Gambaran Reaksi Penyesuaian Tujuan Imam Danmantan Imam

advertisement
GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN
IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK
OLEH
SEPTIYANTO
802007058
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Septiyanto
NIM
: 802007058
Program Studi
: Psikologi
Fakultas
: Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya
: Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty freeright) atas
karya ilmiah saya yang berjudul:
GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN
IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan,
mengalihmedia/mengaliformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Salatiga
Pada tanggal : 29 Juni 2015
Yang menyatakan,
Septiyanto
Mengetahui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Pendamping,
Jusuf Tj. Purnomo. MA., Psi.
Rudangta A. Sembiring, M.Psi.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Septiyanto
NIM
: 802007058
Program Studi : Psikologi
Fakultas
: Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :
GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN
IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK
Yang dibimbing oleh:
1. Jusuf Tj. Purnomo, MA., Psi.
2. Rudangta A. Sembiring, M.Psi.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan
atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam
bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah
sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau
sumber aslinya.
Salatiga, 29 Juni 2015
Yang memberi pernyataan,
Septiyanto
LEMBAR PENGESAHAN
GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN
IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK
Oleh
Septiyanto
802007058
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui Pada Tanggal: 29 Juni 2015
Oleh:
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Jusuf Tj. Purnomo. MA., Psi.
Rudangta A. Sembiring, M.Psi.
Diketahui oleh,
Kaprogdi
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
Disahkan oleh,
Dekan
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
GAMBARAN REAKSI PENYESUAIAN TUJUAN
IMAM DAN MANTAN IMAM KATOLIK
Septiyanto
Jusuf Tj. Purnomo
Rudangta A. Sembiring
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran reaksi penyesuaian
tujuan antara Imam Katolik dengan mantan Imam Katolik. Subjek penelitian
hanya terdiri dari beberapa Imam dan beberapa mantan Imam Katolik. Dalam
penelitian ini, alat ukur yang dipergunakan adalah aspek penyesuaian tujuan dari
Miller, et al. (2003). Teknik sampling yang dipergunakan adalah teknik
snowballsampling. Hipotesisnya adalah terdapat adanya perbedaan dalam
melakukan disengagement goal dan reengagement goal antara Imam dengan
mantan Imam Katolik. Analisis data menggunakan statistik deskriptif GAS (Goal
Adjustment Scale) dari Miller, et al (2003). Hasil penelitian ini adalah terdapat
adanya
perbedaan
dalam
melakukan
penyesuaian
tujuan.
Pada
tahap
disengagement goal, mantan Imam Katolik lebih mudah dalam melepas komitmen
dan Imam Katolik lebih mudah dalam mengurangi usaha pencapaian pada tujuan
yang sulit dicapai. Sedangkan pada tahap reengagement goal, mantan Imam
Katolik justru lebih mudah melakukan semuanya bila dibandingkan dengan Imam
Katolik. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat adanya perbedaan reaksi
dalam melakukan penyesuaian tujuan antara Imam dengan mantan Imam Katolik.
Kata kunci: Penyesuaian Tujuan, Imam Katolik, Mantan Imam Katolik
i
Abstract
The purpose of this study was to describe the purpose of the adjustment reaction
between Priest with former Catholic Priest. Subject study consists only of a few
Priest and former Catholic priest. In this study, measuring instruments used are
aspects adjustments purpose of Miller, et al (2003). The sampling technique used
is the snowball sampling technique. The hypothesis is that there are differences in
the reaction to make adjustments between the objectives Priest and former
Catholic Priest. The data analysis using descriptive statistics GAS (Goal
Adjustment Scale) from Miller, et al (2003). Results of this research is there any
difference in adjustment purposes. At this stage of disengagement goal, the former
Priest easier to remove the commitment and Priest easier to reduce efforts in
achieving the goal difficult to achieve. While on stage goal reengagement, former
Priest actually easier to do it all when compared with the Father. It shows that
there are any differences picture in adjusting objectives reaction between Priest
with the former Catholic Priest.
Keywords : goal adjustment, priest, the former catholic priest
ii
1
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang sangat istimewa, yang
memiliki keunggulan luar biasa bila dibandingkan dengan makhluk lainnya
dimana dirinya memiliki akal budi (rasio) yang mampu membuat dirinya
memiliki daya cipta, rasa, karya dan karsa (Mardani, 2010). Dengan kesadaran
hidup yang dimilikinya, setiap manusia memiliki harapan atau impian untuk dapat
mencapai semua dambaan dan hasratnya, terlebih dalam mencapai suatu tujuan
hidup yang ingin dicapainya. Tujuan yang diinginkannya adalah merasakan
adanya kebahagiaan dalam hidupnya (Plato, dalam Sururudin, 2010). Dengan
merasakan adanya kebahagiaan dalam hidupnya, manusia dapat merasakan pula
rendahnya tingkat suasana hati yang negatif pada dirinya (Biswas, Diener &
Dean, 2007). Selain itu juga, dengan merasakan kebahagiaan manusia dapat
merasakan pula kesejahteraan diri yang optimal untuk menilai kepuasan hidup
serta keseimbangan positif dan negatif pada dirinya dimana hal tersebut dapat
berpengaruh pada berbagai hal yang dialami dalam kehidupannya (Thomas,
McCreight & Kyle, 2014). Sehingga hal inilah yang membuat alasan demi
merasakan kebahagiaan, menjadi idaman atau dambaan pada tujuan hidup yang
ingin didapatkan semua orang dalam menjalani hidupnya.
Untuk mendapatkan idaman atau dambaan yang diinginkan, secara umum
setiap manusia tidak serta merta mampu mendapatkan begitu saja dengan mudah
tanpa melakukan tindakan apa pun. Semua tentunya juga memerlukan usaha
intensif seseorang dalam mencapainya (Wrosch & Scheier, 2003). Misalnya,
seseorang perlu menggunakan kemampuan rasional yang dimilikinya sebaik
2
mungkin agar dapat mengoptimalisasikan daya kognitif seseorang untuk mencari
suatu jalan atau cara yang tepat dalam melakukan usaha pencapaiannya (Mardani,
2010). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Winne (dalam Arias, 2004) yang
menyatakan bahwa, dengan kemampuan rasional yang dimiliki maka juga dapat
menentukan strategi motivasional seseorang dalam melakukan tindakan.
Kemudian selain kemampuan rasional, Bandura dan Lӧcke (dalam Andrew,
Mikels & Lӧckenhoff, 2012) juga menambahkan bahwa keyakinan diri yang
stabil juga sangatlah dibutuhkan dalam menentukan cara yang tepat dalam
melakukan pencapaian tujuan merupakan usaha mental pada diri seseorang.
Apabila seseorang merasa ragu dalam menentukan suatu cara, maka dapat
berpengaruh pada tindakan yang akan dilakukan atau dimunculkan.
Secara umum, usaha pencapaian suatu tujuan memang sangatlah penting
untuk dilakukan oleh semua orang dalam menjalani kehidupannya. Menurut
Mardani (2010) hal ini disebabkan dengan adanya keinginan dalam mencapai
suatu tujuan maka dapat berpengaruh pada kebiasaan seseorang untuk selalu
mengevaluasi berbagai hal yang sudah dilakukan, dapat menilai kebenaran atau
ketepatan berbagai hal yang sudah dilakukan, serta dapat membedakan mengenai
apa yang dilakukan seseorang memang sebuah aktivitas produktif atau justru
sebaliknya. Selain itu juga, dengan adanya usaha seseorang dalam melakukan
pencapaian suatu tujuan maka dapat berpengaruh pula pada gaya hidupnya selama
melakukan pencapaian tujuan tersebut (Alwisol, 2005). Oleh karena itu, untuk
dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan maka seseorang membutuhkan
usaha maksimal dalam mencapainya (Wrosch & Scheier, 2003).
