II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Tumbuhan Obat Tumbuhan

advertisement
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Tumbuhan Obat
Tumbuhan obat adalah semua tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat,
berkisar dari yang terlihat oleh mata hingga yang nampak dibawah mikroskop
(Hamid et al., 1991). Menurut Zuhud (2004), tumbuhan obat adalah seluruh
jenis tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat
yang dikelompokkan menjadi :
1. Tumbuhan obat tradisional, yaitu; jenis tumbuhan obat yang diketahui atau
dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan
sebagai bahan baku obat tradisional.
2. Tumbuhan obat modern, yaitu; jenis tumbuhan yang secara ilmiah telah
dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat
dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
3. Tumbuhan obat potensial, yaitu; jenis tumbuhan obat yang diduga
mengandung senyawa atau bahan aktif yang berkhasiat obat, tetapi belum
dibuktikan secara ilmiah atau penggunaannya sebagai obat tradisional sulit
ditelusuri.
Departemen Kesehatan RI mendefinisikan tumbuhan obat Indonesia seperti
yang tercantum dalam SK Menkes No. 149/SK/Menkes/IV/1978, yaitu:
7
1. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau jamu.
2. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat
(precursor).
3. Bagian tumbuhan yang diekstraksi digunakan sebagai obat (Kartikawati,
2004).
Sejalan dengan perkembangan industri jamu, obat herbal, fitofarmaka, dan
kosmetika tradisional juga mendorong berkembangnya budidaya tumbuhan
obat di Indonesia. Selama ini upaya penyediaan bahan baku untuk industri
obat tradisional sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan yang tumbuh
liar atau dibudidayakan dalam skala kecil di lingkungan sekitar rumah dengan
kuantitas dan kualitas yang kurang memadai. Sehingga, aspek budidaya perlu
dikembangkan sesuai dengan standar bahan baku obat tradisional.
Penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami peningkatan
dengan adanya isu back tonature dan krisis berkepanjangan yang
mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang
relatif lebih mahal harganya. Obat bahan alam juga dianggap hampir tidak
memiliki efek samping yang membahayakan. Pendapat itu belum tentu benar
karena untuk mengetahui manfaat dan efek samping obat tersebut secara pasti
perlu dilakukan penelitian dan uji praklinis dan uji klinis.
Obat bahan alam Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ; jamu
yang merupakan ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, obat herbal
yang merupakan obat bahan alam yang sudah melewati tahap uji praklinis,
sedangkan fitofarmaka adalah obat bahan alam yang sudah melewati uji
8
praklinis dan klinis (SK Kepala BPOM No. HK.00.05.4 .2411 tanggal.17 Mei
2004). Penyebaran informasi mengenai hasil penelitian dan uji yang telah
dilakukan terhadap obat bahan alam menjadi perhatian bagi semua pihak
karena menyangkut faktor keamanan penggunaan obat tersebut. Beberapa hal
yang perlu diketahui sebelum menggunakan obat bahan alam adalah
keunggulan obat tradisional dan kelemahan tumbuhan obat (Suharmiati dan
Handayani, 2006).
Keunggulan obat bahanalam antaralain (Suharmiati dan Handayani, 2006):
1. Efek samping obat tradisional relatif lebih kecil bila digunakan secara benar
dan tepat, baik tepat takaran, waktu penggunaan,cara penggunaan, ketepatan
pemilihan bahan, dan ketepatan pemilihan obat tradisional atau ramuan
tumbuhan obat untuk indikasi tertentu.
2. Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat/
komponen bioaktif tumbuhan obat. Dalam suatu ramuan obat tradisional
umumnya terdiri dari beberapa jenis tumbuhan obat yang memiliki efek
saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan.
Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar
tidak menimbulkan efek kontradiksi, bahkan harus dipilih jenis ramuan
yang saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki.
3. Pada satu tumbuhan bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Zat
aktif pada tumbuhan obat umumnya dalam bentuk metabolit sekunder,
sedangkan satu tumbuhan bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder,
sehingga memungkinkan tumbuhan tersebut memiliki lebih dari satu efek
farmakologi.
9
4. Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan
degeneratif. Perubahaan pola konsumsi mengakibatkan gangguan
metabolisme tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit Diabetes
(kencing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal,
dan hepatitis yang merupakan penyakit metabolik. Penyakit degeneratif
antara lain rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak
lambung), haemorrhoid (ambein/wasir), dan pikun (lost of memory).
