i. pendahuluan

advertisement
I.
PENDAHULUAN
Penyakit jantung, otak dan pembuluh darah (kardioserebrovaskular) memegang peran
yang semakin penting dalam berbagai masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Penyakit
kardioserebrovaskular (PKSV) yang paling sering menimbulkan mortalitas dan morbiditas
didasari oleh proses aterosklerosis yang menimbulkan penyempitan dan penyumbatan total
pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh darah koroner mengakibatkan serangan jantung
(infark miokard) yang bisa diikuti kematian mendadak atau gagal jantung, sedangkan
penyumbatan pembuluh darah otak berakibat stroke, penyumbatan pembuluh darah perifer juga
tak kalah pentingnya karena bisa berakhir dengan amputasi atau trombo-emboli yang fatal.
Dari data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan Indonesia tahun
2007 diketahui bahwa, 31,9% kematian di Indonesia disebabkan oleh PKSV termasuk stroke,
penyakit jantung dan pembuluh darah perifer. Berbagai faktor risiko PKSV seperti hipertensi,
merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, kurang berolahraga, obesitas dan stress, kurang
disadari oleh masyarakat. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7%, tetapi hanya
23,9% saja dari populasi ini yang menyadari dirinya mengidap hipertensi dan menerima
pengobatan. Hal serupa terjadi pada diabetes mellitus, yang prevalensinya di Indonesia
mencapai 5,7%. Kebiasaan berolah raga setiap hari 30 menit atau makan sayur dan buah lima
kali sehari jarang diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Sebaliknya kebiasaan buruk merokok
masih sangat tinggi, dan tidak ada penurunan bermakna dari tahun ke tahun. Pola Hidup Sehat
yang kurang dipahami atau diabaikan oleh masyarakat, mengakibatkan PKSV tidak hanya terjadi
pada kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke atas, tetapi juga pada
kelompok sosial ekonomi rendah (miskin/tidak mampu) dan usia produktif. Di sisi lain, perbaikan
kualitas dan pemerataan pelayanan kesehatan membuat usia harapan hidup semakin panjang,
sehingga prevalensi penyakit degeneratif khususnya PKSV di Indonesia diprediksikan akan terus
meningkat.
Meskipun pengendalian penyakit infeksi seperti penyakit saluran nafas atas serta
perbaikan sanitasi dan gizi berhasil menurunkan angka penyakit jantung rematik, tetapi
immunitas rendah dan infeksi virus miokard berpotensi menimbulkan miokarditis yang berlanjut
dengan gagal jantung. Penyakit jantung bawaan juga merupakan masalah yang sulit diatasi,
karena umumnya harus ditangani dengan operasi jantung atau intervensi non bedah yang mahal,
sementara upaya prevensi belum ada yang ampuh. Sebagian pasien-pasien ini juga memerlukan
pengawasan lanjutan seumur hidupnya, dalam bentuk layanan yang lazim disebut Grown Up
Congenital Heart (GUCH).
Ilmu dan teknologi penanganan PKSV maju sangat pesat, berbagai metode terapi canggih
berkembang, dan umumnya memerlukan biaya tinggi. Jumlah pasien yang memerlukan
penanganan canggih ini pun semakin besar. Tentu beban perekonomian negara akan terus
meningkat dan sangat besar, apalagi kalau ditambah kerugian yang ditimbulkan oleh hilangnya
produktifitas pasien-pasien PKSV.
Memahami besarnya permasalahan PKSV di Indonesia, maka Kementerian Kesehatan
perlu membuat Strategi Nasional Pelayanan Kesehatan Jantung, Otak dan Pembuluh Darah di
Indonesia untuk jangka waktu 10 tahun. Diharapkan usulan strategi yang dibuat oleh PERKI dan
PERDOSSI ini dapat membantu memberikan arahan terhadap program-program pelayanan
kesehatan kardioserebrovaskular yang bermutu, akuntabel dan terjangkau, melalui perencanaan
anggaran yang efisien dan efektif. Penanganan lintas sektoral sangat dibutuhkan agar programprogram pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular ini dapat terealisasi.
1
II.
PREVENSI DAN PROMOSI
Prevensi dan promosi PKSV hendaknya dilakukan melalui dua cara pendekatan, yaitu :
1) pendekatan masyarakat - ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih dan
mempertahankan pola hidup sehat agar tetap sehat seumur hidupnya, dan 2) pendekatan
individu berisiko tinggi - difokuskan kepada individu yang sudah pernah mendapat pelayanan
kesehatan terkait masalah PKSV.
Prevensi dibagi atas tiga kategori, yaitu :
1. Prevensi primer, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada orang normal
2. Prevensi sekunder, yang bertujuan untuk menghambat perkembangan suatu penyakit
3. Prevensi tersier, yang bertujuan untuk rehabilitasi dan meminimalkan dampak komplikasi
Menurut berbagai penelitian epidemiologi, masalah penanganan PKSV dan faktor risikonya
justru terjadi pada masyarakat golongan sosial ekonomi rendah. Kematian akibat PKSV di
negara-negara maju terus menurun, sebaliknya di negara-negara berkembang justru meningkat.
WHO memprediksikan 80% kematian akibat penyakit tidak menular termasuk PKSV akan terjadi
di negara-negara berkembang. WHO juga memperkirakan bahwa 90% penyakit diabetes tipe-2,
80% penyakit kardioserebrovaskular dan 33% penyakit kanker sebenarnya dapat dicegah
dengan mengkonsumsi diet sehat, olahraga cukup dan tidak merokok. Maka, upaya prevensi dan
promosi harus digalakan dan diupayakan dapat menjangkau seluruh golongan sosial ekonomi,
termasuk golongan sosial ekonomi bawah.
Upaya promosi dan prevensi ini harus didukung oleh kebijakan-kebijakan dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, agar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Disamping
itu, kerjasama lintas sektoral, misalnya dengan Kementerian pendidikan nasional, Kementerian
dalam negeri, Kementerian pemuda dan olahraga, Kementerian peranan wanita dan lain-lain.
Yang tak kalah pentingnya adalah kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat seperti
Yayasan Jantung Indonesia dan Yayasan Stroke Indonesia. Pendanaan untuk promosi dan
prevensi juga harus tersedia cukup. Di negara-negara maju pendanaan untuk penanganan PKSV
berkisar 10% dari seluruh budget kesehatan, dan upaya promosi – prevensi mendapat perhatian
besar.
REKOMENDASI :
Kementerian Kesehatan RI dalam periode 2012 – 2021 perlu memberikan
prioritas terhadap upaya mendorong masyarakat untuk mengadopsi pola hidup
sehat yaitu:
• tidak merokok,
• mengkonsumsi makanan sehat : menghindari makanan berlemak, banyak makan
makanan berserat, sayur dan buah, serta membatasi konsumsi garam, gula dan
alkohol
• beraktifitas fisik sedang ( jalan kaki 3 km ) setiap hari selama 30 menit
• menjaga Indeks Massa Tubuh ( IMT ) < 23 kg/m2 dan menghindari obesitas sentral
: lingkar perut (LP) perempuan tidak melebihi 80 cm, laki-laki tidak melebihi 90 cm,
•
•
•
•
menjaga agar tekanan darah < 140/90 mmHg
menjaga agar kadar kolesterol total darah < 190 mg/dl,
menjaga agar kadar kolesterol LDL darah < 115 mg/dl,
menjaga agar kadar gula darah puasa < 110 mg/dl
2
A. Target Prevensi dan Promosi 2021.
1.
Berat badan dan Lingkar Perut :
Menurut RISKESDAS 2007, kondisi berat badan pada :
• balita : normal 74,1%, kegemukan mencapai 12,2%.
• anak usia 6 – 14 tahun : normal 69,9%, kegemukan mencapai 15,9%.
• usia > 15 tahun: normal 66,1%, kelebihan 8,8% dan obese 10,3%.
Target pencapaian Berat Badan pada tahun 2021 :
Untuk usia > 15 tahun
• Berat badan normal meningkat dari 66,1% menjadi 75%
• Berat badan berlebih turun dari 8,8% menjadi 6%
• Obes turun dari 10,3% menjadi 5%
Untuk usia 6 - 14 tahun
• Berat badan normal meningkat dari 69,9% menjadi 75%
• Anak kegemukan turun dari 15,9% menjadi 10%
Untuk usia Balita
• Berat badan normal meningkat dari 74,1% menjadi 80%
• Balita kegemukan turun dari 12,2% menjadi 8%
2.
Pola makan sehat
Menurut RISKESDAS 2007, prevalensi populasi Indonesia yang makan sayur dan buah lima
kali sehari hanya 16,4%, sedangkan kebiasaan makan makanan berlemak mencapai 12,8%
dan kebiasaan menambahkan bumbu penyedap 78%.
Target pencapaian pola makan sehat tahun 2021 :
• Meningkatkan populasi yang menkonsumsi sayur dan buah lima kali sehari dari
16,4% menjadi 35%.
• Membatasi lemak yang dikonsumsi menjadi < 30% dari seluruh diet untuk energi
• Menurunkan populasi yang mengkonsumsi makanan lemak jenuh dari 12,8%
menjadi < 10%
3.
Aktifitas Fisik
Menurut RISKESDAS 2007, sebanyak 48,2% populasi Indonesia usia > 10 tahun kurang
melakukan aktifitas fisik.
Target pencapaian aktifitas fisik tahun 2021 :
Peningkatan kebiasaan melakukan aktifitas fisik 30 menit perhari minimal 5 kali perminggu hingga mencapai 60% populasi dewasa dan
50% populasi anak usia di bawah 15 tahun.
3
4.
Konsumsi garam, gula dan bumbu penyedap
Menurut RISKESDAS 2007, populasi usia 10 tahun keatas yang suka mengkonsumsi garam
mencapai 24,5% dan yang suka menkonsumsi makanan manis mencapai 65,2%.