3
Imam Katolik (Pastor) adalah sosok seseorang yang terikat oleh tahbisan suci
dan berstatus sebagai salah satu pemimpin agama Katolik yang sah, yang
berkedudukan di bawah Paus serta Uskup atau pimpinan suatu Tarekat (Nggagur,
2009). Dengan kata lain, apabila seseorang dikenal sebagai sosok seorang mantan
Imam Katolik (mantan Pastor) maka dirinya merupakan seseorang yang dulunya
pernah menjabat sebagai seorang pemimpin agama Katolik dan pada akhinya
kembali ke status sebagai kaum awam (laikalisasi) di Gereja (Kusumawanta,
2009). Dalam menjalani hidupnya, baik Imam maupun mantan Imam Katolik
tentunya juga memiliki tujuan hidup yang ingin dicapainya. Menurut
Kusumawanta (2009), tujuan yang ingin dicapai seorang Imam cenderung
mengarah kepada keinginannya untuk dapat menjadi sosok pemimpin agama yang
mampu mengabdikan dirinya bagi Gereja dan masyarakat. Sedangkan tujuan yang
ingin dicapai oleh mantan Imam sebagai seorang Ayah, tentunya juga seperti
tujuan yang diinginkan orang lain pada umumnya yaitu dapat menjadi sosok
kepala keluarga yang berwibawa dan mempertahankan serta melindungi
kehidupan keluarga (Nggagur, 2009).
Seperti yang sudah diungkapkan di atas, bahwa untuk dapat mencapai suatu
tujuan yang diinginkan maka seorang Imam maupun mantan Imam perlu berusaha
secara intensif dalam mencapainya. Untuk dapat menjadi pemimpin agama yang
mampu mengabdikan dirinya bagi Gereja dan juga masyarakat, usaha yang perlu
dilakukan oleh seorang Imam misalnya berusaha menyelaraskan dan berusaha
mengorganisasikan dirinya semaksimal mungkin untuk lebih mengedepankan
sikap melayani dan berkorban demi orang lain (Sutrisnaatmaka, 2012). Dalam hal
4
ini, dirinya harus mampu melakukan pelayanan dengan penuh kasih sayang secara
totalitas dan tanpa pamrih (Nggagur, 2009). Selain itu juga, usaha lain yang dapat
dilakukan oleh Imam dengan menjalankan kewajibannya untuk memimpin,
mengajar, serta menjadi perantara yang sah antara umat manusia dengan Tuhan
(Sutrisnaatmaka, 2012). Sedangkan salah satu usaha seorang mantan Imam
sebagai seorang Ayah, tentunya seperti orang lain pada umumnya dalam
memelihara keluarga yaitu berusaha memenuhi kebutuhan hidup keluarga dalam
hal ekonomi atau materi dan juga rohani atau mental (Kusumawanta, 2009).
Dalam hal ini, mantan Imam harus mampu berusaha mencari kerja dan
memberikan kasih sayang yang optimal kepada keluarga (Nggagur, 2009). Selain
itu juga, mantan Imam harus mampu mengambil peran yang baik sebagai
pemimpin dalam keluarga (Elia, 2000).
Namun pada kenyataannya dari berbagai usaha maksimal yang sudah
dilakukan Imam dan mantan Imam, hasil yang didapatkan juga belum tentu sesuai
dengan apa yang diinginkannya. Selama menjalani usaha pencapaian tujuan
tersebut, terdapat berbagai hal yang menjadi penyebab ketidak-sesuaian tersebut.
Sehingga secara tidak langsung, dapat menghentikan langkah mereka yang pada
akhirnya membuat mereka mengalami kegagalan dan menuntut mereka untuk
menyikapi atau memandang kegagalan tersebut. Hal tersebut tidak hanya
disebabkan oleh faktor intern pada diri Imam dan mantan Imam saja, melainkan
juga dapat disebabkan oleh faktor ekstern. Misalnya, faktor intern tersebut adalah
keadaan fisik (Miller, et al, 2003) dan faktor ekstern tersebut adalah peristiwa
kehidupan yang muncul tanpa disadari (Wrosch & Sabiston, 2013). Dalam hal
5
keadaan fisik, dapat dibuktikan dari hasil penelitian Feichter (2001) yang
menyatakan bahwa apabila seorang Imam Katolik mengalami kondisi fisik yang
tidak baik yang disebabkan oleh faktor kesehatan yang semakin memburuk maka
dapat berpengaruh pada penurunan tingkat keaktifannya dalam melakukan
pelayanan kepada umat dan masyarakat umum. Kemudian dalam hal peristiwa
kehidupan, dapat dibuktikan dari hasil penelitian Eddington dan Foxwoth (2012)
yang menyatakan bahwa apabila seseorang dalam menanggapi peristiwa
kehidupan yang muncul tanpa disadari dengan baik dan cekatan maka dapat
berdampak pada masalah emosional dan fisiknya (seperti, depresi dan
kecemasan). Oleh karena itu, untuk dapat merespon kegagalan yang dialami
dalam pencapaian suatu tujuan yang diinginkan maka baik Imam Katolik dan
mantan Imam Katolik memerlukan adanya usaha melakukan penyesuaian tujuan.
Miller, et al. (2003), berpendapat bahwa penyesuaian tujuan adalah
kemampuan yang mencerminkan kecenderungan umum yang dilakukan seseorang
untuk dapat mengurangi usaha dalam mencapai suatu tujuan yang dirasa sulit
untuk dicapai (disengagement goal) dan meningkatkan usaha mencapai tujuan
baru yang lebih bermakna (reengagement goal). Kemudian menurut Wrosch dan
Sabiston (2013), penyesuaian tujuan merupakan kecenderungan umum seseorang
untuk mengurangi usaha dari tujuan yang sulit dijangkau (disengagement goal)
dan meningkatkan usaha kembali pada tujuan baru yang ingin dijangkau
(reengagement goal). Selain itu juga, Eddington dan Foxwoth (2012)
menambahkan bahwa penyesuaian tujuan adalah kemampuan adaptif seseorang
pada suatu tujuan yang ingin dicapai dengan cara melepaskan diri dari tujuan yang
6
dirasa sulit untuk dicapai (disengagement goal) dan kembali melibatkan diri pada
tujuan baru yang ingin dicapai (reengagement goal). Dari ketiga pendapat tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa, penyesuaian tujuan merupakan kemampuan
adaptif seseorang yang mencerminkan adanya keinginan untuk mengurangi usaha
dalam mencapai tujuan yang dirasa sulit atau tidak dapat dicapai atau dijangkau
(disengagement goal) dan meningkatkan usaha dalam mencapai tujuan baru yang
ingin dicapai atau dijangkau (reengagement goal), dimana tujuan baru tersebut
dianggap lebih bermakna.
Dalam melakukan penyesuaian tujuan tentunya terdapat beberapa hal yang
dapat mempengaruhi jalannya proses penyesuaian tujuan yang dilakukan oleh
seseorang. Menurut Miller, et al (2003), diantaranya keadaan fisik atau biologis,
kemampuan afektif dan kognitif pada diri seseorang, serta struktur sosial.