Menurut Zein (2005), Kelemahan tumbuhan obat sebagai berikut:
1. Sulitnya mengenali jenis tumbuhan dan bedanya nama tumbuhan
berdasarkan daerah tempatnya tumbuh.
2. Kurangnya sosialisasi tentang manfaat tumbuhan obat terutama dikalangan
dokter.
3. Penampilan tumbuhan obat yang berkhasiat berupa fitofarmaka kurang
menarik dibandingkan obat-obatan paten.
4. Kurangnya penelitian komprehensif dan terintergrasi dari tumbuhan obat.
5. Belum ada upaya pengenalan dini terhadap tumbuhan obat.
Untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut diperlukan waktu lama sehingga
penggunaan obat alam lebih tepat, karena efek sampingnya relatif lebih kecil.
Di samping keunggulannya, obat bahan alam juga memiliki beberapa
kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat
tradisional antara lain efek farmakologisnya lemah, bahan baku belum
terstandar dan bersifat higroskopis, belum dilakukan uji klinik dan mudah
tercemar berbagai mikroorganisme (Zein, 2005).
10
Secara umum dapat diketahui bahwa tidak kurang 82% dari total jenis
tumbuhan obat hidup di ekosistem hutan tropika dataran rendah pada
ketinggian di bawah 1000 meter dari permukaan laut. Saat ini ekosistem hutan
dataran rendah adalah kawasan hutan yang paling banyak rusak dan punah
karena berbagai kegiatan eksploitasi kayu oleh manusia (Zuhud, 2009).
Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan. Sediaan obat
tradisional yang digunakan masyarakat saat ini disebut sebagai herbal
Medicine atau fitofarmaka yang diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.761 tahun 1991 menyatakan bahwa
fitofarmaka adalah sediaan obat yang dibuktikan keamanan dan khasiatnya,
bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi
persyaratan yang berlaku.
2. Pemanfaatan Tumbuhan Obat
Sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal sejak lama sebagai warisan
budaya dan tetap diteruskan sehingga kini menjadi potensi dan modal dasar
untuk mengembangkan obat-obat tradisional yang berasal dari tumbuhan.
Menurut WHO, diperkirakan sekitar 4 milyar penduduk dunia (± 80%)
menggunakan obat-obatan yang berasal dari tumbuhan. Bahkan banyak obatobatan modern yang digunakan sekarang ini berasal dan dikembangkan dari
11
tumbuhan obat. WHO mencatat terdapat 119 jenis bahan aktif obat modern
berasal dari tumbuhan obat (Suganda, 2002).
Pada tahun 2008 telah menjadi 1166 industri yang terdiri dari 1037 IKOT
(Industri Kecil Obat Tradisional) dan 129 IOT (Industri Obat Tradisional).
Dengan meningkatnya jumlah industri dan produksi obat tradisional secara
langsung meningkatkan penggunaan bahan baku tumbuhan obat (Balitro,
2010).
Pengetahuan tentang tumbuhan berkhasiat obat ini sudah lama dimiliki oleh
nenek moyang kita dan hingga saat ini telah banyak yang terbukti secara
ilmiah. Pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia akan terus meningkat
mengingat kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi kebudayaan
memakai jamu.
Bagian-bagian yang digunakan sebagai bahan obat yang disebut simplisia
terdiri dari (Widyastuti, 2004):
a. Kulit (cortex)
Kortek adalah kulit bagian terluar dari tumbuhan tingkat tinggi yang
berkayu.
b. Kayu (lignum)
Simplisia kayu merupakan pemanfaatan bagian dari batang atau cabang.
c. Daun (folium)
Folium merupakan jenis simplisia yang paling umum digunakan sebagai
bahan baku ramuan obat tradisional maupun minyak atsiri.
12
d. Bunga (flos)
Bunga sebagai simplisia dapat berupa bunga tunggal atau majemuk, bagian
bunga majemuk serta komponen penyusun bunga.
e. Akar (radix)
Akar tumbuhan yang sering dimanfaatkan untuk bahan obat dapat berasal
dari jenis tumbuhan yang umumnya berbatang lunak dan memiliki
kandungan air yang tinggi.
f. Umbi (bulbus)
Bulbus atau bulbi adalah produk berupa potongan rajangan umbi lapis, umbi
akar, atau umbi batang. Bentuk ukuran umbi bermacam-macam tergantung
dari jenis tumbuhannya.
g. Rimpang (rhizom)
Rhizom atau rimpang adalah produk tumbuhan obat berupa potonganpotongan atau irisan rimpang.
h. Buah (fructus)
Simplisia buah ada yang lunak dan ada pula yang keras. Buah yang lunak
akan menghasilkan simplisia dengan bentuk dan warna yang sangat berbeda,
khususnya bila buah masih dalam keadaan segar.
i. Kulit buah (perikarpium)
Sama halnya dengan simplisia buah, simplisia kulit buah pun ada yang
lunak, keras bahkan adapula yang ulet dengan bentuk bervariasi.
