap yang bersahabat ...
karena sikap yang bersahabat dapat ditunjukkan dengan memperlihatkan perasaan bersama"
dan "ne secara langsung menunjukkan perasaan bersama". Tentu saja tidak seorang pun bisa
membantah pernyataan bahwa "pemahaman terhadap perasaan bersama merupakan hal
mendasar bagi anggota masyarakat Jepang" dan banyak aspek dalam bahasa Jepang
merefleksikan hal ini (seperti butir leksikal omoiyari atau yasashii). Namun, tidak ada bukti yang
mendukung adanya perasaan dalam makna ne. Secara alamiah pengulangan pesan yang
konstan pada ”Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” memang bisa menciptakan
ikatan khusus di antara interlokutor dan ini bisa diartikan sikap yang bersahabat dan sikap
simpati, tetapi tidak ada yang memaksa kita untuk berasumsi bahwa makna ne yang
sebenarnya menunjukkan perasaan tersebut.
Lebih jauh, banyak konteks ne yang bisa digunakan secara tepat menjadi bertentangan dengan asumsi itu. Misalnya, pertimbangkan
percakapan antara guru dan muridnya berikut ini.
12. Guru : Shukudai o shimashita ne ?
(You) did the homework, ne ?
'Kamu sudah mengerjakan PR bukan ?'
Murid : Hai, shimashita.
Yes, (I) did.
'Ya, saya sudah kerjakan'.
2001 digitalized by USU digital libary
Jadi, makna ne adalah “Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” dan bukan
kombinasi dari ”Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” dan “Saya kira Anda
merasakan hal yang sama (seperti saya)”. Dalam hal ini, perasaan benar-benar tidak relevan
(tidak sama dengan kata-kata seperti omoiyari atau yasashii). Selain itu, penggunaan partikel
ne sebagai refleksi dari perbedaan antara gaya percakapan orang Jepang dan orang Barat
tidak hanya menyangkut masalah tingkatan, tetapi perbedaan itu mengungkapkan perbedaan
norma-norma budaya yang mendasar.
2.2.2 Bahasa Melayu
Kebudayaan tradisional orang Melayu menaruh perhatian pada tingkah laku yang
sopan, dan bagian integralnya ialah berbicara dengan cara yang sopan. Norma ujaran yang
halus dalam bahasa Melayu agak mirip dengan bahasa Jepang, tetapi jika diamati lebih
mendalam persamaan itu menjadi dangkal.
Para
peneliti
umumnya menggambarkan
budaya
Melayu
dengan nilai-nilai
pengendalian yang halus dan ramah-tamah. Orang Melayu digambarkan sebagai orang yang
sopan, lembut, dan luwes. Secara tradisional mereka adalah orang desa, sumber
penghidupannya bergantung pada perikanan, perkebunan, dan pertanian. Orang Melayu sudah
lama menjadi muslim meskipun tradisi (adat)-nya sangat menuansai kegiatan Islam mereka.
Kebudayaannya kaya dengan kata-kata, peribahasa, pantun, dan syair. Pentingnya bahasa
dalam kebudayaan Melayu dibuktikan dengan kenyataan bahwa bahasa mempunyai makna
kedua, yaitu 'rasa hormat' dan 'tata krama'.
Satu konsep dasar dalam pergaulan orang Melayu adalah rasa malu. Walaupun jenis
perasaan ini selalu diterjemahkan dengan ashamed, shy, atau embarrassed, terjemahannya
tidak menyampaikan fakta bahwa orang Melayu menganggap kemampuan untuk merasa malu
sebagai suatu kebaikan sosial, sama dengan rasa sopan.
Keinginan menghindari rasa malu merupakan kekuatan utama dalam hubungan sosial
orang Melayu. Dua konsep sosial yang berhubungan ialah maruah dan harga diri (selfesteem), yang keduanya terancam oleh kemungkinan tidak disetujui konsep lain, yaitu rasa
malu. Vreeland (1977:117) menekankan pentingnya konsep ini bagi perilaku orang Melayu pada
umumnya.
“The social value system is predicated on the dignity of the individual and ideally all
social behaviour is regulated in such a way as to preserve one’s own amour propre and
to avoid disturbing the same feelings of dignity and self-esteem in others”, ‘sistem nilai
sosial didasarkan pada martabat pribadi dan idealnya semua perilaku sosial diatur
dengan cara tersebut selama dipertahankan harga diri mereka dan dihindari
menyinggung gengsi dan harga diri satu sama lain’.
Seperti di Jepang, orang mengira masyarakat Melayu berpikir sebelum berbicara. Ada
ungkapan yang menyebutkan "Kalau cakap pikirlah sedikit dulu" (‘Jika kamu akan berbicara
berpikirlah lebih dahulu'). Namun, sikap budaya yang mendasar sedikit berbeda dengan di
Jepang. Seperti keinginan menghindari teman bicara merasakan sesuatu yang buruk (dengan
mengatakan "jaga hati orang" ('jagalah perasaan orang lain'), dalam bahasa Melayu peringatan
ini dimotivasi oleh keinginan menghindari teman bicara memikirkan sesuatu yang buruk
tentang seseorang.
13. sebelum saya mengatakan sesuatu pada seseorang, rasanya baik berpikir :
saya tidak ingin orang ini merasakan sesuatu yang buruk
saya tidak ingin orang ini memikirkan sesuatu yang buruk tentang saya
Perbedaan lain adalah bahwa nilai budaya Melayu ditentukan oleh kemampuan
berbicara. Cara berbicaranya yang halus sangat dikagumi yang membawa kebanggaan pada
dirinya dan pendidikannya. Cara berbicara ini adalah keterampilan yang dipelajari di rumah
dan sama sekali tidak berhubungan dengan kekayaan, keturunan, atau pendidikan formal.
2001 digitalized by USU digital libary
Seorang petani yang hanya mendapat pendidikan dasar mungkin saja berbicara lebih sopan
daripada seorang pegawai di kantor pemerintah atau swasra.
Ujaran yang halus akan bernilai dalam situasi formal atau ketika berbicara dengan
orang lain yang berada di luar lingkungan keluarganya. Orang Melayu selalu merasa orang lain
menjaga dan menyampaikan pendapatnya, siap menghinanya tanpa kecakapan berbicara,
seperti kurang ajar, tidak tahu aturan. Cara yang sopan akan mendapat kebanggaan. Sikap
budaya ini digambarkan sebagai berikut.