Keadaan fisik atau biologis merupakan faktor individu yang dapat berpengaruh
pada kemampuan bereaksi pada diri seseorang dalam berbagai hal. Wrosch dan
Sabiston (2012) juga menambahkan, faktor ini merupakan strategi koping yang
efektif untuk melawan masalah yang berkaitan dengan gaya hidup. Selain itu juga,
hal ini secara umum juga berkaitan dengan keterlibatan aktif dan loyalitas tinggi
seseorang dalam mencapai tujuan (Senko & Harackiewicz, 2005). Sedangkan
kemampuan afektif dan kognitif, merupakan komponen penting pada diri
seseorang yang digunakan sebelum maupun sesudah menentukan pilihan dalam
melakukan penyesuaian tujuan. Saat sebelum menentukan suatu pilihan, faktor ini
dapat membantu mengendalikan dan menentukan cara berfikir seseorang
(Eddington & Foxwoth, 2012). Selain itu juga, Wrosch dan Sabiston (2012)
7
menambahkan apabila faktor ini dapat membantu seseorang melakukan kontrol
emosi, relaksasi waktu dan berusaha memprediksi hasil sebelum menentukan
tindakan. Kemudian saat sesudahnya, apabila dapat menentukan suatu pilihan
dengan tepat maka dapat dijadikan sebagai strategi motivasional dalam
melakukan suatu tindakan (Winne, dalam Arias, 2004). Yang terakhir adalah
struktur sosial, dimana faktor tersebut dijadikan modal dalam menjalani pola
hubungan sosial antara individu dengan kelompok sosial yang dapat berpengaruh
pada kebiasaan dalam melakukan berbagai tindakan. Finkel dan Fitzsimons
(2001) menambahkan apabila hal ini juga dapat berpengaruh pada usaha
pencapaian tujuan dan usaha pengawasan (baik, pada usaha pencapaian maupun
kondisi lingkungan). Sehingga dapat mengetahui lebih jelas mengenai kesempatan
dalam melakukan pencapaian.
Untuk dapat melakukan penyesuaian tujuan dengan tepat, semua orang
tentunya harus dapat mengetahui dan memahami pokok pandangan sebagai
petunjuk. Dalam melakukan usaha disengagement goal, maka tindakan yang perlu
dilakukan seseorang adalah dengan melepaskan diri dari komitmen tujuan yang
sulit untuk dicapai dan kemudian mengurangi usaha dalam mencapainya (Wrosch
& Sabiston, 2013). Apabila seseorang mampu melakukan usaha ini dengan tepat,
maka dampak yang dirasakan adalah dapat mengurangi beban sumber daya
psikologis pada dirinya (Miller, et al., 2003). Sedangkan dalam melakukan usaha
reengagement goal, maka tindakan yang perlu dilakukan seseorang adalah dengan
mengidentifikasi tujuan baru yang ingin dicapai, kemudian berkomitmen pada
tujuan baru yang sudah ditentukan untuk dicapai dan pada akhirnya melaksanakan
8
pencapaian tujuan baru tersebut (Wrosch & Sabiston, 2013). Apabila seseorang
mampu melakukan usaha tersebut, maka dampak yang dirasakan adalah dapat
semakin meningkatkan kesejahteraan hidup (Miller, et al., 2003).
Oleh karena itu dari berbagai penjelasan mengenai penyesuaian tujuan
tersebut, peneliti ingin mengetahui mengenai gambaran reaksi penyesuaian tujuan
antara Imam dan mantan Imam Katolik.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kuantitatif dengan jenis
desain penelitian statistik deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah
penyesuaian tujuan, dimana dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan
adaptif seseorang yang mencerminkan adanya keinginan untuk mengurangi usaha
dalam mencapai tujuan yang dirasa sulit atau tidak dapat dicapai atau dijangkau
(disengagement goal) dan meningkatkan usaha dalam mencapai tujuan baru yang
ingin dicapai atau dijangkau (reengagement goal), dimana tujuan baru tersebut
dianggap lebih bermakna.
Partisipan
Partisipan terdiri dari dua orang Imam dan dua orang mantan Imam Katolik.
Tekhnik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu snowball sampling,
dimana tekhnik tersebut awalnya dalam jumlah kecil yang kemudian mungkin
dapat membesar.
9
Ciri-ciri sampel Imam Katolik dalam penelitian ini, yaitu :
a. Seorang Imam Katolik yang sedang bertugas di Gereja Katolik
b. Tidak ditentukan batas usia
c. Tidak ditentukan periode masa jabatan
d. Melakukan pelayanan hidup berpastoral
Ciri-ciri sampel mantan Imam Katolik dalam penelitian ini, yaitu:
a. Sudah menjadi kaum laikalisasi
b. Tidak ditentukan batas usia
c. Tidak ditentukan batas periode waktu meninggalkan kepastorannya
d. Saat ini sudah menjalani kehidupan berkeluarga
Instrumen
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur dari Miller, et al (2003)
yaitu GAS (Goal Adjustment Scale) dan didukung oleh hasil wawancara. GAS
digunakan untuk mengukur mengenai langkah-langkah reaksi penyesuaian tujuan
yang dilakukan subjek disaat mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan yang
diinginkan. Alat ukur tersebut terdiri atas 10 item pertanyaan, dimana 6 item
pertanyaan mengindikasikan pada aspek reengagement goal dan 4 item
pertanyaan mengindikasikan pada aspek disengagement goal. Kemudian hasil
wawancara yang didapatkan, digunakan untuk mendukung hasil analisis data dari
alat ukur yang digunakan.
10
HASIL PENELITIAN
a.
Data Subjek
1. Imam Katolik
Jumlah sampel pada penelitian ini terdapat 2 subjek, dimana subjek
A dan subjek B sama-sama seorang Imam Diosesan yang saat ini
menjalani kehidupan berpastoral dalam satu wilayah Gereja Katolik di
Keuskupan Surabaya.
Subjek A berasal dari kota Cepu dan saat ini sudah berusia 49 tahun.
Keinginan subjek A untuk menjadi Imam muncul sejak dirinya masih
kecil, dimana dirinya selalu aktif untuk menjadi Misdinar di Gereja
tempat tinggalnya. Hal ini disebabkan, saat dirinya melihat realita di
Gereja Katolik tempat tinggalnya. Selain itu juga, adanya peristiwa
buruk di tahun tujuhpuluhan saat munculnya aturan mengenai adanya
pembatasan tenaga missioner asing yang pada akhirnya memberikan
pengaruh negatif di Gereja Katolik tempat tinggalnya. Pada waktu itu
Gereja Katolik di tempat tinggalnya sempat kosong, dimana tidak ada
satu pun Imam yang berpastoral di Gerejanya. Setiap Perayaan Ekaristi
berlangsung, yang menjadi pemimpinnya adalah Imam dari Paroki lain
atau biasanya Uskup sendiri yang datang ke Gereja tempat tinggalnya.
Sehingga dari situlah, subjek A memiliki tujuan atau cita-cita penting
dalam hidupnya yaitu untuk menjadi Imam di Gereja Paroki. Keluarga
pun mendukung dan berusaha untuk selalu memotivasi diri subjek A
dalam mencapainya, terutama Ibu subjek melalui semangat dan juga doa.