Target penurunan konsumsi garam dan gula tahun 2021 :
• Menurunkan kebiasaan populasi makan manis dari 65% menjadi 35%
• Menurunkan kebiasaan populasi makan asin dari 24,5% menjadi 15%
• Menurunkan kebiasaan populasi makan dengan menambahkan
bumbu penyedap menjadi < 50%.
5.
Merokok
Menurut RISKESDAS 2007, populasi usia .10 -14 tahun yang mempunyai kebiasaan
merokok adalah 2%, sedangkan usia 15 tahun keatas 34%, tertinggi pada kelompok usia 45
– 54 tahun yaitu 38%. Laki-laki dewasa perokok mencapai 55,7%, sedangkan perempuan
4.4%.
Target penurunan populasi perokok tahun 2020 :
• Menurunkan populasi perokok usia 10 -14 tahun dari 2% menjadi 0.5%;
• Menurunkan populasi perokok usia 15 tahun keatas dari 34% menjadi 20%
6.
Alkohol
Berbeda dengan di negara barat, alkohol bukan masalah besar di Indonesia. Menurut
RISKESDAS 2007, hanya penduduk Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Gorontalo
saja yang mempunyai prevalensi peminum alkohol diatas 10%.
Target penurunan populasi peminum alkohol tahun 2020 :
Mempromosikan kepada masyarakat tentang bahaya terjadinya penyakit
kardioserebrovaskular dan kanker akibat alkohol, sehingga populasi
peminum alkohol turun menjadi < 5% di semua daerah.
7.
Tekanan Darah dan Kolesterol
Menurut RISKESDAS 2007, prevalensi hipertensi pada usia > 15 tahun mencapai 31,7%,
tetapi hanya 23,9% saja yang mengetahui dirinya menderita hipertensi dan diterapi.
Kematian akibat strok mencapai 15,4%, tingginya prevalensi hipertensi dan banyaknya
pasien hipertensi yang tidak diterapi mungkin menjadi penyebab kematian akibat stroke.
RISKESDAS 2007 tidak memeriksa kadar kolesterol yang sebenarnya sangat penting
sebagai faktor risiko penyakit kardioserebrovaskular.
4
Target penurunan hipertensi, hiperkolesterolemia, hiperglikemia 2021:
• Mempromosikan kepada semua lapisan masyarakat terutama usia 15 tahun ke atas,
tentang perlunya melakukan pengukuran tekanan darah secara teratur, baik pada
penderita hipertensi maupun subyek normal.
• Mempromosikan pentingnya membatasi konsumsi garam < 6 gram/hari (satu sendok
teh per-hari) untuk mencegah hipertensi, sehingga prevalensi hipertensi pada usia
15 tahun keatas turun dari 31,7% menjadi 15%.
• Mempromosikan perlunya deteksi dini hipertensi dan terapi hipertensi secara teratur
untuk menghindari komplikasi penyakit kardioserebrovaskuler, sehingga pasien
hipertensi yang berobat teratur naik dari 23,9% mencapai 75%.
• Mendorong masyarakat usia 35 tahun keatas untuk setahun sekali (lebih awal dan
lebih sering, bila ada riwayat keluarga dislipidemia atau menderita penyakit
kardioserebrovaskular prematur) untuk memeriksakan kadar kolesterol total,
kolesterol HDL, kolesterol LDL dan trigliserida dalam keadaan puasa.
• Mendorong masyarakat usia 35 tahun keatas untuk setahun sekali (lebih awal dan
lebih sering, bila ada riwayat keluarga diabetes mellitus atau menderita penyakit
kardioserebrovaskular prematur) untuk memeriksakan kadar gula darah puasa dan
2 jam sesudah makan.
B. Kerjasama Lintas Sektoral
Banyak aspek menyangkut sosial, ekonomi, kultural dan lingkungan yang menentukan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Tantangan bagi sektor kesehatan adalah keberhasilan
untuk melakukan kerjasama lintas sektoral, terutama diantara Kementerian yang menyangkut
Kesehatan – Pendidikan – Olah Raga – Pekerjaan Umum – Urbanisasi – Perhubungan – Dalam
Negeri – Peran Wanita – Industri Makanan – sektor swasta – organisasi profesi kesehatan dan
Lembaga Swadaya Masyarakat serta media massa.
Rekomendasi :
Kerjasama Lintas Sektoral diprioritaskan pada kebutuhan untuk memberi
manfaat yang terkait dengan kesehatan kardioserebrovaskuler.
• Upaya kerjasama ini hendaknya dimotori oleh Kementerian Kesehatan,
• Hasilnya harus dilaporkan secara berkala kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat.
• Parameter keberhasilannya hendaknya dikaitkan dengan target yang telah
ditetapkan sebagai target pencapaian kesehatan kardioserebrovaskuler.
5
III. PELAYANAN KARDIOSEREBROVASKULAR TINGKAT PRIMER
Pelayanan primer berperan penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang
prevensi, deteksi dini, respons kedaruratan, penilaian risiko dan manajemen PKSV.
A. Promosi Tentang Pemahaman Penyakit Kardioserebrovaskular
Penting agar masyarakat memahami perlunya memantau secara teratur tekanan darah,
kadar kolesterol (total, LDL, HDL), trigliserida dan gula dalam darah. Kepada masyarakat juga
perlu diajarkan tentang gejala awal PKSV dan pertolongan pertama pada kegawatan akibat
penyakit ini, sehingga pertolongan yang cepat dan tepat dapat diberikan.
Rekomendasi :
Kampanye melalui ceramah - ceramah dan media massa tentang faktor risiko
penyakit kardioserebrovaskular serta pemahaman tingkat risiko yang dimiliki
oleh tiap individu. Diupayakan agar semua ini dapat menjangkau seluruh lapisan
masyarakat, melalui kegiatan di tingkat pelayanan primer oleh dokter umum dan
penyuluh kesehatan dibantu pekerja sosial dari Lembaga Swadaya Masyarakat.
• Pemahaman faktor risiko penyakit kardioserebrovaskular.
• Skor risiko individu - perlu disediakan carta skor risiko kardioserebrovaskular
• Gejala dan penanganan kegawatan akibat serangan jantung (sindroma koroner
akut), stroke, serangan iskemik otak transien (TIA), gagal jantung, penyumbatan
pembuluh darah perifer dan kegawatan vaskular lainnya.
• Evaluasi keberhasilan promosi.
B. Pelayanan Kardioserebrovaskular di Praktek Klinik
Selain memberikan obat kardioserebrovaskular sesuai pedoman nasional, penanganan
multidisiplin dalam prevensi PKSV pada kelompok berisiko tinggi sangat bermanfaat terhadap
perubahan gaya hidup seseorang. Program pelayanan multidisiplin ini hendaknya disiapkan
terlebih dahulu dan terstandarisasi, agar siap menerima rujukan. Program ini termasuk
pembelajaran tentang program merawat diri sendiri.
Pasien berisiko tinggi
Risiko kardioserebrovaskular individu ditetapkan berdasarkan skor risiko kardioserebrovaskuler yang berlaku nasional.
Pasien dengan faktor risiko multipel, penyakit jantung iskemik, pasca revaskularisasi, pasca
stroke, diabetes, keluarga dekat pasien penyakit aterosklerotik prematur, digolongkan dalam
kategori pasien berisiko tinggi.
Diabetes mellitus
Pasien diabetes tipe 2 dan diabetes tipe 1 dengan komplikasi mikroalbuminuria adalah
kelompok prioritas untuk prevensi, deteksi dini dan manajemen risiko kardioserebrovaskular;
diperlukan layanan terpadu untuk penanganan kasus-kasus seperti ini.
6
Rekomendasi :
Standar Untuk Profesional : perlu disiapkan protokol praktek klinik di fasilitas
pelayanan kesehatan primer yang disepakati oleh profesi kedokteran terkait.
Protokol ini akan menetapkan pasien berisiko tinggi dengan memasukkan pasien
yang telah didiagnosis penyakit kardiovaskular, strok dan penyakit pembuluh darah
perifer, keluarga dekat pasien penyakit aterosklerotik prematur sebagai pasien
berisiko tinggi.
Pelayanan Klinik Terstruktur : mengembangkan pelayanan klinik terstruktur,
termasuk prevensi penyakit kardioserebrovaskular dalam klinik.
Pedoman ini akan memberi arahan tentang penilaian dan manajemen penyakit
kardiovaskular di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Pendekatan Populasi : evaluasi terhadap program terstruktur untuk deteksi
risiko kardiovaskular dan manajemennya di pelayanan tingkat primer, untuk
perbaikan model pelayanan selanjutnya.
-
-
Suatu metode penilaian teknologi kesehatan dan studi klinis perlu dibuat, untuk
menentukan manfaat kesehatan dan manfaat ekonomis dari penentuan risiko pada
kelompok populasi yang berbeda-beda.
Hasil penilaian akan menentukan model pelayanan lebih lanjut.
Rekomendasi :
Protokol untuk deteksi dini dan perawatan kardioserebrovaskular terstruktur
bagi pasien diabetes harus dibuat dan disepakati, dalam rangka mengelola
kelompok berisiko tinggi ini.
C. Pencegahan stroke di fasilitas pelayanan kesehatan primer
Untuk mencegah terjadinya komplikasi jantung dan stroke, deteksi dan manajemen
hipertensi serta terapi anti-trombotik bagi pasien fibrilasi atrium sangat penting.
• Hipertensi merupakan faktor risiko penting dari stroke baik akibat infark serebral ataupun
karena perdarahan, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.