14. jika orang mendengar seseorang mengatakan sesuatu :
kadang-kadang mereka memikirkan sesuatu seperti ini :
‘orang ini tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik pada orang lain, ini baik’
kadang-kadang mereka memikirkan sesuatu seperti ini :
‘orang ini tidak tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik pada orang lain :
ini buruk’
Ciri ujaran yang halus termasuk penggunaan frase yang
bernilai tinggi sebagai
pengganti kosakata yang biasa, perhatian
yang besar untuk membentuk acuan pribadi
(misalnya, menghindari teman bicara dan mengacu pada diri sendiri); dan untuk inventaris
yang besar dari peribahasa untuk menyinggung hal-hal yang paling sensitif. Nada yang
lembut (lunak) juga penting.
Perilaku ini tidak hanya diterapkan dalam berbicara, tetapi juga pada ranah perilaku
nonverbal; misalnya, melepas sepatu sebelum masuk ke rumah, memakan sedikit makanan
yang ditawarkan, bersikap khusus ketika melewati orang yang sedang duduk, menggunakan
tangan kanan ketika makan atau memberikan sesuatu, menghindari sentuhan fisik dengan
anggota yang berbeda jenis kelamin, menunjuk dan memberi isyarat dengan cara tertentu.
Budaya Melayu menghindari orang mengekspresikan perasaannya. Berbeda dengan
situasi di Jepang yang menyatakan perasaan dengan ekspresi yang berhubungan dengan muka
dan tindakan orang lain, ada asumsi yang mendasar bahwa orang dipercaya menjadi sensitif
pada manifestasi nonverbal. Wacananya seperti di bawah ini.
15. jika saya merasakan sesuatu
tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang lain :
'saya merasakan seperti ini'
jika orang lain dapat melihat saya, mereka akan tahu apa yang saya rasakan
Pandangan yang bermakna merupakan strategi nonverbal yang tepat. Misalnya, verba
bertenung menggambarkan pandangan yang digunakan untuk menyampaikan kejengkelan
terhadap perilaku orang lain, misalnya, anak yang berkelakuan tidak sopan atau seseorang
di dalam sebuah ruangan yang membunyikan bolpoin dengan cara menjengkelkan. Mata
terbeliak menyampaikan celaan; merendahkan mata dan sengaja menoleh tanpa berbicara
menandakan orang itu muak pada seseorang; mengatupkan kedua bibir dan menjuihkannya
menandakan kejengkelan.Ekspresi nonverbal merupakan kritik untuk teman dekat; dalam
bahasa Inggris disebut angry, yang tidak dikaitkan dengan suasana dari 'kata-kata marah'
(didukung wacana kebudayaan Anglo tentang kebebasan berekspresi), tetapi dengan wajah
yang sedih dan cemberut yang dalam bahasa Melayu disebut merajuk.
2.2.3 Bahasa Polandia
Pusat utama keramahan dan kasih sayang dalam kebudayaan Polandia (seperti
terdapat dalam kebudayaan Slavia umumnya) direalisasikan dengan berbagai cara dalam
bahasa Polandia. Istilah-istilah yang menunjukkan kasih sayang digunakan secara luas dalam
ujaran sehari-hari, terutama pada anak-anak; misalnya, ptaszku 'burung kesayangan', kotku
'kucing kesayangan', sloneczko 'matahari
kesayangan', skarbie 'harta', zlotko
'emas
kesayangan', dan sebagainya. Nama-nama pribadi mempunyai sepuluh bentuk derivasi yang
berbeda, masing-masing mengimplikasikan sedikit perbedaan sikap emosional dan keadaan
emosional. Contohnya, semua bentuk ini umumnya digunakan pada orang yang sama : Maria
2001 digitalized by USU digital libary
menjadi Marysia, Marysienka, Maryska, Marysiuchna, Marychna, Marys, Marysiuika, Marvcha,
dan Marysiatko.
Keramahtamahan dalam membuat penawaran diekspresikan dengan menggunakan
diminutatif dan imperatif secara bersama-sama. Demikian pula, seorang tuan rumah yang baik
akan mendesak tamunya pada saat berpisah supaya tinggal di rumahnya lebih lama, dengan
menyatakan 'kamu harus' dan dengan diminutatif. Permintaan di antara orang-orang yang
intim, seperti suami dan istri atau permintaan langsung pada anak-anak secara tipikal juga
menggunakan diminutatif dan imperatif.
Misalnya,
16. a. Wez jeszcze sledzika ! Koniecznie !
Take some more dear-little-hearing (DIM). You must !
'Tambah lagi ikan keringnya ! Kamu harus !
b. Ale jeszcze troszeczke ! Ale koniecznie !
But [stay] a liitle (DIM) more ! But you must !
'Tinggallah lebih lama lagi ! Tetapi kamu harus !
c. Jureczku, daj mi papierosa !
George-DIM-DIM, give me a cigarette !
'George, beri aku rokok !
d. Monisienko, jedz zupke !
Monica-DIM-DIM, eat your soup-DIM !
'Monika, makan supmu !
Nilai budaya Polandia tidak menghalangi ekspresi perasaan baik dan buruk dan
menyepakati nilai khusus dalam menyampaikan perasaan baik dan buruk melalui lawan bicara.
17. a. saya ingin orang mengetahui apa yang saya rasakan
jika saya merasakan sesuatu yang baik saya ingin mengatakan sesuatu
jika saya merasakan sesuatu yang buruk saya ingin mengatakan sesuatu
b. jika saya merasakan sesuatu yang baik ketika saya memikirkan Anda, saya ingin Anda
mengetahuinya
Kekompleksan yang sama dalam bersikap menyangkut
kebebasan mengemukakan
pendapat,
menyokong keterbukaan
dalam
perbedaan, "dengan mengatakan apa yang
dipikirkan orang lain secara
tepat", bahkan dalam mengemukakan kebenaran yang
menyakitkan.
18. a. saya ingin orang mengetahui apa yang saya pikirkan
jika saya berpikir bahwa seseorang memikirkan sesuatu yang buruk, saya ingin
mengatakannya pada orang ini
b. jika saya
berpikir bahwa
Anda
memikirkan
sesuatu
yang buruk, saya ingin
mengatakannya pada Anda
saya tidak ingin Anda memikirkan sesuatu yang buruk
Norma-norma komunikasi itu berbeda dengan masyarakat Inggris-Amerika, yang
mendorong keseimbangan ekspresi dari pandangan dan kerja sama dan menghalangi emosi
kecuali dalam lingkungan yang luar biasa. Tanggapan berikut berasal dari Eva Hoffman,
penulis Amerika yang pindah bersama keluarganya dari Polandia dan menetap di Amerika
Utara ketika ia masih remaja. Remaja Polandia ini menemukan hal tertentu (Hoffman,
1989:146).
“Saya mempelajari bahwa jenis-jenis kebenaran tertentu tidak sopan. Seseorang tidak
boleh mengkritik orang lain secara langsung. Anda tidak boleh berkata 'Kamu salah',
tetapi Anda boleh mengatakan 'hal itu perlu dipertimbangkan'. Anda tidak boleh
berkata, 'Ini tidak bagus untukmu', tetapi Anda boleh mengatakan 'Aku lebih suka
kamu memakai baju itu'."