11
Periode waktu kehidupan berpastoral yang sudah dijalaninya sudah
cukup lama, dimana dirinya ditahbiskan sejak tahun 1994. Di dalam
Gereja tempat dirinya menjalani kehidupan berpastoral saat ini, peranan
yang dipegangnya adalah menjadi Imam Kepala.
Sedangkan subjek B, berasal dari kota Tuban dan saat ini berusia 51
tahun. Keinginan subjek B untuk menjadi seorang Imam muncul dan
secara tiba-tiba menghilang tanpa disadari begitu saja. Keinginan
tersebut pertama muncul tanpa disadari secara tiba-tiba saat subjek B
masih duduk di bangku SMP. Karena tidak ditanggapinya, secara
langsung pun menghilang begitu saja. Hal ini juga disebabkan, dirinya
memang tidak berasal dari keluarga yang memiliki tradisi Katolik yang
kuat. Kemudian yang kedua, keinginan tersebut muncul tanpa disadari
kembali secara tiba-tiba saat subjek B lulus SMA. Subjek B pun masih
merasa ragu untuk menanggapinya. Lalu pada akhirnya, muncul kembali
di tahun delapan puluh dua setelah subjek B memenangkan sebuah
kejuaraan bulutangkis di kota tempat tinggalnya. Lalu, dari situlah pada
akhirnya subjek B memilih untuk menanggapi panggilan tersebut.
Namun, tantangan yang dialami subjek B dalam mewujudkan
keinginannya adalah perbedaan pendapat dari kedua orang tua subjek. Di
satu sisi Ibu subjek mendukung, sedangkan Ayah subjek tidak
mendukung. Hal ini disebabkan Ayah subjek berbeda keyakinan dengan
Ibu dan juga subjek. Dari situlah, subjek B menjadi bingung dalam
menentukan pilihan. Sampai-sampai Ayah subjek pun, yang awalnya
12
berbeda keyakinan menjadi sama. Periode waktu kehidupan berpastoral
yang dijalaninya masih tergolong belum lama, dimana dirinya menjabat
sebagai Imam pada tahun 2010. Dalam Gereja saat ini tempat dirinya
bertugas, peranan yang dipegangnya adalah sebagai Imam Rekan.
2. Mantan Imam Katolik
Jumlah sampel pada penelitian ini terdapat 2 subjek, dimana subjek
C dan subjek D sudah menjalani kehidupan berkeluarga. Mereka
dulunya sama-sama menjalani kehidupan sebagai Imam Diosesan.
Subjek C, berasal dari kota Surabaya dan saat ini berusia 54 tahun.
Dirinya menjabat sebagai Imam Katolik sejak tahun 1994 hingga tahun
1998. Keinginan subjek C meninggalkan kehidupan berpastoralnya
muncul saat subjek C terlalu sibuk dalam menjalani aktivitas berpastoral
serta terbawa dengan tanggung jawabnya dalam menyelesaikan tesisnya
mengenai pernikahan. Sehingga dampak yang dirasakan subjek C,
adalah mengalami adanya kekeringan rohani yang disebabkan dirinya
jarang melakukan adanya doa-doa pribadi serta memperkuat relasi
dengan sesama Imam Katolik. Selain itu juga, dirinya menjadi goyah
untuk
meninggalkan
kehidupan
selibatnya.
Sebelum
subjek
C
melakukan pengambilan keputusan mengenai masa depannya, dirinya
menjadi khawatir dan takut akan berbagai hal yang dirasakan Ibunya dan
juga adiknya yang saat itu baru menerima tahbisan sebagai seorang
Imam. Selain itu juga, dirinya mengalami kebingungan karena diselimuti
oleh perasaan takut dalam menghadapi realitas hidup di masyarakat yang
13
nantinya dialami. Akhirnya seiring berjalannya waktu, subjek C pun
berusaha untuk memberanikan dirinya dalam menanggapi masalah yang
dialaminya tersebut. Dirinya berusaha untuk berani terbuka kepada Ibu
dan juga adiknya. Tanggapan yang muncul dari mereka awalnya
menyayangkan, namun pada akhirnya juga menyetujui keputusan yang
akan diambil subjek C. Selain itu juga, yang semakin memotivasi subjek
C dalam menentukan pilihan yang akan diambil adalah Rektor Seminari
Tinggi Giovanni. Beliau yakin bahwa subjek C dapat menjalani hidup di
luar dengan bahagia. Sehingga dari situlah, subjek C pada akhirnya
memilih untuk meninggalkan kehidupan berpastoralnya.
Sedangkan subjek D, juga sama-sama berasal dari kota Surabaya dan
saat ini berusia 52 tahun. Dirinya menjabat sebagai Imam Katolik sejak
tahun 1994 hingga tahun 2001. Keinginan subjek D meninggalkan
kehidupan berpastoralnya muncul secara tiba-tiba tanpa disadari subjek.
Sehingga dampak yang dirasakan subjek D adalah mengalami adanya
kesulitan dalam mengendalikan diri. Saat akan melakukan berbagai
tindakan (terutama, bersama umat di Gereja), dirinya merasa bingung.
Subjek D betul-betul khawatir bila berbagai hal yang dilakukannya
justru bukanlah suatu kebenaran atau hal yang tepat, namun justru
sebaliknya. Sehingga dengan realitas tersebut justru bukanlah adanya
keinginan untuk tetap berusaha mempertahankan panggilannya, namun
justru semakin membuat dirinya goyah. Kemudian dirinya pun berusaha
untuk selalu melakukan refleksi setiap ada waktu luang di malam hari.
14
Namun, hasil yang didapatkan pun bukanlah suatu jalan penyelesaian
melainkan dirinya justru semakin bingung untuk menentukan langkah
terbaik yang harus dipilihnya. Akhirnya karena subjek D benar-benar
sudah tidak kuat, subjek D pun berusaha memberanikan dirinya untuk
berani terbuka kepada Imam Rekan di Gereja tempat dirinya menjalani
kehidupan berpastoral tersebut. Dari Imam Rekan tersebut subjek D
mendapatkan banyak hal dimana dirinya mendapatkan pencerahan pada
pikirannya, mendapatkan kekuatan hidup dalam imannya, serta memiliki
semangat yang tinggi dalam menjalani hidupnya. Kemudian setelah
mendapatkan pencerahan hidup dari Imam Rekan, subjek D juga
memberanikan dirinya untuk terbuka kepada keluarga. Tanggapan yang
muncul dari orangtua subjek, pada awalnya mereka marah dan betulbetul kecewa karena tidak dapat menerima keputusan tersebut. Namun
pada akhirnya, mereka pun dapat menerima kenyataan yang terjadi pada
dirinya. Sehingga dari situlah, subjek D pada akhirnya memilih untuk
meninggalkan kehidupan berpastoralnya.
15
b.
Hasil Analisis Data Angket dan Wawancara
1. Disengagement Goal Imam dan mantan Imam Katolik
No. Item
1
3
6
8
Subjek A
2
1
5
2
Subjek B
1
1
2
1
Jumlah Skor
3
2
7
3
Rata-rata
1,5
1
3,5
1,5
Tabel 1.
