GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK OLEH SEPTIYANTO 802007058 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Septiyanto NIM : 802007058 Program Studi : Psikologi Fakultas : Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty freeright) atas karya ilmiah saya yang berjudul: GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia/mengaliformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Salatiga Pada tanggal : 29 Juni 2015 Yang menyatakan, Septiyanto Mengetahui, Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping, Jusuf Tj. Purnomo. MA., Psi. Rudangta A. Sembiring, M.Psi. PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Septiyanto NIM : 802007058 Program Studi : Psikologi Fakultas : Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul : GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK Yang dibimbing oleh: 1. Jusuf Tj. Purnomo, MA., Psi. 2. Rudangta A. Sembiring, M.Psi. Adalah benar-benar hasil karya saya. Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya. Salatiga, 29 Juni 2015 Yang memberi pernyataan, Septiyanto LEMBAR PENGESAHAN GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK Oleh Septiyanto 802007058 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Disetujui Pada Tanggal: 29 Juni 2015 Oleh: Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping Jusuf Tj. Purnomo. MA., Psi. Rudangta A. Sembiring, M.Psi. Diketahui oleh, Kaprogdi Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Disahkan oleh, Dekan Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA. FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK Septiyanto Jusuf Tj. Purnomo Rudangta A. Sembiring Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran reaksi penyesuaian tujuan antara Imam Katolik dengan mantan Imam Katolik. Subjek penelitian hanya terdiri dari beberapa Imam dan beberapa mantan Imam Katolik. Dalam penelitian ini, alat ukur yang dipergunakan adalah aspek penyesuaian tujuan dari Miller, et al. (2003). Teknik sampling yang dipergunakan adalah teknik snowballsampling. Hipotesisnya adalah terdapat adanya perbedaan dalam melakukan disengagement goal dan reengagement goal antara Imam dengan mantan Imam Katolik. Analisis data menggunakan statistik deskriptif GAS (Goal Adjustment Scale) dari Miller, et al (2003). Hasil penelitian ini adalah terdapat adanya perbedaan dalam melakukan penyesuaian tujuan. Pada tahap disengagement goal, mantan Imam Katolik lebih mudah dalam melepas komitmen dan Imam Katolik lebih mudah dalam mengurangi usaha pencapaian pada tujuan yang sulit dicapai. Sedangkan pada tahap reengagement goal, mantan Imam Katolik justru lebih mudah melakukan semuanya bila dibandingkan dengan Imam Katolik. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat adanya perbedaan reaksi dalam melakukan penyesuaian tujuan antara Imam dengan mantan Imam Katolik. Kata kunci: Penyesuaian Tujuan, Imam Katolik, Mantan Imam Katolik i Abstract The purpose of this study was to describe the purpose of the adjustment reaction between Priest with former Catholic Priest. Subject study consists only of a few Priest and former Catholic priest. In this study, measuring instruments used are aspects adjustments purpose of Miller, et al (2003). The sampling technique used is the snowball sampling technique. The hypothesis is that there are differences in the reaction to make adjustments between the objectives Priest and former Catholic Priest. The data analysis using descriptive statistics GAS (Goal Adjustment Scale) from Miller, et al (2003). Results of this research is there any difference in adjustment purposes. At this stage of disengagement goal, the former Priest easier to remove the commitment and Priest easier to reduce efforts in achieving the goal difficult to achieve. While on stage goal reengagement, former Priest actually easier to do it all when compared with the Father. It shows that there are any differences picture in adjusting objectives reaction between Priest with the former Catholic Priest. Keywords : goal adjustment, priest, the former catholic priest ii 1 PENDAHULUAN Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang sangat istimewa, yang memiliki keunggulan luar biasa bila dibandingkan dengan makhluk lainnya dimana dirinya memiliki akal budi (rasio) yang mampu membuat dirinya memiliki daya cipta, rasa, karya dan karsa (Mardani, 2010). Dengan kesadaran hidup yang dimilikinya, setiap manusia memiliki harapan atau impian untuk dapat mencapai semua dambaan dan hasratnya, terlebih dalam mencapai suatu tujuan hidup yang ingin dicapainya. Tujuan yang diinginkannya adalah merasakan adanya kebahagiaan dalam hidupnya (Plato, dalam Sururudin, 2010). Dengan merasakan adanya kebahagiaan dalam hidupnya, manusia dapat merasakan pula rendahnya tingkat suasana hati yang negatif pada dirinya (Biswas, Diener & Dean, 2007). Selain itu juga, dengan merasakan kebahagiaan manusia dapat merasakan pula kesejahteraan diri yang optimal untuk menilai kepuasan hidup serta keseimbangan positif dan negatif pada dirinya dimana hal tersebut dapat berpengaruh pada berbagai hal yang dialami dalam kehidupannya (Thomas, McCreight & Kyle, 2014). Sehingga hal inilah yang membuat alasan demi merasakan kebahagiaan, menjadi idaman atau dambaan pada tujuan hidup yang ingin didapatkan semua orang dalam menjalani hidupnya. Untuk mendapatkan idaman atau dambaan yang diinginkan, secara umum setiap manusia tidak serta merta mampu mendapatkan begitu saja dengan mudah tanpa melakukan tindakan apa pun. Semua tentunya juga memerlukan usaha intensif seseorang dalam mencapainya (Wrosch & Scheier, 2003). Misalnya, seseorang perlu menggunakan kemampuan rasional yang dimilikinya sebaik 2 mungkin agar dapat mengoptimalisasikan daya kognitif seseorang untuk mencari suatu jalan atau cara yang tepat dalam melakukan usaha pencapaiannya (Mardani, 2010). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Winne (dalam Arias, 2004) yang menyatakan bahwa, dengan kemampuan rasional yang dimiliki maka juga dapat menentukan strategi motivasional seseorang dalam melakukan tindakan. Kemudian selain kemampuan rasional, Bandura dan Lӧcke (dalam Andrew, Mikels & Lӧckenhoff, 2012) juga menambahkan bahwa keyakinan diri yang stabil juga sangatlah dibutuhkan dalam menentukan cara yang tepat dalam melakukan pencapaian tujuan merupakan usaha mental pada diri seseorang. Apabila seseorang merasa ragu dalam menentukan suatu cara, maka dapat berpengaruh pada tindakan yang akan dilakukan atau dimunculkan. Secara umum, usaha pencapaian suatu tujuan memang sangatlah penting untuk dilakukan oleh semua orang dalam menjalani kehidupannya. Menurut Mardani (2010) hal ini disebabkan dengan adanya keinginan dalam mencapai suatu tujuan maka dapat berpengaruh pada kebiasaan seseorang untuk selalu mengevaluasi berbagai hal yang sudah dilakukan, dapat menilai kebenaran atau ketepatan berbagai hal yang sudah dilakukan, serta dapat membedakan mengenai apa yang dilakukan seseorang memang sebuah aktivitas produktif atau justru sebaliknya. Selain itu juga, dengan adanya usaha seseorang dalam melakukan pencapaian suatu tujuan maka dapat berpengaruh pula pada gaya hidupnya selama melakukan pencapaian tujuan tersebut (Alwisol, 2005). Oleh karena itu, untuk dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan maka seseorang membutuhkan usaha maksimal dalam mencapainya (Wrosch & Scheier, 2003). 3 Imam Katolik (Pastor) adalah sosok seseorang yang terikat oleh tahbisan suci dan berstatus sebagai salah satu pemimpin agama Katolik yang sah, yang berkedudukan di bawah Paus serta Uskup atau pimpinan suatu Tarekat (Nggagur, 2009). Dengan kata lain, apabila seseorang dikenal sebagai sosok seorang mantan Imam Katolik (mantan Pastor) maka dirinya merupakan seseorang yang dulunya pernah menjabat sebagai seorang pemimpin agama Katolik dan pada akhinya kembali ke status sebagai kaum awam (laikalisasi) di Gereja (Kusumawanta, 2009). Dalam menjalani hidupnya, baik Imam maupun mantan Imam Katolik tentunya juga memiliki tujuan hidup yang ingin dicapainya. Menurut Kusumawanta (2009), tujuan yang ingin dicapai seorang Imam cenderung mengarah kepada keinginannya untuk dapat menjadi sosok pemimpin agama yang mampu mengabdikan dirinya bagi Gereja dan masyarakat. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh mantan Imam sebagai seorang Ayah, tentunya juga seperti tujuan yang diinginkan orang lain pada umumnya yaitu dapat menjadi sosok kepala keluarga yang berwibawa dan mempertahankan serta melindungi kehidupan keluarga (Nggagur, 2009). Seperti yang sudah diungkapkan di atas, bahwa untuk dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan maka seorang Imam maupun mantan Imam perlu berusaha secara intensif dalam mencapainya. Untuk dapat menjadi pemimpin agama yang mampu mengabdikan dirinya bagi Gereja dan juga masyarakat, usaha yang perlu dilakukan oleh seorang Imam misalnya berusaha menyelaraskan dan berusaha mengorganisasikan dirinya semaksimal mungkin untuk lebih mengedepankan sikap melayani dan berkorban demi orang lain (Sutrisnaatmaka, 2012). Dalam hal 4 ini, dirinya harus mampu melakukan pelayanan dengan penuh kasih sayang secara totalitas dan tanpa pamrih (Nggagur, 2009). Selain itu juga, usaha lain yang dapat dilakukan oleh Imam dengan menjalankan kewajibannya untuk memimpin, mengajar, serta menjadi perantara yang sah antara umat manusia dengan Tuhan (Sutrisnaatmaka, 2012). Sedangkan salah satu usaha seorang mantan Imam sebagai seorang Ayah, tentunya seperti orang lain pada umumnya dalam memelihara keluarga yaitu berusaha memenuhi kebutuhan hidup keluarga dalam hal ekonomi atau materi dan juga rohani atau mental (Kusumawanta, 2009). Dalam hal ini, mantan Imam harus mampu berusaha mencari kerja dan memberikan kasih sayang yang optimal kepada keluarga (Nggagur, 2009). Selain itu juga, mantan Imam harus mampu mengambil peran yang baik sebagai pemimpin dalam keluarga (Elia, 2000). Namun pada kenyataannya dari berbagai usaha maksimal yang sudah dilakukan Imam dan mantan Imam, hasil yang didapatkan juga belum tentu sesuai dengan apa yang diinginkannya. Selama menjalani usaha pencapaian tujuan tersebut, terdapat berbagai hal yang menjadi penyebab ketidak-sesuaian tersebut. Sehingga secara tidak langsung, dapat menghentikan langkah mereka yang pada akhirnya membuat mereka mengalami kegagalan dan menuntut mereka untuk menyikapi atau memandang kegagalan tersebut. Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor intern pada diri Imam dan mantan Imam saja, melainkan juga dapat disebabkan oleh faktor ekstern. Misalnya, faktor intern tersebut adalah keadaan fisik (Miller, et al, 2003) dan faktor ekstern tersebut adalah peristiwa kehidupan yang muncul tanpa disadari (Wrosch & Sabiston, 2013). Dalam hal 5 keadaan fisik, dapat dibuktikan dari hasil penelitian Feichter (2001) yang menyatakan bahwa apabila seorang Imam Katolik mengalami kondisi fisik yang tidak baik yang disebabkan oleh faktor kesehatan yang semakin memburuk maka dapat berpengaruh pada penurunan tingkat keaktifannya dalam melakukan pelayanan kepada umat dan masyarakat umum. Kemudian dalam hal peristiwa kehidupan, dapat dibuktikan dari hasil penelitian Eddington dan Foxwoth (2012) yang menyatakan bahwa apabila seseorang dalam menanggapi peristiwa kehidupan yang muncul tanpa disadari dengan baik dan cekatan maka dapat berdampak pada masalah emosional dan fisiknya (seperti, depresi dan kecemasan). Oleh karena itu, untuk dapat merespon kegagalan yang dialami dalam pencapaian suatu tujuan yang diinginkan maka baik Imam Katolik dan mantan Imam Katolik memerlukan adanya usaha melakukan penyesuaian tujuan. Miller, et al. (2003), berpendapat bahwa penyesuaian tujuan adalah kemampuan yang mencerminkan kecenderungan umum yang dilakukan seseorang untuk dapat mengurangi usaha dalam mencapai suatu tujuan yang dirasa sulit untuk dicapai (disengagement goal) dan meningkatkan usaha mencapai tujuan baru yang lebih bermakna (reengagement goal). Kemudian menurut Wrosch dan Sabiston (2013), penyesuaian tujuan merupakan kecenderungan umum seseorang untuk mengurangi usaha dari tujuan yang sulit dijangkau (disengagement goal) dan meningkatkan usaha kembali pada tujuan baru yang ingin dijangkau (reengagement goal). Selain itu juga, Eddington dan Foxwoth (2012) menambahkan bahwa penyesuaian tujuan adalah kemampuan adaptif seseorang pada suatu tujuan yang ingin dicapai dengan cara melepaskan diri dari tujuan yang 6 dirasa sulit