2001 digitalized by USU digital libary
Sejalan dengan nilai budayanya, bahasa Polandia mengandung sejumlah partikel
wacana (seperti alez, skadze, dan przeciez) dan frase eksklamatori (seperti alez skadze, skadze
znowu, dan coi znowu) yang mengekspresikan ketidaksetujuan, kemarahan,
dan
ketidaksabaran terhadap pendapat yang dikemukakan oleh lawan bicara. Misalnya, alez
bermakna ketidaksetujuan yang keras dan sering digunakan berkombinasi dengan nama
orang untuk menunjukkan kemarahan dan kebodohan lawan bicara. Partikel skadze berarti
'Dari mana kamu mendapatkan ide itu ? Kamu salah !' Keduanya sering digabungkan untuk
memperkuat pesan lebih jauh. Parafrase pada (19) memberikan beberapa gagasan tentang
akibatnya. Perhatikan kehadiran komponen : 'Saya merasakan sesuatu yang buruk ketika saya
mendengar Anda mengatakan ini'.
19. Alez
skadze
but-EMPH where-from-EMPH
But (how can you say that)
‘Tetapi (bagaimana Anda bisa berkata begitu) !’
Where did you get such an idea from ?
‘Darimana Anda mendapatkan ide itu ?’
You are wrong ‘Kamu salah’
I feel something bad when I hear you say that
‘Saya merasakan sesuatu yang buruk ketika saya mendengar Anda mengatakan itu’
Terbukti dari perbandingan antara bahasa Jepang, bahasa Melayu,
dan bahasa
Polandia adanya pilihan wacana yang bervariasi dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain.
Sebuah gaya yang biasa dalam satu kebudayaan mungkin terlihat sedikit mengejutkan dan
menghina, atau membosankan dan menjengkelkan dari sudut pandang kebudayaan yang lain.
Untuk memahami
variasi kebudayaan
itu
penting
kiranya diamati pola ujaran tanpa
memperhatikan nilai dan norma-norma yang menjelaskannya. Perlu diingat pula bahwa pola
ujaran yang kelihatannya mirip (misalnya, pilihan untuk pengendalian verbal) mungkin berasal
dari nilai kebudayaan yang berbeda dan dihubungkan dengan makna sosial yang berbeda
dalam
latar
kebudayaan
yang berbeda. Untuk memperjelas hal ini dan bahkan untuk
mendeskripsikan pola ujaran itu tanpa distorsi etnosentris, dibutuhkan perhatian khusus pada
metabahasa dari deskripsi dan analisis.
2.3 Gaya Ujaran pada Masyarakat Yankunytjatjara
Pada bagian ini kita melihat dua gaya ujaran khusus dan berbeda, yang secara
tradisional digunakan oleh orang Yankunytjatjara di Australia Tengah. Sebuah gaya oblik
tjalpawangkanyi (wangkanyi 'berbicara') dipakai oleh orang-orang yang hubungannya terlalu
berjarak sementara gaya boisterous 'berkelakar' digunakan oleh orang-orang yang hubungan
kekeluargaannya saling dapat menerima dan mengandalkan hubungan kekuasaan.
Bahasa Yankunytjatjara adalah bahasa Aborigin Australia yang kawasannya meliputi
Uluru (Ayers Rock) dan daerahnya terletak di bagian selatan dari simbol Australia yang
terkenal. Bahasa ini merupakan salah satu dari banyak dialek bahasa Gurun Pasir Barat yang
digunakan di dataran yang luas di wilayah Barat Australia. Mata pencaharian tradisional
penduduknya adalah berburu dan mengumpulkan makanan, dengan jumlah penduduk yang
sedikit dengan kawasan yang sangat luas. Seperti orang Aborigin Australia lainnya, orang
Yankunytjatjara memiliki pengetahuan yang mendalam tentang alam dan keagamaan.
Masyarakatnya tergolong kecil dan didasarkan pada hubungan
kekerabatan. Dalam
kehidupannya yang tradisional, mereka jarang menjumpai orang asing. Setiap orang dianggap
mempunyai beberapa hubungan waltja (kekerabatan) dengan orang lain melalui sistem yang
diterapkan dalam keluarga yang dekat (seperti mama 'ayah', ngunytju 'ibu', katja 'anak lakilaki', untal 'anak perempuan', kami 'nenek', tjamu 'kakek').
Marilah kita lihat beberapa contoh ujaran orang Yankunytjatjara dalam situasi santai di
antara orang-orang yang saling mengenal dengan baik. Jika seseorang datang ke tempat
orang lain untuk meminta sesuatu yang dapat dimakan, permintaannya mungkin dibuat seperti
2001 digitalized by USU digital libary
(20a). Jika dua orang pergi ke luar daerahnya dan salah seorang di antaranya ingin agar
yang lainnya berhenti mengumpulkan kayu bakar, ujarannya dapat dinyatakan seperti
(20b). Jika seseorang datang ke tempat orang lain untuk mencari seseorang yang tinggal di
sana, informasinya dinyatakan pada (20c).
20. a. Mai nyuntumpa ngarinyi ? Ngayulu mai wiya.
food yours
lie-PRES
I
food NEG
Any food of yours lying around ? I don't any food.
'Banyak makanan di sekitar Anda ? Saya tidak mempunyai makanan'.
b. Ngaluyu waru wiya. Nyinatjura ka-na waru urara.
utijura
I
wood NEG stop-IMP and-I wood gather-SERIAL
load-IMP
I haven't got any firewood. Stop and I'll load some on.
'Saya tidak mendapatkan kayu bakar. Berhentilah dan saya akan memuat beberapa'.
c. Tjilpinya nyinanyi.
old man-NAME sit-PRES
Is the old man around ?
'Adakah orang tua itu di sini ?'
Gaya ujaran tjalpawangkanyi diperlihatkan pada (21). Ada perbedaan penyampaian
vokal (lebih lembut, lebih lambat, dan lebih tinggi dari biasanya) dan peningkatan intonasi
sehingga pembicara terkesan menyuarakan pemikirannya dengan keras.
21. a. Aya, anymatjara kuta-na mai-nti wampa
ngarinyi ?
oh hungry
really-I food-maybe don't know lie-PRES
Oh, I am so hungry. I wonder if there might be any food around.
'Oh, saya juga lapar, saya ingin tahu apakah ada makanan di sini ?
b. Munta, waru-mpa-I.
Nguwan-ampa-na mana-nyi.
Oh
wood-INTEREST-I see almost-INTEREST-I get-PRES
Oh, some firewood, I see. I'd rather like to get some.