Hasil Rata-rata Skor Disengagement Goal Imam
Dari tabel di atas pada item nomer 1 dan 3 menunjukkan mengenai
kemampuan Imam dalam melakukan pelepasan komitmen, sedangkan
pada item nomer 6 dan 8 menunjukkan mengenai kemampuan mereka
dalam mengurangi usaha. Pada item nomer 1 dan 3, hasil rata-rata skor
pada subjek A adalah 1,5 sedangkan subjek B adalah 1. Hasil ini
menunjukkan bahwa kedua Imam merasa sulit untuk melepaskan
komitmen pada tujuan yang dirasa sulit untuk dicapai. Kemudian pada
item nomer 6 dan 8, hasil rata-rata skor pada subjek A adalah 3,5
sedangkan subjek B adalah 1,5. Hasil ini menunjukkan adanya
persamaan antara subjek A dan subjek B dalam mengurangi usahanya.
16
Subjek A menjelaskan bahwa tujuan yang dirasa sulit untuk
dicapai adalah menjadi Imam yang sesuai dengan keinginannya. Subjek
A merasa seperti itu karena dirinya menganggap bahwa setelah
ditahbiskan, tentu dirinya langsung bisa menjadi seorang Imam Paroki.
Namun, pada kenyataannya tidak. Setelah ditahbiskan justru dirinya
menjalani kehidupan berpastoral yang berbeda dari apa yang diharapkan.
Dalam menanggapi realitas tersebut, reaksi yang muncul dari subjek A
adalah dirinya tetap melakukan apa pun yang diinginkan oleh Uskup
walaupun dirinya tetap berkomitmen pada tujuan yang diinginkannya
sejak kecil yaitu untuk menjadi Imam Paroki.
- “..saya dipercaya Bapak Uskup yang seperti ini. Sebenarnya cita-cita
saya bukan menjadi Romo Seminari..”
Sedangkan subjek B, menjelaskan bahwa tujuan yang dirasa sulit
dicapai adalah melakukan pelayanan rohani yang mencakup berbagai
aspek kehidupan. Hal ini disebabkan, dirinya menganggap bahwa
adanya permasalahan internal maupun eksternal pada subjek B yang
pada akhirnya justru menjadi penghalang atau penghambat pencapaian
tujuan tersebut.
Secara internalnya, adalah :
- “..muncul kebosanan juga, secara fisik juga capek menghadapi
masalah-masalah yang biasanya masalah yang bagi saya sepertinya
sederhana tapi malah tidak selesai-selesai. Itu kadang-kadang.
Kemudian dari situ muncul emosi ya, emosi yang tidak terkendali.
Misalnya marah, sewot, seperti itu ya. Saya juga termasuk ee.., ya di
satu sisi tidak mudah diatur..”
17
Secara eksternalnya, adalah :
- “..Tapi, berbeda. Dari culture keluarga tertentu mereka juga dari, dari
keluarga tertentu yang berbeda-beda..”
Dalam menanggapi realitas tersebut, reaksi yang muncul dari subjek B
adalah lebih memilih untuk menerima realitas tersebut dan berusaha
untuk mengontrol dirinya agar tidak keterlaluan dalam menyikapinya.
Subjek B mengatakan :
-
”..Namun justru karena dalam konteks pelayanan saya mencoba
untuk mengatur kecenderungan saya ini supaya tidak keterlaluan.
Dalam pelayanan, saya mencoba untuk setia melayani..”
No. Item
1
3
6
8
Subjek C
2
1
1
4
Subjek B
2
3
2
2
Jumlah Skor
4
4
3
6
Rata-rata
2
2
1,5
3
Tabel 2.
Hasil Rata-rata Skor Disengagement Goal Mantan Imam
Dari tabel di atas pada item nomer 1 dan 3, hasil rata-rata skor pada
subjek C adalah 1,5 sedangkan subjek D adalah 2,5. Hasil ini
menunjukkan bahwa kedua mantan Imam merasa sulit untuk melepaskan
komitmen pada tujuan yang dirasa sulit untuk dicapai. Kemudian pada
item nomer 6 dan 8, hasil rata-rata skor pada subjek C adalah 2,5
18
sedangkan subjek B adalah 2. Hasil ini menunjukkan adanya persamaan
antara subjek C dan subjek D dalam mengurangi usahanya.
Subjek C menjelaskan bahwa tujuan yang dirasa sulit untuk dicapai
adalah mempertahankan kehidupan Imamatnya. Subjek C menganggap,
apabila yang menjadi penyebab kegagalannya adalah dirinya sendiri.
- “..intinya ada kekeringan rohani, dimana saya begitu terlibat aktif
dalam berpastoral. Karena saya terlalu sibuk dengan kegiatan
sehingga, ya.. doa-doa pribadi terus relasi sesama Imam itu menjadi
kering. Ditambah lagi waktu dalam keadaan kering itu, saya terbawa
dengan skripsi dan tesis saya tentang perkawinan..”
Dari situlah dirinya awalnya goyah. Hal ini disebabkan, dirinya
menganggap bahwa adanya permasalahan internal maupun eksternal
yang akan dirasakannya. Secara internalnya, karena dirinya juga dari
keluarga Jawa. Secara eksternalnya, karena takut pada kehidupan di
masyarakat dan terlebih kepada Ibunya. Dalam menanggapi realitas
tersebut, reaksi yang muncul dari subjek C pada akhirnya memilih untuk
melepaskan kehidupan Imamatnya karena sudah tidak kuat menahan
kegetiran pada dirinya.
Sedangkan subjek D, mengungkapkan bahwa tujuan yang dirasa
sulit dicapai sama seperti subjek C yaitu mempertahankan kehidupan
Imamatnya. Subjek D merasa keinginan tersebut muncul secara tiba-tiba
tanpa disadarinya dari suatu peristiwa yang dialaminya dan dari situlah
dirinya menjadi kecewa. Sehingga dari situlah, dirinya berusaha untuk
melakukan berbagai tindakan demi mendapatkan suatu solusi.
19
Subjek D mengatakan :
-
”Kemudian saya langsung mencoba hampir setiap ada waktu luang
melakukan refleksi. Sekitar ya hampir satu tahun saya
melakukannya. Namun, bukanlah suatu jalan penyelesaian yang
saya peroleh dari Tuhan berdasarkan kekuatan iman saya..”
Selain itu juga, subjek D juga sudah mencoba untuk berani bersikap
terbuka pada Imam Rekan di Gereja Katolik tempat dirinya bertugas.
Ungkap subjek D :
-
”..saya juga mencoba untuk memilih bersikap berani terbuka dengan
Romo Rekan di Gereja Paroki tempat saya bertugas..”
Walaupun sudah dibantu dan mendapatkan jalan penyelesaian yang tepat
dari Imam Rekan, namun pada akhirnya subjek D tetap memilih
meninggalkan kehidupan Imamatnya.
4
3.5
3
2.5
Imam
2
Ex-Imam
1.5
1
0.5
0
1
3
6
8
Diagram 1.
Diagram Hasil Skor Disengagement Goal
Imam dan Mantan Imam Katolik
20
Hasil skor pada tabel dan diagram di atas menunjukkan mengenai
tingkat kemampuan mengurangi usaha yang dilakukan oleh Imam dan
mantan Imam dalam mencapai tujuan yang dirasa sulit atau yang tidak
dapat dicapai atau dijangkau. Pada item 1 dan 3 menunjukkan mengenai
kemampuan mereka dalam melakukan pelepasan komitmen, sedangkan
pada item 6 dan 8 menunjukkan mengenai kemampuan mereka dalam
mengurangi usaha. Dari gambar di atas, pada item nomer 1 dan 3, hasil
skor rata-rata Imam adalah 2,5 sedangkan mantan Imam adalah 4. Hal
ini menunjukkan apabila Imam kurang mampu melakukan pelepasan
komitmen dengan mudah bila dibandingkan mantan Imam. Kemudian
pada item nomer 6 dan 8, hasil skor rata-rata Imam adalah 5 sedangkan
mantan Imam adalah 4,5. Hal ini menunjukkan bahwa Imam lebih
mampu mengurangi usaha dengan mudah bila dibandingkan mantan
Imam.