untuk dicapai (disengagement goal) dan kembali melibatkan diri pada tujuan baru yang ingin dicapai (reengagement goal). Dari ketiga pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, penyesuaian tujuan merupakan kemampuan adaptif seseorang yang mencerminkan adanya keinginan untuk mengurangi usaha dalam mencapai tujuan yang dirasa sulit atau tidak dapat dicapai atau dijangkau (disengagement goal) dan meningkatkan usaha dalam mencapai tujuan baru yang ingin dicapai atau dijangkau (reengagement goal), dimana tujuan baru tersebut dianggap lebih bermakna. Dalam melakukan penyesuaian tujuan tentunya terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi jalannya proses penyesuaian tujuan yang dilakukan oleh seseorang. Menurut Miller, et al (2003), diantaranya keadaan fisik atau biologis, kemampuan afektif dan kognitif pada diri seseorang, serta struktur sosial. Keadaan fisik atau biologis merupakan faktor individu yang dapat berpengaruh pada kemampuan bereaksi pada diri seseorang dalam berbagai hal. Wrosch dan Sabiston (2012) juga menambahkan, faktor ini merupakan strategi koping yang efektif untuk melawan masalah yang berkaitan dengan gaya hidup. Selain itu juga, hal ini secara umum juga berkaitan dengan keterlibatan aktif dan loyalitas tinggi seseorang dalam mencapai tujuan (Senko & Harackiewicz, 2005). Sedangkan kemampuan afektif dan kognitif, merupakan komponen penting pada diri seseorang yang digunakan sebelum maupun sesudah menentukan pilihan dalam melakukan penyesuaian tujuan. Saat sebelum menentukan suatu pilihan, faktor ini dapat membantu mengendalikan dan menentukan cara berfikir seseorang (Eddington & Foxwoth, 2012). Selain itu juga, Wrosch dan Sabiston (2012) 7 menambahkan apabila faktor ini dapat membantu seseorang melakukan kontrol emosi, relaksasi waktu dan berusaha memprediksi hasil sebelum menentukan tindakan. Kemudian saat sesudahnya, apabila dapat menentukan suatu pilihan dengan tepat maka dapat dijadikan sebagai strategi motivasional dalam melakukan suatu tindakan (Winne, dalam Arias, 2004). Yang terakhir adalah struktur sosial, dimana faktor tersebut dijadikan modal dalam menjalani pola hubungan sosial antara individu dengan kelompok sosial yang dapat berpengaruh pada kebiasaan dalam melakukan berbagai tindakan. Finkel dan Fitzsimons (2001) menambahkan apabila hal ini juga dapat berpengaruh pada usaha pencapaian tujuan dan usaha pengawasan (baik, pada usaha pencapaian maupun kondisi lingkungan). Sehingga dapat mengetahui lebih jelas mengenai kesempatan dalam melakukan pencapaian. Untuk dapat melakukan penyesuaian tujuan dengan tepat, semua orang tentunya harus dapat mengetahui dan memahami pokok pandangan sebagai petunjuk. Dalam melakukan usaha disengagement goal, maka tindakan yang perlu dilakukan seseorang adalah dengan melepaskan diri dari komitmen tujuan yang sulit untuk dicapai dan kemudian mengurangi usaha dalam mencapainya (Wrosch & Sabiston, 2013). Apabila seseorang mampu melakukan usaha ini dengan tepat, maka dampak yang dirasakan adalah dapat mengurangi beban sumber daya psikologis pada dirinya (Miller, et al., 2003). Sedangkan dalam melakukan usaha reengagement goal, maka tindakan yang perlu dilakukan seseorang adalah dengan mengidentifikasi tujuan baru yang ingin dicapai, kemudian berkomitmen pada tujuan baru yang sudah ditentukan untuk dicapai dan pada akhirnya melaksanakan 8 pencapaian tujuan baru tersebut (Wrosch & Sabiston, 2013). Apabila seseorang mampu melakukan usaha tersebut, maka dampak yang dirasakan adalah dapat semakin meningkatkan kesejahteraan hidup (Miller, et al., 2003). Oleh karena itu dari berbagai penjelasan mengenai penyesuaian tujuan tersebut, peneliti ingin mengetahui mengenai gambaran reaksi penyesuaian tujuan antara Imam dan mantan Imam Katolik. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kuantitatif dengan jenis desain penelitian statistik deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah penyesuaian tujuan, dimana dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan adaptif seseorang yang mencerminkan adanya keinginan untuk mengurangi usaha dalam mencapai tujuan yang dirasa sulit atau tidak dapat dicapai atau dijangkau (disengagement goal) dan meningkatkan usaha dalam mencapai tujuan baru yang ingin dicapai atau dijangkau (reengagement goal), dimana tujuan baru tersebut dianggap lebih bermakna. Partisipan Partisipan terdiri dari dua orang Imam dan dua orang mantan Imam Katolik. Tekhnik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu snowball sampling, dimana tekhnik tersebut awalnya dalam jumlah kecil yang kemudian mungkin dapat membesar. 9 Ciri-ciri sampel Imam Katolik dalam penelitian ini, yaitu : a. Seorang Imam Katolik yang sedang bertugas di Gereja Katolik b. Tidak ditentukan batas usia c. Tidak ditentukan periode masa jabatan d. Melakukan pelayanan hidup berpastoral Ciri-ciri sampel mantan Imam Katolik dalam penelitian ini, yaitu: a. Sudah menjadi kaum laikalisasi b. Tidak ditentukan batas usia c. Tidak ditentukan batas periode waktu meninggalkan kepastorannya d. Saat ini sudah menjalani kehidupan berkeluarga Instrumen Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur dari Miller, et al (2003) yaitu GAS (Goal Adjustment Scale) dan didukung oleh hasil wawancara. GAS digunakan untuk mengukur mengenai langkah-langkah reaksi penyesuaian tujuan yang dilakukan subjek disaat mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Alat ukur tersebut terdiri atas 10 item pertanyaan, dimana 6 item pertanyaan mengindikasikan pada aspek reengagement goal dan 4 item pertanyaan mengindikasikan pada aspek disengagement goal. Kemudian hasil wawancara yang didapatkan, digunakan untuk mendukung hasil analisis data dari alat ukur yang digunakan. 