• Fibrilasi atrial meningkatkan risiko stroke hingga lima kali lipat, penggunaan antikoagulan
dapat mengurangi kejadian stroke. Sayangnya, masih banyak pasien fibrilasi atrial yang
tidak terdeteksi atau tidak mendapat terapi antikoagulan. Selain itu perlu disediakan
peralatan untuk monitor dan menjamin efektifitas antitrombotik sehingga target penurunan
insiden stroke dapat tercapai.
Rekomendasi :
Protokol tatalaksana hipertensi yang efektif di pelayanan primer tersedia.
• Perlu adanya protokol untuk penilaian, manajemen dan evaluasi pasien hipertensi
di pelayanan primer, yang didasarkan atas praktek kedokteran berbasis bukti.
• Kepada dokter umum perlu diajarkan cara penilaian, manajemen dan evaluasi
pasien hipertensi di pelayanan primer.
7
Rekomendasi :
Perlu ditetapkan aturan layanan khusus untuk antikoagulasi, termasuk:
• Penanggung jawab layanan antikoagulan yang terintegrasi - ini harus ditetapkan
dalam jejaring layanan, sehingga dokter dan staf rumah sakit yang ditunjuk menjamin
mutu layanan.
• Layanan antikoagulan yang terstruktur - ini perlu dikembangkan untuk
mendekatkan pelayanan klinik antikoagulan sedekat mungkin ke pasien.
• Program skrining untuk fibrilasi atrial - ini harus dilaksanakan dengan evaluasi
berkala, untuk memastikan bahwa semua populasi berusia > 65 tahun terjangkau.
D. Gagal Jantung
Ada kecenderungan kenaikan prevalensi gagal jantung di Indonesia sejalan dengan
kemajuan pengobatan pasien penyakit jantung dan bertambahnya populasi usia tua. Bila tak
diantisipasi, maka rumah sakit akan dipenuhi oleh pasien-pasien khronis seperti ini.
Untuk mencegah terjadinya kondisi tersebut, diperlukan manajemen gagal jantung dengan
pendekatan terpadu berbasis komunitas. Tim ini terdiri dari perawat di pelayanan primer, bekerja
di bawah pengawasan dokter pada pelayanan primer, yang selalu berkomunikasi dengan dokter
spesialis jantung dan pembuluh darah di tingkat pelayanan sekunder.
Sasaran pelayanan ini adalah menjaga agar pasien dapat ditangani dengan baik di rumah
masing-masing, sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit. Dengan demikian rumah sakit dapat
lebih fokus menangani pasien dengan penyakit jantung akut.
Rekomendasi :
Perlu dikembangkan program peningkatan kapasitas dokter dan perawat di
pelayanan primer agar mampu mendeteksi gagal jantung tahap awal dan
memberikan perawatan proaktif, termasuk :
• Penetapan model perawatan bersama tim pelayanan primer (dokter dan perawat) dan
protokol tatalaksana, untuk mendukung peran dokter umum dan perawat di fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
• Pelatihan tim pelayanan primer (dokter dan perawat) sesuai pedoman nasional
tatalaksana gagal jantung di pelayanan primer dan sekunder.
• Pengembangan perawat spesialis gagal jantung - dalam suatu sistem yang
terintegrasi, untuk memaksimalkan kemampuan perawat dalam bekerja sebagai
anggota tim di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
• Pengembangan staf lain dalam tim pelayanan primer - untuk mendukung manajemen
pasien gagal jantung yang berbasis masyarakat, misalnya perawat spesialis paliatif.
• Pengaturan akses pelayanan tujuh hari seminggu - bagi pasien gagal jantung yang
mengalami penurunan kondisi.
• Kapasitas informasi teknologi untuk memfasilitasi komunikasi – antara pelayanan
kesehatan primer dan sekunder
• Tele-monitoring untuk menjamin agar pasien dapat menjalankan perawatan sendiri –
dibutuhkan kesepakatan pedoman antara pelayanan kesehatan primer dan sekunder.
8
E. Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Pasien dengan penyakit arteri perifer mempunyai risiko tinggi untuk mengalami PKSV
lainnya. Banyak pasien yang tidak merasakan keluhan akibat penyakit ini karena seringkali
dikaitkan dengan proses penuaan atau karena tidak banyak melakukan aktivitas fisik. Masyarakat
perlu diberikan pencerahan tentang penyakit pembuluh darah perifer.
Rekomendasi :
Perlu dibuat protokol tentang penilaian faktor risiko, diagnosis dini dan manajemen pasien
dengan penyakit arteri perifer, serta evaluasi hasilnya di fasilitas pelayanan kesehatan
primer.
9
IV. PELAYANAN KARDIOSEREBROVASKULAR TINGKAT SEKUNDER DAN
TERSIER DI RUMAH SAKIT
Pelayanan kadiovaskular di rumah sakit baik tingkat sekunder maupun tersier, meliputi
pelayanan umum, pelayanan kedaruratan dan akut, perawatan intensif dan bedah untuk penyakit
jantung, stroke dan pembuluh darah perifer; pelayanan pra-rumah sakit terkait layanan
kedaruratan juga termasuk di dalamnya.
Perawatan pasien dilaksanakan sesuai alur klinik (clinical pathway) yang sudah disiapkan.
Fokus alur klinik ini adalah: penyakit jantung, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer, mulai
dari pencegahan, deteksi dini, pengobatan berkelanjutan hingga rehabilitasi dan perawatan
paliatif.
Dengan manajemen yang baik di rumah sakit serta keberadaan dokter spesialis jantung dan
pembuluh darah dan dokter spesialis saraf, banyak hal dapat dilakukan untuk meningkatkan
kualitas perawatan klinik pasien, terutama pasien dengan kedaruratan kardioserebrovaskuler.
Penggunaan alur klinik akan lebih meningkatkan mutu dan efektivitas serta efisiensi
pelayanan. Alur klinik juga akan mendorong para spesialis di rumah sakit untuk berupaya
meningkatkan kualitas dokter dan perawat di pelayanan primer.
A. Pelayanan Jantung
1.
Alur Klinik Perawatan Akut Jantung
Survival pasien infark miokard akan meningkat dengan reperfusi yang cepat. Reperfusi
dengan intervensi perkutan primer (PCI) memiliki keunggulan dibanding terapi trombolitik/
fibrinolitik, tetapi harus dilakukan sesuai standar dan didukung oleh fasilitas yang memadai.
Pelayanan kedaruratan kardiovaskuler pra - rumah sakit sangat menentukan keberhasilan
terapi infark miokard, karena ada keterbatasan waktu untuk melakukan PCI agar aman dan
efektif.
Rekomendasi :
Pasien infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) seyogyanya dilakukan PCI
primer sebagai terapi pilihan, jika waktu dari kontak medis pertama hingga ke
rumah sakit yang mampu melakukan PCI dapat dicapai < 120 menit.
• Pengobatan yang optimal dalam perjalanan ini membutuhkan sistem pelayanan
kegawat-darurat medis, dan koordinasi jejaring pelayanan yang baik dengan rumah
sakit yang memiliki fasilitas PCI.
• Aspek cakupan geografis menjadi salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan,
disamping ketersediaan protokol diagnosis dan triase pra-rumah sakit, serta
transportasi yang cepat dalam ambulans yang dilengkapi peralatan monitoring jantung,
obat-obatan dan sarana untuk menangani kegawatan kardiovaskuler di perjalanan.
10
Rekomendasi :
Jika PCI tak dapat diberikan dalam waktu < 120 menit setelah kontak pertama
dengan pasien, maka pasien harus dinilai sesegera mungkin untuk pemberian
trombolisis. Pilihan pengobatan harus mencakup trombolisis pra-rumah sakit
dan di rumah sakit, tergantung pada presentasi pasien.
Protokol untuk trombolisis emergensi harus mencakup trombolisis pra-rumah sakit dan
trombolisis di rumah sakit. Pengembangan pelayanan ditujukan untuk memberikan
pelayanan secepat mungkin terhadap sebanyak mungkin pasien. Kewenangan
melakukan trombolisis pra-rumah sakit diberikan kepada dokter umum atau paramedik
yang terlatih, berdasarkan protokol yang baku.
Rekomendasi :
Layanan Percutaneous Coronary Angioplasty (PCI) primer harus dapat diberikan
24 jam – 7 hari di semua rumah sakit yang telah mampu melakukan PCI.
Keterbatasan fasilitas di Indonesia mewajibkan semua rumah sakit yang mempunyai
kemampuan melakukan PCI untuk melaksanakan PCI primer atas biaya negara
Rekomendasi :
Pasien dengan sindroma koroner akut selain STEMI, harus dibawa ke instalasi
gawat darurat (IGD), diprioritaskan IGD yang mempunyai dokter spesialis
jantung dan pembuluh darah, untuk dilakukan triase dan diterapi agar stabil.
Kemudian pasien dipindah ke instalasi perawatan intensif koroner (ICCU/CVCU)
terdekat, untuk selanjutnya ditransfer dalam waktu 24 jam ke pelayanan jantung
terpadu/rumah sakit tersier terdekat yang mampu melakukan PCI.
Sebagian besar pasien memerlukan angiografi diagnostik dan PCI. Jadi, pasien harus
dipindahkan ke rumah sakit rujukan yang memiliki fasilitas pelayanan koroner invasif
dengan ambulans yang dilengkapi monitor dan obat serta sarana untuk menangani
kegawatan kardiovaskular. Protokol diagnostik dan perawatan yang sama juga berlaku
untuk pasien-pasien yang datang sendiri ke rumah sakit.
Rekomendasi :
Rumah sakit rujukan kardiovaskular tingkat tersier (Pelayanan Jantung Terpadu)
selain menyediakan diagnostik non invasif echocardiography dan pencitraan
kardiovaskular, hendaknya juga menyediakan laboratorium kateterisasi dan
angiografi yang siap melakukan PCI primer setiap saat.
Minimal satu PJT mempunyai satu alat angiografi (idealnya dua) dan SDM yang cukup.