'Oh, beberapa kayu bakar, saya tahu. Saya lebih baik mengambilnya beberapa'.
c. Munta, panya
paluru-nti nyanga-kutu ?
oh
that one DEF-maybe this-towards
Oh, could that one be around here somewhere ?
'Oh, bisakah orang itu kemari ?'
Acuan langsung pada lawan bicara dihindari dalam tjalpawangkanyi, seperti imperatif
dan vokatif. Ekspresi yang jelas dari penyangkalan, penolakan, atau pernyataan tidak setuju
juga dengan cermat dihindari. Partikel -nti 'mungkin', munta 'oh maaf', wampa 'tidak tahu', dan
wanyu 'biarkan saja' tersebar di dalam kalimat untuk mengekspresikan hal yang tidak tentu,
ragu-ragu, dan terbatas. Yang juga umum adalah partikel -mpa yang mempunyai arti seperti
"orang dapat mengatakan lebih tentang hal ini". Partikel tersebut berfungsi sebagai pemarkah
linguistis dari sindiran atau implikasi. Ciri lainnya, gaya ujaran untuk menghormati di
berbagai tempat lain : pembicara menghindari penggunaan bentuk khusus yang taksa untuk
menunjukkan orang, tempat atau benda, lebih disukai lokusi yang samar-samar, seperti
panya paluru 'orang itu' dan nyangakutu 'di sekitar sini', seperti (16c).
Untuk memahami arti sosial tjalpawangkanyi diperlukan pengetahuan
kebudayaan
Yankunyatjatjara, khususnya konsep sosio-emosional dari kunta. Ini biasanya diterjemahkan ke
dalam kosakata bilingual sebagai rasa malu (shame), keadaan memalukan (embarrassment),
atau rasa hormat (respect), tetapi kunta tidak berhubungan dengan konsep bahasa Inggris ini.
Secara esensial hal ini menyangkut perbedaan makna sosial, ketidaksenangan hadirnya orang
lain,
dan
keinginan menghindari
tindakan
yang
mungkin menyebabkan orang lain
memikirkan apa pun yang tidak menyenangkan tentang seseorang.
Kunta
yang paling kuat ditimbulkan
umari
('penghindaran'), yakni
hubungan
seseorang dengan mertuanya. Umari merupakan hubungan penghormatan yang tertinggi dan
orang yang terlibat harus menghindari kontak pribadi. Orang tidak boleh berbicara dengan
2001 digitalized by USU digital libary
seorang umari, menyentuhnya, duduk berdekatan, atau melihatnya langsung. Kunta yang
lebih lunak dirasakan pada saudara
kandung atau
sepupu umari. Pada hubungan lain,
kesopanan dianggap
penting; misalnya, antara inkani 'kakak ipar wanita dan pria', inkilyi
'besan', dan nyarumpa 'sepupu yang belum kawin dari jenis kelamin yang berbeda'. Ada
hubungan tjalpawangkanyi yang tepat. Tjalpawangkanyi bisa dilihat sebagai penghindaran
sebagian dan cara pemberian pengaruh pada kunta.
Dengan gaya tjalpawangkanyi, pembicara mengekspresikan pesan sosial dalam (22a).
Perlu dicatat bahwa pesan ini disusun pada "orang ketiga" sesuai dengan perspektif
tjalpawangkanyi. Pada (22b) disimpulkan beberapa aturan stilistis pembicara.
22. a. orang ini bukan seseorang seperti saya
saya tidak ingin orang ini memikirkan apa pun yang buruk tentang saya
saya tidak ingin mendekati orang ini
saya tidak ingin mengatakan apa pun pada orang ini
jika saya harus mengatakan sesuatu, saya harus berpikir bagaimana
mengatakannya.
b. tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang seperti ini :
"orang ini", "tempat ini", "benda ini"
"Saya tidak menginginkan ini", "Saya tidak memikirkan hal yang sama"
"Saya ingin Anda melakukan sesuatu", "Saya ingin Anda mengatakan sesuatu"
Pada akhir spektrum tjalpawangkanyi yang lain adalah inkainkangku wangkanyi,
'membicarakan kesenangan' (talking in fun), wangkara inkanyi 'bercanda terus' (joking
around), wangkara inkajingani 'kata sindiran' (teasing talk), dan warkira inkatjingani 'sumpah
sindiran' (teasing swearing). Gaya senda gurau ini sebagian besar dicadangkan untuk sanak
famili, yang hubungannya secara geneologis sudah jauh, menghindari konvensi interaksi
normal, atau dalam kasus ekstrem, memamerkan, bahkan mengejeknya. Orang Yankunytjatjara
menemukan sumber hiburan yang kaya.
Dalam ranah tulisan yang bernada lucu (fun-talk), semua bentuk bahasa dikeluarkan
dari tjalpawangkanyi, termasuk bentuk imperatif, vokatif, kontradiksi, eksklamasi, dan butir
kosakata yang sensitif. Contoh (23a) mengilustrasikan pendekatan senda gurau dalam
meminjam gula; bagaimana orang menunjukkan keinginan pribadinya. Dalam hal ini, dengan
contoh (23b) ada permusuhan yang pura-pura. Senda gurau seperti ini mungkin berlanjut
selama beberapa waktu sebelum orang itu mendapatkan gula jika dia pernah melakukannya.
23. a. A : Awai ! Tjukaku-na
ngalya-yanu. Tjuka-tja
ngalya-yuwa !
hey
sugar-PURP-I this way-came sugar-me
this way-give-IMP
Hey ! I came here for sugar. Give me some sugar !
Hai, saya datang ke sini untuk gula. Berilah saya gula.
b. B : Tjuka wanyu nyuntu yaalara payamilara nyangangka tjunu
sugar just let you when buy-SERIAL here
put-PAST
Just when did you ever buy any sugar and bring (put) it here ?
Kapan kamu pernah membeli gula dan membawanya ke sini ?
Dengan gaya melucu partisipan senang membuat
pertukaran untuk menentang,
menantang, atau merendahkan satu sama lain. Pertukaran pada (24) menjelaskan sindiran
inkatjingani yang alamiah di mana keluarga yang lebih tua mencaci atau menghina yang lebih
muda. Pembicara pertama adalah seorang paman yang setuju meminjamkan sesuatu pada
kemanakannya.
24. a. A : Uwa, kati, punytjulwiyangku kati !
yes take-IMP blunt-NEG-ERG
take-IMP
OK take it, but don't blunt it !
Baiklah, ambil kapak itu, tetapi jangan ditumpulkan.
b. B : Wati, nyaaku-na tjijingku
palku
punytjanma ? Yuwa-ni
ka-na kati !
man why-I
childERG not really bluntPOT
giveIMP-me and-I takeIMP
2001 digitalized by USU digital libary
Man, why would I blunt it as if I were a child ?