10 HASIL PENELITIAN a. Data Subjek 1. Imam Katolik Jumlah sampel pada penelitian ini terdapat 2 subjek, dimana subjek A dan subjek B sama-sama seorang Imam Diosesan yang saat ini menjalani kehidupan berpastoral dalam satu wilayah Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya. Subjek A berasal dari kota Cepu dan saat ini sudah berusia 49 tahun. Keinginan subjek A untuk menjadi Imam muncul sejak dirinya masih kecil, dimana dirinya selalu aktif untuk menjadi Misdinar di Gereja tempat tinggalnya. Hal ini disebabkan, saat dirinya melihat realita di Gereja Katolik tempat tinggalnya. Selain itu juga, adanya peristiwa buruk di tahun tujuhpuluhan saat munculnya aturan mengenai adanya pembatasan tenaga missioner asing yang pada akhirnya memberikan pengaruh negatif di Gereja Katolik tempat tinggalnya. Pada waktu itu Gereja Katolik di tempat tinggalnya sempat kosong, dimana tidak ada satu pun Imam yang berpastoral di Gerejanya. Setiap Perayaan Ekaristi berlangsung, yang menjadi pemimpinnya adalah Imam dari Paroki lain atau biasanya Uskup sendiri yang datang ke Gereja tempat tinggalnya. Sehingga dari situlah, subjek A memiliki tujuan atau cita-cita penting dalam hidupnya yaitu untuk menjadi Imam di Gereja Paroki. Keluarga pun mendukung dan berusaha untuk selalu memotivasi diri subjek A dalam mencapainya, terutama Ibu subjek melalui semangat dan juga doa. 11 Periode waktu kehidupan berpastoral yang sudah dijalaninya sudah cukup lama, dimana dirinya ditahbiskan sejak tahun 1994. Di dalam Gereja tempat dirinya menjalani kehidupan berpastoral saat ini, peranan yang dipegangnya adalah menjadi Imam Kepala. Sedangkan subjek B, berasal dari kota Tuban dan saat ini berusia 51 tahun. Keinginan subjek B untuk menjadi seorang Imam muncul dan secara tiba-tiba menghilang tanpa disadari begitu saja. Keinginan tersebut pertama muncul tanpa disadari secara tiba-tiba saat subjek B masih duduk di bangku SMP. Karena tidak ditanggapinya, secara langsung pun menghilang begitu saja. Hal ini juga disebabkan, dirinya memang tidak berasal dari keluarga yang memiliki tradisi Katolik yang kuat. Kemudian yang kedua, keinginan tersebut muncul tanpa disadari kembali secara tiba-tiba saat subjek B lulus SMA. Subjek B pun masih merasa ragu untuk menanggapinya. Lalu pada akhirnya, muncul kembali di tahun delapan puluh dua setelah subjek B memenangkan sebuah kejuaraan bulutangkis di kota tempat tinggalnya. Lalu, dari situlah pada akhirnya subjek B memilih untuk menanggapi panggilan tersebut. Namun, tantangan yang dialami subjek B dalam mewujudkan keinginannya adalah perbedaan pendapat dari kedua orang tua subjek. Di satu sisi Ibu subjek mendukung, sedangkan Ayah subjek tidak mendukung. Hal ini disebabkan Ayah subjek berbeda keyakinan dengan Ibu dan juga subjek. Dari situlah, subjek B menjadi bingung dalam menentukan pilihan. Sampai-sampai Ayah subjek pun, yang awalnya 12 berbeda keyakinan menjadi sama. Periode waktu kehidupan berpastoral yang dijalaninya masih tergolong belum lama, dimana dirinya menjabat sebagai Imam pada tahun 2010. Dalam Gereja saat ini tempat dirinya bertugas, peranan yang dipegangnya adalah sebagai Imam Rekan. 2. Mantan Imam Katolik Jumlah sampel pada penelitian ini terdapat 2 subjek, dimana subjek C dan subjek D sudah menjalani kehidupan berkeluarga. Mereka dulunya sama-sama menjalani kehidupan sebagai Imam Diosesan. Subjek C, berasal dari kota Surabaya dan saat ini berusia 54 tahun. Dirinya menjabat sebagai Imam Katolik sejak tahun 1994 hingga tahun 1998. Keinginan subjek C meninggalkan kehidupan berpastoralnya muncul saat subjek C terlalu sibuk dalam menjalani aktivitas berpastoral serta terbawa dengan tanggung jawabnya dalam menyelesaikan tesisnya mengenai pernikahan. Sehingga dampak yang dirasakan subjek C, adalah mengalami adanya kekeringan rohani yang disebabkan dirinya jarang melakukan adanya doa-doa pribadi serta memperkuat relasi dengan sesama Imam Katolik. Selain itu juga, dirinya menjadi goyah untuk meninggalkan kehidupan selibatnya. Sebelum subjek C melakukan pengambilan keputusan mengenai masa depannya, dirinya menjadi khawatir dan takut akan berbagai hal yang dirasakan Ibunya dan juga adiknya yang saat itu baru menerima tahbisan sebagai seorang Imam. Selain itu juga, dirinya mengalami kebingungan karena diselimuti oleh perasaan takut dalam menghadapi realitas hidup di masyarakat yang 13 nantinya dialami. Akhirnya seiring berjalannya waktu, subjek C pun berusaha untuk memberanikan dirinya dalam menanggapi masalah yang dialaminya tersebut. Dirinya berusaha untuk berani terbuka kepada Ibu dan juga adiknya. Tanggapan yang muncul dari mereka awalnya menyayangkan, namun pada akhirnya juga menyetujui keputusan yang akan diambil subjek C. Selain itu juga, yang semakin memotivasi subjek C dalam menentukan pilihan yang akan diambil adalah Rektor Seminari Tinggi Giovanni. Beliau yakin bahwa subjek C dapat menjalani hidup di luar dengan bahagia. Sehingga dari situlah, subjek C pada akhirnya memilih untuk meninggalkan kehidupan berpastoralnya. Sedangkan subjek D, juga sama-sama berasal dari kota Surabaya dan saat ini berusia 52 tahun. Dirinya menjabat sebagai Imam Katolik sejak tahun 1994 hingga tahun 2001. Keinginan subjek D meninggalkan kehidupan berpastoralnya muncul secara tiba-tiba tanpa disadari subjek. Sehingga dampak yang dirasakan subjek D adalah mengalami adanya kesulitan dalam mengendalikan diri. Saat akan melakukan berbagai tindakan (terutama, bersama umat di Gereja), dirinya merasa bingung. Subjek D betul-betul khawatir bila berbagai hal yang dilakukannya justru bukanlah suatu kebenaran atau hal yang tepat, namun justru sebaliknya. Sehingga dengan realitas tersebut justru bukanlah adanya keinginan untuk tetap berusaha mempertahankan panggilannya, namun justru semakin membuat dirinya goyah. Kemudian dirinya pun berusaha untuk selalu melakukan refleksi setiap ada waktu luang di malam hari. 14 Namun, hasil yang didapatkan pun bukanlah suatu jalan penyelesaian melainkan dirinya justru semakin bingung untuk menentukan langkah terbaik yang harus dipilihnya. Akhirnya karena subjek D benar-benar sudah tidak kuat, subjek D pun berusaha memberanikan dirinya untuk berani terbuka kepada Imam Rekan di Gereja tempat dirinya menjalani kehidupan berpastoral tersebut. Dari Imam Rekan tersebut subjek D mendapatkan banyak hal dimana dirinya mendapatkan pencerahan pada pikirannya, mendapatkan kekuatan hidup dalam imannya, serta memiliki semangat yang tinggi dalam menjalani hidupnya. Kemudian setelah mendapatkan pencerahan hidup dari Imam Rekan, subjek D juga memberanikan dirinya untuk terbuka kepada keluarga. Tanggapan yang muncul dari orangtua subjek, pada awalnya mereka marah dan betulbetul kecewa karena tidak dapat menerima keputusan tersebut. Namun pada akhirnya, mereka pun dapat menerima kenyataan yang terjadi pada dirinya. Sehingga dari situlah, subjek D pada akhirnya memilih untuk meninggalkan kehidupan berpastoralnya. 