13
j. Biji (semen)
Semen (biji-bijian) diambil dari buah yang telah masak sehingga umumnya
sangat keras. Bentuk dan ukuran simplisia biji pun bermacam-macam
tergantung dari jenis tumbuhan.
Potensi khasiat obat dari tumbuhan tingkat tinggi yang ada di hutan dan kebun
sangatlah besar. Industri obat tradisional dan fitofarmaka telah memanfaatkan
berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan baku obat, antara lain untuk antikuman,
demam, pelancar air seni, antidiare, antimalaria, antitekanan darah tinggi dan
sariawan. Indonesia memiliki sekitar 370 etnis yang hidup di dalam atau di
sekitar kawasan hutan. Mereka umumnya memiliki pengetahuan tradisional
dalam penggunaan tumbuhan berkhasiat obat untuk mengobati penyakit
tertentu. Pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat ini merupakan dasar
pengembangan obat fitofarmaka atau obat modern (Supriadi, 2001).
Sudah sejak lama berbagai penduduk asli yang hidup di daerah pedalaman, di
dalam dan di sekitar hutan, memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan dari hutan
secara turun temurun untuk berbagai macam penyakit. Dari berbagai
penelitian etnomedika yang dilakukan oleh peneliti Indonesia telah diketahui
sebanyak 419 jenis tumbuhan yang digunakan oleh penduduk asli Kalimantan
Tengah untuk mengobati berbagai penyakit. Banyak pengetahuan tradisional
tentang penggunaan tumbuhan obat dari berbagai penduduk asli Kalimantan
Tengah telah dikembangkan oleh pengusaha industri jamu dan farmasi
(Supriadi, 2001).
14
3. Penelitian Tumbuhan Obat
Kegiatan penelitian tumbuhan obat umumnya diawali dengan kajian
etnobotani, lalu kegiatan eksplorasi, kemudian pengujian kandungan bioaktif
dalam tumbuhan yang berpotensi obat. Etnobotani merupakan ilmu botani
mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suku
bangsa. Studi etnobotani tidak hanya mengenai data botani taksonomi saja,
tetapi juga menyangkut pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, berupa
tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan timbal balik
antara manusia dengan tumbuhan, serta menyangkut pemanfaatan tumbuhan
tersebut lebih diutamakan untuk kepentingan budaya dan kelestarian sumber
daya alam (Martin, 1998).
Etnobotani merujuk pada kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan.
Kajian ini merupakan bentuk deskriptif dari pendokumentasian pengetahuan
botani tradisional yang dimiliki masyarakat setempat yang meliputi kajian
botani, kajian etnofarmakologi, kajian etnoantropologi, kajian etnoekonomi,
kajian etnolinguistik dan kajianetnoekologi (Martin, 1998). Eksplorasi adalah
kegiatan pelacakan atau penjelajahan untuk mencari, mengumpulkan, dan
meneliti jenis plasma nutfah tertentu untuk mengamankan dari kepunahan
(Kusumo et al., 2002).
Langkah pertama praeksplorasi adalah mencari informasi ke dinas-dinas dan
instansi terkait lainnya untuk memperoleh informasi tentang jenis dan habitat
tumbuhnya. Informasi ini kemudian dikembangkan pada saat eksplorasi ke
15
lokasi sasaran yang umumnya daerah asal dan penyebaran jenis tumbuhan
(Krismawati et al., 2004).
4. Kandungan Bioaktif Tumbuhan Obat
Tumbuhan obat merupakan sumber senyawa bioaktif yang berkhasiat
mengobati berbagai jenis penyakit. Hingga saat ini, sumber alam nabati masih
tetap merupakan sumber bahan kimia baru yang tidak terbatas, baik senyawa
isolat murni yang dipakai langsung (misalnya alkaloida morfin, papaverin)
maupun melalui derivatisasi menjadi senyawa bioaktif turunan yang lebih baik,
dalam arti lebih potensial dan lebih aman, misalnya molekul artemisinin dari
Tanaman Artemisia annua L. Dideritivatisasi menjadi artemisinin eter yang
lebih efektif terhadap penyakit malaria dan kurang toksik (Sinambela, 2002).