Give (it to) me, and I’ll be off with it.
Tuan, bagaimana kalau saya tumpulkan kapak itu seolah-olah saya anak-anak ?
Berikan kapak itu pada saya dan saya akan pergi dengan kapak itu.
Contoh (25) adalah pertukaran yang rutin di antara sepasang sepupu laki-laki yang
jauh (adik dan abang, kuta dan malany) yang dapat menjadi inkankara 'teman yang lucu'.
Senda gurau yang sama terjadi di antara sepupu wanita jauh. Sindiran dan tanggapan yang
agak cabul secara sadar 'diperankan' sesuai dengan aturan keluarga. Biasanya kakak laki-laki
dan perempuan yang lebih tua diharapkan
memantau dan
mengatur
perilaku yang
menyimpang dari saudara yang lebih muda.
25. a. A : Wati, nyangangi-na-nta !
Wati, nyaa manti-n
yanu
man seePAST IMP-I-you man what probably-you goPAST
Kulakula-mpa, kungka-kutu-mpa.
randy-INTEREST woman-towards-INTREST
Man, I've been watching you. Man, what would you've been after ? Randy was itu
? Off to see a woman, was it ?
Tuan, saya telah melihat kamu. Apa yang kamu lakukan ? Randy di sana ? Salahkah
melihat wanita itu ?
b. B : Wiya, wati ngayulu kungka wiya ! Wantinyi-na
ngayulu palu
no
man I
woman NEG leave alonePRES-I I
but of course
nyuntu panya-nku watjanma, kuta,
wati panya
kurangku
ANAPH-REFL
sayPOT senior brother man ANAPH badERG
No man, I don't have any woman ! I leave them alone, I do. But of course you could
be talking to yourself, big brother, (you) bad one.
Tidak Tuan, saya tidak mempunyai teman wanita. Saya meninggalkannya sendirian.
Tetapi, kamu pasti akan mengatakan pada dirimu sendiri, saudara tua, kamu
jelek.
Senda gurau dapat pula meliputi makian yang pura-pura dengan julukan yang jelas
secara seksual; misalnya, mamu ‘raksasa’ dan kalutjanu ‘dickhead’ (berhubungan dengan kalu
‘tusukan’). Namun, kalau bahasa menjadi cabul secara mencolok, orang yang mendengarnya
tidak akan tersinggung. Mereka justru akan tertawa.
Hubungan senda gurau dalam masyarakat Aborigin Australia biasanya mewujudkan
'solidaritas', 'keakraban', atau semacam itu, tetapi makna sosialnya yang kaya tidak bisa
dirangkum dalam beberapa kata. Pada (26a) dan (26b) diterangkan asumsi-asumsi sosial
dan konvensi stilistis dari ujaran yang riang dalam bahasa Yankunytjatjara.
26. a. saya tahu Anda tidak akan memikirkan apa pun yang buruk tentang saya
saya tidak memikirkan bagaimana mengatakan hal itu pada Anda
b. saya dapat mengatakan seperti ini pada Anda :
"Saya tidak ingin ini", "Saya kira tidak sama"
saya dapat mengatakan hal itu seperti ini tentang Anda :
"Anda jelek", "Anda melakukan sesuatu yang buruk"
Anda dapat mengatakan hal yang sama pada saya
jika kita mengatakan hal seperti ini pada setiap orang, kita merasakan sesuatu yang
baik
Bentuk tjalpawangkanyi dalam bahasa Yankunytjatjara
berperan sosial
sebagai
'kosakata penghindaran' khusus, yang ditemukan dalam bahasa Aborigin Australia, seperti
bahasa Dyirbal, bahasa Guugu-Yimidhirr. Deskripsi yang baik mengenai gaya ujaran pada
masyarakat yang lain bisa ditemukan pada bahasa Lakota, bahasa Burundi dan bahasa
Malagasi.
2001 digitalized by USU digital libary
2.4 Rutinitas dan Genre
Sejauh ini telah diperlihatkan adanya perbedaan kebudayaan dalam wacana pada
tingkatan deskripsi yang luas. Dalam bagian ini akan dijelaskan dua fenomena wacana yang
lebih khusus lingkupnya, yakni rutinitas berbahasa dan genre ujaran.
2.4.1 Rutinitas Berbahasa dalam bahasa Ewe
Rutinitas berbahasa (linguistic routines) adalah rumusan ujaran tertentu atau
rangkaian ujaran yang digunakan dalam situasi komunikasi yang standar. Misalnya, ucapan
salam dan perpisahan, ucapan terima kasih, meminta maaf, ucapan belasungkawa, pujian,
senda gurau, kutukan, percakapan singkat (smal-talk), dan lain-lain. Ujaran-ujaran tersebut
mungkin bergeser dalam ukuran, yaitu dari sebuah kata tunggal menjadi kata-kata yang
panjang. Secara keseluruhan makna rutinitas berbahasa sukar 'dipahami' (read off) dari
makna harfiah kata-kata individu yang terlibat : dengan menggunakan contoh yang sudah
lazim. Misalnya, ujaran "Apa kabar ?" bukanlah sebuah pertanyaan tentang kesehatan. Pada
umumnya rutinitas merupakan kebudayaan khusus yang sangat tinggi, baik bentuk maupun
cara, yang berhubungan dengan konteks sosiokultural. Berikut ini akan dibandingkan beberapa
ungkapan tertentu dalam bahasa Inggris dan bahasa Ewe, sebuah bahasa yang digunakan oleh
penduduk di Ghana dan di Togo, Afrika Selatan.
Dalam beberapa masyarakat, bila seseorang mengucapkan sesuatu yang baik yang
terjadi pada orang lain, biasanya dikatakan sesuatu yang mengungkapkan perasaan baik
orang itu pada ucapan
tersebut.
Dalam bahasa Inggris, misalnya, orang diharapkan
mengatakan 'Selamat !' (Congratulation !) pada seseorang yang baru memperoleh bayi dan
Well done ! pada seseorang yang telah memenangkan pertandingan yang penting dan sulit.
Kedua ungkapan itu mengimplikasikan bahwa lawan bicara bertanggung jawab pada beberapa
tingkatan untuk peristiwa yang menyenangkan itu. Dalam bahasa Ewe, situasi yang tepat
tampak pada (27a) dan (27b).
27. a. Mawu se nu ! T gbewo se nu !
nuwo nuwo se nu
Good is strong Ancestors are strong ! Beings around you are strong !
'Tuhan maha kuat. Leluhur yang kuat ! Di sekitar Anda kuat !'
b. Mawu w d !
T gbewo w d !
nuwo nuwo w d !
God has worked ! Ancestors have worked Beings around you have worked !
'Tuhan maha pencipta ! Leluhur yang mencipta. Di sekitar Anda yang mencipta !'