2. Reengagement Goal Imam dan mantan Imam Katolik
No. Item
2
4
5
7
9
10
Subjek A
2
1
2
4
4
2
Subjek B
2
4
4
2
4
4
Total
4
5
6
6
8
6
Rata-rata
2
2,5
3
3
4
3
Tabel 1.
Hasil Rata-rata Skor Reengagement Goal Imam
21
Dari tabel di atas, pada item nomer 5 dan 7 menjelaskan mengenai
kemampuan mereka dalam mengidentifikasi pada tujuan baru yang ingin
dicapai. Pada item nomer 5 dan 7, hasil rata-rata skor subjek A adalah 3
sedangkan subjek B adalah 3. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua Imam
sama-sama cukup mudah dalam mengidentifikasi tujuan baru. Kemudian
pada item nomer 2 dan 9, menjelaskan mengenai kemampuan mereka
dalam menjalin komitmen pada tujuan baru yang ingin dicapainya. Pada
item ini, hasil rata-rata skor subjek A adalah 2,5 sedangkan subjek B
adalah 4. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan kemampuan antara
kedua Imam dalam menjalin komitmen pada tujuan baru yang ingin
dicapainya. Kemudian pada item nomer 4 dan 10, menjelaskan mengenai
peningkatan usaha untuk memulai melakukan pencapaian tujuan baru
tersebut. Pada item ini, hasil rata-rata skor subjek A adalah 1,5
sedangkan subjek B adalah 4. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan
kemampuan antara kedua Imam dalam meningkatkan usahanya untuk
memulai melakukan pencapaian tujuan baru tersebut.
Tujuan baru yang ingin dicapai subjek A, adalah melaksanakan
Arah Dasar Keuskupan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan
di Gereja. Subjek A memilih untuk mewujudkan tujuan tersebut,
disebabkan dirinya menyadari bahwa sebagai Imam Diosesan maka
harus menaati apa pun yang diinginkan Uskup dan terlebih lagi subjek A
berstatus sebagai Imam Kepala tentunya memiliki tanggung jawab yang
besar di dalam Gereja. Oleh karena itu, hal inilah yang membuat subjek
22
A memutuskan untuk tidak lagi memikirkan mengenai tujuan baru
lainnya secara pribadi untuk dikejar dan lebih mementingkan tujuan
yang diinginkan Uskup (Arah Dasar Keuskupan).
Berikut, ungkapan subjek A :
- ”..sebagai seorang Imam yang ada di bawah Bapak Uskup ya yang
mengikuti bagaimana Arah Dasar Keuskupan. Bapak Uskup mau
apa, kita sebagai Imam yang melaksanakan. Menjadi Imam Projo
harus siap ditugaskan oleh Bapak Uskup apa pun tugasnya. Baru
berapa tahun saya ditugaskan di Paroki dan harus melaksanakan apa
yang menjadi amanat Bapak Uskup. Kalau menyambut programprogram apa pun juga bukan obsesi saya pribadi ya..”
Sedangkan subjek B, dalam hal ini juga ingin melakukan hal yang
tercantum dalam Arah Dasar Keuskupan. Subjek B mengungkapkan,
- ”Ya tujuannya itu kan, sebagaimana sudah dicanangkan dalam
ARDAS ya.”
Hal ini disebabkan, subjek B tidak ingin hidup hanya penuh dengan
pelayanan saja. Dirinya justru ingin dapat semakin dewasa dalam iman,
melakukan berbagai hal demi menciptakan kekompakan dan dapat pula
menjadi individu yang missioner.
Ini adalah ungkapannya :
-
“Menjadi persekutuan murid-murid Kristus yang semakin dewasa
dalam iman, guyub, penuh pelayanan dan Missioner. Itu sajalah..
Nilai-nilai itu sajalah.. Terus disosialisasikan dan diwujudkan, saya
kira sudah cukup.”
Sehingga selain dirinya melakukan pelayanan kepada umat Gereja,
dirinya pun berusaha melakukan pelayanan di luar Gereja. Hal inilah
yang menunjukkan bahwa subjek B selalu ingin berfikir tentang aktifitas
baru lainnya untuk dilakukan demi mewujudkan tujuannya dan buktinya
23
sampai saat ini sudah banyak kegiatan yang dilakukannya. Secara umum
dalam menentukan suatu tujuan yang ingin dijadikan sumber aktifitas
dalam hidup berpastoralnya, subjek B tidak pernah menentukan tujuan
yang dicari tersebut harus bermakna. Hal ini disebabkan subjek B hanya
ingin dapat membuat orang lain yang mendapatkan pelayanan hidup
darinya bisa guyub atau kompak.
Subjek B mengatakan :
-
”Cuma memang mesti ada ukuran tertentu dimana dapat melihat
sejauh mana sebenarnya itu manusia guyub atau kompak.”
Selain itu juga dalam menentukan tujuan baru, subjek B tidak yakin pada
dirinya bahwa tujuan baru yang dimiliki bermakna walaupun dirinya
tertarik untuk mencapainya.
No. Item
2
4
5
7
9
10
Subjek C
5
4
4
4
4
4
Subjek D
4
4
4
4
4
4
Total
9
8
8
8
8
8
Rata-rata
4,5
4
4
4
4
4
Tabel 2.
Hasil Rata-rata Skor Reengagement Goal Mantan Imam
Dari tabel di atas, pada item nomer 5 dan 7 hasil rata-rata skor pada
subjek C dan subjek D sama-sama 4. Hasil ini menunjukkan bahwa
24
kedua mantan Imam sama-sama cukup mudah dalam mengidentifikasi
tujuan baru. Kemudian pada item nomer 2 dan 9, hasil rata-rata skor
subjek C dan subjek D sama-sama 4. Hasil ini juga menunjukkan apabila
kedua mantan Imam sama-sama cukup mudah dalam menjalin komitmen
pada tujuan baru yang akan dicapai. Selain itu juga pada item nomer 4
dan 10, hasil rata-rata skor subjek C dan subjek D sama-sama 4. Hasil ini
juga menunjukkan apabila kedua mantan Imam sama-sama memiliki
semangat yang cukup tinggi dalam berusaha untuk memulai melakukan
pencapaian tujuan yang baru.
Setelah memiliki waktu dalam melepaskan diri dari sifat spesifik
tujuan yang sulit dicapai, subjek C mulai berusaha berfikir untuk
mengejar
tujuan
baru
yang
lebih
bermakna.
Sehingga
dapat
mengarahkan pikiran dan energi yang dimiliki oleh subjek C. Tujuan
baru tersebut adalah menanggapi panggilan Tuhan dalam menjalani
kehidupan berkeluarga.
- “Tetap menanggapi panggilan Tuhan dalam berkeluarga, berkembang
biaklah dan akhirnya berkeluarga..”