Proses pemindahan pasien harus dijamin keamanannya dengan menyediakan
monitoring dan obat serta sarana untuk pertolongan kegawatan kardiovaskular.
11
2.
Perawatan Intensif Jantung.
Unit Perawatan Intensif jantung / Intensive Coronary Care Unit (ICCU) berhubungan erat
dengan Instalasi Gawat Darurat. Untuk rumah sakit dengan layanan kardiovaskular tingkat
tersier, ICCU harus terpisah dari ICU umum dan dipimpin oleh dokter spesialis jantung dan
pembuluh darah (SpJP). Sedangkan untuk rumah sakit dengan layanan kardiovaskular tingkat
sekunder, dapat digabung dengan ICU; namun SpJP tetap bertindak sebagai dokter penanggung
jawab pasien (DPJP).
Harus dibuat protokol rencana perawatan pasien, termasuk edukasi pasien masalah
kesehatan kardiovaskular yang dirumuskan dan disiapkan sebelum pasien pulang. Ini merupakan
tahap I dari program rehabilitasi terpadu.
Rekomendasi
Unit Perawatan Koroner harus disesuaikan dengan kebutuhan klinis pasien saat
ini. Untuk pasien sindroma koroner akut diperlukan Unit Perawatan Intensif
Jantung (ICCU).
Perlu dibuat tinjauan untuk memenuhi kebutuhan perawatan pasien akut yang intensif.
Rekomendasi
Protokol perlu dikembangkan untuk menjamin rencana perawatan di ICCU yang
individualistis (sesuai kebutuhan pasien), dilengkapi program edukasi pasien
dalam kerangka tahapan rehabilitasi.
Dipahami bahwa prosedur PCI dan peningkatan efisiensi perawatan melalui alur klinis
(clinical pathway) akan membuat masa perawatan pasien menjadi lebih singkat dan
penanganan yang terstandarisasi. Edukasi pasien dan rehabilitasi awal perlu disiapkan.
3.
Perawatan Darurat untuk nyeri dada.
Pada kondisi akut, tujuan utamanya adalah triase segera agar pasien berisiko tinggi cepat
diidentifikasi dan mendapat pengobatan sesuai protokol.
Pada kondisi sub-akut, kebutuhan pasien atas rujukan dokternya adalah untuk memastikan
kemungkinan penyakit jantung iskemik. Diperlukan pendapat spesialis jantung dan pembuluh
darah untuk menentukan pemeriksaan diagnostik yang diperlukan.
Rekomendasi :
Harus tersedia protokol untuk menilai pasien dengan nyeri dada risiko rendah
untuk memaksimalkan deteksi bagi pasien yang datang dengan iskemi akut, dan
meminimalkan perawatan yang tidak perlu.
Perawatan ambulatoir ini harus diformulasikan untuk memberikan penilaian spesialistis
bagi pasien yang dirujuk dengan sindroma koroner akut atau dugaan kearah itu, idealnya
keesokan hari atau < 72 jam penilaian selesai. Perawatan ini juga digunakan untuk
mengevaluasi terjadinya perubahan cepat dari kondisi pasien.
12
4.
Gagal Jantung
Kebijakan klinis ditujukan untuk memindahkan pasien dari perawatan di rumah sakit menuju
perawatan spesialistis yang ambulatoir, dengan memberikan dukungan terhadap pelayanan
proaktif dari dokter umum dan tim pelayanan primer.
Rekomendasi
Semua rumah sakit yang menangani pasien gagal jantung hendaknya
menyiapkan sistim perawatan di dalam dan di luar rumah sakit, sehingga
pelayanan spesialistis gagal jantung dapat dilakukan secara ambulatoir
dengan memberi dukungan kepada dokter umum dan tim pelayanan primer
untuk merawat pasien-pasien tersebut.
 Perlu dibuat jejaring layanan kardiovaskuler yang tangguh dengan memberi peran
lebih besar kepada layanan primer
 Perlu dilatih dokter dan tim di layanan primer agar mampu memberi pelayanan
ambulatoir kepada pasien gagal jantung kronik
 Perlu disusun protokol model rawat bersama pasien gagal jantung kronik, dengan
mengacu pada pedoman nasional dan internasional
 Perlu disediakan sarana informasi teknologi sebagai sarana penghubung antara
rumah sakit dengan dokter umum/tim pelayanan primer, agar model perawatan
bersama secara ambulatoir ini dapat berjalan baik.
5.
Organisasi Pelayanan Jantung dalam Sistem Jejaring
Agar efektif dan efisien, pelayanan kardiovaskular dalam sistem jejaring dilaksanakan secara
berjenjang. Pelayanan kardiovaskular tingkat tersier di pelayanan jantung terpadu (PJT) yang
subspesialistis berkolaborasi dengan pelayanan kardiovaskular tingkat sekunder. Sedangkan
pelayanan kardiovaskular tingkat sekunder selain berkolaborasi dengan pelayanan
kardiovaskular tingkat tersier, juga harus mempunyai jejaring yang kuat dengan pelayanan primer
berbasis masyarakat. Dengan demikian pelayanan yang berkualitas dapat terjangkau oleh
masyarakat secara luas. Kolaborasi ini hendaknya dibuat secara formal dan terstruktur.
Rekomendasi
Pelayanan jantung spesialistis hendaknya diorganisasikan ke dalam jejaring
pelayanan berbasis masyarakat, melalui kerjasama formal rumah sakit – rumah
sakit dengan pelayanan primer.
-
-
Perencanaan yang matang perlu dibuat. Untuk itu perlu diidentifikasi rumah sakit mana
yang dapat memberikan pelayanan jantung secara umum dan mana yang
komprehensif / subspesialistik, sehingga dapat disusun sistim jejaring yang efisien dan
efektif.
Peralatan dan SDM perlu dilengkapi sesuai kebutuhan, agar peran masing-masing
dapat dijalankan dengan baik.
13
6.
Bedah Jantung dan Transplantasi jantung
Kemajuan praktek kedokteran dan profil demografi pasien, berdampak besar terhadap
pelayanan bedah jantung. Pasien yang datang sekarang lebih kompleks, sehingga meskipun ada
cukup dokter bedah jantung tetapi perawatan intensif pasca bedah seringkali tidak mencukupi
kebutuhan. Transplantasi jantung meskipun dimungkinkan tetapi di Indonesia belum
berkembang, donor sering menjadi kendala. Namun kemungkinan ke arah itu perlu terus
diupayakan, guna menolong pasien-pasien dengan fungsi ventrikel yang sudah sangat jelek
padahal usianya masih muda.
Rekomendasi
• Unit bedah jantung harus mempunyai unit layanan intensif pasca bedah yang
cukup jumlah tempat tidur dan peralatannya (idealnya merupakan satu ruang
dengan satu tempat tidur yang terpisah satu sama lain).
• Semua dokter anestesi dan intensivist harus terlatih khusus untuk pelayanan
jantung
-
Semua dokter anestesi jantung hendaknya melakukan aktifitas rutin minimal satu
kasus bedah jantung dalam seminggu.
Di setiap unit bedah jantung harus ada satu dokter anestesi yang on-call 24 jam
• Bila sudah mampu melakukan transplantasi jantung, maka harus dibangun
kemudahan akses untuk mendapatkan donor.
7. Penyakit Jantung Bawaan
Angka kejadian penyakit jantung bawaan (PJB) merata di seluruh dunia, berkisar 8 – 10 per
1000 bayi lahir hidup. Dengan demikian, ada sekitar 40.000 bayi lahir dengan PJB setiap tahun di
Indonesia. Banyak diantaranya yang meninggal, sebelum sempat didiagnosis.
Hanya sedikit PJT yang mampu melakukan intervensi non bedah atau bedah untuk PJB. Di
sisi lain semakin banyak yang datang memerlukan operasi, sejalan dengan meningkatnya
kemampuan dokter dalam mendeteksi pasien-pasien ini. Kondisi tersebut membuat daftar tunggu
yang panjang di Pusat Jantung Nasional dan beberapa PJT. Kasusnya pun semakin kompleks
dan semakin muda usianya (bayi/neonatus), sehingga perawatan pasca bedah di ICU
memerlukan waktu lebih lama, padahal jumlah tempat tidur sangat terbatas.
Rekomendasi
Perlu dibuat analisis kebutuhan layanan penyakit jantung bawaan untuk semua usia,
diikuti rencana pengembangannya, agar dapat memenuhi kebutuhan nasional.
14
B. Pelayanan Stroke
1.
Alur perawatan stroke akut
Seperti halnya di banyak negara, pelayanan stroke yang komprehensif dan modern di
Indonesia jauh lebih lambat perkembangannya daripada pelayanan jantung; mungkin ini pula
yang menyebabkan tingginya angka kematian akibat stroke.
2.
Unit Stroke
Unit stroke adalah unit yang memberikan perawatan stroke tepat waktu dan komprehensif di
suatu rumah sakit. Diharapkan setiap rumah sakit kelas A dan B (tingkat tersier) di Indonesia
memiliki unit strok e.
Rekomendasi :
Semua rumah sakit kelas A dan B (tersier) harus memiliki unit stroke dengan
fasilitas seperti yang disyaratkan dalam pedoman nasional unit stroke.
Setiap unit stroke harus memiliki kapasitas yang memadai untuk menangani pasien
langsung dari IGD dan memberikan akses penanganan yang cepat, menerima rujukan
dari rumah sakit lain dalam wilayah jejaringnya, serta perawatan semua jenis stroke
atau serangan iskemik transien. Pengadaan unit stroke hendaknya menjadi program
utama dalam pengembangan rumah sakit.
Rekomendasi :
Unit stroke harus memiliki staf yang memadai dan mempunyai kemampuan
sesuai kebutuhan.