Ekspresi ini merefleksikan sistem kepercayaan keagamaan orang Ewe (dan banyak
orang Afrika lainnya) yang menganggap setiap aspek alam semesta dipengaruhi oleh Mawu
‘Tuhan’ sebagai kekuatan tertinggi dan kekuatan supernatural lainnya. Seperti dikatakan oleh
Ameka (1987:308), "bagi orang Ewe, apa pun yang terjadi pada Anda merupakan
perbuatan Tuhan secara langsung yang dilakukan dalam bermacam-macam cara melalui leluhur
atau roh lain dan dewa.
Nilai kebudayaan Ewe menjelaskan mengapa rumusan pengetahuan tentang peristiwa
yang baik secara eksplisit difokuskan pada pribadi yang terlibat. Meskipun demikian, seperti
ekspresi dalam bahasa Inggris, fungsi interpersonalnya adalah untuk menyatakan asumsi
bahwa Anda merasa senang dengan apa yang telah terjadi dan memperlihatkan kegembiraan
dengan hasilnya. Demikian pula, kata-kata tertentu yang digunakan terdiri atas perangkat
ujaran yang tepat pada saat tertentu. Dengan mengetahui hal ini, makna ekspresi Mawu se nu
'Tuhan maha kuat' dalam bahas Ewe diformulasikan sebagai berikut (diadaptasi dari Ameka,
1987).
28. Mawu se nu !
Saya sekarang mengetahui ini : sesuatu yang baik terjadi pada Anda
Saya kira Anda merasakan sesuatu yang baik karena sesuatu telah terjadi
Saya merasakan sesuatu yang baik karena ini
Saya ingin Anda mengetahui ini
2001 digitalized by USU digital libary
Setiap orang mengetahui hal seperti ini tidak terjadi pada orang
jika yang lainnya tidak melakukan sesuatu
karena semua ini saya berkata :
"Tuhan maha kuat" (= Tuhan dapat melakukan apa saja, orang tidak dapat melakukan hal
ini)
Setiap orang mengetahui ini baik jika orang mengatakan kata-kata ini ketika sesuatu
yang baik terjadi
Formula ini konsisten dengan ranah situasi yang ekspresinya dalam bahasa Ewe
sangat tepat. Misalnya, ekspresi itu tidak dipakai pada pernikahan sebab pernikahan tidak
dianggap oleh orang Ewe sebagai sesuatu yang baik yang terjadi pada seseorang, tetapi
sebagai awal dari sebuah proses yang ditujukan pada sesuatu yang lain, yakni prokreasi
'menjadi ayah' (procreation). Di sisi lain, ungkapan itu akan cocok untuk seseorang yang
telah melewati situasi berbahaya, seperti orang yang keluar dari rumah sakit.
Dimensi budaya penting lainnya timbul ketika kita memikirkan tanggapan yang tepat.
Tanggapan bahasa Inggris yang diharapkan untuk keberhasilan adalah Terima kasih !, yang
berfokus pada apa yang terjadi antara pembicara dan lawan bicara. Sebaliknya, tanggapan
dalam bahasa Ewe pada (29) menggambarkan komunalitas dari peristiwa yang menyenangkan.
29. Yoo, miawoe do gbe da !
Yoo, miat wo ha !
OK, you all have prayed !
OK, yours (pl.) too !
'Baiklah kalian semua berdoa !' 'Baiklah, Anda juga !'
Tanggapan tersebut menyatakan penghargaan pembicara terhadap upaya keagamaan
lawan bicara dan seluruh komunitasnya.
Contoh rutinitas berbahasa lainnya yang hanya bisa dimengerti dalam istilah
kebudayaan adalah pertukaran bahasa Ewe pada (30).
30. A: Mia (lo) !
B : Asie !
The left hand !
It is hand !
‘Tangan kiri !’
‘Itu tangan !’
Dasar rutinitas ini adalah larangan sosial yang keras untuk menggunakan tangan kiri
dalam interaksi sosial. Pada masyarakat Ewe, seperti masyarakat Afrika lainnya, orang tidak
boleh memberikan sesuatu pada orang lain dengan tangan kiri; juga, tidak boleh menunjuk
atau melambai pada orang lain dengan tangan ini. Alasannya, tangan ini semata-mata
dicadangkan
untuk
perbuatan pembersihan. Menggunakan tangan yang 'kotor' ini dalam
pergaulan sosial biasanya mengimplikasikan penghinaan. Meskipun begitu, diakui bahwa
pada waktu tertentu atau waktu lainnya, orang mungkin tidak bisa menggunakan tangan
kanan untuk melakukan segalanya. Dalam situasi seperti ini, diperbolehkan memakai tangan
kiri, tetapi setelah memberitahukan teman bicara dan begitu berbicara akan diperoleh ganti rugi
untuk pelanggaran norma itu, seperti (30).
Dijelaskan bahwa kesederhanaan yang terlihat dari rutinitas berbahasa
bersifat
memperdayakan. Pemahaman komunikatif yang tepat dari rutinitas berbahasa tidak hanya
meliputi pengetahuan kata-kata, tetapi asumsi kebudayaan yang bekerja pada pergaulan
sehari-hari. Karena sifat dasar dan
tingginya
frekuensi rutinitas
berbahasa, rutinitas
merupakan tempat yang baik untuk memulai suatu kajian aspek kebudayaan dari wacana.
2.4.2 Genre Ujaran dalam Bahasa Polandia
Bakhtin (1986:81) membatasi genre ujaran sebagai "bentuk ujaran yang relatif tetap
dan normatif" dan menekankan reportoar genre yang tersedia pada perubahan komunitas
ujaran menurut kondisi sosial dan budaya. Butir pentingnya bisa dijelaskan pada genre kawal
dan podanie dalam bahasa Polandia.
Kawal (pluralnya kawaly) secara garis besar membicarakan jenis "conspiratorial
joke". Kebanyakannya bersifat politis, yang mengekspresikan solidaritas nasional melawan
2001 digitalized by USU digital libary
kekuatan asing : pendudukan Nazi selama Perang Dunia ke-2, rezim komunis Soviet pada
perang Polandia, dan pemisahan kekuatan negara-negara asing pada Abad ke-19.
Kawaly beredar luas dari kebudayaan lisan dan penciptanya tidak dikenal (anonim).
Orang tidak menilai kawaly untuk kepintaran atau pengalaman dalam soal duniawi (seperti
dowcipy 'pelawak'), tetapi untuk perasaan itu diberikan rasa memiliki dalam satu kelompok.