Subjek C tertarik pada tujuan baru tersebut untuk dicapai dan memiliki
keyakinan diri bahwa tujuan baru yang dimiliki bermakna, disebabkan
tujuan tersebut merupakan suatu arah hidup yang Tuhan kehendaki.
- “Tujuan hidup saya memang pertama-tama apa pun bentuknya, saya
mencoba dalam hidup saya itu menanggapi panggilan Tuhan.
Panggilan Tuhan waktu saya menjadi Romo, saya akan melaksanakan
itu. Terus sekarang keluar, maka saya akan melaksanakan panggilan
dalam keluarga ini dan tentunya dengan segala konsekuensinya..”
25
Setelah subjek C menemukan tujuan baru yang bermakna ini,
dirinya menjadi memiliki pula keinginan untuk segera mengejar tujuan
tersebut. Misalnya, dalam mendidik anak.
Subjek C mengungkapkan :
-
“..Kalau saya di keluarga, maka saya mendidik anak-anak supaya
nanti menjadi anak yang berguna.”
Selain itu juga subjek C menambahkan :
“..Bagi saya, saya tidak pernah menyuruh begini-begini. Tapi kegiatan
Gereja itu kok mengalir terus. Tapi tentunya, ya doa saya. Doa itu
kan pasangan pribadi untuk anak-anak dalam menghadapi persoalan
itu mengalir. Tuhan membimbing..”
Berdasarkan realitanya pun, saat ini anak-anaknya banyak yang
menjadi aktivis di dalam Gereja. Sedangkan tujuan baru yang saat ini
ingin dicapai subjek D, adalah mampu memberikan kehangatan bagi
keluarga yang dibangunnya.
-
”Ya..,saya lebih mengarah pada memberikan adanya kehangatan
hidup bagi keluarga saya..”
Sehingga, dari situlah dapat menunjukkan usaha subjek D dalam
menjaga keutuhan keluarga yang dibangunnya. Subjek D tertarik pada
tujuan baru tersebut untuk dicapai dan memiliki keyakinan diri bahwa
tujuan baru yang dimiliki bermakna, disebabkan tujuan tersebut dapat
membantu anak dan istri agar lebih mudah dalam menanggapi berbagai
hal yang dialami selama menjalani kehidupan.
26
Subjek D mengatakan :
-
”..Karena dengan kehangatan hidup maka dapat memberikan segala
kemudahan yang akan dilakukan setiap manusia, terlebih keluarga
saya.”
Hal ini dapat dilihat dari berbagai upaya yang selalu dilakukan
subjek D kepada istri dan anaknya.
- “Ya, banyak ya. Saya berusaha untuk mengajarkan kepada istri dan
anak saya untuk dapat mengutamakan selalu mendekatkan diri
kepada Tuhan. Karena iman tentunya selalu menjadi pendukung
setiap manusia dalam melakukan berbagai hal. Kemudian
menanamkan pada diri saya untuk memiliki semangat yang tinggi
dalam menjalin komunikasi dengan anak dan juga istri dengan cara
berusaha untuk selalu menjadi tempat curahat hati mereka. Sehingga
dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah hidupnya.
Terlebih lagi ya, berusaha untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab.”
Seperti halnya subjek C, setelah subjek D menemukan tujuan baru
yang bermakna ini dirinya pun memiliki pula keinginan untuk segera
mengejar. Selain itu, dirinya mendapat dukungan sosial dari keluarga
maupun berbagai Rekan Imamnya dulu. Dukungan keluarga tersebut,
didapatkan oleh subjek D dari Ibunya.
Subjek D mengatakan :
-
”Ya, tentunya pasti Ibu saya. Karena saya merasa lebih dekat
dengan dia. Berkat dia, saya selalu mendapatkan motivasi berupa
pengarahan yang bermanfaat bagi saya. Kemudian dari berbagai
Rekan Imam saya, tentunya juga Rekan Imam di Gereja Paroki yang
saya tempati dulu.”
27
5
4.5
4
3.5
3
2.5
Imam
2
Ex-Imam
1.5
1
0.5
0
2
4
5
7
9
10
Diagram 2.
Diagram Hasil Skor Reengagement Goal
Imam dan Mantan Imam Katolik
Diagram di atas menunjukkan mengenai tingkat kemampuan Imam dan
mantan Imam Katolik dalam memaksimalkan usaha untuk dapat mencapai
tujuan baru yang ingin dicapai. Pada item 5 dan item 7, menunjukkan
mengenai kemampuan mereka dalam mengidentifikasi pada tujuan baru
yang ingin dicapai. Lalu pada item 2 dan item 9, menunjukkan mengenai
kemampuan mereka dalam menjalin komitmen pada tujuan baru tersebut.
Kemudian pada item 4 dan item 10, menunjukkan mengenai kemampuan
mereka dalam memulai melakukan pencapaian tujuan tersebut. Dari gambar
diagram di atas, pada item nomer 5 dan 7 hasil rata-rata skor Imam adalah 3
sedangkan mantan Imam adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa mantan
Imam lebih mampu mengidentifikasi tujuan yang baru untuk dicapai bila
28
dibandingkan dengan Imam. Kemudian pada item nomer 2 dan 9 hasil ratarata skor Imam adalah 3 sedangkan hasil rata-rata skor mantan Imam adalah
4,25. Hal ini menunjukkan bahwa mantan Imam lebih mudah melakukan
usaha untuk menjalin komitmen pada tujuan baru yang ingin dicapai bila
dibandingkan dengan Imam. Kemudian pada item nomer 4 dan 10 hasil ratarata skor Imam adalah 2,75 sedangkan hasil rata-rata skor mantan Imam
adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa mantan Imam lebih mudah dalam
mengejar atau memulai usaha untuk mencapai tujuan baru bila dibandingkan
dengan Imam.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil data di atas, peneliti menggambarkan bahwa terdapat
adanya perbedaan reaksi antara Imam dengan mantan Imam Katolik dalam
melakukan penyesuaian tujuan. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengambilan
data dari angket dan didukung dari hasil wawancara.
Pada tahap disengagement goal, hasil analisis data dari angket
menggambarkan bahwa Imam kurang mampu bereaksi dengan mudah dalam
melakukan pelepasan komitmen bila dibandingkan dengan mantan Imam.
Dalam hal ini, sangat berkaitan erat dengan komitmen hidup berupa janji
Imamatnya yaitu menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan dan
juga sesama (Nggagur, 2009). Dalam hal ini, monomer-duakan atau bahkan
sampai menghilangkan kepentingan pribadi. Sedangkan mantan Imam, tidak
29
harus mengutamakan komitmen dalam menjalani berbagai aktifitas selama
dirinya mampu memberikan kesejahteraan hidup bagi keluarga yang
dibangunnya (Elia, 2000). Sehingga hal ini dapat berpengaruh pada
kemampuan Imam dan mantan Imam dalam berusaha maksimal untuk
mencapai tujuan. Apabila dalam berusaha mencapai tujuan, umat di Gereja
maupun semua orang di tempat dirinya melakukan karya hidup berpastoral
merasa tidak menyetujui untuk tetap memaksimalkan usaha dalam mencapai
tujuan yang mereka diinginkan maka Imam harus bisa mengurangi usaha
untuk melakukan pencapaiannya. Sedangkan mantan Imam, justru
sebaliknya. Dirinya dapat menentukan berbagai tindakan sesuai dengan
keinginannya sendiri.