Ini termasuk penetapan konsulen dokter saraf yang ditunjuk mengkoordinir kegiatan
penangan stroke dalam suatu jejaring stroke. Selain itu, unit stroke juga harus memiliki
tim multidisiplin yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pasien dengan stroke yang
kompleks dan memiliki tingkat ketergantungan tinggi. Tim tersebut harus mencakup
fisioterapist, terapi okupasi, terapi wicara, serta pekerja sosial, ahli gizi, psikolog klinik
dan perawat spesialis.
3.
Perawatan Gawat Darurat Termasuk Fibrinolisis/Trombolisis
Fibrinolisis pada stroke akibat penyumbatan, bermanfaat besar dalam upaya mengurangi
mortalitas dan morbiditas. Agar dapat melakukan penilaian cepat dan terapi fibrinolisis dalam
waktu <180 menit, dibutuhkan akses pencitraan otak dan seorang dokter konsultan saraf yang
siap melayani 24 jam – 7 hari.
15
Rekomendasi :
Pengobatan darurat stroke oleh dokter konsultan saraf harus tersedia 24 jam 7 hari pada setiap jejaring pelayanan stroke, sehingga semua pasien stroke
dapat ditangani dengan cepat dan tepat.
Bilamana tidak cukup aman untuk merujuk pasien dalam jangka waktu yang ideal
untuk evaluasi cepat dan pengobatan trombolisis/fibrinolisis, maka tele-medicine dan
komunikasi dengan dokter konsultan syaraf on-call harus tersedia dalam jejaring
pelayanan stroke.
Rekomendasi :
Setiap anggota jejaring stroke harus bersedia melaksanakan model layanan
yang dapat memberikan terapi trombolitik 24 jam – 7 hari.
Protokol dan alur perawatan pasien yang jelas harus tersedia, dilaksanakan serta
dievaluasi secara regular.
4.
Rehabilitasi bagi pasien stroke yang dirawat di rumah sakit
Rehabilitasi stroke dimulai segera setelah pasien dirawat dan harus terlaksana di unit stroke
sebagai bagian aktifitas unit. Hal ini memungkinkan tim multidisiplin untuk memberikan
perawatan yang efisien bagi pasien dalam berbagai spektrum – mulai dari penilaian darurat
hingga saat akan keluar dari rumah sakit.
Rekomendasi :
Pedoman dan protokol perawatan berbasis bukti harus dikembangkan dan diadopsi
untuk pengelolaan pasien stroke akut dan rehabilitasinya.
5.
Pulang dari rumah sakit
Untuk pasien stroke, waktu kepulangan dari rumah sakit dan kebutuhan perawatan lanjutan
terkait erat dengan pemulihan fungsional dari cacat yang tersisa dan kemandirian, atau potensi
untuk mencapai kemandirian dalam kegiatan hidup sehari-hari.
Rekomendasi :
Pasien stroke harus dinilai semua kebutuhannya sebelum mulai dirawat,
dengan tujuan untuk diberi dukungan saat pulang ke tempat tinggalnya.
Perawatan jangka panjang hanya dipertimbangkan atas kebutuhan medis atau
sosial, bukan atas dasar keterbatas fasilitas dan pelayanan komunitas.
16
6.
Serangan Iskemik Transien (Transient Ischemic Attack / TIA)
Serangan iskemik transien merupakan peringatan penting dari stroke, dan memberikan
kesempatan untuk tindakan intervensi mencegah terjadinya stroke. Penilaian dan pengobatan
cepat oleh dokter spesialis saaraf sebagai - koordinator tim, dapat mencegah terjadinya stroke.
Rekomendasi :
Pasien TIA harus segera dirujuk ke dokter saraf yang dapat memberikan
pelayanan diagnosis dan tatalaksana secara tepat. Tatalaksana ini termasuk
nasihat pencegahan sekunder, manajemen farmakologis, dan akses operasi
vaskular bilamana dibutuhkan dalam waktu 2 minggu.
Perlu dibuat alur yang jelas untuk merujuk dan penggunaan stratifikasi risiko, untuk
mengidentifikasi pasien berisiko tinggi.
7.
Stenosis arteri karotis dan endarterektomi
Penelitian – penelitian membuktikan keunggulan operasi dibandingkan dengan terapi medis
pada stenosis arteri karotis sedang sampai berat yang simptomatis, dalam upaya mencegah
kejadian serebrovaskular berulang (TIA dan stroke). Penyakit arteri karotis yang asimtomatik juga
merupakan faktor risiko untuk stroke. Seleksi pasien berisiko tinggi akan memastikan manfaat
paling banyak dari intervensi bedah.
Rekomendasi
Manajemen klinis penyakit arteri karotis harus menyertakan hal-hal berikut :
• Semua pasien yang baru mengalami TIA atau stroke tanpa cacat, harus segera
dilakukan pemeriksaan arteri karotis ipsilateral dengan Doppler ultrasound atau
CTA/MRA. Endarterektomi (CEA) harus ditawarkan untuk semua pasien dengan
gejala stenosis karotis sedang sampai berat (70% - 99%), kecuali bila terdapat
indikasi-kontra atau berisiko tinggi untuk tindakan CEA dan diupayakan untuk
dilakukan dalam waktu 2 minggu sejak gejala timbul.
• Pasien stenosis karotis derajat sedang sampai berat tetapi asimptomatis, harus
dipertimbangkan untuk endarterektomi berdasarkan kasus per kasus dan dinilai semua
risikonya, termasuk pemantauan dengan TCD/pengukuran ketebalan intima medial.
• Tindakan pemasangan stent karotis (CAS) dianjurkan bila terdapat indikasi-kontra dan
berisiko tinggi untuk tindakan CEA.
Rekomendasi
Organisasi dan penanganan jejaring stroke melibatkan hal berikut:
• Buat alur klinik (clinical pathway) bersama unit bedah vaskular yang berpengalaman
dalam melakukan endarterektomi karotis.
• Akses ke dokter ahli pencitraan karotis dan bedah vaskular.
• Ada forum untuk membuat keputusan intervensi bedah atau non bedah oleh
multidisiplin bidang neurovaskular yang melibatkan: spesialis syaraf, geriatrik, teknisi
vaskular, neuro-radiologi , spesialis bedah vaskular dan spesialis kardiovaskular
• Audit regular terhadap intervensi karotis perlu dilakukan, untuk menjamin standar
pelayanan yang tinggi; melalui registri bedah karotis nasional.
17
8.
Organisasi pelayanan stroke dalam jejaring
Jejaring stroke terdiri dari serangkaian layanan stroke oleh rumah sakit dengan pelayanan
stroke umum (di rumah sakit tingkat sekunder) dan pelayanan stroke komprehensif (di rumah
sakit tingkat tersier). Rumah sakit dengan layanan stroke komprehensif seyogyanya memiliki unit
stroke khusus, pelayanan yang diberikan mencakup: layanan akut yang cepat (pada hari yang
sama) untuk kasus TIA, fibrinolisis, diagnostik canggih, intervensi non bedah dan bedah vaskular
atau bedah saraf, dilengkapi fasilitas rehabilitasi dan upaya prevensi sekunder.
Rujukan dibuat berjenjang mulai dari layanan tingkat primer, sekunder dan tersier, agar
efektif dan efisien. Jejaring stroke mungkin memerlukan dukungan tele-medicine, terutama untuk
rumah sakit yang melayani daerah terpencil atau pelayanan rehabilitasi yang jauh dari layanan
kesehatan.
Rekomendasi
Layanan stroke oleh spesialis saraf harus masuk dalam jejaring layanan stroke
yang berbasis masyarakat. Beberapa rumah sakit jejaring ditetapkan sebagai
Layanan Stroke Umum dan Layanan Stroke Komprehensif.
Perencanaan yang lengkap perlu disiapkan, dengan mengidentifikasi layanan stroke
umum dan layanan stroke komprehensif, dan memungkinkan perencanaan sistim
pelayanan – persiapan tenaga kerja sarana dan prasarana untuk layanan
kedaruratan, layanan lanjutan dan rehabilitasi.
18
V. LAYANAN KARDIOSEREBROVASKULAR AKUT PRA-RUMAH SAKIT
1.
Layanan Tanggap Darurat Kardioserebrovaskuler
Pentingnya transfer pasien-pasien dengan sindroma koroner akut dan stroke ke layanan
spesialis dan inisiasi pengobatan yang cepat dan tepat (trombolisis atau PCI primer) telah lama
difahami. Tetapi ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana belum memadai.
Terlebih-lebih faktor demografi Indonesia yang membuat layanan tanggap darurat untuk
kegawatan jantung dan stroke masih belum sesuai yang diharapkan. Di kota-kota besar
khususnya kota metropolitan Jakarta, kemacetan lalu lintas ikut berkontribusi terhadap buruknya
layanan tanggap darurat.
2.
Kesadaran Masyarakat dan Respon
Masyarakat merupakan aset yang belum begitu diperhitungkan perannya dalam pelayanan
kardioserebrovaskuler akut di banyak negara berkembang. Masyarakat perlu diajar tanda-tanda
dini kegawatan jantung dan stroke, pertolongan pertama pasien serangan jantung dan stroke,
serta bantuan hidup dasar, termasuk cara penggunaan defibrillator eksternal otomatis (AED).
Rekomendasi
Kebijakan ini mendukung pengembangan layanan darurat medis untuk
merespon dan memberikan layanan yang tepat waktu bagi kegawatan
kardioserebrovaskular terutama sindroma koroner akut dan stroke.
Strategi berikut dianggap mempunyai prioritas tertinggi dalam penyusunan struktur
jejaring kegawatan kardioserebrovaskular yang baru, yaitu :
• Strategi memperbanyak jumlah paramedis yang terlatih untuk kegawatan
kardiovaskular dan stroke serta mengatur penyebarannya, sehingga triase dan
pemberian trombolitik pra-rumah sakit dapat dilaksanakan.