Penelitian kimiawi tumbuhan tropika Indonesia telah banyak dilaporkan oleh
sejumlah peneliti baik dari dalam ataupun dari mancanegara, yang
memperlihatkan keanekaragaman molekul dari berbagai macam senyawa
dengan keanekaragam manfaat, baik sebagai bahan dasar obat, kosmetika, zat
warna, insektisida, dan suplemen. Tumbuhan dari suku Moraceae merupakan
sumber utama senyawa flavonoida, aril-benzofuran, stilben tersubsitusi gugus
isoprenil dan oksigensi (Krismawati et al., 2004). Suku Clusiaceae
(Guttiferae) dikenal sebagai sumber senyawa santon, kumarin, benzofenon dan
biflavonoid yang tersubstitusi gugus isoprenil oksigenasi (Peres et al., 2000).
16
5. Gambaran Umum
Kecamatan Natar adalah salah satu bagian dari Wilayah Kabupaten Lampung
Selatan. Letak Kecamatan Natar menurut batas wilayah sebagai berikut (BPS,
2011) :
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tegineneng Kabupaten
Pesawaran.
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kotamadya Bandar Lampung.
3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Negri Katon dan Gedongtataan
Kabupaten Pesawaran.
4. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jati Agung Kabupaten
Lampung Selatan.
Letak geografis Kecamatan Natar menurut Desa tahun 2010 yaitu dataran.
Kecamatan Natar memiliki luas wilayah 25.374 ha. Luas wilayah, yaitu; tanah
sawah (irigasi seluas 815 ha dan tadah hujan seluas 3.670 ha), tanah kering
(pekarangan seluas 2.972 ha dan kebun seluas 9.114 ha), dan tanah basah (rawa
seluas 300 ha). Kecamatan Natar memiliki jumlah kepala keluarga sebanyak
+ 170.992 kk. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, yaitu; laki-laki
sebanyak 87.558 orang dan perempuan sebanyak 83.434 orang. Pendidikan
terakhir mayoritas penduduk yaitu, SD (Sekolah Dasar/Sederajat). Menurut
mata pencaharian penduduk di Desa tersebut bervariasi, yaitu; sebagai PNS
(Pegawai Negeri Sipil), pedagang keliling, petani, buruh tani, peternak, buruh
migran, rumah tangga, dokter swasta, bidan swasta, asisten rumah tangga, TNI,
POLRI, pensiunan TNI/POLRI/PNS, pengusaha kecil menengah, pengacara,
17
dukun, notaris, pengobatan alternatif, dosen swasta, pengusaha besar,
arsitektur, dan karyawan perusahaan. Dari beberapa mata pencaharian tersebut
yang paling dominan adalah sebagai petani, yaitu sebanyak 16.500 orang (lakilaki) dan 10.801 orang (perempuan) (Kecamatan Natar, 2013).
A. Sejarah Desa Sidosari
Menurut Bapak Pariyanto bahwa pada tahun 1957 pertama bukaan Desa
Sidosari yang pada saat itu diberi nama “ Kampung Ulu Kibau ” artinya
adalah tempat untuk mengembala kerbau, dengan luas wilayah ± 297 ha.
Wilayah Kampung Ulu Kibau termasuk dari Piliar Hajimena. Pada tahun
1965 dipecah dari Wilayah Piliar Hajimena untuk berdiri sendiri menjadi
Kampung Susukan yang terdiri dari 3 Dusun, yaitu; Dusun satu yaitu
Sidosari, Dusun dua yaitu Umbul Baru dan Dusun tiga yaitu Simbaringin.
Kepala susukan adalah Bapak Abdul Hamid (Kepala Susukan satu)
(Kelurahan Sidosari, 2013).
Pada tahun 1965 Kampung Ulu Kibau diganti nama menjadi Sidasari dari
kata, Sida artinya Jadi dan Sari artinya Rasa, Sidasari artinya adalah Jadi
Rasa. Pada tahun 1968 Sidasari dirubah nama menjadi Sidosari dari kata,
Sido artinya Jadi dan Sari artinya Rasa, Sidosari artinya adalah Jadi Rasa.