Implikasinya adalah : Saya dapat memberitahukan pada Anda, tetapi ada orang yang tidak
dapat saya beritahukan. Seperti halnya lelucon dalam bahasa Inggris, kawaly dimaksudkan
untuk mengusahakan kesenangan secara bersama-sama, yaitu mereka yang bermaksud
membuat pembicara dan lawan bicara merasa senang bersama. Biasanya sebuah kawal
memerlukan beberapa jenis pendahuluan (‘Apakah Anda mengetahui kawal ini ?’) yang
merefleksikan asumsi bahwa karena tersebar begitu luas kawaly mungkin sudah dikenal oleh
lawan bicara.
Contoh (31) berasal dari periode 1981 sewaktu keadaan perang telah ditentukan
dalam suatu
usaha menahan pergerakan solidaritas. Setiap demonstrasi yang baru,
pemogokan, atau protes dianggap berasal dari "ekstrimis solidaritas". Seperti contoh ini, kawal
selalu mempunyai butir yang lengkap dan lucu yang harus dipahami lawan bicara.
31. 'Kamus TV'
2 orang Polandia : kumpulan orang yang ilegal
8 orang Polandia : demonstrasi yang ilegal
10 juta orang Polandia : ekstrimis yang sukar diurus
Analisis semantis dari kawal akan mencakup komponen berikut ini, beberapa genre
joke bahasa Inggris dan yang lain tidak.
32. Saya ingin mengatakan sesuatu pada Anda bahwa banyak orang berbicara satu sama lain
Saya mengatakan ini karena saya ingin Anda tertawa
Jika saya mengatakan ini, saya ingin Anda berpikir tentang sesuatu
bahwa saya tidak berbicara
Jika Anda berpikir karena ini, Anda akan tertawa
Kita berdua akan merasakan sesuatu yang baik karena ini
Saya dapat mengatakan ini pada Anda karena kita memikirkan hal yang sama
tentang hal seperti ini
Contoh genre bahasa Polandia yang kedua ialah Podanie, genre tulisan utama
Polandia. Khususnya, komunikasi tertulis antara orang biasa dan 'penguasa'. Genre ini
mencerminkan
dominansi birokrasi komunis yang terkenal karena kesewenang-wenangan
keputusannya terhadap orang biasa. Semua aspek kehidupan orang komunis di Polandia,
bagaimanapun sepelenya, hampir tidak bisa dipimpin tanpa menulis Podanie dan menunggu
tanggapannya, dengan mengharapkan hal ini penuh kebaikan. Misalnya, seorang mahasiswa
memohon perpanjangan waktu untuk penyerahan tesis atau seorang karyawan meminta izin
untuk mengambil cuti tahunan pada waktu tertentu. Keduanya harus menyerahkan Podanie.
Dalam masyarakat Anglo-Saxon, maksud ini mungkin diikuti dengan cara menulis
surat atau menulis lamaran (application). Namun, padanan yang paling dekat dalam bahasa
Polandia untuk kata surat, yaitut list, tidak pernah bisa digunakan untuk mengacu pada surat
permohonan pada sebuah lembaga. Tidak ada kata yang sama dalam bahasa Polandia untuk
kata 'surat lamaran' dalam bahasa Inggris, yang mensyaratkan situasi standar tertentu
dengan pedoman yang jelas untuk diikuti oleh lembaga dan pelamar. Secara tipikal Podanie
diawali frase seperti Uprzejmie Prosze ... ('Saya mohon') atau Niniejszym zwaracam sie z
uprzejma prosba ... ('Dengan ini saya mohon kemurahan hati Anda'), yang benar-benar menjadi
di luar bagian dari sebuah 'surat lamaran'.
Aspek pemohon dari Podanie bahasa Polandia dicakup dalam formula semantis
berikut ini.
33. Podanie
Saya berkata : Saya menginginkan sesuatu terjadi pada saya
2001 digitalized by USU digital libary
Saya tahu bahwa hal ini tidak dapat terjadi jika Anda tidak berkata bahwa Anda
menginginkan itu terjadi
Saya mengatakan ini karena saya ingin Anda berkata bahwa Anda menginginkan
itu terjadi
Saya tidak tahu apakah Anda akan mengatakannya
Saya tahu banyak orang mengatakan hal seperti ini pada Anda
Saya tahu Anda tidak harus melakukan apa yang orang ingin Anda lakukan
Jelaslah bahwa kawal dan Podanie merupakan bentuk wacana yang baik untuk kondisi
budaya dan sosial tertentu dari orang komunis Polandia.
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Dari lima kebudayaan yang tidak berhubungan (Jepang,
Melayu, Polandia,
Yankunytjatjara, dan Ewe) dapat ditarik beberapa simpulan tentang dimensi utama
perbedaan gaya wacana, yang membantu dalam membentuk sikap dan nilai kebudayaan
yang relevan dan kesukaran metode yang terlibat dalam penelitian ini.
Berkenaan dengan sikap pada jumlah kata yang terbatas, mungkin ada pilihan untuk
berbicara secara bertele-tele yang bertentangan dengan bentuk ekspresi yang pendek dan
tepat atau bahkan pilihan untuk ekspresi nonverbal. Makna kebudayaan dari diam berbeda-beda
secara luas.
Orang-orang di mana pun akan menyesuaikan ujarannya berdasarkan cara mereka
memandang lawan bicaranya. Walaupun
beberapa dimensi identitas sosial (seperti jenis
kelamin dan umur) berhubungan erat secara universal, analisis sosial di dalamnya amat
beragam. Dalam beberapa masyarakat, seperti Yankunytjatjara, hubungan keagamaan dan
kekeluargaan sangat penting. Di Jepang dimensi sosial utama yang menentukan gaya wacana
adalah "di dalam kelompok" atau "di luar kelompok" dan perbedaan status di
antara
interlokutor. Pada masyarakat Melayu, dimensi yang penting adalah apakah individu-individu itu
termasuk dalam garis rumah tangga yang sama. Di tempat lain, warga, suku, kasta, dan
pangkat menentukan perbedaan gaya wacana.
Dalam tingkatan wacana yang fungsional atau ilokusioner, parameter penting dari
perbedaan itu mencakup seberapa sering dan dengan cara bagaimana pembicara
mengekspresikan keinginan, pikiran, perasaannya; sejauhmana usaha pembicara mempengaruhi
keinginan, pikiran, dan perasaan lawan bicara, apakah dengan tepat digambarkan
perbedaan di antara pembicara dan lawan bicara. Kebudayaan juga amat berbeda
konvensinya; bagaimana orang ikut serta dalam percakapan, misalnya, ganti bicara (turntaking), berbicara secara berlebihan, atau bahkan menggabungkan kontruksi kalimat-kalimat
dalam ranah rutinitas berbahasa mereka.