15 b. Hasil Analisis Data Angket dan Wawancara 1. Disengagement Goal Imam dan mantan Imam Katolik No. Item 1 3 6 8 Subjek A 2 1 5 2 Subjek B 1 1 2 1 Jumlah Skor 3 2 7 3 Rata-rata 1,5 1 3,5 1,5 Tabel 1. Hasil Rata-rata Skor Disengagement Goal Imam Dari tabel di atas pada item nomer 1 dan 3 menunjukkan mengenai kemampuan Imam dalam melakukan pelepasan komitmen, sedangkan pada item nomer 6 dan 8 menunjukkan mengenai kemampuan mereka dalam mengurangi usaha. Pada item nomer 1 dan 3, hasil rata-rata skor pada subjek A adalah 1,5 sedangkan subjek B adalah 1. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua Imam merasa sulit untuk melepaskan komitmen pada tujuan yang dirasa sulit untuk dicapai. Kemudian pada item nomer 6 dan 8, hasil rata-rata skor pada subjek A adalah 3,5 sedangkan subjek B adalah 1,5. Hasil ini menunjukkan adanya persamaan antara subjek A dan subjek B dalam mengurangi usahanya. 16 Subjek A menjelaskan bahwa tujuan yang dirasa sulit untuk dicapai adalah menjadi Imam yang sesuai dengan keinginannya. Subjek A merasa seperti itu karena dirinya menganggap bahwa setelah ditahbiskan, tentu dirinya langsung bisa menjadi seorang Imam Paroki. Namun, pada kenyataannya tidak. Setelah ditahbiskan justru dirinya menjalani kehidupan berpastoral yang berbeda dari apa yang diharapkan. Dalam menanggapi realitas tersebut, reaksi yang muncul dari subjek A adalah dirinya tetap melakukan apa pun yang diinginkan oleh Uskup walaupun dirinya tetap berkomitmen pada tujuan yang diinginkannya sejak kecil yaitu untuk menjadi Imam Paroki. - “..saya dipercaya Bapak Uskup yang seperti ini. Sebenarnya cita-cita saya bukan menjadi Romo Seminari..” Sedangkan subjek B, menjelaskan bahwa tujuan yang dirasa sulit dicapai adalah melakukan pelayanan rohani yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal ini disebabkan, dirinya menganggap bahwa adanya permasalahan internal maupun eksternal pada subjek B yang pada akhirnya justru menjadi penghalang atau penghambat pencapaian tujuan tersebut. Secara internalnya, adalah : - “..muncul kebosanan juga, secara fisik juga capek menghadapi masalah-masalah yang biasanya masalah yang bagi saya sepertinya sederhana tapi malah tidak selesai-selesai. Itu kadang-kadang. Kemudian dari situ muncul emosi ya, emosi yang tidak terkendali. Misalnya marah, sewot, seperti itu ya. Saya juga termasuk ee.., ya di satu sisi tidak mudah diatur..” 17 Secara eksternalnya, adalah : - “..Tapi, berbeda. Dari culture keluarga tertentu mereka juga dari, dari keluarga tertentu yang berbeda-beda..” Dalam menanggapi realitas tersebut, reaksi yang muncul dari subjek B adalah lebih memilih untuk menerima realitas tersebut dan berusaha untuk mengontrol dirinya agar tidak keterlaluan dalam menyikapinya. Subjek B mengatakan : - ”..Namun justru karena dalam konteks pelayanan saya mencoba untuk mengatur kecenderungan saya ini supaya tidak keterlaluan. Dalam pelayanan, saya mencoba untuk setia melayani..” No. Item 1 3 6 8 Subjek C 2 1 1 4 Subjek B 2 3 2 2 Jumlah Skor 4 4 3 6 Rata-rata 2 2 1,5 3 Tabel 2. Hasil Rata-rata Skor Disengagement Goal Mantan Imam Dari tabel di atas pada item nomer 1 dan 3, hasil rata-rata skor pada subjek C adalah 1,5 sedangkan subjek D adalah 2,5. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua mantan Imam merasa sulit untuk melepaskan komitmen pada tujuan yang dirasa sulit untuk dicapai. Kemudian pada item nomer 6 dan 8, hasil rata-rata skor pada subjek C adalah 2,5 18 sedangkan subjek B adalah 2. Hasil ini menunjukkan adanya persamaan antara subjek C dan subjek D dalam mengurangi usahanya. Subjek C menjelaskan bahwa tujuan yang dirasa sulit untuk dicapai adalah mempertahankan kehidupan Imamatnya. Subjek C menganggap, apabila yang menjadi penyebab kegagalannya adalah dirinya sendiri. - “..intinya ada kekeringan rohani, dimana saya begitu terlibat aktif dalam berpastoral. Karena saya terlalu sibuk dengan kegiatan sehingga, ya.. doa-doa pribadi terus relasi sesama Imam itu menjadi kering. Ditambah lagi waktu dalam keadaan kering itu, saya terbawa dengan skripsi dan tesis saya tentang perkawinan..” Dari situlah dirinya awalnya goyah. Hal ini disebabkan, dirinya menganggap bahwa adanya permasalahan internal maupun eksternal yang akan dirasakannya. Secara internalnya, karena dirinya juga dari keluarga Jawa. Secara eksternalnya, karena takut pada kehidupan di masyarakat dan terlebih kepada Ibunya. Dalam menanggapi realitas tersebut, reaksi yang muncul dari subjek C pada akhirnya memilih untuk melepaskan kehidupan Imamatnya karena sudah tidak kuat menahan kegetiran pada dirinya. Sedangkan subjek D, mengungkapkan bahwa tujuan yang dirasa sulit dicapai sama seperti subjek C yaitu mempertahankan kehidupan Imamatnya. Subjek D merasa keinginan tersebut muncul secara tiba-tiba tanpa disadarinya dari suatu peristiwa yang dialaminya dan dari situlah dirinya menjadi kecewa. Sehingga dari situlah, dirinya berusaha untuk melakukan berbagai tindakan demi mendapatkan suatu solusi. 19 Subjek D mengatakan : - ”Kemudian saya langsung mencoba hampir setiap ada waktu luang melakukan refleksi. Sekitar ya hampir satu tahun saya melakukannya. Namun, bukanlah suatu jalan penyelesaian yang saya peroleh dari Tuhan berdasarkan kekuatan iman saya..” Selain itu juga, subjek D juga sudah mencoba untuk berani bersikap terbuka pada Imam Rekan di Gereja Katolik tempat dirinya bertugas. Ungkap subjek D : - ”..saya juga mencoba untuk memilih bersikap berani terbuka dengan Romo Rekan di Gereja Paroki tempat saya bertugas..” Walaupun sudah dibantu dan mendapatkan jalan penyelesaian yang tepat dari Imam Rekan, namun pada akhirnya subjek D tetap memilih meninggalkan kehidupan Imamatnya. 