Pada tahun 1975 Kepala Susukan diganti/dijabat oleh Bapak Ismail sampai
tahun 1982.
Pada tahun 1982 Kampung Susukan dirubah menjadi Desa dan dimekarkan
menjadi 5 Dusun yaitu Dusun 1 Sidosari, Dusun 2Umbul Garut, Dusun 3
18
Simbaringin, Dusun 4 Sindang Liwa, dan Dusun 5 Umbul Kucingan,
sebagai Kepala Desa adalah Bapak Sunardi (Kepala Desa ke-1) sampai
tahun 1984. Pada tahun 1984 Dusun yang ada (5 Dusun) dimekarkan
menjadi 6 Dusun dan ada penyempurnaan nama-nama Dusun, yaitu; Dusun
1. Sinar Banten, Dusun 2. Sidosari, Dusun 3. Sindang Liwa, Dusun 4.
Bangun Rejo, Dusun 5. Simbaringin, dan Dusun 6. Kampung Baru. Kepala
Desa dijabat oleh Bapak Unang Ratu dari tahun 1984 sampai tahun 1997.
Pada tahun 1997 sampai tahun 2013 Kepala Desa Sidosari dijabat oleh
Bapak M. Amin Ansor (Kepala Desa ke-2).
Desa Sidosari memiliki batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan
desa/kelurahan Muara Putih Kecamatan Natar, sebelah selatan berbatasan
dengan desa/kelurahan Hajimena Kecamatan Natar, sebelah timur
berbatasan dengan Rajabasa Jaya, Kecamatan Rajabasa, dan sebelah barat
berbatasan dengan Natar, Kecamatan Natar. Desa Sidosari memiliki luas
wilayah seluas 297 ha. Desa Sidosari memiliki luas wilayah yaitu tanah
sawah (irigasi ½ teknis seluas 33 ha dan tadah hujan seluas 65,08 ha), tanah
kering (pekarangan 12 ha, pemukiman 31 ha, dan ladang 130 ha), dan tanah
perkebunan (rakyat 4,50 ha dan perorangan 6,75 ha). Desa Sidosari
memiliki jumlah kepala keluarga sebanyak + 1.048 kk. Jumlah penduduk
menurut jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 2.172 orang dan perempuan
sebanyak 2.009 orang.
Pendidikan terakhir mayoritas penduduk yaitu SD (Sekolah
Dasar/Sederajat). Menurut mata pencaharian penduduk di desa tersebut
19
bervariasi, yaitu; sebagai petani, buruh tani, buruh migran perempuan, buruh
migran laki-laki, PNS (Pegawai Negeri Sipil), pengrajin industri rumah
tangga, pedagang keliling, peternak, montir, asisten rumah tangga, TNI,
POLRI, pensiunan TNI/POLRI/PNS, pengusaha kecil dan menengah, dukun
kampung terlatih, jasa pengobatan alternatif, pengusaha besar, karyawan
perusahaan swasta, BUMN, dan karyawan perusahaan pemerintah. Dari
beberapa mata pencaharian tersebut yang paling dominan adalah sebagai
buruh tani, yaitu sebanyak 802 orang laki-laki dan 782 orang perempuan
(Kelurahan Sidosari, 2013).
B. Sejarah Desa Pancasila
Desa Pancasila memiliki wilayah seluas 1.088 ha. Desa Pancasila memiliki
6 dusun dan 24 Rukun Tetangga (RT). Desa Pancasila memiliki jumlah
kepala keluarga sebanyak + 2.670 kk. Jumlah penduduk menurut jenis
kelamin yaitu laki-laki sebanyak 1.359 orang dan perempuan sebanyak
1.311 orang. Desa Pancasila memiliki kepadatan penduduk sebanyak
245,43 jiwa/Km2.
Pendidikan terakhir mayoritas penduduk yaitu SD (Sekolah
Dasar/Sederajat) dan SLTP (Sekolah Lanjut Tingkat Pertama) sebanyak 416
orang. Desa Pancasila memiliki sarana kesehatan berupa puskesmas
pembantu. Menurut mata pencaharian penduduk di Desa tersebut
bervariasi, yaitu; sebagai petani, buruh tani, buruh migran perempuan, buruh
migran laki-laki, PNS (Pegawai Negeri Sipil), pengrajin industri rumah
tangga, pedagang keliling, peternak, montir, asisten rumah tangga, TNI,
20
POLRI, pensiunan TNI/POLRI/PNS, pengusaha kecil dan menengah, dukun
kampung terlatih, jasa pengobatan alternatif, pengusaha besar, karyawan
perusahaan swasta, BUMN, dan karyawan perusahaan pemerintah (BPS,
2011).