• Melengkapi sarana monitor hemodinamik non invasif termasuk pemantauan
elektrokardiografis dalam rangka memandu layanan medis darurat
pengumpulan dan analisis data pasien pada layanan pra-rumah sakit.
untuk
• Melengkapi sarana pertolongan kedaruratan jantung dan paru dengan menyediakan
masker oksigen, ambu-bag, dan defibrillator, juga obat-obatan standar sesuai protokol
termasuk fibrinolitik.
• Menyediakan sarana komunikasi yang memadai seperti radio-komunikasi, sehingga
kondisi pasien dapat dipantau oleh pusat pelayanan yang komprehensif.
• Menyediakan protokol penanganan kasus kegawatan kardiovaskular dan stroke yang
berlaku nasional
Rekomendasi
Meningkatkan proporsi masyarakat yang memahami keluhan dan gejala utama
kejadian kardioserebrovaskular akut (misalnya : seranan jantung, TIA dan
stroke), mengetahui pentingnya segera menghubungi layanan ambulans, dan
trampil melakukan bantuan hidup dasar.
• Kampanye/edukasi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman akan keluhan dan
gejala kejadian kardiovaskular akut, kebutuhan untuk mengambil tindakan segera
dan tepat, serta terampil melakukan bantuan hidup dasar.
• Kampanye seperti ini diprioritaskan pada petugas keamanan (Polisi, Satpam, petugas
keamanan pantai/kolam renang), petugas kebakaran dan siswa sekolah menengah.
19
VI. REHABILITASI JANTUNG DAN STROKE, PERAWATAN LANJUTAN.
Pelayanan rehabilitasi jantung dan stroke dilaksanakan di rumah sakit dan di komunitas.
Tujuan rehabilitasi adalah mengembalikan pasien dan keluarganya ke kondisi kehidupan
seoptimal mungkin yang bisa dicapai, dengan sedapat mungkin mengatasi defisit yang dialami
pasien. Ini dapat dicapai dengan menyiapkan pasien untuk bisa memberikan perawatan diri
sendiri, dan menghambat serta mencegah kejadian kardioserebrovaskuler lebih lanjut.
1.
Rehabilitasi jantung
Manfaat rehabilitasi jantung pasca kejadian kardiak telah banyak dibuktikan para peneliti.
Rekomendasi
Pastikan tersedia cukup staf dan sarana untuk rehabilitasi jantung di semua
rumah sakit umum.
 Semua pasien dengan kejadian kardiovaskuler (sindroma koroner akut atau intervensi
koroner, gagal jantung dan penyakit vaskuler perifer) harus diberikan pelayanan
rehabilitasi kardiovaskuler.
 Hendaknya disediakan sarana yang memadai dan staf multidisiplin yang bekerja
secara tim untuk melaksanakan rehabilitasi.
Rekomendasi
Rehabilitasi jantung hendaknya merupakan bagian integral dari pelayanan
jantung di rumah sakit pemerintah dan swasta.
-
Layanan rehabilitasi kardiovaskuler tidak selalu ada di rumah sakit swasta/pemerintah
Hendaknya ini menjadi persyaratan di rumah sakit, karena manfaatnya sudah terbukti.
Kebutuhan rehabilitasi jantung terus meningkat selain untuk pasca rawat sindroma koroner
akut, PCI, Bedah Jantung, juga pasca rawat gagal jantung; sementara fasilitas yang tersedia
terbatas, sehingga kebutuhan pasien sering tak terpenuhi.
Rekomendasi :
Pasien jantung harus mempunyai akses untuk mendapatkan pelayanan
rehabilitasi jantung pada saat yang tepat.
-
Rehabilitasi aktif dini berjalan bersama pengobatan pasien sesuai standar.
Tantangan rehabilitasi dini adalah memberikan nasihat rehabilitasi yang cukup dan
tepat (rehabilitasi jantung fase II), serta dukungan segera saat akan pulang.
Tantangan selanjutnya adalah dimulainya rehabilitasi jantung fase III sesegera
mungkin – kira-kira sebulan setelah keluar rumah sakit.
Semua pasien jantung harus pulang dengan rencana aktifitas rehabilitasi yang formal.
Pola hidup masyarakat dan manajemen faktor risiko harus terkoordinasi dengan baik.
Dukungan terus menerus yang dibutuhkan oleh pasien setelah perawatan rumah sakit, serupa
dengan kebutuhan pasien yang dinyatakan berisiko kardiovaskuler tinggi di layanan primer.
Perlu dilakukan evaluasi melalui audit untuk mendapatkan data apakah layanan rehabilitasi
sudah terpenuhi dan manfaat berbagai model rehabilitasi termasuk prevensi sekunder.
20
Rekomendasi :
Hendaknya diterapkan sistem rehabilitasi yang dirancang sesuai kebutuhan
pasien, untuk menjamin keterjangkauan oleh kelompok dengan kondisi yang
lebih berat dan tidak sesuai untuk progam rehabilitasi biasa.
Usia, gender, pendidikan, penghasilan, jarak dari layanan spesialis dan transportasi
yang tersedia berpengaruh terhadap jangkauan program rehabilitasi jantung. Layanan
rehabilitasi harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, vokasional dan sosial
berbagai kelompok pasien.
Rekomendasi :
Model layanan dan pilihan pasien : harus disusun kriteria penerapan berbagai
jenis model penyampaian program, berdasarkan cara yang disepakati, untuk
mencapai target kardiovaskular.
Terdapat beberapa jenis program dengan variasi durasi dan penekanan program. Ini
terus menjadi area perdebatan dan inovasi. Dari perspektif layanan, semua model
penyampaian program harus dapat diaudit pencapaiannya dibandingkan target jangka
pendek yang disepakati (akhir program) dan target jangka panjang (satu tahun).
Rekomendasi :
Pastikan bahwa layanan rehabilitasi jantung efektif dan efisien, melalui evaluasi
yang teratur, dengan sistem dan pengeloaan yang sesuai.
Layanan rehabilitasi kardiovaskular harus tersedia bagi pasien yang sesuai (misalnya
pasien sindroma koroner akut, pasca intervensi koroner, pasien gagal jantung dan
penyakit arteri perifer). Semua program harus memiliki fasilitas yang memadai dan
dilaksanakan oleh tim multidisplin sesuai standar nasional.
2.
Rehabilitasi Stroke
Rehabilitasi multidisiplin yang meliputi berbagai spesialis, terutama saraf, geriatri, dan
rehabilitasi medis, gizi medis, perawat, fisioterapis, terapi okupasi, terapi wicara, neuro-psikologi,
dan pekerjaan sosial di rumah sakit, dengan dukungan dokter umum beserta timnya di layanan
primer, besar manfaatnya bagi pasien stroke. Unit stroke merupakan awal layanan rehabilitasi
stroke yang terorganisasi.
Rekomendasi:
Penilaian multidisiplin tentang kebutuhan rehabilitasi menggunakan prosedur formal atau
protokol, harus diselesaikan dalam waktu 5 hari kerja sejak pasien dirawat; selanjutnya
layanan yang sesuai diberikan.
21
Pemulangan pasien stroke yang cepat dan aman, memerlukan dukungan layanan tim
rehabilitasi stroke multidisiplin di komunitas.
Rekomendasi:
Untuk pasien stroke yang layak dipulangkan dini, harus disiapkan fasilitas dan sistim yang
memungkinkan rehabilitasi dini oleh tim multidisiplin di komunitas, setelah dilakukan
penilaian yang seksama.
Di Indonesia pasien stroke yang tidak terlalu berat dan cepat keluar rumah sakit sering tidak
mendapat layanan rehabilitasi, karena minimnya fasilitas rehabilitasi di komunitas. Sementara
pasien stroke dengan cacat berat banyak yang mengalami keterlambatan mengakses program
layanan rawat inap dan rawat jalan.
Rekomendasi :
Kemitraan dengan pekerja sosial harus dikembangkan guna memperluas dukungan
layanan rehabilitasi stroke dan penyediaan jasa (transportasi dan lain-lain) sesuai
kebutuhan pasien.
Semua pasien tanpa memandang usia dan lokasi tempat tinggal, harus mendapatkan
layanan rehabilitasi yang memadai sesuai protokol.
Rekomendasi :
Layanan rehabilitasi stroke harus berorientasi pada pasien, termasuk penilaian kebutuhan
individu dan perkembangannya. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh seorang yang dapat
memastikan bahwa rehabilitasi seperti yang disyaratkan berlangsung secara berkelanjutan.
Perlu ada suatu kontinuitas perawatan dari rumah sakit ke komunitas.
Keberhasilan integrasi layanan rehabilitasi jantung dan stroke (rehabilitasi kardiovaskular)
rumah sakit dan komunitas akan berhasil bila tersedia personil, sistim dan fasilitas yang
mendukung. Perlu ditunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk merealisasikan layanan
klinis yang terintegrasi ini.
Rekomendasi :
Ada kebutuhan untuk membentuk layanan guna mencapai tujuan-tujuan umum rehabilitasi
secara efektif bagi semua pasien kardiovaskular.
Ada kebutuhan untuk memberikan pelatihan terstruktur dan kepemimpinan bagi profesional
yang terlibat dalam rehabilitasi kardiovaskular.
Tim pelayanan primer dan layanan rehabilitasi jantung dan strok perlu dikembangkan untuk
memberikan pelayanan secara terpadu antara rumah sakit dan komunitas.
22
Dukungan untuk pasien strok dan keluarganya dimulai sejak fase akut, untuk memperoleh
informasi yang jelas tentang kondisi pasien. Selanjutnya dukungan psikososial diberikan pada
setiap fase secara terus menerus selama perawatan.
Rekomendasi :
Informasi dan pendidikan harus disediakan untuk pasien, keluarga dan pengasuhnya.