4 3.5 3 2.5 Imam 2 Ex-Imam 1.5 1 0.5 0 1 3 6 8 Diagram 1. Diagram Hasil Skor Disengagement Goal Imam dan Mantan Imam Katolik 20 Hasil skor pada tabel dan diagram di atas menunjukkan mengenai tingkat kemampuan mengurangi usaha yang dilakukan oleh Imam dan mantan Imam dalam mencapai tujuan yang dirasa sulit atau yang tidak dapat dicapai atau dijangkau. Pada item 1 dan 3 menunjukkan mengenai kemampuan mereka dalam melakukan pelepasan komitmen, sedangkan pada item 6 dan 8 menunjukkan mengenai kemampuan mereka dalam mengurangi usaha. Dari gambar di atas, pada item nomer 1 dan 3, hasil skor rata-rata Imam adalah 2,5 sedangkan mantan Imam adalah 4. Hal ini menunjukkan apabila Imam kurang mampu melakukan pelepasan komitmen dengan mudah bila dibandingkan mantan Imam. Kemudian pada item nomer 6 dan 8, hasil skor rata-rata Imam adalah 5 sedangkan mantan Imam adalah 4,5. Hal ini menunjukkan bahwa Imam lebih mampu mengurangi usaha dengan mudah bila dibandingkan mantan Imam. 2. Reengagement Goal Imam dan mantan Imam Katolik No. Item 2 4 5 7 9 10 Subjek A 2 1 2 4 4 2 Subjek B 2 4 4 2 4 4 Total 4 5 6 6 8 6 Rata-rata 2 2,5 3 3 4 3 Tabel 1. Hasil Rata-rata Skor Reengagement Goal Imam 21 Dari tabel di atas, pada item nomer 5 dan 7 menjelaskan mengenai kemampuan mereka dalam mengidentifikasi pada tujuan baru yang ingin dicapai. Pada item nomer 5 dan 7, hasil rata-rata skor subjek A adalah 3 sedangkan subjek B adalah 3. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua Imam sama-sama cukup mudah dalam mengidentifikasi tujuan baru. Kemudian pada item nomer 2 dan 9, menjelaskan mengenai kemampuan mereka dalam menjalin komitmen pada tujuan baru yang ingin dicapainya. Pada item ini, hasil rata-rata skor subjek A adalah 2,5 sedangkan subjek B adalah 4. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan kemampuan antara kedua Imam dalam menjalin komitmen pada tujuan baru yang ingin dicapainya. Kemudian pada item nomer 4 dan 10, menjelaskan mengenai peningkatan usaha untuk memulai melakukan pencapaian tujuan baru tersebut. Pada item ini, hasil rata-rata skor subjek A adalah 1,5 sedangkan subjek B adalah 4. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan kemampuan antara kedua Imam dalam meningkatkan usahanya untuk memulai melakukan pencapaian tujuan baru tersebut. Tujuan baru yang ingin dicapai subjek A, adalah melaksanakan Arah Dasar Keuskupan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan di Gereja. Subjek A memilih untuk mewujudkan tujuan tersebut, disebabkan dirinya menyadari bahwa sebagai Imam Diosesan maka harus menaati apa pun yang diinginkan Uskup dan terlebih lagi subjek A berstatus sebagai Imam Kepala tentunya memiliki tanggung jawab yang besar di dalam Gereja. Oleh karena itu, hal inilah yang membuat subjek 22 A memutuskan untuk tidak lagi memikirkan mengenai tujuan baru lainnya secara pribadi untuk dikejar dan lebih mementingkan tujuan yang diinginkan Uskup (Arah Dasar Keuskupan). Berikut, ungkapan subjek A : - ”..sebagai seorang Imam yang ada di bawah Bapak Uskup ya yang mengikuti bagaimana Arah Dasar Keuskupan. Bapak Uskup mau apa, kita sebagai Imam yang melaksanakan. Menjadi Imam Projo harus siap ditugaskan oleh Bapak Uskup apa pun tugasnya. Baru berapa tahun saya ditugaskan di Paroki dan harus melaksanakan apa yang menjadi amanat Bapak Uskup. Kalau menyambut programprogram apa pun juga bukan obsesi saya pribadi ya..” Sedangkan subjek B, dalam hal ini juga ingin melakukan hal yang tercantum dalam Arah Dasar Keuskupan. Subjek B mengungkapkan, - ”Ya tujuannya itu kan, sebagaimana sudah dicanangkan dalam ARDAS ya.” Hal ini disebabkan, subjek B tidak ingin hidup hanya penuh dengan pelayanan saja. Dirinya justru ingin dapat semakin dewasa dalam iman, melakukan berbagai hal demi menciptakan kekompakan dan dapat pula menjadi individu yang missioner. Ini adalah ungkapannya : - “Menjadi persekutuan murid-murid Kristus yang semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan dan Missioner. Itu sajalah.. Nilai-nilai itu sajalah.. Terus disosialisasikan dan diwujudkan, saya kira sudah cukup.” Sehingga selain dirinya melakukan pelayanan kepada umat Gereja, dirinya pun berusaha melakukan pelayanan di luar Gereja. Hal inilah yang menunjukkan bahwa subjek B selalu ingin berfikir tentang aktifitas baru lainnya untuk dilakukan demi mewujudkan tujuannya dan buktinya 23 sampai saat ini sudah banyak kegiatan yang dilakukannya. Secara umum dalam menentukan suatu tujuan yang ingin dijadikan sumber aktifitas dalam hidup berpastoralnya, subjek B tidak pernah menentukan tujuan yang dicari tersebut harus bermakna. Hal ini disebabkan subjek B hanya ingin dapat membuat orang lain yang mendapatkan pelayanan hidup darinya bisa guyub atau kompak. Subjek B mengatakan : - ”Cuma memang mesti ada ukuran tertentu dimana dapat melihat sejauh mana sebenarnya itu manusia guyub atau kompak.” Selain itu juga dalam menentukan tujuan baru, subjek B tidak yakin pada dirinya bahwa tujuan baru yang dimiliki bermakna walaupun dirinya tertarik untuk mencapainya. No. Item 2 4 5 7 9 10 Subjek C 5 4 4 4 4 4 Subjek D 4 4 4 4 4 4 Total 9 8 8 8 8 8 Rata-rata 4,5 4 4 4 4 4 Tabel 2. Hasil Rata-rata Skor Reengagement Goal Mantan Imam Dari tabel di atas, pada item nomer 5 dan 7 hasil rata-rata skor pada subjek C dan subjek D sama-sama 4. Hasil ini menunjukkan bahwa 24 kedua mantan Imam sama-sama cukup mudah dalam mengidentifikasi tujuan baru. Kemudian pada item nomer 2 dan 9, hasil rata-rata skor subjek C dan subjek D sama-sama 4. Hasil ini juga menunjukkan apabila kedua mantan Imam sama-sama cukup mudah dalam menjalin komitmen pada tujuan baru yang akan dicapai. Selain itu juga pada item nomer 4 dan 10, hasil rata-rata skor subjek C dan subjek D sama-sama 4. Hasil ini juga menunjukkan apabila kedua mantan Imam sama-sama memiliki semangat yang cukup tinggi dalam berusaha untuk memulai melakukan pencapaian tujuan yang baru. Setelah memiliki waktu dalam melepaskan diri dari sifat spesifik tujuan yang sulit dicapai, subjek C mulai berusaha berfikir untuk mengejar tujuan baru yang lebih bermakna. Sehingga dapat mengarahkan pikiran dan energi yang dimiliki oleh subjek C. Tujuan baru tersebut adalah menanggapi panggilan Tuhan dalam menjalani kehidupan berkeluarga. - “Tetap menanggapi panggilan Tuhan dalam berkeluarga, berkembang biaklah dan akhirnya berkeluarga..” Subjek C tertarik pada tujuan baru tersebut untuk dicapai dan memiliki keyakinan diri bahwa tujuan baru yang dimiliki bermakna, disebabkan tujuan tersebut merupakan suatu arah hidup yang Tuhan kehendaki. - “Tujuan hidup saya memang pertama-tama apa pun bentuknya, saya mencoba dalam hidup saya itu menanggapi panggilan Tuhan. Panggilan Tuhan waktu saya menjadi Romo, saya akan melaksanakan itu. Terus sekarang keluar, maka saya akan melaksanakan panggilan dalam keluarga ini dan tentunya dengan segala konsekuensinya..” 