C. Sejarah Desa Sukadamai
Desa Sukadamai memiliki wilayah seluas 1.132 ha. Desa Sukadamai
memiliki 9 dusun dan 26 Rukun Tetangga (RT). Desa Sukadamai memiliki
jumlah kepala keluarga sebanyak + 6.397 kk. Jumlah penduduk menurut
jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 3.274 orang dan perempuan sebanyak
3.123 orang. Desa Sukadamai memiliki kepadatan penduduk sebanyak
565,11 jiwa/Km2.
Pendidikan terakhir mayoritas penduduk yaitu tidak tamat SD (Sekolah
Dasar/Sederajat). Desa Sukadamai memiliki sarana kesehatan berupa
puskesmas induk. Desa Sukadamai terdapat satu toko obat atau jamu.
Menurut mata pencaharian penduduk di desa tersebut bervariasi, yaitu;
sebagai petani, buruh tani, buruh migran perempuan, buruh migran laki-laki,
PNS (Pegawai Negeri Sipil), pengrajin industri rumah tangga, pedagang
keliling, peternak, montir, asisten rumah tangga, TNI, POLRI, pensiunan
TNI/POLRI/PNS, pengusaha kecil dan menengah, dukun kampung terlatih,
jasa pengobatan alternatif, pengusaha besar, karyawan perusahaan swasta,
BUMN, dan karyawan perusahaan pemerintah (BPS, 2011).
21
D. Sejarah Desa Purwosari
Desa Purwosari memiliki wilayah seluas 1.027 ha. Desa Purwosari menurut
desa memiliki 4 dusun dan 16 Rukun Tetangga (RT). Desa Pancasila
memiliki jumlah kepala keluarga sebanyak + 3.120 kk. Jumlah penduduk
menurut jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 1.619 orang dan perempuan
sebesar 1.501 orang. Desa Pancasila memiliki kepadatan penduduk
sebanyak 303,80 jiwa/Km2.
Pendidikan terakhir mayoritas penduduk yaitu SD (Sekolah
Dasar/Sederajat). Desa Purwosari memiliki sarana kesehatan berupa
puskesmas pembantu. Menurut mata pencaharian penduduk di desa tersebut
bervariasi, yaitu; sebagai petani, buruh tani, buruh migran perempuan, buruh
migran laki-laki, PNS (Pegawai Negeri Sipil), pengrajin industri rumah
tangga, pedagang keliling, peternak, montir, asisten rumah tangga, TNI,
POLRI, pensiunan TNI/POLRI/PNS, pengusaha kecil dan menengah, dukun
kampung terlatih, jasa pengobatan alternatif, pengusaha besar, karyawan
perusahaan swasta, BUMN, dan karyawan perusahaan pemerintah (BPS,
2011).
E. Sejarah Desa Brantiraya
Desa Brantiraya memiliki wilayah seluas 1.050 ha. Desa Brantiraya
menurut desa memiliki 10 dusun dan 34 Rukun Tetangga (RT). Desa
Brantiraya memiliki jumlah kepala keluarga sebanyak + 10.269 kk. Jumlah
penduduk menurut jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 5.238 orang dan
22
perempuan sebanyak 5.031 orang. Desa Brantiraya memiliki kepadatan
penduduk sebanyak785,45 jiwa/Km2.
Pendidikan terakhir mayoritas penduduk yaitu SD (Sekolah
Dasar/Sederajat). Desa Brantiraya memiliki sarana kesehatan berupa
puskesmas induk. Desa Brantiraya terdapat satu toko obat atau jamu.
Menurut mata pencaharian penduduk di desa tersebut bervariasi, yaitu;
sebagai petani, buruh tani, buruh migran perempuan, buruh migran laki-laki,
PNS (Pegawai Negeri Sipil), pengrajin industri rumah tangga, pedagang
keliling, peternak, montir, asisten rumah tangga, TNI, POLRI, pensiunan
TNI/POLRI/PNS, pengusaha kecil dan menengah, dukun kampung terlatih,
jasa pengobatan alternatif, pengusaha besar, karyawan perusahaan swasta,
BUMN, dan karyawan perusahaan pemerintah (BPS, 2011).
Download