Pada tahap reengagement goal, hasil analisis data dari angket
menggambarkan bahwa Imam kurang mampu bereaksi dengan mudah dalam
melakukan berbagai hal ini bila dibandingkan dengan mantan Imam. Dalam
mengidentifikasi
tujuan
baru
yang
akan
dipilih,
tentunya
tidak
mengutamakan pada kepentingan pribadi melainkan kepentingan sosial
(Nggagur, 2009). Sedangkan mantan
mengutamakan
kepentingan
pribadinya.
Imam, secara umum
Kemudian
dalam
dapat
menjalin
komitmen pada tujuan baru tersebut, Imam juga kurang mampu bereaksi
dengan mudah seperti mantan Imam. Hal ini disebabkan dalam melakukan
berbagai tindakan (khususnya, dalam melakukan pelayanan), pola kehidupan
yang dijalaninya harus cenderung mengutamakan orang lain dan melibatkan
semua pihak (Sutrisnaatmaka, 2012). Sehingga dalam memutuskan suatu
30
tindakan yang akan dilakukan selalu mementingkan keinginan bersama.
Dalam hal ini, umat di Gereja maupun semua orang di tempat dirinya
melakukan karya hidup berpastoral. Sedangkan mantan Imam, secara umum
pola kehidupan yang dijalaninya dapat sesuai dengan keinginan dirinya
tanpa ada yang mengatur. Lalu yang terakhir dalam melakukan proses
pelaksanaan, hasil analisis data dari angket juga menggambarkan bahwa
Imam kurang mampu bereaksi secara cepat bila dibandingkan dengan
mantan Imam. Hal ini semakin mengorientasikan bahwa Imam harus dapat
menunggu kesiapan dari umat maupun masyarakat, sehingga dampak yang
dirasakan dalam menjalankan karya kehidupan berpastoral berhasil, berguna
dan tepat sasaran bagi umat maupun masyarakat yang dilayaninya
(Sutrisnaatmaka, 2012). Sedangkan mantan Imam, secara umum dalam
menentukan waktu melaksanakan sesuai dengan keinginan diri mereka
masing-masing.
Dalam penelitian ini tentunya juga memiliki kelemahan, dimana
kelemahannya adalah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini memiliki
perbedaan periode waktu. Dalam hal ini, periode waktu Imam dalam
menjalani
maupun
mantan
Imam
dalam
meninggalkan
kehidupan
berpastoral sehingga dapat berpengaruh dalam bereaksi saat melakukan
penyesuaian tujuan. Dalam hal ini, pada mentalitas mereka dalam
menentukan cara atau tindakan yang dipilih dan dimunculkan dalam
melakukan penyesuaian tujuan.
31
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat adanya perbedaan gambaran reaksi penyesuaian tujuan antara
Imam dengan mantan Imam Katolik. Dalam disengagement goal, Imam lebih sulit
melepaskan komitmen dan lebih mudah dalam mengurangi usaha. Sedangkan
mantan Imam justru sebaliknya, dimana mereka lebih mudah melepaskan
komitmen dan lebih sulit mengurangi usaha. Kemudian dalam melakukan
reengagement goal, baik dalam hal mengidentifikasi tujuan baru, menjalin
komitmen pada tujuan baru, maupun memulai usaha untuk melaksanakan tujuan
baru tersebut mantan Imam justru lebih mudah melakukannya bila dibandingkan
dengan Imam.
SARAN
Adapun saran yang diberikan peneliti sesuai dengan hasil penelitian yang
telah dilakukan, antara lain:
1.
Imam Katolik
Dalam mencapai suatu tujuan, Imam tetap harus dapat memegang
komitmen tujuan demi mewujudkan tujuan hidup yang ingin dicapainya
tersebut dan dapat menjadi sosok pemimpin agama yang mampu
mengabdikan dirinya bagi Gereja serta masyarakat.
2.
Mantan Imam Katolik
Dari hasil penelitian ini diharapkan bahwa mantan Imam tetap
memiliki semangat yang tinggi melakukan penyesuaian tujuan dalam
32
hidupnya. Tidak boleh mengenal takut, khawatir atau malu untuk kembali
berkumpul dalam lingkup Gereja untuk mengenal orang lain.
3.
Peneliti selanjutnya
Pada kesempatan selanjutnya dapat diteliti lebih lanjut tentang
motivasi Imam atau pun mantan Imam dalam mewujudkan suatu tujuan,
karena setiap manusia dalam mewujudkan suatu tujuan hidup yang baru
yang ingin dicapai tentu membutuhkan suatu motivasi pada dirinya.
33
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2005). Psikologi kepribadian. Malang: Penerbit Universitas Malang.
Andrew, E.R., Mikels, J.A., & Lӧckenhoff, C.E. (2012). Choosing with
confidence: Self-efficacy and preferences for choice. Journal of Judgement
and Decision Making, 7, (2), 173-180.
Arias, J.F. (2004). Recent perspectives in the study of motivation: Goal
orientation theory. Electronic Journal of Research in Education Psychology,
2, (1), 35-62.
Biswas, M.A., Diener, E.D., & Dean, U. (2007). Personality, culture, and
subjective well-being: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual
Revision Psychologycal Journal, 54, 403-425.
Eddington, K.M. & Foxwoth, T.E. (2012). Dysphoria and self-focused attention:
Effects of feedback on task strategy and goal adjustment. Journal of Social
and Clinical Psychology, 31, (9), 933-951.
Elia, H. (2000). Peran ayah dalam mendidik anak. Jurnal Teologi dan Pelayanan,
1, (1), 105-113.
Feichter, J.H. (2001). The dilemma of priest retirement. Journal of the Scientific
Study of Religion, 24, (1), 111-118.
Kusumawanta, D.G.B. (2009). Imam di ambang batas antara yang ilahi dan
manusiawi, yang surgawi dan duniawi. Yogyakarta: Kanisius.
Mardani, A.T. (2010). Dilarang menjadi pastor. Yogyakarta: Kanisius.
Miller, E.G., et al. (2003). Adaptive self-regulation of unattainable goals; Goals
disengagement, goal reengagement, and subjective well-being. The Society
for Personality and Sociality Psychology, 29, (12), 1494-1508.
Nggagur, F.S. (2009). Pastor di persimpangan harta-imamat-wanita. Jakarta:
Forum Kita.
Senko, C. & Harackiewicz, J.M. (2005). Regulation of achievement goal: The role
of competence feedback. Journal of Educational Psychology, 97, (3), 320336.
Sururudin. (2010). Konsep bahagia: Analisis terhadap pemikiran Plato. Jurnal
Media Akademika, 25, (2), 111-124.
Sutrisnaatmaka, A.M. (2012). Kepemimpinan dalam gereja dan masalahnya.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
34
Thomas, E.F., McCreight, A.K., & Kyle, R. (2014). Affective style, humor style
and happiness. Europe’s Journal of Psychology, 10, (3), 451-463.
Thompson, E.A., Woodward, J.T., & Stanton, A.L. (2011). Moving forward
during major goal blockage: situational goal adjustment in women facing
infertility. Journal of Behavioural Medic, 34, 275-287.
Wrosch, C., & Sabiston, C.M. (2013). Goal adjustment, physical and sedentary
activity, and well-being and health among breast cancer survivors. Journal
Psycho-Oncology, 22, 581-589.
Wrosch, C., & Scheier, M.F., (2003). Personality and quality of life: The
importance of optimism and goal adjustment. Journal Quality of Life
Research, 12, 59-72.
Download