25 Setelah subjek C menemukan tujuan baru yang bermakna ini, dirinya menjadi memiliki pula keinginan untuk segera mengejar tujuan tersebut. Misalnya, dalam mendidik anak. Subjek C mengungkapkan : - “..Kalau saya di keluarga, maka saya mendidik anak-anak supaya nanti menjadi anak yang berguna.” Selain itu juga subjek C menambahkan : “..Bagi saya, saya tidak pernah menyuruh begini-begini. Tapi kegiatan Gereja itu kok mengalir terus. Tapi tentunya, ya doa saya. Doa itu kan pasangan pribadi untuk anak-anak dalam menghadapi persoalan itu mengalir. Tuhan membimbing..” Berdasarkan realitanya pun, saat ini anak-anaknya banyak yang menjadi aktivis di dalam Gereja. Sedangkan tujuan baru yang saat ini ingin dicapai subjek D, adalah mampu memberikan kehangatan bagi keluarga yang dibangunnya. - ”Ya..,saya lebih mengarah pada memberikan adanya kehangatan hidup bagi keluarga saya..” Sehingga, dari situlah dapat menunjukkan usaha subjek D dalam menjaga keutuhan keluarga yang dibangunnya. Subjek D tertarik pada tujuan baru tersebut untuk dicapai dan memiliki keyakinan diri bahwa tujuan baru yang dimiliki bermakna, disebabkan tujuan tersebut dapat membantu anak dan istri agar lebih mudah dalam menanggapi berbagai hal yang dialami selama menjalani kehidupan. 26 Subjek D mengatakan : - ”..Karena dengan kehangatan hidup maka dapat memberikan segala kemudahan yang akan dilakukan setiap manusia, terlebih keluarga saya.” Hal ini dapat dilihat dari berbagai upaya yang selalu dilakukan subjek D kepada istri dan anaknya. - “Ya, banyak ya. Saya berusaha untuk mengajarkan kepada istri dan anak saya untuk dapat mengutamakan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena iman tentunya selalu menjadi pendukung setiap manusia dalam melakukan berbagai hal. Kemudian menanamkan pada diri saya untuk memiliki semangat yang tinggi dalam menjalin komunikasi dengan anak dan juga istri dengan cara berusaha untuk selalu menjadi tempat curahat hati mereka. Sehingga dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah hidupnya. Terlebih lagi ya, berusaha untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab.” Seperti halnya subjek C, setelah subjek D menemukan tujuan baru yang bermakna ini dirinya pun memiliki pula keinginan untuk segera mengejar. Selain itu, dirinya mendapat dukungan sosial dari keluarga maupun berbagai Rekan Imamnya dulu. Dukungan keluarga tersebut, didapatkan oleh subjek D dari Ibunya. Subjek D mengatakan : - ”Ya, tentunya pasti Ibu saya. Karena saya merasa lebih dekat dengan dia. Berkat dia, saya selalu mendapatkan motivasi berupa pengarahan yang bermanfaat bagi saya. Kemudian dari berbagai Rekan Imam saya, tentunya juga Rekan Imam di Gereja Paroki yang saya tempati dulu.” 27 5 4.5 4 3.5 3 2.5 Imam 2 Ex-Imam 1.5 1 0.5 0 2 4 5 7 9 10 Diagram 2. Diagram Hasil Skor Reengagement Goal Imam dan Mantan Imam Katolik Diagram di atas menunjukkan mengenai tingkat kemampuan Imam dan mantan Imam Katolik dalam memaksimalkan usaha untuk dapat mencapai tujuan baru yang ingin dicapai. Pada item 5 dan item 7, menunjukkan mengenai kemampuan mereka dalam mengidentifikasi pada tujuan baru yang ingin dicapai. Lalu pada item 2 dan item 9, menunjukkan mengenai kemampuan mereka dalam menjalin komitmen pada tujuan baru tersebut. Kemudian pada item 4 dan item 10, menunjukkan mengenai kemampuan mereka dalam memulai melakukan pencapaian tujuan tersebut. Dari gambar diagram di atas, pada item nomer 5 dan 7 hasil rata-rata skor Imam adalah 3 sedangkan mantan Imam adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa mantan Imam lebih mampu mengidentifikasi tujuan yang baru untuk dicapai bila 28 dibandingkan dengan Imam. Kemudian pada item nomer 2 dan 9 hasil ratarata skor Imam adalah 3 sedangkan hasil rata-rata skor mantan Imam adalah 4,25. Hal ini menunjukkan bahwa mantan Imam lebih mudah melakukan usaha untuk menjalin komitmen pada tujuan baru yang ingin dicapai bila dibandingkan dengan Imam. Kemudian pada item nomer 4 dan 10 hasil ratarata skor Imam adalah 2,75 sedangkan hasil rata-rata skor mantan Imam adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa mantan Imam lebih mudah dalam mengejar atau memulai usaha untuk mencapai tujuan baru bila dibandingkan dengan Imam. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil data di atas, peneliti menggambarkan bahwa terdapat adanya perbedaan reaksi antara Imam dengan mantan Imam Katolik dalam melakukan penyesuaian tujuan. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengambilan data dari angket dan didukung dari hasil wawancara. Pada tahap disengagement goal, hasil analisis data dari angket menggambarkan bahwa Imam kurang mampu bereaksi dengan mudah dalam melakukan pelepasan komitmen bila dibandingkan dengan mantan Imam. Dalam hal ini, sangat berkaitan erat dengan komitmen hidup berupa janji Imamatnya yaitu menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan dan juga sesama (Nggagur, 2009). Dalam hal ini, monomer-duakan atau bahkan sampai menghilangkan kepentingan pribadi. Sedangkan mantan Imam, tidak 29 harus mengutamakan komitmen dalam menjalani berbagai aktifitas selama dirinya mampu memberikan kesejahteraan hidup bagi keluarga yang dibangunnya (Elia, 2000). Sehingga hal ini dapat berpengaruh pada kemampuan Imam dan mantan Imam dalam berusaha maksimal untuk mencapai tujuan. Apabila dalam berusaha mencapai tujuan, umat di Gereja maupun semua orang di tempat dirinya melakukan karya hidup berpastoral merasa tidak menyetujui untuk tetap memaksimalkan usaha dalam mencapai tujuan yang mereka diinginkan maka Imam harus bisa mengurangi usaha untuk melakukan pencapaiannya. Sedangkan mantan Imam, justru sebaliknya. Dirinya dapat menentukan berbagai tindakan sesuai dengan keinginannya sendiri. Pada tahap reengagement goal, hasil analisis data dari angket menggambarkan bahwa Imam kurang mampu bereaksi dengan mudah dalam melakukan berbagai hal ini bila dibandingkan dengan