Informasi harus diberikan tepat waktu, terkini, mudah diakses dan responsif terhadap
kebutuhan pasien dan keluarganya.
Akses harus disediakan bagi pasien kardiovaskular dan keluarganya secara komprehensif,
untuk mendukung kebutuhan psikososial termasuk manajemen depresi.
Keluarga dan pengasuh pasien harus diberi informasi, dukungan, pelatihan, fasilitas,
termasuk perawatan yang memadai, agar mereka dapat berkontribusi aktif dalam merawat
pasien, serta mengoptimalkan kualitas hidup dan mendukung hidup mandiri pasien.
Rekomendasi :
Setiap jejaring jantung dan strok harus mempunyai akses ke layanan spesialis
paliatif yang komprehensif, dan memasukkan perawatan akhir-hidup ke dalam
praktek perawatan rutin.
Beberapa pasien kardiovaskuler membutuhkan perawatan paliatif. Perawatan paliatif
harus dimasukkan ke dalam alur perawatan dan protokol untuk semua pasien dengan
stadium akhir penyakit kardiovaskular. Banyak pasien dengan gagal jantung yang tidak
membaik dengan terapi maksimal dan hidup dalam risiko kematian (fase perawatan
paliatif), pasien dan keluarganya sangat membutuhkan dukungan. Tatakelola perawatan
dan pelayanan paliatif perlu disiapkan.
23
VII. PERENCANAAN PELAYANAN KARDIOSEREBROVASKULAR
Kebijakan nasional kesehatan kardioserebrovaskular ini memberi acuan tentang layanan
yang seyogyanya diberikan. Diperlukan peningkatan kapasitas untuk memenuhi komitmen untuk
memberikan perawatan terbaik kepada pasien kardioserebrovaskular. Perencanaan sumber daya
manusia (SDM) untuk mencapai kapasitas yang diharapkan memerlukan beberapa langkah,
termasuk dokumentasi lengkap yang selalu diperbarui tentang kemampuan SDM kesehatan
kardioserebrovaskular dan kebutuhan staf sesuai bidang dan lokasi layanan masing-masing.
Juga diperlukan dukungan pengembangan profesionalisme mereka melalui pendidikan
berkelanjutan.
Rekomendasi :
Perencanaan SDM untuk layanan kardioserebrovaskular perlu diintegrasikan
secara efektif dengan perencanaan pelayanan, pendidikan/ pelatihan dan riset.
Pelatihan dan pengembangan SDM merupakan proses kontinu, meliputi pendidikan
berkelanjutan, pengembangan pribadi dan pengembangan manajemen. Audit tahunan
layanan kardioserebrovaskular harus mencakup informasi tentang kebutuhan SDM,
sejalan dengan kebijakan pelayanan kesehatan kardioserebrovaskuler nasional yang
terpadu.
1.
Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah di Rumah Sakit
Pada tahun 2011 ada sekitar 500 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP) yang
aktif bekerja memberikan pelayanan kardiovaskuler di berbagai rumah sakit di Indonesia yang
berpenduduk sekitar 240 juta. Jumlah tersebut memberikan rasio 1 SpJP untuk setiap 480.000
penduduk. Namun karena sebagian besar SpJP berpraktek di wilayah Jabodetabek, maka
beberapa daerah terutama di luar pulau Jawa mempunyai rasio 1 SpJP untuk setiap 2 – 4 juta
penduduk. Kondisi ini tentu jauh dari memadai, sehingga diperlukan upaya penambahan SpJP
secepatnya disamping pengadaan fasilitas untuk pelayanan kardiovaskular yang memadai di
tingkat kabupaten (EKG, alat uji latih treadmil, ekokardiografi, monitor EKG, defibrillator dan
ruang ICCU), serta upaya insentif untuk mempercepat pemerataan distribusi dokter SpJP. Perlu
dipertimbangkan pula upaya pelayanan dokter SpJP terbang yang melayani beberapa
propinsi/daerah terpencil. Dengan dibukanya 10 pusat pendidikan SpJP yang baru, sehingga
total menjadi 12 pusat, maka diharapkan pada tahun 2020 akan ada 1000 SpJP. Dalam kondisi
seperti itu, maka satu SpJP melayani 250.000 penduduk. Rasio ini sebenarnya juga masih belum
ideal, kalau dibandingkan dengan negara-negara maju.
2.
Dokter Spesialis Saraf di Rumah Sakit
Pada tahun 2011 ada sekitar 1200 dokter spesialis Saraf (SpS) di Indonesia yang aktif
memberikan pelayanan serebrovaskular di berbagai rumah sakit. Jumlah tersebut memberikan
rasio 1 SpS untuk setiap 200.000 penduduk. Rasio ini sebenarnya juga masih jauh dari yang
diharapkan. Distribusi yang tidak merata juga menjadi masalah, sehingga diperlukan upaya
penambahan dan pendistribusian yang berimbang secepatnya. Idealnya dalam satu jejaring yang
berpenduduk 500.000 tersedia 5 dokter spesialis syaraf. Bila ada fasilitas intervensi dan
24
konsultasi tersier (pelayanan syaraf komprehensif), maka diperlukan tambahan 2 atau 3 orang
lagi, disamping tenaga ahli pendukung lainnya.
Pasien stroke biasanya disertai penyakit komorbiditas atau penyulit, sehingga SpS perlu
berkolaborasi dengan spesialis lain (bedah saraf, geriatrik, diabetes, ginjal, paru, rehabilitasi
medik, gizi klinik dll).
Rekomendasi :
Untuk memenuhi kebutuhan nasional, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) beserta Kolegium Ilmu Jantung dan Pembuluh
Darah dan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)
beserta Kolegium Neurologi Iindonesia, perlu membuat beberapa terobosan.
Terobosan ini meliputi :
 Evaluasi kurikulum dan lama belajar Program Studi Ilmu Jantung dan Pembuluh
Darah serta Program Studi Ilmu Saraf, yang lulusannya sebagian besar akan
bekerja di rumah sakit kelas C (tingkat sekunder). Dengan demikian tuntutannya
adalah produksi Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah serta Dokter
Spesialis Saraf yang menguasai pengetahuan dan ketrampilan klinis.
 Melakukan analisis terhadap kemampuan rumah sakit-rumah sakit pemerintah
maupun swasta, untuk menjadi wahana pendidikan Dokter untuk spesialisasi di
bidang Jantung dan Pembuluh Darah serta Saraf.
 Meningkatkan program pendidikan subspesialis di berbagai rumah sakit
pendidikan dalam upaya meningkatkan pelayanan subspesialistik (tersier) di
bidang kardiovaskular dan serebrovaskular, pendidikan dokter/dokter spesialis dan
riset.
 Meningkatkan pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidang masing-masing
 Membuat gap analysis antara kondisi sekarang dan kondisi yang diharapkan,
untuk perencanaan pengadaan Staf Pengajar di institusi pendidikan.
3.
Dokter Umum di Rumah Sakit
Tersedia cukup dokter umum yang berdedikasi untuk membantu dokter SpJP dan SpS,
mereka memberikan layanan sesuai skema protokol. Pemberian sebagian kompetensi dasar
tertentu dibutuhkan guna memperluas jangkauan layanan, dan untuk mengembangkan
kemampuan mereka bila dibutuhkan tambahan tenaga pelayanan dalam bidang kardiovaskular
dan serebrovaskular.
Rekomendasi
• PERKI dan PERDOSSI perlu membuat protokol layanan di bidang masing-masing, bagi
Dokter Umum yang bekerja di layanan primer, sekunder atau tersier
• PERKI dan PERDOSSI perlu menetapkan kewenangan apa yang dapat diberikan
kepada Dokter Umum yang membantu SpJP/SpS bekerja dalam pelayanan.
25
4.
Peran Perawat
Perkembangan asuhan Keperawatan memungkinkan berkembangnya perawat mahir/
spesialis dalam layanan kardiovaskular dan strok, termasuk integrasi keterampilan dalam
perawatan jantung dan strok yang sebelumnya terpisah.
Perawat Spesialis klinis harus merupakan bagian dari setiap tim spesialis untuk pelayanan
jantung, pembuluh darah serta stroke yang multidisiplin, dengan maksud untuk ekspansi ke
tingkat lanjutan yaitu perawat praktisi. Perawat lainnya diharapkan juga berkembang sejalan
dengan pelaksanaan kebijakan ini, termasuk perawat praktisi, komunitas dan perawat kesehatan
masyarakat, serta perawat rehabilitasi.
Rekomendasi :
Perencanaan SDM diperlukan untuk memastikan adanya pengembangan dan
provisi perawat spesialis klinik kardiovaskular/stroke yang adekuat, serta peran
perawat kardiovaskular/stroke yang memadai untuk menjamin layanan unggulan.
Berkembangnya kelompok perawat spesialis kardiovaskuler dan perawat stroke
merupakan langkah penting untuk meningkatkan kualitas layanan ini. Pelatihan dan
rekruitmen hendaknya memprioritaskan pada upaya untuk menyiapkan petugas
penghubung komunitas dengan kelompok spesialis.
5.
Tim Multidisiplin dan Staf Pendukung Teknis
Masukan dari tim multidisiplin merupakan persyaratan dasar untuk dapat memberikan
perawatan yang berkualitas. Penanganan pasien jantung dan strok memerlukan tim spesialis
yang dipimpin oleh dokter dengan beragam keahlian terkait. Tim inti multidisiplin kardiovaskular
harus mencakup dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dokter umum terlatih, perawat
spesialis klinik dan staf pendukung teknis (termasuk petugas registri), serta akses ke berbagai
layanan terapi (misalnya terapi wicara, fisioterapi, terapi okupasi), ahli gizi, apoteker,
psikolog/neuropsikiatri dan pekerja sosial. Setiap tim juga harus memiliki koordinator penghubung
masyarakat. Staf pendukung teknis untuk diagnostik dan prosedur harus juga diperhitungkan
dalam perencanaan, jika diharapkan layanan yang akan diberikan benar-benar bermutu.