Satu generalisasi yang terkemuka adalah bahwa hampir selalu terdapat hubungan
antara pola perilaku verbal dan nonverbal. Jadi, bila ada pilihan budaya yang luas atau
kebiasaan berbicara dengan gaya khas dalam mengekspresikan emosi antarpribadi, kita bisa
berharap orang yang saling berbicara tetap 'menjaga jarak' satu sama lain. Misalnya, saling
menahan diri untuk bersentuhan atau melihat satu sama lain secara langsung. Sebaliknya, jika
ada sedikit bahkan tidak ada etika verbal dalam pekerjaan, perilaku fisik yang lebih intim dan
gembira dapat diterima.
Kita telah melihat beragam fakta yang berbeda dapat digunakan untuk membuktikan
bahwa sikap dan nilai kebudayaan dapat membantu dalam memahami fenomena wacana. Ini
mencakup analisis semantis mengenai 'kata-kata kunci' kebudayaan, pepatah-pepatah, dan
perwujudan lain dari kebiasaan utama suatu budaya, kebiasaan sehari-hari dalam masyarakat,
pemerolehan secara langsung atau tak langsung sikap pembicara, bahkan sikap bijaksana
dalam karya sastra.
2001 digitalized by USU digital libary
Masalah metode yang utama dalam kajian wacana dan kebudayaan adalah perlunya
menemukan sebuah kerangka kerja untuk membandingkan
pilihan wacana dan nilai
kebudayaan dengan
tepat. Kebiasaan umum dalam
penggunaan
label seperti
"ketaklangsungan", "kesopanan", "penghormatan", dan
"solidaritas" sebagai metabahasa
informal dalam perbandingan lintas budaya tidak bisa dipertemukan untuk keperluan tersebut.
Ancangan menjanjikan yang telah dijelaskan dalam tulisan ini ialah penggunaan wacana
kebudayaan yang ditulis dalam leksikon universal. Leksikon ini menyediakan sebuah kerangka
kerja berdasarkan penemuan linguistik antropologi,
pragmatik
kontrastif, dan kajian
kebudayaan yang dapat digabungkan dan disatukan. Pada saat yang sama, dasar semantis
dari ancangan wacana ini memungkinkan penggambaran hubungan antara latihan berbicara
pada satu sisi dan nilai serta emosi budaya pada sisi lain. Cara ini akan memudahkan
pengembangan pragmatik lintas budaya yang benar-benar alamiah.
3.2 Saran
Sebagaimana dijelaskan, ada sejumlah perbedaan gaya wacana dari tiap kelompok
masyarakat yang mencerminkan nilai kebudayaannya. Budaya yang berbeda diasumsikan
mempunyai gaya wacana yang berbeda pula. Penelitian semacam ini tentunya sangat menarik
dilakukan pada sejumlah etnis di Sumatera. Hal ini makin diperkuat oleh kenyataan bahwa
setakat ini belum pernah terungkap bagaimana gaya wacana masyarakat Toba, Karo,
Mandailing, Nias, Melayu, dan sebagainya. Dari bukti bahasa seperti pepatah-petitih, pantun,
syair, dan kebiasaan ujaran sehari-hari mungkin saja ditemukan persamaan di samping
perbedaannya.
Banyak aspek bahasa yang dapat dieksplorasi untuk menunjukkan nilai kebudayaan
suatu kelompok masyarakat; misalnya, tentang konsep emosi, hubungan kekerabatan, warna,
dan sebagainya. Yang jelas, ranah penelitiannya tidak semata-mata bertumpu pada linguistik,
tetapi hasil integrasi sejumlah disiplin lain, seperti psikologi, sosiologi, dan antropologi.
DAFTAR PUSTAKA
Ameka, F.1987. A Comparative Analysis of Linguistic Routines in Two Languages : English and
Ewe. Journal of Pragmatics 11, 299--326.
Bakhtin, M. 1986. “The Problem of Speech Genres”. Dalam C. Emerson dan M. Holquist (Ed.),
Speech Genres and Other Later Essays, 60--112. Texas : University of Texas Press.
Blum-Kulka, House J., dan Kaspar G. 1989. Cross-Cultural Pragmatics. Norwood : Ablex.
Brown, P. dan Levinson, S. 1978. Politeness : Some Universals of Language Use. Cambridge
University Press.
Cook, H.M. 1992. Meanings of Non-referential Indexes : A Case Study of the Japanese
Sentence-Final Particle Ne. Teks 12, 507--539.
Doi, T. 1988. The Anatomy of Self. Tokyo : Kodansha.
Goddard, C. 1986. Yankunytjatjara Grammar. Alice Springs : Institute for Aboriginal
Development.
Goddard, C. dan Wierzbicka, A. (Ed.). 1994. Semantic and Lexical Universals. Amsterdam : John
Benjamins.
Goddard, C. dan Wierzbicka, A.
1996. “Discource and Culture”. Dalam A. Wierzbicka
(Convenor), Cross-Cultural Communication. Canberra : Australian National University.
Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam P. Cole dan J.L. Morgan (Ed.), Speech Acts,
41--58. New York : Academic Press.
Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara
Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta”. Dalam B.K. Purwo (Penyunting), Bahasa, Budaya,
179--205. Yogyakarta : Kanisius.
2001 digitalized by USU digital libary
Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di
Jakarta”. Dalam B.K. Purwo (Penyunting), Analisis Klausa, Pragmatik Wacana,
Pengkomputeran Bahasa, 81--111. Yogyakarta : Kanisius.
Gunarwan, Asim. 1999. “Tindak Tutur Melarang di Kalangan Dua Kelompok Etnis Indonesia : Ke
Arah Kajian Sosiopragmatik”. Makalah dalam Pelbba 13. Jakarta : Pusat Kajian Bahasa
dan Budaya Atma Jaya.
Hoffman, E. 1989. Lost in Translation. New York : Dutton.
Hymes, D.H. 1962. “The Etnography of Speaking”. Dalam Joshua Fishman (Ed.). 1968. Reading
on the Sociology of Language, 99--138. The Hague : Mouton.
Lebra, T. S. 1976. Japanese Patterns of Behaviour. Honolulu : University of Hawaii Press.
Mizutani, O. dan Mizutani, N. 1987. How to be Polite in Japanese. Tokyo : Japan Times.
Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics : The Semantics of Human Interaction. Berlin :
Mouton de Gruyter.
Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. Oxford : Oxford University Press.
Wierzbicka, A. 1996. “‘Cultural Scripts’ : A New Approach to the Study of Cross-Cultural
Communication”. Dalam A. Wierzbicka (Convenor). Cross-Cultural Communication.
Canberra : Australian National University.
Wierzbicka, A. 1996. Semantics, Primes, and Universals. Oxford : Oxford University Press.
Vreeland, N. (et al.). 1977. Area Handbook for Malaysia. Edisi ke-3. Glen Rock NJ : Microfilming
Corporation of America.
2001 digitalized by USU digital libary
Download