mantan Imam. Dalam mengidentifikasi tujuan baru yang akan dipilih, tentunya tidak mengutamakan pada kepentingan pribadi melainkan kepentingan sosial (Nggagur, 2009). Sedangkan mantan mengutamakan kepentingan pribadinya. Imam, secara umum Kemudian dalam dapat menjalin komitmen pada tujuan baru tersebut, Imam juga kurang mampu bereaksi dengan mudah seperti mantan Imam. Hal ini disebabkan dalam melakukan berbagai tindakan (khususnya, dalam melakukan pelayanan), pola kehidupan yang dijalaninya harus cenderung mengutamakan orang lain dan melibatkan semua pihak (Sutrisnaatmaka, 2012). Sehingga dalam memutuskan suatu 30 tindakan yang akan dilakukan selalu mementingkan keinginan bersama. Dalam hal ini, umat di Gereja maupun semua orang di tempat dirinya melakukan karya hidup berpastoral. Sedangkan mantan Imam, secara umum pola kehidupan yang dijalaninya dapat sesuai dengan keinginan dirinya tanpa ada yang mengatur. Lalu yang terakhir dalam melakukan proses pelaksanaan, hasil analisis data dari angket juga menggambarkan bahwa Imam kurang mampu bereaksi secara cepat bila dibandingkan dengan mantan Imam. Hal ini semakin mengorientasikan bahwa Imam harus dapat menunggu kesiapan dari umat maupun masyarakat, sehingga dampak yang dirasakan dalam menjalankan karya kehidupan berpastoral berhasil, berguna dan tepat sasaran bagi umat maupun masyarakat yang dilayaninya (Sutrisnaatmaka, 2012). Sedangkan mantan Imam, secara umum dalam menentukan waktu melaksanakan sesuai dengan keinginan diri mereka masing-masing. Dalam penelitian ini tentunya juga memiliki kelemahan, dimana kelemahannya adalah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini memiliki perbedaan periode waktu. Dalam hal ini, periode waktu Imam dalam menjalani maupun mantan Imam dalam meninggalkan kehidupan berpastoral sehingga dapat berpengaruh dalam bereaksi saat melakukan penyesuaian tujuan. Dalam hal ini, pada mentalitas mereka dalam menentukan cara atau tindakan yang dipilih dan dimunculkan dalam melakukan penyesuaian tujuan. 31 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat adanya perbedaan gambaran reaksi penyesuaian tujuan antara Imam dengan mantan Imam Katolik. Dalam disengagement goal, Imam lebih sulit melepaskan komitmen dan lebih mudah dalam mengurangi usaha. Sedangkan mantan Imam justru sebaliknya, dimana mereka lebih mudah melepaskan komitmen dan lebih sulit mengurangi usaha. Kemudian dalam melakukan reengagement goal, baik dalam hal mengidentifikasi tujuan baru, menjalin komitmen pada tujuan baru, maupun memulai usaha untuk melaksanakan tujuan baru tersebut mantan Imam justru lebih mudah melakukannya bila dibandingkan dengan Imam. SARAN Adapun saran yang diberikan peneliti sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, antara lain: 1. Imam Katolik Dalam mencapai suatu tujuan, Imam tetap harus dapat memegang komitmen tujuan demi mewujudkan tujuan hidup yang ingin dicapainya tersebut dan dapat menjadi sosok pemimpin agama yang mampu mengabdikan dirinya bagi Gereja serta masyarakat. 2. Mantan Imam Katolik Dari hasil penelitian ini diharapkan bahwa mantan Imam tetap memiliki semangat yang tinggi melakukan penyesuaian tujuan dalam 32 hidupnya. Tidak boleh mengenal takut, khawatir atau malu untuk kembali berkumpul dalam lingkup Gereja untuk mengenal orang lain. 3. Peneliti selanjutnya Pada kesempatan selanjutnya dapat diteliti lebih lanjut tentang motivasi Imam atau pun mantan Imam dalam mewujudkan suatu tujuan, karena setiap manusia dalam mewujudkan suatu tujuan hidup yang baru yang ingin dicapai tentu membutuhkan suatu motivasi pada dirinya. 33 DAFTAR PUSTAKA Alwisol. (2005). Psikologi kepribadian. Malang: Penerbit Universitas Malang. Andrew, E.R., Mikels, J.A., & Lӧckenhoff, C.E. (2012). Choosing with confidence: Self-efficacy and preferences for choice. Journal of Judgement and Decision Making, 7, (2), 173-180. Arias, J.F. (2004). Recent perspectives in the study of motivation: Goal orientation theory. Electronic Journal of Research in Education Psychology, 2, (1), 35-62. Biswas, M.A., Diener, E.D., & Dean, U. (2007). Personality, culture, and subjective well-being: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual Revision Psychologycal Journal, 54, 403-425. Eddington, K.M. & Foxwoth, T.E. (2012). Dysphoria and self-focused attention: Effects of feedback on task strategy and goal adjustment. Journal of Social and Clinical Psychology, 31, (9), 933-951. Elia, H. (2000). Peran ayah dalam mendidik anak. Jurnal Teologi dan Pelayanan, 1, (1), 105-113. Feichter, J.H. (2001). The dilemma of priest retirement. Journal of the Scientific Study of Religion, 24, (1), 111-118. Kusumawanta, D.G.B. (2009). Imam di ambang batas antara yang ilahi dan manusiawi, yang surgawi dan duniawi. Yogyakarta: Kanisius. Mardani, A.T. (2010). Dilarang menjadi pastor. Yogyakarta: Kanisius. Miller, E.G., et al. (2003). Adaptive self-regulation of unattainable goals; Goals disengagement, goal reengagement, and subjective well-being. The Society for Personality and Sociality Psychology, 29, (12), 1494-1508. Nggagur, F.S. (2009). Pastor di persimpangan harta-imamat-wanita. Jakarta: Forum Kita. Senko, C. & Harackiewicz, J.M. (2005). Regulation of achievement goal: The role of competence feedback. Journal of Educational Psychology, 97, (3), 320336. Sururudin. (2010). Konsep bahagia: Analisis terhadap pemikiran Plato. Jurnal Media Akademika, 25, (2), 111-124. Sutrisnaatmaka, A.M. (2012). Kepemimpinan dalam gereja dan masalahnya. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 34 Thomas, E.F., McCreight, A.K., & Kyle, R. (2014). Affective style, humor style and happiness. Europe’s Journal of Psychology, 10, (3), 451-463. Thompson, E.A., Woodward, J.T., & Stanton, A.L. (2011). Moving forward during major goal blockage: situational goal adjustment in women facing infertility. Journal of Behavioural Medic, 34, 275-287. Wrosch, C., & Sabiston, C.M. (2013). Goal adjustment, physical and sedentary activity, and well-being and health among breast cancer survivors. Journal Psycho-Oncology, 22, 581-589. Wrosch, C., & Scheier, M.F., (2003). Personality and quality of life: The importance of optimism and goal adjustment. Journal Quality of Life Research, 12, 59-72.