Rekomendasi :
Perencanaan SDM perlu dibuat untuk memastikan adanya pengembangan dan
penyediaan perawat, profesional kesehatan dan pekerja sosial kardiovaskular
yang memadai, juga pekerja administrasi terkait dan personel pendukung
teknis dilengkapi dengan panduan praktik terbaik.
Representasi yang tepat diperlukan dalam tim multidisiplin, meliputi berbagai perawat,
profesional kesehatan dan pekerja sosial kardiovaskular, pekerja admisnitrasi terkait
dan personel pendukung teknis.
Dukungan profesional layanan kesehatan dan keperawatan juga diperlukan untuk
membantu meningkatkan kualitas layanan atau efisiensi.
26
6.
Tim Pelayanan Primer dan Lembaga Swadaya Masyarakat
Pengembangan tim pelayanan primer akan menjadi kunci kesuksesan strategi kesehatan
kardioserebrovaskular Nasional ini. Oleh sebab itu, dukungan bagi anggota tim pelayanan primer
perlu diberikan, agar penanganan terhadap subyek berisiko tinggi kardioserebrovaskular dan
pasien penyakit kardioserebrovaskular kronis berjalan efektif. Pelayanan yang terstruktur seperti
pelayanan gagal jantung perlu dibuat, berkolaborasi dengan rumah sakit, demikian halnya
pengembangan perawat spesialis dan perawatan multidisiplin serta layanan pencegahan di
masyarakat.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Jantung Indonesia dan Yayasan Stroke
Indonesia dalam memberikan layanan komunitas, terutama dalam aspek pencegahan dan
advokasi serta pemberdayaan masyarakat perlu digalakan.
Rekomendasi :
Perencanaan dan koordinasi diperlukan untuk memastikan bahwa tenaga kesehatan
masyarakat benar-benar melaksanakan pencegahan dan rehabilitasi kardiovaskuler sesuai
rekomendasi kebijakan ini.
27
VIII. KERANGKA KERJA NASIONAL MENUJU KESEHATAN
KARDIOSEREBROVASKULAR YANG BERKUALITAS.
Kerangka kerja nasional menuju pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular yang
berkualitas tinggi meliputi juga unsur-unsur teknologi informasi dan komunikasi, perencanaan
tenaga kerja dan investasi, serta pengembangan profesional berkelanjutan. Staf perlu didukung
agar mampu menerapkan dengan cepat perubahan – perubahan praktek berbasis bukti dan
metode kerja tim dalam praktek sehari-hari.
Kebijakan kesehatan kardiovaskular dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dan dijalankan
oleh Dinas Kesehatan, Informasi Kesehatan dan Badan Auditor Kualitas. Manajemen termasuk
Rencana Tahunan Pelayanan Kesehatan Kardioserebrovaskular Nasional Kementerian
Kesehatan, di mana monitoring dan evaluasi merupakan komponen yang tak terpisahkan.
Evaluasi dilakukan setiap tahun untuk memberikan usulan perbaikan program berikutnya. Setiap
5 tahun dilakukan evaluasi jangka menengah.
Kunci keberhasilan dicapainya pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular yang berkualitas
adalah: efektif, berorientasi pasien, tepat waktu, aman, efisien dan terjangkau. Untuk memastikan
bahwa seluruh komponen ini dijalankan, perlu tatakelola organisasi yang baik dan kepemimpinan
yang kuat.
1.
Standar Nasional Pelayanan Kesehatan Kardioserebrovaskular
Pelayanan kesehatan Kardioserebrovaskular di Indonesia harus didasarkan pada praktek
berbasis bukti dan standar internasional yang disesuaikan dengan kondisi nasional. Rencana
pengembangan sistematis pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular perlu dijalankan dengan
mengutamakan kualitas, ada pedoman dan akuntabel. Pedoman yang dibuat berbasis bukti
lengkap dengan indikator kinerja yang berkaitan dengan pedoman dan standar nasional
mengenai kualitas, keamanan, informasi dan persyaratan data.
Rekomendasi :
Pedoman dan standar berbasis bukti harus ditetapkan, dilengkapi indikator
kinerja dan majemen pelaporan yang baku.
2. Survailens Kesehatan Kardioserebrovaskuler
Survailens yang sistematis harus diimplementasikan sebagai suatu hal yang mendesak untuk
memfasilitasi pengumpulan data berbasis pasien, dan penggunaannya untuk bahan
pengawasan, audit dan penelitian. Sistem yang komprehensif juga harus menyertakan
informasi yang luas mengenai akses untuk mendapatkan layanan medis dan prevalensi
penyakit kardioserebrovaskuler.
Rekomendasi :
Sistem informasi pelayanan kesehatan kardiovaskular yang komprehensif harus
dikembangkan sebagai prioritas untuk memungkinkan pelaksanaan strategi
nasional pelayanan kardiovaskuler.
Perlu ada kesepakatan tentang metode sistematis pengumpulan data dan standar
analitis secara nasional, untuk memastikan pengumpulan, analisis dan evaluasi data
yang terkoordinasi.
28
3.
Registri, Sistem Informasi dan Standar Data
Data yang komprehensif dan dapat dianalisis tentang penyediaan layanan dan informasi alur
perawatan pasien tidak mungkin diperoleh tanpa adanya sistem informasi kardioserebrovaskular
nasional yang komprehensif dan kompatibel, termasuk registri pasien. Perlu dikembangkan
Registri Penyakit Kardioserebrovaskular yang komprehensif.
Rekomendasi :
Data khusus kardioserebrovaskular perlu dibuat dan mekanisme pengumpulan data perlu
ditetapkan, merupakan bagian dari perawatan rutin sehingga siap untuk disajikan sebagai
profil nasional.
4.
Survai Kesehatan Masyarakat
Data kesehatan kardioserebrovaskular masyarakat, misalnya mengenai gaya hidup dapat
diperoleh melalui survei kesehatan nasional yang dilaksanakan secara reguler. Survai kesehatan
rumah tangga yang sejak tahun 2007 dikembangkan menjadi Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Evaluasi perlu dilakukan untuk
kemudian dianalisis kemungkinan perlunya perbaikan-perbaikan dalam pengumpulan data.
Rekomendasi :
Riset kesehatan dasar masyarakat yang dilaksanakan secara reguler harus
dilakukan untuk menggambarkan profil kesehatan pada orang dewasa dan
anak-anak.
Hambatan dalam melakukan riset tersebut perlu ditangani segera, agar diperoleh
data yang berkualitas dan memadai sebagai bahan perencanaan pelayanan. Minimal
ada dua Riskesdas dalam periode ini.
5.
Audit
Audit klinis menyangkut tinjauan yang terstruktur terhadap standar yang telah disepakati,
dalam rangka melaksanakan perbaikan layanan kesehatan dan kesehatan masyarakat. Sistem
audit nasional yang rutin untuk semua aspek layanan kardioserebrovaskular perlu dilaksanakan.
Rekomendasi :
Audit tahunan terhadap jejaring kardioserebrovaskular harus dilakukan, untuk menilai
volume dan kualitas kegiatan pelayanan serta untuk membuat perencanaan pelayanan.
6.
Peran Informasi dan Teknologi Komunikasi
Sistem Informasi dan teknologi komunikasi harus mendukung manajemen dan layanan
kesehatan pasien, serta jaminan kualitas layanan, melalui proses audit, akreditasi dan lainnya.
29
Rekomendasi :
Infrastruktur Teknologi informasi dan komunikasi, kapasitas dan pelatihan
harus dikembangkan.
Peningkatan metode komunikasi elektronik diperlukan untuk mendukung model
penyediaan layanan kesehatan. Sistem dan teknologi informasi perlu dikembangkan di dalam dan di antara layanan sekunder/tersier dan primer.
Secara bertahap diupayakan kartu pengenal pasien dan rekam medis elektronik.
7.
Penelitian dan Evaluasi, Termasuk Penilaian Teknologi Kesehatan
Iklim penelitian penting diciptakan dalam pelayanan kesehatan sebagai upaya meningkatkan
kualitas, dengan memberikan kontribusi bagi pengembangan kebijakan dan perencanaan. Kunci
dari praktik berbasis bukti adalah penggunaan penilaian teknologi kesehatan yang memastikan
bahwa sarana dan prasarana pelayanan kesehatan telah digunakan secara efektif dengan
menilai efektivitas klinis dan biaya dari obat, peralatan, diagnostik dan promosi kesehatan di
seluruh sistem kesehatan. Agenda riset yang terkoordinasi sangat penting untuk memastikan
proyek-proyek yang dibutuhkan untuk menginformasikan strategi ini benar-benar mendapat
prioritas. Riset yang berkesinambungan terhadap strategi ini akan memberikan asupan untuk
peningkatan kualitas strategi berikutnya.
Rekomendasi :
Suatu kelompok nasional beranggotakan berbagai pemangku kepentingan
harus dibentuk untuk menentukan prioritas penelitian dan penilaian teknologi
kesehatan di berbagai lini pelayanan kardioserebrovaskular.
Tim ini juga bertugas untuk memastikan bahwa penelitian penunjang seperti
biostatistik dan ekonomi kesehatan juga berkembang, dan bahwa informasi yang
dibutuhkan dari pelaksanaan strategi ini dapat diperoleh melalui riset.
IX. PENUTUP :
Strategi Nasional Pelayanan Kesehatan Jantung, Otak dan Pembuluh Darah (Kardioserebrovaskular) di Indonesia yang telah disusun oleh PERKI dan PERDOSSI ini diharapkan
dapat mengarahkan dan mendorong perubahan, untuk terciptanya INDONESIS SEHAT YANG
MANDIRI pada tahun 2020.
30
31
Download